Resolusi Konflik Poso dalam Perspektif Komunikasi Pendidikan... RESOLUSI KONFLIK POSO DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI PENDIDIKAN BERBASIS AGAMA DAN BUDAYA Muhammad Khairil FISIP Universitas Tadulako, Sulawesi Tengah [email protected] Abstract This paper is oriented to the efforts of establishing peacfulness in the post-conflict communities of Poso regency, particularly for those of school-age teenagers. Building teenagers’ awareness of the importance of peace through the spirit of tolerance, mutual respect, both in the plurality of religious and culture requires a sustained and continuous process both physically as well as psychologically. To provide direction and clarity of methodologiy, this study uses descriptive qualitative method in the process of explanation, with the technique of “In-depth Interviewing”. The process of research carried out by using emic perspective, prioritizing the views and perspective of research subjects upon the situation they are facing. The findings show, first, that it is enourmously important the creation of a space of interaction for young people by giving the value of the materials related to religious pluralism and multiculturalism as a stimulus to the selfperception and attitude development. Second, the strategic effort to raise awareness among school-age youths for peace in Poso is to foster the spirit of religious pluralism and tolerance in a diverse culture where every sub-culture should be respected no matter how small it is, and given the same rights as the dominant culture. Third, in the perspective of communication of education for adolescent, conflict resolution can be carried out through instructional models, interactional and transactional. Abstrak Tulisan ini berorientasi pada upaya dalam mewujudkan perdamaian pasca konflik bagi masyarakat yang ada di Kabupaten Poso khususnya bagi anak remaja usia sekolah. Membangun kesadaran Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 409 Muhammad Khairil remaja akan pentingnya perdamaian melalui semangat toleransi, saling menghargai baik dalam pluralitas agama maupun pluralitas budaya memerlukan proses yang terus berkesinambungan baik secara fisik maupun psikis. Untuk memberikan arah dan kejelasan metodologis maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dalam proses eksplanasi, dengan teknik “In depth interviewing”. Proses kerja penelitian dilakukan dengan menggunakan perspektif emik, mengutamakan pandangan dan pendirian subjek penelitian terhadap situasi yang dihadapinya. Hasil temuan menunjukan bahwa pertama, menjadi sangat penting, diciptakannya ruang interaksi bagi generasi muda dengan pemberian nilai dari materi terkait dengan pluralisme agama dan multikulturalisme sebagai stimulus terhadap pembangunan persepsi dan sikapnya. Kedua, upaya strategis dalam menumbuhkan kesadaran remaja usia sekolah demi terwujudnya perdamaian di Poso adalah dengan menumbuhkembangkan semangat pluralisme agama dan toleransi dalam keragaman budaya dimana setiap sub kultur betapapun kecilnya harus dihargai dan diberi hak yang sama dengan kultur yang lebih dominan. Ketiga, dalam perspektif komunikasi pendidikan bagi anak remaja, resolusi konflik dilakukan melalui model instruksional, interaksional dan transaksional. Kata Kunci: komunikasi, pendidikan, agama, budaya. A.Pendahuluan Konflik sering memperkuat dan mempertegas batas kelompok dan meningkatkan penggalangan solidaritas internal kelompok. Konflik antarkelompok merupakan penghadapan antara in-group dan out-group. Ketika konflik terjadi, masing-masing anggota dalam suatu kelompok akan meningkatkan kesadaran sebagai sebuah kelompok (in-group) untuk berhadapan dengan kelompok lain (out-group). Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua kelompok atau lebih. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial lainnya. Jika mencermati jumlah generasi muda usia sekolah pada tingkat SLTP dan SLTA yang terdapat di Kabupaten Poso, maka jumlahnya melampaui angka 40% dari usia sekolah yang ada secara keseluruhan. Ini menunjukkan potensi yang sangat besar yang harus dikelola sehingga dapat menjadi kader bagi proses nation building. 410 Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 Resolusi Konflik Poso dalam Perspektif Komunikasi Pendidikan... Secara rasional keberadaan remaja dalam kehidupan sosial kemasyarakatan jika dilihat pada aspek psikologis remaja, maka selama ini dianggap atau dekat dengan image negatif sebagai sumber dan pemicu berbagai konflik dan keresahan yang terjadi di masyarakat. Menjadi sangat penting, diciptakannya ruang interaksi bagi generasi muda ini dengan pemberian nilai dari materi terkait dengan pluralisme agama dan multikulturalisme sebagai stimulus terhadap pembangunan persepsi dan sikapnya. Lahirnya persepsi dan sikap yang dibangun dengan pemuatan materi yang sesuai dengan kondisi empirik, yang sedang dihadapi oleh remaja usia sekolah dan sedang dalam perkembangan mental, merupakan mekanisme yang secara sistematis membangun integrasi sosial diatas nilai-nilai demokrasi dengan mengedepankan keberagaman dalam kebersamaan (unity and diversity). Kondisi ini akan memungkinkan lahirnya generasi yang secara mentalitas senantiasa berorientasi positif terhadap diri dan orang lain sehingga dapat menjadi mekanisme kontrol dalam proses terciptanya generasi muda modern yang dinamis. Mewujudkan perdamaian pasca konflik bagi masyarakat yang ada di Kabupaten Poso tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya perdamaian melalui semangat toleransi, saling menghargai baik dalam pluralitas agama maupun pluralitas budaya memerlukan proses yang terus berkesinambungan baik secara fisik maupun psikis. Tidak mudah bagi seorang istri untuk melupakan kejadian ketika suami mereka menjadi korban konflik. Tidak mudah bagi seorang anak yang melihat langsung orangtua mereka menjadi korban konflik karena persoalannya bukanlah persoalan fisik melainkan persoalan psikis yang memerlukan waktu untuk melupakan semua trauma yang mereka alami. Jika tidak mendapatkan penanganan secara tepat, maka anak-anak korban konflik akan menjadi potensi konflik yang Sewaktu-waktu bisa memicu timbulnya konflik yang lebih besar. sehingga upaya-upaya strategis penanganan dan pencegahan dini terhadap konflik merupakan program yang harus mendapatkan Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 411 Muhammad Khairil skala prioritas. Respon terhadap konflik, yang merupakan bagian integral dari upaya resolusi konflik di Indonesia, belajar dari sedikit pengalaman dan literatur yang tersedia, pada hakekatnya tidak mengalami kemajuan yang berarti dibandingkan dengan kompleksitas konflik saat ini. Ketika Aceh bergolak, Papua menuntut kemerdekaan, Ambon berdarah dan Poso mencekam akibat perang berasas ideologi keagamaan maka resolusinya secara politik adalah pemberian otonomi khusus, penyelesaian konflik dengan caracara agresif dan kekerasan serta dengan cara seolah-olah terjadi negosiasi antara kelompok yang berkonflik. Pada situasi tertentu yang diakibatkan oleh konflik maka menyebabkan penderitaan bagi rakyat, tak terkecuali anak-anak. Anak-anak korban konflik seringkali harus melihat bahkan mengalami secara langsung segala macam bentuk kekerasan akibat perang. Kejadian itu akan tersimpan selamanya dalam benak mereka. Yang lebih menyedihkan, mereka harus berpisah dengan orangtua mereka untuk mengungsi ke daerah yang lebih aman bagi mereka. Pasca konflik seringkali anak menjadi elemen masyarakat yang kurang mendapat perhatian baik oleh pemerintah maupun lembaga yang berkonsentrasi untuk pemulihan konflik. Sebagai bentuk refleksi terhadap anak-anak korban konflik perlu perenungan panjang tentang seberapa besar perhatian pemerintah dan organisasi yang bergerak di Bidang perdamaian terhadap anak-anak korban konflik ? Berapa banyak data yang diperoleh tentang anak-anak yang cacat akibat konflik ? Berapa banyak anak yang harus yatim bahkan yatim piatu karena orangtua mereka korban konflik ? dan seberapa besar bantuan fisik dan psikis yang diberikan terhadap anak-anak korban konflik ? Pertanyaan tersebut tentu saja memerlukan jawaban yang tidak spekulatif, namun memerlukan penelusuran secara akurat, sehingga ditemukan satu bentuk formulasi dalam upaya membangun kesadaran remaja untuk mewujudkan perdamaian di tengah pluralisme agama dan multikulturalisme masyarakat Poso. Berbagai fenomena dan konflik baik itu etnik maupun agama yang sering kali muncul di berbagai wilayah yang ada di Indonesia 412 Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 Resolusi Konflik Poso dalam Perspektif Komunikasi Pendidikan... khususnya di Wilayah Sulawesi Tengah membutuhkan sebuah formulasi paradigma pemahaman yang mampu mentransformasi masyarakat pada tatanan pluralistik dan membuka keran toleransi sehingga melahirkan budaya komunikasi yang mengajak pada kebaikan dengan hikmah, mauizatul hasanah (nasehat yang baik) dan dengan proses dialogis yang santun (wa jadilhum billati hiya ah}san). B.Perspektif dan Peranan Komunikasi dalam Pendidikan Damai Ditinjau dari prosesnya, pendidikan adalah bagian dari proses komunikasi dalam konteks pelibatan dua komponen yang terdiri atas pengajar sebagai komunikator dan pelajar sebagai komunikan. Lazimnya, pada tingkatan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) pengajar atau komunikator di sebut Guru. Pada tingkatan apapun, proses komunikasi antara pengajar dan pelajar itu pada hakikatnya sama. Perbedaannya hanyalah pada jenis pesan serta kualitas yang disampaikan oleh si Pengajar ke Si Pelajar. Pada umumnya pendidikan berlangsung secara berencana di dalam kelas secara tatap muka yang dalam komunikasi lebih di kenal dengan face to face communication meskipun komunikasi antara pengajar dan pelajar dalam ruang kelas itu termasuk komunikasi kelompok (group communication) namun dalam penerapannya seringkali dalam proses komunikasi antarpersonal. Ketika konflik terjadi maka tentu saja akan berdampak pada berbagai hal termasuk dalam dunia pendidikan. Nilai pendidikan khususnya pendidikan formal akan berjalan sangat lambat bahkan tidak menutup kemungkinan proses pendidikan secara formal akan terhenti akibat konflik. Beberapa aspek yang menghambat di bidang pendidikan ketika konflik terjadi adalah dampak terhadap pelayanan pendidikan, angka kehilangan kesempatan sekolah, keadaan infrastruktur pendidikan dan kelembagaan pendidikan masyarakat Salah satu keberhasilan pembangunan di suatu daerah dilihat dari tingkat kualitas sumber daya manusianya. Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 413 Muhammad Khairil Pembangunan pendidikan di Sulawesi Tengah Khususnya di Kab. Poso senantiasa perlu terus ditingkatkan, terutama dalam aspek pemberian kesempatan kepada penduduk usia sekolah terlebih lagi anak-anak dalam keluarga korban konflik untuk berpeluang dalam akses pendidikan. Kendala tingkat partisipasi dan luasnya wilayah yang harus dijangkau merupakan faktor yang cukup berpengaruh dalam tingkat keberhasilan pembangunan pendidikan di wilayah pasca konflik. Menurut Charles Watkins sebagaimana dikutip Marzuki, konflik terjadi bila sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang secara potensial dan praktis/operasional dapat saling menghambat. Secara potensial artinya mereka memiliki kemampuan untuk menghambat. Secara praktis operasional, artinya kemampuan tadi bisa diwujudkan dan ada di dalam keadaan memungkinkan perwujudannya secara mudah. Artinya bila kedua pihak tidak dapat menghambat atau tidak melihat pihak lain sebagai hambatan, maka konflik tidak akan terjadi. Kedua, konflik dapat terjadi bila ada suatu sasaran yang sama-sama dikejar oleh kedua pihak namun hanya salah satu pihak yang mungkin akan mencapainya.1 Selain apa yang telah dikemukakan oleh Watkins, Ichsan 2 Malik mengemukakan bahwa sesungguhnya konflik dalam kehidupan setiap orang dan komunitas masyarakat tidak dapat dihindari karena berbagai hal yang dapat tergambarkan sebagai berikut : 1 Muhammad Marzuki, Konflik Komunal di Indonesia: Solusi dan Penanganan Pasca Konflik (Poso dan Maluku), (Jember: Universitas Jember, 2006), h. 8 2 Ichsan Malik dkk., BAKU BAE, Mematahkan Kekerasan Dengan Spirit Baku Bae (Jakarta: YAPPIKA, 2003), h. 28. Lihat juga, Ichsan Malik, “Revitalisasi Budaya Lokal Untuk Pembangunan Perdamaian di Indonesia”, Jurnal PERDAMAIAN Pusat Penelitian Perdamaian dan Pengelolaan Konflik Universitas Tadulako Nomor 1, Edisi Februari 2007. 414 Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 Resolusi Konflik Poso dalam Perspektif Komunikasi Pendidikan... Perbedaan Kebutuhan, Tujuan dan Nilai-nilai Perbedaan Cara Pandang Terhadap Motif, Ujaran, Tindakan dan Situasi KONFLIK Perbedaan Terhadap Hasil Suka Versus Tidak Suka Enggan untuk Bekerja Dalam Membahas Permasalahan, Kolaborasi atau Tanggungjawab (Gambar 1: Penyebab Konflik) ( Rangkaian solusi penyelesaian perselisihan atau managemen konflik yang terdiri atas beberapa tahapan dapat dilihat pada gambar sebagai berikut yaitu : Gambar 2. Rangkaian Penyelesaian Perselisihan3 Tahapan negosiasi merupakan tahapan awal yang dapat dilakukan melalui proses musyawarah dan bila tahapan ini gagal mencapai kesepakatan, maka dilanjutkan ke tahap kedua yang Andi Asnuddin, “Managemen Konflik”, Jurnal PERDAMAIAN Pusat Penelitian Perdamaian dan Pengelolaan Konflik Universitas Tadulako Nomor 1, Edisi Februari 2007, h. 89. 3 Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 415 Muhammad Khairil melibatkan mediator yaitu proses mediasi, dan tahapan arbitrase untuk mendapatkan win-win solution dilakukan bila tahapan mediasi gagal, serta proses litigasi merupakan alternatif pilihan terakhir bila ketiga tahapan sebelumnya gagal. Salah satu hal yang sangat memprihatinkan ketika konflik terjadi adalah korban konflik yang tidak pernah memandang usia, baik orangtua, anak-anak bahkan anak yang masih bayi sekalipun. Padahal sesungguhnya anak-anak sebagai generasi yang unggul tidak akan tumbuh dengan sendirinya. Mereka (anak-anak) sesungguhnya memerlukan lingkungan yang subur, yang sengaja diciptakan, yang memungkinkan potensi mereka dapat tumbuh secara optimal. Salah satu upaya menumbuhkan iklim kondusif bagi anak-anak ketika konflik terjadi bahkan pasca konflik tidak hanya di lingkungan pendidikan formal namun keluarga khususnya orangtua memegang peranan penting untuk menciptakan lingkungan tersebut guna merangsang segenap potensi anak agar dapat berkembang secara maksimal. Hal ini diungkap oleh Ki Hajar Dewantara4 sebagai berikut: “Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama bagi anak. Dalam kehidupan ini wajarlah apabila kehidupan keluarga sehari-hari pada saat tertentu beralih menjadi situasi kehidupan keluarga yang dihayati si terdidik sebagai iklim pendidikan, yang mengundangnya untuk melakukan perbuatanperbuatan yang mengarah pada tujuan pendidikan. Dalam usaha mengembangkan potensi anak secara maksimal untuk dapat menjadi sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas diperlukan persiapan dan perlakuan terhadap anak secara tepat sesuai dengan kondisi anak-anak tersebut. Hal ini bisa terlampaui dengan efektif dan efesien bila pendidik atau para orangtua memahami keadaan anak didiknya dengan mengikuti dan mengetahui perkembangan anak sejak kecil, remaja hingga usia deawasa. Anak sebelum dididik melalui bangku sekolah dan dididik oleh masyarakat terlebih dahulu akan mendapatkan nilai 4 Indah Ahdiyah, “Dilema Pemenuhan Kebutuhan Anak”, Jurnal GENDER TADULAKO, Pusat Penelitian dan Kajian Wanita (PPKW) Universitas Tadulako Nomor 1 Edisi Mei 2007, h. 55 416 Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 Resolusi Konflik Poso dalam Perspektif Komunikasi Pendidikan... pendidikan dasar di dalam rumah dan keluarga sehingga proses pendidikan anak dalam keluarga akan selalu merekam segala gerak-gerik orangtuanya, baik dalam aspek sosialnya maupun perilaku moralitas mereka. Hasil rekaman dalam pendidkan keluarga akan sangat menentukan proses sosialisasi dan interaksi anak dalam pendidikannya di luar rumah baik pendidikan formal melalui sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat. Hasil pendidikan dalam keluarga telah banyak dinyatakan oleh ahli didik di antaranya dinyatakan oleh Comenius5 bahwa scola-materna (sekolah Ibu) yaitu tingkat pendidikan anak-anak yang dilakukan dalam keluarga akan sangat menentukan tingakt pendidikan anak-anak setelah ia memasuki tingkatan dalam usia sekolah hingga anak-anak menjadi dewasa. Dorothy Law Nolte sebagaimana diterjemahkan oleh Jalaludin Rakhmat6 menggambarkan pendidikan anak-anak dalam syair puisi sebagai berikut : Jika anak dibesarkan dengan celaan, Ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, Ia belajar berkelahi Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, Ia belajar rendah diri Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, Ia Belajar menyesali diri Jika anak dibesarkan dengan toleransi, Ia belajar menahan diri Jika anak dibesarkan dengan dorongan, Ia belajar percaya diri Jika anak dibesarkan dengan pujian, Ia belajar menghargai Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, Ia belajar keadilan 5 Yunidar Nur, “Upaya Mengurangi Potensi Konflik Melalui Pendidikan Damai Multibudaya Berbasis Sekolah”, Jurnal PERDAMAIAN Pusat Penelitian Perdamaian dan Pengelolaan Konflik Universitas Tadulako, 2008, h. 3. 6 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 78. Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 417 Muhammad Khairil Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, Ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, Ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan Setidaknya terdapat tiga pola pendidikan anak dalam keluarga.Pertama, pola otoriter; yaitu setiap orangtua dalam mendidik anak mengharuskan setiap anak tunduk dan patuh terhadap setiap kehendak orang tua. Anak dengan pola asuh tersebut cendrung memiliki harga diri yang rendah, pesimistis, tidak suka dikritik, depresif serta kurang mandiri. Kedua, pola asuh demokratis yaitu sikap orang tua yang mau mendengarkan pendapat anaknya sehingga menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang baik dan menghasilkan kemandirian berpikir, inisiatif dalam tindakan yang diekspresikan dalam perilaku aktif, terbuka dan spontan. Ketiga, pola asuh permisif yaitu orangtua memberikan kebebasan secara mutlak kepada anak dalam bertindak sehingga anak-anak akan agresif, cepat kecewa hingga frustasi karena merasa tidak mendapatkan perhatian dari orangtua mereka.7 Selain ketiga asuh tersebut, dalam pandangan Sendjaja8, metode pendidikan anak secara komprehensif meliputi : 1. Inkulkasi (inculcation); Metode ini terlait dengan peran orangtua sebagai pemimpin yang ideal, yang memiliki kasirma kepemimpinan sehingga anak-anak menjadikan orangtua mereka sebagai sosok yang dikagumi dan diikuti kepemimpinannnya. 2. Pemodelan (modeling). Dalam kehidupan keluarga maka anakanak akan melihat, mengamati bahkan mengikuti berbagai hal yang dilakukan oleh orangtua mereka sehingga hal utama yang perlu dilakukan oleh para orangtua adalah menjadi teladan bagi Nur Yunidar, Upaya Mengurangi Potensi Konflik, h. 3 Sasa Djuarsa Sendjaja, “Persepsi Anak-Anak tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Media Anak-anak: Studi Persepsi Anak-anak Murid Kelas IV, V dan VI SD Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Majalah Anak-Anak”, Jurnal ILMU KOMUNIKASI FISIP UPN ”Veteran”, Volume 4, Nomor 2, Edisi Mei-Agustus 2006. 7 8 418 Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 Resolusi Konflik Poso dalam Perspektif Komunikasi Pendidikan... anak-anak mereka. Orangtua harus menjadi model terbaik yang dilihat dan dicontoh/diteladani oleh anak-anak mereka. 3. Fasilitasi (fasilitation). Metode ini terkait dengan peran orangtua untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk mengambil keputusan secara mandiri berlandaskan nilainilai moral spiritual. Orangtua berperan sebagai teman, sahabat dan mitra kerja bagi anak-anak mereka. 4. Pengembangan keterampilan (skill building). Pengembangan keterampilan sesungguhnya diawali dalam keluarga. Dalam hal ini terkait dengan dua hal yaitu pertama, menanamkan cara berpikir kritis dengan mencari atau menemukan hubungan sebab akibat, melihat situasi dan kondisi serta tidak mudah putus asa dalam menghadapi berbagai persoalan. Kedua, problem solving yaitu bagaimana mengatasi dan memecahkan persoalan yang dihadapi. Asep Mahpudz9 menggambarkan keterkaitan antara pendidik dan peserta didik dalam mengembangkan proses pembelajaran sebagai berikut : Fungsi dan Tujuan pembelajaran Sumber materi yang beragam Materi pendidikan Pendidik Peserta didik Cara belajar peserta didik Pendekatan pembelajaran Lingkungan belajar Proses pembelajaran Gambar 3: Kaitan Faktor Pengaruh terhadap Kualitas Proses Pembelajaran Asep Mahfud, “Pengembangan Aspek Kepribadian Mahasiswa Pada Pembelajaran Di Perguruan Tinggi”. Jurnal INSPIRASI MKDU-Universitas Tadulako Nomor IV, Edisi Januari 2008, h. 12. 9 Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 419 Muhammad Khairil Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, mutu pendidikan akan sangat terkait dengan penempatan guru yang profesional, materi pendidikan yang kompetitif sebagai pesan yang akan ditransformasikan kepada para siswa dan media pendidikan yang tepat baik cetak, elektronik maupun media alternatif lainnya akan menjadi bagian penentu dalam peningkatan mutu pendidikan. Menurut Hamlan, setidaknya ada empat isu kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang perlu direkonstruksi. Pertama, upaya peningkatan mutu pendidikan dilakukan dengan menetapkan tujuan dan standar kompetensi pendidikan melalui konsesnsus nasional antara pemerintah dengan seluruh lapisan masyarakat. Kedua, peningkatan efesiensi pengelolaan pendidikan mengarah pada pengelolaan pendidkan berbasisi sekolah. Ketiga, peningkatan relevansi pendidikan mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat. Keempat, pemerataan pelayanan pendidikan mengarah pada pendidikan yang berkeadilan. 10 Mencermati berbagai efek komunikasi dalam kehidupan sosial dan interaksi masyarakat yang tentu saja akan berimplikasi dalam dunia pendidikan khususnya dalam peningkatan mutu pendidikan maka setidaknya terdapat empat kriteria atau batasan mengenai pendidikan dikatakan bermutu, yaitu “(1) mutu pendidikan dilihat dari output yang merupakan aspek kognitif hasil belajar atau prestasi yang diukur dengan skor tes atau penguasaan materi tertentu, (2) mutu pendidikan dilihat dari output yang tidak hanya aspek kognitif tetapi juga afektif hasil belajar. (3) mutu pendidikan tidak dilihat dari output atau hasil jangka pendek yang dapat dilihat dari jumlah lulusan, skor tes, dan lain-lain, tetapi outcome atau hasil jangka panjang seperti pekerjaan setelah lulus, gaji yang diperoleh, dan lain-lain, dan (4) pendidikan dikatakan bermutu apabila semua komponen yang ada dalam sistem pendidikan juga bermutu”11. Hamlan, “Reformasi Sistem Pendidikan Nasional:Upaya Membangun Indonesia Modern”, Jurnal INSPIRASI MKDU-Universitas Tadulako Nomor 1 Edisi Januari 2006, h. 61. 11 Alwi Dahlan, “Tantangan Komunikasi Masyarakat Multikultural Indonesia”, Jurnal ILMU KOMUNIKASI FISIP UPN ”Veteran” Yogyakarta Volume 2, Nomor 1, Edisi Januari-April 2004, h. 9-10. 10 420 Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 Resolusi Konflik Poso dalam Perspektif Komunikasi Pendidikan... C.Komunikasi Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya sebagai Resolusi Konflik Anak merupakan aset masa depan setiap bangsa. Untuk meningkatkan kualitas anak, diperlukan perlakuan (treatment) yang berkualitas juga sejak dini. Sementara konsep peningkatan kualitas anak selalu menjadi program trial and error dalam kebijakan pemerintah. Dalam hal pendidikan misalnya, belum ada konsep yang jelas dan berhasil melalui indikator UUD 1945 bahwa “pendidikan adalah hak semua rakyat”. Pendidikan yang sekarang terpampang adalah “hak bagi orang yang berduit”. Di Indonesia berlaku mekanisme pasar ”ada uang ada pendidikan baik”. Orangtua yang memiliki dana berlimpah bisa jadi sangat egois kalau sudah sampai pada soal pendidikan anak mereka dengan alasan demi survival si anak di masa depan. Hingga akhirnya yang muncul di tengah masyarakat adalah hanya anak orang kaya yang bakal terdidik dengan baik dan dengan demikian merekalah yang mempunyai ”investasi” dalam kehidupan. Dari sisi hak pendidikan, masih ada 4,2 juta anak usia sekolah yang belum pernah sekolah. Sekitar 7 persen penduduk usia 15 tahun ke atas buta huruf. Angka putus sekolah untuk tingkat SD 2,66 persen (1,267 juta) dan untuk tingkat SMP 3,5 persen (638,056 juta) (Sumber : Kompas 16 Desember 2006). Selain tuntutan pendidikan seperti yang telah terurai tersebut, yang sering luput dari perhatian setiap orang bahwa pendidikan dianggap sebagai sarana formal untuk memperoleh legalitas yang sifatnya juga formalistik. Sebagai contoh, orangtua akan sangat bangga terhadap anak-anak mereka yang predikat prestasinya itu sesuai dengan standar atau bahkan lebih dari standar nasional yang telah ditentukan. Untuk mencapai hal tersebut maka seringkali orangtua mengabaikan hak anak untuk bermain, bersosialisasi, berinteraksi dan bergaul dengan teman-teman mereka demi ”paksaan” untuk belajar, les, privat dan aturan-aturan lainnya yang sangat membelenggu kebebasan anak untuk mengekspresikan sifat anak-anak mereka. Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 421 Muhammad Khairil Secara sederhana makna komunikasi pendidikan adalah komunikasi yang terjadi dalam suasana pendidikan. Konteks komunikasi menurut Sendjaja dkk12 bahwa dalam tataran teoritis, komunikasi dapat dipahami dari dua perspektif yaitu kognitif dan perilaku. Komunikasi dalam perspektif kognitif merupakan penggunaan lambang-lambang (symbols) untuk mencapai kesamaan makna atau berbagai informasi tentang satu objek atau kejadian. Sementara perspektif perilaku memandang komunikasi sebagai perilaku verbal atau simbolis dan lebih menekankan pada hubungan stimulus respon. Konseptualisasi komunikasi lebih lanjut diungkap oleh Mulyana13 terbagi menjadi tiga aspek yaitu pertama, komunikasi sebagai tindakan satu arah. Pada aspek ini, konteks komunikasi mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (suatu lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung (tatap muka) ataupun melalui media. Hal ini juga berati bahwa komunikasi merupakan kegiatan yang secara sengaja dilakukan seseorang untuk menyampaikan rangsangan agar membangkitkan respon orang lain. Aspek yang kedua adalah komunikasi sebagai interaksi. Pandangan komunikasi sebagai interaksi menyetarakan komunikasi dengan proses sebab akibat atau aksi-reaksi, yang arahnya bergantian. Komunikasi sebagai interaksi dipandang sedikit lebih dinamis daripada komunikasi sebagai tindakan satu arah karena salah satu unsur yang dapat ditambahkan dalam konseptualisasi yang kedua ini adalah umpan balik (feed back). Pada konsep ketiga, yaitu komunikasi sebagai transaksi. Dalam konteks ini, komunikasi merupakan proses personal karena makna atau pemahaman yang diperoleh, pada dasarnya bersifat pribadi. Proses komunikasi ini menekankan semua perilaku adalah komunikatif dan masing-masing pihak yang terlibat dalam komunikasi memiliki konten pesan yang dibawanya dan saling bertukar dalam transaksi. 12 Sendjaja, “Persepsi Anak-Anak tentang Kekerasan Terhadap Perempuan”. 13 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 98-102. 422 Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 Resolusi Konflik Poso dalam Perspektif Komunikasi Pendidikan... Dalam kaitannya dengan suasana pendidikan atau komunikasi pendidikan, maka ketiga proses komunikasi tersebut dapar diurai yaitu : Pertama, komunikasi sebagai aksi yaitu proses komunikasi akan berlangsung searah dari pendidik ke peserta didik. Dalam konteks ini, maka komunikasi lebih dikenal sebagai proses intrusksional. Pada aspek ini suasa pendidikan akan berjalan secara linear dan siswa menyerap setiap informasi atau pengetahuan yang disampaikan oleh pendidik ke peserta didik. Hal ini berarti bahwa komunikasi merupakan kegiatan yang secara sengaja dilakukan oleh pendidik untuk menyampaikan rangsangan agar membangkitkan respon peserta didik. Kedua, komunikasi sebagai interaksi. Pada aspek ini proses komunikasi merupakan interaksi, yang arahnya bergantian. Komunikasi sebagai interaksi dipandang sedikit lebih dinamis karena salah satu unsur yang ditambahkan adalah umpan balik (feed back). Dalam suasana pendidikan, khususnya pada anak remaja usia sekolah pada tingkat SLTA maka suasana belajar itu lebih dinamis dialogis diantaranya melalui proses tanya jawab, diskusi dan bentuk interaksi belajar lainnya. Ketiga, komunikasi sebagai transaksi. Dalam konteks pendidikan, maka transaksi komunikasi pendidikan akan berlangsung antara pendidik dan peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik tidak lagi diposisikan sebagai anak remaja yang tidak tahu apa-apa tapi mereka adalah mitra didik. Ketiga konseptualisasi dan gambaran yang telah diuraikan tersebut maka dapat dirumuskan tiga tahapan model dalam komunikasi pendidikan berbasis pluralisme agama dan multibudaya yang mengacu pada model komunikasi Wilbur Schramm,14 yaitu: Anonim, “Schramm’s Model of Communication”, http://www.uri. edu/personal/carson/ kulveted/wlsmodel.html. Diakses tanggal 5 Oktober 2012. 14 Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 423 Muhammad Khairil Model 1. Model 1. Source Encoder Signal Decoder Destination Pada tahapan model komunikasi yang pertama digambarkan secara sangat sederhana bahwa proses komunikasi terdiri atas beberapa unsur yaitu source sebagai sumber informasi, kemudian encoder adalah orang yang memberikan makna atau yang memberi kode pada informasi yang ada dan selanjutnya dikirimkan sebagai pesan atau signal kepada decoder atau orang yang menerima informasi tersebut sehingga proses komunikasi ini berjalan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Model pertama ini juga dikenal dengan model komunikasi linear yaitu penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan atau penyampaian pesan dari pendidik ke peserta didik. Salah satu teori komunikasi yang mendukung model ini adalah teori jarum hipordemik (hypordermic needle theory). Asusmsi teori ini bagai jarum suntik yang disuntikan dalam tubuh sehingga tubuh akan memberikan reaksi sesuai dengan kadar obat yang ada dalam jarum suntik tersebut. Dalam konteks komunikasi pendidikan model ini diterapkan pada beberapa Sekolah Menengah Umum yang homogen atau yang memiliki basis agama dan budaya yang sama. Umumnya wilayah model ini lebih pada doktrinasi nilainilai agama dan budaya seperti halnya di Wilayah Pamona Utara, yang mayoritas beragama Kristen dengan identitas etnik suku Pamona. 424 Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 Resolusi Konflik Poso dalam Perspektif Komunikasi Pendidikan... Model 2. Source Encode Dencod Destinatio Tahapan pada model kedua ini merupakan pengembangan dari tahap pertama namun penekanan pada model kedua adalah kesamaan dalam bidang pengalaman sumber dan sasaranlah yang sebenarnya dikomunikasikan. Model ini juga dikenal sebagai model komunikasi dua arah yaitu komunikasi interaksional, ada pengirim yang mengirimkan informasi dan ada penerima yang melakukan seleksi dan memberikan respon terhadap pesan dari pengirim. Dalam konteks pendidikan, model kedua ini tidak jauh berbeda dengan model yang pertama. Umumnya, konteks komunikasi pendidikannya itu berorientasi pada kesamaan teks, perspektif yang sama sehingga interaksional komunikasi bisa berlangsung dalam bingkai yang sama. Hal ini dialami oleh siswa SMU Negeri 1, Poso Pesisir yang mayoritas beragama Islam walaupun dengan identitas etnik yang lebih beragam. Mewujudkan perdamaian pasca konflik bagi masyarakat yang ada di Kabupaten Poso tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya perdamaian melalui semangat toleransi, saling menghargai baik dalam pluralitas agama maupun pluralitas budaya memerlukan proses yang terus berkesinambungan baik secara fisik maupun psikis termasuk bagi para remaja usia sekolah yang merupakan generasi pelanjut yang akan meneruskan penghidupan dan kehidupan masyarakat Poso. Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 425 Muhammad Khairil Model 3. Message Encoder, Interpreter, Decoder Encoder, Interpreter, Decoder Message Pada model ketiga ini atau pada tahap akhir dari tiga rangkaian model komunikasi yg dikemukakan oleh Schramm maka tahapan ini dikenal sebagai model komunikasi transaksional yaitu komunikasi hanya dapat dipahami dalam konteks hubungan diantara dua orang atau lebih. Proses komunikasi pada tahap ini menekankan bahwa semua perilaku adalah komunikatif dan masing-masing pihak yang terlibat dalam komunikasi memiliki konten pesan yang dibawanya dan saling bertukar dalam transaksi. Model komunikasi transaksional inilah yang dapat mendukung secara maksimal komunikasi pendidikan berbasis pluralisme agama dan budaya. Dalam konteks ini, proses pendidikan baik melalui pendidikan formal, informal dan non formal dapat mewujudkan kesadaran siswa dalam keragaman agama dan budaya. Hal ini dapat terlihat pada siswa SMU Negeri 1 yang ada di Wilayah Poso Kota. Keragaman budaya dan pluralisme agama sangat dirasakan oleh siswa SMU Negeri 1 Poso Kota. Sebagai salah satu sekolah dengan tingkat keragaman agama dan budaya yang pluralis, maka sekolah ini tidak menerapkan aturan kaku dan baku khususnya dalam transformasi nilai agama dan budaya. Sebagai contoh, bagi siswa yang beragama Kristen maka mereka dengan bebas dan leluasan tanpa merasa risih atau canggung dapat berinteraksi dengan baik kepada para siswa dengan latar agama Islam. Bahkan pada berbagai kegiatan keagamaan 426 Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 Resolusi Konflik Poso dalam Perspektif Komunikasi Pendidikan... yang bersifat umum seperti kegiatan halal bi halal di sekolah itu juga melibatkan para siswa yang non muslim. Demikian juga halnya dengan etnik. Bagi siswa yang berlatar etnik Jawa atau Bugis dengan leluasa dapat melakukan dialektika identitas etnik tanpa merasa canggung atau malu walaupun mereka berada di tengah siswa yang memiliki identitas etnik Pamona atau etnik lokal lainnya. Tujuan pendidikan sejati tidaklah hanya mengisi ruangruang imajinasi dan intelektual anak, mengasah kepekaan sosialnya ataupun memperkenalkan mereka pada aspek kecerdasan emosi, tapi lebih kepada mempersiapkan mereka untuk mengenal Tuhan dan sesama untuk pencapaian yang lebih besar bagi kekekalan. Hal ini tentu sejalan dengan UU No. 2 Tahun 1985 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan kerampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa. D.Penutup Sebagai simpulan, bisa dikemukakan: Pertama, proses komunikasi melalui interaksi dalam pendidikan formal antarsiswa dalam konteks pluralitas agama dan budaya masih sangat tergantung dari wilayah sebaran yang didasarkan pada jumlah mayoritas identitas etnik dan agama setiap siswa yang ada di wilayah masing-masing. Kedua, menumbuhkan kesadaran remaja usia sekolah demi terwujudnya perdamaian di Poso dapat dilakukan dengan menanamkan semangat pluralisme agama dan toleransi dalam keragaman budaya dimana setiap sub kultur betapapun kecilnya harus dihargai dan diberi hak yang sama dengan kultur yang lebih dominan. Dan ketiga, dalam perspektif komunikasi pendidikan bagi anak remaja, resolusi konflik dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu pertama, pendekatan instruksional yaitu pendekatan yang dilakukan dengan upaya Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 427 Muhammad Khairil indoktrinasi semangat pluralisme agama dan budaya. Kedua, interaksional yaitu upaya menanamkan nilai-nilai pluralisme agama dan budaya melalui ruang diskusi yang dilakukan secara dialogis. Ketiga, transaksional yaitu upaya menanamkan nilainilai agama dan budaya dengan saling memahami makna konstruktif dari setiap ajaran agama dan budaya yang berbeda antarsiswa. 428 Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 Resolusi Konflik Poso dalam Perspektif Komunikasi Pendidikan... DAFTAR PUSTAKA Ahdiyah, Indah, “Dilema Pemenuhan Kebutuhan Anak”, Jurnal GENDER TADULAKO, Pusat Penelitian dan Kajian Wanita (PPKW) Universitas Tadulako Nomor 1 Edisi Mei 2007. Anonim, “Schramm’s Model of Communication”, http://www. uri.edu/personal/carson/kulveted/wlsmodel.html. Diakses tanggal 5 Oktober 2012. Asnuddin, Andi, “Managemen Konflik”, Jurnal PERDAMAIAN Pusat Penelitian Perdamaian dan Pengelolaan Konflik Universitas Tadulako Nomor 1, Edisi Februari 2007. Dahlan, Alwi, “Tantangan Komunikasi Masyarakat Multikultural Indonesia”, Jurnal ILMU KOMUNIKASI FISIP UPN ”Veteran” Yogyakarta Volume 2, Nomor 1, Edisi JanuariApril 2004. Hamlan, “Reformasi Sistem Pendidikan Nasional:Upaya Membangun Indonesia Modern”, Jurnal INSPIRASI MKDU-Universitas Tadulako Nomor 1 Edisi Januari 2006. Mahfud, Asep, “Pengembangan Aspek Kepribadian Mahasiswa Pada Pembelajaran Di Perguruan Tinggi”. Jurnal INSPIRASI MKDU-Universitas Tadulako Nomor IV, Edisi Januari 2008. Malik, Ichsan, “Revitalisasi Budaya Lokal Untuk Pembangunan Perdamaian di Indonesia”, Jurnal PERDAMAIAN Pusat Penelitian Perdamaian dan Pengelolaan Konflik Universitas Tadulako Nomor 1, Edisi Februari 2007. Malik, Ichsan, dkk., BAKU BAE, Mematahkan Kekerasan Dengan Spirit Baku Bae, Jakarta: YAPPIKA, 2003. Marzuki, Muhammad, Konflik Komunal di Indonesia: Solusi dan Penanganan Pasca Konflik (Poso dan Maluku). Jember: Universitas Jember, 2006. Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012 429 Muhammad Khairil Mulyana, Deddy, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 98-102. Nur, Yunidar, “Upaya Mengurangi Potensi Konflik Melalui Pendidikan Damai Multibudaya Berbasis Sekolah”, Jurnal PERDAMAIAN Pusat Penelitian Perdamaian dan Pengelolaan Konflik Universitas Tadulako, 2008. Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. Sendjaja, Sasa Djuarsa, “Persepsi Anak-Anak tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Media Anak-anak: Studi Persepsi Anak-anak Murid Kelas IV, V dan VI SD Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Majalah AnakAnak”, Jurnal ILMU KOMUNIKASI FISIP UPN ”Veteran”, Volume 4, Nomor 2, Edisi Mei-Agustus 2006. 430 Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012