Telaah Atas Konsep Sekolah Pada Buku Laskar

advertisement
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 1, Januari 2011
Telaah Atas Konsep Sekolah
Pada Buku Laskar Pelangi dan Dunia Tanpa Sekolah
Mintarti, Muslihudin, dan Joko Santoso
Dosen Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
e-mail: [email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui definisi dan makna konsep sekolah dalam buku
Laskar Pelangi (LP) dan Dunia Tanpa Sekolah (DTS) serta mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi
perbedaan cara memaknai konsep itu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis wacana
kritis (Critical Discourse Analysis) khususnya model van Dijk. Inti analisisnya menggabungkan tiga
dimensi wacana teks, kognisi sosial, dan konteks sosial ke dalam satu kesatuan analisis. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pemaknaan konsep “sekolah” pada buku LP dan DTS. Dalam LP,
sekolah dimaknai sebagai lembaga yang memerdekakan sementara dalam DTS sekolah dimaknai sebagai
lembaga yang memenjarakan. Perbedaan cara pandang di antara keduanya disebabkan oleh perbedaan
latar belakang sosial budaya pengarangnya. Andrea berasal dari keluarga miskin dalam masyarakat
yang sangat tajam stratifikasi sosialnya, sementara Izza anak dari pasangan guru yang relatif mapan
status sosial ekonominya. Di sekolah, keduanya menemukan kenyataan yang berbeda. Andrea bertemu
dengan guru-guru yang menginspirasi, yaitu guru yang mampu menerjemahkan kurikulum sedemikian
rupa sehingga melekat kuat di benak murid serta dapat membangkitkan semangat untuk keluar dari
segala kesulitan. Faktor lain yaitu jumlah murid di kelas Andrea yang karena dipaksa oleh keadaan
hanya berjumlah sepuluh orang. Kelas kecil ini justru dapat menciptakan interaksi antar murid yang
intens, sehingga suasana belajar menjadi lebih menyenangkan. Sebaliknya, sebagai anak guru yang
tidak asing dengan dunia sekolah Izza memiliki pengalaman tidak nyaman di tahun-tahun pertamanya
masuk sekolah. Selain itu, hobinya membaca termasuk bacaan-bacaan radikal tentang pendidikan yang
tersedia di rumahnya, makin membuatnya sangat membenci sekolah.
Kata kunci: sekolah, memerdekakan, dan memenjarakan
Abstact: This research aims is to know definition and school concept meaning on Laskar Pelangi books
and Dunia Tanpa Sekolah and also to know the factors which cand be influences of the background of the
differences to give deffinition of the concept above. The method of this study is by using model van Dijk
Critical Discourse Analysis (CDA). The core of analytical is re-grouping three dymention wacana texs, social
cognitive, and social contexs within one analisys. The result of the study shows that there is deffrence
in giving meaning on school Pelangi books and Dunia Tanpa Sekolah. On Laskar Pelangi, the meaning of
school is the institution give freedom to student to make expression. Otherwise, on Dunia Tanpa Sekolah
book is to have jail. The cause of defferences is the deferences of social-economy background. In school,
it’s the faact that there is defference between them. Andrea meet to
Key words: shool, freedom, and to jail
Pendahuluan
dan Edensor terjual 25 ribu eksemplar. Jika harga
Novel Laskar Pelangi (LP) tulisan Andrea Hirata
buku Rp 60 ribu, ia dapat royalti 10 persen, maka
yang terbit pertama pada September 2005 sangat
ia telah mengumpulkan Rp 2,07 miliar dari tiga
fenomenal. Surat kabar harian Republika, 30
novelnya itu. Belum royalti yang ia dapat dari edisi
Desember 2007 mencatat sebagai berikut.
Bahasa Melayu yang juga best seller di Malaysia”.
“Laskar Pelangi tercatat telah laku 200 ribu
Buku itu merupakan memoar yang ditulis
eksemplar. Jika ditambah dengan novel-novel
sebagai hadiah untuk ibu gurunya semasa ia
Andrea yang terbit kemudian, angkanya menjadi
bersekolah di SD Muhammadiyah pada sekitar
lebih besar. Sang Pemimpi laku 120 ribu eksemplar,
tahun 1977-1983. Nama Laskar Pelangi itu sendiri
84
Mintarti, Muslihudin, dan Joko Santoso, Telaah Atas Konsep Sekolah Pada Buku Laskar Pelangi dan Dunia Tanpa Sekolah
adalah julukan yang diberikan oleh NA Muslimah
SEKOLAH?!Apa para sarjana D3, S1, dan bahkan
Hafsari Hamid, guru Andrea itu kepada sepuluh
S2 dengan mudah bisa berhasil, begitu?Apa ayah
murid terakhirnya di SD tersebut (Andrea Hirata,
TIDAK MELIHAT KENYATAAN banyak sarjana yang
2007: 160).
kelimpungan mencari pekerjaan?!Melamar jadi PNS
Di buku ini, sekolah digambarkan secara
setiap tahun ha...hanya...”Suaraku semakin tercekat
paradoksal; di satu sisi secara fisik sangat
oleh tangis di hidung dan tenggorokan.”(M.Izza
mengenaskan karena miskinnya namun di sisi
Ahsin, 2007: 90).
lain menjadi tempat yang begitu kaya nilai karena
Puncak dari amarah Izza adalah ketika dia
mampu membuatnya bangkit dan termotivasi untuk
menulis surat pengunduran dirinya dari sekolah.
terus meraih mimpi sehingga ia merasa sangat
Walaupun pada akhirnya surat itu tidak jadi
beruntung karena bersekolah di tempat itu. Berikut
dikirimkan kepada kepala sekolah karena setelah
ini petikan kisahnya: “Tiba-tiba aku merasa sangat
dibacanya kembali dinilai terlalu emosional,
beruntung didaftarkan orang tuaku di sekolah miskin
kalimat-kalimat tajamnya menunjuk-kan apa
Muhammadiyah. Aku merasa telah terselamatkan
yang dia rasakan: “Saya, Muhammad Izza Ahsin
karena orang tuaku memilih sebuah sekolah Islam
Sidqi, dengan tanpa mengurangi rasa hormat pada
sebagai pendidikan paling dasar bagiku. Aku merasa
setiap orang yang mendukung keberlangsungan
amat beruntung berada di sini, di tengah orang-
hidup lembaga formal bernama sekolah, dengan
orang yang luar biasa ini. Ada keindahan di sekolah
ini menyatakan pengunduran diri dari sekolah
Islam melarat ini. Keindahan yang tak ‘kan kutukar
ini. Sebuah sekolah yang disebut-sebut sebagai
dengan seribu kemewahan sekolah lain”( Andrea
Sekolah Menengah Pertama paling favorit di Salatiga
Hirata, 2007: 25).
tercinta”.(M.Izza Ahsin, 2007:184).
Gambaran tersebut sangat jauh berkebalikan
Kedua buku tersebut menarik karena berbicara
dengan gambaran muram tentang dunia sekolah
tentang dunia sekolah dalam sudut pandang yang
seperti yang dipaparkan oleh M.Izza Ahsin dalam
sangat berbeda. Oleh karena itu, telaah lebih
buku Dunia Tanpa Sekolah (DTS). Buku ini ditulis
mendalam terhadap konsep sekolah menjadi penting
oleh seorang anak lelaki berusia 15 tahun yang
di tengah berbagai isu di bidang pendidikan yang
berani memutuskan untuk keluar dari sebuah SMP
belakangan ini banyak menyedot perhatian publik.
favorit di kotanya Salatiga, Jawa Tengah. Meskipun
Kedua buku yang menjadi fokus kajian penelitian ini
tidak sefenomenal Laskar Pelangi, buku ini telah dua
lahir dari persentuhan sekaligus keprihatinan kedua
kali dicetak ulang sejak diterbitkan pertama kali di
penulis buku terhadap dunia sekolah.
tahun 2007 oleh Read! Publishing House, penerbit
dari kelompok Mizan, Bandung.
Kajian terhadap buku Laskar Pelangi sudah
banyak dilakukan karena buku ini sangat fenomenal.
Keputusan itu bukan keputusan yang mudah di
Namun sepanjang pelacakan yang telah dilakukan,
tengah masyarakat yang sangat mengagung-kan
kajian-kajian tersebut lebih menyentuh pada
lembaga persekolahan terlebih bahwa orangtuanya
aspek nilai pendidikan secara umum yang termuat
adalah guru. Beban psikologis karena statusnya
di dalamnya atau yang berkaitan dengan proses
sebagai keluarga guru, tak pelak menimbulkan
pembelajaran di dalam kelas. Dua topik penelitian,
konflik hebat di dalam keluarganya. Pertengkaran
yaitu “Analisis Gaya Bahasa dan Nilai Pendidikan
dan perselisihan pendapat antara orang tua dan
Novel Laskar Pelangi” (digilib.uns.ac.id/abstrakpdf)
anak hampir tiap hari mewarnai hubungan orang tua
serta “Penelitian Tindakan Kelas” (jeperis.wordpress.
dan anak. Kompromi untuk mencapai perdamaian
com) merupakan contoh penelitian yang diilhami
juga telah berusaha dilakukan. Namun pada
oleh Laskar Pelangi. Akan tetapi, telaah terhadap
akhirnya Izza tetap teguh pada pendiriannya untuk
buku ini yang khusus berbicara tentang institusi
keluar dari sekolah hanya beberapa bulan menjelang
formal bernama sekolah, terlebih jika disandingkan
ujian akhirnya di kelas tiga (kelas IX) SMP.
secara bersamaan dengan buku Dunia Tanpa
Kata-kata sinis dan pedas berikut ini adalah
Sekolah belum pernah dilakukan. Untuk itu, kajian
petikan pertengkaran dengan ayahnya. Kata yang
ini menjadi penting dalam upaya mengkritisi plus
ditulis dengan huruf kapital adalah ekspresi dari
minus lembaga sekolah yang muara akhirnya
kemarahannya: “KOK, PERCAYA SEKALI SIH, SAMA
adalah pada upaya perbaikan sistem pendidikan di
85
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 1, Januari 2011
Indonesia.
lembaga sosial yang ada di dalamnya.
Berdasarkan uraian dalam bagian pendahulu-
Secara garis besar institusi atau lembaga-
an, maka rumusan masalah penelitian ini adalah
lembaga tersebut dapat dibagi menjadi lembaga
sebagai berikut: 1) Bagaimana konsep sekolah
politik, ekonomi, agama, keluarga, dan lembaga
didefinisikan dan dimaknai oleh penulis buku Laskar
pendidikan. Sekolah adalah bagian dari lembaga
Pelangi dan Dunia Tanpa Sekolah? dan 2) Mengapa
pendidikan. Mengacu pada pengertian lembaga
kedua penulis buku tersebut meng-gambarkan/
sosial di atas, maka eksistensi sekolah yang tetap
melihat dengan cara yang berbeda terhadap
ada hingga kini adalah karena masyarakat masih
lembaga sekolah tersebut?
membutuhkannya. Lembaga sekolah di era modern
Atas dasar rumusan masalah di atas, maka
ini bahkan telah menggantikan peran pengasuhan
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
anak yang semula sebagian besar dipegang oleh
definisi dan makna konsep sekolah dalam buku
lembaga keluarga. Jutaan anak di dunia ini, sedari
Laskar Pelangi (LP) dan Dunia Tanpa Sekolah (DTS)
berusia sangat muda setiap hari menghabiskan
serta mengetahui faktor-faktor yang melatar-
waktunya di tempat yang bernama sekolah. Citra
belakangi perbedaan cara memaknai konsep itu,
sekolah sebagai tempat untuk “memintarkan” dan
yang ada pada penulis kedua buku tersebut.
menimba ilmu pun lekat di benak setiap orang,
seolah-olah tanpa ber-sekolah orang tidak mungkin
Kajian Literatur
dapat menjadi pintar serta berilmu. Sekolah juga
Sekolah, Peran Besar Pengaruhnya Terhadap
dipahami sebagai keseluruhan sistem mulai dari
Masyarakat dan Asal-usulnya
proses belajar mengajar, peraturan yang mengikat
Membaca Laskar Pelangi dan Dunia Tanpa Sekolah
orang-orang yang terlibat di dalamnya, hingga pada
berarti membaca pikiran dua orang yang sangat
kurikulum yang harus diterapkan dalam rangka
kritis terhadap realitas sosial yang dihadapinya,
menimba ilmu tersebut.
khususnya realitas pendidikan terutama pendidikan
Besarnya peran sekolah juga tampak dari
sekolah. Meskipun kedua penulis buku tersebut
posisinya sebagai ukuran maju mundurnya suatu
jauh berbeda dalam usia, masing-masing telah
negara. Hasil kerja lembaga ini oleh negara-
mengalami persentuhan dengan dunia sekolah.
negara di dunia dijadikan salah satu indikator bagi
Pengalaman itu ternyata meninggalkan kesan yang
berkualitas atau tidaknya kehidupan rakyat sebuah
berbeda; positif dan negatif. Positif karena melalui
negara. Human Development Index (HDI) yang
sekolah motivasi dan semangat untuk keluar dari
dibuat oleh United Nations Development Programme
keterpurukan menjadi timbul, dan sebaliknya negatif
(UNDP) merupakan wujud nyata dari hal tersebut.
karena justru di sekolah pula pengalaman jiwa
Sebagai contoh, Indonesia menurut laporan UNDP
menjadi terpenjara terjadi juga.
tahun 2005 HDI-nya berada para peringkat 110
Pertanyaan yang muncul terhadap kenyataan
dari 174 negara. Ini tentu sangat mengejutkan
tersebut adalah apa sesungguhnya sekolah
dan memprihatinkan, karena itu berarti daya saing
itu? Mengapa institusi atau lembaga sosial ini
SDM Indonesia untuk memperoleh posisi kerja yang
menjadi demikian berpengaruh terhadap kehidupan
baik sangat rendah (Suyanto: 2006). Padahal satu
manusia? Sebelum menjawab pertanyaan ini,
dasa warsa yang lalu, Mochtar Buchori (1998) telah
ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu tentang
mengatakan bahwa suatu masyarakat atau bangsa
pengertian institusi atau lembaga sosial.
yang tidak memiliki kemampuan bersaing akan
Secara
kebahasaan, istilah ini merupakan terjemahan dari
bahasa Inggris social institution. Koentjaraningrat
punah di era globalisasi ini.
Kemampuan untuk berdaya saing tersebut
dan Soerjono Soekanto mendefinisikan istilah ini
seperti yang dituntut oleh dunia kerja sudah pasti
sebagai himpunan dari norma-norma dari segala
terkait dengan dunia pendidikan. Hanya manusia-
tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan di
manusia yang terdidik di lembaga-lembaga formal
dalam kehidupan masyarakat (Sugiyanto: 2002).
itulah yang dapat memasuki dunia kerja. Semakin
Ini berarti, semakin banyak kebutuhan masyarakat
baik sistem pendidikan di suatu negara, maka
maka akan semakin banyak pula himpunan
akan semakin baik pula daya saing sumber daya
normanya. Dengan kata lain, semakin banyak pula
manusianya. Ini berarti peran sekolah menjadi
86
Mintarti, Muslihudin, dan Joko Santoso, Telaah Atas Konsep Sekolah Pada Buku Laskar Pelangi dan Dunia Tanpa Sekolah
sangat besar, sebab ia diharuskan mencetak tenaga
anak di luar keluarga. Selepas usia lima tahun,
kerja yang berkualitas unggul.
setiap orang tua akan memasukkan anaknya ke
Uraian di atas menunjukkan betapa tinggi
apresiasi masyarakat terhadap sekolah serta betapa
sekolah dasar dan di sekolah itu anak menghabiskan
sebagian waktunya tanpa orang tua mereka.
besar peran dan pengaruhnya terhadap kehidupan
Namun demikian, seperti yang dikatakan Henslin
manusia. Padahal, sebagaimana dikemukakan
(2007) sejalan dengan makin banyaknya keluarga
oleh Topatimasang (1998) jika dilihat dari bahasa
yang memiliki dua pencari nafkah, pengasuhan anak
aslinya, yakni kata skhole, scola, scolae atau schola
telah menjadi suatu fungsi manifes. Bermunculannya
(Latin), kata itu secara harfiah berarti “waktu
full day school, yakni sekolah dengan jam belajar
luang” atau “waktu senggang”. Makna bahasa ini
yang panjang (sehari penuh) merupakan contoh
tampak agak berkebalikan dengan realitas sekolah
perluasan fungsi sekolah. Fungsi sebagai tempat
dewasa ini, yang justru menjadi sesuatu yang
pengasuhan ini bahkan telah dimulai semenjak
serius, tidak main-main, bahkan menjadi wajib.
anak berusia 3 tahun, usia resmi pendidikan pra-
Program “wajib Belajar” seperti yang diterapkan
sekolah yang dipakai sekitar 70% negara-negara
oleh pemerintah Indonesia dan negara-negara lain
di dunia, atau bahkan ada yang kurang dari itu.
di dunia menunjukkan bahwa sekolah telah menjadi
Tumbuh suburnya lembaga pendidikan pra-sekolah
institusi yang keber-adaannya sangat diakui.
seperti taman bermain (play group), Taman Kanak-
Makna awal kata scola, skhole, sebagai “waktu
kanak (TK), hingga Taman Penitipan Anak (TPA)
senggang” atau “waktu luang” sebagai-mana
menunjukkan betapa orang tua begitu percaya
disebutkan oleh Topatimasang (1998) lebih lanjut,
terhadap pengasuhan anak di sekolah. Meski secara
adalah karena pada jaman Yunani kuno yakni
resmi taman-taman tersebut belum disebut sebagai
jaman dan asal muasal kata tersebut orang-orang
“sekolah” atau masih disebut sebagai pra-sekolah,
biasa mengisi waktu luang mereka dengan cara
pada kenyataannya tempat itu juga menggunakan
mengunjungi suatu tempat atau seseorang pandai
kurikulum seperti halnya sekolah formal. Data di
tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari
seluruh dunia menunjukkan meningkatnya angka
hal-hal yang mereka anggap perlu untuk diketahui.
partisipasi pendidikan anak usia dini. Laporan yang
Kegiatan itu mereka sebut dengan kata atau istilah
dibuat UNESCO menyebutkan bahwa jumlah anak
skhole, scola, scolae, atau schola yang keempatnya
yang mendaftar di pendidikan pra-sekolah di dunia
berarti “waktu luang yang digunakan secara khusus
melonjak tiga kali lipat pada tiga dekade terakhir,
untuk belajar” (leisure devoted to learning).
dari 44 juta di pertengahan tahun 1970-an menjadi
Apabila dilihat dari asal-usul makna kata
124 juta pada tahun 2004 (UNESCO: 2007).
sekolah, tampak bahwa ada kemiripan fungsi dengan
Gambaran tentang angka partisipasi pendidikan
sekolah yang dikenal di dunia modern sekarang ini.
pra-sekolah tersebut makin mengukuhkan fungsi
Di masa lalu maupun kini, scolae dan sekolah sama-
sekolah yang secara sosiologis makin menguat.
sama merupakan tempat orang menimba ilmu.atau
Makin kuatnya kepercayaan masyarakat terhadap
mempelajari sesuatu. Yang bergeser dari makna
sekolah tidak terlepas dari fungsi lain sekolah
tersebut adalah dalam hal “kewajiban” untuk masuk
yaitu sebagai tempat sosialisasi sekunder setelah
atau terlibat di dalamnya. Jika dahulu scolae hanya
keluarga. Yang dimaksud dengan sosialisasi
merupakan kegiatan pengisi waktu luang, maka
sebagaimana dikatakan oleh Lawson, dkk. (2000),
sekarang “bersekolah” telah menjadi kegiatan yang
yaitu “the learning of skills and attitudes in school”.
wajib diikuti oleh setiap warga masyarakat.
Proses belajar tersebut dilakukan oleh individu
melalui kurikulum formal (formal curriculum) yang
Sekolah sebagai Agen Sosialisasi
berupa keterampilan dan pengetahuan sebagai
Berbicara tentang fungsi sekolah, tidak diragukan
bagian dari aktifitas instruksional yang terencana,
lagi bahwa lembaga ini telah menjalankan beragam
serta kurikulum tersembunyi (hidden curriculum)
fungsi di tengah masyarakat. Selain fungsi
yang berupa norma-norma dan nilai-nilai yang
manifesnya sebagai tempat menimba ilmu dan
diserap individu melalui hubungan sosial dan organi-
mempelajari keterampilan tertentu, sekolah juga
sasional di sekolah.
punya fungsi laten yaitu sebagai tempat pengasuhan
Proses tersebut sebenarnya juga merupakan
87
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 1, Januari 2011
proses membimbing individu ke dalam dunia sosial.
dunia sekolah itu oleh Coloroso digambarkan dengan
Dalam proses ini, individu belajar tingkah laku,
sangat mengesankan di dalam bagian awal kata
kebiasaan serta pola-pola kebudayaan lainnya, juga
pengantar bukunya yang berjudul “Stop Bullying!
keterampilan-keterampilan sosial seperti berbahasa,
Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Pra-sekolah
bergaul, berpakaian, cara makan, dan sebagainya.
hingga SMU”:
Walaupun sekolah hanya merupakan salah satu
lembaga yang bertang-gungjawab atas pendidikan
Akan selalu kuingat, dan tak akan pernah kulupa
anak, ia memegang peranan penting di dalam proses
Senin : uangku diambil
sosialisasi (Nasution: 1995).
Selasa: namaku diolok-olok
Melalui proses sosialisasi tersebut, anak
Rabu : seragamku dirobek-robek
belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
Kamis: tubuhku bersimbah darah
masyarakat tempat dia tinggal. Di dalam proses ini
Jumat: semua berakhir
banyak nilai yang dianut dan berkembang di sekolah
Sabtu: kebebasan
itu. Interaksi dengan guru, teman-teman sesama
Akhir lembaran buku harian Vijay Singh,
murid, serta administratur di sekolah merupakan
13 tahun. Ia ditemukan menggantung diri pada
pengalaman yang akan dibawanya hingga ia
pegangan tangga di rumah pada hari Minggu.
dewasa. Masih menurut Nasution (1995), hal-hal
yang dipelajari anak di sekolah meliputi nilai-nilai
yang dianut sekolah, corak kepemimpinan, apakah
otokratis atau demokratis, serta hubungan antarmurid, apakah misalnya terutama dipengaruhi oleh
suasana persaingan atau kerja sama.
Karena segala sesuatu yang dipelajari seorang
individu di sekolah bukan hanya hal-hal yang
tercakup di dalam kurikulum formal, maka sangat
wajar jika kemudian setiap individu akan menerima
pengalaman bersekolah (school experience) yang
berbeda-beda. Semua yang dipelajari individu dalam
kurikulum formal merupakan hal-hal yang positif
mulai dari matematika, bahasa, ilmu pengetahuan
alam, sampai pada ilmu agama. Pada sisi ini, sekolah
dapat melahirkan orang-orang berilmu pengetahuan sangat bagus sekelas mantar Presiden
Habibi.
Namun, hubungan antar-murid maupun guru
serta keseluruhan budaya yang berkembang di
sekolah itu ternyata tidak selalu positif. Munculnya
kasus-kasus tindak kekerasan di sekolah ( bullying)
adalah contoh nyata bagaimana sekolah dapat
menjadi sarana belajar hal-hal negatif melalui
kurikulum tersembunyi (hidden curriculum)
yang menyertainya. Barbara Coloroso (2007)
mengidentifikasi berbagai tindakan bullying mulai
dari meminta uang dengan paksa (memalak),
mengolok-olok, merobek baju ataupun buku,
perkelahian, bahkan sampai pada pelecehan
seksual. Tindakan yang semuanya negatif tersebut
dapat berujung pada bunuh diri bagi anak-anak
yang mengalami tindak kekerasan itu. Sisi gelap
88
Ilustrasi tersebut makin memperjelas peran
sekolah sebagai agen sosialisasi sekunder setelah
keluarga yang merupakan agen sosialisasi primer.
Melalui sekolah, seorang anak bisa tumbuh menjadi
orang seperti mantan Presiden Habibi yang cerdas,
namun ia bisa juga menjadi seperti anak yang
digambarkan dalam kutipan di atas, kehidupannya
berakhir tragis justru setelah ia memasuki lembaga
bernama sekolah.
Sebagai agen sosialisasi, itu berarti bahwa
sekolah dapat menjadi berwajah ganda. Di satu
sisi ia menyosialisasikan hal-hal yang positif,
namun pada sisi lainnya hal-hal negatif yang
disosialisasikan dapat menjadi “pembunuh” bagi
anak-anak yang masuk ke dalamnya. Kedua sisi
tersebut dapat terjadi karena faktor yang disengaja
(melalui kurikulum sekolah yang meskipun disusun
dengan maksud positif namun berdampak negatif),
dan dapat pula terjadi karena interaksi sosial antar
komponen yang ada dalam sekolah tersebut. Sudah
pasti yang diharapkan dari lembaga bernama
sekolah ini adalah proses sosialisasi yang positif,
yang dapat menjadikan anak-anak menjadi generasi
penerus masyarakat yang memiliki kreatifitas, tidak
terbelenggu dan merasa nyaman saat berada di
dalamnya.
Sekolah; Memotivasi atau Memenjarakan?
Membaca buku Laskar Pelangi dan Dunia Tanpa
Sekolah adalah “membaca” sekolah dari dua
perspektif. Meski keduanya sama-sama secara kritis
mengupas dunia pendidikan, titik tolak kerangka
Mintarti, Muslihudin, dan Joko Santoso, Telaah Atas Konsep Sekolah Pada Buku Laskar Pelangi dan Dunia Tanpa Sekolah
pikir penulisnya berbeda. Berkaitan dengan fungsi
manfaat pendidikan, para teoritikus konflik
sekolah sebagai agen sosialisasi sebagaimana
mempelajari bagaimana pendidikan membantu
telah diuraikan pada bagian sebelumnya, jelas
kaum elite untuk mempertahankan dominasi
terlihat adanya kesan positif dan negatif dari para
mereka. Mereka menekankan bahwa pendidikan
penulisnya. Secara positif sekolah adalah lembaga
mengabadikan ketidaksetaraan sosial–bahwa
yang memotivasi Andrea Hirata sebagai seorang
pendidikan membantu dipertahankannya pembagian
individu yang terlibat di dalamnya, untuk bangkit
sosial dalam masyarakat dari satu generasi ke
meraih mimpinya. Hal itu terbukti dalam perjalanan
generasi berikutnya. Proses tersebut berlangsung
hidupnya yang begitu percaya terhadap lembaga
melalui kurikulum terselubung (hidden curriculum)
pendidikan formal sehingga ia terus berusaha
yang ada di sekolah, diskriminasi melalui IQ, serta
masuk ke dalamnya bahkan sampai ke perguruan
pembiayaan yang tidak setara.
tinggi Perancis dan Inggris, dan ia berhasil karena
Sementara itu, wacana kritik dalam Sosiologi
kegigihannya itu. Dari sisi ini, sekolah adalah
Pendidikan banyak dilontarkan oleh Paulo
motivator.
Freire (2000). Ia mengkritisi sekolah-sekolah
Sebaliknya, dalam Dunia Tanpa Sekolah Izza
tradisional dan wacana yang dikembangkannya
begitu pesimis dengan dunia sekolah. Sedari duduk
dengan berusaha menciptakan pendidikan yang
di bangku sekolah dasar ia mulai tidak kerasan
bermakna, kritis, bersemangat, dan emansipa-toris.
untuk terus terlibat di dalamnya. Baginya sekolah
Munculnya kritik yang radikal terhadap sebagian
membelenggunya untuk berkreasi sehingga cita-
besar komponen yang terlibat dalam pendidikan
citanya untuk menjadi penulis besar tidak mungkin
dikarenakan para ahli pendidikan tradisional secara
dapat diraihnya kalau tetap terus bersekolah.
umum mengabaikan hal-hal di atas, dan masih
Perasaan terbelenggu dan terpenjara ini terus
menjalankan kebijakan yang paradoksal, yaitu
menggayuti pikirannya, walaupun berbagai bujukan
melakukan depolitisasi sekolah dan dalam waktu
telah ia coba jalankan. Hanya sampai SMP Izza
bersamaan tetap melestarikan dan mengesahkan
bertahan duduk di sekolah formal. Ia lebih memilih
ideologi kapitalis.
keluar meskipun menanggung berbagai cibiran serta
konflik dengan orang tuanya.
Membaca dua karya yang bercerita tentang
sekolah tersebut serta setelah mencermati pemikiran
Di dalam Sosiologi Pendidikan sebagai bagian
para teoritisi fungsional dan konflik, maka meskipun
dari sosiologi yang khusus berbicara tentang dunia
benar bahwa sekolah baik secara sadar maupun
pendidikan, terdapat beberapa perspektif atau
tidak telah mengabadikan ketidaksetaraan sosial,
cara pandang untuk menjelaskan perbedaan cara
seharusnya lembaga ini tetap mampu menjadikan
melihat sekolah dari dua penulis tersebut. Di antara
dirinya sebagai lembaga yang memotivasi anak
perspektif yang dapat digunakan adalah perspektif
didiknya. Ini berarti, sekolah seharusnya dapat
fungsionalis, perspektif konflik, dan perspektif
menjadi tempat yang menyenangkan untuk belajar,
kritis. Menurut Henslin (2007), inti dari aliran
sebagaimana sejarahnya yang merupakan tempat
fungsionalisme ialah bahwa jika bagian-bagian
untuk belajar di waktu senggang (leisure devoted
masyarakat bekerja dengan benar, masing-masing
to learning). Suasana yang tercipta dalam waktu
bagian tersebut akan memberikan kontribusi pada
senggang tersebut tentu merupakan suasana yang
kesejahteraan dan kestabilan masyarakat. Teori ini
menyenangkan, bukan suasana yang tegang, penuh
berbicara tentang fungsi-fungsi pendidikan yang
kekerasan, apalagi membelenggu. Namun demikian,
terbagi menjadi fungsi manifes dan fungsi laten.
justru dari suasana yang menyenang-kan itulah
Sekolah, dalam perspektif ini berfungsi sebagai
akan dapat tercipta proses belajar yang baik yang
tempat untuk mengajarkan pengetahuan dan kete-
memungkinkan anak-anak dapat menyerap berbagai
rampilan, sebagai sarana transmisi budaya dari
ilmu yang mereka pelajari.
nilai-nilai sosial, serta menciptakan integrasi sosial
dan sebagai sarana penyaluran dalam arti sekolah
Metode Penelitian
menentukan pekerjaan yang tepat bagi tiap orang.
Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana
Masih menurut Henslin (2007), berbeda
kritis (Critical Discourse Analysis/CDA). Menurut
dengan para fungsionalis yang berfokus pada
Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat
89
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 1, Januari 2011
wacana – pemakaian bahasa dalam tuturan dan
semata-mata terfokus pada apa yang ditulis oleh
tulisan – sebagai bentuk dari praktik sosial. Dari
si penulis sebagai teks, melainkan juga bagaimana
sekian banyak model analisis wacana, model van
suasana jiwa si penulis saat menulis teks tersebut
Dijk adalah model yang paling banyak dipakai.
beserta latar belakang sosial budaya tempat si
Model ini sering disebut sebagai “kognisi sosial”.
penulis hidup.
Inti analisisnya adalah menggabungkan tiga dimensi
wacana, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial
Hasil penelitian dan pemahasan
ke dalam satu kesatuan analisis (Eriyanto: 2008).
Deskripsi Umum Materi Penelitian
Penelitian ini juga menggunakan model analisis ini.
Buku LP, secara fisik termasuk tebal dengan jumlah
Menurut Mulyana (2005), untuk melakukan
xviii + 534 halaman atau 20,5 cm. Selengkapnya,
analisis wacana diperlukan teknik analisis yang
identitas dan struktur buku dapat dilihat pada tabel
bersifat internal dan eksternal. Untuk memahami
1.
suatu wacana tertentu tidak seluruh unit analisis
Tidak semua bab dalam kisah ini melulu
harus dikaji. Analisis dapat saja dilakukan terhadap
bercerita tentang dunia sekolah. Buku ini juga
satu atau dua unsur yang memang dibutuhkan
bercerita tentang kehidupan masyarakat Belitong
kejelasannya.
sebagai setting peristiwanya. Di dalamnya juga
Materi penelitian adalah teks berupa dua buah
diceritakan tentang masa ketika Andrea (Ikal) jatuh
buku, yaitu buku Laskar Pelangi tulisan Andrea
cinta kepada gadis Tionghoa anak pemilik toko
Hirata dan buku Dunia Tanpa Sekolah karya M.Izza
Tabel 1.penelitian
Identitas tidak
dan struktur Buku Laskar Pelangi
Ahsin. Analisis terhadap materi
kelontong tempat SD Muhammadiyah secara rutin
sekolah PN mereka yang glamor, serta PN Timah yang
biasa membeli kapur tulis. Dapat dikatakan bahwa
gemah ripah dengan Gedong, tembok feodalistisnya.
yang khusus bercerita tentang dunia sekolah, dalam
Semua elemen itu adalah perpustakaan berjalan
arti banyak bercerita tentang guru dan teman-teman
yang memberiku pengetahuan baru setiap hari”.
sekelasnya hanya ada di sekitar 4 bab pertama.
(Andrea Hirata, 2007: 84).
Selebihnya, Andrea secara detail mengamati
Melalui pernyataannya itu, Andrea telah
kehidupan masyarakat tempatnya tinggal, mulai
memberikan secara gamblang latar belakang sosial
dari kebiasaan masyarakat Melayu yang suka
budaya tempat buku ini ditulis. Demikian pula
berdebat, pluralitas masyarakat Belitong, hingga
dengan cerita tentang Ikal yang jatuh cinta dengan
pada persoalan stratifikasi sosial yang begitu tajam
gadis Tionghoa pemilik toko tempat ia biasa membeli
yang ada di daerah itu. Mengenai hal ini, Andrea
kapur tulis. Berikut ini adalah contoh kalimat yang
mengakuinya dalam kalimat sebagai berikut: “Sejak
dipakai oleh Andrea untuk melukiskan suasana
kecil aku tertarik menjadi pengamat kehidupan
hatinya yang sedang jatuh cinta: “Tapi kami berdua
dan sekarang aku menemukan kenyataan yang
masih terpaku pandang tanpa mampu berkata apa
memesona dalam sosiologi lingkungan kami yang
pun, lidahku terasa kelu, mulutku terkunci rapat –
ironis”. (Andrea Hirata, 2007: 84).
lebih tepatnya ternganga. Tak ada satu kata pun
Ironi sebagaimana dimaksud oleh Andrea
yang dapat terlaksana. Aku tak sanggup beranjak.
adalah kenyataan hidup yang dialaminya, yang dia
Wanita ini memiliki aura yang melumpuhkan.
lukiskan sebagai berikut: “Di sini ada sekolahku yang
Tatapan matanya itu mencengkeram hatiku”.(Andrea
sederhana, para sahabatku yang melarat, orang
Hirata, 2007: 210).
Melayu yang terabaikan, juga ada orang staf dan
90
Kalimat-kalimat tersebut, jika hanya dilihat
Mintarti, Muslihudin, dan Joko Santoso, Telaah Atas Konsep Sekolah Pada Buku Laskar Pelangi dan Dunia Tanpa Sekolah
secara internal sebagai teks yang tidak berkaitan
dibandingkan dengan buku LP. Buku ini terdiri atas
dengan cerita dalam keseluruhan buku LP, maka
252 halaman dengan ketebalan 19 cm. Secara
seakan-akan tidak berhubungan dengan persoalan
ringkas, identitas dan struktur buku tersebut dapat
dunia sekolah yang menjadi inti masalah dalam
disimak pada Tabel 2.
penelitian ini. Namun sebenarnya, bagi si penulis
Dalam bagian Pengantar yang diberi sub judul
peristiwa jatuh cinta serta interaksi yang kemudian
“Dari Orangtua yang Merasa harus Terus Belajar”,
terjalin dengan gadis tersebut kelak akan menjadi
dapat dibaca pernyataan orang tua Izza dalam hal ini
salah satu faktor pendorong yang begitu kuat yang
ayahnya, yang menceritakan sekilas pengalamannya
membuatnya termotivasi untuk terus melanjutkan
memiliki anak yang memberontak seperti Izza.
studi, bahkan sampai ke luar negeri.
Baginya, pemberontakan Izza merupakan hal yang
Di sisi lain, buku DTS secara fisik lebih tipis
berat sehingga menimbulkan konflik dan suasana
Tabel 2. Identitas dan struktur buku DTS.
tidak enak dalam keluarga-nya. Sebagai seorang
sejak dia masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
guru yang – seperti dikatakannya sendiri – “selalu
Kegiatan membaca tersebut membuahkan hobi lain,
mencari wawasan baru tentang pendidikan”, ia kaget
yaitu menulis. Saat SD, dia telah menyelesaikan
ketika anaknya ingin keluar dari sekolah dengan
sekian kisah yang terdokumentasikan dalam lima
alasan merasa terpenjara di sekolah. Kekagetannya
buku tebal”. (M.Izza Ahsin, 2007: 246).
lalu muncul dalam bentuk kemarahan luar biasa.
Di luar kedua bagian tersebut, bab-bab dalam
Ia mengungkapkan hal tersebut dalam kalimat
buku ini sepenuhnya menceritakan kisah tentang
seperti di bawah ini: “Izza, anak pertama saya,
perjuangan sang penulis untuk keluar dari sekolah.
dengan berani meminta izin untuk keluar dari
Meski tidak mudah, pada akhirnya keinginan
sekolah dengan alasan sekolah itu memenjara-
untuk lepas dari lembaga formal yang dia rasakan
kan pikiran, membelenggu kreativitas, dan akan
membelenggu itu akhirnya berhasil juga.
membuat manusia jadi pembebek. Saya marah, dan
kemarahan itu telah melampaui batas kewajaran”.
Membaca Makna Sekolah; Antara
( M.Izza Ahsin, 2007: 6).
“Memerdekakan” dan “Memenjarakan”
Selain di bagian Pengantar, ayah Izza juga
Andrea Hirata (Laskar Pelangi)
menorehkan catatannya untuk bagian Tentang
Sekolah yang dalam bahasa aslinya yakni kata
Penulis. Di bagian ini ia mendeskripsikan secara
skhole, scola, scolae atau schola (Latin) secara
singkat tentang diri Izza. Anak lelakinya ini
harfiah artinya adalah “waktu luang” atau “waktu
dikatakannya sebagai anak yang sejak kecil
senggang”(Topatimasang: 1998). Menilik arti
punya hobi membaca sekaligus menulis, dan
harfiahnya sangat jauh berbeda dengan kenyata-
telah menghasilkan beberapa karya meski tidak
an sekolah di dunia sekarang yang telah menjadi
diterbitkan. Berikut ini cuplikannya: “Kegiatan
institusi “wajib”. Pentingnya sekolah di dunia modern
membaca telah menjadi kesukaannya; mulai bacaan
bahkan telah menjadikannya salah satu dari empat
komik, buku tentang tokoh sukses, cerita fiksi,
agen sosialisasi setelah keluarga, teman bermain,
nonfiksi, sains, sejarah, buku-buku agama, sampai
dan media massa (Sunarto: 2000).
buku-buku tentang pendidikan. Kegiatan itu dimulai
Dalam LP, kata “sekolah” termasuk berbagai
91
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 1, Januari 2011
kata turunannya yang dipakai dengan awalan
berhitung – adalah aturan mengenai kemandirian
dan akhiran, serta sebagai singkatan seperti kata
(independence), prestasi (achievement),
“bersekolah”, “menyekolahkan”, “Sekolah Dasar
universalisme (universalism), dan spesitifitas
(SD)”, “Sekolah Menengah Pertama (SMP)” disebut
(specificity). Pemikiran Dreeben ini dipengaruhi oleh
sebanyak 356 kali. Sekolah ini merupakan sekolah
dikotomi yang dikembangkan oleh Talcott Parsons
dalam strata terendah dari struktur sosial dalam
– misalnya antara ascription dan acheivement,
dunia pendidikan di Belitong. Sebagai sekolah miskin
particularism dan universalism, diffusseness dan
yang tidak mempunyai fasilitas penunjang belajar,
specificity.
ternyata sekolah ini mampu melahirkan murid-murid
Dalam kasus Andrea, sekolah dapat menjadi
yang memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar
lembaga yang memerdekakan dan memotivasi anak
yang tinggi dan berani bercita-cita.
didiknya disebabkan oleh beberapa hal. Berikut
Andrea, anak karyawan rendahan di PN Timah
beserta sembilan teman sekelasnya yang juga
ini adalah hasil analisis berdasarkan wacana yang
diteliti dalam buku LP:
datang dari keluarga miskin, harus bersekolah di
Faktor guru (Pak Harfan dan Bu Muslimah)
Perguruan Muhammadiyah (SD dan SMP). Walaupun
yang pandai memotivasi “...kami sering mengeluh
di Belitong terdapat beberapa kategori sekolah,
mengapa sekolah kami tak seperti sekolah-sekolah
kemiskinan dan stratifikasi sosial masyarakatnya
lain. Terutama atap sekolah yang bocor dan sangat
memaksa mereka untuk hanya dapat mendaftar
menyusahkan saat musim hujan. Beliau tak
di sekolah paling miskin itu. Ada tiga penyebab
menanggapi keluhan itu tapi mengeluarkan sebuah
orang tua mereka memasukkan anaknya di sekolah
buku berbahasa Belanda dan memperlihatkan
itu, seperti penuturannya berikut ini: “Pertama,
sebuah gambar...”Inilah sel Pak Karno di sebuah
karena sekolah Muhammadiyah tidak menetapkan
penjara di Bandung, di sini beliau menjalani
iuran dalam bentuk apa pun, para orang tua hanya
hukuman dan setiap hari belajar, setiap waktu
menyum-bang semampu mereka. Kedua, karena
membaca buku. Beliau adalah salah satu orang
firasat, anak-anak mereka dianggap memiliki
tercerdas yang pernah dimiliki bangsa ini”, beliau tak
karakter yang mudah disesatkan iblis sehingga
melanjutkan ceritanya. Kami tersihir dalam senyap.
sejak usia muda harus mendapat pendadaran Islam
Mulai saat itu kami tak pernah lagi memprotes
yang tangguh. Ketiga, karena anaknya memang
keadaan sekolah kami” (Andrea Hirata, 2007: 31).
tak diterima di sekolah manapun” (Andrea Hirata,
“Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup
2007: 4).
yang sederhana melalui kata-katanya yang ringan
Mereka memaknai sekolah sebagai tempat
namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan.
yang dapat mengeluarkan dari kebodohan serta
Beliau mengobarkan semangat kami untuk belajar
membentuk anak menjadi manusia yang berakhlak
dan membuat kami tercengang dengan petuahnya
melalui pendidikan agama yang ditawarkan sekolah
tentang keberanian pantang menyerah melawan
itu. Dapat dikatakan bahwa sekolah dianggap
kesulitan apa pun. Pak Harfan memberi kami
sebagai lembaga yang memerdekakan. Berikut
pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian,
ini penuturan selanjutnya: “Menyekolahkan anak
tentang ketekunan, tentang keinginan kuat untuk
berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan
mencapai cita-cita” (Andrea Hirata, 2007: 24).
tahun dan hal itu bukan perkara gampang bagi
keluarga kami....Pagi ini mereka terpaksa berada
Apabila diringkas, kedua tokoh guru dalam
kisah ini dapat dilihat seperti dalam tabel 3.
di sekolah ini untuk menghindarkan diri dari celaan
aparat desa karena tak menyekolahkan anak atau
Faktor interaksi antar murid yang intens
sebagai orang yang terjebak tuntutan zaman baru,
Kelas tempat Andrea bersekolah merupakan kelas
tuntutan memerdekakan anak dari buta huruf”
dengan jumlah murid yang kecil atau sedikit, yakni
(Andrea Hirata, 2007: 3).
hanya ada sepuluh anak (termasuk Andrea/Ikal).
Terkait dengan pelajaran yang diterima anak
Jumlah sepuluh itu pun merupakan batas minimum,
di sekolah, Robert Dreeben (dalam Sunarto:
jika sekolah Muhammadiyah tidak ingin ditutup
2000) berpendapat bahwa yang dipelajari anak
oleh pemerintah. Hal itu terungkap dari penuturan
di sekolah – di samping membaca, menulis, dan
Andrea yang menceritakan kecemasan-nya saat
92
Mintarti, Muslihudin, dan Joko Santoso, Telaah Atas Konsep Sekolah Pada Buku Laskar Pelangi dan Dunia Tanpa Sekolah
pertama kali mendaftar di sekolah itu ditemani
yang wajib diikuti oleh setiap siswanya. Pelajaran
ayahnya: “Guru-guru sederhana ini berada dalam
itu pada intinya berisi tentang nilai-nilai keislaman
situasi genting karena Pengawas Sekolah dari
sebagaimana dipahami oleh K.H. Ahmad Dahlan,
Dedikbud Sumsel telah mem-peringatkan bahwa
pendiri Muhammadiyah. Pelajaran ini masuk ke
jika SD Muhammadiyah hanya mendapat murid
dalam kurikulum sekolah Muhamma-diyah dan
baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling
menjadi ciri khas sekolah itu. Mereka memiliki guru
tua di Belitong ini harus ditutup” (Andrea Hirata,
semacam Bu Mus dan Pak Harfan yang membuat
2007: 4-5).
ruh mata pelajaran itu merasuk menjadi fondasi
Sembilan dari sepuluh murid (tanpa Andrea/
yang kuat dalam membentuk nilai-nilai moral dalam
Ikal) dan karakternya di dalam cerita ini, dapat
menghadapi kerasnya hidup. Berkaitan dengan hal
diringkas dalam Tabel 4.
ini Andrea menulis: “Di sekolah ini aku memahami
Kecilnya jumlah murid dalam kelas itu
arti keikhlasan, perjuangan, dan integritas. Lebih
memungkinkan terjadinya sebuah kelompok yang
dari itu, perintis perguruan ini telah mewariskan
di dalam sosiologi sering disebut sebagai kelompok
pelajaran yang amat berharga tentang ide-ide besar
primer, yaitu suatu kelompok di mana kita dapat
Islam yang mulia, keberanian untuk merealisasi ide
mengenal orang lain sebagai suatu pribadi secara
itu meskipun tak putus-putus dirundung kesulitan,
akrab (Horton dan Hunt:2006). Bukti bahwa
dan konsep menjalani hidup dengan gagasan
pengenalan terhadap kawan dapat demikian intens,
manfaat sebesar-besarnya untuk orang lain melalui
dapat dilihat dari karakteristik pribadi masing-
pengorbanan tanpa pamrih” (Andrea Hirata, 2007:
masing anak yang diuraikan oleh Andrea seperti
85).
dalam tabel 4 tersebut. Penulis buku ini dapat
Menurut T. Raka Joni (dalam Sindhunata:
mengingat dengan rinci sifat atau kepribadian dari
2002), berdasarkan keberdampakannya kepada
semua teman sekelasnya itu.
siswa, terdapat 5 tataran kurikulum, yaitu (a)
kurikulum ideal, (b) kurikulum formal, (c) kurikulum
Faktor kurikulum sekolah
instruksional, (d) kurikulum operasional, (e)
Di dalam setiap sekolah Muhammadiyah, mata
kurikulum eksperimental. Kurikulum yang diterapkan
pelajaran kemuhammadiyahan merupakan pelajaran
di sekolah-sekolah adalah kurikulum formal, yaitu
Tabel 3. Karakteristik tokoh guru
93
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 1, Januari 2011
Tabel 4 Karakter tokoh murid (anggota Laskar Pelangi)
94
Mintarti, Muslihudin, dan Joko Santoso, Telaah Atas Konsep Sekolah Pada Buku Laskar Pelangi dan Dunia Tanpa Sekolah
kurikulum yang akhirnya di-sanction oleh yang
turunannya disebut sebanyak 330 kali.
berkewenangn dan kemudian ditampil-kan sebagai
Izza adalah anak dari pasangan guru. Ayahnya
dukumen resmi kurikulum. Di negara kita, kurikulum
mengajar kimia di sebuah SMA sedangkan ibunya
formal itu terdiri dari tujuan, materi yang merupakan
adalah guru Taman Kanak-kanak (TK). Sebagai anak
bagian terbesar, serta pedoman umum pelaksanaan.
guru, dunia pendidikan tidak asing lagi baginya.
Apa yang dipraktikkan oleh Bu Musliman dan Pak
Semenjak kecil ia terbiasa mengikuti ibunya ke
Harfan dalam cerita ini merupakan implementasi
TK tempatnya mengajar. Tentang orangtuanya,
dari kurikulum
instruksional yakni terjemahan
ia menulis: “Ayah termasuk orang yang sangat
dari kurikulum formal menjadi seperangkat
dihormati dan jadi panutan...Ibu dikenal sebagai
skenario pembe-lajaran. Sementara itu, makna
guru TK yang cerdas. Seperti ayah, ibu juga seorang
dari pengalaman belajar yang terhayati oleh
sarjana dan pernah beberapa kali memenangi lomba
para anggota Laskar Pelangi adalah kurikulum
guru berprestasi tingkat nasional dengan berbagai
eksperensial yaitu dampak dalam bentuk perubahan
makalahnya tentang pendidikan”.
cara berpikir dan cara bertindak para siswa.
Membahasakan dirinya dengan sebutan “aku”,
Izza menjadi tokoh sentral cerita. Dapat dikatakan
Faktor buku “Seandainya Mereka Bisa
tidak ada tokoh lain yang mempunyai peran
Bicara” karya Herriot
cukup banyak dalam cerita ini. Meskipun di buku
Faktor ini sebenarnya tidak secara langsung
ini juga diceritakan tentang tokoh ayah dan ibu,
berkaitan dengan sekolah. Buku yang sangat
kesan bahwa keduanya hanya merupakan “peran
menginspirasi Andrea dan selalu dibacanya saat
pembantu” terasa sekali. Dengan kata lain, buku
ia sedih itu merupakan pemberian dari A Ling,
ini lebih merupakan curahan hati dan pergolakan
gadis Tiong Hoa anak pemilik toko kelontong yang
batin penulisnya berhadapan dengan tembok
ditaksirnya. Ketika A Ling harus meninggalkan
tebal sekolah yang dia rasakan mengungkung dan
Belitong menuju Jakarta mengikuti pamannya,
memenjarakan. Secara garis besar, Izza memliki
ia memberi Ikal kenang-kenangan berupa buku
karakter pada Tabel 5.
tersebut.
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa
Setelah dewasa, Andrea menyadari bahwa buku
ia merasa terkekang dan terpenjara di sekolah?
itu begitu berpengaruh dalam kehidupannya. Berikut
Berdasarkan analisis, ternyata Izza telah memiliki
ini pengakuannya: “...aku segera menyadari bahwa
gambaran tidak menyenangkan tentang dunia
seluruh kehidupan dewasaku telah terinspirasi oleh
sekolah sedari ia masih TK. Berikut ini catatannya:
buku kumal yang selalu kubawa ke mana-mana
“Walau aku tidak terlalu ingat, orangtuaku berkata
itu. Dulu ketika frustrasi karena berpisah dengan
kalau aku pernah ngompol karena dipaksa tampil
A Ling maka pesona Desa Edensor, Taman Daffodil
di kelas. Aku juga pernah menangis lama sekali
dan jalan pasar berlandaskan batu-batu bulat,
sampai orangtuaku datang menjemput” ( M.Izza
serta hamparan sabana di bukit-bukit Derbyshire
Ahsin, 2007: 17-18). “Memasuki masa-masa awal
telah menghiburku. Kemudian pada masa dewasa
Sekolah Dasar (SD) lebih tidak menyenangkan
ini ketika kehidupanku di Bogor berada pada titik
lagi..Waktu kelas satu aku pernah kabur dari kelas
terendah aku perlahan-lahan bangkit juga karena
karena takut jarum suntik. Aku sampai melompat
semangat yang dipancarkan oleh Herriot, sang tokoh
lewat jendela saking takutnya dalam acara imunisasi
utama buku itu” (Andrea Hirata, 2007: 455 – 479).
masuk sekolah...Waktu kelas dua aku harus
menghadapi guru yang paling ditakuti murid. Selain
M. Izza Ahsin (Dunia Tanpa Sekolah)
galak dan ceplas-ceplos, juga terkenal pilih kasih.
Meski buku ini terasa kurang “menggigit”
Korban utamanya adalah para murid kelas dua yang
seperti halnya LP yang penulisnya sudah lebih
tidak mengikuti lesnya. Bukan satu atau dua kali
kaya akan pengalaman hidup, keberanian Izza
saja dia mengataiku dengan goblok, dungu, atau
untuk memberontak terhadap dunia sekolah yang
semacamnya”.
sudah begitu mapan dalam masyarakat merupakan
Puncak kenyamanan sebagai murid SD
kejadian langka dan karenanya menjadi istimewa.
dirasakannya ketika ia duduk di kelas lima dan enam.
Dalam buku ini, kata “sekolah” dan berbagai kata
Ia mengatakan: “Puncak dari segala kenyamanan
95
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 1, Januari 2011
bersekolah ini aku rasakan di kelas lima dan enam.
sendirian. Setelah melalui perenungan yang panjang
Waktu itu aku sangat terkenal sebagai tokoh CC,
serta usaha-usaha untuk saling berkompromi yang
singkatan Cerdas Cermat, karena kegemaranku
gagal, pada akhirnya orangtua Izza mengabulkan
membaca apa saja. Ini merupakan terobosan baru
keinginan anaknya untuk keluar dari sekolah:
dalam kegiatan belajar mengajar yang dipraktikkan
“Sekarang kami telah memberimu kebebasan
oleh Bu Indri, guru IPS sekaligus guru terbaik yang
untuk memilih...Tetapi ada syaratnya. Kamu harus
pernah aku temukan selama aku bersekolah formal”.
membaca buku-buku yang ayah minta. Kamu harus
(M.Izza Ahsin, 2007: 18).
membagi waktu antara belajar agama dan sastra.
Meski demikian, masa SMP tidak membuatnya
m a k i n m e ny u k a i s e ko l a h . S e j a l a n d eng an
Pendeknya, ini adalah kurikulum yang ayah buat”
(M.Izza Ahsin, 2007: 160-161).
bertambahnya usia, ia menjadi makin kritis terhadap
Pemikiran yang begitu kritis dan revolusioner itu
lingkungan sekolahnya. Kebosanannya itu dapat
dalam banyak hal dipengaruhi oleh bacaan-bacaan
dibaca pada kutipan berikut: “Kalau bukan karena
yang sejak kecil sudah dilahapnya. Ia sangat suka
kegiatan bersama teman-teman setelah pulang
membaca kisah-kisah biografi para tokoh dunia.
sekolah, aku mungkin akan merasa sia-sia telah
Thomas Alva Edison, Michael Faraday, James Watt,
menghabiskan delapan jam di sekolah” (M.Izza
John Dalton mengajarkannya bahwa menjadi guru
Ahsin, 2007: 40).
bagi diri sendiri lebih baik daripada belajar dengan
Halaman-halaman berikutnya hampir dipenuhi
guru yang tidak akan pernah mungkin mengerti.
dengan kalimat-kalimat yang mengggambarkan
Begitu pula tokoh-tokoh di berbagai bidang lain.
kejenuhannya terus menerus menghabiskan waktu
Di bidang sastra, ia mengenal Mark Twain yang
di sekolah. Ia bercita-cita menjadi penulis besar,
mengatakan tak kan pernah dalam hidupnya dia
dan menurutnya untuk itu ia tidak harus menempuh
membiarkan sekolah mencampuri pendidikannya,
pendidikan di sekolah formal. Kenyataan bahwa
Rabindranath Tagore yang berkata bahwa sekolah
orangtuanya tidak mendukung keinginannya untuk
itu adalah siksaan yang tak tertahankan, dan
keluar dari sekolah membuat Izza makin merasa
Bernard Shaw yang melarang karya-karyanya
diajarkan di sekolah. Masih banyak tokoh lain
Tabel 5. Karakter tokoh dalam buku DTS
yang disebutkannya dan itu memengaruhi cara
kata Roem Topatimasang (1998) disebut bahwa
pandangnya terhadap sekolah. (M.Izza Ahsin, 2007:
sekolah sudah terlalu sering disesali, tapi pada saat
164-165).
bersamaan sekaligus juga amat didambakan.
Guru Kunci Utama Dunia Sekolah
pada salah satu sudut pandang secara ekstrim.
Dalam hal ini, peneliti sendiri tidak ingin jatuh
Berdasarkan analisis terhadap dua buku itu,
Masing-masing pandangan ada sisi positif dan
terdapat dua pandangan berbeda tentang sekolah.
negatifnya. Di satu sisi meski bukan satu-satunya
Pertama adalah yang mendukung dan berpandangan
faktor, lembaga sekolah dapat menjadi sarana bagi
positif, dan kedua adalah yang menentang. Sudut
individu untuk mengalami mobilitas sosial ke atas.
pandang pertama melihat sekolah sebagai lembaga
Nasution (1995) menyatakan, pendidikan membuka
yang memerdekakan serta dapat memotivasi,
kemungkinan adanya mobilitas sosial. Berkat
sebaliknya sudut pandang kedua menganggap
pendidikan seseorang dapat meningkat dalam status
bahwa sekolah adalah lembaga yang memenjarakan
sosialnya. Pada sisi lain, sekolah formal membuat
dan membelenggu kreativitas murid. Dalam kata96
Mintarti, Muslihudin, dan Joko Santoso, Telaah Atas Konsep Sekolah Pada Buku Laskar Pelangi dan Dunia Tanpa Sekolah
anak didik menjadi “terkekang” karena mereka
hati dan pikiran murid. Bahkan Izza yang begitu
harus mematuhi berbagai aturan atas nama disiplin
membenci sekolah pun tetap mengenang salah
sekolah, serta mempelajari banyak hal yang sudah
seorang gurunya sebagai orang yang telah mampu
disusun dalam kurikulum. Pengalaman Izza telah
menumbuhkan kreativitas murid-muridnya. Ia
menunjukkan hal terakhir ini.
mencatat: “....Ini merupakan terobosan baru dalam
Namun demikian, meniadakan sama sekali
kegiatan belajar mengajar yang dipraktikkan oleh Bu
sekolah formal merupakan hal yang hampir dapat
Indri, guru IPS sekaligus guru terbaik yang pernah
dikatakan mustahil. Hal ini karena sekolah telah
aku temukan selama aku bersekolah formal...Bu
menjadi suatu institusi yang mengakar kuat di
Indri – tidak seperti guruku di kelas dua – sejak
dalam masyarakat, sehingga bukan hal mudah
saat itu selalu menganggapku sebagai anak yang
untuk menghapusnya dari kehidupan masyarakat.
patut dicontoh, bukan anak goblok yang tidak bisa
Topatimasang (1998) menyatakan, sekolah memang
mengerjakan soal matematika” (M.Izza Ahsin, 2007:
telah terinternalisasikan sedemikian rupa dalam
18 dan 20).
seluruh bagian kehidupan keseharian kita, melalui
Di era sekarang ketika paham materialisme
suatu proses sejarah yang panjang dan lama,
dan hedonisme mulai mengikis jiwa remaja pun,
yang sedemikian berpengaruh terhadap kehidupan
peran guru menjadi sangat penting. Darmaning-
perseorangan dan perkauman kita, menjadi suatu
tyas (2005) melukiskan sebagai berikut: “...
imperatif budaya, semacam gejala “ketaksadaran
Jelas bahwa fungsi guru pada masa sekarang dan
kolektif”.
mendatang adalah mengisi ruang-ruang kosong
Karena hampir mustahil untuk dihapus
yang menjadi jarak antara realitas empiris dengan
dari kehidupan masyarakat, maka yang perlu
yang diidealkan...tugas ini memang berat, tapi mau
dilakukan adalah berusaha menambal yang sobek,
tidak mau harus dijalankan oleh guru agar mereka
memperbaiki yang rusak, ataupun mengganti yang
tidak kehilangan perannya. Kompleksitas persoalan
sudah usang dari sistem persekolahan. Dalam hal
yang dihadapi remaja serta kecenderungan
ini, sebenarnya ada satu kunci yang dapat menjadi
Ipoleksosbud-Hankam yang makin tidak terduga,
variabel antara, yakni faktor guru. Banyak orang
menuntut kearifan tersendiri dari guru agar bisa
terbukti begitu terkesan dengan pengalaman
mengambil posisi secara tepat”.
bersekolah karena telah berinteraksi dengan guru
Guru-guru seperti yang digambarkan itu
yang menginspirasi. Misalnya, Rizali dkk (2009)
adalah “Great Teachers” yang memberi inspirasi
menulis: “Pada pertengahan 1960, kulihat ibu
dan lebih dari sekadar gurusuper yang mampu
guruku di TK IWKA (Ikatan Wanita Kereta Api)
mendemonstrasikan keterampilannya sebagai guru
Kota Malang sebagai perempuan paling cantik dan
(Rizali, dkk: 2009).
baik hati sesudah ibuku. Aku diajaknya ikut lomba
menyanyi di RRI Malang yang sekarang menjadi
Simpulan dan Saran
hotel terbaik di sana. Mengapa aku begitu senang
Simpulan
dengan ibu guruku itu? Sebab, kurasa saat itu dia
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan,
sangat baik hati dan memberiku dorongan untuk
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
berani melakukan sesuatu yang baru, tidak ada kata
Pertama, dalam buku LP, sekolah didefinisikan dan
salah atau benar. Saat itu lomba menyanyi, karena
dimaknai sebagai institusi sosial yang memerdekakan
suaraku tidak terhitung istimewa, aku pun kalah. Bu
walaupun secara fisik miskin. Ada beberapa faktor
Guru tidak kecewa, bahkan tetap memperlakukan
yang membuatnya berpandangan seperti itu, yaitu
aku dengan baik – bahkan lebih baik karena sudah
faktor guru yang pandai memotivasi, faktor interaksi
berani ikut”.
yang intens antar murid yang memungkinkan
Dari dua buku yang menjadi materi penelitian ini
tumbuhnya persahabatan, faktor kurikulum yang
pun sebenarnya ada satu titik temu di antara kedua
menanam-kan nilai-nilai untuk mampu keluar dari
penulis. Mereka mengakui bahwa guru merupakan
segala kesulitan, dan faktor buku cerita karya
figur paling penting dalam sistem pendidikan. Hanya
Herriot yang mampu membangkitkan semangat
guru yang inspiratif dan pandai merengkuh hati
ketika jiwanya sedang gundah. Dalam buku DTS,
murid-muridnyalah yang akan terus hidup dalam
sekolah didefinisikan dan dimaknai sebagai lembaga
97
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 1, Januari 2011
yang memenjarakan. Pandangan ini muncul
Rantai Kekerasan Anak dari Prasekolah
sebagai dampak dari kegemaran penulisnya (Izza)
hingga SMU. PT. Serambi Ilmu Semesta.
membaca buku-buku, khususnya karya penulispenulis yang kritis terhadap pendidikan sekolah.
Pembacaan terhadap tulisan-tulisan itu kemudian
Jakarta.
Darmaningtyas. 2005. Pendidikan Rusak-rusakan.
LKiS. Yogyakarta.
dihubungkannya dengan pengalaman-penga-laman
digilib.uns.ac.id/abstrakpdf
buruknya di saat-saat awal bersentuhan dengan
Eriyanto. 2008. Analisis Wacana, Pengantar
dunia sekolah. Kedua, perbedaan cara pandang di
antara keduanya disebabkan oleh latar belakang
Analisis Teks Media. LKiS. Yogyakarta.
Freire, Paulo. 2000. Politik Pendidikan. ReaD
sosial budaya yang berbeda. Andrea berasal dari
(Research, Education and Dialogue)
keluarga miskin tidak berpendidikan dan hidup di
bekerja sama dengan Pustaka Pelajar,
tengah masyarakat yang sangat tajam stratifikasi
Yogyakarta.
sosialnya, sementara Izza datang dari pasangan
Henslin, James M. 2007. Sosiologi dengan
guru yang kehidupannya relatif mapan. Saat masuk
Pendekatan Membumi Edisi 6 Jilid 2.
ke lingkungan sekolah, Andrea bertemu dengan
Penerjemah: Kamanto Sunarto. Erlangga.
guru-guru yang menginspirasi, sedangkan Izza
Jakarta.
telah mengalami pengalaman buruk di awal masa
sekolahnya dan hal itu diperkuat dengan bacaanbacaan kritis tentang dunia pendidikan. Kedua
pandangan tersebut ada positif dan negatifnya.
Hirata, Andrea. 2007. Laskar Pelangi. Penerbit
Bentang. Yogyakarta.
Horton, Paul B.dan Chester L.Hunt. 2006.
Sosiologi Jilid 1. Erlangga. Jakarta.
Namun demikian, satu hal yang harus ada di
jeperis.wordpress.com
lembaga sekolah adalah guru-guru yang mampu
Lawson, Tony, Marsha Jones, Ruth Moores. 2000.
menginspirasi murid-muridnya, sehingga sekolah
Advance Sociology through Diagrams.
tidak dirasakan sebagai sebuah penjara yang
Oxford University Press.
membelenggu.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana. Tiara Wacana.
Yogyakarta.
Saran
Nasution, S. 1995. Sosiologi Pendidikan. Bumi
Atas dasar simpulan, maka rumusan saran sebagai
berikut. Pertama, bercermin dari kedua buku
tersebut, hendaknya semua yang berprofesi guru
mulai dari TK sampai perguruan tinggi hendaknya
terus berusaha dan belajar untuk menjadi guru
Aksara. Jakarta.
Republika. Ahad. 30 Desember 2007. Halaman
B4. Andrea Hirata, Bangga sebagai Melayu
Pedalaman.
Rizali, Ahmad, Indra Djati Sidi dan Satria Dharma.
yang menginspirasi yang dapat memahami
2009. Dari Guru Konvensional Menuju
dan menerima murid
Guru Profesional. PT.Grasindo. Jakarta.
apa adanya serta dapat
memotivasi dan membangkitkan semangat murid
Sindhunata (Editor). 2002. Membuka Masa
untuk keluar dari segala kesulitan hidup. Kedua,
Depan Anak-anak Kita, Mencari
bagi para pembuat kebijakan (pemerintah melalui
Kurikulum Pendidikan Abad XXI. Kanisius.
Kementerian Pendidikan Nasional hendaknya terus
Yogyakarta.
menerus membina para guru sebagai ujung tombak
dunia pendidikan, agar semakin banyak guru-guru
profesional yang mampu mengemban tugasnya
dengan baik.
Pustaka Acuan
Ahsin, M.Izza. 2007. Dunia Tanpa Sekolah. Read!
Publishing House. Bandung.
Buchori, Mochtar. 1998. Komersialisasi Idealisme
Bukan Tabu. Majalah Basis No.01-02
Tahun ke 47 Januari – Februari 1998.
Coloroso, Barbara. 2007. Stop Bullying! Memutus
98
Sugiyanto. 2002. Lembaga Sosial. Global Pustaka
Utama. Yogyakarta.
Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi
Edisi ke 2. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Suyanto. 2006. Dinamika Pendidikan Nasional
dalam Percaturan Dunia Global. PSAP
Muhammadiyah. Jakarta.
Topatimasang, Roem. 1998. Sekolah Itu Candu.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
UNESCO. 2007. Akar Kokoh Pengasuhan dan
Mintarti, Muslihudin, dan Joko Santoso, Telaah Atas Konsep Sekolah Pada Buku Laskar Pelangi dan Dunia Tanpa Sekolah
Pendidikan Anak Usia Dini. Ringkasan
Laporan Pemantauan Global PUS 2007.
99
Download