Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) Oleh : Indriati Amarini Abstrak Korporasi dijadikan sebagai subjek hukum pidana merupakan kebijakan legislatif dalam produk perundang-undangan dewasa ini. Hal ini sejalan dengan perkembangan dunia internasional dan pendapat para sarjana yang secara teoritis mengatakan bahwa korporasi dapat diterima sebagai subjek hukum pidana (bukan lagi suatu fiksi). Seiring dengan adanya fenomena kebijakan legislatif yang mencantumkan korporasi sebagai subjek hukum pidana seyogyanya diatur pula ketentuan secara rinci yang berkaitan dengan permasalahan sistem pemidanaan (pertanggungjawaban pidana korporasi). Disamping itu sehubungan dengan ide bahwa Undang-undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) mrupakan undang-undang payung (umbrella act) maka seyogyanya pula hal tersebut diatur dalam perundang-undangan lingkungan hidup sektoral. A. PENDAHULUAN Saat ini hukum lingkungan telah berkembang dengan pesat, bukan saja dalam hubungannya dengan fungsi hukum sebagai perlindungan, pengendalian dan kepastian hukum bagi masyarakat (social control) dengan peran agent of stability, tetapi lebih menonjol lagi sebagai sarana pembangunan (a tool of social engineering) dengan peran sebagai agent of development atau agent of change. Sebagai disiplin ilmu hukum yang sedang berkembang, sebagian besar materi hukum lingkungan merupakan bagian dari hukum administrasi (administratief recht). Dari substansi hukum menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan administrasi, hukum lingkungan keperdataan dan hukum lingkungan kepidanaan. Persoalan lingkungan menjadi semakin kompleks, tidak hanya bersifat praktis, konseptual, ekonomi saja, tetapi juga merupakan masalah etika baik sosial maupun bisnis. Hukum pidana tidak hanya melindungi alam, flora dan fauna (the ecological approach), tetapi juga masa depan kemanusiaan yang kemungkinan menderita akibat degradasi lingkungan hidup (the antropocentris approach). Dengan demikian muncul istilah “the environmental laws carry penal sanction that protect a multimedia of interest”. Perkembangan undang-undang tentang lingkungan hidup khususnya di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup, mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia ini. Perhatian terhadap masalah lingkungan hidup ini dimulai di kalangan Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada 1 waktu diadakan peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-1 (1960-1970) guna merumuskan strategi “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-2 (19701980)” (Koesnadi Hardjasoemantri, 1999:6) Konferensi Internasional tentang lingkungan hidup pada bulan Juni 1972 tersebut telah menghasilkan “Deklarasi Stockhlom” yang berisi 26 asas berikut 109 rekomendasi pengimplementasiannya dan sebagai tindak lanjut dari konferensi tersebut 10 tahun kemudian, pada tanggal 11 Maret 1982 lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) yang telah menandai awal pembangunan perangkat hukum sebagai dasar bagi upaya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Permasalahan hukum lingkungan hidup yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat memerlukan pengaturan dalam bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Di sisi lain, perkembangan lingkungan global serta aspirasi internasional akan mempengaruhi usaha pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Dalam mencermati perkembangan tersebut, maka perlu suatu upaya untuk menyempurnakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tersebut, sehingga lahirlah UUPLH yang baru, yaitu UU Nomor 23 Tahun 1997 agar tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dapat tercapai. Materi bidang lingkungan sangat luas mencakup segi-segi ruang angkasa, puncak gunung, sampai ke perut bumi dan dasar laut dan meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati dan sumber daya buatan. Materi seperti ini tidak mungkin diatur secara lengkap dalam satu undang-undang, tetapi memerlukan seperangkat peraturan perundang-undangan dengan arah yang serupa. Oleh karena itu sifat UUPLH mengatur ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup yang memuat asas-asas dan prinsip pokok, sehingga berfungsi sebagai “social” (umbrella act) bagi penyusun peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada. Sebagaimana diketahui bahwa agar suatu norma atau suatu peraturan perundangundangan itu dapat dipatuhi oleh setiap warga masyarakat, maka di dalam norma atau peraturan perundang-undangan biasanya diadakan sanksi atau penguat. Sanksi tersebut bisa bersifat sosial bagi mereka yang melakukan pelanggaran, akan tetapi juga bersifat positif bagi mereka yang mematuhi atau mentaatinya. 2 Sedangkan digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan nampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktek perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum pidana yang dianut di Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan normal, seolah-olah eksistensinya tidak dipersoalkan. Sebagai masalah nasional, secara yuridis persoalan kejahatan lingkungan dikategorikan sebagai tindak pidana administrasi (administrative penal law) atau tindak pidana yang mengganggu kesejahteraan masyarakat (public welfare offences). Tindak pidana ini semakin kuat dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 (lihat juga UU No.23 Tahun 1997) tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jangka waktu pemberlakuan selama 15 tahun menunjukkan kepada bangsa Indonesia bahwa pengaturan tindak pidana lingkungan hidup yang secara idiil dimaksudkan untuk dapat melakukan rekayasa social (social engineering), masih memerlukan penyempurnaan ditinjau dari seluruh permasalahan pokok hukum pidana, yakni : perumusan tindak pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dan sanksi (sanction) baik yang merupakan pidana (punishment) maupun tindakan pidana tertib (treatment) (Muladi, 1997 : 191). Pada umumnya tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia atau orang pribadi. Oleh karena itu hukum pidana selama ini hanya mengenal orang seorang atau kelompok orang sebagai subyek hukum, yaitu sebagai pelaku dari suatu tindak pidana. Hal ini bisa dilihat dalam perumusan pasal-pasal KUHP yang dimulai dengan kata “barangsiapa” yang secara umum mengacu kepada orang atau manusia. Dengan melihat gejala pelanggaran hukum yang dapat dilakukan oleh suatu badan hukum yang merugikan masyarakat, maka kedudukan badan hukum mulai diperhatikan tidak saja menjadi subjek hukum perdata, tetapi juga menjadi subjek dalam hukum pidana, sehingga dapat dituntut dan dijatuhi hukuman atau sanksi pidana. B. Perlunya Sanksi Pidana Bagi Korporasi Jutaan yang lalu manusia hidup tanpa perlu khawatir akan terjadinya gangguan atau bahaya oleh pencemaran udara, pencemaran air atau pencemaran lingkungan, seperti yang 3 dipermasalahkan sekarang sebab manusia percaya dan yakin akan kemampuan sistem alam untuk menanggulanginya secara alamiah (life sustaining system). Bahkan pada tahap awal industrialisasipun pada saat gumpalan asap mulai mengotori udara, air limbah mengotori air (sungai dan laut) dan sampah-sampah dibuang ke atas tanah yang subur, orang masih percaya pada kemampuan udara untuk membersihkan sendiri, air (sungai maupun laut) dapat mengencerkan benda-benda asing itu secara alamiah tanpa perlu khawatir akan bahayanya. Demikian pula halnya dengan manusia yang hidup di planet bumi, mereka mempunyai daya penyesuaian diri atas perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan pada setiap waktu, tempat dan keadaan tertentu evolusi atas dasar terapan ilmu dan teknologi ciptaannya sendiri. Setelah berlangsungnya dekade pembangunan PBB I (1960-1970) manusia mulai sadar bahwa ia tidak pernah bisa menaklukkan alam. Ketergantungan pada alam atau lingkungan untuk memperoleh keseimbangan, keserasian dan keselarasan hidup dengan lingkungan ternyata dikuasai oleh hukum-hukum ekologi. Disamping itu masalah lingkungan dengan manifestasinya yang paling menonjol dewasa ini adalah mengenai masalah pencemaran udara dan air di negara-negara industri. Meskipun demikian, pada kenyataannya sebagian besar negara-negara berkembang, seperti di Indonesia tetap melaksanakan pembangunan dalam bidang industri guna meningkatkan kesejahteraan bangsa dengan mengacu kepada pembangunan industri yang dilaksanakan di negara-negara maju. Pada kenyataannya banyak perusahaan atau badan hukum yang bergerak di bidang industri tidak mengolah limbahnya sebagaimana seharusnya sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan. Walaupun telah banyak usaha-usaha yang dilakukan pemerintah, seperti Program Langit Biru, Program Kali Bersih (Prokasih) dan sebagainya, namun pencemaran masih berjalan terus. Dalam rangka menanggulangi masalah pencemaran ada beberapa hal yang dilakukan diantaranya : orang dapat mempercayai mekanisme pasar, campur tangan pemerintah dengan mengeluarkan peraturan-peraturan, bahkan pemerintah dapat menerapkan pajak subsidi untuk pengelolaan lingkungan, juga dapat diterapkan standar kualitas lingkungan, tarif-tarif limbah dan sebagainya. Agar pengontrolan atau pengawasan yang dilakukan jalur hukum dapat berlaku secara efektif, maka hukum dalam aktivitasnya ditegakkan dengan dukungan sanksi, baik sanksi administrasi, sanksi perdata, sanksi pidana, serta tindakan tata tertib. Keempat bentuk 4 sanksi ini diatur dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Secara umum untuk menanggulangi masalah pencemaran/perusakan lingkungan hidup harus ada kerjasama yang terpadu antara pihak eksekutif (melalui departemen yang terkait) dengan pihak yudikatif (pihak peradilan) untuk menegakkan UUPLH sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Disamping itu harus ada kerjasama antara dua lembaga tingi negara lainnya, yaitu Presiden dan DPR (dalam hal ini bertujuan untuk mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup Indonesia). Agar suatu undang-undang (UUPLH) dipatuhi oleh masyarakat sebagai individu maupun kelompok masyarakat, perusahaan dan sebagainya, maka dalam UUPLH ini ditetapkan adanya suatu sanksi, yaitu sanksi administrasi, sanksi perdata, sanksi pidana, serta adanya tindakan tata tertib. Keempat sanksi ini harus ditegakkan dan diterapkan oleh lembaga yang terkait baik lembaga eksekutif maupun lembaga yudikatif sesuai dengan kewenangan dari lembaga itu masingmasing. Bahwa selama ini sanksi pidana yang banyak dijatuhkan terhadap badan hukum yang mencemari atau merusak lingkungan hidup adalah sanksi pidana denda. Selama ini kecenderungan untuk menggunakan sanksi pidana adalah sebagai sanksi subsider atau sebagai “ultimum remedium” (obat terakhir) dalam arti lebih mendahulukan penerapan sanksi administrasi dan sanksi perdata. Apabila kedua sanksi ini tidak berhasil, barulah kemudian digunakan sanksi pidana. Akan tetapi kecenderungan penerapan sanksi ini di dalam masalah pencemaran lingkungan hidup menimbulkan beberapa kelemahan diantaranya : a. Pada umumnya proses perkara perdata relatif memerlukan waktu yang cukup lama, karena besar kemungkinan pihak pencemar akan mengulur-ulur waktu sidang atau waktu pelaksanaan eksekusi dengan cara mengajukan banding atau kasasi, sementara pencemaran terus juga berlangsung dengan segala macam akibatnya ; b. Jangka waktu pemulihan sulit dilakukan dengan segera dan juga memerlukan waktu yang cukup lama ; c. Dengan tidak menerapkan sanksi pidana, tidak menutup kemungkinan pencemar atau pencemar lain yang potensial untuk tidak melakukan pencemaran, dengan kata lain “deterre effect” (efek pencegahan) dari sanksi-sanksi lain tidak dapat diharapkan dengan baik ; 5 d. Penerapan sanksi administratif dapat mengakibatkan penutupan perusahaan industri yang membawa akibat pula kepada pekerja, pengangguran akan menjadi bertambah, dapat menimbulkan kejahatan dan kerawanan sosial ekonomi lainnya. Sanksi pidana adalah suatu alat atau sarana terbaik yang tersedia dan dimiliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan serta merta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya, sedangkan penerapan sanksi pidana dalam UUPLH pada kenyataanya jarang sekali diterapkan kepada industri yang mencemari lingkungan sebagaimana mestinya. Memang disadari bahwa pencemaran atau perusakan lingkungan ini tidak menimbulkan korban yang nampak seketika, seperti kejahatan tradisional/konvensional lainnya (pembunuhan, pencurian dsb). Akan tetapi pencemaran yang telah memakan waktu sekian lama dapat mengakibatkan bahaya dan korban terhadap kepentingan umum yang lebih besar baik terhadap manusia sebagai anggota masyarakat, korban yang dialami perusahaan ataupun negara, dalam hal ini Pemerintah Daerah yang mengalami pencemaran tersebut. Sehingga korban atau kerugian yang diderita meliputi kerugian materi dan kerugian non material, sedangkan penerapan sanksi pidana itu sendiri tidak dimaksudkan hanya dengan melihat besar kecilnya pencemaran atau perusakan lingkungan yang timbul, melainkan penerapan sanksi pidana dalam UUPLH bermanfaat agar perusahaan atau badan hukum mematuhi aturan yang ada dalam UUPLH dan mencegah terjadinya pencemaran/perusakan lingkungan hidup. Disamping adanya sanksi pidana, UUPLH ini juga memuat tindakan tata tertib kepada pelaku tindak pidana lingkungan hidup yang dapat merupakan hukuman tambahan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 47 UUPLH. Penerapan sanksi pidana dalam teori ilmu hukum pidana dikatakan sebagai “ultimum remedium” atau sebagai senjata terakhir. Hal ini berarti bahwa sanksi pidana baru diterapkan apabila sanksi administrasi dan / atau sanksi perdata tidak berhasil untuk menanggulangi masalah atau mencegah suatu perbuatan anti sosial dalam masyarakat. Kebijakan penegakan hukum tersebut pada umumnya dapat diterapkan di negara-negara maju dan ini dapat dipahami mengingat tingginya kesadaran hukum dari masyarakat maupun pihak pengusahanya. Sementara di negara-negara berkembang, seperti halnya di Indonesia, merupakan hal yang sering kita jumpai di mana masyarakat di dalam upaya memenuhi kebutuhan sehari-hari sering mengabaikan kelestarian lingkungan alam sekitarnya. Demikian pula dengan para pengusaha atau badan hukum yang bergerak di bidang industri, sehingga limbah industri mereka buang ke dalam sungai. 6 Dalam merumuskan tindak pidana lingkungan ini, seperti dikemukakan Muladi hendaknya selalu diingat bahwa kerugian dan kerusakan lingkungan hidup tidak hanya yang bersifat nyata (actual harm), tetapi juga yang bersifat ancaman kerusakan potensial baik terhadap lingkungan hidup maupun kesehatan umum. Hal ini disebabkan karena kerusakan maupun kesehatan umum tersebut seringkali tidak seketika timbul dan tidak dengan mudah pula untuk dikualifikasi. Sehubungan dengan ini generic crime yang relatif berat sebaiknya memang dirumuskan sebagai tindak pidana materiil, dalam hal mana akibat merupakan unsur hakiki yang harus dibuktikan. Namun untuk tindak pidana yang bersifat khusus (specific crimes) yang melekat pada hukum administrasi dan relatif lebih ringan, maka perumusan yang bersifat formil tanpa menunggu pembuktian akibat yang terjadi dapat dilakukan. Di Amerika Serikat sanksi pidana dipergunakan pada urutan terakhir sekali, yaitu sebagai “ultimum remedium”. Kebijakan penegakan hukum seperti ini bisa dipahami mengingat tingginya kesadaran hukum dari masyarakat maupun pihak pengusaha di negara maju tersebut. Mereka yang berpendapat bahwa sanksi pidana penjara dapat dijatuhkan terhadap badan hukum disebabkan karena perkembangan dalam ilmu hukum pidana bahwa tidak hanya orang seorang atau kelompok orang (seperti dalam Pasal 55 KUHPidana) saja yang dapat dijatuhi sanksi pidana, tetapi berkembang menjadi badan hukum atau korporasi juga dapat dijatuhi sanksi pidana penjara melalui pengurus, direktur atau karyawan dari badan hukum itu (fysiek daderschap). Namun dalam prakteknya penegakan hukumnya tidak semudah membalikan telapak tangan, ada beberapa hambatan, seperti kesulitan dalam pembuktiannya, mengingat dalam menyelesaikan kasus-kasus pencemaran melibatkan banyak dimensi, seperti keprofesionalan aparatnya (melibatkan para ahli lingkungan) yang dimulai dari awal penyelidikan hingga akhir perkaranya, dan biaya serta waktu yang tidak sedikit. Berdasarkan ketentuan Pasal 45-46 UUPLH, maka badan hukum termasuk dalam subjek hukum yang dapat dijatuhi pidana, apabila melakukan suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal tersebut. Oleh karenanya, diharapkan para pengusaha, pengurus, serta karyawannya berhati-hati dalam menjalankan perusahaannya, jangan sampai mengakibatkan pencemaran dan / atau perusakan lingkungan hidup, karena dapat dipidana, selain harus membayar denda dan / atau pun tindakan lainnya sebagai bentuk pertanggungjawabannya. 7 Apabila melihat sejarah perkembangan dimasukannya badan hukum sebagai subjek hukum dalam hukum pidana di luar KUHP yang dimulai sejak tahun 1951(vide UU No.17 Tahun 1951 jo Perpu No.8 Tahun 1962; UU No.7/Drt/1955; UU No.11/PNPS/1963), maka aspek yang mempengaruhi perkembangan dijadikannya badan hukum sebagai subjek hukum pidana adalah disebabkan perkembangan di bidang perekonomian. Perkembangan ini dimulai sejak dasa warsa 1950-an dengan adanya proses internasionalisasi yang menembus batasbatas wilayah negara dan semakin banyaknya kegiatan kerjasama ekonomi, bantuan ekonomi internasional, serta penanaman modal asing. Disamping itu juga merupakan tuntutan dari pembangunan di bidang hukum itu sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya terutama dalam bidang ekonomi dan lingkungan hidup, badan hukum dapat terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian bagi kepentingan orang banyak atau negara. Dari hasil-hasil penelitian tentang kejahatan korporasi atau badan hukum, menunjukkan bahwa pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dapat digolongkan ke dalam enam jenis : yaitu pelanggaran hukum administrasi, pencemaran lingkungan, finansial, perburuhan, manufakturing dan persaingan dagang yang tidak fair. Tindak pidana di bidang lingkungan saat ini harus lebih diefektifkan sanksinya, dengan tujuan : Pertama : Untuk mendidik masyarakat sehubungan dengan kesalahan moral yang berkaitan dengan perilaku yang dilarang; Kedua : Mencegah atau menghalangi pelaku potensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian tindak pidana lingkungan sepenuhnya tergantung pada hukum lain. Kondisi ini dianggap wajar, namun mengingat pentingnya lingkungan hidup yang baik dan sehat dan kedudukannya sebagai tindak pidana ekonomi serta kompleksitas kepentingan yang dilindungi baik yang bersifat antroposentris maupun ekosentris, maka ketentuan khusus (specific crime) perlu dilengkapi dengan pengaturan yang bersifat umum dan mandiri terlepas dari hukum lain. C. PENUTUP Pelanggaran hukum tidak hanya dilakukan oleh orang perorang/manusia tetapi juga dapat dilakukan oleh suatu badan hukum yang merugikan masyarakat, oleh karena itu 8 kedudukan badan hukum mulai diperhatikan tidak saja menjadi subjek hukum perdata tetapi juga menjadi subjek dalam hukum pidana. Tindak pidana di bidang lingkungan saat ini harus lebih diefektifkan sanksinya, dengan tujuan : untuk mendidik masyarakat sehubungan dengan kesalahan moral yang berkaitan dengan perilaku yang dilarang dan mencegah atau menghalangi pelaku potensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup. DAFTAR RUJUKAN Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung. Barda Nawawi Arief, 2000, Pencegahan Dan Penanggulangan Kejahatan, Makalah pada Diklat Aparatur Penegak Hukum, Pusdiklat Depkumdang Cinere, Jakarta, 28 Januari 2000. Barlin, Hukum Lingkungan, 1998, Makalah pada Diklat Cakim, Pusdiklat Pegawai Depkeh, Jakarta, 18 Desember 1998. Chidir Ali, 1992, Badan Hukum, Alumni, Bandung. Daud Silalahi, 1992, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung. Fuad Amsyari, 1997, Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, Ghalia Indonesia, Jakarta. Koesnadi Hardjasoemantri, 1999, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Muladi, 1997, Hak Asasi Manusia, Politik Dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. M. Hamdan, 2000, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Mandar Maju, Bandung. Paulus E. Lotulung, 1993, Penegakan Hukum Lingkungan Oleh Hakim Perdata, Citra Aditya, Bandung. Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Fakultas Hukum Undip, Semarang 9