pengaruh pemberian madu terhadap bakteri staphylococcus aureus

advertisement
PENGARUH PEMBERIAN MADU TERHADAP BAKTERI
STAPHYLOCOCCUS AUREUS DAN ESCHERICHIA COLI
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
OLEH :
Nurul Elliza
NIM: 107103000166
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/ 2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran di
Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 6 Oktober 2010
Nurul Elliza
i
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW
sebagai suri tauladan ummat Islam.
Alhamdulillah saya dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul
“Pengaruh Pemberian Madu Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus dan
Bakteri Escherichia Coli”.
Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, dalam
kesempatan kali ini saya ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya pada
pihak yang membantu dan memberikan bimbingan dalam penyusunan penelitian ini.
Ucapan terimakasih dan penghargaan, saya sampaikan kepada:
1. Kedua orang tua tercinta yaitu ayahanda H. Ahmad Effendi dan Ibunda Hj.
Eni Gunaeni, yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun material,
serta do’a yang tiada henti untuk saya, terimakasih yang sedalam-dalamnya
atas perhatian dan kasih sayang kalian selama ini yang telah diberikan.
Semoga ananda dapat membahagiakan dan membalas jasa- jasa kebaikan
kalian selama ini.
2. Prof. DR (hc). DR. M.K. Tadjudin, Sp.And dan Drs. H. Achmad Gholib, MA,
selaku Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Zeti Harriyanti, M.Biomed selaku dosen pembimbing yang telah banyak
menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan skripsi ini.
iv
4. Yuli, M. Biomed selaku dosen pembimbing laboratorium yang telah banyak
menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
melakukan penelitian ini.
5. Untuk semua dosen- dosen saya yang telah begitu banyak membimbing dan
memberikan kesempatan saya untuk menimba ilmu selama saya menjalani
masa pendidikan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, rasa hormat
saya atas segala yang telah mereka berikan.
6. Kakak dan adik- adikku tersayang, kakakku Muhammad Hardiansyah, Fachry
Zakya dan adikku Khoirunnisa, Ibnu Muzakky yang selalu memberikan
dukungan dan motivasinya di setiap langkah hidupku serta memberikan
keceriaan dalam hidupku dengan canda tawa kalian yang membuat hidupku
lebih berwarna.
7. Teman- temanku seangkatan, senasib seperjuangan di Pendidikan Dokter
(FKIK UIN Jakarta). Sebuah kebahagiaan bisa menjadi bagian dari kalian dan
melewati satu fase kehidupan bersama kalian.
8. Teman-teman satu kelompok yang terus memberikan motivasi dan bantuan
dalam melakukan penelitian ini.
9. Semua pihak yang telah memberikan kontribusi penyelesaian penelitian ini
dan tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Dengan segala kelemahan, kekurangan dan
kelebihan yang ada, semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya untuk diri saya
sendiri dan semua pihak sebagai informasi tambahan atau sekedar contoh yang baik.
Jakarta, 06 Oktober 2010
Nurul Elliza
v
ABSTRAK
Nurul Elliza. Pengaruh Pemberian Madu terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli. Penelitian, 2010.
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri merupakan penyakit yang banyak
ditemukan dalam masyarakat. Menurut laporan WHO penyakit infeksi ini menjadi
penyebab kematian terbesar pada anak-anak dan dewasa dengan jumlah kematian
lebih dari 13 juta jiwa setiap tahun, dan satu dari dua kematian terjadi di negara
berkembang seperti Indonesia. Bakteri yang sering menyebabkan infeksi adalah
Staphylococcus aureus (merupakan bakteri Gram positif) dan Escherichia coli
(merupakan bakteri Gram negatif). Penanganan penyakit akibat infeksi yg disebabkan
oleh bakteri yaitu dengan menggunakan antibakteri tersebut. Madu merupakan
pengobatan alami yang mempunyai efek antibakteri seperti hidrogen peroksida, pH
yang rendah dan aktivitas air yang rendah yang mampu menghambat pertumbuhan
bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas madu sebagai antibakteri
terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Uji aktivitas antibakteri
dilakukan secara invitro menggunakan metode difusi dengan menggunakan cakram
disk pada medium MHA dengan mengukur diameter zona bening yang merupakan
zona hambat dari pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli
dengan satuan milimeter. Konsentrasi yang digunakan 25%, 50%, 75% dan 100%
dengan aquades steril sebagai kontrol negatif. Data analisis dengan uji Kruskal Wallis
memiliki nilai 0,406 (>0,05) yang menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan
bermakna diantara masing-masing konsentrasi madu baik terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Pengaruh konsentrasi 25%, 50%, 75%
dan 100% terhadap Staphylococcus aureus menghasilkan zona hambat sebesar 8; 9;
10;11mm sedangkan pada Escherichia coli sebesar 7; 9; 10; 11 mm. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah pengaruh konsentrasi madu terhadap Staphylococcus aureus
memiliki zona hambat yang sama dengan Escherichia coli.
Kata kunci : Madu, Antibakteri, Staphylococcus aureus, Escherichia coli
vi
ABSTRACT
Nurul Elliza. Effect of honey against the bacteria Staphylococcus aureus and
Escherichia coli. Reseach, 2010.
Infectious disease is a disease caused by bacteria that are found in society. According
to the WHO infectious disease cause of death in children and adults with the number
of deaths more than 13 million people each year, and one of the two deaths occurred
in developing countries like Indonesia. Bacteria that commonly cause infections are
Staphylococcus aureus (Gram-positive bacteria) and Escherichia coli (Gram-negative
bacteria). Handling of infectious disease that is caused by bacteria that is by using the
antibacterial. Honey is a natural treatment that has antibacterial effects such as
hydrogen peroxide, low pH and low water activity that can inhibit the growth of
bacteria. The research aimed to determine the antibacterial activity of honey against
Staphylococcus aureus and Escherichia coli. Tests performed in vitro antibacterial
activity using diffusion method with cakram disk on MHA medium by measuring the
diameter of the clear zone is a zone of inhibition of growth of Staphylococcus aureus
and Escherichia coli by millimeters. Concentrations used 25%, 50%, 75% and 100%
with sterile distilled water as a negative control. Data analysis by Kruskal-Wallis test
has a value of 0.406 (> 0.05) indicating that there is no significant difference between
each concentration of honey well against Staphylococcus aureus and Escherichia
coli. Effect of concentration of 25%, 50%, 75% and 100% against Staphylococcus
aureus produce inhibition zone of 8; 9; 10; 11mm whereas in Escherichia coli by 7;
9; 10; 11 mm. The conclusion of this study is the effect of honey against
Staphylococcus aureus concentration have same inhibited (inhibition zone greater)
with Escherichia coli.
Key words: Honey, Antibacterial, Staphylococcus aureus, Escherichia coli.
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................. vi
ABSTRACT ............................................................................................................. vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... viii
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................ 3
1.3 Hipotesis Masalah ............................................................................................... 4
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 4
1.4.1 Tujuan Umum ............................................................................................ 4
1.4.2 Tujuan Khusus ........................................................................................... 4
I.5
Manfaat Penelitian .............................................................................................. 4
viii
1.5.1 Untuk Masyarakat ...................................................................................... 4
1.5.2 Untuk Institusi ........................................................................................... 5
1.5.3 Untuk Umum ............................................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 6
2.1. TINJAUAN PUSTAKA (LANDASAN TEORI) ................................................. 6
2. 1. 1 Madu .......................................................................................................... 6
2. 1. 2 Staphylococcus aureus .............................................................................. 9
2. 1. 3 Escherichia coli ........................................................................................ 14
2.1. 4 Faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme .......... 18
2.1.5 Metode Difusi Kirby Baurer ....................................................................... 20
2.2. KERANGKA KONSEP ..................................................................................... 20
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................. 21
3.1 Desain Penelitian ............................................................................................... 21
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................... 21
3.3 Sampel Penelitian .............................................................................................. 21
3.4 Kriteria Penelitian .............................................................................................. 21
3.4.1 Kriteria Inklusi ......................................................................................... 21
ix
3.4.2 Kriteria Eksklusi ...................................................................................... 21
3.5 Bahan Penelitian ................................................................................................. 21
3.6 Alat Penelitian .................................................................................................... 22
3.7 Variabel dan Definisi Operasional ..................................................................... 22
3.8 Cara Kerja .......................................................................................................... 24
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 27
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 35
LAMPIRAN ............................................................................................................. 37
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................................. 44
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Biakan bakteri Staphylococcus aureus di MSA....................................... 37
Gambar 2. Biakan bakteri Escherichia coli di Mc-Conkey........................................ 37
Gambar 3. MHA dan MSA ...................................................................................... 38
Gambar 4. Sediaan Madu Sumbawa .......................................................................... 38
Gambar 5. Larutan madu dengan konsentrasi 25%.................................................... 38
Gambar 6. Larutan madu dengan konsentrasi 50%.................................................... 39
Gambar 7. Larutan madu dengan konsentrasi 75% ................................................... 39
Gambar 8. Larutan madu dengan konsentrasi 100% ................................................. 39
Gambar 9. Larutan Aquades ...................................................................................... 39
Gambar 10. Perbandingan berbagai konsentrasi larutan madu (25%, 50%, 75%,
100%) dan aquades sebagai kontrol .......................................................................... 40
Gambar 11. Zona hambatan larutan madu dengan konsentrasi 25% dan 50% terhadap
bakteri Staphylococcus aureus .................................................................................. 40
Gambar 12. Zona hambatan larutan madu dengan konsentrasi 75% dan 100%
terhadap bakteri Staphylococcus aureus..........................................................................41
xi
Gambar 13. Zona hambatan larutan madu dengan konsentrasi 25% dan 50% terhadap
bakteri Escherichia coli ............................................................................................. 41
Gambar 14. Zona hambatan larutan madu dengan konsentrasi 75% dan 100%
terhadap bakteri Escherichia coli............................................................................... 41
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hasil pengukuran diameter zona hambatan yang ditimbulkan oleh madu
sumbawa terhadap Staphylococcus aureus ................................................................ 27
Tabel 2. Uji Kruskal Wallis zona hambatan madu hutan sumbawa terhadap
Staphylococcus aureus ............................................................................................... 28
Tabel 3. Hasil pengukuran diameter zona hambatan yang ditimbulkan oleh madu
sumbawa terhadap Escherichia coli. ......................................................................... 29
Tabel 4. Uji Kruskal Wallis zona hambatan madu hutan sumbawa terhadap
Escherchia coli .......................................................................................................... 30
Pengaruh pemberian madu terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan
melakukan Uji Kruskal Wallis ................................................................................... 42
Pengaruh pemberian madu terhadap bakteri Escherichia coli dengan melakukan Uji
Kruskal Wallis ........................................................................................................... 43
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1
LATAR BELAKANG MASALAH
Penyakit infeksi merupakan penyakit yang banyak ditemukan dalam
masyarakat. Menurut laporan WHO penyakit infeksi ini menjadi penyebab
kematian terbesar pada anak-anak dan dewasa dengan jumlah kematian lebih dari
13 juta jiwa setiap tahun, dan satu dari dua kematian terjadi di negara berkembang
seperti indonesia. (WHO, 1999).
Pada tubuh manusia secara alami terdapat bakteri flora normal yang
bermanfaat untuk tubuh. Salah satu contoh bakteri flora normal yang ada pada
tubuh manusia yaitu Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Bakteri flora
normal ini dapat berubah menjadi patogen apabila jumlahnya yang berlebih dari
kadar normalnya, tidak berada di tempat predileksi yang sesungguhnya dan
menurunnya daya tahan tubuh seseorang. Hal inilah salah satu contoh seseorang
menjadi terinfeksi. Berdasarkan hasil penelitian untuk menanggulangi bakteri
flora normal yang berubah menjadi bakteri patogen dapat menggunakan madu
yang memiliki antibakteri. (Jawetz, 2008)
Madu ini telah lama dikenal, seperti digunakan untuk pengawetan mayat
zaman mesir kuno. Rasulullah SAW selalu menggunakan madu untuk mengobati
berbagai penyakit. seperti sabdaNya :
“Manfaatkanlah dua jenis penyembuhan; madu dan Al-Qur’an”
Firman Allah SWT dalam surat An Nahl ayat 68-69. Bahwa dalam madu
terdapat obat yang menyembuhkan manusia. “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada
lebah; “ buatlah sarang-sarang di bukit-bukit dan ditempat-tempat yang dibuat
manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan
tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu)”. Dari perut lebah
itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya
1
2
terdapat obat yang menyembuhkan manusia. Sesungguhnya pada yang demikian
terdapat tanda-tanda bagi orang yang memikirkan”
Madu adalah cairan kental dan cairan alami yang dihasilkan oleh lebah
madu (genus apis), yang berasal dari nektar bunga. Madu memiliki sifat
antimikiroba atau antibakteri. yang memiliki aktivitas senyawa antibakteri
terutama pada bakteri Gram positif, yakni bakteri Staphylococcus aureus. Sifat
madu sebagai antibakteri juga dapat mengeliminasi flora-flora normal dengan
kadar yang berlebih pada kulit dan mukosa tubuh. Berdasarkan hasil peneliti
(Komara 2002),
Bakteri kelompok Staphylococcus merupakan bakteri Gram positif yang
dapat menyebabkan berbagai penyakit. Lebih dari 30 jenis Staphylococcus yang
dapat menginfeksi manusia dan dari jenis tersebut yang paling banyak
menginfeksi adalah Staphylococcus aureus. Bakteri Staphylococcus aureus dapat
mengakibatkan infeksi pada kerusakan kulit atau luka pada organ tubuh karena
bakteri akan mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh. Bakteri masuk ke
peredaran darah bakteri dapat menyebar ke organ lain dan menyebabkan infeksi,
seperti pneumonia, infeksi pada katup jantung yang memicu pada gagal jantung,
radang tulang, bahkan dapat menyebabkan shock yang dapat menimbulkan
kematian. Pada kasus keracunan makanan akibat terkontaminasi Staphylococcus
aureus dapat menimbulkan penyakit diare, muntah-muntah dan dehidrasi yang
gejalanya baru timbul kira-kira 1-6 jam setelah mengkonsumsi makanan yang
terkontaminasi. Kasus diare tersering selain keracunan makanan yang disebabkan
oleh Staphylococcus aureus yaitu infeksi saluran pencernaan penyebab
terseringnya yaitu Escherichia coli. (Stroppler, 2008).
Manfaat madu yang sedemikian besar telah mendorong para ilmuwan
untuk meneliti khasiat madu secara ilmiah. Penelitian tentang pemanfaatan produk
lebah madu dimulai sejak tahun 1922 oleh Prof. R. Chauvin dari Universitas
Sorbone, Perancis (Apiari Pramuka, 2003 dalam Peri, 2004). Penelitian-penelitian
selanjutnya mengenai manfaat madu banyak dilakukan dan berhasil menguraikan
berbagai manfaat madu, salah satunya itu untuk menyembuhkan jenis penyakit
3
antioksidan, antiinflamasi. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukan
bahwa madu dapat digunakan sebagai antimikroba pada luka termasuk luka pasca
operasi. Penelitian yang dilakukan terhadap pasien pasca operasi pada luka yang
tidak berhasil disembuhkan oleh antibiotik intravena,dengan mengoleskan madu
5-10 ml dua kali sehari memperlihatkan terjadinya penyembuhan luka pada 5 hari
pemakaian (Vardi dkk,1998).
Langkah pengobatan untuk penyakit infeksi ini adalah dengan pemberian
agen antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan dan atau membunuh
mikroba yang menginfeksi. Agen antimikroba telah banyak ditemukan sekarang
ini, tetapi beberapa diantaranya menjadi tidak efektif digunakan karena banyaknya
mikroba yang resisten dan efek sampingnya sangat merugikan penderita (Soemiati
dkk, 2007). Oleh karena itu pencarian antimikroba baru yang lebih efektif dan
aman menjadi perlu untuk terus dilakukan, terutama yang berasal dari bahan alam
contohnya yaitu madu.
Maka dengan adanya bahan yang alami yaitu madu yang salah satu
kandungannya dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba yang
menginfeksi, maka perlu dilakukan penelitian untuk menjadi dasar ilmiah
penggunaan madu sebagai obat antibakteri melalui pengujian pengaruh madu
terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli untuk melihat dari
aktivitas madu sebagai antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli.
I.2
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana aktivitas pemberian madu sebagai antibakteri terhadap bakteri
Staphylococcus aureus?
2. Bagaimana aktivitas pemberian madu sebagai antibakteri terhadap bakteri
Escherichia coli?
3. Pada konsentrasi berapa madu memiliki aktivitas daya hambat
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli?
4
4. Apakah terdapat perbedaan aktivitas pemberian madu sebagai antibakteri
terhadap bakteri Staphylococcus aureus (bakteri Gram positif) dengan
Escherichia coli (bakteri Gram negatif)?
I.3
HIPOTESIS MASALAH
Madu memiliki efektivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli. Semakin tinggi konsentrasi madu semakin besar
efektivitas madu sebagai antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
tersebut.
I.4.
TUJUAN PENELITIAN
1.4.1. Tujuan Umum
Mengetahui efektivitas madu sebagai antibakteri
1.4.2. Tujuan Khusus

Mengetahui efektivitas pemberian madu terhadap antibakteri

Mengetahui perbedaan efektivitasnya pemberian madu pada
bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

Mengetahui mekanisme madu terhadap inhibisi mikroba

Mengetahui konsentrasi tepat pemberian madu sebagai antimikroba
atau antibakteri
I.5
MANFAAT PENELITIAN
Untuk masyarakat: menjadi sumber informasi bagi masyarakat tentang
pengaruh penggunaan madu untuk kehidupan sehari-hari.
5
Untuk institusi: hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar
untuk penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh pemberian madu sebagai
antibakteri.
Untuk peneliti: untuk menambah pengetahuan dan wawasan, sebagai
prasyarat untuk menempuh jenjang pendidikan klinik Program Studi Pendidikan
Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP
2.1
TINJAUAN PUSTAKA (LANDASAN TEORI)
2.1.1 MADU
Madu adalah larutan gula dengan saturasi tinggi yang dihasilkan
oleh lebah. Lebah madu (genus apis) mengumpulkan cairan dari sari
bunga yang disebut nektar dan di bawa ke sarang lebah. Di dalam sarang,
lebah madu menambahkan enzim ke nectar dan menempatkannya dalam
wadah hexagonal yang mematangkan menjadi madu (selama pematangan
enzim terjadi perubahan molekul gula). (Komara, 2002)
Madu tersusun atas beberapa molekul gula seperti glukosa dan
fruktosa serta sejumlah mineral dan vitamin. Dibawah ini adalah
kandungan umum madu murni terdiri dari air (17,0%), fruktosa (38,5%),
glukosa (31,5%), maltosa (7,2%), karbohidrat (4,2%), sukrosa (1,5%),
enzim, mineral, vitamin (0,5%), energi kalori/100 gram (294,0%). Selain
itu, madu juga memiliki aktivitas senyawa antibakteri terutama pada
bakteri Gram positif, yakni bakteri Staphylococcus aureus dan B. cereus.
(Komara, 2002)
Madu diteliti oleh beberapa ahli dalam hal mengobati infeksi yang
disebabkan oleh bakteri maupun jamur. Kemampuan madu sebagai
antibaktreri diduga menurut molan (1992 dan 1995 ), White,dkk, (1964),
Wootton dkk, (1997, dan Tan dkk, (1989) antara lain : Madu mempunyai
osmolaritas yang tinggi, kandungan hydrogen peroksida. pH yang rendah,
aktivitas air yang rendah. (Ika puspitasari, 2007)
1. Madu Sebagai Osmolaritas Yang Tinggi
Madu memiliki efek osmotik yaitu memiliki osmolaritas yang
cukup untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Madu merupakan cairan
6
7
yang mengandung glukosa dengan saturasi yang tinggi yang mempunyai
interaksi yang kuat terhadap molekul air. Kekurangan kadar air dapat
menghambat pertumbuhan bakteri. Dari penelitian telah ditemukan bahwa
luka yang terinfeksi dengan Staphylococcus aureus dan diberi madu luka
menjadi steril. (Ika puspitasari, 2007)
Kandungan antibakterial madu pertama kali dikenalkan oleh Van
Ketel tahun 1982. Hal ini diasumsikan bahwa efek osmotik dihasilkan oleh
kandungan gula yang tinggi di dalam madu. Madu, seperti larutan gula
lainnya; syrup, memiliki osmolaritas yang cukup untuk menghambat
bakteri. Madu juga telah menunjukkan pada luka yang terinfeksi
Staphylococcus aureus dapat dengan cepat diubah menjadi steril atau
dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri. (Ika puspitasari, 2007)
Bukti kandungan antibakteri pada madu meningkat bila diencerkan
setelah diteliti dan dilaporkan pada tahun 1919. Penjelasan ini berasal dari
penelitian bahwa madu mengandung enzim yang memproduksi hydrogen
peroksida ketika diencerkan. (Ika puspitasari, 2007)
2. Kandungan Hidrogen Peroksida
Hidrogen peroksida dikenal sebagai sumber utama kemampuan
antibakteri dari madu seperti yang diteliti oleh White dkk. (1963).
Hidrogen peroksida dihasilkan dari reaksi enzim glukosa oksidase
(glukosidase) dalam madu, khususnya glukosa, dengan adanya enzim
tersebut akan mengalami reaksi diubah menjadi asam glukonat dan
hidrogen peroksida. (Ika puspitasari, 2007)
GLUKOSA + H20 + O2 --------enzim glukosidase-------- asam glukonat
+ H2O2 (Hidrogen Peroksida)
Enzim glukosidase dalam madu akan bekerja secara maksimal
dengan adanya air. Dengan demikian, untuk meningkatkan kemampuan
madu sebagai antibakteri, diperlukan kadar madu yang tidak terlalu pekat.
Hidrogen peroksida yang dihasilkan dari reaksi glukosa dalam madu
8
dengan air akan sangat rendah sekitar 1mmol/liter madu. Sementara dalam
pemakaian, hidrogen peroksida dalam medis berkisar 3% berat pervolume.
Karena itu, tidak perlu dikhawatirkan akan rusaknya jaringan dalam tubuh
akibat terlepasnya hidrogen peroksida dari madu tersebut. Panas yang
tinggi diatas 50⁰c akan merusak enzim glukosidase dalam madu. Oleh
karena itu, sebagai antibakteri, madu tidak boleh dipanaskan terlalu tinggi.
(Ika puspitasari, 2007)
Meskipun kadar hidrogen peroksida sangat rendah namum masih
efektif sebagai antimikroba. Hal ini telah dilaporkan bahwa hidrogen
peroksida lebih efektif bila diberikan secara terus menerus. Sebuah
penelitian pada Escherichia coli untuk mengetahui aliran hidrogen
peroksida yang ditambahkan secara konstan, menunjukkan bahwa
pertumbuhan bakteri dapat dihambat oleh 0,02 – 0,05 mmol/l hidrogen
peroksida, konsentrasi tersebut tidak merusak sel fibroblast pada kulit
manusia. (Ika puspitasari, 2007)
3. pH yang Rendah
Madu memiliki pH yang asam, yakni berkisar 3,2-4,5. Keasaman
yang rendah merupakan penghambat yang efektif terhadap pertumbuhan
bakteri, baik di kulit maupun di saluran lain dalam tubuh. (Ika puspitasari,
2007)
4. Aktivitas Air yang Rendah
Aktivitas air pada madu sebesar 0,562-0,62. Secara umum bakteri
tidak akan tumbuh pada media yang memiliki aktivitas air yang rendah.
Tetapi bakteri Staphylococcus aureus masih bisa hidup pada media yang
memiliki aktivitas air dibawah 0,86. Penelitian yang dilakukan oleh Molan
tahun 1996 menemukan pada konsentrasi tertentu, ternyata madu mampu
menekan pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.
Selain adanya
aktivitas air yang rendah, kemungkinan besar adanya kandungan senyawa
lain dalam madu ikut serta berperan dalam kemampuan madu sebagai
9
antibakteri, khususnya terkait dengan Staphylococcus aureus. (Ika
puspitasari, 2007)
2.1.2 STAPHYLOCOCCUS AUREUS
Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri flora normal
yang ada pada tubuh manusia. Tempat predileksi yaitu pada mulut.
Staphylococcus aureus ini dapat berubah menjadi patogen apabila
jumlahnya sudah melebihi kadar normalnya yaitu lebih dari 105 dan
apabila
bakteri
tersebut
tidak
tinggal
di
tempat
predileksinya.
Staphylococcus aureus adalah sel sferis Gram-positif, biasanya tersusun
dalam kelompok seperti anggur yang tidak teratur. Staphylococcus tumbuh
dengan baik di beberapa medium dan aktif secara metabolik, melakukan
fermentasi karbohidrat dan menghasilkan pigmen yang bervariasi dari
putih hingga kuning tua. (Jawetz, 2008)
Morfologi dan Klasifikasi (Binomial Staphylococcus aureus Rosenbach
1884 ) adalah :
Domain: Bacteria
Kingdom: Eubacteria
Phylum: Firmicutes
Kelas: Bacilli
Order: Bacillales
Family: Staphylococcaceae
Genus: Staphylococcus
Spesies: Staphylococcus aureus
Ciri khas kuman ini berbentuk bola dengan diameter 0,1 µm.
pengecatan Gram Staphylococcus aureus menunjukkan kokus Gram
positif yang tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur atau seperti
anggur. Kokus tunggal, berpasangan, tetrad dan bentuk rantai juga tampak
dalam biakan cair. Kokus muda memberikan pewarnaan Gram-positif
yang kuat; akibat penuaan, banyak sel yang menjadi Gram-negatif.
Staphylococcus tidak motil dan tidak membentuk spora. (Stroppler, 2008)
10
Genus Staphylococcus sedikitnya memiliki 30 spesies diantaranya
Staphylococcus aureus bersifat koagulase-positif, yang membedakannya
dari spesies lain. Staphylococcus aureus adalah patogen utama pada
manusia yang paling banyak menginfeksi. Hampir semua orang pernah
mengalami infeksi Staphylococcus aureus dalam hidupnya, dengan derajat
keparahan beragam, dari keracunan makanan atau infeksi kulit ringan
hingga infeksi berat yang mengancam jiwa. (Jawetz, 2008)
Biakan Staphylococcus aureus tumbuh dengan baik pada berbagai
media bakteriologi di bawah suasana aerobik dan mikroaerobik. Tumbuh
dengan cepat pada temperatur 37°C, pembentukan pigmen yang terbaik
adalah pada temperatur kamar (20-35°C). pH optimal untuk pertumbuhan
yaitu 7,4. Media untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus umumnya
mengandung asam amino dan vitamin-vitamin seperti thereonin, asam
nikotinat, dan biotin. Koloni pada media padat berbentuk bulat, lembut,
dan mengkilat sedangkan pada pembenihan kaldu misalnya ditemukan
tersendiri atau tersusun sebagai rantai pendek. Staphylococcus aureus
biasanya membentuk koloni abu-abu hingga kuning tua kecoklatan. media
yang sering digunakan untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus yaitu
MSA (Mannitol Salt Agar). (Usman Suwandi. 1999)
Mannitol Salt Agar Medium
Media dan morfologi mikroorganisme
Mikroorganisme
Jenis Media
Staphylococcus aureus Mannitol Salt Agar (MSA)
Karakteristik
Kuning dengan zona kuning
Mempunyai kandungan garam cukup tinggi.
Staphylococcus
aureus cukup tahan terhadap garam tinggi, sehingga dapat tumbuh dengan
warna kuning keemasan dan mediapun berubah menjadi kuning. Dengan
demikian media ini sudah sangat selektif dan mampu menumbuhkan
Staphylococcus aureus. (Usman Suwandi. 1999)
11
Struktur Antigen
Staphylococcus mengandung polisakarida antigenik dan protein
serta substansi penting lainnya dalam struktur dinding sel. Peptidoglikan,
polimer
sakarida,
yang
mangandung
subunit-subunit
terangkai,
merupakan eksoskelet yang kaku pada dinding sel. Peptidoglikan
dihancurkan oleh asam kuat atau pajanan terhadap lisozim. Peptidoglikan
memicu produksi interleukin-1 (pirogen endogen) dan antibodi opsonik
oleh monosit, dan dapat menjadi chemoattractant untuk leukosit
polimorfonuklear, yang memiliki aktivitas mirip endotoksin, dan
mengaktifkan komplemen. (Jawetz, 2008)
Asam teikoat, yang merupakan polimer gliserol ribitol fosfat,
berhubungan dengan petidoglikan dan dapat menjadi antigenic. Beberapa
strain Staphylococcus aureus mampu menghasilkan Staphyloxanthin
adalah sebuah karotenoid pigmen yang berperan sebagai faktor virulensi.
Pigmen ini memiliki antioksidan yang membantu untuk menghindari
pembunuhan mikroba dengan reaktif oksigen yang digunakan oleh sistem
kekebalan tubuh inang. Diperkirakan bahwa Staphyloxanthin bertanggung
jawab untuk 'karakteristik warna keemasan. Ketika membandingkan strain
normal Staphylococcus aureus dengan regangan dimodifikasi untuk
kekurangan warna kuning, ketegangan yang berpigmen lebih mungkin
bertahan hidup terhadap oksidasi kimia seperti hidrogen peroksida.
(Jawetz, 2008)
Enzim dan Toksin
Staphylococcus
dapat
menyebabkan
penyakit
baik
melalui
kemampuannya berkembang biak dan menyebar luas di jaringan serta
dengan menghasilkan berbagai substansi ekstraselular. Beberapa substansi
tersebut adalah enzim, dan yang lainnya disebut toksin, tetapi dapat
berfungsi sebagai enzim. Banyak dari enzim tersebut dibawah kontrol
genetik
plasmid,
beberapa
dengan
kontrol
kiromosomal
ekstrakromosomal, dan mekanisme genetik lainnya. (Jawetz, 2008)
dan
12

Katalase
Staphylococcus menghasilkan katalase, yang mengubah hidrogen
peroksida menjadi air dan oksigen. (Jawetz, 2008)

Koagulase dan Faktor Penggumpal
Staphylococcus aureus menghasilkan koagulase, suatu protein
yang dapat menggumpalkan plasma yang mengandung oksalat dan
sitrat. Koagulase berikatan dengan protrombin; bersama-sama keduanya
menjadi aktif secara enzimatik dan menginisiasi polimerase fibrin.
Koagulase dapat menyimpan fibrin pada permukaan Staphylococcus,
mungkin mengubah ingestinya oleh sel fagositik atau destruksi
Staphylococcus dalam sel-sel tersebut. Memproduksi koagulase
dianggap sama dengan memiliki potensi patogen yang invasif. Faktor
penggumpal adalah kandungan permukaan Staphylococcus aureus yang
berfungsi melekatkan organisme ke fibrin atau fibrinogen. Bila berada
dalam plasma, Staphylococcus aureus membentuk gumpalan. Faktor
penggumpal berbeda dengan koagulase. (Jawetz, 2008)

Enzim Lain
Enzim-enzim lain yang dihasilkan Staphylococcus antara lain
adalah
hialuronidase,
atau
faktor
penyebar,
Staphylokinase
menyebabkan fibrinolisis tetapi bekerja jauh lebih lambat daripada
Streptokinase; proteinase; lipase, dan β-laktamase. (Jawetz, 2008)

Eksotoksin
α-toksin merupakan protein hematogen yang bekerja dengan
spektrum luas pada membran sel eukariot. α-toksin merupakan
hemolisin yang kuat. β-toksin dapat menguraikan sfingomielin sehingga
toksik untuk berbagai sel, termasuk sel darah merah manusia. γ-toksin
melisiskan sel darah merah manusia dan hewan. δ–toksin bersifat
heterogen dan terurai menjadi beberapa subunit pada detergen nonionik.
Toksin tersebut mengganggu membran biologik dan dapat berperan
pada penyakit diare akibat Staphylococcus aureus. (Jawetz, 2008)
13

Leukosidin
Toksin Staphylococcus aureus ini memiliki dua komponen.
Leukosidin dapat membunuh sel darah putih manusia dan kelinci.
Kedua komponen tersebut bekerja secara sinergis pada membran sel
darah putih membentuk pori-pori dan meningkatkan permeabilitas
kation. (Jawetz, 2008)

Toksin Eksfoliatif
Toksin epidermolitik Staphylococcus aureus ini memiliki dua
protein yang berbeda dengan berat molekul yang sama. Toksin
epidermolitik A adalah produk kromosomal dan tahan panas. Toksin
epidermolitik B diperantai plasmid dan tidak yahan panas. Toksin
epidermolitik
menyebabkan
deskuamasi
Staphylococcal
scalded
syndrome.
skin
generalisata
Toksin-toksin
pada
tersebut
merupakan super antigen. (Jawetz, 2008)

Toksin Sindrom-syok-toksik
Sebagian besar strain Staphylococcus aureus yang diisolasi dari
pasien syok toksik menghasilkan toksin sindrom-syok-toksik-1 (TSST1), yang serupa dengan enterotoksin F. TSST-1 merupakan superantigen
prototipikal, berikatan dengan MHC kelas II, menstimulasi sel T.
Toksin ini menyebabkan demam, syok, dan toksik. (Jawetz, 2008)

Enterotoksin
Terdapat berbagai enterotoksin (A-E, G-I, K-M), sekitar 50%
Staphylococcus aureus dapat menghasilkan satu enterotoksin tahan
terhadap panas dan resisten terhadap enzim usus. Enterotoksin
dihasilkan bila Staphylococcus aureus tumbuh di makanan yang
mengandung protein dan karbohidrat. Ingesti 25 µg enterotoksin B
dapat menyebabkan diare. (Jawetz, 2008).
14
2.1.3 ESCHERICHIA COLI
Escherichia
merupakan
order
dari
Enterobacteriaceaea.
Enterobacteriaceaea adalah suatu famili kuman yang terdiri dari sejumlah
besar spesies bakteri yag erat hubungannya satu dengan yang lainnya.
Hidup di usus besar manusia dan hewan, tanah, air dan dapat pula
ditemukan dekomposisi material. Karena hidupnya yang pada keadaan
normal di dalam usus besar manusia, kuman ini sering disebut kuman
enterik atau basil enterik. (Karsinah, dkk. 1994)
Sifat biokimiawi dari kuman enterik kompleks dan bervariasi. Pada
suasana anaerob atau kadar O2 rendah terjadi reaksi fermentasi yang cukup
terjadi siklus asam trikarboksilat dan transport elektron untuk bentukan
enersi. (Karsinah, dkk. 1994)
Macam- macam perbenihan yang dipakai untuk isolasi kuman enterik :
(Karsinah, dkk. 1994)
1. Diferensial:
Agar MacConkey, agar eosin Methylin lue, Agar Desoxycholate. Pada
perbenihan ini hampir semua kuman enterik dapat tumbuh.
2. Selektif :
Agar Salmonella-Shigella, agar Desoxycholate citrat. Perbenihan ini
khusus untuk mengisolasi kuman usus patogen
3. Persemaian :
Kaldu GN, kaldu selenit, kaldu tetrahionat. Kuman usus patogen lebih
subur.
Escherichia
coli
merupakan
Gram
negatif,
habitatnya
di
lingkungan akuatik, tanah, makanan, air seni, dan tinja, dan bersifat
sebagai patogen. Dinding selnya mengandung peptidoglikan dan asam
15
teikhoat, selalu berpasangan membentuk rantai pendek. (Karsinah, dkk.
1994)
Kuman berbentuk batang pendek (kokobasil), Gram negatif,
ukuran 0,4-0,7 µm x 1,4 µm sebagian besar gerak positif dan beberapa
strain mempunyai kapsul. (Jawetz, 2008)
Morfologi dan Klasifikasi Escherichia coli (Karsinah, dkk. 1994)
Domain
: Bacteria
Kingdom
: Bacteria
Phylum
: Proteobacteria
Kelas
: Gamma proteobacteria
Order
: Enterobacteriales
Family
: Enterobacteri aceae
Genus
: Escherichia
Spesies
: Escherichia coli
Daya tahan kuman
Kuman enterik tidak membentuk spora, mudah dimatikan dengan
desinfektan antibakteri. (Karsinah, dkk. 1994)
Stuktur dinding sel
Dinding sel kuman terdiri dari lapisan murein,lipoprotein,
fosfolipid, protein dan lipopolisakarida. Lapisan murein-lipprotein
membentuk 20% dari total dinding sel dan bertanggung jawab terhadap
celullar rigidity, stuktur ini menyerupai jala/net, terdiri dari rantai N-asetil
glukosamin berikatan kovalen dengan asam N-asetil muramat melalui
ikatan B1-4 glikosida. Lapisan fosfolipid, protein dan lipopolisakarida
membentuk 80%^ dari dinding sel. Komponen utama yang terpenting dari
dinding sel adalah lipopolisakarida, tersiri dari rantai polisakarida yang
16
spesifik, menentukan sifat antigenik da aktivitas endotoksin. (Karsinah,
dkk. 1994)
Stuktur antigen
Katerisasi antigen berperan penting dalam epidemiologi dan
klasifikasi. Komponen utama sel bakteri adalah : antigen somatik (O),
antigen flagel (H), dan antigen kapusl (K). (Karsinah, dkk. 1994)
Antigen kapsul
Terdiri dari polisakarida, bila dipanaskan 60°C selama satu jam
kapsul akan rusak. Antigen ini dapat menghalangi/ menghambat reaksi
aglutinasi antigen O dengan antiserumnya yang homolog. (Karsinah, dkk.
1994)
Antigen flagel
Terdiri dari protein (Karsinah, dkk. 1994)
Antigen somatik
Terdiri dari lipopolisakarida yang dapat dibedakan dalam 3 regio.
(Karsinah, dkk. 1994)
-
Regio 1 :
Merupakan polimer dari unit oligosakarida yang spesifik, tersusun dari 3-4
monosakarida yang berulang. Perbedaan- perbedaan ini dipakai untuk
identifikasi, misalnya subgruping serologik terhdap kuman- kuman
Salmonella, Shigella dan Escherichia.
-
Regio 2 :
Regio ini melekat pada regio 1, terdiri dari inti polisakarida, yang
dibedakan dalam inti dalam terdiri dari 2 keto-3 deoksitinat, heptosa,
17
fosfat, pirofosfat dan inti luar terdiri dari heksosa : glukosa, galaktosa dan
N-asetil gluamin.
-
Regio 3 :
-
Regio ini melekat pada regio 2, terdiri dari lipid A, yang merupakan
bagian molekul yang toksik.
Faktor-faktor patogenitas
 Antigen permukaan
Pada Escherichia coli paling tidak terdapat 2 tipe fimbrae yaitu :
a. Tipe manosa sensitif (pili)
b. Tipe manosa resisten
Kedua tipe fimbrae ini penting sebagai colonization factor, yaitu
untuk perlekatan sel kuman pada sel/jaringan. (Pelczar, 2006)
 Enterotoksin
Ada 2 macam enterotoksin yang telah berhasil diisolasi dari
Escherichia coli :
a. Toksin LT (Termolabil)
b. Toksin ST (Termostabil)
Produksi kedua macam toksin diatur oleh plasmid yang mampu pindah
dari satu sel kuman ke sel kuman lainnya. Terdapat 2 macam plasmid :
(Pelczar, 2006)
-
1 plasmid mengkode pembentukan toksin LT dan ST
-
1 plasmid lainnya mengatur pembentukan toksin ST saja.
Seperti toksin kolera, toksin termolabil bekerja merangsang enzim
adenil siklase yang terdapat di dalam sel epitel mukosa usus halus,
menyebabkan peningkatan aktivitas enzim enzim tersebut terjadinya
peningkatan permeabilitas sel epitel usus. Sehingga terjadi akumulasi
cairan di dalam usus dan berkahir dengan diare. (Pelczar, 2006)
Toksin ST bekerja dengan cara mengaktivasi enzim guanilat siklase
menghasilkan siklik guanosin monofosfat, menyebabkan gangguan
absorpsi klorida dan natrium, selain itu ST menurunkan motalitas usus
halus. (Pelczar, 2006)
18

Hemolisin
Peranan hemolisisn ada infeksi oleh Escherichia coli tidak jelas
tetapi strain hemolitik Escherichia coli ternyata lebih patogen daripada
strain yang nonhemolitik. (Pelczar, 2006)
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Organisme

Faktor Kimia
1. Nutrien
Mikroba membutuhkan karbon yang didapat dari sejumlah reaksi
biosintesis dan menghasilkan lebih dari kebutuhannya. Nitrogen
merupakan komponan utama protein dan asam nukleat. Sulfur
merupakan komponen dari banyak substansi organik sel. Fosfor sebagai
komponan ATP, asam nukleat dan sejumlah koenzim komponen dinding
sel, beberapa polisakarida kapsul dan beberapa protein. (Jawetz, 2008)
2. Aerasi
Berbagai organisme obligat aerob, secara khusus membutuhkan
oksigen sebagai penerima hidrogen, beberapa fakultatif, mampu
bertahan hidup secara aerob atau anaerob. Hasil alami metabolisme
aerob adalah senyawa-senyawa reaktif
hidrogen peroksida dan
superoksida. Dengan adanya unsur besi, dua senyawa tersebut dapat
membentuk radikal hidroksil yang dapat merusak setiap molekul
biologis. (Jawetz, 2008)

Faktor Fisik
1. pH
Sebagian besar organism paling baik tumbuh pada pH 6,0-8,0,
meskipun beberapa bentuk(asidofil) mempunyai pH optimal 3,0 dan
yang lain (alkalifil) mempunyai pH optimal 10,5. (Jawetz, 2008)
2. Temperatur
Spesies mikroba yang berbeda sangat beragam kisaran temperatur
optimalnya untuk tumbuh, berbentuk psycrophylic (mikroba yang
19
menyukai suhu dingin) tumbuh pada temperatur rendah 15-20ºC, bentuk
mesophylic (mikroba yang menyukai suhu sedang) tumbuh terbaik pada
30-37ºC dan kebanyakan thermophylic (mikroba yang menyukai suhu
hangat) tumbuh pada suhu 50-60ºC. kebanyakan organisme adalah
mesophylic, 30ºC adalah suhu optimal untuk berbagai bentuk yang hidup
bebas, temperatur badan inang adalah optimal untuk tumbuh dengan
cepat. (Jawetz, 2008)
Selain berpengaruh pada laju pertumbuhan, temperatur yang
ekstrim dapat membunuh mikroorganisme. Panas yang ekstrim
digunakan untuk sterilisasi, dingin yang ekstrim juga dapat membunuh
mikroba, meskipun tidak aman untuk sterilisasi. Bakteri juga
menunjukkan fenomena yang disebut cold shock, pembunuhan sel-sel
dengan pendinginan cepat. (Jawetz, 2008)

Kekuatan Iotonik dan Tekanan Osmotik
Pada tingkatan yang lebih kecil, faktor-faktor seperti tekanan
osmotik dan konsentrasi garam harus dapat dikontrol. Kebanyakan
organisme, sifat media yang umum sudah cukup memuaskan, tetapi
faktor-faktor ini harus diperhitungkan. Organisme yang membutuhkan
konsentrasi garam tinggi disebut halofilik, yang membutuhkan tekanan
osmotik tinggi disebut osmofilik. (Jawetz, 2008)
Kebanyakan bakteri mampu mentoleransi kisaran tekanan dan
kekuatan ionik eksternal yang besar karena kemampuan bakteri tersebut
untuk mengatur osmolalitas dan konsentrasi ion internal. Osmolalitas
diatur oleh transport aktif ion K+ ke dalam sel. Kekuatan ionik internal
dijaga tetap konstan oleh ekskresi kompensasi poliamin organik putresin
(suatu poliamin organik bermuatan positif). Karena putresin membawa
beberapa muatan positif per molekul, kekuatan ionik dapat sangat
menurun akibat pengaruh dari perubahan kekuatan osmotik yang kecil
saja. (Jawetz, 2008)
20
2.1.5 Metode Difusi Kirby Baurer
Kirby baurer pengujian antibiotik (KB pengujian atau tes
sensitivitas antibiotik
disk difusi) adalah tes yang menggunakan
antibiotik untuk menguji apakah bakteri tertentu rentan terhadap
antibiotik tertentu. KB test juga dapat secara rutin dilakukan untuk
memantau prevalensi bakteri resisten antibiotik, amati tren untuk
mengambil tindakan pencegaham sebagai contoh : pengembangan obat
baru. Jika bakteri yang rentan terhadap antibiotik tertentu wilayah kliring
mengelilingi wafer dimana bakteri tidak mampu tumbuh (disebut zona
inhibisi). (Pelczar, 2006)
Prosedur :
 Menyiapkan kultur murni (18-24 jam) sampel pada media, sesuaikan
kekeruhan sampai setara dengan 0.5 standar Mc Farland kekeruhan.
 Celupkan kapas steril kedalam sampel yang sudah di standarisasi
kekeruhannya berdasarkan 0.5 Mc Farland standar.
 Lalu disebarkan bakteri tersebut pada- Hinton agar- agar Mueller.
 Setelah inkubasi, amati di halaman bakteri (zona hambatan).
 Ukur diameter zona hambatan.
2.2 KERANGKA KONSEP
Pertumbuhan
Escherichia coli
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan menggunakan design studi eksperimen.
3.2
TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium mikrobiologi FKUIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada bulan September hingga Oktober tahun 2010.
3.3
SAMPEL PENELITIAN
Sampel penelitian ini menggunakan bakteri Staphylococcus aureus dan
bakteri Escherichia coli yang diambil dari kultur murni.
3.4
KRITERIA PENELITIAN
3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Media agar yang terdapat bakteri Staphylococcus aureus
2. Media agar yang terdapat bakteri Escherichia coli
3.4.2
Kriteria Eksklusi
1. Media agar yang tidak hanya terdapat bakteri Staphylococcus aureus
2. Media agar yang tidak hanya terdapat bakteri Escherichia coli
3.5. BAHAN PENELITIAN
Bahan- bahan yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian ini adalah
madu hutan sumbawa, suspensi bakteri Staphylococcus aureus, suspense bakteri
21
22
Escherichia coli, manitol salt agar (MSA), Mc Conkey agar, Mueller Hinton
Agar (MHA), NaCl steril, Aquades .
3.6. ALAT PENELITIAN
Alat- alat yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian ini adalah sarung
tangan, tabung reaksi, cawan petri, ose steril, Autoclave, Inkubator , bekker
glass, cakram disk (blank disk) diameter 10 mm, parafilm, bunsen, swab steril,
korek api, sendok, jangka sorong, penggaris
3.7. Variabel dan Definisi Operasional
3.7.1 Variabel penelitian
a. Variabel Bebas
Pemberian madu dengan konsentrasi 25%, 50%, 75%, 100%,
Aquades steril
b.
Variabel Tergantung

Pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus di MSA. Dan
diukur dengan diameter zona hambatan yang terbentuk
dalam millimeter di MHA.

Pertumbuhan bakteri Escherichia coli di endo agar. Dan
diukur dengan berbagai diameter zona hambatan yang
terbentuk dalam millimeter di MHA
1.
Variabel Perancu Terkendali

Suhu inkubasi 37°C

Waktu inkubasi 24 jam

Kepekatan bakteri
23

Waktu perendaman cakram ke dalam madu
3.7.2 Definisi Operasional Variabel
Tabel 2. Definisi operasional
No.
Variabel
Definisi Operasional
Alat
Hasil Ukur
Ukur
Skala
Ukur
Terikat
1
Zona hambatan Daerah
sekeliling
kertas Jangka
dimana
tidak sorong
Staphylococcus
cakram
aureus
ditemukannya pertumbuhan
Diameter
Rasio
zona
hambatan
Staphylococcus aureus
Zona hambatan Daerah
sekeliling
kertas Jangka
Escherichia coli cakram
dimana
tidak sorong
ditemukannya pertumbuhan
Diameter
Rasio
zona
hambatan
Escherichia coli
Bebas
2
Larutan madu
Madu
yang
dilarutkan
dengan
dengan
konsentrasi
sudah ditentukan
sudah Gelas
air ukur
yang
Jumlah
larutan
sesuai
konsentrasi
pada setiap
tabung
Rasio
24
3.8. CARA KERJA
3.8.1. Cara penelitian
Pembuatan larutan madu
dengan konsentrasi 25%,
50%, 75%, 100% dan
aquades sebagai kontrol
Masukan cakram steril
kedalam setiap
konsentrasi larutan madu
dan Aquades
Escherichia coli
Staphylococcus Aureus
Di biakan di Mc Conkey
Agar
Di biakan di MSA
Ambil NaCl steril dimasukan ke dalam gelas ukur lalu ambil masingmasing koloni bakteri disimpan di masing masing gelas ukur yg sdh
tersedia NaCl steril lalu dibandingkan kepekatannya dgn Mc farlan
Letakan ke dalam MHA
Inkubasi 24 jam dengan
suhu 37°c
Lakukan pengamatan
Lihat zona hambatan
Pembuatan suspensi biakan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia
coli
Pengambilan masing-masing bakteri tersebut dengan menggunakan ose,
lalu masing-masing bakteri tersebut diambil sebanyak satu sengkelit kemudian
disebarkan dalam media agar masing-masing, Staphylococcus aureus pada MSA
(Manitol Salt Agar) dan Escherichia coli pada Mc Conkey agar. Lalu bakteri
tersebut dibiakan dan di inkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C.
25
Pembuatan konsentrasi larutan madu
a. Larutan madu dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100%
Madu 25 ml dilarutkan dengan aquades sebanyak 75 ml, madu 50
ml dilarutkan dengan aquades 50 ml, madu 75 ml dilarutkan dengan
aquades 25 ml dan madu 100% tidak perlu dilarutkan dengan aquades.
Lalu semua larutan madu dengan berbagai konsentrasi tersebut dibuat di
dalam bekker glass steril setelah itu bekker glass steril tersebut ditutup
dengan alumunium foil agar tetap steril dan tidak terkontaminasi oleh
mikroorganisme lainnya.
b. Aquades steril
Ambil sedikit aquades steril lalu dipindahkan di bekker glass steril.
Setelah itu bekker glass steril tersebut ditutup dengan alumuniumfoil agar
tetap steril dan tidak terkontaminasi oleh mikroorganisme lainnya..
Uji pengaruh madu terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli
a. Larutan madu dengan konsentrasi 25%
Ambil cakram kosong steril dan masukan kedalam larutan madu
25%, 50%, 75% dan 100% yang masing- masing sudah dilarutkan, tunggu
sekitar 20 menit agar lebih menyerap ke dalam cakram tersebut. Lalu
masing- masing MHA dioleskan bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli yang dimasukan kedalam larutan NaCl steril menurut
standarisasi 0.5 Mc Farland dengan menggunakan swab steril. Tunggu 15
menit lalu ambil cakram yang sudah dimasukan kedalam larutan madu
tersebut kemudian pindahkan kedalam MHA yang sudah dioleskan
masing- masing bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli
dengan menggunakan pinset steril (dibakar terlebih dahulu di atas api
bunsen). Lalu masukan kedalam inkubator selama 24 jam pada suhu 37ºc.
26
b. Larutan Aquades Steril
Ambil cakram kosong steril dan masukan kedalam larutan aquades
steril tunggu sekitar 20 menit agar lebih menyerap ke dalam cakram
tersebut. Lalu MHA dioleskan oleh bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli yang sudah dilarutkan dengan menggunakan NaCl steril
menurut standarisasi 0.5 Mc Farland dengan menggunakan swab steril.
Tunggu sampai 15 menit lalu ambil cakram yang sudah dimasukan
kedalam larutan madu tersebut kemudian pindahkan kedalam MHA yang
sudah dioleskan masing-masing bakteri
Escherichia coli
Staphylococcus aureus dan
dengan menggunakan pinset steril (dibakar terlebih
dahulu di atas api bunsen). Perlakuan selalu dipanaskan terlebih dahulu
diatas api. Lalu dimasukan kedalam inkubator selama 24 jam pada suhu
37ºc.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Analisis Hasil Penelitian
Penelitian ini merupakan uji aktivitas antibakteri, dalam hal ini madu
sumbawa terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Penelitian ini
dilakukan metode difusi menggunakan media MHA. Setelah Staphylococcus
aureus diinokulasikan pada agar MHA, setiap satu agar diberikan tiga cakram,
kontrol negative, dan 2 cakram yang sudah dimasukkan ke dalam larutan bawang
putih dengan kadar yang telah ditentukan. Setelah diinkubasi pada suhu 37°C
selama 24 jam. Aktivitas antibakteri tersebut nampak dengan terbentuknya zona
hambatan yang diukur dengan menggunukan jangka sorong atau penggaris pada
kertas cakram yang dapat dilihat pada tabel 1.
1.
Aktivitas Madu Sebagai Antibakteri Terhadap Bakteri Staphylococcus
aureus
Tabel 1. Hasil pengukuran diameter zona hambatan yang ditimbulkan oleh
madu sumbawa terhadap Staphylococcus aureus
Zona hambatan madu sumbawa (dalam milimeter)
Percobaan
Kontrol
Madu 25%
Madu 50%
Madu 75%
Madu 100%
1
0 mm
8 mm
9 mm
10 mm
11 mm
2
0 mm
8 mm
9 mm
10 mm
11 mm
Total
0 mm
16 mm
18 mm
20 mm
22 mm
Mean
0
8 mm
9 mm
10 mm
11 mm
27
28
Berdasarkan tabel 1 zona hambat yang terbentuk menunjukan adanya
aktivitas antibakteri madu sumbawa terhadap Staphylococcus aureus. Pengamatan
ini menunjukan hasil bahwa pada kelompok larutan madu dengan konsentrasi
25%, 50%, 75% dan 100% menunjukan hasil dengan terbentuk zona hambat yang
berarti bahwa larutan madu dengan konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Dari hasil penelitian
tersebut menunjukan bahwa larutan madu memiliki antibakteri seperti kandungan
hidrogen peroksida, pH yang rendah dan aktivitas air yang rendah (Ika
puspitasari, 2007).
Dari percobaan aktivitas madu sebagai antibakteri terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dilakukan uji statistik untuk melihat signifikasi dari
hasilnya tersebut. Uji statistik ini menggunakan uji Kruskal Wallis.
Hipotesis dalam melakukan uji Kruskal Wallis pada madu hutan sumbawa
terhadap bakteri Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut :
Ho : tidak terdapat perbedaan hasil perlakuan pemberian madu hutan sumbawa
terhadap bakteri Staphylococcus aureus.
H1 : terdapat perbedaan hasil perlakuan pemberian madu hutan sumbawa terhadap
bakteri Staphylococcus aureus. Keputusannya sebagai berikut :
H1 : diterima jika nilai signifikannya < 0.05.
H1 : ditolak jika nilai signifikannya > 0.05.
Tabel 2. Uji Kruskal Wallis zona hambatan madu hutan sumbawa terhadap
Staphylococcus aureus.
Madu Hutan Sumbawa Terhadap Staphylococcus aureus.
Assymp.Sig
Percobaan 1
0.406
Percobaan 2
0.406
29
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Kruskal Wallis, pada tabel 2
terlihat bahwa dari hasil perlakuan madu hutan sumbawa terhadap Staphylococcus
aureus yang diujikan memiliki nilai signifikansi yang lebih besar dari 0.05 yaitu
0.406. berdasarkan hasil tersebut, disesuaikan dengan hipotesis bahwa tidak
terdapat perbedaan hasil perlakuan pemberian madu hutan sumbawa terhadap
bakteri Staphylococcus aureus. Hal ini dikarenakan kurangnya sampel untuk
melakukan penelitian ini, perbedaan zona hambat yang terjadi antara setiap
konsentrasi jarak hanya berbeda sedikit.
2.
Aktivitas Madu Sebagai Antibakteri Terhadap Bakteri Escherichia coli
Tabel 3. Hasil pengukuran diameter zona hambatan yang ditimbulkan oleh
madu sumbawa terhadap Escherichia coli.
Zona hambatan madu sumbawa (dalam milimeter)
Percobaan
Kontrol
Madu 25%
Madu 50%
Madu 75%
Madu
100%
1
0 mm
7 mm
9 mm
10 mm
11 mm
2
0 mm
7 mm
9 mm
10 mm
11 mm
Total
0 mm
14 mm
18 mm
20 mm
22 mm
Mean
0 mm
7 mm
9 mm
10 mm
11 mm
Berdasarkan tebel 3 bahwa zona hambat yang terbentuk menunjukan
adanya aktivitas antibakteri madu sumbawa terhadap Escherichia coli. Pada tabel
3 hasil pengamatan ini menunjukan pada kelompok larutan madu dengan
konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% menunjukan hasil dengan terbentuk zona
hambat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dengan
diameter secara berurutan 7, 9, 10, 11 mm. Dari hasil penelitian tersebut
menunjukan bahwa memiliki aktivitas antibakteri yang terkandung dalam madu
30
seperti kandungan hidrogen peroksida, pH yang rendah dan aktivitas air yang
rendah (Ika puspitasari, 2007).
Dari percobaan aktivitas madu sebagai antibakteri terhadap bakteri
Escherichia coli dilakukan pengujian data menggunakan uji statistik untuk
melihat signifikasi dari hasilnya tersebut. Uji statistik ini menggunakan uji
Escherichia coli.
Hipotesis dalam melakukan uji Kruskal Wallis pada madu hutan sumbawa
terhadap bakteri Escherichia coli adalah sebagai berikut :
Ho : tidak terdapat perbedaan hasil perlakuan pemberian madu hutan sumbawa
terhadap bakteri Escherichia coli.
H1 : terdapat perbedaan hasil perlakuan pemberian madu hutan sumbawa terhadap
bakteri Escherichia coli.
Keputusannya sebagai berikut :
H1 : diterima jika nilai signifikannya <0.05.
H1 : ditolak jika nilai signifikannya >0.05.
Tabel 4. Uji Kruskal wallis zona hambatan madu hutan sumbawa terhadap
Escherichia coli.
Madu Hutan Sumbawa Terhadap Escherichia coli.
Assymp.Sig
Percobaan 1
0.406
Percobaan 2
0.406
Pada uji statistik dengan menggunakan uji Kruskal Wallis, pada tabel 4
terlihat bahwa dari hasil perlakuan madu hutan sumbawa terhadap Escherichia
coli yang diujikan memiliki nilai signifikansi yang lebih besar dari 0.05 yaitu
31
0.406. berdasarkan hasil tersebut bahwa tidak terdapat perbedaan hasil perlakuan
pemberian madu hutan sumbawa terhadap bakteri Escherichia coli. hal ini
dikarenakan beberapa hal yaitu kurangnya sampel untuk melakukan penelitian ini,
perbedaan zona hambat yang terjadi antara setiap konsentrasi madu yang
membentuk zona hambat hanya sedikit zona hambatnya yang berbeda hanya
sedikit.
4.2.
Pembahasan
Pada penelitian yang telah dilakukan Warsito, dkk (2001) yaitu madu sebagai
antibakteri terhadap Staphylococcus aureus menunjukan bahwa madu dengan
konsentrasi 1% dan 2,5% belum menunjukan hambatan pada media pertumbuhan
sedangkan madu dengan konsentrasi 5%, 10%, 25%, 50% menunjukan diameter
zona hambatan berturut-turut 22,8; 26,9; 28,8; 28,7 mm. Pada penelitian lain yang
telah dilakukan Ta’siah, dkk (2002) pada madu dengan konsentrasi 5%, 10%,
15%, 20%, 25% dan 30% bahwa madu mempunyai daya hambat pada bakteri
Staphylococcus aureus yang dapat dilihat dari zona hambat berturut-turut 0; 1; 1;
1; 2; 3 mm. sementara itu penelitian yang telah dilakukan Cooper, dkk (1999)
menunjukan hasil bahwa madu hutan dan madu campuran memiliki daya hambat
pada bakteri Staphylococcus aureus.
Pada penelitian yang telah dilakukan Lilis, dkk (2004) pemberian madu
terhadap berbagai jenis bakteri patogen, salah satunya adalah bakteri Escherichia
coli juga menunjukan hasil madu memiliki kemampuan daya hambat minimal
pada bakteri Escherichia coli yaitu pada konsentrasi madu 20%. Pada penelitian
lain yang telah dilakukan Ruakyo, dkk (2000) dengan pemberian madu terhadap
bakteri Escherichia coli pada konsentrasi 25% dan 50% menunjukan hasil berupa
daya hambat sebesar 5 mm dan 8 mm dan disimpulkan madu mempunyai manfaat
sebagai antibakteri.
Pada penelitian yang telah saya lakukan melihat efektivitas madu terhadap
bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan konsentrasi yang
lebih pekat lagi yaitu dengan konsentrasi madu 25%, 50%, 75%, 100%. Pada uji
dengan
konsentrasi
tersebut
didapatkan
daya
hambat
madu
terhadap
32
Staphylococcus aureus sebagai berikut 8 mm, 9 mm, 10 mm, 11 mm dan pada
Escherichia coli mendapatkan hasil zona hambat berturut- turut 7 mm, 9 mm, 10
mm, 11 mm. Dari hasil tersebut didapatkan pertambahan konsentrasi madu sejalan
dengan zona hambat bakteri. Zona hambat yang terbentuk ini merupakan salah
satu bukti bahwa madu memiliki sifat antibakteri yaitu kandungan hidrogen
peroksida, pH yang rendah dan aktivitas air yang rendah (Ika puspitasari, 2007).
Madu memiliki aktivitas sebagai antibakteri atau antimikroba karena madu
mempunyai osmolaritas yang tinggi yang mampu menarik air, madu memiliki pH
yang rendah yaitu madu memiliki pH asam yakni berkisar 3,2-4,5. Keasaman pH
yang rendah ini merupakan penghambat yang efektif terhadap pertumbuhan
bakteri. Madu memiliki aktivitas air yang rendah sebesar 0,562-0,62. Secara
umum bakteri tidak akan tumbuh pada media yang memiliki aktivitas air yang
rendah. Selain itu juga madu memiliki fungsi sebagai antibakteri karena dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme melalui senyawa hidrogen peroksida
yang dihasilkan sehingga bakteri sulit untuk berkembang. (Ika puspitasari, 2007).
Pada penelitian daya hambat madu terhadap Escherichia coli didaptkan daya
hambat yang lebih kecil dibandingkan dengan Staphylococcus aureus pada
konsentrasi 25%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan Lilis, dkk
(2004) mendapatkan konsentrasi madu yang lebih kecil 20% juga mempunyai
daya hambat yang kecil. Hal ini dipengaruhi stuktur dinding sel yang dimiliki oleh
masing-masing bakteri berbeda. Bakteri Staphylococcus aureus merupakan
bakteri Gram positif yang memiliki struktur dinding sel yang relatif sederhana
dibandingkan dengan bakteri Gram negatif (Bibiana, 1992). Escherichia coli
adalah bakteri Gram negatif yang memiliki
struktur dinding sel yang lebih
kompleks dan berlapis tiga, yaitu lapisan luar yang berupa lipoprotein, lapisan
tengah yang berupa peptidoglikan yang tebal dan lapisan dalam lipopolisakarida
(Pelczar, 1988). Struktur dinding sel bakteri Gram positif yang lebih sederhana
tersebut memudahkan senyawa antibakteri untuk
masuk ke dalam sel dan
menemukan sasaran untuk bekerja. Sedangkan dinding sel yang kompleks
menimbulkan hambatan bagi senyawa bioaktif seperti madu untuk menembus
membran sel bakteri, sehingga Escherichia coli kurang peka terhadap senyawa
33
bioaktif tersebut, hal ini dapat dilihat dari perbedaan lebar zona hambat antara
bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Tetapi pada hasil penelitian
ini dengan konsentrasi lain (50%, 75% dan 100%) tidak terdapat perbedaan zona
hambat yang terbentuk antara bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia
coli. Hal ini kemungkinan karena tekhnik yang digunakan kurang tepat,
kandungan madu yang memiliki sifat sebagai antibakteri yang terdapat di madu
tersebut belum optimal.
Pada penelitian yang telah saya lakukan didapatkan hasil zona hambat 7-11
mm, menurut klasifikasi Greenwood tahun 1995 membagi berdasarkan luas zona
hambat yang terbentuk terhadap respon daya hambat bakteri, maka hasil
penelitian ini termasuk ke dalam golongan daya hambat yang lemah.
Pada penelitian ini setelah dilakukan uji statistik, didapatkan bahwa tidak ada
pengaruh yang signifikan pemberian madu terhadap bakteri Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli. Hal ini mungkin disebabkan oleh beragam faktor
salah satunya karena konsentrasi madu yang digunakan hanya 4 konsentrasi dan
dilakukan secara duplo. Untuk penelitian lebih lanjut sebaiknya dilakukan dengan
5 konsentrasi dengan konsentrasi yang lebih rendah dan dengan 3 kali
pengulangan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan terhadap hasil penelitian yang
diperoleh, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.
Pengaruh konsentrasi madu 25%, 50%, 75% dan 100% terhadap
bakteri Staphylococcus aureus menghasilkan zona hambat sebesar
8; 9; 10; 11 mm.
2.
Pengaruh konsentrasi madu 25%, 50%, 75% dan 100% terhadap
bakteri Escherichia coli menghasilkan zona hambat sebesar 7; 9;
10; 11 mm.
3.
Pengaruh pemberian konsentrasi madu terhadap Staphylococcus
aureus (Gram positif) memiliki zona hambat yang sama dengan
Escherichia coli (Gram negatif)
4.
Hasil uji statistik dengan Kruskal wallis tidak terdapat perbedaan
yang
nyata
pemberian
madu
hutan
sumbawa
terhadap
Staphylococcus aureus dan pada Escherichia coli.
5.2.
SARAN
1.
Perlu dilakukan penambahan sampel dan pengulangan
2.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan
berbagai jenis macam madu ataupun dengan jenis bakteri lainnya.
34
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Banq dkk, 2003, The effect of dilution on the rate of hydrogen peroxide production in honey
and its implications for wound healing, J Altern Complement Med. 9(2):267-73,
http://www.ncbi.nlm.nih.g ov, diakses tanggal 12 Juli 2009.
Cooper , R.A et al. 2007. Journal of the royal society of medicine. Antibacterial activity of
honey against strains of stapylococcus aureus from infected wounda
French VM, Cooper RA, Molan PC. 2005. Journal of The Antibacterial of Honey Against
Coagulase-
Negative
Staphylococci.
Oxfordjournal.
http://jac.oxfordjournals.org/cgi/content/full/56/1/228 diakses tanggal 01 november 2010
Hendri W, Sani Ep, Yani L. 2008. Uji Aktivitas Antibakteri Madu terhadap Bakteri
Staphylococcus aureus. http://hendriapt.wordpress.com/2008/11/14/uji-aktivitas-antibakterimadu-terhadap-bakteri-staphylococcus-aureus/. Diakses tanggal 01 november 2010
Jawetz et al. 2008. Mikrobiologi kedokteran. Edisi 23. Jakarta : Salemba medika
Lucyana, Suci.2010. Uji Aktivitas Antimikroba Larutan Madu Kapuk dan Madu Hutan
Terhadap Staphylococcus aureus Secara In Vitro dengan Metode Difusi (Skripsi). Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Naional Veteran. 2010
Lucyana, Suci.2009. Uji Aktivitas Antimikroba Larutan Madu dan Gula Pasir Terhadap
Staphylococcus aureus Secara In Vitro dengan Metode Difusi (Skripsi). Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Pembangunan Naional Veteran. 2009
Pelczar MJ. 2006. Dasar- asar Mikrobiologi Jilid 2. Jakarta : UI
Puspitasari, Ika. 2007. Rahasia sehat madu. Yogyakarta : B-First (PT.Bentang Pustaka)
Rosita, 2007, Berkat Madu, Penerbit Qanita, Bandung.
Staff Pengajar UI. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta
35
36
Soekidjo N. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Stroppler,
M.C.,
2008,
Staph
Infection
(Staphylococcus
aureus),
http://www.medicinenet.com/staph_infection/article.html, diakses tanggal 12 Juli 2009.
Suwandi, U., 1999, Peran Media Untuk Identifikasi Mikroba Patogen, Cermin Dunia
Kedokteran No. 124, Grup PT Kalbe Farma, Jakarta
Salam Syamsir, Baequni, Utami dewi. 2006. Modul Metodologi Penelitian. Jakarta : UIN
Jakarta Press
Tonks, A. J., et al. 2003. Honey Stimulates inflammatory cytokine production from
monocytes. Cytokine, 7; 21
Tortora , Funke and case. 2001. Microbiology sventh edition. USA : Addision wesley
longman
Vardi dkk, 1998, Local Application of Honey for Treatment of Neonatal Postoperative
Wound Infection, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9628301, diakses tanggal 17 Mei
2009
WHO.
1999.
Infectious
Diseases
are
The
Biggest
Killer
of
The
Young.
http://www.who.int/infectious-disease-report/index-rpt99.htm diakses tanggal 12 Juli 2009
37
LAMPIRAN
Gambar 1. Biakan bakteri Staphylococcus aureus di MSA
Gambar 2. Biakan bakteri Escherichia coli di Mc-Conkey agar
37
38
Gambar 3. MHA dan MSA
Madu 25 ml diencerkan dengan aquades 75ml
Gambar 5. Larutan madu dengan konsentrasi 25%
Gambar 4. Sediaan Madu Sumbawa
39
Madu 75 ml diencerkan dengan aquades 25 ml
Gambar 7. Larutan madu dengan konsentrasi 75%
Madu 50 ml diencerkan dengan aquades 50 ml
Gambar 6. Larutan madu dengan konsentrasi 50%
Gambar 8. Larutan madu dengan konsentrasi 100%
Gambar 9. Larutan Aquades
40
Gambar 10. Perbandingan berbagai konsentrasi larutan madu (25%, 50%, 75%, 100%) dan
aquades sebagai kontrol
Gambar 11. Zona hambatan larutan madu dengan konsentrasi 25% dan 50% terhadap bakteri
Staphylococcus aureus
41
Gambar 12. Zona hambatan larutan madu dengan konsentrasi 75% dan 100% terhadap bakteri
Staphylococcus aureus
Gambar 13. Zona hambatan larutan madu dengan konsentrasi 25% dan 50% terhadap bakteri
Escherichia coli
Gambar 14. Zona hambatan larutan madu dengan konsentrasi 75% dan 100% terhadap bakteri
Escherichia coli
42
43
44
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Nurul Elliza
Tempat, Tanggal Lahir
: Cirebon, 30 Oktober 1990
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Kewarganegaraan
: Indonesia
Alamat
: Jl. Dr. Cipto Mangunkusumo no.111 Rt/Rw 001/011
Pekiringan Kesambi Cirebon 45131
Email
: [email protected]
Riwayat Pendidikan
:
1. TK Islam Al-Azhar Cirebon
( 1994 – 1996 )
2. SD Islam Al-azhar Cirebon
( 1996 – 2002 )
3. SMP Insan Kamil Bogor
( 2002 – 2005 )
4. SMA Insan Kamil Bogor
( 2005 – 2007 )
Download