universitas indonesia analisis praktik klinik keperawatan kesehatan

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN
STROKE HEMORAGIK DI RUANG RAWAT MELATI ATAS
RSUP PERSAHABATAN
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
HESI OKTAMIATI
0906629391
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
DEPOK
JULI 2014
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN
STROKE HEMORAGIK DI RUANG RAWAT MELATI ATAS
RSUP PERSAHABATAN
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Ners Keperawatan
HESI OKTAMIATI
0906629391
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
DEPOK
JULI 2014
i
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Karya ilmiah akhir ners adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Hesi Oktamiati
NPM
: 0906629391
Tanda Tangan :
Tanggal
: 8 Juli 2014
ii
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
iii
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ners keperawatan yang
berjudul “Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan
pada Pasien Stroke Hemoragik di Ruang Melati Atas RSUP Persahabatan”.
Penulisan ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Profesi Ners Keperawatan pada Program studi Ilmu Keperawatan di
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Suatu kebanggaan tersendiri bagi penulis dapat menyelesaikan penulisan karya
ilmiah akhir ners keperawatan. Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan
karya ilmiah akhir keperawatan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang
telah membantu secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis
ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang
telah membantu menyelesaikan karya ilmiah akhir keperawatan ini. Rasa terima
kasih tersebut penulis sampaikan kepada:
1.
Bapak I Made Kariasa, SKp., MM., MKep., Sp. KMB, selaku dosen
pembimbing saya yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran
untuk mengarahkan dan membantu saya dalam penyusunan karya ilmiah
akhir ners keperawatan.
2.
Ibu Ns. Azraini, S. Kep selaku CI (Clinic Instruction) selama di RSUP
Persahabatan yang sangat banyak membantu untuk proses pembuatan
karya ilmiah ini.
3.
Ibu Ns. Fajar Tri Waluyanti M. Kep., Sp. Kep. An., IBLCL selaku ketua
prodi profesi ners keperawatan FIK-UI yang selalu mengingatkan
mahasiswa profesi tentang kegiatan profesi selama setahun.
4.
Bapak dan Mama tercinta yang telah banyak memberikan motivasi baik
berupa materi dan moril dengan penuh keikhlasan dan kasih sayang.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan dan
ketulusannya serta adik saya Dwiyan Hamonangan.
iv
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
5.
Pihak RSUP Persahabatan, terutama Ruang Inap Melati Atas yang sangat
membantu saya dalam menjalankan praktik dan penyusunan karya ilmiah
akhir profesi.
6.
Keluarga besar Eyang Saliman dan Opung Saragih, yang telah memberi
semangat dan memberi banyak semangat terhadap karya ilmiah akhir ners
saya.
7.
Teman-Teman Bedah Kampus UI (Rinjani, Ibaddurahman, Alfianda, Eka,
Ita, dan Sadar) yang telah membantu saya dalam mengusik kepenatan.
8.
Teman-teman FIK 48 yang bersemangat tinggi (Okti Sirait, Helena
Winata, Agnes Fibriyanti, Ningsih Tresia, Christafenny, Tika Widowati,
dan Puspa Astriana) dalam memberikan masukan dan nasehat yang
dikemas secara unik dengan penuh canda dan kegembiraan.
9.
Teman-teman seperjuangan FIK UI angkatan 2009 dan adik-adik angkatan
yang telah banyak membantu dan saling memberikan semangat, membantu
dalam memberikan kritik dan saran selama penyusunan karya ilmiah akhir
ini.
10.
Pihak-pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu.
Saya menyadari bahwa penyusunan karya ilmiah akhir ners ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran untuk
kesempurnaan karya ilmiah akhir ini. Semoga karya ilmiah akhir ini dapat
bermanfaat bagi saya dan pembaca khususnya, serta masyarakat pada umumnya.
Depok, Juli 2014
Penulis
v
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan
dibawah ini:
Nama
: Hesi Oktamiati
NPM
: 0906629391
Program Studi : Profesi Ners
Fakultas
: Ilmu Keperawatan
Jenis Karya
: Karya Ilmiah Akhir
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-Exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
“Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada
Pasien Stroke Hemoragik di Ruang Rawat Inap Melati Atas RSUP Persahabatan”
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengahlimedia/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis./ pencipta dan sebagai Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Depok
Pada tanggal: Juli 2014
Yang menyatakan
(Hesi Oktamiati)
vi
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
ABSTRAK
Nama
: Hesi Oktamiati
Program Studi : Profesi Keperawatan
Judul
: Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat
Perkotaan pada Pasien Stroke Hemoragik di Ruang Inap Melati
Atas RSUP Persahabatan
Stroke merupakan kumpulan manifestasi gangguan neurologis yang diakibatkan
oleh penyumbatan suplai darah ke bagian otak. Gaya hidup tidak sehat pada
masyarakat perkotaan menjadi penyebab Stroke. Kerusakan mobilitas fisik
merupakan dampak tertinggi yang dialami oleh penderita pasca stroke. Karya
Ilmiah Akhir Ners ini bertujuan untuk menganalisis intervensi kerusakan
mobilitas fisik dengan latihan rentang pergerakan sendi (RPS) untuk mencegah
terjadinya kontraktur pada pasien di Ruang Rawat Melati Atas, RSUP
Persahabatan. Hasil dari latihan rentang gerak sendi (RPS) terbukti efektif dalam
mengatasi kerusakan mobilitas fisik. Sosialisasi tentang pemberian edukasi dan
mengajarkan RPS secara terprogram diperlukan perawat ruangan agar perbaikan
rentang gerak sendi optimal.
Kata Kunci:
Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan, kerusakan mobilitas fisik, rentang
gerak sendi, stroke
vii
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
ABSTRACT
Name
Study Program
Title
: Hesi Oktamiati
: Ners
: Analysis clinical practice of urban health nursing in
Hemorrhagic stroke’s patient in the Ruang Melati Atas,
RSUP Persahabatan
Stroke is a collection of manifestations from neurological disorders caused by
discontinuanced of blood supply to part of the brain. The unhealthy lifestyles in
urban communities become the cause of stroke. The impaired physical mobility is
the highest impact experienced by people with post-stroke. This article makes
interventions aimed to analyze the impaired physical mobility with Range of
Motion exercises (ROM) to prevent contractures in patients at Ruang Rawat
Melati Atas, RSUP Persahabatan. The Results of Range of Motion exercises
(ROM) shown to be effective in overcoming the impaired physical mobility.
Regarding the provision of education and socialization teaching ROM regularly is
needed by nurses for repairing the optimal range of motion.
Keyword:
Hemorrhagic stroke, impaired physical mobility, nursing in urban health, range of
motion
viii
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................... vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Tujuan Penulisan.......................................................................... 5
1.2.1 Tujuan Umum .................................................................... 5
1.2.2 Tujuan Khusus ................................................................... 5
1.3 Manfaat Penulisan........................................................................ 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 8
2.1 Stroke ........................................................................................... 8
2.1.1 Definis Stroke .................................................................... 9
2.1.2 Klasifikasi Stroke ............................................................... 9
2.1.3 Etiologi Stroke ................................................................... 12
2.1.4 Faktor Resiko Stroke ......................................................... 14
2.1.5 Tanda dan Gejala Stroke .................................................... 15
2.1.6 Komplikasi ......................................................................... 17
2.1.7 Patofisologi Stroke ............................................................. 17
2.1.8 Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Stroke ............. 20
2.2 Mekanisme Terjadi Gangguan Mobilitas Fisik............................ 26
2.2.1 Definisi Rentang Gerak Sendi (RPS) ................................. 27
2.2.2 Prosedur Latihan Rentang Gerak Sendi ............................. 29
BAB III. LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA ................................ 34
3.1 Pengkajian ................................................................................. 34
3.2.1 Identitas Pasien ................................................................ 34
3.2.2 Anamnesis ....................................................................... 35
3.2.3 Pemeriksaan Diagnostik .................................................. 39
3.2.4 Daftar Terapi Medikasi.................................................... 39
3.2.5 Daftar Terapi Cairan ........................................................ 39
3.2 Analisa Data .............................................................................. 40
3.3 Perencanaan Asuhan Keperawatan ............................................ 40
3.3.1 Rencana Asuhan Keperawatan Sebelum Operasi ............ 45
3.3.2 Rencana Asuhan Keperawatan Setelah Operasi .............. 49
3.4 Evaluasi Keperawatan .............................................................. 56
BAB IV. ANALISIS SITUASI ..................................................................... 59
ix
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
4.1 Analisis Masalah Keperawatan dengan
Konsep Terkait KKMP dan Kosep Kasus Terkait ................... 59
4.2 Analisis Salah Satu Intervensi dengan
Konsep dan Penelitian Terkait.................................................. 66
4.3 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan ........................... 71
BAB V. PENUTUP ...................................................................................... 73
5.1 Kesimpulan ................................................................................ 73
5.2 Saran............................................................................................ 74
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 75
x
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Stroke Hemoragik ........................................................................ 11
Gambar 2.2 Trombus Serebral ......................................................................... 12
Gambar 2.3 Hemoragik Serebral...................................................................... 14
xi
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Hasil Pemeriksaan Darah
Lampiran 2 : Hasil Gambar Rontgen Toraks
Lampiran 3 : Hasil Gambar CT Scan Kepala Tanpa Kontras
Lampiran 4 : Daftar Terapi Obat
Lampiran 5 : Analisis Data
Lampiran 6 : Catatan Perkembangan Pasien
Lampiran 7 : Lembar Pengkajian Stroke NIHSS
Lampiran 8 : Lembar leflet RPS
Lampiran 9 : Biodata Penulis
xii
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang saat ini sedang
mengalami masa peralihan, dari masyarakat agraris menjadi negara industri.
Indonesia juga menghadapi dampak perubahan tersebut dalam bidang kesehatan.
Salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam pembangunan kesehatan adalah
transisi epidemiologi, dimana masih tingginya jumlah kejadian penyakit-penyakit
menular dan diikuti oleh peningkitan jumlah kejadian penyakit tidak menular
yang sebagian besar bersifat multikausal (disebabkan oleh banyak faktor)
(Departemen Kesehatan, 2007). Penyakit tidak menular (PMT) merupakan
penyakit kronis, PMT mempunyai durasi yang panjang dan umumnya
berkembang lambat. Empat jenis PMT utama menurut WHO adalah penyait
kardiovaskular (penyakit jantung koroner), stroke (cerebrovascular disease),
kanker, dan penyakit pernapasan kronik (asma dan penyakit paru obstruksi
kronis), dan diabetes (Riset Kesehatan Dasar, 2013).
Cerebrovascular Disease (CVD) atau stroke adalah penyakit yang menyerang
otak yaitu berupa gangguan fungsi saraf lokal dan/ atau global, munculnya
mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi saraf pada stroke disebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak non traumatic. Gangguan saraf tersebut
menimbulkan gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara
tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), mungkin penurunan kesadaran, gangguan
penglihatan, dan lain-lainnya. American Heart Association (AHA) (2010)
mengatakan bahwa stroke menyumbangkan sekitar satu dari 18 kematian di
Amerika Serikat pada tahun 2006. Angka kematian tahun 2006 adalah sebanyak
137.119 orang yang terdiri dari 54.524 laki-laki dan 82.595 perempuan. Prediksi
prevalensi stroke tahun 2006 adalah 6,4 juta yang terdiri dari 2,5 juta laki-laki dan
3,9 juta perempuan. Sekitar 795.000 orang mengalami stroke baru, 610.000 orang
diantaranya mengalami serangan pertama dan stroke serangan berulang sekitar
185.000 orang. Berdasarkan estimasi diperkieakan 40 detik akan muncul satu
kasus stroke baru di Amerika ( AHA, 2010). Konferensi Stroke Internasional
1
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
2
tahun 2008 yang di selenggarakan di Wina, Austria mengungkapkan bahwa
jumlah kasus stroke di kawasan Asia akan terus meningkat yang disebabkan oleh
perubahan gaya hidup masyarakat.
Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7
per mil dan terdiagnosa tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per mil.
Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi di Sulawesi
Utara (10,8%), diikuti oleh DI Yogjakarta (10.3%), dan DKI Jakarta 9,7 per mil.
Prevalensi yang terdiagnosis tenaga kesehatan maupun berdasarkan diagnosis atau
gejala sama tinggi pada laki-laki dan perempuan. Prevalensi stroke cenderung
lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah baik yang didiagnosis
tenaga kesehatan (16,5%) maupun diagnosis tenaga kesehatan atau gejala
(32,8%). Prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di desa, baik berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan (8,2%) maupun berdasarkan tenaga kesehatan atau
gejala (12,7%) (Riset Kesehatan Dasar, 2013). Hal ini dapat terjadi karena
disebabkan oleh beban kerja, stres dam tekanan pekerjaan (Patel, 1995). Angka
kejadian stroke sangat tinggi mengenai populasi usia lanjut. Insidens pada usia 7584 tahun sekitar 10 kali dari populasi berusia 55-64 tahun. Hal ini juga tidak jauh
berbeda dengan hasil survey yang dilakukan oleh Yayasan Stroke Indonesia
(2012) mengatakan bahwa kecenderungan meningkatnya jumlah penderita stroke
di Indonesia dalam dasawarsa terakhir dan hal ini menjadikan Indonesia sebagai
negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia.
Data epidemiologi menunjukan bahwa stroke merupakan penyebab kematian
nomor dua di dunia setelah penyakit jantung dan pada tahun 2008, stroke
menyebabkan 6,2 juta orang meninggal (WHO, 2008). Berdasarkan hasil data
WHO dan data Riset Kesehatan Dasar RI dapat dilihat bahwa stroke merupakan
salah satu masalah utama kesehatan di negara maju ataupun negara berkembang
serta penyebab utama kecacatan pada orang dewasa. Stroke juga menimbulkan
dampak yang besar dari segi sosial ekonomi, karena biaya pengobatan yang
relative mahal dan akibat kecacatan yang ditimbulkan pada pasien pasca stroke
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
3
sehingga berkurangnya kemampuan untuk bekerja seperti semula dan menjadi
beban sosial di masyarakat.
Menurut Sudoyo, dkk (2009) mengatakan bahwa stroke dibagi menjadi dua
klasifikasi, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Jenis stroke iskemik
disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak yang kemudian menyebabkan
terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak. Stroke ini sering diakibatkan
oleh trombosis akibat plak aterosklorosis ateri otak/ atau yang memberi
vaskularisasi pada otak atau emboli dari pembuluh darah di luar otak yang
tersangkut di arteri otak. Stroke jenis ini merupakan stroke tersering didapatkan
sekitar 80% dari semua stroke dan stroke ini dapat mengakibatkan syok atau
hipovelemia. Kemudian stroke hemoragik merupakan sekitar 20% dari semua
stroke diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah, dibedakan pada intraserebral,
subdural, dan subaraknoid. National Stroke Association (2014) dan Lewis (2007)
mengatakan bahwa hampir 85% dari kasus stroke adalah iskemik, yang terjadi
akibat sumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah atau yang lain.
Adapun
gejala neurologis yang timbul tergantung berat gangguan pembuluh
darah dan lokasinya. Manifestasi klinik stroke dapat menimbulkan penurunan
kesadaran, afasia, nyeri kepala, penurunan fungsi motorik. Perubahan tersebut
mempengatuhi struktur fisik maupun mental, sehingga dengan adanya perubahan
tersebut mobilisasi penderita akan mengalami kemunduran aktivitas seperti
kelemahan
menggerakkan
kaki,
kelemahan
menggerakkan
tangan,
ketidakmampuan bicara dan ketidakmampuan fungsi-fungsi motorik lainnya
(Smeltzer dan Bare, 2002). Stroke juga merupakan salah satu penyebab kecacatan
permanen di Amerika Serikat dan hal ini menjadikan penyebab yang menetap dari
kecacatan (Lynch et al, 2005).
Penatalaksanaan stoke menurut Setyopranoto (2011) dalam Jurnal Stroke Gejala
dan Penatalaksanaan menyimpulkan bahwa penatalaksanaan stroke dibagi
menjadi dua, yaitu stadium hiperakut, stadium akut, dan stadium subakut. Stadium
hiperakut dilakukan di IGD dan merupakan tindakan resusitasi serebro-kardioUniversitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
4
pulmonal bertujuan agar kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada pasien ini
diberikan oksigen 2L/ menit dan cairan kristaloid, kemudian dilakukan
pemeriksaan CT Scan, EKG, foto toraks, pemeriksaan darah perifer lengkap,
glukosa, APTT, kimia darah, dan analisis gas darah. Stadium akut dilakukan
penanganan faktor-faktor etilogik maupun penyulit dan dilakukan tindakan terapi
fisik, okupasi, wicara, dan psikologis serta telaah sosial untuk membantu
pemulihan pasien. Penjelasan edukasi kepada keluarga pasien perlu menyangkut
dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan pasien yang
dapat dilakukan keluarga. Stadium subakut merupakan tindakan medis yang
berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi wicara, dan bleeder training
(termasuk terapi fisik), sehingga dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif
pasca stroke di rumah sakit dengan tujuan kemandirian pasien, mengerti,
memahami, dan melaksanakan program preventif primer dan sekunder.
Penyakit stroke memberikan dampak pada berbagai sistem tubuh, menurut Lewis
(2007) pada umumnya stroke dapat menyebabkan lima tipe kecatatan (disability),
yaitu: 1) paralisis atau masalah mengontrol gerakan, 2) gangguan sensorik
termasuk nyeri, 3) masalah dalam menggunakan bahasa atau mengerti bahasa, 4)
masalah dalam berpikir dan memori, 5) gangguan emosional. Unsur patologis
yang utama pada stroke adalah terdapatnya defisit motorik berupa hemiparise atau
hemiplagia
yang dapat
mengakibatkan kondisi
imobilitas. Kondisi
ini
menyebabkan terjadinya penurunan kekuatan otot yang dapat mengakibatkan
ketidakmampuan pada otot ekstermitas secara umum, penurunan fleksibilitas dan
kekakuan sendi yang dapat mengekibatkan kontraktur sehingga pada akhirnya
pasien akan mengalami keterbatasan terutama dalam mengakibatkan Activity
Daily Living (ADL).
Fase rehabilitasi pada pasien pasca stroke meliputi perbaikan mobilitas dan
mencegah deformitas, menghindari nyeri bahu, pencapaian perawatan diri, kontrol
kandung kemih, perbaikan proses pikir, pencapaian beberapa bentuk komunikasi,
pemeliharaan integritas kulit, dan tidak adanya komplikasi (Smeltzer & Bare,
202). Hal utama yang harus dilakukan dalam tindakan keperawatan untuk pasien
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
5
pasca stroke adalah memperbaiki mobilitas dan mencegah deformitas. Intervensi
keperawatan untuk memperbaiki mobilitas dan mencegagh deformitas adalah
dengan cara latihan rentang pergerakan sendi (RPS) atau Range of Motion (ROM)
dan pengaturan posisi.
Rentang pergerakan sendi merupakan salah satu terapi lanjutan pada pasien stroke
setelah fase akut telah terlewati atau telah memasuki fase rehabilitasi. Rentang
gerak Sendi (RPS) adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya
kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakan masing-masing
persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif. Latihan aktif
membantu mempertahankan fleksibilitas sendi dan kekuatan otot serta
meningkatkan
penampilan
kognitif.
Sebaliknya,
gerakan
pasif,
yaitu
menggerakkan sendi seseorang melalui rentang geraknya oleh orang lain, hanya
membantu mempertahankan fleksibilitas (Potter & Perry, 2005).
Adapun komplikasi yang akan datang jika pasien pasca stroke tidak dilakukan
latihan rentang gerak sendi adalah kontraktur dan atrofi (Kozier, 2004). Hasil
penelitian oleh Astrid (2008) didapatkan hasil bahwa kekuatan otot meningkat dan
kemampuan fungsional meningkat secara signifikan setelah diberikan latihan. Hal
ini berarti latihan RPS berpengaruh terhadap peningkatan kekuatan otot dan
kemampuan fungsional pasien stroke dengan hemiparise. Penelitian yang
dilakukan oleh Yulinda (2009) mendapatkan hasil bahwa adanya peningkatan
kekuatan otot dan kemampuan fungsional klien setelah melakukan ROM secara
teratur selama 4 minggu. Berdasarkan penelitian yang telah disampaikan diatas
yang berkaitan dengan latihan RPS, hampir semua penelitian menggunakan
latihan RPS unilateral, dimana hanya dilakukan pada bagian ekstermitas yang
mengalami hemiparise. Latihan RPS pada pasien stroke dapat dilakukan pada
semua ekstermitas yang mengalami hemiparises ataupun tidak, latihan ini disebut
dengan RPS bilateral (Neurodevelopment Treatment (NDT) Approach). Adapun
penelitian tentang penggunaan Neurodevelopment Treatment (NDT) Approach
adalah penelitian yang dilakukan oleh Yulinda (2009) yang menyimpulkan bahwa
perkembangan kemampuan kekuatan otot dan refleks yang berhubungan dengan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
6
perkembangan motorik dapat mengalami peningkatan. Penelitian yang dilakukan
oleh Stoykov (2009) menyimpulkan bahwa latihan RPS bilateral dapat
meningkatkan kekuatan otot dan kemampuan fungsional.
Berdasarkan rekap data RSUP. Persahabatan, khususnya Ruang Rawat Melati
Atas Mei-Juni 2014 ditemukan sebanyak 16 kasus, yang hampir 90% mengalami
stroke iskemik dan pasien yang terkena stroke mengalami hemiparises atau
hemiparalisi pada bagian ekstrimitas. Hal ini menempatkan stroke sebagai
penyakit terbanyak di Ruang Melati Atas setelah Diabetes Mellitus. Berdasarkan
hasil wawancara dengan perawat ruangan didapatkan hasil bahwa perawat
ruangan biasanya bekerja sama dengan keluarga untuk melakukan ROM uniteral
secara tidak terprogram. Berdasarkan hal tersebut pasien dengan stroke perlu
dilatih untuk melakukan latihan rentang gerak sendi yang bertujuan untuk
menstabilkan atau mempertahankan fungsi mobilisasi sendi, kekuatan otot, dan
untuk mencegah komplikasi dari imobilisasi seperti atrofi otot dan kontraktur.
Karya ilmiah ini
menggunakan metode studi kasus terdahap pasien dengan
masalah keperawatan kerusakan mobilitas fisik yang mengalami rawat inap di
Ruang Melati Atas RSUP Persahabatan. Mahasiswa melakukan analisis praktik
klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan terhadap pengaruh RPS pada
perubahan mobilisasi pasien stroke.
1.2.
Tujuan Penulisan
1.2.1. Tujuan Umum
Menggambarkan analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat
perkotaan terhadap pengaruh RPS pada perubahan mobilisasi pasien stroke di
Ruang Melati Atas RSUP Persahabatan.
1.2.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.
Melakukan analisis masalah keperawatan terkait dengan kasus mobilisasi
fisik pada pasien pasca stroke dan konsep Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
7
2.
Melakukan asuhan keperawatan pada pasien stroke hemoragik dengan
gangguan mobilitas fisik.
3.
Melakukan analisis intervensi latihan rentang gerak sendi dalam mengatasi
gangguan mobilitas fisik pada pasien dengan stroke hemoragik.
1.3.
Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini antara lain:
1.
Pelayanan Keperawatan
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan inspirasi kepada para
perawat untuk lebih memodifikasi lagi dalam menyusun asuhan keperawatan.
Khususnya dalam memberikan intervensi keperawatan kepada penderita
pasca stroke yang mengalami gangguan mobilisasi fisik. Intervensi tersebut
dilakukan sesuai dengan penelitian yang telah ada dan mudah untuk
dilakukan.
2.
Rumah Sakit
Hasil penulisan ini dapat dijadikan bahan masukan dan informasi mengenai
penanganan pasien pasca stroke dengan gangguan mobilitas di RSUP
Persahabatan, khususnya di Ruang Melati Atas agar pasien tidak terkena
kontraktur.
3.
Pendidikan
Hasil penulisan ini diharapkan mampu meningkan kualitas pembelajaran dan
mengembangkan ilmu yang berkaitan dengan sistem neurologi khususnya
mengenai penyakit stroke dengan pasien yang mengalami gangguan
mobilisasi akibat terjadinya penyumbatan di otak sehingga terputusnya sistem
koordinasi tubuh, sehingga tidak ada lagi pasien stroke yang mengalami
kontraktur. Hal ini sebagai dasar mengenai informasi RPS tehadap perubahan
mobilisasi pada pasien pasca stroke.
4.
Penulis Selanjutnya
Hasill penulisan ini diharapkan dapat menjadikan dasar untuk melakukan
evidence based practice yang serupa dengan kasus yang lain sesuai dengan
penelitian terbaru.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Stroke
Keperawatan masyarakat perkotaan menurut Allender dan Spradley (2011)
merupakan lahan keperawatan, yang berfokus pada populasi, menekankan
terhadap pencegahan akan penyakit serta adanya peningkatan kesejahteraan diri,
meningkatkan tanggung jawab pasien terhadap perawatan diri, menggunakan
penilaian dan analisa, menggunakan teori organisasi dan melibatkan kolaborasi
antar profesi. Perkotaan menurut BAPPENAS (2005) merupakan wilayah yang
memiliki karakteristik kepadatan penduduk mencapai atau lebih dari 50 jiwa per
Ha, dimana mayoritas penduduknya berusaha bekerja pada wilayah industri,
perdagangan, dan jasa. Perkotaan menurut UU No. 22/1999 adalah kawasan yang
mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan
sebagai tempat pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan
ekonomi. Sehingga dapat diartikan bahwa perkotaan adalah wilayah yang
memiliki jumlah kepadatan penduduk yang besar, memiliki wilayah industri, dan
pusat administratif pemerintahan. Tingginya aktivitas dan tuntutan pekerjaan yang
dialami oleh masyarakat perkotaan menyebabkan sulit untuk melakukan pola
hidup sehat, seperti konsumsi makanan cepat saji, waktu olahraga yang terbatas,
dan stres akibat pekerjaan. Hal ini dapat memicu penyakit degeneratif, seperti
stroke. Berdasarkan data dari WHO (2011), kematian akibat penyakit tidak
menular sekitar 60% dari seluruh penyebab kematian di negara-negara
berkembang.
Indonesia
mengalami
prevalensi
sebanyak
60%
kematian
disebabkan oleh penyakit degeneratif, yang paling banyak dialami adalah stroke.
Stroke menunjukkan adanya beberapa kelainan otak baik secara fungsional
maupun struktural yang disebabkan oleh keadaan patologis dari pembuluh darah
serebral atau dari seluruh sistem pembuluh darah di otak. Patologis ini
menyebabkan pendarahan dari sebuah robekan yang terjadi pada dinding
pembuluh darah atau kerusakan sirkulasi serebral oleh oklusi parsial atau seluruh
lumen pembuluh darah dengan pengaruh yang bersifat sementara atau permanen
(Doenges, 2010).
8
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
9
2.1.1. Definisi Stroke
Stoke merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan
neurologis yang disebabkan oleh interupsi dalam suplai darah ke salah satu bagian
otak. Stroke merupakan sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif,
cepat, berupa defist neurologis vocal atau global yang berlangsung selama 24 jam
atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak non traumatic (Black & Hawks, 2005;
Ignatavicius & Workman, 2010). Menurut Smeltzer dan Bare (2002) stroke atau
cedera serebrovaskular adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh
berhentinya suplai darah ke bagian otak. WHO (2006) mendefinisikan stroke
adalah sebagai suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak
fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau
lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas
selain vaskuler. Jadi dapat disimpulkan bahwa stroke merupakan manifestasi
gangguan neurologis pada bagian otak akibat adanya hambatan suplai darah ke
bagian otak sehingga menimbulkan kelumpuhan hingga kematian.
2.1.2. Klasifikasi Stroke
Berdasarkan atas jenisnya, stroke terbagi atas stroke non hemoragik dan stroke
hemoragik.
1.
Stroke Non Hemoragik (Iskemik Stroke)
Gangguan sirkulasi serebral yang disebabkan oleh oklusi sebagian atau
lengkap dari pembuluh darah dengan transient atau efek permanen. Jenis
stroke ini sering diakibatkan oleh trombosis akibat plak aterosklerosis ateri
otak/ atau yang memberi vaskularisasi pada otak atau seuatu emboli dari
pembuluh darah di luar otak dan merupakan stroke yang paling sering terjadi
(Sudoyo, 2009). Doenges, Moorhouse, dan Murr (2010) membagi penyebab
dari stroke iskemik yaitu trombotik pembuluh darah besar dan stroke
embolik, trombolik stroke pembuluh darahampir 80%h kecil, stroke
kerdioembolik, dan lain-lain. Iskemia mungkin bersifat sementara dan
menyelesaikan dalam waktu 24 jam, dapat diubah dengan resolusi gejala
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
10
selama periode 1 minggu (reversibel defisit neurologis iskemik, atau
kemajuan infark serebral dengan variabel efek dan derajat pemulihan).
 Transient Ischemic Attack (TIA)
Gangguan akut dari fungsi fokal serebral yang gejalanya berlangsung
kurang dari 24 jam dan disebabkan oleh thrombus atau emboli. Satu
sampai dua jam dapat ditangani, namun apabila sampai tiga jam juga
masih belum teratasi sekitar 50% pasien sudah terdapat infark dari hasil
MRI. Setelah TIA, 10% sampai 15% pasien dalam 7 hari, 30 hari, 90 hari
akan terkena stroke, namun lebih banyak pasien yang terkena stroke
setalah dua hari setelah TIA (Gofir, 2009; Burst, 2007).
 Reversible Ischemic Neurogical Deficit (RIND)
Sama seperti TIA gejala neurologi dari RIND akan menghilang lebih dari
24 jam, biasanya RIND akan membaik dalam waktu 24-48 jam (Gofir,
2009).
 Stroke In Evolution (Progressing Stroke)
Pada keadaan ini gejala dan tanda neurologis fokal terus memburuk setelah
48 jam. Defisit neurologis yang timbul berlangsung secara bertahap dari
yang ringan menjadi lebih berat (Gofir, 2009; Burst, 2007).
 Complate Stroke Non Hemorrahagic
Kelainan neurologis sudah menetap tidak berkembang lagi bergantun
daerah bagian otak mana yang mengalami infark.
2.
Stroke Hemoragik
Sudoyo, dkk (2009) mengatakan bahwa stroke jenis ini terjadi hanya sekitar
20% dari semua stroke diakibatkan oleh pecahnya suatu mikro eneurisma dari
Charcot atau etat crible di otak. Dibedakan antara pendarahan intraserebral,
subdural, dan subaraknoid. Kemudian hanya 20% dari pasien mendapatkan
kembali kemandirian fungsional (Nassisi, 2008 dalam Doenges, Moorhouse,
& Murr, 2010).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
11
 Pendarahan Intraserebral (PIS)
Pendarahan ini terjadi di dalam substansi atau parenkim otak. Penyebab
utamanya adalah hipertensi tidak terkontrol. Penyebab lainnya yaitu
malformasi arteriovenosa (MVA), alcohol, diskrasia darah, dan angiopati
(Caplan, 2007). Pendarahan jenis ini arteri yang sebagai vaskularisasi
mengalami ruptur dan menyebabkan kebocoran darah kebagian otak yang
lain dan terkadang membuat otak tertekan dikarenakan penambahan
volume cairan. Pada orang dengan hipertensi kronis terjadi proses
degeneratif pada otot dari dinding arteri sehingga dapat membentuk
aneurisma.
 Pendarahan Subarachoid (PSA)
Penyebab tersering adalah rupturnya aneurima arterial yang ada di otak
dan perdarahan dari malformasi vascular yang terletak dengan piameter.
Penyebab lain berupa akibat trauma, angiopati amiloid. Bila pecahnya
aneurisma ini berhubungan dengan cairan serebrospinal akan terjadi
peningkatan tekanan intracranial, dan bila tidak cepat ditangani akan
menyebabkan kematian.
Gambar 2.1 Stroke Hemoragik dan Stroke Iskemik
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
12
2.1.3. Etiologi Stroke
Stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari empat kejadian, yaitu trombosis
(bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher), embolisme serebral
(bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh yang
lain), iskemia (penurunan aliran darah ke area otak), dan hemoragik serebral
(pecahnya pembuluh darah serebral dengan pendarahan ke dalam jaringan otak
atau ruang sekitar otak) (Smeltzer & Bare, 2002).
1.
Trombosis Serebral
Arteriosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah
penyebab utama trombosis serebral. Trombosis serebral merupakan
penyebab tersering stroke. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi.
Sakit kepala adalah awitan yang tidak umum. Beberapa pasien dapat
mengalami pusing, perubahan kognitif, atau kejang, dan beberapa
mengalami awitan yang tidak dapat dibedakan dari hemoragik intrasebral
atau embolisme serebral. Secara umum, trombosis serebral tidak terjadi
secara tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, hemiplagia, atau
parestesia pada setengah tubuh dapat mendahului awitan paralisis berat
pada beberapa jam atau hari.
gambar 2.2 Trombus Serebral
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
13
2.
Embolisme Serebral
Embolus dapat berupa bekuan darah, lemak, udara hingga menyebabkan
sumbatan. Abnormalitas patologik pada jantung kiri, seperti endokarditis
infektif, penyakit jantung reumatik, dan infark miokard, serta infeksi
pulmonal
adalah
tempat-tempat
asal
emboli.
Embolus
biasanya
menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-cabangnya, yang merusak
sirkulasi serebral. Awitan hemiparesis atau hemiplagia tiba-tiba dengan
atau tanpa afasia atau kehilangan kesadaran pada pasien dengan penyakit
jantung atau pulmonal adalah karakteristik dari embolisme serebral.
3.
Iskemia Serebral
Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena
konstriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak. Manifestasi
paling umum adalah SIS (Serangan Iskemik Sementara). Stroke yang
terkena iskemik dapat terjadi enam bulan setelah menderita SIS atau
mengalami SIS secara berulang.
4.
Hemoragik Serebral
Hemoragik ini terjadi di luar dura mater (hemoragik estradural atau
epidural), di bawah dura mater (hemoragik subdural), di ruang
subaraknoid, atau di dalam subtansi otak (hemoragik intrasebral).
Hemoragik serebral terjadi karena pecahnya pembuluh darah serebral
dengan pendarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak,
akibatnya terjaid penghentian suplai darah ke otak.
Hemoragik intarsebral adalah pendarahan yang paling sering terjadi pada
pasien hipertensi dan aterosklerosis serebral, karena perubahan degeneratif
karena penyakit ini biasanya menyebabkan ruptur pembuluh darah. Stroke
sering terjadi pada kelompok usia 40-70 tahun. pada orang yang lebih
muda dari 40 tahun, hemoragk intrasebral biasanya disebabkan oleh
malformasi arteri-vena, hemangioblastoma, dan trauma. Juga disebabkan
oleh tipe patologi arteri tertentu., adanya tumor otak, dan penggunaan
medikasi (antikoagulan oral, amfetamin, dan berbagai obat aditif).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
14
Peredaran darah biasanya aterial dan terjadi terutama pada basal ganglia.
Gambaran klinis dan prognosis bergantung terutama pada derajat
hemoragik dan kerusakan otak. Biasanya awitan tiba-tiba, dengan sakit
kepala berat. Bila hemoragik membesar, makin jelas defisit neurologic
yang terjadi dalam bentuk penurunan keasadaran dan abnormalitas tandatanda vital.
Gambar 2.3. Hemoragik Serebral
2.1.4. Faktor-Faktor Resiko Stroke
Menurut Sudoyo (2009) dan Smeltzer (2008) secara patologis pada non
hemoragik, merupakan stroke terbanyak dari seluruh stroke, apa yang terjadi di
pembuluh darah di otak serupa dengan apa yang terjadi di jantung, terutama jenis
emboli dan trombosis. Oleh karena itu faktor resiko terjadinya stroke serupa
dengan faktor resiko penyakit jantung iskemik, yaitu:
1.
Usia, yang merupakan faktor resiko independen terjadinya stroke
2.
Jenis kelamin, pada perempuan premenopause lebih rendah dibandingkan
pria. Setelah menopause faktor perlindungan pada wanita menghilang, dan
insidensnya hampir sama dengan pria
3.
Hipertensi, baik sistolik dmaupun diastolic merupakan faktor resiko
dominan untuk terjadinya stroke lebih hemoragik atau non hemoragik
4.
Diabetes mellitus, hiperlipidemia
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
15
5.
Keadaan hiperviskositas berbagai kelainan jantung, antara lain gangguan
irama jantung (fibrilasi atrial), infark yang disertai vegetasi (endokarditis
bakterialis subakut), tumor atrium
6.
Penyebab jantung dikatakan bertanggung jawab atas sekitar 30% dari
penyebab stroke
7.
Koagulopati karena gangguan berbagai komponen darah
8.
Faktor keturunan/ hipovolemia dan syok terutama pada populasi usia
lanjut, dimana refleks sirkulasi sudah tidak baik lagi.
2.1.5. Tanda dan Gejala Stroke
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah dimana yang tersumbat), ukuran area perfusinya tidak adekuat,
dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesoris). Fungsi otak yang
rusak tidak dapat membaik sepenuhnya (Smeltzer & Bare 2002).
1.
Kehilangan Motorik
Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan
kontrol volunter terhadap gerakan motorik, karena neuron motor atas
melintas, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat
menunjukkan pada neuro motor yang berlawanan. Disfungsi motor paling
umum adalah hemiplagia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada
sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi
tubuh juga salah satu tanda dan gejalanya. Kemudian ataksia, yaitu
berjalan tidak mantap, tidak tegap, dan tidak mampu menyatukan kaki.
Menurut Lemone dan Burke (2004) gangguan motorik yang terjadi pada
pasien stroke dapat berupa hemiparesis (kelemahan pada salah satu sisi
tubuh), flaccidity (hilangnya tonus otot), spasticity (hipertonia yang
disertai dengan kelemahan)
2.
Kehilangan Komunikasi
Stroke merupakan penyebab afaksia yang paling umum. Disfungsi bahasa
dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut, yaitu disartria
(kesulitan bicara) ditujukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang
disebabkan oleh paralisis otot bicara. Disfasia atau afasia (bicara defektif
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
16
atau kehilangan bicara), yaitu terutama ekspresif atau reseptif. Apraksia
(ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya)
3.
Gangguan Persepsi
Ketidakmampuan untuk menginteprestasikan sensasi. Stroke dapat
mengakibatkan disfungsi persepsi visual, gangguan dalam visual-spasial
dan
kehilangan
sensoris.
Disfungsi
persepsi
visual,
homonimus
hemianopsia yaitu kehilangan setengah lapangan pandang, tidak
menyadari
orang atau
objek
di
tempat
kehilangan
penglihatan
mengabaikan salah satu sisi tubuh, kesulitan menilai jarak. Kehilangan
penglihatan perifer yaitu kesulitan melihat pada malam hari. Gangguan
hubungan visual spasial adalah diplopia (penglihatan ganda). Kehilangan
sensoris, terjadi pada sisi berlawanan dari lesi, kebas, dan kesemutan pada
bagian tubuh (parastesia).
4.
Kerusakan Fungsi Kognitif dan Efek Psikologi
Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapan perhatian terbatas, kesulitan
dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi yang menyebabkan pasien
menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi. Masalah
psikologi lainnya adalah labilitas emosional, kurang kooperatif. Menurut
Lemone dan Burke (2004) mengatakan bahwa perubahan tingkah laku
termasuk emosi labil, kehilangan kontrol diri dan menurunnya toleransi
terhadap stres disebabkan oleh kerusakan jaringan. Perubahan intelektual
bisa terjadi berupa kehilangna memori, penurunan perhatian, penilaian,
dan ketidakmampuan berpikir abstrak.
5.
Disfungsi Kandung Kemih
Pada pasien stroke mungkin mengalami inkontinensia urinarius sementara
karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal/ bedpan karena kerusakan
kontrol motorik dan postural. Pasca stroke kadang-kadang kandung kemih
bersifat atonik, dengan kerusakan sensasi dalam respon pengisian kandung
kemih, kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau
berkurang. Perubahan eliminasi bowel juga sering dialami oleh pasien
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
17
stroke, hal ini disebabkan oleh adanya penurunan kesadaran, imobilitas
atau dehidrasi (Lemone & Burke, 2004).
2.1.6. Komplikasi Stroke
Komplikasi akut bisa berupa gangguan neurologis atau nonneurologis. Gangguan
neurologis misalnya edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang
dapat menyebabkan herniasi atau kompresi batang otak, kejang, dan transformasi
hemoragik.
Gangguan
nonneurologis,
misalnya
adalah
infeksi
(contoh:
pneumonia), gangguan jantung, gangguan keseimbangan elektrolit, edema paru,
hiperglikemia reaktif. Kejang biasanya muncul dalam 24 jam pertama pasca
stroke dan biasanya parsial dengan atau tanpa berkembang menjadi umum.
Kejang berulang terjadi pada 20-80% kasus. Penggunaan antikonvulsan sebagai
profilaksis kejang pada pasien stroke tidak terbukti bermanfaat. Terapi kejang
pada pasien stroke sama dengan penanganan kejang pada umumnya (Stroke
Centre, 2003).
2.1.7. Patofisiologi Stroke
Stroke merupakan penyakit peredarah darah otak yang diakibatkan oleh
tersumbatnya aliran darah ke otak atau pecahnya pembuluh darah di otak,
sehingga suplai darah ke otak berkurang (Smletzer & Bare, 2005). Secara umum
ganguan pembuluh darah otak atau stroke merupakan gangguan sirkulasi serebral.
Merupakan gangguan neurologik fokal yang dapat timbul sekunder dari suatu
proses patologi pada pembuluh darah serebral. Stroke bukan merupakan penyakit
tunggal tetapi merupakan kumpulan tanda dan gejala dari beberapa penyakit
diantaranya ; hipertensi, penyakit jantung, peningkatan lemak dalam darah,
diabetes mellitus, dan penyakit vaskuler perifer (Markus, 2001). Penyebab utama
stroke berdasarkan urutan adalah aterosklerosis (trombosis), embolisme,
hipertensi yang dapat menimbulkan perdarahan intraserebral dan rupture
aneurisme sakuler (Price & Wilson, 2002).
Trombosis serebral (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher),
aterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral merupakan penyebab
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
18
utama terjadinya thrombosis. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain
yang di bawa ke otak dari bagian tubuh yang lain), abnormalitas patologik pada
jantung kiri seperti endokarditis, jantung reumatik, serta infeksi pulmonal adalah
tempat berasalnya emboli. Hemoragik serebral (pecahnya pembuluh darah
serebral sehingga terjadi perdarahan ke dalam jaringan otak atau area sekitar),
hemoragik dapat terjadi di epidural, subdural, dan intraserebral. (Hudak & Gallo,
2005; Ranakusuma, 2002). Stroke hemoragik terjadi perdarahan yang berasal dari
pecahnya arteri penetrans yang merupakan cabang dari pembuluh darah
superfisial dan berjalan tegak lurus menuju parenkim otak yang di bagian
distalnya berupa anyaman kapiler. Aterosklerosis dapat terjadi dengan
bertambahnya umur dan adanya hipertensi kronik, sehingga sepanjang arteri
penetrans terjadi aneurisma kecil-kecil dengan diameter 1 mm. Peningkatan
tekanan darah yang terus menerus akan mengakibatkan pecahnya aneurisme ini,
sehingga dapat terjadi perdarahan dalam parenkim otak yang bisa mendorong
struktur otak dan merembas kesekitarnya bahkan dapat masuk kedalam ventrikel
atau ke ruang intrakranial. Perdarahan intracranial biasanya disebabkan oleh
karena ruptur arteri serebri. Ekstravasasi darah terjadi di daerah otak dan atau
subaraknoid, sehingga jaringan yang ada disekitarnya akan tergeser dan tertekan.
Darah ini sangat mengiritasi jaringan otak, sehingga dapat mengakibatkan
vasospasme pada arteri di sekitar perdarahan. Spasme ini dapat menyebar ke
seluruh hemisfer otak dan sirkulus willis. Bekuan darah yang semula lunak
akhirnya akan larut dan mengecil. Daerah otak disekitar bekuan darah dapat
membengkak dan mengalami nekrosis, karena kerja enzim-enzim maka bekuan
darah akan mencair, sehingga terbentuk suatu rongga. Sesudah beberapa bulan
semua jaringan nekrotik akan diganti oleh astrosit dan kapiler-kapiler baru
sehingga terbentuk jalinan desekitar rongga tadi. Akhirnya rongga-rongga tersebut
terisi oleh astroglia yang mengalami proliferasi (Price & Willson, 2002).
Perdarahan
subaraknoid
sering
dikaitkan
dengan
pecahnya
aneurisma.
Kebanyakan aneurisma mengenai sirkulus wilisi. Hipertensi atau gangguan
perdarahan mempermudah kemungkinan terjadinya ruptur, dan sering terdapat
lebih dari satu aneurisma. Gangguan neurologis tergantung letak dan beratnya
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
19
perdarahan. Pembuluh yang mengalami gangguan biasanya arteri yang menembus
otak seperti cabang-cabang lentikulostriata dari arteri serebri media yang
memperdarahi sebagian dari ganglia basalis dan sebagian besar kapsula interna.
Timbulnya penyakit ini mendadak dan evolusinya dapat cepat dan konstan,
berlangsung beberapa menit, beberapa jam, bahkan beberapa hari. Gambaran
klinis yang sering terjadi antara lain; sakit kepala berat, leher bagian belakang
kaku, muntah, penurunan kesadaran, dan kejang. Sembilan puluh prosen
menunjukkan adanya darah dalam cairan serebrospinal (bila perdarahan besar dan
atau letak dekat ventrikel), dari semua pasien ini 70-75% akan meninggal dalam
waktu 1-30 hari, biasanya diakibatkan karena meluasnya perdarahan sampai ke
system ventrikel, herniasi lobus temporalis, dan penekanan mesensefalon, atau
mungkin disebabkan karena perembasan darah ke pusat-pusat yang vital
(Hieckey, 1997; Smletzer & Bare, 2005).
Penimbunan darah yang cukup banyak (100 ml) di bagian hemisfer serebri masih
dapat ditoleransi tanpa memperlihatkan gejala-gejala klinis yang nyata.Sedangkan
adanya bekuan darah dalam batang otak sebanyak 5 ml saja sudahdapat
mengakibatkan kematian. Bila perdarahan serebri akibat aneurisma yang pecah
biasanya pasien masih muda, dan 20 % mempunyai lebih dari satu aneurisma
(Black & Hawk, 2005). Bila melihat awitan kejadian dan tanda-tanda klinis yang
ditimbulkan maka dapat disimpulkan pasien Tn. S mengalami strok hemoragik,
terjadinya perdarahanan dimungkinkan akibat hipertensi lama yang tidak
terkontrol. Hal ini juga dibuktikan dari hasil CT-Scan kepala tanpa kontras yaitu
adanya lesi hiperden di daerah pons, berarti menunjukkan adanya perdarahan di
pons. Selain itu juga ditemukan adanya lakunar infark basal ganglia kiri, infrak ini
dapat sebabkan karena terjadi perdarahan intrakranial sehingga akan terjadi
vasospasme pembuluh darah yang menyebabkan suplai oksigen ke jaringan
sekitar menurun sehingga dapat terjadi infark.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
20
2.1.8. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Stroke
1.
Pengkajian
Pengkajian keperawatan stroke meliputi anamnesis riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian psikososial.
Anamesis terdiri dari identitas pasien meliputi nama, usia, jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam
masuk rumah sakit, nomor register, dan diagnose medis. Keluhan yang
sering menjadi alasan pasien untuk meminta bantuan kesehatan adalah
kelemahan pada anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi, dan penurunan kesedaran.
Riwayat kesehatan saat ini, serangan stroke hemoragik sering kali
berlangsung secara mendadak pada saat pasien melakukan aktivitasnya.
Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah, bahkan kejang sampai tidak
sadar selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak
yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
dalam hal perubahan di dalam intracranial. Keluhan perubahan perilaku
juga umum terjadi, sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi latargi,
tidak responsive, dan koma.
Riwayat penyakit terdahulu, adanya hipertensi, riwayat stroke sebelumnya,
diabetes mellitus, penyakit jantung, riwayat trauma kepala, kontrasepsi
oral yang lama, penggunaan obat antikoagulan yang sering digunakan
pasien (obat-obatan antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta).
Adanya riwayat merokok dan pengunaan alkohol. Pengkajian riwayat ini
dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih lanjut dan untuk memberikan
tindakan selanjutnya. Riwatar penyakit keluarga, biasanya ada riwayat
keluarga yang menderita hipertensi, diabetes mellitus, atau adanya riwayat
stroke dari generasi terdahulu.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
21
Pengkajian menurut Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010
a.
Aktivitas/Istirahat
DO: Perubahan tonus otot (lembek atau kejang) kelemahan secara
umum, kelumpuhan satu sisi, dan perubahan tingkat kesadaran.
DS: Kesulitan dengan aktivitas karena kelemahan, hilangnya sensasi,
atau paralysis (hemiplegia), mudah lelah, dan kesulitan istirahat, rasa
sakit atau otot berkedut.
b.
Sirkulasi
DO: Hipertensi arteri, yang umum kecuali CVD karena emboli atau
malformasi vaskular, denyut nadi dapat bervariasi karena berbagai
faktor, seperti yang sudah ada sebelumnya, kondisi jantung, obatobatan, efek stroke pada vasomotor pusat disritmia, perubahan
elektrokardiografi (EKG), bruit di karotis, femoralis, atau arteri iliaka,
atau aorta abdominal mungkin atau mungkin tidak hadir.
DS: Riwayat penyakit jantung infark miokard-(MI), rematik dan
penyakit jantung katup, gagal jantung (HF), endokarditis bakteri,
polisitemia.
c.
Integritas ego
DO: Emosional labil; tanggapan berlebihan atau tidak pantas untuk
marah, sedih, kebahagiaan; kesulitan mengekspresikan diri.
DS: Perasaan tidak berdaya, putus asa.
d.
Eliminasi
DO: Perubahan pola berkemih-inkontinensia, anuria; perut buncit;
distensi kandung kemih; mungkin memiliki absen atau hilang bising
usus jika neurogenic paralitik ileus hadir.
e.
Makanan/minuman
DO: Obesitas (faktor risiko); masalah mengunyah dan menelan.
DS: Riwayat diabetes, peningkatan lipid serum (faktor risiko);
kurangnya nafsu makan; mual atau muntah selama acara akut
(peningkatan tekanan intrakranial); kehilangan sensasi di lidah, pipi,
dan tenggorokan; disfagia.
f.
Neurosensori
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
22
DO: Mental Status: Coma biasanya muncul pada tahap awal gangguan
perdarahan, kesadaran biasanya muncul bila etiologi adalah trombotik
alami; perubahan perilaku lesu, apatis, combativeness; perubahan
fungsi
kognitif-memori,
pemecahan
masalah,
pengurutan.
Ekstremitas: Kelemahan dan kelumpuhan kontralateral pada semua
jenis stroke, genggaman tangan tidak sama; berkurang tendon dalam
refleks (kontralateral), kelumpuhan wajah atau paresis (ipsilateral).
Afasia: Mungkin ekspresif (kesulitan menghasilkan ucapan), reseptif
(kesulitan bicara), maupun global (kombinasi dari dua); Agnosia;
Perubahan kesadaran citra tubuh, pengabaian atau penolakan
kontralateral sisi tubuh (mengabaikan unilateral), gangguan persepsi;
Apraxia. Ukuran dan reaksi pupil: Mungkin tidak setara, melebar dan
pupil pada sisi ipsilateral dapat hadir dengan pendarahan atau herniasi;
Nuchal kekakuan- umum dalam stroke hemoragik; Kejang - umum
dalam stroke hemoragik.
DS: Sejarah TIA, RIND; pusing atau sinkop sebelum stroke atau
transient selama TIA; sakit kepala parah dapat menemani pendarahan
intraserebral atau subarachnoid; kesemutan, mati rasa, dan kelemahan
umum dilaporkan selama TIA, ditemukan dalam berbagai derajat di
jenis-jenis stroke; sisi yang terlibat tampaknya "mati"; defisit
penglihatan-kabur,
hilangnya
sebagian
penglihatan
(kebutaan),
penglihatan ganda (diplopia), atau gangguan lainnyadi bidang visual;
hilangnya sensoris pada sisi kontralateral di kaki dan kadang-kadang
di sisi ipsilateral wajah; gangguan pada indera rasa, bau.
g.
Nyeri/ketidaknyamanan
DO: Perilaku menjaga dan gangguan, gelisah, ketegangan otot atau
wajah.
DS: Sakit kepala intensitas yang berbeda-beda.
h.
Respirasi
DO: Ketidakmampuan untuk menelan, batuk, atau melindungi jalan
napas; pernapasan bekerja dan tidak teratur; respirasi bising, ronki
(aspirasi sekresi).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
23
DS: Merokok (faktor risiko).
i.
Keamanan
DO: Masalah dengan penglihatan; Perubahan persepsi tubuh orientasi
spasial (CVD kanan), mengabaikan; Kesulitan melihat benda-benda di
sisi kiri (CVD kanan); Menjadi menyadari sisi yang terkena;
Ketidakmampuan untuk mengenali benda, warna, kata, wajah;
Hilangnya respon terhadap panas dan dingin, tubuh diubah pengaturan
suhu;
Kesulitan
menelan,
ketidakmampuan
untuk
memenuhi
kebutuhan gizi sendiri; Gangguan keputusan, sedikit perhatian untuk
keselamatan, ketidaksabaran, kurangnya wawasan (CVA kanan).
j.
Interaksi sosial
DO: Masalah berbicara; Ketidakmampuan untuk berkomunikasi;
Perilaku tidak sesuai.
k.
Pembelajaran/belajar
DS: Riwayat keluarga hipertensi, stroke, diabetes; Penggunaan
kontrasepsi oral; Merokok, penyalahgunaan alkohol (faktor risiko);
Obesitas.
l.
Pertimbangan Discharge Planning
Obat dan terapi; Bantuan dengan transportasi, belanja, persiapan
makanan, perawatan diri, dan ibu rumah tangga atau pemeliharaan
tugas; Perubahan tata letak fisik rumah; Penempatan Transisi sebelum
kembali ke pengaturan rumah.
2.
Pemeriksaan Fisik
Menurut Muttaqin (2008) yang temasuk pemeriksaan fisik untuk pasien
stroke adalah keadaan umum (B1 (breathing), B2 (blood), B3 (Brain))
tingkat kesadaran, pemeriksaan saraf kranial, sistem motorik, gerakan
involunter, dan sistem sensorik (B4 (bladder), B5 (bowel), B6 (bone)).
a.
Pemeriksaan saraf kranial
 Saraf I, biasanya ada masalah pada penciuman.
 Saraf II, disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensoris
primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan
visual parsial sering terlihat pada pasien dengan hemiplegia kiri.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
24
Pasien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena
ketidakmampuan untuk memcocokan pakaian ke bagian tubuh.
 Saraf III, IV, dan IV, apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis
sesisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan
konjugat unilateral di sisi yang sakit.
 Saraf V, pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf
trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah. Penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral dan
kelumpuhan sesisi otot-otot pterigoideus internus dan eksternus
 Saraf VII, persepsi pengecapan dalam batas normal, asimetris, otot
wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
 Saraf VIII, tidak ditemukan tuli konduktif dan tuli persepsi.
 Saraf XI dan X, kemampuan menelan tidak baik, kesukaran
membuka mulut.
 Saraf XI, tidak atrofi otot sternokleidomastideus dan trapezius.
 Saraf XII, lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan
fasikulasi, indra pengecapan normal.
3.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan stroke
antara lain:
a.
Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
interupsi aliran darah; gangguan oklusif, hemoragik; vasospasme
serebral, edema serebral
b.
Hambatan
mobilitas
fisik
berhubungan
dengan
keterlibatan
neuromuskuler; kelemahan, parestesia; flaksid/ paralisis hipotonik
(awal); paralisis spastic
c.
Hambatan komunikasi verbal dan/ atau (tertulis) berhubungan dengan
kerusakan sirkulasi serebral; kerusakan neuromuscular, kehilangan
tonus/ kontrol otot fasial/ oral, kelemahan/ kelelahan umum
d.
Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuscular,
penurunan kekuatan otot dan ketahanan, kehilangan kontrol/
koordinasi otot
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
25
e.
Gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan biofisik,
psikososial, perceptual kognitif
f.
4.
Resiko kerusakan menelan
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan stroke menurut Black dan Hawks (2009) adalah sebagai
berikut:
a.
Identifikasi stroke secara dini
Faktor utama dalam intervensi dan tindakan awal pasien stroke adalah
ketepatan dalam mengidentifikasi manifestasi klinik yang bervariasi
berdasarkan lokasi dan ukuran infark. Pengkajian awal dan riwayat
yang lengkap dari pasien merupakan data penting yang harus
didapatkan untuk memberikan intervensi yang tepat.
b.
Mempertahankan oksigenasi serebral
Tindakan utama yang dilakukan adalah mempertahankan kepatenan
jalan napas dengan cara memiringkan kepala pasien untuk mencegah
terjadinya aspirasi dari air liur pasien yang keluar tanpa terkontrol.
Elevasi
kepala
dilakukan,
hindari
posisi
hiperekstensi,
dan
pertahankan pemberian oksigen yang adekuat.
c.
Memperbaiki aliran darah serebral
Pemberian tromboembolik dilakukan untuk rekanalisa pembuluh
darah dan reperfusi jaringan otak yang mengalami iskemik. Agen
trombolitik yang diberikan biasanya berupa thrombus atau embolus
yang menutupi aliran darah.
d.
Pencegahan komplikasi
Komplikasi yang muncul dapat berupa perdarahan, edema serebral,
aspirasi, dan komplikasi lainnya. Perdarahan dapat terjadi pada pasien
stroke
ketika
setelah
diberikan
rt-PA
(Recombinant
Tissue
Plasminogen Activator), oleh karena itu pasien harus dimonitor ketat
adanya tanda-tanda perdarahan. Edema terjadi jika pasien mengalami
TIK. Pasien perlu diberikan posisi elevasi kepala sebesar 30 o untuk
meningkatkan perfusi serebral dan aliran balik vena. Resiko aspirasi
pneumonia merupakan resiko komplikasi yang cukup tinggi pada
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
26
pasien stroke. Aspirasi lebih sering dikaitkan dengan hilangnya
kontrol faringeal, orofaringeal, dan penurunan kesadaran. Pencegahan
aspirasi pneumonia adalah penundaan pemberian cairan oral selama
24-48 jam.
e.
Fase Subakut/ Fase Rehabilitasi (antara 2 minggu-6 bulan pasca
stroke)
Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya, penatalaksanaan
komplikasi, restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien) yaitu
fisioterapi, terapi wicara, terapi kognitif dan terapi okupasi, prevensi
sekunder, dan edukasi keluarga dan Discharge Planning Fase
(Setyopranoto (2011). Fase rehabilitasi dapat dimulai sesegera
mungkin, sasaran utama pada fase ini adalah perbaikan mobilitas,
menghindari nyeri bahu, perawatan diri, kontrol kandung kemih,
perbaikan bentuk komunikasi, integritas kulit, dan tidak adanya
komplikasi. Salah satu intervensi yang digunakan untuk perbaikan
mobilitas adalah rentang gerak sendi (RPS) (Smeltzer & Bare, 2008).
2.2. Mekanisme Terjadi Gangguan Mobilitas Fisik
Penyakit stroke memberikan dampak pada berbagai sistem tubuh, menurut Lewis
(2007) pada umumnya stroke dapat menyebabkan lima tipe kecatatan (disability),
yaitu: 1) paralisis atau masalah mengontrol gerakan, 2) gangguan sensorik
termasuk nyeri, 3) masalah dalam menggunakan bahasa atau mengerti bahasa, 4)
masalah dalam berpikir dan memori, 5) gangguan emosional. Unsur patologis
yang utama pada stroke adalah terdapatnya defisit motorik berupa hemiparise atau
hemiplagia
yang dapat
mengakibatkan kondisi
imobilitas. Kondisi
ini
menyebabkan terjadinya penurunan kekuatan otot yang dapat mengakibatkan
ketidakmampuan pada otot ekstermitas secara umum, penurunan fleksibilitas dan
kekakuan sendi yang dapat mengekibatkan kontraktur sehingga pada akhirnya
pasien akan mengalami keterbatasan terutama dalam mengakibatkan Activity
Daily Living (ADL).
Fase rehabilitasi pada pasien pasca stroke meliputi
perbaikan mobilitas dan mencegah deformitas, menghindari nyeri bahu,
pencapaian perawatan diri, kontrol kandung kemih, perbaikan proses pikir,
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
27
pencapaian beberapa bentuk komunikasi, pemeliharaan integritas kulit, dan tidak
adanya komplikasi (Smeltzer & Bare, 202). Hal utama yang harus dilakukan
dalam tindakan keperawatan untuk pasien pasca stroke adalah memperbaiki
mobilitas dan mencegah deformitas. Intervensi keperawatan untuk memperbaiki
mobilitas dan mencegah deformitas adalah dengan cara latihan rentang pergerakan
sendi (RPS) atau Range of Motion (ROM). RPS yang sangat banyak dianjurkan
untuk pasien pasca stroke adalah mobilisasi, sesuai dengan diagnosa pertama
keperawatan bahwa hal yang pertama kali diatasi untuk pasien pasca stroke adalah
mempertahankan/ menstabilkan fungsi pergerakan tubuh dan kekuatan otot. Ada
salah satu jurnal, yaitu Purwanti dan Maliya (2008) dalam jurnal Berita Ilmu
Keperawatan mengatakan bahwa latihan rentang gerak sendi sangat perlu
ditingkatkan untuk mencegah komplikasi. Latihan fisik untuk penderita stroke
dibagi kedalam mobilisasi dini dan latihan duduk. Mobilisasi dini terdiri dari
pelaksanaan mobilisasi dini posisi tidur dan latihan rentang gerak sendi (Purwanti
& Maliya, 2008).
2.2.1. Definisi Rentang Pergerakan Sendi (RPS)
Ketika pasien yang terkena stroke mengalami keterbatasan mobilisasi seperti
terjadinya hemiparise maka perawat harus memberikan intervensi keperawatan
yang dapat mempertahankan atau meningkatkan fungsi mobilitas, sehingga harus
diberikan latihan rentang gerak sendi. Rentang gerak Sendi (RPS) adalah latihan
gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot,
dimana klien menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal
baik secara aktif ataupun pasif. Latihan aktif membantu mempertahankan
fleksibilitas sendi dan kekuatan otot serta meningkatkan penampilan kognitif.
Sebaliknya, gerakan pasif, yaitu menggerakkan sendi seseorang melalui rentang
geraknya oleh orang lain, hanya membantu mempertahankan fleksibilitas. Tujuan
dari rentang gerak sendi adalah mempertahankan fungsi mobilisasi sendi,
memulihkan atau meningkatkan fungsi sendi dan kekuatan otot yang berkurang
karena proses penyakit, kecelakaan, atau tidak digunakan, dan mencegah
komplikasi dari immobilisasi seperti atrofi otot dan kontraktur (Potter & Perry,
2005). Terdapat dua jenis rentang gerak sendi (RPS), yaitu:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
28
1.
RPS pasif
Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan rentang gerak
yang normal (klien pasif). Kekuatan otot 50 %. Jenis sendi yang digunakan
untuk jenis RPS ini adalah Seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari
kaki oleh klien sendri secara aktif.
2.
RPS aktif
Perawat
memberikan
motivasi,
dan
membimbing
klien
dalam
melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang
gerak sendi normal (klien aktif). Kekuatan otot 75 %. Jenis sendi yang
digunakan untuk jenis ROM ini adalah Seluruh persendian tubuh atau
hanya pada ekstremitas yang terganggu dan klien tidak mampu
melaksanakannya secara mandiri. Latihan gerak sendi ini menggambarkan
gerakan sistematik dengan rangkaian urutan selama atau atau setiap tahap,
latihan sebanyak dua kali sehari (Kozier, 1995).
Latihan ROM dapat menggerakan persendian seoptimal mungkin sesuai dengan
kemampuan seseorang dan tidak menimbulkan rasa nyeri pada sendi yang
digerakkan. Adanya pergerakan akan menyebabkan peningkatan aliran darah ke
dalam kapsula sendi (Ulliya, et, al, 2007). Konsep latihan bilateral atau
Neurodevelopment Treatment Approach (NDT) adalah metode latihan yang
diarahkan pada kedua sisi tubuh, baik yang sehat maupun yang sakit (Wahid,
dalam Cahyati, 2011). Alasan utama dilakukannya latihan RPS bilateral
dikarenakan hampir semua aktivitas menggunakan dua tangan, seperti berpakaian,
makan, dan lain sebagainya (Waller & Whitall, 2008). Pada pasien yang terkena
stroke dan mengalami defisit motorik akibat parase pada ekstermitas atas dan
bawah, maka pasien akan mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas seharihari. Penggunaan tangan yang sehat (salah satu tangan) pada pasien stroke secara
terus menerus akan menambah buruk keadaan tangan yang mengalami parase.
Selama ini terapi yang sering dilakukan adalah bagaimana mengoptimalkan
tangan yang mengalami parase agar mampu melakukan aktivitas sesuai dengan
kemampuannya. Latihan terus menerus dilakukan, namun keterbatasan ini akan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
29
menyebabkan pasien akan terus menggunakan tangan yang sehat untuk
beraktivitas (Cahyati, 2011).
2.2.2. Prosedur Latihan Rentang Pergerakan Sendi (RPS)
Latihan RPS dengan teknik bilateral adalah melakukan latihan terhadap kedua
ekstermitas pasien yang sakit ataupun tidak. Latihan RPS dengan teknik bilateral,
yaitu RPS aktif untuk bagian tubuh yang mengalami hemiparise dan RPS pasif
untuk bagian tubuh yang tidak mengalami hemiparise (Stoykov, 2008). Prinsipprinsip dalam melakukan latihan RPS, yaitu 1) pilih waktu di saat pasien myaman
dan bebas dari rasa nyeri untuk meningkatkan kolaborasi pasien. 2) posisikan
pasien dalam posisi tubuh lurus yang normal. 3) gerakan harus dilakukan secara
lembut, pelan, dan berima. 4) latihan diterapkan pada sendi yang proporsional. 5)
posisi yang diberikan memungkinkan gerak sendi secara leluasa. 6) tekankan pada
peserta latihan bahwa gerakan sendi yang adekuat adalah gerakan sampai dengan
mengalami tahanan bukan nyeri. 7) tidak melakukan RPS pada daerah yang nyeri.
8) amati respon verbal pasien. 9) latihan harus dihentikan dan diberikan istirahat
apabila terjadi spasme otot (Cahyati, 2011).
Berikut anatomi pergerakan-pergerakan sendi (Potter dan Perry, 2006):
1.
Leher, spina servikal dengan tipe sendi Pivotal (putar):
a.
Fleksi:
menggerakkan
dagu
menempel
ke
dada
(otot
sternocleidomastoid).
b.
Ekstensi: mengembalikan kepala ke posisi tegak (otot trapezius).
c.
Hiperekstensi: menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin (otot
trapezius).
d.
Fleksi lateral: memiringkan kepala sejauh mungkin kea rah setiap
bahu (otot sternocleidomastoid)
e.
Rotasi: memutar kepala sejauh mungkin dalam gerakan sirkular (otot
sternocleidmastoid, trapezius)
2.
Bahu dengan tipe sendi ball and socket:
a.
Fleksi: menaikkan lengan dari posisi di samping tubuh ke posisi depan
di atas kepala (otot koraktobrakhialis, bisep brakhli, deltoid, pektoralis
mayor)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
30
b.
Ekstensi: mengembalikan lengan ke posisi samping tubuh (otot
latissimus dorsi, teres mayor, trisep brakhii)
c.
Hiperekstensi: menggerakkan lengan ke belakang tubuh, dengan siku
tetap lurus (otot latissimus dorsi, teres mayor, deltoid)
d.
Abduksi: menaikkan lengan ke posisi samping, di atas kepala (otot
deltoid, sipraspinatus)
e.
Adduksi: menurunkan lengan dari atas ke samping sampai menyilang
tubuh (otot pektoralis mayor)
f.
Rotasi
dalam:
dengan
siku
fleksi,
memutar
bahu
dengan
menggerakkan lengan sampai jari-jari menghadap ke bawah dan ke
belakang (otot pektoralis mayor, latissimus dorsi, teres mayor,
subskapularis)
g.
Rotasi luar: dengan siku fleksi, memutar bahu dengan menggerakkan
lengan sampai jari-jari menghadap ke atas dan berada si samping
kepala (otot infraspinatus, teres mayor, deltoid)
h.
Sirkumduksi: menggerakkan lengan dengan lingkaran penuh (otot
deltoid, korakobrakhialis, latissimus dorsi, teres mayor)
3.
Siku dengan tipe sendi Hinge:
a.
Fleksi: menekuk siku sehingga lengan bawah bergerak ke depan sendi
bahu dan tangan sejajar bahu (otot bisep brakhii, brakhialis,
brakhioradialis)
b.
Ekstensi: meluruskan siku dengan menurunkan tangan (otot trisep
brakhi)
4.
Lengan bawah dengan tipe sendi Pivotal (putar):
a.
Supinasi: memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak tangan
menghadap ke atas (otot supinator, bisep brakhii)
b.
Pronasi: memutar lengan ke bawah sehingga telapak tangan
menghadap ke bawah (otot pronator teres, pronator quadrates)
5.
Pergelangan tangan dengan tipe sendi kondiloid:
a.
Fleksi: menggerakkan telapak tangan ke sisi bagian dalam lengan
bawah (otot fleksor kalpi ulnaris, fleksor carpi radialis)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
31
b.
Ekstensi: menggerakkan jari-jari sehingga jari-jari, tangan dan engan
bawah berada dalam arah yang sama (otot ekstensor karpi ulnaris,
ekstensor carpi radialis brevis, ekstensor radialis longus)
c.
Hiperekstensi: membawa permukaan tangan dorsal ke belakang sejauh
mungkin (otot ekstensor karpi ulnaris, ekstensor carpi radialis brevis,
ekstensor radialis longus)
d.
Abduksi (fleksi lateral): menekuk pergelangan tangan miring (medial)
ke ibu jari (otot fleksor carpi radialis, ekstensor carpi radialis brevis,
ekstensor radialis longus)
e.
Adduksi (fleksi ulnar): menekuk pergelangan tangan miring (lateral)
kea rah lima jari (otot fleksor karpi ulnaris, ekstensor carpi ulnaris)
6.
Jari-jari tangan dengan tipe sendi Condyloid hinge:
a.
Flrkdi: membuat genggaman (otot lumbrikales, interosseus volaris,
interosserus dorsalis)
b.
Ekstensi: meluruskan jari-jari tangan (ekstensor digiti quinti proprius,
ekstensor digitorum kommunis, ekstensor inicis proprius)
c.
Hiperekstensi: menggerakkan jari-jari tangan ke belakang sejauh
mungkin (otot ekstensor digiti quinti proprius, ekstensor digitorum
kommunis, ekstensor inicis proprius)
d.
Abduksi: merenggangkan jari-jari yang satu dengan jari-jari yang lain
(otot interosserus dorsalis)
e.
7.
Adduksi: merapatkan jari-jari tangan (otot interosserus volaris)
Ibu jari dengan tipe sendi Pelana:
a.
Fleksi: menggerakkan ibu jari menyilang permukaan telapak tangan
(otot fleksor pollisis brevis)
b.
Ekstensi: menggerakkan ibu jari menjauh dari telapak tangan (otot
ekstensor pollisis longus, ekstensor pollisis brevis)
c.
Abduksi: menjahkan ibu jari ke samping (otot abductor pollisis brevis)
d.
Adduksi: menggerakkan ibu jari ke depan tangan (otot adductor
pollisis obliquus, adductor pollisis tranversus)
e.
Oposisi: menyentuh ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan yang
sama (otot opponeus pollisis, opponeus digiti minimi)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
32
8.
Pinggul dengan tipe sendi ball and socket:
a.
Fleksi: menggerakkan tungkai ke depan dan atas (otot psaos mayor,
iliakus, iliopsaos, Sartorius)
b.
Ekstensi: menggerakkan kembali ke samping tungkai yang lain
(Gluteus maksimus, semitendonesus, semimembranisus)
c.
Hiperekstensi: menggerakkan tungkai ke belakang tubuh (otot gluteus
maksimus, semitendonesus, semimembranisus)
d.
Abduksi: menggerakkan tungkai ke samping menjauhi tubuh (gluteus
medius, gluteus minimus)
e.
Adduksi: menggerakkan tungkai kembali ke posisi medial dan
melebihi jika mungkin (otot adductor longus, adductor brevis,
adductor magnus)
f.
Rotasi dalam: memutar kaki dan tungkai ke arah tungkai lain (otot
gluteus medius, gluteus minimus, tnsor fasciae latae)
g.
Rotasi luar: memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai lain (otot
obturatorius internus, obturatorius ekternus)
h.
Sirkumduksi: menggerakkan tungkai melingkar (otot psaos mayor,
gluteus maksimus, gluteus medius, adductor magnus)
9.
Lutut dengan tipe sendi Hinge:
a.
Fleksi: menggerakkan tumit ke arah belakang paha (otot bisep
femoris, semitendonosus, semimembranosus, Sartorius)
b.
Ekstensi: mengembalikan tungkai ke lantai (otot rektus femoris,
vastus lateralis, vastus medialis, vastus intermedius)
10.
Mata kaki dengan tipe sendi Hinge:
a.
Dorsifleksi: menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke
atas (otot tibialis enterior)
b.
Plantarfleksi: menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke
bawah (otot gastroknemus, soleus)
11.
Kaki dengan tipe sendi Gliding:
a.
Inversi: memutar telapak kaki samping dalam/ medial (otot tibialis
anterior, tibialis posterior)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
33
b.
Eversi: memutar telapak kaki ke samping luar/lateral (otot peroneus
longus, peroneus brevis)
12.
Jari-jari kaki dengan tipe sendi Condyloid:
a.
Fleksi: melengkungkan jari-jari kaki ke bawah (otot fleksor digitorum,
lumbrikalis pedis, fleksor hallusis brevis)
b.
Ekstensi: meluruska jari-jari kaki (otot ekstensor digitorum longus,
ekstensor digitorum brevis, ekstensor hallusis longus)
c.
Abduksi: merenggangakn jari-jari kaki satu dengan lainnya (otot
abductor hallusis, interusseus dorsalis)
d.
Adduksi: merapatkan kembali bersama-sama (otot adductor hallusis,
interosseus plantaris)
Kekuatan otot didefinisikan sebagai kekuatan otot ekstermitas penderita stroke
yang telah melewati penyakitnya, dikaji pada awal masuk sampai setelah
diberikan terapi, adapun nilai untuk menggambarkan kekuatan ekstermitas yaitu
nilai 0 jika tidak timbul kontraksi otot, lumpuh total. Nilai 1 jika terjadi kontraksi
otot namun tidak ada gerakan. Otot cukup kuat untuk menngangkat beban. Nilai 2
jika otot dapat berkontraksi tetapi tidak bisa gerak melawan gravitasi. Nilai 3 jika
otot dapat berkontraksi dan menggerakan bagian tubuh secara penuh melawan
gaya gravitasi tetapi jika diberikan dorongan melawan, otot tidak mampu
melawan. Nilai 4 jika otot dapat berkontraksi dan gerakan tubuh melawan tahanan
minimal, mampu melawan dorongan tetapi tidak maksimal. Nilai 5 jika otot
berfungsi normal (Smeltzer & Bare, 2002).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
BAB 3
LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
Pada bab ini diuraikan mengenai laporan kasus kelolaan utama, yang terdiri dari
pengkajian, analisa data, rencana intervensi dan evaluasi hasil asuhan
keperawatan. Pada Bab ini menggabungkan model asuhan keperawatan yang
disusun secara medical dan nursing. Berdasarkan pada medical model pasien
merupakan suatu bagian anatomi yang kompleks dan kesatuan sistem fisiologis,
dimana menitik beratkan kepada anatomi, fisiologi, dan kerusakan biokimia
sebagai penyebab penyakit dengan demikian mendorong pendekatan yang
berorientasikan penyakit pasien (Aggleton & Chalmers, 2000). Sedangkan
nursing model adalah suatu diagram keperawatan yang sistematis digunakan
untuk mengatur tentang apa yang akan dilakukan dalam praktik, meliputi
pendekatan pengkajian, perencanaan, implemantasi, dan evaluasi perawatan
pasien dan berfokus pada biopsikososial spiritual (McKenna, 1994).
3.1.
Pengkajian
3.2.1. Identitas Pasien
Pengkajian dilakukan pada tanggal 25 Mei 2014. Pasien bernama Tn. S dengan
umur 75 tahun, tinggal bersama dengan seorang istri dan seorang anak di daerah
Pisangan, beragama islam, suku bangsa jawa, pasien bekerja sebagai pensiunan
PNS, dan pendidikan terakhir SMA. Pasien dirawat dengan diagnose medis stroke
hemoragik, BPH dan hipertensi grade II.
Riwayat masuk ke RS pasien, pada tanggal 19 Mei 2014 dibawa ke IGD RSUP.
Persahabatan, pasien mengeluhkan bahwa tangan dan kaki kanan kaku dan lemas
serta tidak dapat digerakkan (hemiparesis), pasien juga tidak dapat berbicara
(afasia), tetapi tidak mengalami penurunan kesadaran. Sebelumnya pasien pernah
jatuh secara tiba-tiba di kamar mandi dan saat berolahraga pagi. Kemudian klien
dibawa keluarga ke puskemas. Di puskesmas, pasien dirujuk ke RSUP
Persahabatan untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
34
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
35
Saat di IGD RSUP Persahabatan, dilakukan pemeriksaan EKG, CT Scan Kepala,
dan rontgen toraks. Hasil EKG menunjukkan atrial fibrilasi (dengan interval PR
tidak dapat ditemukan, gelombang P banyak, dan irama irregular). Pada tanggal
21 Mei 2014, Tn. S dipindahkan ke Ruang Inap Melati Atas RSUP Persahabatan.
3.2.2. Anamnesis
1.
Keluhan utama pada saat dirawat
Menurut keluarga pasien keluhan utama pada pasien adalah kaku dan tidak
bisa digerakannya tangan dan kaki pasien (bagian kanan) dan pasien.
menjadi tidak dapat berbicara sejak tiga hari yang lalu. Sebelumnya
dibawa ke Puskesmas dan langsung mendapatkan rujukan untuk segera ke
RSUP Persahabatan.
2.
Riwayat kesehatan yang lalu
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien memiliki penyakit hipertensi
sejak tahun 2005 dan mengonsumsi obat hipertensi dari puskesma
(catropil), pernah operasi uretroplasty pada tahun 2010 di RSUP
Persahabatan. Pasien juga punya penyakit BPH (sejak tahun 2010) dan
sakit jantung sejak setahun yang lalu.
3.
Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami penyakit yang sama dengan
pasien. Tidak ada riwayat DM, hipertensi, asms, sakit ginjal, jantung,
stroke dari keluarga.
4.
Aktivitas/ istirahat
Pasien merupakan pensiunan PNS, aktivitasnya sehari-hari adalah
berkumpul bersama keluarga sambil menonton televisi. Pasien memiliki
keterbatasan karena kondisi yaitu adanya hemiparisis dextra dan spasitas.
Sebelumnya keluarga pasien tidak mengetahui bahwa Tn. S terkena stroke
yang mengakibatkan kelemahan bagian dextra dan tidak bisa berbicara.
Menurut keluarga sejak pasien terkena kelemahan dan kesulitan bicara,
Tn. S hanya berdiam diri di kamar dan kadang-kadang menangis tanpa
sebab. Biasanya Tn.S tidur jam 21.00-04.00, jarang tidur siang karena
pasien lebih suka untuk melakukan kegiatan, seperti kumpul bersama
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
36
teman-teman yang seusianya di warung kopi. Keluarga mengatakan sejak
berada di rumah sakit, pasien sulit untuk tidur malam. Terlihat pasien
mengalami kelemahan pada bagian sebelah kanan. Tingkat kesadaran
pasien masih somnolen. Saat pengkajian motorik; kekuatan otot
ekstermitas atas bagian atas 0000/3333, dan otot ekstermitas bagian
0000/3333 dan terasa kebas.
5.
Sirkulasi
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak tahun 2005 dan terkena penyaki
jantung sejak setahun yang lalu. Tanda-tanda vital; TD= 160/100 mmHg,
N= 90x/ menit, RR= 23x/menit, suhu=37,1o C. Hasil NIHSS (National
Institute of Health Stroke Scale)= 18 yang mengatakan bahwa pasien
mengalami stroke berat. Capillary refill time < 3 detik. Tidak ada varises,
edema pada ekestermitas dan ekstermitas terasa hangat, bunyi napas
vesikuler dan tidak ada distensi vena jugularis. Mukosa sedikit kering,
konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik dan tidak ada diaforesisi,
kondisi kulit sedikit kering. Keluarga pasien mengatakatan bahwa pasien
mengeluhkan sakit kepala berat.
6.
Integritas Ego
Pasien sering sekali terlihat menangis tanpa sebab, mungkin hal ini
berkaitan penyakit yang diderita (merasa tidak berdaya) dan pasien juga
mengalami kesulitan untuk mengekspresikan diri (afasia). Masalah
financial tidak terlalu membebani keluarga karena seluruh biaya
pengobatan ditanggung oleh pihak asuransi kesehatan pasien. Gaya hidup
pasien dan keluarga menengah ke atas dan sumber keuangan dari uang
pensiunan. Budaya yang terlihat sangat mendominasi pasien adalah
budaya jawa, hal ini dibuktikan seluruh anggota keluarga menggunakan
bahasa jawa sebagai alat komunikasi dalam keluarga. Selama di rumah
sakit pasien sering diberikan alunan ayat-ayat Al-Quran yang dibacakan
oleh istri atau anak, dengan alasan supaya pasien merasa tenang dan sabar
dengan penyakitnya.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
37
7.
Eliminasi
Keluarga mengatakan biasanya klien BAB sebanyak 1-2 kali/ hari, terakhir
BAB adalah tanggal 21 Mei 2014, pasien tidak menggunakan kateter urin.
Sejak tahun 2000, pasien terkena BPH sehingga mengalami inkontinensia
urin, selama di rumah sakit keluarga pasien mengatakan sehari BAK sekali
karena menggunakan pempers sehingga tidak terlalu mengetahui secara
detail kuantitas BAK. Karakteristik urin kurang jernih. Tidak ada
penggunaan diuretic. Saat pengkajian keluarga pasien mengatakan pasien
terkena kontipasi dikarenakan sudah 5 hari tidak BAB. Bising usus 5 kali/
menit di empat kuadran.
8.
Makanan Cairan
Pasien mendapatkan diet lunak yaitu bubur saring sebanyak 1700kkal
dengan jumlah makan sebanyak 3 kali sehari dan 3 kali minum susu. Tidak
ada pembatasan cairan yang dialami pasien. Pasien menggunakan selang
NGT, karena mengalami kesulitan menelan. Berat badan saat ini adalah 60
kg dengan tinggi badan 160 cm, tidak ada penurunan berat badan. Hasil
pemeriksaan fisik menunjukkan pasien memiliki turgor kulit yang normal,
membrane mukosa lembab, bising usus 5 kali/ menit di empat kuadran,
dan tidak terdapat suara pernapasan tambahan.
9.
Kebersihan/ Hygiene
Aktivitas sehari-hari pasien dibantu oleh keluarga, saat pengkajian ada bau
dan terlihat berantakan di sekililing tempat tidur. Keluarga pasien sangat
rajin untuk memandikan pasien di atas tempat tidur, jika keluarga dibantu
oleh perawat.
10.
Neurosensori
Saat pengkajian status kesadaran pasien adalah somnolen dengan E3M4V
afasia. Pasien mengalami kelemahan pada sisi kanan. Pupil isokor,
diameter pupil 3/3 mm, refleks terhadap cahaya langsung 3/3 mm. tanda
rangsang meningeal tidak dikaji. Nerves cranial; paresis nerves VII
dekstra, nerves IX-X, nerves XII, dan nerves XI dekstra. Motorik;
kekuatan otot ekstermitas atas 0000/ 3333, ekstermitas bawah 0000/3333,
dan terasa baal. Refleks babinski +/+. Fungsi saraf otonom; inkontinensia
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
38
urin +, tidak terpasang kateter. Kemampuan komunikasi dan persepsi
sensori tidak dapat dilakukan karena pasien mengalami penurunan
kesadaran.
11.
Nyeri/ ketidaknyamanan
Keluarga pasien mengatakan pasien menderita sakit kepala berat. Untuk
pengkajian PQRST nyeri tidak dapat dikaji.
12.
Pernapasan
Saat pengkajian pasien menggunakan alat bantu pernapasan yaitu nasal
kanul dengan oksigen 2L/ menit. Bunyi napas vesikuler, RR= 23x/ menit.
Tidak ada penggunaan alat napas aksesoris, tidak ada pernapasan cuping
hidung, tidak ada fremitus, tidak ada sianosis, tidak ada sputum, dan
pasien merupakan orang yang tidak merokok. TB, emfisema, asma, dan
pneumonia tidak ada.
13.
Keamanan
Keluarga pasien mengatakan tidak memiliki alergi, tidak ada riwayat
kecelakaan, tidak ada riwayat penyakit menular seksual. Keluarga pasien
juga mengatakan bahwa bagian kanan pasien mengalami kelemahan dan
tidak dapat berbicara, dikarenakan jatuh dari kamar mandi. Aktivitas
pasien juga dibantu oleh keluarga dan perawat.
14.
Interaksi Sosial
Pasien merupakan seorang pensiunan PNS yang tinggal bersama isteri dan
seorang anak. Menurut pengakuan keluarga pasien merupakan pengambil
keputusan tertinggi di keluarga. Setiap akhir pekan keluarga (anak, cucu,
menantu) berkunjung ke rumah pasien. Hubungan dengan anak-anaknya
juga baik. Saat pengkajian pasien tidak dapat bebicara, pasien hanya bisa
mengangguk kaku (bahasa tubuh yang terbatas), sehingga hal ini sebagai
alat komunikasi sementara antara pasien dan keluarga. Terkadang keluarga
juga sulit mengerti apa yang ingin dikatakan pasien.
15.
Pembelajaran
Bahasa dominan pasien di rumah adalah bahasa jawa, tetapi pasien juga
dapat menggunakan bahasa Indonesia. Menurut pengakuan keluarga
pasien dapat membaca, pasien memiliki keterbatasan kognitif dan motorik,
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
39
tidak memiliki orientasi spesifik terhadap perawatan kesehatan, dan faktor
resiko dari keluarga. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak tahun 2005.
3.2.3. Pemeriksaan Diagnostik
1.
Pemeriksaan Laboratorium
Sebagian besar hasil pemeriksaan darah pasien cukup bagus, jarang
ditemukan nilai yang tidak normal. Nilai yang tidak normal selama
pemantauan adalah limfosit menurun (17,6%), esinofil meningkat (4,9%),
eritrosit menurun (4,2 juta/µL), Hb turun (12,2 g/dL), Ht menurun (36%),
kolestrol total meningkat (218 md/dL). Pasien mengalami asidosis
metabolic tidak terkompensasi dengan nilai AGD pH: 7,374, PCO2: 35,1,
HCO3: 20,0 (turun), BE: -4,4 mmol/L). Hasil laboratorium yang lebih
lengkap dan jelas dapat dilihat pada bagian lampiran.
2.
Hasil Rontgen Toraks
Hasil Rontgen Toraks pada tanggal 20 Mei 2014, didapatkan hasil Aorta
elarge, dan tampak gambaran fibroinfiltrat paru kanan.
3.
Hasil CT Scan
Hasil CT Scan tanggal 20 Mei, didapatkan hasil perdarahan dipons dengan
perkiraan jumlah perdarahan 1,2 cc, dan lakunar infark basal ganglia.
3.2.4. Daftar Terapi Medikasi
Pasien mendapatkan terapi medikasi untuk penatalaksanaan stroke hemoragik
(manitol 20%, clopidogrel, cilostazole, citicholine, transamin), hipertensi
(catropil, valsartan, adalat oros, amplodipin), untuk konstipasi (lactulac), untuk
menurunkan kadar kolesterol (stimvastatin), untuk antibiotic (cefixime), mualmuntah (OMZ, odansentron, ranitidine), dan penghilang rasa nyeri pasca
kraniotomi (tramadol, keterolac). Dosis dan waktu pemberian terapi dapat dilihat
pada lampiran.
3.2.5. Daftar Terapi Cairan
IVFD TE 1000: RL= 2:1/ 24 jam
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
40
3.2.
Analisis Data
Masalah keperawatan yang muncul dalam penelitian ini adalah perubahan perfusi
jaringan serebral, defisit perawatan diri, resiko kerusakan integritas kulit,
kerusakan mobilitas fisik, nyeri akut, dan resiko infeksi. Masalah yang menjadi
fokus utamanya adalah kerusakan mobilitas fisik pasca stroke. Kerusakan
mobilitas fisik adalah hilangnya kemampuan gerak secara total atau mengalami
penurunan aktivitas dari kebiasaan normalnya (Potter & Perry, 2002). Kerusakan
mobilitas fisik dapat ditegakkan dengan data subjektif bahwa pasien masih
merasakan sulit untuk bergerak, Pasien masih merasa masih mengalami
kelemahan pada kaki dan tangan kanan, Pasien mengalami keterbatasan gerak
pasca operasi kraniotomi, pasien terlihat lemas, dan pasien mengalami penurunan
kekuatan otot. Hasil analisa data yang lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran.
3.3.
Perencana Asuhan Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan yang telah disusun untuk mengatasi masalah
keperawatan yang dilakukan oleh mahasiswa dibagi menjadi dua yaitu rencana
asuhan keperawatan sebelum operasi dan sesudah operasi. Adapun penjelasannya
adalah sebagai berikut:
3.3.1.
Rencana Asuhan Keperawatan Sebelum Operasi
1.
Perubahan Perfusi Jaringan Serebral berhubungan dengan Interupsi
Alirah Darah; hemoragik
Tujuan
:
Perfusi serebral adekuat. Dengan kriteria evaluasi: tingkat kesadaran
compo mentis, tidak ada tanda-tanda peningkatan intracranial, tandatanda vital stabil dalam batas normal (TD= 90/60-140/90 mmHg, Nadi:
60-100x/ menit), tidak ada tanda neurologis dan perburukan.
Intervensi:
Mandiri
a.
Tentukan faktor penyebab penurunan perfusi serebral dan potensial
terjadinya peningkatan TIK
Rasional :
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
41
Mempengaruhi
penetapan
intervensi
Kerusakan/kemunduran
tanda/gejala neurologi atau kegagalan memperbaikinya setelah fase
awal memerlukan tindakan pembedahan dan/atau klien harus
dipindahkan ke ruang ICU untuk pemantauan terhadap peningkatan
TIK. Penurunan perfusi serebral dapat disebabkan karena adanya
gangguan dalam aliran darah ke serebral akibat emboli, trombus,
iskemia, infark atau edema.
b.
Posisi kepala ditinggikan 300 dengan posisi netral/elevasi 30 derajat
(hanya tempat tidurnya saja yang ditinggikan ).
Rasional:
Menurunkan tekanan arteri dan meningkatkan drainase serta
meningkatkan sirkulasi / perfusi cerebral. Selain itu untuk mencegah
terjadinya peningkatan tekanan intracranial dan mengetahui lokasi,
luas, dn kemajuan/ resolusi kerusakan SPP. Dapat menunjukkan TIA
yang merupakan tanda dan gejala terjadinya trombosis CVS baru.
c.
Pantau tanda-tanda vital, seperti catat: (per 2 jam)
 Adanya hipertensi/ hipotensi, bandingkan tekanan darah yang
terbaca pada kedua lengan
Rasional:
Variasi mungkin terjadi oleh karena tekanan/ trauma serebral pada
daerah vasomotor otak. Hipertensi atau hipotensi postural dapat
menjadi faktor pencetus. Hipotensi dapat terjadi karena syok
(kolaps sirkulasi vaskuler). Peningkatan TIK dapat terjadi (karena
edema, sumbatan darah). Tersumbatnya arteri subklavia dapat
dinyatakan dengan adanya perbedaan pada kedua lengan.
 Frekuensi dan irama jantung, auskultrasi adanya murmur
Rasional:
Perubahan terutama adanya bradikardi dapat terjadi sebagai
akubatnya adanya kerusakan otak. Disritmia dan murmur mungkin
mencerminkan adanya penyakit jantung yang mungkin telah
menjadi CSV (seperti stroke setelah IM atau penyakit katup)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
42
 Catat pola dan irama dari pernapasan, seperti adanya periode apnue
setelah pernapasan hiperventilasi, pernapasan Cheynes stokes
Rasional:
Ketidakaturan pernapasan dapat memberikan gambaran lokasi
kerusakan serebral/ peningkatan TIK dan kebutuhan untuk
intervensiselanjutnya termasuk kemungkinan perlunya dukungan
terhadap pernapasan.
d.
Monitor status neurology (seperti tingkat kesadaran, reflek patologis
dan fisiologis, pupil) tiap 2 jam dan bandingkan dengan nilai normal.
Rasional:
Reaksi pupil diatur oleh saraf kranial okulomotor (III) dan berguna
dalam menentukan apakah batang otak tersebut masih baik. ukuran
dan kesamaan pupil ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan
simpatis dan parasimpatis yang mempersarafinya. Respon terhadap
refleks cahaya mengkombinasikan fungsi dari saraf kranial optikus
(II) dan saraf kranial okumotor (III).
e.
Catat perubahan dalam penglihatan, seperti adanya kebutaan,
gangguan lapang pandang,/ kedalaman persepsi.
Rasional:
Gangguan penglihatan yang spesifik mencerminkan daerah otak
yang terkena, mengindikasi keamanan yang harus mendapatkan
perhatian dan mempengaruhi intervensi yang akan dilakukan.
f.
Kaji fungsi-fungsi yang lebih tinggi, seperti fungsi bicara jika pasien
sadar
Rasional:
Perubahan dalam isi kognitif dan bicara merupakan indikator dari
lokasi/ derajat gangguan serebral dan mungkin mengindikasi
penurunan/ peningkatan TIK
g.
Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikan dan dalam posisi
anatomis.
Rasional:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
43
Menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan
meningkatkan sirkulasi/ perfusi serebral
h.
Pertahankan keadaan tirah baring; ciptakan lingkungan yang tenang;
batasi pengunjung/ aktivitas pasien sesuai indikasi. Berikan istirahat
secara periodic antara aktivitas perawatan, batasi lamanya prosedur.
Rasional:
Aktivitas atau stimulai kontinu dapat meningkatkan TIK. Istirahat
total dan ketenangan mungkin diperlukan untuk pencegahan
terhadap pendarahan dalam kasus stroke hemoragik/ pendarhan
lainnya.
i.
Cegah terjadinya mengejan saat defekasi, den pernapasan yang
memaksa (batuk terus menerus).
Rasional:
Maneuver valsavah dapat meningkatkan TIK dan mempersar resiko
terjadinya pendarahan.
j.
Kaji rigiditas nukal, kedutan, kegelisahan yang meningkat, peka
rangsang dan serang kejang.
Rasional:
Merupakan indikasi adanya iritasi meningeal. Kejang dapat
mencerminkan adanya peningkatan TIK. Trauma serebral yang
memerlukan perhatian dan intervensi selanjutnya.
Kolaborasi
a.
Berikan oksigen 2 l/menit atau sesuai indikasi
Rasional:
Meningkatkan konsentrasi oksigen alveolar, yang dapat menurunkan
hipoksia, dapat menyebabkan vasodilatasi serebral
sehingga
kebutuhan serebral akan oksigen terpenuhi
b.
Berikan obat sesuai indikasi
 Antikoagulan, seperti natrium warfarian (Coumadin), heparin,
antitrombosit
Rasional:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
44
Dapat digunakan untuk meningkatkan/ memperbaiki aliran darah
sesrebral dan selanjutnya dapat mencegah pembekuan saat
embolus/ thrombus merupakan faktor masalahnya. Kontraindikasi
pada pasien dengan hipertensi sebagai akibat dari peningkatan
resiko pendarahan
 Antifibrolitik
Rasional:
Penggunaanya dengan hati-hati dalam pendarahan untuk mencegah
lisis bekuan terbentuk dan pendarahan berulang serupa
 Antihipertensi
Rasional:
Hipertensi lama atau kronis, memerlukan penanganan yang hatihati , sebab penanganan berlebihan memungkinkan resiko
terjadinya perluasan kerusakan jaringan. Hipertensi sementara
seringkali terjadi selama fase stroke akut dan penanggulanganya
seringkali tanpa intervensi terapeutik.
 Vasodilatasi perifer, seperti siklandelat (Cyclospasmol), papaverin
(pavabid/ vasospan)
Rasional:
Digunakan untuk memperbaiki sirkulasi kolateral atau menurunkan
vasospasme
 Fenitoin, fenobarbital
Rasional:
Digunakan untuk mengontrol kejang
 Penulak feses
Rasional:
Mencegah proses mengejan selama defekasi dan yang berhubungan
dengan peningkatan TIK
c.
Persiapan untuk pembedahan, endarterektomi, bypass mikrovaskuler
Rasional:
Bermanfaat untuk mengatasi situasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
45
d.
Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, seperti masa
protrombin
Rasional:
Memberikan informasi tentang keefektifan pengobatan/ kadar
terapeutik
2.
Defisit Perawatan Diri: Pemenuhan ADL (Activity Daily Living)
berhubungan dengan prnurunan tingkat kesadaran, penurunan kekuatan
dan ketahanan, dan kehilangan kontrol/ koordinasi otot
Tujuan
:
Kebutuhan ADL terpenuhi dan terjadi kemampuan untuk memenuhinya
sampai mandiri. Dengan kriteria evaluasi: makanan dan minuman masuk
(terpenuhi), badan bersih, pakaian bersih dan rapi, eliminasi terpenuhi,
bengangsur-angsur mendemostrasikan perubahan tingkah laku dalam
merawat diri, menampilkan aktivitas perawatan diri secara mandiri,
mengidentifikasi sumber-sumber bantuan.
Intervensi
:
Mandiri
a.
Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan (dengan menggunakan
skala 0-4) untuk melakukan tindakan sehari-hari
Rasional:
membantu menentukan/merencanakan intervensi sesuai kebutuhan
secara individual
b.
Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat ditakutkan
pasien sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan.
Rasional:
Pasien ini mungkin menjadi snagat ketakutan dan sangat tergantung
dan meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah
frustasi, adalah penting bagi pasien untuk melakukan sebanyak
mungkin untuk diri sendiri untuk mempertahankan harga diri dan
meningkatkan pemulihan.
c.
Bantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan makan, minum, mandi,
berpakaian, BAK, dan BAB)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
46
Rasional:
Karena pasien mengalami penurunan kesadaran sehingga tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka perawat harus
membantu pemenuhan kebutuhan tersebut. Hal ini bertujuan untuk
mencegah terjadinya masalah lanjut bila kebutuhan tersebut tidak
terpenuhi, seperti; gangguan nutrisi, gangguan eleminasi, gangguan
integritas kulit dll.
d.
Waspadai terhadap tingkah laku impulsive karena gangguan dalam
pengambilan keputusan.
Rasional:
Mengidentifikasi perlunya intervensi tambahan untuk meningkatkan
keamanan.
e.
Pertahankan dukungan, sikap tegas, beri pasien waktu yang cukup
untuk mengerjakan tugasnya. Dan berikan umpan balik positif atas
usaha pasien yang telah dilakukan
Rasional:
Pasien membutuhkan perasaan empati, tetapi perlu mengetahui
bahwa
pemberi
asuhan
bersifat
konsisten.
Intervensi
ini
menggunakan teori keperawatan dimana perawat harus bersikap
memahami apa yang dirasakan pasien dan menghargai kemampuan
yang dimiliki pasien, serta memperhatikan kewajiban-kewajiaban
yang harus dilakukan oleh pasien jangan sampai terlupakan.
f.
Kaji kemampuan pasien untuk mengkomunikasikan kebutuhannya,
misal; lapar, mengosongkan kandung kemih dll.
Rasional:
Mengetahui kebutuhan pasien yang belum terpenuhi, sehingga
perawat dapat membantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya.
g.
Dekatkan makanan dan peralatan yang dibutuhkan pasien di sisi
tempat tiduryang mudah di jangkau dan motivasi pasien untuk
memenuhi kebutuan ADLnya secara bertahap.
Rasional:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
47
Membantu memudahkan pasien untuk menggunakannya. pasien
dalam bentuk intervensi keperawatan, memberikan arahan dan
memfasilitasi kemampuan pasien dalam memenuhi kebutuhannya
secara mandiri, dan memberikan dorongan secara fisik dan
psikologis agar pasien dapat mengembangkan potensinya sehingga
dapat melakukan perawatan mandiri. Tujuan pada intervensi ini
adalah perawat ingin melatih pasien mandiri dalam memenuhi
kebutuhan ADLnya.
Kolaborasi
a.
pemberian supositoria dan pelunak feses
Rasional:
Membantu melancarkan BAB dengan merangsang fungsi defekasi
3.
Resiko Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan tirah baring
lama, penurunan kesadaran, dan gangguan neuromuskular.
Tujuan
:
Mempertahankan keutuhan kulit, dengan kriteria evaluasi tidak ada luka
(tidak lecet), kelembaban kulit baik, dan tekstur kulit halus.
Intervensi
:
Mandiri
a.
Kaji status nutrisi pasien dan mulai tindakan perbaikan sesuai
petunjuk
Rasional:
Keseimbangan nitrogen positif dan peningkatan status nutrisi karena
adanya atropi kelenjar sebasea dan keringat, dan mandi dapat
menyebabkan masalah kekeringan pada kulit. Meskipun demikian,
sewaktu epidermis menipis bersama kulit, pembersihan dan
penggunaan lotion akan menjaga kulit tetap lembut dan melindungi
kulit yang rentan terhadap kerusakan
b.
Ubah posisi tidur pasien tiap 2-3 jam sekali dan pertahankan posisi
kepala elevasi 30 0
Rasional:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
48
Meningkatkan sirkulasi, tonus otot, dan gerakan tulang sendi
sehingga dapat terhindar dari luka akibat penekanan (dekubitus),
membalikkan tubuh paisen terlalu sering dikhawatirkan akan
menigkatkan tekanan intracranial
c.
Gunakan jadual rotasi dalam merubah posisi pasien. Berikan
perhatian yang teliti pada tingkat kenyamanan pasien Rasional:
Memberikan waktu lebih lama bebas dari tekanan, mencegah
gerakan yang dapat menyebabkan pengelupasan dan robekan yang
dapat merusak jaringan yang rapuh. Penggunaan posisi terlentang
tergantung pada ketahanan pasien dan harus dipertahankan hanya
dalam waktu yang singkat.
d.
Massase daerah yang mengalami penekanan dan penonjolan tulang
dengan menggunakan kream atau lotion yang dapat menyerap air.
Rasional:
Dengan massage dapat meningkatkan kelancaran sirkulasi darah,
sehingga jaringan cukup mendapatkan oksigen. Bila jaringan cukup
mendapatkan oksigen maka tidak akan terjadi iskemia yang nantinya
dapat menimbulkan dekubitus dan menjadi kontraindikasi bila
jaringan telah berwarna merah pada waktu kerusakan seluler terjadi.
Massage menggelilingi area dapat menstimulasi sirkulasi dan dapat
menyebabkan kerusakan jaringan.
e.
Pertahankan agar sprei dan selimut tetap kering, bersih dan bebas
dari kerutan, serpihan ataupun material lain yang dapat mengiritasi.
Rasional:
Menghindari friksi dan abrasi kulit.
f.
Gunakan pelindung lutut, siku, pantat dengan bantal angina/air.
Rasional:
Mengurangi resiko abrasi kulit dan pengurangan penekanan yang
dapat menyebabkan kerusakan aliran darah seluler. Tingkatkan
sirkulasi udara pada permukaan kulit untuk mengurangi panas atau
kelembaban.
g.
Batasi pemajanan terhadap suhu yang berlebih (panas/dingin)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
49
Rasional:
Penurunan sensitivitas rasa sakit/panas/dingin akan meningkatkan
resiko trauma jaringan.
h.
Periksa permukaan kulit atau daerah lekukan (terutama yang
menggunakan pembalut/pempers) dan daerah-daerah yang menonjol
secara rutin. Tingkatkan tindakan pencegahan ketika area yang
kemerahan telah teridentifikasi.
Rasional:
Kerusakan kulit dapat terjadi dengan cepat pada daerah-daerah yang
beresiko terinfeksi dan nekrotik, daerah ini meliputi tulang dan otot.
Terjadi peningkatan resiko mengalami kemerahan/iritasi pada daerah
sekitar kaki karena penggunaan pembalut elastic.
i.
Lakukan perawatan pada daerah kemerahan dan bula secara terusmenerus dan cegah terjadinya luka dekubitus derajat lebih tinggi.
Kolaborasi
a.
Kolaborasi pemeriksaan Hb, Ht, dan kadar glukosa darah
Rasional:
Anemia dan meningkatnya kadar glukosa darah merupakan faktorfaktor yang mempengaruhi terjadinya kerusakan kulit dan dapat
mengganggu proses penyembuhan.
3.3.1.
Rencana Asuhan Keperawatan Setelah Operasi
1.
Kerusakan
Mobilitas
Fisik
berhubungan
dengan
Kelemahan
Neuromuskular
Tujuan
:
Mobilitas fisik meningkat secara bertahap dengan kriteria evaluasi;
mempertahankan posisi yang optimal ditandai dengan tidak adanya tanda
kontraktur, footdrop (-), mempertahankan kekuatan otot, mampu
melakukan ROM aktif dan pasif secara bertahap.
Intervensi
:
Mandiri
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
50
a.
Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera atau pengobatan
dan perhatikan persepsi pasien terhadap imobilitas.
Rasional:
Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri/ persepsi diri tentang
keterbatasan fisik actual, memerlukan informasi/ intervensi.
b.
Lakukan terapi fisik yang di fokuskan pada latihan gerak pasif dan
aktif (jika pasien sadar) minimal 4 kali dalam sehari.
Rasional:
Latihan gerak aktif meningkatkan massa otot, tonus otot dan
kekuatan otot serta memperbaiki fungsi jantung akibat tirah baring.
Bila otot-otot volunter tidak digunakan makan akan kehilangan
kekuatannya sehingga perlu dilakukan latihan gerak pasif. Hal ini
dapat mengimbangi paralisis melalui penggunaan otot yang masih
mempunyai fungsi normal, membantu mempertahankan dan
membentuk adanya kekuatan dan mengontrol otot-otot yang
mengalami gangguan serta mempertahankan kemampuan ROM
sehingga tercegah dari kontraktur dan atropi.
c.
Letakkan pasien pada posisi tengkurap satu-dua kali dalam 24 jam
jika pasien dapat mentoleransi.
Rasional:
Membantu mempertahankan ekstensi pinggul fungsional, tetapi
penting kita kaji kemampuan pasien akan bernapas.
d.
Sokong ekstremitas dalam posisi fungsionalnya, gunakanpapan kaki
(foot board), selama periode paralisis flaksid.
Rasional:
Mencegah kontraktur/foot drop dan memfasilitasi kegunaannya jika
berfungsi kembali. Paralisis flaksid dapat mengganggu kemampuan
untuk menyangga kepala, dilain pihak paralysis spastic dapat
mengarah pada deviasi
kepala ke salah satu sisi.
e.
Bila pasien ditempat tidur, lakukan tindakan untuk mempertahankan
posisi kelurusan postur tubuh seperti ; hindari duduk/berbaring
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
51
dalam waktu lama pada posisi yang sama, ubah posisi send bahu tiap
2-4 jam, gunakan bantal kecil atau tanpa bantal dalam posisi fowler,
sangga tangan dan pergelangan pada kelurusan alamiah, gunakan
bebat pergelangan tangan.
Rasional:
Imobilisasi dan kerusakan fungsi neurosensori yang berkepanjangan
dapat
menyebabkan
duduk/berbaring
yang
kontraktur
lama
permanent,
dimaksudkan
hindari
untuk
posisi
mencegah
kontraktur fleksi panggul, ubah posisi bahu mencegah kontraktur
bahu, snagga tangan mencegah edema dependen dan kontraktur
fleksi pada pergelangan, dan bebat tangan mencegah kontraktur.
f.
Siapkan pasien untuk mobilisasi progresif. Pertahankan bagian
kepala tempat tidur sedikitnya 30 derajat kecuali ada indikasi, Bantu
pasien secara bertahap dari berbaring ke posisi duduk dan biarkan
paisen menjuntaikan kaki disamping tempat tidur untuk beberapa
saat sebelum berdiri. Saat latihan awal batasi latihan turun dari
tempat tidur tidak lebih dari 15 menit 3 kali sehari, motivasi pasien
untuk berjalan singkat tapi sering dengan bantuan bila belum stabil,
tingkatkan jarak berjalan tiap hari.
Rasional:
Tirah baring lama menyebabkan penurunan volume darah yang
dapat menyebabkan penurunan tekanan darah secara tiba-tiba.
Peningkatan
aktivitas
secara
bertahap
akan
menurunkan
keletihandan meningkatkan ketahanan.
g.
Secara bertahap Bantu pasien maju dari ROM aktif ke aktifitas
fungsional, sesuai indikasi dan anjurkan orang terdekat untuk
berpartisipasi atau kita sebut sebagai terapi kerja. Dengan latihan ini
pasien diharapkan dapat beradaptasi dengan kondisinya
Rasional:
Mendorong pasien untuk melakukan aktivitas secara teratur. Terapi
kerja berfokus pada latihan aktivitas sehari-hari seperti makan,
mandi, dll. Terapi kerja mengembangkan alat dan tehnik khusus
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
52
yang mengijinkan perawatan sendiri yang dapat memberikan
motivasi bahwa pasien dengan kelemahannya bisa hidup normal.
Kolaborasi
a.
Kolaborasi dengan ahli fisioterapi
Rasional:
Jelaskan pada pasien dan keluarga adanya terapi khusus bagi pasien
pasca stroke seperti constrainit induced treatment program yaitu
cara penatalaksanaan pada paralysis yang terjadi setelah terkena
stroke dan injury otak. Cara ini menjanjikan dapat meningkatkan
fungsi tubuh pada seseorang rata-rata setahun setelah stroke.
2.
Nyeri Akut berhubungan dengan luka insisi
Tujuan
:
Nyeri berkurang atau terkontrol, dengan kriteria hasil skala nyeri
berkurang, mengungkapkan metode yang diberikan penghilang, dan
mendemostrasikan penggunaan keterampilan relaksasi atau aktivitas
penghibur.
Intervensi
:
Mandiri
a.
Catat umur berat badan pasien, masalah medis/ psikologis yang
muncul kembali, sensitivitas idiosinkratik analgesic dan proses
intraoperasi (mis. ukuran,/ lokasi insisi, xat-zat anestesi) yang
digunakan.
Rasional:
Pendekatan pada manajemen rasa sakit pasca operasi berdasarkan
pada faktor-faktor variasi multipel.
b.
Ulangi rekaman intraoperasi/ ruang penyembuhan untuk tipe anestesi
dan medikasi yang diberikan sebelumnya.
Rasional:
Munculnya narkotik dan droperidol pada sistem dapat menyebabkan
analgesik narkotik dimana pasien dibius dengan flouthane dan
Ethrane yang tidak memiliki efek analgesik residual. Selain itu,
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
53
intraoperasi blok regional/ lokal memiliki beberapa durasi, misalnya
1-2 jam untuk regional atau 2-6 jam untuk lokal
c.
Evaluasi rasa sakit secara regular (misalnya setiap 2 jam x 12) catat
karakteristik, lokasi, dan intensitas (VAS)
Rasional:
Sediaan informasi mengenai kebutuhan/ efektivitas intervensi.
d.
Catat munculnya rasa cemas dan hubungkan dengan lingkungan dan
persiapkan untuk prosedur.
Rasional:
Perhatikan hal-hal yang tidak diketahui dan/ atau persiapan
inadekuat dapat memperburuk persepsi pasien akan rasa sakit.
e.
Kaji tanda-tanda vital, perhatikan takikardi, hipertensi, dan
peningkatan pernapasan.
Rasional:
Dapat mengindikasi rasa sakit akut dan ketidaknyamanan.
f.
Kaji penyebab ketidaknyamanan yang mungkin selain dari prosedur
operasi.
Rasional:
Ketidaknyamanan mungkin disebabkan dengan penekanan kateter,
selang NGT, jalur parenteral (sakit kandung kemih, akumulasi cairan
dan gas gaster, infiltrasi cairan IV)
g.
Berikan
informasi
mengenai
sifat
ketidaknyamanan,
sesuai
kebutuhan
Rasional:
Pahami penyebab ketidaknyamanan (misalnya sakit otot dari
pemberian suksinikolin dapat bertahan 48 jam pasca operasi.
Parastesia bagian-bagian tubuh dapat menyebabkan cedera saraf.
Gejala-gejala mungkin bertahan sampai berjam-jam atau bahkan
berbulan-bulan dan membutuhkan evaluasi tambahan.
h.
Lakukan reposisi sesuai petunjuk, misalya semifowler; miring
Rasional:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
54
Mungkin mengurangi rasa sakit dan meningkatkan sirkulasi. Posisi
semi-fowler dapat mengurangi tegangan otot abdominal dan otot
punggung arthritis, sedangkan miring mengurangi tekanan dorsal.
i.
Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya latihan napas dalam,
bimbingan imajinasi, visualisasi.
Rasional:
Lepaskan tegangan emosional dan otot; tingkatkan perasaan kontrol
yang mungkin dapat meningkatkan kemampuan koping.
j.
Berikan perawatan oral regular
Rasional:
Mengurangi ketidaknyamanan yang dihubungkan dengan membrane
mukosa yang kering pada zat-zat anestesi, retriksi oral.
k.
Observasi efek analgesic
Rasional:
Respirasi mungkin menurunkan pada pemberian narkotik, dan
mungkin menimbulkan efek-efek sinergistik dengan zat-zat anestesi.
Kolaborasi
a.
Berikan obat sesuai petunjuk
 Analgesik IV
Rasional:
Analgesic IV akan dengan segera mencapai pusat rasa sakit,
menimbulkan penghilang yang lebih efektif dengan obat dosis
kecil.
Pemberian
IM
memakan
waktu
lebih
lama
dan
keefektifannya bergantung pada tingkat absorsi.
3.
Resiko Penyebaran Infeksi berhubungan dengan prosedur invasive
Tujuan
:
Diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi
penyebaran infeksi pada luka insisi bedah dengan kriteria; luka insisi
utuh, tidak ada bengkak, nyeri berkurang, mencapai penyembuhan tepat
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
55
waktu, suhu tubuh normal (36-37,5oC), hasil lab leukosit dalam batas
normal (5000-10.000µL)
Intervensi
:
Mandiri
a.
Tetap pada fasilitas kontrol infeksi, streilisasi dan prosedur/
kebijakan aseptic
Rasional:
Tetapkan mekanisme yang dirancang untuk mencegah infeksi
b.
Uji kestrerilan semua alat
Rasional:
Benda-benda yang dipaket mungkin tampak steril, meskipun
demikian, setiap benda harus secara teliti diperiksa kesterilannya.
Sterilisasi tanggal kadaluarsa, nomor lot, dan dokumentasikan.
c.
Ulangi studi laboratorium untuk kemungkinan infeksi sistemik
Rasional:
Peningkatan SDP akan mengindikasi adanya infeksi dimana
prosedur operasi akan mengurangi atau munculnya infeksi sistemik,
dapat menyebabkan kontraindikasi dari prosedur pembedahan.
d.
Pertahankan gravitasi drain dependen dari kateter, selang, dan/atau
tekanan positif dari parenteral atau jalur irigasi.
Rasional:
Mencegah stasis dan refluks cairan
e.
Periksa kulit untuk memeriksa adanya infeksi yang terjadi.
Rasional:
Gangguan pada integritas kulit atau dekat dengan lokasi operasi
adalah sumber kontaminasi luka. menggunting/ bercukur secara
berhati-hati adalah imperative untuk mencegah abrasi dan penorehan
pada kulit.
f.
Identifikasi gangguan pada antiseptic dan atasi dengan segera.
Rasional:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
56
Kontaminasi
dengan
lingkungan/
kontak
personal
akan
menyebabkan daerah yang steril menjadi tidak steril sehingga dapat
meningkatkan resiko infeksi.
g.
Sediakan pembalut steril
Rasional:
Mencegah kontaminasi lingkungan pada luka yang baru
Kolaborasi
a.
Lakukan irigasi luka yang banyak, misalnya salin, air, antibiotik atau
antiseptic.
Rasional:
Dapat digunakan pada intraoperasi untuk mengurangi jumlah bakteri
pada lokasi dan pembersihan luka.
b.
Dapatkan spesimen kultur.
Rasional:
Indentifikasi segera tipe-tipe organism infeksi dengan perwarnaan
gram, yang memungkinkan diperlukannya pengobatan yang sesuai
c.
Berikan antibiotik yang sesuai.
Rasional:
Dapat diberikan secara profilaksis bila dicurigai terjadinya infeksi
atau kontaminasi.
3.4.
Evaluasi Keperawatan
Hasil dari tindakan keperawatan yang sudah dilakukan sesuai dengan masaah
keperawatan adalah sebagai berikut:
Dari enam diagnosa keperawatan yang ditemukan, semua diagnose keperawatan
dapat teratasi dengan baik sesuai dengan tujuan, dan diagnosa defisit perawatan
diri teratasi sebagian saat pasien pulang pada tanggal 7 Juni 2014. Evaluasi
terakhir dilakukan pada tanggal 5 Juni 2014.
a.
Gangguan Perfusi Jaringan Serebral
Hari pertama melakukan pengkajian, terlihat awalnya pasien terkena
stroke iskemik karena pasien dalam kondisi yang sadar dan hanya tidak
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
57
dapat menggerakan bagian tubuh sebelah kanan serta mengalami afasia.
Ketika melihat hasil CT Scan, baru diketahui bahwa pasien menderita
stroke hemoragik. Sehingga perlu pemantauan TTV, pupil mata,
penglihatan, dan fungsi bicara secara sering. Kemudian memotivasi
keluarga agar mempertahankan posisi tirah baring dan meninggikan kepala
dalam posisi anatomis. Hal ini dilakukan sampai tanggal 28 Mei 2014,
karena tanggal 28 Mei 2014, pasien menjalani operasi kraniotomi. Selama
masa perawatan, tidak terjadi komplikasi. Hanya tekanan darah pasien
yang tinggi terakhir (28 Mei 2014) tekanan darahnya adalah 170/100
mmHg, sehingga perlu diberikan obat antihipertensi karena pada saat itu
pasien ingin melakukan operasi kraniotomi.
b.
Defisit Perawatan Diri
Pasien merupakan penderita stroke hemoragik, sehingga sudah dapat
dipastikan sebagian tubuhnya mengalami kelemahan. Hal ini terbukti
ketika melakukan pengkajian didapatkan bahwa sebelah kanan pasien
tidak dapat digerakan, sehingga untuk pemenuhan aktivitas dibantu oleh
keluarga atau perawat. Tindakan untuk mengatasi diagnosa ini adalah
memandikan pasien, memberi makan, memberikan obat, memakaikan
baju, mengajari bagaimana memegang sendok makan, dan mengajari
makan serta minum sendiri. Walaupun hasilnya tidak sebaik sedia kala
atau seperti normalnya terdahulu, tetapi ada peningkatan dari pasien.
c.
Resiko Integritas Kulit
Pasien mengalami tirah baring yang cukup lama, sehingga sangat besar
resiko untuk terjadinya luka dekubitus, ditambah dengan kondisi kulit
pasien yang sedikit kering. Tindakan yang dilakukan adalah setiap selesai
memandikan pasien, diberikan minyak kelapa pada bagian yang kering
termasuk bagian belakang tubuh, kemudian memiringkan pasien per 2 jam.
Hasilnya tidak terjadi luka dekubitus pada pasien.
d.
Kerusakan Mobilitas Fisik
Setelah menjalani operasi kraniotomi, pasien mengalami imobilitas yang
cukup lama. Mahasiswa dan perawat menganjurkan untuk istirahat selama
12 jam setelah itu diperbolehkan untuk bergerak. Hal pertama yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
58
dilakukan
adalah
memiringkan
badan
per
dua
jam,
kemudian
mengajarinyanya untuk duduk secara bertahap. Setelah itu melakukan
RPS. Pada tanggal 5 Mei, pasien sudah dapat duduk high fowler, dengan
sanggahan dibagian punggungnya dan sambil memegang gelas.
e.
Nyeri Akut
Pada tanggal 2 Juni, melakukan tindakan membersihkan luka insisi pasien.
Ketika dikaji oleh perawat, pasien mengatakan luka insisi masih nyeri
dengan skala 2. Kemudian melakukan tindakan tarik napas dalam, setelah
diajari pasien mengatakan sudah tidak begitu nyeri lagi (setelah 3 hari).
Kondisi luka pasien sangat bersih dan tidak ada tanda-tanda inflamasi.
f.
Resiko Infeksi
Pasien merintih kesakitan ketika luka insisi dibersihkan, hal inilah yang
ditakutkan untuk terjadi infeksi. Tindakan yang dilakukan adalah
melakukan tindakan steril ketika melakukan ganti balutan pasien. Selama
dirawat pasien tidak ada tanda-tanda inflamasi dan hasil leukosit juga
dalam rentang yang normal.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
BAB 4
ANALISIS SITUASI
4.1.
Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP dan
Konsep Kasus Terkait
Pelaksanaan perawatan kesehatan masyarakat melibatkan berbagai program atau
sektor lain, oleh kerena itu perawatan kesehatan masyarakat dilaksanakan oleh
semua tenaga kesehatan secara koordinatif (Depkes RI, 1997). Metodelogi yang
digunakan dalam melaksanakan keperawatan kesehatan masyarakat melalui
beberapa tahapan kegiatan yang disebut dengan proses keperawatan sebagai suatu
pendekatan ilmiah dalam bidang keperawatan, dimana sejak dulu keperawatan
telah dilaksanakan oleh perawat. Proses keperawatan keesehatan masyarakat di
daerah perkotaan bertujuan untuk mencegah masalah keperawatan masyarakat di
daerah perkotaan.
Cerebrovaskular Disease (CVD) atau yang sering dikatakan masyarakat
perkotaan dengan stroke, ternyata adalah masalah kematian kedua setelah
penyakit jantung. Saat ini Indonesia merupakan negara dengan penderita sroke
terbesar di Asia (Yastroki, 2007). Menurut data Riset Kesehatan (2013)
mengatakan prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di desa, baik berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan (8,2%) maupun berdasarkan tenaga kesehatan atau
gejala (12,7%). Kasus stroke di RSCM sekitar 1.000 per tahun. Penanganan di
RSCM mampu menekan angka kematian akibat stroke dari 40% menjadi 25%,
bahkan di Unit Pelayanan Khusus Stroke Soepardjo Roestam yang merupakan
unit swadana bisa ditekan menjadi 13% (Siswono, 2003). Program rehabilitasi
adalah bentuk pelayanan kesehatan yang terpadu dengan pedekatan medic,
psikososial, educational-vocational yang bertujuan mencapai kemampuan
fungsional semaksimal mungkin dan mencegah serangan berulang, dalam
pelayanan rehabilitasi ini merupakan pelayanan dengan pendekatan multidisiplin
yang terdiri dari dokter neurologi, dokter rehabilitasi medik, perawat, fisioterapi,
terapi occupational, pekerja sosial medik, psikolog serta klien dan keluarga turut
berperan. Mobilisasi merupakan salah satu bentuk rehabilitasi awal dari kondisi
59
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
60
penyakit tertentu, dalam hal ini pada klien yang mengalami serangan stroke
sehingga terhindar dari komplikasi (Purwanti & Maliya, 2008).
Insidensi kasus stroke di Ruang Rawat Inap Melati Atas RSUP Persahabatan
periode Mei-Juni 2014 tercatat sebanyak 12 kasus dan hampir 95% adalah stroke
iskemik dan sisanya stroke hemoragik. Stroke merupakan kasus nomor dua
terbanyak yang ada di Ruang Melati Atas setelah diabetes mellitus tipe II.
Ada banyak faktor yang membuat seseorang mengalami cerebrovascular disease,
khususnya stroke, berikut ini hasil analisis kasus stroke hemoragik yang ada di
ruang rawat inap Melati Atas dengan teori yang ada. Pasien dengan
cerebrovascular disease (CVD) atau stroke sering dialami oleh masyarakat
perkotaan. Terjadinya penyakit stroke tentunya disertai dengan adanya multifaktor
baik dari segi host, agent, maupun lingkungannya. Dari hasil analisis didapatkan
riwayat hipertensi sejak tahun 2000 dan sejak setahun yang lalu terkena penyakit
jantung, datang ke RSUP Persahabatan sudah mengalami hemiparesis sebelah
kanan dan afasia. Pasien merupakan pensiunan PNS yang tidak punya riwayat
merokok.
Usia pasien adalah 75 tahun, dapat dikatakan bahwa pasien sudah memasuki
lanjut usia. Secara konsep angka kejadian stroke meningkat seriring dengan
pertambahan usia. Insiden kasus tertinggi terjadi pada usia diatas 65 tahun, namun
ada 28% kasus stroke terjadi pada usia kurang dari 65 tahun dan stroke hampir
terjadi di setiap kelompok (Lemon & Burke, 2004). Menurut Depkes RI (2013)
kelompok lanjut usia dibagi menjadi 3, yaitu kelompok usia dalam masa virilitas
(berada dalam keluarga dan masyarakat luas) (45-54 tahun), kelompok usia dalam
masa presenium (berada pada keluarga, masyarakat, dan organisasi lanjut usia)
(55-64 tahun), dan kelompok masa senecrus (hidup sendiri, terpencil, hidup dalam
panti, dan penderita penyakit berat) (>65 tahun). Hal ini juga membuktikan bahwa
kelompok lanjut usia diatas 65 tahun sudah memasuki masa dengan berbagai
macam penyakit. Proses penuaan tidak dapat dihindari oleh setiap manusia. Proses
penuaan mempunyai konsekuensi terhadap aspek biologis, psikologis, dan sosial
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
61
(Watson, 2003). Perubahan-perubahan fisik yang terjadi salah satunya terlihat dari
sel, dimana sel adalah penyusun organ-organ penting untuk tubuh. Sel didalam
tubuh menjadi lebih sedikit jumlahnya, lebih besar ukurannya, terganggunya
mekanisme perbaikan sel, dan jumlah sel di otak akan menurun sehingga
mengakibatkan otak menjadi atrofis dan beratnya berkurang 5-10% (Ismayadi,
2004). Usia diatas 65 tahun diprediksi menderita stroke berkaitan dengan
masalah-masalah aterosklorosis.
Proses penuaan menyebabkan pembuluh darah mengeras dan menyempit. Pada
saat pertumbuhan, proses pembangunan lebih banyak daripada proses perusakan.
Setelah tubuh secara faali mencapai tingkat kedewasaan, maka proses perusakan
secara berangsur akan melebihi proses pembangunan pada saat inilah terjadi
proses menua. Proses ini ditandai dengan peningkatan kehilangan otot tubuh,
perubahan fungsi dan organ tubuh seperti jantung, otak, ginjal, dan hati sehingga
proses penuaan dikatakan dapat mengakibatkan timbulnya penyakit stroke . lanjut
usia mengalami banyak kerusakan struktural dan fungsional pada tubuh (Anwar,
2006 dan Temu Ilmiah Geriarti, 2008). Usia juga termasuk kedalam faktor resiko
untuk terkena stroke (Sudoyo, 2009).
Menurut Anwar (2006), ketika usia menjadi tua sistem kekebalan tubuh
mengalami penurunan, sehingga lanjut usia rentan terkena penyakit. Proses menua
juga menyebabkan proporsi lemak di dalam tumbuh meninggi dan otot berkurang,
hal inilah yang menyebabkan lanjut usia mudah terkena obesitas atau kegemukan.
Kegemukan dapat meningkatkan resiko terkena stroke dan lemak dapat
menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah. Hasil pengkajian terhadap
empat pasien yang terkena stroke memiliki umur diatas 60 tahun, sehingga dapat
disimpulkan bahwa usia lansia lebih rentan terkena stroke.
Riwayat hipertensi yang sejak lama dialami pasien juga dapat mengakibatkan
stroke. Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah diastolic dan
sistolik yang intermiten atau menetap. Pengukuran tekanan darah serial 150/95
mmHg atau lebih pada orang yang berusia diatas 50 tahun memastikan hipertensi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
62
Insiden hipertensi meningkat seiring bertambahnya usia (Stockslager, 2008).
Hipertensi menjadi masalah yang sering terjadi pada lanjut usia karena sering
ditemukan menjadi faktor utama payah jantung dan penyakit koroner, lebih dari
separuh kematian diatas 60 tahun disebabkan oleh penyakit jantung dan
serebrovaskular. Menurut Sitorus, dkk (2009) mengatakan bahwa hipertensi
menjadi salah satu faktor resiko yang mengakibatkan stroke karena tekanan darah
yang definit, dengan tekanan darah sistolik > 140 dan diastolic > 90 mmHg akan
mendorong terjadinya stroke lewat diperberatnya atherosklerosis pada arkus aorta
maupun arteri servikoserebral. Hipertensi lama akan menimbulkan lipohialinosis
dan nekrosis firinoid yang memperlemah dinding pembuluh darah yang kemudian
menyebabkan rupture intima dan menimbulkan aneurisma. Hipertensi yang dapat
menimbulkan pendarahan intraserebral dan rupture aneurisme sakuler (Price &
Wilson, 2002).
Analisis ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Petrovitch, Marcuc
(1995), bahwa hipertensi terbukti mempuyai pengaruh terhadap kejadian stroke.
Besarnya pengaruh tekanan darah, kemungkinan karena adanya perubahan terjadi
pada pembuluh darah serebral didalam jaringan otak. Perubahan ini menunjukkan
faktor predisposisi stroke secara langsung, dan peningkatan proses atherogenesis
merupakan faktor predisposisi perdarahan atau infark otak. Selain itu, hipertensi
menyebabkan gangguan kemampuan autoregulasi pembuluh darah otak sehingga
pada tekanan darah yang sama aliran darah ke otak pada penderita hipertensi
sudah berkurang dibandingkan penderita normotensi. Makin lama hipertensi tidak
diobati makin tinggi angka kejadian untuk stroke. Smeltzer dan Bare (2002)
mengatakan bahwa hipertensi yang tidak terkontrol dapat mencetuskan hemoragik
serebral, edema, hemoragik pada luka operatif, atau terputusnya rekontruksi
arterial. Nitropusid natrium umum digunakan untuk menurunkan tekanan darah
sebelumnya. Pemantauan jantung harus dilakukan karena pasien ini mempunyai
insiden tinggi terhadap penyakit arteri koroner. Trombosis serebral (bekuan darah
di dalam pembuluh darah otak atau leher), aterosklerosis serebral dan perlambatan
sirkulasi serebral merupakan penyebab utama terjadinya thrombosis. Embolisme
serebral (bekuan darah atau material lain yang di bawa ke otak dari bagian tubuh
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
63
yang lain), abnormalitas patologik pada jantung kiri seperti endokarditis, jantung
reumatik, serta infeksi pulmonal adalah tempat berasalnya emboli. Hal ini juga
terjadi pada semua pasien yang terkena stroke (hemoragik atau iskemik) yang
berjumlah empat orang di Ruang Melati Atas didapatkan bahwa mereka memiliki
riwayat hipertensi sejak tahun 3 sampai 10 tahun yang lalu.
Hasil pengkajian juga menyebutkan bahwa pasien memiliki riwayat penyakit
jantung sejak setahun yang lalu. Stroke dapat terjadi sekunder akibat adanya
kelainan jantung dan sirkulasi demikian pula sebaliknya stroke dapat
menyebabkan kelainan jantung dan sirkulasi (Perloff, dalam Anwar, 2004). Ada
beberapa penelitian yang menunjukan bahwa penyakit jantung berkaitan dengan
stroke seperti penelitian tahun 2004 di RSCM dari 552 penderita stroke,
presentase dengan riwayat penyakit jantung sebanyak 126 orang, kemudian
penelitian di RSSN Bukittinggi tahun 2010 sebanyak 652 penderita stroke, hanya
62 orang yang tercatat memiliki riwayat penyakit jantung. Penyakit jantung
merupakan faktor risiko terkena stroke, banyak penelitian di rumah sakit yang
menunjukkan proporsi pasien stroke dengan penyakit jantung lebih kecil
dibandingkan dengan pasien stroke tanpa penyakit jantung. Hal ini menunjukkan
bahwa proporsi orang yang menderita stroke akibat penyakit jantung tidak
banyak, artinya sebagian besar pasien mendapatkan serangan stroke pertama kali
bukan karena memiliki penyakit jantung (Soeharto, 2004). Hal ini sejalan dengan
analisis yang telah dilakukan, dari empat pasien yang terkena stroke hanya satu
yang memiliki riwayat sakit jantung.
Hubungan erat antara stroke dan kelainan jantung sudah lama diketahui dan
dilaporkan dan tidak dapat disangkal lagi. Data-data yang diperoleh oleh para
peneliti menunjukkan bahwa kelainan jantung merupakan kemungkinan sumber
emboli pada 20-25 kasus infark serebri (Anwar, 2009). Pada kelompok lanjut usia
ternyata didapatkan prevalensi kelainan jantung yang tinggi pada penderita stroke.
Atrial fibrilasi merupakan kelainan jantung yang paling sering didapatkan
bersamaan dengan emboli serebri yaitu hampir separuh dari kelainan stroke akibat
emboli yang berasal dari jantung. Atrial fibrilasi sebagai penyebab sumber emboli
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
64
mempunyai variansi yang luas yaitu mulai dari lone atrial fibrillation sampai
ventrikel dengan gagal jantung kongestif (Anwar, 2004). Menurut Khalilullah
(2011) mengatakan hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan berbagai
macam perubahan dalam struktur jantung, pembuluh darah koroner, dan sistem
konduksi jantung. Perubahan ini dapat menyebabkan perkembangan hipertrofi
ventrikel kiri (LVH), penyakit arteri koroner (CAD), berbagai penyakit sistem
konduksi, serta disfungsi sistolik dan diastolic dari miokardium, yang
bermanifestasi klinis sebagai angina atau infark miokard, aritmia jantung
(terutama atrial fibrilasi), dan gagal jantung kongestf (CHF).
Hipertensi menjadi penyebab utama stroke (Khaliullah, 2011), meningkatnya
tekanan darah di dalam arteri dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu jantung
memompa lebih kuat sehingga mengalirkan banyak cairan pada setiap detiknya,
arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku sehingga tidak dapat
mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena
itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit
daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan darah, inilah yang terjadi
pada lanjut usia dimana dinding arteri telah menebal dan kaku karena
atherosclerosis.
Berdasarkan dari analisis penyebab yang terjadi pada kasus kemudian timbul
beberapa masalah keperawatan yang terkait dengan penyakit tersebut. penegakan
masalah keperawatan pada pasien ini berdasarkan asuhan keperawatan, yaitu
pengkajian, pemeriksaan fisik, dan data penunjang. Hasil pengkajian diadaptkan
data bahwa Tn.S (75 tahun) adalah seorang pensiunan PNS datang pertama kali ke
RSUP Persahabatan karena mengalami kelamahan pada bagian kanan tubuhnya
dan tidak dapat berbicara, tiga hari sebelum masuk rumah sakit pasien jatuh di
kamar mandi. Dua minggu sebelumnya pasien juga jatuh secara tiba-tiba saat
berolahraga. Status kesadaran pasien adalah somnolent, dengan E3M4V afasia,
tekanan darah 160/100 mmHg, , N= 90x/ menit, RR= 23x/menit, suhu=37,1 o C,
pupil isokor dengan diameter 3mm/ 3mm, refleks babinski +/+, hasil CT Scan
adalah adanya pendarahan di pons dan lakunar infark basal ganglia kiri. Hasil dari
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
65
data-data diatas dapat diambil kesimpulan tentang masalah keperawatan yang
terjadi yaitu perubahan perfusi jaringan serebral. Hal ini adalah masalah utama
yang terjadi pada pasien, jika tidak segera diatasi akan menimbulkan peningkatan
TIK dan kematian. Semua tanda-tanda vital harus dipantau sesering mungkin,
karena jika ada perubahan harus segera dilaporkan karena untuk menentukan
tindakan berikutnya (Doenges, dkk (2010)). Posisi kepala juga harus ditinggikan
hingga posisi 30o dengan posisi netral (Aini, 2009).
Masalah kedua yang muncul dari kasus yang ada adalah defisit perawatan diri
dalam hal pemenuhan ADL (Activity Daily Living) berhubungan dengan
penurunan tingkat kesadaran, menurunnya kekuatan otot, dan kehilangan kontrol
otot akibat terganggunya neuromuskuler. Hal ini didapatkan dari data kesadaran
pasien somnolen, kekuatan otot ekstermitas kanan dan kiri adalah 0000/3333,
tonus otot menurun, kemudian pemenuhan ADL (makan, minum, mandi,
berpakaian, BAB, BAK) dibantu oleh keluarga dan perawat (Doenges, dkk, 2010).
Penyakit stroke tidak hanya mengakibatkan penurunan kesadaran tetapi juga
mengakibatkan kelemahan atau tidak bergeraknya salah satu anggota tubuh
(Smeltzer & Bare, 2002). Defisit perawatan diri untuk pemenuhan ADL, juga
dapat meningkatkan rasa percaya diri pasien, karena biasanya pasien yang terkena
stroke pemenuhan ADL selalu dibantu oleh keluarga atau perawat. Pemenuhan
ADL sangat penting dilakukan karena hal ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya masalah lanjut bila kebutuhan tersebut tidak dipenuhi, seperti gangguan
nutrisi, gangguan eliminasi, gangguan integritas kulit, dan lain-lainnya.
Stroke dapat mengakibatkan tubuh mengalami kelemahan dan mengakibatkan
penderita mengalami tirah baring yang cukup lama. Hal ini yang menyebabkan
resiko untuk terjadinya dekubitus. Potter dan Perry (2008) mengatakan bahwa
luka dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika
jaringan lunak tertekan antara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam
jangka waktu yang lama. Terjadinya gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan
mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan memperoleh oksigen dan nutrisi serta
membuang sisa metabolisme melalui darah. Beberapa faktor yang mengganggu
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
66
proses ini akan mempengaruhi metabolisme sel dengan cara mengurangi atau
menghilangkan sirkulasi jaringan yang menyebabkan iskemia jaringan.
Masalah keperawatan yang muncul berikutnya adalah kerusakan mobilitas fisik,
karena penyakit stroke menyerang anggota gerak tubuh. Pada tanggal 28 Mei
2014. Pasien menjalani bedah kraniotomi untuk mengatasi pendarahan yang ada
di dalam otak, hal ini juga yang menjadi data bahwa seseorang yang telah
menjalani bedah pasti akan menimbulkan nyeri dan kesulitan untuk bergerak
(mobilisasi), karena pengaruh dari efek anestesi yang digunakan (anestesi total).
Jika masalah ini tidak segera diatasi nantinya dapat menyebabkan kontraktur
dimana semua bagian amggota gerak tubuh menjadi tidak dapat digerakan.
Pada tanggal 28 Mei 2014, pasien mengalami operasi kraniotomi. Operasi
kraniotomi adalah operasi membuka tulang tengkorak untuk mengangkat tumor,
mengurangi TIK, mengeluarkan pembekuan atau menghentikan perdarahan
(Hinchliff & Sue, 1999). Kraniotomi menyangkut pembekuan tengkorak melalui
pembedahan untuk meningkatkan akses pada struktur intracranial (Smeltzer &
Bare, 2002). Awal pengkajian setelah operasi kraniotomi, pasien sudah dapat
berbicara walaupun hanya beberapa kata saja. Pasien mengatakan masih terasa
nyeri pada bagian luka insisi, besaran skala nyeri 2. Sehingga masalah yang
muncul ketika pasien sudah melakukan operasi kraniotomi adalah nyeri akut.
Luka setelah operasi pasti memiliki resiko untuk terjadi penyebaran infeksi,
sehingga pasien ini sangat mempunyai peluang besar untuk terkena infeksi. Hal
ini juga didukung oleh data bahwa adanya nyeri pada bekas luka insisi dan sedikit
berwarna kemerahan disekitar luka insisi. Nyeri ini dapat terjadi dikarenakan
kerusakan jaringan akibat pembukaan tulang tengkorak dan nyeri juga salah satu
tanda-tanda inflamasi, sama halnya dengan kemerahan.
4.2.
Analisis Salah Satu Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait
Pasien telah melakukan operasi kraniotomi untuk mengatasi perdarahan yang
terjadi pada otak, setelah dilakukan pembedahan banyak hal yang harus dilakukan
pemeriksaan ulang dan berlanjut dikarenakan jenis operasi kraniotomi adalah
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
67
operasi besar (Surgery Encyclopedia, 2009). Menurut Sastrodiningrat (2006)
mengatakan bahwa monitoring kondisi umum dan neurologis harus sering
dilakukan. Bekuan darah yang terjadi akibat stroke, terutama yang volumenya
besar dan menimbulkan pedesakan hebat terhadap otak, perlu dioperasi sebagai
upaya penyelamatan nyawa. Ketika ada keluhan di kepala, kemudian akan
dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti foto CT Scan
untuk mencari tahu penyebab gangguan yang terjadi pada otak, lokasi, dan
perluasan penyakit tersebut secara terperinci. Operasi yang mempuni adalah
operasi kraniotomi, tujuan pembedahan kraniotomi adalah membuat lubang pada
tulang tengkorak atau wadah untuk mengurangi tekanan atau desakan terhadap
otak di dalamnya, juga untuk mengambil penyakit atau memperbaiki struktur otak
yang mengalami gangguan. Tindakan operasi kraniotomi dilakukan untuk
membuat akses guna mencapai bagian-bagian otak yang berlu diperbaiki . Operasi
ini berlangsung selama 3-5 jam bahkan lebih. Operasi kraniotomi adalah tindakan
yang paling sering dilakukan pada kasus stroke pendarahan atau intraserebral
hemoragik (Listiono, 2009). Kraniotomi juga merupakan prosedur pembedahan
otak standar yang masih merupakan terapi utama dalam penanganan stroke
hemoragik, keberhasilan tindakan ini tergantung dari luas dan lesi di otak dan
komplikasi yang terjadi sebelum, selama, dan pasca pembedahan (Cahyo, dkk
(2012).
Pasien datang ke RSUP Persahabatan mengalami kelemahan pada bagian kanan
tubuh dan mengalami afasia, kemudian pasien menjalani operasi kraniotomi.
Setelah menjalani kraniotomi, pasien sempat dirawat di ICU sebelum dipindahkan
lagi ke Ruang Melati Atas RSUP Persahabatan. Kondisi pasien saat pertama kali
setelah operasi kraniotomi (2 Juni 2014) datang ke Ruang Melati Atas adalah
compo mentis, dengan nilai E3M6V5. Verbal pasien memang belumlah sempurna
seperti dahulu tetapi saat melakukan pengkajian pasien mampu berbicara dengan
baik walaupun pelan dan lambat, karena sebelumnya pasien afasia.
Berbaring lama dan inaktiviti adalah dampak dari pasca pembedahan kraniotomi.
Berbaring lama dan inaktiviti dapat menimbulkan komplikasi gerakan seperti
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
68
kontraktur, osteoporosis, dekubitus, edema, infeksi, trompoblepitis, dan ingeksi
saluran kencing. Rehabilitasi dini pada fase akut terutama untuk menghindari
komplikasi dengan terapi fisik pengaturan posisi, melakukan gerakan rentang
gerak sendi (RPS) dan mobilisasi dini. Program rehabilitasi menurut Ibrahim
((2001), dalam Purwanti & Maliya, 2008) tidak hanya terbatas pada pemulihan
kondisi semata, tetapi juga mencakup rehabilitasi yang bersifat psikososial, penuh
dengan kasih sayang serta empati yang luas, guna mempertimbangkan penderita.
Rehabilitasi medic meliputi tiga hal, yaitu rehabilitasi medikal, sosial, dan
vokasional. Mobilisasi adalah hal yang menyebabkan bergeraknya sesuatu (
Ramali, Pamoentjak, 1996). Latihan RPS memiliki beberapa keuntungan antara
lain lebih mudah dipelajari dan mudah diterapkan, serta tidak memakan biaya
yang mahal (Tseng, et al., 2009). Pasien dengan stroke harus dimobilisasi dan
dilakukan fisioterapi sedini mungkin, bila kondisi klinis neurologis dan
hemodinamik stabil, untuk fisoterapi pasif pada pasien yang belum boleh.
Perubahan posisi badan dan ekstermitas setiap dua jam untuk mencegah
dekubitus. Latihan gerakan sendi anggota badan secara pasif dua kali sehari untuk
mencegah kontraktur (Mansjoer, dkk, 2000).
Latihan fisik pada pasien stroke terdiri dari mobilisasi dini dan latihan duduk.
Mobilisasi dini terdiri dari mobilisasi duduk dan rentang pergerakan sendi (Maliya
& Purwanti, 2008). Pelaksanaan mobilisasi dini posisi tidur terdiri dari posisi
tidur, yaitu: 1) Berbaring terlentang, dimana posisi kepala, leher, dan punggung
harus lurus kemudian letakan bantal dibawah lengan yang lumpuh secara berhatihati, sehingga bahu terangkat ke atas dengan lengan yang agak ditinggikan dan
memutar kea rah luar, siku dan pergelangan tangan agak ditinggikan, kemudian
letakan juga bantal dibawah bantal yang lumpuh dengan posisi agak memutar
kearah dalam dan lutut agak ditekuk. 2) Miring ke sisi yag sehat, bahu yang
lumpuh harus mengadap ke depan, lengan yang lumpuh memeluk bantal dengan
siku diluruskan, kemudian kaki yang lumpuh diletakkan di depan bawah paha dan
tungkai diganjal bantal, lutut ditekuk. 3) Miring ke sisi yang lumpuh, lengan yang
lumpuh menghadap ke depan, pastikan bahwa bahu penderita tidak memutar
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
69
secara berlebihan, tungkai agak ditekuk, tungkai yang sehat menyilang di atas
tungkai yang lumpuh dengan diganjal bantal.
Latihan duduk bertahap, menurut Harsono (1996) dimulai dengan meninggikan
letak kepala secara bertahap untuk kemudian dicapai posisi setengah duduk dan
pada akhirnya posisi duduk, latihan duduk secara aktif sering kali memerlukan
alat bantu, misalnya trapeze untuk pegangan pasien. Bangun duduk dilakukan
dengan bantuan perawat yang memegang kuat siku sisi yang lumpuh pada tempat
tidur, dengan tangan yang lain berjabatan tangan dengan tangan penderita yang
sehat. Siku penderita yang sakit harus berada langsung di bawah bahu, bukan
dibelakang bahu. Latihan ini diulang-ulang sampai si penderita merasakan
gerakannya (Kandel, dkk, 1995).
Menurut Canadian Best Practice Recommendations for Stroke Care (2013)
mengatakan bahwa hal pertama yang dilakukan untuk rehabilitasi stroke adalah
Range of Motion (ROM) atau Rentang Gerak Sendi (RPS), karena pasien yang
terkena stroke memiliki kelumpuhan motorik dan sensorik. Motorik dan sensorik
adalah bagian penting dalam menggerakan anggota badan untuk melakukan
aktivitas. Biasanya harus melibatkan pasien selama tugas fungsional dan
dirancang untuk menstimulasikan keterampilan dalam pemenuhan aktivitas,
sehingga kedua komponen ini harus didahulukan untuk rehabilitasinya. RPS
bertujuan agar meningkatkan kontrol motorik dan mengembalikan fungsi
sensorimotor. Proses rehabilitasi pasien stroke merupakan proses motor learning
yang merupakan satu set proses latihan motorik yang mempengaruhi keadaan
internal sistem saraf pusat. Latihan ini dilakukan dengan melibatkan memori
jangka panjang tentang kemampuan motorik dan dipelajari kembali sehingga
memudahkan pasien untuk memiliki kemampuan motorik yang telah dipelajarinya
dulu (Mudie & Matyas, 2000).
Rentang gerak Sendi (RPS) adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan
terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakan masingmasing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
70
Latihan aktif membantu mempertahankan fleksibilitas sendi dan kekuatan otot
serta meningkatkan penampilan kognitif. Sebaliknya, gerakan pasif, yaitu
menggerakkan sendi seseorang melalui rentang geraknya oleh orang lain, hanya
membantu mempertahankan fleksibilitas (Potter & Perry, 2006). Latihan RPS
sebenarnya mudah untuk dilakukan oleh keluarga, pertama kali melakukan RPS
pasien sudah dapat diajak berkomunikasi, kemudian melakukan RPS aktif
dikarenakan pasien belum terlalu kuat untuk mengangkat bagian ekstermitasnya.
Melakukan RPS dimulai dari kepala hingga kaki. Latihan ini dilakukan sebanyak
dua kali sehari dengan posisi terlentang. RPS dapat dilakukan dengan posisi
terlentang, semi fowler, atau high fowler (Kozier, 1995).
Latihan rentang gerak sendi (RPS) sangat efektif dalam meningkatkan kekuatan
otot yang melemah yang diakibatkan oleh stroke. Hal ini diperkuat oleh beberapa
penelitian yang telah dilakukan, seperti penelitian Fitria dan Maimurahman (2010)
yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi mendapatkan hasil bahwa terapi RPS
dinyatakan efektif dalam meningkatkan kekuatan otot ekstermitas penderita stroke
dengan nilai = 0,003 ( < 0,05). Penelitian Murtaqib (2013) menyatakan bahwa
latihan RPS selama 1-2 minggu dapat meningkatkan rentang gerak sendi siku
dengan nilai
= 0,001 ( < 0,05). Cahyati (2011) dalam tesisnya mengatakan
bahwa latihan RPS uniteral (melakukan RPS pada sisi yang terkena hemiparase)
dan RPS bilateral (melakukan RPS pada kedua sisi yang terkena hemiparase dan
yang tidak) dapat meningkatkan kekuatan otot. Penelitian Tseng, et al. (2007)
dalam penelitiannya menunjukkan bahwa responden penelitian yang melakukan
RPS mengalami perbaikan pada fungsi aktivitas, persepsi nyeri, rentang gerak,
dan gejala depresi. Terdapat banyak lagi artikel yang membahas tentang efek RPS
dengan outcome yang bervariasi dan populasi yang beragam pula.
Latihan RPS dapat menggerakan persendian seoptimal mungkin dan seluas
mungkin sesuai kemampuan seseorang dan tidak menimbulkan rasa nyeri pada
sendi yang digerakkan. Adanya pergerakan pada persendian akan menyebabkan
terjadinya peningkatan aliran darah ke dalam kapsula sendi. Ketika sendi
digerakkan, permukaan kartilago antara kedua tulang akan saling bergesekan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
71
Kertilago banyak mengandung proteoglikans yang menempel pada asam
hialuronat yang bersifat hidrophilik. Adanya penekanan pada kartilago akan
mendesak air keluar dari matrik kartilago ke cairan synovial. Bila tekanan
berhenti maka air yang keluar ke cairan synovial akan ditarik kembali dengan
membawa nutrisi dari cairan (Ulliya, et al., 2007).
4.3.
Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan
Asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien memiliki beberapa kendala.
Langkah yang diambil mahasiswa adalah mencari alternative solusi yang tepat
untuk menyelesaikan masalah keperawatan yang dilakukan. Solusi yang dimaksud
dapat bersumber dari perawat dengan peran utamanya sebagai pemberi asuhan
keperawatan, fasilitas layanan kesehatan, peran kolaborasi dengan profesional
kesehatan lain, ataupun dapat melibatkan keluarga pasien dan pasien dalam proses
pemberian asuhan keperawatan, dengan adanya alternative penyelesaian masalah
diharapkan intervensi keperawatan yang diperlukan dapat menyelesaikan masalah
pasien dengan efektif dan signifikan. Masalah keperawatan yang masih harus
memerlukan perawatan sesuai dengan analisis diatas adalah mengenai adanya
latihan lanjut untuk melakukan mobilisasi setelah pasien dinyatakan pulang.
Terapi yang telah dilaksanakan untuk mengatasi masalah tersebut hanya rentang
pergerakan sendi, latihan duduk bertahap, latihan mobilisasi dini diatas kasur
(merubah posisi per dua jam), sedangkan ada beberapa terapi lagi yang harus
dilakukan untuk pasien stroke yang memasuki tahap rehabilitasi. National Stroke
Association (2010) mengatakan bahwa ada berbagai macam jenis latihan fisik
untuk fase rehabilitasi, yaitu latihan program I, untuk pasien yang sudah dapat
mengontrol fungsi motorik (terdiri dari RPS/ ROM pasif, latihan menstimulasi
untuk berjalan) dan latihan program II, untuk yang masih beraktivitas diatas
tempat tidur (terdiri dari RPS/ ROM aktif, latihan duduk bertahap). Pada kasus
Tn. S (75 tahun) jika melihat rangkaian program rehabilitasi stroke dapat diartikan
bahwa pasien harus belajar latihan stimulasi untuk berjalan.
Terdapat banyak kekurangan dalam melakukan latihan ini yaitu penulis merasa
bahwa belum ada yang menjamin kontinuitas latihan RPS ini tetap dilakukan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
72
pasien di rumah, walaupun sudah diberikan edukasi. Sehingga pasien dan
keluarga perlu dibekali jadwal sebelum pulang seperti jadwal melakukan RPS
setiap pagi setelah mandi dan setelah mandi sore atau jam 16.00 WIB sebanyak
dua kali dalam sehari. Secara teori tidak disebutkan secara spesifik mengenai
dosis dan intensitas latihan RPS. Menurut Potter dan Perry (2006), latihan RPS
minimal dilakukan dua kali dalam sehari sedangkan Smeltzer dan Bare (2008)
mengatakan bahwa latihan RPS dapat dilakukan sebanyak 4-5 kali dalam sehari.
Selain referensi yang telah disebutkan, beberapa penelitian menunjukkan
frekuensi yang bervariasi dalam melakukan RPS. Tseng, et al (2007) dalam
penelitiannya tentang penerapan latihan RPS pada pasien stroke menyebutkan
bahwa dosis latihan yang dipergunakan sebanyak dua kali dalam sehari, enam hari
dalam seminggu selama empat minggu dengan intensitas masing-masing lima
gerakan untuk setiap sendi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
responden penelitian yang melakukan latihan tersebut mengalami perbaikan pada
fungsi aktivitas, persepsi nyeri, dan gejala depresi. Sementara Astrid (2008)
menerapkan latihan RPS pada pasien stroke frekuensi empat kali dalam sehari
selama tujuh hari, latihan ini memberikan kemajuan yang signifikan bagi kekuatan
otot pasien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
BAB 5
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
Pada bab ini merupakan hasil dari analisis praktik klinik keperawatan kesehatan
masyarakat perkotaan pada pasien yang terkena stroke di Ruang Rawat Melati
Atas di RSUP Persahabatan, adalah sebegai berikut:
1.
Penyakit ini merupakan penyakit yang sering diderita oleh masyaraat
perkotaan. Penyakit stroke adalah salah satu penyakit dalam bidang
neurologi yang dapat menyebabkan kematian dan kesehatan di negara
maju ataupun negara berkembang serta penyebab utama kecacatan pada
orang dewasa.
2.
Penyakit stroke yang sering diderita adalah stroke iskemik (hampir 80%)
dan sisanya (20%) terkena stroke hemoragik.
3.
Penyakit stroke disebabkan oleh beberapa hal yang banyak terjadi di
masyarakat perkotaan seperti hipertensi, faktor usia, dan adanya penyakit
jantung atau gaya hidup. Faktor ini memicu akan terjadi trombosis,
embolisme, iskemia, dan hemoragik serebral. Penyebab tersering stroke
adalah trombosis.
4.
Tindakan pembedahan untuk mengatasi perdarahan yang terjadi di otak
adalah dengan operasi kraniotomi. Operasi kraniotomi adalah Kraniotomi
menyangkut
pembekuan
tengkorak
melalui
pembedahan
untuk
meningkatkan akses pada struktur intracranial, tujuan dari operasi
tersebut adalah membuat akses guna mencapai bagian-bagian otak yang
berlu diperbaiki.
5.
Masalah-masalah yang sering muncul pada pasien stroke yang sedang
ada pada fase rehabilitasi adalah mengenai kerusakan mobilisasi fisik.
6.
Perawat dapat melakukan terapi rentang pergerakan sendi untuk
mengatasi masalah mobilitas yang dialami oleh pasien stroke fase
rehabilitasi. Tujuan dari pemberian terapi ini adalah mempertahankan
fungsi mobilisasi sendi, memulihkan atau meningkatkan fungsi sendi dan
kekuatan otot yang berkurang karena proses penyakit, kecelakaan, atau
73
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
74
tidak digunakan, dan mencegah komplikasi dari immobilisasi seperti
atrofi otot dan kontraktur.
5.2.
Saran
Berdasarkan keterbatasan dan pembahasan hasil penulisan ini, maka penulis
memerlukan beberapa rekomendasi kepada penulis selanjutnya dalam melakukan
asuhan keperawatan pada pasien stroke fase rehabilitasi untuk mengatasi
imobilitas.
1.
Penulis selanjutnya dapat melakukan RPS secara terprogram di setiap
institusi pelayanan keperawatan baik oleh perawat maupun bekerja sama
dengan keluarga setelah terlebih dahulu diajarkan tentang latihan RPS
(edukasi). Selain itu perlu dibuat prosedur tetap dan jadwal latihan RPS
secara jelas misalnya dengan frekuensi dua kali dalam sehari.
2.
Bidang perawatan adalah meneliti lebih lanjut tentang hubungan antara
mobilisasi dini terhadap peningkatan kekuatan otot, dan kemampuan
aktivitas pasien, perawat sebaiknya dapat meneruskan terapi rentang
gerak sendi untuk merawat pasien stroke fase rehabilitasi.
3.
Hasil analisis ini juga dapat dijadikan sebagai awal sekaligus motivasi
untuk melakukan penelitian lebih lanjut di lingkup keperawatan medical
bedah, baik di institusi pelayanan maupun pendidikan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA
Aggleton, P.,& Chalmers, H. (2000). Nursing models and Nursing practices. (2nd
Ed). Basingstoke: Macmillan Publisher
Allender, J. A., Rector, C., Warner, K. D. (2011). Community health nursing:
Promoting and protecting the public’s health. (7th ed). Philadelphia
Lippincott: Williams & Wilkins
American Heart Association. (2010). Heart deases and stroke statistic: our guide
to current statistics and the supplement to our heart and stroke fact-2010
update. Diunduh pada tanggal 19 Juni 2014 dari
http://americanheartassociation.org
American Heart Association. (2014). Heart deases and stroke statistic: our guide
to current statistics and the supplement to our heart and stroke fact-2014
update. Diunduh pada tanggal 19 Juni 2014 dari
http://circ.ahajournals.org/content/129/3/e28.full.pdf
Anomyous. (2008). Surgery encyclopedia craniotomy. Diunduh pada tanggal 26
Juni 2013 dari http://www.surgeryencyclopedia.com/Ce-Fi/craniotomy.html
Achmadi, U. F. (2010) Manajemen penyakit berbasis wilayah. Jakarta: FE-UI
Astrid. (2008). Tesis: Pengaruh latihan range of motion (rom) terhadap kekuatan
otot, luas gerak sendi dan kemampuan fungsional pasien stroke di RS Saint
Carolus Jakarta. Depok: Program Studi Pasca Sarjana FIK UI. Tidak
dipublikasikan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
(2013). Riset kesehatan dasar. Diunduh pada tanggal 24 Juni 2014 dari
75
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
76
http://www.depkes.go.id/download/riskesdas2013/Hasil%20Riskesdas%2020
13.pdf
BAPPENAS. (2005). Urbanisasi. Diunduh pada tanggal 28 Juni 2014 dari
http://www.bps.go.id
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2005). Medical surgical nursing clinical
management for positive outcomes, 8th Edition. St Louis Missouri: Elsevier
Saunder
Cahyati, Y. (2011). Tesis: Perbandingan latihan rom unilateral dan latihan rom
bilateral terhadap kekuatan otot pasien hemiparese akibat stroke iskemik di
rsud kota tasikmalaya dan rsud kab ciamis. Diunduh pada tanggal 24 Juni
2014 dari http://www.lib.ac.id . tidak dipublikasikan
Canadian Best Practice Recommendation for Stroke Care. (2013). Diunduh pada
tanggal 24 Juni 2014 dari http://www.strokebestpractice.ca/
Depkes RI. (1997). Pola pembinaan kesehatan usia lanjut di panti werdha. Jakarta:
Direktorat Bina Kesehatan Keluarga
--------------. (2013). Pola pembinaan kesehatan usia lanjut di panti werdha.
Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Keluarga
Doenges, M.E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2010). Nursing care plans:
guidelines for individualizing client care across the life span. Philadelphia: F.
A. Davis Company
Gofir, A. (2007). Pengantar manajemen stroke komprehensif. Jogjakarta: Pustaka
Cendikia
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
77
Ignatavicius, D.D and M.L Workman.(2010). Medical Surgical Nursing: Critical
Thinking for Collaborative Care. Missouri: Elsevier Saunders
Kementrian Republik Indonesia. (2012). Case report form penyakit: stroke.
Diunduh pada tanggal 25 Mei 2014 dari http://www.sharepdf.com/b4b1ac4c23ac4ee7934e768cefb9b215/CRF%20Stroke%20registry_
2012_with%20score%20Ina.pdf
Kozier, B. et al. (2004). Techniques in clinical nursing. 5th Edition. Canada:
Cummings Publishing Company
Lemone, P., & Burke, K. (2004). Medical surgical nursing critical thinking in
client care. 3rd Edition. New Jersey: Pearson Education
Lewis. (2007). Medical surgical nursing: assessment & management of clinical
problem. 7th Edition. St. Louis: Missouri. Mosby-Year Book, Inc
Lynch, D., Ferraro, M., Krol, J., Trudell, C. M., Christos, P., & Volpe, B. T.
(2005). Continuous passive motion improves shoulder joint integrity
following stroke. Clinical Rehabilitation, 19(6), 594-599.
Mansjoer, A. (2000). Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Jakarta: EGC
McEwen, M., & Nies, M. A. (2007). Community/ public health nursing:
promoting the health of populations. St Louis Missouri: Saunders Elsevier
McKenna, G. (1994). Learning theories made easy: humanism. Nursing Standard.
Vol. 9 (31): 29-31
Mudie, M. H., & Matyas, T. A. (2000). Can simultaneous bilateral movement
involve the undamaged hemisphere in reconstruction of neural networks
damaged by stroke?. Disability & Rehabilitation, 22(1/2), 23-37
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
78
Murtaqib. (2013). Perbedaan latian range of motion (rom) pasif dan aktif selama
1-2 minggu terhadap peningkatan rentang gerak sendi pada penderita stroke
di kecamatan tanggul kabupaten jember. Jurnal keperawatan soedirman, vol.
8. Maret 2013. Diunduh pada tanggal 20 Juni 2014 dari
http://www.unsoed.ac.id
Muttaqin, A. (2008). Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan
sistem persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Petrovitch H, Curb D, Bloom Marcus E. (1995). Isolated systolic hypertension
and risk of stroke in japanese – America Men Stroke 1995 : 26 : 25-29
Potter, A. P., & Perry, A. (2006). Fundamental of nursing. 4th Edition. St. Louis
Missouri; Mosby-Year Book, Inc
------------------------------. (2005). Fundamental of nursing. 4th Edition. St. Louis
Missouri; Mosby-Year Book, Inc
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2002). Patofisiologi konsep klinis proses penyakit.
Edisi 6. Jakarta: EGC
Purwanti, S., & Maliya, O. (2007). Rehabilitasi klien pasca stroke. Jurnal FIK
UMS. Diunduh pada tanggal 23 Juni 2014 dari
http://www.publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/741/1h.pd
f?sequence=1
Setyopranoto, I. (2011). Stroke: Gejala dan penatalaksanaan. Artikel Cermin
dunia: Kedokteran 185, vol (38/4): Mei-Juni p 247-250. Diunduh pada
tanggal 24 Juni 2014 dari
http//www.kalbe.co.id/foles/cdk/files/05_185strokegejalapenatalaksanaan.pdf
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
79
Siswono, Y. (2003). Skripsi: Beberapa faktor risiko yang mempengaruhi kejadian
stroke berulang. Diunduh pada tanggal 25 Juni 2014 dari
http://www.eprints.undip.ac.id/38230.pdf
Sitorus, R. J. (2008). Faktor-faktor resiko yang mempengaruhi kejadian stroke
pada usia muda kurang dari 40 tahun (studi kasus di semarang). Jurnal
Epidemiologi. Diunduh pada tanggal 23 Juni 2014 dari
http://www.eprints.undip.ac.id/6482.pdf
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2002). Brunner & Suddarth’s textbook of medical
surgical nursing. 11th Edition. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins
------------------------------------. (2010). Brunner & Suddarth’s textbook of medical
surgical nursing. 11th Edition. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins
Stockslager, J., & Schaeffer, L. (2008). Buku saku: Asuhan keperawatan
geriatric. Edisi 2. Alih Bahasa: Nike BS. Jakarta: EGC
Stoykov, M. E. (2009). Bilateral training of upper extremity hemiparesis in
stroke. Unpublished 3316563, University of Illinois at Chicago, Health
Sciences Centre, United States.
Sudoyo. A. W., dkk. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta:
Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Tseng, C-N., Chen, C. C. –H., Wu, S-C., & Lin, L. –C. (2007). Effect of a range
of motion exercise program. Journal of Advanced Nursing, 57(2), 181-191
Ulliya, S., Soempeno, B., & Kushartanti, B. W. (2007). Pengaruh latihan range of
motion (rom) terhadap fleksibilitas sendi lutut pada lansia di Panti Werdha
Wening Wardoyo Ungaran. Media Ners Vol (1/2). Oktober hal. 440.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
80
Watson, R. (2003). Perawatan pada lansia. Ahli Bahasa: Musri. Jakarta: EGC
World Health Organization (WHO). (2008). Environmental health. Diunduh pada
tanggal 23 Juni 2014 dari http://www.who.int
--------------------------------------------. (2006). Environmental health. Diunduh
pada tanggal 23 Juni 2014 dari http://www.who.int
Yastroki, N., Koyuncu, B., Coban, O., Tuncay, R., & Bahar, S. (2011). Gender
difference in acute stroke: Istanbul medical school stroke registry. Neurology
India, 59 (2), 174
Yulinda, W. (2009). Pengaruh empat minggu terapi latihan pada kemampuan
penderita stroke iskemik di RSUP H. Adam Malik Medan. Medan: Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Lampiran 1
HASIL PEMERIKSAAN DARAH
Tanggal
Komponen
Nilai
Satuan
Nilai Normal
20/5/2014
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Leukosit
Hitung Jenis
Netrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
RDW-CV
Trombosit
GDS Sewaktu
6,62
ribu/ mm3
5-10
68,0
17,6
6,1
6,8
1,5
5,00
13,3
44
87,5
26,38
30,3
12,69
264
132
%
%
%
%
%
juta/ µL
g/dL
%
fl
Pg
%
%
ribu/mm3
mg/dL
50-70
25-40
2-6
2-4
0-1
4,5-8,5
13,0-18,9
40-52
80-100
26-34
32-36
11,5-14,5
150-440
<180
147,0
3,5
108
38
1,3
mmol/L
mmol/L
mmol/L
mg/dL
mg/dL
135-145
3,5-8,5
98-109
20-40
0,8-1,5
HEMOSTASIS
Fibrinogen
mg/dL
200-400
PT-INR
PT
INR
APTT
D-Dimer
Albumin
SGOT
SGPT
Asam Urat
Trigliserida
Kolesterol Total
detik
detik
detik
mg/dL
g/dL
u/L
u/L
mg/dL
mg/dL
mg/dL
10-14
0,83-1,16
28-40
Neg < 500
3,4-5
0-37
0-40
2,4-7,0
< 150
< 200- >
(tinggi)
8,22
ribu/ mm3
5-10
80,2
6,9
5,5
4,9
%
%
%
%
50-70
25-40
2-6
2-4
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium
Kalium
Klorida
Ureum
Kreatinin
28/5/2014
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Leukosit
Hitung Jenis
Netrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
240
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Basofil
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
RDW-CV
Trombosit
GDS Sewaktu
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium
Kalium
Klorida
Ureum
Kreatinin
%
juta/ µL
g/dL
%
fl
Pg
%
%
ribu/mm3
mg/dL
0-1
4,5-8,5
13,0-18,9
40-52
80-100
26-34
32-36
11,5-14,5
150-440
<180
145,0
3,60
109,0
mmol/L
mmol/L
mmol/L
mg/dL
mg/dL
135-145
3,5-8,5
98-109
20-40
0,8-1,5
Analisa Gas Darah
pH
PCO2
PO2
HCO3
TCO2
BE
Saturasi O2
7,319
43,3
106,1
21,8
23,1
-4,3
97,5
HEMOSTASIS
Fibrinogen
38,6
PT-INR
PT
INR
APTT
D-Dimer
Albumin
SGOT
SGPT
Asam Urat
Trigliserida
Kolesterol Total
29/5/2014
0,2
4,25
12,2
36
85,3
29,4
34,6
13,2
209
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Leukosit
Hitung Jenis
Netrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
%
7,34-7,44
35-45
85-95
22-26
23-27
-25-25
96-97
mg/dL
200-400
detik
detik
detik
mg/dL
g/dL
u/L
u/L
mg/dL
mg/dL
mg/dL
10-14
0,83-1,16
28-40
Neg < 500
3,4-5
0-37
0-40
2,4-7,0
< 150
< 200- >
(tinggi)
7,82
ribu/ mm3
5-10
89,1
7,3
3,5
0,0
0,1
3,98
11,7
34
85,7
%
%
%
%
%
juta/ µL
g/dL
%
fl
50-70
25-40
2-6
2-4
0-1
4,5-8,5
13,0-18,9
40-52
80-100
2,7
6
23
mmHg
mmHg
mmol/L
mmol/L
240
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
MCH
MCHC
RDW-CV
Trombosit
GDS Sewaktu
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium
Kalium
Klorida
Ureum
Kreatinin
Analisa Gas Darah
pH
PCO2
PO2
HCO3
TCO2
BE
Saturasi O2
30/5/2014
29,4
34,3
13,2
174
Pg
%
%
ribu/mm3
mg/dL
26-34
32-36
11,5-14,5
150-440
<180
144,0
4,00
108,0
mmol/L
mmol/L
mmol/L
mg/dL
mg/dL
135-145
3,5-8,5
98-109
20-40
0,8-1,5
%
7,34-7,44
35-45
85-95
22-26
23-27
-25-25
96-97
HEMOSTASIS
Fibrinogen
mg/dL
200-400
PT-INR
PT
INR
APTT
D-Dimer
Albumin
SGOT
SGPT
Asam Urat
Trigliserida
Kolesterol Total
detik
detik
detik
mg/dL
g/dL
u/L
u/L
mg/dL
mg/dL
mg/dL
10-14
0,83-1,16
28-40
Neg < 500
3,4-5
0-37
0-40
2,4-7,0
< 150
< 200- >
(tinggi)
8,22
ribu/ mm3
5-10
80,2
8,9
5,6
4,9
0,4
4,15
12,2
35
85,1
29,4
34,6
13,2
209
%
%
%
%
%
juta/ µL
g/dL
%
fl
Pg
%
%
ribu/mm3
mg/dL
50-70
25-40
2-6
2-4
0-1
4,5-8,5
13,0-18,9
40-52
80-100
26-34
32-36
11,5-14,5
150-440
<180
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Leukosit
Hitung Jenis
Netrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
RDW-CV
Trombosit
GDS Sewaktu
7,374
35,1
121,5
20,0
21,1
-4,4
98,3
mmHg
mmHg
mmol/L
mmol/L
240
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium
Kalium
Klorida
Protein total
Globulin
Analisa Gas Darah
pH
PCO2
PO2
HCO3
TCO2
BE
Saturasi O2
143,0
3,40
105.0
4,8
2,2
7,425
38,5
77,3
24,8
26,0
0,9
2/6/2014
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Leukosit
Hitung Jenis
Netrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
RDW-CV
Trombosit
GDS Sewaktu
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium
Kalium
mmHg
mmHg
mmol/L
mmol/L
%
135-145
3,5-8,5
98-109
20-40
0,8-1,5
7,34-7,44
35-45
85-95
22-26
23-27
-25-25
96-97
mg/dL
HEMOSTASIS
Fibrinogen
PT-INR
PT
INR
APTT
D-Dimer
Albumin
SGOT
SGPT
Asam Urat
Trigliserida
Kolesterol Total
mmol/L
mmol/L
mmol/L
mg/dL
mg/dL
200-400
detik
detik
detik
mg/dL
g/dL
u/L
u/L
mg/dL
mg/dL
mg/dL
10-14
0,83-1,16
28-40
Neg < 500
3,4-5
0-37
0-40
2,4-7,0
< 150
< 200- >
(tinggi)
8,35
ribu/ mm3
5-10
60,4
25,1
5,0
8,5
1,0
4,74
13,8
42
88,8
29,1
32,8
13,8
132
%
%
%
%
%
juta/ µL
g/dL
%
fl
Pg
%
%
ribu/mm3
mg/dL
50-70
25-40
2-6
2-4
0-1
4,5-8,5
13,0-18,9
40-52
80-100
26-34
32-36
11,5-14,5
150-440
<180
145,0
3,70
mmol/L
mmol/L
135-145
3,5-8,5
2,6
240
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Klorida
Ureum
Kreatinin
102,0
24
1,0
Analisa Gas Darah
pH
PCO2
PO2
HCO3
TCO2
BE
Saturasi O2
mmol/L
mg/dL
mg/dL
98-109
20-40
0,8-1,5
%
7,34-7,44
35-45
85-95
22-26
23-27
-25-25
96-97
mg/dL
200-400
194
218
detik
detik
detik
mg/dL
g/dL
u/L
u/L
mg/dL
mg/dL
mg/dL
36
134
mg/dL
mg/dL
10-14
0,83-1,16
28-40
Neg < 500
3,4-5
0-37
0-40
2,4-7,0
< 150
< 200- >
(tinggi)
< 40- >60
< 100- >190
mmHg
mmHg
mmol/L
mmol/L
HEMOSTASIS
Fibrinogen
PT-INR
PT
INR
APTT
D-Dimer
Albumin
SGOT
SGPT
Asam Urat
Trigliserida
Kolesterol Total
Kolestrol HDL
Kolestrol LDL
3,4
240
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Lampiran 2
HASIL RONTGEN TORAKS
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Lampiran 3
HASIL CT SCAN TANPA KONTRAS
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Lampiran 4
DAFTAR TERAPI OBAT
Nama Obat
Dosis
Waktu
Rute
Tujuan
Clopidogrel
1x 75 mg
07.00
Oral
Mengurangi
terjadinya
aterosklorosis dan untuk
stroke yang baru terjadi
Cilostazole
2x 50 mg
07.00 dan 18.00
Oral
Untuk mengurangi gejalagejala iskemia, antiplatelet
(mencegah
terbentuknya
thrombus)
Stimvastatin
1x 20 mg
07.00
Oral
Untuk hiperkolestrolemia
(menurunkan kadar LDL)
Citicholine
3x 50 mg
07.00, 12.00, 18.00
IV
Aktivasi
serebral,
memperbaiki sirkulasi
Manitol 20%
4x 25 mg
IV
Diuretik,
menurunkan
edema pada serebri
Transamin
3x 500 mg
07.00, 12.00, 18.00
Antifibrinolitik, membantu
dalam pembekuan darah
Lactulac
3x
1
sendok
07.00, 12.00, 18.00
Oral
Melunakan feses
makan
OMZ
2x 1 ampul
07.00 dan 18.00
IV
Tukak lambung
KSR
3x1 mg
07.00, 12.00, 18.00
Oral
Hipokalemia
Valsatan
1x 80 mg
07.00
Oral
Antihipertensi
Adalat Oros
1x 60 mg
07.00
Oral
Antihipertensi
Catropil
3x 25 mg
07.00, 12.00, 18.00
Oral
Antihipertensi
Amlodipin
1x 10 mg
07.00
Oral
Antihipertensi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Cefixime
2x 200 mg
07.00 dan 18.00
Oral
Antibiotic
Ranitidine
2x 1 tablet
07.00 dan 18.00
Oral
Mual. muntah
Tramadol
2x 1 tablet
07.00 dan 18.00
Oral
Anti nyeri akut
akibat
pembedahan
Gentamycin
2x 80 mg
07.00 dan 18.00
IV
Pengobatan infeksi kulit
Keterolac
3x 30 mg
07.00, 12.00, 18.00
IV
Anti nyeri
Ondansentron
2x 4 mg
07.00 dan 18.00
IV
Mual,
mual,
sekresi
lambung
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Lampiran 5
ANALISA DATA
No
1
Data-Data
DS:
Tidak dapat dikaji
Masalah Keperawatan
Perubahan Perfusi Jaringan Serebral
DO:
 Pasien tampak sedikit gelisah (terkadang
menangis)
 Pasien mengalami kelemahan dan kekakuan
pada bagian kanan tubuh (perubahan respon
motorik)
 Pasien mengalami afasia (defisit bahasa)
 Status kesadaran pasien somnolen
 E3M4V afasia
 TTV; TD= 160/100 mmHg, N=90x/ menit,
RR=23x/ menit.
 Nilai NIHSS= 18
 Hasil CT Scan: pendarahan di pons dan
lakunar infark basar ganglia kiri
 Capillary refill time < 3 detik
 Pupil isokor, diameter pupil 3/3 mm, refleks
terhadap cahaya langsung 3/3 mm
2
DS:
Tidak dapat dikaji
Defisit Perawatan Diri
DO:
 Pasien tidak mampu untuk melakukan
toileting, berdandan/ memakai baju
 Pasien terlihat kotor dan sedikit berbau
 Tampak diseliling tempat tidur pasien
berantakan
 Pasien terlihat masih lemas
3
DS:
Tidak dapat dikaji
Resiko Kerusakan Integritas Kulit
DO:
 Pasien mengalami penurunan kesadaran
 Pasien mengalami gangguan neuromuscular
 Kondisi kulit yang sedikit kering
 Pasien melakukan tirah baring yang lama
4
DS:
 Pasien mengatakan bahwa dirinya masih sulit
untuk bergerak
 Pasien masih merasa masih mengalami
kelemahan pada kaki dan tangan kanan
 Pasien mengatakan tidak pusing
Kerusakan Mobilitas Fisik
operasi)
(pasca
DO:
 Pasien mengalami keterbatasan gerak pasca
operasi kraniotomi
 Pasien terlihat lemas
 Pasien mengalami penurunan kekuatan otot
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
 Pasien masih mengalami kelemahan pada
bagian kanan tubuh
 Kesadaran compo mentis, pasien mengalami
kesulitan berbicara walaupun sudah dapat
berbicara.
5
DS:
 Pasien mengatakan bagian operasi masih sakit
(bagian kepala)
 Skala nyeri 2, terasa ketika dipegang atau
memiringkan kepala
Nyeri Akut (pasca operasi)
DO:
 Wajah pasien terlihat meringis saat disentuh
luka pasca-operasi
 TTV: TD= 160/90 mmHg, N= 76x/ menit,
RR=20x/ menit, suhu=36,7oc
 Pengkajian nyeri:
P : penyebab berasal dari luka pasca operasi
Q : tidak dapat dijelaskan karena pasien
kesulitan berbicara (pasien hanya berbicara 12 kata)
R : kepala bagian kiri
S : skala 1-2 (ringan)
T : ketika dipegang atau memiringkan
kepala
6
DS:
 Pasien mengatakan masih nyeri luka pasca
operasi
Resiko Penyebaran Infeksi (pasca
operasi)
DO:
 Luka terlihat bersih
 Tidak ada bengkak, nanah, dan tidak demam
 Terlihat merah pada sekeliling luka
 Leukosit dalam batas normal (8,35 ribu/mm3)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Lampiran 6
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN
Nama Pasien
: Tn S (75 tahun)
Diagnosa Medis
:
 Stroke Hemoragik
 Hipertensi grade II
Ruang Rawat
Tanggal
: Melati Atas, RSUP Persahabatan
Diagnosa Keperawatan
26/5/14
Perubahan
10.00
serebral.
(Preoperasi)
perfusi
jaringan
Implementasi
 Monitoring tanda-tanda vital, dan keadaan
umum
 Monitoring pupil mata dan tingkat
kesadaran
 Memberikan posisi 30o dan meninggikan
kepala
 Monitoring adanya perubahan penglihatan
 Mengedukasi keluarga untuk
mengingatkan tidak mengejan saat BAB
 Monitoring oksigen
 Memberikan medikasi clopidogel (1x 75
mg via NGT)
Evaluasi
Subjektif:
 Pasien tidak dapat dikaji
Objektif:









Pasien menggunakan nasal kanul O2 2L/ menit
TTV= TD= 160/90 mmHg, N=88x/mnt, RR= 23x/mnit
Pupil isokor 3mm/3mm, refleks babinski +/+
Tidak ada gallops/murmur, pernapasan vesikuler
Kesadaran somnolen, E3M4V afasia
Terpasang RL (per 8 jam) dan Manitol (4 kali 125ml)
Tidak ada perubahan dalam pengelihatan
Pasien terpasang NGT
Pasien terlihat lemah dan tiba-tiba menangis
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Analisa masalah:
 Masalah belum teratasi
Planning (Rencana):


10.45
Defisit perawatan diri
 Mengkaji kemampuan kemandirian pasien
 Mengkaji tingkat kemampuan pasien
untuk berkomunikasi tentang
kebutuhannya
 Monitoring TTV, KU, dan kesadaran
 Membantu pasien dalam pemenuhan
kebutuhan (makan, minum, dan mandi)
Lanjutkan intervensi (monitoring TTV, KU, Kesadaran, status
neurologis, edukasi/ motivasi keluarga)
Rencana operasi kraniotomi dan pindah ICU
Subjektif:
 Pasien tidak dapat dikaji
Objektif:









Pasien menggunakan nasal kanul O2 2L/ menit
TTV= TD= 160/90 mmHg, N=88x/mnt, RR= 23x/mnit
Kesadaran somnolen, E3M4V afasia
Terpasang RL (per 8 jam) dan Manitol (4 kali 125ml)
Tidak ada perubahan dalam pengelihatan
Pasien terpasang NGT
Pasien terlihat lemah dan tiba-tiba menangis
Pasien sudah tidak baud an terlihat berantakan
Pasien belum mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri
(total care)
 Kekuatan otot ekstermitas atas 0000/3333 dan ekstermitas bawah
0000/3333
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Analisa masalah:
 Masalah teratasi
Planning (Rencana):
 Lanjutkan intervensi (memandikan, memberi makan, minum)
 Mengajarkan untuk miring ka-miring ki per 2 jam
09.00
Resiko
Kulit
Kerusakan
Integritas




Mengkaji status kebutuhan nutrisi pasien
Monitoring tanda-tanda inflamasi pada
kulit
Memberikan lotion pada daerah punggung
dan memberikan massage
Monitoring posisi kepala pasien (30o)
Subjektif:
 Tidak dapat dikaji
Objektif:







Pasien menggunakan nasal kanul O2 2L/ menit
TTV= TD= 160/90 mmHg, N=88x/mnt, RR= 23x/mnit
Kesadaran somnolen, E3M4V afasia
Terpasang RL (per 8 jam) dan Manitol (4 kali 125ml)
Pasien terpasang NGT
Pasien terlihat lemah dan tiba-tiba menangis
Tidak terjadi tanda-tanda inflamasi pada bagian punggung dan
pinggang
Analisa masalah:
 Masalah teratasi
Planning (Rencana):
 Lanjutkan intervensi (monitoring TTV, kesadaran, KU, status
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
neurologis, monitoring tanda-tanda inflamasi)
27/5/2014
Perubahan
20.00
serebral.
(Preoperasi)
perfusi
jaringan
 Monitoring tanda-tanda vital, dan keadaan
umum per 2 jam
 Monitoring pupil mata dan tingkat
kesadaran
 Memberikan posisi 30o dan meninggikan
kepala
 Monitoring adanya perubahan penglihatan
 Memotivasi keluarga untuk mengingatkan
tidak mengejan saat BAB
 Monitoring oksigen
 Kolaborasi pemberian manitol (125 cc/
tetesan cepat)
Subjektif:
 Pasien tidak dapat dikaji
Objektif:









Pasien menggunakan nasal kanul O2 2L/ menit
TTV= TD= 150/100 mmHg, N=84x/mnt, RR= 21x/mnit
Pupil isokor 3mm/3mm, refleks babinski +/+
Kesadaran somnolen, E3M4V afasia
Terpasang RL (per 8 jam) dan Manitol (4 kali 125ml)
Tidak ada perubahan dalam penglihatan
Pasien terpasang NGT
Pasien terlihatmasih lemah
Pernapasan vesikuler, tidak ada gallops/ murmur
Analisa masalah:
 Masalah belum teratasi
Planning (Rencana):


Lanjutkan intervensi (monitoring TTV, KU, Kesadaran, status
neurologis, edukasi/ motivasi keluarga)
Rencana operasi kraniotomi dan pindah ICU
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
20.15
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
 Monitoring kemampuan kemandirian
pasien
 Monitoring tingkat kemampuan pasien
untuk berkomunikasi tentang
kebutuhannya
 Monitoring TTV, KU, dan kesadaran
 Melakukan mika-miki per 2 jam
 Pemenuhan ADL (minum)
Defisit perawatan diri
Evaluasi
Subjektif:
 Pasien tidak dapat dikaji
Objektif:







Pasien menggunakan nasal kanul O2 2L/ menit
TTV= TD= 150/100 mmHg, N=84x/mnt, RR= 21x/mnit
Kesadaran somnolen, E3M4V afasia
Terpasang RL (per 8 jam) dan Manitol (4 kali 125ml)
Tidak ada perubahan dalam pengelihatan
Pasien terpasang NGT
Pasien belum mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri
(total care)
 Kekuatan otot ekstermitas atas 0000/3333 dan ekstermitas bawah
0000/3333
 Pasien mampu untuk melakukan mika-miki dengan bantuan
keluarga atau perawat dan menggunakan sanggahan bantal.
Analisa masalah:
 Masalah teratasi
Planning (Rencana):
 Lanjutkan intervensi (memandikan, memberi makan, minum)
 Motivasi keluarga untuk melakukan miring ka-miring ki per 2
jam
20.45
Resiko
Kerusakan
Integritas


Monitoring status kebutuhan nutrisi pasien
Monitoring tanda-tanda inflamasi pada
Subjektif:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Kulit


kulit
Monitoring posisi kepala pasien (30o)
Melakukan mika-miki per 2 jam
Evaluasi
 Tidak dapat dikaji
Objektif:






Pasien menggunakan nasal kanul O2 2L/ menit
TTV= TD= 150/100 mmHg, N=84x/mnt, RR= 21x/mnit
Kesadaran somnolen, E3M4V afasia
Terpasang RL (per 8 jam) dan Manitol (4 kali 125ml)
Pasien terpasang NGT
Pasien dapat melakukan mika-miki dengan bantuan keluarga atau
perawat dan menggunakan bantal sebagai penyanggah

 Pasien terlihat lemah Tidak terjadi tanda-tanda inflamasi pada
bagian punggung dan pinggang
 BB=60 kg/ TB=160, IMT= 23,4 (normal)
Analisa masalah:
 Masalah teratasi
Planning (Rencana):
 Lanjutkan intervensi (monitoring TTV, kesadaran, KU, status
neurologis, monitoring tanda-tanda inflamasi)
28/5/2014
Perubahan
07.00
serebral.
(pre-
perfusi
jaringan
 Monitoring tanda-tanda vital, dan keadaan
umum
 Monitoring pupil mata dan tingkat
kesadaran
 Memberikan posisi 30o dan meninggikan
Subjektif:
 Pasien tidak dapat dikaji
Objektif:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
operasi)
Implementasi
kepala
 Monitoring adanya perubahan penglihatan
 Memotivasi keluarga untuk mengingatkan
tidak mengejan saat BAB
 Monitoring oksigen
 Pemberian obat valsatan via oral (1x 80
mg)
Evaluasi










Pasien menggunakan nasal kanul O2 2L/ menit
TTV= TD= 170/100 mmHg, N=78x/mnt, RR= 20x/mnit
Kesadaran somnolen, E2M4V afasia
Pupil isokor 3mm/3mm,
Terpasang RL (per 8 jam) dan Manitol (4 kali 125ml)
Tidak ada perubahan dalam pengelihatan
Pasien terpasang NGT
Pasien terlihat masih lemas
Pernapasan vesikuler, tidak ada ronchi
Tidak ada murmur/ gallops
Analisa masalah:
 Masalah belum teratasi
Planning (Rencana):


07.30
Defisit perawatan diri
 Monitoring kemampuan kemandirian
pasien
 Monitoring tingkat kemampuan pasien
untuk berkomunikasi tentang
kebutuhannya
 Monitoring TTV, KU, dan kesadaran
 Membantu pasien dalam pemenuhan
kebutuhan (makan (200 cc), minum (200
Lanjutkan intervensi (monitoring TTV, KU, Kesadaran, status
neurologis, edukasi/ motivasi keluarga)
Rencana operasi kraniotomi dan pindah ICU
Subjektif:
 Pasien tidak dapat dikaji
Objektif:
 Pasien menggunakan nasal kanul O2 2L/ menit
 TTV= TD= 170/100 mmHg, N=78x/mnt, RR= 20x/mnit
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
cc), dan mandi)
 Melakukan mika-miki
Evaluasi






Kesadaran somnolen, E2M4V afasia
Terpasang RL (per 8 jam) dan Manitol (4 kali 125ml)
Pasien terpasang NGT
Pasien terlihat lemah dan tiba-tiba menangis
Pasien sudah tidak baud an terlihat berantakan
Pasien belum mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri
(total care)
 Kekuatan otot ekstermitas atas 0000/3333 dan ekstermitas bawah
0000/3333
 Pasien dapat melakukan mika-miki dengan bantuan keluarga atau
perawat dan menggunakan bantal sebagai penyanggah
Analisa masalah:
 Masalah teratasi
Planning (Rencana):
 Lanjutkan intervensi (memandikan, memberi makan, minum)
 Memotivasi keluarga untuk mika-miki
 Mengajarkan untuk miring ka-miring ki per 2 jam
08.00
Resiko
kulit
kerusakan
integritas




Monitoring status kebutuhan nutrisi pasien
Monitoring tanda-tanda inflamasi pada
kulit
Memberikan lotion pada daerah punggung
dan memberikan massage
Monitoring posisi kepala pasien (30o)
Subjektif:
 Tidak dapat dikaji
Objektif:
 Pasien menggunakan nasal kanul O2 2L/ menit
 TTV= TD= 170/100 mmHg, N78x/mnt, RR= 20x/mnit
 Kesadaran somnolen, E2M4V afasia
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi




Terpasang RL (per 8 jam) dan Manitol (4 kali 125ml)
Pasien terpasang NGT
Pasien terlihat lemah
Tidak terjadi tanda-tanda inflamasi pada bagian punggung dan
pinggang
Analisa masalah:
 Masalah teratasi
Planning (Rencana):
 Lanjutkan intervensi (monitoring TTV, kesadaran, KU, status
neurologis, mika-miki per 2 jam, monitoring tanda-tanda
inflamasi)
2/6/2014
10.00
(pascaoperasi)
Kerusakan mobilitas fisik
 Mengkaji derajat imobilitas pasien
 Melakukan gerakan RPS (pasif)
 Memberikan posisi semi fowler (selama
15-20 menit), sesuai dengan kemampuan
pasien
 Monitoring TTV, KU, dan kesadaran
umum
Subjektif:
 Pasien mengatakan tidak sakit selama melakukan mobilitas fisik
Objektif:
 TTV= TD= 140/90 mmHg, N= 76x/menit, RR= 18x/menit,
suhu= 36o C
 Tidak ada edema, BU +, tidak ada murmur atau gallops,
pernapasan vesikuler
 Terpasang RL dan TE 2:1 per 24 jam
 Kesadaran CM, GCS E4M6V5
 Pasien mampu untuk melakukan RPS dan duduk semifowler
tetapi harus dengan bantuan keluarga atau perawat
 Kekuatan otot ekstermitas atas 0000/3333 dan ekstermitas bawah
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
0000/3333
 Tidak ada kontraktur
Analisa masalah:
Masalah teratasi
Planning (Rencana):
 Lanjutkan intervensi (RPS aktif, latihan duduk bertahap sesuai
kemampuan pasien)
 Mengedukasi keluarga tentang RPS
 Recana fisioterapi
11.00
Nyeri akut





Mengkaji BB dan TB
Mengkaji luka insisi (ukuran/ lokasi insisi)
Mengkaji nyeri yang dialami pasien
Mengkaji tanda-tanda vital
Memberikan posisi semi fowler
atau posisi yang nyaman
 Memberikan medikasi keterolac (3x 30
mg)
Subjektif:
 Pasien mengatakan nyeri masih dirasakan skala 2 di daerah
kepala, nyeri timbul jika dimiringkan kepala
Objektif:






TTV= TD= 140/90 mmHg, N= 76x/menit, RR=18x/menit, suhu=
36o C
Tidak ada kemerahan pada luka, ukurannya 3-4 cm
Terpasang RL dan TE 2:1 per 24 jam
Kesadaran CM, GCS E4M6V5
Pasien mampu untuk melakukan RPS dan duduk semi fowler
tetapi harus dengan bantuan keluarga atau perawat
BB= 60 kg (tidak ada penurunan), TB= 160cm, IMT 21,34
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
(normal/ baik)
 Nilai lab trombosit 132 ribu/mm3 (turun)
Analisa masalah:
Masalah belum teratasi
Planning (Rencana):
 Lanjutkan intervensi (monitoring nyeri (PQRST), monitoring
luka operasi)
 Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam
 Memberikan medikasi anti nyeri
11.30
Resiko penyebaran infeksi





Monitoring tanda-tanda inflamasi pada
luka insisi
Monitoring hasil lab (leukosit)
Membersikan luka operasi (set steril)
Monitoring TTV
Memberikan medikasi antibiotic cefixime
(2x 200 mg), keterolac (3x30 mg), OMZ
(2x 1 ampul)
Subjektif:
 Pasien mengatakan masih sedikit ada rasa nyeri
Objektif:

TTV= TD= 140/90 mmHg, N= 76x/menit, RR=18x/menit, suhu=
36o C
 Tidak ada kemerahan pada luka, ukurannya 3-4 cm, luka kering
 Terpasang RL dan TE 2:1 per 24 jam
 Kesadaran CM, GCS E4M6V5
 Tidak ada tanda-tanda inflamasi
 Nilai lab leukosit dalam batas normal
Analisa masalah:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Masalah teratas
Planning (Rencana):
 Lanjutkan intervensi (menjadi kesterilan alat untuk balutan luka,
monitoring nilai lab, monitoring TTV)
 Beri antibiotic sesuai indikasi
 Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan tindakan
 Menjaga personal hygiene dan lingkungan pasien
3/6/2014
10.00
Kerusakan mobilitas fisik
 Monitoring derajat imobilitas pasien
 Melakukan gerakan RPS (pasif)
 Memberikan posisi high fowler (selama
15-20 menit), sesuai dengan kemampuan
pasien
 Memberikan edukasi tentang RPS
 Membantu dalam pemenuhan aktivitas
(ADL); makan, minum
 Monitoring TTV, KU, dan kesadaean
 Memberikan KSR via oral (3x 1 mg),
amplodipin via oral (1x 10 mg)
Subjektif:
 Pasien mengatakan tidak sakit selama melakukan mobilitas fisik
 Keluarga mengatakan akan melakukan RPS setiap pagi setelah
mandi
Objektif:
 TTV= TD= 160/90 mmHg, N= 88x/menit, RR= 20x/menit,
suhu= 36o C
 Tidak ada edema, BU +, tidak ada murmur atau gallops,
pernapasan vesikuler
 Terpasang RL dan TE 2:1 per 24 jam
 Kesadaran CM, GCS E4M6V5
 Pasien mampu untuk melakukan RPS dan duduk high fowler
tetapi harus dengan bantuan keluarga atau perawat
 Pasien sudah dapat memegang bola pada tangan kanannya
 Kekuatan otot ekstermitas atas 1111/3333 dan ekstermitas bawah
1111/3333
 Tidak ada kontraktur
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Analisa masalah:
Masalah teratasi
Planning (Rencana):
 Lanjutkan intervensi (RPS aktif, latihan duduk bertahap sesuai
kemampuan pasien)
 Motivasi keluarga untuk terlibat dalam RPS
 Recana fisioterapi
10.15
Nyeri akut
 Monitoring luka insisi (ukuran/ lokasi
insisi)
 Monitoring nyeri yang dialami pasien
 monitoring tanda-tanda vital
 Mengajarkan teknik napas dalam
 Memberikan medikasi keterolac (3x 30
mg)
Subjektif:
 Pasien mengatakan nyeri masih dirasakan skala 2 di daerah
kepala, nyeri timbul jika dimiringkan kepala
Objektif:






TTV= TD= 160/90 mmHg, N= 88x/menit, RR=20x/menit, suhu=
36o C
Tidak ada kemerahan pada luka, ukurannya 3-4 cm, luka kering
Terpasang RL dan TE 2:1 per 24 jam
Kesadaran CM, GCS E4M6V5
Pasien dapat melakukan tarik napas dalam tetapi dengan bantuan
perawat
BB= 60 kg (tidak ada penurunan), TB= 160cm, IMT 21,34
(normal/ baik)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Analisa masalah:
Masalah teratasi sebagian
Planning (Rencana):
 Lanjutkan intervensi (monitoring nyeri (PQRST), monitoring
luka operasi)
 Mengevaluasi teknik relaksasi napas dalam
 Memberikan medikasi anti nyeri
08.30
Resiko penyebaran infeksi





Monitoring tanda-tanda inflamasi pada
luka insisi
Monitoring hasil lab (leukosit)
Membersikan luka operasi (set steril)
Monitoring TTV
Memberikan medikasi antibiotic cefixime
(2x 200 mg), keterolac (3x30 mg), OMZ
(2x 1 ampul)
Subjektif:
 Pasien mengatakan nyeri berkurang
Objektif:






TTV= TD= 160/90 mmHg, N= 88x/menit, RR=30x/menit, suhu=
36o C
Tidak ada kemerahan pada luka, ukurannya 3-4 cm
Terpasang RL dan TE 2:1 per 24 jam
Kesadaran CM, GCS E4M6V5
Tidak ada tanda-tanda inflamasi, luka kering
Nilai lab leukosit dalam batas normal
Analisa masalah:
Masalah teratasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Planning (Rencana):
 Lanjutkan intervensi (menjadi kesterilan alat untuk balutan luka,
monitoring nilai lab, monitoring TTV)
 Beri antibiotic sesuai indikasi
 Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan tindakan
 Menjaga personal hygiene dan lingkungan pasien
6/6/2014
07.00
Kerusakan mobilitas fisik
 Monitoring derajat imobilitas pasien
 Melakukan gerakan RPS (pasif)
 Memberikan posisi high fowler (selama
15-20 menit), sesuai dengan kemampuan
pasien
 Memotivasi keluarga untuk melakukan
RPS
 Membantu dalam pemenuhan aktivitas
(ADL); makan, minum
 Monitoring TTV, KU, dan kesadaran
 Membuat jadwal untuk latihan RPS di
rumah (2 kali sehari setiap habis mandi
pagi dan sore)
 Memberikan KSR via oral (3x 1 mg) dan
amplodipin (1x 75 mg)
Subjektif:
 Pasien mengatakan tidak sakit selama melakukan mobilitas fisik
 Keluarga mengatakan akan melakukan RPS setiap pagi setelah
mandi
Objektif:
 TTV= TD= 170/100 mmHg, N= 92x/menit, RR= 22x/menit,
suhu= 36o C
 Tidak ada edema, BU +, tidak ada murmur atau gallops,
pernapasan vesikuler
 Terpasang RL dan TE 2:1 per 24 jam
 Kesadaran CM, GCS E4M6V5
 Pasien mampu untuk melakukan RPS dan duduk high fowler
tetapi harus dengan bantuan keluarga atau perawat
 Pasien sudah dapat memegang bola pada tangan kanannya
 Kekuatan otot ekstermitas atas 1111/3333 dan ekstermitas bawah
1111/3333
 Tidak ada kontraktur
Analisa masalah:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Masalah teratasi
Planning (Rencana):
 Lanjutkan intervensi (RPS aktif, latihan duduk bertahap sesuai
kemampuan pasien)
 Motivasi keluarga untuk melakukan RPS ketika pasien sudah
pulang ke rumah
 Rencana pulang
07.45
Nyeri akut
 Monitoring luka insisi (ukuran/ lokasi
insisi)
 Monitoring nyeri yang dialami pasien
 monitoring tanda-tanda vital
 Mengajarkan teknik napas dalam
 Memberikan medikasi keterolac (3x 30
mg)
Subjektif:
 Pasien mengatakan nyeri masih dirasakan skala 2 di daerah
kepala, nyeri timbul jika dimiringkan kepala
Objektif:





TTV= TD= 170/100 mmHg, N= 92x/menit, RR=22x/menit,
suhu= 36o C
Tidak ada kemerahan pada luka, ukurannya 3-4 cm, luka kering
Terpasang RL dan TE 2:1 per 24 jam
Kesadaran CM, GCS E4M6V5
BB= 60 kg (tidak ada penurunan), TB= 160cm, IMT 21,34
(normal/ baik)
Analisa masalah:
Masalah belum teratasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Planning (Rencana):
 Lanjutkan intervensi (monitoring nyeri (PQRST), monitoring
luka operasi)
 Mengevaluasi teknik relaksasi napas dalam
 Memberikan medikasi anti nyeri
08.00
Resiko penyebaran infeksi




Monitoring tanda-tanda inflamasi pada
luka insisi
Monitoring hasil lab (leukosit)
Monitoring TTV
Memberikan medikasi antibiotic cefixime
(2x 200 mg), keterolac (3x30 mg), OMZ
(2x 1 ampul)
Subjektif:
 Pasien mengatakan nyeri berkurang
Objektif:






TTV= TD= 160/90 mmHg, N= 88x/menit, RR=30x/menit, suhu=
36o C
Tidak ada kemerahan pada luka, ukurannya 3-4 cm
Terpasang RL dan TE 2:1 per 24 jam
Kesadaran CM, GCS E4M6V5
Tidak ada tanda-tanda inflamasi, luka kering
Nilai lab leukosit dalam batas normal
Analisa masalah:
Masalah teratasi
Planning (Rencana):
 Lanjutkan intervensi (menjadi kesterilan alat untuk balutan luka,
monitoring nilai lab, monitoring TTV)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi




Beri antibiotic sesuai indikasi
Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan tindakan
Menjaga personal hygiene dan lingkungan pasien
Rencana untuk pulang
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Lampiran 7
LEMBAR PENGKAJIAN THE NATIONAL INSTITUTE OF HEALTH
STROKE SCALE
Nama Pasien
No Rekam Medis
Tanggal Pemeriksaan
Umur
Diagnosa Medis
Tanggal Masuk RS
Nama Pemeriksa
NO
:
:
:
:
:
:
:
PARAMETER YANG DINILAI
SKALA
SKOR
1a
Tingkat kesadaran
0 = Sadar Penuh
1 = Somnolen
2 = Stupor
3 = Koma
1b
Menjawab pertanyaan. Tanyakan bulan
dan usia pasien. Yang dinilai adalah
jawaban pertama, pemeriksa tidak
diperkenankan membantu pasien
dengan verbal atau non verbal.
0 = Benar semua
1 = 1 Benar/ETT/disatria
2 = Salah
semua/afasia/stupor/ koma
1c
Mengikuti perintah. Berikan 2 perintah
sederhana; membuka & menutup mata,
menggenggam tangan &
melepaskannya, atau 2 perintah lain.
0 = Mampu melakukan 2
perintah.
1 = Mampu melakukan 1
perintah.
2 = Tidak mampu
melakukan perintah.
2
Gaze: Gerakan mata konyugat
horisontal
0 = Normal
1 = Abnormal pada 1 mata
2 = Deviasi konyugat kuat
atau paresis konyugat
pada 2 mata
3
Visual: lapang pandang pada tes
konfrontasi
0 = Tidak ada gangguan
1 = Kuadrianopsia
2 = Hemianopia total
3 = Hemianopia bilateral/
buta kortikal
4
Paresis wajah. Anjurkan pasien
menyeringai atau
mengangkat alis dan menutup mata.
0 = Normal
1 = Paresis wajah ringan
(lipatan nasolabial
datar, senyum asimetris).
2 = Paresis wajah partial
(paresis wajah bawah
total atau hampir total)
3 = Paresis wajah total
(paresis wajah sesisi
atau 2 sisi)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
5
Motorik lengan. Anjurkan pasien
mengangkat
lengan hingga 45 derajat bila tidur
berbaring
atau 90 derajat bila posisi duduk. Bila
pasien
afasia berikan perintah menggunakan
pantomim
atau peragaan.
0 = Mampu mengangkat
lengan minimal 10 detik
1 = Lengan terjatuh sebelum
10 detik
2 = Tidak mampu
mengangkat secara penuh 90
derajat atau 45 derajat
3 = Tidak mampu
mengangkat hanya bergeser
4 = Tidak ada gerakan
5a. Nilai lengan kiri
5b. Nilai lengan kanan
6
Motorik tungkai. Anjurkan pasien tidur
posisi
terlentang dan mengangkat tungkai 30
derajat.
0 = Mampu mengangkat
tungkai 30 derajat
minimal 5 detik.
1 = Tungkai jatuh ke tempat
tidur pada akhir detik
ke-5 secara perlahan
2 = Tungkai jatuh sebelum 5
detik tetapi ada usaha
melawan gravitasi
3 = Tidak mampu melawan
gravitasi
4 = Tidak ada gerakan
6a. Nilai tungkai kiri
6b. Nilai tungkai kanan
7
Ataksia anggota badan. Menggunakan
tes tunjuk
jari - hidung.
0 = Tidak ada ataksia
1 = Ataksia pada satu
ekstremitas
2 = Ataksia pada 2 atau lebih
ekstremitas
8
Sensorik. Lakukan tes pada seluruh
tubuh;
tungkai, lengan, badan, dan wajah.
Pasien afasia
diberi nilai 1. Pasien stupor atau koma
diberi nilai
2.
0 = Normal
1 = Gangguan sensori ringan
hingga sedang. Ada
gangguan sensori terhadap
nyeri tetapi masih
merasa bila disentuh.
2 = Gangguan sensori berat
atau total.
9
Bahasa terbaik. Anjurkan pasien untuk
menjelaskan suatu gambar atau
membaca suatu
tulisan. Bila pasien mengalami
kebutaan, letakkan
suatu benda di tangan pasien dan
anjurkan untuk
menjelaskan benda termaksud. Pasien
dengan
intubasi anjurkan untuk menulis.
0 = Normal.
1 = Afasia ringan hingga
sedang; bicara kurang
lancar
2 = Afasia berat
3 = Mute, afasia global,
koma
10
Disartria
0 = Normal
1 = Disartria ringan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
2 = Disartria berat
11
Neglect atau inatensi
0 = tidak ada neglect
1 = tidak ada atensi pada
salah satu modalitas
berikut; Visual, tactile,
auditory, spatial, or
personal inattention.
2 = tidak ada atensi pada
lebih dari satu
modalitas.
TOTAL NILAI
Keterangan
Skor < 5
: Defisit neurologis ringan
Skor 6-14
: Defisit neurologis sedang/ cukup berat
Skor 15-24
: Defisit neurologis berat
Skor > 25
: Defisit neurologis sangat berat
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Lampiran 8
LEFLET RENTANG GERAK SENDI
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Lampiran 9
BIODATA PENULIS
Nama Lengkap
: Hesi Oktamiati
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Tempat, Tanggal Lahir
: Jakarta, 26 Oktober 1991
No. Telpon
: 089675086763
E-Mail
: [email protected]/
[email protected]
Riwayat Pendidikan Formal :
1996 - 1997
TK Melati Indonesia
1997 - 2003
SDN VI Jatiasih
2003 - 2006
SMPN 9 Bekasi
2006 - 2009
SMAN 3 Bekasi
2009 - 2013
S1 Reguler Fakultas Ilmu Keperawatan,
Universitas Indonesia
2013-2014
Profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan,
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Download