PILKADA KABUPATEN BONE DALAM KONTEKS SISTEM KEKERABATAN DAN PELAPISAN SOSIAL SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Oleh: LIA AMELIA E511 08 268 JURUSAN ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012 ABSTRAK Lia Amelia (E55108268). Pilkada Kabupaten Bone Dalam Konteks Sistem Kekerabatan dan Pelapisan Sosial. Dibawah bimbingan Prof. Dr. H. Pawennari Hijjang, MA dan Dr. Tasrifin Tahara, M.Si . Skripsi ini mengenai sistem kekerabatan dan pelapisan sosial (stratifikasi sosial) mempengaruhi politik di Kabupaten Bone. Keturunan Arung (bangsawan) masih banyak memiliki peranan penting dalam struktur pemerintahan di Bone, hal ini salah satunya didukung oleh masyarakat Bone yang masih percaya jika dipimpin oleh kepala daerah yang bergelar Arung. Selain itu struktur pemerintahan juga dikuasai oleh kerabat dari Pemimpin daerah hal ini dikarenakan oleh sistem pemerintahan otonomi daerah membuat kekuasan dipegang penuh oleh Bupati. Penelitian yang dilakukan sejak Februari hingga April 2012 ini bersifat deskriptif yakni bagaimana peneliti menguraikan(memberi gambaran) terhadap peristiwa yang ada. Penelitian ini melingkupi dokumen untuk mendapatkan berbagai informasi terkait dengan kerangka penelitian. Teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam (indepth interview), pengamatan (observasi) dan analisis dokumen. Para informan adalah tokoh masyarakat dan tokoh agama, masyarakat Bone dan orang-orang yang memiliki pengalaman dibidang Politik/Pemerintahan seperti Anggota DPRD, Pegawai Negeri Sipil, Tim sukses partai politik dan Pejabat Daerah Bone. Hasil penelitian melukiskan tentang sistem kekerabatan dan pelapisan sosial bangsawan mempengaruhi kontestasi politik di Kabupaten Bone dan Pilkada merupakan sebagai arena mewujudkan bentuk kekuasaan para Arung, dengan dukungan sebagian masyarakat Bone yang percaya dengan kepemimpinan seorang Arung. Kata Kunci: Stratifikasi Sosial, Kekerabatan, Politik BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG “poloko, polo panni’ ko elo’ atasan…..! “Iaro arungnge mapparenta, elonna kuae, adanna tongeng Makkeda tendri bali, mette’tendri sumpala…..!1 Pertengahan abad ke-14, sejarah daerah Sulawesi Selatan mulai menampakkan kejelasan dengan menempatkan manusia sebagai pemegang peran dan pelaku dalam sejarahnya2, seperti Kerajaan Bone yang pada awalnya terdiri atas beberapa kelompok-kelompok anang (kaum) yang diikat oleh rasa seketurunan dari seorang nenek moyang tertua dalam sistem kepemimpinan patrimonial3. Menurut Mattulada, pada saat itu mereka menjalankan pemerintahannya dengan hidup terpisah dan telah dijelaskan pula dalam lontara4, yang dimana mereka menjalankan roda pemerintahan secara otonom. Kekuasaan pusat pada Kerajaan Bone secara historis dan budaya tergantung pada mitos raja To Manurung sebagai legitimasi atas kekuasaannya. Raja dan pengganti-penggantinya semuanya mengacu pada mitos tersebut. Meskipun diakui bahwa alam demokrasi telah hidup pada masa lalu dikerajan ini, 1 Kutipan dari tokoh agama yang diwawancarai oleh penulis yang artinya: apa kehendak pemimpin, itulah yang di ikuti,itulah seorang bangsawan yang memerintah,setiap keinginan dan perkataannya selalu dianggap benar, berbicara tanpa bantahan, berkata tanpa perintah. 2 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan” Sejarah Bone”,hal 14 M.T.H. Perelaer, hal.14.lihat juga Mattulada, hal.408. dalam “Kerajaan Bone dalam sejarah politik Sulawesi selatan abad XIX”,hal19 4 Ali, muhammad “Lotara Kerajaan Bone”hal 19. dalam Kerajaan Bone dalam sejarah politik Sulawesi selatan abad XIX”,hal 19 3 namun patut dicatat bahwa seluruh raja yang berkuasa dikerajaan ini memiliki hubungan darah dengan raja pertama5. Secara politik, Kerajaan Bone terdiri atas kumpulan ratusan desa yang sekitar 2/3 bergabung dalam wanua (kampung). Hubungan integrasi dalam wanua (kampung) ini bisa bersifat sangat lepas, nominal belaka, sampai ikatan kuat dibawah kekuasaan raja atau adat. Dengan pengecualian pada wanua yang lemah, semua ini memiliki ikatan sosial dari kelompok keluarga, desa, wanua (kampung) dan kerajaan, sebagai inti dan pinggiran. Pada tahun 1863, J.A Bakkers telah membuat uraian mengenai peta politik Kerajaan Bone. Menurutnya, ada perbedaan yang jelas antara inti dan pinggiran dalam struktur politik di kerajaan ini. Inti Kerajaan Bone terletak di dan sekitar Istana Watampone, sebuah tempat rendah dimana kaum bangsawan utama tinggal. Pada daerah inilah tujuh desa asli yang kemudian membentuk tujuh kursi dewan adat kerajaan ditempatkan. Ketujuh itu adalah Macege, Ta’, Tanete ri Attang, Tanete ri Awang, Ujung, Ponceng, dan Tibojong. Semua desa dan wanua lainnya dianggap pinggiran. Dalam istilah Bone semua itu disebut Palili atau Vasal 6. Seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan sistem pemerintahan yang tadinya sudah menjadi penerimaan umum di Kerajaan Bone bahwa raja pertama di kerajaan ini adalah To Manurung atau yang turun dari langit serta raja penggantinya dipercaya sebagai keturunan langsung dari raja pertama yang bergelar Arung Pone (raja dipusat Bone) atau Petta MangkauE (raja yang berkuasa dan duduk di atas tahta kerajan), dan proses pengangkatan raja diangkat 5 Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kab.Bone, “Sejarah Bone”,hal 235 6 .Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kab.Bone “Sejarah Bone”,hal 235-236 atas dasar musyawarah dan mufakat oleh Dewan hadat sesuai dengan aristokrasi atau demokrasi. Namun setelah Pemerintah Hindia Belanda menguasai kerajaan ini, raja diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda sesuai perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 18607. Krisis multidimensi yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997 menyebabkan jatuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto yang telah berkuasa selama kurun waktu 32 tahun. Perihal ini kemudian memberikan kondisi perubahan di Indonesia yang sering disebut masa reformasi oleh kelompokkelompok pembaharu yang terdiri atas kelompok cendekiawan kampus dan kelompok mahasiswa, dampak reformasi ini juga membawa agenda perubahan dalam sistem politik dan pembagian kekuasan di Indonesia. Beberapa daerah yang awalnya berada dibawah pengaturan pusat (sentralistik) kini menuntut adanya pemetaan pembangunan yang secara radikal didukung oleh gerakan-gerakan kelompok-kelompok tertentu disetiap daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Meskipun aksi-aksi ini hanya bersifat aksidental dari efosia reformasi pada awalnya, namun justru menjadi isu yang sangat sensitif dan mendesak untuk segera diselesaikan. Maka pada tahun 1999 ditetapkan Undang-undang No.22 mengenai pemerintahan daerah yang berisi tentang peraturan pendistribusian kewenangan pusat ke daerah pada tingkat kabupaten atau kota8. 7 8 Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kab.Bone “Sejarah Bone”,hal 236 Yusuf, Muhammad “Reproduksi Status Tradisional Dalam Praktik Politik di Kabupaten Wajo” hal 3-4 Disetiap daerah terdapat masyarakat yang hidup mendiami wilayah tersebut dan mempunyai rasa kesatuan yang sama. Mereka berinteraksi sebagai proses sosial dan saling taat terhadap sistem sosial yang mereka anut. Indonesia menjalankan pemerintahan republik presidensial multipartai yang demokratis. Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di Indonesia didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh sebuah lembaga bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), lembaga eksekutif berpusat pada presiden, wakil presiden, dan kabinet. Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidensial sehingga para menteri bertanggung jawab kepada Presiden dan tidak mewakili partai politik yang ada di parlemen, lembaga Yudikatif sejak masa reformasi dan adanya amandemen UUD 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi, termasuk pengaturan administrasi para hakim. Meskipun demikian keberadaan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tetap dipertahankan. Indonesia saat ini terdiri dari 33 provinsi, lima diantaranya memiliki status yang berbeda. Provinsi dibagi menjadi 399 kabupaten dan 98 kota yang dibagi lagi menjadi kecamatan dan lagi menjadi kelurahan, desa, gampong, kampung, nagari, pekon, atau istilah lain yang diakomodasi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tiap provinsi memiliki DPRD Provinsi dan gubernur, sementara kabupaten memiliki DPRD Kabupaten dan bupati, kemudian kota memiliki DPRD Kota dan walikota, semuanya dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu dan Pilkada9. Bappenas: 2004 (Download : Artikel) “Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional tentang UU No 32 Tahun” 9 Perubahan konstelasi politik era reformasi ditingkat nasional dimulai dengan terbitnya Undang-Undang 23 tahun 2003 tentang Pemilian Presiden dan Wakil Presiden secara langsung yang turut mempengaruhi konstalasi politik lokal dengan dikeluarkannya Undang-Undang 32 tahun 2004 tentang Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Terjadinya desentralisasi kekuasaan dari Presiden kepada lembaga-lembaga tinggi Negara, terutama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memiliki kekuasaan yang relatif besar dalam pengambilan keputusan ditingkat nasional sering disebut demokratisasi. Sedangkan berpencarnya otoritas politik dan administrasi dari pusat ke tingkat lokal disebut desentralisasi dan otonomi daerah. Kekuasaan yang tidak lagi terpusat merupakan bagian dari demokratisasi. Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah diatur melalui UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah), yang merupakan peristiwa yang menandai kemajuan demokrasi di Indonesia. Otonomi daerah memberi ruang kepada daerah dalam proses sukses kepala daerah masing-masing. Pilkada langsung dimaksudkan untuk memberi kesempatan masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dan partisipasi politiknya dalam memilih pemimpin daerahnya. Mulai tahun 2005, pemilihan kepala daerah baik gubernur, bupati/walikota dipilih secara langsung, mengikuti proses pemilihan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat pada Pemilu 200410. Kabupaten Bone merupakan salah satu kabupaten yang juga telah melakukan pilkada setelah lepas dari pemerintahan kerajaan, sampai saat ini tercatat 13 (tiga belas) Kepala Daerah diberi kepercayaan untuk mengemban 10 Direktorat Jendral Otonomi Daerah, 2003 (Download : Artikel) “UU No 23 Tahun 2003” amanah pemerintahan di Kabupaten Bone. Di mulai dari Andi Pangeran Petta Rani Kepala Afdeling/ Kepala Daerah Tahun 1951- H. A. Muh. Idris Galigo,SH Bupati Kepala Daerah tahun 2003 sampai sekarang11. Dari 13 Kepala Daerah di Kabupaten Bone menurut wacana sosial budaya yang ada dimasyarakat menunjukkan bahwa kebanyakan dari mereka merupakan keturunan bangsawan atau arung. Terlihat pula dari bakal calon bupati 2013-2016 yang masih memiliki garis keturunan raja dan sebagian dari mereka masih memiliki hubungan kekerabatan satu sama lainnya. Adanya otonomi daerah memberi kewenangan penuh untuk pemimpin daerah dalam menjalankan pemerintahannya, dimulai dari membuat keputusan sampai bagaimana mereka mempertahankan kepemimpinanya. Dalam hal ini, sistem politik pemerintahan di daerah terkesan dinasti politik, yang merupakan cerminan bentuk politik kekuasaan pada masa lampau, seperti yang diuraikan penulis sebelumnya bahwa di Kerajaan Bone seluruh raja yang berkuasa memiliki hubungan darah dengan raja yang pertama sehingga saat ini hubungan darah bangsawan masih menjadi wacana dalam kontestasi politik di Kabupaten Bone. Berdasarkan fenomena di atas penulis dengan arah kajian Antropologi politik mencoba menggambarakan dan mengungkap fenomena tersebut melalui penelitian yang berjudul “PILKADA Kabupaten Bone Dalam Konteks Sistem Kekerabatan dan Pelapisan Sosial ” sebagai judul dari bahan penelitian dalam penyusunan tugas akhir dan syarat gelar S1 (Strata satu) pada jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 11 Depdagri, 2012 (Download : Artikel)”Riwayat Kabupaten Bone” B. FOKUS PENELITIAN Pemilukada merupakan sebuah proses pemilihan umum yang dilakukan untuk memilih kepala daerah setiap lima tahun sekali. Dalam pelaksanaannya, akan diikuti oleh beberapa kandidat calon kepala daerah. Para kandidat ini akan bersaing untuk meraih simpati rakyat sehingga mereka dapat dipilih oleh masyarakat. Banyak cara yang dapat dilakukan sehingga mampu menjadi pemenang dalam pemilihan tersebut, Kabupaten Bone sendiri berdasarkan fenomena yang ada, seperti sistem pemerintahan yang bersifat kekerabatan terlihat pada bakal calon Bupati Bone 2013 rata-rata diantara mereka memiliki hubungan kekeluargaan satu sama lain, selain itu gelar “Arung” mempengaruhi sistem politik di Kabupaten Bone serta masyarakat Bone masih mempercayai pemimpin daerah yang memiliki gelar “Arung”, hal ini berfokus pada sistem pelapisan sosial dalam konteks kekerabatan atau bagaimana sistem kekerabatan itu memepengaruhi sistem politik. Dari hal tersebut kemudian penulis menfokuskan penelitian ini pada sistem stratifikasi sosial menentukan sistem politik di Kabupaten Bone dengan merumuskan beberapa pertanyaan: 1. Bagaimana sistem pelapisan sosial & sistem kekerabatan pada masyarakat Bone? 2. Bagaimana sistem pelapisan sosial & kekerabatan mempengaruhi sistem politik di Kabupaten Bone? 3. Bagaimana sistem pelapisan sosial & kekerabatan sebagai wacana masyarakat dalam praktik PILKADA di Kabupaten Bone? C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Tujuan Penelitian Studi ini mengenai antropologi politik dalam penelitian ini di harapkan mampu menghasilkan: 1. Memberikan gambaran tentang pelapisan sosial dan sistem kekerabatan pada masyarakat Bone. 2. Memberikan penjelasan tentang pengaruh pelapisan sosial dan sistem kekerabatan terhadap sistem politik di Kabupaten Bone 3. Memberi penjelasan tentang pelapisan sosial dan sistem kekerabtan sebagai wacana masyarakat dalam praktek PILKADA di Kabupaten Bone. Kegunaan Penelitian a. Manfaat akademis Penelitian ini dapat menambah pengetahuan sebagai bekal dalam mengaplikasikan pengetahuan teoritik terhadap masalah praktis yang diperoleh pada bangku perkuliahan dengan praktek yang diperoleh di lapangan baik bagi peneliti sendiri, bagi mahasiswa lain serta para pengenyam ilmu pengetahuan, terkhusus bagian ilmu antropologi. b. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi siapa saja, khususnya dalam pemerintahan Bone, sebagai bahan pertimbangan dalam menjalankan prosedur pemilu PILKADA. c. Manfaat Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai bahan referensi dalam pembelajaran antropologi politik akademisi untuk mengembangkan bidang keilmuan tertentu dan sekaligus sebagai prasyarat mendapatkan gelar sarjana. D. TINJAUAN KONSEPTUAL 1. Stratifikasi Sosial Statifikasi sosial berasal dari kiasan yang menggambarkan keadaan kehidupan masyarakat. Menurut Pitirim A. Sorokin, stratifikasi sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis), perwujudannya adalah adanya kelas-kelas sosial yang lebih tinggi dan kelas sosial yang rendah. Selanjutnya, Sorokin menjelaskan bahwa dasar dan inti lapisan sosial dalam masyarakat disebabkan tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak, kewajiban dan tanggung jawab sosial diantara masyarakat. Pitirin mengatakan pula bahwa sistem pelapisan sosial merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat teratur. Barang siapa yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah yang banyak maka akan dianggap memiliki sesuatu kedudukan dilapisan atas12. Stratifikasi sosial itu menyangkut begitu banyak aspek 12 Bagja waluya “Sosiologi menyelam fenomena sosial di masyarakat”, hal.15 kehidupan seperti kekayaan, politik, karier, keluarga, komunitas, gaya hidup, dan lain-lain13. Menurut Soerjono Soekanto, selama pada masyarakat terdapat sesuatu yang dihargai maka hal itu akan menjadi bibit yang menumbuhkan adanya sistem yang berlapis-lapis dan Robin Wiliam J.R menyebutkan pokok pedoman tentang proses terjadinya stratifikasi sosial pada masyarakat, yakni sebagai berikut14: a. Sistem stratifikasi sosial mungkin berpokok pada sistem pertentangan yang terjadi pada masyarakat sehingga menjadi objek penelitian b. Sistem stratifikasi sosial dapat dianalisis dalam ruang lingkup unsurunsur yaitu sebagai berikut: 1) Distribusi hak-hak istimewa yang objektif, misalnya penghasilan, kekayaan, keselamatan, dan wewenang. 2) Sistem pertentangan yang diciptakan masyarakat (prestise dan penghargaan). 3) Kriteria sistem pertentangan yaitu apakah didapatkan berdasarkan kualitas pribadi, keanggotaan kelompok kerabat, hak milik, wewenang, atau kekuasaan. 4) Lambang-lambang kedudukan, misalnya tingkah laku, cara berpakaian, bentuk rumah, keanggotaan dalam suatu organisasi formal. 13 14 Randall Collins dalam” Jurnal Analisis Sosial”, hal.78 Bagja waluya“Sosiologi menyelam fenomena sosial di masyarakat”, hal.20 5) Mudah sukarnya berubah kedudukan. 6) Solidaritas diantara individu atau kelompok sosial yang menduduki status sosial yang sama dalam sistem sosial, seperti: a) Pola-pola interaksi (struktur clique dan anggota keluarga). b) Kesamaan atau perbedaan sistem kepercayaan, sikap, dan nilai. c) Kesadaran akan status masing-masing. d) Aktifitas dalam organisasi secara kolektif. 2. Sistem Kekerabatan Kehidupan masyarakat diatur dan diorganisasikan oleh adat istiadat beserta aturan-aturan mengenai bermacam-macam kesatuan lingkungan hidup dan bergaul. Kesatuan sosial yang paling dekat adalah kekerabatan dan kesatuan-kesatuan diluar kerabat, tetapi masih dalam lingkup komunitas mengungkap keragaman budaya15. Susunan suatu keluarga meluas ditentukan oleh sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Para antropologlah yang paling mempunyai kewenangan dalam meneliti persoalan sistem kekerabatan yang dianut oleh suatu masyarakat sehingga keterangan yang panjang lebar mengenai hal ini akan terjawabkan dalam mempelajari antropologi16. Menurut Levi Strauss kekerabatan adalah sistem yang terdiri dari relasirelasi dan oposisi-oposisi seperti suami seperti suami> < istri, bapak > < anak. 15 16 Sutardi Tedi Hal 45 dalam Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya Indriyani dan sri sutanti “sosiologi suatu kajian kehidupan masyarakat”,hal,50 saudara laki-laki > < saudara perempuan dan sebagainya, pusat perhatian terdapat pada soal keturunan (decent: siapa yang masuk kedalam mengawini siapa), dan perkawinan (marriage: siapa boleh mengawini siapa), dan aturan yang lebih fundamental adalah larangan incest (kawin dengan saudara sekandung17. Menurut L.H. Morgan, macam-macam sistem kekerabatan di dunia erat ikatannya dengan sistem istilah kekerabatan. Susunan masyarakat berdasarkan kekerabatan dapat dibedakan menjadi18: 1. Garis keturunan bapak (Patrilineal) Susunan masyarakat yang patrilineal, menarik garis keturunan selalu dihubungkan dengan bapak. Hak waris hanya diberikan kepada anggota kerabat laki-laki, trutama anak laki-laki. Bagi masyarakat patrilineal, laki-laki mendapat penghargaan dan penghormatan lebih tinggi dari kaum wanita. 2. Garis keturunan ibu (matrilineal) Susunan masyarakat genealogis menarik keturunan hanya dihubungkan dengan ibu. Setelah perkawinan pengantin menetap dipusat kediaman kerabat istri. Sistem waris diturunkan kepada anggota kerabat perempuan dan kedudukan sosialnya lebih tinggi dari pada laki-laki. Akan tetapi, laki-laki tetap berperan sebagai pengelola waktu, harta, usah dan adat keluarga. 3. Garis parental 17 18 mudji sutrisno dan hendara putranto “teori-teori kebudayaan”,hal 135 mudji sutrisno, hal 136 Pada masyarakat genelogis yang menarik garis keturunan dari ibu dan bapak (Bilateral) adalah para anggotanya menganggap dirinya kerabat dalam memperhitungkan garis keturunan menghubungkan kepada ibu dan bapak. Anak-anak menjadi hal ibu dan bapak termasuk kerabat dari pihak laki-laki dan pihak istri. Dalam sistem ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. 4. Doubleunilateral Adalah masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal dan matrilineal yang berlaku dan dijadikan sebagai kesatuan-kesatuan sosial. Semua anggota keluarga adalah bapak dan ibu. 5. Alternered Susunan kekerabatan ini berarah sepihak dan berdasarkan perkawinan yang melibatkan anak-anak termasuk kerabat ibu. Susunan masyarakat berdasarkan komunitas menjadi tiga yaitu: a. Perkampungan: terdiri atas para anggota persekutuan yang tidak berkerabat namun tinggal disuatu daerah atau lingkungan yang sama. b. Persekutuan daerah: suatu daerah yang merupakan satu kesatuan sosial sendiri dan dalam daerah tersebut ada beberapa kampung. Setiap kampung merupakan daerah bawahan dan mengakui persekutuan daerah tersebut sebagai induknya. c. Serikat kampung: hubungan kerja sama antara beberapa perkampungan yang berdekatan. Persekutuan tersebut memiliki pengurus, tetapi kedudukannya sejajar dengan pengurus kampung lainnya. Misalnya: serikat kampung Batak di Tapanuli Tengah. 3. Politik dan Kepemimpinan Politik merupakan usaha memelihara dan menanamkan tertib sosial dalam suatu daerah tertentu yang menggunakan organisasi dalam menjalankan kekuasaan yang dapat memaksa dengan menggunakan atau kemungkinan untuk menggunakan kekerasan badaniah19. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain: politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles) politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara. politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik20. 19 Radcliffe-Brown dalam H.J.M.Claessen, 1940:1 20 Wikepedia, 2012 (Download: artikel)” pengertian politik” Tujuan dari berpolitik adalah kekuasaan. Kekuasaan merupakan kemampuan untuk memaksakan kehendak sendiri atas orang lain (Claessen. 1987:1). Menurut Miriam Budiardjo, kekuasaan diartikan sebagai kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah-laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku21. Kekuasaan yang terpenting bagi seoarang pemimpin masakini yakni bagaimana upaya mempertahankannya dengan berbagai upaya politik yang dilakukan, seperti yang marak terjadi saat ini dikenal dengan dinasti politik atau biasa juga disebut politik kekerabatan. Menonjolnya pertalian keluarga dalam daftar pilkada merupakan tanda nyata, sejatinya budaya politik kita masih amat tradisional. Dalam kajian antropologi, praktik parpol-parpol itu lazim disebut politik kekerabatan. Politik kekerabatan merupakan praktik yang banyak ditemui di lingkungan masyarakat tradisional yang berbasis pada nilai-nilai budaya kesukuan (tribal-culture-based societies) yang amat kuat seperti biasa dijumpai di bumi Afrika dan Asia Selatan. Pola hubungan politik yang terbangun lebih didasarkan kesatuan garis keturunan (unilineal discent associations). Formasi sosial dan aliansi politik yang terbentuk juga bertumpu pada pertalian perkawinan dan hubungan darah22. 21 22 Miriam Budiardjo.”Dasar-Dasar Ilmu Politik” 2004: 10 Kurtz dalam Mulyono. 2012 Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah sering juga disebut pilkada atau pemilukada adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh masyarakat sesuai dengan syarat ketentuan yang ada. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud adalah gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi, bupati dan wakil bupati untuk kabupaten, walikota dan wakil walikota untuk kota. Pada era Hindia Belanda, istilah kabupaten dikenal dengan regentschap, yang secara harafiah artinya adalah daerah seorang regent atau wakil penguasa. Pembagian wilayah kabupaten di Indonesia saat ini merupakan warisan dari era pemerintahan Hindia Belanda. Dahulu istilah kabupaten dikenal dengan Daerah Tingkat II Kabupaten. Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, istilah Daerah Tingkat II dihapus sehingga Daerah Tingkat II Kabupaten disebut Kabupaten saja. Bupati/walikota, dalam konteks otonomi daerah di Indonesia adalah kepala daerah untuk wilayah kabupaten/kota. Seorang bupati sejajar dengan walikota, yakni kepala daerah untuk daerah kota. Pada dasarnya, bupati/walikota memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD kabupaten. Bupati/walikota dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di kabupaten/kota setempat. Bupati/walikota merupakan jabatan politis (karena diusulkan oleh partai politik)23. 23 Wikepedia, 2012 (Download: artikel)” Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala 4. Wacana Sistem Pelapisan Sosial dan Sistem Kekerabatan Dalam penelitian yang penulis lakukan dalam ruang lingkup Kabupaten Bone yang merupakan bekas kerajaan, peneliti juga menggunakan kombinasi sejarah dalam penelitian lapangan. Setidaknya hal ini dapat memberi pemahaman bagaimana kemudian sejarah tersebut menjadi suatu tindakan atau landasan sistem pemerintahan Kabupaten Bone pada saat ini. Secara keseluruhan penelitian ini menggambarkan bagaimana wacana yang ada dimasyarakat tentang sebuah history Kerajaan Bone yang masih ada pengaruhnya dalam struktur pemerintahan, seperti sistem pelapisan sosial dan sistem kekerabatan yang berlaku pada masa kerajaan sangat berpengaruh dalam pemerintahan yang terlihat jelas dari PILKADA dimana bakal calon Bupati yang ada beberapa diantara mereka merupakan keturunan Arung. daerah” KERANGKA PEMIKIRAN STRATIFIKASI SOSIAL SISTEM (KETURUNAN BANGSAWAN) KEKERABATAN STRATEGI POLITIK PILKADA KEKUASAAN (PEMERINTAHAN) E. METODE PENELITIAN 1. Tipe/Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yakni menguraikan gambaran menyeluruh dan terperinci tentang peristiwa yang ada. Data deskriptif tersebut berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati24, dengan menggunakan pendekatan fenemologis dimana peneliti menginterpretasi, menafsirkan hasil penelitianya25. 24 Bogdan dan Taylor (1975:5) dalam “Metode, Teori, Teknik, Penelitian Kebudayaan hal.85-86 25 Suyanto, Bagyon & Sutinah (ed.)”Metode Penelitian Sosial” hal 229 Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, dimana kajiannya merupakan fenomena empirik di lapangan yang meliputi berbagai hal pengumpulan data lapangan, seperti life history, pengalaman pribadi, wawancara, pengamatan, sejarah, teks visual,dan sebagainya26. Pengumpulan data pada penelitian ini tidak bersifat kaku akan tetapi senantiasa disesuaikan dengan keadaan atau fenomena di lapangan. Dengan demikian hubungan antara peneliti dengan apa yang diteliti tidak dapat dipisahkan. Validitas data sangat ditentukan oleh penelitinya, oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti berupaya untuk selalu cermat, tanggap dan mampu memberi makna fenomena yang terjadi di lapangan dengan karakteristik tersebut. Selain itu ada 2 hal penelitian kualitatif yang mendorong penelitian ini, yakni27: 1. Melalui penelitian kualitatif realitas yang terjadi di lapangan dapat terungkap secara mendalam dan mendetail. 2. Penelitian kualitatif dapat menemukan makna dari suatu fenomena yang terjadi di lapangan, karena sifatnya naturalis induktif dan deskriptif Selain penelitian lapangan, seperti yang diuraikan sebelumnya diatas oleh penulis bahwa dalam penelitian ini terdapat pula catatan sejarah mengenai pemerintahan Kerajaan Bone pada masa lampau dan berita dikoran daerah 26 Denzin dan Lincoln (1994:1-3)dalam “Metode, Teori, Teknik, Penelitian Kebudayaan hal.86 Rudiansyah hal.5 dalam Yusuf, Muhammad “Reproduksi Status Tradisional Dalam Praktik Politik di Kabupaten Wajo hal 19 27 mengenai PILKADA, hal ini sangat membantu penulis dalam validaritas datanya memberi gambabaran menyeluruh dan terperinci tentang relasi kekerabatan dan kekuasaan politik dalam PILKADA di Kabupaten Bone. 2. Teknik Pemilihan Informan Penentuan informan dalam penelitian ini digunakan konsep Spradlay (1997:61) dan Benard (1994:166) yang prinsipnya menghendaki seorang informan itu harus paham terhadap budaya yang dibutuhkan. Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik snowballing, yaitu berdasarkan informasi informan sebelumnya untuk mendapatkan informan berikutnya sampai mendapatkan ‘data jenuh’ (tidak terdapat informasi baru lagi).28 Berdasarkan pendapat tersebut informan kunci yang dipilih adalah keluarga dekat dari penulis yang merupakan warga lokal yang mendiami daerah tersebut dalam kurun waktu yang cukup lama, selain itu penulis juga merupakan warga setempat sehingga tidak begitu sulit bagi penulis kemudian menemukan informan selanjutnya, setelah informan kunci mengarahkan penulis mendatangi beberapa informan yang dianggapnya akan memberi informasi tentang bagaiman penjelasan mengenai sistem kekerabatan dan pelapisan sosial mempengaruhi perpolitikan (PILKADA) di Kabupaten Bone. 28 Endraswara, Suwardi “Metode, Teori, Teknik, Penelitian Kebudayaan” hal 203 Dengan teknik snowballing, jumlah informan tidak terbatas jumlahnya. Karakteristik informan juga tidak ditentukan oleh peneliti melainkan didasarkan pada rekomendasi informan sebelumnya. Melalui rekomendasi tersebut peneliti segera menghubungi informan berikutnya sampai data yang diperoleh mendapatkan kesatuan yang utuh. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth interview) dan pengamatan (Observasi). Hal ini dilakukan sesuai dengan permasalahan yang ada di dalam penelitian dan fokus penelitian untuk memberi gambaran dan penjelasan baik itu sejarah, sitem kekerabatan dan pelapisan sosial, serta fenomena politik dalam PILKADA di Kabupaten Bone. Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis merujuk pada teknik yang diajukan Bungin tentang teknik pengumpulan data yang tepat untuk penelitian kualitatif antara lain adalah teknik wawancara mendalam (indepth interview) dan pengamatan (observasi)29. Khususnya pada wawancara mendalam, teknik ini memang merupakan teknik pengumpulan data yang khas bagi peneliti kualitatif. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Paton bahwa cara utama yang dilakukan Bungin (2008) Hal. 139 dalam Yusuf, Muhammad “Reproduksi Status Tradisional Dalam Praktik Politik di Kabupaten Wajo hal 21 29 oleh para ahli metodologi kualitatif untuk memahami persepsi, perasaan, dan pengetahuan seseorang adalah wawancara mendalam dan intensif30. Dalam penelitian ini data yang dibutuhkan bersifat kualitatif, untuk itu penulis lalu mengkombinasikan beberapa teknik yang digunakan dalam kualitatif agar memperoleh data yang sesuai dengan tujuan penelitiannya. Adapun teknik tersebut, seperti yang diutarakan penulis dibawah ini: a. Kepustakaan/ Literatur Dengan studi pustaka, penulis membaca beberapa artikel atau buku-buku yang menyangkut masalah penelitian ini. Seperti buku-buku kajian antropologi dan politik hal ini sebagai bahan acuan penulis melakukan penelitian di lapangan, selain itu sejumlah artikel dikoran daerah dan internet mengenai kritikan dan praktik politik PILKADA di Kabupaten Bone yang memberi kemudahan penulis ssmemahami kondisi perpolitikan di Kabupaten Bone pada saat ini. Selain itu, beberapa data sekunder diperoleh penulis dari KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan instansi pemerintahan daerah seperti Bappeda dan Statistik Kabupaten Bone serta pemerintah tingkat desa. Penulis juga mendapat sebuah buku dari Museum Lapawowai Kabupaten Bone yang berisi membaca buku tersebut, penulis sejarah Kerajaan Bone. Dengan memperoleh pemahaman untuk membandingkan sistem pemerintahan Kerajaan Bone dimasa lampau dengan 30 Ruslam Ahmadi (2005) Hal. 57 dalam Yusuf, Muhammad “Reproduksi Status Tradisional Dalam Praktik Politik di Kabupaten Wajo hal 21 sistem pemerintahan sekarang, dimana hal ini merupakan salah satu data yang diinginkan oleh penulis. b. Pengamatan (observasi) Observasi adalah suatu penelitian secara sistematis menggunakan kemampuan indera manusia. Pengamatan dilakukan pada saat terjadi aktifitas budaya dan wawancara secara mendalam. Hal ini bermaksud memodifikasi pertanyaan sesuai kondisi informan. Pengamatan yang dilakukan oleh peneliti adalah pengamatan / Observasi moderat, peneliti hanya mengamati aktifitas subjek yang diteliti secara tertentu. Mengamati beberapa aktifitas subjek penelitian yang mempunyai peran dalam proses PILKADA maupun berbagai anggapan/wacana yang ada dimasyarakat, dalam hai ini kemudian sangat menunjang penulis dalam mengamati beberapa kodisi aktual subjek yang berperan dalam PILKADA dan sistem pemerintahan di Kabupaten Bone. Dalam Penelitian lapangan, penulis melakukan pengamatan dalam berbagai situasi subjek yang diteliti dimana mereka berada dilingkup yang formal seperti mereka berprilaku yang mengarah kesituasi praktik politik juga mengamati tiap baliho dari kandidat calon bupati untuk melihat bagaimana pencitraan mereka yang dapat memudahkan penulis untuk lebih mengetahui mereka kemudian membandingkannya dengan persepsi yang ada dimasyarakat, selain itu penulis dalam beberapa kesempatan mengamati bagaimana subjek ketika bersama kerabat, teman dan para rekan kerjanya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana subjek pada saat berada diluar profesinya dan pada saat dia berada dalam aktifitas-aktifitas yang berkaitan dengan politik. Dengan teknik ini dapat memudahkan penulis menjelaskan bagaimana sistem kekerabatan dan pelapisan sosial menentukan sistem politik di Kabupaten Bone. Jika diikhtisarkan, alasan secara metodologis bagi penggunaan pengamatan ialah: pengamatan mengotimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan, dan sebagainya; pengamatan memungkinkan pengamat untuk melihat dunia sebagaimana dilihat oleh subjek penelitian, hidup pada saat itu, menangkap arti fenomena dari segi pengertian subjek, menangkap kehidupan budaya dari segi pandangan dan panutan para subjek pada keadaan waktu itu; pengamatan memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek sehingga memungkinkan pula peneliti menjadi sumber data; pengamata memungkinkan pembentukan pengetahuan yang diketahui bersama, baik dari pihaknya maupun dari pihak subjek31. c. Wawancara mendalam (Indepth Interview) Dalam pengumpulan data dilakukan wawancara mendalam agar penulis lebih memahami data yang dinginkan mengenai fenomena yang terjadi dilapangan. Pedoman wawancara cukup membantu penulis dalam sistematis pertanyaan namun penulis sering mencipatakan pertanyaan baru sesuai jawaban 31 Lexy J.Moleong (2008) ,”Metodologi Penelitian Kualitatif”hal 175 dari informan. Dalam hal ini, penulis membiarkan informan mengutarakan halhal yang tidak terfokus pada satu topik saja melainkan hal lain yang masih berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu, hal ini dapat memudahkan penulis untuk membangun raport dengan informan agar wawancara ini tidak berkesan kaku. Dengan membangun raport yang baik juga memudahkan penulis memproleh informan dari arahan informan sebelumnya, dikarenakan penelitian ini menggunakan teknik snowballing. Wawancara melalui media sosial (BlackBerry Massenger) juga dilakukan penulis terhadap beberapa informan, hal ini salah satu alternatif yang diyakini penulis untuk mendapatkan data yang maksimal, karena senantiasa informan tak semua dari mereka dapat menyampaikan pendapatnya dengan baik secara lisan, ada informan yang nyaman menyampaikan suatu pendapat melalui tulisan. Intinya dalam penelitian ini wawancara mendalam meliputi pengalaman, pendapat dan kepercayaan, pengatahuan mengenai norma, nilai, sikap, harapan, tanggapan dan pendapat. Seperti yang ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (1985:266), antara lain: mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan; mengkonstruksikan kebulatankebulatan demikian sebagai yang dialami pada masa lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang32. 32 Lexy J.Moleong (2008),”Metodologi Penelitian Kualitatif” hal 186 4. Proses Penelitian Lapangan Diawal penelitian, penulis melakukan pengamatan awal di daerah penelitian. Tertarik dengan tema penelitian dikarenakan hal tersebut sering dibaca penulis pada sejumlah koran daerah dan merupakan fenomena yang cukup menyita perhatian banyak masyarakat setempat. Peneliti kemudian mencari tahu dengan mengkaji beberapa bahan yang terkait dengan peneltian ini, lalu penulis mendiskusikan hal tersebut dengan beberapa kerabat dan teman sedaerah yang sama-sama berprofesi sebagai mahasiswa. Setelah melakukan diskusi kemudian penulis menyusun beberapa langkah dimana aktivitas peneliti di lapangan, sebagai berikut: Pertama, penulis mengatur jadwal pertemuan dengan beberapa kerabat untuk bertemu, membicarakan sejumlah fenomena yang berupa wacana sosial dimasyarakat yang menyangkut penelitian ini. Selain itu penulis mencoba menyapa sejumlah teman-teman sedaerah melalui media sosial. Dimaksudkan agar mereka dapat memberikan referensi menghasilkan nama beberapa informan (subjek) yang untuk selanjutnya penulis lakukan identifikasi nama orang-orang (subjek) tersebut dengan menanyakan ulang kepada orang lain tentang reputasi; hal ihwal yang telah dilakukannya; pada peristiwa apa saja subjek tersebut terlibat; cara si subjek dalam berbicara; bagaimana reaksi subjek dalam hal kesopanan dan kesatunan terhadap lawan bicaranya; topik apa saja yang dalam hal-hal tertentu tidak boleh dibicarakan; dan yang paling penting alamat rumah subjek tersebut. Dengan informasi awal tersebut, penulis mulai melakukan persiapan dengan mengidentifikasi subjek tersebut yang dijadikan informan dalam penelitian lapangan. Akan tetapi langkah ini kemudian justru lebih berkembang dengan bertambahnya informasi yang didapatkan pada saat penulis mulai melakukan penelitian lapangan pada tahap berikutnya. Kedua, Tahap resmi masuknya peneliti ke lapangan. Dimana penulis menyelesaikan prosedur resmi penelitian, dimulai dengan memproleh surat pengantar penelitian dari kampus yang ditujukan ke Balitbang daerah Prov. Sulsel lalu diterbitkan ijin penelitian selama 2 bulan (antara februari dan april) yang selanjutnya dibawah ke pemerintah daerah Kabupaten Bone sebagai lokasi yang dimaksud dalam penelitian. Penulis dapat menyelesaikan penelitian kurang dari waktu yang ditentukan. Hal ini dikarenakan dalam pemilihan informan yang diarahkan oleh informan sebelumnya merupakan orang yang dikenal oleh penulis, sehingga memudahkan penulisdalam memproleh data. Ketiga, penulis melakukan pengamatan terhadap daerah penelitian, dimana daerah penelitian merupakan daerah asal penulis, sehingga memudahkan penulis menyusun langkah pengamatan kondisi sehari-hari informan. Di sini penulis menghabiskan waktu cukup lama untuk melakukan pengamatan (sebagai salah satu teknik pengambilan data) terhadap semua aktivitas yang dilakukan oleh obyek penelitian di lapangan (observasi). Teknik yang penulis lakukan diawali dengan mendiskusikan beberapa hal pada infoman kunci mengenai etika budaya daerah setempat dalam hal ini memperhatikan kaidah-kaidah kesantunan untuk menghindari ketersinggungan subjek. Penulis berusaha mendokumentasikan dalam catatan harian lapangan sambil membangun suatu ringkasan-ringkasan yang dibarengi dengan asumsi-asumsi tentang apa-apa yang telah dilakukan subjek dalam peristiwa tersebut. Keempat, adalah tahapan utama yaitu pengambilan data lewat wawancara dengan beberapa informan. Tahap ini sekiranya akan berjalan maksimal apabila peneliti melalui tahap-tahap sebelumnya. Dimana peneliti mempunya berbagai kerangka pemikiran dari hasil pengamatan di lapangan yang telah peneliti lakukan sebelumnya, untuk kemudian dikonfirmasikan dengan data yang peneliti peroleh dari wawancara pada tahap ini. Hasilnya adalah kutipankutipan wawancara yang sesuai dengan bangunan-bangunan kesimpulan tentang kejadian ataupun peristiwa yang peneliti hadapi yang merujuk pada fokus penelitian ini. Meski beberapa hasil wawancara dikumpulkan tetap saja selalu berubah-ubah sesuai simpulan penulis dalam menginterpretasi dengan semakin banyaknya situasi yang peneliti amati di lapangan. Kelima, adalah tahap akhir dari fase penelitian ini yaitu penulisan laporan. Setelah semua proses yang telah peneliti lalui maka penulisan laporan menjadi tahap akhir dari agenda penelitian ini, semua catatan lapangan dikumpulkan dan hasil rekaman dijabarkan kembali dalam tulisan untuk dimasukkan dalam tulisan tetapi catatan lapangan tetap disimpan untuk keperluan sewaktu-waktu nantinya. Dalam agenda terakhir tahap ini tentunya tetap menjaga hubungan baik dengan semua pihak yang telah membantu penulis melalukan penelitian di lapangan. Dan untuk tahap ini penulis tetap akan merasa banyak kekurangan sehingga tetap membuka diri untuk kembali ke lapangan sebagai komitmen dari kekurangan tersebut untuk kemudian benar-benar keluar dari lapangan dan menyelesaikan penelitian secara total. F. SISTEMATIKA PENULISAN Secara garis besar hasil penelitian dalam skripsi ini diuraikan dengan sistematika penulis yang terdiri dari 5 bab, yaitu : BAB 1 PENDAHULUAN merupakan tulisam yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian, sistematika penulisan. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA merupakan kajian tentang penulisan literatur antara lain yang berhubungan dengan nilai-nilai sistem kekerabatan, struktur sosial, sistem pemerintahan dan prilaku politik di Kabupaten Bone, kemudian penulis membaca beberapa studi tentang antropologi politik, serta konsentrasi wujud sistem kekerabatan menentukan sistem politik di Kabupaten Bone. BAB 3 GAMBARAN LOKASI UMUM merupakan bab yang menguraikan tentang gambaran umum lokasi penelitian yang secara umum menggambarkan keadaan sejarah kerajaan, keadaan geografis, organisasi pemerintahan, tatanan nilai dalam sistem pemerintahan dan politik serta karakteristik informan di Kabupaten Bone. BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN merupakan bab yang menguraikan tentang wujud sistem pelapisan sosial & sistem kekerabatan pada masyarakat Bone, sistem kekerabatan mempengaruhi sistem politik di Kabupaten Bone, sistem kekerabatan & pelapisan sosial menjadi wacana dalam praktik PILKADA di Kabupaten Bone BAB 5 PENUTUP berisi kesimpulan dan saran. BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan Dalam penelitian ini mengkaji masalah fenomena politik, yang berkaitan dengan sistem pemerintahan dan pemilihan kepala daerah berlatarbelakang budaya, komunitas dan etnik berkaitan dengan Antropologi politik. Dengan menggunakan metode antropologis penelitian ini terfokus pada kerangka pemikiran dengan penggambaran dari strategi pemenangan berdasarkan sistem stratifikasi sosial dan kekerabatan menentukan sistem politik di Kabupaten Bone. Dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini, terdapat wacana dalam masyarakat bahwa sistem pelapisan sosial dan sistem kekerabatan berpengaruh terhadap tindakan sistem politik Kabupaten Bone sekarang, dimana daerah ini masih menjunjung tinggi adat istiadat lokal. Yakni pada dasarnya sistem kekerabatan yang berlaku masih berupa pemetaan-pemetaan stratifikasi tertentu yang berujung pada suatu keinginan untuk pencapaian politik. Antara pelapisan sosial, kekerabatan dan politik sangat erat kaitannya. Ini terlihat dari bentuk-bentuk strategi politik yang ditunjukkan oleh kandidat bakal calon Bupati Bone bahwa antara satu bakal calon dan calon yang lainnya masih memiliki hubungan kekerabatan bahkan masih ada hubungan darah. Hal ini menunjukkan warisan budaya politik pada era kerajaan, masih berdampak dalam perilaku politik dewasa ini, namun pemaknaannya sudah berbeda dimana pada masa kerajaan masih murni memelihara kejujuran dalam menjalankan pemerintahannya. Beda halnya dengan saat ini dimana masa sekarang memanfaatkan lapisan sosial (Arung) dan sistem kekerabatan tersebut sebagai strategi pemerintahannya pemenangan berkesan pemilihan lambat. kekuasaan Dengan otonomi yang sistem daerah banyak menimbulakan kasus-kasus dipemerintahan dikarenakan orientasi kepentingan pemimpin didukung oleh sistem kekerabatan yang tidak sesuai lagi dengan sistem nilai budaya, dimana motto masyarakat bone Lempu’ : bersikap jujur, Getteng : istiqamah dan ada tongeng : berkata benar. 2. Saran Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan bahwa perlunya rekonstruksi pada sistem pemerintahan dimana penerapan demokrasi belum maksimal adanya. Dalam pemilihan kepala daerah terkhusus penerapan pendidikan politik dimasyarakat yang masih sangat kurang. Masyarakat cenderung pragmatis dalam memilih pemimpinnya tanpa melihat kompetensi yang dimiliki oleh para calon Bupati. Selain itu sistem UU Pilkada perlu penyempurnaan dimana seorang pemimpin masih aktif maka tidak di perbolehkan mengusung calon Bupati dari keluarga yang paling dekat karena hal ini sangat tidak rasional dan Undang-undang Mitrabilitas PNS hak memilih, harus netral tidak memihak pada otoritas pemimpin yang ada, karena kasus yang ada di Bone semua mengikut apa yang di katakan oleh pemimpin/ Bupati. Kenyataan dan keluahan yang terdapat dalam wacana masyarakat kini menunjukkan sebagian besar dari penduduk Bone belum makmur didaerahnya sendiri, hanya segelintir dari mereka yang menikmati kemakmuran tersebut, yakni si pemangku kepentingan beserta kerabat, dan pengikutnya. Kesejahteraan serta keadilan bersama menjadi impian dari masyarakat Bone. RIWAYAT HIDUP Lia Amelia (E 511 08 268), lahir pada tanggal 14 Agustus 1989 di Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara, anak dari pasangan suami istri Armin Rachim dan Muliyati Usman. Penulis mengawali pendidikan di TK Melati Sakarina yayasan PG.Camming pada Tahun 1998 sampai 1999. Pada tahun 1999, penulis melanjutkan pendidikan di SD Yayasan PG.Camming Kab.Bone sampai tahun 2004. Pada tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Neg.4 Watampone, Lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2006 melanjutkan pendidikan di SMA Neg.1 Watampone. Penulis lulus SMA pada tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke Universitas Hasanuddin Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, jurusan Antropologi Sosial.