penerapan sanksi pidana dalam kasus pencemaran lingkungan hidup

advertisement
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam
Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH)
Oleh : Indriati Amarini
Abstrak
Korporasi dijadikan sebagai subjek hukum pidana merupakan kebijakan legislatif
dalam produk perundang-undangan dewasa ini. Hal ini sejalan dengan perkembangan
dunia internasional dan pendapat para sarjana yang secara teoritis mengatakan bahwa
korporasi dapat diterima sebagai subjek hukum pidana (bukan lagi suatu fiksi).
Seiring dengan adanya fenomena kebijakan legislatif yang mencantumkan
korporasi sebagai subjek hukum pidana seyogyanya diatur pula ketentuan secara rinci
yang berkaitan dengan permasalahan sistem pemidanaan (pertanggungjawaban pidana
korporasi). Disamping itu sehubungan dengan ide bahwa Undang-undang Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) mrupakan undang-undang payung (umbrella
act) maka seyogyanya pula hal tersebut diatur dalam perundang-undangan lingkungan
hidup sektoral.
A. PENDAHULUAN
Saat ini hukum lingkungan telah berkembang dengan pesat, bukan saja dalam
hubungannya dengan fungsi hukum sebagai perlindungan, pengendalian dan kepastian
hukum bagi masyarakat (social control) dengan peran agent of stability, tetapi lebih
menonjol lagi sebagai sarana pembangunan (a tool of social engineering) dengan peran
sebagai agent of development atau agent of change. Sebagai disiplin ilmu hukum yang
sedang berkembang, sebagian besar materi hukum lingkungan merupakan bagian dari
hukum administrasi (administratief recht). Dari substansi hukum menimbulkan pembidangan
dalam hukum lingkungan administrasi, hukum lingkungan keperdataan dan hukum
lingkungan kepidanaan.
Persoalan lingkungan menjadi semakin kompleks, tidak hanya bersifat praktis,
konseptual, ekonomi saja, tetapi juga merupakan masalah etika baik sosial maupun bisnis.
Hukum pidana tidak hanya melindungi alam, flora dan fauna (the ecological approach),
tetapi juga masa depan kemanusiaan yang kemungkinan menderita akibat degradasi
lingkungan hidup (the antropocentris approach). Dengan demikian muncul istilah “the
environmental laws carry penal sanction that protect a multimedia of interest”.
Perkembangan undang-undang tentang lingkungan hidup khususnya di Indonesia,
tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada
lingkungan hidup, mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah
yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia ini. Perhatian terhadap
masalah lingkungan hidup ini dimulai di kalangan Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada
1
waktu diadakan peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan “Dasawarsa Pembangunan Dunia
ke-1 (1960-1970) guna merumuskan strategi “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-2 (19701980)” (Koesnadi Hardjasoemantri, 1999:6)
Konferensi Internasional tentang lingkungan hidup pada bulan Juni 1972 tersebut
telah menghasilkan “Deklarasi Stockhlom” yang berisi 26 asas berikut 109 rekomendasi
pengimplementasiannya dan sebagai tindak lanjut dari konferensi tersebut 10 tahun
kemudian, pada tanggal 11 Maret 1982 lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) yang telah menandai
awal
pembangunan
perangkat
hukum
sebagai
dasar
bagi
upaya
pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.
Permasalahan hukum lingkungan hidup yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat memerlukan pengaturan dalam bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum.
Di sisi lain, perkembangan lingkungan global serta aspirasi internasional akan mempengaruhi
usaha pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Dalam mencermati perkembangan
tersebut, maka perlu suatu upaya untuk menyempurnakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1982 tersebut, sehingga lahirlah UUPLH yang baru, yaitu UU Nomor 23 Tahun 1997 agar
tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dapat tercapai.
Materi bidang lingkungan sangat luas mencakup segi-segi ruang angkasa, puncak
gunung, sampai ke perut bumi dan dasar laut dan meliputi sumber daya manusia, sumber
daya alam hayati, sumber daya alam non hayati dan sumber daya buatan. Materi seperti ini
tidak mungkin diatur secara lengkap dalam satu undang-undang, tetapi memerlukan
seperangkat peraturan perundang-undangan dengan arah yang serupa. Oleh karena itu sifat
UUPLH mengatur ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup yang memuat
asas-asas dan prinsip pokok, sehingga berfungsi sebagai “social” (umbrella act) bagi
penyusun peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup
dan bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada.
Sebagaimana diketahui bahwa agar suatu norma atau suatu peraturan perundangundangan itu dapat dipatuhi oleh setiap warga masyarakat, maka di dalam norma atau
peraturan perundang-undangan biasanya diadakan sanksi atau penguat. Sanksi tersebut bisa
bersifat sosial bagi mereka yang melakukan pelanggaran, akan tetapi juga bersifat positif
bagi mereka yang mematuhi atau mentaatinya.
2
Sedangkan digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan nampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktek
perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana
merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum pidana yang dianut di Indonesia.
Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan normal, seolah-olah
eksistensinya tidak dipersoalkan.
Sebagai
masalah
nasional,
secara
yuridis
persoalan
kejahatan
lingkungan
dikategorikan sebagai tindak pidana administrasi (administrative penal law) atau tindak
pidana yang mengganggu kesejahteraan masyarakat (public welfare offences). Tindak
pidana ini semakin kuat dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982
(lihat juga UU No.23 Tahun 1997) tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Jangka waktu pemberlakuan selama 15 tahun menunjukkan kepada
bangsa Indonesia bahwa pengaturan tindak pidana lingkungan hidup yang secara idiil
dimaksudkan
untuk
dapat
melakukan
rekayasa
social
(social
engineering), masih
memerlukan penyempurnaan ditinjau dari seluruh permasalahan pokok hukum pidana, yakni
:
perumusan
tindak
pidana
(criminal
act),
pertanggungjawaban
pidana
(criminal
responsibility) dan sanksi (sanction) baik yang merupakan pidana (punishment) maupun
tindakan pidana tertib (treatment) (Muladi, 1997 : 191).
Pada umumnya tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia atau orang
pribadi. Oleh karena itu hukum pidana selama ini hanya mengenal orang seorang atau
kelompok orang sebagai subyek hukum, yaitu sebagai pelaku dari suatu tindak pidana. Hal
ini bisa dilihat dalam perumusan pasal-pasal KUHP yang dimulai dengan kata “barangsiapa”
yang secara umum mengacu kepada orang atau manusia.
Dengan melihat gejala pelanggaran hukum yang dapat dilakukan oleh suatu badan
hukum yang merugikan masyarakat, maka kedudukan badan hukum mulai diperhatikan tidak
saja menjadi subjek hukum perdata, tetapi juga menjadi subjek dalam hukum pidana,
sehingga dapat dituntut dan dijatuhi hukuman atau sanksi pidana.
B. Perlunya Sanksi Pidana Bagi Korporasi
Jutaan yang lalu manusia hidup tanpa perlu khawatir akan terjadinya gangguan atau
bahaya oleh pencemaran udara, pencemaran air atau pencemaran lingkungan, seperti yang
3
dipermasalahkan sekarang sebab manusia percaya dan yakin akan kemampuan sistem alam
untuk menanggulanginya secara alamiah (life sustaining system).
Bahkan pada tahap awal industrialisasipun pada saat gumpalan asap mulai
mengotori udara, air limbah mengotori air (sungai dan laut) dan sampah-sampah dibuang ke
atas tanah yang subur, orang masih percaya pada kemampuan udara untuk membersihkan
sendiri, air (sungai maupun laut) dapat mengencerkan benda-benda asing itu secara alamiah
tanpa perlu khawatir akan bahayanya. Demikian pula halnya dengan manusia yang hidup di
planet bumi, mereka mempunyai daya penyesuaian diri atas perubahan-perubahan yang
terjadi pada lingkungan pada setiap waktu, tempat dan keadaan tertentu evolusi atas dasar
terapan ilmu dan teknologi ciptaannya sendiri.
Setelah berlangsungnya dekade pembangunan PBB I (1960-1970) manusia mulai
sadar bahwa ia tidak pernah bisa menaklukkan alam. Ketergantungan pada alam atau
lingkungan untuk memperoleh keseimbangan, keserasian dan keselarasan hidup dengan
lingkungan ternyata dikuasai oleh hukum-hukum ekologi. Disamping itu masalah lingkungan
dengan manifestasinya yang paling menonjol dewasa ini adalah mengenai masalah
pencemaran udara dan air di negara-negara industri. Meskipun demikian, pada kenyataannya
sebagian besar negara-negara berkembang, seperti di Indonesia tetap melaksanakan
pembangunan dalam bidang industri guna meningkatkan kesejahteraan bangsa dengan
mengacu kepada pembangunan industri yang dilaksanakan di negara-negara maju.
Pada kenyataannya banyak perusahaan atau badan hukum yang bergerak di bidang
industri tidak mengolah limbahnya sebagaimana seharusnya sehingga menyebabkan
pencemaran lingkungan. Walaupun telah banyak usaha-usaha yang dilakukan pemerintah,
seperti Program Langit Biru, Program Kali Bersih (Prokasih) dan sebagainya, namun
pencemaran masih berjalan terus.
Dalam rangka menanggulangi masalah pencemaran ada beberapa hal yang dilakukan
diantaranya : orang dapat mempercayai mekanisme pasar, campur tangan pemerintah
dengan mengeluarkan peraturan-peraturan, bahkan pemerintah dapat menerapkan pajak
subsidi untuk pengelolaan lingkungan, juga dapat diterapkan standar kualitas lingkungan,
tarif-tarif limbah dan sebagainya.
Agar pengontrolan atau pengawasan yang dilakukan jalur hukum dapat berlaku
secara efektif, maka hukum dalam aktivitasnya ditegakkan dengan dukungan sanksi, baik
sanksi administrasi, sanksi perdata, sanksi pidana, serta tindakan tata tertib. Keempat bentuk
4
sanksi ini diatur dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Secara umum untuk menanggulangi masalah pencemaran/perusakan lingkungan
hidup harus ada kerjasama yang terpadu antara pihak eksekutif (melalui departemen yang
terkait) dengan pihak yudikatif (pihak peradilan) untuk menegakkan UUPLH sesuai dengan
fungsi dan kewenangan masing-masing. Disamping itu harus ada kerjasama antara dua
lembaga tingi negara lainnya, yaitu Presiden dan DPR (dalam hal ini bertujuan untuk
mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup Indonesia). Agar suatu undang-undang
(UUPLH) dipatuhi oleh masyarakat sebagai individu maupun kelompok masyarakat,
perusahaan dan sebagainya, maka dalam UUPLH ini ditetapkan adanya suatu sanksi, yaitu
sanksi administrasi, sanksi perdata, sanksi pidana, serta adanya tindakan tata tertib.
Keempat sanksi ini harus ditegakkan dan diterapkan oleh lembaga yang terkait baik lembaga
eksekutif maupun lembaga yudikatif sesuai dengan kewenangan dari lembaga itu masingmasing.
Bahwa selama ini sanksi pidana yang banyak dijatuhkan terhadap badan hukum
yang mencemari atau merusak lingkungan hidup adalah sanksi pidana denda. Selama ini
kecenderungan untuk menggunakan sanksi pidana adalah sebagai sanksi subsider atau
sebagai “ultimum remedium” (obat terakhir) dalam arti lebih mendahulukan penerapan
sanksi administrasi dan sanksi perdata. Apabila kedua sanksi ini tidak berhasil, barulah
kemudian digunakan sanksi pidana. Akan tetapi kecenderungan penerapan sanksi ini di
dalam
masalah
pencemaran
lingkungan
hidup
menimbulkan
beberapa
kelemahan
diantaranya :
a. Pada umumnya proses perkara perdata relatif memerlukan waktu yang cukup lama,
karena besar kemungkinan pihak pencemar akan mengulur-ulur waktu sidang atau waktu
pelaksanaan eksekusi dengan cara mengajukan banding atau kasasi, sementara
pencemaran terus juga berlangsung dengan segala macam akibatnya ;
b. Jangka waktu pemulihan sulit dilakukan dengan segera dan juga memerlukan waktu yang
cukup lama ;
c. Dengan tidak menerapkan sanksi pidana, tidak menutup kemungkinan pencemar atau
pencemar lain yang potensial untuk tidak melakukan pencemaran, dengan kata lain
“deterre effect” (efek pencegahan) dari sanksi-sanksi lain tidak dapat diharapkan dengan
baik ;
5
d. Penerapan sanksi administratif dapat mengakibatkan penutupan perusahaan industri yang
membawa akibat pula kepada pekerja, pengangguran akan menjadi bertambah, dapat
menimbulkan kejahatan dan kerawanan sosial ekonomi lainnya.
Sanksi pidana adalah suatu alat atau sarana terbaik yang tersedia dan dimiliki
untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan serta merta untuk
menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya, sedangkan penerapan sanksi pidana dalam
UUPLH pada kenyataanya jarang sekali
diterapkan kepada industri yang
mencemari
lingkungan sebagaimana mestinya. Memang disadari bahwa pencemaran atau perusakan
lingkungan ini tidak menimbulkan korban yang nampak seketika, seperti kejahatan
tradisional/konvensional lainnya (pembunuhan, pencurian dsb). Akan tetapi pencemaran
yang telah memakan waktu sekian lama dapat mengakibatkan bahaya dan korban terhadap
kepentingan umum yang lebih besar baik terhadap manusia sebagai anggota masyarakat,
korban yang dialami perusahaan ataupun negara, dalam hal ini Pemerintah Daerah yang
mengalami
pencemaran tersebut. Sehingga korban atau kerugian yang diderita
meliputi kerugian materi dan kerugian non material, sedangkan penerapan sanksi pidana itu
sendiri tidak dimaksudkan hanya dengan melihat besar kecilnya pencemaran atau
perusakan lingkungan yang timbul, melainkan penerapan sanksi pidana dalam UUPLH
bermanfaat agar perusahaan atau badan hukum mematuhi aturan yang ada dalam UUPLH
dan mencegah terjadinya pencemaran/perusakan lingkungan hidup.
Disamping adanya sanksi pidana, UUPLH ini juga memuat tindakan tata tertib
kepada pelaku tindak pidana lingkungan hidup yang dapat merupakan hukuman tambahan
sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 47 UUPLH. Penerapan sanksi pidana dalam teori
ilmu hukum pidana dikatakan sebagai “ultimum remedium” atau sebagai senjata terakhir. Hal
ini berarti bahwa sanksi pidana baru diterapkan apabila sanksi administrasi dan / atau sanksi
perdata tidak berhasil untuk menanggulangi masalah atau mencegah suatu perbuatan anti
sosial dalam masyarakat. Kebijakan penegakan hukum tersebut pada umumnya dapat
diterapkan di negara-negara maju dan ini dapat dipahami mengingat tingginya kesadaran
hukum dari masyarakat maupun pihak pengusahanya. Sementara di negara-negara
berkembang, seperti halnya di Indonesia, merupakan hal yang sering kita jumpai di mana
masyarakat di dalam upaya memenuhi kebutuhan sehari-hari sering mengabaikan kelestarian
lingkungan alam sekitarnya. Demikian pula dengan para pengusaha atau badan hukum yang
bergerak di bidang industri, sehingga limbah industri mereka buang ke dalam sungai.
6
Dalam merumuskan tindak pidana lingkungan ini, seperti dikemukakan Muladi
hendaknya selalu diingat bahwa kerugian dan kerusakan lingkungan hidup tidak hanya yang
bersifat nyata (actual harm), tetapi juga yang bersifat ancaman kerusakan potensial baik
terhadap lingkungan hidup maupun kesehatan umum. Hal ini disebabkan karena kerusakan
maupun kesehatan umum tersebut seringkali tidak seketika timbul dan tidak dengan mudah
pula untuk dikualifikasi. Sehubungan dengan ini generic crime yang relatif berat sebaiknya
memang dirumuskan sebagai tindak pidana materiil, dalam hal mana akibat merupakan
unsur hakiki yang harus dibuktikan. Namun untuk tindak pidana yang bersifat khusus
(specific crimes) yang melekat pada hukum administrasi dan relatif lebih ringan, maka
perumusan yang bersifat formil tanpa menunggu pembuktian akibat yang terjadi dapat
dilakukan.
Di Amerika Serikat sanksi pidana dipergunakan pada urutan terakhir sekali, yaitu
sebagai “ultimum remedium”. Kebijakan penegakan hukum seperti ini bisa dipahami
mengingat tingginya kesadaran hukum dari masyarakat maupun pihak pengusaha di negara
maju tersebut. Mereka yang berpendapat bahwa sanksi pidana penjara dapat dijatuhkan
terhadap badan hukum disebabkan karena perkembangan dalam ilmu hukum pidana bahwa
tidak hanya orang seorang atau kelompok orang (seperti dalam Pasal 55 KUHPidana) saja
yang dapat dijatuhi sanksi pidana, tetapi berkembang menjadi badan hukum atau korporasi
juga dapat dijatuhi sanksi pidana penjara melalui pengurus, direktur atau karyawan dari
badan hukum itu (fysiek daderschap). Namun dalam prakteknya penegakan hukumnya tidak
semudah membalikan telapak tangan, ada beberapa hambatan, seperti kesulitan dalam
pembuktiannya, mengingat dalam menyelesaikan kasus-kasus pencemaran melibatkan
banyak dimensi, seperti keprofesionalan aparatnya (melibatkan para ahli lingkungan) yang
dimulai dari awal penyelidikan hingga akhir perkaranya, dan biaya serta waktu yang tidak
sedikit.
Berdasarkan ketentuan Pasal 45-46 UUPLH, maka badan hukum termasuk dalam
subjek hukum yang dapat dijatuhi pidana, apabila melakukan suatu tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal tersebut. Oleh karenanya, diharapkan para
pengusaha, pengurus, serta karyawannya berhati-hati dalam menjalankan perusahaannya,
jangan sampai mengakibatkan pencemaran dan / atau perusakan lingkungan hidup, karena
dapat dipidana, selain harus membayar denda dan / atau pun tindakan lainnya sebagai
bentuk pertanggungjawabannya.
7
Apabila melihat sejarah perkembangan dimasukannya badan hukum sebagai subjek
hukum dalam hukum pidana di luar KUHP yang dimulai sejak tahun 1951(vide UU No.17
Tahun 1951 jo Perpu No.8 Tahun 1962; UU No.7/Drt/1955; UU No.11/PNPS/1963), maka
aspek yang mempengaruhi perkembangan dijadikannya badan hukum sebagai subjek hukum
pidana adalah disebabkan perkembangan di bidang perekonomian. Perkembangan ini dimulai
sejak dasa warsa 1950-an dengan adanya proses internasionalisasi yang menembus batasbatas wilayah negara dan semakin banyaknya kegiatan kerjasama ekonomi, bantuan
ekonomi internasional, serta penanaman modal asing. Disamping itu juga merupakan
tuntutan dari pembangunan di bidang hukum itu sendiri.
Dalam perkembangan selanjutnya terutama dalam bidang ekonomi dan lingkungan
hidup, badan hukum dapat terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
perbuatan-perbuatan
yang
melanggar
hukum
yang
mengakibatkan
kerugian
bagi
kepentingan orang banyak atau negara. Dari hasil-hasil penelitian tentang kejahatan
korporasi atau badan hukum, menunjukkan bahwa pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
korporasi dapat digolongkan ke dalam enam jenis : yaitu pelanggaran hukum administrasi,
pencemaran lingkungan, finansial, perburuhan, manufakturing dan persaingan dagang yang
tidak fair.
Tindak pidana di bidang lingkungan saat ini harus lebih diefektifkan sanksinya,
dengan tujuan : Pertama : Untuk mendidik masyarakat sehubungan dengan kesalahan moral
yang berkaitan dengan perilaku yang dilarang; Kedua : Mencegah atau menghalangi pelaku
potensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan
hidup. Dengan demikian tindak pidana lingkungan sepenuhnya tergantung pada hukum lain.
Kondisi ini dianggap wajar, namun mengingat pentingnya lingkungan hidup yang baik dan
sehat dan kedudukannya sebagai tindak pidana ekonomi serta kompleksitas kepentingan
yang dilindungi baik yang bersifat antroposentris maupun ekosentris, maka ketentuan khusus
(specific crime) perlu dilengkapi dengan pengaturan yang bersifat umum dan mandiri
terlepas dari hukum lain.
C. PENUTUP
Pelanggaran hukum tidak hanya dilakukan oleh orang perorang/manusia tetapi juga
dapat dilakukan oleh suatu badan hukum yang merugikan masyarakat, oleh karena itu
8
kedudukan badan hukum mulai diperhatikan tidak saja menjadi subjek hukum perdata
tetapi juga menjadi subjek dalam hukum pidana.
Tindak pidana di bidang lingkungan saat ini harus lebih diefektifkan sanksinya, dengan
tujuan : untuk mendidik masyarakat sehubungan dengan kesalahan moral yang berkaitan
dengan perilaku yang dilarang dan mencegah atau menghalangi pelaku potensial agar tidak
melakukan perilaku yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup.
DAFTAR RUJUKAN
Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana,
Citra Aditya, Bandung.
Barda Nawawi Arief, 2000, Pencegahan Dan Penanggulangan Kejahatan, Makalah pada
Diklat Aparatur Penegak Hukum, Pusdiklat Depkumdang Cinere, Jakarta, 28 Januari
2000.
Barlin, Hukum Lingkungan, 1998, Makalah pada Diklat Cakim, Pusdiklat Pegawai Depkeh,
Jakarta, 18 Desember 1998.
Chidir Ali, 1992, Badan Hukum, Alumni, Bandung.
Daud Silalahi, 1992, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia, Alumni, Bandung.
Fuad Amsyari, 1997, Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Koesnadi Hardjasoemantri, 1999, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Muladi, 1997, Hak Asasi Manusia, Politik Dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.
M. Hamdan, 2000, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Mandar Maju, Bandung.
Paulus E. Lotulung, 1993, Penegakan Hukum Lingkungan Oleh Hakim Perdata, Citra Aditya,
Bandung.
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Fakultas Hukum Undip, Semarang
9
Download