View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
PILKADA KABUPATEN BONE DALAM KONTEKS SISTEM
KEKERABATAN DAN PELAPISAN SOSIAL
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana
Pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin
Oleh:
LIA AMELIA
E511 08 268
JURUSAN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
ABSTRAK
Lia Amelia (E55108268). Pilkada Kabupaten Bone Dalam Konteks
Sistem Kekerabatan dan Pelapisan Sosial. Dibawah bimbingan Prof. Dr. H.
Pawennari Hijjang, MA dan Dr. Tasrifin Tahara, M.Si .
Skripsi ini mengenai sistem kekerabatan dan pelapisan sosial (stratifikasi
sosial) mempengaruhi politik di Kabupaten Bone. Keturunan Arung (bangsawan)
masih banyak memiliki peranan penting dalam struktur pemerintahan di Bone, hal
ini salah satunya didukung oleh masyarakat Bone yang masih percaya jika
dipimpin oleh kepala daerah yang bergelar Arung. Selain itu struktur
pemerintahan juga dikuasai oleh kerabat dari Pemimpin daerah hal ini
dikarenakan oleh sistem pemerintahan otonomi daerah membuat kekuasan
dipegang penuh oleh Bupati.
Penelitian yang dilakukan sejak Februari hingga April 2012 ini bersifat
deskriptif yakni bagaimana peneliti menguraikan(memberi gambaran) terhadap
peristiwa yang ada. Penelitian ini melingkupi dokumen untuk mendapatkan
berbagai informasi terkait dengan kerangka penelitian. Teknik pengumpulan data
menggunakan metode wawancara mendalam (indepth interview), pengamatan
(observasi) dan analisis dokumen. Para informan adalah tokoh masyarakat dan
tokoh agama, masyarakat Bone dan orang-orang yang memiliki pengalaman
dibidang Politik/Pemerintahan seperti Anggota DPRD, Pegawai Negeri Sipil, Tim
sukses partai politik dan Pejabat Daerah Bone.
Hasil penelitian melukiskan tentang sistem kekerabatan dan pelapisan
sosial bangsawan mempengaruhi kontestasi politik di Kabupaten Bone dan
Pilkada merupakan sebagai arena mewujudkan bentuk kekuasaan para Arung,
dengan dukungan sebagian masyarakat Bone yang percaya dengan kepemimpinan
seorang Arung.
Kata Kunci: Stratifikasi Sosial, Kekerabatan, Politik
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
“poloko, polo panni’ ko elo’ atasan…..!
“Iaro arungnge mapparenta, elonna kuae, adanna tongeng
Makkeda tendri bali, mette’tendri sumpala…..!1
Pertengahan abad ke-14, sejarah daerah Sulawesi Selatan mulai
menampakkan kejelasan dengan menempatkan manusia sebagai pemegang peran
dan pelaku dalam sejarahnya2, seperti Kerajaan Bone yang pada awalnya terdiri
atas beberapa kelompok-kelompok anang (kaum) yang diikat oleh rasa
seketurunan dari seorang nenek moyang tertua dalam sistem kepemimpinan
patrimonial3.
Menurut
Mattulada,
pada
saat
itu
mereka
menjalankan
pemerintahannya dengan hidup terpisah dan telah dijelaskan pula dalam lontara4,
yang dimana mereka menjalankan roda pemerintahan secara otonom.
Kekuasaan pusat pada Kerajaan Bone secara historis dan budaya
tergantung pada mitos raja To Manurung sebagai legitimasi atas kekuasaannya.
Raja dan pengganti-penggantinya semuanya mengacu pada mitos tersebut.
Meskipun diakui bahwa alam demokrasi telah hidup pada masa lalu dikerajan ini,
1
Kutipan dari tokoh agama yang diwawancarai oleh penulis yang artinya: apa kehendak pemimpin,
itulah yang di ikuti,itulah seorang bangsawan yang memerintah,setiap keinginan dan perkataannya
selalu dianggap benar, berbicara tanpa bantahan, berkata tanpa perintah.
2
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan” Sejarah Bone”,hal 14
M.T.H. Perelaer, hal.14.lihat juga Mattulada, hal.408. dalam “Kerajaan Bone dalam sejarah politik
Sulawesi selatan abad XIX”,hal19
4 Ali, muhammad “Lotara Kerajaan Bone”hal 19. dalam Kerajaan Bone dalam sejarah politik
Sulawesi selatan abad XIX”,hal 19
3
namun patut dicatat bahwa seluruh raja yang berkuasa dikerajaan ini memiliki
hubungan darah dengan raja pertama5.
Secara politik, Kerajaan Bone terdiri atas kumpulan ratusan desa yang
sekitar 2/3 bergabung dalam wanua (kampung). Hubungan integrasi dalam wanua
(kampung) ini bisa bersifat sangat lepas, nominal belaka, sampai ikatan kuat
dibawah kekuasaan raja atau adat. Dengan pengecualian pada wanua yang lemah,
semua ini memiliki ikatan sosial dari kelompok keluarga, desa, wanua (kampung)
dan kerajaan, sebagai inti dan pinggiran. Pada tahun 1863, J.A Bakkers telah
membuat uraian mengenai peta politik Kerajaan Bone. Menurutnya, ada
perbedaan yang jelas antara inti dan pinggiran dalam struktur politik di kerajaan
ini. Inti Kerajaan Bone terletak di dan sekitar Istana Watampone, sebuah tempat
rendah dimana kaum bangsawan utama tinggal. Pada daerah inilah tujuh desa asli
yang kemudian membentuk tujuh kursi dewan adat kerajaan ditempatkan. Ketujuh
itu adalah Macege, Ta’, Tanete ri Attang, Tanete ri Awang, Ujung, Ponceng, dan
Tibojong. Semua desa dan wanua lainnya dianggap pinggiran. Dalam istilah Bone
semua itu disebut Palili atau Vasal 6.
Seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan sistem pemerintahan yang
tadinya sudah menjadi penerimaan umum di Kerajaan Bone bahwa raja pertama di
kerajaan ini adalah To Manurung atau yang turun dari langit serta raja
penggantinya dipercaya sebagai keturunan langsung dari raja pertama yang
bergelar Arung Pone (raja dipusat Bone) atau Petta MangkauE (raja yang
berkuasa dan duduk di atas tahta kerajan), dan proses pengangkatan raja diangkat
5
Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kab.Bone, “Sejarah Bone”,hal 235
6
.Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kab.Bone “Sejarah Bone”,hal 235-236
atas dasar musyawarah dan mufakat oleh Dewan hadat sesuai dengan aristokrasi
atau demokrasi. Namun setelah Pemerintah Hindia Belanda menguasai kerajaan
ini, raja diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda sesuai perjanjian yang
ditandatangani pada tanggal 13 Februari 18607.
Krisis multidimensi yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997
menyebabkan jatuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto yang telah
berkuasa selama kurun waktu 32 tahun. Perihal ini kemudian memberikan kondisi
perubahan di Indonesia yang sering disebut masa reformasi oleh kelompokkelompok pembaharu yang terdiri atas kelompok cendekiawan kampus dan
kelompok mahasiswa, dampak reformasi ini juga membawa agenda perubahan
dalam sistem politik dan pembagian kekuasan di Indonesia. Beberapa daerah yang
awalnya berada dibawah pengaturan pusat (sentralistik) kini menuntut adanya
pemetaan pembangunan yang secara radikal didukung oleh gerakan-gerakan
kelompok-kelompok tertentu disetiap daerah yang ingin memisahkan diri dari
Indonesia. Meskipun aksi-aksi ini hanya bersifat aksidental dari efosia reformasi
pada awalnya, namun justru menjadi isu yang sangat sensitif dan mendesak untuk
segera diselesaikan. Maka pada tahun 1999 ditetapkan Undang-undang No.22
mengenai pemerintahan daerah yang berisi tentang peraturan pendistribusian
kewenangan pusat ke daerah pada tingkat kabupaten atau kota8.
7
8
Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kab.Bone “Sejarah Bone”,hal 236
Yusuf, Muhammad “Reproduksi Status Tradisional Dalam Praktik Politik di Kabupaten Wajo” hal
3-4
Disetiap daerah terdapat masyarakat yang hidup mendiami wilayah
tersebut dan mempunyai rasa kesatuan yang sama. Mereka berinteraksi sebagai
proses sosial dan saling taat terhadap sistem sosial yang mereka anut. Indonesia
menjalankan pemerintahan republik presidensial multipartai yang demokratis.
Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di Indonesia
didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Kekuasaan
legislatif
dipegang
oleh
sebuah
lembaga
bernama
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), lembaga eksekutif berpusat pada presiden,
wakil presiden, dan kabinet. Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidensial
sehingga para menteri bertanggung jawab kepada Presiden dan tidak mewakili
partai politik yang ada di parlemen, lembaga Yudikatif sejak masa reformasi dan
adanya amandemen UUD 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung, Komisi
Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi, termasuk pengaturan administrasi para
hakim. Meskipun demikian keberadaan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
tetap dipertahankan. Indonesia saat ini terdiri dari 33 provinsi, lima diantaranya
memiliki status yang berbeda. Provinsi dibagi menjadi 399 kabupaten dan 98 kota
yang dibagi lagi menjadi kecamatan dan lagi menjadi kelurahan, desa, gampong,
kampung, nagari, pekon, atau istilah lain yang diakomodasi oleh Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tiap
provinsi memiliki DPRD Provinsi dan gubernur, sementara kabupaten memiliki
DPRD Kabupaten dan bupati, kemudian kota memiliki DPRD Kota dan walikota,
semuanya dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu dan Pilkada9.
Bappenas: 2004 (Download : Artikel) “Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional tentang
UU No 32 Tahun”
9
Perubahan konstelasi politik era reformasi ditingkat nasional dimulai
dengan terbitnya Undang-Undang 23 tahun 2003 tentang Pemilian Presiden dan
Wakil Presiden secara langsung yang turut mempengaruhi konstalasi politik lokal
dengan dikeluarkannya Undang-Undang 32 tahun 2004 tentang Pemilihan Kepala
Daerah Langsung. Terjadinya desentralisasi kekuasaan dari Presiden kepada
lembaga-lembaga tinggi Negara, terutama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang
memiliki kekuasaan yang relatif besar dalam pengambilan keputusan ditingkat
nasional sering disebut demokratisasi. Sedangkan berpencarnya otoritas politik
dan administrasi dari pusat ke tingkat lokal disebut desentralisasi dan otonomi
daerah. Kekuasaan yang tidak lagi terpusat merupakan bagian dari demokratisasi.
Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah diatur melalui UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah),
yang merupakan peristiwa yang menandai kemajuan demokrasi di Indonesia.
Otonomi daerah memberi ruang kepada daerah dalam proses sukses kepala daerah
masing-masing. Pilkada langsung dimaksudkan untuk memberi kesempatan
masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dan partisipasi politiknya dalam memilih
pemimpin daerahnya. Mulai tahun 2005, pemilihan kepala daerah baik gubernur,
bupati/walikota dipilih secara langsung, mengikuti proses pemilihan presiden
yang dipilih langsung oleh rakyat pada Pemilu 200410.
Kabupaten Bone merupakan salah satu kabupaten yang juga telah
melakukan pilkada setelah lepas dari pemerintahan kerajaan, sampai saat ini
tercatat 13 (tiga belas) Kepala Daerah diberi kepercayaan untuk mengemban
10
Direktorat Jendral Otonomi Daerah, 2003 (Download : Artikel) “UU No 23 Tahun 2003”
amanah pemerintahan di Kabupaten Bone. Di mulai dari Andi Pangeran Petta
Rani Kepala Afdeling/ Kepala Daerah Tahun 1951- H. A. Muh. Idris Galigo,SH
Bupati Kepala Daerah tahun 2003 sampai sekarang11. Dari 13 Kepala Daerah di
Kabupaten Bone menurut wacana sosial budaya yang ada dimasyarakat
menunjukkan bahwa kebanyakan dari mereka merupakan keturunan bangsawan
atau arung. Terlihat pula dari bakal calon bupati 2013-2016 yang masih memiliki
garis keturunan raja dan sebagian dari mereka masih memiliki hubungan
kekerabatan satu sama lainnya. Adanya otonomi daerah memberi kewenangan
penuh untuk pemimpin daerah dalam menjalankan pemerintahannya, dimulai dari
membuat
keputusan
sampai
bagaimana
mereka
mempertahankan
kepemimpinanya. Dalam hal ini, sistem politik pemerintahan di daerah terkesan
dinasti politik, yang merupakan cerminan bentuk politik kekuasaan pada masa
lampau, seperti yang diuraikan penulis sebelumnya bahwa di Kerajaan Bone
seluruh raja yang berkuasa memiliki hubungan darah dengan raja yang pertama
sehingga saat ini hubungan darah bangsawan masih menjadi wacana
dalam
kontestasi politik di Kabupaten Bone.
Berdasarkan fenomena di atas penulis dengan arah kajian Antropologi
politik mencoba menggambarakan dan mengungkap fenomena tersebut melalui
penelitian yang berjudul “PILKADA Kabupaten Bone Dalam Konteks Sistem
Kekerabatan dan Pelapisan Sosial ” sebagai judul dari bahan penelitian dalam
penyusunan tugas akhir dan syarat gelar S1 (Strata satu) pada jurusan Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
11
Depdagri, 2012 (Download : Artikel)”Riwayat Kabupaten Bone”
B. FOKUS PENELITIAN
Pemilukada merupakan sebuah proses pemilihan umum yang dilakukan
untuk memilih kepala daerah setiap lima tahun sekali. Dalam pelaksanaannya,
akan diikuti oleh beberapa kandidat calon kepala daerah. Para kandidat ini akan
bersaing untuk meraih simpati rakyat sehingga mereka dapat dipilih oleh
masyarakat. Banyak cara yang dapat dilakukan sehingga mampu menjadi
pemenang dalam pemilihan tersebut, Kabupaten Bone sendiri berdasarkan
fenomena yang ada, seperti sistem pemerintahan yang bersifat kekerabatan terlihat
pada bakal calon Bupati Bone 2013 rata-rata diantara mereka memiliki hubungan
kekeluargaan satu sama lain, selain itu gelar “Arung” mempengaruhi sistem
politik di Kabupaten Bone serta masyarakat Bone masih mempercayai pemimpin
daerah yang memiliki gelar “Arung”, hal ini berfokus pada sistem pelapisan
sosial dalam konteks kekerabatan atau bagaimana sistem kekerabatan itu
memepengaruhi sistem politik.
Dari hal tersebut kemudian penulis menfokuskan penelitian ini pada
sistem stratifikasi sosial menentukan sistem politik di Kabupaten Bone dengan
merumuskan beberapa pertanyaan:
1. Bagaimana sistem pelapisan sosial & sistem kekerabatan pada masyarakat
Bone?
2. Bagaimana sistem pelapisan sosial & kekerabatan mempengaruhi sistem
politik di Kabupaten Bone?
3. Bagaimana sistem pelapisan sosial & kekerabatan sebagai wacana
masyarakat dalam praktik PILKADA di Kabupaten Bone?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan Penelitian
Studi ini mengenai antropologi politik dalam penelitian ini di harapkan
mampu menghasilkan:
1. Memberikan
gambaran
tentang
pelapisan
sosial
dan
sistem
kekerabatan pada masyarakat Bone.
2. Memberikan penjelasan tentang pengaruh pelapisan sosial dan sistem
kekerabatan terhadap sistem politik di Kabupaten Bone
3. Memberi penjelasan tentang pelapisan sosial dan sistem kekerabtan
sebagai wacana masyarakat dalam praktek PILKADA di Kabupaten
Bone.
Kegunaan Penelitian
a. Manfaat akademis
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan sebagai bekal dalam
mengaplikasikan pengetahuan teoritik terhadap masalah praktis yang diperoleh
pada bangku perkuliahan dengan praktek yang diperoleh di lapangan baik bagi
peneliti sendiri, bagi mahasiswa lain serta para pengenyam ilmu pengetahuan,
terkhusus bagian ilmu antropologi.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi siapa saja, khususnya
dalam pemerintahan Bone, sebagai bahan pertimbangan dalam menjalankan
prosedur pemilu PILKADA.
c. Manfaat Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai bahan referensi dalam
pembelajaran antropologi politik akademisi untuk mengembangkan bidang
keilmuan tertentu dan sekaligus sebagai prasyarat mendapatkan gelar sarjana.
D. TINJAUAN KONSEPTUAL
1. Stratifikasi Sosial
Statifikasi sosial berasal dari kiasan yang menggambarkan keadaan
kehidupan masyarakat. Menurut Pitirim A. Sorokin, stratifikasi sosial adalah
perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat
(hierarkis), perwujudannya adalah adanya kelas-kelas sosial yang lebih tinggi dan
kelas sosial yang rendah. Selanjutnya, Sorokin menjelaskan bahwa dasar dan inti
lapisan sosial dalam masyarakat disebabkan tidak adanya keseimbangan dalam
pembagian hak, kewajiban dan tanggung jawab sosial diantara masyarakat. Pitirin
mengatakan pula bahwa sistem pelapisan sosial merupakan ciri yang tetap dan
umum dalam setiap masyarakat teratur. Barang siapa yang memiliki sesuatu yang
berharga dalam jumlah yang banyak maka akan dianggap memiliki sesuatu
kedudukan dilapisan atas12. Stratifikasi sosial itu menyangkut begitu banyak aspek
12
Bagja waluya “Sosiologi menyelam fenomena sosial di masyarakat”, hal.15
kehidupan seperti kekayaan, politik, karier, keluarga, komunitas, gaya hidup, dan
lain-lain13.
Menurut Soerjono Soekanto, selama pada masyarakat terdapat sesuatu
yang dihargai maka hal itu akan menjadi bibit yang menumbuhkan adanya sistem
yang berlapis-lapis dan Robin Wiliam J.R menyebutkan pokok pedoman tentang
proses terjadinya stratifikasi sosial pada masyarakat, yakni sebagai berikut14:
a. Sistem stratifikasi sosial mungkin berpokok pada sistem pertentangan
yang terjadi pada masyarakat sehingga menjadi objek penelitian
b. Sistem stratifikasi sosial dapat dianalisis dalam ruang lingkup unsurunsur yaitu sebagai berikut:
1) Distribusi hak-hak istimewa yang objektif, misalnya penghasilan,
kekayaan, keselamatan, dan wewenang.
2) Sistem pertentangan yang diciptakan masyarakat (prestise dan
penghargaan).
3) Kriteria sistem pertentangan yaitu apakah didapatkan berdasarkan
kualitas pribadi, keanggotaan kelompok kerabat, hak milik,
wewenang, atau kekuasaan.
4) Lambang-lambang kedudukan, misalnya tingkah laku, cara
berpakaian, bentuk rumah, keanggotaan dalam suatu organisasi
formal.
13
14
Randall Collins dalam” Jurnal Analisis Sosial”, hal.78
Bagja waluya“Sosiologi menyelam fenomena sosial di masyarakat”, hal.20
5) Mudah sukarnya berubah kedudukan.
6) Solidaritas diantara individu atau kelompok sosial yang menduduki
status sosial yang sama dalam sistem sosial, seperti:
a) Pola-pola interaksi (struktur clique dan anggota keluarga).
b) Kesamaan atau perbedaan sistem kepercayaan, sikap, dan
nilai.
c) Kesadaran akan status masing-masing.
d) Aktifitas dalam organisasi secara kolektif.
2. Sistem Kekerabatan
Kehidupan masyarakat diatur dan diorganisasikan oleh adat istiadat
beserta aturan-aturan mengenai bermacam-macam kesatuan lingkungan hidup
dan bergaul. Kesatuan sosial yang paling dekat adalah kekerabatan dan
kesatuan-kesatuan diluar kerabat, tetapi masih dalam lingkup komunitas
mengungkap keragaman budaya15. Susunan suatu keluarga meluas ditentukan
oleh sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Para
antropologlah yang paling mempunyai kewenangan dalam meneliti persoalan
sistem kekerabatan yang dianut oleh suatu masyarakat sehingga keterangan
yang panjang lebar mengenai hal ini akan terjawabkan dalam mempelajari
antropologi16.
Menurut Levi Strauss kekerabatan adalah sistem yang terdiri dari relasirelasi dan oposisi-oposisi seperti suami seperti suami> < istri, bapak > < anak.
15
16
Sutardi Tedi Hal 45 dalam Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya
Indriyani dan sri sutanti “sosiologi suatu kajian kehidupan masyarakat”,hal,50
saudara laki-laki > < saudara perempuan dan sebagainya, pusat perhatian
terdapat pada soal keturunan (decent: siapa yang masuk kedalam mengawini
siapa), dan perkawinan (marriage: siapa boleh mengawini siapa), dan aturan
yang lebih fundamental adalah larangan incest (kawin dengan saudara
sekandung17.
Menurut L.H. Morgan, macam-macam sistem kekerabatan di dunia erat
ikatannya dengan sistem istilah kekerabatan. Susunan masyarakat berdasarkan
kekerabatan dapat dibedakan menjadi18:
1. Garis keturunan bapak (Patrilineal)
Susunan masyarakat yang patrilineal, menarik garis keturunan selalu
dihubungkan dengan bapak. Hak waris hanya diberikan kepada
anggota kerabat laki-laki, trutama anak laki-laki. Bagi masyarakat
patrilineal, laki-laki mendapat penghargaan dan penghormatan lebih
tinggi dari kaum wanita.
2. Garis keturunan ibu (matrilineal)
Susunan
masyarakat
genealogis
menarik
keturunan
hanya
dihubungkan dengan ibu. Setelah perkawinan pengantin menetap
dipusat kediaman kerabat istri. Sistem waris diturunkan kepada
anggota kerabat perempuan dan kedudukan sosialnya lebih tinggi dari
pada laki-laki. Akan tetapi, laki-laki tetap berperan sebagai pengelola
waktu, harta, usah dan adat keluarga.
3. Garis parental
17
18
mudji sutrisno dan hendara putranto “teori-teori kebudayaan”,hal 135
mudji sutrisno, hal 136
Pada masyarakat genelogis yang menarik garis keturunan dari ibu dan
bapak (Bilateral) adalah para anggotanya menganggap dirinya kerabat
dalam memperhitungkan garis keturunan menghubungkan kepada ibu
dan bapak. Anak-anak menjadi hal ibu dan bapak termasuk kerabat
dari pihak laki-laki dan pihak istri. Dalam sistem ini tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
4. Doubleunilateral
Adalah masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal dan
matrilineal yang berlaku dan dijadikan sebagai kesatuan-kesatuan
sosial. Semua anggota keluarga adalah bapak dan ibu.
5. Alternered
Susunan kekerabatan ini berarah sepihak dan berdasarkan perkawinan
yang melibatkan anak-anak termasuk kerabat ibu. Susunan masyarakat
berdasarkan komunitas menjadi tiga yaitu:
a. Perkampungan: terdiri atas para anggota persekutuan yang tidak
berkerabat namun tinggal disuatu daerah atau lingkungan yang
sama.
b. Persekutuan daerah: suatu daerah yang merupakan satu kesatuan
sosial sendiri dan dalam daerah tersebut ada beberapa kampung.
Setiap kampung merupakan daerah bawahan dan mengakui
persekutuan daerah tersebut sebagai induknya.
c. Serikat
kampung:
hubungan
kerja
sama
antara
beberapa
perkampungan yang berdekatan. Persekutuan tersebut memiliki
pengurus, tetapi kedudukannya sejajar dengan pengurus kampung
lainnya. Misalnya: serikat kampung Batak di Tapanuli Tengah.
3. Politik dan Kepemimpinan
Politik merupakan usaha memelihara dan menanamkan tertib sosial
dalam suatu daerah tertentu yang menggunakan organisasi dalam menjalankan
kekuasaan yang dapat memaksa dengan menggunakan atau kemungkinan untuk
menggunakan kekerasan badaniah19. Politik adalah proses pembentukan dan
pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses
pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan
upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat
politik yang dikenal dalam ilmu politik. Di samping itu politik juga dapat ditilik
dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:

politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan
kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)

politik
adalah
hal
yang
berkaitan
dengan
penyelenggaraan
pemerintahan dan negara.

politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan di masyarakat

politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan
pelaksanaan kebijakan publik20.
19
Radcliffe-Brown dalam H.J.M.Claessen, 1940:1
20
Wikepedia, 2012 (Download: artikel)” pengertian politik”
Tujuan dari berpolitik adalah kekuasaan. Kekuasaan merupakan
kemampuan untuk memaksakan kehendak sendiri atas orang lain (Claessen.
1987:1). Menurut Miriam Budiardjo, kekuasaan diartikan sebagai kemampuan
seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah-laku orang atau
kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku21.
Kekuasaan yang terpenting bagi seoarang pemimpin masakini yakni
bagaimana upaya mempertahankannya dengan berbagai upaya politik yang
dilakukan, seperti yang marak terjadi saat ini dikenal dengan dinasti politik atau
biasa juga disebut politik kekerabatan. Menonjolnya pertalian keluarga dalam
daftar pilkada merupakan tanda nyata, sejatinya budaya politik kita masih amat
tradisional.
Dalam kajian antropologi, praktik parpol-parpol itu lazim disebut politik
kekerabatan. Politik kekerabatan merupakan praktik yang banyak ditemui di
lingkungan masyarakat tradisional yang berbasis pada nilai-nilai budaya
kesukuan (tribal-culture-based societies) yang amat kuat seperti biasa dijumpai di
bumi Afrika dan Asia Selatan. Pola hubungan politik yang terbangun lebih
didasarkan kesatuan garis keturunan (unilineal discent associations). Formasi
sosial dan aliansi politik yang terbentuk juga bertumpu pada pertalian
perkawinan dan hubungan darah22.
21
22
Miriam Budiardjo.”Dasar-Dasar Ilmu Politik” 2004: 10
Kurtz dalam Mulyono. 2012
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah sering juga
disebut pilkada atau pemilukada adalah pemilihan umum untuk memilih kepala
daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh masyarakat
sesuai dengan syarat ketentuan yang ada. Kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang dimaksud adalah gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi,
bupati dan wakil bupati untuk kabupaten, walikota dan wakil walikota untuk
kota. Pada era Hindia Belanda, istilah kabupaten dikenal dengan regentschap,
yang secara harafiah artinya adalah daerah seorang regent atau wakil penguasa.
Pembagian wilayah kabupaten di Indonesia saat ini merupakan warisan dari era
pemerintahan Hindia Belanda. Dahulu istilah kabupaten dikenal dengan Daerah
Tingkat II Kabupaten. Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, istilah Daerah Tingkat II dihapus sehingga
Daerah Tingkat II Kabupaten disebut Kabupaten saja. Bupati/walikota, dalam
konteks otonomi daerah di Indonesia adalah kepala daerah untuk wilayah
kabupaten/kota. Seorang bupati sejajar dengan walikota, yakni kepala daerah
untuk daerah kota. Pada dasarnya, bupati/walikota memiliki tugas dan
wewenang memimpin penyelenggaraan daerah berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan bersama DPRD kabupaten. Bupati/walikota dipilih dalam satu
pasangan
secara
langsung
oleh
rakyat
di
kabupaten/kota
setempat.
Bupati/walikota merupakan jabatan politis (karena diusulkan oleh partai
politik)23.
23
Wikepedia, 2012 (Download: artikel)” Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala
4. Wacana Sistem Pelapisan Sosial dan Sistem Kekerabatan
Dalam penelitian yang penulis lakukan dalam ruang lingkup Kabupaten
Bone yang merupakan bekas kerajaan, peneliti juga menggunakan kombinasi
sejarah dalam penelitian lapangan. Setidaknya hal ini dapat memberi
pemahaman bagaimana kemudian sejarah tersebut menjadi suatu tindakan atau
landasan sistem pemerintahan Kabupaten Bone pada saat ini. Secara
keseluruhan penelitian ini menggambarkan bagaimana wacana yang ada
dimasyarakat tentang sebuah history Kerajaan Bone yang masih ada
pengaruhnya dalam struktur pemerintahan, seperti sistem pelapisan sosial dan
sistem kekerabatan yang berlaku pada masa kerajaan sangat berpengaruh dalam
pemerintahan yang terlihat jelas dari PILKADA dimana bakal calon Bupati yang
ada beberapa diantara mereka merupakan keturunan Arung.
daerah”
KERANGKA PEMIKIRAN
STRATIFIKASI SOSIAL
SISTEM
(KETURUNAN BANGSAWAN)
KEKERABATAN
STRATEGI POLITIK
PILKADA
KEKUASAAN
(PEMERINTAHAN)
E. METODE PENELITIAN
1. Tipe/Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yakni menguraikan gambaran
menyeluruh dan terperinci tentang peristiwa yang ada. Data deskriptif tersebut
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat
diamati24, dengan menggunakan pendekatan fenemologis dimana peneliti
menginterpretasi, menafsirkan hasil penelitianya25.
24
Bogdan dan Taylor (1975:5) dalam “Metode, Teori, Teknik, Penelitian Kebudayaan hal.85-86
25
Suyanto, Bagyon & Sutinah (ed.)”Metode Penelitian Sosial” hal 229
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, dimana kajiannya
merupakan fenomena empirik di lapangan yang meliputi berbagai hal
pengumpulan data lapangan, seperti life history, pengalaman pribadi,
wawancara, pengamatan, sejarah, teks visual,dan sebagainya26.
Pengumpulan data pada penelitian ini tidak bersifat kaku akan tetapi
senantiasa disesuaikan dengan keadaan atau fenomena di lapangan. Dengan
demikian hubungan antara peneliti dengan apa yang diteliti tidak dapat
dipisahkan. Validitas data sangat ditentukan oleh penelitinya, oleh karena itu
dalam penelitian ini peneliti berupaya untuk selalu cermat, tanggap dan mampu
memberi makna fenomena yang terjadi di lapangan dengan karakteristik
tersebut. Selain itu ada 2 hal penelitian kualitatif yang mendorong penelitian ini,
yakni27:
1. Melalui penelitian kualitatif realitas yang terjadi di lapangan dapat
terungkap secara mendalam dan mendetail.
2. Penelitian kualitatif dapat menemukan makna dari suatu fenomena
yang terjadi di lapangan, karena sifatnya naturalis induktif dan
deskriptif
Selain penelitian lapangan, seperti yang diuraikan sebelumnya diatas oleh
penulis bahwa dalam penelitian ini terdapat pula catatan sejarah mengenai
pemerintahan Kerajaan Bone pada masa lampau dan berita dikoran daerah
26
Denzin dan Lincoln (1994:1-3)dalam “Metode, Teori, Teknik, Penelitian Kebudayaan hal.86
Rudiansyah hal.5 dalam Yusuf, Muhammad “Reproduksi Status Tradisional Dalam Praktik Politik
di Kabupaten Wajo hal 19
27
mengenai PILKADA, hal ini sangat membantu penulis dalam validaritas datanya
memberi gambabaran menyeluruh dan terperinci tentang relasi kekerabatan
dan kekuasaan politik dalam PILKADA di Kabupaten Bone.
2. Teknik Pemilihan Informan
Penentuan informan dalam penelitian ini digunakan konsep Spradlay
(1997:61) dan Benard (1994:166) yang prinsipnya menghendaki seorang
informan itu harus paham terhadap budaya yang dibutuhkan. Penentuan
informan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik snowballing, yaitu
berdasarkan informasi informan sebelumnya untuk mendapatkan informan
berikutnya sampai mendapatkan ‘data jenuh’ (tidak terdapat informasi baru
lagi).28
Berdasarkan pendapat tersebut informan kunci yang dipilih adalah
keluarga dekat dari penulis yang merupakan warga lokal yang mendiami daerah
tersebut dalam kurun waktu yang cukup lama, selain itu penulis juga merupakan
warga setempat sehingga tidak begitu sulit bagi penulis kemudian menemukan
informan selanjutnya, setelah informan kunci mengarahkan penulis mendatangi
beberapa informan yang dianggapnya akan memberi informasi tentang
bagaiman penjelasan mengenai sistem kekerabatan dan pelapisan sosial
mempengaruhi perpolitikan (PILKADA) di Kabupaten Bone.
28
Endraswara, Suwardi “Metode, Teori, Teknik, Penelitian Kebudayaan” hal 203
Dengan teknik snowballing, jumlah informan tidak terbatas jumlahnya.
Karakteristik informan juga tidak ditentukan oleh peneliti melainkan didasarkan
pada rekomendasi informan sebelumnya. Melalui rekomendasi tersebut peneliti
segera menghubungi informan berikutnya sampai data yang diperoleh
mendapatkan kesatuan yang utuh.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth
interview) dan pengamatan (Observasi). Hal ini dilakukan sesuai dengan
permasalahan yang ada di dalam penelitian dan fokus penelitian untuk memberi
gambaran dan penjelasan baik itu sejarah, sitem kekerabatan dan pelapisan
sosial, serta fenomena politik dalam PILKADA di Kabupaten Bone. Teknik
pengumpulan data yang dilakukan penulis merujuk pada teknik yang diajukan
Bungin tentang teknik pengumpulan data yang tepat untuk penelitian kualitatif
antara lain adalah teknik wawancara mendalam (indepth interview) dan
pengamatan (observasi)29. Khususnya pada wawancara mendalam, teknik ini
memang merupakan teknik pengumpulan data yang khas bagi peneliti kualitatif.
Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Paton bahwa cara utama yang dilakukan
Bungin (2008) Hal. 139 dalam Yusuf, Muhammad “Reproduksi Status Tradisional Dalam Praktik
Politik di Kabupaten Wajo hal 21
29
oleh para ahli metodologi kualitatif untuk memahami persepsi, perasaan, dan
pengetahuan seseorang adalah wawancara mendalam dan intensif30.
Dalam penelitian ini data yang dibutuhkan bersifat kualitatif, untuk itu
penulis lalu mengkombinasikan beberapa teknik yang digunakan dalam kualitatif
agar memperoleh data yang sesuai dengan tujuan penelitiannya. Adapun teknik
tersebut, seperti yang diutarakan penulis dibawah ini:
a. Kepustakaan/ Literatur
Dengan studi pustaka, penulis membaca beberapa artikel atau buku-buku
yang menyangkut masalah penelitian ini. Seperti buku-buku kajian antropologi
dan politik hal ini sebagai bahan acuan penulis melakukan penelitian di lapangan,
selain itu sejumlah artikel dikoran daerah dan internet mengenai kritikan dan
praktik politik PILKADA di Kabupaten Bone yang memberi kemudahan penulis
ssmemahami kondisi perpolitikan di Kabupaten Bone pada saat ini. Selain itu,
beberapa data sekunder diperoleh penulis dari KPU (Komisi Pemilihan Umum)
dan instansi pemerintahan daerah seperti Bappeda dan Statistik Kabupaten Bone
serta pemerintah tingkat desa. Penulis juga mendapat sebuah buku dari Museum
Lapawowai Kabupaten Bone yang berisi
membaca
buku
tersebut,
penulis
sejarah Kerajaan Bone. Dengan
memperoleh
pemahaman
untuk
membandingkan sistem pemerintahan Kerajaan Bone dimasa lampau dengan
30
Ruslam Ahmadi (2005) Hal. 57 dalam Yusuf, Muhammad “Reproduksi Status Tradisional
Dalam Praktik Politik di Kabupaten Wajo hal 21
sistem pemerintahan sekarang, dimana hal ini merupakan salah satu data yang
diinginkan oleh penulis.
b. Pengamatan (observasi)
Observasi adalah suatu penelitian secara sistematis menggunakan
kemampuan indera manusia. Pengamatan dilakukan pada saat terjadi aktifitas
budaya dan wawancara secara mendalam. Hal ini bermaksud memodifikasi
pertanyaan sesuai kondisi informan. Pengamatan yang dilakukan oleh peneliti
adalah pengamatan / Observasi moderat, peneliti hanya mengamati aktifitas
subjek yang diteliti secara tertentu. Mengamati beberapa aktifitas subjek
penelitian yang mempunyai peran dalam proses PILKADA maupun berbagai
anggapan/wacana yang ada dimasyarakat, dalam hai ini kemudian sangat
menunjang penulis dalam mengamati beberapa kodisi aktual subjek yang
berperan dalam PILKADA dan sistem pemerintahan di Kabupaten Bone. Dalam
Penelitian lapangan, penulis melakukan pengamatan dalam berbagai situasi
subjek yang diteliti dimana mereka berada dilingkup yang formal seperti mereka
berprilaku yang mengarah kesituasi praktik politik juga mengamati tiap baliho
dari kandidat calon bupati untuk melihat bagaimana pencitraan mereka yang
dapat memudahkan penulis untuk lebih mengetahui mereka kemudian
membandingkannya dengan persepsi yang ada dimasyarakat, selain itu penulis
dalam beberapa kesempatan mengamati bagaimana subjek ketika bersama
kerabat, teman dan para rekan kerjanya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
bagaimana subjek pada saat berada diluar profesinya dan pada saat dia berada
dalam aktifitas-aktifitas yang berkaitan dengan politik. Dengan teknik ini dapat
memudahkan penulis menjelaskan bagaimana sistem kekerabatan dan pelapisan
sosial menentukan sistem politik di Kabupaten Bone.
Jika
diikhtisarkan,
alasan
secara
metodologis
bagi
penggunaan
pengamatan ialah: pengamatan mengotimalkan kemampuan peneliti dari segi
motif, kepercayan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan, dan sebagainya;
pengamatan memungkinkan pengamat untuk melihat dunia sebagaimana dilihat
oleh subjek penelitian, hidup pada saat itu, menangkap arti fenomena dari segi
pengertian subjek, menangkap kehidupan budaya dari segi pandangan dan
panutan para subjek pada keadaan waktu itu; pengamatan memungkinkan
peneliti merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek sehingga
memungkinkan pula peneliti menjadi sumber data; pengamata memungkinkan
pembentukan pengetahuan yang diketahui bersama, baik dari pihaknya maupun
dari pihak subjek31.
c. Wawancara mendalam (Indepth Interview)
Dalam pengumpulan data dilakukan wawancara mendalam agar penulis
lebih memahami data yang dinginkan mengenai fenomena yang terjadi
dilapangan. Pedoman wawancara cukup membantu penulis dalam sistematis
pertanyaan namun penulis sering mencipatakan pertanyaan baru sesuai jawaban
31
Lexy J.Moleong (2008) ,”Metodologi Penelitian Kualitatif”hal 175
dari informan. Dalam hal ini, penulis membiarkan informan mengutarakan halhal yang tidak terfokus pada satu topik saja melainkan hal lain yang masih
berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu, hal ini dapat memudahkan penulis
untuk membangun raport dengan informan agar wawancara ini tidak berkesan
kaku. Dengan membangun raport yang baik juga memudahkan penulis
memproleh informan dari arahan informan sebelumnya, dikarenakan penelitian
ini menggunakan teknik snowballing. Wawancara melalui media sosial
(BlackBerry Massenger) juga dilakukan penulis terhadap beberapa informan, hal
ini salah satu alternatif yang diyakini penulis untuk mendapatkan data yang
maksimal, karena senantiasa informan tak semua dari mereka dapat
menyampaikan pendapatnya dengan baik secara lisan, ada informan yang
nyaman menyampaikan suatu pendapat melalui tulisan. Intinya dalam penelitian
ini wawancara mendalam meliputi pengalaman, pendapat dan kepercayaan,
pengatahuan mengenai norma, nilai, sikap, harapan, tanggapan dan pendapat.
Seperti yang ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (1985:266), antara lain:
mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi,
tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan; mengkonstruksikan kebulatankebulatan demikian sebagai yang dialami pada masa lalu; memproyeksikan
kebulatan-kebulatan sebagai yang diharapkan untuk dialami pada masa yang
akan datang32.
32
Lexy J.Moleong (2008),”Metodologi Penelitian Kualitatif” hal 186
4. Proses Penelitian Lapangan
Diawal penelitian, penulis melakukan pengamatan awal di daerah
penelitian. Tertarik dengan tema penelitian dikarenakan hal tersebut sering
dibaca penulis pada sejumlah koran daerah dan merupakan fenomena yang
cukup menyita perhatian banyak masyarakat setempat. Peneliti kemudian
mencari tahu dengan mengkaji beberapa bahan yang terkait dengan peneltian
ini, lalu penulis mendiskusikan hal tersebut dengan beberapa kerabat dan teman
sedaerah yang sama-sama berprofesi sebagai mahasiswa. Setelah melakukan
diskusi kemudian penulis menyusun beberapa langkah dimana aktivitas peneliti
di lapangan, sebagai berikut:
Pertama, penulis mengatur jadwal pertemuan dengan beberapa kerabat
untuk bertemu, membicarakan sejumlah fenomena yang berupa wacana sosial
dimasyarakat yang menyangkut penelitian ini. Selain itu penulis mencoba
menyapa sejumlah teman-teman sedaerah melalui media sosial. Dimaksudkan
agar mereka dapat memberikan referensi menghasilkan nama beberapa
informan (subjek) yang untuk selanjutnya penulis lakukan identifikasi nama
orang-orang (subjek) tersebut dengan menanyakan ulang kepada orang lain
tentang reputasi; hal ihwal yang telah dilakukannya; pada peristiwa apa saja
subjek tersebut terlibat; cara si subjek dalam berbicara; bagaimana reaksi subjek
dalam hal kesopanan dan kesatunan terhadap lawan bicaranya; topik apa saja
yang dalam hal-hal tertentu tidak boleh dibicarakan; dan yang paling penting
alamat rumah subjek tersebut. Dengan informasi awal tersebut, penulis mulai
melakukan persiapan dengan mengidentifikasi subjek tersebut yang dijadikan
informan dalam penelitian lapangan. Akan tetapi langkah ini kemudian justru
lebih berkembang dengan bertambahnya informasi yang didapatkan pada saat
penulis mulai melakukan penelitian lapangan pada tahap berikutnya.
Kedua, Tahap resmi masuknya peneliti ke lapangan. Dimana penulis
menyelesaikan prosedur resmi penelitian, dimulai dengan memproleh surat
pengantar penelitian dari kampus yang ditujukan ke Balitbang daerah Prov.
Sulsel lalu diterbitkan ijin penelitian selama 2 bulan (antara februari dan april)
yang selanjutnya dibawah ke pemerintah daerah Kabupaten Bone sebagai lokasi
yang dimaksud dalam penelitian. Penulis dapat menyelesaikan penelitian kurang
dari waktu yang ditentukan. Hal ini dikarenakan dalam pemilihan informan yang
diarahkan oleh informan sebelumnya merupakan orang yang dikenal oleh
penulis, sehingga memudahkan penulisdalam memproleh data.
Ketiga, penulis melakukan pengamatan terhadap daerah penelitian,
dimana
daerah
penelitian
merupakan
daerah
asal
penulis,
sehingga
memudahkan penulis menyusun langkah pengamatan kondisi sehari-hari
informan. Di sini penulis menghabiskan waktu cukup lama untuk melakukan
pengamatan (sebagai salah satu teknik pengambilan data) terhadap semua
aktivitas yang dilakukan oleh obyek penelitian di lapangan (observasi). Teknik
yang penulis lakukan diawali dengan mendiskusikan beberapa hal pada infoman
kunci mengenai etika budaya daerah setempat dalam hal ini memperhatikan
kaidah-kaidah kesantunan untuk menghindari ketersinggungan subjek. Penulis
berusaha
mendokumentasikan
dalam
catatan
harian
lapangan
sambil
membangun suatu ringkasan-ringkasan yang dibarengi dengan asumsi-asumsi
tentang apa-apa yang telah dilakukan subjek dalam peristiwa tersebut.
Keempat, adalah tahapan utama yaitu pengambilan data lewat
wawancara dengan beberapa informan. Tahap ini sekiranya akan berjalan
maksimal apabila peneliti melalui tahap-tahap sebelumnya. Dimana peneliti
mempunya berbagai kerangka pemikiran dari hasil pengamatan di lapangan yang
telah peneliti lakukan sebelumnya, untuk kemudian dikonfirmasikan dengan data
yang peneliti peroleh dari wawancara pada tahap ini. Hasilnya adalah kutipankutipan wawancara yang sesuai dengan bangunan-bangunan kesimpulan tentang
kejadian ataupun peristiwa yang peneliti hadapi yang merujuk pada fokus
penelitian ini. Meski beberapa hasil wawancara dikumpulkan tetap saja selalu
berubah-ubah sesuai simpulan penulis dalam menginterpretasi dengan semakin
banyaknya situasi yang peneliti amati di lapangan.
Kelima, adalah tahap akhir dari fase penelitian ini yaitu penulisan laporan.
Setelah semua proses yang telah peneliti lalui maka penulisan laporan menjadi
tahap akhir dari agenda penelitian ini, semua catatan lapangan dikumpulkan dan
hasil rekaman dijabarkan kembali dalam tulisan untuk dimasukkan dalam tulisan
tetapi catatan lapangan tetap disimpan untuk keperluan sewaktu-waktu
nantinya. Dalam agenda terakhir tahap ini tentunya tetap menjaga hubungan
baik dengan semua pihak yang telah membantu penulis melalukan penelitian di
lapangan. Dan untuk tahap ini penulis tetap akan merasa banyak kekurangan
sehingga tetap membuka diri untuk kembali ke lapangan sebagai komitmen dari
kekurangan tersebut untuk kemudian benar-benar keluar dari lapangan dan
menyelesaikan penelitian secara total.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Secara garis besar hasil penelitian dalam skripsi ini diuraikan dengan
sistematika penulis yang terdiri dari 5 bab, yaitu :
BAB 1 PENDAHULUAN merupakan tulisam yang berisi tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka
konseptual, metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA merupakan kajian tentang penulisan literatur antara
lain yang berhubungan dengan nilai-nilai sistem kekerabatan, struktur sosial,
sistem pemerintahan dan prilaku politik di Kabupaten Bone, kemudian penulis
membaca beberapa studi tentang antropologi politik, serta konsentrasi wujud
sistem kekerabatan menentukan sistem politik di Kabupaten Bone.
BAB 3 GAMBARAN LOKASI UMUM merupakan bab yang menguraikan tentang
gambaran umum lokasi penelitian yang secara umum menggambarkan keadaan
sejarah kerajaan, keadaan geografis, organisasi pemerintahan, tatanan nilai
dalam sistem pemerintahan dan politik serta karakteristik informan di Kabupaten
Bone.
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN merupakan bab yang menguraikan
tentang wujud sistem pelapisan sosial & sistem kekerabatan pada masyarakat
Bone, sistem kekerabatan mempengaruhi sistem politik di Kabupaten Bone,
sistem kekerabatan & pelapisan sosial menjadi wacana dalam praktik PILKADA
di Kabupaten Bone
BAB 5 PENUTUP berisi kesimpulan dan saran.
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dalam penelitian ini mengkaji masalah fenomena politik, yang berkaitan
dengan sistem pemerintahan dan pemilihan kepala daerah berlatarbelakang
budaya, komunitas dan etnik berkaitan dengan Antropologi politik. Dengan
menggunakan metode antropologis penelitian ini terfokus pada kerangka
pemikiran dengan penggambaran dari strategi pemenangan berdasarkan sistem
stratifikasi sosial dan kekerabatan menentukan sistem politik di Kabupaten Bone.
Dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini, terdapat wacana dalam
masyarakat bahwa sistem pelapisan sosial dan sistem kekerabatan berpengaruh
terhadap tindakan sistem politik Kabupaten Bone sekarang, dimana daerah ini
masih menjunjung tinggi adat istiadat lokal. Yakni pada dasarnya sistem
kekerabatan yang berlaku masih berupa pemetaan-pemetaan stratifikasi
tertentu yang berujung pada suatu keinginan untuk pencapaian politik. Antara
pelapisan sosial, kekerabatan dan politik sangat erat kaitannya. Ini terlihat dari
bentuk-bentuk strategi politik yang ditunjukkan oleh kandidat bakal calon Bupati
Bone bahwa antara satu bakal calon dan calon yang lainnya masih memiliki
hubungan kekerabatan bahkan masih ada hubungan darah.
Hal ini menunjukkan warisan budaya politik pada era kerajaan, masih
berdampak dalam perilaku politik dewasa ini, namun pemaknaannya sudah
berbeda dimana pada masa kerajaan masih murni memelihara kejujuran dalam
menjalankan pemerintahannya. Beda halnya dengan saat ini dimana masa
sekarang memanfaatkan lapisan sosial (Arung) dan sistem kekerabatan tersebut
sebagai
strategi
pemerintahannya
pemenangan
berkesan
pemilihan
lambat.
kekuasaan
Dengan
otonomi
yang
sistem
daerah
banyak
menimbulakan kasus-kasus dipemerintahan dikarenakan orientasi kepentingan
pemimpin didukung oleh sistem kekerabatan yang tidak sesuai lagi dengan
sistem nilai budaya, dimana motto masyarakat bone Lempu’ : bersikap jujur,
Getteng : istiqamah dan ada tongeng : berkata benar.
2. Saran
Berdasarkan
hasil penelitian dapat
disarankan
bahwa
perlunya
rekonstruksi pada sistem pemerintahan dimana penerapan demokrasi belum
maksimal adanya. Dalam pemilihan kepala daerah terkhusus penerapan
pendidikan politik dimasyarakat yang masih sangat kurang. Masyarakat
cenderung pragmatis dalam memilih pemimpinnya tanpa melihat kompetensi
yang dimiliki oleh para calon Bupati. Selain itu sistem UU Pilkada perlu
penyempurnaan dimana seorang pemimpin masih aktif maka tidak di
perbolehkan mengusung calon Bupati dari keluarga yang paling dekat karena hal
ini sangat tidak rasional dan Undang-undang Mitrabilitas PNS hak memilih, harus
netral tidak memihak pada otoritas pemimpin yang ada, karena kasus yang ada
di Bone semua mengikut apa yang di katakan oleh pemimpin/ Bupati.
Kenyataan dan keluahan yang terdapat dalam wacana masyarakat kini
menunjukkan sebagian besar dari penduduk Bone belum makmur didaerahnya
sendiri, hanya segelintir dari mereka yang menikmati kemakmuran tersebut,
yakni si pemangku kepentingan beserta kerabat, dan pengikutnya. Kesejahteraan
serta keadilan bersama menjadi impian dari masyarakat Bone.
RIWAYAT HIDUP
Lia Amelia (E 511 08 268), lahir pada tanggal 14 Agustus
1989 di Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Penulis
adalah anak pertama dari dua bersaudara, anak dari
pasangan suami istri Armin Rachim dan Muliyati Usman.
Penulis mengawali pendidikan di TK Melati Sakarina
yayasan PG.Camming pada Tahun 1998 sampai 1999.
Pada tahun 1999, penulis melanjutkan pendidikan di SD Yayasan PG.Camming
Kab.Bone sampai tahun 2004. Pada tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan
di SLTP Neg.4 Watampone, Lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2006
melanjutkan pendidikan di SMA Neg.1 Watampone. Penulis lulus SMA pada
tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke Universitas
Hasanuddin Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, jurusan Antropologi Sosial.
Download