TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15 – 25 m. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Di beberapa kebun karet ada kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring ke arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks (Nazarrudin dan Paimin, 2006). Sedangkan menurut Setiawan (2000) tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Pohon dewasa dapat mencapai tinggi antara 15 – 30 m. Perakarannya cukup kuat serta akar tunggangnya dalam dengan akar cabang yang kokoh. Pohonnya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi diatas. Gambar 1. Bentuk pohon, daun, buah, biji dan kulit batang dari Hevea brasiliensis (Lorenzi, 2007) Universitas Sumatera Utara Daun karet berwarna hijau. Apabila akan rontok berubah warna menjadi kuning atau merah. Biasanya tanaman karet mempunyai “jadwal“ kerontokan daun pada setiap musim kemarau. Di musim rontok ini kebun karet menjadi indah karena daun – daun karet berubah warna dan jatuh berguguran (Nazarrudin dan Paimin, 2006). Selanjutnya Nazarrudin dan Paimin (2006) menambahkan daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun utama 3 – 20 cm. Panjang tangkai anak daun antara 3 – 10 cm dan pada ujungnya terdapat kelenjar. Biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing. Sesuai dengan sifat dikotilnya, akar tanaman karet merupakan akar tunggang. Akar ini mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi dan besar (Nazarrudin dan Paimin, 2006). Sistematika Menurut Nazarrudin dan Paimin (2006) dalam dunia tumbuhan karet tersusun dalam sistematika sebagai berikut. Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledone Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Hevea Spesies : Hevea brasiliensis Universitas Sumatera Utara Kesesuaian Tempat Tumbuh Pohon Karet Sesuai dengan habitat aslinya di Amerika Selatan, terutama di Brazil yang beriklim tropis, maka karet juga cocok ditanam di daerah – daerah tropis lainnya. Daerah tropis yang baik ditanami karet mencakup luasan antara 15o Lintang Utara sampai 10o Lintang Selatan. Walaupun daerah itu panas, sebaiknya tetap menyimpan kelembapan yang cukup. Suhu harian yang diinginkan tanaman karet rata – rata 25 – 30o C. Apabila dalam jangka waktu panjang suhu harian rata – rata kurang dari 20o C, maka tanaman karet tidak cocok di tanam di daerah tersebut. Pada daerah yang suhunya terlalu tinggi, pertumbuhan tanaman karet tidak optimal (Setiawan, 2000). Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 1 – 600 m dari permukaan laut. Curah hujan yang cukup tinggi antara 2000 – 2500 mm setahun. Akan lebih baik lagi apabila curah hujan itu merata sepanjang tahun (Nazarrudin dan Paimin, 2006). Sinar matahari yang cukup melimpah di negara – Negara tropis merupakan syarat lain yang diinginkan tanaman karet. Dalam sehari tanaman karet membutuhkan sinar matahari dengan intensitas yang cukup paling tidak selama 5 – 7 jam (Setiawan, 2000). Tanah – tanah yang kurang subur seperti podsolik merah kuning yang terhampar luas di Indonesia dengan bantuan pemupukan dan pengelolaan yang baik bisa dikembangkan menjadi perkebunan karet dengan hasil yang memuaskan. Selain jenis podsolik merah kuning, tanah latosol dan alluvial juga bisa dikembangkan untuk penanaman karet. Tanah yang derajat keasamannya mendekati normal cocok untuk ditanami karet. Derajat keasaman yang paling cocok adalah 5 – 6. Batas toleransi pH tanah bagi pohon karet adalah 4 – 8. Tanah Universitas Sumatera Utara yang agak masam masih lebih baik dari pada tanah yang basa. Topografi tanah sedikit banyak juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman karet. Akan lebih baik apabila tanah yang dijadikan tempat tumbuhnya pohon karet datar dan tidak berbukit – bukit (Nazarrudin dan Paimin, 2006). Manfaat Pohon Karet (Hevea brasiliensis) Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Kayu karet juga akan mempunyai prospek yang baik sebagai sumber kayu menggantikan sumber kayu asal hutan. Indonesia sebagai negara dengan luas areal kebun karet terbesar dan produksi kedua terbesar di dunia (Goenadi et al., 2005). Indraty (2005, dalam Boerhendhy dan Agustina, 2006) menyebutkan bahwa tanaman karet juga memberikan kontribusi yang sangat penting dalam pelestarian lingkungan. Upaya pelestarian lingkungan akhir-akhir ini menjadi isu penting mengingat kondisi sebagian besar hutan alam makin memprihatinkan. Pada tanaman karet, energi yang dihasilkan seperti oksigen, kayu, dan biomassa dapat digunakan untuk mendukung fungsi perbaikan lingkungan seperti rehabilitasi lahan, pencegahan erosi dan banjir, pengaturan tata guna air bagi tanaman lain, dan menciptakan iklim yang sehat dan bebas polusi. Pada daerah kritis, daun karet yang gugur mampu menyuburkan tanah. Daur hidup tanaman karet yang demikian akan terus berputar dan berulang selama satu siklus tanaman karet paling tidak selama 30 tahun. Oleh karena itu, keberadaan pertanaman karet Universitas Sumatera Utara sangat strategis bagi kelangsungan kehidupan, karena mampu berperan sebagai penyimpan dan sumber energi. Hal senada dikemukakan oleh Azwar et al. (1989, dalam Boerhendhy dan Agustina, 2006) bahwa laju pertumbuhan biomassa rata-rata tanaman karet pada umur 3−5 tahun mencapai 35,50 ton bahan kering/ha/ tahun. Hal ini berarti perkebunan karet dapat mengambil alih fungsi hutan yang berperan penting dalam pengaturan tata guna air dan mengurangi peningkatan pemanasan bumi (global warming). Perkembangan Perkebunan Karet Di Indonesia Perkembangan pembudidayaan karet (Hevea brasiliensis) akhir – akhir ini mengalami kemajuan yang sangat pesat khususnya di Propinsi Sumatera Utara, baik di perkebunan milik negara, swasta maupun yang diusahakan oleh rakyat. Pohon karet atau disebut juga rambung banyak diusahakan oleh masyarakat baik dengan sistem monokultur maupun secara agroforestry. Kondisi agribisnis karet saat ini menunjukkan bahwa karet dikelola oleh rakyat (91%), perkebunan negara dan perkebunan swasta (9%). Pertumbuhan karet rakyat masih positif walaupun lambat yaitu 1,58% per tahun, sedangkan areal perkebunan negara dan swasta sama yaitu 0,15% per tahun. Oleh karena itu, tumpuan pengembangan karet akan lebih banyak pada perkebunan rakyat (Goenadi et al., 2005). Menurut Susila (1998, dalam Kartodihardjo dan Supriono, 2000) saat ini pusat perkebunan karet terletak di propinsi Sumatera Utara (905.000 ha), propinsi Universitas Sumatera Utara Riau (544.700 ha), propinsi Kalimantan Barat (211.400 ha) dan propinsi Sumatera Selatan (206.000 ha). Siklus Hidrologi Di bumi terdapat kira – kira sejumlah 1,3 – 1,4 milyar km3 air: 97,5 % adalah air laut, 1,75 % berbentuk es dan 0,73 % berada ditanah sebagai air sungai, air danau, air tanah dan sebagainya. Hanya 0,001 % berbentuk uap di udara. Air di bumi ini mengulangi secara terus – menerus sirkulasi: penguapan, presipitasi dan pengaliran keluar (out flow). Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Sebelum tiba ke permukaan bumi sebagian langsung menguap ke udara dan sebagian tiba ke permukaan bumi. Tidak semua bagian hujan yang jatuh ke permukaan bumi mencapai permukaan tanah. Sebagian akan tertahan oleh tumbuhan dimana sebagian akan menguap dan sebagian lagi akan jatuh atau mengalir melalui dahan – dahan ke permukaan tanah. Sirkulasi yang kontiniu antara air laut dan air daratan berlangsung terus. Sirkulasi air ini disebut siklus hidrologi (Mori, 1993). Dalam kawasan hutan/tegakan maka siklus hidrologi akan melalui beberapa proses.masukan berupa curah hujan akan didistribusikan melalui beberapa cara, yaitu aliran batang (stemflow), air lolos (troughfall), dan air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian dibagi menjadi air larian, evapotranspirasi dan infiltrasi. Intersepsi sebagai salah satu komponen dalam hidrologi mempunyai peranan yang penting dalam siklus hidrologi (Asdak, 2004). Universitas Sumatera Utara Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa air secara terus menerus mengalami sirkulasi yang disebut siklus hidrologi seperti yang terlihat pada Gambar 2. Gambar 2. Siklus Hidrologi (UNESCO, 1978) Intersepsi Intersepsi merupakan proses tertahannya air hujan oleh tanam – tanaman atau permukaan lain yang kemudian diuapkan kembali (Sri Harto, 1993). Sedangkan menurut Purbo (1987) intersepsi merupakan proses tertangkapnya dan tertahannya air hujan oleh tumbuhan atau bangunan dan akan diuapkan kembali tanpa mencapai permukaan tanah. Dalam hal ini ada 3 fenomena yaitu, interception loss, troughfall dan stemflow. Interception loss merupakan air hujan yang tertahan kemudian diuapkan Universitas Sumatera Utara kembali. Jumlah kehilangan ini sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman dan kerapatan daun. Air lolos (Troughfall) merupakan bagian air yang baik menetes di antara daun – daun maupun ranting dan dahan yang kemudian jatuh ke tanah. Aliran batang (Stemflow) adalah bagian air hujan yang mengalir melalui ranting, dahan selanjutnya ke batang dan jatuh ke tanah (Sri Harto, 1993). Air hujan yang jatuh di atas permukaan vegetasi yang lebat terutama pada permulaan hujan, tidak langsung mengalir ke permukaan tanah. Untuk sementara, air tersebut akan ditampung oleh tajuk, batang, dan cabang vegetasi. Setelah tempat – tempat tersebut jenuh dengan air, maka air hujan yang datang kemudian akan menggantikan air hujan yang tertampung tersebut untuk selanjutnya menetes ke tajuk, batang dan cabang vegetasi di bawahnya sebelumnya akhirnya sampai di atas tumbuhan bawah, serasah dan permukaan tanah. Besarnya air yang tertampung di permukaan tajuk, batang dan cabang vegetasi dinamakan kapasitas simpan intersepsi (canopy storage capacity) dan besarnya ditentukan oleh bentuk, kerapatan dan tekstur vegetasi (Asdak, 2004). Secara lebih terperinci Sri Harto (1993) menjelaskan troughfall merupakan bagian air hujan yang jatuh di sela – sela daun tanaman sampai ke permukaan tanah. Bagian air ini dapat langsung merupakan air hujan atau bagian dari air hujan yang tertahan pohon, akan tetapi telah melebihi kapasitas tampungan (interception loss). Stemflow merupakan bagian air yang mengalir melalui ranting, dahan dan selanjutnya ke batang pohon dan jatuh ke tanah. Bagian air ini disatukan dengan troughfall. Skema intersepsi dapat dilihat pada Gambar 3. Universitas Sumatera Utara Gambar 3. Skema intersepsi pada pohon (Gerrits, 2005). Pembahasan intersepsi tidak hanya mengenai aliran batang dan air lolos. Singh (1992) menyatakan bahwa ada beberapa defenisi lain yang harus dimengerti dalam mempelajari intersepsi, antara lain Interception storage adalah banyaknya air hujan atau salju yang ditahan oleh tajuk atau oleh benda lain seperti gedung, pada waktu tertentu. Forest floor interception loss didefenisikan sebagai banyaknya air hujan yang diintersepsi dan dievaporasikan oleh lantai hutan sebelum terjadinya proses infiltrasi. Total interceptios loss merupakan besarnya tingkat evaporasi dari air hujan atau salju yang mencair yang di intersepsikan oleh benda lain atau tajuk vegetasi. Intersepsi tajuk adalah bagian dari presipitasi yang tidak mencapai lantai hutan; secara kuantitatif hal tersebut menyatakan perbedaan antara presipitasi, jumlah air lolos dan aliran batang, Yaitu I = P – T – S. Dimana I adalah intersepsi Universitas Sumatera Utara tajuk, P adalah presipitasi, T adalah air lolos dan S adalah aliran batang (Lee, 1990). Jumlah troughfall bervariasi secara terbalik dengan kerapatan tegakan hutan dan umumnya naik dengan jarak dari batang – batang pohon, dengan mencerminkan pengaruh kerapatan terhadap intersepsi tajuk. Intensitas rata – rata troughfall lebih kecil dibandingkan dengan intensitas curah hujan, namun ukuran tetesannya lebih besar (Lee, 1990). Dari pernyataan tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa besarnya intersepsi tidak ditemukan secara kuantitatif di lapangan, tetapi harus melalui pengukuran dari air lolos, aliran batang dan presipitasi yang terjadi pada waktu tertentu. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Intersepsi Faktor Vegetasi Faktor – faktor yang mempengaruhi intersepsi berdasarkan vegetasi yaitu luas vegetasi hidup atau mati, bentuk daun dan cabang vegetasi serta dipengaruhi oleh umur dari suatu vegetasi. Dalam perkembangannya bagian tanaman akan mengalami pertumbuhan atau perkembangan. Pertumbuhan bagian tanaman yang paling berpengaruh dalam intersepsi adalah perkembangan tajuk, batang dan cabang pohon (Asdak, 2002). Teklehaimanot dan Jarvis (1991) dalam Asdak (2002), menyatakan bahwa pada hutan tanaman yang mempunyai berbagai jarak tanam yang berbeda juga dapat mempengaruhi besar – kecilnya intersepsi. Pada tingkat kerapatan vegetasi berdaun jarum yang berbeda masing – masing jarak tanamnya yaitu 2x2 Universitas Sumatera Utara m, 4x4 m, 6x6 m, dan 8x8 m memberikan hasil intersepsi yang berbeda sebesar 33 %, 24 %, 15 %, dan 9 % dari curah hujan total. Besarnya intersepsi hujan suatu vegetasi juga dipengaruhi oleh umur tegakan vegetasi yang bersangkutan. Dalam perkembangannya, bagian – bagian tertentu vegetasi akan mengalami pertumbuhan atau perkembangan. Pertumbuhan bagian – bagian vegetasi yang mempunyai pengaruh terhadap besar kecilnya intersepsi adalah perkembangan kerapatan/luas tajuk, batang dan cabang vegetasi. Semakin luas atau rapat tajuk vegetasi semakin banyak air hujan yang dapat ditahan sementara untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfir. Demikian juga halnya dengan percabangan pohon. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semakin tua, luas dan kerapatan tajuk kebanyakan vegetasi akan semakin besar. Jumlah percabangan pohon juga semakin banyak. Oleh kombinasi kedua faktor tersebut menyebabkan jumlah air hujan yang dapat ditahan sementara oleh vegetasi tersebut menjadi semakin besar sehingga kesempatan untuk terjadinya penguapan juga menjadi besar (Asdak, 2004). Besarnya kapasitas cadangan tajuk tergantung pada luas permukaan daun dan kulit kayu, kekasaran, orientasi, penyusunan, dan pembasahannya, serta pada kekuatan angin dan gravitasi yang cenderung mengeluarkan partikel – partikel presipitasi. Secara kuantitatif air lolos merupakan perbedaan antara presipitasi dengan penjumlahan intersepsi tajuk dan aliran batang. Besarnya air lolos bervariasi secara terbalik dengan kerapatan tegakan – tegakan hutan, dan umumnya naik dengan jarak dari batang – batang pohon, dengan mencerminkan pengaruh kerapatan terhadap intersepsi tajuk; pada tegakan – tegakan hutan padat pola – pola air lolos dapat berasosiasi dengan pola – pola kandungan air tanah. Universitas Sumatera Utara Intensitas rata – rata air lolos lebih kecil dibandingkan dengan intensitas curah hujan, namun ukuran – ukuran tetesannya lebih besar, dan dampak potensial totalnya sebagai suatu kekuatan erosi adalah lebih besar. Distribusi air lolos yang tidak merata pada lantai hutan disebabkan oleh variabilitas presipitasi berskala kecil diatas tajuk dan oleh pengaruh mekanis dedaunan dan cabang – cabang dalam mendistribusikan kembali tetesan – tetesan dan kepingan salju (Lee, 1990) Besarnya intersepsi berubah – ubah sesuai dengan keragaman dari spesies, umur dan kepadatan populasi dari suatu tegakan serta keadaan iklim di suatu daerah. Dari total keseluruhan presipitasi, 10 – 20 % di intersepsikan kembali ke atmosfir. Pohon pada hutan konifer mengintersepsikan air hujan lebih banyak dari pada tipe tegakan yang menggugurkan daunnya (Chow, 1964). Menurut Fleming (1975, dalam Sri Harto, 1993) luas bagian tanaman yang dapat diperhitungkan berpengaruh terhadap kuantitas intersepsi adalah luas relatif mahkota pohon (canopy), yang dinyatakan sebagai canopy density,yang dinyatakan Dc = Av / A1; Dc adalah canopy density, Av adalah proyeksi mahkota pohon, A1 adalah luas lahan yang mencakup Av. Suatu kesimpulan umum yang baik tidak dapat diambil atas dasar pengukuran intersepsi yang ada. Perbedaan ini beragam dengan komposisi jenis, umur tanaman, kerapatan tegakan, musim dalam setahun dengan keragaman dalam intensitas presipitasi (Seyhan, 1990). Faktor Iklim Selain faktor vegetasi, faktor yang mempengaruhi intersepsi adalah suhu air, suhu udara (atmosfir), kelembapan, kecepatan angin, tekanan udara, sinar Universitas Sumatera Utara matahari yang saling berhubungan. Faktor iklim termasuk jumlah dan jarak waktu antara hujan dengan hujan lainnya, intensitas hujan dan kecepatan angin. (Mori, 2003). Linsley et al. (1949) menambahkan angin mempengaruhi intersepsi dalam dua cara yang berbeda. (1) angin memperbesar tingkat evaporasi dan penyimpanan, (2) angin mengurangi jumlah penyimpanan maksimum. Pengaruh ini terjadi secara berlawanan, dan pengaruh angin dalam meningkatkan dan mengurangi intersepsi total, tergantung pada kecepatan angin, lamanya angin, lamanya hujan, dan kelembapan udara. Dalam hujan yang tenang tanpa angin, tingkat intersepsi relatif cepat sampai daya simpan penuh, dan kemudian berkurang pada evaporasi yang lambat dalam kondisi yang tenang. Dalam hujan dengan angin, tingkat awal intersepsi lebih banyak berkurang karena angin menghembus air dari daun selama waktu penyimpanan menjadi penuh dan pada saat yang sama kapasitas intersepsi berkurang. Tetapi meski setelah banyaknya air disimpan dipermukaan vegetasi mencapai tingkat maksimum, angin menyebabkan tingkat intersepsi jadi tinggi dengan pengaruhnya pada evaporasi. Pengukuran Intersepsi Pengukuran besarnya intersepsi pada skala tajuk vegetasi dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan neraca volume (volume balance approach) dan pendekatan neraca energi (energy balance approach). Cara yang pertama adalah cara yang paling sederhana dan tradisional yang paling umum dilakukan yaitu dengan mengukur curah hujan, aliran batang dan air lolos. Cara kedua adalah perhitungan besarnya intersepsi dengan memanfaatkan persamaan Universitas Sumatera Utara matematis dengan memasukkan parameter – parameter meteorologi dan struktur tajuk serta tegakan yang diperoleh di lapangan (Asdak, 2004). Model matematika dalam perhitungan intersepsi yang diperkenalkan oleh Rutter et al. (1971), dengan menggunakan pendekatan regresi empiris dikenal dengan Model Rutter. Model Rutter ini mengkalkulasikan keseimbangan air pada tajuk yang menampung air dan batang yang dialiri air. Karena banyaknya kekurangan dalam model ini, Gash (1979) mengajukan solusinya dalam perhitungan intersepsi yaitu Analytical Model Of Rainfall Interception. Parameter yang digunakan dalam model ini adalah curah hujan, rata – rata evaporasi pada tajuk, daya tampung tajuk, serta fraksi penutupan tajuk (Van Dijk dan Bruijnzeel, 2001). (a). (b). Gambar 4. Pengukuran intersepsi : (a) Pengukuran aliran batang (Boyle, 2001). (b) Pengkuran air lolos (Tschaplinski, 2006). Intersepsi di daerah dengan hutan yang masih baik jelas juga relatif besar, mengingat kerapatan pohon dan kerapatan daunnya. Besar intersepsi ini dapat mencapai nilai rata – rata 15%. Jelas dari uraian diatas bahwa peran hutan dalam memperkecil limpasan permukaan sangat besar, karena dengan demikian maka debit maksimum akan diperkecil, sedangkan di lain pihak kandungan air tanah Universitas Sumatera Utara akan menjadi besar sehingga aliran kecil sepanjang tahun dapat dipelihara (Sri Harto, 1993). Seyhan (1990) Meramalkan besarnya komponen kehilangan intersepsi dalam persamaan neraca air adalah suatu hal yang sulit tanpa dilakukan suatu pengukuran yang intensif. Namun beberapa pengertian umum diberikan sebagai berikut : 1. Persentase intersepsi lebih besar untuk suatu kejadian hujan dengan jumlah presipitasi yang kecil, yang berkisar dari 100% hingga sekitar 25% sebagai rata – rata kebanyakan pohon. 2. Kehilangan intersepsi mungkin besar pada kawasan – kawasan dengan evaporasi yang tinggi dan biasanya rendah pada kawasan – kawasan dimana kehilangan tersebut dikompensasikan oleh kabut 3. Jumlah salju yang diintersepsikan pada hutan – hutan conifer beragam antara 13 hingga 27%. Penakar – penakar presipitasi biasanya ditempatkan terbuka dan dengan demikian tidak mengukur presipitasi yang sampai tanah dibawah suatu tajuk vegetasi. Pengukuran intersepsi dilakukan dengan menentukan perbedaan antara tangkapan presipitasi penakar dibawah dan didekat penutup vegetasi (Seyhan, 1990). Penelitian Intersepsi Pada Berbagai Tegakan Hutan Beberapa penelitian menunjukkan bahwasanya pada musim pertumbuhan, 10 sampai 20% dari total jumlah hujan akan terintersepsikan. Hasil penelitian yang lebih akhir menunjukkan bahwa besarnya air hujan yang terintersepsikan Universitas Sumatera Utara oleh tajuk hutan hujan tropis tidak terganggu di Kalimantan Tengah adalah sebesar 11% (Asdak, 2004). Menurut Kittredge (1948, dalam Asdak, 2004) menyatakan di daerah beriklim sedang Amerika Utara pada curah hujan < 0,25 mm air terintersepsi mencapai 100%. Sementara pada curah hujan > 1mm air hujan terintersepsi berkurang menjadi antara 10 hingga 40%. Hasil penelitian yang menghubungkan umur tegakan dengan perubahan besarnya intersepsi yang terjadi menunjukkan bahwa semakin tua tegakan jumlah intersepsi air hujan menjadi semakin besar. Dari hasil penelitiannya di Lembang, Jawa Barat, Pudjiharta dan Sallata (1985, dalam Asdak, 2004) melaporkan bahwa pada tegakan Pinus merkusii dengan umur yang berbeda, masing – masing tegakan dengan umur 10, 15, dan 20 tahun jumlah intersepsi yang dihasilkan selama 93 kejadian hari hujan adalah 16 %, 22%, dan 31%. Teklehaimanot dan Jarvis (1991, dalam Asdak, 2004) melaporkan bahwa pada tingkat kerapatan vegetasi berdaun jarum yang berbeda masing – masing dengan jarak tanam 2 x 2 m, 4 x 4 m, 6 x 6 m dan 8 x 8 m memberikan hasil intersepsi hujan sebesar 33%, 24%, 15%, dan 9% dari curah hujan total. Tampak bahwa semakin rapat, jumlah air hujan yang diuapkan kembali ke atmosfir menjadi semakin besar. Beberapa hasil penelitian mengenai intersepsi air hujan oleh tajuk dari beberapa jenis Eucalyptus relatif kecil, contohnya pada E. saligna, E. hybrid dan E. urophylla yaitu 12,2%; 11,65% dan 17,3% dari total curah hujan (Pujiharta, 2004). Universitas Sumatera Utara Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ispana (2004) pada tegakan Pinus merkusi umur 6 tahun di Aek Nauli, Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara didapat besar aliran batang, air lolos dan intersepsi berturut – turut yaitu 1,29%; 37,42%; 61,27% dari total curah hujan. Sedangkan besarnya intersepsi pada hutan alam menurut Sembiring dan Mas’ud (1996) adalah 91,93% dan pada tegakan Pinus merkusi berumur 35 tahun yaitu sebesar 91,93%. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara besarnya intersepsi berbanding lurus dengan intensitas curah hujan. Semakin rendah intensitas hujan maka intersepsi pada tajuk akan semakin rendah juga. Menurut Sembiring dan Mas’ud (1996), untuk daerah dengan curah hujan yang rendah, kehilangan air ini akibat intersepsi dapat menyebabkan semakin berkurangnya air hujan yang mencapai tanah. Sebaliknya untuk daerah dengan curah hujan yang tinggi dapat mencegah terjadinya banjir pada daerah tersebut. Kegunaan intersepsi dalam bidang hidrologi tergantung pada karakteristik iklim, fisik dan vegetasi. Pada kebanyakan studi analisis neraca air, intersepsi dianggap penting untuk menentukan besarnya curah hujan bersih (net precipitation) atau jumlah curah hujan yang tersedia untuk menjadi air infiltrasi, air larian, aliran air bawah permukaan atau aliran tanah (Asdak, 2004). Aliran batang dan air lolos mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendistribusikan nutrisi melalui curah hujan. Air hujan yang jatuh membawa unsur yang diperlukan bagi tanaman. Bagian air hujan yang mengalir melalui batang ataupun air lolos membawa unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dengan jumlah dan konsentrasi yang berbeda yang akan dikembalikan kepada Universitas Sumatera Utara tanah. Dengan demikian terjadi siklus unsur hara yang dikembalikan ke tanah melalui guguran yang terjadi pada tanaman (Pujiharta, 2004). Universitas Sumatera Utara