Indonesian Journal of Sociology and Education Policy

advertisement
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
Vol. 2, No. 1, Januari 2017
Artikel
ISSN 2503-3336
Proxemics Dalam Ruang Publik Perkotaan: Studi Mode Choice Pada
Masyarakat Penglaju Jabodetabek
Penulis: Ahmad Ilyas
Dipublikasikan oleh: Jurusan Sosiologi, FIS, UNJ
Diterima: Juli 2016; Disetujui: Agustus 2016
Halaman artikel: 48 – 69
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy (IJSEP) menerbitkan artikel analisis
secara teoritis yang berhubungan dengan kajian sosiologi dan kebijakan pendidikan.
Jurnal IJSEP diterbitkan oleh Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas
Negeri Jakarta yang terbit 2 kali dalam setahun. Redaksi berharap bahwa jurnal ini
menjadi media informasi dan komunikasi dalam pengembangan ilmu sosiologi dan
juga kebijakan pendidikan di Indonesia. Redaksi IJSEP mengundang para sosiolog,
peminat sosiologi, pengamat dan peneliti di bidang kebijakan pendidikan, dan para
mahasiswa untuk berdiskusi dan menulis melalui jurnal ini. Adapun kriteria dan
panduan penulisan artikel dapat dilihat pada laman berikut:
http://www.i-sep.pub/index.php/ijspe/about/submissions#authorGuidelines
Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
Proxemics Dalam Ruang Publik Perkotaan: Studi Mode
Choice Pada Masyarakat Penglaju Jabodetabek
Ahmad Ilyas
Program Studi Sosiologi, FISIP, Universitas Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Tulisan ini berusaha menjelaskan mode choice pada komunitas
penglaju Jabodetabek melalui teori proxemics oleh Hall (1966).
Tulisan Thomas (2009) menyimpulkan bahwa sikap terhadap
proxemics merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi
kenyamanan individu dalam menggunakan mode transportasi
publik, akan tetapi, tulisan tersebut tidak menyimpulkan suatu
hubungan antara sikap terhadap proxemics dengan mode choice.
Dengan metode kuantitatif, penelitian ini melihat bagaimana
sikap terhadap proxemics behaviour individu (dilihat melalui tiga
dimensi : kinesthetic, touch code, dan visual code) dapat berkaitan
dengan proses pemilihan mode transportasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa proxemics behaviour responden pada umumnya
mengonfirmasi teori Hall (1966). Namun, tidak ada signifikansi
hubungan antara proxemics behaviour dan mode choice karena
responden pada umumnya lebih mementingkan waktu tempuh
ketimbang kenyamanan pribadi dalam berkendara.
Kata kunci: Proxemics, proxemics behaviour, mode choice, mode
transportasi, penglaju, perkotaan
Abstract
This article tried to explain mode choice among commuter community
of Jabodetabek by using Proxemics theory by Hall (1966). An article
48
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
Proxemics Dalam Ruang Publik Perkotaan: Studi Mode Choice
Pada Masyarakat Penglaju Jabodetabek
by Thomas (2009) concluded that proxemics behaviour is one of the
variables that affect the comfortability of public transports, however,
the article did not conclude any significance of proxemics behaviour
towards mode choice. With the use of quantitative methods, this
article observed how one’s proxemics behaviour (measured by three
dimensions : kinesthetic, touch code, and visual code) is connected to the
process of choosing a mode of transportation. The study shows that
among the respondents in general, Hall’s Proxemics theory (1966) is
confirmed, but there is no evidence of its connection to mode choice, as
the respondents in general are more concerned in travel time instead of
personal comfortability.
Keywords: Proxemics, proxemics behaviour, mode choice, transport
mode, commuter community, urban area
PENDAHULUAN
Kemacetan lalu lintas di jalan raya merupakan masalah
yang terjadi di berbagai kota besar di penjuru dunia. Masalah ini
tidak lepas dari mode choice atau pemilihan mode transportasi di
masyarakat, di mana semakin banyak transportasi pribadi maka
badan jalan akan semakin padat, berujung pada kemacetan
(Wismadi, 2013). Tingginya penggunaan mode transportasi
pribadi terjadi di kota-kota dengan tingkat kemacetan tertinggi di
dunia (INRIX, 2014), seperti Brussels, London (London Travel
Demand Survey, 2011), Manchester (Great Britain Departement
for Transport, 2014), Los Angeles (US Census Bureau, 2013),
San Francisco (SFMTA, 2011), dan Rotterdam (Western Australia
Dept. of Transport, 2014). DKI Jakarta juga mengalami hal yang
sama, di mana 80 persen kendaraan yang turun ke jalan adalah
kendaraan pribadi (JUTPI Project, 2012).
Untuk menjelaskan mode choice di masyarakat, kita dapat
mengacu pada studi-studi sebelumnya yang menjelaskan faktorfaktor yang mempengaruhi pemilihan mode transportasi. Hasil
studi literatur menunjukkan bahwa mode choice dapat dipengaruhi
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
49
Ahmad Ilyas
oleh faktor-faktor struktural seperti struktur kota, kepadatan
penduduk, dan kebijakan pemerintah. Faktor-faktor tersebut
mempengaruhi aksesibilitas dan kualitas dari mode transportasi
publik yang disediakan. Semakin rendah aksesibilitas dan kualitas
dari mode transportasi publik, maka tingkat penggunaannya akan
menurun. Contohnya apabila tarif kendaraan mahal, letak halte dan
terminal yang jauh dari rumah, atau rute kendaraan tidak melewati
tujuan perjalanan (McLennan & Bennetts, 2003 ; Collins, 2005 ;
Muller, et al. 2007 ; Buehler, 2011 ; Cooke, 2012 ; Martin, 2012
; Vafeiadis, 2012 ; Enaux & Gerber, 2014 ; Gaudry, et al. 2014 ;
Lind, et al. 2015 ; Mahmoud, et al. 2015 ; Papaioannou & Martinez
2015 ; Reisi, et al. 2015 ; Schiebel, et al. 2016). Kritik terhadap
perspektif ini adalah terlalu mendefinisikan individu sebagai aktor
dengan rasionalitas berbasis ekonomi, di mana mereka selalu
memperhitungkan untung dan rugi dari setiap mode transportasi
yang mereka pilih. Padahal, individu bisa saja mempertimbangkan
pilihan yang secara ekonomis tidak menguntungkan, dan memilih
berdasarkan nilai dan preferensi pribadi (Scott dalam Browning,
2000).
Studi literatur lebih jauh menunjukkan bahwa mode choice
juga tidak lepas dari faktor internal individu, seperti kondisi sosialekonomi dan nilai pribadi yang dimiliki. Individu dapat memiliki
penilaian dan preferensi tersendiri terhadap mode transportasi
publik dan pribadi, sehingga dapat menjadi pertimbangan untuk
memilih mode transportasi mana yang lebih diminati (Windle &
Burholt, 2003 ; Collins & Chambers, 2005 ; Shen, et al. 2005 ;
Muller, et al. 2007 ; Buehler, 2011 ; Cooke, 2012 ; Vafeiadis, 2012 ;
Xianyu, 2013 ; Enaux & Gerber, 2014 ; Lind, et al. 2015 ; Ma, 2015
; Anderson, 2016 ; Anwar, et al. 2016). Berbeda dari kelompok
literatur sebelumnya, kritik terhadap literatur ini adalah bagaimana
nilai-nilai dan pemikiran individu disimpulkan sebagai sesuatu
yang rigid. Padahal, hal-hal tersebut sangat fleksibel dan dapat
berubah drastis sewaktu-waktu.
Pada penelitian ini, dibahas satu aspek yang belum dibahas
sebelumnya. Pada masyarakat yang kompleks seperti masyarakat
perkotaan, konteks sosial dapat memiliki berbagai bentuk. Pada
50
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
Proxemics Dalam Ruang Publik Perkotaan: Studi Mode Choice
Pada Masyarakat Penglaju Jabodetabek
konteks sosial tertentu, individu-individu di dalamnya memiliki
relasi sosial yang erat dengan jumlah yang sedikit. Sementara
pada konteks sosial lainnya, individu-individu bisa memiliki
relasi sosial yang renggang, dan dengan jumlah yang banyak.
Di masyarakat perkotaan, mode transportasi pribadi dan mode
transportasi publik memiliki konteks sosial yang sangat berbeda.
Mode transportasi pribadi biasanya meliputi jumlah orang yang
sedikit dan di antaranya terdapat relasi sosial yang erat. Contohnya
adalah mobil pribadi yang umumnya diisi oleh orang-orang yang
jumlahnya sedikit dan saling mengenal. Pada mode transportasi
publik, karakteristik konteks sosial yang muncul cenderung jauh
berbeda. Mode transportasi publik dibuat untuk dipergunakan
oleh masyarakat umum, dan dirancang untuk memiliki kapasitas
besar. Contohnya adalah pada mode transportasi kereta listrik yang
di dalamnya dapat diisi oleh ratusan orang yang tidak mengenal
satu sama lain.
Perbedaan pada konteks sosial ini juga menimbulkan
respons berbeda pada individu yang ada di dalamnya, karena
kenyamanan pribadi bisa berkurang jika individu dikelilingi begitu
banyak orang asing selama perjalanan (Thomas, 2009). Oleh
karena itu, penulis berargumen bahwa perbedaan antara dua jenis
konteks sosial di atas dapat mempengaruhi mode choice seseorang.
Asumsinya, orang yang mementingkan kenyamanan dalam
berkendara akan cenderung memilih mode transportasi pribadi,
dan orang yang tidak terlalu mementingkan kenyamanan akan
bersikap sebaliknya.
KERANGKA TEORI: PROXEMICS OLEH HALL
Gagasan utama dari teori proxemics adalah bahwa relasi sosial
antar individu memiliki pengaruh terhadap bagaimana individu
mengatur jarak fisik di antara mereka. Teori ini dikemukakan oleh
Hall (1966) yang melakukan observasi terhadap perilaku individu
dalam suatu ruang sosial. Temuan utama dari observasinya adalah
semakin erat relasi sosial antar individu, maka kedua individu
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
51
Ahmad Ilyas
akan cenderung terbuka dengan kontak fisik yang akrab, sehingga
mereka tetap merasa nyaman ketika berada pada jarak fisik yang
dekat, ketika terjadi sentuhan, atau ketika terjadi kontak mata.
Sebaliknya, antara individu yang belum memiliki relasi sosial yang
kuat, kontak-kontak tersebut akan cenderung dihindari. Dengan
kata lain, semakin erat relasi sosial antar individu, maka semakin
timbul keterbukaan untuk terjadi kontak fisik.
Ketika terjadi interaksi, misalnya ketika berbincang tatap
muka, individu memiliki persepsi tersendiri terhadap bagaimana
relasi sosial di antara dirinya dan lawan bicaranya. Dari persepsi
tersebut, individu akan membangun sikap mengenai jarak fisik
dan kontak fisik yang pantas. Sikap inilah yang disebut proxemics
behaviour. Proxemics behaviour individu tidak terbangun secara
sengaja, tetapi terbangun secara bawah sadar. Individu mungkin
tidak menentukan batasan-batasan konkret tentang jarak fisik
yang pantas dan kontak fisik yang diperbolehkan, tetapi individu
akan memiliki sense dan reaksi-reaksi tertentu, baik fisik maupun
psikologis, ketika batasan tersebut dilanggar.
Meskipun proxemics behaviour bersifat individual, akan tetapi
terdapat suatu pola umum mengenai sikap terkait jarak dan kontak
fisik dalam masyarakat. Menurut Hall (1969), proxemics behaviour
merupakan karakteristik biologis animalia, di mana makhluk hidup
akan memiliki wilayah khusus yang dilindunginya dari makhluk
lain. Pada manusia, tubuh termasuk ke dalam wilayah yang dibatasi
dari makhluk lain. Dari situ, Hall (1966) menemukan suatu pola
yang menggambarkan proxemics behaviour di masyarakat pada
umumnya. Dari hasil obersvasinya, menemukan bahwa manusia
akan memiliki empat batasan yang mengelilingi wilayah tubuhnya
(Hall, 1966, 114-125) :
1. Batasan intim. Batasan ini merentang dari persis di depan
kulit hingga jarak satu langkah. Rentang batas ini umumnya
diperbolehkan hanya untuk orang-orang dengan relasi sosial
yang sangat kuat, seperti orangtua, keluarga, saudara kandung,
atau pasangan nikah. Interaksi sosial dan fisik yang terjadi
pada rentang ini umumnya bersifat afektif atau seksual.
2. Batasan personal. Batasan ini merentang sekitar satu hingga
52
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
Proxemics Dalam Ruang Publik Perkotaan: Studi Mode Choice
Pada Masyarakat Penglaju Jabodetabek
dua langkah dari tubuh. Pada rentang batas ini, interaksi yang
terjadi umumnya adalah percakapan yang bersifat pribadi, dan
kontak fisik yang terjadi umumnya berupa jabatan tangan,
sentuhan sementara, atau tepukan. Batasan ini umumnya
terbuka untuk teman dekat, dan dapat mencakup dua hingga
lima orang.
3. Batasan sosial. Batasan ini merentang dari sekitar tiga hingga
empat langkah dari tubuh. Pada batasan ini, interaksi yang
terjadi umumnya berupa percakapan yang formal seperti
rapat atau forum diskusi kecil yang melebihi lima orang. Relasi
dan interaksi yang terdapat di dalamnya umumnya bersifat
organik dan impersonal, seperti antara dua rekan kerja atau
kenalan baru. Pada batasan ini juga, kontak fisik terjadi sangat
minim dan dihindari.
4. Batasan publik. Batasan ini merentang dari lima langkah dan
lebih jauh. Batasan ini adalah untuk orang-orang yang tidak
dikenal pada konteks sosial publik. Relasi sosial yang terjadi
di dalamnya sangat kecil atau tidak ada sama sekali, dan oleh
karena itu, interaksi verbal dan fisik sangat dihindari, kecuali
karena diperlukan atau tidak disengaja.
Pada masyarakat perkotaan, batasan-batasan di atas
sangat rentan untuk dilanggar, karena kondisi masyarakat
yang kompleks, relasi antar individu di perkotaan cenderung
renggang, tetapi interaksi sosial terjadi begitu dinamis. Seringkali
ditemukan situasi di mana individu berada pada jarak fisik yang
begitu dekat, meskipun di antara keduanya tidak ada relasi sosial
yang erat. Contohnya adalah pada komunitas pengguna kereta
listrik yang berdesakan dalam gerbong (Griffin, 2014). Sommers
(2007) menemukan bahwa pada situasi seperti itu, individu akan
melakukan dehumanisasi terhadap orang-orang di sekitarnya.
Dehumanisasi adalah menghilangkan unsur kemanusiaan dari
seseorang, dan menganggapnya sebagai sebuah benda mati. Pada
konteks pengguna kereta listrik, misalnya, individu melakukan
dehumanisasi dengan menghindari kontak mata dan interaksi
verbal, seolah-olah orang di sekitarnya adalah benda mati. Dengan
memperlakukan orang di sekitarnya sebagai benda mati, individu
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
53
Ahmad Ilyas
menghindari ketidaknyamanan dari perasaan dikelilingi orang
asing.
Batasan-batasan di atas merupakan sebuah gambaran
umum, dan dapat bervariasi pada individu-individu yang berbeda.
Salah satu aspek penting yang diperhatikan dalam studi mengenai
proxemics adalah aspek kultural yang berbeda antar masyarakat. Pada
masyarakat Islam, kontak fisik antara laki-laki dan perempuan yang
bukan keluarga adalah sesuatu yang dilarang, sehingga proxemics
behaviour di antara keduanya akan cenderung tertutup. Di samping
aspek kultural, juga ditemukan bahwa proxemics behaviour dapat
dipengaruhi oleh jenis kelamin, ekonomi, usia, dan konstruksi
media massa.
Selain batasan jarak fisik, Hall (1966) juga mengemukakan
teori tentang proxemic behaviour, atau sikap seseorang terhadap jarak
fisik antar individu. Untuk menjelaskan sikap terhadap proxemics,
Hall (1963:1003) mengemukakan delapan dimensi perilaku yang
dapat dijadikan alat ukur, dan untuk penelitian ini, tiga dimensi
digunakan untuk pengukuran :
1. Kinesthetic factor, yaitu terkait dengan jarak fisik antar individu
dan potensi untuk terjadinya sentuhan. Semakin erat relasi
sosial antar individu, maka semakin dekat jarak fisik yang
saling mereka perbolehkan.
2. Touch code, yaitu terkait dengan kontak fisik atau sentuhan
antar individu. Semakin erat relasi sosial antar individu, maka
kontak fisik yang terjadi akan semakin intim. Sebaliknya,
semakin asing seseorang, maka kontak fisik akan semakin
dihindari.
3. Visual code, yaitu terkait dengan pandangan dan kontak mata.
Kontak mata yang intens hanya diperbolehkan untuk individu
dengan relasi yang erat, baik relasi mekanik maupun organik.
Sementara itu, bagi individu dengan relasi yang lemah atau
tidak saling mengenal, pandangan tepat ke arah mata dapat
dinilai tidak sopan.
54
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
Proxemics Dalam Ruang Publik Perkotaan: Studi Mode Choice
Pada Masyarakat Penglaju Jabodetabek
METODOLOGI
Penelitian ini menjelaskan hubungan antara proxemics
behaviour dengan pemilihan mode transportasi. Asumsinya,
semakin individu memiliki proxemics behaviour yang tertutup, maka
ia akan menghindari penggunaan mode transportasi publik. Untuk
itu, penelitian ini menggunakan metode kuantitatif untuk mencari
hubungan antara variabel proxemics behaviour dan mode choice individu.
Kedua variabel ini dioperasionalisasikan ke dalam indikatorindikator khusus. Proxemics behaviour diukur berdasarkan tiga
dimensi yang diadaptasi dari teori Hall (1966) ;
1. Kinesthetic factor. Aspek ini dinilai berdasarkan seberapa
terbukanya responden untuk berdekatan dengan orang lain.
Semakin responden terbuka untuk berada pada jarak fisik
yang dekat dengan orang lain, maka nilai untuk dimensi ini
semakin tinggi. Akan tetapi jika responden merasa tidak
nyaman ketika berdekatan dengan orang lain, maka dimensi
ini dinilai rendah.
2. Touch code. Aspek ini dinilai berdasarkan seberapa terbukanya
responden untuk melakukan kontak fisik atau sentuhan
dengan orang lain. Semakin responden terbuka untuk
melakukan kontak fisik dengan orang lain, maka nilai untuk
dimensi ini semakin tinggi. Sebaliknya, jika responden merasa
tidak nyaman ketika bersentuhan dengan orang lain, baik
sengaja maupun tidak, maka nilai untuk dimensi ini semakin
rendah.
3. Visual code. Aspek terakhir ini dinilai berdasarkan bagaimana
sikap responden terhadap kontak mata dengan orang lain.
Apabila responden terbuka untuk melakukan kontak mata
dengan orang lain, maka nilai untuk dimensi ini semakin
tinggi. Akan tetapi bila responden merasa tidak nyaman jika
mengarahkan pandangan ke orang lain, maka dimensi ini
dinilai rendah.
Variabel mode choice diukur dengan melihat perilaku
berkendara dalam tiga bulan terakhir. Informasi yang ditanyakan
adalah frekuensi menggunakan mode transportasi pribadi dan
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
55
Ahmad Ilyas
publik, frekuensi melakukan modal split (berganti antara mode
transportasi dalam sekali perjalanan), kepuasan terhadap mode
transportasi publik dan pribadi, serta faktor yang menjadi
pertimbangan individu sebelum menentukan mode transportasi
untuk berkendara.
Indikator-indikator di atas disajikan dalam bentuk kuesioner
yang disebarkan secara online kepada 200 responden. Kriteria
responden dalam penelitian ini adalah penduduk Jabodetabek yang
menglaju (commuter) dan pernah menggunakan mode transportasi
pribadi dan publik masing-masing minimal sekali dalam setahun
terakhir. Alasan pemilihan kriteria ini adalah asumsi bahwa orangorang tersebut sudah pernah mengalami berkendara dengan mode
transportasi pribadi dan publik, sehingga dapat menilai kedua jenis
mode transportasi tersebut. Alasan pemilihan komunitas penglaju
adalah asumsi bahwa orang-orang tersebut rutin melakukan
perjalanan sehari-hari, sehingga memiliki pengetahuan atas mode
transportasi dan fasilitas-fasilitas yang tersedia untuk bepergian.
Selain itu, pengguna mode transportasi publik dibatasi hanya pada
mode transportasi kereta listrik, karena kereta listrik memiliki
kapasitas penumpang yang lebih luas dari mode transportasi publik
dalam kota lainnya, sehingga memberikan ruang untuk dinamika
sosial yang lebih tinggi. Karena keterbatasan data pengguna kereta
listrik di Jabodetabek, maka kerangka sampel dibuat dengan teknik
purposive.
DATA TEMUAN
Secara umum, hasil temuan menunjukkan bahwa teori
Hall (1966) tentang proxemics behaviour terkonfirmasi, dan temuan
Thomas (2009) tentang konteks sosial dalam mode transportasi
publik juga selaras dengan hasil temuan ini. Akan tetapi, penarikan
argumen lebih jauh yang berpendapat bahwa proxemics dapat
memengaruhi mode choice belum terbukti dari data temuan. Selain
itu, selaras dengan pendapat Hall (1966), jenis kelamin responden
juga menunjukkan pengaruh terhadap proxemics, namun tidak
56
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
Proxemics Dalam Ruang Publik Perkotaan: Studi Mode Choice
Pada Masyarakat Penglaju Jabodetabek
menunjuukkan adanya hubungan terhadap mode choice.
Untuk menghitung apakah responden lebih sering
menggunakan mode tranpsortasi publik atau pribadi, maka dicari
selisih antara frekuensi penggunaan dua jenis mode transportasi
tersebut. Nilai indeks berkisar dari -3 untuk paling sering
menggunakan mode transportasi pribadi, dan -3 untuk paling sering
menggunakan mode transportasi publik. Dengan menggunakan
perhitungan tersebut, ditemukan bahwa dari 200 responden,
rata-rata nilai pada kedua dimensi menunjukkan kecenderungan
preferensi ke arah mode transportasi pribadi. Dimensi frekuensi
penggunaan mode transportasi menunjukkan nilai rata-rata -0.43
dan dimensi kepuasan terhadap mode transportasi menunjukkan
nilai rata-rata -0.56. Ini menunjukkan bahwa responden lebih
cenderung memilih mode transportasi pribadi ketimbang mode
transportasi publik, meskipun kecenderungannya tidak ekstrem.
Tabel 1. Faktor yang dipertimbangkan dalam memilih mode
transportasi
Faktor yang dipertimbangkan
Waktu tempuh
Kenyamanan pribadi
Kemudahan / kepraktisan
Biaya perjalanan
Jarak tempuh
Kualitas fasilitas
Kualitas pelayanan
Total
%
34
24
17
15
5
2.5
2.5
100
Di antara pilihan faktor yang paling dipertimbangkan
dalam memilih mode transportasi, persentase terbesar ada pada
faktor waktu tempuh, yaitu 34 persen. Kenyamanan pribadi ada
pada posisi terbesar kedua, dengan 24 persen. Faktor yang paling
tidak diperhitungkan adalah kualitas fasilitas dan pelayanan, yaitu
masing-masing 2.5 persen. Dari data tersebut, dapat dikatakan
bahwa responden pada umumnya lebih mempertimbangkan waktu
tempuh sebelum menentukan mode transportasi. Kenyamanan
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
57
Ahmad Ilyas
pribadi juga diperhitungkan, meskipun tidak sepenting waktu
tempuh. Sementara itu, kualitas fasilitas dan pelayanan justru
menjadi faktor yang paling dikesampingkan. Ini menunjukkan
bahwa responden pada umumnya tidak bermasalah dengan
kualitas kendaraan dan pelayanan yang kurang baik, asalkan
perjalanan dapat ditempuh dalam waktu singkat dan kenyamanan
berkendara tidak terganggu.
Berdasarkan jenis kelamin, terlihat bahwa tampak ada
sedikit kecenderungan perbedaan antara responden laki-laki
dan perempuan. Pada responden perempuan, faktor yang paling
dipertimbangkan masih menunjukkan persentase terbesar pada
waktu tempuh, akan tetapi, responden laki-laki menunjukkan
persentase lebih besar pada kenyamanan pribadi. Hal ini
menunjukkan bahwa ada kecenderungan perbedaan antara proxemics
behaviour pada laki-laki dan perempuan, di mana responden lakilaki lebih berpotensi untuk mempertimbangkan proxemics behaviour
dalam memilih mode transportasi. Meskipun begitu, hasil ini
belum menunjukkan adanya keterkaitan antara proxemics behaviour,
jenis kelamin, dan proses pemilihan mode transportasi.
Tabel 2. Mode transportasi publik paling sering dipakai
Mode transportasi publik
Kereta listrik
Ojek berbasis online
Angkot / mikrolet
Taksi berbasis online
Bus kota
Transjakarta Busway
Ojek konvensional
Lainnya
Total
%
55
18
13.5
4.5
3.5
2.5
2
1
100
Tabel 3. Mode transportasi pribadi paling sering dipakai
Mode transportasi pribadi
Sepeda motor / kendaraan roda dua
Mobil / kendaraan roda empat
Total
58
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
%
69
31
100
Proxemics Dalam Ruang Publik Perkotaan: Studi Mode Choice
Pada Masyarakat Penglaju Jabodetabek
Dari tabel di atas, mode transportasi publik yang paling
banyak digunakan adalah kereta listrik, sebanyak 55 persen, dan
mode transportasi pribadi yang paling banyak digunakan adalah
kendaraan roda dua. Di antara mode transportasi publik lainnya,
kereta listrik adalah mode transportasi yang cenderung lebih
nyaman dan memiliki waktu perjalanan yang relatif singkat,
khususnya untuk perjalanan jarak jauh, karena didukung jalur rel
yang khusus, sehingga terhindar dari kemacetan. Sementara itu,
sepeda motor juga relatif lebih cepat dibanding kendaraan roda
empat, khususnya pada kondisi jalan macet dan jalan daerah
suburban. Data pada tabel di atas selaras dengan data pada tabel
1.2, yang menunjukkan bahwa responden pada umumnya tidak
bermasalah dengan kualitas kendaraan dan pelayanan, selama
perjalanan dapat ditempuh dalam waktu cepat.
Proxemics behaviour responden dinilai dari seberapa
terbukanya mereka terhadap kedekatan fisik, sentuhan, dan
kontak mata terhadap orang-orang lain yang dibagi berdasarkan
relasi sosial, mulai dari saudara atau keluarga, teman atau rekan,
dan orang asing. Setiap indikator dinilai berdasarkan 4 kategori
jawaban, mulai dari 1 untuk paling terbuka hingga 4 untuk paling
tertutup. Setelah itu, nilai setiap indikator dalam satu dimensi
dijumlahkan untuk menghasilkan nilai indeks, merentang dari 6
untuk paling terbuka hingga 24 untuk paling tertutup. Dengan
penghitungan tersebut, dihasilkan rata-rata dari masing-masing
dimensi sebagai berikut;
Tabel 4. Rata-rata nilai proxemics behaviour per dimensi
Dimensi
Kinesthetic
Touch code
Visual code
Rata-rata nilai
10.5
13.3
11.3
Secara umum, hasil penghitungan terhadap proxemics
behaviour selaras dengan tulisan Hall (1966), di mana semakin
renggang relasi sosial dengan orang lain, maka semakin kecil
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
59
Ahmad Ilyas
keinginan untuk terjadinya kedekatan fisik, sentuhan, dan kontak
mata. Persentase proxemcis behaviour responden pada umumnya
menunjukkan adanya perbedaan nilai antara proxemics behaviour
terhadap keluarga dan saudara, teman dan rekan, serta orang asing,
di mana responden pada umumnya lebih tertutup terhadap orang
asing dibanding keluarga dan teman.
Untuk menjelaskan lebih lanjut, maka indikator-indikator
dari proxemics behaviour di atas dibagi berdasarkan relasi sosial
responden dengan orang lain, dan diperoleh rata-rata nilai sebagai
berikut ;
Tabel 5. Rata-rata nilai proxemics behaviour per kategori relasi sosial
Kategori relasi sosial
Keluarga dan saudara
Teman dan rekan
8.2
9.7
Orang asing
17.3
Rata-rata nilai
Dari tabel tersebut terlihat bahwa rata-rata nilai proxemics
behaviour responden pada umumnya semakin bertambah seiring
merenggangnya relasi sosial dengan orang lain. Pada keluarga dan
saudara, rata-rata nilai proxemics behaviour terbilang sangat rendah,
begitu pula pada teman dan rekan, meskipun rata-rata nilainya
meningkat, tetapi masih tergolong rendah. Sementara itu, pada
kategori orang asing, rata-rata nilai proxemics behaviour termasuk
tinggi. Ini menunjukkan bahwa responden pada umumnya sangat
terganggu apabila ada orang asing yang berdekatan, melakukan
kontak fisik, atau terlibat kontak mata dengan mereka.
Elaborasi dengan jenis kelamin responden pada proxemics
behaviour berdasarkan relasi sosial juga menunjukkan kecenderungan
yang sama dengan data pada tabel 2.3 di atas. Meskipun begitu,
responden perempuan memiliki nilai proxemics behaviour terhadap
orang asing yang lebih tinggi dibandingkan responden lakilaki. Ini menunjukkan bahwa responden perempuan memiliki
kecenderungan yang lebih tinggi untuk terganggu oleh orang asing
dibandingkan dengan responden laki-laki, meskipun rata-rata nilai
60
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
Proxemics Dalam Ruang Publik Perkotaan: Studi Mode Choice
Pada Masyarakat Penglaju Jabodetabek
proxemics behaviour antara keduanya tidak terlalu jauh.
Menurut pendapat Hall (1996), jenis kelamin juga menjadi
variabel penting dalam proxemics behaviour. Ketika dielaborasi
berdasarkan jenis kelamin, tampak bahwa relasi antara jenis
kelamin memiliki pengaruh terhadap proxemics behaviour ;
Tabel 5. Relasi antara jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap
proxemics behaviour
Relasi antar jenis kelamin
Responden laki-laki
Responden perempuan
Rata-rata nilai
proxemics behaviour
Terhadap laki-laki
18,7
Terhadap perempuan
16,4
Terhadap laki-laki
20,4
Terhadap perempuan
14,7
Hal menarik yang ditemukan dalam data adalah bahwa
proxemics behaviour responden pada umumnya lebih terbuka pada
orang lain berjenis kelamin perempuan, dan lebih tertutup pada
laki-laki. Sementara itu, rata-rata proxemics behaviour yang paling
tertutup adalah antara responden perempuan dengan orang lain
berjenis kelamin laki-laki. Ini menunjukkan bahwa jenis kelamin
orang lain menjadi signifikan dalam proxemics behaviour responden,
di mana responden perempuan cenderung lebih tertutup terhadap
orang lain berjenis kelamin laki-laki, sementara responden lakilaki cenderung lebih terbuka terhadap orang lain berjenis kelamin
perempuan.
Untuk menganalisis korelasi antara proxemics behaviour dan
mode choice secara statistik, maka kedua variabel akan direkodifikasi
menjadi variabel ordinal. Adapun detail rekodifikasi dari kedua
variabel tersebut adalah sebagai berikut ;
1. Variabel proxemics behaviour dibagi menjadi dua kategori, yaitu
“cenderung terbuka” dan “cenderung tertutup”, berdasarkan
indeks nilai dari dimensi kinesthetic, touch code, dan visual code
yang dibagi dari nilai tengah.
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
61
Ahmad Ilyas
2. Variabel mode choice dibagi ke dalam dua variabel, yaitu
kecenderungan penggunaan mode transportasi dan kepuasan
terhadap mode transportasi. Kedua variabel ini dibagi
ke dalam tiga kategori, yaitu “cenderung ke arah mode
transportasi pribadi”, “tidak ada preferensi”, dan “cenderung
ke arah mode transportasi publik”, berdasarkan selisih nilai
antara penggunaan dan kepuasan terhadap mode transportasi
publik dan pribadi.
Setelah rekodifikasi variabel-variabel di atas, selanjutnya
dibuat tabel silang antara proxemics behaviour dan kecenderungan
memilih mode transportasi, dan antara proxemics behaviour dan
kepuasan terhadap mode transportasi. Adapun tabel silang yang
dihasilkan adalah sebagai berikut ;
Tabel 6. Proxemics behavior & kecenderungan memilih mode
transportasi
Kecenderungan memilih
mode transportasi
Proxemics behaviour
Cenderung terbuka
Cenderung tertutup
Transportasi pribadi
46.4 %
45.5 %
Tidak ada preferensi
22.3 %
26.1 %
Transportasi umum
31.3 %
28.4 %
Total
100 %
100 %
Tabel 7. Proxemics behavior & kepuasan terhadap mode transportasi
Kepuasan terhadap
mode transportasi
Transportasi pribadi
Tidak ada preferensi
Transportasi umum
Total
Proxemics behaviour
Cenderung terbuka
50.9 %
43.8 %
5.4 %
100 %
Cenderung tertutup
56.8 %
40.9 %
2.3 %
100 %
Pada tabel 6, tidak terlihat adanya pola hubungan yang
signifikan antara proxemics behaviour dengan kecenderungan memilih
62
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
Proxemics Dalam Ruang Publik Perkotaan: Studi Mode Choice
Pada Masyarakat Penglaju Jabodetabek
mode transportasi. Baik pada responden dengan proxemics behaviour
yang terbuka maupun yang tertutup, persentase responden paling
banyak cenderungmenggunakan mode transportasi pribadi.
Pola yang sama juga muncul pada tabel 3.2, bahkan dengan
kecenderungan yang lebih besar. Maka itu, kedua tabel silang
di atas menunjukkan bahwa proxemics behaviour cenderung tidak
membawa pengaruh signifikan dalam keputusan responden pada
umumnya dalam memilih mode transportasi untuk bepergian.
Tabel 8. Kecenderungan memilih mode transportasi dan proxemics
behaviour berdasarkan jenis kelamin responden
Tabel 9. Kepuasan terhadap mode transportasi dan proxemics behaviour
berdasarkan jenis kelamin responden
Meskipun dilakukan elaborasi berdasarkan jenis kelamin
responden, hubungan antara proxemics behaviour dan pemilihan
mode transportasi tetap tidak menunjukkan adanya pola hubungan
yang signifikan. Pada responden laki-laki, kecenderungan untuk
menggunakan dan kepuasan terhadap mode transportasi pribadi
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
63
Ahmad Ilyas
masih lebih tinggi dibandingkan mode transportasi pribadi, baik
pada responden dengan proxemics behaviour cenderung terbuka
ataupun tertutup. Pola yang sama juga muncul pada responden
perempuan. Ini menunjukkan bahwa meskipun jenis kelamin
menjadi variabel yang berpengaruh dalam proxemics behaviour,
seperti pada tabel 3.4 di atas, variabel jenis kelamin tidak
menunjukkan adanya ciri variabel kontrol dalam hubungan antara
proxemics behaviour dan pemilihan mode transportasi.
Pengukuran dependensi antar variabel dengan chi-square
menunjukkan hasil sebagai berikut;
Tabel 10. Pengukuran dependensi dengan chi-square
Variabel
Signifikansi
Nilai chisquare
Proxemics behaviour dan penggunaan mode
transportasi
0.8
0.44
Proxemics behaviour dan kepuasan terhadap
mode transportasi
0.45
1.6
Tabel 11. Pengukuran dependensi dengan chi-square dengan elaborasi
jenis kelamin responden
Responden laki-laki
Variabel
Responden perempuan
Signifikansi
Nilai chisquare
Signifikansi
Nilai chisquare
Proxemics behaviour dan
penggunaan mode
transportasi
0.6
0.7
0.48
1.4
Proxemics behaviour dan
kepuasan terhadap
mode transportasi
0.2
2.7
0.8
0.3
Nilai signifikansi dari kedua hubungan bivariat melebihi
nilai alpha (0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa proxemics
behaviour tidak mempengaruhi baik kecenderungan memilih mode
64
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
Proxemics Dalam Ruang Publik Perkotaan: Studi Mode Choice
Pada Masyarakat Penglaju Jabodetabek
transportasi maupun kepuasan terhadap mode transportasi.
Elaborasi dengan menggunakan jenis kelamin juga menunjukkan
tidak adanya signifikansi hubungan antar dua variabel, karena
semua nilai signifikansi melewati nilai alpha (0.05). Maka dari itu,
dari penghitungan ini dapat disimpulkan bahwa secara statistik,
tidak ada pengaruh dari proxemics behaviour terhadap proses
pemilihan mode transportasi.
Dari uraian data temuan di atas, dapat diambil beberapa
poin penting ;
1. Responden pada umumnya akan lebih rentan untuk terganggu
ketika berkendara dengan mode transportasi publik, khususnya
pada kondisi di mana mereka dikelilingi oleh orang-orang asing,
sementara, kenyamanan pribadi mereka akan lebih terjamin
ketika menggunakan mode transportasi pribadi. Namun, dari
poin ini saja belum dapat disimpulkan adanya hubungan antara
proxemics behaviour dan mode choice individu, di mana semakin
tertutup proxemics behaviour, maka semakin cenderung untuk
memilih mode transportasi pribadi.
2. Jenis kelamin muncul sebagai variabel yang memengaruhi
proxemics behaviour. Responden pada umumnya memiliki
perbedaan proxemics behaviour antara dengan laki-laki dan
perempuan, di mana mereka umumnya lebih terbuka kepada
perempuan. Pada konteks mode transportasi publik, dapat
disimpulkan bahwa gerbong khusus perempuan pada kereta
listrik dapat mengurangi ketidaknyamanan bagi penumpang
perempuan, ketimbang harus berada di dalam gerbong umum,
khususnya jika harus dikelilingi oleh banyak penumpang lakilaki. Akan tetapi, data temuan tidak menunjukkan adanya
signifikansi dari variabel jenis kelamin. Meskipun proxemics
behaviour antara responden laki-laki dan perempuan berbeda,
akan tetapi kecenderungan dalam pemilihan dan kepuasan
terhadap mode transportasi tetap cenderung memilih mode
transportasi pribadi.
3. Responden pada umumnya lebih mempertimbangkan waktu
tempuh sebelum menentukan mode transportasi untuk
berkendara. Kenyamanan pribadi juga menjadi pertimbangan,
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
65
Ahmad Ilyas
akan tetapi tidak lebih penting dari waktu tempuh. Sementara
itu, kualitas fasilitas dan pelayanan dari mode transportasi
adalah faktor yang paling tidak diperhatikan. Dari sini
dapat disimpulkan bahwa responden pada umumnya tidak
bermasalah jika berkendara dengan kendaraan yang fasilitas
dan pelayanannya kurang berkualitas, selagi perjalanan bisa
ditempuh dengan cepat.
4. Tabel silang dan pengukuran dengan chi-square menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara proxemics
behaviour dan mode choice. Tabel silang menunjukkan bahwa
responden cenderung memilih mode transportasi pribadi,
meskipun proxemics behaviour mereka cenderung. Mengacu
pada poin sebelumnya, ditunjukkan bahwa responden pada
umumnya akan memilih mode transportasi yang dapat
menempuh perjalanan dalam waktu yang singkat, yang berarti
proxemics behaviour tidak lebih dipertimbangkan ketimbang
waktu tempuh.
KESIMPULAN
Secara garis besar, tulisan ini mengonfirmasi teori Hall
(1966) tentang proxemics dan Thomas (2009) tentang ruang sosial
dalam konteks mode transportasi publik, akan tetapi, ketika tulisan
ini berusaha menawarkan argumen lebih lanjut bahwa proxemics
behaviour dapat memengaruhi pemilihan mode transportasi, hasil
data temuan tidak membuktikan argumen tersebut. Dari data
temuan, tampak bahwa responden pada umumnya memiliki
proxemics behaviour yang selaras dengan teori Hall (1966), di mana
semakin renggang relasi sosial antar individu, maka akan semakin
tertutup kemungkinan untuk terjadinya kedekatan fisik, sentuhan,
atau kontak mata. Akan tetapi, data temuan tidak menunjukkan
adanya hubungan antara proxemics behaviour dan pemilihan mode
transportasi. Melihat dari data temuan, responden pada umumnya
lebih mementingkan waktu tempuh perjalanan ketimbang faktorfaktor lainnya, dan karena waktu tempuh dari mode transportasi
66
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
Proxemics Dalam Ruang Publik Perkotaan: Studi Mode Choice
Pada Masyarakat Penglaju Jabodetabek
publik tidak menjanjikan, maka responden pada umumnya
lebih banyak menggunakan mode transportasi pribadi.. Mode
transportasi publik di Jabodetabek mungkin juga masih kurang
baik dari segi fasilitas dan pelayanan, namun responden pada
umumnya tidak terlalu mementingkan faktor-faktor tersebut.
Poin penting lainnya yang muncul dalam data temuan
adalah bagaimana jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap
proxemics behaviour. Responden dengan jenis kelamin perempuan
menunjukkan kerentanan yang lebih tinggi terhadap proxemics
behaviour. Dalam konteks mode transportasi publik Jabodetabek,
ini menunjukkan bahwa perubahan pada aspek-aspek tertentu
dapat meningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan mode
transportasi publik. Contohnya adalah optimalisasi pemisahan
gerbong khusus wanita dan laki-laki pada kereta listrik. Melihat
proxemics behaviour responden perempuan yang lebih tertutup
terhadap laki-laki, dapat disimpulkan bahwa pemisahan gerbong
dalam kereta listrik dapat membantu meningkatkan kenyamanan
bagi pengendara perempuan, meskipun tidak secara langsung dapat
membuat orang-orang menggunakan mode transportasi tersebut,
khususnya apabila kecepatan waktu tempuh yang dijanjikan masih
belum maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Marie. 2016. “Characteristics Of Trips And Travellers
In Private And Public Transportation In The Danish Travel
Survey Data”. Annual Danish Transport Conference. Aalborg
University.
Anwar, Mehbub. 2016. Presenting Traveller Preference
Heterogeneity In The Context Of Agency Theory:
Understanding And Minimising The Agency Problem.
Urban, Planning and Transport Research 4.1 (2016).
Browning, Gary et al. 2000. Understanding Contemporary Society. Sage
Publications
Buehler, Ralph. “Determinants Of Transport Mode choice: A
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
67
Ahmad Ilyas
Comparison Of Germany And The USA”. Journal of
Transport Geography 19.4 (2011)
Collins, C. M. “Psychological And Situational Influences On
Commuter-Transport-Mode choice”. Environment and Behavior
37.5 (2005)
Cooke, Sean. “An Analysis Of The Urban Density-Modal Split
Relationship And Its Significance In Cape Town”. University
of Cape Town, 2012.
Enaux, Christophe, and Philippe Gerber. “Beliefs About Energy,
A Factor In Daily Ecological Mobility?”. Journal of Transport
Geography 41 (2014)
Gaudry, Marc, and Mathieu de Laparent. “Attitudes To Distance,
Time And Cost In Logit Transport Choice Models”. Journal
of Economic Literature Classification (2014)
Griffin, Emory et al. 2014. A First Look At Communication Theory.
Print.
Hall, Edward T. “A System for the Notation of Proxemic
Behavior.” American Anthropologist 65.5 (1963)
Hall, Edward T. 1966. The Hidden Dimension. Anchor Books.
Lind, Hans et al. “The Value-Belief-Norm Theory, Personal
Norms And Sustainable Travel Mode choice In Urban Areas”.
Journal of Environmental Psychology 44 (2015)
Ma, Tai-Yu. “Bayesian Networks For Multimodal Mode choice
Behavior Modelling: A Case Study For The Cross Border
Workers Of Luxembourg”. Transportation Research Procedia
10 (2015)
Mahmoud, Mohamed Salah. “Myopic Choice Or Rational Decision
Making? An Investigation Into Mode choice Preference
Structures In Competitive Modal Arrangements In A
Multimodal Urban Area, The City Of Toronto”. Canadian
Journal of Civil Engineering (2016)
Martin, Jacob. “How Parking Pricing and Supply Management
Can Be Used to Drive Transport Mode choice: A Case Study
For Curtin University” (2012)
McLennan, Peter and Martin Bennetts,”The journey to work: a
descriptive UK case study”, Facilities 21.7 (2003)
68
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
Proxemics Dalam Ruang Publik Perkotaan: Studi Mode Choice
Pada Masyarakat Penglaju Jabodetabek
Müller, Sven, Stefan Tscharaktschiew, and Knut Haase. “TravelTo-School Mode choice Modelling And Patterns Of School
Choice In Urban Areas”. Journal of Transport Geography 16.5
(2008)
Papaioannou, Dimitrios, and Luis Miguel Martinez. “The Role Of
Accessibility And Connectivity In Mode choice. A Structural
Equation Modeling Approach”. Transportation Research
Procedia 10 (2015)
Reisi, Marzieh et al. “Land-Use Planning: Implications For
Transport Sustainability”. Land Use Policy 50 (2016): 252-261
Schiebel, Julien, Philippe Gerber, and Hichem Omrani. “Border
Effects On The Travel Mode choice Of Resident And
Crossborder Workers In Luxembourg”. European journal of
transport and infrastructure research (2016)
Shen, Junyi, Yusuke Sakata, and Yoshizo Hashimoto. “Is Individual
Environmental Consciousness One Of The Determinants
In Transport Mode choice?”. Applied Economics 40.10 (2008)
Sommer, Robert. Personal Space. Bristol: Bosko Books, 2007. Print.
Thomas, Jared. 2009. The social environment of public transport. Victoria
University of Wellington
Vafeiadis, Evangelos. 2012. An interdisciplinary study of transport mode
choice. Aalborg University
Windle, Gill and Vanessa Burholt ”Older people in Wales, their
transport and mobility: A literature review”, Quality in Ageing
and Older Adults 4.2 (2003),”
Wismadi, A., J. Soemardjito and H. Sutomo (2013), ‘Transport
Situation in Jakarta’, in Kutani, I. (ed.), Study on energy efficiency
improvement in the transport sector through transport improvement and
smart community development in the urban area. ERIA Research
Project Report 2012-29
Xianyu, Jianchuan. “An Exploration Of The Interdependencies
Between Trip Chaining Behavior And Travel Mode choice”.
Procedia - Social and Behavioral Sciences 96 (2013): 1967-1975
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy
69
Download