Dogmatika Kaum Pluralis

advertisement
Dogmatika Kaum Pluralis
1. Bibliologi dan Hermeneutika
Dasar berpijak kaum Pluralisme dalam hal doktrin bibliologi
merupakan suatu paham yang mereka anut dari kelompok Liberal.
Teolog
Liberal
dalam
perkembangan
teologinya
berusaha
membebaskan manusia Kristen dari pemikiran yang berbau imani
dan tradisi serta mencoba mengikuti pola manusia modern yang
dianggap telah lahir baru dan mampu menggunakan rasionya dalam
penelitian Alkitab. Dalam penafsiran terhadap Alkitab akhirnya
membuat mereka bukan semakin menjunjung tinggi Alkitab tetapi
malah mengadakan kritik kedalamnya. Akhirnya muncullah kritik
histories terhadap Alkitab yang bermula dari usaha para penafsir
untuk mengerti kondisi sejarah penulisan kitab - kitab. Namun
pengaruh filsafat mengendalikan penelitian tersebut sehingga
mengabaikan unsur religius dan supranatural. Dari kritik historis ini,
lahirlah teori dua sumber atas kritik Pentateukh oleh Jean Astruc.
Kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yang menunjuk
pada dewa Hermes, seorang utusan yang memiliki tugas
menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas Hermes adalah
menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus (di
langit) ke dalam bahasa yang dimengerti oleh manusia (di bumi).
Fungsi Hermes menjadi penting karena bila terjadi kesalahpahaman
tentang pesan-pesan dewa akan berakibat fatal bagi kehidupan
manusia.
Hermeneutika pada awal perkembangannya dikenal sebagai
gerakan eksegesis dikalangan gereja dan kemudian berkembang
menjadi bagian dari filsafat bahasa (tentang) penafsiran. Namun
hermeneutika sebagai disiplin filsafat bisa dipahami melalui dua
pengertian. Pertama, memahami hermeneutika sebagai prinsipprinsip metodologis, yakni sebagai usaha yang mendasari kegiatan
penafsiran. Kedua, memahami hermeneutika sebagai eksplorasi
filosofis tentang karakter dan kondisi yang diperlukan bagi semua
bentuk
pemahaman.
Carl
Braaten
kemudian
berusaha
mengakomodasi kedua pengertian tersebut menjadi satu dengan
menjelaskan bahwa hermeneutikan adalah ilmu yang merefleksikan
bagaimana suatu kata ataupun suatu peristiwa pada waktu dan
budaya masa lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara
eksistensial dalam situasi kita pada masa sekarang.
Sistem hermeneutika golongan rasionalisme yang kemudian
dianut oleh pluralisme, sangat dipengaruhi oleh semangat
renaissance, rasionalisme filosofis yang diwakili oleh Rene Descartes
(1596-1650), Thomas Hobbes (1588-1679), Baruch Spinoza (16321677), dan John Locke (1632-1704), system hermeneutika ini sebagai
usaha menghapuskan otoritas gereja.
Prinsip yang menjadi tolok ukur berpikir mereka adalah bahwa
semangat apapun yang tidak sejalan dengan educated mentality
harus ditolak. Educated mentality dupahami sebagai sikap
kedewasaan rasional. Dalam pemikiran ini, jelas bahwa kaum
beriman (kristianitas) ketika berbicara bahwa “Allah bersabda” semua
harus mendengarkan. Sikap ini dikecam oleh kaum rasionalisme dan
memposisikan pemikiran ini sebagai kelompok autoritarianisme
dengan dasar asumsi “siapapun yang berbicara dengan dan/atau
atas otoritas adalah suatu kenaifan atau kebodohan.
Teolog-teolog rasionalisme mula-mulai adalah Von Wolf (16791754) Herman Samuel Reimarus (1694-1768), dan oleh Gotthold
Ephraim Lessing dengan memasukkan penyataan Alkitab ke dalam
penyataan umum (Wolf) dan menjadikan penyataan umum sebagai
sumber kekristenan secara menyeluruh (Reimarus). Iman dan akal
budi dipandang sebagai incompatable and irreconcilable – tidak dapat
bersama dan tidak dapat diperdamaikan. Dalam hal ini iman
menundukan diri di bawah akal budi – rasio menjadi superior. Abad
XIX merupakan puncaknya di mana alkitab diperlakukan radikal
dengan munculnya penafsiran liberal dan ditandai dengan:
a. Penolakan terhadap penyataan supranatural dan khusus
b. Penolakan terhadap doktrin ortodoks tentang inspirasi alkitab
c. Komitmen terhadap keunggulan rasionalisme
d. Menegaskan bahwa kekristenan adalah produk dari perkembangan
agamawi dan hanya menekankan arti moral dan etis (Wellhausen,
Scleiermacher dan Ristchl)
e. Komitmen terhadap prinsip kritik histories dan mempelajari alkitab
berdasarkan prinsip arkeologis dan geologis (Harnack) dan
berkembang dalam kritik bentuk yang dipengaruhi oleh pre-literary
theory sebagai metode untuk memilih bahan-bahan Perjanjian Baru
f. Mengambil Perjanjian Baru sebagai ciptaan orang-orang Kristen
abad pertama di dalam tradisi lisan yang kemudian berkembang
dalam bentuknya yang sekarang ini (Gunkel, Dibelius, Schmidt,
Bultmann, dan rekan-rekannya).
Pada perkembangan selanjutnya, F.D.E Schleiermacher
kemudian dianggap sebagai Bapak Hermeneutika Modern karena
dialah
yang
membangkitkan
kembali
pemikiran
tentang
hermeneutika dan membakukannya sebagai metode umum
penafsiran, yang tidak hanya terbatas pada sumber-sumber teologis
seperti kitab suci, ucapan dan perbuatan Nabi, kesepakatan para ahli
agama maupun pada karya-karya sastra. Rintisan awal ini kemudian
dilanjutkan oleh Wilhelm Dilthey yang menggagas hermeneutika
sebagai ilmu-ilmu kemanusiaan. Pada periode selanjutnya, HansGeorge Gadamer 1 juga ikut mengembangkannya menjadi metode
1 Richard, E. Palmer, Hermeneutika. Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.
filsafat yang selanjutnya lebih jauh dikembangkan oleh banyak filosof
seperti Jurgen Habermas, Jacques Derrida dan juga Paul Ricoeur.
Selain problem yang berkaitan dengan Trinitas dan tabiat
Kristus maka salah satu pokok central dalam ajaran gereja adalah
Alkitab. Trinitas, Kristus dan Alkitab merupakan tiga ajaran pokok
(sentral) dalam ajaran gereja. “Orang dapat percaya kepada Allah
namun tidak mengakui ke-Trinitasan Allah, itu pun tidak benar.
Mengakui Trinitas berarti mengakui Allah Bapa, Allah Anak dan Allah
Roh Kudus. Namun tidak mengakui finalitas Alkitab itu sama
dengan suatu “pengaindain” penolakan terhadap Trinitas. Bagaimana
orang dapat menerima Trinitas sedangkan Alkitab tidak diakui
kefinalitasannya? Alkitab merupakan wahyu khusus (special
revelation) yang berotoritas. Hal seperti ini pernah terjadi kurang
lebih abad ke 2. Di mana Marcion, seorang pedagang dari Laut Hitam
bagian Timur Laut dari Asia Kecil. mengajarkan bahwa Allah
Perjanjian Lama berbeda dengan Allah Perjanjian Baru bahkan teksteks Perjanjian Lama dan Perjanjian baru pun dibedakan. Ini
dikarenakan Marcion menafsirkan Alkitab secara alegoris (Misalnya:
Mat. 7:17; 9:17). Pandangan Marcion terhadap Alkitab berimbas pada
pandangannya tentang Kristus. Kristus tidak diutus oleh Allah Bapa.
2. Penyataan Allah
Kaum Pluralis juga tidak mengakui adanya pernyataan khusus
melainkan hanya menerima penyataan umum. Bagi mereka semua
sejarah adalah sejarah Allah dan sekaligus sejarah keselamatan. C.S
Song melihat bahwa semua sejarah adalah sejarah Allah, karena
Allah adalah yang awal dan yang akhir. Lagipula waktu adalah milik
Allah, ia beralasan bahwa : Karena sejarah berlangsung dalam waktu
pertama dan terakhir meliputi seluruh sejarah, sejarah dari
permulaan sampai kepada akhirnya, sejarah yang berisi semua
bangsa - bangsa termasuk Israel. Semua sejarah adalah sejarah
Allah. Sejarah Persia adalah sejarah Allah sebagaimana sejarah
Israel, sejarah Timur dari orang - orang yang menyembah berhala,
tidak kurang dari pada sejarah Allah di dalam sejarah kekristenan
Barat.
Penekanan pada penyataan umum merupakan langkah
konsistensi kaum pluralis untuk membangun fondasai teologi agamaagama. Penyataan khusus dalam argumentasi mereka merupakan
penghalang bagi teologi agama-agama.
Bagaimana menanggapinya? Marilah kita memeriksa kembali
bagian alkitab untuk melihat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
untuk memahami kembali penyataan Allah versi kaum pluralis.
Sebelum Kejadian 1:1, tidak seorangpun yang tahu “di mana
Allah” (namun Ia Ada dalam being-Nya atau Ada-Nya yang kudus dan
kekal). Kata kerja ini kemudian diikuti dengan Kata Benda jamak
maskulin elohim. Bara elohim menunjukkan bahwa elohim bertindak
sebagai subjek yang mencipta dari tidak ada menjadi ada dengan
dabar elohim. Keberadaan objek ditandai oleh eksistensi subjek yang
ada terlebih dahulu (Kejadian 1:1).
Dengan demikian Bersyit bara elohim mengangkat ke
permukaan pemahaman manusia tentang kekekalan elohim yang tak
bermula dan tak berakhir. Dalam frase beresyit bara elohim, kata
benda jamak maskulin elohim muncul sebagai penentu keberadaan
atau eksistensi “objek-objek”. Di sini elohim berada pada poros causa
prima. Artinya secara teologis elohim berbeda dengan ciptaan-Nya
sehingga menolak pantheisme dan panentheisme.
Kata bara dalam teks mengisyaratkan hasil ciptaan sebagai
general revelation (langit menceritakan kemuliaan Allah, dan
cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya-Mazmur 19:1).
General revelation merupakan langkah yang ditempuh Allah
dalam menyatakan dirinya-Nya. Dari penyataan umum itu, manusia
terbantu untuk mambangun verstehen-nya (pemahaman) tentang
Allah sehingga manusia “punya” pemahaman tentang Allah. Hasil
pemahaman itu kemudian disusun dan disistematisasikan sehingga
terlihat bahwa “manusia tahu tentang Allah”. Ilmu tahu tentang Allah
disebut theologia. Tetapi harus diingat bahwa “manusia tidak tahu
sepenuhnya tentang Allah” sebab “tahunya manusia adalah tahu yang
terbatas”.
Keterbatasan
tahu
manusia
mewajibkan
atau
mengharuskan manusia bergantung pada Allah sebagai Sang Misteri
dan Sumber tahu yang tak terbatas. Dalam Ayub 11:7 dikatakan
“dapatkah engkau memahami hakekat Allah, menyelami batas-batas
kekuasaan Yang Mahakuasa”. Ia diketahui karena Ia berkenan
menyatakan diri.
Dari buku Kejadian 1:1, kita mengarahkan pikiran dan hati
pada Injil Yohanes 1:1 untuk melihat jalan pikiran Yohanes “si mata
elang (julukannya)” untuk membangun verstehen kita tentang Allah,
yang dikenal dalam nama Yesus Kristus.
Latarbelakang penulisan Yohanes (1:1) adalah pada konsep
logos dalam dunia filsafat Asia Minor. Di Asia Minor, logos berarti
pikiran yang benar. Logos dikemudian hari berkembang menjadi
logika. Bagi Heiraklitos (salah satu filsuf alam) logos merupakan
dasar perbuatan manusia dan logoslah yang menguasai dunia. Ruparupanya konsep logos ini dipahami dengan baik oleh Yohanes yang
kemudian akan diberi makna baru. Sebab Yohanes hidup lima abad
setelah Heiraklitos.
Makna baru dari logos versi Yohanes adalah en archē ēn ho
logos … Pemahaman yang mengemuka di sini adalah bahwa arche
(dasar) dari segala sesuatu adalah logos atau radiks (akar) dari segala
sesuatu adalah logos. Artinya logos menjadi pengendali, pengatur dan
penopang segala sesuatu, segala sesuatu berjalan dari logos, oleh
logos dan bermuara pada logos sebagai Sang teleos (Sang tujuan).
Baik dunia fisik maupun metafisik dikuasai oleh logos.
Dari teks Yohanes 1:1, kita melihat Yohanes yang berjalan
melampaui (tetapi harus diingat bahwa Yohanes berutang budi pada
para filsuf Asia Minor) logos ala filsuf alam. Pelampauan itu terlihat
pada frasa “Logos itu bersama-sama dengan Allah dan logos itu
adalah Allah”. Pernyataan bahwa “Logos adalah Allah” merupakan
pemberian makna baru Yohanes atas konsep logos.
Logos (Yunani) sama dengan kata Dabar (Ibrani). Kepentingan
pemakaian konsep logos dalam Injil Yohanes, mula-mula dikarenakan
ada orang Yahudi diaspora. Dalam rangka itulah Yohanes
mengadopsi konsep tersebut sebagai langkah kontekstualisasi. Dalam
arti Septuaginta, kita tahu bahwa teks Alkitab dalam bahasa Ibrani
disalin ke dalam bahasa Yunani karena orang-orang Yahudi
diperantauan tidak fasih berbicara dalam bahasa Ibrani. Dalam
mencapai tujuan penyampaian euanggelion Yohanes memakai konsep
Logos dalam budaya Yunani yang mana konsep tersebut sama
dengan konsep dabar (Firman) dalam tradisi Yahudi. Dabar berarti
“yang dibelakang, suatu penyebab atau penyebab utama. Tak terlihat,
tetapi kalau terdengar tidak mungkin tidak, sesuatu akan terjadi”.
Jadi dabar Elohim adalah dabar yang menjadikan. Ingatlah
“berfirmanlah Allah jadilah maka jadi”. Jadi dabar atau logos menjadi
Sang Terang.
Pemikiran di atas merupakan pembicaraan tentang dabar atau
logos dalam tataran ontologis/metafsis dan epistemologis dari kedua
kata tersebut. Kita harus mengalihkan perhatian kita kepada dabar
atau Logos Sarx (LS) sehingga pemahaman kita menjadi sempurna
sebab di atas itu kita membangun pemahaman iman kita.
Dengan melihat Kristologi - LS Yohanes, kita tidak hanya
dibawa pada satu pemikiran ontologism atau melulu metafisis. Sebab
Yohanes 1:1, kita temukan suatu konsep yang metafisis atau dibawa
dan berada di dunia ide. Dengan beranjak pada Yohanes 1:14, kita
menemukan sebuah stateman yang sangat fenomenal dan fantastic.
Yohanes berkata “kai ho logos egeneto sarx – Firman itu telah menjadi
manusia- And the Word became flesh”. Ayat 1 dari Yohanes pasal 1 khas
ontologism namun ayat 14, Yohanes menyatakan logos telah menjadi
manusia. Atau Logos telah hadir dalam pengalaman asasiah manusia
(khas epmiris) dan bersentuhan dengan manusia. Ayat 14, menepis
pandangan deisme yang memandang Allah melulu transenden dan
mendukung theisme (Ia transenden juga imanen. Ia itu fascinans
namun tremendum – menakutkan namun memesona dalam
kerahiman dan kerahmatan-Nya).
Ayat 14, kai ho logos egeneto sarx. Sarx-daging merujuk pada
rupa manusia atau telah mengambil bentuk, dan wujud manusia,
diam di antara kita dan kita melihat kemuliaan-Nya.
Dari pernyataan di atas, kita dapat menarik sebuah sudut
pandang, yakni sudut pandang Pusat metafisika Kristen. Pusat
Metafisika Kristen adalah pada Kristus sebagai the ultimate reality.
Sebab di dalam dia berdiam seluruh kepenuhan ke-Allah-an. Kristus
merupakan penyataan dan kenyataan dari Yang Tertinggi dan Yang
Ilahi (The holy One).
Dari general revelation, Allah terus menyatakan diri-Nya untuk
dikenal hingga pada special revelation. Di sini kita melihat
progresifitas dari wahyu Allah. Wahyu bergerak dalam rancangan
(blue print) Allah. Kristus merupakan puncak penyingkapan diri
Allah. Sebab melalui, tabiat Allah terpresentasi dan pemahaman kita
tentang Allah dan tentang iman manusia menjadi perfect.
Dalam kedatangannya yang pertama dalam wujud daging (Yoh.
1:14) atau wujud manusia adalah dalam kemanusiaan-Nya tanpa
dosa sebab dilahirkan melalui kandungan seorang “perawan –
parthenos”. Ia berinkarnasi menjadi manusia. Namun mengapa Ia
mengambil rupa demikian? Anselmus berkata dalam sebuah esaynya
“Cur Deus Homo” – mengapa Allah menjadi manusia?. Allah Bapa
memberikan Putera-Nya dalam rupa manusia adalah semata-mata
untuk:
1. Menyingkapkan Allah kepada kita; selain wahyu umum (general
revelation), Allah Bapa mengutus Putera-Nya sebagai wahyu
khusus (special revelation) dan ini merupakan puncak
penyingkapan diri Allah kepada kita. Anselm berpendapat “Tuhan
Allah sendiri turun dari surga dan menjelma dalam anak-Nya
Yesus Kristus supaya hukuman manusia ditanggungNya sendiri
dan Ia dapat membayar hutang dosa ganti (substitute theory) kita.
Dengan jalan itu, baik keadilan, rahmat dan kasih Allah dipenuhi
dan disempurnakan”. Kehadiran Yesus dalam ranah sejarah
manusia adalah untuk menjelaskan “Dia yang Ilahi, yang Misteri
dan yang ter-tinggi.” Atau “Ia menyatakan diri secara historis
dalam Yesus dari Nasaret, yang disebut
Anak-Nya karena
hubungan erat dengan-Nya, dan secara batiniah dalam diri
manusia oleh Roh Kudus.”
2. Untuk memberikan suatu teladan bagi kehidupan kita; ini juga
yang menjadi perhatian Matius (mencatat kelahiran dan masa
kanak-kanak Yesus sebagai manusia 1:25; 2:1-23 , Markus
(kerendahan hati Yesus melalui pelayanan, hidup dan aktivitasNya) dan Lukas (penyesuaian-Nya dengan adat Yahudi; 21-24 dan
masa remaja-Nya 2:41-52).
3. Memberikan pengorbanan yang efektif untuk dosa; untuk
menghapus dosa kita memerlukan seorang Juruselamat (Ibrani
10:1-10).
4. Untuk memusnahkan pekerjaan iblis (I Yohanes 4:8).
5. Untuk mempersiapkan kedatangan-Nya yang kedua (Ibrani 9:28;
Roma 8:18-25).
Kristus telah menyelesaikannya di kayu salib. Ia telah
menanggung segala kepenatan, aib, kelemahan, sakit penyakit dan
segala kekurangan manusia. Ia berkata “tetelesthai-sudah selesai”.
Tetelesthai dari kata teleo artinya it is finished, it’s complete”.
Dari pemikiran di atas, kita menafikan teosentrisme pluralis
dalam pengertian memahaminya dalam progresifitas wahyu. Jika
hanya berhenti pada penyataan umum maka demikianlah jalan
pikirnya seperti kaum pluralis. Mereka konsisten dengan tidak
memasukan penyataan khusus tetapi sekaligus inkonsisten sebab
jika menolak Krostosentrisme maka harus menolak Perjanjian Baru
dan menolak bagian-bagian alkitab dalam Perjanjian Lama yang
mencatat nubuat tentang Mesias.
1) Kristologi
Mengapa Kristologi Relatif (juga Soteriologi)? Ajaran tentang
Kristus menjadi relatif karena kebenaran yang terdapat dalam Alkitab
mengandung unsur “relativitas”. Semua yang tertulis dalam Alkitab
“tidak mutlka benar” (Bibliologi Relatif). Sehingga apa pun hasil yang
diperoleh dengan pendekatan atau metodologi tertentu akan berakhir
dengan hasil yang “relatif”. Hasil yang kita peroleh bukan hasil yang
“mutlak benar” melainkan “relatif benar”.
Memikirkan inkarnasi Kristus adalah suatu “kenaifan” karena
tidak mungkin Yang Mutlak menampakkan diri . Tidak mungkin
Allah mewahyukkan diri karena tidak ada kebenaran pada wahyu. A
tidak sama dengan B – itu benar karena berada dalam wilayah logika
namun bila “Allah menjadi manusia” ini memang melewati batasbatas logika (trans-logika). Mengapa? Karena “nalar” manusia bahkan
“bahasa” manusia terbentur dengan batas-batasnya untuk “menalar”
dan “membahasakan” “apa yang kita sebut tak terbatas”. Di sini
manusia dengan logikanya tidak dapat memberi ukuran kebenaran.
Nalar manusia memang melewati batas-batas fisika (trans
fisika) untuk “meraba” apa yang ada balik fisika untuk membuat
“kemungkinan-kemungkinan”
namun manusia tidak bisa
memungkiri realitas diri yang bukan “roh”. Maka dari itu manusia
tidak bisa menentukan dengan pasti apa yang ada dibalik fisika.
Manusia hanya dapat membuat “kemungkinan atau pengandaian”.
Manusia hanya dapat mengatakan dan menentukan bahwa itu benar
“jika apa yang dikatakan korensponden dengan objek”. Misalnya #“di
kulkas ada sayur bayam”#. Pernyataan ini dinyatakan benar atau
dapat ditentukan kebenarannya apabila pernyataan itu sesuai
dengan objek (dapat dilihat dan diraba) di mana di dalam kulkas
memang ada sayur bayam. Jika tidak maka dinyatakan salah.
Maka dari itu bila Allah menjadi manusia itu benar. Karena
pernyataan in trans-logika dan trans fisika. Yang tahu secara pasti
itu hanya Allah (Bapa) karena tidak terbatas. Allah menjadi manusia
itu “memungkinkan” namun manusia menjadi Allah itu “tidak
memungkin” kecuali “diper-allah-kan atau diper-tuhan-kan”. Yang
“diper-allah-kan dan diper-tuhan-kan” itu hanya “mungkin bagi
berhala” tetapi “tidak mungkin bagi TUHAN”.
Bila semua hasil pendekatan atau metodologi yang dipakai
adalah relatif maka apapun yang diklaim oleh teolog-teolog
pendukung “Yesus Sejarah, Yesus Seminar dan Jesus at 2000”;
“ortodoksi Kristologi” bahkan penganut paham “relativisme” pun
adalah tidak mutlak benar. Sebuah pemikiran yang sederhana
terhadap pemikiran relatifisme adalah bahwa “apa saja yang mereka
katakan itu tidak benar karena mereka juga berdiri di atas asumsi
relatifisme” dan teologi yang mereka rintas dengan nama teologi
agama-agama/religiounum atau apapun nama teolognya itu hanya
benar bagi mereka tetapi tidak benar bagi orang lain. Dalam
pemikiran relativisme sudah ada batasnya, yakni kebenaran itu benar
atau sahih sejauh bagi diri sendiri dan tidak bagi orang orang.
Kita sebagai orang-orang yang mengakui diri Kristen “Injili”,
kita diperhadapkan dengan suatu tantangan baru. Sebab kita tahu
bahwa gerakan Injili sangat erat dengan modernisme. Bagaimana
Luther dan Calvin bahkan penerus mereka memulai gerakannya
(gerakan reformasi) lahir dalam awal abad modern. Sebagaimana
tokoh-tokoh modern, kaum Injili selalu menggunakan perangkatperangkat modernisme, seperti metode ilmiah, pendekatan empiris
terhadap realitas dan realisme akal sehat. Pemberitaan Injil oleh
kaum Injili pun sering dibarengi dengan apologetika rasional untuk
membuktikan keberadaan Allah, kebenaran Alkitab bahkan peristiwa
historis Yesus.
Dalam era modern bahkan postmodern, gereja diperhadapkan
dengan berbagai isu seputar Kristologi. Krisis-krisis yang terjadi tidak
hanya melanda gereja-gereja Protestan – aliran non Injili melainkan
juga gereja-gereja aliran Injili.
Pengaruh globalisasi filsafat-filsafat postmodern memberi warna
tersendiri bagi perkembangan teologi. Orang tidak hanya belajar
untuk menjadi objektif tetapi justru dalam semangat keobjektifan
itu, ada sebagian orang yang berpikiran subjektif. Tidaklah heran jika
pluralisme berkembang begitu cepat bukan karena orang semakin
objektif melainkan bertumbuh subur karena subjektifisme.
Sebenarnya isu-isu seputar Kristologi, misalnya pluralisme,
bukanlah hal baru. Pluralisme bukan suatu tema baru melainkan
sudah lama ada dan lebih merupakan filsafat. Namun, tema tersebut
diberi warna khas era postmodern atau dengan warna khas era
tertentu.
a) Kekhasan Kristologi Modern
Pada abad ke 18 pedekatan Kristologis ditandai dengan
pendekatan yang theosentris di mana penekanan untuk Kristologi
adalah pada keilahian-Nya. Bertolak belakang dengan abad ke 18,
setelah itu pendekatan Kristologis bukan lagi theosentris melainkan
anthroposentris. Suatu pendekatan Kristologis yang menekankan
kemanusiaan Kristus.
Penekanan pada keinsanian-Nya menghantar orang pada
pemikiran bahwa Yesus tidak lebih daripada seorang manusia biasa.
Transendenitas dilupakan sedangkan imanenitas-Nya ditonjolkan.
Yang membedakan Yesus dari manusia biasa lainnya adalah
kesadaran-Nya akan Allah melebihi manusia pada umumnya. Itulah
yang dikembangkan oleh Berkhof.
Selain itu buku terlaris karya The Davinci Code #1 versi New
York Times # bahkan kisahnya diangkat dalam layar lebar
mengisahhkan tentang Yesus manusia biasa.
Bahkan sebuah buku “Pengakuan Maria Magdalena” yang
merupakan sisi lain dari The Da Vinci Code yang mengisahkan
tentang “saat-saat intim bersama sang guru”. Buku ini mengisahkan
bahwa Yesus adalah manusia biasa, seorang laki-laki normal, pasti
tertarik pada wanita, punya istri (maria Magdalena) dan punya anak
perempuan. Ini merupakan obsesi dan minat masyarakat modern
terhadap tulisan tersebut.
b) Masalah-masalah Kontemporer dalam Metodologi Kristologi
Secara literer, istilah methodologi terbentuk dari dua kata yakni
methodos – logos/gis. Meta berarti dengan dan hodos berarti jalan
cara sedangkan logos berarti berpikir lurus atau berpandangan lurus.
Maka methodologi berarti cara kerja yang teratur dan sistematis
dengan berpikir lurus dan genah dalam aturan atau sistem tertentu.
Setiap sistem harus koheren, kongruen dan koresponden.
Dalam hubungannya dengan tema di atas, isu kontemporer
metodologi Kristologi adalah suatu pendekatan atau pun analisa
mengenai Yesus secara ontologis dan atau historis. Secara ontologis,
di keitar abad ke 18 orang mulai meninggalkan penelaahan berkaitan
dengan keilahian Kristus dan berpaling pada anthropologi Yesus
dengan pendekatan historis, para pakar mencoba untuk menyelidiki
“apakah Yesus dari Nazaret itu, Yesus yang berinkarnasi ataukah
Yesus yang muncul dalam masyarkat Yahudi dengan mengajarkan
kebenaran-kebenaran namun bukan “Kristus”.
Selain itu, ada yang menggunakan metode pendekatan
Kristologi dari bawah dan Kristologi fungsional. Teolog-teolog yang
menggunakan metode ini adalah teolog-teolog Pluralis dengan
menekankan sisi kemanusiaan Yesus atau lebih bersifat
antroposentris. Pendekatan Kristologi dari bawah dekat dengan
Kristologi ala “adopsionisme”. Pendekatan ini bertolak belakang
dengan pendekatan Kristologi dari atas. Kristologi dari bawah mulai
dengan langkah “mempertanyakan bagaimana Yesus menjadi Allah”
sedangkan
Kristologi
dari
atas
mulai
dengan
langkah
“mempertanyakan bagaimana Allah / Kristus menjadi manusia”.
Berbeda dengan metode pendekatan Kristologi dari bawah dan
Kristologi dari atas, Kristologi fungsional bertolak belakang dengan
Kristologi Ontologis. Langkah penelitian Kristologi fungsional adalah
dengan “mempertanyakan apakah yang dilakukan oleh Yesus?”
sedangkan metode pendekatan Kristologi Ontologis diawali dengan
“mempertanyakan siapakah Yesus itu?”. Salah satu contoh, Hans
Kung mempertanyakan bagaimana fungsi gelar Yesus dalam
kaitannya dengan konteks Asia di mana “wajah Asia bukanlah wajah
yang penuh kemakmuran melainkan wajah yang menderita dan
miskin”. Di sini fungsi Yesus dipertanyakan “apakah Yesus hanya
menyelamatkan jiwanya sedangkan tubuhnya penuh dengan
penderitaan”. Di sini juga dipertanyakan mengenai “Yesus yang
dikenal sebagai tokoh pembebasan”. Dalam konteks ini Yesus
diharapkan hadir sebagai pembebas kemiskinan Asia atau
melakukan tindakan dehumanisasion.
Dalam pemikiran banyak orang, entah itu mahasiswa teologi,
hamba Tuhan ataupun teolog yang kontra dengan teolog-teolog
Liberal ataupun Pluralis, pasti mengklaim bahwa para teolog Pluralis
(cs) merupakan orang-orang yang tidak percaya Yesus. Boleh-boleh
saja kita mengklaim demikian, namun kita juga harus terbuka dan
bertanya dalam hati “apakah Yesus yang saya imani sanggup
melepskan rakyat Asia yang terkenal dengan kemiskinan ataukah ada
begitu banyak orang Asia yang sampai mati tidak pernah menikmati
“indahnya dunia”. Atau hanya hidup dalam khayalan dan “berandaiandai”. Saya kira apa yang disodorkan tentang “Kristologi fungsional”
harus kita pikirkan secara matang. Janganlah kita berkamuflase. Bila
kita yakin Yesus yang kita imani sanggup mengangkat yang miskian
menjadi kaya maka itu harus dinyatakan. Satu hal yang perlu kita
pikirkan soal “Kristologi fungsional” adalah “bila Yesus yang kita
imani mampu maka itu harus nyatakan dan merata di mana semua
orang yang percaya Yesus dan yang miskin diubahkan menjadi kaya”.
Bila tidak maka iman hanya merupakan “bualan belaka”. Bagaikan
“si penjual obat yang tak laku-laku”.
c) Yesus Sejarah dan Yesus Kepercayaan
Pernyataan Alkitab dan juga pengakuan iman orang percaya
dalam sejarah gereja. Tepatnya Konsili Oikumenis IV di Chalcedon
(451) problem mengenai tabiat Kristus disahkan dan dimasukkan
dalam Credo Apostolicum. Dalam Konsili IV di Chalcedon, dinyatakan
bahwa “Yesus satu-satunya Anak Allah, Dia sempurna (teleion), baik
dalam
keilahian
(Theoteti)
juga
dalam
kemanusiaan-Nya
(anthropoteti); benar-benar manusia dengan jiwa yang rasional
(psyches logices). Sehakekat dengan Allah (homo ousion to patri)
menyangkut keilahian-Nya dan Ia sehakekat dengan manusia (homo
ousion anthropos) namun tidak berdosa.
Namun, belakangan ini keunikan Yesus dipersoalkan kembali.
Keraguan itu muncul karena adanya ketidakyakinan dari para teolog,
terutama kelompok “Yesus Seminar”. Keraguan terhadap ke-Allahan
Yesus adalah bahwa para murid penulis Alkitab (keempat Injil), tidak
menuliskan apa yang benar-benar Yesus katakan melainkan keempat
Injil merupakan hasil olahan atau merupakan hasil rekonstruksi para
murid. Hal inilah yang mengakibatkan para teolog “Yesus Seminar”
menerbitkan sebuah buku dengan judul “The Five Gospels”. Dalam
buku The Five Gospels, semua ucapan Yesus yang terdapat dalam
Injil-injil Markus, Matius, Lukas, Yohanes dan Injil Thomas diberi
salah satu warna dari empat warna ini: merah, merah muda, abuabu, dan hitam. Warna “merah” (red) berarti Yesus pasti mengatakan
hal ini atau sesuatu yang sangat menyamai ini; warna “merah muda”
(pink) berarti Yesus mungkin sekali mengatakan sesuatu seperti ini;
warna “abu-abu” (gray) menunjukkan Yesus tidak mengatakan hal ini,
tetapi gagasan-gagasan yang terdapat di dalamnya dekat dengan
gagasan-gagasannya sendiri; warna “hitam” (black) menyatakan
Yesus sama sekali tidak mengatakan hal ini; ucapan-ucapan yang
termuat di situ menampilkan pandangan atau isi dari suatu tradisi
yang berbeda atau yang lebih kemudian.
Perkembangan Rasionalisme yang mempengaruhi kekristenan
menghasilkan keragu-raguan akan nilai 'Yesus Sejarah' yang disebut
Alkitab, bahkan kemudian sejalan dengan tumbuhnya 'Kritik Historis'
atas Alkitab sejak abad ke XVIII, pada abad ke-XIX dikenal dengan
'The Quest' (penyelidikan) ramailah dipersoalkan soal 'Yesus Sejarah'
Sikap para teolog Yesus Sejarah merupakan tantangan bagi yang
mengaku kaum Injili. Keyakinan kita akan finalitas Alkitab, dan
bahwa “Alkitab itu benar tanpa salah” berdasarkan kanon benarbenar tertantang. Buku The Five Gospels merupakan langkah awal
“manusia” untuk menentukan bagian-bagian alkitab yang masuk
“golongan Firman Allah” dan “yang bukan Firman Allah atau ucapan
manusia”.
David Strauss, Albert Schweitzer dan Ernest Renan merupakan
teolog-teolog yang banyak mempersoalkan Yesus sejarah. Mereka
mengembangkan suatu penyelidikan yang disebut The New Quest.
Khususnya Strauss, Strauss memunculkan karya fenomenalnya yang
berjudul “The Life of Jesus Critically Examined”. Strauss berpendapat
bahwa Yesus yang diberikan dalam Injil merupakan mitos dan semua
yang bersifat supranatural juga adalah mitos.
Apa yang dikumandangkan oleh Strauss dan kawan-kawan
kemudian dikembangkan dan merupakan puncak penyelidikan dalam
karya
monumentalnya
Bultman.
Bultman
hadir
dengan
“demitologisasi” disekitar parohan abad ke 20. Bultman yang anti
supra-natural dalam karya demitologisasinya, ia mencoba untuk
memisahkan Yesus Iman dan Yesus sejarah.
Strauss, Harnack, Ritschl, dan Bultman, merupakan teologteolog yang anti supranatural. Sikap anti-supranatural ini,
merupakan langkah awal dalam kritik-kritik mereka; menyangkut
kelahiran Kristus dari seorang perawan dan kebangkitan Kristus.
Artinya mereka ingin menolak keilahian Kristus. Mencoba untuk
memunculkan kembali masalah klasik dalam doktrin gereja.
Keilahian Yesus ditolak dan kembali menekankan kemanusiaan
Yesus – dengan menghadirkan sosok Yesus dalam kehidupan-Nya
sebagai manusia biasa yang bergumul dengan masalah sosial politik
dan Palestina pada abad pertama. Bahkan ada teolog yang
mengatakan Yesus adalah tokoh Yahudi yang gagal dalam
pemberontakan-Nya.
Dari isu Yesus Sejarah, kini sampailah kita pada isu berikutnya
yakni isu “Yesus Seminar”. Ide tentang Yesus Seminar awalnya
memang telah dibicarakan oleh beberapa teolog (Liberal) namun ide
itu baru mencapai puncaknya dan disebut “Yesus Seminar”. Murid
Bultman – Ernst Kaseman-lah yang merintis ide “Yesus Seminar”
dengan pendekatan yang disebut The New Quest. Robert Funk dan
John Dominic Crossan merupakan tokoh Yesus Seminar di Amerika
Serikat. The New Quest kemudian di susul dengan Third Quest
dengan tokoh Marcus Borg dan E.P Sanders. Mereka inilah yang
menyebut Yesus pemimpin Yahudi dan pemberontak yang gagal.
Perbedaan penting masa 'the quest' dengan 'the new & third
quests' adalah bahwa pada penyelidikan pertama kitab Injil diterima
sebagai benar tetapi aspek mujizatnya ditolak, sedangkan dalam
penyelidikan-penyelidikan berikutnya justru kebenaran kitab Injil
itulah yang ditolak dan dinilai dari sudut pandang pemikiran
rasionalisme, kitab apokrifa atau rekaan manusia modern.
Yesus sejarah, merupakan hasil tafsir atau teologi dari pada
para murid Yesus. Ini juga tidak lepas daripada sistem hermeneutika
yang dipergunakan oleh para teolog, seperti Borg, C.S. Song, Eckardt
dan lain-lain. Sistem hermeneutika yang dipergunakan adalah
historis kritis. Dari hasil kritik historis (bahkan kritik redksi), maka
disimpulkan bahwa tidak ada kenambungan antara Yesus sejarah
dan Yesus kepercayaan. Yesus yang diberitakan oleh para murid
merupakan Yesus tidak pernah hadir dalam sejarah melainkan
merupakan Yesus yang diimani para murid. Oleh karena itu, Injil
kesaksian para murid tidak relevan lagi untuk konteks masa kini.
d) Yesus Seminar
Jesus Seminar' diselenggarakan atas sponsor Westar Institute
di Amerika Serikat dengan maksud memperbaharui penyelidikan
Yesus Sejarah tepatnya 'ucapan-ucapan Yesus yang otentik.' Laporan
lengkap penyelidikan ini dibukukan dalam buku berjudul 'The Search
for the Authentic Words of Jesus, The Five Gospels, What Did Jesus
Really Say?' (1993). Pada bagian awal halaman v buku itu kita dapat
melihat kemana arah nafas seminar tersebut: "Laporan ini
dipersembahkan kepada Galileo Galilei yang mengubah pandangan
kita mengenai surga selamanya. Thomas
Jefferson yang
menggunakan gunting dan memotong-motong Kitab Injil. David
Friedrich Strauss yang mempelopori penyelidikan mengenai Yesus
Sejarah."
Seminar ini diketuai Robert W Funk, profesor Perjanjian Baru
pada Montana University, dan John Dominic Crossan, rahib Roma
Katolik Irlandia yang terpaksa melepaskan kerahibannya karena
pandangannya yang kontroversial atas Alkitab dan profesor pada De
Paul University, Chicago di Amerika Serikat. Disebutkan dalam
prakata buku itu bahwa buku itu disusun setelah 6 tahun kerja oleh
ahli-ahli yang disebut dididik di universitas-universitas terkemuka di
Eropah dan Amerika Serikat. Pertemuan pertama pada tahun 1985
diikuti 30 peserta dan dikatakan bahwa 200 orang lainnya kemudian
ikut bergabung. Pertemuan diadakan dua kali setahun untuk
mendiskusikan satu-persatu ucapan-ucapan Yesus yang ada dalam
Alkitab.
Buku itu selain berisi hasil seminar juga memuat terjemahan
kitab Injil yang disebut sebagai 'The Five Gospels' dengan
memasukkan 'Injil Thomas' sebagai Injil ke lima. Dan karena para
pengikut seminar mempercayai teori Injil Markus sebagai kitab Injil
tertua, maka Injil Markus diletakkan di depan kemudian disusul InjilInjil Matius, Lukas dan Yohanes dan baru Injil Thomas. Terjemahan
ini disebut sebagai 'The Scholar Version' (SV) yang memberikan kesan
akademik, dan yang dianggap merupakan versi untuk bisa dengan
mudah dimengerti oleh pembaca Amerika modern dengan versi yang
dikatakan sebagai paling dekat dengan apa yang bisa didengar oleh
jemaat abad pertama. Aktivitas seminar adalah:
Pertama, mengumpulkan 'ucapan-ucapan yang dianggap dari
Yesus' dari kurun waktu 300 tahun baik dari Alkitab maupun dari
sumber-sumber kuno yang mungkin dikumpulkan. Ucapan-ucapan
yang berjumlah sekitar 1500 itu kemudian dibagi dalam 4 kategori,
yaitu perumpamaan, aforisme, percakapan, dan cerita yang
mengandung ucapan Yesus. Ucapan-ucapan lebih pendek dianggap
lebih asli karena orang lebih mudah mengingatnya daripada kalimatkalimat panjang yang mungkin disusun kemudian dan sudah
berkembang dan dibumbui.
Kedua, kemudian dilakukan pemungutan suara oleh yang hadir
untuk menentukan keaslian ucapan itu. Dalam penentuan keaslian
itu tersedia empat pilihan, yaitu yang dianggap ucapan Yesus yang:
(1) Asli diberi warna merah, yaitu yang dianggap ucapan Yesus
sendiri; (2) Mungkin Asli diberi warna merah muda, yaitu untuk
menunjukkan ucapan Yesus yang masih diragukan atau telah
mengalami perubahan-perubahan selama proses salinan; (3) Mungkin
Tidak Asli diberi warna abu-abu, yaitu ucapan yang tidak diucapkan
oleh Yesus tetapi mengandung gagasan Yesus; dan (4) Tidak Asli
diberi warna hitam, yaitu ucapan yang dianggap bukan dari Yesus
dan ditulis pengikutnya atau musuhnya.
Ucapan-ucapan itu disusun untuk merekonstruksikan sejarah
kehidupan Yesus. Selain itu, Jesus Seminar mencoba untuk
memperjelas pemisahan antara 'Yesus Sejarah' dan 'Yesus Iman,'
termasuk di dalamnya mengenai Inspirasi dan ketidak bersalahan
(Inerrancy) Alkitab dan pembedaan Yesus (ke-manusia-an) dari
Kristus (ke-Tuhan-an), dan beberapa masalah dibahas seperti antara
lain sekitar sumber-sumber dan hubungan antar kitab Injil, dan juga
tempat Injil Thomas sebagai Injil ke Lima, dan soal tradisi ucapan
Yesus.
Yang menarik dari metodologi penyimpulan yang digunakan
adalah cara 'pemungutan suara' (voting), yaitu ucapan Yesus
ditentukan hanya dengan pemungutan suara mayoritas 'responden'
puluhan peserta yang hadir. Hanya beberapa puluh orang yang
menentukan dengan voting mana ucapan Yesus dalam kitab-kitab
Injil itu yang dapat dikata asli, mungkin asli, mungkin tidak asli, dan
tidak asli.
Dari komposisi responden dan angket demikian jangan heran
kalau keluar kesimpulan bahwa '82 persen ucapan dalam kitab-kitab
Injil bukan ucapan Yesus (warna merah).' Menarik pula melihat hasilhasil angket lainnya.
Dalam 'Injil Markus' yang dianggap sumber Matius dan Lukas,
hanya ada satu ayat yang dianggap ucapan asli Yesus (12:17),
padahal 'Injil Matius' ada 5 ayat atau kumpulan ayat yang dianggap
asli diucapkan oleh Yesus (5:39-42,44; 6:9;13:33; 20:1-15) dan dalam
'Injil Lukas' malah ada 7 ayat atau kumpulan ayat yang dianggap asli
diucapkan oleh Yesus (6:20-21,27,29-30; 10:30-35;11:2;13:20).
Jadi jangan heran kalau 'Kotbah di Bukit' (Matius 5-7) hampir
seluruhnya dianggap bukan ucapan Yesus (kecuali 5:39-42, dan
sebagian dari 5:44, dan doa Bapa kami hanya kata 'Bapa kami' dalam
6:9-lah yang diberi warna merah), lagipula ayat Matius 28:19-20 yang
merupakan ayat yang berisi 'Amanat Agung Tuhan Yesus' malah
dianggap sama sekali tidak asli (diberi warna hitam). Malah dalam
'Injil Yohanes' tidak ada yang bisa dianggap sebagai ucapan Yesus
yang asli dan hanya satu yang disebut sebagai 'mungkin' (4:44) yang
diberi warna merah muda.
Mengenai ini tepat komentar Raymond E. Brown, pakar
Kristologi dari Katolik Roma, dalam bukunya ‘An Introduction to New
Testament Christology’ menyebutkan: “Hostoricity, however, should
be determined not by what we think possible or likely, but by
antiquity and reliability of the evidence.”
Kelihatannya motivasi dan misi Jesus Seminar ditujukan untuk
membungkam Yesus dan kitab-kitab Injil, Yesus tidak dianggap
mengaku sebagai Mesias dan 'Allah yang menjadi daging', ia tidak
berbicara mengenai kedatanganNya keduakali, ia tidak menjanjikan
akan mengampuni dosa, ia tidak mengkotbahkan 'kotbah di bukit',
dan bahkan ia tidak pernah 'mengutus murid-muridnya' untuk
memberitakan Injil. Yang lebih menarik lagi adalah bahwa kitab
'Thomas', dari 114 fasal, hanya ada 6 ayat dalam tiga fasal (20:2-4;
54:1, dan 100:2-3) yang dianggap asli ucapan Yesus! dan kitab ini
disebut Injil ke-lima yang dianggap lebih berotoritas daripada kitabkitab Injil kanonik.
Dapatkah
kesimpulan
angket
demikian
diterima
keabsahannya? Pembaca dapat menyimpulkannya sendiri. Yang jelas,
kesimpulan-kesimpulan demikianlah yang disebar luaskan secara
terbuka di mass media tanpa ada pemeriksaan serius dari pihak
mass media dan pembahasan persidangan gereja, dan hanya
pembaca kritis yang mau menyelidiki apa yang ada di balik
pernyataan-pernyataan itulah yang bisa mengetahui lika-liku yang
dianggap 'the scholars version' tersebut.
Kenyataan lain adalah bahwa sekalipun mungkin memilih
sama dalam voting, para peserta yang terlibat tidak selalu berfikir
sama mengenai hal-hal yang dipercaya. Sebagai contoh, Crossan
mengatakan bahwa 'Yesus Funk' beda dengan Yesusnya, dan dalam
buku 'The Five Gospels' disebutkan oleh Funk mengenai Marcus Borg
bahwa sepanjang sejarah seminar, Borg tidak pernah ikut voting
bersama mayoritas atas setiap isu.
Hal lain lagi yang perlu direnungkan adalah apa pandangan
iman dan teologis yang bisa diharapkan dari seorang Paul Verhoeven
yang dengan bintang Sharon Stone pemain 'Basic Instinct' (film yang
mengumbar sex & sadisme) sedang membuat film Yesus yang benarbenar hanya seorang manusia (seperti pemuda modern) yang di
dalamnya berpacaran dengan Maria Magdalena? Makalahnya
berjudul 'Fully Human' disampaikan pada forum Jesus Seminar yang
diadakan pada tahun 1994 dimana pada saat yang sama Jesus
Seminar menyimpulkan bahwa 'Jesus tidak dilahirkan dari anak dara
Maria, Yesus lahir dalam proses sebagai layaknya manusia biasa'.
Disebutkan pula dalam prakata buku itu bahwa buku itu
disusun setelah 6 tahun kerja oleh ahli-ahli yang disebut sebagai
dididik di universitas-universitas terkemuka di Eropah dan Amerika
Serikat. Pada kenyataannya, kecuali Marcus Borg, Robert W. Funk
dan John Dominic Crossan, umumnya anggota lainnya adalah teolog
biasa yang tidak menonjol. Dari para ahli Perjanjian Baru di
universitas-universitas terkemuka, hanya Claremont University yang
ada wakilnya, sedangkan pengikut dari Emory University hanya
sekali datang. Para ahli Perjanjian Baru dari universitas-universitas
terkemuka seperti Yale, Harvard, Princeton, Duke, Union, Emory
maupun Chicago, tidak ada yang diwakili. Para ahli Perjanjian Baru
dari Eropah dan benua lain juga tidak ada yang diwakili sebelum
mereka mengeluarkan kesimpulan dalam buku ‘Five Gospels’.
Lepas dari itu sebenarnya para peserta seminar bukanlah
tergolong tokoh dalam pendidikan teologi. Kecuali Crossan dan Borg
yang punya pengalaman mengajar di universitas umumnya peserta
seminar adalah orang-orang yang tidak banyak dikenal di kalangan
pendidikan tinggi teologia. Para peserta yang hadir tidak ada yang
mewakili seminari teologia sekalipun mereka mengajar di sana lebihlebih seminari teologia papan atas, mereka bertindak sebagai pribadipribadi, apalagi bahkan menarik untuk dicatatat keikutsertaan
peserta aktif selama 6 tahun Paul Verhoeven yang bukan seorang
teolog tetapi terkenal sebagai produser dan sutradara film mistik
'Robocop' dan film porno 'Basic Instinct' dan 'Showgirls'.
Sekalipun yang hadir pertama kali disebut berjumlah 30 orang
dan dikatakan kemudian diikuti 200 orang lainnya, kenyataannya
berita itu dibesar-besarkan. Faktanya yang hadir dalam pertemuan
tengah tahunan itu rata-rata hanya sekitar 30 orang saja. Dalam
buku 'The Five Gospels' (1993) yang ditulis setelah 8 tahun berdirinya
Jesus seminar, hanya disebutkan daftar 76 orang yang terlibat.
Sekalipun Funk pernah menjadi sekertaris pada 'Society of Biblical
Literature' (SBL) di Amerika Serikat, Jesus Seminar tidak ada
hubungan sama sekali dengan SBL.
Karena itu, dengan melihat angka-angka peserta di atas adalah
terlalu ceroboh untuk menganggap kesimpulan seminar itu sebagai
mewakili dunia teologi mengingat bahwa SBL saja mempunyai
anggota sejumlah 6.900 orang yang setengahnya spesialis Perjanjian
Baru, dan ini belum termasuk tokoh-tokoh Alkitab di luar SBL atau
yang bergabung dalam paguyuban ahli-ahli Perjanjian Baru sedunia
'Studiorum Novi Testamenti Societas'.
Kelihatannya para ahli yang berkumpul adalah mereka yang
merupakan kelompok yang belakangan ini merupakan kelompok
teolog yang memang bernada sumbang akan kekristenan dan antipati
terhadap konservativisme Kristen, dan sekalipun menyebar luas,
ternyata setelah lebih dari 10 tahun sejak tahun 1985, Jesus Seminar
dalam prosesnya juga mengalami pendewasaan pula. Ungkapanungkapan para peserta Seminar yang semula begitu meyakinkan
bahkan radikal, dengan adanya kritik-kritik dari luar ternyata
kemudian berubah melunak. Ini menunjukkan bahwa mereka
berangsur-angsur mengakui juga keterbatasan mereka.
Dari ucapan penemu 'Jesus Seminar' Robert W. Funk, kita
dapat melihat bahwa memang motivasi dan tujuan seminar ini adalah
untuk mencari suatu cerita fiksi baru tentang Yesus dan Injil yang
berbeda dengan cerita Injil tradisional. Ia mengatakan: "Apa yang kita
butuhkan adalah cerita fiksi yang baru yang membawa kita menuju
kejadian sentral drama Kristen-Yahudi dan merujukkan Mesias
dengan cerita baru yang mencakup hal lebih besar daripada awal
sampai akhir cerita lama. Kita memerlukan cerita baru tentang
Yesus, Injil yang baru, bila kamu mau menempatkan Yesus yang
berbeda dalam kerangka besar cerita kepahlawanan."
Sebenarnya hal ini tidak aneh, soalnya sejak awal dan
bertahun-tahun sebelumnya kedua pendiri dan ketua Jesus Seminar
yaitu Funk dan Crossan sudah mempunyai gagasan kontroversial
dan provokatif, itu pula yang menyebabkan Crossan harus
menanggalkan jubah kerahibannya di gereja Roma Katolik. Jadi
adanya Jesus Seminar bukanlah untuk menyelidiki dan mencari
kebenaran tetapi lebih untuk mencari legitimasi pandangan radikal
mereka. Polemik yang 'sensasional', 'provokatif' dan 'kontroversial'
dalam alam Amerika Serikat memang mudah dijual. Karena itu
dengan datangnya modal dari Westar Institute dan liputan mass
media yang intensif termasuk liputan majalah 'Time' ke seluruh
dunia, seminar ini menjadi terkenal. Dalam seminar-seminar yang
diadakan secara berpindah-pindah dari kota-ke-kota memang mass
media sengaja diundang untuk meliput bahkan wawancara diberikan.
Sebenarnya di Amerika Serikat ada banyak badan-badan yang
menghibahkan dana besar bagi para teolog dan seminari teologi
untuk studi kebenaran Alkitab, tetapi berita yang menguatkan alibi
Yesus Sejarah tidak akan menarik mass media dan kurang laku
menjadi komoditi bisnis komunikasi massa. Berita-berita yang
bersifat skandal, sensasional, kontroversial, dan provokatif lebih laku
di jual melalui mass media. Dalam alam sekular semacam Amerika
Serikat dimana 'kotbah untuk bertobat dan hukuman kekal' sangat
dimusuhi dapat dimengerti kalau seminar yang menyimpulkan bahwa
Yesus tidak pernah mengatakan dan menyuruh manusia untuk
bertobat tentu akan laku keras.
Kelemahan besar dari metoda penyelidikan Jesus Seminar
adalah hanya terkonsentrasi pada kitab-kitab Injil, inipun dengan
maksud untuk dibandingkan dengan kitab-kitab Apokrifa yang
dianggap lebih berotoritas, sedangkan data-data Yesus dalam kitabkitab para Rasul dan tulisan para Rasul diabaikan karena dianggap
rekayasa gereja. Rasul Paulus dianggap sebagai tidak mempunyai
minat pada Yesus, gaya cerita dalam Kitab-Kitab Injil dan Kisah Para
Rasul hanya dianggap sebagai kemasan mitos yang didasarkan pada
iman para murid Yesus. Demikian juga semua ucapan yang dianggap
sudah berkembang harus dihapus. Kanon yang sudah menjadi dasar
ajaran iman gereja selama duapuluh abad tidak mendapat tempat
selayaknya dalam seminar karena isinya dianggap hanya
mengungkapkan Yesus Iman dan bukan Yesus Sejarah. Sebaliknya,
Injil Thomas diberi tempat istimewa sebagai 'Injil ke-Lima'.
Suatu usaha menarik dari sekelompok kecil teolog yang begitu
yakin bahwa pandangan mereka mengenai sejarah dan sosiologi
Palestina abad pertama dianggap tanpa salah dan ingin menghapus
keyakinan sejarah gereja yang sudah melalui dua milenium yang
memproklamasikan bahwa 'Yesus itu Tuhan.' Raymod E. Brown
seorang tokoh Katolik Roma yang adalah mantan profesor studi
Alkitab di ‘Union Theological Seminary’, New York City, dan anggota
‘Komisi Alkitab Pontificiat Roma’ dalam bukunya ‘New Testament
Introduction’ berkenaan dengan tokoh-tokoh dibalik Jesus Seminar,
mengatakan: “When we read the historical Jesus written by these
scholars, we actually got nothing about Jesus. They only show who
they are... they are very subjective and lack of the historical facts."
2) Soteriologi
Kecuali soal kebenaran yang unik dan universal tersebut, soal
lain yang sangat penting adalah soal soteriologi. Di sini bisa
dipertanyakan kembali: sampai seberapa jauh sebenarnya
pemahaman mengenai keselamatan itu memberikan corak tertentu
pada teologi kita, dan bagaimana hubungannya dengan soal
kebenaran itu? Bagaimana kristologi dan teologi yang mengklaim
kebenaran itu menempatkan agama-agama dalam kerangka besar
keselamatan umat manusia?
Di sini kita bergumul dengan kemungkinan untuk menerobos
bentuk-bentuk teologi dan kristologi yang kaku dan memberikan
ruang yang bebas dan positif untuk mengakui kehadiran dan nilai
agama-agama itu dalam pemahaman soteriologi kita. Dan pemikiran
kita mengenai Roh Kudus juga tidak banyak dikaitkan dengan soal
soteriologi ini. Mungkin, jikalau pneumatologi ini sudah kita kaitkan
dengan soteriologi, maka kristologi dan teologi akan bisa diatasi
dengan baik. Sehingga, kita tidak berbicara tentang teologi atau
kristologi agama-agama, melainkan pneumatologi agama-agama, di
mana di dalamnya dan melalui pengakuan itu kita menerima agamaagama selaku kehadiran Roh yang menyelamatkan.
Selama ini, mungkin karena tekanan kita terlalu berat kepada
teologi agama-agama maka, ada banyak kritik yang mengatakan
bahwa ini hanya menyangkut agama-agama "wahyu" saja, yaitu
Yahudi, Kristen dan Islam. Sedang agama-agama Timur lainnya,
seperti Hindu, Budha dan Konfusianisme tidak mendapat tempat
sewajarnya, kecuali ada pemaksaan tertentu. Mungkin di masa depan
pneumatologi ini akan merupakan terobosan baru bagi upaya untuk
merangkum agama-agama.
Soteriologi memberi horizon yang lebih konkret. Ia merupakan
sambungan antara doktrin dan praksis. Setidak-tidaknya, ia
merupakan gabungan antara kerangka teoretis yang bisa
mempertemukan doktrin dan etika, serta bisa memberikan titik pijak
yang memberi tekanan kepada soal etika menjadi penting. Titik
perhatian yang khusus dan terfokus di sana.
Teologi agama-agama harus diabdikan kepada upaya untuk
mengkonkretkan iman kepercayaan, untuk membangun kehidupan
manusia yang lebih baik. Kebenaran menjadi konkret dalam
kenyataan kehidupan. Soal dogmatis dan kebenaran bukan tidak
penting, tetapi justru sebaliknya, yang hendak dituju adalah
ungkapan praksis dari hubungan antaragama itu. Paul Knitter telah
berusaha
dalam
bukunya
"NO
OTHER
NAME?"
untuk
mengeksplisitkan suatu konsern tentang kebenaran digabung dengan
komitmen etika. Ini merupakan suatu langkah yang harus terusmenerus dijajagi.
Kebenaran telah dijadikan satu dengan kebajikan. Roh telah
menjadi daging. Antara creed dan deed antara doktrin dan tingkah
laku, antara teori dan praksis, antara iman dan buah-buahnya,
antara ortodoksi dan ortopraksis, telah dipersatukan. Demikian juga
perlu dipikirkan untuk menciptakan suatu pemikiran yang lebih utuh
tentang hubungan antara wahyu (revelation) di satu pihak dengan
soteriologi di pihak lain. Pengabsahan akan berlakunya pernyataan
Tuhan (revelation) akan memberikan implikasi yang positip pula
kepada gagasan tentang keselamatan yang ada dalam agama-agama.
Tanggapan terhadap konsep soteriologi yang dianut oleh kaum
Pluralis adalah konsep yang “universal” Liberal. Artinya mereka
berpendapat bahwa setiap orang sesungguhnya akan diselamatkan.
Kasih Allah yang besar tidak akan menempatkan manusia ke dalam
neraka. Karena itu menurut kaum Pluralis, bahwa untuk
menanyakan masalah keselamatan saja bagi orang yang bukan
Kristen adalah hal yang tidak patut, apalagi membangun doktrin
yang mengklaim keselamatan hanya untuk orang tertentu, hanya
untuk umat pilihan, merupakan ancaman bagi kesatuan dan
keutuhan komunitas manusia.
John Hick, Pluralis terkemuka dunia sangat mendukung
keselamatan yang universal. Karena baginya, hanya universalisme
yang mengerti penderitaan semua umat di seluruh dunia, dan hanya
universalisme yang mencegah orang Kristen menjadi berkuasa atas
orang-orang berbeda iman. Oleh sebab itu mereka berusaha untuk
menggerogoti Alkitab dan membuang finalitas Yesus Kristus.
Sesungguhnya kaum Pluralis tidak dapat memahami konsep
soteriologi yang sesungguhnya. Salah satu dasar yang menjadi
sandungan bagi mereka adalah doktrin Calvinis yang salah dalam
menafsirkan karya penebusan Yesus Kristus. Konsep penebusan yang
dilakukan oleh Kristus Yesus merupakan karya penebusan universal
yang partikular; artinya penebusan Kristus adalah universal sama
seperti dosa yang juga bersifat universal, artinya kematian Kristus
adalah untuk menggantikan posisi semua manusia yang berdosa.
Dalam rumusan Sidang Raya Dewan Gereja-gereja Dunia yang
menggantikan pemberitaan Injil dan digantikan dengan dialog;
pembebasan dari dosa digantikan dengan pembebasan dari
penderitaan dunia. Dari rumusan ini, terlihat bahwa cakupan dari
kedatangan Kristus bukan lagi universal melainkan lokal atau
bersifat partikular; dosa bukanlah pelanggaran terhadap kedaulatan
Allah; sehingga keselamatan pun menjadi partikular.
Artinya menolak universalitas penebusan. Semua manusia
telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah. Kematian
Kristus pun adalah bagi semua orang meskipun tidak semua orang
diselamatkan. “Kristus mati bagi setiap orang tetapi kematian-Nya
efektif hanya bagi mereka yang percaya pada Injil”. 2 Alkitab
mengajarkan bahwa Kristus mati untuk semua orang berdosa (1
timotius 1:15; 2 Korintus 5:14,15).
Setelah hubungan dengan Allah dipulihkan kembali melalui
kematian Kristus, sadar bahwa kita telah berbuat dosa, maka harus
berbalik
(bertobat)
meninggalkan
dosa-dosa
sehingga
kita
dilahirbarukan kembali (Matius 18:28; Galatia 4:9) melalui Firman
dan RohNya (Yoahanes 3:5; 1 Petrus 1:23).
2
405.
Paul Enns, The Moody Hand Book of Theologu, Terj, Malang: Gandum Mas, 2005, hal.
Download