Dogmatika Kaum Pluralis 1. Bibliologi dan Hermeneutika Dasar berpijak kaum Pluralisme dalam hal doktrin bibliologi merupakan suatu paham yang mereka anut dari kelompok Liberal. Teolog Liberal dalam perkembangan teologinya berusaha membebaskan manusia Kristen dari pemikiran yang berbau imani dan tradisi serta mencoba mengikuti pola manusia modern yang dianggap telah lahir baru dan mampu menggunakan rasionya dalam penelitian Alkitab. Dalam penafsiran terhadap Alkitab akhirnya membuat mereka bukan semakin menjunjung tinggi Alkitab tetapi malah mengadakan kritik kedalamnya. Akhirnya muncullah kritik histories terhadap Alkitab yang bermula dari usaha para penafsir untuk mengerti kondisi sejarah penulisan kitab - kitab. Namun pengaruh filsafat mengendalikan penelitian tersebut sehingga mengabaikan unsur religius dan supranatural. Dari kritik historis ini, lahirlah teori dua sumber atas kritik Pentateukh oleh Jean Astruc. Kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yang menunjuk pada dewa Hermes, seorang utusan yang memiliki tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus (di langit) ke dalam bahasa yang dimengerti oleh manusia (di bumi). Fungsi Hermes menjadi penting karena bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan-pesan dewa akan berakibat fatal bagi kehidupan manusia. Hermeneutika pada awal perkembangannya dikenal sebagai gerakan eksegesis dikalangan gereja dan kemudian berkembang menjadi bagian dari filsafat bahasa (tentang) penafsiran. Namun hermeneutika sebagai disiplin filsafat bisa dipahami melalui dua pengertian. Pertama, memahami hermeneutika sebagai prinsipprinsip metodologis, yakni sebagai usaha yang mendasari kegiatan penafsiran. Kedua, memahami hermeneutika sebagai eksplorasi filosofis tentang karakter dan kondisi yang diperlukan bagi semua bentuk pemahaman. Carl Braaten kemudian berusaha mengakomodasi kedua pengertian tersebut menjadi satu dengan menjelaskan bahwa hermeneutikan adalah ilmu yang merefleksikan bagaimana suatu kata ataupun suatu peristiwa pada waktu dan budaya masa lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi kita pada masa sekarang. Sistem hermeneutika golongan rasionalisme yang kemudian dianut oleh pluralisme, sangat dipengaruhi oleh semangat renaissance, rasionalisme filosofis yang diwakili oleh Rene Descartes (1596-1650), Thomas Hobbes (1588-1679), Baruch Spinoza (16321677), dan John Locke (1632-1704), system hermeneutika ini sebagai usaha menghapuskan otoritas gereja. Prinsip yang menjadi tolok ukur berpikir mereka adalah bahwa semangat apapun yang tidak sejalan dengan educated mentality harus ditolak. Educated mentality dupahami sebagai sikap kedewasaan rasional. Dalam pemikiran ini, jelas bahwa kaum beriman (kristianitas) ketika berbicara bahwa “Allah bersabda” semua harus mendengarkan. Sikap ini dikecam oleh kaum rasionalisme dan memposisikan pemikiran ini sebagai kelompok autoritarianisme dengan dasar asumsi “siapapun yang berbicara dengan dan/atau atas otoritas adalah suatu kenaifan atau kebodohan. Teolog-teolog rasionalisme mula-mulai adalah Von Wolf (16791754) Herman Samuel Reimarus (1694-1768), dan oleh Gotthold Ephraim Lessing dengan memasukkan penyataan Alkitab ke dalam penyataan umum (Wolf) dan menjadikan penyataan umum sebagai sumber kekristenan secara menyeluruh (Reimarus). Iman dan akal budi dipandang sebagai incompatable and irreconcilable – tidak dapat bersama dan tidak dapat diperdamaikan. Dalam hal ini iman menundukan diri di bawah akal budi – rasio menjadi superior. Abad XIX merupakan puncaknya di mana alkitab diperlakukan radikal dengan munculnya penafsiran liberal dan ditandai dengan: a. Penolakan terhadap penyataan supranatural dan khusus b. Penolakan terhadap doktrin ortodoks tentang inspirasi alkitab c. Komitmen terhadap keunggulan rasionalisme d. Menegaskan bahwa kekristenan adalah produk dari perkembangan agamawi dan hanya menekankan arti moral dan etis (Wellhausen, Scleiermacher dan Ristchl) e. Komitmen terhadap prinsip kritik histories dan mempelajari alkitab berdasarkan prinsip arkeologis dan geologis (Harnack) dan berkembang dalam kritik bentuk yang dipengaruhi oleh pre-literary theory sebagai metode untuk memilih bahan-bahan Perjanjian Baru f. Mengambil Perjanjian Baru sebagai ciptaan orang-orang Kristen abad pertama di dalam tradisi lisan yang kemudian berkembang dalam bentuknya yang sekarang ini (Gunkel, Dibelius, Schmidt, Bultmann, dan rekan-rekannya). Pada perkembangan selanjutnya, F.D.E Schleiermacher kemudian dianggap sebagai Bapak Hermeneutika Modern karena dialah yang membangkitkan kembali pemikiran tentang hermeneutika dan membakukannya sebagai metode umum penafsiran, yang tidak hanya terbatas pada sumber-sumber teologis seperti kitab suci, ucapan dan perbuatan Nabi, kesepakatan para ahli agama maupun pada karya-karya sastra. Rintisan awal ini kemudian dilanjutkan oleh Wilhelm Dilthey yang menggagas hermeneutika sebagai ilmu-ilmu kemanusiaan. Pada periode selanjutnya, HansGeorge Gadamer 1 juga ikut mengembangkannya menjadi metode 1 Richard, E. Palmer, Hermeneutika. Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. filsafat yang selanjutnya lebih jauh dikembangkan oleh banyak filosof seperti Jurgen Habermas, Jacques Derrida dan juga Paul Ricoeur. Selain problem yang berkaitan dengan Trinitas dan tabiat Kristus maka salah satu pokok central dalam ajaran gereja adalah Alkitab. Trinitas, Kristus dan Alkitab merupakan tiga ajaran pokok (sentral) dalam ajaran gereja. “Orang dapat percaya kepada Allah namun tidak mengakui ke-Trinitasan Allah, itu pun tidak benar. Mengakui Trinitas berarti mengakui Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Namun tidak mengakui finalitas Alkitab itu sama dengan suatu “pengaindain” penolakan terhadap Trinitas. Bagaimana orang dapat menerima Trinitas sedangkan Alkitab tidak diakui kefinalitasannya? Alkitab merupakan wahyu khusus (special revelation) yang berotoritas. Hal seperti ini pernah terjadi kurang lebih abad ke 2. Di mana Marcion, seorang pedagang dari Laut Hitam bagian Timur Laut dari Asia Kecil. mengajarkan bahwa Allah Perjanjian Lama berbeda dengan Allah Perjanjian Baru bahkan teksteks Perjanjian Lama dan Perjanjian baru pun dibedakan. Ini dikarenakan Marcion menafsirkan Alkitab secara alegoris (Misalnya: Mat. 7:17; 9:17). Pandangan Marcion terhadap Alkitab berimbas pada pandangannya tentang Kristus. Kristus tidak diutus oleh Allah Bapa. 2. Penyataan Allah Kaum Pluralis juga tidak mengakui adanya pernyataan khusus melainkan hanya menerima penyataan umum. Bagi mereka semua sejarah adalah sejarah Allah dan sekaligus sejarah keselamatan. C.S Song melihat bahwa semua sejarah adalah sejarah Allah, karena Allah adalah yang awal dan yang akhir. Lagipula waktu adalah milik Allah, ia beralasan bahwa : Karena sejarah berlangsung dalam waktu pertama dan terakhir meliputi seluruh sejarah, sejarah dari permulaan sampai kepada akhirnya, sejarah yang berisi semua bangsa - bangsa termasuk Israel. Semua sejarah adalah sejarah Allah. Sejarah Persia adalah sejarah Allah sebagaimana sejarah Israel, sejarah Timur dari orang - orang yang menyembah berhala, tidak kurang dari pada sejarah Allah di dalam sejarah kekristenan Barat. Penekanan pada penyataan umum merupakan langkah konsistensi kaum pluralis untuk membangun fondasai teologi agamaagama. Penyataan khusus dalam argumentasi mereka merupakan penghalang bagi teologi agama-agama. Bagaimana menanggapinya? Marilah kita memeriksa kembali bagian alkitab untuk melihat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru untuk memahami kembali penyataan Allah versi kaum pluralis. Sebelum Kejadian 1:1, tidak seorangpun yang tahu “di mana Allah” (namun Ia Ada dalam being-Nya atau Ada-Nya yang kudus dan kekal). Kata kerja ini kemudian diikuti dengan Kata Benda jamak maskulin elohim. Bara elohim menunjukkan bahwa elohim bertindak sebagai subjek yang mencipta dari tidak ada menjadi ada dengan dabar elohim. Keberadaan objek ditandai oleh eksistensi subjek yang ada terlebih dahulu (Kejadian 1:1). Dengan demikian Bersyit bara elohim mengangkat ke permukaan pemahaman manusia tentang kekekalan elohim yang tak bermula dan tak berakhir. Dalam frase beresyit bara elohim, kata benda jamak maskulin elohim muncul sebagai penentu keberadaan atau eksistensi “objek-objek”. Di sini elohim berada pada poros causa prima. Artinya secara teologis elohim berbeda dengan ciptaan-Nya sehingga menolak pantheisme dan panentheisme. Kata bara dalam teks mengisyaratkan hasil ciptaan sebagai general revelation (langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya-Mazmur 19:1). General revelation merupakan langkah yang ditempuh Allah dalam menyatakan dirinya-Nya. Dari penyataan umum itu, manusia terbantu untuk mambangun verstehen-nya (pemahaman) tentang Allah sehingga manusia “punya” pemahaman tentang Allah. Hasil pemahaman itu kemudian disusun dan disistematisasikan sehingga terlihat bahwa “manusia tahu tentang Allah”. Ilmu tahu tentang Allah disebut theologia. Tetapi harus diingat bahwa “manusia tidak tahu sepenuhnya tentang Allah” sebab “tahunya manusia adalah tahu yang terbatas”. Keterbatasan tahu manusia mewajibkan atau mengharuskan manusia bergantung pada Allah sebagai Sang Misteri dan Sumber tahu yang tak terbatas. Dalam Ayub 11:7 dikatakan “dapatkah engkau memahami hakekat Allah, menyelami batas-batas kekuasaan Yang Mahakuasa”. Ia diketahui karena Ia berkenan menyatakan diri. Dari buku Kejadian 1:1, kita mengarahkan pikiran dan hati pada Injil Yohanes 1:1 untuk melihat jalan pikiran Yohanes “si mata elang (julukannya)” untuk membangun verstehen kita tentang Allah, yang dikenal dalam nama Yesus Kristus. Latarbelakang penulisan Yohanes (1:1) adalah pada konsep logos dalam dunia filsafat Asia Minor. Di Asia Minor, logos berarti pikiran yang benar. Logos dikemudian hari berkembang menjadi logika. Bagi Heiraklitos (salah satu filsuf alam) logos merupakan dasar perbuatan manusia dan logoslah yang menguasai dunia. Ruparupanya konsep logos ini dipahami dengan baik oleh Yohanes yang kemudian akan diberi makna baru. Sebab Yohanes hidup lima abad setelah Heiraklitos. Makna baru dari logos versi Yohanes adalah en archē ēn ho logos … Pemahaman yang mengemuka di sini adalah bahwa arche (dasar) dari segala sesuatu adalah logos atau radiks (akar) dari segala sesuatu adalah logos. Artinya logos menjadi pengendali, pengatur dan penopang segala sesuatu, segala sesuatu berjalan dari logos, oleh logos dan bermuara pada logos sebagai Sang teleos (Sang tujuan). Baik dunia fisik maupun metafisik dikuasai oleh logos. Dari teks Yohanes 1:1, kita melihat Yohanes yang berjalan melampaui (tetapi harus diingat bahwa Yohanes berutang budi pada para filsuf Asia Minor) logos ala filsuf alam. Pelampauan itu terlihat pada frasa “Logos itu bersama-sama dengan Allah dan logos itu adalah Allah”. Pernyataan bahwa “Logos adalah Allah” merupakan pemberian makna baru Yohanes atas konsep logos. Logos (Yunani) sama dengan kata Dabar (Ibrani). Kepentingan pemakaian konsep logos dalam Injil Yohanes, mula-mula dikarenakan ada orang Yahudi diaspora. Dalam rangka itulah Yohanes mengadopsi konsep tersebut sebagai langkah kontekstualisasi. Dalam arti Septuaginta, kita tahu bahwa teks Alkitab dalam bahasa Ibrani disalin ke dalam bahasa Yunani karena orang-orang Yahudi diperantauan tidak fasih berbicara dalam bahasa Ibrani. Dalam mencapai tujuan penyampaian euanggelion Yohanes memakai konsep Logos dalam budaya Yunani yang mana konsep tersebut sama dengan konsep dabar (Firman) dalam tradisi Yahudi. Dabar berarti “yang dibelakang, suatu penyebab atau penyebab utama. Tak terlihat, tetapi kalau terdengar tidak mungkin tidak, sesuatu akan terjadi”. Jadi dabar Elohim adalah dabar yang menjadikan. Ingatlah “berfirmanlah Allah jadilah maka jadi”. Jadi dabar atau logos menjadi Sang Terang. Pemikiran di atas merupakan pembicaraan tentang dabar atau logos dalam tataran ontologis/metafsis dan epistemologis dari kedua kata tersebut. Kita harus mengalihkan perhatian kita kepada dabar atau Logos Sarx (LS) sehingga pemahaman kita menjadi sempurna sebab di atas itu kita membangun pemahaman iman kita. Dengan melihat Kristologi - LS Yohanes, kita tidak hanya dibawa pada satu pemikiran ontologism atau melulu metafisis. Sebab Yohanes 1:1, kita temukan suatu konsep yang metafisis atau dibawa dan berada di dunia ide. Dengan beranjak pada Yohanes 1:14, kita menemukan sebuah stateman yang sangat fenomenal dan fantastic. Yohanes berkata “kai ho logos egeneto sarx – Firman itu telah menjadi manusia- And the Word became flesh”. Ayat 1 dari Yohanes pasal 1 khas ontologism namun ayat 14, Yohanes menyatakan logos telah menjadi manusia. Atau Logos telah hadir dalam pengalaman asasiah manusia (khas epmiris) dan bersentuhan dengan manusia. Ayat 14, menepis pandangan deisme yang memandang Allah melulu transenden dan mendukung theisme (Ia transenden juga imanen. Ia itu fascinans namun tremendum – menakutkan namun memesona dalam kerahiman dan kerahmatan-Nya). Ayat 14, kai ho logos egeneto sarx. Sarx-daging merujuk pada rupa manusia atau telah mengambil bentuk, dan wujud manusia, diam di antara kita dan kita melihat kemuliaan-Nya. Dari pernyataan di atas, kita dapat menarik sebuah sudut pandang, yakni sudut pandang Pusat metafisika Kristen. Pusat Metafisika Kristen adalah pada Kristus sebagai the ultimate reality. Sebab di dalam dia berdiam seluruh kepenuhan ke-Allah-an. Kristus merupakan penyataan dan kenyataan dari Yang Tertinggi dan Yang Ilahi (The holy One). Dari general revelation, Allah terus menyatakan diri-Nya untuk dikenal hingga pada special revelation. Di sini kita melihat progresifitas dari wahyu Allah. Wahyu bergerak dalam rancangan (blue print) Allah. Kristus merupakan puncak penyingkapan diri Allah. Sebab melalui, tabiat Allah terpresentasi dan pemahaman kita tentang Allah dan tentang iman manusia menjadi perfect. Dalam kedatangannya yang pertama dalam wujud daging (Yoh. 1:14) atau wujud manusia adalah dalam kemanusiaan-Nya tanpa dosa sebab dilahirkan melalui kandungan seorang “perawan – parthenos”. Ia berinkarnasi menjadi manusia. Namun mengapa Ia mengambil rupa demikian? Anselmus berkata dalam sebuah esaynya “Cur Deus Homo” – mengapa Allah menjadi manusia?. Allah Bapa memberikan Putera-Nya dalam rupa manusia adalah semata-mata untuk: 1. Menyingkapkan Allah kepada kita; selain wahyu umum (general revelation), Allah Bapa mengutus Putera-Nya sebagai wahyu khusus (special revelation) dan ini merupakan puncak penyingkapan diri Allah kepada kita. Anselm berpendapat “Tuhan Allah sendiri turun dari surga dan menjelma dalam anak-Nya Yesus Kristus supaya hukuman manusia ditanggungNya sendiri dan Ia dapat membayar hutang dosa ganti (substitute theory) kita. Dengan jalan itu, baik keadilan, rahmat dan kasih Allah dipenuhi dan disempurnakan”. Kehadiran Yesus dalam ranah sejarah manusia adalah untuk menjelaskan “Dia yang Ilahi, yang Misteri dan yang ter-tinggi.” Atau “Ia menyatakan diri secara historis dalam Yesus dari Nasaret, yang disebut Anak-Nya karena hubungan erat dengan-Nya, dan secara batiniah dalam diri manusia oleh Roh Kudus.” 2. Untuk memberikan suatu teladan bagi kehidupan kita; ini juga yang menjadi perhatian Matius (mencatat kelahiran dan masa kanak-kanak Yesus sebagai manusia 1:25; 2:1-23 , Markus (kerendahan hati Yesus melalui pelayanan, hidup dan aktivitasNya) dan Lukas (penyesuaian-Nya dengan adat Yahudi; 21-24 dan masa remaja-Nya 2:41-52). 3. Memberikan pengorbanan yang efektif untuk dosa; untuk menghapus dosa kita memerlukan seorang Juruselamat (Ibrani 10:1-10). 4. Untuk memusnahkan pekerjaan iblis (I Yohanes 4:8). 5. Untuk mempersiapkan kedatangan-Nya yang kedua (Ibrani 9:28; Roma 8:18-25). Kristus telah menyelesaikannya di kayu salib. Ia telah menanggung segala kepenatan, aib, kelemahan, sakit penyakit dan segala kekurangan manusia. Ia berkata “tetelesthai-sudah selesai”. Tetelesthai dari kata teleo artinya it is finished, it’s complete”. Dari pemikiran di atas, kita menafikan teosentrisme pluralis dalam pengertian memahaminya dalam progresifitas wahyu. Jika hanya berhenti pada penyataan umum maka demikianlah jalan pikirnya seperti kaum pluralis. Mereka konsisten dengan tidak memasukan penyataan khusus tetapi sekaligus inkonsisten sebab jika menolak Krostosentrisme maka harus menolak Perjanjian Baru dan menolak bagian-bagian alkitab dalam Perjanjian Lama yang mencatat nubuat tentang Mesias. 1) Kristologi Mengapa Kristologi Relatif (juga Soteriologi)? Ajaran tentang Kristus menjadi relatif karena kebenaran yang terdapat dalam Alkitab mengandung unsur “relativitas”. Semua yang tertulis dalam Alkitab “tidak mutlka benar” (Bibliologi Relatif). Sehingga apa pun hasil yang diperoleh dengan pendekatan atau metodologi tertentu akan berakhir dengan hasil yang “relatif”. Hasil yang kita peroleh bukan hasil yang “mutlak benar” melainkan “relatif benar”. Memikirkan inkarnasi Kristus adalah suatu “kenaifan” karena tidak mungkin Yang Mutlak menampakkan diri . Tidak mungkin Allah mewahyukkan diri karena tidak ada kebenaran pada wahyu. A tidak sama dengan B – itu benar karena berada dalam wilayah logika namun bila “Allah menjadi manusia” ini memang melewati batasbatas logika (trans-logika). Mengapa? Karena “nalar” manusia bahkan “bahasa” manusia terbentur dengan batas-batasnya untuk “menalar” dan “membahasakan” “apa yang kita sebut tak terbatas”. Di sini manusia dengan logikanya tidak dapat memberi ukuran kebenaran. Nalar manusia memang melewati batas-batas fisika (trans fisika) untuk “meraba” apa yang ada balik fisika untuk membuat “kemungkinan-kemungkinan” namun manusia tidak bisa memungkiri realitas diri yang bukan “roh”. Maka dari itu manusia tidak bisa menentukan dengan pasti apa yang ada dibalik fisika. Manusia hanya dapat membuat “kemungkinan atau pengandaian”. Manusia hanya dapat mengatakan dan menentukan bahwa itu benar “jika apa yang dikatakan korensponden dengan objek”. Misalnya #“di kulkas ada sayur bayam”#. Pernyataan ini dinyatakan benar atau dapat ditentukan kebenarannya apabila pernyataan itu sesuai dengan objek (dapat dilihat dan diraba) di mana di dalam kulkas memang ada sayur bayam. Jika tidak maka dinyatakan salah. Maka dari itu bila Allah menjadi manusia itu benar. Karena pernyataan in trans-logika dan trans fisika. Yang tahu secara pasti itu hanya Allah (Bapa) karena tidak terbatas. Allah menjadi manusia itu “memungkinkan” namun manusia menjadi Allah itu “tidak memungkin” kecuali “diper-allah-kan atau diper-tuhan-kan”. Yang “diper-allah-kan dan diper-tuhan-kan” itu hanya “mungkin bagi berhala” tetapi “tidak mungkin bagi TUHAN”. Bila semua hasil pendekatan atau metodologi yang dipakai adalah relatif maka apapun yang diklaim oleh teolog-teolog pendukung “Yesus Sejarah, Yesus Seminar dan Jesus at 2000”; “ortodoksi Kristologi” bahkan penganut paham “relativisme” pun adalah tidak mutlak benar. Sebuah pemikiran yang sederhana terhadap pemikiran relatifisme adalah bahwa “apa saja yang mereka katakan itu tidak benar karena mereka juga berdiri di atas asumsi relatifisme” dan teologi yang mereka rintas dengan nama teologi agama-agama/religiounum atau apapun nama teolognya itu hanya benar bagi mereka tetapi tidak benar bagi orang lain. Dalam pemikiran relativisme sudah ada batasnya, yakni kebenaran itu benar atau sahih sejauh bagi diri sendiri dan tidak bagi orang orang. Kita sebagai orang-orang yang mengakui diri Kristen “Injili”, kita diperhadapkan dengan suatu tantangan baru. Sebab kita tahu bahwa gerakan Injili sangat erat dengan modernisme. Bagaimana Luther dan Calvin bahkan penerus mereka memulai gerakannya (gerakan reformasi) lahir dalam awal abad modern. Sebagaimana tokoh-tokoh modern, kaum Injili selalu menggunakan perangkatperangkat modernisme, seperti metode ilmiah, pendekatan empiris terhadap realitas dan realisme akal sehat. Pemberitaan Injil oleh kaum Injili pun sering dibarengi dengan apologetika rasional untuk membuktikan keberadaan Allah, kebenaran Alkitab bahkan peristiwa historis Yesus. Dalam era modern bahkan postmodern, gereja diperhadapkan dengan berbagai isu seputar Kristologi. Krisis-krisis yang terjadi tidak hanya melanda gereja-gereja Protestan – aliran non Injili melainkan juga gereja-gereja aliran Injili. Pengaruh globalisasi filsafat-filsafat postmodern memberi warna tersendiri bagi perkembangan teologi. Orang tidak hanya belajar untuk menjadi objektif tetapi justru dalam semangat keobjektifan itu, ada sebagian orang yang berpikiran subjektif. Tidaklah heran jika pluralisme berkembang begitu cepat bukan karena orang semakin objektif melainkan bertumbuh subur karena subjektifisme. Sebenarnya isu-isu seputar Kristologi, misalnya pluralisme, bukanlah hal baru. Pluralisme bukan suatu tema baru melainkan sudah lama ada dan lebih merupakan filsafat. Namun, tema tersebut diberi warna khas era postmodern atau dengan warna khas era tertentu. a) Kekhasan Kristologi Modern Pada abad ke 18 pedekatan Kristologis ditandai dengan pendekatan yang theosentris di mana penekanan untuk Kristologi adalah pada keilahian-Nya. Bertolak belakang dengan abad ke 18, setelah itu pendekatan Kristologis bukan lagi theosentris melainkan anthroposentris. Suatu pendekatan Kristologis yang menekankan kemanusiaan Kristus. Penekanan pada keinsanian-Nya menghantar orang pada pemikiran bahwa Yesus tidak lebih daripada seorang manusia biasa. Transendenitas dilupakan sedangkan imanenitas-Nya ditonjolkan. Yang membedakan Yesus dari manusia biasa lainnya adalah kesadaran-Nya akan Allah melebihi manusia pada umumnya. Itulah yang dikembangkan oleh Berkhof. Selain itu buku terlaris karya The Davinci Code #1 versi New York Times # bahkan kisahnya diangkat dalam layar lebar mengisahhkan tentang Yesus manusia biasa. Bahkan sebuah buku “Pengakuan Maria Magdalena” yang merupakan sisi lain dari The Da Vinci Code yang mengisahkan tentang “saat-saat intim bersama sang guru”. Buku ini mengisahkan bahwa Yesus adalah manusia biasa, seorang laki-laki normal, pasti tertarik pada wanita, punya istri (maria Magdalena) dan punya anak perempuan. Ini merupakan obsesi dan minat masyarakat modern terhadap tulisan tersebut. b) Masalah-masalah Kontemporer dalam Metodologi Kristologi Secara literer, istilah methodologi terbentuk dari dua kata yakni methodos – logos/gis. Meta berarti dengan dan hodos berarti jalan cara sedangkan logos berarti berpikir lurus atau berpandangan lurus. Maka methodologi berarti cara kerja yang teratur dan sistematis dengan berpikir lurus dan genah dalam aturan atau sistem tertentu. Setiap sistem harus koheren, kongruen dan koresponden. Dalam hubungannya dengan tema di atas, isu kontemporer metodologi Kristologi adalah suatu pendekatan atau pun analisa mengenai Yesus secara ontologis dan atau historis. Secara ontologis, di keitar abad ke 18 orang mulai meninggalkan penelaahan berkaitan dengan keilahian Kristus dan berpaling pada anthropologi Yesus dengan pendekatan historis, para pakar mencoba untuk menyelidiki “apakah Yesus dari Nazaret itu, Yesus yang berinkarnasi ataukah Yesus yang muncul dalam masyarkat Yahudi dengan mengajarkan kebenaran-kebenaran namun bukan “Kristus”. Selain itu, ada yang menggunakan metode pendekatan Kristologi dari bawah dan Kristologi fungsional. Teolog-teolog yang menggunakan metode ini adalah teolog-teolog Pluralis dengan menekankan sisi kemanusiaan Yesus atau lebih bersifat antroposentris. Pendekatan Kristologi dari bawah dekat dengan Kristologi ala “adopsionisme”. Pendekatan ini bertolak belakang dengan pendekatan Kristologi dari atas. Kristologi dari bawah mulai dengan langkah “mempertanyakan bagaimana Yesus menjadi Allah” sedangkan Kristologi dari atas mulai dengan langkah “mempertanyakan bagaimana Allah / Kristus menjadi manusia”. Berbeda dengan metode pendekatan Kristologi dari bawah dan Kristologi dari atas, Kristologi fungsional bertolak belakang dengan Kristologi Ontologis. Langkah penelitian Kristologi fungsional adalah dengan “mempertanyakan apakah yang dilakukan oleh Yesus?” sedangkan metode pendekatan Kristologi Ontologis diawali dengan “mempertanyakan siapakah Yesus itu?”. Salah satu contoh, Hans Kung mempertanyakan bagaimana fungsi gelar Yesus dalam kaitannya dengan konteks Asia di mana “wajah Asia bukanlah wajah yang penuh kemakmuran melainkan wajah yang menderita dan miskin”. Di sini fungsi Yesus dipertanyakan “apakah Yesus hanya menyelamatkan jiwanya sedangkan tubuhnya penuh dengan penderitaan”. Di sini juga dipertanyakan mengenai “Yesus yang dikenal sebagai tokoh pembebasan”. Dalam konteks ini Yesus diharapkan hadir sebagai pembebas kemiskinan Asia atau melakukan tindakan dehumanisasion. Dalam pemikiran banyak orang, entah itu mahasiswa teologi, hamba Tuhan ataupun teolog yang kontra dengan teolog-teolog Liberal ataupun Pluralis, pasti mengklaim bahwa para teolog Pluralis (cs) merupakan orang-orang yang tidak percaya Yesus. Boleh-boleh saja kita mengklaim demikian, namun kita juga harus terbuka dan bertanya dalam hati “apakah Yesus yang saya imani sanggup melepskan rakyat Asia yang terkenal dengan kemiskinan ataukah ada begitu banyak orang Asia yang sampai mati tidak pernah menikmati “indahnya dunia”. Atau hanya hidup dalam khayalan dan “berandaiandai”. Saya kira apa yang disodorkan tentang “Kristologi fungsional” harus kita pikirkan secara matang. Janganlah kita berkamuflase. Bila kita yakin Yesus yang kita imani sanggup mengangkat yang miskian menjadi kaya maka itu harus dinyatakan. Satu hal yang perlu kita pikirkan soal “Kristologi fungsional” adalah “bila Yesus yang kita imani mampu maka itu harus nyatakan dan merata di mana semua orang yang percaya Yesus dan yang miskin diubahkan menjadi kaya”. Bila tidak maka iman hanya merupakan “bualan belaka”. Bagaikan “si penjual obat yang tak laku-laku”. c) Yesus Sejarah dan Yesus Kepercayaan Pernyataan Alkitab dan juga pengakuan iman orang percaya dalam sejarah gereja. Tepatnya Konsili Oikumenis IV di Chalcedon (451) problem mengenai tabiat Kristus disahkan dan dimasukkan dalam Credo Apostolicum. Dalam Konsili IV di Chalcedon, dinyatakan bahwa “Yesus satu-satunya Anak Allah, Dia sempurna (teleion), baik dalam keilahian (Theoteti) juga dalam kemanusiaan-Nya (anthropoteti); benar-benar manusia dengan jiwa yang rasional (psyches logices). Sehakekat dengan Allah (homo ousion to patri) menyangkut keilahian-Nya dan Ia sehakekat dengan manusia (homo ousion anthropos) namun tidak berdosa. Namun, belakangan ini keunikan Yesus dipersoalkan kembali. Keraguan itu muncul karena adanya ketidakyakinan dari para teolog, terutama kelompok “Yesus Seminar”. Keraguan terhadap ke-Allahan Yesus adalah bahwa para murid penulis Alkitab (keempat Injil), tidak menuliskan apa yang benar-benar Yesus katakan melainkan keempat Injil merupakan hasil olahan atau merupakan hasil rekonstruksi para murid. Hal inilah yang mengakibatkan para teolog “Yesus Seminar” menerbitkan sebuah buku dengan judul “The Five Gospels”. Dalam buku The Five Gospels, semua ucapan Yesus yang terdapat dalam Injil-injil Markus, Matius, Lukas, Yohanes dan Injil Thomas diberi salah satu warna dari empat warna ini: merah, merah muda, abuabu, dan hitam. Warna “merah” (red) berarti Yesus pasti mengatakan hal ini atau sesuatu yang sangat menyamai ini; warna “merah muda” (pink) berarti Yesus mungkin sekali mengatakan sesuatu seperti ini; warna “abu-abu” (gray) menunjukkan Yesus tidak mengatakan hal ini, tetapi gagasan-gagasan yang terdapat di dalamnya dekat dengan gagasan-gagasannya sendiri; warna “hitam” (black) menyatakan Yesus sama sekali tidak mengatakan hal ini; ucapan-ucapan yang termuat di situ menampilkan pandangan atau isi dari suatu tradisi yang berbeda atau yang lebih kemudian. Perkembangan Rasionalisme yang mempengaruhi kekristenan menghasilkan keragu-raguan akan nilai 'Yesus Sejarah' yang disebut Alkitab, bahkan kemudian sejalan dengan tumbuhnya 'Kritik Historis' atas Alkitab sejak abad ke XVIII, pada abad ke-XIX dikenal dengan 'The Quest' (penyelidikan) ramailah dipersoalkan soal 'Yesus Sejarah' Sikap para teolog Yesus Sejarah merupakan tantangan bagi yang mengaku kaum Injili. Keyakinan kita akan finalitas Alkitab, dan bahwa “Alkitab itu benar tanpa salah” berdasarkan kanon benarbenar tertantang. Buku The Five Gospels merupakan langkah awal “manusia” untuk menentukan bagian-bagian alkitab yang masuk “golongan Firman Allah” dan “yang bukan Firman Allah atau ucapan manusia”. David Strauss, Albert Schweitzer dan Ernest Renan merupakan teolog-teolog yang banyak mempersoalkan Yesus sejarah. Mereka mengembangkan suatu penyelidikan yang disebut The New Quest. Khususnya Strauss, Strauss memunculkan karya fenomenalnya yang berjudul “The Life of Jesus Critically Examined”. Strauss berpendapat bahwa Yesus yang diberikan dalam Injil merupakan mitos dan semua yang bersifat supranatural juga adalah mitos. Apa yang dikumandangkan oleh Strauss dan kawan-kawan kemudian dikembangkan dan merupakan puncak penyelidikan dalam karya monumentalnya Bultman. Bultman hadir dengan “demitologisasi” disekitar parohan abad ke 20. Bultman yang anti supra-natural dalam karya demitologisasinya, ia mencoba untuk memisahkan Yesus Iman dan Yesus sejarah. Strauss, Harnack, Ritschl, dan Bultman, merupakan teologteolog yang anti supranatural. Sikap anti-supranatural ini, merupakan langkah awal dalam kritik-kritik mereka; menyangkut kelahiran Kristus dari seorang perawan dan kebangkitan Kristus. Artinya mereka ingin menolak keilahian Kristus. Mencoba untuk memunculkan kembali masalah klasik dalam doktrin gereja. Keilahian Yesus ditolak dan kembali menekankan kemanusiaan Yesus – dengan menghadirkan sosok Yesus dalam kehidupan-Nya sebagai manusia biasa yang bergumul dengan masalah sosial politik dan Palestina pada abad pertama. Bahkan ada teolog yang mengatakan Yesus adalah tokoh Yahudi yang gagal dalam pemberontakan-Nya. Dari isu Yesus Sejarah, kini sampailah kita pada isu berikutnya yakni isu “Yesus Seminar”. Ide tentang Yesus Seminar awalnya memang telah dibicarakan oleh beberapa teolog (Liberal) namun ide itu baru mencapai puncaknya dan disebut “Yesus Seminar”. Murid Bultman – Ernst Kaseman-lah yang merintis ide “Yesus Seminar” dengan pendekatan yang disebut The New Quest. Robert Funk dan John Dominic Crossan merupakan tokoh Yesus Seminar di Amerika Serikat. The New Quest kemudian di susul dengan Third Quest dengan tokoh Marcus Borg dan E.P Sanders. Mereka inilah yang menyebut Yesus pemimpin Yahudi dan pemberontak yang gagal. Perbedaan penting masa 'the quest' dengan 'the new & third quests' adalah bahwa pada penyelidikan pertama kitab Injil diterima sebagai benar tetapi aspek mujizatnya ditolak, sedangkan dalam penyelidikan-penyelidikan berikutnya justru kebenaran kitab Injil itulah yang ditolak dan dinilai dari sudut pandang pemikiran rasionalisme, kitab apokrifa atau rekaan manusia modern. Yesus sejarah, merupakan hasil tafsir atau teologi dari pada para murid Yesus. Ini juga tidak lepas daripada sistem hermeneutika yang dipergunakan oleh para teolog, seperti Borg, C.S. Song, Eckardt dan lain-lain. Sistem hermeneutika yang dipergunakan adalah historis kritis. Dari hasil kritik historis (bahkan kritik redksi), maka disimpulkan bahwa tidak ada kenambungan antara Yesus sejarah dan Yesus kepercayaan. Yesus yang diberitakan oleh para murid merupakan Yesus tidak pernah hadir dalam sejarah melainkan merupakan Yesus yang diimani para murid. Oleh karena itu, Injil kesaksian para murid tidak relevan lagi untuk konteks masa kini. d) Yesus Seminar Jesus Seminar' diselenggarakan atas sponsor Westar Institute di Amerika Serikat dengan maksud memperbaharui penyelidikan Yesus Sejarah tepatnya 'ucapan-ucapan Yesus yang otentik.' Laporan lengkap penyelidikan ini dibukukan dalam buku berjudul 'The Search for the Authentic Words of Jesus, The Five Gospels, What Did Jesus Really Say?' (1993). Pada bagian awal halaman v buku itu kita dapat melihat kemana arah nafas seminar tersebut: "Laporan ini dipersembahkan kepada Galileo Galilei yang mengubah pandangan kita mengenai surga selamanya. Thomas Jefferson yang menggunakan gunting dan memotong-motong Kitab Injil. David Friedrich Strauss yang mempelopori penyelidikan mengenai Yesus Sejarah." Seminar ini diketuai Robert W Funk, profesor Perjanjian Baru pada Montana University, dan John Dominic Crossan, rahib Roma Katolik Irlandia yang terpaksa melepaskan kerahibannya karena pandangannya yang kontroversial atas Alkitab dan profesor pada De Paul University, Chicago di Amerika Serikat. Disebutkan dalam prakata buku itu bahwa buku itu disusun setelah 6 tahun kerja oleh ahli-ahli yang disebut dididik di universitas-universitas terkemuka di Eropah dan Amerika Serikat. Pertemuan pertama pada tahun 1985 diikuti 30 peserta dan dikatakan bahwa 200 orang lainnya kemudian ikut bergabung. Pertemuan diadakan dua kali setahun untuk mendiskusikan satu-persatu ucapan-ucapan Yesus yang ada dalam Alkitab. Buku itu selain berisi hasil seminar juga memuat terjemahan kitab Injil yang disebut sebagai 'The Five Gospels' dengan memasukkan 'Injil Thomas' sebagai Injil ke lima. Dan karena para pengikut seminar mempercayai teori Injil Markus sebagai kitab Injil tertua, maka Injil Markus diletakkan di depan kemudian disusul InjilInjil Matius, Lukas dan Yohanes dan baru Injil Thomas. Terjemahan ini disebut sebagai 'The Scholar Version' (SV) yang memberikan kesan akademik, dan yang dianggap merupakan versi untuk bisa dengan mudah dimengerti oleh pembaca Amerika modern dengan versi yang dikatakan sebagai paling dekat dengan apa yang bisa didengar oleh jemaat abad pertama. Aktivitas seminar adalah: Pertama, mengumpulkan 'ucapan-ucapan yang dianggap dari Yesus' dari kurun waktu 300 tahun baik dari Alkitab maupun dari sumber-sumber kuno yang mungkin dikumpulkan. Ucapan-ucapan yang berjumlah sekitar 1500 itu kemudian dibagi dalam 4 kategori, yaitu perumpamaan, aforisme, percakapan, dan cerita yang mengandung ucapan Yesus. Ucapan-ucapan lebih pendek dianggap lebih asli karena orang lebih mudah mengingatnya daripada kalimatkalimat panjang yang mungkin disusun kemudian dan sudah berkembang dan dibumbui. Kedua, kemudian dilakukan pemungutan suara oleh yang hadir untuk menentukan keaslian ucapan itu. Dalam penentuan keaslian itu tersedia empat pilihan, yaitu yang dianggap ucapan Yesus yang: (1) Asli diberi warna merah, yaitu yang dianggap ucapan Yesus sendiri; (2) Mungkin Asli diberi warna merah muda, yaitu untuk menunjukkan ucapan Yesus yang masih diragukan atau telah mengalami perubahan-perubahan selama proses salinan; (3) Mungkin Tidak Asli diberi warna abu-abu, yaitu ucapan yang tidak diucapkan oleh Yesus tetapi mengandung gagasan Yesus; dan (4) Tidak Asli diberi warna hitam, yaitu ucapan yang dianggap bukan dari Yesus dan ditulis pengikutnya atau musuhnya. Ucapan-ucapan itu disusun untuk merekonstruksikan sejarah kehidupan Yesus. Selain itu, Jesus Seminar mencoba untuk memperjelas pemisahan antara 'Yesus Sejarah' dan 'Yesus Iman,' termasuk di dalamnya mengenai Inspirasi dan ketidak bersalahan (Inerrancy) Alkitab dan pembedaan Yesus (ke-manusia-an) dari Kristus (ke-Tuhan-an), dan beberapa masalah dibahas seperti antara lain sekitar sumber-sumber dan hubungan antar kitab Injil, dan juga tempat Injil Thomas sebagai Injil ke Lima, dan soal tradisi ucapan Yesus. Yang menarik dari metodologi penyimpulan yang digunakan adalah cara 'pemungutan suara' (voting), yaitu ucapan Yesus ditentukan hanya dengan pemungutan suara mayoritas 'responden' puluhan peserta yang hadir. Hanya beberapa puluh orang yang menentukan dengan voting mana ucapan Yesus dalam kitab-kitab Injil itu yang dapat dikata asli, mungkin asli, mungkin tidak asli, dan tidak asli. Dari komposisi responden dan angket demikian jangan heran kalau keluar kesimpulan bahwa '82 persen ucapan dalam kitab-kitab Injil bukan ucapan Yesus (warna merah).' Menarik pula melihat hasilhasil angket lainnya. Dalam 'Injil Markus' yang dianggap sumber Matius dan Lukas, hanya ada satu ayat yang dianggap ucapan asli Yesus (12:17), padahal 'Injil Matius' ada 5 ayat atau kumpulan ayat yang dianggap asli diucapkan oleh Yesus (5:39-42,44; 6:9;13:33; 20:1-15) dan dalam 'Injil Lukas' malah ada 7 ayat atau kumpulan ayat yang dianggap asli diucapkan oleh Yesus (6:20-21,27,29-30; 10:30-35;11:2;13:20). Jadi jangan heran kalau 'Kotbah di Bukit' (Matius 5-7) hampir seluruhnya dianggap bukan ucapan Yesus (kecuali 5:39-42, dan sebagian dari 5:44, dan doa Bapa kami hanya kata 'Bapa kami' dalam 6:9-lah yang diberi warna merah), lagipula ayat Matius 28:19-20 yang merupakan ayat yang berisi 'Amanat Agung Tuhan Yesus' malah dianggap sama sekali tidak asli (diberi warna hitam). Malah dalam 'Injil Yohanes' tidak ada yang bisa dianggap sebagai ucapan Yesus yang asli dan hanya satu yang disebut sebagai 'mungkin' (4:44) yang diberi warna merah muda. Mengenai ini tepat komentar Raymond E. Brown, pakar Kristologi dari Katolik Roma, dalam bukunya ‘An Introduction to New Testament Christology’ menyebutkan: “Hostoricity, however, should be determined not by what we think possible or likely, but by antiquity and reliability of the evidence.” Kelihatannya motivasi dan misi Jesus Seminar ditujukan untuk membungkam Yesus dan kitab-kitab Injil, Yesus tidak dianggap mengaku sebagai Mesias dan 'Allah yang menjadi daging', ia tidak berbicara mengenai kedatanganNya keduakali, ia tidak menjanjikan akan mengampuni dosa, ia tidak mengkotbahkan 'kotbah di bukit', dan bahkan ia tidak pernah 'mengutus murid-muridnya' untuk memberitakan Injil. Yang lebih menarik lagi adalah bahwa kitab 'Thomas', dari 114 fasal, hanya ada 6 ayat dalam tiga fasal (20:2-4; 54:1, dan 100:2-3) yang dianggap asli ucapan Yesus! dan kitab ini disebut Injil ke-lima yang dianggap lebih berotoritas daripada kitabkitab Injil kanonik. Dapatkah kesimpulan angket demikian diterima keabsahannya? Pembaca dapat menyimpulkannya sendiri. Yang jelas, kesimpulan-kesimpulan demikianlah yang disebar luaskan secara terbuka di mass media tanpa ada pemeriksaan serius dari pihak mass media dan pembahasan persidangan gereja, dan hanya pembaca kritis yang mau menyelidiki apa yang ada di balik pernyataan-pernyataan itulah yang bisa mengetahui lika-liku yang dianggap 'the scholars version' tersebut. Kenyataan lain adalah bahwa sekalipun mungkin memilih sama dalam voting, para peserta yang terlibat tidak selalu berfikir sama mengenai hal-hal yang dipercaya. Sebagai contoh, Crossan mengatakan bahwa 'Yesus Funk' beda dengan Yesusnya, dan dalam buku 'The Five Gospels' disebutkan oleh Funk mengenai Marcus Borg bahwa sepanjang sejarah seminar, Borg tidak pernah ikut voting bersama mayoritas atas setiap isu. Hal lain lagi yang perlu direnungkan adalah apa pandangan iman dan teologis yang bisa diharapkan dari seorang Paul Verhoeven yang dengan bintang Sharon Stone pemain 'Basic Instinct' (film yang mengumbar sex & sadisme) sedang membuat film Yesus yang benarbenar hanya seorang manusia (seperti pemuda modern) yang di dalamnya berpacaran dengan Maria Magdalena? Makalahnya berjudul 'Fully Human' disampaikan pada forum Jesus Seminar yang diadakan pada tahun 1994 dimana pada saat yang sama Jesus Seminar menyimpulkan bahwa 'Jesus tidak dilahirkan dari anak dara Maria, Yesus lahir dalam proses sebagai layaknya manusia biasa'. Disebutkan pula dalam prakata buku itu bahwa buku itu disusun setelah 6 tahun kerja oleh ahli-ahli yang disebut sebagai dididik di universitas-universitas terkemuka di Eropah dan Amerika Serikat. Pada kenyataannya, kecuali Marcus Borg, Robert W. Funk dan John Dominic Crossan, umumnya anggota lainnya adalah teolog biasa yang tidak menonjol. Dari para ahli Perjanjian Baru di universitas-universitas terkemuka, hanya Claremont University yang ada wakilnya, sedangkan pengikut dari Emory University hanya sekali datang. Para ahli Perjanjian Baru dari universitas-universitas terkemuka seperti Yale, Harvard, Princeton, Duke, Union, Emory maupun Chicago, tidak ada yang diwakili. Para ahli Perjanjian Baru dari Eropah dan benua lain juga tidak ada yang diwakili sebelum mereka mengeluarkan kesimpulan dalam buku ‘Five Gospels’. Lepas dari itu sebenarnya para peserta seminar bukanlah tergolong tokoh dalam pendidikan teologi. Kecuali Crossan dan Borg yang punya pengalaman mengajar di universitas umumnya peserta seminar adalah orang-orang yang tidak banyak dikenal di kalangan pendidikan tinggi teologia. Para peserta yang hadir tidak ada yang mewakili seminari teologia sekalipun mereka mengajar di sana lebihlebih seminari teologia papan atas, mereka bertindak sebagai pribadipribadi, apalagi bahkan menarik untuk dicatatat keikutsertaan peserta aktif selama 6 tahun Paul Verhoeven yang bukan seorang teolog tetapi terkenal sebagai produser dan sutradara film mistik 'Robocop' dan film porno 'Basic Instinct' dan 'Showgirls'. Sekalipun yang hadir pertama kali disebut berjumlah 30 orang dan dikatakan kemudian diikuti 200 orang lainnya, kenyataannya berita itu dibesar-besarkan. Faktanya yang hadir dalam pertemuan tengah tahunan itu rata-rata hanya sekitar 30 orang saja. Dalam buku 'The Five Gospels' (1993) yang ditulis setelah 8 tahun berdirinya Jesus seminar, hanya disebutkan daftar 76 orang yang terlibat. Sekalipun Funk pernah menjadi sekertaris pada 'Society of Biblical Literature' (SBL) di Amerika Serikat, Jesus Seminar tidak ada hubungan sama sekali dengan SBL. Karena itu, dengan melihat angka-angka peserta di atas adalah terlalu ceroboh untuk menganggap kesimpulan seminar itu sebagai mewakili dunia teologi mengingat bahwa SBL saja mempunyai anggota sejumlah 6.900 orang yang setengahnya spesialis Perjanjian Baru, dan ini belum termasuk tokoh-tokoh Alkitab di luar SBL atau yang bergabung dalam paguyuban ahli-ahli Perjanjian Baru sedunia 'Studiorum Novi Testamenti Societas'. Kelihatannya para ahli yang berkumpul adalah mereka yang merupakan kelompok yang belakangan ini merupakan kelompok teolog yang memang bernada sumbang akan kekristenan dan antipati terhadap konservativisme Kristen, dan sekalipun menyebar luas, ternyata setelah lebih dari 10 tahun sejak tahun 1985, Jesus Seminar dalam prosesnya juga mengalami pendewasaan pula. Ungkapanungkapan para peserta Seminar yang semula begitu meyakinkan bahkan radikal, dengan adanya kritik-kritik dari luar ternyata kemudian berubah melunak. Ini menunjukkan bahwa mereka berangsur-angsur mengakui juga keterbatasan mereka. Dari ucapan penemu 'Jesus Seminar' Robert W. Funk, kita dapat melihat bahwa memang motivasi dan tujuan seminar ini adalah untuk mencari suatu cerita fiksi baru tentang Yesus dan Injil yang berbeda dengan cerita Injil tradisional. Ia mengatakan: "Apa yang kita butuhkan adalah cerita fiksi yang baru yang membawa kita menuju kejadian sentral drama Kristen-Yahudi dan merujukkan Mesias dengan cerita baru yang mencakup hal lebih besar daripada awal sampai akhir cerita lama. Kita memerlukan cerita baru tentang Yesus, Injil yang baru, bila kamu mau menempatkan Yesus yang berbeda dalam kerangka besar cerita kepahlawanan." Sebenarnya hal ini tidak aneh, soalnya sejak awal dan bertahun-tahun sebelumnya kedua pendiri dan ketua Jesus Seminar yaitu Funk dan Crossan sudah mempunyai gagasan kontroversial dan provokatif, itu pula yang menyebabkan Crossan harus menanggalkan jubah kerahibannya di gereja Roma Katolik. Jadi adanya Jesus Seminar bukanlah untuk menyelidiki dan mencari kebenaran tetapi lebih untuk mencari legitimasi pandangan radikal mereka. Polemik yang 'sensasional', 'provokatif' dan 'kontroversial' dalam alam Amerika Serikat memang mudah dijual. Karena itu dengan datangnya modal dari Westar Institute dan liputan mass media yang intensif termasuk liputan majalah 'Time' ke seluruh dunia, seminar ini menjadi terkenal. Dalam seminar-seminar yang diadakan secara berpindah-pindah dari kota-ke-kota memang mass media sengaja diundang untuk meliput bahkan wawancara diberikan. Sebenarnya di Amerika Serikat ada banyak badan-badan yang menghibahkan dana besar bagi para teolog dan seminari teologi untuk studi kebenaran Alkitab, tetapi berita yang menguatkan alibi Yesus Sejarah tidak akan menarik mass media dan kurang laku menjadi komoditi bisnis komunikasi massa. Berita-berita yang bersifat skandal, sensasional, kontroversial, dan provokatif lebih laku di jual melalui mass media. Dalam alam sekular semacam Amerika Serikat dimana 'kotbah untuk bertobat dan hukuman kekal' sangat dimusuhi dapat dimengerti kalau seminar yang menyimpulkan bahwa Yesus tidak pernah mengatakan dan menyuruh manusia untuk bertobat tentu akan laku keras. Kelemahan besar dari metoda penyelidikan Jesus Seminar adalah hanya terkonsentrasi pada kitab-kitab Injil, inipun dengan maksud untuk dibandingkan dengan kitab-kitab Apokrifa yang dianggap lebih berotoritas, sedangkan data-data Yesus dalam kitabkitab para Rasul dan tulisan para Rasul diabaikan karena dianggap rekayasa gereja. Rasul Paulus dianggap sebagai tidak mempunyai minat pada Yesus, gaya cerita dalam Kitab-Kitab Injil dan Kisah Para Rasul hanya dianggap sebagai kemasan mitos yang didasarkan pada iman para murid Yesus. Demikian juga semua ucapan yang dianggap sudah berkembang harus dihapus. Kanon yang sudah menjadi dasar ajaran iman gereja selama duapuluh abad tidak mendapat tempat selayaknya dalam seminar karena isinya dianggap hanya mengungkapkan Yesus Iman dan bukan Yesus Sejarah. Sebaliknya, Injil Thomas diberi tempat istimewa sebagai 'Injil ke-Lima'. Suatu usaha menarik dari sekelompok kecil teolog yang begitu yakin bahwa pandangan mereka mengenai sejarah dan sosiologi Palestina abad pertama dianggap tanpa salah dan ingin menghapus keyakinan sejarah gereja yang sudah melalui dua milenium yang memproklamasikan bahwa 'Yesus itu Tuhan.' Raymod E. Brown seorang tokoh Katolik Roma yang adalah mantan profesor studi Alkitab di ‘Union Theological Seminary’, New York City, dan anggota ‘Komisi Alkitab Pontificiat Roma’ dalam bukunya ‘New Testament Introduction’ berkenaan dengan tokoh-tokoh dibalik Jesus Seminar, mengatakan: “When we read the historical Jesus written by these scholars, we actually got nothing about Jesus. They only show who they are... they are very subjective and lack of the historical facts." 2) Soteriologi Kecuali soal kebenaran yang unik dan universal tersebut, soal lain yang sangat penting adalah soal soteriologi. Di sini bisa dipertanyakan kembali: sampai seberapa jauh sebenarnya pemahaman mengenai keselamatan itu memberikan corak tertentu pada teologi kita, dan bagaimana hubungannya dengan soal kebenaran itu? Bagaimana kristologi dan teologi yang mengklaim kebenaran itu menempatkan agama-agama dalam kerangka besar keselamatan umat manusia? Di sini kita bergumul dengan kemungkinan untuk menerobos bentuk-bentuk teologi dan kristologi yang kaku dan memberikan ruang yang bebas dan positif untuk mengakui kehadiran dan nilai agama-agama itu dalam pemahaman soteriologi kita. Dan pemikiran kita mengenai Roh Kudus juga tidak banyak dikaitkan dengan soal soteriologi ini. Mungkin, jikalau pneumatologi ini sudah kita kaitkan dengan soteriologi, maka kristologi dan teologi akan bisa diatasi dengan baik. Sehingga, kita tidak berbicara tentang teologi atau kristologi agama-agama, melainkan pneumatologi agama-agama, di mana di dalamnya dan melalui pengakuan itu kita menerima agamaagama selaku kehadiran Roh yang menyelamatkan. Selama ini, mungkin karena tekanan kita terlalu berat kepada teologi agama-agama maka, ada banyak kritik yang mengatakan bahwa ini hanya menyangkut agama-agama "wahyu" saja, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Sedang agama-agama Timur lainnya, seperti Hindu, Budha dan Konfusianisme tidak mendapat tempat sewajarnya, kecuali ada pemaksaan tertentu. Mungkin di masa depan pneumatologi ini akan merupakan terobosan baru bagi upaya untuk merangkum agama-agama. Soteriologi memberi horizon yang lebih konkret. Ia merupakan sambungan antara doktrin dan praksis. Setidak-tidaknya, ia merupakan gabungan antara kerangka teoretis yang bisa mempertemukan doktrin dan etika, serta bisa memberikan titik pijak yang memberi tekanan kepada soal etika menjadi penting. Titik perhatian yang khusus dan terfokus di sana. Teologi agama-agama harus diabdikan kepada upaya untuk mengkonkretkan iman kepercayaan, untuk membangun kehidupan manusia yang lebih baik. Kebenaran menjadi konkret dalam kenyataan kehidupan. Soal dogmatis dan kebenaran bukan tidak penting, tetapi justru sebaliknya, yang hendak dituju adalah ungkapan praksis dari hubungan antaragama itu. Paul Knitter telah berusaha dalam bukunya "NO OTHER NAME?" untuk mengeksplisitkan suatu konsern tentang kebenaran digabung dengan komitmen etika. Ini merupakan suatu langkah yang harus terusmenerus dijajagi. Kebenaran telah dijadikan satu dengan kebajikan. Roh telah menjadi daging. Antara creed dan deed antara doktrin dan tingkah laku, antara teori dan praksis, antara iman dan buah-buahnya, antara ortodoksi dan ortopraksis, telah dipersatukan. Demikian juga perlu dipikirkan untuk menciptakan suatu pemikiran yang lebih utuh tentang hubungan antara wahyu (revelation) di satu pihak dengan soteriologi di pihak lain. Pengabsahan akan berlakunya pernyataan Tuhan (revelation) akan memberikan implikasi yang positip pula kepada gagasan tentang keselamatan yang ada dalam agama-agama. Tanggapan terhadap konsep soteriologi yang dianut oleh kaum Pluralis adalah konsep yang “universal” Liberal. Artinya mereka berpendapat bahwa setiap orang sesungguhnya akan diselamatkan. Kasih Allah yang besar tidak akan menempatkan manusia ke dalam neraka. Karena itu menurut kaum Pluralis, bahwa untuk menanyakan masalah keselamatan saja bagi orang yang bukan Kristen adalah hal yang tidak patut, apalagi membangun doktrin yang mengklaim keselamatan hanya untuk orang tertentu, hanya untuk umat pilihan, merupakan ancaman bagi kesatuan dan keutuhan komunitas manusia. John Hick, Pluralis terkemuka dunia sangat mendukung keselamatan yang universal. Karena baginya, hanya universalisme yang mengerti penderitaan semua umat di seluruh dunia, dan hanya universalisme yang mencegah orang Kristen menjadi berkuasa atas orang-orang berbeda iman. Oleh sebab itu mereka berusaha untuk menggerogoti Alkitab dan membuang finalitas Yesus Kristus. Sesungguhnya kaum Pluralis tidak dapat memahami konsep soteriologi yang sesungguhnya. Salah satu dasar yang menjadi sandungan bagi mereka adalah doktrin Calvinis yang salah dalam menafsirkan karya penebusan Yesus Kristus. Konsep penebusan yang dilakukan oleh Kristus Yesus merupakan karya penebusan universal yang partikular; artinya penebusan Kristus adalah universal sama seperti dosa yang juga bersifat universal, artinya kematian Kristus adalah untuk menggantikan posisi semua manusia yang berdosa. Dalam rumusan Sidang Raya Dewan Gereja-gereja Dunia yang menggantikan pemberitaan Injil dan digantikan dengan dialog; pembebasan dari dosa digantikan dengan pembebasan dari penderitaan dunia. Dari rumusan ini, terlihat bahwa cakupan dari kedatangan Kristus bukan lagi universal melainkan lokal atau bersifat partikular; dosa bukanlah pelanggaran terhadap kedaulatan Allah; sehingga keselamatan pun menjadi partikular. Artinya menolak universalitas penebusan. Semua manusia telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah. Kematian Kristus pun adalah bagi semua orang meskipun tidak semua orang diselamatkan. “Kristus mati bagi setiap orang tetapi kematian-Nya efektif hanya bagi mereka yang percaya pada Injil”. 2 Alkitab mengajarkan bahwa Kristus mati untuk semua orang berdosa (1 timotius 1:15; 2 Korintus 5:14,15). Setelah hubungan dengan Allah dipulihkan kembali melalui kematian Kristus, sadar bahwa kita telah berbuat dosa, maka harus berbalik (bertobat) meninggalkan dosa-dosa sehingga kita dilahirbarukan kembali (Matius 18:28; Galatia 4:9) melalui Firman dan RohNya (Yoahanes 3:5; 1 Petrus 1:23). 2 405. Paul Enns, The Moody Hand Book of Theologu, Terj, Malang: Gandum Mas, 2005, hal.