BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV/AIDS saat ini merupakan penyakit yang dianggap paling menakutkan. WHO (World Health Organization), badan PBB untuk kesehatan dunia, memperkirakan AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Pada tahun 2005 saja, AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa; lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak. Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika SubSahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan persediaan sumber daya manusia di sana. Oleh karena itu, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. Selain itu, sampai saat ini belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan penderita dari penyakit ini. Obat yang ada hanya berfungsi untuk menghambat pertumbuhan virus dan memperpanjang masa hidup penderita. Oleh karena itu, sangat penting untuk dilakukan diagnosa dini terhadap penyakit ini karena penyakit ini merupakan penyakit yang tidak menunjukkan gejala pada bulan-bulan pertama padahal pada masa tersebut penderita sudah dapat menularkan penyakit HIV/AIDS ini kepada orang lain. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana uraian dari HIV/AIDS? 2. Apa yang menyebabkan penyakit AIDS? 3. Bagaimana penyebaran dari penyakit AIDS? 4. Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit HIV/AIDS? 5. Bagaimana cara mendiagnosis penyakit HIV/AIDS? 6. Bagaimana transmisi, pencegahan dan pengobatan dari penyakit HIV/AIDS? C. Tujuan 1. Memaparkan mengenai definisi dari penyakit HIV/AIDS. 2. Memaparkan penyebab penyakit HIV/AIDS. 3. Menjelaskan mengenai penyebaran penyakit AIDS . 4. Menjelaskan gambaran klinis dari penyakit HIV/AIDS. 5. Menjelaskan mengenai cara-cara mendiagnosis penyakit HIV/AIDS. 6. Menjelaskan mengenai cara-cara transmisi, pencegahan serta pengobatan penyakit HIV/AIDS. D. Metode Penulisan Metode penulisan yang digunakan adalah dengan studi literatur baik dari buku maupun dari internet. E. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan D. Metode Penulisan E. Sistematika Penulisan BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Umum dan Penyebab B. Patogenesis C. Gambaran Klinis D. Diagnostik E. Penatalaksanaan BAB III PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran BAB II ISI A. Definisi Umum dan Etiologi HIV, akronim dari Human Immunodeficiency Virus, merupakan penyebab dari AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Virus HIV ini juga disebut juga sebagai human lymphotropic virus tipe III, lymphadenophaty-associated virus ataupun lymphadenophaty virus. Apapun namanya, virus HIV merupakan retrovirus. Retrovirus adalah virus RNA yang mempunyai enzim reverse transcriptase. Dengan menggunakan enzim reverse transcriptase, virus ini menggunakan RNA sebagai cetakan untuk membuat DNA komplementer yang dapat berintegrasi dengan DNA induk. Gambar HIV Sesuai dengan namanya, virus HIV hanya menyerang manusia khususnya sistem kekebalan tubuh manusia yang melindungi tubuh dari infeksi. Sel imun yang terinfeksi adalah CD4+ sel T, makrofag, dan sel dendritik. CD4+ sel T secara langsung maupun tidak langsung dihancurkan oleh virus tersebut. Infeksi HIV menyebabkan sistem kekebalan tubuh akan semakin lemah. Keadaan ini akan membuat orang mudah diserang beberapa jenis penyakit (sindrom) yang kemungkinan tidak mempengaruhi orang dengan sistem kekebalan tubuh yang sehat. Penyakit tersebut disebut sebagai infeksi oportunistik. Jika seseorang didiagnosis terinfeksi HIV (HIV positif), orang tersebut dapat tetap sehat tanpa gejala klinis sehingga disebut penyakit HIV tanpa gejala. Setelah timbul gejala, maka disebut sebagai infeksi HIV bergejala atau penyakit HIV lanjutan. Namun pasien HIV positif tidak langsung didiagnosis menderita AIDS. AIDS itu sendiri merupakan kumpulan gejala dan infeksi akibat melemahnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV. Beberapa negara mempunyai kriteria tertentu dalam mendiagnosis pasien AIDS. Di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya, seseorang didiagnosis menderita AIDS ketika HIV membunuh CD4+ sel T hingga jumlah CD4+ sel T dalam darah kurang dari 200 sel/µL darah akibatnya kekebalan seluler menjadi hilang. Sedangkan di Kanada, orang yang terinfeksi HIV didiagnosis menderita AIDS ketika muncul infeksi oportunistik. Tanpa terapi antiretroviral, rata-rata waktu infeksi HIV berubah menjadi penyakit AIDS adalah sekitar 9 hingga 10 tahun dan rata-rata harapan hidup penderita AIDS adalah 9,2 bulan. Bagaimanapun perkembangan klinis masingmasing pasien bervariasi, mulai dari 2 minggu hingga 20 tahun. Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit ini, misalnya kemampuan tubuh untuk melawan HIV yang bekaitan dengan sistem imun tubuh. Pasien AIDS yang lebih tua mempunyai sistem imun tubuh yang lebih lemah daripada pasien muda sehingga resiko perkembangan penyakit AIDS menjadi lebih besar. Akses yang sulit untuk mencapai pelayanan kesehatan dan kehadiran agen infeksi seperti TBC juga dapat memperburuk perkembangan penyakit. Susunan genetik pasien juga memegang peranan penting dan beberapa orang resisten terhadap beberapa strain HIV. Individu dengan CCR5-Δ32 homozigot resisten terhadap infeksi beberapa strain HIV. HIV secara genetik sangat bervariasi dan mempunyai banyak strain sehingga menyebabkan perbedaan laju perkembangan penyakit. Penggunaan terapi antiretroviral secara aktif akan memperpnjang rata-rata waktu perkembangan penyakit dan waktu harapan hidup pasien. Gambaran umum hubungan antara multiplikasi HIV dan jumlah CD4 pada infeksi HIV yang tidak diobati. Keterangan: Jumlah CD4+ T Limfosit (sel/mm³) HIV RNA kopi per mL plasma B. Uraian Singkat Infeksi HIV Patogenesis Infeksi HIV HIV termasuk golongan retrovirus yang dikenal sebagai lentivirus, atau virus “lambat”. Ciri-cirinya adalah interval yang panjang antara infeksi inisial dengan onset timbulnya gejala serius. Patogenesis infeksi HIV adalah fungsi dari siklus kehidupan virus, lingkungan selular host, dan kuantitas virus pada individu yang terinfeksi. Faktor-faktor seperti usia, perbedaan genetik antar individu, tingkat virulensi strain virus, dan ko-infeksi dengan mikroba lain mungkin menyebabkan keparahan penyakit. Kemungkinan infeksi adalah fungsi di mana jumlah virion HIV infektif dalam plasma yang kontak dengan host sama banyak dengan jumlah sel yang tersedia pada sisi aktif reseptor CD4. Banyak sel yang mengekspresikan reseptor CD4 rentan terhadap infeksi HIV, termasuk sel mononuklear fagosit lineage, limfosit T dan B, sel natural killer, sel dendritik, sel stem hematopoetik, sel endotelial, sel mikrogial pada otak dan sel epitel gastrointestinal. Respon selular Sel dengan reseptor CD4 yang terinfeksi HIV menjadi tempat replikasi virus. Sel terinfeksi kemudian melepaskan virion melalui permukaan sel atau sel yang lisis, yang dapat menginfeksi sel-sel lain. Beberapa virion HIV dibawa dari tempat infeksi ke limfa di mana sel sistem imun lain menjadi terinfeksi. Sejumlah besar virus dapat terperangkap di sini oleh sel bertentakel yang disebut Follicular Dendritic Cell (FDC) yang rentan terhadap infeksi namun dapat bertahan untuk waktu yang lama. Sel T dan CD4 sebagai target utama HIV, dapat terinfeksi ketika bertemu dengan HIV yang terjebak dalam FDC. Replikasi aktif HIV terjadi pada setiap tahap infeksi. Dalam periode tahunan, saat sejumlah kecil virus terdeteksi dalam darah, sejumlah signifikan virus terakumulasi dalam sel terinfeksi dan FDC. HIV yang terjebak dalam FDC terus menginfeksi sekalipun terlindung oleh antibodi. Dapat dilihat bahwa FDC adalah gudang untuk infeksi HIV dan dapat menjelaskan bagaimana momentum infeksi HIV dapat terjadi. Walaupun sel T dan CD4 adalah target utama HIV, sel sistem imun lain yang memiliki reseptor CD4 pada permukaannya juga dapat terinfeksi. Sel berumur panjang yang disebut monosit dan makrofag dapat mengandung sejumlah besar virus tanpa menjadi mati. Sel T dan CD4 juga adalah gudang yang penting untuk HIV, karena menyebabkan HIV dalam keadaan inaktif dan stabil. Proses normal imun akan menyebabkan produksi virion HIV. Di dalam dan sekitar germinal center, meningkatnya produksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF) dan IL-6 dapat mengaktivasi sel T dan CD4 yang meningkatkan kerentanan terhadap infeksi HIV. Aktivasi menyebabkan sel yang tidak terinfeksi menjadi lebih mudah terinfeksi dan meningkatkan replikasi HIV pada sel yang terinfeksi. Sekresi sitokin berbanding terbalik dengan sekresi sel-sel regulasi fungsi normal sistem imun. Sekali terinfeksi, sel T dan CD4 dapat meninggalkan germinal center dan menginfeksi sel T dan CD4 lain yang berkumpul di daerah limfa di sekitarnya. Ada beberapa teori tentang bagaimana HIV menghancurkan sel T dan CD4, yaitu: 1. Direct cell killing. Sel T dan CD4 yang terinfeksi dihancurkan secara langsung ketika sejumlah besar virus diproduksi dan menembus permukaan sel, merusak membran sel, atau ketika protein viral dan asam nukleat yang tekumpuldalam sel menganggu sistem selular. 2. Pembentukan syncytia. Sel terinfeksi dapat bergabung dengan sel tetangga yang tidak terinfeksi, membentuk sel raksasa seperti balon yang disebut syncytia. 3. Apoptosis. Sel T dan CD4 yang terinfeksi dapat terbunuh ketika regulasi selular terganggu oleh protein HIV, yang mungkin menyebabkan penghancuran sendiri sel yang dikenal sebagai apoptosis. 4. Innocent bystanders. Sel yang tidak terinfeksi dapat mati dengan skenario innocent bystanders. Pertikel HIV dapat berikatan dengan permukaan sel, menyebabkan sel seakan-akan terinfeksi sehingga sel dihancurkan oleh sel T killer. Perjalanan Infeksi Infeksi primer HIV diikuti oleh ledakan viremia di mana virus dengan mudah terdeteksi pada darah peripheral dalam sel mononuklear dan plasma. Jumlah sel T dan CD4 dalam aliran darah menurun 20-40%. Dua sampai empat minggu setelah terpapar virus, hingga 70% orang yang terinfeksi HIV mengalami gejala seperti flu yang berhubungan dengan infeksi akut. Ledakan tersebut diikuti dengan replikasi tingkat rendah ketika sistem imun pasien melawan balik yang menyebabkan penurunan HIV secara dramatis dengan adanya sel T killer (sel T dan CD8) yang menyerang dan membunuh sel terinfeksi yang memproduksi virus, dan sel B yang memproduksi antibodi. Sel T dan CD4 pasien dapat meningkat kembali sampai 8090% yang menyebabkan pasien terbebas dari gejala yang berhubungan dengan HIV selama bertahun-tahun, walaupun replikasi tingkat rendah HIV tetap berlangsung dan menghancurkan sistem imun secara terus-menerus. Selama periode tersebut, sistem imun mencukupi untuk menjaga kekebalan tubuh dan mencegah kebanyakan infeksi. Fase akhir infeksi HIV terjadi ketika sejumlah signifikan limfosit CD4 telah hancur dan produksi kembali tidak sebanding. Pasien menunjukkan demam yang berlangsung lama (lebih dari satu bulan) dan penurunan berat badan. Kegagalan sistem imun mengacu pada manifestasi klinik AIDS. Perjalanan Tipikal Infeksi HIV Selama infeksi primer, HIV menyebar luas ke seluruh tubuh, biasanya disertai dengan penurunan drastis sel T dan CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi dengan penurunan jumlah virus dalam tubuh yang dapat terdeteksi, diikuti oleh latensi klinik, tetapi sel T dan CD4 terus menurun perlahan-lahan sampai di bawah level kritis di mana timbul kemungkinan infeksi oportunistik. Perjalanan Menjadi AIDS Orang yang terinfeksi HIV dapat hidup rata-rata 8-10 tahun setelah infeksi inisial dan sebelum perkembangan gejala klinis AIDS. Perubahan menjadi AIDS tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, kehamilan, ataupun faktor resiko. Kondisi yang menentukan AIDS adalah jumlah sel T dan CD4 yang kurang dari 200 sel/mm 3 darah dan adanya infeksi oportunistik tipikal atau kanker, pneumonia, dan Mycobacterium avium complex. Infeksi oportunistik disebabkan oleh mikroba yang biasanya tidak menyebabkan penyakit pada orang sehat. Infeksi biasanya parah dan terkadang fatal karena sistem imun sangat rusak oleh HIV. Ada beberapa data yang memperkuat dugaan bahwa AIDS disebabkan oleh HIV, diantaranya: HIV dapat diasingkan dengan mudah dari biakan sel T yang berasal dari penderita AIDS, AIDS-related complex (ARC) atau pembawa virus asimtomatik golongan beresiko tinggi. Semua isolate mempunyai sifat-sifat yang sama dengan sifat-sifat umum retrovirusnya dan hanya berbeda pada gen daerah ENV, akan tetapi memiliki prinsip p25 yang sama. Virus mengadakan replikasi secara eksklusif dalam subset limfosit T yaitu sel-sel limfosit yang sama dengan yang hilang atau berkurang pada AIDS. HIV memiliki tropisma selektif khusus terhadap limfosit T-helper dan dapat dideteksi dengan jalan fraksinasi limfosit T, misalnya dari limfosit T seorang pembawa virus asimtomatik (carrier) dengan memakai mikroskop elektron serta melakukan tes aktivitas transkriptase. Infeksi secara in vitro dapat dipelajari dengan melihat adanya penurunan proliferasi sel, adanya efek sitopik berupa suatu polikaryosit atau sel raksasa berinti banyak yang sangat spesifik. HIV dapat juga menginfeksi dan mengadakan replikasi dalam bone marrow precursor cell. Pada fase akhir seluruh populasi sel T termasuk stem cell dapat diinfeksi dan penderita akan mengalami immunodeficiency berat yang irreversible yang selanjutnya akan memberikan peluang untuk mendapatkan infeksi opportunistik dan atau sarkoma Kaposi. Terdapat kaitan yang erat antara HIV dan AIDS baik dalam waktu, tempat maupun kelompok masyarakat yang terkena. Bukti data kasus AIDS yang timbul sesudah transfusi darah yang tercemar HIV. C. Manifestasi Klinis AIDS merupakan bentuk terparah akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ vital sistem kekebalan manusia seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofag, dan sel dendritik. HIV secara langsung dan tidak langsung merusak sel T CD4+, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh berfungsi baik. Jika HIV membunuh sel T CD4+ sampai terdapat kurang dari 200 sel T CD4+ per mikroliter (µL) darah, kekebalan selular hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV dilanjutkan dengan infeksi HIV laten klinis sampai terjadinya gejala infeksi HIV awal dan kemudian AIDS, yang diidentifikasi berdasarkan jumlah sel T CD4+ di dalam darah dan adanya infeksi tertentu. Infeksi HIV secara umum dapat dibagi dalam empat stadium yang berbeda, yaitu: Stadium 1: Infeksi Akut (CD4 = 500 – 1000 /ml) Stadium ini terjadi setelah masa inkubasi 3-6 minggu. Gejala berlangsung selama 1- 2 minggu. Pada stadium ini timbul gejala-gejala mirip flu termasuk demam, artralgia, malaise, dan anoreksia. Timbul juga gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikaria), gejala saraf (sakit kepala, kaku kuduk) dan gangguan gastrointestinal (nausea, vomitus, diare, nyeri perut). Gejala-gejala ini bersesuaian dengan pembentukan awal antibodi terhadap virus. Gejala akan menghilang setelah respon imun awal menurunkan jumlah partikel virus, walaupun virus tetap dapat bertahan pada sel-sel lain yang terinfeksi. Pada 20% orang, gejala-gejala tersebut cukup serius untuk dikonsultasikan pada dokter, tetapi diagnosis infeksi HIV sering tidak ditemukan. Fase ini sangat menular karena terjadi viremia Selama stadium ini, ada sejumlah besar HIV pada darah perifer dan sistem imun pun mulai berrespon terhadap virus dengan memproduksi antibodi HIV dan limfosit sitotoksik. Serokonversi terjadi pada fase ini dan antibodi virus mulai dapat dideteksi 3 – 6 bulan setelah infeksi. Stadium 2: Stadium Asimtomatik Klinis (CD4 = 500 – 750 /ml) Stadium ini dapat berlangsung lebih dari 10 tahun. Stadium ini, seperti namanya, bebas dari gejala-gejala mayor, meskipun sebenarnya terjadi replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Dapat juga terjadi Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP). Pada fase ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4, tetapi masih berada pada tingkat 500/ml. Jumlah HIV dalam darah perifer turun hingga tingkat yang sangat rendah tetapi orang tetap terinfeksi dan antibodi HIV dapat dideteksi di dalam darah, sehingga tes antibodi akan menunjukkan hasil positif. Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa HIV tidak dalam masa dorman selama stadium ini, melainkan sangat aktif di kelenjar limfa. Ada sebuah tes untuk mengukur sejumlah kecil virus yang lolos dari kelenjar limfa. Tes yang mengukur HIV RNA ini merupakan suatu tes viral load. Tes ini memiliki peran penting dalam pengobatan infeksi HIV. Stadium 3: Infeksi HIV Simtomatik (CD4 = 100 – 500 /ml) Pada stadium ini terjadi penurunan CD4 yang progresif. Terjadi penyakitpenyakit infeksi kronis tapi tidak mengancam kehidupan. Seiring dengan berjalannya waktu sistem imun menjadi sangat rusak oleh HIV. Hal ini disebabkan oleh tiga alasan utama: ● Kelenjar limfe dan jaringan menjadi rusak akibat aktivitas bertahun-tahun ● HIV bermutasi dan menjadi lebih patogen, dengan kata lain lebih kuat dan lebih bervariasi ● Tubuh gagal untuk mengganti sel-sel T penolong yang hilang Karena kegagalan sistem imun, gejala-gejala pun berkembang. Kebanyakan gejala-gejala tersebut tidak terlalu berat, tetapi karena sistem imun makin rusak, gejala-gejalanya pun semakin memburuk. Infeksi HIV simtomatik terutama disebabkan oleh kanker dan infeksi oportunistik yang secara normal dicegah oleh sistem imun. Ini dapat terjadi di seluruh sistem tubuh, tetapi contoh-contoh yang umum terjadi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Sistem Sistem Pernapasan Sistem Gastro-Intestinal Sistem saraf Pusat/Perifer Kulit Contoh Infeksi/Kanker ● Pneumocystis jirovecii Pneumonia (PCP) ● Tuberculosis (TB) ● Kaposi's Sarcoma (KS) ● Cryptosporidiosis ● Candida ● Cytomegolavirus (CMV) ● Isosporiasis ● Kaposi's Sarcoma ● HIV ● Cytomegolavirus ● Toxoplasmosis ● Cryptococcosis ● Non Hodgkin's lymphoma ● Varicella Zoster ● Herpes simplex ● Herpes simplex ● Kaposi's sarcoma ● Varicella Zoster Stadium 4: Perkembangan dari HIV ke AIDS AIDS merupakan stadium akhir dari infeksi HIV. Penderita dinyatakan mengidap AIDS bila dalam perkembangan infeksi selanjutnya menunjukkan infeksiinfeksi dan kanker oportunistik yang mengancam jiwa penderita. Hitung CD4 mencapai <200/ml. Karena sistem imun menjadi semakin rusak, penyakit-penyakit yang terjadi menjadi semakin menuju kepada diagnosis AIDS. Di Inggris, suatu diagnosis AIDS dikonfirmasi apabila seseorang dengan HIV mengalami satu atau lebih infeksi oportunistik atau kanker yang spesifik. Di Amerika, seseorang juga didiagnosis mengidap AIDS apabila ia memiliki sedikit sekali sel T penolong dalam darahnya. Bisa saja seseorang menjadi sangat sakit karena HIV tanpa harus didiagnosis AIDS. World Health Organization (WHO) telah mengembangkan suatu sistem tingkatan untuk penyakit HIV berdasarkan gejala-gejala klinis, di antaranya: 1. Stadium klinis I yang merupakan stadium asimptomatik. Pada stadium ini ditandai adanya limfadenopati generalisata. 2. Stadium Klinis II, ditandai adanya penurunan berat badan < 10%, lesi kulit dan mukosa ringan (dermatitis seboroik, ulkus oral rekuren, kheilitis angularis), herpes zooster dalam 5 tahun terakhir, ISPA bakterial. 3. Stadium klinis III, ditandai penurunan BB > 10%, diare kronis > 1 bulan, demam lama > 1 bulan, kandidiasis orofaringeal, oral hairy leukoplakia, tuberkulosis paru dalam tahun-tahun terakhir, dan infeksi bakterial berat (pneumonia, piomiositis). 4. Stadium klinis IV, ditandai munculnya HIV Wasting Syndrome, pneumonia pneumositis Carina (PCP), toxoplasmosis otak, diare kriptosporridiosis > 1 bulan, rinitis CMV, herpes simpleks mukokutan > 1 bulan, leukoenchephalopati multifokal progresif, mikosis diseminata kandidiasis, kandidiasis di esofagus, trakhea, bronkus, dan paru, tuberkulosis ekstra paru, limfoma, sarkoma kaposi dan enchephalopati HIV. Sedangkan untuk penderita bayi dan anak-anak, WHO membagi dalam 3 stadium klinis, yaitu: 1. Stadium klinis pediatrik I yang merupakan stadium asimptomatik ditandai limfadenopati generalisata. 2. Stadium klinis pediatrik II, ditandai diare kronik, kandidiasis, penurunan berat badan atau gagal tumbuh, demam persisten > 30 hari tanpa sebab yang jelas, infeksi bakterial berulang. 3. Stadium klinis pediatrik III, ditandai munculnya infeksi oportunistik terkait AIDS, gagal tumbuh berat tanpa etiologi yang jelas, ensefalopati progresif, keganasan, dan septikemia/ meningitis berulang. Laju perkembangan penyakit klinis sangat bervariasi antar orang dan telah terbukti dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kerentanan seseorang terhadap penyakit dan fungsi imun perawatan kesehatan dan infeksi lain, dan juga faktor yang berhubungan dengan galur virus. Infeksi oportunistik spesifik yang diderita pasien AIDS juga bergantung pada prevalensi terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien. a) Penyakit paru-paru utama Pneumonia pneumocystis Pneumonia pneumocystis (awalnya diketahui dengan nama pneumonia Pneumocystis carinii, dan masih disingkat sebagai PCP yang sekarang merupakan singkatan dari Pneumocystis pneumonia) jarang dijumpai pada orang yang sehat dan imunokompeten, tetapi umum dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Penyakit ini disebabkan oleh fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan profilaksis rutin efektif di negara Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang yang belum dites, walaupun umumnya tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per µL. Tuberkulosis Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi terkait HIV lainnya karena dapat ditularkan ke orang yang imunokompeten melalui rute respirasi, dapat dengan mudah ditangani setelah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, dan dapat dicegah dengan terapi obat. Namun demikian, kekebalan terhadap berbagai obat adalah masalah serius pada penyakit ini. Walaupun insiden penyakit ini telah berkurang akibat penggunaan terapi yang secara langsung diamati dan metode lainnya di negara-negara Barat, tidak demikian yang terjadi di negara berkembang, tempat HIV paling banyak dijumpai. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per µL), TB muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada infeksi HIV belakangan, TB sering muncul dengan penyakit ekstrapulmoner (sistemik). Gejala biasanya bersifat konstitusional dan tidak dibatasi pada satu tempat, sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, nodus limfa regional, dan sistem saraf pusat. Selain itu, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat keterlibatan penyakit ekstrapulmoner. b) Penyakit saluran pencernaan utama Esofagitis Esofagitis adalah peradangan pada esofagus (tabung berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung). Pada individual yang terinfeksi HIV, hal ini terjadi karena infeksi jamur (kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau sitomegalovirus). Pada kasus yang langka, hal ini dapat disebabkan oleh mikobakteria. Diare kronik yang tidak dapat dijelaskan Diare kronik yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV terjadi akibat berbagai penyebab, termasuk infeksi bakteri (Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, atau Escherichia coli) serta parasit yang umum dan infeksi oportunistik tidak umum seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, kolitis kompleks Mycobacterium avium dan sitomegalovirus (CMV). Pada beberapa kasus, diare adalah efek samping beberapa obat yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping infeksi HIV, terutama selama infeksi HIV utama. Diare juga dapat menjadi efek samping antibiotik yang digunakan untuk menangani diare akibat bakteri (umum untuk Clostridium difficile). Pada stadium akhir, diare diduga menunjukkan perubahan cara saluran usus menyerap nutrisi dan mungkin merupakan komponen penting pembuangan yang berhubungan dengan HIV. c) Penyakit saraf utama Toksoplasmosis Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan toksoplasma ensefalitis, tetapi juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru. Leukoensefalopati multifokal progresif Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yang merupakan penghancuran sedikit demi sedikit selubung mielin yang menutupi akson sel saraf sehingga merusak penghantaran impuls saraf. Hal ini disebabkan oleh virus yang disebut virus JC yang 70% populasinya terdapat dalam bentuk laten, menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat, biasanya menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis. Kompleks demensia AIDS Kompleks demensia AIDS adalah ensefalopati metabolik yang disebabkan oleh infeksi HIV dan didorong oleh aktivasi imun makrofag dan mikroglia otak yang terinfeksi HIV yang mengeluarkan neurotoksin. Kerusakan neurologis spesifik tampak sebagai ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV dan berhubungan dengan rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma. Angka prevalensinya sekitar 10-20% di negara-negara Barat, tetapi hanya 1-2% dari infeksi HIV di India. Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan subtipe HIV di India. Meningitis kriptokokal Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan. d) Kanker yang berhubungan dengan HIV Pasien dengan infeksi HIV pada pokoknya meningkatkan insiden beberapa kanker. Hal ini terjadi karena infeksi dengan virus DNA onkogenik, terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes penyebab sarkoma Kaposi (KSHV) dan papilomavirus manusia (HPV). Sarkoma Kaposi Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru. Limfoma Limfoma sel B tingkat tinggi seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma), Burkitt's-like lymphoma, diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem saraf pusat primer muncul lebih sering pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali mengakibatkan prognosis yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma ini merupakan tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr (EBV) atau KSHV. Kanker leher rahim Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan oleh papilomavirus manusia (HPV). Tumor lainnya Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, karsinoma anal, dan karsinoma usus besar. Namun demikian, insiden dari banyak tumor yang umum, seperti kanker payudara atau kanker usus besar tidak meningkat pada pasien terinfeksi HIV. Di daerah tempat HAART banyak digunakan untuk menangani AIDS, insiden berbagai kanker yang berhubungan dengan AIDS menurun, tetapi seiring dengan itu kanker secara keseluruhan menjadi penyebab kematian paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV. e) Infeksi oportunistik lainnya Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan sitomegalovirus. Sitomegalovirus dapat menyebabkan kolitis, seperti yang dijelaskan di atas, dan retinitis sitomegalovirus dapat menyebabkan kebutaan. Penisiliosis yang disebabkan oleh Penicillium marneffei kini adalah infeksi oportunistik ketiga paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara. D. Diagnostik klinik Banyak orang yang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV. Oleh karena itu, darah donor dan produk darah yang digunakan pada penelitian medis diperiksa kandungan HIV-nya. Tes HIV umum, termasuk imuno-assay enzim HIV dan pengujian Western blot mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun demikian, window periode (periode antara infeksi dan perkembangan antibodi yang dapat dideteksi melawan infeksi) dapat bervariasi. Hal ini menjelaskan mengapa dapat membutuhkan waktu 3-6 bulan untuk serokonversi dan tes positif. Ada pula tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA agar dapat mendeteksi infeksi HIV sebelum perkembangan antibodi yang dapat dideteksi. Metode-metode penetapan tersebut tidak secara spesifik disetujui untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju. Secara umum diagnosis HIV/AIDS terbagi atas dua, yaitu diagnosis dini infeksi HIV dan diagnosis HIV menjadi AIDS. Keduanya akan dijelaskan sebagai berikut: I. Diagnosis Dini Infeksi HIV Kebanyakan infeksi HIV pada anak akibat penularan HIV dari ibu-ke-bayi (motherto-child transmission/MTCT), yang dapat terjadi selama kehamilan dan persalinan, atau selama menyusui. Walau sudah banyak kemajuan dan penerapan intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu-ke-bayi yang efektif di negara berkembang, hampir 2.000 bayi terinfeksi HIV setiap hari melalui MTCT di negara miskin sumber daya. Pada 2006, ada kurang lebih 2,3 juta anak terinfeksi HIV di seluruh dunia. Jumlah ini diduga tetap akan meningkat dalam waktu dekat karena beberapa alasan. Saat ini, kurang dari 10% ibu hamil yang terinfeksi HIV di negara miskin sumber daya menerima profilaksis antiretroviral (ARV) untuk pencegahan penularan HIV dari ibu-ke-bayi (prevention of mother-to-child transmission/PMTCT). Walaupun layanan profilaksis ARV ditingkatkan secara luar biasa, infeksi HIV pada anak akan terus meningkat kecuali ada peningkatan layanan pencegahan infeksi HIV baru pada perempuan secara bersamaan, perbaikan akses pada keluarga berencana (KB), dan perluasan ketersediaan pengobatan antiretroviral (ART) untuk ibu yang membutuhkannya. Serupa dengan orang dewasa, anak yang terinfeksi HIV menanggapi ART dengan baik. Tetapi, pengobatan semacam ini paling efektif apabila dimulai sebelum anak jatuh sakit (artinya, sebelum pengembangan penyakit lanjut). Tanpa ART, pengembangan infeksi HIV sangat cepat pada bayi dan anak. Di rangkaian miskin sumber daya, kurang lebih 30% anak terinfeksi HIV yang tidak diobati meninggal sebelum ulang tahunnya yang pertama dan lebih dari 50% meninggal sebelum mereka mencapai usia dua tahun. Infeksi HIV pada anak yang tidak diobati juga mengakibatkan pertumbuhan yang tertunda dan keterbelakangan mental yang tidak dapat disembuhkan oleh ART. Oleh karena itu penting untuk mendiagnosis bayi yang terpajan HIV sedini mungkin untuk mencegah kematian, penyakit dan penundaan pertumbuhan dan pengembangan mental. Karena biayanya yang murah, kemudahan untuk memakainya, dan kemampuan untuk menyediakan hasil secara cepat, tes antibodi cepat adalah yang paling umum dipakai untuk mendiagnosis infeksi HIV di negara miskin sumber daya. Tetapi, karena antibodi HIV melewati plasenta selama kehamilan, semua bayi yang terlahir dari ibu yang terinfeksi HIV akan menerima antibodi dari ibu saat di rahim dan hasil tes antibodi akan positif saat lahir tidak tergantung pada status infeksi HIV-nya sendiri. Antibodi dari ibu baru hilang seluruhnya 12-18 bulan setelah kelahiran, oleh karena itu semua tes antibodi pada bayi terpajan HIV yang dilakukan sebelumnya tidak dapat diandalkan. Kesulitan lain untuk mendiagnosis infeksi HIV pediatrik pada bayi di negara miskin sumber daya adalah pajanan HIV secara terus-menerus pada bayi yang disusui, sehingga menyulitkan untuk mengecualikan infeksi HIV sampai penyusuan sudah dihentikan secara menyeluruh. Karena komplikasi ini, kebanyakan tes HIV pada bayi di negara miskin sumber daya dilakukan dengan memakai tes antibodi cepat pada usia 18 bulan. Tetapi, pada usia ini, banyak bayi yang terinfeksi sudah meninggal dan lebih banyak lagi yang mungkin sudah hilang. Sebuah tes HIV yang murah dan mudah dipakai dan dapat diandalkan untuk bayi terpajan HIV yang berusia kurang dari 18 bulan dibutuhkan secara mendesak. Tes semacam ini dapat mencegah jutaan kematian dini terkait HIV. Tujuan deteksi dini HIV pada dasarnya ada dua, yakni sebagai intervensi pengobatan fase infeksi asimtomatik dapat diperpanjang dan untuk menghambat perjalanan penyakit ke arah AIDS. Dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu: Langsung: biakan virus dari darah, isolasi virus dari sample, umumnya menggunakan mikroskop elektron dan deteksi gen virus. Yang paling sering digunakan adalah PCR (Polymerase Chain Reaction). Tidak Langsung: dengan melihat respons zat anti yang spesifik, misalnya dengan tes ELISA, Western Blot, Immunofluoren Assay (IFA), dan Radio Immunoprecipitation Assay (RIPA) Berikut ini pemeriksaan/tes yang lazim dilakukan: 1. Biakan HIV dari darah Di awal epidemi HIV, biakan HIV dalam darah dipakai untuk mendeteksi infeksi HIV dan untuk mengukur jumlah virus dalam darah secara langsung. Biakan HIV juga dipakai untuk mendiagnosis bayi dan sebagai cara untuk menentukan tingkat keparahan infeksi dan tanggapan selanjutnya terhadap pengobatan pada orang dewasa dan anak. Walaupun tes ini sensitif dan spesifik, serta dapat dipakai untuk menghitung viral load pasien, metode ini belum pernah dipakai secara skala besar untuk mendiagnosis karena teknik tes yang rumit dan membutuhkan reagen dan peralatan yang mahal, waktu tes laboratorium yang lama, dan banyak darah. Sebagai tambahan, membutuhkan hampir tujuh hari untuk mendapatkan hasil dan karena biakan virus mengandung HIV yang aktif diperlukan peralatan biohazard khusus. 2. Tes antigen P24 Sebelum pengembangan teknik viral load DNA dan reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) untuk mendiagnosis infeksi HIV dan menghitung viral load, tes antigen HIV p24 dipakai untuk menghitung viral load. HIV p24 adalah protein yang diproduksi oleh replikasi HIV yang terjadi dalam darah Odha dengan jumlah yang berbeda-beda. Karena HIV p24 adalah protein imunogenik, orang yang terinfeksi HIV juga membentuk antibodi terhadap p24. Oleh karena itu, p24 hadiran dalam darah dalam bentuk p24 bebas dan p24 terikat antibodi (kompleks kekebalan). Untuk mengukur jumlah antigen p24, adalah penting untuk memisahkan antibodi dari antigen. Teknik sudah dikembangkan untuk melakukan tugas ini, tetapi belum seluruhnya berhasil. Namun demikian, karena kesederhanaan tes dan biayanya yang relatif murah, para peneliti berusaha memperbaiki tes tersebut walaupun tes viral load PCR lebih sensitif dan spesifik. Sebagian dari penelitian ini berhasil. Teknik laboratorium dikembangkan untuk memisahkan kompleks kekebalan p24, meningkatan kemampuan kuantitatif tes dan dalam hal bayi yang terpajan HIV, keberhasilan diagnostik. Berbagai penelitian menemukan bahwa tes antigen p24 ultrasensitif mampu mendeteksi infeksi HIV pada bayi di atas usia enam minggu secara pasti dengan spesifisitas dan sensitivitas serupa dengan tes DNA HIV PCR dan viral load HIV. Tes tersebut tepat pada banyak subtipe HIV dan lebih mudah dilakukan dibandingkan tes virologi lain. Biayanya serupa dengan biaya tes PCR generasi lanjut. Keprihatinan tentang sensitivitas tes p24 tetap ada. Dalam penelitian terkini terhadap tes antigen HIV p24 baru yang “ultrasensitif”, ilmuwan membandingkan sensitivitas tes tersebut antara DBS dan plasma. Mereka menemukan bahwa tes tersebut mempunyai spesifisitas 100% dan tidak ada perbedaan hasil secara kuantitatif antara DBS dan plasma. Mereka juga membandingkan hasil tes antigen p24 dengan viral load HIV dan menemukan korelasi yang positif, tetapi koefisien korelasi tersebut rendah (r = 0,67). Sensitivitas tes HIV p24 dibandingkan dengan tes viral load HIV adalah kurang lebih 90%. Hal ini berarti bahwa tes untuk menskrining bayi yang terpajan HIV akan menghasilkan hampir 10% bayi yang salah didiagnosis sebagai tidak terinfeksi. Perbandingan metodologi tes baru-baru ini dilakukan oleh ilmuwan dengan 72 contoh pediatrik dari Tanzania dan 210 contoh pediatrik atau orang dewasa dari Swiss menemukan sensitivitas yang bahkan lebih rendah. Tingkat deteksi berbagai tes adalah 84% untuk tes antigen p24 pada DBS; 79% untuk tes PCR DNA yang dilakukan pada DBS; 85% untuk tes antigen p24 pada plasma; dan 100% untuk tes PCR RNA yang dilakukan pada plasma. Walaupun dengan peningkatan yang bermakna pada kemanjuran, biaya dan spesifisitas tes antigen p24 HIV, sensitivitas tes ini akan tetap bermasalah. Penghematan biaya yang ditawarkan mungkin tidak dapat mengimbangi dampak klinis terhadap persentase kegagalan diagnosis secara bermakna pada bayi yang terinfeksi HIV. 3. Pemeriksaan ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)/EIA (Enzyme Immunosorbent Assay) ELISA dari berbagai macam kit yang ada di pasaran mempunyai cara kerja hampir sama. Pada dasarnya, diambil virus HIV yang ditumbuhkan pada biakan sel, kemudian dirusak dan dilekatkan pada biji-biji polistiren atau sumur microplate. Serum atau plasma yang akan diperiksa, diinkubasikan dengan antigen tersebut selama 30 menit sampai 2 jam kemudian dicuci. Bila terdapat IgG (immunoglobulin G) yang menempel pada biji-biji atau sumur microplate tadi maka akan terjadi reaksi pengikatan antigen dan antibodi. Antibodi anti-IgG tersebut terlebih dulu sudah diberi label dengan enzim (alkali fosfatase, horseradish peroxidase) sehingga setelah kelebihan enzim dicuci habis maka enzim yang tinggal akan bereaksi sesuai dengan kadar IgG yang ada, kemudian akan berwarna bila ditambah dengan suatu substrat. Sekarang ada test EIA yang menggunakan ikatan dari heavy dan light chain dari Human Immunoglobulin sehingga reaksi dengan antibodi dapat lebih spesifik, yaitu mampu mendeteksi IgM maupun IgG. Pada setiap tes selalu diikutkan kontrol positif dan negatif untuk dipakai sebagai pedoman, sehingga kadar di atas cut-off value atau di atas absorbance level spesimen akan dinyatakan positif. Biasanya lama pemeriksaan adalah 4 jam. Pemeriksaan ELISA hanya menunjukkan suatu infeksi HIV di masa lampau. Tes ELISA mulai menunjukkan hasil positif pada bulan ke 2-3 masa sakit. Selama fase permulaan penyakit (fase akut) dalam darah penderita dapat ditemukan virus HIV/partikel HIV dan penurunan jumlah sel T4 (Grafik). Setelah beberapa hari terkena infeksi AIDS, IgM dapat dideteksi, kemudian setelah 3 bulan IgG mulai ditemukan. Pada fase berikutnya yaitu pada waktu gejala major AIDS menghilang (karena sebagian besar HIV telah masuk ke dalam sel tubuh). HIV sudah tidak dapat ditemukan lagi dari peredaran darah dan jumlah Sel T4 akan kembali ke normal. Hasil pemeriksan ELISA harus diinterpretasi dengan hatihati karena tergantung dari fase penyakit. Umumnya hasil akan positif pada fase dimana timbul gejala pertama AIDS (AIDS phase) dan sebagian kecil akan negatif pada fase dini AIDS (Pre AIDS phase). Beberapa hal tentang kebaikan test ELISA adalah nilai sensitivitas yang tinggi : 98,1% - 100%, Western Blot memberi nilai spesifik 99,6% - 100%. Walaupun begitu, predictive value hasil test positif tergantung dari prevalensi HIV di masyarakat. Pada kelompok penderita AIDS, predictive positive value adalah 100% sedangkan pada donor darah dapat antara 5% - 100%. Predictive value dari hasil negatif ELISA pada masyarakat sekitar 99,99% sampai 76,9% pada kelompok risiko tinggi. Di samping keunggulan, beberapa kendala path test ELISA yang perlu diperhatikan adalah : 1) Pemeriksaan ELISA hanya mendeteksi antibodi, bukan antigen (akhir-akhir ini sudah ditemukan test ELISA untuk antigen). Oleh karena itu test uji baru akan positif bila penderita telah mengalami serokonversi yang lamanya 2-3 bulan sejak terinfeksi HIV, bahkan ada yang 5 bulan atau lebih (pada keadaan immunocompromised). Kasus dengan infeksi HIV laten dapat temp negatif selama 34 bulan. 2) Pemeriksaan ELISA hanya terhadap antigen jenis IgG. Penderita AIDS pada taraf permulaan hanya mengandung IgM, sehingga tidak akan terdeteksi. Perubahan dari IgM ke IgG membutuhkan waktu sampai 41 minggu. 3) Pada umumnya pemeriksaan ELISA ditujukan untuk HIV1. Bila test ini digunakan pada penderita HIV-2, nilai positifnya hanya 24%. Tetapi HIV2 paling banyak ditemukan hanya di Afrika. 4) Masalah false positive pada test ELISA. Hasil ini sering ditemukan pada keadaan positif lemah, jarang ditemukan pada positif kuat. Hal ini disebabkan karena morfologi HIV hasil biakan jaringan yang digunakan dalam test kemurniannya ber-beda dengan HIV di alam. Oleh karena itu test ELISA harus dikorfirmasi dengan test lain. Tes ELISA mempunyai sensitifitas dan spesifisitas cukup tinggi walaupun hasil negatif disini tidak dapat menjamin bahwa seseorang bebas 100% dari HIV 1 terutama pada kelompok resiko tinggi. Akhir-akhir ini test ELISA telah menggunakan recombinant antigen yang sangat spesifik terhadap envelope dan core. Antibodi terhadap envelope ditemukan pada setiap penderita HIV stadium apa saja. Sedangkan antibodi terhadap p24 (protein dari core) bila positif berarti penderita sedang mengalami kemunduran/deteriorasi. 4. Pemeriksaan Western Blot Western Blot adalah sebuah metode untuk mendeteksi protein pada sampel jaringan. Imunoblot menggunakan elektroforesis gel untuk memisahkan protein asli atau perubahan oleh jarak polipeptida atau oleh struktur 3-D protein. Protein tersebut dikirim ke membran, di mana mereka dideteksi menggunakan antibodi untuk menargetkan protein. Pemeriksaan Western Blot cukup sulit, mahal, interpretasinya membutuhkan pengalaman dan lama pemeriksaan sekitar 24 jam. Cara kerja test Western Blot yaitu dengan meletakkan HIV murni pada polyacrylamide gel yang diberi arus elektroforesis sehingga terurai menurut berat protein yang berbeda-beda, kemudian dipindahkan ke nitrocellulose. Nitrocellulose ini diinkubasikan dengan serum penderita. Antibodi HIV dideteksi dengan memberikan antlbodi anti-human yang sudah dikonjugasi dengan enzim yang menghasilkan wama bila diberi suatu substrat. Test ini dilakukan bersama dengan suatu bahan dengan profil berat molekul standar, kontrol positif dan negatif. Gambaran band dari bermacam-macam protein envelope dan core dapat mengidentifikasi macam antigen HIV. Antibodi terhadap protein core HIV (gag) misalnya p24 dan protein precursor (p25) timbul pada stadium awal kemudian menurun pada saat penderita mengalami deteriorasi. Antibodi terhadap envelope (env) penghasil gen (gp160) dan precursor-nya (gp120) dan protein transmembran (gp4l) selalu ditemukan pada penderita AIDS pada stadium apa saja. Beberapa protein lainnya yang sering ditemukan adalah: p3 I, p51, p66, p14, p27, lebih jarang ditemukan p23, p15, p9, p7. Secara singkat dapat dikatakan bahwa bila serum mengan-dung antibodi HIV yang lengkap maka Western blot akan memberi gambaran profil berbagai macam band protein dari HIV antigen cetakannya. Definisi hasil pemeriksaan Western Blot menurut profit dari band protein dapat bermacam-macam, pada umumnya adalah : 1) Positif : a. Envelope : gp4l, gpl2O, gp160 b. Salah satu dari band : p15, p17, p24, p31, gp4l, p51, p55, p66. 2) Negatif : Bila tidak ditemukan band protein. 3) Indeterminate Bila ditemukan band protein yang tidak sesuai dengan profil positif. Hasil indeterminate .diberikan setelah ditest secara duplo dan penderita diberitahu untuk diulang setelah 2-3 bulan. Hal ini mungkin karena infeksi masih terlalu dini sehingga yang ditemukan hanya sebagian dari core antigen (p17, p24, p55). Akhir-akhir ini hasil positif diberikan bila ditemukan paling tidak p24, p31 dan salah satu dari gp41 atau gpl60. Dengan makin ketatnya !criteria Western Blot maka spesifisitas menjadi tinggi, dan sensitifitas turun dari 100% dapat menjadi hanya 56% karena hanya 60% penderita AIDS mempunyai p24, dan 83% mempunyai p31. Sebaliknya cara ini dapat menurunkan angka false positive pada kelompok risiko tinggi, yang biasanya ditemukan sebesar 1 di antara 200.000 test padahal test tersebut sudah didahului dengan test ELISA. Besar false negative Western Blot belum diketahui secara pasti, tapi tentu tidak not. False negative dapat terjadi karenakadar antibodi HIV rendah, atau hanya timbul band protein p24 dan p34 saja (yaitu pada kasus dengan infeksi HIV2). False negative biasanya rendah pada kelompok masyarakat tetapi dapat tinggi pada kelompok risiko tinggi. Cara mengatasi kendala tadi adalah dengan menggunakan recombinant HIV yang lebih murni. 5. PCR (Polymerase Chain Reaction) PCR adalah cara in vitro untuk memperbanyak target sekuen spesifik DNA untuk analisis cepat atau karakterisasi, walaupun material yang digunakan pada awal pemeriksaan sangat sedikit. Pada dasarnya PCR meliputi tiga perlakuan yaitu: denaturisasi, hibridisasi dari "primer" sekuen DNA pada bagian tertentu yang diinginkan, diikuti dengan perbanyakan bagian tersebut oleh Tag polymerase, kemudian dikerjakan dengan mengadakan campuran reaksi dalam tabung mikro yang kemudian diletakkan pada blok pemanas yang telah diprogram pada seri temperatur yang diinginkan. Teknik ini ditemukan oleh Kary Mullis dari Cetus Corporation dan sekarang digunakan secara luas dalam penelitian biologi. Pada dasarnya, target DNA diekstraksi dari spesimen dan secara spesifik membelah dalam tabung sampai diperoleh jumlah cukup yang akan digunakan untuk deteksi dengan cara hibridisasi. Replikasi yang mungkin dicapai adalah dalam kelipatan jutaan atau lebih dengan menggunakan oligonukleotid primer yang berkomplemen terhadap masing-masing rantai dari target sekuen ikatan rangkap. Jarak antara letak ikatan dari 2 primer menetapkan ukuran produk yang diamplifikasi. Target mula-mula didenaturisasi pada suhu 90°–95°C dan didinginkan antara 37°–50°C untuk membiarkan annealing spesifik antara primer dan target DNA. Ini membuat cetakan untuk enzym Tag polimerase yang pada suhu 67°–72°C mengkopi masing-masing rantai. Setiap produk akan terdiri dari sekuen yang saling melengkapi 1 dari 2 primer dan akan menguatkan dalam lingkaran sintesis berikut. Hubungan antara tingkat amplifikasi (Y) dengan efisiensi reaksi (X) dan jumlah cycle adalah: Y = ( 1 + 1 )n Sebagai contoh: untuk 20 cycles dengan 100% efisiensi adalah 1.048.576 kali amplifikasi, dengan 80% efisiensi turun menjadi 127.482, berarti ada 88% produk yang hilang. Salah satu hambatan dalam diagnosis PCR adalah adanya false negative. Hart dkk (1988) menemukan 1 dari 21 spesimen seropositif adalah negatif untuk HIV melalui analisis PCR dari DNA dan RNA. Ou dkk (1988) menemukan 6 dari 11 spesimen seropositif adalah negatif untuk HIV dengan PCR. Penggunaan lebih dari 1 pasang primer merupakan cara untuk menghindari hasil false negative yang dianjurkan oleh peneliti berikutnya, juga Laure dkk (1988). Beberapa hasil false negative dapat dihindarkan dengan memilih primer dari bagian yang berlawanan dari genome. Primer SK 38/39 dan SK 68/69 merupakan pilihan yang baik digunakan untuk HIV. Pada penggunaan pasangan primer ganda, satu dari masing-masing secara terpisah diperiksa dengan masing-masing pasangan, atau 2 atau lebih pasangan primer digunakan pada pemeriksaan yang sama, cara kedua tidak selalu mudah dilakukan selama pasangan primer mungkin memiliki perbedaan dalam annealing, sifat ikatan polimerase yang berbeda dan mungkin bekerja sebagai penghambat yang bersaing. Dalam hal ini penting untuk menentukan secara empiris primer mana yang dapat dikombinasikan dalam reaksi yang sama. Pasangan primer SK-38–39 dan atau SK-145–101 telah berhasil digunakan untuk mendeteksi HIV pada lebih dari 96% individu dengan zat anti positif. PCR dapat mendeteksi molekul tunggal dari target DNA dan juga mengamplifikasi target yang ada sebagai pasangan yang tidak komplet; sebaliknya kontaminasi dan campuran reaksi dengan sejumlah target DNA yang tidak terdeteksi akan memberikan hasil false positive. Ketaatan mengikuti prosedur dapat mengurangi risiko kontaminasi. Cara yang cepat dan sederhana dalam menyiapkan sampel dapat pula mengurangi false positive. Identifikasi HIV dengan PCR telah memberikan sumbangan dalam diagnosis dan penelitian AIDS sebagai berikut: 1) PCR telah berhasil digunakan untuk memeriksa bayi lahir dari ibu seropositif selama zat anti maternal masih dimiliki bayi sampai umur 15 bulan, sedangkan diagnosis infeksi HIV secara serologis terhambat. 2) PCR telah digunakan untuk menetapkan status infeksi path individu seronegatif. Studi pada golongan risiko rendah, hasil seronegatif menunjukkan bahwa individu tidak terinfeksi. 3) PCR telah digunakan untuk mendeteksi sekuen HIV pada individu seropositif dengan gejala, yang hasilnya negatif dengan uji deteksi langsung lainnya, termasuk dengan cara mengkultur virus. 4) Telah digunakan untuk mengindentifikasi infeksi pada sejumlah kecil individu berisiko tinggi sebelum serokonversi. 5) PCR telah digunakan untuk konfirmasi kasus pertama dan HIV-2 di Afrika Barat yang menjalani pengobatan di AmerikaSerikat. 6) PCR telah digunakan untuk mengevaluasi heterogenisitas virus dalam HIV yang diisolasi. PCR DNA dan RNA HIV a. PCR DNA HIV Setelah metode laboratorium untuk meningkatkan DNA dengan PCR ditemukan dan penentuan HIV sebagai penyebab AIDS, teknik PCR DNA HIV menjadi lebih sederhana, murah, dan lebih dapat diandalkan dibandingkan biakan virus sebagai cara bagi para peneliti untuk menentukan orang yang terinfeksi HIV dan melakukan penelitian epidemiologi secara luas. Ketersediaan primer untuk subtipe HIV memungkinkan para peneliti untuk memakai PCR DNA HIV untuk meneliti dan melacak subtipe HIV untuk pengembangan vaksin dan penelitian epidemiologi. PCR DNA HIV pertama kali dipakai untuk mendiagnosis HIV pada bayi pada 1990. Penelitian yang men-tes sel mononuklear darah perifer (peripheral blood mononuclear cells/ PBMC) dari bayi pada berbagai titik waktu setelah kelahiran. Diharapkan bahwa akan sespesifik seperti biakan virus pada bayi yang baru lahir tetapi lebih mudah dilakukan, membutuhkan jumlah darah yang lebih sedikit. Walaupun PCR DNA berhasil dengan baik, penelitian selanjutnya terhadap bayi yang baru lahir oleh Delamare dkk34 dan Dunn dkk35 menemukan bahwa PCR DNA HIV terdeteksi <50% infeksi HIV dalam lima hari pertama kehidupannya. Sensitivitasnya meningkat hingga 90% setelah berusia 14 hari. Ketidaksensitifan PCR DNA HIV untuk mendiagnosis infeksi HIV saat kelahiran mungkin terjadi karena kenyataan bahwa kebanyakan penularan HIV pada bayi terjadi saat sakit kelahiran dan persalinan, dan virus tidak mencapai tingkat terdeteksi selama beberapa minggu setelah tertular. Bayi yang terinfeksi dalam kandungan mungkin mempunyai hanya sedikit jumlah virus yang bereplikasi. b. PCR RNA HIV Dalam usaha untuk menemukan sebuah metode yang dapat mendiagnosis bayi lebih dini, para peneliti beralih ke PCR RNA HIV, yang dapat mendeteksi HIV dalam darah. Berbeda dengan PCR DNA HIV, yang adalah tes kualitatif (yaitu, tes memberikan diagnosis HIV ya/tidak), deteksi RNA HIV menyediakan informasi tambahan informasi kuantitatif tentang status virologis, menghitung jumlah virus yang beredar (juga dikenal sebagai “viral load” dan dinyatakan dalam copies/mL) pada pasien. Oleh karena itu, viral load dapat dipakai untuk mendiagnosis pasien, menuntun permulaan memakai ART, dan memantau tanggapan pengobatan. Diharapkan HIV RNA akan sensitif dalam mendeteksi virus dan tetap sangat spesifik terhadap HIV, dan akan mengganti teknik biakan virus yang lebih rumit dan mahal untuk mendiagnosis bayi. Penelitian awal terhadap bayi yang terpajan HIV dengan memakai tes PCR RNA HIV menemukan bahwa metode tersebut cocok atau melampaui sensitivitas dan spesifisitas PCR DNA HIV dan metode biakan virus. Dalam penelitian oleh Lambert dkk, kepekaan tes PCR RNA HIV adalah 27% saat kelahiran, 92% setelah 6 minggu, dan 91% setelah 20 minggu. Para peneliti lain melaporkan hasil serupa. Peralatan tes RNA HIV semakin murah, dan alat tes deteksi RNA HIV sekarang tersedia secara lebih luas dibandingkan alat tes DNA. Tetapi, metode ini mempunyai beberapa kekurangan, termasuk Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV kecenderungan untuk memberi hasil positif yang salah untuk pasien dengan tingkat viremia rendah dan bahwa kenyataannya tidak semua primer dan reagen dibakukan. Selain itu, peningkatan penggunaan ART dan profilaksis untuk PMTCT meningkatkan masalah yang berpotensi pentign sehubungan dengan sensitivitas metodologi PCR RNA HIV pada diagnosis bayi. Obat ARV berpotensi menurunkan tingkat virus dalam sel mononuklear darah perifer atau plasma dan mengurangi sensitivitas tes tersebut. Tetapi, penelitian mengindikasikan bahwa penurunan viral load yang terjadi dengan ART atau profilaksis ARV jangka pendek tidak mengganggu metode PCR pendeteksi HIV. II. Diagnosis HIV menjadi AIDS AIDS merupakan stadium akhir infeksi HIV. Penderita dinyatakan sebagai AIDS bila dalam perkembangan infeksi HIV selanjutnya menunjukan infeksiinfeksi dan kanker oportuniostik yang mengancam jiwa penderita. Selain infeksi dan kanker dalam penetapan CDC 1993, juga temasuk : ensefalopati, sindrom kelelahan yang berkaitan dengan AIDS dan hitungan CD4 <200/ml. F. Epidemiologi Epidemiologi adalah segala sesuatu yang mengenai distribusi penyakit HIV dan faktor – faktor yang mempengaruhi bagaimana penyakit HIV bisa tersebar dalam suatu populasi. Sindroma AIDS pertama kali dilaporkan oleh Gottlieb dari Amerika pada 5 Juli tahun 1981. Sejak HIV pertama kali diidentifikasi pada tahun 1983, para peneliti berusaha untuk menemukan asal dari virus tersebut. Sebelumnya, ditemukan teori yang menyatakan bahwa virus ini berasal dari monyet yang menularkan ke manusia di Afrika pada tahun 1930-an dan 1940-an. Transmisi HIV dipengaruhi oleh faktor migrasi, perumahan, perjalanan, hubungan seksual, penggunaan obat, perang, dan ekonomi. Virus ini diteliti pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1981. Setelah itu, terjadi peningkatan jumlah kasus AIDS di Amerika Serikat dan sekitarnya. Pada Januari tahun 1983, virus yang bernama HIV diidentifikasi sebagai penyebab penyakit AIDS oleh dr. Luc Montagnier, dkk, dari institut Pasteur Perancis. Virus diisolasi dari kelenjar getah bening yang membengkak pada tubuh penderita AIDS, sehingga awalnya penyakit ini disebut Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Pada bulan Juli 1984, dr. Robert Gallo dari lembaga kanker Nasional (NIC) Amerika menyatakan menemukan virus baru dari seseorang yang terinfeksi HIV dengan menyebutnya Human T-Lymphotic Virus Type III (HTLV III). Selain itu, ilmuwan J.Levy juga menemukan virus penyebab AIDS yang dinamakan AIDS Related Virus (ARV). Akhirnya, pada bulan Mei 1986, Komisi Taksonomi Internasional sepakat menyebut nama virus penyebab AIDS dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Indonesia memiliki potensi terancam epidemi HIV / AIDS karena memiliki kondisi – kondisi yang mempermudah penyebaran HIV / AIDS, antara lain : • Industri seks yang komersial • Prevalensi penyakit kelamin yang tinggi • Pemakaian kondom rendah • Terjadinya hubungan seks premarital • Terjadinya hubungan seks ekstramarital • Di beberapa daerah, tes transfusi belum memenuhi persyaratan • Penyalahgunaan NAPZA suntik meningkat • Kemiskinan Orang – orang yang terinfeksi HIV bisa berasal dan mencakup semua golongan, tidak mengenal gender dan level. The Joint United Nation Program untuk HIV / AIDS memperkirakan bahwa pada pertengahan tahun 2000, lebih dari 50juta orang di seluruh dunia terinfeksi HIV. WHO memperkirakan bahwa terdapat hampir 6 juta infeksi baru setiap tahunnya, 90% terjadi di negara – negara berkembang. G. Penatalaksanaan 1. TRANSMISI DAN PENCEGAHAN Tiga rute utama masuknya HIV adalah hubungan seksual, paparan dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, dan dari ibu ke fetus atau anak selama periode perinatal. Pada air liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, dapat ditemukan HIV, tetapi tidak ada kasus infeksi oleh hal ini, dan risiko infeksi tidak berarti. a. Penularan melalui hubungan seksual Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung antarindividu yang salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual adalah modus utama infeksi HIV di dunia. Transmisi HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung. Risiko masuknya HIV dari orang yang terinfeksi menuju orang yang belum terinfeksi melalui hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seksual dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif. Risiko transmisi HIV dari air liur jauh lebih kecil daripada risiko dari air mani. Bertentangan dengan kepercayaan umum, seseorang harus menelan segalon air liur dari individu HIV positif untuk membuat risiko signifikan terinfeksi. Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofag) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Risiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofag. Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV. Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual. Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan. b. Paparan dengan cairan tubuh yang terinfeksi Rute transmisi ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali syringe yang mengandung darah yang terkontaminasi dengan HIV tidak hanya merupakan risiko utama infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Tiongkok, dan Eropa Timur. Risiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu. Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lainlain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah transmisi HIV melalui fasilitas kesehatan. Risiko transmisi HIV pada resipien transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi". Pekerja kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV. Semua organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi jarum dan bahan lainnya yang diperlukan untuk mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk syringe, bola kapas, sendok, air untuk mengencerkan obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu menggunakan jarum yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi tentang membersihkan jarum menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas kesehatan dan program penukaran jarum. Di sejumlah negara maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum atau tempat penyuntikan yang aman. Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum dan mengijinkan pembelian perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep dokter. c. Transmisi ibu ke anak Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi in utero selama mingguminggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat transmisi antara ibu dan anak selama kehamilan dan persalinan sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretroviral dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat transmisi hanya sebesar 1%. Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko transmisi sebesar 10-15%. Risiko ini bergantung pada faktor klinis dan dapat bervariasi menurut pola dan lama menyusui. Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretroviral, bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang transmisi HIV dari ibu ke anak. Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin. Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui transmisi ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika. Dari semua anak yang diduga kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara. Strategi pencegahan dikenal dengan baik di negara maju. Namun demikian, penelitian perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara belakangan ini menunjukkan bahwa minoritas banyak anak muda terus melakukan kegiatan berisiko tinggi dan meskipun mengetahui tentang HIV/AIDS, anak muda meremehkan risiko terinfeksi HIV. Namun demikian, transmisi HIV antarpengguna narkoba telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di negara-negara maju. Ada 5 cara untuk mencegah penularan HIV, yaitu : A : Abstinence = tidak melakukan hubungan seks beresiko tinggi. B : Be faithful = bersikap saling setia C : Condom = cegah dengan memakai kondom secara konsisten dan benar Selama hubungan seksual, hanya kondom pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko transmisi HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan. Penggunaan efektif kondom dan penapisan (screening) transfusi darah di Amerika Utara, Eropa Barat, dan Eropa Tengah dianggap sebagai salah satu penyebab kecilnya jumlah AIDS di daerah-daerah tersebut. Dengan penggunaan kondom yang konsisten dan benar, risiko infeksi HIV sangatlah kecil. Penelitian terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum terinfeksi di bawah 1% per tahun D : Drugs = Hindari pemakaian narkoba suntik Dalam upaya pencegahan penularan melalui narkoba suntik ada beberapa daerah seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jatim, Yogyakarta, Bali, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara sudah melakukan pelayanan Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM), yakni dengan memberi Metadon sejenis narkoba sintesis kelas dua dengan sekali suntik dalam sehari namun tidak menyebabkan kecanduan. Tujuannya untuk melakukan terapi bertahap bagi pengguna narkoba suntik tersebut. E : Equipment = Mintalah pelayanan kesehatan dengan peralatan steril 2. PENGOBATAN Sampai saat ini masih belum ditemukan obat penyakit AIDS/HIV yang efesien. Beberapa usaha tetap dilakukan baik usaha penemuan obat maupun vaksinnya. Obat yang digunakan saat ini tidak dapat menyembuhkan penyakit HIV/AIDS, tetapi ada obat untuk mengatasi infeksi atau simtom dari penyakit HIV/AIDS sehingga rasa sakit penderita dapat berkurang atau hilang. Hal tersebut juga dapat memperpanjang hidup penderita. Pengobatan hasrus dilakukan dengan cara melawan virus bebas dan virus yang menginfeksi sel. Meskipun sejumlah zat telah dibuat sebagai anti-HIV secara in vitro , hanya sedikit yang menunjukkan kerja yang efektif sebagai anti-HIV pada toksisitas toleransi. Untuk menghindari resistansi virus terhadap obat, obat yang diminum biasanya adalah obat kombinasi yang terdiri terdiri dari beberapa jenis. Pengobatan HIV/AIDS secara medis dapat digolongkan menjadi 3, yaitu: a. Pengobatan Suportif b. Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Oportunistik c. Pengobatan Antiretroviral a. Pengobatan Suportif HIV dan nutrisi keduanya sangat berhubungan. Infeksi HIV dapat memicu adanya malnutrisi. Oleh karena pengobatan AIDS meningkat dengan pesat pada daerah-daerah miskin di seluruh dunia, maka pertanyaannya adalah bagaimana obat dapat bekerja dengan baik apabila nutrisi makanannya tidak cukup baik. Oleh karena itu, pada penderita HIV perlu diperhatikan pula mengenai nutrisi Nasihat mengenai diet perlu disesuaikan dengan kondisi penderita. Akan tetapi, umumnya, rekomendasi untuk orang yang hidup dengan infeksi HIV yang belum menunjukkan gejala biasanya sama dengan orang lainnya, yang berarti diet yang seimbang dan sehat. Hanya ada tiga perbedaan yang penting, yaitu ● Oleh karena orang yang terinfeksi HIV cenderung membutuhkan energi yang lebih banyak, maka jumlah kalori harus 10% lebih banyak dibandingkan dengan jumlah kalori yang biasanya disarankan. Dan lebih dari 30% lebih tinggi selama masa penyembuhan dari penyakit. Keseimbangan dari lemak, protein, dan karbohidrat harus dipertahankan supaya tetap sama ● Banyak ahli merekomendasikan multivitamin harian (biasanya yang tanpa zat besi, kecuali pada wanita yang sedang menstruasi atau orang dengan defisiensi zat besi). ● WHO merekomendasikan suplemen vitamin A setiap 4-6 bulan pada anakanak yang terinfeksi HIV dan hidup di daerah miskin. Orang yang positif terkena HIV yang kehilangan selera makan harus berusaha keras untuk memastikan bahwa mereka telah cukup makan. Beberapa saran yang membantu antara lain, memakan beberapa makanan kecil per hari, melakukan latihan untuk merangsang nafsu makan, dan mencari saran dari tenaga kesehatan atau ahli gizi. Jika tidak berhasil, dokter mungkin akan menyarankan suplemen makanan cair untuk merangsang nafsu makan, atau latihan untuk membentuk otot. Kemungkinan lain adalah pengobatan dengan steroid dan hormon, walaupun cara ini lebih mahal dan mempunyai efek samping yang lebih berbahaya b. Pencegahan Dan Pengobatan Infeksi Oportunistik Meliputi penyakit infeksi Oportunistik yang sering terdapat pada penderita infeksi HIV dan AIDS. 1. Tuberkulosis Sejak epidemi AIDS maka kasus TBC meningkat kembali. Dosis INH 300 mg setiap hari dengan vit B6 50 mg paling tidak untuk masa satu tahun. 2. Toksoplasmosis Sangat perlu diperhatikan makanan yang kurang masak terutama daging yang kurang matang. Obat : TMP-SMX 1 dosis/hari. 3. CMV Virus ini dapat menyebabkan Retinitis dan dapat menimbulkan kebutaan, Ensefalitis, Pnemonitis pada paru, infeksi saluran cernak yang dapat menyebabkan luka pada usus. Obat : Gansiklovir kapsul 1 gram tiga kali sehari. 4. Jamur Jamur yang paling sering ditemukan pada penderita AIDS adalah jamur Kandida. Obat : Nistatin 500.000 u per hari Flukonazol 100 mg per hari. c. Pengobatan Antiretroviral Terapi AIDS/HIV saat ini dilakukan terapi kimia (chemotherapy) yang menggunakan obat anti-retroviral virus (ARV) yang berfungsi menekan perkembangbiakan virus HIV. Prinsip dasar dalam pemberian ARV adalah bahwa ARV sampai saat ini bukan untuk menyembuhkan; bila digunakan dengan benar berhubungan dengan perbaikan kualitas hidup penderita.Tujuan pengobatan yang ingin dicapai adalah (1) memperpanjang usia hidup anak yang terinfeksi, (2) mencapai tumbuh dan kembang yang optimal, (3) menjaga, menguatkan dan memperbaiki sistim imun dan mengurangi infeksi oportunistik, (4) menekan replikasi virus HIV dan mencegah progresifitas penyakit, (5) mengurangi morbiditas anak-anak dan meningkatkan kualitas hidupnya. Hingga saat ini sudah terdapat lebih kurang 20 jenis obat ARV. Obatobat ini pada dasarnya terdiri dari 5 jenis berdasarkan tempat kerjanya, yaitu NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), PI (protease Inhibitor), Fusion Inhibitor, dan Anti-Integrase. Dalam terapi menggunakan obat ARV ini, umumnya dilakukan dengan kombinasi beberapa jenis obat. Pemakaian kombinasi NRTI dengan NNRTI dan PI ini saat ini dikenal sebagai Highly Active Anti Retroviral Therapy (HAART). Penamaan ini didasarkan atas peningkatan survival, pengurangan kemungkinan infeksi oportunistik dan komplikasi lain, perbaikan pertumbuhan dan fungsi neurokognitif dan peningkatan kualitas hidup penderita HIV. Tanpa adanya HAART, infeksi HIV ke AIDS muncul dengan rata-rata sekitar sembilan sampai sepuluh tahun dan waktu bertahan setelah memiliki AIDS hanya 9.2 bulan. HAART meningkatkan waktu bertahan antara 4 dan 12 tahun. Berikut adalah daftar obat anti retroviral. Kombinasi multi kelas: Kombinasi Nama Dagang efavirenz + TDF + FTC Atripla Keterangan Diberikan saat perut kosong Nucleoside/Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs): Singkatan Nama Nama Generik Dagang Keterangan 3TC lamivudine Epivir Diberikan dengan atau tanpa makanan ABC abacavir Ziagen Diberikan dengan atau tanpa makanan Retrovir Diberikan dengan atau setelah makan AZT atau zidovudine ZDV d4T1 stavudine Zerit Diberikan dengan atau tanpa makanan ddC2 zalcitabine Hivid Diberikan dengan atau setelah makan ddI didanosine Videx Diberikan pada perut yang kosong 30 menit (tablet) sebelum makan; hindari alkohol Videx EC Diberikan pada perut yang kosong satu jam (capsule) sebelum makan; hindari alkohol FTC emtricitabine Emtriva Diberikan dengan atau tanpa makanan TDF tenofovir Viread Diberikan dengan atau tanpa makanan Kombinasi ABC + 3TC Nama Dagang Epzicom (US) Kivexa (Europe) Keterangan Diberikan dengan atau tanpa makanan ABC+AZT+3TC3 Trivizir Diberikan dengan atau tanpa makanan AZT + 3TC Combivir Diberikan dengan atau tanpa makanan TDF + FTC Truvada Diberikan dengan atau tanpa makanan NRTIs Yang Dikombinasikan: Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs): Nama Nama Generik Dagang delavirdine Rescriptor Keterangan Dilisensi di AS tapi tidak di Inggris. Diberikan dengan atau tanpa makanan. Tunggu selama satu jam sebelum diberikan ddI atau antasida. efavirenz Sustiva (US) Diberikan ketika perut kosong Stocrin (Europe) etravirine4 Intelence Dilisensi di AS tapi tidak di Inggris. Diberikan bersama makanan nevirapine Viramune Diberikan dengan atau tanpa makanan Protease Inhibitors (PIs): Nama Nama Dagang Keterangan Generik Amprenavir/ Agenerase/ Diberikan dengan atau tanpa makanan fosamprenavir Lexiva (US) Agenerase/ Telzir (Europe) atazanavir5 Reyataz Diberikan dengan makanan darunavir6 Prezista Diberikan dengan makanan indinavir Crixivan Diberikan saat perut kosong jika tidak diberikan bersama dengan ritonavir lopinavir+ Kaletra Beberapa formula harus diberikan dengan ritonavir Aluvia makanan. Beberapa formula perlu didinginkan (developing hingga lebih dari 6 minggu world) nelfinavir Viracept Diberikan bersama makanan ritonavir Norvir Diberikan bersama makanan atau suplemen makanan cair saquinavir Fortovase (soft Diberikan dalam dua jam makan. Perlu didinginkan gel capsule) hingga lebih dari 3 bulan Invirase (hard gel Diberikan dalam dua jam makan capsule) tipranavir7 Aptivus Diberikan bersama makanan Fusion or Entry Inhibitors: Nama Nama Dagang Keterangan Generik T-20 atau Fuzeon Harus disiapkan dari serbuk dan diinjeksikan pada enfuvirtide8 maraviroc9 paha, lengan atau abdomen Celsentri Diberikan dengan atau tanpa makanan (Europe) Selzentry (US) Integrase Inhibitors: Nama Nama Dagang Keterangan Generik raltegravir10 Isentress Diberikan dengan atau tanpa makanan Pengobatan HIV biasanya melibatkan tiga obat yang diberikan bersamasama. WHO merekomendasikan bahwa di sebagian besar kasus, first line regimen harus mengandung dua buah obat dari kelompok nukleoside/nukleotida (NRTI) dan satu obat dari kelompok non-nukleosida (NNRTI). Obat dari kelompok Protease Inhibitor (PI) kurang cocok untuk digunakan dalam pengobatan awal karena harganya, jumlah pil yang harus diberikan, dan beberapa efek samping yang dapat timbul dengan obat-obat protease. Pengobatan lini pertama yang disukai mengandung AZT atau TDF (kelompok NRTI) yang dikombinasikan dengan 3TC atau FTC (kelompok NRTI) lalu dikombinasikan lagi dengan EFV atau NVP (kelompok NNRTI). Cara alternatif lain yaitu, AZT atau TDF diganti dengan d4T atau ABC. Kombinasi dari tiga NRTI dapat dilakukan dengan pertimbangan situasi dimana pilihan NNRTI menyebabkan komplikasi tambahan. Dalam kasus ini First drug Second drug Third drug Preferred AZT or TDF 3TC or FTC EFV or NVP Alternative d4T or ABC 3TC or FTC EFV or NVP Triple NRTI AZT 3TC or FTC ABC or TDF kombinasi yang dipakai adalah AZT+3TC+ABC atau AZT+3TC+TDF (dimana FTC dapat disubstitusi untuk 3TC). Bila terdapat kondisi yang mengarah ke kegagalan terapi ARV lini pertama, maka diperlukan evaluasi ke arah kepatuhan berobat, dosis dan infeksi oportunistik yang belum teratasi. Setelah dilakukan evaluasi menyeluruh dan diputuskan untuk melakukan penggantian obat, maka opsi pilihan lini kedua dipertimbangakan. Standard untuk pengobatan lini kedua adalah mengandung dua obat NRTI yang dikombinasikan dengan ritonavir-boosted protease inhibitor, yang disingkat PI/r. Pilihan pertama biasanya ritonavir-boosted lopinavir (LPV/r) karena tersedia dalam bentuk yang tidak memerlukan pendinginan Jika pengobatan lini pertama terdiri dari tiga NRTI maka kemudian pengobatan lini kedua harus mengandung satu obat NNRTI dan satu buah obat PI/r, dan dapat juga mengandung ddI juga (optional). Tabel di bawah menunjukkan rekomendasi untuk penggantian regimen First line regimen Standard Second line regimen First Second Third drug drug drug First drug Second Third drug drug AZT atau 3TC atau NVP atau ddI atau ABC d4T FTC EFV TDF PI/r TDF TDF ABC Triple NRTI 3TC* 3TC atau NVP atau ddI ABC FTC 3TC* TDF PI/r atau PI/r 3TC atau NVP atau ddI ataur 3TC* FTC TDF TDF First Second Third First drug drug drug drug AZT ata 3TC or TDF or EFV d4T FTC ABC NVP PI/r Second Third drug drug or optional PI/r ddI * AZT dapat diberikan seperti 3TC dalam usaha untuk mencegah atau menunda resistensi terhadap obat. 3. PENGOBATAN YANG SEDANG DIKEMBANGKAN a. Green Cocktail ”Green cocktail terapi HIV/AIDS”. Penggunaan tanaman herbal asli Indonesia yang disebut green cocktail sebagai alternatif terapi untuk menanggulangi HIV/AIDS secara efektif dan aman kini dikembangkan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan Yayasan Cahaya Hati Bangsa. Pemanfaatan tanaman herbal sebagai obat anti HIV/AIDS itu kini dalam tahap uji klinis lebih lanjut. Pada hasil uji klinis tahap awal, terapi GC mampu meningkatkan CD4 pasien. Seorang responden, 23 thn, misalnya meningkat CD4-nya dari 191 jadi 255 dalam 22 hari. Menurut Sandra Hermanto pengajar di Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah, hasil analisa komposisi kimiawi menunjukkan herbal itu mengandung senyawa aktif, antioksidan/antimikroba dan senyawa penekan sel kanker, serta beberapa asam amino esensial. Green cocktail tidak dikonsumsi seumur hidup. Namun ini perlu uji laboratorium lebih lanjut. Menurut Ketua Yayasan Cahaya Hati Bangsa, Azwina Miraza, Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atas Green Cocktail telah terdaftar di Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia. Temuan ini juga akan didaftar ke Swedia untuk mendapat pengakuan internasional. b. Kulit Pohon Mahoni Mahoni (Swietenia Mahagoni L) terbukti berkhasiat menghambat pertumbuhan HIV. Tumbuhan lainnya, benalu teh (Loranthus paraciticus (L) MERR, kiules (Helicteres isora L), dan supratul (Sindora sumaterana MIQ), punya potensi yang sama. Setelah diteliti lebih jauh, kulit pohon mahoni ternyata mengandung ester metil klorogenat dan asam klorogenat. Menurut Supriyatna, ahli farmasi UNPAD yang menemukan penemuan ini , asam itu pada konsentrasi 100 mikogram per ml mampu menghambat protease HIV sebesar 50%. Sedangkan esternya, sampai 60. Tapi penelitian ini belum sepenuhnya usai. Penelitian ini masih awal. Meski telah ditemukan model molekul zat aktif anti-HIV pada kulit pohon mahoni, masih perlu waktu untuk bisa menjadi obat yang dapat langsung digunakan. c. Lactobacillus Baru-baru ini tim peneliti yang diketuai oleh Peter Lee dari Stanford University, Amerika, mengembangkan bakteri Lactobacillus yang dapat menghambat infeksi virus HIV ke dalam sel. Mereka menggunakan Lactobacillus jensenii yang diisolasi dari vagina. Bakteri ini banyak ditemukan dan dapat berkembang biak dengan mudah di vagina, yang merupakan titik awal infeksi virus HIV. Bakteri ini melindungi vagina dari berbagai infeksi bersama-sama dengan Lactobacillus lain seperti L. crispatus dan L. gasseri. Perlindungan vagina oleh Lactobacillus terhadap berbagai infektan (seperti virus atau bakteri lainnya) ini dilakukan dengan mengeluarkan senyawa kimia yang berperan sebagai anti-virus seperti asam laktat dan hidrogen peroksida (H2O2). Walaupun demikian, asam laktat dan hidrogen peroksida yang dihasilkan Lactobacillus alami tidak memberikan efek langsung terhadap virus HIV yang ada di vagina. Sehingga transmisi HIV melalui vagina masih merupakan penyebab utama terjadinya infeksi HIV. Salah satu penyebab tidak adanya efek langsung anti-virus yang dihasilkan oleh Lactobacillus terhadap HIV adalah karena distribusi Lactobacillus dan virus HIV yang acakan (random). Akibatnya, peluang antivirus yang dihasilkan untuk mencapai sasaran sangatlah kecil. Untuk membuat agar virus HIV bisa dijadikan target, Peter Lee dan kawan-kawan memodifikasi bakteri L. jensenii ini dengan menggunakan teknologi genetika. Mereka membuat L. jensenii yang bisa menghasilkan protein CD4, yang merupakan reseptor virus HIV, dengan cara mengkloning gen CD4 ke dalam L. jensenii. Karena CD4 adalah reseptor yang diperlukan oleh HIV untuk berikatan sebelum penetrasi ke dalam sel, secara otomatis virus HIV akan berikatan dengan CD4 yang dihasilkan dari kloning ini. Dalam modifikasi ini, Peter Lee dan kawan-kawan tidak hanya membuat supaya menghasilkan protein CD4, tapi dibuat sedemikian rupa supaya protein CD4 yang dihasilkan muncul di permukaan L. jensenii sendiri. Dengan demikian, jika L. jensenii yang dimodifikasi ini dikembangbiakkan di vagina, virus HIV yang ada di vagina akan berikatan dengan CD4 ini. Karena CD4 berada di permukaan Lactobacillus, HIV yang berikatan dengan CD4 akan berada di sekeliling Lactobacillus. Akibatnya, anti-mikroorganisme yang dihasilkan oleh Lactobacillus akan mudah mencapai sasarannya. Dari hasil percobaannya di kultur sel manusia, Peter Lee dan kawankawan berhasil membuktikan bahwa bakteri Lactobacillus yang dimodifikasi ini dapat menekan daya infeksi HIV sampai 95%. Hasil ini dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences USA (PNAS) edisi 12 September 2003. Hasil ini juga disorot di jurnal Science edisi 9 September 2003. Walaupun masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut, Lactobacillus yang dimodifikasi secara in vitro terbukti berhasil menghambat infeksi virus HIV. Kalau pendekatan ini bisa diterapkan, masalah AIDS/HIV akan lebih cepat teratasi. Hal ini disebabkan karena biaya pengobatan akan jauh lebih murah karena pengkulturan Lactobacillus dapat dilakukan secara ekonomis dan tidak memakan waktu. d. Jamu Anti AIDS Hendra Yauw Akhir-akhir ini mungkin terdengar berita mengenai adanya jamu anti AIDS hasil racikan dari Hendra Yauw yang sehari-hari berprofesi sebagai sinshe .Racikan jamu yang dibuat Hendra untuk penderita HIV dan AIDS terdiri atas dua belas macam tumbuhan obat. Bahan-bahan herbal itu tak ada yang impor. Semuanya tumbuhan lokal. Kalau mau cermat, banyak tumbuhan berkhasiat itu tumbuh di Indonesia. Namun tidak semua orang tahu atau mengenalnya secara dekat baik asal usulnya maupun kandungannya. Sambiloto, misalnya tanaman jenis perdu yang dijadikan unsur dominan dalam racikan Hendra itu, mungkin tidak banyak yang tahu khasiatnya. Sambiloto dengan nama latin Andrographis paniculata sangat mudah ditanam. Karena itu, tidak ada kesulitan untuk mendapatkan bahan baku untuk racikan obat penambah daya tahan tubuh bagi penderita HIV/AIDS. Tumbuhan itu diakui mampu menurunkan panas dan juga bisa untuk antidemam, antibiotik, dan antiradang. Ekstrak sambiloto juga dapat merusak sel trophocyt dan trophoblast, yang berperan dalam kondensasi cytoplasma dari sel tumor dan juga bisa menghancurkan inti sel kanker. Tanaman itu memiliki rasa pahit, bersifat dingin, masuk meredian jantung dan paru-paru. Jamu ini telah dicobakan pada empat penderita HIV/AIDS sejak tiga bulan lalu (berita ini ditulis pada tanggal 12 Februari 2008) dengan hasil satu bulan kemudian kadar CD4 meningkat. Sel CD4 adalah semacam sel darah putih yang merupakan bagian penting dari kekebalan tubuh manusia. Saat HIV menular ke manusia, sel yang terinfeksi paling sering adalah CD4. Semakin lama terinfeksi HIV semakin menurun CD4. "Penderita HIV/AIDS yang mengonsumsi jamu yang dinamakan Ching Lung Sehat Badan ini setelah sebulan naik CD4-nya. Mereka juga mengaku naik berat badannya, dapat tidur nyenyak, dan kembali bersemangat karena merasa ada harapan. Kini CD4 mereka hampir mendekati normal," jelas Hendra. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Penyakit HIV/AIDS merupakan penyakit yang saat ini, menurut WHO, merupakan penyakit yang paling mematikan di dunia. AIDS merupakan bentuk terparah akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ vital sistem kekebalan manusia seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofag, dan sel dendritik. Gejala awal hampir sama dengan gejala penyakit lain, yaitu rasa tidak enak badan, karena ada kuman yang masuk ke dalam tubuh. Secara fisik, tidak ada gejala khas dan gejalanya tidak dapat dilihat, tapi berpotensi untuk menularkan ke orang lain. Diagnosis HIV/AIDS dapat menggunakan beberapa cara, antara lain : 1. Langsung: biakan virus dari darah, isolasi virus dari sample, umumnya menggunakan mikroskop elektron dan deteksi gen virus. Yang paling sering digunakan adalah PCR (Polymerase Chain Reaction). 2. Tidak Langsung: dengan melihat respons zat anti yang spesifik, misalnya dengan tes ELISA, Western Blot, Immunofluoren Assay (IFA), dan Radio Immunoprecipitation Assay (RIPA) Virus HIV/AIDS ini biasanya ditularkan oleh kelompok berperilaku beresiko tinggi, diantaranya : (1) pengguna narkoba suntikan, (2) homoseksual, dan (3) Ibuibu yang terkena positif HIV (bisa terjangkit dari suami, dari transfusi darah, atau pasangan pengguna narkoba suntik). Untuk pengobatan HIV/AIDS, sampai saat ini belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan penderita dari penyakit ini. Obat yang saat ini digunakan adalah Anti Retroviral (ARV) yang fungsinya hanya memperpanjang hidup penderita. B. Saran Saran dari penyusun antara lain : 1. Pemerintah diharapkan lebih mengutamakan upaya pencegahan penyakit ini. 2. Pemerintah diharapkan melaksanakan subsidi obat antiretroviral pada pengidap HIV/AIDS. 3. Pihak keluarga pengidap HIV/AIDS diharapkan memberikan dukungannya. 4. Para peneliti diharapkan dapat mengembangkan obat-obat baru yang lebih efektif. DAFTAR PUSTAKA Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. Phair, John P. dan Ellen G. Chadwick. 1994. Dasar Biologis Dan Klinis Penyakit Infeksi ed.IV. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS http://en.wikipedia.org/wiki/Image:ELISA-sandwich.svg http://www.niaid.nih.gov http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=1443&Itemid= 2 http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=129488 http://nusaindah.tripod.com/pengobatanhiv.htm http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2004/0514/kes1.html http://www.kesrepro.info/?q=node/348 http://kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.02.12.14490076&channel=1&mn=20&idx= 92 http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=2736&Itemid= 2 http://users.ugent.be/~avierstr/principles/pcr.html MAKALAH DIAGNOSTIK KLINIK HIV-AIDS Tanggal : 30 April 2009 Disusun oleh: Kelompok 3 Mega Dewi Suryani 0706264860 Mutia Anggriani 0706264873 Ninin Kartika Juwita 0706264886 Nurlitasari 0706264904 Nurul Fitriyah 0706264910 Nyssa Adriana 0706264923 Purwinda Herin 0706264936 DEPARTEMEN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2009