Pelaksanaan Manajemen Sarana Pendidikan di

advertisement
MANAJEMEN SARANA PENDIDIKAN SEKOLAH
SEBAGAI PENUNJANG DALAM PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN AGAMA HINDU
Dewasa ini era globalisasi menuntut kesiapan yang lebih matang dalam
segala hal. Bidang pendidikan merupakan salah satu andalan untuk
mempersiapkan sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk menghadapi
tantangan zaman. Persiapan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan
dilakukan sejak dari masa pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Peran sarana
pendidikan sangat penting dalam memperlancar pelaksanaan proses pembelajaran.
Satu sisi harapan yang dibebankan pada dunia pendidikan sangat banyak, tetapi di
sisi lain dunia pendidikan mempunyai banyak masalah yang menghambat dalam
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Salah satu masalah yang
dihadapi oleh sekolah adalah masalah sarana pendidikan.
Masalah-masalah sarana pendidikan yang dihadapi sekolah antara lain
sarana penunjang pendidikan belum sepenuhnya berada dalam kondisi yang
memadai. Hal ini dapat dilihat dari segi kuantitas dan kualitas sarana yang belum
memadai misalnya sarana belajar berupa perangkat komputer yang jumlahnya
belum memadai dibandingkan dengan jumlah pengguna dan juga dari segi
kualitas yang mudah rusak. Belum lagi sarana pembelajaran yang lain seperti
sarana olah raga, sarana laboratorium, sarana penunjang keagamaan, dan lain-lain.
Kondisi yang demikian, selain akan berpengaruh pada ketidaklayakan,
ketidaknyamanan pada proses belajar mengajar, juga akan berdampak pada
keengganan orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah tersebut.
Fasilitas lainnya yang mempengaruhi kualitas pendidikan ialah ketersediaan
sumber belajar seperti buku teks pelajaran atau bahan ajar. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Depdiknas diketahui bahwa secara nasional, ratarata rasio buku per siswa untuk SD adalah 0,80, yang belum menunjukkan rasio
satu siswa satu buku. Padahal buku merupakan sarana belajar yang sangat penting
yang ketiadaannya dapat menghambat pelaksanaan proses belajar mengajar
(http://www.bappenas.go.id/).
Adanya masalah-masalah sarana pendidikan berupa sarana penunjang
pendidikan kurang memadai disebabkan karena pemerintah pusat, provinsi,
kabupaten/kota lebih banyak mengalokasikan sebagian anggaran untuk pos-pos
lain atau Departemen lain, sementara biaya pendidikan yang dianggarkan sebesar
20% hanya sebatas peraturan yang selama ini belum terealisasi. Akibatnya,
pembiayaan untuk sarana pembelajaran, biaya pembelajaran, pengembangan staf,
dan biaya perawatan dan pemeliharaan sarana sekolah masih menjadi kendala
sehingga tidak menunjang upaya peningkatan kualitas dan relevansi. Selain itu
disebabkan oleh variasi antar daerah dan satuan pendidikan mengenai pengeluaran
biaya pendidikan, termasuk dalam pembiayaan untuk gaji dan di luar gaji, masih
menimbulkan potensi ketidakadilan dalam pemerataan kesempatan belajar yang
berkualitas. Pihak sekolah sendiri, masalah sarana pendidikan muncul disebabkan
karena kurang optimalnya perawatan yang dilakukan terhadap sarana pendidikan
yang sudah ada. Kurangnya perawatan terhadap sarana pendidikan yang sudah ada
menyebabkan sarana pendidikan di sekolah banyak yang rusak, sehingga pada
saat akan digunakan sarana tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Manajemen sarana pendidikan sangat penting agar sarana pendidikan dapat
difungsikan dengan baik. Manajemen adalah penggunaan sumber daya secara
efektif untuk mencapai sasaran (Depdiknas, 2001: 708). Dalam konteks sarana
pendidikan, maka manajemen sarana pendidikan dapat diterjemahkan sebagai
proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran
pendidikan. Dengan kata lain, manajemen sarana pendidikan adalah proses
penyelenggaraan pendidikan dengan memanfaatkan sarana pendidikan secara
efektif untuk mencapai tujuan sekolah.
Dalam manajemen sarana pendidikan hal-hal yang dibicarakan dan
dilaksanakan berkaitan dengan lima hal, yaitu penentuan kebutuhan, proses
pengadaan, pemakaian, pencatatan/pengurusan, dan pertanggungjawaban
(Suryosubroto, 2004: 115). Terkait dengan manajemen sarana pendidikan sekolah,
penulis tertarik untuk mengkaji pelaksanaan manajemen sarana pendidikan di
sekolah yang meliputi perabot (misalnya meja, kursi, almari, rak buku, kursi
tamu), peralatan pendidikan (misalnya papan tulis), media pendidikan (misalnya
buku teks/bahan ajar, globe, perangkat komputer), bahan habis pakai (misalnya
kapur tulis dan spidol), serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang
proses pembelajaran khususnya dalam pembelajaran pendidikan agama Hindu.
Pengkajian dibatasi pada sarana-sarana tersebut karena sering digunakan tetapi
manajemennya kurang baik. Pengkajian dilakukan terhadap sarana pendidikan
sekolah karena berdasarkan informasi yang sering dilangsir melalui media cetak
dan media elektronik atau media internet, terdapat banyak masalah manajemen
sarana pendidikan.
Masalah yang ditemukan antara lain tidak ada tahapan penentuan
kebutuhan di sekolah, sehingga sarana yang dimiliki hanya tergantung kepada
kebijakan yang ditetapkan pihak atasan sedangkan pihak atasan sendiri tidak
mengetahui kebutuhan sarana pendidikan di masing-masing sekolah. Hal ini
menimbulkan dampak ada sarana pendidikan yang sangat dibutuhkan tetapi tidak
diberikan, dan ada sarana pendidikan yang sudah ada tetapi justru ditambah dari
pihak atasan.
Dalam hal pengadaan sarana pendidikan juga sering terjadi masalah, yaitu
dalam hal ada suatu kebutuhan sarana pendidikan, tetapi pihak atasan tidak
memberikan sarana tersebut. Di lain pihak kegiatan belajar mengajar dapat
terhambat jika sarana pendidikan itu tidak ada. Hal ini menuntut pihak sekolah
untuk mengadakan sarana pendidikan dengan cara membeli sendiri, padahal dana
untuk itu tidak ada. Hal ini membuat pengadaan sarana pendidikan menjadi
terhambat. Masalah lain adalah pada proses pencatatan/pengurusan. Pencatatan
sangat penting dilaksanakan untuk mengetahui inventarisasi sarana yang ada dan
keadaan sarana itu sendiri. Akan tetapi ada sekolah yang tidak melakukan
pencatatan dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya kartu laporan
untuk sarana pendidikan yang menjadi inventaris sekolah. Ketidakadaan kartu
laporan ini membuat pihak sekolah tidak memiliki data yang valid mengenai
keadaan masing-masing sarana pendidikan. Akibat lebih jauh, pihak atasan tidak
dapat mengetahui dengan jelas kebutuhan masing-masing sekolah sehingga ketika
memberi bantuan sarana pendidikan, belum tentu sesuai dengan kebutuhan
sekolah yang bersangkutan.
Masalah manajemen sarana pendidikan yang juga ditemukan adalah
masalah pertanggungjawaban. Seharusnya semua aspek pelaksanaan manajemen
sarana pendidikan dapat dipertanggungjawabkan, termasuk penghapusan sarana
pendidikan. Akan tetapi dalam prakteknya ternyata sekolah-sekolah, proses
penghapusan itu tidak dilakukan sesuai dengan prosedur. Hal ini tampak dari
kenyataan bahwa barang-barang yang menjadi sarana pendidikan dapat dimiliki
oleh guru atau kepala sekolah tanpa melalui prosedur yang benar. Seharusnya
pemilikan barang tersebut tidak dapat diambil begitu saja, tetapi harus diberikan
kepada instansi atasan Dinas Pendidikan. Oleh instansi atasan, barang tersebut
dapat dilelang atau dapat juga langsung dilimpahkan pengelolaannya kepada
kepala sekolah. Jika sudah diserahkan pengelolaannya kepada kepala sekolah
barulah barang itu boleh dimiliki secara perorangan sesuai dengan kebijakan
kepala sekolah. Akan tetapi dalam prakteknya, biasanya barang yang sudah tidak
dipakai itu langsung diambil begitu saja oleh guru, pegawai, atau kepala sekolah.
Hal ini berdampak pada terjadinya perilaku ingin memiliki barang yang menjadi
sarana pendidikan di antara para guru/pegawai yang ada, sehingga bisa
mengganggu ketersediaan sarana pendidikan di sekolah. Adapun contoh sarana
pendidikan yang diambil alih secara langsung tanpa prosedur yang benar adalah
meja, kursi, laptop, printer, LCD, kamera, dan lain-lain untuk kepentingan sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, dapat teridentifikasi beberapa masalah seperti: sebaran
sarana pendidikan masih kurang merata, banyak sekolah yang belum lengkap
sarana pendidikannya, sarana penunjang pendidikan banyak yang rusak dan
jumlahnya tidak mencukupi, perawatan yang dilakukan terhadap sarana
pendidikan tidak optimal, biaya perawatan dan pemeliharaan sarana sekolah
sangat kecil sehingga tidak menunjang upaya peningkatan kualitas dan relevansi,
dan pelaksanaan manajemen sarana pendidikan masih belum sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Munculnya
masalah-masalah
sarana
pendidikan
sebagaimana
dikemukakan di atas, membuat penulis tertarik untuk mengkaji pelaksanaan
manajemen sarana pendidikan di sekolah dalam rangka menunjang pelaksanaan
pembelajaran pendidikan agama Hindu. Akan tetapi mengingat adanya
keterbatasan waktu, tenaga dan dana, maka tidak mungkin untuk mengkaji semua
masalah yang telah teridentifikasi. Oleh karena itu pengkajian ini akan dibatasi
pada masalah pelaksanaan manajemen sarana pendidikan di sekolah secara umum
yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, bahan habis
pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran pendidikan agama Hindu. Adapun aspek manajemen yang dikaji
meliputi penentuan kebutuhan, proses pengadaan, pemakaian, dan
pencatatan/pengurusan, dan pertanggungjawaban.
Pelaksanaan Manajemen Sarana Pendidikan di Sekolah
Sarana pendidikan adalah semua perangkat peralatan, bahan, dan perabot
yang secara langsung digunakan dalam proses pendidikan di sekolah.Ditinjau dari
fungsi dan peranannya dalam pelaksanaan proses pembelajaran, maka sarana
pendidikan dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: alat pelajaran, alat peraga,
dan media pembelajaran. Gedung sekolah dan alat perabot sekolah tergolong
prasarana pendidikan (Suharsimi dalam Suryosubroto, 2004: 114). Prasarana
pendidikan juga memiliki peranan penting dalam proses pembelajaran, karena jika
prasarana pendidikan tidak memadai akan timbul ketidaknyamanan dalam
melaksanakan proses pembelajaran.
Pengertian tentang alat pelajaran, alat peraga, dan media pembelajaran
kadang-kadang sukar dibedakan. Alat pelajaran adalah alat yang digunakan secara
langsung dalam proses pelaksanaan pembelajaran, seperti buku sumber belajar,
alat tulis, dan alat praktek, Buku sumber belajar merupakan buku teks pelajaran
yang dijadikan sebagai sumber bahan ajar oleh guru dan peserta didik. Buku
sumber bahan ajar berisikan materi-materi pembelajaran untuk pencapaian
kompetensi dasar. Alat tulis merupakan alat tulis menulis yang diperlukan dalam
proses pelaksanaan pembelajaran baik untuk keperluan catat-mencatat oleh siswa
maupun untuk keperluan tulis-menulis di papan tulis untuk penegasan suatu
pokok materi pelajaran, seperti: buku tulis, pulpen, pensil, kapur, spidol, dan
termasuk juga penggaris/mistar, jangka, dan sebagainya. Alat praktek yang
diperlukan dalam pelaksanaan proses pembelajaran tergantung dari jenis mata
pelajaran itu sendiri, misalkan mata pelajaran seni rupa untuk pembelajaran
melukis, maka alat praktek yang diperlukan berupa kanvas, kuas, warna (cat air,
cat minyak, atau pastel), dan sebagainya. Contoh lain pada mata pelajaran
pendidikan agama Hindu misalkan praktek membuat sanggah cucuk, maka alat
praktek yang diperlukan alat pengerjan berupa pisau pengutik, blakas, dan gergaji
sedangkan bahan yang digunakan adalah potongan bambu dan bilahan bambu.
Alat peraga adalah alat bantu pembelajaran yang memberikan pengertian
atau pemahaman terhadap materi pelajaran yang yang bersifat verbal atau yang
konkrit akan tetapi tidak dapat ditunjukkan secara langsung dihadapan peserta
didik. Alat peraga dapat berupa perbuatan-perbuatan, benda-benda konkret, atau
benda-benda tiruan. Alat peraga berupa perbuatan-perbuatan merupakan peragaan
langsung oleh guru atau model untuk memberi kejelasan atau petunjuk terhadap
suatu materi pembelajaran, misalkan guru pendidikan agama Hindu sedang
menjelaskan sikap sembahyang padasana, secara langsung dihadapan siswa guru
memperagakan sikap sembahyang tersebut. Alat peraga berupa benda konkret
adalah benda-benda nyata yang langsung ditunjukkan kepada siswa, seperti guru
pendidikan agama Hindu menjelaskan tentang sarana persembahyanga berupa
kewangen, guru dapat memperlihatkan langsung benda yang sesungguhnya. Alat
peraga berupa benda tiruan yaitu bentuk benda yang dibuat sebagai tiruan dari
benda aslinya. Benda tiruan dibuat untuk alat peraga, karena benda sesungguhkan
tidak mungkin dapat ditunjukkan di hadapan siswa, seperti misalnya dalam
pelajaran biologi tentang materi pelajaran organ dalam tubuh manusia, benda
tiruannya berupa model/bentuk organ dalam tubuh manusia (paru, jatung, ginjal
dan sebagainya). Contoh lain alat peraga benda tiruan dalam pelajaran agama
Hindu tentang Dewi Saraswati, guru agama Hindu tidak mungkin akan dapat
menunjukkan secara langsung wujud dari Dewi Saraswati melainkan ditunjukan
melalui simbolik Dewi Saraswati dalam bentuk gambar atau patung/arca.
Media pembelajaran adalah perantara atau pengantar sumber pesan dengan
penerima pesan. Perantara yang dimaksud dalam pembelajaran adalah untuk lebih
mengefektivitaskan dan mengefisiensikan dalam pencapaian tujuan pendidikan
atau pencapaian kompetensi. Ada tiga jenis media pembelajaran berdasarkan tipetipe belajar peserta didik, seperti media audio, visual, dan audio visual. Media
audio adalah media pembelajaran menggunakan alat bantu suara, seperti dalam
pembelajaran agama Hindu tentang pengucapan mantram atau kidung dapat
diperdengarkan melalui tape recorder. Media visual adalah media yang dapat
diamati atau dilihat, seperti dalam pembelajaran agama Hindu tentang tempat suci
agama Hindu, guru dapat menunjukkan berbagai tempat suci agama Hindu yang
ada di luar Bali melalui gambar-gambar/foto-foto tentang pura yang ada di luar
Bali. Sedangkan media audio visual sudah tergolong multimedia pembelajaran,
perantara pembelajaran dapat mengakomodir berbagai tipe belajar siswa, seperti
misalnya dalam pembelajaran agama Hindu tentang prosesi upacara manusa
yadnya (potong gigi), guru agama Hindu dapat menunjukkan prosesi upacara
tersebut melalui gambar dan suara atau berupa video dari prosesi upacara tersebut.
Sumber lain menyebutkan bahwa sarana pendidikan agama Hindu
meliputi:
kurikulum,
buku-buku,
perpustakaan,
dan
guru-guru
(http://www.babadbali.com/canangsari/hkt-pddkan-agama.htm).
Kurikulum
menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pengajaran
Nasional dan digunakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 yang
merumuskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, materi/isi atau bahan pelajaran serta metode cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pengajaran. Kurikulum merupakan kerangka kerja/rancangan
dalam membantu mengembangkan kemampuan-kemampuan siswa melalui proses
pembelajaran. Untuk buku telah dibahas di atas, bahwa buku-buku diperlukan
sebagai pedoman atau bahan ajar oleh guru dan peserta didik, selain itu juga
diperlukan buku penunjang belajar yang biasanya disediakan diperpustakaan.
Perpustakaan sekolah merupakan tempat sumber informasi atau sumber
bacaan, sudah selayaknya tersedia berbagai buku penuntun dan buku penunjang
sebagai sumber informasi yang dapat mendukung dan memperkaya pemahaman
siswa terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Perpustakaan berfungsi sebagai
tempat untuk mengakses informasi melalui buku sumber. Era globalisasi,
perpustakaan juga selayaknya dilengkapi akses informasi melalui media internet,
karena itu perlu dilengkapi beberapa perangkat komputer sekaligus dengan
jaringan internet.
Guru merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam melakukan
pembelajaran di sekolah untuk pencapaian kompetensi dalam upaya
meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk itu kualitas guru perlu ditingkatkan agar
menjadi tenaga pendidik yang profesional. Pelaksanaan suatu kegiatan tidak akan
mencapai maksimal apabila dilakukan dengan meraba-raba atau mencoba-coba,
akan tetapi suatu penerapan harus memiliki pedoman teoritis yang teruji
kevalidannya. Seorang yang profesional bekerja dengan mengandalkan teori,
praktik dan pengalaman, bukan berdasarkan penguasaan materi ajar semata.
Selain itu, kuantitas guru perlu mendapat perhatian terutama di daerah terpencil,
di samping kualitas belum memadai, kuantitasnya juga belum terpenuhi sehingga
masalah guru juga menjadi kendala dalam proses pembelajaran.
Masalah sarana pendidikan dalam pembelajaran, yang terpenting bukan
masalah definisinya melainkan menyangkut masalah memanajemennya sehingga
sarana yang ada dan diperlukan dalam pembelajaran benar-benar dapat
memperlancar proses pencapaian tujuan pendidikan di sekolah. Dalam
pelaksanaan manajemen sarana pendidikan di sekolah, selama ini belum ada
tenaga professional yang menangani manajemen dan pemeliharaan sarana
pendidikan tersebut, maka tugas-tugas tersebut biasanya diserahkan kepada salah
satu pegawai atau lebih yang dianggap memiliki kemampuan untuk hal tersebut.
Seperti telah disebut pada latar belakang, masalah manajemen sarana pendidikan
meliputi: (1) penentuan kebutuhan, (2) proses pengadaan, (3)
pemakaian/penggunaan, (4) pencatatan/pengurusan, dan (5) pertanggungjawaban.
(1) Penentuan Kebutuhan
Penentuan kebutuhan merupakan perencanaan pengadaan sarana
pendidkan yang diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan. Sebelum
mengadakan alat-alat tertentu atau fasilitas pendidikan terlebih dahulu harus
melalui prosedur yang benar, yaitu melihat dan memeriksa kembali keadaan dan
kekayaan yang telah ada, agar tidak terjadi sarana pendidikan yang mubazir,
seperti pengadaan kembali sarana yang masih memadai dari segi kuantitas
maupun kualitas atau pengadaan alat-alat yang tidak diperlukan dalam
penyelenggaraan pendidikan. Setelah melalui prosedur yang benar, baru bisa
ditentukan jenis sarana yang diperlukan berdasarkan kepentingan pendidikan di
sekolah bersangkutan.
Penentuan sarana pendidikan sekolah juga harus mempertimbangkan,
siapa-siapa saja yang memfasilitasi atau membiayai pengadaan sarana tersebut.
Pihak sekolah bisa mengajukan permohonan pengadaan sarana pendidikan kepada
istansi atasan seperti kepada pemerintah melalui Disdikpora provinsi,
kabupaten/kota, bisa juga kepada pihak komite sekolah mengajukan RAPBS
(Rencana Anggaran Penerimaan dan Belanja Sekolah) pada waktu awal tahun
pelajaran atau mungkin sumbangan dari masyarakat. Apabila pengajuan
pengadaan sarana pendidikan tersebut hanya sebagian yang disetujui, maka harus
menentukan sekala prioritas atau sarana yang paling penting dan mendesak
diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan. Untuk memudahkan mengetahui
sarana yang paling penting dan mendesak dalam keperluan pendidikan, maka pada
daftar pengadaan sarana harus diurut dari nomor terkecil untuk sarana/fasiltas
yang paling penting atau mendesak kemudian diikuti sarana yang lain sesuai
dengan tingkat kepentingan.
(2) Proses Pengadaan
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan pada pasal 42 ayat (1) disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan
wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, alat pendidikan, media pendidikan,
buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang
diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan
(Permendiknas, 2006: 192). Untuk memenuhi sarana pendidikan, satuan
pendidikan (sekolah) wajib mengupayakan sarana pendidikan yang diperlukan.
Seperti telah disebut dalam penentuan kebutuhan sarana pendidikan, bahwa
pengadaan sarana pendidikan dapat ditempuh melalui beberapa kemungkinan,
yaitu:
a.
b.
Bantuan atau pengadaan dengan biaya pemerintah
Biasanya untuk mohon bantuan pengadaan sarana kepada pihak pemerintah
diperlukan proposal yang memuat tentang jenis sarana dan besaran biaya
yang diperlukan. Bantuan yang diberikan oleh pemerintah juga biasanya
dengan jumlah yang terbatas atau sangat minimal, selain itu realisasinya
bantuan juga dalam waktu relatif lama karena melalui birokrasi yang sangat
rumit, hal ini tentu dapat menghambat proses penyelenggaraan pendidikan di
sekolah.
Pengadaan dengan biaya dari SPP atau uang komite
Selama ini pengadaan sarana pendidikan lebih banyak mengandalkan bantuan
yang bersumber dari SPP atau uang komite. Pengadaan sarana/fasilitas
pendidikan dengan bantuan tersebut, biasanya relatif lebih cepat, hanya saja
tetap juga terbatas pada kemampuan orang tua siswa dalam memberikan
bantuan (uang komite). Terlebih lagi belakangan ini ke luar kebijakan
pemerintah tentang pendidikan gratis, sekolah tidak diperbolehkan memungut
iuran investasi/uang pembangunan atau uang awal sekolah. Sementara
pemerintah tidak memberikan solusi atau dana konpensasi, sedangkan
c.
sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan memerlukan biaya yang
tinggi, sungguh kebijakan yang tidak logis atau rasional. Hal inilah yang
menghambat dalam pengadaan sarana pendidikan, pihak sekolah harus
berpikir keras agar mampu mewujudkan sarana/fasilitas yang diperlukan
dalam pendidikan.
Bantuan dari lembaga/instansi lain, perusahaan, atau masyarakat yang peduli
terhadap pendidikan
Sumber bantuan ini tidak dapat dijadikan sumber bantuan yang permanen
atau berkala, hanya bersifat sewaktu-waktu. Bantuan tersebut juga biasanya
memiliki kepentingan tertentu, seperti balas jasa atau penghargaan. Sebagai
contoh penerbit buku yang bukunya digunakan sebagai pegangan atau
penuntun belajar bagi siswa, maka pihak penerbit buku memberikan imbalan
seperti berupa perangkat komputer atau laptop. Akan tetapi hal ini juga
menjadi sasaran pemerintah, bahwa guru-guru disenyalir berbisnis menjual
buku pada hal para guru hanya memfasilitasi peserta didik agar lebih mudah
dalam mencari buku sumber belajar.
(3) Pemakaian/Penggunaan
Pemakaian/penggunakan merupakan pemanfaatan sarana pendidikan untuk
kepentingan pembelajaran oleh guru-guru mata pelajaran untuk mengoptimalkan
dalam pencapaian tujuan pendidikan. Dalam pemakaian/penggunaan terutama
sarana alat pembelajaran atau alat perlengkapan belajar dapat dibedakan menjadi
dua jenis (Suryosubroto, 2004: 116), yaitu:
a.
Barang habis dipakai
Sarana pendidikan yang habis dipakai adalah segala bahan atau alat yang
apabila digunakan bisa habis dalam waktu yang relatif singkat, dengan kata
lain sarana/barang habis dipakai adalah semua jenis barang yang digunakan
akan mengalami pengurangan dan akhirnya habis, seperti kapur tulis,
spidol/tinta spidol, pensil, dan bolpoin. Kapur tulis dan spidol/tinta spidol
yang disediakan oleh sekolah dalam pelaksanaan pembelajaran, sedangkan
pensil dan bolpoin diupayakan oleh guru masing-masing. Penggunaan
barang-barang
habis
dipakai
harus
secara
maksimal
dan
dipertangungjawabkan pada tipa tri wulan sekali.
b.
Barang tidak habis dipakai
Sarana pendidikan tidak habis dipakai adalah keseluruhan bahan atau alat
yang dapat digunakan secara terus menerus dan dalam waktu yang lama. Atau
dengan kata lain Sarana/barang tidak habis dipakai adalah jenis barang yang
digunakan dapat bertahan lama atau dapat digunakan berulang kali, akan
tetapi jenis barang ini tetap mengalami penyusutan atau kerusakan akibat
dipakai, seperti papan tulis, buku pelajaran, laptop, LCD, dan sebagainya.
Penggunaan barang tidak habis dipakai tetap dipertanggungjawabkan satu
tahun sekali, karena itu perlu pemeliharaan atau perawatan. Jenis barang ini
juga disebut barang inventaris.
(4) Pencatatan/Pengurusan
Pencatatan/pengurusan
sarana
pendidikan
merupakan
kegiatan
administrasi. Untuk keperluan pencatatan/pengurusan disediakan instrumen
administrasi, antara lain:
Buku inventaris
Buku iventaris berisi daftar barang inventaris tentang barang-barang miliki
negara dan barang-barang dari sumber lain dan telah menjadi milik negara.
Barang-barang milik negara yang ada di sekolah berbagai jenis. Khusus yang
termasuk sarana dan prasarana pendidikan antara lain: alat-alat peraga, alat
praktek, alat teknis pendidikan, laboratorium, alat transformasi,
gedung/bangunan sekolah, perabot sekolah, dan sebagainya. Berikut disajikan
format/bentuk daftar barang inventaris (Suryosubroto, 2004: 123).
Keterangan
Harga
Kondisi
Kelengkapan
dokumenn
Status
Th. diperoleh
Asal dari
Banyaknya
No. pabrik
Th. bikin
Ukuran
Merek
Kode
klasifikasi
Jenis
DAFTAR BARANG INVENTARIS
Keadaan pada tanggal: ……………………………
Nama Sekolah
: …………………… Daftar Nomor : ……………………
Alamat
: …………………… Jenis Alat
: ……………………
No. Urut
a.
b.
Buku pembelian
Buku pembelian berisi daftar pembelian/pengadaan barang-barang. Berikut
disajikan format/bentuk daftar pembelian/pengadaan barang-barang.
c.
Keterangan
Mulai untuk
Dipakai tanggal
Harga
Banyaknya
Nama Barang
Beli
Dari
Tanggal
Terima
No. Urut
DAFTAR PEMBELIAN BARANG
Buku penghapusan
Buku ini berisi tentang penghapusan barang-barang yang tidak dapat dipakai
lagi atau sudah rusak dan barang-barang yang masih bagus tetapi tidak
diperlukan dalam pembelajaran. Barang-barang yang rusak atau barangbarang yang tidak dipakai lagi harus dilaporkan kepada instansi atasan terkait
untuk penghapusan keberadaannya sebagai barang inventaris. Setelah
mendapat legalitas atau persetujuan, barang-barang yang rusak dapat
dimusnahkan sedangkan barang yang masih baik dapat dilakukan pelelangan
oleh guru-guru dan pegawai tata usaha.
d.
Kartu barang
Kartu barang diperlukan untuk mengetahui keadaan barang dari segi kuantitas
untuk setiap bulan, catur wulan, setahun, dan keadaan dari tahun ke tahun
berikutnya. Kartu barang hanya berlaku untuk pencatatan satu jenis barang
inventaris atau satu jenis sarana pendidikan untuk memudahkan pengontrolan
keadaan barang. Berikut disajikan format/bentuk contoh kartu barang.
KARTU BARANG/ALAT
Sekolah
:………………..
Nama Barang
: ……………………………………………………………
Merek/Ukuran
: ……………………………………………………………
Penjelasan
: ……………………………………………………………
Tahun
Banyaknya
Satuan
Perubahan
Januari
Pebruari
Maret
April
Jumlah
Mei
Juni
Juli
Agustus
Jumlah
Setember
Oktober
Nopember
Desember
Jumlah
Sisa
2000
Kurang
Tambah
2001
Kurang
dst.
Tambah
Keterangan
(5) Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban penggunaan barang-barang inventaris sekolah
merupakan data penggunaan barang-barang tersebut bahwa telah digunakan
sesuai dengan fungsinya. Penggunaan barang-barang inventaris sekolah
dipertanggungjawabkan dengan jalan membuat laporan penggunaan barangbarang tersebut yang ditujukan kepada instansi atasan terkait Dinas Pendidikan,
Pemuda, dan Olah Raga (Disdikpora).
(6) Manajemen Perpustakaan Sekolah
Perpustakaan sekolah merupakan institusi penyedia sarana bacaan atau
informasi bagi peserta didik. Melalui koleksi buku-buku yang dihimpun,
perpustakaan sekolah mampu menumbuhkan kebiasaan membaca peserta
didiknya. Perpustakaan memegang peranan penting dalam menunjang
penyelenggaraan pendidikan yang harus dikelola secara efektif dan efisien, karena
itu manajemen perpustakaan sekolah harus dilakukan secara professional. Era
globaisasi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sekarang ini
sangat pesat, maka peranan buku sebagai sumber informasi sangat penting dan
mutlak diperlukan di sekolah-sekolah.
Operasional perpustakaan sekolah perlu penanganan lebih serius, agar
perpustakaan dapat berfungsi sebagai sumber untuk menggali informasi bagi
guru-guru dan peserta didik. Untuk itu perlu penataan penggunaan perpustakaan
sekolah supaya dapat berjalan dengan tertib, efektif, dan efisien. Adapun hal-hal
yang diperlukan dalam penataan (tatalaksana) perpustakaan sekolah, antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
Tata tertib perpustakaan
Buku induk anggota perpustakaan
Buku induk bahan pustaka
Almari catalog
Kartu buku
Kantong buku
Lembar pengembalian
Kartu peminjam
Label buku
Balangko peringatan
Kartu katalog (Suryosubroto, 2004: 127)
Realitas perpustakaan sekolah, walaupun sekolah telah memiliki
perpustakaan sekolah, akan tetapi belum dikelola dengan baik. Hanya sekolahsekolah unggulan dan sekolah yang sadar akan pentingnya perpustakaan, memiliki
perpustakaan yang dikelola secara baik oleh tenaga profesional. Sekarang ini
banyak sekolah yang baru tahap permulaan membina penataan perpustakaannya.
Hal yang terpenting dari itu, hendaknya sekolah selalu berupaya secara berkala
atau setiap saat untuk memperbaharui dan menambah kuantitas dan kulitas buku
sumber bacaan, baik buku sumber bacaan penunjang bahan ajar maupun bahan
bacaan umum. Sudah saatnya perpustakaan tidak hanya berisi buku-buku paket,
koleksi perpustakaan juga dapat berupa buku-buku bacaan yang mampu menarik
minat siswa untuk membacanya. Selain itu perpustakaan dapat juga melengkapi
koleksinya dengan koleksi audiovisual dan perangkat komputer dengan jaringan
internet untuk menggali dan melengkapi sumber informasi melalui situs internet
sehingga perpustakaan sekolah tidak memberikan kesan layanan yang monoton.
Kendala-Kendala dalam Pengadaan Sarana Pendidikan di Sekolah
Penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan sarana-sarana
pendidikan, baik sarana yang bersifat utama atau penunjang. Realitas pelaksanaan
proses pembelajaran sering mengalami kesulitan untuk memperoleh sarana-sarana
tersebut, sehingga dapat menghambat dalam pencapaian tujuan pendidikan atau
pembelajaran. Kendala-kendala yang sering dihadapi oleh manajemen sekolah
adalah dalam hal pengadaan sarana dan prasarana, seperti: keterbatasan anggaran
sekolah, birokrasi bantuan pemerintah yang rumit, kemanpuan SDM yang kurang
kreatif dalam membuat sarana sendiri, dan kurangnya relasi dengan masyarakat
yang peduli pendidikan.
(1) Keterbatasan Anggaran atau Dana
Lembaga sekolah bukan perusahan yang menghasilkan finansial (uang).
Melainkan lembaga pendidikan yang bertanggungjawab dalam mengembangkan
potensi peserta didik menjadi SDM yang berilmu, cakap, kreatif, mandiri, sosial,
demokratis, berakhlak mulia, bertanggungjawab, dan sebagainya. Akibat tangung
jawab tersebut memerlukan dana untuk memenuhi segala kebutuhan dalam
penyelenggaraan pendidikan. Selama ini, sumber dana berasal dari orang tua
siswa dan pemerintah. Besarnya dana dari orang tuas siswa tidak bisa ditentukan
sendiri oleh pihak sekolah, melainkan harus melalui prosedur yang memiliki
legalitas, yaitu dimusyawarahkan melalui rapat orang tua siswa yang
menyesuaikan dengan kemampuan rata-rata orang tua siswa. Dana yang
bersumber dari orang tua siswa dikelola oleh komite sekolah bersangkutan. Dana
dari orang tua siswa, tidak serta merta dapat membiayai keseluruhan pengadaan
sarana pendidikan, karena harus diporsikan untuk program/kegiatan yang lain,
seperti kegiatan lomba-lomba/kejuaraan, membayar tenaga guru/pegawai honor,
pemeliharan taman sekolah, dan sebagainya.
Keterbatasan anggaran sekolah, membuat sekolah tidak dapat memenuhi
segala kebutuhan sarana yang diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan
disekolah. Hal ini sangat dirasakan oleh semua sekolah terutama sekolah-sekolah
yang berada di daerah-daerah terpencil atau terisolir. Jangankan untuk membeli
sarana pendidikan yang memadai dari segi kuantitas dan kualitas, belajar saja
masih di tempat yang rusak-rusakan (sekolah yang rusak parah) atau numpang di
Balai Desa. Pemerataan pendidikan dari segala komponen masih menjadi kendala
yang sangat pelik, hal yang mustahil dapat mencapai kualitas pendidikan nasional
yang baik. Kualitas pendidikan nasional bukan ditentukan oleh sekolah-sekolah
yang ada di perkotaan, melainkan keseluruhan sekolah-sekolah yang di nusantara.
(2) Birokrasi Bantuan Pemerintah
Pemerintah bertanggungjawab menyelenggarakan pendidikan nasional,
atinya pemerintah menyelenggarakan pendidikan di seluruh tanah air Indonesia.
Undang-Undang Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada pasal 4 ayat (1) disebutkan pendidikan diselenggarakan
secara demokratis dan berkeadilan serta tidak deskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan
bangsa. Mencermati pernyataan tersebut, mestinya kondisi sekolah-sekolah di
seluruh nusantara memiliki kuantitas dan kualitas sarana-prasarana relatif sama
sesuai dengan kebutuhan, akan tetapi kenyataannya tidak demikian adanya.
Selama ini sekolah-sekolah tidak diberikan kesempatan yang sama untuk
mengajukan pengadaan sarana-prasarana, hanya sekolah-sekolah yang kepala
sekolahnya memiliki kedekatan baik dengan instansi atasan terkait saja yang
sering mendapat perhatian, sementara sekolah-sekolah yang lainnya terpinggirkan.
Selain kondisi seperti tersebut, sering juga mengalami kesulitan dalam hal
birokrasi bantuan. Pengajuan melalui prosedur yang rumit, berlarut-larut, dan
realisasi pengadaan sarana yang juga lamban. Penanganan semacam ini tentu
menghambat proses pelaksanaan pendidikan di sekolah, sedangkan di sisi lain
pemerintah menggebu-gebu untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara
nasional.
(3) Kemampuan SDM dalam Membuat Sarana Sendiri
Membuat sarana pendidikan sendiri hanya terbatas pada alat peraga, media
pembelajaran, dan bahan ajar. Membuat sarana sendiri memerlukan kemampuan
atau keahlian dalam mewujudkan suatu sarana yang dimaksud. Sebagai contoh:
(1) membuat alat peraga berupa gambar pengider-ider penjuru mata angin
(Dewata Nawa Sanga, warna, dan senjata saktinya) dalam pelajaran pendidikan
agama Hindu, tidak semua guru agama Hindu mampu membuat alat peraga
tersebut; (2) membuat media pembelajaran berbasis komputer, di samping
menguasai bahan ajar, guru mata pelajaran bersangkutan harus juga memahami
cara-cara mengoperasikan komputer dan cara-cara merancang media. Kondisi
seperti ini, tidak semua guru mampu melakukan, hanya guru-guru yang inovatif
dan kreatif saja yang mampu mewujudkan media tersebut; dan (3) membuat bahan
ajar, bahan ajar memuat materi pelajaran untuk pencapaian kompetensi yang dapat
diakses dari beberapa buku teks terkait dengan kompetensi yang hendak dicapai
dalam pembelajaran. Dalam membuat bahan ajar diperlukan kemampuan guru
untuk melakukan seleksi terhadap isi buku teks, analisis, dan sintesis terhadap
materi pelajaran.
Membuat sarana pendidikan sering mengalami kendala-kendala seperti
masalah sumber daya manusia dalam mewujudkan sarana tersebut. Keterbatasan
kemampuan akan mempengaruhi kualitas sarana yang dihasilkan. Kualitas sarana
yang kurang memadai tentu juga berdampak terhadap proses pelaksanaan
pembelajaran. Dalam membuat sarana sendiri, juga tidak terlepas dari masalah
biaya, karena untuk mewujudkan sarana tersebut juga memerlukan biaya, seperti
untuk membuat alat peraga berupa gambar akan memerlukan kertas gambar,
pensil, kuas, spidol, warna, dan lain-lain yang membutuhkan biaya.
(4) Relasi dengan Masyarakat, Pengusaha, atau Instansi Lainnya
Pengadaan sarana pendidikan dapat dilakukan dengan kerja sama dengan
pihak masyarakat, pengusaha/perusahaan, atau instansi lainnya. Akan tetapi sering
kali mengalami kesulitan karena kurangnya informasi atau sosialisasi. Sekolah
belum dikenal oleh pihak lain atau kurangnya sosialisasi program sekolah dalam
mengembangkan kualitas sekolah. Sekolah-sekolah yang telah dikenal oleh
masyarakat melalui hasil ajang kompetisi, sering mendapat bantuan sarana
pendidikan. Sementara sekolah-sekolah baru tahap pengembangan diri belum
memasyarakat, terlebih lagi sekolah-sekolah di daerah terpencil semakin
tenggelam tanpa adanya perhatian masyarakat.
Sekolah hendaknya proaktif mencari relasi dimasyarakat, menunjukkan
program-program yang kompetitif dalam meningkatkan kualitas sekolah sehingga
muncul rasa peduli masyarakat terhadap dunia pendidikan. Selama sekolahsekolah pasif dan tidak memiliki program yang jelas dalam upaya meningkatkan
kualitas pendidkan atau hanya menunggu uluran tangan pemerintah tentu untuk
mengembangkan potensi sekolah akan berjalan sangat lamban atau hanya berjalan
di tempat. Satuan pendidikan (sekolah) yang paling tahu tentang kondisi
sekolahnya, hanya dengan upaya dari sekolah tersebut yang bisa mencari jalan ke
luar dari ketiadaan sarana pendidikan.
Upaya-Upaya untuk Mengatasi Kendala Pengadaan Sarana Pendidikan di
Sekolah
Membahas masalah pengadaan sarana pendidikan, tentu akan berhubungan
dengan masalah biaya. Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan pada pasal 62 ayat (1) Pembiayaan
pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasional, dan biaya personal.
Sementara pada ayat (2) disebutkan biaya investasi satuan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan
prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap.
Biaya personal merupakan biaya yang dikeluarkan oleh peserta didik
untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan,
sedangkan biaya operasional adalah biaya yang diperlukan untuk membiayai gaji
pendidik dan tenaga kependidikan, bahan/peralatan habis pakai, dan biaya
operasional lainnya yang selanjutnya diatur melalui Peraturan Menteri. Sementara
untuk biaya investasi tidak disebutkan dengan jelas dari mana sumber biaya
tersebut. Penyelenggaraan pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah
baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, maka menjadi kewajiban
pemerintah untuk membiayai semua kebutuhan yang diperlukan dalam proses
pembelajaran. Penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan harus
tetap berjalan tanpa memandang dari mana sumber pembiayaan pengadaan sarana
tersebut. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi keterbatasan
anggaran pendidikan dalam pengadaan sarana pendidikan, antara lain:
mengajukan permohonan bantuan kepada pemerintah, mohon bantuan kepada
orang tua siswa, mengupayakan sarana pendidikan yang memungkinkan untuk
dibuat sendiri, dan mohon bantuan kepada masyarakat yang peduli pendidikan.
(1) Bantuan Pemerintah
Satuan pendidikan atau lembaga sekolah merupakan ujung tombak dalam
menyelenggarakan pendidikan untuk mencapai cita-cita bangsa, yaitu sumber
daya manusia Indonesia yang berilmu, cakap, kreatif, mandiri, sosial, demokratis,
berakhlak mulia, bertanggungjawab, dan akhirnya menuju masyarakat yang
cerdas, adil dan sejahtera. Dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut,
memerlukan berbagai sarana pendukung untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional tersebut. Pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan nasional harus
bertanggungjawab untuk menyediakan sarana pendidikan sekolah. Pemerintah
dalam hal ini adalah pemerintah pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
a. Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat memiliki tanggung jawab penyelenggara pendidikan secara
nasional, maka sepantasnya pemerintah pusat menyediakan sarana pendidikan
untuk semua satuan pendidikan di wilayah nusantara secara teratur dan
berkelanjutan. Masalah pengadaan sarana merupakan masalah yang krusial di
Indonesi dan menjadi salah satu syarat atau unsur yang sangat menentukan
keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dalam hal ini setiap satuan
pendidikan berhak mengajukan pengadaan sarana pendidikan kepada
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) atau melalui instansi terkait
dengan prosedur yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 62 ayat
(2) PP Nomor 19 tahun 2005 disebutkan biaya investasi satuan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan
prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap. Jika
dicermati pernyataan tersebut bahwa pengadaan sarana pendidikan bersumber
dari biaya investasi, ini berarti pemerintah pusat menyediakan biaya investasi
untuk setiap satuan pendidikan dalam pengadaan sarana pendidikan yang
dibutuhkan oleh setiap satuan pendidikan (sekolah).
b. Pemerintah Daerah
Pengadaan sarana pendidikan memiliki dasar dan payung hukum, akan tetapi
pelaksanaannya timbul berbagai dalih atau alasan untuk menghambat
realisasinya. Diberlakukannya otonomi daerah, maka anggaran pendidikan
dialokasikan pada APBD. Pemberlakuan otonomi pendidikan di tingkat
daerah justru terjadi penurunan
biaya penyelenggaraan pendidikan.
Pemahaman pimpinan daerah terhadap pendidikan, banyak yang masih sangat
terbatas, tidak jarang kebijakan daerah menempatkan pendidikan bukan
berada pada skala prioritas. Prioritas keberapapun pendidikan tersebut tingkat
otonomi daerah, pendidikan harus tetap terselenggara. Dalam hal ini,
penyelenggaraan pendidikan bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah
pusat melainkan tanggung pemerintah daerah juga, karena itu sekolah
memiliki hak untuk mengajukan biaya pengadaan sarana pendidikan kepada
pemerindah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
(2) Bantuan Orang Tua Siswa (Komite Sekolah)
Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta
masyarakat (orang tua siswa) dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan
efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra
sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan di luar sekolah.
Komite Sekolah dibentuk sebagai mitra sekolah, terutama bagi kepala sekolah dan
guru dalam merancang dan melaksanakan program pendidikan, baik program
pembangunan fisik maupun non fisik seperti pengadaan sarana pendidikan untuk
kepentingan pembelajaran.
Peran serta orang tua siswa (komite sekolah) sangat dibutuhkan dalam
peningkatkan mutu pendidikan, selain memberi bantuan berupa pemikiran, ide,
dan gagasan-gagasan inovatif demi kemajuan suatu sekolah, juga bantuan berupa
pengadaan saran pendidikan. Dalam hal pengadaan sarana pendidikan, komite
sekolah mengupayakan melalui iuran anggota/orang tua siswa yang
dimusyarahkan melalui pertemuan orang tua siswa pada awal tahun pelajaran dan
sumbangan sukarela yang tidak mengikat. Namun bantuan orang tua siswa
belakangan ini menjadi kendala akibat keluarnya kebijakan pendidikan gratis.
Sekolah tidak lagi diijinkan memungut iuran awal sekolah (biaya investasi)
kepada orang tua siswa. Tetapi kembali lagi bahwa penyelenggaran pendidikan
harus terlaksana. Kepala sekolah dan pengurus komite harus berpikir keras untuk
mengupayakan anggaran pendidikan agar dapat memenuhi kebutuhan sekolah
dalam penyelenggaraan pendidikan.
Beberapa sekolah telah membijaksanai dengan mengatur biaya investasi
dalam bentuk iuran bulanan. Iuran bulanan biasanya digunakan untuk biaya
operasional sekolah. Dengan mengalihkan biaya investasi dari orang tua siswa
menjadi iuran bulanan, maka jumlah iuran bulanan yang dikeluarkan orang tua
siswa menjadi membengkak atau lebih tinggi dari iuran bulanan sebelumnya. Hal
ini terpaksa dilakukan sekolah agar terkesan tidak melanggar kebijakan atasan,
akan tetapi biaya tersebut tetap dapat dipungut dari orang tua siswa. Tentu
pemungutan biaya tersebut bukan tanpa alasan, seperti sebelumnya telah
dikemukakan bahwa akibat penyelenggaraan pendidikan pasti membutuhkan
biaya termasuk biaya pengadaan sarana pendidikan.
(3) Membuat sendiri
Ada beberapa sarana pendidikan yang dapat dibuat oleh guru sendiri dalam
melaksanakan pembelajaran, seperti alat peraga, media pembelajaran, dan bahan
ajar. Agar setiap guru memiliki inovasi dan kreativitas dalam membuat sarana
pendidikan untuk keperluan pembelajaran, maka perlu dilakukan pembinaan
kepada guru-guru mata pelajaran tentang strategi dan cara membuat sarana
pembelajaran sendiri. Misalnya dalam membuat media pembelajaran berbasis
komputer, maka guru harus diberikan pelatihan cara mengoperasikan komputer
dan cara merancang media pembelajaran dengan program komputer.
Setiap mata pelajaran memutuhkan bahan ajar, media pelajaran, dan/atau
alat peraga. Bahan ajar dapat disusun sendiri melalui beberapa sumber buku teks
yang telah ada dan tidak harus dengan cara membeli yang baru. Bahan ajar wajib
dimiliki oleh guru dan peserta didik karena memuat materi-materi pelajaran untuk
mencapai kompetensi atau tujuan pembelajaran. Membuat bahan ajar sendiri jauh
efektif dan efisien, karena sebelumnya telah dirancang sesuai dengan pencapaian
kompetensi, dibandingkan dengan membeli buku teks pelajaran karena isinya
belum tentu mencerminkan kompetensi-kompetensi pembelajaran sehingga
peserta didik harus memilih atau menyeleksi sendiri.
(4) Masyarakat Peduli Pendidikan
Mengingat pendidikan memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia di
era globalisasi ini, maka keberhasilan penyelenggaraan pendidikan bukan
tanggung jawab pemerintah semata. Penyelenggaraan pendidikan membutuhkan
kepedulian masyarakat untuk bersama-sama dengan pemerintah meningkatkan
kualitas pendidikan. Dalam hal ini, masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat
yang peduli terhadap pendidikan baik secara perorangan/individu,
kelompok/organisasi/lembaga kemasyarakatan, masyarakat pengusaha, dan
sebagainya. Satuan pendidikan atau lembaga sekolah bisa mengajukan bantuan
pengadaan sarana pendidikan melalui jalinan kerja sama atau mungkin tanpa
imbalan balas jasa.
Peserta didik termasuk warga masyarakat yang tergolong konsumtif,
seperti konsumtif buku teks mata pelajaran, pulsa hand phone (HP), bahan bakar
dan pengguna kendaraan motor, dan sebagainya. Lembaga sekolah bisa menjalin
kerja sama dengan pengusaha yang produknya dibeli dan digunakan oleh
kebanyakan peserta didik. Lembaga sekolah juga bisa meminta bantuan kepada
alumni sekolah yang telah maju dan sukses dalam usaha atau sukses sebagai
pejabat di suatu instansi atau perusahaan.
Selama ini, buku teks mata pelajaran dari tahun ke tahun oleh sekolah
dijadikan sebagai buku sumber atau bahan ajar. Hal ini sangat menguntungkan
pihak penerbit buku teks pelajaran. Pihak sekolah harus menggunakan
kesempatan ini untuk melakukan kerja sama secara teratur dan berkelanjutan,
misalnya meminta bantuan untuk pengadaan perangkat komputer/laptop atau
pengadaan sarana pendidikan yang lain yang diperlukan dalam pembelajaran.
Contoh lain yang juga sangat strategis, yaitu kerja sama dengan perusahaan
penjual layanan produk pulsa. Hampir semua peserta didik di perkotaan memiliki
HP dan pasti akan selalu melakukan isi ulang pulsa. Isi ulang pulsa rata-rata
dilakukan paling lama tujuh hari (satu minggu) dengan isi ulang minimal Rp.
10.000,00 dan terjadi setiap hari. Jumlah peserta didik diperkotaan seluruh
wilayah Indonesia sangat besar, bisa dibayangkan betapa besarnya omset
penjualan pulsa per-hari.
Selain perusahaan tersebut, banyak juga perusahaan jenis lainnya yang
juga telah banyak mendapat keuntungan dari peserta didik. Kenyataan ini, apakah
pihak perusahaan tersebut tidak menyadari atau tidak peduli dengan pendidikan di
Indonesia? Mestinya pihak sekolah proaktif melakukan pendekatan dengan
perusahaan-perusahaan yang mapan terlebih lagi produknya digunakan oleh
peserta didik. Kalau pihak sekolah bertekad untuk meningkatkan kualitas
sekolahnya, perusahaan-perusahaan yang telah mapan pasti mengulurkan tangan
untuk memberi bantuan, asalkan dengan prosedur yang benar dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Sumber Pustaka
Anonim. 2004. Pendidikan Agama Hindu di Sekolah. Diakses pada 23 Desember
2009 dari World Wide Web: http://www.babadbali.com/canangsari/hktpddkan-agama.htm
Bafadal, Ibrahim. 1996. Pengelolaan Perpustakaan Sekolah. Jakarta : Bumi
Aksara.
Darmono, 2001. Manajemen dan Tata Kerja Perpustakaan Sekolah. Jakarta :
Grasindo.
Hadiyanto. 2004. Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di
Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Hasbulah. 2007. Otonomi Pendidikan, Kebijakan Otonomi Daerah dan
Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo.
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta:
Andi Offset.
Suryosubroto, 2004. Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Tim Bappenas. 2004. Program Kebijakan Depdiknas. http://www.bappenas.go.id/
Tim Penyusun. 2001. ”Partisipasi Masyarakat”. Departemen Pendidikan Nasional
Jakarta.
Tim Redaksi Sinar Grafika. 2006. Permendiknas 2006 Tentang SI & SKL. Jakarta:
Sinar Grafika.
Tim Redaksi Fokusmedia. 2008. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan,
Undang-Undang Guru Dan Dosen. Bandung: Fokusmedia.
Tim Penyusun. tt. “Kumpulan Permendiknas Tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP) dan Panduan KTSP”. Departemen Pendidikan Nasional
Jakarta.
Tim Redaksi. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Departemen
Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka.
Download