1 Analisis Makna dan Pelestarian Ulambana Dalam Buddhisme Livia Margarita, Audelia Christina, Sugiato Lim Binus University, Jl. Kemanggisan Ilir III/45, Palmerah, Jakarta Barat, 021-5327630 [email protected], [email protected], [email protected] ABSTRACT Ulambana is a tradition commemorated annually by Buddhism society on the 15th day of the 7th lunar month. The present research explains the origins, meanings, and social functions in Ulambana festival, as well as it’s ritual in Ekayana and Dharma Hastabrata Viharas. The writer here used qualitative research methods by integrating the results of library research and interview. Based on the interview results, the writer found out that Ulambana festival basically bore the same meaning despite the different ritual process in the two viharas. The study finally concluded that the true meaning of Ulambana ritual teaches about the devolution of services and respects to our parents and ancestors. Keywords :Buddhism, Ulambana Festival, Filial Obedience Festival, Tradition ABSTRAKSI Ulambana merupakan suatu tradisi yang dirayakan oleh masyarakat Buddhis setiap tahunnya yang jatuh pada tanggal 15 bulan 7 berdasarkan penanggalan imlek. Penelitian ini menjelaskan tentang asal mula, makna, dan fungsi sosial yang terkandung di dalam perayaan Ulambana, serta menjelaskan tata ritual perayaan Ulambana di Vihara Ekayana dan Vihara Dharma Hastabrata. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang memadukan hasil studi pustaka dengan hasil wawancara. Melalui proses wawancara, penulis mengetahui bahwa walaupun adanya perbedaan ritual Ulambana di kedua vihara tersebut tetapi memiliki makna yang sama. Kesimpulan yang kami dapatkan adalah makna ritual Ulambana yang sesungguhnya adalah sebagai pelimpahan jasa dan mengajarkan kita untuk selalu berbakti kepada orang tua dan leluhur. Kata Kunci:Buddhisme, Ulambana, Hari Bakti Orang Tua, Tradisi 2 PENDAHULUAN Kebudayaan China merupakan salah satu dari kebudayaan tertua di dunia. Kebudayaan China masih dipertahankan dan dilestarikan sampai saat ini. Salah satu unsur yang memberikan perkembangan terhadap kebudayaan China adalah Buddhisme. Buddhisme terlah menjadi salah satu bagian yang sangat penting dari peradaban dan kebudayaan China. Etnis Tionghoa sangat menjaga kelestarian budaya mereka sendiri. Seperti yang kita ketahui, etnis Tionghoa dikenal sebagai etnis yang memegang teguh kepercayaan terhadap pemujaan leluhur. Menurut Yan Mujianto (2010), perwujudan kebudayaan diciptakan oleh manusia sebagai wujud dari makhluk yang berbudaya dan dituangkan ke dalam hal nyata, seperti seni, religi, dan lain-lain, yang bertujuan untuk membantu manusia. Menurut Deddy Mulyana & Jalauluddin Rakhmat (2006) ,dikatakan bahwa tradisi merupakan suatu aspek budaya yang sangat penting yang dapat diekspresikan dalam kebiasaan-kebiasaan tak tertulis, pantangan-pantangan dan sanksi-sanksi. Tradisi dapat mempengaruhi suatu bangsa tentang apa yang merupakan perilaku dan prosedur yang layak berkenaan dengan makanan, pakaian, apa yang berharga, apa yang harus dihindari, atau diabaikan. Tradisi-tradisi mengekspresikan suatu budaya, memberi anggotaanggotanya suatu rasa memiliki dan keunikan. Namun terlepas dari apakah orang berbicara tentang suatu budaya suku atau budaya bangsa, subkultur militer atau subkultur agama, tradisi-tradisi harus ditelaah kembali secara teratur untuk melihat relevansi dan validitas tradisi-tradisi tersebut. Karena perubahan semakin cepat, tradisi-tradisi harus direvisi dan disesuaikan dengan kondisi yang berubah pada zaman teknologi yang menuju ke terciptanya suatu budaya dunia. Salah satu unsur Buddhisme China yang tetap bertahan adalah tradisi Festival Hantu Kelaparan yang masih dirayakan oleh pemeluk agama Buddha. Di dalam Buddhisme , tradisi ini disebut sebagai Hari Suci Ulambana. Hari Suci Ulambana berasal dari legenda Moggalana yang menyelamatkan ibunya dari alam sengsara. Hari Suci Ulambana mulai dirayakan sejak Dinasti Liang pada pemerintahan Kaisar Liang Wu Di (502-549) semasa periode Dinasti Utara-Selatan. Menurut Buddhisme, Hari Suci Ulambana ini diperingati berdasarkan penanggalan kalender imlek yang jatuh pada tanggal 15 bulan 7. Dalam perayaan ini, para pemeluk Buddha melakukan ritual upacara yang bertujuan mempersembahkan makanan kepada makhluk-makhluk yang telah meninggal dunia dan menolong mereka, baik yang masih meiliki hubungan keluarga maupun yang tidak ada hubungan keluarga, agar makhluk-makhluk tersebut dapat memperoleh makanan yang telah diberkahi dan juga sebagai pelimpahan jasa. Upacara ini juga sebagai sarana untuk menyatakan cinta kasih dan kasih sayang Sang Buddha dalam menolong para makhluk dari alam sengsara. Makna dari perayaan Hari Ulambana adalah pelimpahan jasa dan membalas budi kepada orang tua serta leluhur yang telah meninggal dunia. Dan ciri-ciri terpenting dalam Hari Ulambana ialah penyembahan leluhur, yang mana ketaatan para keturunan disambungkan kepada para leluhur walaupun selepas kematian mereka. Alasan diatas membuat penulis ingin mengetahui lebih dalam lagi perbedaan dan persamaan makna dan ritual Hari Suci Ulambana dalam aliran Mahayana dan Tantrayana. Selain itu penulis juga ingin meluruskan makna Ulambana yang sebenarnya, yaitu sebagai hari bakti terhadap leluhur bukan sebagai “bulan hantu”. METODE PENELITIAN Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan studi pustaka, yaitu bantuan dari buku, artikel, dan hasil wawancara yang berhubungan dengan topik penulisan penulis. Wawancara dilakukan pada tanggal 16 April 2014 di Vihara Ekayana Jakarta dan 28 April 2014 di Vihara Dharma Hastabrata Jakarta. Instrumen yang digunakan penulis dalam wawancara adalah telepon genggam sebagai alat perekam, serta notes untuk mencatat. Setelah melakukan wawancara, maka penulis menelaah hasil wawancara tersebut dan diharapkan hasil wawancara tersebut dapat mendukung penulisan skripsi ini. 3 Prosedur Penelitian Menentukan Topik Membuat landasan teori: Bab 1 : 14 April 2014 Bab 2 : 21 April 2014 Bab 3 : 21 April 2014 Observasi (wawancara) Pengolahan Data dan Analisis data Kesimpulan Bab 5 : 4 Juli 2014 Membuat Hasil dan Bahasan Bab 4 : 11 Mei 2014 HASIL DAN BAHASAN Berikut ini adalah hasil wawancara penulis di Vihara Ekayana Jakarta dan Vihara Dharma Hastabrata Jakarta. 1.Asal Mula dan Makna perayaan Ulambana Pada awalnya ritual ini mempunyai makna berbakti kepada orang tua, namun seiring berjalannya waktu berubah menjadi “bulan hantu”. Makna dan tata ritualnya pun mengalami pergeseran sehingga masyarakat sekarang ini menganggap ulambana bukan sebagai hari bakti terhadap orang tua. Gui yue dikaitkan dengan San Guan Da Di, karena San Guan Da Di adalah Dewa Penguasa Alam Semesta, yang terdiri dari Dewa Penguasa Langit, Dewa Penguasa Bumi, dan Dewa Penguasa Air. Dalam tradisi Chinam, tanggal 15 bulan 7 penanggalan Imlek disebut sebagai “hari hantu” dan seluruh bulan ke tujuh pada umumnya disebut sebagai “bulan hantu”. Karena dalam waktu satu bulan pintu gerbang neraka akan dibuka bebas sehingga para arwah termasuk para leluhur akan keluar dari alam yang rendah untuk ke bumi selama satu bulan. Di bawah ini penulis membahas tentang asal mula Ulambana dan makna perayaan yang sesungguhnya. 1.1Asal Mula Ulambana Hari Suci Ulambana ini dikisahkan dari seorang Bikkhu yang bernama Maha Moggalana. Ia merupakan salah satu murid Sang Buddha Gautama, yang terkenal akan kesaktiannya. Suatu hari, Bikkhu Maha Moggalana menggunakan mata batinnya untuk melihat ibunya yang telah meninggal dunia. Bikkhu Maha Moggalana merasa terkejut melihat ibunya yang sedang mengalami derita siksaan di alam neraka. Di dorong oleh rasa bakti seorang anak dan keinginannya untuk membalas budi, maka dengan 4 kesaktiannya Bikkhu Maha Moggalana datang ke alam neraka dan berusaha menolong ibunya, tetapi semua usahanya sia-sia. Seluruh makanan yang ia berikan selalu berubah menjadi batu bara api ketika sampai di mulut ibunya. Bikkhu Maha Moggalana langsung menemui gurunya Buddha Sakyamuni untuk meminta petunjuk dan pertolongan. Dengan penuh welas asih, Buddha Sakyamuni memberi petunjuk kepada Bikkhu Maha Moggalana pada bulan 7 tanggal 15 penanggalan Imlek, untuk memberikan dana kepada Sangha, lalu memohon Sangha untuk menyalurkan pahala tersebut untuk menolong ibunya terbebas dari penderitaan alam neraka. Perayaan Ulambana atau “Yu Lan Pen Hui”, mulai dirayakan sejak Dinasti Liang pada pemerintahan Kaisar Liang Wu Di (502-549) semasa periode Dinasti Utara-Selatan. Untuk mengenang kisah ini, maka setiap bulan 7 tanggal 15 penanggalan Imlek diadakan acara “Yu Lan Pen Hui”. 1.2 Makna Perayaan Ulambana Perayaan Ulambana diadakan setiap tahunnya di vihara dikarenakan mempunyai makna yang penting dalam kehidupan masyarakat. Perayaan Ulambana ini diadakan untuk mengenang dan memperingati para leluhur. Dengan adanya upacara Ulambana diharapkan dapat mengangkat kondisi lingkungan hidup sang arwah atau dari alam yang rendah ke alam yang lebih tinggi dan lebih baik. Upacara ini diperuntukkan untuk memberikan pertolongan dan bantuan kepada arwah-arwah yang berada di dalam alam sengsara, serta meringankan karma-karma buruk, penderitaan dan siksaan, agar mereka dapat menuju ke alam suci Sang Buddha. Ritual Ulambana ini memiliki makna bahwa kita harus selalu ingat dan bersyukur bahwa kita bersumber dari leluhur. Tradisi berbakti kepada orang tua diharapkan dapat terus berjalan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Berbakti kepada orang tua tidak hanya dilakukan pada semasa hidupnya saja tetapi tetap dilakukan selepas kematian mereka. 2.Tata Ritual Ulambana Terhadap perayaan Ulambana Buddhisme di Jakarta, penulis menemukan beberapa aspek penting dalam perayaan Ulambana masyarakat Buddhisme di Vihara Ekayana dan Vihara Dharma Hastabrata Jakarta, yaitu tata ritual perayaan. 2.1 Ritual Perayaan Ulambana di Vihara Ekayana Jakarta Tata ritual perayaan Ulambana memiliki bermacam-macam ritual. Setiap vihara akan mengadakan upacara pembacaan sutra dan secara Ulambana biasanya yang lebih banyak dibaca adalah Ksitigarbha Sutra Di Zang Wang Pu Sa karena dianggap tekad agung dari Boddhisatva Ksitigarbha adalah untuk menolong makhluk-makhluk di alam sengsara. . Dan Sutra Ksitigarbha juga dianggap oleh agama Buddha di Tiongkok sebagai sutra yang menekankan tentang pentingnya berbakti kepada orang tua dan para leluhur, sehingga sutra ini sangat popular. Selama Ulambana, banyak vihara yang membacakan sutra ini, terutama di Vihara Ekayana juga seperti ini. Jadi di Vihara Ekayana selama dari awal Ulambana sampai sebelum tanggal 15 , setiap malam akan ada pembacaan Ksitigarbha Sutra, lalu di tanggal 15 (penanggalan imlek), akan diadakan upacara pelimpahan jasa. Yang dimaksud dengan pelimpahan jasa adalah para umat Buddha berdana kepada Sanggha dengan mengatasnamakan leluhur yang telah meninggal agar Sanggha dapat mendoakan leluhur supaya terbebas dari alam sengsara. Pelimpahan jasa pada pagi hari juga didahului pembacaan Ksitigarbha Sutra sampai sore, lalu sore menjelang malam akan diadakan upacara Da Meng Shan Shi Shi Fa Hui . Ritual ini yang dilakukan di Vihara Ekayana. Di vihara lain biasanya mereka melakukan upacara Liang Huang Bao Chan atau diakhiri dengan Yan Kou atau Di Zang Jing diakhiri dengan Fang Yan Kou. Dan masing-masing vihara, terutama di vihara yang mengikuti tradisi Mahayana Tiongkok upacaranya juga serupa. Persembahan untuk perayaan Ulambana adalah bunga segar, air , buah-buahan, lilin, dupa, dan makanan. Di Vihara Ekayana, dalam beberapa tahun ini ritualnya tetap sama, tetapi bukan berarti di Vihara Ekayana tidak melakukan ritual-ritual lain. Ada juga beberapa tahun yang lalu di Vihara Ekayana pernah melakukan dengan Yan Kou Shi Shi Fa Hui, jadi tidak melakukan upacara Da Meng Shan Shi Shi Fa Hui tapi melakukan satu set upacara yang lain. Da Meng Shan Shi Shi Fa Hui dan Fang Yan Kou yaitu ritual untuk menolong para arwah dibukakan tenggorokannya agar bisa makan. 5 2.2 Tata Ritual Ulambana di Vihara Dharma Hastabrata Ritual Ulambana yang dilakukan ada tiga upacara Homa yang diadakan di Vihara Dharma Hastabrata, Jakarta Barat selama tiga hari berturut-turut. Dalam menyambut hari bakti/hari Ulambana, Upacara Homa telah dilaksanakan di samping vihara sebagai bagian ritual upacara . Acharya memimpin tiga kegiatan sekaligus tiga kali selama sepekan . Di antaranya, Homa Ksitigarbha Bodhisattva, Homa Dewa Rejeki Lima Penjuru dan Upacara Pertobatan Liang Huang Bao Chan. Semua upacara Homa memiliki makna yang sama, sesuai dengan maksud dari ritual upacara itu sendiri, yaitu menyingkirkan karma buruk dan mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh makluk, di lain pihak menumbuhkan ke harmonisan diantara sesama umat Buddha yang hadir. Dan tujuan dari upacara itu sendiri adalah sebagai perlintasan arwah dan sebagai hari bakti kepada orang tua dan para leluhur. Kegiatan ritual Upacara Homa Kstigarbha Bodhisattva, lebih banyak menekankan pada penyebrangan arwah para leluhur dan ini sangat tepat sekali dilaksanakan bersamaan dengan jatuhnya waktu yang tepat untuk merayakan Ulambana dan khusus ditujukan bagi keselamatan penyeberangan arwah para leluhur. Di vihara Dharma Hastabrata memiliki kegiatan ritual Upacara Homa Dewa Rejeki Lima Penjuru karena orang tionghoa akan percaya terhadap sesuatu apabila hal tersebut mempunyai makna yang melambangkan kemakmuran bagi mereka. Dan ritual upacara Homa Dewa Rejeki Lima Penjuru, lebih di fokuskan pada kesejahteraan dan rejeki. Ini lebih menitikberatkan pada kehidupan duniawi dan keseharian umat dalam mencari nafkah. Dewa Rejeki Lima Penjuru memiliki tugas masing-masing : 1. Wang Mu Niang Niang ( Dewa Rejeki Tengah ) melambangkan kemakmuran . 2. Cai Lun ( Dewa Rejeki Timur ) melambangkan keberuntungan. 3. Zheng Tong ( Dewa Rejeki Selatan ) melambangkan pusaka. 4. Yue Gong Wu Di (Dewa Rejeki Barat ) melambangkan kesehatan. 5. Ri Guang Tong Zi ( Dewa Rejeki Utara ) melambangkan penolong. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Persembahan untuk ritual Homa Dewa Rejeki Lima Penjuru adalah qi zhen ba bao : Emas ( bunga lili ) Air ( so’un ) Tanah ( jamur ) Kayu ( jamur kuping/hitam ) Api ( kembang tahu ) Makanan darat ( jahe ) Makanan laut ( garam ) Lima unsur yang terdapat di alam semesta yang terdiri dari kayu, api, tanah, logam, air tidak dapat dipisahkan. Konsep dari lima unsur tersebut merupakan unsur yang selalu ada di dalam budaya. Kegiatan ritual Upacara Pertobatan Kaisar Liang dan juga menekankan pada penyebrangan arwah para leluhur. Upacara Pertobatan Kaisar Liang berasal dari kisah pertobatan Kaisar Liang. Kaisar Liang Wu Di adalah kaisar Dinasti Liang yang memerintah pada tahun 502-549. Pada umur 30 tahun Sang Permaisuri meninggal dunia. Meskipun telah meninggal beberapa bulan, siang dan malan kaisar tetap saja masih merindukan permaisuri. Pada suatu hari, Sang Kaisar melihat seekor ular besar merayap ke istana dan berbicara kepada kaisar bahwa ular besar tersebut adalah Sang Permaisuri. Karena semasa hidup selalu iri hati dan bersifat kejam, maka itu setelah meninggal terlahir sebagai ular. Tiada makan dan minum, tiada tempat berteduh, hidup serba kekurangan, dan tidak berdaya. Selain itu, setiap sisiknya ditumbuhi banyak ulat, daging dan otot digigit dan digerogoti. Karena terlahir sebagai ular besar, sehingga memiliki kemampuan khusus untuk menerobos penjagaan ketat di istana. Ular tersebut meminta bantuan Sang Kaisar untuk diselamatkan. Pada keesokan harinya, kaisar mengumpulkan sejumlah bhiksu di istana, menceritakan kisah ini, kemudian menanyakan jalan keluar untuk membebaskan permaisuri dari penderitaan. Ketua Bhiksu mengatakan bahwa pertobatan dengan bersujud kepada Buddha dapat menyelamatkan permaisuri. Sang Kaisar lalu memerintahkan ketua Bhiksu dan Bhiksu lainnya membuat kitab pertobatan dan menyelenggarakan Upacara Pertobatan untuk Sang Permaisuri. Tidak lama setelah upacara dilaksanakan, suatu hari istana diliputi wewangian yang harum sekali. Pada saat kaisar melihat sosok seorang dewi yang amat anggun. Sang Dewi berkata bahwa ia adalah 6 permaisuri. Berkat kebaikan yang dilakukan oleh Sang Kaisar, permaisuri sudah terbebas dari alam sengsara. Sedangkan pada Upacara Pertobatan (Liang Huang Bao Chan) memiliki 10 bab di dalam kitab pertobatan, setiap bab memiliki masing-masing persembahan : 1. Dupa melambangkan sila atau pantangan-pantangan. 2. Bunga segar melambangkan kecantikan. 3. Pelita melambangkan penerangan untuk masa depan. 4. Air melambangkan pokok kehidupan. 5. Buah-buahan melambangkan hasil. 6. Obat-obatan melambangkan kesehatan. 7. Makanan melambangkan hasil. 8. Perhiasan melambangkan harta. 9. Kitab suci melambangkan untuk memberikan kita penjelasan menuju penerangan batin. 10. Jubah melambangkan sebagai pelindung kita dan untuk menghadap Maha Kuasa pakaiannya harus bersih & suci. Menurut salah satu pengurus Vihara, pelaksanaan ritual upacara Homa di Vihara Dharma Hastabrata di Jakarta Barat, merupakan suatu keistimewaan tersendiri. Bukan dari jumlah umat yang hadir dan melaksanakan tekun dalam berpuja bakti, melainkan suatu wujud ritual upacara yang sakral dan agung, di mana umat dapat mengerti dan memahami makna dari upacara itu sendiri. Hari Ulambana adalah upacara penyebrangan leluhur, agar di alam sana para leluhur memperoleh makanan dan dapat menyeberangi pantai bahagia. Pada saat ritual inilah Kstigarbha Bodhisattva akan mengulurkan welas asihnya dengan membuka pintu surga bagi para arwah leluhur dari sanak keluarga yang memohonnya. Semestinya tidak heran ketika upacara Homa, umat antusias melaksanakannya, karena dari mereka ingin turut serta memberi bantuan bagi penyeberangan para arwah leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal agar dapat memperoleh kebahagiaan. 3. Fungsi sosial dari pewarisan tradisi Ulambana Ulambana yang diadakan setiap tahunnya di vihara merupakan suatu bentuk pewarisan tradisi yang masih terus di jalankan oleh masyarakat Buddhis. Ritual yang dijalankan di Vihara Ekayana dan Vihara Dharma Hastabrata memiliki makna yang sama yaitu sebagai perlintasan para arwah dan bakti terhadap orang tua, leluhur serta untuk mengenang mereka. Tujuan dari ritual tersebut sama yaitu ingin membebaskan arwah-arwah di alam sengsara dan mendoakan mereka agar terlahir di alam yang bahagia. Ulambana merupakan suatu tradisi dalam masyarakat Buddhis yang masih dijalankan hingga saat ini. Ritual ulambana ini dilakukan oleh keluarga yang masih hidup untuk meringankan penderitaan arwaharwah di alam sengsara. Pelimpahan jasa merupakan suatu perwujudan untuk mengangkat arwah yang terjebak di alam sengsara menuju ke tempat yang lebih baik. Dilihat dari upacara ritual Ulambana, penulis melihat bahwa ritual Ulambana mengajarkan kita untuk selalu ingat leluhur, bahwa kita ada karena leluhur kita. Nilai edukasi yang diajarkan dalam makna ritual ini adalah berbakti kepada orang tua yang masih hidup, dan melakukan tindakan baik agar terlahir di alam bahagia. Ditinjau dari fungsi pendidikan, ritual Ulambana ini mengajarkan kita kepada generasi-generasi berikutnya akan pentingnya nilai-nilai kekeluargaan. Berbakti tidak hanya kepada orang tua saja tetap harus diperuntukan terhadap para leluhur sebagai perwujudan rasa syukur kita. Dilihat dari aspek pendidikan ini mengajarkan kita bahwa apa yang kita perbuat itulah nantinya yang akan kita tuai di kemudian hari. Penulis melihat bahwa ritual Ulambana ini mengajarkan pribadi seseorang untuk melakukan perbuatan baik dan tumbuh menjadi pribadi yang selalu mensyukuri apa yang dimiliki serta tidak lupa untuk berbagi kepada sesama guna menolong makhluk di alam sengsara. Perwujudan bakti terhadap orang tua tidak hanya dilakukan pada semasa hidupnya saja tetapi bisa dilakukan selepas kematian mereka agar terlahir di alam yang lebih baik. Perwujudan bakti terhadap orang tua merupakan wujud tindakan nyata balas budi terhadap orang tua yang telah membesarkan kita. Nilai pendidikan yang dimaksud dalam hal ini adalah menanamkan moral kebaikan, yang tercermin dari bakti seorang anak kepada ibunya serta melakukan tindakan baik yaitu berupa pelimpahan jasa. Dalam aspek ini, menurut sudut pandang penulis, di dalam kisah Moggalana tindakan pelimpahan jasa mengajarkan kita untuk menanamkan cinta kasih dan welas asih kepada sesama, memberikan sedekah kepada orang yang membutuhkan, serta menjalankan tradisi ulambana ini sebagai wujud rasa hormat kepada leluhur. 7 Ritual Ulambana berasal dari kisah Moggalana yang menyelamatkan ibunya dari alam sengsara. Pada awalnya ritual ini mempunyai makna berbakti kepada orang tua, namun seiring berjalannya waktu berubah menjadi “bulan hantu”. Makna dan tata ritualnya pun mengalami pergeseran sehingga masyarakat sekarang ini menganggap Ulambana bukan sebagai hari bakti terhadap leluhur serta orang tua. Perayaan Ulambana yang dirayakan setiap tahunnya pasti dikarenakan memiliki sejarah dan memiliki makna tersendiri. Kisah kitab pertobatan kaisar Liang juga memiliki fungsi sejarah. Dikarenakan memiliki makna yang penting dan bisa di anggap sebagai suatu sejarah yang menimbulkan suatu tradisi. SIMPULAN DAN SARAN Ritual Ulambana berasal dari kisah Moggalana yang menyelamatkan ibunya dari alam sengsara. Pada awalnya ritual ini mempunyai makna berbakti kepada orang tua, leluhur serta mengenang mereka, namun seiring berjalannya waktu berubah menjadi “bulan hantu”. Makna dan tata ritualnya pun mengalami pergeseran sehingga masyarakat sekarang ini menganggap Ulambana bukan sebagai hari bakti terhadap orang tua. Perayaan Ulambana ini diadakan untuk mengenang dan memperingati para leluhur, memberi sedekah, dan membalas budi kepada orang tua yang telah meninggal dunia. Upacara Ulambana ini diharapkan dapat mengangkat kondisi lingkungan hidup sang arwah dari alam yang rendah ke alam yang lebih tinggi dan lebih baik. Inti dari ritual Ulambana ini adalah sebagai pelimpahan jasa, dengan tujuan untuk memberikan pertolongan dan bantuan kepada arwah-arwah yang berada di alam sengsara, serta meringankan karma-karma buruk, penderitaan dan siksaan, agar mereka dapat menuju ke alam suci Sang Buddha. Ritual Ulambana di Vihara Ekayana dan Vihara Dharma Hastabrata sedikit berbeda tetapi memiliki makna dan tujuan yang sama yaitu sebagai perlintasan para arwah dan bakti kepada orang tua, leluhur serta untuk mengenang mereka. Vihara Ekayana selama dari awal bulan 7 tanggal 1 sampai sebelum tanggal 15 , setiap malam akan ada pembacaan Ksitigarbha Sutra, lalu di tanggal 15 (penanggalan imlek), akan diadakan upacara pelimpahan jasa. Pelimpahan jasa pada pagi hari juga didahului pembacaan Ksitigarbha Sutra sampai sore, lalu sore menjelang malam akan diadakan upacara Da Meng Shan Shi Shi Fa Hui yaitu ritual untuk menolong para arwah dibukakan tenggorokannya agar bisa makan. Sedangkan di Vihara Dharma Hastabrata diadakan Homa Ksitigarbha Bodhisattva, Homa Dewa Rejeki Lima Penjuru lebih difokuskan untuk kesejahteraan dan rejeki, dan Upacara Pertobatan agar para arwah terbebas dari alam sengsara. Persamaan di kedua vihara tersebut adalah ritual pembacaan sutra Di Zang Wang Pu Sa Ben Yuan Jing. Perbedaannya juga terletak pada persembahan ritual. Di vihara Dharma Hastabrata memiliki qi zhen ba bao , obat-obatan, perhiasan, dan jubah, tetapi di vihara Ekayana tidak memiliki persembahan tersebut. Persembahan yang sama adalah bunga segar, air, buah-buahan, lilin, dupa dan makanan. Makna dari setiap persembahan yang ada adalah apa yang kita miliki di dunia ini, kita persembahkan kepada mereka. Ritual Ulambana setiap tahunnya masih rutin dilakukan di kedua vihara ini. Walaupun terdapat perbedaan ritual, tetapi tetap memiliki makna yang sama. Kita harus berbakti kepada orang tua, karena mereka yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Sehingga kita harus mempunyai rasa balas budi kepada orang tua. Nilai edukasi yang diajarkan dalam makna ritual ini adalah berbakti kepada orang tua yang masih hidup, dan melakukan tindakan baik agar terlahir di alam bahagia. Penulis juga berharap bahwa dengan adanya penelitian ini, kita akan lebih menghargai dan menyayangi orang tua yang masih hidup dan membalas budi atas didikan orang tua. REFERENSI Mujiyanto, Y., Elmubarok, Z., Sunahrowi. (2010). Pengantar Ilmu Budaya. Yogyakarta: Pelangi Publishing Mulyana, D., & Rakhmat, J. (2006). Komunikasi Antar Budaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sudharma, B. (2007). Buku Pedoman Umat Buddha (Ed,7). Jakarta: Forum Komunikasi Umat Buddha. Tan, M. (2008). Imlek dan Alkitab. Jakarta: PT. Betlehem Publisher. 陈荣翰.漳州"普渡"习俗的演变[J].漳州职业大学学报,2004(4):56. 范军.盂兰盆节的宗教源流[J].华侨大学文学院,2006(3):7. 高洪兴.中国鬼节与阴阳五行:从清明节和中元节说起[J].复旦学报,2005(4):132-140. 高俊成.民俗文化[M].呼和浩特:内蒙古人民出版社,2006. 黄丁盛.台灣節慶[M].台北: 木馬文化, 2003. 8 梁炳華.香港風俗之旅[M].香港:中國歷史敎育學會,2002. 刘晨.试论中日盂兰盆节俗之异同[J].海南广播电视大学学报,2010(2):25-26. 釋金明法師. 盂蘭盆真義第三集[M]. 馬六甲: 馬六甲佛化盂蘭盆法會工委會,1994. 谭盈盈,张彦萍,龚艳玲.中国的"七月半"与日本的"盂兰盆节"的异同 [J].云南大 学,2010(9):80. 邢永凤.盂兰盆节与日本的氏神信仰 [J].山东大学外国语学院,2009(3):94. 袁水锋,马卫东.中国传统节庆文化[M].北京:世界知识出版社,2012. 赵晓翀,陈传锋,陈芊童.孝道行为的心理内涵与实证研究[J].宁波学,2010(4):112. 赵杏根,陆湘怀.中国民俗学通识[M].南京:东南大学出版社,2011. RIWAYAT PENULIS Livia Margarita, lahir di kota Jakarta, 29 Oktober 1992. Penulis menamatkan pendidikan SMA di SMA Regina Pacis Jakarta pada tahun 2010. Penulis pernah aktif di Himanda (Himpunan Mahasiswa Sastra China) sebagai anggota dan KMBD (Keluarga Mahasiswa Buddhis Dhammavaddhana) sebagai anggota. Saat ini bekerja sebagai guru privat mandarin di Jakarta. Audelia Christina, lahir di kota Belinyu, 13 Agustus 1992. Penulis menamatkan pendidikan SMA di SMAN 1 Belinyu Bangka pada tahun 2010. Penulis pernah aktif di Himanda (Himpunan Mahasiswa Sastra China) sebagai anggota. Saat ini bekerja sebagai guru privat mandarin di Jakarta. Sugiato Lim, lahir di kota Mentok Bangka, 20 Juli 1988. Menamatkan S1 jurusan Chinese Language and Culture di BLCU (Beijing Language And Culture University) pada tahun 2010 dan S2 jurusan Master of Teaching Chinese to Speakers of Other Languages di BLCU (Beijing Language And Culture University) pada tahun 2012. Saat ini bekerja sebagai FM SCC Sastra China Universitas Bina Nusantara.