BAB II

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
HIV/AIDS saat ini merupakan penyakit yang dianggap paling menakutkan.
WHO (World Health Organization), badan PBB untuk kesehatan dunia,
memperkirakan AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali
diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Pada tahun 2005 saja, AIDS diklaim telah
menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa; lebih dari 570.000 jiwa di
antaranya adalah anak-anak. Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika SubSahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan
persediaan sumber daya manusia di sana. Oleh karena itu, penyakit ini merupakan
salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah.
Selain itu, sampai saat ini belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan
penderita dari penyakit ini. Obat yang ada hanya berfungsi untuk menghambat
pertumbuhan virus dan memperpanjang masa hidup penderita. Oleh karena itu,
sangat penting untuk dilakukan diagnosa dini terhadap penyakit ini karena penyakit
ini merupakan penyakit yang tidak menunjukkan gejala pada bulan-bulan pertama
padahal pada masa tersebut penderita sudah dapat menularkan penyakit HIV/AIDS
ini kepada orang lain.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana uraian dari HIV/AIDS?
2. Apa yang menyebabkan penyakit AIDS?
3. Bagaimana penyebaran dari penyakit AIDS?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit HIV/AIDS?
5. Bagaimana cara mendiagnosis penyakit HIV/AIDS?
6. Bagaimana transmisi, pencegahan dan pengobatan dari penyakit HIV/AIDS?
C. Tujuan
1. Memaparkan mengenai definisi dari penyakit HIV/AIDS.
2. Memaparkan penyebab penyakit HIV/AIDS.
3. Menjelaskan mengenai penyebaran penyakit AIDS .
4. Menjelaskan gambaran klinis dari penyakit HIV/AIDS.
5. Menjelaskan mengenai cara-cara mendiagnosis penyakit HIV/AIDS.
6. Menjelaskan mengenai cara-cara transmisi, pencegahan serta pengobatan
penyakit HIV/AIDS.
D. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan adalah dengan studi literatur baik dari buku
maupun dari internet.
E. Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Metode Penulisan
E. Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Umum dan Penyebab
B. Patogenesis
C. Gambaran Klinis
D. Diagnostik
E. Penatalaksanaan
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB II
ISI
A. Definisi Umum dan Etiologi
HIV, akronim dari Human Immunodeficiency Virus, merupakan penyebab
dari AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Virus HIV ini juga disebut juga
sebagai human lymphotropic virus tipe III, lymphadenophaty-associated virus
ataupun lymphadenophaty virus. Apapun namanya, virus HIV merupakan retrovirus.
Retrovirus adalah virus RNA yang mempunyai enzim reverse transcriptase. Dengan
menggunakan enzim reverse transcriptase, virus ini menggunakan RNA sebagai
cetakan untuk membuat DNA komplementer yang dapat berintegrasi dengan DNA
induk.
Gambar HIV
Sesuai dengan namanya, virus HIV hanya menyerang manusia khususnya
sistem kekebalan tubuh manusia yang melindungi tubuh dari infeksi. Sel imun yang
terinfeksi adalah CD4+ sel T, makrofag, dan sel dendritik. CD4+ sel T secara langsung
maupun tidak langsung dihancurkan oleh virus tersebut. Infeksi HIV menyebabkan
sistem kekebalan tubuh akan semakin lemah. Keadaan ini akan membuat orang
mudah diserang beberapa jenis penyakit (sindrom) yang kemungkinan tidak
mempengaruhi orang dengan sistem kekebalan tubuh yang sehat. Penyakit tersebut
disebut sebagai infeksi oportunistik.
Jika seseorang didiagnosis terinfeksi HIV (HIV positif), orang tersebut dapat
tetap sehat tanpa gejala klinis sehingga disebut penyakit HIV tanpa gejala. Setelah
timbul gejala, maka disebut sebagai infeksi HIV bergejala atau penyakit HIV lanjutan.
Namun pasien HIV positif tidak langsung didiagnosis menderita AIDS. AIDS itu sendiri
merupakan kumpulan gejala dan infeksi akibat melemahnya sistem kekebalan tubuh
yang disebabkan oleh infeksi HIV. Beberapa negara mempunyai kriteria tertentu
dalam mendiagnosis pasien AIDS. Di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya,
seseorang didiagnosis menderita AIDS ketika HIV membunuh CD4+ sel T hingga
jumlah CD4+ sel T dalam darah kurang dari 200 sel/µL darah akibatnya kekebalan
seluler menjadi hilang. Sedangkan di Kanada, orang yang terinfeksi HIV didiagnosis
menderita AIDS ketika muncul infeksi oportunistik.
Tanpa terapi antiretroviral, rata-rata waktu infeksi HIV berubah menjadi
penyakit AIDS adalah sekitar 9 hingga 10 tahun dan rata-rata harapan hidup
penderita AIDS adalah 9,2 bulan. Bagaimanapun perkembangan klinis masingmasing pasien bervariasi, mulai dari 2 minggu hingga 20 tahun. Banyak faktor yang
mempengaruhi perkembangan penyakit ini, misalnya kemampuan tubuh untuk
melawan HIV yang bekaitan dengan sistem imun tubuh. Pasien AIDS yang lebih tua
mempunyai sistem imun tubuh yang lebih lemah daripada pasien muda sehingga
resiko perkembangan penyakit AIDS menjadi lebih besar. Akses yang sulit untuk
mencapai pelayanan kesehatan dan kehadiran agen infeksi seperti TBC juga dapat
memperburuk perkembangan penyakit. Susunan genetik pasien juga memegang
peranan penting dan beberapa orang resisten terhadap beberapa strain HIV.
Individu dengan CCR5-Δ32 homozigot resisten terhadap infeksi beberapa strain HIV.
HIV secara genetik sangat bervariasi dan mempunyai banyak strain sehingga
menyebabkan perbedaan laju perkembangan penyakit. Penggunaan terapi
antiretroviral secara aktif akan memperpnjang rata-rata waktu perkembangan
penyakit dan waktu harapan hidup pasien.
Gambaran umum hubungan antara multiplikasi HIV dan jumlah CD4 pada infeksi HIV
yang tidak diobati.
Keterangan:
Jumlah CD4+ T Limfosit (sel/mm³)
HIV RNA kopi per mL plasma
B. Uraian Singkat Infeksi HIV
Patogenesis Infeksi HIV
HIV termasuk golongan retrovirus yang dikenal sebagai lentivirus, atau virus
“lambat”. Ciri-cirinya adalah interval yang panjang antara infeksi inisial dengan onset
timbulnya gejala serius.
Patogenesis infeksi HIV adalah fungsi dari siklus kehidupan virus, lingkungan
selular host, dan kuantitas virus pada individu yang terinfeksi. Faktor-faktor seperti
usia, perbedaan genetik antar individu, tingkat virulensi strain virus, dan ko-infeksi
dengan mikroba lain mungkin menyebabkan keparahan penyakit.
Kemungkinan infeksi adalah fungsi di mana jumlah virion HIV infektif dalam
plasma yang kontak dengan host sama banyak dengan jumlah sel yang tersedia pada
sisi aktif reseptor CD4. Banyak sel yang mengekspresikan reseptor CD4 rentan
terhadap infeksi HIV, termasuk sel mononuklear fagosit lineage, limfosit T dan B, sel
natural killer, sel dendritik, sel stem hematopoetik, sel endotelial, sel mikrogial pada
otak dan sel epitel gastrointestinal.
Respon selular
Sel dengan reseptor CD4 yang terinfeksi HIV menjadi tempat replikasi virus.
Sel terinfeksi kemudian melepaskan virion melalui permukaan sel atau sel yang lisis,
yang dapat menginfeksi sel-sel lain. Beberapa virion HIV dibawa dari tempat infeksi
ke limfa di mana sel sistem imun lain menjadi terinfeksi. Sejumlah besar virus dapat
terperangkap di sini oleh sel bertentakel yang disebut Follicular Dendritic Cell (FDC)
yang rentan terhadap infeksi namun dapat bertahan untuk waktu yang lama.
Sel T dan CD4 sebagai target utama HIV, dapat terinfeksi ketika bertemu
dengan HIV yang terjebak dalam FDC. Replikasi aktif HIV terjadi pada setiap tahap
infeksi. Dalam periode tahunan, saat sejumlah kecil virus terdeteksi dalam darah,
sejumlah signifikan virus terakumulasi dalam sel terinfeksi dan FDC. HIV yang
terjebak dalam FDC terus menginfeksi sekalipun terlindung oleh antibodi. Dapat
dilihat bahwa FDC adalah gudang untuk infeksi HIV dan dapat menjelaskan
bagaimana momentum infeksi HIV dapat terjadi.
Walaupun sel T dan CD4 adalah target utama HIV, sel sistem imun lain yang
memiliki reseptor CD4 pada permukaannya juga dapat terinfeksi. Sel berumur
panjang yang disebut monosit dan makrofag dapat mengandung sejumlah besar
virus tanpa menjadi mati. Sel T dan CD4 juga adalah gudang yang penting untuk HIV,
karena menyebabkan HIV dalam keadaan inaktif dan stabil. Proses normal imun
akan menyebabkan produksi virion HIV.
Di dalam dan sekitar germinal center, meningkatnya produksi sitokin seperti
tumor necrosis factor (TNF) dan IL-6 dapat mengaktivasi sel T dan CD4 yang
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi HIV. Aktivasi menyebabkan sel yang
tidak terinfeksi menjadi lebih mudah terinfeksi dan meningkatkan replikasi HIV pada
sel yang terinfeksi. Sekresi sitokin berbanding terbalik dengan sekresi sel-sel regulasi
fungsi normal sistem imun. Sekali terinfeksi, sel T dan CD4 dapat meninggalkan
germinal center dan menginfeksi sel T dan CD4 lain yang berkumpul di daerah limfa
di sekitarnya.
Ada beberapa teori tentang bagaimana HIV menghancurkan sel T dan CD4,
yaitu:
1. Direct cell killing. Sel T dan CD4 yang terinfeksi dihancurkan secara langsung
ketika sejumlah besar virus diproduksi dan menembus permukaan sel, merusak
membran sel, atau ketika protein viral dan asam nukleat yang tekumpuldalam
sel menganggu sistem selular.
2. Pembentukan syncytia. Sel terinfeksi dapat bergabung dengan sel tetangga
yang tidak terinfeksi, membentuk sel raksasa seperti balon yang disebut
syncytia.
3. Apoptosis. Sel T dan CD4 yang terinfeksi dapat terbunuh ketika regulasi selular
terganggu oleh protein HIV, yang mungkin menyebabkan penghancuran sendiri
sel yang dikenal sebagai apoptosis.
4. Innocent bystanders. Sel yang tidak terinfeksi dapat mati dengan skenario
innocent bystanders. Pertikel HIV dapat berikatan dengan permukaan sel,
menyebabkan sel seakan-akan terinfeksi sehingga sel dihancurkan oleh sel T
killer.
Perjalanan Infeksi
Infeksi primer HIV diikuti oleh ledakan viremia di mana virus dengan mudah
terdeteksi pada darah peripheral dalam sel mononuklear dan plasma. Jumlah sel T
dan CD4 dalam aliran darah menurun 20-40%. Dua sampai empat minggu setelah
terpapar virus, hingga 70% orang yang terinfeksi HIV mengalami gejala seperti flu
yang berhubungan dengan infeksi akut. Ledakan tersebut diikuti dengan replikasi
tingkat rendah ketika sistem imun pasien melawan balik yang menyebabkan
penurunan HIV secara dramatis dengan adanya sel T killer (sel T dan CD8) yang
menyerang dan membunuh sel terinfeksi yang memproduksi virus, dan sel B yang
memproduksi antibodi. Sel T dan CD4 pasien dapat meningkat kembali sampai 8090% yang menyebabkan pasien terbebas dari gejala yang berhubungan dengan HIV
selama bertahun-tahun, walaupun replikasi tingkat rendah HIV tetap berlangsung
dan menghancurkan sistem imun secara terus-menerus. Selama periode tersebut,
sistem imun mencukupi untuk menjaga kekebalan tubuh dan mencegah kebanyakan
infeksi.
Fase akhir infeksi HIV terjadi ketika sejumlah signifikan limfosit CD4 telah
hancur dan produksi kembali tidak sebanding. Pasien menunjukkan demam yang
berlangsung lama (lebih dari satu bulan) dan penurunan berat badan. Kegagalan
sistem imun mengacu pada manifestasi klinik AIDS.
Perjalanan Tipikal Infeksi HIV
Selama infeksi primer, HIV menyebar luas ke seluruh tubuh, biasanya disertai
dengan penurunan drastis sel T dan CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi dengan
penurunan jumlah virus dalam tubuh yang dapat terdeteksi, diikuti oleh latensi
klinik, tetapi sel T dan CD4 terus menurun perlahan-lahan sampai di bawah level
kritis di mana timbul kemungkinan infeksi oportunistik.
Perjalanan Menjadi AIDS
Orang yang terinfeksi HIV dapat hidup rata-rata 8-10 tahun setelah infeksi inisial
dan sebelum perkembangan gejala klinis AIDS. Perubahan menjadi AIDS tidak
dipengaruhi oleh jenis kelamin, kehamilan, ataupun faktor resiko. Kondisi yang
menentukan AIDS adalah jumlah sel T dan CD4 yang kurang dari 200 sel/mm 3 darah
dan adanya infeksi oportunistik tipikal atau kanker, pneumonia, dan Mycobacterium
avium complex. Infeksi oportunistik disebabkan oleh mikroba yang biasanya tidak
menyebabkan penyakit pada orang sehat. Infeksi biasanya parah dan terkadang fatal
karena sistem imun sangat rusak oleh HIV.
Ada beberapa data yang memperkuat dugaan bahwa AIDS disebabkan oleh HIV,
diantaranya:

HIV dapat diasingkan dengan mudah dari biakan sel T yang berasal dari
penderita AIDS, AIDS-related complex (ARC) atau pembawa virus asimtomatik
golongan beresiko tinggi. Semua isolate mempunyai sifat-sifat yang sama
dengan sifat-sifat umum retrovirusnya dan hanya berbeda pada gen daerah
ENV, akan tetapi memiliki prinsip p25 yang sama.

Virus mengadakan replikasi secara eksklusif dalam subset limfosit T yaitu sel-sel
limfosit yang sama dengan yang hilang atau berkurang pada AIDS. HIV memiliki
tropisma selektif khusus terhadap limfosit T-helper dan dapat dideteksi dengan
jalan fraksinasi limfosit T, misalnya dari limfosit T seorang pembawa virus
asimtomatik (carrier) dengan memakai mikroskop elektron serta melakukan tes
aktivitas transkriptase. Infeksi secara in vitro dapat dipelajari dengan melihat
adanya penurunan proliferasi sel, adanya efek sitopik berupa suatu polikaryosit
atau sel raksasa berinti banyak yang sangat spesifik.

HIV dapat juga menginfeksi dan mengadakan replikasi dalam bone marrow
precursor cell. Pada fase akhir seluruh populasi sel T termasuk stem cell dapat
diinfeksi dan penderita akan mengalami immunodeficiency berat yang
irreversible yang selanjutnya akan memberikan peluang untuk mendapatkan
infeksi opportunistik dan atau sarkoma Kaposi.

Terdapat kaitan yang erat antara HIV dan AIDS baik dalam waktu, tempat
maupun kelompok masyarakat yang terkena.

Bukti data kasus AIDS yang timbul sesudah transfusi darah yang tercemar HIV.
C. Manifestasi Klinis
AIDS merupakan bentuk terparah akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus
yang biasanya menyerang organ vital sistem kekebalan manusia seperti sel T CD4+
(sejenis sel T), makrofag, dan sel dendritik. HIV secara langsung dan tidak langsung
merusak sel T CD4+, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh
berfungsi baik. Jika HIV membunuh sel T CD4+ sampai terdapat kurang dari 200 sel T
CD4+ per mikroliter (µL) darah, kekebalan selular hilang, dan akibatnya ialah kondisi
yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV dilanjutkan dengan infeksi HIV laten klinis sampai
terjadinya gejala infeksi HIV awal dan kemudian AIDS, yang diidentifikasi
berdasarkan jumlah sel T CD4+ di dalam darah dan adanya infeksi tertentu.
Infeksi HIV secara umum dapat dibagi dalam empat stadium yang berbeda,
yaitu:
Stadium 1: Infeksi Akut (CD4 = 500 – 1000 /ml)
Stadium ini terjadi setelah masa inkubasi 3-6 minggu. Gejala berlangsung
selama 1- 2 minggu. Pada stadium ini timbul gejala-gejala mirip flu termasuk
demam, artralgia, malaise, dan anoreksia. Timbul juga gejala kulit (bercak-bercak
merah, urtikaria), gejala saraf
(sakit kepala, kaku kuduk) dan gangguan
gastrointestinal (nausea, vomitus, diare, nyeri perut). Gejala-gejala ini bersesuaian
dengan pembentukan awal antibodi terhadap virus. Gejala akan menghilang setelah
respon imun awal menurunkan jumlah partikel virus, walaupun virus tetap dapat
bertahan pada sel-sel lain yang terinfeksi. Pada 20% orang, gejala-gejala tersebut
cukup serius untuk dikonsultasikan pada dokter, tetapi diagnosis infeksi HIV sering
tidak ditemukan. Fase ini sangat menular karena terjadi viremia
Selama stadium ini, ada sejumlah besar HIV pada darah perifer dan sistem
imun pun mulai berrespon terhadap virus dengan memproduksi antibodi HIV dan
limfosit sitotoksik. Serokonversi terjadi pada fase ini dan antibodi virus mulai dapat
dideteksi 3 – 6 bulan setelah infeksi.
Stadium 2: Stadium Asimtomatik Klinis (CD4 = 500 – 750 /ml)
Stadium ini dapat berlangsung lebih dari 10 tahun. Stadium ini, seperti
namanya, bebas dari gejala-gejala mayor, meskipun sebenarnya terjadi replikasi
virus secara lambat di dalam tubuh. Dapat juga terjadi Limfadenopati Generalisata
Persisten (LGP). Pada fase ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4, tetapi
masih berada pada tingkat 500/ml. Jumlah HIV dalam darah perifer turun hingga
tingkat yang sangat rendah tetapi orang tetap terinfeksi dan antibodi HIV dapat
dideteksi di dalam darah, sehingga tes antibodi akan menunjukkan hasil positif.
Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa HIV tidak dalam masa dorman
selama stadium ini, melainkan sangat aktif di kelenjar limfa. Ada sebuah tes untuk
mengukur sejumlah kecil virus yang lolos dari kelenjar limfa. Tes yang mengukur HIV
RNA ini merupakan suatu tes viral load. Tes ini memiliki peran penting dalam
pengobatan infeksi HIV.
Stadium 3: Infeksi HIV Simtomatik (CD4 = 100 – 500 /ml)
Pada stadium ini terjadi penurunan CD4 yang progresif. Terjadi penyakitpenyakit infeksi kronis tapi tidak mengancam kehidupan.
Seiring dengan berjalannya waktu sistem imun menjadi sangat rusak oleh HIV.
Hal ini disebabkan oleh tiga alasan utama:
●
Kelenjar limfe dan jaringan menjadi rusak akibat aktivitas bertahun-tahun
●
HIV bermutasi dan menjadi lebih patogen, dengan kata lain lebih kuat dan lebih
bervariasi
●
Tubuh gagal untuk mengganti sel-sel T penolong yang hilang
Karena kegagalan sistem imun, gejala-gejala pun berkembang. Kebanyakan
gejala-gejala tersebut tidak terlalu berat, tetapi karena sistem imun makin rusak,
gejala-gejalanya pun semakin memburuk.
Infeksi HIV simtomatik terutama disebabkan oleh kanker dan infeksi
oportunistik yang secara normal dicegah oleh sistem imun. Ini dapat terjadi di
seluruh sistem tubuh, tetapi contoh-contoh yang umum terjadi dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Sistem
Sistem Pernapasan
Sistem Gastro-Intestinal
Sistem saraf Pusat/Perifer
Kulit
Contoh Infeksi/Kanker
●
Pneumocystis jirovecii Pneumonia (PCP)
●
Tuberculosis (TB)
●
Kaposi's Sarcoma (KS)
●
Cryptosporidiosis
●
Candida
●
Cytomegolavirus (CMV)
●
Isosporiasis
●
Kaposi's Sarcoma
●
HIV
●
Cytomegolavirus
●
Toxoplasmosis
●
Cryptococcosis
●
Non Hodgkin's lymphoma
●
Varicella Zoster
●
Herpes simplex
●
Herpes simplex
●
Kaposi's sarcoma
●
Varicella Zoster
Stadium 4: Perkembangan dari HIV ke AIDS
AIDS merupakan stadium akhir dari infeksi HIV. Penderita dinyatakan
mengidap AIDS bila dalam perkembangan infeksi selanjutnya menunjukkan infeksiinfeksi dan kanker oportunistik yang mengancam jiwa penderita. Hitung CD4
mencapai <200/ml.
Karena sistem imun menjadi semakin rusak, penyakit-penyakit yang terjadi
menjadi semakin menuju kepada diagnosis AIDS. Di Inggris, suatu diagnosis AIDS
dikonfirmasi apabila seseorang dengan HIV mengalami satu atau lebih infeksi
oportunistik atau kanker yang spesifik. Di Amerika, seseorang juga didiagnosis
mengidap AIDS apabila ia memiliki sedikit sekali sel T penolong dalam darahnya. Bisa
saja seseorang menjadi sangat sakit karena HIV tanpa harus didiagnosis AIDS.
World Health Organization (WHO) telah mengembangkan suatu sistem
tingkatan untuk penyakit HIV berdasarkan gejala-gejala klinis, di antaranya:
1. Stadium klinis I yang merupakan stadium asimptomatik. Pada stadium ini
ditandai adanya limfadenopati generalisata.
2. Stadium Klinis II, ditandai adanya penurunan berat badan < 10%, lesi kulit dan
mukosa ringan (dermatitis seboroik, ulkus oral rekuren, kheilitis angularis),
herpes zooster dalam 5 tahun terakhir, ISPA bakterial.
3. Stadium klinis III, ditandai penurunan BB > 10%, diare kronis > 1 bulan, demam
lama > 1 bulan, kandidiasis orofaringeal, oral hairy leukoplakia, tuberkulosis
paru dalam tahun-tahun terakhir, dan infeksi bakterial berat (pneumonia,
piomiositis).
4. Stadium klinis IV, ditandai munculnya HIV Wasting Syndrome, pneumonia
pneumositis Carina (PCP), toxoplasmosis otak, diare kriptosporridiosis > 1 bulan,
rinitis CMV, herpes simpleks mukokutan > 1 bulan, leukoenchephalopati
multifokal progresif, mikosis diseminata kandidiasis, kandidiasis di esofagus,
trakhea, bronkus, dan paru, tuberkulosis ekstra paru, limfoma, sarkoma kaposi
dan enchephalopati HIV.
Sedangkan untuk penderita bayi dan anak-anak, WHO membagi dalam 3
stadium klinis, yaitu:
1. Stadium klinis pediatrik I yang merupakan stadium asimptomatik ditandai
limfadenopati generalisata.
2. Stadium klinis pediatrik II, ditandai diare kronik, kandidiasis, penurunan berat
badan atau gagal tumbuh, demam persisten > 30 hari tanpa sebab yang jelas,
infeksi bakterial berulang.
3. Stadium klinis pediatrik III, ditandai munculnya infeksi oportunistik terkait AIDS,
gagal tumbuh berat tanpa etiologi yang jelas, ensefalopati progresif, keganasan,
dan septikemia/ meningitis berulang.
Laju perkembangan penyakit klinis sangat bervariasi antar orang dan telah
terbukti dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kerentanan seseorang terhadap
penyakit dan fungsi imun perawatan kesehatan dan infeksi lain, dan juga faktor yang
berhubungan dengan galur virus. Infeksi oportunistik spesifik yang diderita pasien
AIDS juga bergantung pada prevalensi terjadinya infeksi tersebut di wilayah
geografis tempat hidup pasien.
a) Penyakit paru-paru utama
Pneumonia pneumocystis
Pneumonia pneumocystis (awalnya diketahui dengan nama pneumonia
Pneumocystis carinii, dan masih disingkat sebagai PCP yang sekarang merupakan
singkatan dari Pneumocystis pneumonia) jarang dijumpai pada orang yang sehat
dan imunokompeten, tetapi umum dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV.
Penyakit ini disebabkan oleh fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya
diagnosis, perawatan, dan profilaksis rutin efektif di negara Barat, penyakit ini
umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara berkembang, penyakit ini
masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang yang belum dites,
walaupun umumnya tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per
µL.
Tuberkulosis
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi terkait HIV lainnya
karena dapat ditularkan ke orang yang imunokompeten melalui rute respirasi,
dapat dengan mudah ditangani setelah diidentifikasi, dapat muncul pada
stadium awal HIV, dan dapat dicegah dengan terapi obat. Namun demikian,
kekebalan terhadap berbagai obat adalah masalah serius pada penyakit ini.
Walaupun insiden penyakit ini telah berkurang akibat penggunaan terapi yang
secara langsung diamati dan metode lainnya di negara-negara Barat, tidak
demikian yang terjadi di negara berkembang, tempat HIV paling banyak
dijumpai. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per µL), TB
muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada infeksi HIV belakangan, TB sering
muncul dengan penyakit ekstrapulmoner (sistemik). Gejala biasanya bersifat
konstitusional dan tidak dibatasi pada satu tempat, sering menyerang sumsum
tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, nodus limfa
regional, dan sistem saraf pusat. Selain itu, gejala yang muncul mungkin lebih
berkaitan dengan tempat keterlibatan penyakit ekstrapulmoner.
b) Penyakit saluran pencernaan utama
Esofagitis
Esofagitis adalah peradangan pada esofagus (tabung berotot pada vertebrata
yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung).
Pada individual yang terinfeksi HIV, hal ini terjadi karena infeksi jamur
(kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau sitomegalovirus). Pada kasus
yang langka, hal ini dapat disebabkan oleh mikobakteria.
Diare kronik yang tidak dapat dijelaskan
Diare kronik yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV terjadi akibat berbagai
penyebab,
termasuk
infeksi
bakteri
(Salmonella,
Shigella,
Listeria,
Kampilobakter, atau Escherichia coli) serta parasit yang umum dan infeksi
oportunistik tidak umum seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, kolitis
kompleks Mycobacterium avium dan sitomegalovirus (CMV). Pada beberapa
kasus, diare adalah efek samping beberapa obat yang digunakan untuk
menangani HIV, atau efek samping infeksi HIV, terutama selama infeksi HIV
utama. Diare juga dapat menjadi efek samping antibiotik yang digunakan untuk
menangani diare akibat bakteri (umum untuk Clostridium difficile). Pada stadium
akhir, diare diduga menunjukkan perubahan cara saluran usus menyerap nutrisi
dan mungkin merupakan komponen penting pembuangan yang berhubungan
dengan HIV.
c) Penyakit saraf utama
Toksoplasmosis
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu
disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan
menyebabkan toksoplasma ensefalitis, tetapi juga dapat menginfeksi dan
menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru.
Leukoensefalopati multifokal progresif
Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yang
merupakan penghancuran sedikit demi sedikit selubung mielin yang menutupi
akson sel saraf sehingga merusak penghantaran impuls saraf. Hal ini disebabkan
oleh virus yang disebut virus JC yang 70% populasinya terdapat dalam bentuk
laten, menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah,
sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat,
biasanya menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis.
Kompleks demensia AIDS
Kompleks demensia AIDS adalah ensefalopati metabolik yang disebabkan oleh
infeksi HIV dan didorong oleh aktivasi imun makrofag dan mikroglia otak yang
terinfeksi HIV yang mengeluarkan neurotoksin. Kerusakan neurologis spesifik
tampak sebagai ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik yang muncul
bertahun-tahun setelah infeksi HIV dan berhubungan dengan rendahnya jumlah
sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma. Angka prevalensinya sekitar
10-20% di negara-negara Barat, tetapi hanya 1-2% dari infeksi HIV di India.
Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan subtipe HIV di India.
Meningitis kriptokokal
Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak
dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini
dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga
mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat
mematikan.
d) Kanker yang berhubungan dengan HIV
Pasien dengan infeksi HIV pada pokoknya meningkatkan insiden beberapa
kanker. Hal ini terjadi karena infeksi dengan virus DNA onkogenik, terutama
virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes penyebab sarkoma Kaposi (KSHV) dan
papilomavirus manusia (HPV).
Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang
terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual
tahun 1981 adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini
disebabkan oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes
manusia-8 yang juga disebut virus herpes sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini
sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat
menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.
Limfoma
Limfoma sel B tingkat tinggi seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma),
Burkitt's-like lymphoma, diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma
sistem saraf pusat primer muncul lebih sering pada pasien yang terinfeksi HIV.
Kanker ini seringkali mengakibatkan prognosis yang buruk. Pada beberapa
kasus, limfoma ini merupakan tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar
disebabkan oleh virus Epstein-Barr (EBV) atau KSHV.
Kanker leher rahim
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS.
Kanker ini disebabkan oleh papilomavirus manusia (HPV).
Tumor lainnya
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma
Hodgkin, karsinoma anal, dan karsinoma usus besar. Namun demikian, insiden
dari banyak tumor yang umum, seperti kanker payudara atau kanker usus besar
tidak meningkat pada pasien terinfeksi HIV. Di daerah tempat HAART banyak
digunakan untuk menangani AIDS, insiden berbagai kanker yang berhubungan
dengan AIDS menurun, tetapi seiring dengan itu kanker secara keseluruhan
menjadi penyebab kematian paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.
e) Infeksi oportunistik lainnya
Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik,
terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini
termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan sitomegalovirus.
Sitomegalovirus dapat menyebabkan kolitis, seperti yang dijelaskan di atas, dan
retinitis sitomegalovirus dapat menyebabkan kebutaan. Penisiliosis yang
disebabkan oleh Penicillium marneffei kini adalah infeksi oportunistik ketiga
paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif
HIV di daerah endemik Asia Tenggara.
D. Diagnostik klinik
Banyak orang yang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV. Oleh
karena itu, darah donor dan produk darah yang digunakan pada penelitian medis
diperiksa kandungan HIV-nya. Tes HIV umum, termasuk imuno-assay enzim HIV dan
pengujian Western blot mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut,
darah kering, atau urin pasien. Namun demikian, window periode (periode antara
infeksi dan perkembangan antibodi yang dapat dideteksi melawan infeksi) dapat
bervariasi. Hal ini menjelaskan mengapa dapat membutuhkan waktu 3-6 bulan
untuk serokonversi dan tes positif. Ada pula tes komersial untuk mendeteksi antigen
HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA agar dapat mendeteksi infeksi HIV sebelum
perkembangan antibodi yang dapat dideteksi. Metode-metode penetapan tersebut
tidak secara spesifik disetujui untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan
secara rutin di negara-negara maju.
Secara umum diagnosis HIV/AIDS terbagi atas dua, yaitu diagnosis dini infeksi
HIV dan diagnosis HIV menjadi AIDS. Keduanya akan dijelaskan sebagai berikut:
I. Diagnosis Dini Infeksi HIV
Kebanyakan infeksi HIV pada anak akibat penularan HIV dari ibu-ke-bayi (motherto-child transmission/MTCT), yang dapat terjadi selama kehamilan dan persalinan,
atau selama menyusui. Walau sudah banyak kemajuan dan penerapan intervensi
pencegahan penularan HIV dari ibu-ke-bayi yang efektif di negara berkembang,
hampir 2.000 bayi terinfeksi HIV setiap hari melalui MTCT di negara miskin sumber
daya. Pada 2006, ada kurang lebih 2,3 juta anak terinfeksi HIV di seluruh dunia.
Jumlah ini diduga tetap akan meningkat dalam waktu dekat karena beberapa
alasan. Saat ini, kurang dari 10% ibu hamil yang terinfeksi HIV di negara miskin
sumber daya menerima profilaksis antiretroviral (ARV) untuk pencegahan
penularan
HIV
dari
ibu-ke-bayi
(prevention
of
mother-to-child
transmission/PMTCT). Walaupun layanan profilaksis ARV ditingkatkan secara luar
biasa, infeksi HIV pada anak akan terus meningkat kecuali ada peningkatan
layanan
pencegahan infeksi HIV baru pada perempuan secara bersamaan,
perbaikan akses pada keluarga berencana (KB), dan perluasan ketersediaan
pengobatan antiretroviral (ART) untuk ibu yang membutuhkannya. Serupa dengan
orang dewasa, anak yang terinfeksi HIV menanggapi ART dengan baik. Tetapi,
pengobatan semacam ini paling efektif apabila dimulai sebelum anak jatuh sakit
(artinya, sebelum pengembangan penyakit lanjut). Tanpa ART, pengembangan
infeksi HIV sangat cepat pada bayi dan anak. Di rangkaian miskin sumber daya,
kurang lebih 30% anak terinfeksi HIV yang tidak diobati meninggal sebelum ulang
tahunnya yang pertama dan lebih dari 50% meninggal sebelum mereka mencapai
usia dua tahun. Infeksi HIV pada anak yang tidak diobati juga mengakibatkan
pertumbuhan yang tertunda dan keterbelakangan mental yang tidak dapat
disembuhkan oleh ART. Oleh karena itu penting untuk mendiagnosis bayi yang
terpajan HIV sedini mungkin untuk mencegah kematian, penyakit dan penundaan
pertumbuhan dan pengembangan mental. Karena biayanya yang murah,
kemudahan untuk memakainya, dan kemampuan untuk menyediakan hasil secara
cepat, tes antibodi cepat adalah yang paling umum dipakai untuk mendiagnosis
infeksi HIV di negara miskin sumber daya. Tetapi, karena antibodi HIV melewati
plasenta selama kehamilan, semua bayi yang terlahir dari ibu yang terinfeksi HIV
akan menerima antibodi dari ibu saat di rahim dan hasil tes antibodi akan positif
saat lahir tidak tergantung pada status infeksi HIV-nya sendiri. Antibodi dari ibu
baru hilang seluruhnya 12-18 bulan setelah kelahiran, oleh karena itu semua tes
antibodi pada bayi terpajan HIV yang dilakukan sebelumnya tidak dapat
diandalkan. Kesulitan lain untuk mendiagnosis infeksi HIV pediatrik pada bayi di
negara miskin sumber daya adalah pajanan HIV secara terus-menerus pada bayi
yang disusui, sehingga menyulitkan untuk mengecualikan infeksi HIV sampai
penyusuan sudah dihentikan secara menyeluruh. Karena komplikasi ini,
kebanyakan tes HIV pada bayi di negara miskin sumber daya dilakukan dengan
memakai tes antibodi cepat pada usia 18 bulan. Tetapi, pada usia ini, banyak bayi
yang terinfeksi sudah meninggal dan lebih banyak lagi yang mungkin sudah hilang.
Sebuah tes HIV yang murah dan mudah dipakai dan dapat diandalkan untuk bayi
terpajan HIV yang berusia kurang dari 18 bulan dibutuhkan secara mendesak. Tes
semacam ini dapat mencegah jutaan kematian dini terkait HIV. Tujuan deteksi dini
HIV pada dasarnya ada dua, yakni sebagai intervensi pengobatan fase infeksi
asimtomatik dapat diperpanjang dan untuk menghambat perjalanan penyakit ke
arah AIDS.
Dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu:
Langsung: biakan virus dari darah, isolasi virus dari sample, umumnya
menggunakan mikroskop elektron dan deteksi gen virus. Yang paling sering
digunakan adalah PCR (Polymerase Chain Reaction).
Tidak Langsung: dengan melihat respons zat anti yang spesifik, misalnya dengan
tes
ELISA,
Western
Blot,
Immunofluoren
Assay
(IFA),
dan
Radio
Immunoprecipitation Assay (RIPA)
Berikut ini pemeriksaan/tes yang lazim dilakukan:
1. Biakan HIV dari darah
Di awal epidemi HIV, biakan HIV dalam darah dipakai untuk mendeteksi
infeksi HIV dan untuk mengukur jumlah virus dalam darah secara langsung.
Biakan HIV juga dipakai untuk mendiagnosis bayi dan sebagai cara untuk
menentukan tingkat keparahan infeksi dan tanggapan selanjutnya terhadap
pengobatan pada orang dewasa dan anak. Walaupun tes ini sensitif dan
spesifik, serta dapat dipakai untuk menghitung viral load pasien, metode ini
belum pernah dipakai secara skala besar untuk mendiagnosis karena teknik
tes yang rumit dan membutuhkan reagen dan peralatan yang mahal, waktu
tes laboratorium yang lama, dan banyak darah. Sebagai tambahan,
membutuhkan hampir tujuh hari untuk mendapatkan hasil dan karena biakan
virus mengandung HIV yang aktif diperlukan peralatan biohazard khusus.
2. Tes antigen P24
Sebelum pengembangan teknik viral load DNA dan reaksi rantai
polimerase (polymerase chain reaction/PCR) untuk mendiagnosis infeksi HIV
dan menghitung viral load, tes antigen HIV p24 dipakai untuk menghitung viral
load. HIV p24 adalah protein yang diproduksi oleh replikasi HIV yang terjadi
dalam darah Odha dengan jumlah yang berbeda-beda. Karena HIV p24 adalah
protein imunogenik, orang yang terinfeksi HIV juga membentuk antibodi
terhadap p24. Oleh karena itu, p24 hadiran dalam darah dalam bentuk p24
bebas dan p24 terikat antibodi (kompleks kekebalan). Untuk mengukur jumlah
antigen p24, adalah penting untuk memisahkan antibodi dari antigen. Teknik
sudah dikembangkan untuk melakukan tugas ini, tetapi belum seluruhnya
berhasil. Namun demikian, karena kesederhanaan tes dan biayanya yang
relatif murah, para peneliti berusaha memperbaiki tes tersebut walaupun tes
viral load PCR lebih sensitif dan spesifik.
Sebagian dari penelitian ini berhasil. Teknik laboratorium dikembangkan
untuk memisahkan kompleks kekebalan p24, meningkatan kemampuan
kuantitatif tes dan dalam hal bayi yang terpajan HIV, keberhasilan diagnostik.
Berbagai penelitian menemukan bahwa tes antigen p24 ultrasensitif mampu
mendeteksi infeksi HIV pada bayi di atas usia enam minggu secara pasti
dengan spesifisitas dan sensitivitas serupa dengan tes DNA HIV PCR dan viral
load HIV. Tes tersebut tepat pada banyak subtipe HIV dan lebih mudah
dilakukan dibandingkan tes virologi lain. Biayanya serupa dengan biaya tes
PCR generasi lanjut. Keprihatinan tentang sensitivitas tes p24 tetap ada.
Dalam penelitian terkini terhadap tes antigen HIV p24 baru yang
“ultrasensitif”, ilmuwan membandingkan sensitivitas tes tersebut antara DBS
dan plasma. Mereka menemukan bahwa tes tersebut mempunyai spesifisitas
100% dan tidak ada perbedaan hasil secara kuantitatif antara DBS dan plasma.
Mereka juga membandingkan hasil tes antigen p24 dengan viral load HIV dan
menemukan korelasi yang positif, tetapi koefisien korelasi tersebut rendah (r =
0,67). Sensitivitas tes HIV p24 dibandingkan dengan tes viral load HIV adalah
kurang lebih 90%. Hal ini berarti bahwa tes untuk menskrining bayi yang
terpajan HIV akan menghasilkan hampir 10% bayi yang salah didiagnosis
sebagai tidak terinfeksi. Perbandingan metodologi tes baru-baru ini dilakukan
oleh ilmuwan dengan 72 contoh pediatrik dari Tanzania dan 210 contoh
pediatrik atau orang dewasa dari Swiss menemukan sensitivitas yang bahkan
lebih rendah. Tingkat deteksi berbagai tes adalah 84% untuk tes antigen p24
pada DBS; 79% untuk tes PCR DNA yang dilakukan pada DBS; 85% untuk tes
antigen p24 pada plasma; dan 100% untuk tes PCR RNA yang dilakukan pada
plasma. Walaupun dengan peningkatan yang bermakna pada kemanjuran,
biaya dan spesifisitas tes antigen p24 HIV, sensitivitas tes ini akan tetap
bermasalah. Penghematan biaya yang ditawarkan mungkin tidak dapat
mengimbangi dampak klinis terhadap persentase kegagalan diagnosis secara
bermakna pada bayi yang terinfeksi HIV.
3. Pemeriksaan ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)/EIA (Enzyme
Immunosorbent Assay)
ELISA dari berbagai macam kit yang ada di pasaran mempunyai cara
kerja hampir sama. Pada dasarnya, diambil virus HIV yang ditumbuhkan pada
biakan sel, kemudian dirusak dan dilekatkan pada biji-biji polistiren atau
sumur microplate. Serum atau plasma yang akan diperiksa, diinkubasikan
dengan antigen tersebut selama 30 menit sampai 2 jam kemudian dicuci. Bila
terdapat IgG (immunoglobulin G) yang menempel pada biji-biji atau sumur
microplate tadi maka akan terjadi reaksi pengikatan antigen dan antibodi.
Antibodi anti-IgG tersebut terlebih dulu sudah diberi label dengan enzim
(alkali fosfatase, horseradish peroxidase) sehingga setelah kelebihan enzim
dicuci habis maka enzim yang tinggal akan bereaksi sesuai dengan kadar IgG
yang ada, kemudian akan berwarna bila ditambah dengan suatu substrat.
Sekarang ada test EIA yang menggunakan ikatan dari heavy dan light chain
dari Human Immunoglobulin sehingga reaksi dengan antibodi dapat lebih
spesifik, yaitu mampu mendeteksi IgM maupun IgG. Pada setiap tes selalu
diikutkan kontrol positif dan negatif untuk dipakai sebagai pedoman, sehingga
kadar di atas cut-off value atau di atas absorbance level spesimen akan
dinyatakan positif. Biasanya lama pemeriksaan adalah 4 jam. Pemeriksaan
ELISA hanya menunjukkan suatu infeksi HIV di masa lampau. Tes ELISA mulai
menunjukkan hasil positif pada bulan ke 2-3 masa sakit. Selama fase
permulaan penyakit (fase akut) dalam darah penderita dapat ditemukan virus
HIV/partikel HIV dan penurunan jumlah sel T4 (Grafik). Setelah beberapa hari
terkena infeksi AIDS, IgM dapat dideteksi, kemudian setelah 3 bulan IgG mulai
ditemukan. Pada fase berikutnya yaitu pada waktu gejala major AIDS
menghilang (karena sebagian besar HIV telah masuk ke dalam sel tubuh). HIV
sudah tidak dapat ditemukan lagi dari peredaran darah dan jumlah Sel T4 akan
kembali ke normal. Hasil pemeriksan ELISA harus diinterpretasi dengan hatihati karena tergantung dari fase penyakit. Umumnya hasil akan positif pada
fase dimana timbul gejala pertama AIDS (AIDS phase) dan sebagian kecil akan
negatif pada fase dini AIDS (Pre AIDS phase). Beberapa hal tentang kebaikan
test ELISA adalah nilai sensitivitas yang tinggi : 98,1% - 100%, Western Blot
memberi nilai spesifik 99,6% - 100%. Walaupun begitu, predictive value hasil
test positif tergantung dari prevalensi HIV di masyarakat. Pada kelompok
penderita AIDS, predictive positive value adalah 100% sedangkan pada donor
darah dapat antara 5% - 100%. Predictive value dari hasil negatif ELISA pada
masyarakat sekitar 99,99% sampai 76,9% pada kelompok risiko tinggi. Di
samping keunggulan, beberapa kendala path test ELISA yang perlu
diperhatikan adalah :
1) Pemeriksaan ELISA hanya mendeteksi antibodi, bukan antigen (akhir-akhir
ini sudah ditemukan test ELISA untuk antigen). Oleh karena itu test uji
baru akan positif bila penderita telah mengalami serokonversi yang
lamanya 2-3 bulan sejak terinfeksi HIV, bahkan ada yang 5 bulan atau
lebih (pada keadaan immunocompromised). Kasus dengan infeksi HIV
laten dapat temp negatif selama 34 bulan.
2) Pemeriksaan ELISA hanya terhadap antigen jenis IgG. Penderita AIDS pada
taraf permulaan hanya mengandung IgM, sehingga tidak akan terdeteksi.
Perubahan dari IgM ke IgG membutuhkan waktu sampai 41 minggu.
3) Pada umumnya pemeriksaan ELISA ditujukan untuk HIV1. Bila test ini
digunakan pada penderita HIV-2, nilai positifnya hanya 24%. Tetapi HIV2
paling banyak ditemukan hanya di Afrika.
4) Masalah false positive pada test ELISA. Hasil ini sering ditemukan pada
keadaan positif lemah, jarang ditemukan pada positif kuat. Hal ini
disebabkan karena morfologi HIV hasil biakan jaringan yang digunakan
dalam test kemurniannya ber-beda dengan HIV di alam.
Oleh karena itu test ELISA harus dikorfirmasi dengan test lain. Tes ELISA
mempunyai sensitifitas dan spesifisitas cukup tinggi walaupun hasil negatif
disini tidak dapat menjamin bahwa seseorang bebas 100% dari HIV 1 terutama
pada kelompok resiko tinggi. Akhir-akhir ini test ELISA telah menggunakan
recombinant antigen yang sangat spesifik terhadap envelope dan core.
Antibodi terhadap envelope ditemukan pada setiap penderita HIV stadium apa
saja. Sedangkan antibodi terhadap p24 (protein dari core) bila positif berarti
penderita sedang mengalami kemunduran/deteriorasi.
4. Pemeriksaan Western Blot
Western Blot adalah sebuah metode untuk mendeteksi protein pada
sampel
jaringan.
Imunoblot
menggunakan
elektroforesis
gel
untuk
memisahkan protein asli atau perubahan oleh jarak polipeptida atau oleh
struktur 3-D protein. Protein tersebut dikirim ke membran, di mana mereka
dideteksi menggunakan antibodi untuk menargetkan protein.
Pemeriksaan Western Blot cukup sulit, mahal, interpretasinya
membutuhkan pengalaman dan lama pemeriksaan sekitar 24 jam. Cara kerja
test Western Blot yaitu dengan meletakkan HIV murni pada polyacrylamide gel
yang diberi arus elektroforesis sehingga terurai menurut berat protein yang
berbeda-beda, kemudian dipindahkan ke nitrocellulose. Nitrocellulose ini
diinkubasikan dengan serum penderita. Antibodi HIV dideteksi dengan
memberikan antlbodi anti-human yang sudah dikonjugasi dengan enzim yang
menghasilkan wama bila diberi suatu substrat. Test ini dilakukan bersama
dengan suatu bahan dengan profil berat molekul standar, kontrol positif dan
negatif. Gambaran band dari bermacam-macam protein envelope dan core
dapat mengidentifikasi macam antigen HIV. Antibodi terhadap protein core
HIV (gag) misalnya p24 dan protein precursor (p25) timbul pada stadium awal
kemudian menurun pada saat penderita mengalami deteriorasi. Antibodi
terhadap envelope (env) penghasil gen (gp160) dan precursor-nya (gp120) dan
protein transmembran (gp4l) selalu ditemukan pada penderita AIDS pada
stadium apa saja. Beberapa protein lainnya yang sering ditemukan adalah: p3
I, p51, p66, p14, p27, lebih jarang ditemukan p23, p15, p9, p7. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa bila serum mengan-dung antibodi HIV yang lengkap
maka Western blot akan memberi gambaran profil berbagai macam band
protein dari HIV antigen cetakannya. Definisi hasil pemeriksaan Western Blot
menurut profit dari band protein dapat bermacam-macam, pada umumnya
adalah :
1) Positif :
a. Envelope : gp4l, gpl2O, gp160
b. Salah satu dari band : p15, p17, p24, p31, gp4l, p51, p55,
p66.
2) Negatif : Bila tidak ditemukan band protein.
3) Indeterminate
Bila ditemukan band protein yang tidak sesuai dengan profil positif.
Hasil indeterminate .diberikan setelah ditest secara duplo dan penderita
diberitahu untuk diulang setelah 2-3 bulan. Hal ini mungkin karena infeksi
masih terlalu dini sehingga yang ditemukan hanya sebagian dari core antigen
(p17, p24, p55). Akhir-akhir ini hasil positif diberikan bila ditemukan paling
tidak p24, p31 dan salah satu dari gp41 atau gpl60. Dengan makin ketatnya
!criteria Western Blot maka spesifisitas menjadi tinggi, dan sensitifitas turun
dari 100% dapat menjadi hanya 56% karena hanya 60% penderita AIDS
mempunyai p24, dan 83% mempunyai p31. Sebaliknya cara ini dapat
menurunkan angka false positive pada kelompok risiko tinggi, yang biasanya
ditemukan sebesar 1 di antara 200.000 test padahal test tersebut sudah
didahului dengan test ELISA. Besar false negative Western Blot belum
diketahui secara pasti, tapi tentu tidak not. False negative dapat terjadi
karenakadar antibodi HIV rendah, atau hanya timbul band protein p24 dan
p34 saja (yaitu pada kasus dengan infeksi HIV2). False negative biasanya
rendah pada kelompok masyarakat tetapi dapat tinggi pada kelompok risiko
tinggi. Cara mengatasi kendala tadi adalah dengan menggunakan recombinant
HIV yang lebih murni.
5. PCR (Polymerase Chain Reaction)
PCR adalah cara in vitro untuk memperbanyak target sekuen spesifik
DNA untuk analisis cepat atau karakterisasi, walaupun material yang
digunakan pada awal pemeriksaan sangat sedikit. Pada dasarnya PCR meliputi
tiga perlakuan yaitu: denaturisasi, hibridisasi dari "primer" sekuen DNA pada
bagian tertentu yang diinginkan, diikuti dengan perbanyakan bagian tersebut
oleh Tag polymerase, kemudian dikerjakan dengan mengadakan campuran
reaksi dalam tabung mikro yang kemudian diletakkan pada blok pemanas yang
telah diprogram pada seri temperatur yang diinginkan.
Teknik ini ditemukan oleh Kary Mullis dari Cetus Corporation dan
sekarang digunakan secara luas dalam penelitian biologi. Pada dasarnya,
target DNA diekstraksi dari spesimen dan secara spesifik membelah dalam
tabung sampai diperoleh jumlah cukup yang akan digunakan untuk deteksi
dengan cara hibridisasi. Replikasi yang mungkin dicapai adalah dalam
kelipatan jutaan atau lebih dengan menggunakan oligonukleotid primer yang
berkomplemen terhadap masing-masing rantai dari target sekuen ikatan
rangkap. Jarak antara letak ikatan dari 2 primer menetapkan ukuran produk
yang diamplifikasi.
Target mula-mula didenaturisasi pada suhu 90°–95°C dan didinginkan
antara 37°–50°C untuk membiarkan annealing spesifik antara primer dan
target DNA. Ini membuat cetakan untuk enzym Tag polimerase yang pada
suhu 67°–72°C mengkopi masing-masing rantai. Setiap produk akan terdiri
dari sekuen yang saling melengkapi 1 dari 2 primer dan akan menguatkan
dalam lingkaran sintesis berikut. Hubungan antara tingkat amplifikasi (Y)
dengan efisiensi reaksi (X) dan jumlah cycle adalah: Y = ( 1 + 1 )n
Sebagai contoh: untuk 20 cycles dengan 100% efisiensi adalah 1.048.576
kali amplifikasi, dengan 80% efisiensi turun menjadi 127.482, berarti ada 88%
produk yang hilang.
Salah satu hambatan dalam diagnosis PCR adalah adanya false negative.
Hart dkk (1988) menemukan 1 dari 21 spesimen seropositif adalah negatif
untuk HIV melalui analisis PCR dari DNA dan RNA. Ou dkk (1988) menemukan
6 dari 11 spesimen seropositif adalah negatif untuk HIV dengan PCR.
Penggunaan lebih dari 1 pasang primer merupakan cara untuk menghindari
hasil false negative yang dianjurkan oleh peneliti berikutnya, juga Laure dkk
(1988). Beberapa hasil false negative dapat dihindarkan dengan memilih
primer dari bagian yang berlawanan dari genome. Primer SK 38/39 dan SK
68/69 merupakan pilihan yang baik digunakan untuk HIV.
Pada penggunaan pasangan primer ganda, satu dari masing-masing
secara terpisah diperiksa dengan masing-masing pasangan, atau 2 atau lebih
pasangan primer digunakan pada pemeriksaan yang sama, cara kedua tidak
selalu mudah dilakukan selama pasangan primer mungkin memiliki perbedaan
dalam annealing, sifat ikatan polimerase yang berbeda dan mungkin bekerja
sebagai penghambat yang bersaing. Dalam hal ini penting untuk menentukan
secara empiris primer mana yang dapat dikombinasikan dalam reaksi yang
sama.
Pasangan primer SK-38–39 dan atau SK-145–101 telah berhasil
digunakan untuk mendeteksi HIV pada lebih dari 96% individu dengan zat anti
positif. PCR dapat mendeteksi molekul tunggal dari target DNA dan juga
mengamplifikasi target yang ada sebagai pasangan yang tidak komplet;
sebaliknya kontaminasi dan campuran reaksi dengan sejumlah target DNA
yang tidak terdeteksi akan memberikan hasil false positive. Ketaatan
mengikuti prosedur dapat mengurangi risiko kontaminasi. Cara yang cepat dan
sederhana dalam menyiapkan sampel dapat pula mengurangi false positive.
Identifikasi HIV dengan PCR telah memberikan sumbangan dalam
diagnosis dan penelitian AIDS sebagai berikut:
1)
PCR
telah berhasil digunakan untuk memeriksa bayi lahir dari ibu
seropositif selama zat anti maternal masih dimiliki bayi sampai umur 15
bulan, sedangkan diagnosis infeksi HIV secara serologis terhambat.
2)
PCR telah digunakan untuk menetapkan status infeksi path individu
seronegatif. Studi pada golongan risiko rendah, hasil seronegatif
menunjukkan bahwa individu tidak terinfeksi.
3)
PCR
telah digunakan untuk mendeteksi sekuen HIV pada individu
seropositif dengan gejala, yang hasilnya negatif dengan uji deteksi
langsung lainnya, termasuk dengan cara mengkultur virus.
4)
Telah digunakan untuk mengindentifikasi infeksi pada sejumlah kecil
individu berisiko tinggi sebelum serokonversi.
5) PCR telah digunakan untuk konfirmasi kasus pertama dan HIV-2 di Afrika
Barat yang menjalani pengobatan di AmerikaSerikat.
6) PCR telah digunakan untuk mengevaluasi heterogenisitas virus dalam HIV
yang diisolasi.
PCR DNA dan RNA HIV
a. PCR DNA HIV
Setelah metode laboratorium untuk meningkatkan DNA dengan PCR
ditemukan dan penentuan HIV sebagai penyebab AIDS, teknik PCR DNA
HIV menjadi lebih sederhana, murah, dan lebih dapat diandalkan
dibandingkan biakan virus sebagai cara bagi para peneliti untuk
menentukan orang yang terinfeksi HIV dan melakukan penelitian
epidemiologi secara luas. Ketersediaan primer untuk subtipe HIV
memungkinkan para peneliti untuk memakai PCR DNA HIV untuk meneliti
dan melacak subtipe HIV untuk pengembangan vaksin dan penelitian
epidemiologi. PCR DNA HIV pertama kali dipakai untuk mendiagnosis HIV
pada bayi pada 1990. Penelitian yang men-tes sel mononuklear darah
perifer (peripheral blood mononuclear cells/ PBMC) dari bayi pada
berbagai titik waktu setelah kelahiran. Diharapkan bahwa akan sespesifik
seperti biakan virus pada bayi yang baru lahir tetapi lebih mudah
dilakukan, membutuhkan jumlah darah yang lebih sedikit. Walaupun PCR
DNA berhasil dengan baik, penelitian selanjutnya terhadap bayi yang baru
lahir oleh Delamare dkk34 dan Dunn dkk35 menemukan bahwa PCR DNA
HIV terdeteksi <50% infeksi HIV dalam lima hari pertama kehidupannya.
Sensitivitasnya meningkat hingga 90% setelah berusia 14 hari.
Ketidaksensitifan PCR DNA HIV untuk mendiagnosis infeksi HIV saat
kelahiran mungkin terjadi karena kenyataan bahwa kebanyakan penularan
HIV pada bayi terjadi saat sakit kelahiran dan persalinan, dan virus tidak
mencapai tingkat terdeteksi selama beberapa minggu setelah tertular.
Bayi yang terinfeksi dalam kandungan mungkin mempunyai hanya sedikit
jumlah virus yang bereplikasi.
b. PCR RNA HIV
Dalam usaha untuk menemukan sebuah metode yang dapat
mendiagnosis bayi lebih dini, para peneliti beralih ke PCR RNA HIV, yang
dapat mendeteksi HIV dalam darah. Berbeda dengan PCR DNA HIV, yang
adalah tes kualitatif (yaitu, tes memberikan diagnosis HIV ya/tidak),
deteksi RNA HIV menyediakan informasi tambahan informasi kuantitatif
tentang status virologis, menghitung jumlah virus yang beredar (juga
dikenal sebagai “viral load” dan dinyatakan dalam copies/mL) pada pasien.
Oleh karena itu, viral load dapat dipakai untuk mendiagnosis pasien,
menuntun permulaan memakai ART, dan memantau tanggapan
pengobatan. Diharapkan HIV RNA akan sensitif dalam mendeteksi virus
dan tetap sangat spesifik terhadap HIV, dan akan mengganti teknik biakan
virus yang lebih rumit dan mahal untuk mendiagnosis bayi. Penelitian awal
terhadap bayi yang terpajan HIV dengan memakai tes PCR RNA HIV
menemukan bahwa metode tersebut cocok atau melampaui sensitivitas
dan spesifisitas PCR DNA HIV dan metode biakan virus. Dalam penelitian
oleh Lambert dkk, kepekaan tes PCR RNA HIV adalah 27% saat kelahiran,
92% setelah 6 minggu, dan 91% setelah 20 minggu. Para peneliti lain
melaporkan hasil serupa. Peralatan tes RNA HIV semakin murah, dan alat
tes deteksi RNA HIV sekarang tersedia secara lebih luas dibandingkan alat
tes DNA. Tetapi, metode ini mempunyai beberapa kekurangan, termasuk
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
kecenderungan untuk memberi hasil positif yang salah untuk pasien
dengan tingkat viremia rendah dan bahwa kenyataannya tidak semua
primer dan reagen dibakukan. Selain itu, peningkatan penggunaan ART
dan profilaksis untuk PMTCT meningkatkan masalah yang berpotensi
pentign sehubungan dengan sensitivitas metodologi PCR RNA HIV pada
diagnosis bayi. Obat ARV berpotensi menurunkan tingkat virus dalam sel
mononuklear darah perifer atau plasma dan mengurangi sensitivitas tes
tersebut. Tetapi, penelitian mengindikasikan bahwa penurunan viral load
yang terjadi dengan ART atau profilaksis ARV jangka pendek tidak
mengganggu metode PCR pendeteksi HIV.
II. Diagnosis HIV menjadi AIDS
AIDS merupakan stadium akhir infeksi HIV. Penderita dinyatakan sebagai
AIDS bila dalam perkembangan infeksi HIV selanjutnya menunjukan infeksiinfeksi dan kanker oportuniostik yang mengancam jiwa penderita. Selain infeksi
dan kanker dalam penetapan CDC 1993, juga temasuk : ensefalopati, sindrom
kelelahan yang berkaitan dengan AIDS dan hitungan CD4 <200/ml.
F. Epidemiologi
Epidemiologi adalah segala sesuatu yang mengenai distribusi penyakit HIV dan
faktor – faktor yang mempengaruhi bagaimana penyakit HIV bisa tersebar dalam
suatu populasi. Sindroma AIDS pertama kali dilaporkan oleh Gottlieb dari Amerika
pada 5 Juli tahun 1981. Sejak HIV pertama kali diidentifikasi pada tahun 1983, para
peneliti berusaha untuk menemukan asal dari virus tersebut. Sebelumnya,
ditemukan teori yang menyatakan bahwa virus ini berasal dari monyet yang
menularkan ke manusia di Afrika pada tahun 1930-an dan 1940-an. Transmisi HIV
dipengaruhi oleh faktor migrasi, perumahan, perjalanan, hubungan seksual,
penggunaan obat, perang, dan ekonomi. Virus ini diteliti pertama kali di Amerika
Serikat pada tahun 1981. Setelah itu, terjadi peningkatan jumlah kasus AIDS di
Amerika Serikat dan sekitarnya. Pada Januari tahun 1983, virus yang bernama HIV
diidentifikasi sebagai penyebab penyakit AIDS oleh dr. Luc Montagnier, dkk, dari
institut Pasteur Perancis. Virus diisolasi dari kelenjar getah bening yang
membengkak pada tubuh penderita AIDS, sehingga awalnya penyakit ini disebut
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Pada bulan Juli 1984, dr. Robert Gallo dari
lembaga kanker Nasional (NIC) Amerika menyatakan menemukan virus baru dari
seseorang yang terinfeksi HIV dengan menyebutnya Human T-Lymphotic Virus Type
III (HTLV III). Selain itu, ilmuwan J.Levy juga menemukan virus penyebab AIDS yang
dinamakan AIDS Related Virus (ARV). Akhirnya, pada bulan Mei 1986, Komisi
Taksonomi Internasional sepakat menyebut nama virus penyebab AIDS dengan
Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Indonesia memiliki potensi terancam epidemi HIV / AIDS karena memiliki kondisi
– kondisi yang mempermudah penyebaran HIV / AIDS, antara lain :
•
Industri seks yang komersial
•
Prevalensi penyakit kelamin yang tinggi
•
Pemakaian kondom rendah
•
Terjadinya hubungan seks premarital
•
Terjadinya hubungan seks ekstramarital
•
Di beberapa daerah, tes transfusi belum memenuhi persyaratan
•
Penyalahgunaan NAPZA suntik meningkat
•
Kemiskinan
Orang – orang yang terinfeksi HIV bisa berasal dan mencakup semua golongan, tidak
mengenal gender dan level. The Joint United Nation Program untuk HIV / AIDS
memperkirakan bahwa pada pertengahan tahun 2000, lebih dari 50juta orang di
seluruh dunia terinfeksi HIV. WHO memperkirakan bahwa terdapat hampir 6 juta
infeksi baru setiap tahunnya, 90% terjadi di negara – negara berkembang.
G. Penatalaksanaan
1. TRANSMISI DAN PENCEGAHAN
Tiga rute utama masuknya HIV adalah hubungan seksual, paparan
dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, dan dari ibu ke fetus atau
anak selama periode perinatal. Pada air liur, air mata dan urin orang yang
terinfeksi, dapat ditemukan HIV, tetapi tidak ada kasus infeksi oleh hal ini, dan
risiko infeksi tidak berarti.
a. Penularan melalui hubungan seksual
Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung
antarindividu yang salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual
adalah modus utama infeksi HIV di dunia. Transmisi HIV secara seksual
terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal
seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut
pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko
daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung. Risiko masuknya HIV
dari orang yang terinfeksi menuju orang yang belum terinfeksi melalui
hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seksual dan seks
oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks
oral reseptif maupun insertif. Risiko transmisi HIV dari air liur jauh lebih kecil
daripada risiko dari air mani. Bertentangan dengan kepercayaan umum,
seseorang harus menelan segalon air liur dari individu HIV positif untuk
membuat risiko signifikan terinfeksi.
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena
dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat
adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang
terinfeksi HIV (limfosit dan makrofag) pada semen dan sekresi vaginal.
Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara
menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi
AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis
dan/atau chancroid. Risiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun
lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah,
infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal
limfosit dan makrofag.
Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari
pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi.
Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak
konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak
selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat
kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah
sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV. Wanita lebih rentan
terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi
mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit
seksual. Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus
lain yang lebih mematikan.
b. Paparan dengan cairan tubuh yang terinfeksi
Rute transmisi ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik,
penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi
dan menggunakan kembali syringe yang mengandung darah yang
terkontaminasi dengan HIV tidak hanya merupakan risiko utama infeksi HIV,
tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik
merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi
hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Tiongkok, dan Eropa Timur.
Risiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan
orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure
prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu.
Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lainlain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat
juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh.
Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara
maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak
mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub
Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak
aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung
oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di
dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah transmisi HIV
melalui fasilitas kesehatan.
Risiko transmisi HIV pada resipien transfusi darah sangat kecil di negara
maju. Di negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan
HIV dilakukan. Namun demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia
tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10%
infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".
Pekerja kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti
mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci
tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV.
Semua organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna narkoba
untuk tidak berbagi jarum dan bahan lainnya yang diperlukan untuk
mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk syringe, bola kapas,
sendok, air untuk mengencerkan obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu
menggunakan jarum yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan.
Informasi tentang membersihkan jarum menggunakan pemutih disediakan
oleh fasilitas kesehatan dan program penukaran jarum. Di sejumlah negara
maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum
atau tempat penyuntikan yang aman. Banyak negara telah melegalkan
kepemilikan jarum dan mengijinkan pembelian perlengkapan penyuntikan
dari apotek tanpa perlu resep dokter.
c. Transmisi ibu ke anak
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi in utero selama mingguminggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat
transmisi antara ibu dan anak selama kehamilan dan persalinan sebesar
25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi
antiretroviral dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat transmisi
hanya sebesar 1%. Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi,
terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus,
semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko transmisi sebesar
10-15%. Risiko ini bergantung pada faktor klinis dan dapat bervariasi
menurut pola dan lama menyusui.
Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretroviral, bedah caesar, dan
pemberian makanan formula mengurangi peluang transmisi HIV dari ibu ke
anak. Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan
dengan mudah, terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi
HIV disarankan tidak menyusui anak mereka. Namun demikian, jika hal-hal
tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan
dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera
mungkin. Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun
terkena HIV, terutama melalui transmisi ibu ke anak; 630.000 infeksi di
antaranya terjadi di Afrika. Dari semua anak yang diduga kini hidup dengan
HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.
Strategi pencegahan dikenal dengan baik di negara maju. Namun
demikian, penelitian perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara
belakangan ini menunjukkan bahwa minoritas banyak anak muda terus
melakukan kegiatan berisiko tinggi dan meskipun mengetahui tentang HIV/AIDS,
anak muda meremehkan risiko terinfeksi HIV. Namun demikian, transmisi HIV
antarpengguna narkoba telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah
menjadi cukup langka di negara-negara maju.
Ada 5 cara untuk mencegah penularan HIV, yaitu :
A : Abstinence = tidak melakukan hubungan seks beresiko tinggi.
B : Be faithful = bersikap saling setia
C : Condom = cegah dengan memakai kondom secara konsisten dan benar
Selama hubungan seksual, hanya
kondom
pria atau kondom wanita yang
dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan penyakit seksual lainnya
serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini menunjukan bahwa penggunaan
kondom yang lazim mengurangi risiko transmisi HIV sampai kira-kira 80% dalam
jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar jika kondom digunakan
dengan benar dalam setiap kesempatan. Penggunaan efektif kondom dan
penapisan (screening) transfusi darah di
Amerika Utara, Eropa Barat,
dan
Eropa Tengah
dianggap sebagai salah satu penyebab kecilnya jumlah AIDS di daerah-daerah
tersebut. Dengan penggunaan kondom yang konsisten dan benar, risiko infeksi
HIV sangatlah kecil. Penelitian terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi
menunjukkan bahwa dengan penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi
HIV terhadap pasangan yang belum terinfeksi di bawah 1% per tahun
D : Drugs = Hindari pemakaian narkoba suntik
Dalam upaya pencegahan penularan melalui narkoba suntik ada
beberapa daerah seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jatim, Yogyakarta, Bali,
Sumatera Selatan dan Sumatera Utara sudah melakukan pelayanan Program
Terapi Rumatan Metadon (PTRM), yakni dengan memberi Metadon sejenis
narkoba sintesis kelas dua dengan sekali suntik dalam sehari namun tidak
menyebabkan kecanduan. Tujuannya untuk melakukan terapi bertahap bagi
pengguna narkoba suntik tersebut.
E : Equipment = Mintalah pelayanan kesehatan dengan peralatan steril
2. PENGOBATAN
Sampai saat ini masih belum ditemukan obat penyakit AIDS/HIV yang
efesien. Beberapa usaha tetap dilakukan baik usaha penemuan obat maupun
vaksinnya. Obat yang digunakan saat ini tidak dapat menyembuhkan penyakit
HIV/AIDS, tetapi ada obat untuk mengatasi infeksi atau simtom dari penyakit
HIV/AIDS sehingga rasa sakit penderita dapat berkurang atau hilang. Hal
tersebut juga dapat memperpanjang hidup penderita. Pengobatan hasrus
dilakukan dengan cara melawan virus bebas dan virus yang menginfeksi sel.
Meskipun sejumlah zat telah dibuat sebagai anti-HIV secara in vitro , hanya
sedikit yang menunjukkan kerja yang efektif sebagai anti-HIV pada toksisitas
toleransi. Untuk menghindari resistansi virus terhadap obat, obat yang diminum
biasanya adalah obat kombinasi yang terdiri terdiri dari beberapa jenis.
Pengobatan HIV/AIDS secara medis dapat digolongkan menjadi 3, yaitu:
a. Pengobatan Suportif
b. Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Oportunistik
c. Pengobatan Antiretroviral
a. Pengobatan Suportif
HIV dan nutrisi keduanya sangat berhubungan. Infeksi HIV dapat memicu
adanya malnutrisi. Oleh karena pengobatan AIDS meningkat dengan pesat pada
daerah-daerah miskin di seluruh dunia, maka pertanyaannya adalah bagaimana
obat dapat bekerja dengan baik apabila nutrisi makanannya tidak cukup baik.
Oleh karena itu, pada penderita HIV perlu diperhatikan pula mengenai nutrisi
Nasihat mengenai diet perlu disesuaikan dengan kondisi penderita. Akan
tetapi, umumnya, rekomendasi untuk orang yang hidup dengan infeksi HIV yang
belum menunjukkan gejala biasanya sama dengan orang lainnya, yang berarti
diet yang seimbang dan sehat. Hanya ada tiga perbedaan yang penting, yaitu
●
Oleh karena orang yang terinfeksi HIV cenderung membutuhkan energi yang
lebih banyak, maka jumlah kalori harus 10% lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah kalori yang biasanya disarankan. Dan lebih dari 30% lebih
tinggi selama masa penyembuhan dari penyakit. Keseimbangan dari lemak,
protein, dan karbohidrat harus dipertahankan supaya tetap sama
●
Banyak ahli merekomendasikan multivitamin harian (biasanya yang tanpa
zat besi, kecuali pada wanita yang sedang menstruasi atau orang dengan
defisiensi zat besi).
●
WHO merekomendasikan suplemen vitamin A setiap 4-6 bulan pada anakanak yang terinfeksi HIV dan hidup di daerah miskin.
Orang yang positif terkena HIV yang kehilangan selera makan harus
berusaha keras untuk memastikan bahwa mereka telah cukup makan. Beberapa
saran yang membantu antara lain, memakan beberapa makanan kecil per hari,
melakukan latihan untuk merangsang nafsu makan, dan mencari saran dari
tenaga kesehatan atau ahli gizi.
Jika tidak berhasil, dokter mungkin akan menyarankan suplemen makanan
cair untuk merangsang nafsu makan, atau latihan untuk membentuk otot.
Kemungkinan lain adalah pengobatan dengan steroid dan hormon, walaupun
cara ini lebih mahal dan mempunyai efek samping yang lebih berbahaya
b. Pencegahan Dan Pengobatan Infeksi Oportunistik
Meliputi penyakit infeksi Oportunistik yang sering terdapat pada
penderita infeksi HIV dan AIDS.
1. Tuberkulosis
Sejak epidemi AIDS maka kasus TBC meningkat kembali.
Dosis INH 300 mg setiap hari dengan vit B6 50 mg paling tidak untuk masa
satu tahun.
2. Toksoplasmosis
Sangat perlu diperhatikan makanan yang kurang masak terutama daging
yang kurang matang. Obat : TMP-SMX 1 dosis/hari.
3. CMV
Virus
ini
dapat
menyebabkan
Retinitis
dan
dapat
menimbulkan
kebutaan, Ensefalitis, Pnemonitis pada paru, infeksi saluran cernak yang
dapat menyebabkan luka pada usus.
Obat : Gansiklovir kapsul 1 gram tiga kali sehari.
4. Jamur
Jamur yang paling sering ditemukan pada penderita AIDS adalah jamur
Kandida. Obat :
Nistatin 500.000 u per hari
Flukonazol 100 mg per hari.
c. Pengobatan Antiretroviral
Terapi AIDS/HIV saat ini dilakukan terapi kimia (chemotherapy) yang
menggunakan obat anti-retroviral virus (ARV) yang berfungsi menekan
perkembangbiakan virus HIV. Prinsip dasar dalam pemberian ARV adalah bahwa
ARV sampai saat ini bukan untuk menyembuhkan; bila digunakan dengan benar
berhubungan dengan perbaikan kualitas hidup penderita.Tujuan pengobatan
yang ingin dicapai adalah (1) memperpanjang usia hidup anak yang terinfeksi,
(2) mencapai tumbuh dan kembang yang optimal, (3) menjaga, menguatkan dan
memperbaiki sistim imun dan mengurangi infeksi oportunistik, (4) menekan
replikasi virus HIV dan mencegah progresifitas penyakit, (5) mengurangi
morbiditas anak-anak dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Hingga saat ini sudah terdapat lebih kurang 20 jenis obat ARV. Obatobat ini pada dasarnya terdiri dari 5 jenis berdasarkan tempat kerjanya, yaitu
NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), NNRTI (Non-Nucleoside
Reverse Transcriptase Inhibitor), PI (protease Inhibitor), Fusion Inhibitor, dan
Anti-Integrase.
Dalam terapi menggunakan obat ARV ini, umumnya dilakukan dengan
kombinasi beberapa jenis obat. Pemakaian kombinasi NRTI dengan NNRTI dan PI
ini saat ini dikenal sebagai Highly Active Anti Retroviral Therapy (HAART).
Penamaan ini didasarkan atas peningkatan survival, pengurangan kemungkinan
infeksi oportunistik dan komplikasi lain, perbaikan pertumbuhan dan fungsi
neurokognitif dan peningkatan kualitas hidup penderita HIV.
Tanpa adanya HAART, infeksi HIV ke AIDS muncul dengan rata-rata
sekitar sembilan sampai sepuluh tahun dan waktu bertahan setelah memiliki
AIDS hanya 9.2 bulan. HAART meningkatkan waktu bertahan antara 4 dan 12
tahun.
Berikut adalah daftar obat anti retroviral.
Kombinasi multi kelas:
Kombinasi
Nama Dagang
efavirenz + TDF + FTC
Atripla
Keterangan
Diberikan saat perut kosong
Nucleoside/Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs):
Singkatan
Nama
Nama
Generik
Dagang
Keterangan
3TC
lamivudine
Epivir
Diberikan dengan atau tanpa makanan
ABC
abacavir
Ziagen
Diberikan dengan atau tanpa makanan
Retrovir
Diberikan dengan atau setelah makan
AZT
atau zidovudine
ZDV
d4T1
stavudine
Zerit
Diberikan dengan atau tanpa makanan
ddC2
zalcitabine
Hivid
Diberikan dengan atau setelah makan
ddI
didanosine
Videx
Diberikan pada perut yang kosong 30 menit
(tablet)
sebelum makan; hindari alkohol
Videx EC Diberikan pada perut yang kosong satu jam
(capsule)
sebelum makan; hindari alkohol
FTC
emtricitabine
Emtriva
Diberikan dengan atau tanpa makanan
TDF
tenofovir
Viread
Diberikan dengan atau tanpa makanan
Kombinasi
ABC + 3TC
Nama Dagang
Epzicom (US)
Kivexa (Europe)
Keterangan
Diberikan dengan atau tanpa makanan
ABC+AZT+3TC3
Trivizir
Diberikan dengan atau tanpa makanan
AZT + 3TC
Combivir
Diberikan dengan atau tanpa makanan
TDF + FTC
Truvada
Diberikan dengan atau tanpa makanan
NRTIs Yang Dikombinasikan:
Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs):
Nama
Nama
Generik
Dagang
delavirdine Rescriptor
Keterangan
Dilisensi di AS tapi tidak di Inggris. Diberikan dengan atau
tanpa makanan. Tunggu selama satu jam sebelum
diberikan ddI atau antasida.
efavirenz
Sustiva (US)
Diberikan ketika perut kosong
Stocrin
(Europe)
etravirine4
Intelence
Dilisensi di AS tapi tidak di Inggris. Diberikan bersama
makanan
nevirapine
Viramune
Diberikan dengan atau tanpa makanan
Protease Inhibitors (PIs):
Nama
Nama Dagang
Keterangan
Generik
Amprenavir/
Agenerase/
Diberikan dengan atau tanpa makanan
fosamprenavir Lexiva (US)
Agenerase/ Telzir
(Europe)
atazanavir5
Reyataz
Diberikan dengan makanan
darunavir6
Prezista
Diberikan dengan makanan
indinavir
Crixivan
Diberikan saat perut kosong jika tidak diberikan
bersama dengan ritonavir
lopinavir+
Kaletra
Beberapa
formula
harus
diberikan
dengan
ritonavir
Aluvia
makanan. Beberapa formula perlu didinginkan
(developing
hingga lebih dari 6 minggu
world)
nelfinavir
Viracept
Diberikan bersama makanan
ritonavir
Norvir
Diberikan bersama makanan atau suplemen
makanan cair
saquinavir
Fortovase
(soft Diberikan dalam dua jam makan. Perlu didinginkan
gel capsule)
hingga lebih dari 3 bulan
Invirase (hard gel Diberikan dalam dua jam makan
capsule)
tipranavir7
Aptivus
Diberikan bersama makanan
Fusion or Entry Inhibitors:
Nama
Nama Dagang
Keterangan
Generik
T-20
atau Fuzeon
Harus disiapkan dari serbuk dan diinjeksikan pada
enfuvirtide8
maraviroc9
paha, lengan atau abdomen
Celsentri
Diberikan dengan atau tanpa makanan
(Europe)
Selzentry (US)
Integrase Inhibitors:
Nama
Nama Dagang
Keterangan
Generik
raltegravir10
Isentress
Diberikan dengan atau tanpa makanan
Pengobatan HIV biasanya melibatkan tiga obat yang diberikan bersamasama. WHO merekomendasikan bahwa di sebagian besar kasus, first line
regimen
harus
mengandung
dua
buah
obat
dari
kelompok
nukleoside/nukleotida (NRTI) dan satu obat dari kelompok non-nukleosida
(NNRTI). Obat dari kelompok Protease Inhibitor (PI) kurang cocok untuk
digunakan dalam pengobatan awal karena harganya, jumlah pil yang harus
diberikan, dan beberapa efek samping yang dapat timbul dengan obat-obat
protease.
Pengobatan lini pertama yang disukai mengandung AZT atau TDF (kelompok
NRTI) yang dikombinasikan dengan
3TC atau FTC (kelompok NRTI) lalu
dikombinasikan lagi dengan EFV atau NVP (kelompok NNRTI). Cara alternatif lain
yaitu, AZT atau TDF diganti dengan d4T atau ABC.
Kombinasi dari tiga NRTI dapat dilakukan dengan pertimbangan situasi
dimana pilihan NNRTI menyebabkan komplikasi tambahan. Dalam kasus ini
First drug
Second drug Third drug
Preferred
AZT or TDF
3TC or FTC
EFV or NVP
Alternative
d4T or ABC
3TC or FTC
EFV or NVP
Triple NRTI
AZT
3TC or FTC
ABC or TDF
kombinasi yang dipakai adalah AZT+3TC+ABC atau AZT+3TC+TDF (dimana FTC
dapat disubstitusi untuk 3TC).
Bila terdapat kondisi yang mengarah ke kegagalan terapi ARV lini pertama,
maka diperlukan evaluasi ke arah kepatuhan berobat, dosis dan infeksi
oportunistik yang belum teratasi. Setelah dilakukan evaluasi menyeluruh dan
diputuskan untuk melakukan penggantian obat, maka opsi pilihan lini kedua
dipertimbangakan.
Standard untuk pengobatan lini kedua adalah mengandung dua obat NRTI
yang dikombinasikan dengan ritonavir-boosted protease inhibitor, yang
disingkat PI/r. Pilihan pertama biasanya ritonavir-boosted lopinavir (LPV/r)
karena tersedia dalam bentuk yang tidak memerlukan pendinginan
Jika pengobatan lini pertama terdiri dari tiga NRTI maka kemudian
pengobatan lini kedua harus mengandung satu obat NNRTI dan satu buah obat
PI/r, dan dapat juga mengandung ddI juga (optional).
Tabel di bawah menunjukkan rekomendasi untuk penggantian regimen
First line regimen
Standard
Second line regimen
First
Second
Third
drug
drug
drug
First drug
Second
Third
drug
drug
AZT atau 3TC atau NVP atau ddI atau ABC
d4T
FTC
EFV
TDF
PI/r
TDF
TDF
ABC
Triple NRTI
3TC*
3TC atau NVP atau ddI
ABC
FTC
3TC*
TDF
PI/r
atau PI/r
3TC atau NVP atau ddI ataur 3TC*
FTC
TDF
TDF
First
Second
Third
First drug
drug
drug
drug
AZT
ata 3TC
or TDF
or EFV
d4T
FTC
ABC
NVP
PI/r
Second
Third
drug
drug
or optional
PI/r
ddI
* AZT dapat diberikan seperti 3TC dalam usaha untuk mencegah atau menunda
resistensi terhadap obat.
3. PENGOBATAN YANG SEDANG DIKEMBANGKAN
a. Green Cocktail
”Green cocktail terapi HIV/AIDS”. Penggunaan tanaman herbal asli
Indonesia yang disebut green cocktail sebagai alternatif terapi untuk
menanggulangi HIV/AIDS secara efektif dan aman kini dikembangkan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan
Yayasan Cahaya Hati Bangsa. Pemanfaatan tanaman herbal sebagai obat
anti HIV/AIDS itu kini dalam tahap uji klinis lebih lanjut. Pada hasil uji klinis
tahap awal, terapi GC mampu meningkatkan CD4 pasien. Seorang
responden, 23 thn, misalnya meningkat CD4-nya dari 191 jadi 255 dalam 22
hari. Menurut Sandra Hermanto pengajar di Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Syarif Hidayatullah, hasil analisa komposisi kimiawi menunjukkan herbal
itu mengandung senyawa aktif, antioksidan/antimikroba dan senyawa
penekan sel kanker, serta beberapa asam amino esensial. Green cocktail
tidak dikonsumsi seumur hidup. Namun ini perlu uji laboratorium lebih
lanjut. Menurut Ketua Yayasan Cahaya Hati Bangsa, Azwina Miraza, Hak
Kekayaan Intelektual (HAKI) atas Green Cocktail telah terdaftar di
Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia. Temuan ini juga akan didaftar
ke Swedia untuk mendapat pengakuan internasional.
b. Kulit Pohon Mahoni
Mahoni (Swietenia Mahagoni L) terbukti berkhasiat menghambat
pertumbuhan HIV. Tumbuhan lainnya, benalu teh (Loranthus paraciticus (L)
MERR, kiules (Helicteres isora L), dan supratul (Sindora sumaterana MIQ),
punya potensi yang sama.
Setelah diteliti lebih jauh, kulit pohon mahoni ternyata mengandung
ester metil klorogenat dan asam klorogenat. Menurut Supriyatna, ahli
farmasi UNPAD yang menemukan penemuan ini , asam itu pada konsentrasi
100 mikogram per ml mampu menghambat protease HIV sebesar 50%.
Sedangkan esternya, sampai 60. Tapi penelitian ini belum sepenuhnya usai.
Penelitian ini masih awal. Meski telah ditemukan model molekul zat aktif
anti-HIV pada kulit pohon mahoni, masih perlu waktu untuk bisa menjadi
obat yang dapat langsung digunakan.
c. Lactobacillus
Baru-baru ini tim peneliti yang diketuai oleh Peter Lee dari Stanford
University, Amerika, mengembangkan bakteri Lactobacillus yang dapat
menghambat infeksi virus HIV ke dalam sel. Mereka menggunakan
Lactobacillus jensenii yang diisolasi dari vagina. Bakteri ini banyak ditemukan
dan dapat berkembang biak dengan mudah di vagina, yang merupakan titik
awal infeksi virus HIV. Bakteri ini melindungi vagina dari berbagai infeksi
bersama-sama dengan Lactobacillus lain seperti L. crispatus dan L. gasseri.
Perlindungan vagina oleh Lactobacillus terhadap berbagai infektan
(seperti virus atau bakteri lainnya) ini dilakukan dengan mengeluarkan
senyawa kimia yang berperan sebagai anti-virus seperti asam laktat dan
hidrogen peroksida (H2O2). Walaupun demikian, asam laktat dan hidrogen
peroksida yang dihasilkan Lactobacillus alami tidak memberikan efek
langsung terhadap virus HIV yang ada di vagina. Sehingga transmisi HIV
melalui vagina masih merupakan penyebab utama terjadinya infeksi HIV.
Salah satu penyebab tidak adanya efek langsung anti-virus yang
dihasilkan oleh Lactobacillus terhadap HIV adalah karena distribusi
Lactobacillus dan virus HIV yang acakan (random). Akibatnya, peluang antivirus yang dihasilkan untuk mencapai sasaran sangatlah kecil.
Untuk membuat agar virus HIV bisa dijadikan target, Peter Lee dan
kawan-kawan memodifikasi bakteri L. jensenii ini dengan menggunakan
teknologi genetika. Mereka membuat L. jensenii yang bisa menghasilkan
protein CD4, yang merupakan reseptor virus HIV, dengan cara mengkloning
gen CD4 ke dalam L. jensenii. Karena CD4 adalah reseptor yang diperlukan
oleh HIV untuk berikatan sebelum penetrasi ke dalam sel, secara otomatis
virus HIV akan berikatan dengan CD4 yang dihasilkan dari kloning ini. Dalam
modifikasi ini, Peter Lee dan kawan-kawan tidak hanya membuat supaya
menghasilkan protein CD4, tapi dibuat sedemikian rupa supaya protein CD4
yang dihasilkan muncul di permukaan L. jensenii sendiri. Dengan demikian,
jika L. jensenii yang dimodifikasi ini dikembangbiakkan di vagina, virus HIV
yang ada di vagina akan berikatan dengan CD4 ini. Karena CD4 berada di
permukaan Lactobacillus, HIV yang berikatan dengan CD4 akan berada di
sekeliling Lactobacillus. Akibatnya, anti-mikroorganisme yang dihasilkan oleh
Lactobacillus akan mudah mencapai sasarannya.
Dari hasil percobaannya di kultur sel manusia, Peter Lee dan kawankawan berhasil membuktikan bahwa bakteri Lactobacillus yang dimodifikasi
ini dapat menekan daya infeksi HIV sampai 95%. Hasil ini dipublikasikan di
jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences USA (PNAS) edisi 12
September 2003. Hasil ini juga disorot di jurnal Science edisi 9 September
2003.
Walaupun masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut, Lactobacillus
yang dimodifikasi secara in vitro terbukti berhasil menghambat infeksi virus
HIV. Kalau pendekatan ini bisa diterapkan, masalah AIDS/HIV akan lebih
cepat teratasi. Hal ini disebabkan karena biaya pengobatan akan jauh lebih
murah karena pengkulturan Lactobacillus dapat dilakukan secara ekonomis
dan tidak memakan waktu.
d. Jamu Anti AIDS Hendra Yauw
Akhir-akhir ini mungkin terdengar berita mengenai adanya jamu anti
AIDS hasil racikan dari Hendra Yauw yang sehari-hari berprofesi sebagai
sinshe .Racikan jamu yang dibuat Hendra untuk penderita HIV dan AIDS
terdiri atas dua belas macam tumbuhan obat. Bahan-bahan herbal itu tak
ada yang impor. Semuanya tumbuhan lokal. Kalau mau cermat, banyak
tumbuhan berkhasiat itu tumbuh di Indonesia. Namun tidak semua orang
tahu atau mengenalnya secara dekat baik asal usulnya maupun
kandungannya.
Sambiloto, misalnya tanaman jenis perdu yang dijadikan unsur dominan
dalam racikan Hendra itu, mungkin tidak banyak yang tahu khasiatnya.
Sambiloto dengan nama latin Andrographis paniculata sangat mudah
ditanam. Karena itu, tidak ada kesulitan untuk mendapatkan bahan baku
untuk racikan obat penambah daya tahan tubuh bagi penderita HIV/AIDS.
Tumbuhan itu diakui mampu menurunkan panas dan juga bisa untuk
antidemam, antibiotik, dan antiradang.
Ekstrak sambiloto juga dapat merusak sel trophocyt dan trophoblast,
yang berperan dalam kondensasi cytoplasma dari sel tumor dan juga bisa
menghancurkan inti sel kanker. Tanaman itu memiliki rasa pahit, bersifat
dingin, masuk meredian jantung dan paru-paru.
Jamu ini telah dicobakan pada empat penderita HIV/AIDS sejak tiga
bulan lalu (berita ini ditulis pada tanggal 12 Februari 2008) dengan hasil satu
bulan kemudian kadar CD4 meningkat. Sel CD4 adalah semacam sel darah
putih yang merupakan bagian penting dari kekebalan tubuh manusia. Saat
HIV menular ke manusia, sel yang terinfeksi paling sering adalah CD4.
Semakin lama terinfeksi HIV semakin menurun CD4.
"Penderita HIV/AIDS yang mengonsumsi jamu yang dinamakan Ching
Lung Sehat Badan ini setelah sebulan naik CD4-nya. Mereka juga mengaku
naik berat badannya, dapat tidur nyenyak, dan kembali bersemangat karena
merasa ada harapan. Kini CD4 mereka hampir mendekati normal," jelas
Hendra.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit HIV/AIDS
merupakan penyakit yang saat ini, menurut WHO,
merupakan penyakit yang paling mematikan di dunia. AIDS merupakan bentuk
terparah akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ
vital sistem kekebalan manusia seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofag, dan sel
dendritik. Gejala awal hampir sama dengan gejala penyakit lain, yaitu rasa tidak
enak badan, karena ada kuman yang masuk ke dalam tubuh. Secara fisik, tidak ada
gejala khas dan gejalanya tidak dapat dilihat, tapi berpotensi untuk menularkan ke
orang lain.
Diagnosis HIV/AIDS dapat menggunakan beberapa cara, antara lain :
1. Langsung: biakan virus dari darah, isolasi virus dari sample, umumnya
menggunakan mikroskop elektron dan deteksi gen virus. Yang paling
sering digunakan adalah PCR (Polymerase Chain Reaction).
2. Tidak Langsung: dengan melihat respons zat anti yang spesifik, misalnya dengan
tes ELISA, Western Blot, Immunofluoren Assay (IFA), dan Radio
Immunoprecipitation Assay (RIPA)
Virus HIV/AIDS ini biasanya ditularkan oleh kelompok berperilaku beresiko
tinggi, diantaranya : (1) pengguna narkoba suntikan, (2) homoseksual, dan (3) Ibuibu yang terkena positif HIV (bisa terjangkit dari suami, dari transfusi darah, atau
pasangan pengguna narkoba suntik).
Untuk pengobatan HIV/AIDS, sampai saat ini belum ditemukan obat yang dapat
menyembuhkan penderita dari penyakit ini. Obat yang saat ini digunakan adalah
Anti Retroviral (ARV) yang fungsinya hanya memperpanjang hidup penderita.
B. Saran
Saran dari penyusun antara lain :
1. Pemerintah diharapkan lebih mengutamakan upaya pencegahan penyakit ini.
2. Pemerintah diharapkan melaksanakan subsidi obat antiretroviral pada pengidap
HIV/AIDS.
3. Pihak keluarga pengidap HIV/AIDS diharapkan memberikan dukungannya.
4. Para peneliti diharapkan dapat mengembangkan obat-obat baru yang lebih
efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Phair, John P. dan Ellen G. Chadwick. 1994. Dasar Biologis Dan Klinis Penyakit Infeksi
ed.IV. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS
http://en.wikipedia.org/wiki/Image:ELISA-sandwich.svg
http://www.niaid.nih.gov
http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=1443&Itemid=
2
http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=129488
http://nusaindah.tripod.com/pengobatanhiv.htm
http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2004/0514/kes1.html
http://www.kesrepro.info/?q=node/348
http://kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.02.12.14490076&channel=1&mn=20&idx=
92
http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=2736&Itemid=
2
http://users.ugent.be/~avierstr/principles/pcr.html
MAKALAH DIAGNOSTIK KLINIK
HIV-AIDS
Tanggal : 30 April 2009
Disusun oleh:
Kelompok 3
Mega Dewi Suryani
0706264860
Mutia Anggriani
0706264873
Ninin Kartika Juwita
0706264886
Nurlitasari
0706264904
Nurul Fitriyah
0706264910
Nyssa Adriana
0706264923
Purwinda Herin
0706264936
DEPARTEMEN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2009
Download