PERSAUDARAAN KEAGAMAAN DALAM KATOLIK DAN ISLAM

advertisement
PERSAUDARAAN KEAGAMAAN
DALAM KATOLIK DAN ISLAM
Oleh:
HAYATIN NUFUS
NIM: 1983214712
Jurusan Perbandingan Agama
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
1425 H/2004 M
PERSAUDARAAN KEAGAMAAN
DALAM KATOLIK DAN ISLAM
Skripsi
Diajukan kepada Fakults Ushuluddin dan Filsafat untuk
Memenuhi Syarat-syarat Mencapai
Gelar Sarjana Ushuluddin
Oleh:
HAYATIN NUFUS
NIM: 1983214712
Dibawah Bimbingan
Pembimbing I,
Pembimbing II
Drs. Ismatu Ropi, M.A
NIP. 150 275 659
Prof. Drs. Zaini Muchtarom, M.A
NIP. 150 031 099
Jurusan Perbandingan Agama
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
1425 H/2004 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi
yang
berjudul
PERSAUDARAAN
KEAGAMAAN
DALAM
KATOLIK DAN ISLAM telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 03 Agustus
2004. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Program Strata 1 (SI) pada Jurusan Perbandingan Agama.
Jakarta,03 Agustus 2004
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. Amsal Bakhtiar, M.A.
NIP. 150 240 483
Syaiful Azmi,S.Ag.
NIP. 150 282 397
Anggota
Dra. Hj. Hermawati
NIP. 150 227 408
Drs. M. Nuh Hasan, M.A
NIP. 150 240 090
Prof. Drs. Zaini Muchtarom, M.A
NIP. 150 031 099
Drs. Ismatu Ropi, M.A
NIP. 150 275 659
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Penulis mengucapkan puji syukur yang mendalam ke-Haribaan Allah SWT
atas segala nikmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan langkah yang tertatih-tatih dan deraian air mata. Walaupun begitu penulis
sangat menyadari skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan sebagai sebuah
karya ilmiah. Shalawat dan salam tidak lupa penulis sanjungkan kepada manusia
yang paling utama, penerang kegelapan dunia baginda Rosulullah Muhammad saw
beserta keluarga dan para sahabatnya.
Skripsi ini mungkin tidak dapat diselesaikan tanpa dukungan dari berbagai
pihak. Maka dari itu, penulis ingin memberikan penghargaan dan rangkaian kata
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat.
2. Ibu Dra. Hj. Hermawati, selaku Ketua Jurusan Perbandingan Agama, dan
Syaiful Azmi, S.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama.
3. Bapak Prof. Drs. Zaini Muchtaram, M.A., selaku pembimbing I, dan Bapak
Drs. Ismatu Ropi, M.A., selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan
waktunya serta memberikan saran dan kritik sehingga penulis pada akhirnya
dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk
Ayahanda tercinta Abah H. Matasan Ali dan Alm. Ibu Hj. Arfiah serta Umi Hj.
Cholilah dan Abi H. Mursyid S.Pd. yang tidak henti-hentinya mendo’akan penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah selalu memberikan
rahmat kepada mereka.
Tidak lupa penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga dan
salam ta’zim penulis untuk suami tercinta pujaan hati, pelipur lara di waktu penulis
hampir kehilangan asa, Nur Kholis, M.A. yang telah memberikan support dan
do’anya sehingga penulis akhirnya dapat berpijak dengan langkah yang tidak gontai.
Penulis ingin menyampaikan salam persahabatan buat rekan-rekan P.A. 1998
yang telah berjuang bersama-sama, khusus buat teman curhat Widad dan rekan-rekan
yang lain (Anis, Empi, Dije, Adit, Lia, Kokom, Nuni, Ita, Sandi, Lulu, Soleh, Anjas,
Ipul dll.) semoga jangan sampai memutuskan tali persaudaraan yang telah dibangun.
Jakarta, 8 Mei 2004
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………….
i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………
iii
DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………….
v
TRANSLITERASI …………………………………………………………
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………...
1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ……………………………...
8
C. Metode Pembahasan Dan Teknis Penulisan ………………………..
9
D. Sistematika Penulisan …..…………………………………………...
10
BAB II KONSEP PERSAUDARAAN DALAM KATOLIK
A. Persaudaraan Menurut Kitab Suci (Al-Kitab) ……………………..
11
B. Pandangan Umat Katolik Tentang Hubungan Persaudaraan ……….
15
C. Pandangan Umat Katolik Tentang Hubungan Persaudaraan
Pada Komunitas Lain ……………………………………………….
19
BAB III KONSEP PERSAUDARAAN DALAM ISLAM
A. Persaudaraan Menurut Kitab Suci (Al-Quran) …………………….
26
B. Pandangan Umat Islam Tentang Hubungan Persaudaraan …………
30
C. Pandangan Umat Islam Tentang Hubungan Persaudaraan …………
36
Pada Komunitas Lain
BAB IV ANALISIS KONSEP PERSAUDARAAN KEAGAMAAN KATOLIK
DAN ISLAM
A. Kebersamaan Sebagai Umat Beriman …………………….……….
41
B. Hubungan Ideal Katolik Dan Islam ……………………….……….
46
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………...……….
58
B. Saran
60
………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR SINGKATAN
PERJANJIAN LAMA (PL):
Kej.
Kel.
Im.
Bil.
Ul.
Yos.
Hak.
Rut.
1 Sam.
2 Sam.
1 Raj.
2 Raj.
1 Taw.
2 Taw.
Ezr.
Neh.
Est.
Ayb.
Maz.
Ams.
- Kejadian
- Keluaran
- Imamat
- Bilangan
- Ulangan
- Yosua
- Hakim-hakim
- Rut
- 1 Samuel
- 2 Samuel
- 1 Raja-raja
- 2 Raja-raja
- 1 Tawarikh
- 2 Tawarikh
- Ezra
- Nehemia
- Ester
- Ayub
- Mazmur
- Amsal
Pkh.
Kid.
Yes.
Yer.
Rat.
Yeh.
Dan.
Hos.
Yl.
Am.
Ob.
Yun.
Mi.
Nah.
Hab.
Zef.
Hag.
Za.
Mal.
- Pengkhotbah
- Kidung Agung
- Yesaya
- Yeremia
- Ratapan
- Yehezkiel
- Daniel
- Hosea
- Yoel
- Amos
- Obaja
- Yunus
- Mikha
- Nahum
- Habakuk
- Zefanya
- Hagai
- Zakhaeia
- Maleakhi
PERJANJIAN BARU (PB):
Mat.
Mar.
Luk.
Yoh.
Kis.
Rom.
1 Kor.
2 Kor.
Gal.
Ef.
Flp.
Kol.
1 Tes.
- Matius
- Markus
- Lukas
- Yohanes
- Kisah para rasul
- Roma
- 1 Korintus
- 2 Korintus
- Galitia
- Efesus
- Flipi
- Kolose
- 1 Tesalonika
1 Tim.
- 1 Timotus
2 Tim.
- 2 Timotus
Tit.
- Titus
Flm.
- Filemon
Ibr.
- Ibrani
Yak.
- Yakobus
1 Pet.
- 1 Petrus
2 Pet.
- 2 Petrus
1 Yoh.
- 1 Yohanes
2 Yoh.
- 2 Yohanes
3 Yoh.
- Yohanes
Yud.
- Yudas
Why.-Wahyu (Tny.-Penyingkapan, TDB)
2 Tes.
- 2 Tesalonika
TRANSLITERASI ARAB-LATIN
HURUF
ARAB
NAMA
‫ا‬
alif
‫ب‬
‫ت‬
‫ث‬
‫ج‬
‫ح‬
‫خ‬
‫د‬
‫ذ‬
‫ر‬
‫ز‬
‫س‬
‫ش‬
‫ص‬
‫ض‬
‫ط‬
‫ظ‬
‫ع‬
‫غ‬
‫ف‬
‫ق‬
‫ك‬
‫ل‬
‫م‬
‫ن‬
‫و‬
‫ﻩ‬
‫ء‬
‫ي‬
ba
ta
sa
jim
ha
kha
dal
zal
ra
zai
sin
syin
sad
dad
ta
za
‘ain
gain
fa
qaf
kaf
lam
mim
nun
wau
ha
hamzah
ya
HURUF
LATIN
NAMA
tidak
tidak dilambangkan
dilambangkan
b
be
t
te
s
es (dengan titik di atas)
j
je
h
ha (dengan titik di bawah)
kh
ka dan ha
d
de
z
zet (dengan titik di atas)
r
er
z
zet
s
es
sy
es dan ye
s
es (dengan titik di bawah)
d
de (dengan titik di bawah)
t
te (dengan titik di bawah)
z
zet (dengan titik di bawah)
‘
koma terbalik (di atas)
g
ge
f
ef
q
ki
k
ka
l
el
m
em
n
en
w
we
h
ha
`
apostrof
y
ye
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hubungan antara sesama manusia dimulai dengan persaudaraan sedarah dan
seketurunan dalam keluarga, seiman dalam agama, dan persaudaraan antar umat
beragama dalam masyarakat. Begitu pentingnya arti persaudaraan, di dalam kitab suci
agama manapun dijelaskan bagaimana berhubungan dengan sesama dan apa makna
serta tujuan persaudaraan itu dibangun. Hubungan baik antar sesama manusia
mewajibkan untuk saling memelihara suasana yang baik dan akrab, bukan saling
menghina dan bermusuhan yang mengakibatkan saling menjelekkan dan
persengketaan satu dengan yang lain. Hubungan antar umat beragama perlu dibangun
sejak dini, mengingat sering terjadinya pertikaian dan permusuhan antar umat
beragama. Karena itulah harus memupuk kesatuan dan cinta kasih antar umat
beragama untuk menciptakan persaudaraan sejati, karena perpecahan itu membuat
semua menderita.
Istilah saudara menunjuk saudara kandung: ”Adapun mereka mempunyai
saudara yang telah terjadi.” (Kejadian 24: 29) atau saudara tiri: ”Bukankah dia sudah
berkata kepadaku:Dia itu adikku? Dan Sara sendiripun sudah berkata pula:” Dia
adalah kakakku…” (Kejadian 20: 5) juga dipakai untuk menyebut anggota keluarga,
para sahabat, tetangga, dan saudara seiman. Yesus memanggil para murid-Nya
dengan sebutan saudara: “Barang siapa melakukan kehendak Allah, dialah saudaraKu laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” (Markus 3: 35), kata
Yesus kepadanya:”Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada
Bapa, tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku… (Yohanes 20: 17), oleh sebab itu,
Ia dipandang sebagai sulung diantara banyak saudara:”…supaya ia itu menjadi anak
sulung diantara beberapa banyak saudara” (Roma 8: 29)1. Yesus mewujudkan
persaudaraan dengan kasih, sebab dalam kasih persaudaraan sungguh dilahirkan
kembali:”…sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas,
hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi di segenap hatimu.” (Petrus
1: 26).2
Di dalam Alkitab dijelaskan, kasih kepada Allah dan kepada sesama manusia
diajarkan Yesus: Tetapi Aku berkata kepadamu:”Setiap orang yang marah terhadap
saudaranya, harus dihukum: Siapa yang berkata kepada saudaranya kafir! harus
dihadapkan kepada mahkamah agama…” (Matius 5: 23–24)3. Berdamai karena Allah
dengan memanifestasikan amal yang baik bukan hanya saling mengampuni, saling
menghormati, saling menolong, tetapi bagaimana membina suatu persaudaraan yang
kokoh dan selalu menjaga tali persaudaraan yang berlandaskan dengan kasih sayang
hati yang tulus dan ikhlas, berdasarkan Alkitab.
1
Herbert Haag, Kamus Alkitab, (Flores: Nusa Indah, 1980), cet. ke-1, h. 406.
2
FX. Hadisumarta, et al., Hidup dalam Persaudaraan Sejati: Sudut Pandang Para Uskup,
(Jakarta: Bunga Rampai III, 2002) h. 30.
3
AL Budyapranata, Kunjungan Membangun Persaudaraan: Bina Keluarga, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), cet. ke-2, h. 25.
Dalam Islam persaudaraan Islam (Ukhuwah Islamiyah) merupakan sesuatu
yang niscaya. Keluhuran ajaran Nabi Muhammad yang sasaran utamanya adalah
optimalisasi budi pekerti tidak lain merupakan syarat utama dalam pembentukan
Ukhuwah Islamiyah. Praktek-praktek ibadah dalam Islam juga selalu memiliki aspek
sosial-kemasyarakatan yang menjadi sendi utama pembentukan komunitas yang
bersaudara.
Istilah
yang biasa diartikan sebagai “persaudaraan”, adalah bentuk
kata benda (masdar) dari kata kerja (fi’il)
yang memiliki arti menjadi saudara
atau sahabat.4
Dalam al-qur’an, kata
(saudara) dalam bentuk tunggal ditemukan
sebanyak 52 kali.5 Kata ini dapat berarti saudara kandung atau saudara seketurunan.
Hal ini ditegaskan dalam surat al-Nisa/4: 23 sebagai berikut:
“Diharamkan pada kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang
perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu
yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki”.6
Faktor penunjang lahirnya persaudaraan adalah persamaan. Kata ukhuwah
atau persaudaraan mencakup persamaan salah satu unsur seperti suku, agama, profesi,
4
Al-Munjid Fil Luqhoh wal-A’lam, (Beirut, Libanon: Dar el Machreq Sarl Publisher, 1994),
cet. ke-43, h. 5.
5
M. Quraish Shihab, Wawasan Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. 486
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, (Madinah: Mujamma’ Khadim al
Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy-Syarif, 1991), h.120
6
dan perasaan.7 Mengartikan ukhuwah dalam arti persamaan mengisyaratkan bahwa
semakin banyak persamaan dapat memperkokoh persaudaraan. Pengkajian konsep
persamaan ini pada tahap yang paling dalam akan membawa manusia menyadari
bahwa mereka semuanya memiliki persamaan yang sifatnya transenden, yaitu berasal
dari satu Pencipta.
Islam mengingatkan orang akan kejadiannya yang berasal dari satu jiwa, lalu
menyadarkannya pada keberadaan Tuhan yang menciptakan mereka, dan kepada-Nya
semua akan dikembalikan.8 Nabi Adam oleh seluruh agama semit dipercayai sebagai
bapak dari umat manusia. Dari-Nya muncul kesadaran bahwa semua manusia pada
hakikatnya adalah bersaudara, dan diciptakan oleh satu Tuhan yang sama. Namun
demikian, persamaan yang menimbulkan persaudaraan ini menjadi lebih kuat dalam
ikatan yang lebih sakral yaitu satu iman.
Orang yang benar-benar beriman merasa ikatan persaudaran seiman lebih
penting dari yang lain. Kita belum layak disebut orang beriman, kecuali bila sudah
mau memberikan sesuatu yang paling disukai pada saudaranya. Sesuai dengan sabda
Rasulullah:
‫ﺴ ِﻪ‬
ِ ‫ﺤﺐﱡ ِﻟ َﻨ ْﻔ‬
ِ ‫ﺧ ْﻴ ِﻪ َا ْو ِﻟﺠَﺎ ِر ِﻩ ﻣَﺎ ُﻳ‬
ِ‫ﻷ‬
َِ ‫ﺤﺐﱠ‬
ِ ‫ﺣﺘﱠﻰ ُﻳ‬
َ ‫ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ‬
َ ‫ﻦ َا‬
ُ ‫ل ﻟَﺎ ُﻳ ْﺆ ِﻣ‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﷲ‬
َ ‫ﻲ‬
‫ﻦ اﻟ ﱠﻨِﺒ ﱢ‬
ِ‫ﻋ‬
َ ‫ﻚ‬
ٍ ‫ﻦ ﻣَﺎِﻟ‬
ِ ‫ﺲ ا ْﺑ‬
ِ ‫ﻦ َأ َﻧ‬
ْ‫ﻋ‬
َ
7
Ibid., h. 487.
Sayyid Qutub, Jalan Menuju Kedamaian, (Jakarta: Cahaya Press, 1979), h. 115.
8
Dari Anas bin Malik r.a., Rasulullah bersabda:
”Belum sempurna iman
seseorang, sebelum dia mencintai bagi saudaranya atau bagi tetangganya apa yang
dicintainya untuk dirinya sendiri.9
Ukhuwah Islamiyah juga telah dihayati sebagai hakikat yang inheren dalam
agama Islam. Ukhuwah Islamiyah mula-mula dihayati sebagai simpul persaudaraan
yang berlaku secara intern umat Islam saja. Ternyata dari sejarah perkembangan
Islam, ukhuwah Islamiyah dihayati secara terbuka terhadap orang lain bahkan bersifat
universal.10
Idealnya ketika kita mempunyai cita-cita yang luhur, semua orang
menginginkan cita-cita tercapai sesuai dengan harapan. Tetapi harapan dan realita
terkadang bertentangan. Melihat fenomena yang terjadi antara hubungan Islam dan
Katolik yang sempat kurang harmonis tidak seharusnya memunculkan pandangan
yang keliru. Pertama harus dibedakan antara agama dan orang beragama. Terkadang
dalam memahami agama, kita terjebak pada subyektifitas pribadi, dan ini disebabkan
antara lain adalah karena setiap umat beragama memiliki beban sejarah masingmasing dan ketika situasi dan kondisi berubah, beban itu mungkin saja masih ada dan
dalam beberapa kasus tertentu mampu melahirkan sikap-sikap ekstrim dan arogansi
agama yang pada ujungnya melahirkan gerakan-gerakan yang mengarah kepada
eksklusivisme. Ini mungkin disebabkan pula pada landasan ideologis agama, dimana
9
Al-Imam Nawawi, Terjemahan Ma’mur Daud, Terjemahan Hadits Shahih Muslim,
(Malaysia: Klang Book Centre, 1990), Jilid 1, h. 28.
10
“Persaudaraan Adalah Hakikat Islam”, Hak Kerukunan, 92-93, Th. XVI, (Mei-Juni, 1995),
h. 31.
seperti diungkap oleh Gilbert Lumoindang, seorang pendeta Protestan, bahwa “setiap
agama memandang kalau ada yang benar, pasti ada yang salah.”11
Cara pandang orang terhadap agama sangat menentukan bagaimana orang
menjalani agama itu sendiri. Jadi, agama selalu ada unsur kefanatikannya dan ini bisa
menjadi awal pertikaian agama.12 Tak kenal, maka tak sayang sebuah ungkapan kuno
yang sering kita dengar, yang dikaji secara mendalam ada banyak kebenaran yang
terkandung di dalamnya. Kalau belum mengenal, maka muncul curiga, takut, malu,
atau bisa benci. Namun kalau kita sudah mengenal orang itu, sikap ini bisa berubah.
Hal ini berlaku dalam hubungan antar umat beragama, yang saling diwarnai
kekakuan, ketegangan, sikap curiga, karena tidak pernah bertemu.
Hal inilah yang dapat memicu emosi keagamaan seseorang seperti peristiwa
pembakaran Gereja-gereja Katolik dan Kristen yang terjadi di Situbondo. Keuskupan
Malang pada bulan Oktober 1996 memunculkan kesadaran baru bagi umat Katolik di
Malang dan Surabaya mengenai perlunya membina kerjasama dan persaudaraan yang
lebih erat. Waktu itu, Gus Dur yang baru pulang dari luar negeri berkunjung ke Jawa
Timur untuk menyatakan penyesalannya atas kejadian tersebut dan minta maaf atas
nama umat Islam.
Lain halnya dengan di Ambon umat Islam merupakan masyarakat yang
minoritas. Pada hari selasa, 19 Januari 1999 pukul 11.00 ketika umat Islam selesai
11
“Dai dan Pendeta Sejuta Umat: Bicara Hubungan Islam dan Kristen”, Narwastu, 1, Th. IX,
(16 Maret 2002), h. 22.
12
Ibid.
melaksanakan shalat Idul Fitri 1419 Hijriyah dengan serentak umat Kristen
menyerang dan membunuh umat Islam.
Hari Selasa tanggal 19 Januari 1999 adalah hari dan tanggal yang bersejarah
dalam gerakan Oikumene di Maluku. Tanggal 18 Januari 1950,J.H. Manuhutu dan A.
Wairissal berhasil menandatangani naskah Proklamasi Republik Maluku Selatan
(RMS) yang diumumkan secara resmi di Ambon pada tanggal 25 April 1950 oleh Dr.
Mr. Chr. Soumokil dan kawan-kawan. Maka menyongsong hari ulang tahun
Proklamasi RMS ke-49, tanggal 25 April 1999 dilakukan pembantaian terhadap
komunitas muslim sebagai aksi balas dendam terhadap sikap TNI atau Polri bersama
muslim di Maluku yang telah berhasil menghancurkan kekuatan atau gerombolan
”separatis” RMS dari bumi nusantara (1950-1962).13
Kerusuhan yang puncaknya jatuh pada hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1419
Hijriyah atau 19 Januari 1999 diawali dengan gerakan-gerakan pendahuluan antara
lain: demonstrasi mahasiswa Unpatti dan menuntut mundurnya Kolonel Hikayat dari
jabatan Danrem 174 Pattimura. Selanjutnya untuk mengukur kekuatan umat Kristen
di Maluku, maka dilakukan uji coba dengan menyerang, membakar dan membantai
umat Islam di Wailatte dan Air Bak dilanjutkan dengan penyerangan, penjarahan,
pembakaran dan pembantaian terhadap umat Islam di Dobo dengan isu mengusir
pendatang.14
13
14
Ibid., h. 27.
Ibid., h. 44.
Penyerangan dan pembantaian terhadap umat Islam di Ambon yang dimulai
sejak 19 Januari 1999 diakui secara jujur oleh perancang kerusuhan Kristen melalui
tim pengacara gereja dalam suratnya bernomor khusus 28 tanggal 12 Maret 1999,
sehingga pengakuan murni tersebut merupakan bukti nyata bahwa kerusuhan di
Maluku telah dirancang sebelum Idul Fitri oleh intelektual Kristen dan pemimpin
gereja di Maluku. Penyerangan dan pembantaian serta pembumihangusan terhadap
aset muslim Maluku pada tanggal 19 Januari 1999 bertepatan dengan peringatan hari
raya Idul Fitri 1419 Hijriyah merupakan indikasi belum terjalinnya tali persaudaraan
antara dua pemeluk agama ini secara baik.
Fenomena ini merupakan suatu bukti bahwa sebagian masyarakat Indonesia
belum benar-benar memahami apa makna persaudaraan yang sering diungkapkan
dalam ceramah-ceramah maupun dialog, karena belum menyadari bahwa semua
orang bersaudara.15
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah seperti diuraikan di atas, maka pembatasan masalah difokuskan pada hubungan
persaudaraan keagamaan dalam Katolik dan Islam.
Adapun perumusan masalah dapat dikemukakan dengan bentuk pertanyaan,
yakni: Apa konsep persaudaran keagamaan dalam Katolik dan Islam, dan
bagaimana hubungan keagamaan ideal umat Katolik dan Islam ?
C. Metode Pembahasan dan Teknik Penulisan.
15
FX. Hadisumarta, et al., op. cit., h. 103.
Studi ini merupakan studi literatur, karena termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research) artinya
penelitian yang dilakukan adalah dengan melalui karya-karya ilmiah, baik yang tertuang dalam buku, majalah, jurnal, makalah,
artikel maupun data-data kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan pembahasan persaudaraan keagamaan antara Katolik
dan Islam.
Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan membedakan antara data primer dan data sekunder. Data primer adalah
objek kajian utama yang berupa karya dari Abdullah, Merajut Ukhuwah Islamiyah, Al. Budya Pranata, Kunjungan membangun
Persaudaraan, J. Hadiwikarta, Sikap Gereja terhadap Penganut Agama Lain. Sedangkan data sekunder berupa tulisan-tulisan
lain tentang Konsili Vatikan II, Mustofa, Bingkai Teologi Kerukunan Umat Beragama, dan lain-lain.
Adapun mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan acuan sebagai berikut: Pedoman penulisan yang
dikeluarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai pedoman utama.
D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
Bab pertama merupakan pendahuluan yang dimaksudkan untuk menjelaskan latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, dan metode pembahasan dan teknik penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab kedua konsep persaudaraan dalam Katolik yang dimaksudkan untuk menjelaskan persaudaraan menurut
Kitab Suci (Alkitab), pandangan umat Katolik tentang hubungan persaudaraan dan pandangan umat Katolik tentang hubungan
persaudaraan terhadap komunitas lain.
Bab ketiga konsep persaudaraan dalam Islam yang dimaksudkan untuk menjelaskan persaudaraan menurut
Kitab Suci (Al-Qur’an), pandangan umat Islam tentang hubungan persaudaraan dan pandangan umat Islam tentang hubungan
persaudaraan terhadap komunitas lain.
Bab keempat analisis konsep keagamaan persaudaraan Katolik dan Islam yang dimaksudkan untuk menjelaskan
kebersamaan sebagai umat beriman, hubungan ideal umat Katolik dan Islam.
Bab lima penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
KONSEP PERSAUDARAAN DALAM KATOLIK
A. Persaudaraan Menurut Kitab Suci (Alkitab)
Di dalam Kitab Suci djelaskan bagaimana persaudaraan itu dibangun, dan
dipahami. Untuk lebih memperjelas kita pelajari dahulu istilah saudara dalam
Kitab Suci.
Arti Saudara dalam Alkitab bermacam-macam. Dalam arti sempit saudara
adalah orang sekandung: “Kemudian daripada itu diperanakkannya Habel, adik
Kain…” (Kejadian 4: 2). Di samping hubungan melalui darah daging, istilah saudara
juga digunakan untuk mereka yang berkaitan satu sama lain melalui hubungan
rohani, misalnya persaudaraan berkat iman: “Hai tuan-tuan dan saudara sekalian,
beranilah aku menyatakan kepadamu dari hal nenek moyang kita Daud…” (Kisah 2:
29) atau karena kesamaan fungsi: “…sekaliannya orang setiawan adanya akan
membagi-bagi kepada saudaranya dalam segala pangkatnya, baik yang besar dan baik
yang kecil” (2 Tawarikh 31: 15) ; “…suruhlah akan dia bangkit diantara segala
saudaranya dan bawalah akan dia sertamu ke dalam bilik bersekat.” (2 Raja 9: 2),
atau perjanjian bersama:” karena ia itulah akan bulang yang elok pada kepalamu dan
kalung rantai yang indah-indah pada lehermu” (Amsal 1: 9); ”maka dikenakannya
kain karung pada pinggangnya dan dibubuhlah tali pada kepalanya…” ( 1 Raja 20:
32); “…mengapa kita berbuat hianat seorang akan seorang serta menghinakan
perjanjian nenek moyang kita?” (1 Maleakhi 12: 10).16 Di sini kita memahami bahwa
persaudaraan antar manusia tidak hanya tergantung pada hubungan darah saja.
Dalam Perjanjian Lama ditegaskan bahwa umat manusia dijadikan “dari satu
orang saja” (Kisah 17: 26, Lihat Kejadian 1–2). Hubungan sebagai saudara terputus.
Kain membunuh Habel, saudaranya (Kejadian 4: 1–6). Tetapi Allah tetap
menghendaki persaudaraan: “Janganlah engkau membenci saudaramu … melainkan
kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu …” (Imamat 19:17), dan Yusuf
memaafkan saudaranya (Kejadian 45: 1–8). Memang, “Sungguh, alangkah baiknya
dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dan hidup rukun”
(Mazmur
133:
1).
Namun ternyata perintah Allah tidak cukup untuk
mengembalikan dan menghadirkan persaudaraan yang dikehendaki-Nya. Berkali-kali
persaudaraan antar manusia tergoncang dan retak bahkan terputus. 17
Dalam Perjanjian Baru disebutkan persaudaraan universal yang diidamidamkan dan diperjuangkan oleh para nabi. Persaudaraan sejati yang meliputi semua
orang terwujud dalam Yesus Kristus. Dari Yesus sendiri yang berkata: “Siapa pun
yang melakukan kehendak Bapa-Ku di surga, dialah saudara-Ku laki–laki, dialah
saudara-Ku perempuan, dialah Ibu-Ku” (Matius 12: 50; Lihat Mikha 3: 35; Lukas 8:
21). 18 Maksudnya adalah bila umat ingin membangun persaudaraan sejati maka yang
16
FX. Hadisumarta, et.al., Hidup Dalam Persaudaraan Sejati :Sudut Pandang Para Uskup,
(Jakarta: Bunga Rampai III, 2000), h. 27.
17
Ibid., h. 28.
18
Ibid., h. 29
dilakukan adalah mengikuti jalan yang dibenarkan oleh Yesus, karena Dia tidak
pernah membedakan umat-Nya dari jenis kelamin, keturunan, profesi, dan sebagainya
Istilah saudara dalam kata Yunani adelphos tidak hanya berarti “saudara
sekandung”. Kata itu dapat berarti kaum sebangsa: ”karena aku sendiri rela terlaknat
dijauhkan daripada Kristus, karena saudara-saudaraku, keluargaku yang sedarah dan
sedaging” (Roma 9: 3), atau sesama saudara: “…dan pergilah berdamai dulu dengan
saudaramu,lalu kembali untuk mempersembahkan …” (Matius 5 : 23), atau saudara
tiri: ”…Herodes isteri Filipus saudaranya, karena Herodes telah mengambilnya
sebagai isteri” (Markus 6: 17), “Karena Yohanes pernah menegur Herodes, ”tidak
halal engkau mengambil isteri saudaramu!” (Markus 6–18).
Berulangkali dalam Perjanjian Baru disebutkan “Saudara–saudara Yesus”
(Yohanes 2: 12).”Lalu datanglah ibu dan saudara-saudara Yesus…”Lihat, ibu dan
saudara-saudara-Mu ada di luar…”,…siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?
...Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku. (Markus 3: 31–34, Lukas 8: 9–21) ”Maka
mereka itu sekalian bertekun dan sehati berdoa beserta dengan beberapa perempuan
dan Maryam, ibu Yesus, dan dengan saudara-Nya.”(Kisah1: 14), ”Tetapi rasul-rasul
yang lain tidak kujumpa kecuali Yakub saudara Tuhan itu.”(Galatia 1: 19), “…sebab
itu aku pikir perlu meminta saudara-saudara itu pergi kepada kamu dahulu…”
(Korintus 9: 5). Empat saudara Yesus disebutkan namanya: Yakobus, Yoses atau
Yosef, Yudas dan Simon: ”bukankah orang ini tukang kayu, anak Maryam, dan
saudara Yakub, danYoses dan Yudas dan Simon ?” (Markus 6: 3), ”…Bukankah ibu-
Nya bernama Maryam, dan saudara-saudaranya Yakub dan Yusuf, dan Simon dan
Yudas?” Matius 13: 55).19
Integritas yang terbuka merupakan kata kunci yang dapat menjelaskan
pandangan dan arah Gereja Katolik dalam hubungan antar umat beriman dan umat
beragama. Hubungan antar umat beriman, sebagai masalah aktual di zaman
ini
belum diolah pada zaman penulisan Kitab Suci Perjanjian Baru yang memberi
kesaksian mengenai Yesus Kristus, apalagi di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama.20
Kitab Suci Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama memberi inspirasi untuk
mengartikan dan menentukan arah bagaimana hubungan antar umat beriman dan
beragama
sekarang
ini
dikembangkan.
Persaudaraan
memang
universal,
persaudaraan harus merupakan suatu persekutuan bukan hanya dengan Kristus, tetapi
juga sekaligus persekutuan satu sama lain sebagai saudara dalam Kristus.
Hubungan antar mereka harus dijiwai dengan perintah Yesus seperti dalam
Matius 5: 21–26. Ada kewajiban saling menegur, terutama kasih kepada orang-orang
yang paling kecil, sebab dalam diri mereka itu mereka menjumpai Kristus sendiri.21
Di dalam Kitab Suci dikatakan:” Apabila saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia di
bawah empat mata, jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatkannya
kembali” (Matius18: 15) kemudian di dalam Matius 25: 40: “Dan raja itu akan
menjawab mereka:” Aku berkata kepadamu sesungguhnya segala sesuatu yang kamu
19
20
h. 97.
21
Ibid., h. 55.
Mustoha, Bingkai Teologi Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta: Depag, 1997),
FX. Hadisumarta, et. al., op. cit., h. 33.
lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah
melakukannya untuk Aku”.22 Hal ini menunjukkan bahwa kata saudara juga
mencakup pengertian orang seiman atau seagama.
B. Pandangan Umat Katolik tentang Hubungan Persaudaraan
Hubungan persaudaraan dalam pandangan umat Katolik termanifestasikan
dalam konsep penghargaan terhadap hidup manusia. Artikulasi dari penjiwaan yang
matang akan konsep ini merupakan tuntutan umat Katolik sepanjang masa khususnya
pada zaman yang cenderung memandang hidup manusia hanya bersifat
instrumentalistis, yaitu pandangan terhadap hidup hanya sebagai alat meraih
kesuksesan materi. Kecenderungan yang seperti ini selanjutnya akan menjadikan
manusia kurang memaknai arti persaudaraan. Dalam konteks inilah pandangan umat
Katolik tentang “saudara kasih” menemukan signifikansinya.
Penghargaan
terhadap
hidup
manusia
adalah
wujud
nyata
dalam
meningkatkan persaudaraan sejati. Manusia itu hendaknya dihargai sebagai pribadi,
makhluk ciptaan yang mulia dan berharga di mata Allah. Penghargaan terhadap hidup
ini berdasarkan kasih sayang Sang Bapa, karena itu orang Kristiani terpanggil untuk
memperbaharui, menghadirkan dan melestarikan kasih sayang Sang Pencipta dalam
diri sesamanya. Dengan demikian setiap orang, baik Katolik maupun bukan Katolik
22
Alkitab, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1996), cet. ke-3, h. 25 dan 27.
mengakui dan menyadari dirinya serta sesamanya sebagai hamba Allah, sehingga
berani menyapa dan menempatkan sesamanya itu dalam kedudukan “saudara kasih".
Sekarang ini banyak terjadi pelecehan terhadap hidup manusia seperti aborsi,
kriminalitas, penindasan, pemerasan, penolakan terhadap norma-norma moral serta
bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia merupakan gejala yang
meresahkan semua orang. Manusia kurang menghargai nilai-nilai persahabatan,
persaudaraan dan kerjasama serta nilai-nilai rohani baik dalam keluarga maupun
dalam masyarakat luas. Pelecehan terhadap hidup terjadi karena orang melihat hidup
dari segi kegunaannya bagi diri sendiri. Hidup tidak boleh dilihat dari segi
kegunaannya karena begitu banyak keindahan dan kebaikan dalam hidup manusia
yang perlu diwujudkan untuk membangun hidup dalam persaudaraan sejati di
masyarakat.23
Ketertutupan hidup, muncul dari sikap saling kurang percaya, rasa curiga
fanatisme sempit dan kesombongan. Ketertutupan hidup tidak hanya akan merusak
persatuan dan persaudaraan sejati, tetapi bertentangan dengan nilai Injil serta cinta
kasih. Dalam ketertutupan hidup orang tidak akan mampu melihat yang baik dalam
diri orang lain, karena ketertutupan hidup orang hanya melihat dirinya sendiri sebagai
sumber kebaikan dan nilai-nilai, menganggap diri paling hebat dan mengabaikan
23
J. Hadiwikarta, Sikap Gereja terhadap para Pengikut Agama-agama Lain, (Jakarta: Obor,
1985), cet. ke-1, h. 93.
orang lain. Ketertutupan hidup akan menghasilkan kepalsuan dan pelecehan disegala
bidang, acuh tidak acuh dan sikap tidak perduli.24
Dalam Alkitab dijelaskan bahwa kasih kepada sesama bukan hanya
dibuktikan dalam saling mengampuni, melainkan juga dengan saling menolong,
sebagai saluran belas kasih Allah. Karena inti persaudaraan sejati adalah kasih, maka
kasih kepada Allah dan sesama harus murni.25 Kasih itu tanda pengenal jelas dari
para murid Kristus, karena gereja yang didirikan oleh Kristus bukan suatu lembaga
atau organisasi, melainkan suatu paguyuban atau persaudaraan yang dasarnya adalah
kasih Kristus. Kasih seperti yang diajarkan oleh Kristus bukan pertama-tama harus
nampak dalam hal yang besar, namun cukup dengan perhatian kecil, yang
menunjukkan kerelaan dan keikhlasan seseorang untuk membantu sesamanya.26
Dinamika hubungan antar manusia hendaknya mendorong orang Kristen untuk
mendengar dan mencoba memahami yang dikomunikasikan oleh orang-orang
beriman yang lain, agar supaya dapat mengambil manfaat dari karunia–karunia yang
telah diberikan Tuhan secara murah.27
Dinyatakan oleh F.X. Hadisumarta bahwa:
“…Kesederhanaan hidup umat hendaknya diarahkan untuk meningkatkan mutu
pelaksanaan cinta kasih dalam bentuk saling mendukung, saling
memperhatikan, saling membantu antar sesama. Orang yang memiliki cukup
jaminan sosial menggunakan apa yang dimilikinya sebagai sarana pelayanan
terhadap sesama. Rela berkorban, bukan berarti memberikan sesuatu karena
24
Ibid., h. 94.
Alkitab, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1996), cet. ke-3, h. 34.
26
Al. Budyapranata, Kunjungan Membangun Persaudaraan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), cet.
ke-2, h. 25
27
J. Hadiwikarta, op.cit., h., 22.
25
sudah berlebihan melainkan apa yang ada, bahkan yang paling disenangi harus
mampu diberikan kepada Tuhan dan sesama dalam bentuk harta, waktu, atau
kegiatan lainnya. Keterbukaan hidup dapat diwujudkan melalui sikap rela
melayani dan rela berbagi kasih. Bumi yang subur ini dianugerahkan Allah
untuk semua manusia untuk semua manusia, bukan sekelompok orang tertentu
saja. 28
Lebih lanjut J.Hadiwikarta menegaskan bahwa “Barang siapa yang
mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi,
menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu kasih Allah tidak ada di dalam
dirinya.29 Mewujudkan kesejahteraan bersama harus dalam kerangka persaudaraan
dan bukan demi keuntungan pribadi sendiri. Sejak semula Allah memanggil manusia
dalam kebersamaan untuk mengalami penebusan sebagai saudara Yesus. Sikap rela,
mendorong sesama yang kekurangan yang tertindas yang disisihkan dan diperlakukan
tidak adil dapat menciptakan dunia baru yang lebih damai penuh semangat hidup
dalam persaudaraan sejati. Dalam diri seseorang yang suka melayani dan rela berbagi
kasih akan tumbuh nilai-nilai persaudaraan karena yakin bahwa sesama itu adalah
citra Allah.
Kemandirian bukan hanya persoalan yang berhubungan dengan tersedianya
harta benda, melainkan kenyataan semakin sempurnanya hidup rohani umat beriman.
Kesempurnaan hidup rohani umat beriman berarti dapat meniru kesucian dan cinta
kasih Allah sendiri, sebab kecukupan materi belum berarti apa-apa dalam
28
29
FX. Hadisumarta, et al., op. cit., h. 90.
J. Hadiwikarta, op.cit., h. 91.
kemandirian, jika umat sendiri tidak memiliki kerohanian dan kesucian sesempurna
mungkin dan jati dirinya belum menjadi Kristiani yaitu saudara bagi sesama.30
C. Pandangan Umat Katolik Tentang Hubungan Persaudaraan Pada Komunitas Lain
Terhadap komunitas lain, umat Katolik juga membentangkan konsep
persaudaraan kasihnya. Hal demikian dapat dilihat dari pandangan al-Kitab mengenai
hubungan dua arah (vertikal: dengan Tuhan, dan horisontal: dengan sesama
manusia). Pihak gereja juga melalui Konsilinya menentang pola kehidupan yang
tertutup. Hal tersebut meniscayakan umat Katolik untuk memegang sikap
menghormati agama lain.
Persaudaraan meliputi keharmonisan hubungan agama dan hidup sebagai
orang beriman. Hal ini mengandung pengertian untuk bersikap baik dengan
komunitas lain. Yesus menganjurkan “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri, berbuat baiklah kepada orang yang membenci kamu” (Matius 22: 37-38).
Pada saat akhir hidup-Nya, yaitu di kayu salib Yesus juga berdoa untuk musuhmusuh-Nya (Lukas 23: 34). Hidup beragama pada hakikatnya menyangkut hubungan
manusia dengan Allah, tetapi sekaligus tidak terlepas dari hubungannya dalam sikap
dan perbuatannya terhadap sesama manusia.31
Perubahan-perubahan yang cepat di dalam dunia dan pemikiran yang lebih
mendalam mengenai misteri gereja sebagai “Sakramen keselamatan yang universal”
30
31
Ibid., h. 92.
FX. Hadisumarta, op. cit., h. 36.
(Lumen Gentium;48) telah mendorong sikap ini terhadap agama-agama bukan
Katolik32 Perkembangan umat manusia yang hari demi hari bertambah erat
dipersatukan dan hubungan antara berbagai bangsa ditingkatkan, membuat Gereja
Katolik meninjau dengan lebih cermat, apa sikapnya terhadap agama-agama bukan
Kristen? Dalam tugasnya memupuk kesatuan dan cinta kasih antara manusia, bahkan
antara bangsa-bangsa, gereja memandang banyak hal yang perlu dikembangkan
terutama persamaan-persamaan yang ada pada manusia dan yang membawa kepada
kebersamaan hidup. Di antara hal-hal yang mendasari pemahaman tersebut adalah
pandangan bahwa semua bangsa merupakan satu masyarakat, mempunyai satu asal,
sebab Allah menempatkan seluruh umat manusia di seluruh muka bumi. Semua
mempunyai juga tujuan akhir yang satu, Allah. Penyelenggaran-Nya, bukti kebaikanNya, dan rencana keselamatan-Nya mencakup semua orang.
Dengan argumentasi yang humanis, Riberu seorang tokoh Katolik berusaha
mengembangkan pandangan Katolik tentang persaudaraan terhadap komunitas
lain. Untuk sampai pada pernyataan bahwa “Gereja Katolik tidak menolak apapun
yang benar dan yang suci dalam agama-agama lain”, Riberu mengulas asal muasal
usaha manusia menemukan misteri kehidupannya.
“…Manusia mengharapkan dari berbagai agama jawaban terhadap
rahasia yang tersembunyi sekitar keadaan hidup. Manusia, sama seperti
dahulu, sekarang pun rahasia tersebut menggelisahkan hati manusia secara
mendalam, apa makna dan tujuan hidup kita, apa itu kebaikan, apa itu dosa,
apa asal mula dan tujuan derita, mana kiranya jalan untuk mencapai
kebahagiaan sejati, apa itu kematian, apa itu pengadilan dan ganjaran sesudah
maut? Akhirnya misteri terakhir yang tidak terungkapkan, yang menyelimuti
keberadaan kita: dari-Nya manusia berasal dan kepada-Nya manusia menuju.
…Sejak zaman purba sampai ke zaman ini dalam berbagai bahasa
terdapat sejenis tanggapan tentang kekuasaan gaib itu, yang hadir dalam
perjalanan dan kejadian hidup manusia, kadang-kadang terdapat pengakuan
32
J. Hadiwikarta, op. cit., h. 13.
pada Yang Maha Tinggi atau Bapa. Tanggapan dan pengakuan ini meresap ke
dalam hidup mereka perasaan keagamaan yang mendalam. Agama-agama
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mendalam. Agama-agama
yang berhubungan dengan kemajuan kebudayaan berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan dengan pengertian yang lebih rumit dan dengan bahasa
yang lebih diolah. Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan yang
suci dalam agama-agama ini. Gereja memandang dengan cara yang jujur cara
hidup, peraturan dan ajaran yang dalam banyak hal berbeda dengan apa yang
dipahami dan yang dianjurkannya, tidak jarang memantulkan cahaya
kebenaran, yang menerangkan semua manusia…”33
Para teolog Katolik Roma juga mempunyai perhatian yang cukup besar
terhadap agama-agama. Sejak Konsili Vatikan II (1962-1965), Gereja Katolik Roma
mengakui adanya unsur-unsur kebenaran dalam agama-agama, dan mereka berusaha
giat untuk mendalami agama-agama secara teologis.34 Gereja Katolik tidak menolak
apapun yang benar dan suci dalam agama manapun, bahkan mengupayakan dialog
dan kerjasama dengan penganut agama-agama lain dan memajukan hal-hal dibidang
rohani, serta moral.
Mengingat bahwa dalam perbedaan zaman telah timbul pertikaian dan
permusuhan yang tidak sedikit antara orang Katolik dan Islam, maka Konsili Suci
mengajak semua pihak untuk melupakan yang sudah-sudah, dan mengusahakan
dengan jujur dan saling pengertian dan melindungi lagi memajukan bersama-sama
33
J. Riberu, Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta: Obor, 1989), cet. ke-2, h. 287.
Ibid., h. 287-8.
34
A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), cet. ke-1, h.
78.
keadilan sosial, nilai-nilai moral serta perdamaian dan kebebasan untuk semua
orang.35
Sejalan dengan hal tersebut juga merujuk konsep universalitas di atas,
ketegangan-ketegangan yang sempat terjadi antara umat Kristiani dengan komunitas
lain layaknya disikapi dengan mengedepankan semangat intropeksi diri dan
mema’afkan. Sering kali hubungan yang retak menjadi semakin hancur, karena orang
menolak untuk memaafkan orang lain, kemarahan, kebencian, kepahitan, semakin
menebal yang nampaknya seperti tidak dapat ditebus lagi.36
Pemahaman
yang
demikian
melahirkan
sikap
antisipatif
untuk
mengembangkan pola kehidupan yang terbuka agar saling mengenal guna
mengeliminir kemungkinan terjadinya kesalahpahaman yang sering berujung kepada
konflik antar sesama. Dalam konteks ini sangat tepat ketika seorang muslim mencoba
menggali semangat kerukunan umat beragama. Mustoha menyebutkan,
“Semenjak Konsili Vatikan II Gereja Katolik dengan jelas menolak cara hidup menggereja yang tertutup. Gereja memahami
jati dirinya sebagai umat yang terbuka. Gereja Katolik mau terbuka baik terhadap saudara-saudaranya sesama di dalam
Tuhan Yesus Kristus, maupun terhadap mereka yang tidak beragama Katolik. Memang benar di sepanjang zaman cukup
sering timbul pertikaian dan permusuhan umat Kristen dan umat Islam. Konsili Suci mendorong mereka semua, supaya
melupakan yang sudah-sudah dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami, supaya bersama-sama
membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan
(Nostra Aetate 2; 3). 37
35
Riberu, loc.cit.
William H. Duke, Memuaskan Jiwa yang Lapar, (Bandung: Yayasan Baptis Indonesia, 1995),
cet.ke-1, h. 15.
37
Mustoha, loc.cit., h. 101-2.
36
Pesan Konsili suci tersebut ditangkap dengan arif oleh umat Katolik. J.
Hadiwikarta menegaskan:
“Gereja merasa terpanggil untuk berdialog terutama karena iman. Di dalam
misteri Allah Tri Tunggal, perwahyuan kristiani memungkinkan kita untuk
melihat sekilas di dalam Tuhan suatu kehidupan yang penuh dengan persatuan
dan hubungan. Di dalam Allah Bapa kita melihat suatu cinta yang
membentang luas, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Alam semesta dan
sejarah dipenuhi oleh anugerah-anugerah-Nya.”38
Lebih
jauh
lagi
Hadiwikarta39
mengisyaratkan
agar
umat
Katolik
menghormati ritual-ritual keagamaan yang dipraktekkan oleh umat Islam. Ia mencoba
memahami dengan arif ibadah shalat yang memiliki esensi pengulangan janji dan
pemasrahan diri terhadap kehendak Allah, ibadah puasa ramadhan dan perayaan Idul
Fitri sebagai pembaharuan pribadi dan pemantapan persaudaraan dan silaturahmi,
serta zakat sebagai tanda perhatian terhadap sesamanya. Hal ini telah disinyalir di atas
oleh Riberu bahwa ajaran lain tidak jarang memantulkan cahaya kebenaran. Di
tempat lain Riberu menambahkan, “…meskipun tidak mengakui Yesus sebagai
Allah, Islam menghormati-Nya sebagai nabi. …oleh sebab itu mereka menghargai
kehidupan moral dan menyembah Allah terutama dalam shalat, puasa dan sedekah.”40
Hal ini juga ditekankan oleh Mustoha, bahwa “…gereja juga menghargai
umat Islam yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh
38
J. Hadiwikarta, op. cit., h. 23.
Ibid., h. 20
40
J. Riberu, op .cit, h. 288.
39
belas kasihan dan Maha Kuasa, pencipta langit dan bumi, yang telah berfirman
kepada umat manusia.”41 Secara khusus, Katolik memandang Islam sebagai sepupu.42
Semangat persaudaraan ini juga ditekankan oleh Paulus ketika menyinggung
nilai kasih yang disebarkan oleh Yesus. Dalam Efesus 5: 1-2 Paulus menulis, “Sebab
itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang terkasih dan hiduplah di
dalam kasih, sebagaimana Kristus, Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah
menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi
Allah”. Pesan ini dalam perspektif Katolik merupakan manifestasi dari sifat Allah
dengan mengampuni dan mengasihi orang lain. Mengapa harus mengampuni dan
mengasihi orang lain? Karena Allah telah menyatakan kasih-Nya di dalam Kristus
yang telah mati di atas kayu salib. Riberu juga menyatakan,
“Kita tidak dapat berseru kepada Allah sebagai Bapa, apabila kita menolak
memperlakukan beberapa orang, yang diciptakan menurut citra Allah, sebagai
saudara. Hubungan manusia dengan Allah sebagai Bapa dan hubungan
manusia dengan manusia sebagai saudara terjalin sedemikian rupa, sehingga
Alkitab dalam firmannya: “Yang tidak mengasihi, tidak mengenal Allah” (1
Yohanes 4:8).43
Cara pandang seperti ini dapat membangun iklim yang kondusif untuk menyikapi hubungan umat Katolik dengan
komunitas lain khususnya Islam yang terkadang umat dari kedua agama ini terjebak dalam kesalahpahaman. Bahasan di atas
juga memberikan gambaran bahwa umat Katolik memiliki pandangan yang kooperatif dalam pemaknaan konsep persaudaraan
kasih mereka. Umat lain pun menjadi sasaran dari kasih yang sudah dipelopori oleh Yesus. Di sisi lain, pertentangan antara umat
Katolik dan komunitas lain juga mendapat respon yang mengedepankan semangat “memaafkan” dan membangun kembali “tali
persaudaraan”.
41
Mustoha, op. cit., h. 98 & 101.
“Dai dan Pendeta sejuta umat: Bicara Hubungan Muslim Kristen”, Narwastu 1, Th. IX, (16
Maret 2002), h. 27.
43
Riberu, op.cit., h. 289.
42
BAB III
KONSEP PERSAUDARAAN DALAM ISLAM
A. Persaudaraan Menurut Kitab Suci (Al-Qur’an)
Al-Quran memberikan perhatian besar terhadap konsep persaudaraan. Dengan
merujuk pada kata
(bahasa Arab yang berarti saudara) dan derivasinya,
akan dibahas pandangan al-qur’an tentang persaudaraan yang memiliki beberapa
pengertian. Al-Qur’an menyatakan bahwa hubungan persaudaraan antara manusia
dapat terjadi tidak hanya disebabkan oleh hubungan keturunan. Lebih luas dari itu,
hubungan keimanan juga dapat melahirkan tali persaudaraan, bahkan Islam sangat
serius memerintahkan orang-orang mukmin untuk memelihara persaudaraan mereka.
yang artinya persaudaraan pada mulanya berarti “persamaan dan
keserasian” dalam banyak hal. Persamaan dalam keturunan mengakibatkan
persaudaraan, dan persamaan dalam sifat-sifat juga mengakibatkan persaudaraan.
Dalam kamus-kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata
arti teman akrab atau sahabat. Dalam al-qur’an, kata
digunakan dalam
dalam
bentuk
tunggal
ditemukan sebanyak 52 kali, sebagian dalam arti saudara kandung seperti pada ayatayat yang berbicara tentang kewarisan dan sebagian lainnya dalam arti saudara
sebangsa walau tidak seagama seperti firman Allah dalam surat al-A’raf/7: 65:
”Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Ad saudara mereka, Hud”.44
Bentuk jamak dari kata
…….
di dalam al-quran ada dua macam. Pertama,
yang biasanya digunakan untuk persaudaraan dalam arti tidak sekandung.
Kata ini ditemukan sebanyak 22 kali, sebagian digabung dengan kata al-Din, seperti
dalam surah al-Taubah ayat 9: 11:
“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka
itu) adalah saudara-saudara kamu seagama”45
Dan sebagian lainnya tanpa kata al-Din seperti dalam surah al-Baqarah ayat 220.
Kedua, adalah
yang terdapat di dalam al-qur’an sebanyak 7 kali.46
Keseluruhannya digunakan untuk makna persaudaraan kecuali satu ayat surah alHujurat/49: 10.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah
kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”47
44
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, (Madinah: Mujamma’ Khadim al
Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy-Syarif, 1991), h.232
45
Ibid., h.279
46
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung : Mizan, 1994), cet. ke-6, h 357.
Pentingnya persaudaraan seiman dalam Islam sangat jelas terlihat dalam ayat
ini. Menurut al-Hujurat ayat 10 ini, bahwa orang-orang mukmin adalah bersaudara,
tidak perlu ada permusuhan dan perpecahan di dalamnya karena mempunyai
persamaan di dalam iman. Sehingga potensi-potensi yang mengarah kepada
perselisihan harus dihindari, dan jika terjadi perselisihan maka mukmin lainnya wajib
mendamaikannya.
Ayat tersebut menjadikan islah antar sesama saudara sebagai konsekuensi dari
persamaan iman.48 Ketika terjadi perselisihan di antara mereka sesungguhnya di
dalam keduanya ada kebenaran, tetapi kebenaran itu telah robek terbelah dua. Maka
harus ada golongan ketiga yang harus “mendamaikan diantara keduanya”. Lalu
ditunjukkan juga bagaimana usaha perdamaian agar berhasil, bertakwalah kepada
Allah. Maksud perkataan tersebut di dalam segala usaha mendamaikan itu tidak ada
maksud lain melainkan karena mengharap ridha Allah, karena kasih sayang yang
bersemi diantara mukmin dengan mukmin yang berselisih serta ada mukmin yang
mendamaikannya diantara orang yang berselisih dalam akhir ayat 10 ini dikatakan
bahwa akan mendapatkan rahmat.49
Demikian penting tali persaudaraan seiman dalam Islam sehingga al-quran
memandang perlu untuk membahas mengenai perselisihan yang dapat terjadi antara
47
Departemen Agama RI, op.cit., h. 846
Quraish Shibab,, op. cit ,h 360.
49
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz XXV-XXVI, h. 200.
48
sesama mukmin. Dalamnya tali persaudaraan seiman dalam Islam ini juga terlihat
dari perhatian Nabi untuk menyelamatkan saudara seiman meskipun dia zalim.
Dalam sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW bersabda:
‫ﻈُﻠ ْﻮﻣًﺎ‬
ْ ‫ك ﻇَﺎﻟِﻤًﺎ َا ْو َﻣ‬
َ ‫ﺼ ْﺮ َاﺧَﺎ‬
ُ ‫ُا ْﻧ‬
“Belalah saudaramu, baik ia berlaku aniaya maupun teraniaya”
Dalam riwayat yang lain nabi ditanya bagaimana cara membantu orang yang
menganiaya. Beliau menjawab:
(‫ﺼ َﺮ ُﻩ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎي ﻋﻦ اﻧﺲ‬
ْ ‫ﻚ َﻧ‬
َ ‫ن َذِﻟ‬
‫ﻈ ْﻠ ِﻢ َﻓِﺎ ﱠ‬
‫ﻦ اﻟ ﱡ‬
َ ‫ﺠﺰِم ِﻣ‬
ْ ‫ُﺗ‬
“Engkau halangi dia agar tidak berbuat aniaya, yang demikian itulah
pembelaan baginya” (HR Bukhori melalui Anas bin Malik).50
Faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas atau sempit adalah
persamaan. Semakin banyak persamaan akan semakin kokoh pula persaudaraan.
Persamaan rasa dan cita-cita merupakan faktor dominan yang mendahului lahirnya
persaudaraan hakiki, dan pada akhirnya menjadikan seseorang merasakan derita
saudaranya, mengulurkan tangan sebelum diminta, serta memperlakukan saudaranya
bukan atas dasar take and give tetapi seperti terungkap dalam al-qur’an, surat alHasyr 59: 9:
50
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1996), h. 488.
“Mengutamakan orang lain atas diri mereka, walau diri mereka sendiri
kekurangan”51 .
Demikianlah al-qur’an memandang bagaimana pokoknya persaudaraan seiman.
Diawali dengan rasa ketuhanan yang sama dan dikokohkan dengan cita-cita hidup
yang sejalan, al-qur’an menjadikan persaudaraan seiman sebagai tali yang harus
selalu dipelihara. Pemupukan semangat persaudaraan ini pada perkembangannya
akan dapat menumbuhkan jiwa seorang mukmin yang sejati di mana penghormatan
terhadap saudara mukmin menjadi sesuatu yang niscaya.
B. Pandangan Umat Islam tentang Hubungan Persaudaraan
Sebagai lanjutan dari bahasan sebelumnya, bagian ini akan melihat lebih
dalam bagaimana seharusnya persaudaraan dalam Islam dipelihara. Dengan
menjadikan keluarga sebagai pondasi masyarakat muslim, Islam memandang praktek
silaturrahmi sebagai energi yang mampu menjaga keutuhan persaudaraan. Lebih
dalam dari itu, faktor “hati” seorang muslim juga sangat berperan. Ketika masyarakat
muslim saling bertemu, adalah keniscayaan untuk menjaga niat dan hati mereka.
Ketika dua unsur itu baik maka ukhuwah yang dibangun akan memberikan manfaat
yang sangat besar bagi keberlangsungan hidup dan peradaban masyarakat muslim.
Quraish Shibab menyebutkan bahwa di antara faktor-faktor penunjang yang
akan melahirkan persaudaraan selain bahwa manusia adalah mahluk sosial adalah
51
Departemen Agama RI., op.cit., h. 917
perasaan tenang dan nyaman pada saat berada di antara sesamanya.52 Ketenangan dan
kenyamanan mustahil tercipta jika antara sesama tidak terjalin hubungan yang
harmonis. Begitu mendasarnya praktek silaturrahmi dalam Islam, maka dapat
dipahami ketika Nabi Muhammad menjadikan silaturahmi sebagai salah satu syarat
sempurnanya iman seseorang. Sabda Nabi:
Dari Abi Hurayrah r.a. bahwa Rosulullah saw bersabda: “…..Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia
menghubungkan tali persahabatan….” (Riwayat Bukhori-Muslim)53
Penekanan Islam pada silaturahmi adalah untuk memelihara keutuhan masyarakat
dalam berbagai bidang baik materil maupun spiritual. Islam mengokohkan
masyarakat muslim dengan cara yang sangat sempurna, yaitu dengan memperbaiki
partikel-partikel masyarakat terlebih dahulu.54 Keharmonisan hubungan antara
anggota masyarakat harus dipupuk dari elemen yang paling kecil. Oleh karenanya
Islam memerintahkan pemeluknya untuk membiasakan silaturahmi dan mencintai
keluarga dan kerabat. Upaya ini harus dimulai dari pengokohan pondasi
masyarakat, yaitu keluarga. Karena dengan kokohnya hubungan antara anggota
keluarga maka keutuhan masyarakat akan terpelihara. Tetapi silaturahmi tidak
semudah kata tersebut diucapkan.
Ada prasyarat fundamental yang menjadikan silaturahmi mempunyai nilai positif
demi kokohnya tali persaudaraan. Imam Asy-Syahid, seperti yang dikutip oleh AlKhotib dan Hamid,55 menjelaskan tingkatan-tingkatan ukhuwah:
“Tingkatan ukhuwah yang paling [dasar] adalah salamatush shadr yang
artinya bersihnya hati dari buruk sangka, dan yang tertinggi adalah Itsar yang
52
Ibid., h. 491.
Nawawiy, Riyadlus Shalihin, Jilid II, Terjemah: Drs. Muslich Shabir, (Semarang: Toha
Putra, 1981), h.285
54
Nasir Makarim Syirazi, Tafsir al-Amsal, (Jakarta: Gerbang Ilmu Press, 1992), Jilid ke-1, h.
123.
55
Muhammad Abdullah al Khotib dan Muhammad Abdul Halim Hamid, Konsep Pemikiran
Gerakan Ikhwan, (Bandung: Asy Syaamil Press, 2001), h. 196.
53
artinya mengutamakan orang lain. Maka berusahalah untuk membersihkan
hati dari berbagai prasangka buruk dan perasaan tidak enak terhadap saudara,
dan berjihadlah terhadap jiwa untuk mencapai tingkatan itsar.”
Silaturahmi yang dimulai antara anggota keluarga harus didasari dengan
kebersihan hati. Ketika hal tersebut tidak ada, maka silaturahmi (meski secara
bahasa mengandung pengertian yang positif) memiliki potensi merusak
persaudaraan.
Unsur-unsur yang menyebabkan terputusnya dan robohnya ukhuwah, digambarkan
tidak ubahnya seperti rayap yang merusak batang kayu. Orang harus mengetahui
“serangga” penghancur tersebut dan mengetahui bagaimana daya rusaknya
sehingga dapat dijauhi. “Serangga” yang dapat merobohkan bangunan
persaudaraan itu adalah hati yang tidak bersih yang memunculkan virus-virus
perusak seperti dengki, benci, ghibah, adu domba dan penyakit hati lainnya.
Nabi mendorong orang mukmin untuk tidak saling membenci, jangan saling
mengiri, jangan pula bertengkar. Nabi melukiskan keimanan mereka itu seperti
hubungan cinta yang begitu kuat, sehingga orang tidak bisa membedakan lagi
antara dirinya dengan saudara seiman. Nabi juga melarang sebuah perselisihan
sampai tiga malam berturut-turut. Yang berselisih sudah harus mampu menguasai
marahnya selama itu dan mereka sesudahnya kembali bersahabat.56
Seperti yang dikutip oleh Abdullah, Ibnu Qayyim memperingatkan akan efek
negatif dari pertemuan-pertemuan kurang bermanfaat:
“Berkumpul dengan saudara-saudara itu ada dua macam: Pertama, berkumpul
untuk menghabiskan waktu. Perkumpulan semacam ini mudharatnya lebih
banyak daripada manfaatnya karena hal ini dapat merusak hati dan menyianyiakan waktu. Kedua, berkumpul dengan sesama atas dasar tolong menolong
agar dapat meraih kesuksesan dan saling menasehati supaya menjalankan
kebenaran dan bersabar. Hal ini adalah ghanimah yang terbesar, tetapi di
dalamnya ada tiga penyakit: yang pertama, satu sama lain saling menunjukkan
kebaikannya. Kedua, berbicara dan berbaur lebih dari kebutuhan. Ketiga,
perkumpulan tersebut dapat menjadi sekedar syahwat dan kebiasaan yang
dapat memutuskan tujuan semula”.57
Jika perkumpulan macam pertama menjadi kebiasaan masyarakat muslim, maka
hal itu dapat merusak ikatan persaudaraan. Maka dari itu, perkumpulan sesama
muslim harus berdasarkan semangat tolong menolong untuk meraih kesuksesan
56
57
Sayyid Quthub, Jalan Menuju Kedamaian, (Jakarta: Cahaya Press, 1979), h. 117.
Abdullah, Merajut Ukhuwah Islamiyah, (Jakarta: Darul Haq, 2002), cet. ke-1, h. 48.
dan saling nasehat menasehati untuk mengerjakan kebenaran dan kesabaran.58
Apabila bertemu dengan sesama muslim harus menampakkan wajah yang berseriseri dan memberi senyuman karena yang demikian dapat menguatkan ukhuwah
dan menopangnya.59 Semangat yang baik ini harus didasari keinginan
mendapatkan ridho Allah. Upaya membiasakan diri memiliki hal itu memang tidak
mudah tetapi harus diperjuangkan melalui ketaatan diri menjadi hamba Allah.
Sesungguhnya penyebab perpecahan adalah meninggalkan perintah Allah dan
sikap aniaya, dan penyebab persatuan dan keterikatan adalah kesatuan agama dan
mengamalkannya secara keseluruhan, yaitu beribadah kepada Allah.60
Betapa besar manfaatnya menjalin hubungan antara mukmin karena mengharap
ridha Allah SWT. Hubungan antara mukmin menjadi kering dari manisnya nilai
iman manakala tidak diikuti dengan saling membantu baik dari segi materi,
pemikiran, dan bahkan doa. Meringankan penderitaan dan kesempitan sesama
mukmin menjadi ukuran dalam Islam tentang pertolongan Allah kepada mukmin
yang menolong saudaranya. Oleh karenanya, sifat kikir sangat dilarang dalam
Islam. Nabi Muhammad pernah bersabda:
Dari Jabir r.a. bahwa Rosulullah saw bersabda: ….. dan takutlah kamu
sekalian akan kikir karena sesungguhnya kekikiran itu telah membinasakan
orang-orang yang sebelum kamu… (Riwayat Muslim)61
Ketika tali persaudaraan semakin kuat, banyak sekali manfaat yang akan
didapatkan oleh anggota masyarakat. Energi cinta akan menyebar dalam hati
setiap mukmin yang akan menumbuhkan antara sesama semangat saling tolong
menolong, saling memuliakan kehormatan, saling memelihara harga diri dan harta,
saling menasehati untuk mentaati kebenaran dan kesabaran, serta menyuruh yang
ma’ruf dan mencegah yang munkar dan meninggalkan kedengkian pada saudara,
kebencian, serta mencari-cari kesalahan.62
Islam memberikan gambaran yang sangat sempurna mengenai bagaimana
seharusnya persaudaraan sesama mukmin, Nabi berkata:
58
Ibid., h. 49.
Ibid., h. 37.
60
Ibid.,h. 67.
61
Nawawiy, op.cit., h.470
62
Abdullah, Merajut Ukhuwah Islamiyah, (Jakarta: Darul Haq, 2002), cet. ke-1, h. 32.
59
Dari Nu’man bin Basyir berkata: Rosulullah saw bersabda: “Perumpamaan orangorang mukmin saling bersaudara, saling mengasihi ibarat satu tubuh. Jika ada
anggota badannya ada yang sakit maka seluruh badan akan merasakannya,
membuatnya tidak bisa tidur atau demam” (Riwayat Muslim)63
Ketika merasa bahwa seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka
seorang muslim tidak akan menzaliminya, tidak membiarkannya dan tidak
mencelakannya. Oleh karenanya, seorang muslim tidak dianggap beriman
sehingga mencintai saudaranya sebagaimana muslim itu mencintai dirinya sendiri;
seorang muslim tidak dianggap beriman, apabila tidur dalam keadaan kenyang
sementara tetangganya kelaparan, padahal orang itu tahu keadaannya. Pada diri
seorang muslim akan tumbuh kesadaran bahwa dengan ukhuwah tersebut orang
yang beriman seperti satu tubuh dalam derita dan harapan. Setiap muslim ketika
merasakan dalam jiwanya dan dalam nuraninya yang paling dalam, segala makna
ukhuwah yang murni tersebut, maka semua itu akan mendorongnya untuk
merealisasikan saling tolong menolong, solidaritas, saling kasih sayang, dan lebih
mementingkan saudaranya terutama terhadap semua orang yang diikat oleh
persaudaraan Islam dan seluruh orang yang dihimpun oleh ikatan iman. Terutama
jika mereka membutuhkan pihak yang dapat membebaskan kesedihan mereka,
membebaskan penderitaan mereka, meringankan musibah yang menimpa mereka,
dan menjamin mereka pada saat mereka lemah dan pada saat membutuhkan.64
Ukhuwah adalah kekuatan iman yang menumbuhkan perasaan simpati, hati yang
tulus, kecintaan, kasih sayang, penghargaan, penghormatan, dan saling percaya
antara orang-orang yang terikat dengan akidah tauhid dan Islam yang abadi.
Perasaan itu dapat menumbuhkan sikap saling tolong menolong, saling
mengutamakan orang lain, saling mengasihi, saling memaafkan, saling toleransi.
Semua itu merupakan konsekuensi logis dari keimanan, sebab tiada ukhuwah
tanpa keimanan dan tiada keimanan yang sempurna tanpa ukhuwah, sebagaimana
tiada persahabatan sejati tanpa ketaqwaan dan tiada taqwa tanpa persahabatan.65
Ikatan ukhuwah yang dibangun berdasarkan petunjuk al-quran dan al-sunah
merupakan faktor utama majunya ilmu dan peradaban. Jika di sana tidak ada
ikatan maka bagaimana mungkin terkumpul berbagai penemuan dan berkembang
63
Shahih Muslim, Jilid II, (Mesir: Matba’ah Isa Al-Baby al-Halaby, tth.), h.431
Abdullah, Merajut Ukhuwah Islamiyah, op. cit., h 45.
65
Muhammad Abdullah al Khotib dan Muhammad Abdul Halim Hamid, Konsep Pemikiran
Gerakan Ikhwan, (Bandung: Asy Syaamil Press, 2001), h. 194.
64
pemikiran untuk mengarah ke arah yang lebih baik untuk merealisasikan problem
yang ada dalam realitas.66
C. Pandangan Umat Islam tentang Hubungan Persaudaraan pada Komunitas
Lain
Bahwa Nabi Muhammad diutus oleh Allah sebagai rahmat untuk seluruh alam
mengindikasikan keuniversalan agama Islam. Sesuatu yang mustahil bahwa
seluruh manusia di muka bumi ini akan memeluk agam Islam. Oleh karena itu,
Islam menghormati dan menghargai pemeluk agama lain. Karena itu juga Islam
tidak memaksakan pemeluk agama lain untuk menjadi muslim. Memang harus
diakui bahwa antara agama-agama pasti terdapat perbedaan. Tetapi perbedaan itu
tidak menghilangkan persamaan-persamaan yang ada. Bertolak dari itu Islam
sangat menyadari dan menghormati adanya kemajemukan.
Islam adalah agama universal, menyandang dakwah bagi semua orang.
67
Dalam penyampaiannya tidak boleh ada unsur paksaan, sebab dikatakan dalam alqur’an, surat al-Nahl/16: 125.
“Serulah manusia kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik, dan bantahlah mereka dengan bantahan yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu, Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”68
Pengakuan Islam akan keberadaan agama-agama lain mengimplikasikan
penghormatan terhadap agama-agama tersebut. Islam melarang pemeluknya
mengejek atau mengolok-olok kaum yang lain, memanggil dengan gelar yang
buruk. Al-Qur’an memerintahkan untuk saling berbuat baik dan berlaku adil dalam
hidup bersama antara penganut yang berbeda.
66
67
h. 35.
68
Abdullah, Merajut Ukhuwah Islamiyah, op. cit., h. 46.
“Persaudaraan Adalah Hakikat Islam”, Hak Kerukunan, 92-93,Th. XVI, (Mei-Juni, 1995),
Departemen Agama RI, op.cit., h.421
Dalam al-qur’an surat al-Baqarah ayat 256 disebutkan bahwa “tidak ada paksaan
dalam agama.” Kebebasan beragama yang diungkapkan dalam al-qur’an ini
berkaitan dengan kebebasan memilih agama Islam atau selainnya. Seseorang
yang dengan sukarela serta penuh kesadaran telah memilih satu agama maka yang
bersangkutan telah berkewajiban untuk melaksanakan ajaran agama tersebut
secara sempurna. Manusia diberikan kebebasan oleh Allah untuk memilih dan
menetapkan jalan hidupnya, serta agama yang dianutnya, tetapi kebebasan ini
bukan berarti kebebasan memilih ajaran agamanya itu, mana yang dianut dan
mana yang ditolak, karena Tuhan tidak menurunkan satu agama untuk dibahas
oleh manusia dalam rangka memilih yang dianggapnya sesuai dan menolak yang
tidak sesuai.69 Tetapi Tuhan menurunkan agama untuk dipelajari oleh manusia
sebagai pedoman dengan menganut satu paham yang dibenarkan oleh prinsipprinsip agama.
Agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah agama samawi, yang masing-masing
mempunyai kitab suci dan nabi. Perbedaannya dengan Islam dan Yahudi bisa
dianggap perbedaan perkembangan bukan perbedaaan akar, karena itu pula harus
dianggap lebih dekat untuk diserukan kepada Islam.70 Apabila umat Katolik
maupun umat beragama yang lain sudah diserukan Islam tetapi mereka tetap tidak
ingin menganutnya maka biarkanlah mereka dengan agamanya masing-masing.
Allah tetap menyukai orang Islam berbaikan dengan mereka kecuali jika mereka
mengusir orang Islam dari Indonesia.71
Allah melarang umat Islam memaksa orang lain untuk menganut agama Islam.
Umat Islam dari awal menerima hidup dalam masyarakat dengan kemajemukan
agama yang ada. Sikap dasar tidak boleh berprasangka atau mengolok-olok orang
lain berlaku bagi sesama umat Islam dan juga bagi umat lain. Al-qur’an melarang
sikap prasangka terhadap orang lain, dan kita dilarang untuk mencari-cari
kesalahan orang lain dan menggunjing.
Banyak usaha untuk mencari titik temu antara agama-agama. Memang benar
bahwa terdapat kesamaan-kesamaan antara satu agama dengan agama lain. Tetapi
tidak dapat dipungkiri bahwa keimanan yang diajarkan oleh satu agama berbeda
dengan yang diajarkan oleh agama lain. Ketika usaha itu diarahkan untuk hal-hal
mendasar yang menyangkut keimanan maka yang muncul adalah kebenaran
subyektif, yaitu orang yang beragama Islam akan merasa bahwa agama Islam yang
paling benar dan mengganggap orang non Islam adalah kafir, dan sebaliknya.72
Maka dari itu sering terjadi usaha untuk mencari persamaan, tetapi sulit untuk
69
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, op. cit., h. 368.
Hasbullah Baqry, Pandangan Islam Tentang Kristen di Indonesia, (Jakarta: Akademika
Pressindo, 2000), cet. ke-2, h. 45.
71
Ibid., h. 46.
72
“Dai dan Pendeta Sejuta umat: Bicara Hubungan Muslim dan Kristen”, Narwastu 1, Th.IX,
(16 Maret 2002), h. 22.
70
mencari semangat kebersamaan. Mencari kebenaran bersama-sama seharusnya
diarahkan kepada hal-hal yang mendorong keakraban antara pemeluk agama,
seperti ajaran menghormati orang lain.
Bahasan dalam bab ini menggambarkan bagaimana sesungguhnya memandang
persaudaraan tidak hanya terbatas pada hubungan keturunan, tetapi lebih dari itu
hubungan seiman mendapat perhatian yang besar. Dengan didasari oleh kebersihan
hati persaudaraan seiman yang lebih dikenal dengan ukhuwah Islamiyah ini
diharapkan mampu memberikan manfaat yang besar kepada semua masyarakat
muslim. Bahkan, Islam juga membentangkan konsep ini kepada komunitas lain.
Hal ini terlihat dari penghormatan Islam terhadap kemajemukan agama yang
dianut manusia.
BAB IV
ANALISIS KONSEP PERSAUDARAAN
KATOLIK DAN ISLAM
Kebersamaan Sebagai Umat Beriman
Seperti yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya, pada dasarnya Islam dan
Katolik sama-sama memiliki pandangan yang menghargai kemajemukan umat
beragama. Semangat toleransi juga dijadikan oleh kedua agama sebagai acuan
untuk menjalin hubungan dengan agama lain. Namun demikian, kenyataan
berbicara lain ketika konflik-konflik bernuansa agama menimpa sebagian pemeluk
kedua agama ini. Ketika peristiwa-peristiwa tersebut ternyata juga menemukan
legalitasnya dari ajaran masing-masing, hal ini mengindikasikan adanya
penyelewengan penafsiran ajaran agama oleh kelompok-kelompok tertentu dalam
agama-agama tersebut.
Islam, bahkan seperti yang dipahami oleh tokoh Katolik A.A. Yewangoe,
merupakan agama yang sangat menjunjung semangat persaudaraan. Dia
menyebutkan bahwa “Nabi Muhammad sendiri selalu menganjurkan pengikutnya
untuk hidup berdampingan dengan saling menerima dan menghormati untuk dapat
meningkatkan toleransi”.73 Pada masa Nabi Muhammad unsur-unsur persaudaraan
begitu mencolok, tetapi pada perkembangan selanjutnya semangat itu sedikit demi
73
Fx. Hadisumarta, et.al., Hidup dalam Persaudaraan Sejati: Sudut Pandang Para Uskup,
(Jakarta: Bunga Rampai III, 2000), h.109
sedikit mengalami erosi. Apa yang dialami kedua pemeluk agama ini sepanjang
sejarah pada sebagian tempat adalah hubungan yang semakin memburuk dari
waktu ke waktu.
Dalam perjalanan sejarah usaha-usaha untuk mengakhiri hubungan yang
kurang harmonis itu sudah dilakukan. Konsili Vatikan II memulai pernyataannya
tentang Islam dengan mengatakan bahwa: “Orang Kristen sudah semestinya menaruh
hormat terhadap Muslim”. Dengan pesan suci ini terbuka peluang bagi kedua
komunitas ini untuk mengusahakan suatu persaudaraan antar iman agar masingmasing pemeluk kedua agama ini dapat hidup toleran dan saling memahami
eksistensi pemeluk lain apa adanya sebagai komunitas berbeda.74
Menyebarkan pandangan untuk menghormati dan menghargai agama Islam.
Hal ini adalah salah satu tujuan dari konsili Vatikan II. Tetapi usaha tersebut sampai
saat ini belum dihayati secara mendalam pada tingkat masyarakat awam. Oleh sebab
itu, usaha-usaha yang lebih keras untuk memberikan penjelasan dan pemahaman yang
lebih mendalam tentang hasil dari konsili Vatikan II terhadap masyarakat awam
merupakan hal yang krusial.75 Hal ini diperlukan agar ketika terjadi benih-benih
konflik dalam interaksi antara kedua pemeluk agama ini dapat didahulukan semangat
berdialog yang didasarkan atas rasa saling menghargai dan menghormati.
74
75
Ibid., h.333
Ibid., h.335
Hal yang sama juga terdapat dalam Islam. Ketika dihadapkan pada situasi
yang menuntut adanya komunikasi atau dialog yang mendukung semangat menjaga
keharmonisan, Islam dalam al-qur’an (al-Nahl ayat 125) memberikan acuan kepada
pemeluknya:
“Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik, dan bantahlah mereka dengan bantahan yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu, Dialah yang mengetahui orang-orang yang sesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Dalam ayat ini Allah SWT memberikan pedoman kepada Rasulullah tentang
cara mengajak manusia ke jalan yang benar. Di mana jalan itu tidak mengusik orang
lain dan tidak mengganggu ajaran agama lain. Menyeru dengan hikmah di mana
hikmah yang berupa pengetahuan itu dapat diyakini. Perkataan yang tepat dan benar
menjadi argumen untuk menjelaskan mana yang hak dan mana yang bukan. Apabila
mengalami suatu pertentangan dalam berargumen maka bantahlah dengan bantahan
yang baik pula dengan menghargai segala kemajemukan yang memang sudah ada.
Tidak baik memancing lawan dalam berdebat dengan kata yang tajam karena kondisi
yang demikian dapat menimbulkan suasana yang panas. Dalam menyampaikan pesan
moral pun haruslah dalam suasana yang damai.
Dalam ajaran Katolik, Yesus tidak menginginkan adanya perpecahan antara umat
manusia. Sebagai seorang juru selamat, dia adalah suri tauladan bagi pengikutnya
sebagai manusia yang menebarkan kasih terhadap sesamanya. Yesus selalu
memberikan perhatian yang besar terhadap umat manusia karena jalan yang ia
tunjukkan untuk menuju keselamatan adalah dengan menghindari permusuhan.
Dalam Alkitab Yesus menganjurkan: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri “(Mat. 22: 37-38). Dalam ayat ini Yesus menghimbau kepada umatnya
agar tidak pernah menciptakan suatu permusuhan dan konflik walaupun umat lain
mencoba memicu suatu permusuhan dengan memulai suatu kebencian, tetapi
Yesus melarang umatnya untuk membalasnya dengan kebencian juga. Yesus
menganjurkan kepada umatnya untuk meredam kebencian umat lain dengan rasa
kasih, dan bersikap baik kepada orang lain yang memusuhinya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai dua agama yang berbeda, antara Islam dan
Katolik memiliki perbedaan-perbedaan. Namun demikian, perbedaan-perbedaan
tersebut jika disikapi dengan bijaksana justru akan menumbuhkan semangat saling
menghargai dan menghormati antara kedua pemeluk agama, seperti bagaimana
kedua agama ini memandang Maryam dan puteranya Isa.
Dalam Dokumen Konsili Vatikan II pada bagian Deklarasi Sikap Gereja
Terhadap Agama-Agama Bukan Kristen dapat ditemukan bagaimana perbedaan
sebaiknya disikapi dengan arif; “Meskipun tidak mengakui Yesus sebagai Allah,
mereka (umat Islam-penulis) toh menghormati-Nya sebagai Nabi. Ibu-Nya perawan
Maria mereka hormati dan kadang-kadang bantuannya mereka mohonkan dengan
khusuk.”76
Oleh
karenanya
tepat
sekali
ketika
pastor-pastor
mahasiswa
menyelenggarakan Pekan Studi Islam memiliki catatan akhir yang salah satunya
adalah :”Pertentangan antar penganut agama lebih banyak terjadi bukan karena ajaran
agama tetapi karena kekuatan di luar agama, khususnya kekuatan ekonomi dan politik
yang menggunakan agama demi kepentingannya.”77
Dari uraian di atas dapat ditarik titik temu antara Katolik dan Islam.
Bagaimanapun tidak ada agama yang menginginkan permusuhan dan perpecahan.
Semua agama menginginkan persaudaraan dan kedamaian. Walaupun dengan caracara yang berbeda. Ayat-ayat dalam kitab suci menjelaskan secara berbeda tentang
persaudaraan tetapi mempunyai makna dan tujuan yang sama.
Tetapi nilai yang dijunjung tinggi oleh agama Islam dan Katolik itu tidak
secara baik dijalankan oleh sebagian pemeluknya. Pada beberapa tempat, semangat
persaudaraan itu kurang terrealisir, malah banyak bermunculan sikap saling menolak,
ekslusivisme, dan perseteruan.78 Rasa cinta kasih, persaudaraan antara kedua umat
beragama berubah menjadi aksi dan reaksi yang keras, banyak pemeluk agama
mengabaikan makna keimanan mereka yang sesungguhnya.79 Timbullah peristiwa76
J. Riberu, Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta: Obor, 1989), cet. ke-2, h.289.
“Pekan Studi Islam”, Hak Kerukunan, No. 96-97, Tahun XVII, (Jakarta: Januari-FebruariMaret 1996), h. 41-49.
78
Mahmud Mustofa Ayoub, Mengurai Konflik Muslim-Kristen: dalam Perspektif Islam,
(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), cet. I, h.216
79
Ibid., h. 217
77
peristiwa kerusuhan bernuansa agama yang berturut-turut di negeri kita. Dimulai dari
penghancuran gereja di Surabaya (Juni 1996), kemudian menyusul peristiwa
Situbondo di mana seorang pendeta bersama keluarganya ikut terbakar (Oktober
1996), Rengasdengklok (Januari 1997) dan beberapa tempat lainnya.
Menurut
catatan Forum Komunikasi Kristen Surabaya (FKKS ), jumlah gedung gereja-gereja
yang mengalami kerusakan telah mencapai lima ratus buah.80
Di samping peristiwa-peristiwa tersebut masih ada sejumlah kerusuhan lain
yang tidak kalah besarnya. Pada tanggal 22 November 1998, terjadi kerusuhan
Ketapang di Jakarta yang sebenarnya adalah perkelahian antar warga, namun
dampaknya mengakibatkan gedung gereja terbakar. Pada tanggal 30 November
sampai dengan 1 Desember 1998 meledak aksi masa di Kupang yang membakar
masjid-masjid dan kios-kios orang Bugis yang beragama Islam.81 Sebelum
permasalahan Kupang diselesaikan secara tuntas, muncul peristiwa Ambon yang jauh
lebih dahsyat. Saat itu orang-orang Islam berhadapan dengan orang-orang Nasrani
dalam sejumlah pertempuran yang memakan banyak korban. Kejadian ini
berlangsung berbulan-bulan.
Meskipun banyak yang menjelaskan bahwa peristiwa-peristiwa itu bukan
konflik agama namun kenyataannya tidak dapat disangkal bahwa ada nuansa-nuansa
80
Ibid., h. 218
A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), cet. ke-1,
81 81
h. 101
keagamaan di dalamnya.82 Ternyata umat beragama sendiri menyelewengkan ajaranajaran agama demi tujuan kelompok dan golongan, kemudian menafsirkan keadilan
dan perdamaian menurut penafsiran masing-masing. Agama diselewengkan oleh
pihak-pihak tertentu untuk tujuan yang tidak luhur, ajaran-ajaran tentang
persaudaraan, perdamaian dan keadilan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga
menjadi sempit dan picik.83 Keadaan ini tentu saja membahayakan upaya realisasi
persaudaraan antara umat beragama.
Hubungan Ideal Katolik dan Islam
Pada bagian ini akan dibahas bagaimana idealnya hubungan persaudaraan antara
Katolik dan Islam. Untuk melengkapinya, bagian ini akan mencoba membahas
pola sikap dalam kehidupan antara pemeluk dua agama ini. Secara garis besar
bagian ini akan mendiskusikan tiga hal: pertama, bagaimana kemungkinan pola
hubungan antara dua agama ini dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua, apa yang
semestinya menjadi agenda untuk dikembangkan oleh masing-masing agama, dan
terakhir, manfaat dan bentuk nyata dari hubungan baik antara dua agama ini.
Walaupun mempunyai keyakinan agama yang berbeda-beda, tetapi dipandang
dari asal muasalnya manusia adalah makhluk Tuhan yang berarti seluruhnya
adalah bersaudara. Rasa persaudaraan yang demikian bisa menjadi landasan bagi
tumbuhnya toleransi.84 Sejak semula, baik agama Katolik maupun Islam saling
82
Ibid., h. 100
Ibid., h. 102
84
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995), cet.
ke-1, h. 629.
83
mengklaim untuk membawa sebuah pesan yang universal, memberitakan
kebahagiaan yang diperuntukkan bagi seluruh umat manusia.85 Namun demikian,
apa yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat kurang mencerminkan semangat
persaudaraan tersebut. Yang sering terjadi di kalangan penganut agama adalah dua
bentuk sikap.
Pertama, saling menghargai dan menghormati yang lebih didasari oleh
kepentingan-kepentingan tertentu, seperti keinginan untuk mendapatkan keuntungan
politik dan ekonomi. Kedua, penghormatan terhadap penganut agama lain yang
muncul karena adanya kesadaran bahwa agama-agama yang dianut manusia di bumi
ini memiliki titik temu yang sangat mendasar.
86
Bentuk sikap pertama -meskipun
seringkali dibina secara dialogis dan mengusahakan saling tenggang rasa- rentan
dengan konflik terutama ketika emosi keagamaan lebih didahulukan dari pada usaha
dialog. Karena sikap semacam ini lebih memungkinkan untuk tidak jujur dalam
hubungan politik dan ekonomi. Sedangkan bentuk sikap kedua dilatarbelakangi oleh
kesadaran akan adanya titik temu yang mendasar di antara agama-agama. Sikap ini
dikembangkan dengan mempelajari secara mendalam usaha mencari titik temu
agama-agama tersebut. Sikap seperti ini biasanya mengedepankan kejujuran dan tidak
mengorbankan kerukunan dan kebersamaan antar umat beragama.87
85
Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Passing Over: Melintasi Batas Agama, (Jakarta:
Gramedia Pustaka dan Yayasan Wakaf Paramadina, 1999), cet. ke-2, h. 319.
86
Syahrim Harahap, Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-Qur’an dalam
Kehidupan Modern di Indonesia,( Yogyakarta: Tiara Wacana,1997), h.266.
87
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran op.cit., h .267.
Bertolak dari dua bentuk sikap di atas, adalah krusial bagi para pemeluk agama
untuk benar-benar memahami apa yang dimaksud dengan kerukunan. Kerukunan
yang dipaksakan dari luar, seperti melalui ancaman-ancaman atau larangan-larangan
hanya efektif untuk menekan konflik namun tidak pernah dapat mewujudkan
kerukunan. Kerukunan yang demikian adalah kerukunan semu.
Kerukunan pertama-tama merupakan kesadaran internal yang didorong oleh
kasih dengan tidak menghilangkan perbedaan dan kebebasan.88 Kerukunan yang
sesungguhnya adalah kerukunan yang keluar dari hati yang tulus dan bersikap
dinamis, yaitu orang hidup tidak sekedar hidup berdampingan, lebih dari itu
kerukunan yang di dalamnya terdapat kelompok-kelompok yang berbeda secara
proaktif, dinamis, serta kreatif terlibat dalam interaksi yang terus menerus untuk
menggali persamaan yang mendukung semangat persaudaraan.
Demi tersosialisasinya pemahaman kerukunan semacam ini, maka para
pemimpin dari masing-masing agama memiliki peran yang sangat penting. Ketika
banyak kerusuhan-kerusuhan terjadi seringkali diawali dari distorsi pemahaman
ajaran agama yang justru membahayakan terbinanya hubungan dengan agama lain.
Dalam Islam misalnya, adalah urgen untuk melihat bagaimana sebenarnya ajaran
Islam yang bersangkutan dengan masalah kerukunan beragama. Kebenaran agama
tidak perlu harus dibuktikan dengan sekian banyak kata yang tampaknya membela
88
Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, op.cit., h.33.
Allah tetapi pada penghayatan dan pengamalannya sehari-hari tidak terrealisasikan.89
Para pemimpin Islam sendiri khususnya para ulama dan mubaligh, untuk tidak hanya
mengemukakan bahwa Islam adalah agama yang toleran yang menghargai agama
lain. Tetapi berprakarsa untuk mencari cara yang lebih efektif dari sekedar ceramah
agar pemahaman seperti itu dapat dimiliki oleh pemeluknya secara utuh sampai pada
ranah afektif sebagai nilai ibadah yang diamalkan oleh semua lapisan umat Islam.90
Tujuan hidup beragama pada esensinya adalah membina diri agar berjiwa suci
dan berakhlak tinggi. Intoleransi dan menyakiti sesama adalah hal yang tidak baik.
Agama menganjurkan perdamaian, sedangkan intoleransi dapat menimbulkan
ketegangan, dan ini adalah suatu hal yang bertentangan dengan agama.91 Banyak
tema-tema sentral yang dapat dikembangkan oleh masing-masing agama yang
mengutamakan pelaksanaan ajaran-ajaran yang membawa kepada toleransi kepada
agama, dan menjauhi perpecahan. Di antara usaha-usaha itu adalah menumbuhkan
upaya melihat kebenaran yang ada di dalam agama lain, memperkecil perbedaan yang
ada dalam agama lain, menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama,
memupuk rasa persaudaraan dalam satu Tuhan, memusatkan usaha pada pembinaan
individu-individu masyarakat manusia. 92
Bentuk perwujudannya yaitu bersama-sama berusaha menciptakan sebuah
komunitas yang didasari keadilan dan keprihatinan berlandaskan kasih terhadap
89
Quraish Shihab, Kerukunan Beragama: Dari Perspektif Negara, Ham, dan Agama-agama,
( Jakarta: MUI, 1996), h. 47.
90
Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, op.cit.,h.194.
91
Harun Nasution, Islam Rasional: op. cit. h .267.
92
Ibid, h. 275.
sesama, sehingga secara bersama pula berjuang untuk mencapai kualitas hidup yang
lebih tinggi bagi semua orang.93 Untuk membentuk komunitas ini tidak harus dengan
mencari kecocokan latar belakang tingkat pendidikan yang diasumsikan dapat
mempersatukan namun belum tentu dapat menjadi dasar dari sebuah komunitas.94
Ada hal lain yang lebih penting, yaitu ketulusan hati untuk menyadari bahwa semua
manusia adalah mahluk yang diciptakan oleh Tuhan. Di sini harus dipahami bahwa
kebersamaan tidak perlu selalu diartikan memiliki kesamaan-kesamaan secara fisik,
melainkan harus ditumbuhkan dari adanya ikatan cinta dan kasih yang
mempersatukan manusia satu sama lain.95
Pembauran dengan komunitas lain agama perlu ditumbuhkan. Seorang beriman
ketika berada bersama umat lain agama telah membuka jalan untuk menumbuhkan
benih persaudaraan. Saat itu dia membiarkan diri disapa oleh kehadiran orang lain. Di
sini orang beriman dituntut untuk berusaha mengerti, memahami, dan bersedia
diperkaya oleh orang lain tanpa merasa takut. Dengan sikap seperti ini, diharapkan
orang beriman sanggup secara jujur terbuka mendalami agamanya sehingga dapat
menawarkan kepada orang lain demi kebaikan masyarakatnya dan sekaligus terbuka
untuk menerima kebenaran dari orang yang beragama lain.96 Suatu hal yang harus
ditekankan adalah pertemuan diantara orang-orang yang beriman tidak bertolak dari
93
36.
94
A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), cet. ke-1, h.
Henri J.M. Nouwen, Cakrawala Hidup Baru, (Yogyakarta: Kanisus, 1986), cet. ke-I, h. 47.
Ibid, h. 49.
96
Mustoha, Bingkai Teologi Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia ,(Jakarta: Depag,
1997), h. 114.
95
suatu nilai atau kebenaran dari agama tertentu. Dasar yang harus dipegang adalah
keprihatinan bersama terhadap nasib manusia yang menjalani sejarahnya ini.97
Demi mewujudkan hal tersebut, kerjasama perlu diwujudkan terlebih dahulu
untuk memperbaiki hubungan yang kurang lancar antara kedua agama. Untuk hal ini
perlu diadakan musyawarah antar pemuka-pemuka Islam dan Katolik serta Protestan
untuk menciptakan kebersamaan.98 Sejak Konsili Vatikan II dirumuskan, panggilan
untuk berdialog semakin menjadi hal penting dalam hidup keagamaan. Surat gembala
(1997) yang disampaikan oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) menegaskan
hal tersebut dalam hubungan umat beragama dan kepercayaan lain, umat Katolik
dituntut agar lebih terbuka dan positif khusus dalam hubungan dengan umat Islam,
dikatakan bahwa banyak sekali hal-hal yang menyangkut kepercayaan dan moral
yang mempersekutukan kita.99
Di Indonesia khususnya, Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar
penduduk, keberadaan agama ini tidak mungkin dan tidak boleh diabaikan. Karena
itu, umat Katolik dan umat beragama lain di Indonesia harus mempunyai sikap
yang positif di dalam benaknya bahwa Islam bukan musuh. Sebaliknya Islam
adalah mitra dalam perjalanan bersama sejarah umat manusia, khususnya
perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Pemeluk Kristen dan Katolik harus
memberanikan diri keluar dari pandangan yang masih sempit untuk selanjutnya
97
A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, op. cit., h. 107.
Ibid, h. 278.
99
Ibid, h. 53.
98
membangun jembatan pengertian dan solidaritas dengan golongan-golongan yang
beragama lain di masa depan.
Lebih dalam dari itu, memahami ajaran agama lain juga perlu ditumbuhkan.
Memahami tidak harus memeluk dan meyakini ajaran suatu agama sebagai penganut
agama tersebut meyakininya, namun hal ini dapat membuat orang beriman mengerti
mengapa saudara-saudara yang beragama lain melaksanakan ajaran agamanya.
Contohnya, bagaimana pemeluk Katolik memahami saudaranya yang muslim
melaksanakan
shalat lima kali
sehari, puasa, dan haji. Begitu pula sebaliknya
terrhadap yang beragama Katolik umat Islam berupaya mengerti mengapa umat
Katolik menghormati hostia sebagai tubuh Kristus.
Gambaran di atas tentu saja belum sepenuhnya mencakup berbagai pokok
penting dalam berbagai ajaran agama-agama tersebut. Namun setidaknya, dengan
pengetahuan yang sedikit dapat membantu pemeluk satu agama untuk menghindari
pandangan-pandangan picik dan sempit mengenai agama-agama lain. Yaitu
pandangan yang dapat melecehkan agama lain dan memancing konflik-konflik fisik
dan dapat meruntuhkan tatanan masyarakat yang telah dibangun bersama-sama
selama bertahun-tahun.100 Sangat tidak etis dan juga tidak bermanfaat untuk
membuktikan kebenaran agama sendiri dengan merendahkan agama-agama lain.
Ketika dalam memahami agama lain seorang muslim atau Katolik menemui
titik perbedaan mendasar dengan agamanya, maka semangat toleransi harus
100
Ibid, h. 90.
didahulukan. Dalam berinteraksi sosial bila tidak ditemukan persamaan hendaknya
masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan.
Jalinan persaudaraan antara umat beragama sama sekali tidak dilarang dalam Islam
selama
pihak
lain
menghormati
hak-hak
kaum
muslim.101
Permasalahan-
permasalahan tersebut harus dihindari untuk dijadikan pemicu pertentangan atau
permusuhan antara pemeluk agama yang berbeda. Terkadang muncul kecenderungan
pada sebagian pemeluk agama untuk merendahkan agama lain. Mereka menyatakan
klaim yang absolut atas kebenaran agamanya. Klaim absolut ini, yang ditumbuhkan
dari semangat keagamaan yang berlebihan, sama sekali bertentangan dengan prinsip
dasar kedua ajaran agama itu, yakni bahwa Tuhan menciptakan umat manusia dan
Dia adalah Tuhan yang menyayangi umatnya yang memberikan kepada masingmasing umat petunjuk dan penyelamat.
Ketika upaya menumbuhkan kesadaran untuk menjalin persaudaraan dengan
cara memahami ajaran agama lain seperti didiskusikan di atas, maka diharapkan
antara pemeluk agama dapat menghindari hal-hal yang dapat memunculkan hubungan
yang kurang mesra, meskipun kegiatan itu berbentuk keagamaan. Kegiatan
keagamaan yang dapat menimbulkan benturan dibidang kerukunan antar umat
beragama antara lain yang pertama adalah pelecehan terhadap agama seperti firman
Allah dalam surat al-An’am/5: 108:
101
Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, op.cit., h.194.
”Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki
Allah dengan melampau batas tanpa pengatahuan. Demikianlah kamu jadikan semua umat menganggap baik pekerjaan
mereka kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memerintahkan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan”
Kemudian, pendirian
tempat
beribadah
yang
didirikan
tanpa
mempertimbangkan situasi dan kondisi lingkungan umat beragama setempat sering
menciptakan ketidakharmonisan.102 Penyiaran agama yang ditujukan kepada orang
yang telah memeluk agama lain dengan cara-cara yang tidak sesuai.103 Masalah lain
yang berpotensi untuk memecah belah adalah karakter dari misionaris atau dakwah
baik Islam maupun Katolik Umat Katolik dan Islam harus saling menghormati dan
mereka mempunyai tugas untuk menyebarkan keyakinan agama mereka, untuk
mengajak umat manusia ke jalan yang benar. Karena itu, terkadang misi dan dakwah
telah menjadi salah satu sebab dari ketegangan yang tajam.
Ketika hal-hal rawan tersebut dapat dihindari oleh masing-masing pemeluk
agama, upaya untuk menciptakan persaudaraan yang harmonis akan memberikan
manfaat yang besar bagi semua pihak. Dengan adanya kebersamaan antara umat
beragama, maka dorongan untuk saling membantu jika umat yang beragama lain
ditimpa musibah akan lebih mudah dikembangkan. Saat itu sisi kemanusiaan akan
102
103
Mustoha, Bingkai Teologi, op.cit., h. 43.
Ibid, h. 44.
lebih berperan bukannya perbedaan agama yang menjadi pertimbangan untuk saling
menolong terhadap penganut agama lain.104
Jalinan antara umat Katolik dengan umat Islam telah diwujudkan melalui bentuk
karya yang konkret, antara lain melalui sekolah-sekolah Katolik dan rumah sakit
yang dikelola oleh lembaga Katolik sejak sebelum kemerdekaan hingga saat
sekarang ini. Kebanyakan murid di sekolah Katolik, terutama di kota kecil dan di
pedesaan beragama Islam atau agama lain. Demikian pula rumah sakit mereka
dengan pasien dan tenaga medis dan non medis sebagian besar adalah bukan
beragama Katolik. Dengan demikian sebenarnya persaudaraan sejati lewat karya
pendidikan dan karya kesehatan sudah ada sejak bertahun-tahun, hanya mungkin
hal ini tidak selalu disadari sebagai bentuk dialog antar umat beragama.105
Dalam perkembangan selanjutnya kita lihat juga bahwa lewat karya –karya sosial
di keuskupan Surabaya diadakan aksi pembagian sembako kepada masyarakat
umum. Dalam pelaksanaannya juga dilibatkan aparat pemerintah setempat atau
umat beragama lain, hal ini dilaksanakan untuk menghindari anggapan atau kesan
bahwa ini merupakan usaha kristenisasi lewat aksi sosial. Di Surabaya sudah sejak
beberapa tahun, dan masih berlaku hingga sekarang ada dua paroki yang
mengadakan warung murah untuk para tukang becak, yakni di paroki Katedral
bernama warung Broto dan di Paroki Redemptor Mundi, Surabaya, warung Praja.
104
A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, op. cit., h. 31.
Fx. Hadisumarta, et.al., op.cit., h.109
105
Warung ini dibuka seminggu tiga kali dan dilayani oleh seksi sosial paroki. Di
samping itu juga diadakan gerakan menabung atau koperasi untuk para tukang
becak serta buruh kecil. Sebagian besar dari mereka adalah umat Islam dan umat
lain.
Dalam rangka mengatasi rawan pangan, dari Jakarta bekerja sama dengan NU
Rembang dan Pastor paroki Rembang, Romo Parnun, disalurkan pembagian bantuan
sumbangan. Lewat karya ini terjalin hubungan yang lebih akrab antara umat Katolik
dengan umat Islam. Sekarang di paroki tersebut juga sedang dirintis usaha bersama
yang melibatkan umat dari berbagai agama. Pendekatan lewat jalur sosial ekonomi
merupakan sarana yang baik untuk mempererat jalinan persaudaraan antar umat
beragama.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa memang ada potensipotensi bagi terjadinya konflik antara pemeluk Islam dan Katolik. Namun demikian,
potensi yang mengarah kepada pembinaan persaudaraan antara kedua pemeluk agama
juga ada, bahkan sudah terlaksana sejak lama. Melihat hal tersebut, maka sudah
waktunya untuk mengedepankan upaya-upaya menghilangkan sisa-sisa sentimen
agama yang sempat terjadi, dan lebih memfokuskan kepada pengokohan tali
persaudaraan yang memang sama-sama dianjurkan oleh kedua agama.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sesuai dengan batasan dan rumusan masalah yang telah ditentukan pada bab I, bab
penutup ini akan mencoba memberikan kesimpulan yang sekaligus menjadi
jawaban dari permasalahan yang menjadi fokus dari skripsi ini.
Persaudaraan dalam Katolik dapat dipahami dari konsep persaudaraan sejati
yang bersumber dari ajaran Yesus. Persaudaraan sejati meliputi semua orang yang
melakukan kehendak tuhan Bapa di surga. Dengan melakukan hal tersebut, mereka
adalah saudara Yesus Kristus. Inti persaudaraan sejati adalah kasih yang murni. Kasih
yang bersumber dari Allah harus disebarkan kepada sesama, dan ini dimulai dengan
perhatian kecil, yang menunjukkan kerelaan dan keikhlasan seseorang untuk
membantu sesamanya. Dengan konsep ini, persaudaraan dalam Katolik sesungguhnya
memiliki semangat menghormati dan menghargai pemeluk agama lain.
Sedangkan persaudaraan dalam Islam pertama-tama harus didasarkan pada
persaudaraan seiman. Al-Qur’an menjadikan persaudaraan seiman sebagai tali yang
harus selalu dipelihara, karena kokohnya kebersamaan dalam ukhuwah Islamiyah
akan menciptakan energi yang dapat menolong seorang muslim untuk mentaati ajaran
agamanya. Ketaatan ini lah yang selanjutnya akan menjadikan seorang muslim
menyadari dan dapat mengamalkan pesan universal Islam sebagai agama pembawa
rahmat kepada seluruh alam. Seorang muslim sejati yang menyadari bahwa dirinya
adalah pembawa rahmat kepada sesamanya dan bahwa kemajemukan agama
merupakan suatu keniscayaan alam, akan mampu menjunjung tinggi penghargaan dan
toleransi terhadap agama lain.
Merujuk kepada dua alenia di atas maka hubungan ideal Katolik dan Islam
akan dapat terwujud melalui beberapa hal, yaitu: pertama, pemahaman yang benar
dari kedua pemeluk agama tentang kerukunan yang sesungguhnya. Yaitu kerukunan
yang keluar dari hati yang tulus mengenai penghormatan dan penghargaan terhadap
pemeluk agama lain, bahkan yang memunculkan semangat menolong terhadap umat
lain agama. Kedua, usaha untuk memahami secara umum ajaran agama lain. Hal ini
menjadi penting karena dengan memahami amalan pemeluk agama lain, maka
peluang untuk menemukan titik kesamaan dalam cita-cita yang ingin dicapai oleh
masing-masing agama akan terbuka.
Oleh karenanya, maka yang ketiga, studi tentang persaudaraan Katolik dan
Islam ini memandang krusial usaha-usaha dialogis untuk mencari lebih banyak
persamaan yang dapat ditemukan antara kedua agama ini. Hal ini juga dilakukan
untuk memperkecil perbedaan yang ada demi memupuk rasa persaudaraan antara
pemeluk kedua agama ini. Usaha-usaha ini pada kelanjutannya diharapkan mampu
menumbuhkan lebih banyak lagi bentuk-bentuk kerjasama untuk saling membantu di
antara umat Katolik dan Islam.
B. Saran
Melengkapi kesimpulan yang telah disebutkan di atas, penulis ingin
memberikan saran sebagai pertimbangan kepada beberapa pihak. Pertama, kepada
Departemen Agama dalam hal ini UIN Jakarta untuk lebih menciptakan peluangpeluang demi terwujudnya kerukunan antara pemeluk Katolik dan Islam. Beberapa
hal yang mungkin dapat dilakukan ialah mengadakan kegiatan-kegiatan yang bersifat
ilmiah ataupun sosial yang melibatkan kedua pemeluk agama, seperti seminar
mencari titik temu agama-agama, internalisasi program pemupukan persaudaraan
dengan umat Katolik dalam Kuliah Kerja Nyata, dan lain-lain. UIN juga harus lebih
memperbanyak literatur pada perpustakaan kampus yang membantu upaya
menciptakan hubungan yang harmonis antara Katolik dan Islam.
Saran kedua penulis tujukan kepada para pemimpin dari kedua agama ini
untuk lebih mengembangkan cara-cara yang dapat mendukung tumbuhnya semangat
menghormati pemeluk agama lain. Ceramah-ceramah agama sudah seharusnya lebih
menekankan pemahaman ajaran agama sendiri secara arif, dan tidak menyinggung
hal-hal sensitif yang dapat memicu emosi keagamaan pemeluk agama lain. Kegiatankegiatan yang mengarah pada upaya internalisasi nilai-nilai kasih sayang (rahmah) ke
dalam diri seorang muslim mendesak untuk ditumbuhkembangkan. Dan kepada umat
Katolik lebih membangun sikap saling bekerja sama dan tidak menutup diri sebagai
umat minoritas. Ajaran-ajaran Katolik yang mendorong tumbuhnya semangat saling
mengasihi antara sesama umat manusia harus lebih ditampakkan terhadap saudarasaudara muslim, sehingga kedua pemeluk agama ini dapat lebih menyadari bahwa
agama mereka sesungguhnya menginginkan mereka hidup bersaudara saling hormat
menghormati dan kasih mengasihi.
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1996, Cet. Ke-3.
Al-Munjid Fil Lughoh Wal A’lam, Beirut, Libanon: Dar el Machreq Sarl Publisher,
1994.
Abdullah, Merajut Ukhuwah Islamiyah, Jakarta: Darul Haq, 2002, Cet. Ke-1.
Ayoub, Mustafa Mahmoud, Mengurai Konflik Muslim-Kristen dalam Perspektif
Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001, Cet. Ke-1.
Anwar, Syafi’i, Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru,
Jakarta: Paramadina, 1995, Cet. Ke-1.
Budypranata, Al., Kunjungan Membangun Persaudaraan, Yogyakarta: Kanisius,
1998.
Bakry, Hasbullah, Pandangan Islam tentang Kristen di Indonesia, Jakarta:
Akademika Pressindo, 2002, Cet. Ke-2.
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, Madinah: Mujamma’ Khadim
al Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy-Syarif,
1991.
Duke, William H., Memuaskan Jiwa yang Lapar, Bandung: Yayasan Baptis
Indonesia, 1995, Cet. Ke-1.
“Dai dan Pendeta Sejuta Umat: Bicara Hubungan Muslim dan Kristen”, Narwastu, 1,
Th. IX, 16 Maret 2001.
Groenen C., Mariologi: Teologi dan Devosi, Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Hadisumarta, FX., et.al., Hidup dalam Persaudaraan Sejati: Sudut Pandang Para
Uskup, Jakarta: Bunga Rampai III, 2000.
Haag, Herbert, Kamus Alkitab, Flores: Nusa Indah, 1980, Cet. Ke-1.
Hayon, Niko, Cinta yang Mengabdi, Flores: Nusa Indah, 1989, Cet. Ke-1.
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz. XXV-XXVI, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
Harahap, Syahrin, Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-Qur’an dalam
Kehidupan Modern di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Hidayat, Komaruddin, dan Ahmad Gaus AF., Passing Over: Melintasi Batas-batas
Agama, Jakarta: Gramedia, dan Yayasan Wakaf Paramadina, 1999, Cet. Ke-2.
Hadiwikarta, J., Sikap Gereja Terhadap Para Pengikut Agama-agama Lain, Jakarta:
Obor, 1985, Cet. Ke-1.
Imam, Nawawi Al-, Terjemahan Ma’mur Daud, Terjemahan Hadits Shahih Muslim,
Malaysia: Klang Book Centre, 1990, Jilid 1.
Jaelani, Abdul Kadir, Agama dan Separatisme Menjadi Landasan Konflik Maluku
dan Poso, Jakarta: Yayasan Pengkajian Islam Madinah al-Munawarah, 2001,
Cet. Ke-1.
Khalid, Muhammad Khalid, Memperbaiki Kembali Hubungan dengan Sesama
Makhluk: Menurut Bimbingan Rasulullah, Jakarta: Pustaka Arafah, 2002, cet.
Ke-1.
Khotib, Abdullah Muhammad Al-, dan Muhammad Abdul Halim Hamid, Konsep
Pemikiran Gerakan Ikhwan, Bandung: asy-Syaamil Press, 2001.
Mustofa, Bingkai Teologi Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Jakarta: Depag,
1997.
Nasution, Harun, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1995,
Cet. Ke-1.
Nawawiy, Riyadlus Shalihin, Jilid I, Terjemah: Drs. Muslich Shabir, (Semarang:
Toha Putra, 1981)
Nouwen, J.M. Henry, Cakrawala Hidup Baru, Yogyakarta: Kanisius, 1986.
Pekan Doa untuk Kesatuan Umat, Hak Kerukunan, 63, Th. XI, Januari-Februari,
1990.
“Persaudaraan adalah Hakikat Islam”, Hak Kerukunan, 92-93, Th. XVI, Mei-Juni,
1995.
Quthub, Sayyid, Jalan Menuju Kedamaian, Jakarta: Cahaya Press, 1979.
Riberu, J., Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1989, Cet. Ke-2.
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994, Cet. Ke-1.
, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996
, Kerukunan Beragama: dari Perspektif Negara, HAM, dan Agama-agama,
Jakarta MUI, 1996.
Download