UNIVERSITAS INDONESIA DIGITALISASI INDUSTRI MUSIK: LAYANAN MUSIK BERLANGGANAN SEBAGAI SOLUSI PEMBAJAKAN MUSIK DIGITAL DI INDONESIA MAKALAH NON-SEMINAR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana GIANTRA RIZKY BARATA 1206275124 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN KOMUNIKASI DEPOK MEI 2015 Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 Digitalisasi Industri Musik: Layanan Musik Berlangganan Sebagai Solusi Pembajakan Musik Digital di Indonesia Giantra Rizky Barata dan Ade Armando 1. Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia 2. Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected] E-mail: [email protected] Abstrak Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah memunculkan media internet yang mengubah dunia. Media digital ini telah mengubah sebagian besar sistem dalam perindustrian, termasuk industri musik. Fitur dan teknologi yang dimiliki media baru ini memberikan kemudahan bagi masyarakat, tetapi juga menjadi ancaman bagi industri beserta pelaku di dalamnya. Tidak hanya di negara-negara asing, kemudahan yang didapatkan oleh masyarakat juga membuat pengunduhan ilegal menjadi fenomena yang marak di Indonesia. Namun saat ini perkembangan teknologi sekali lagi telah menciptakan sebuah sistem baru untuk masyarakat dapat menikmati produk musik secara legal dalam bentuk layanan streaming musik berlangganan. Walaupun sebagian masyarakat menganggap sistem yang masih baru ini masih memiliki banyak kekurangan, legalitas dan keefisienan biaya menjadi aspek-aspek penting yang membuat layanan ini dianggap dapat menjadi solusi bagi pembajakan musik digital. Kata kunci: Digitalisasi, Indonesia, Pembajakan, Sistem Berlangganan Abstract The advancement of Information and Communication Technology (ICT) has emerged the internet media which changed the world. This digital media has changed most of the industrial system, including the music industry. The features and technology owned by this new media provides convenience for the community, but also doubles as a threat for the industry as well as actors inside. Not only in countries abroad, the convenience available for the people leads to illegal downloading has become a massive phenomenon in Indonesia. But once again the technological advancement now has created a new system for the people, to be able to enjoy music legally in the form of subscription-based music streaming service. Although some people think this new system still has its inadequacy, legality and cost efficiency has become important aspects which makes the service considered to be the solution for digital music piracy. Keywords: Digitalization, Indonesia, Piracy, Subscription System Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 Pendahuluan Pada masa ini, perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) kian mempermudah kehidupan masyarakat sehari-hari (Gomory, 1983). Teknologi yang muncul di sekitar masyarakat pun banyak macamnya, mulai dari komputer tablet yang menggantikan PC di rumah, hingga media luar rumah yang digunakan untuk beriklan. Perkembangan teknologi pun pada akhirnya memacu suatu cara baru dalam kehidupan, atau yang disebut oleh Wardiana (2002) sebagai e-life, yang artinya bahwa kehidupan ini sudah dipengaruhi oleh berbagai kebutuhan secara elektronik. TIK dapat diibaratkan sebagai payung besar terminologi yang bekerja untuk mencakup seluruh peralatan teknis dalam kegiatan memproses dan menyampaikan sebuah informasi (Femmy, 2014). Gomory (1983) mengatakan bahwa perkembangan teknologi terjadi sebagian besar dalam lingkungan industri. Merupakan sebuah hal yang tidak terelakkan bahwa perkembangan teknologi juga terjadi pada industri musik. Dalam beberapa tahun terakhir, industri musik telah mengalami kaget budaya yang pada akhirnya mengubah bentuknya. Kemajuan TIK saat ini membawa perubahan terhadap industri musik yang mencakup produksi, distribusi dan konsumsi produk musik sebagai barang informasi digital. Bersamaan dengan munculnya jaringan internet yang membaur dengan media komunikasi tradisional, format MP3 mulai digunakan secara luas. Kualitas dari musik dengan format MP3 serta jaringan distribusi yang luas yang telah tersedia melalui internet mendorong perubahan pada perilaku konsumen terhadap musik, struktur pasar musik rekaman dan secara bersamaan memberikan pengaruh kepada para pelaku di industri musik konvensional. Musik digital telah dengan mulus bergabung ke dalam arus informasi di abad ke-21 ini (Harvey, 2014). Digitalisasi pada industri musik yang terjadi secara global ini pun mulai masuk ke Tanah Air dan mempengaruhi industri musik lokal, yang membuat digitalisasi menjadi sebuah hal yang baru. Hal ini ditandai dengan proses pemindahan format musik menjadi digital yang terus dilakukan oleh industri musik Indonesia (Hitsss.com, 2016). Ditambah dengan munculnya layanan streaming musik dari dalam negeri seperti LangitMusik, menyaingi layanan streaming musik dari mancanegara yang baru masuk ke Indonesia, membuat konsumsi produk musik digital oleh masyarakat semakin deras. Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 Harris (2004) mengatakan bahwa digital adalah masa depan informasi karena lebih cepat, lebih mudah, dan lebih fleksibel. Secara khusus, jaringan informasi seperti internet telah menyediakan kemampuan bagi individu, organisasi, dan bangsa untuk bertukar dan membagikan informasi dengan menyingkirkan batasan nasional dan pemisah geografis (Kretschmer et al., 2001). Musik internasional kini yang dengan mudah masuk, membuat konsumen memiliki semakin banyak pilihan musik yang dapat mereka dengarkan. Internet tidak lagi membatasi konsumsi masyarakat akan produk musik. Masyarakat dengan mudah dapat mengakses musik melalui internet, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlberg (2000) bahwa teknologi yang memfasilitasi produk digital saat ini telah berkembang pesat menyebabkan banyak ragam piranti lunak tersedia membuat konsumen semakin mudah untuk mencari, mengunduh, sekaligus membagikan file musik secara online dengan konsumen lainnya. Munculnya media baru yang kian berkembang seringkali menghasilkan kesempatan, pilihan, dan kemungkinan baru. Kemajuan teknologi internet telah membuka saluran baru untuk penjualan produk digital secara online. Namun teknologi yang sama dapat dipergunakan untuk diseminasi dan penyalinan secara ilegal (Bhattacharjee et al., 2006). Teknologi telah memungkinkan bagi konsumen untuk menduplikat dan mendistribusikan file musik digital tanpa perlu membayar mereka yang memproduksi musik. Kemunculan dan popularitas dari file MP3, digabungkan dengan sistem berbagi file telah menyebabkan masalah industri musik global dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun beberapa penanganan sudah dilakukan, masyarakat selalu saja menemukan cara untuk berbagi data di tengah revolusi digital ini. Perkembangan-perkembangan yang terjadi telah menjadi ancaman bagi pemain-pemain lama di industri ini seperti penerbit musik, perusahaan rekaman serta toko retail. Penyalinan file yang kian marak terjadi membuat produk musik dapat didistribusikan secara cepat dan luas. Dampaknya adalah konsumen merasa tidak perlu lagi untuk membeli produk fisik, yang berlanjut kepada tutupnya sejumlah toko CD di Indonesia (Tajudin, 2015). Jones (2002) menyadari bahwa pengaruh dari TIK sebagai kesempatan untuk "membawa distribusi ke tengah-tengah kajian media". Beberapa kajian yang telah dilakukan sebelumnya telah mengamati apakah teknologi baru mempengaruhi perilaku konsumsi musik tradisional individu (Jones & Lenhart, 2004), sementara yang lainnya fokus terhadap mengapa individu dapat terlibat dalam perilaku mengunduh secara ilegal (Chiou et al., 2005; LaRose & Kim, 2007). Namun saat ini, baru sedikit kajian yang telah dilakukan dari sudut pandang nasional Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 dalam mempelajari bagaimana digitalisasi telah mengubah konsumsi musik serta pengaruhnya di Indonesia. Dalam jurnal ini akan diamati pula bagaimana perkembangan teknologi dapat mengatasi masalah yang saat ini dihadapi oleh industri musik. Konsumsi Musik di Indonesia Musik saat ini telah menjadi bagian dalam keseharian masyarakat Indonesia. Hal ini dapat diamati dengan melihat ke acara televisi yang saat ini ditemani oleh musik latar belakang, serta kendaraan roda empat yang sudah dilengkapi oleh radio sebagai standar. Tren ini membuat musik menjadi salah satu kebutuhan masyarakat. Hal ini tidaklah mengejutkan, karena musik menjadi sebuah produk pengalaman. Nelson (1970) menyatakan bahwa musik, sebagaimana foto dan klip video, merupakan sebuah bentuk produk informasi, lebih spesifiknya adalah sebuah produk pengalaman yang nilai sesungguhnya diketahui oleh konsumen hanya ketika sudah dikonsumsi. Sebagian pengajar musik sependapat bahwa pengalaman musik dan pelatihan musik mengembangkan kemampuan musik seseorang (Boyle, 1992). Sebagian dari masyarakat yang mengkonsumsi musik merasa musik dapat membantu mengekspresikan diri. Seashore (1939) mengatakan bahwa masyarakat menyukai musik karena musik dianggap sebagai bahasa ikatan sosial, bahwa musik adalah pesan dan dapat menggerakkan kelompok sosial kepada tindakan terarah dan menjadi rasa persaudaraan umum. Pada dasarnya, produk musik dapat dibagi menjadi dua jenis, baik tradisional maupun yang populer. Baik para pengamat maupun musisi menyatakan bahwa musik populer merupakan salah satu cara paling universal untuk berkomunikasi, melintasi bahasa dan hambatan budaya lainnya (Burnett, 1996; Chaffee, 1985; Robinson, 1986). Konsumen musik pun dapat memiliki preferensi musik yang sangat beragam, seperti yang disebutkan oleh Moore (2004) bahwa masyarakat konsumen musik dapat digambarkan sebagai “konsumen individu yang memiliki kepercayaan kuat atas seleranya masing-masing”. Industri musik Indonesia yang berpusat di Jakarta, mendefinisikan musik populer Indonesia sebagai "nasional" atau "regional" (Barendregt & van Zanten, 2002). Genre nasional yang mencakup rock, jazz, r&b, dangdut, keroncong, secara umum memiliki lirik berbahasa Indonesia, walalupun terkadang dalam bahasa Inggris, dan dipasarkan utamanya di daerah urban. Sebuah artikel di situs Musikator.com memuat laporan studi tentang konsumsi musik di Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 Indonesia sepanjang tahun 2015 oleh Guvera, sebuah layanan musik streaming dengan pertumbuhan tercepat di dunia (Musikator.com, 2015). Dalam artikel tersebut, Guvera menyatakan bahwa konsumen produk musik di Indonesia paling banyak mengakses tangga lagu Top 100, yakni tangga lagu paling populer sepanjang tahun 2015 di Indonesia, disusul oleh playlist 100% Indonesia Playlist dan playlist New Release. Musik dengan genre pop dan rock menjadi yang paling digemari, dengan #Pop yang menjadi hashtag (tanda pagar) di tangga lagu paling banyak dan disusul oleh #Rock. Hal ini menunjukkan bahwa musik populer adalah musik yang paling diminati oleh masyarakat di Indonesia. Hasil dari studi tersebut juga menunjukkan bahwa musik lokal menduduki puncak tangga lagu Guvera, sementara Maroon 5 adalah band internasional yang sangat digemari di Indonesia. Teknologi Menggeser Perilaku Industri Akses internet masyarakat yang meningkat memiliki peran dalam peningkatan berkembangnya musik digital di Indonesia. Teknologi media baru dapat dipergunakan oleh penggunanya untuk hiburan, seperti mengakses musik melalui internet, mendengarkan, mengunduh, dan berbagi file musik. McQuail (2010) dalam bukunya mengatakan bahwa media baru ini memiliki fungsi playfulness, yang berarti dapat menyajikan hiburan dan kenikmatan, dibandingkan dengan media konvensional yang hanya memiliki fungsi kegunaan. Musik yang pada awalnya didistribusikan dalam bentuk notasi cetak agar dapat dimainkan kembali oleh konsumennya (Straubhaar et al., 2012), berubah menjadi sistem siaran (Rolling Stone, 2012), hingga naiknya popularitas radio pada tahun 1924 yang digunakan untuk mempromosikan musik terbaru kepada masyarakat agar tertarik membeli produk musik tersebut dalam bentuk piringan hitam (Dominick, 2012). Era musik digital dimulai pada tahun 1979, ketika musik rekaman dalam bentuk kaset mulai populer melalui produk Walkman oleh Sony, hingga digantikan oleh format CD pada tahun 1990-an. Teknologi yang dimiliki oleh CD memungkinkan konsumen untuk merekam, mengkopi dan memainkan musik pada CD kosong (Biagi, 2013). Sejak sekian lama musik telah menjadi bagian dari hidup manusia, cara masyarakat menikmati musik pun berubah seiring dengan kemajuan TIK. Konsumen musik mengikuti perkembangan Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 teknologi dengan merubah format musik CD yang mereka miliki menjadi format digital dalam bentuk MP3, agar dapat lebih mudah dinikmati melalui gadget mereka. Hal serupa juga dilakukan oleh pemain dalam industri musik, sehingga produk mereka dapat semakin laku di pasar serta dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Hal ini juga dilakukan karena penjualan konvensional berbentuk fisik dianggap kurang praktis. Penyimpanan rekaman musik di Indonesia dimulai dalam bentuk CD sejak tahun 90-an, hingga akhirnya pemutar musik untuk bentuk MP3 mulai masuk pasar Indonesia pada awal tahun 2000-an. Menurut McQuail, digitalisasi merupakan hal penting dalam memproses data, menyimpan dan menyampaikan, karena dapat membuat informasi dalam semua bentuk dapat digabung dan dibawa dengan keefisienan yang sama (McQuail, 2010). Dengan industri musik yang turut serta melakukan digitalisasi, konsumen diharapkan semakin mudah untuk mendengarkan musik melalui layanan-layanan berbasis internet yang kini banyak tersedia di Indonesia. Dengan munculnya format MP3 yang mengalahkan bentuk konvensional seperti kaset dan CD, layanan berbagi filepeer-to-peer (P2P) mulai memunculkan perusahaan-perusahaan layanan musik baru. Layanan ini mulai populer pada tahun 1999 melalui perusahaan Napster, sebuah aplikasi berbagi file yang mengutamakan file audio berbentuk MP3, menghubungkan masyarakat yang mencari file dengan masyarakat yang memiliki file yang diinginkan. Napster dapat diklasifikasikan sebagai pelopor sistem P2P (Gong, 2005), dan berhasil melambungkan penggunanya sejumlah 25 juta pengguna terverifikasi pada tahun 2001(Albright, 2015). Setelah Napster tutup pada tahun 2001, konsumsi musik bergeser dari aplikasi menuju kantong masyarakat melalui munculnya alat pemutar MP3 seperti iPod oleh perusahaan Apple, beserta dengan perangkat lunaknya untuk digunakan di komputer, yaitu iTunes. Dalam perkembangannya, iTunes meluncurkan layanan iTunes Store pada tahun 2003 yang memiliki sekitar 200.000 lagu (McElhearn, 2016) dan layanan streaming Apple Music pada tahun 2015, bersaing dengan layanan streaming lainnya seperti Tidal, Google Music, dan Spotify. Layanan streaming musik saat ini telah mengambil tengah panggung perdagangan musik, mengalahkan minat kepada konsumsi musik secara tradisional. Pembajakan Musik Sebuah kendala yang telah lama dihadapi oleh industri adalah pembajakan. Terlebih lagi dengan kemunculan internet telah meningkatkan fenomena ini berkali-kali lipat (Robertson et Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 al., 2012). Dalam era digital saat ini, pembajakan produk digital yang kini terjadi di manamana serta telah menjadi isu yang mengancam bagi pertumbuhan industri musik. Sebagai tambahan, anonimitas dalam internet menurunkan persepsi ilegalitas perilaku yang tidak etis, yang akhirnya membuka jalan untuk pembajakan musik online. Konsumen memiliki peran kunci dalam fenomena pembajakan musik online. Ekuitas moral yang rendah (menyangkut persepsi konsumen terhadap keadilan), orientasi etika rendah (terkait idealisme etika dan konsep diri beretika), paham etika yang rendah (contohnya tidak melihat mengunduh secara ilegal sebagai pencurian), serta harga sosial dari mengunduh serta konsekuensinya (dalam arti pengaruh kegiatan serupa kepada masyarakat), menghasilkan sikap menguntungkan yang meningkatkan kecenderungan konsumen untuk terlibat dalam pembajakan musik online (Lysonski & Durvasula, 2008; Shoham et al., 2008). Salah satu alasan masyarakat untuk melakukan pembajakan musik digital adalah fakta bahwa masyarakat tidak ingin membayar sesuatu jika mereka bisa mendapatkannya secara gratis. Hal ini merupakan sifat manusia yang selalu memanfaatkan kesempatan. Maka dari itu, ide untuk mengunduh musik secara gratis menjadi sangat menarik bagi masyarakat. Terlebih lagi, Euis Saedah, Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah dari Kementerian Perindustrian Indonesia, menyatakan bahwa kesadaran masyarakat akan hak atas kekayaan intelektual sangat rendah (Kwang, 2013). Literatur-literatur pemasaran tentang pembajakan musik menjelaskan masalah ini melalui dua perspektif, yang pertama adalah perilaku konsumen umum. Kajian yang memperhatikan perilaku konsumen telah menganalisis pengaruh dari perilaku pembelian musik legal (Walsh et al., 2003). Mereka melaporkan bahwa keuntungan utama pembajakan adalah ragam musik yang tersedia serta faktor waktu. Sementara faktor lain yang ditemukan adalah perilaku pembajakan yang pernah dilakukan sebelumnya, persepsi kapasitas individu terhadap pembajakan, serta persepsi yang diharapkan seseorang dari orang lainnya (d’Astous et al., 2005). Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa pria menganggap pembajakan secara lebih positif dibandingkan wanita, serta individu yang lebih muda lebih cenderung untuk membajak dibandingkan individu yang lebih tua; sementara faktor seperti pendapatan dan pendidikan tidak konsisten (Kwong et al., 2003) Sementara perspektif kedua yaitu perilaku etis, telah menghasilkan lebih banyak literatur Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 dibandingkan dengan perilaku konsumen. Sikap dan etika merupakan poin utama, sebagaimana konsumen mengadopsi standar etika yang tidak begitu tegas ketika menilai perilaku yang patut dipertanyakan yang tidak mereka anggap ilegal (Chan et al., 1998) dan dalam kasus pembajakan musik, individu sadar bahwa ia tidak membeli produk orisinil (McDonald & Roberts, 1994). Konsumen yang percaya bahwa tidak ada yang salah dengan memilih untuk membeli maupun mengunduh musik bajakan memiliki sikap positif terhadap pembajakan dan cenderung untuk mendapatkan musik dengan cara ini, serta menganggap sebagai kegiatan yang etis (Ang et al., 2001). Dengan mudahnya akses internet, pembajakan masih menjadi salah satu masalah terbesar bagi pelaku di industri musik. Bahkan mereka menyatakan bahwa pembajakan internet berkelanjutan dapat berarti akhir dari industri secara keseluruhan. Studi yang dilakukan oleh Pew (2000) menemukan bahwa sekitar 14% dari pengguna internet mengunduh musik digital secara gratis. Sementara berdasarkan laporan dari International Federation of the Phonographic Industry atau IFPI (2004), terdapat 900 juta file musik ilegal yang tersedia untuk diunduh di internet per Januari 2004. Gambar 1: Data pembajakan musik yang terjadi di Indonesia Sumber: Statista Berdasarkan data dari Asosiasi Industri Rekaman Indonesia, musik bajakan di pasar Tanah Air telah menguasai 95,7 persen sejak 2007, sementara penjualan musik legal hanya 4,3 persen Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 (Putranto, 2009). Berdasarkan hasil survey lembaga swadaya masyarakat Heal Our Music, sejumlah 7,9 juta pengunduhan musik ilegal melalui internet diketahui terjadi setiap harinya. Musik ilegal yang diunduh pada tahun 2010 mencapai 2,85 miliar lagu, dengan perkiraan kerugian sekitar 12 triliun rupiah, sementara musik legal yang diunduh pada tahun 2010 hanya mencapai 15,3 juta lagu, dengan nilai 48,8 juta rupiah (Tempo, 2012). Hal ini membuktikan bahwa konsumen musik di Indonesia cenderung memilih untuk mengkonsumsi produk musik bajakan dibandingkan dengan hasil karya asli. Tradisi untuk membeli musik dalam bentuk fisik yang terus menurun serta bergesernya pola konsumsi musik masyarakat ke internet memiliki dampak kerugian bagi industri musik. Pada akhirnya masalah yang disebabkan oleh maraknya pembajakan ini berujung kepada tutupnya sejumlah toko musik di Tanah Air. Pada tahun 2013 yang lalu, toko musik Aquarius menutup cabang di Jalan Mahakam, Jakarta Selatan, yang kemudian dilanjutkan dengan menutup cabang terakhirnya di Pondok Indah. Hingga pada akhirnya Disc Tarra menutup 40 gerai di seluruh Indonesia pada akhir tahun 2015. Miranty Paramitha, A&R International dari Disc Tarra, mengungkapkan bahwa pendapatan Disc Tarra melalui penjualan CD dan DVD yang terus menurun sejak tahun 2010 menjadi penyebab mereka harus menutup puluhan gerai dari salah satu rantai toko musik terbesar di Indonesia tersebut (Arrizal, 2015). Menurut Adib Hidayat, Managing Editor dari majalah Rolling Stone Indonesia, distribusi serta konsumsi musik di Indonesia mengalami perubahan yang sangat besar, ditandai dengan banyaknya toko musik yang menjual produk musik fisik. Lalu saat ini banyak ditemui layanan pengunduhan musik yang merupakan bisnis yang sangat diminati karena layanannya yang murah. Hal yang menjadi masalah adalah lagu-lagu yang terdapat di bisnis ini merupakan lagu ilegal karena diedarkan tanpa membayar royalti kepada sang musisi, maupun perusahaan rekaman yang memegang hak cipta lagu tersebut (Hasreiza, 2015), yang berujung kepada menurunnya pemasukan yang diterima oleh keseluruhan industri musik. Subscription-Based Music Service Sebagian dari masyarakat menganggap bahwa pembajakan sebagai tren yang sulit diatasi, sementara yang lainnya aktif dalam mencari cara untuk mengurangi permasalahan yang telah terus berkembang bertahun-tahun. Dibandingkan dengan meningkatkan batasan-batasan dan Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 hukuman terhadap tindakan pembajakan, beberapa menganggap bahwa menyediakan konsumen sebuah alternatif dari pengunduhan secara ilegal merupakan hal yang lebih baik. Namun sebelum mengambil langkah menuju pengurangan perilaku pembajakan, perlu dipahami bahwa faktor dibalik keputusan melakukan pembajakan setiap orang berbeda-beda. Terlepas dari hal tersebut, terdapat sebuah dasaran yang sama dari semua pembajak produk musik, yakni bahwa mereka ingin menikmati musik kesukaan mereka—secara gratis. Saat ini konsumen menggerakkan seluruh proses pemasaran (Sheth & Sisodia, 1997), serta menjadi semakin aktif dalam pengambilan keputusan. Mereka menginginkan produk yang tersedia serta dapat dikonsumsi dimanapun dan kapanpun. Konsumen menginginkan nilai lebih sebagai pengganti sumber utama yang mereka miliki: uang, waktu, usaha, dan tempat (Sheth & Sisodia, 1997). Merupakan sebuah hal penting bagi para perusahaan untuk mengetahui siapa konsumen mereka dan mengapa para konsumen memilih sebuah channel dibandingkan lainnya. Yang menjadi paradoks adalah sebagaimana para penyedia produk dapat dengan mudah mengidentifikasi konsumen online mereka, hanya sedikit perusahaan yang mengetahui siapa yang membeli melalui toko (Crawford, 2005). Kesempatan ini yang dimanfaatkan oleh perusahaan seperti Spotify dan Apple Music demi membantu mengurangi pembajakan musik dengan menawarkan kebutuhan para pembajak. Spotify dan Apple Music hanya merupakan sebagian dari banyak layanan musik berbasis langganan, atau yang dikenal sebagai subscription-based music service (SBMS), yang memberikan akses terhadap database jutaan lagu yang mereka miliki melalui komputer, tablet, maupun smartphone yang dimiliki masyarakat. Olav Torvund, seorang mantan profesor di University of Oslo, dalam sebuah wawancara (2013b) menyatakan apabila masyarakat mendapatkan tawaran yang masuk akal, maka mereka akan memanfaatkannya. Ia juga mengatakan bahwa apa yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan SBMS mampu membuat perilaku pengunduhan secara ilegal tidak begitu menarik. Para pendiri Spotify bahkan mengklaim bahwa mereka memang merancang layanan ini dari awal untuk melawan pembajakan musik (Andy, 2013a). Konsumen dapat membeli musik di Spotify serupa dengan iTunes Store, namun layanan ini juga menawarkan pembayaran berlangganan per bulan. Untuk sistem berlangganan yang tarifnya kurang dari sebuah album, konsumen mendapatkan akses ke 30 juta koleksi lagu yang dimiliki Spotify yang dapat diputar dimanapun dan kapanpun. Untuk menggunakan layanan Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 Spotify, masyarakat konsumen musik cukup membuat akun gratis atau dapat membayar untuk akun premium per bulan yang memberikan fitur lebih seperti menghilangkan iklan pada aplikasi serta meningkatkan kualitas suara. Layanan premium ini juga mengizinkan konsumen untuk mengunduh lagu dari Spotify untuk didengarkan secara offline tanpa memerlukan koneksi internet. Namun khusus bagi pengguna baru Spotify, mereka akan mendapatkan masa uji Spotify Premium secara gratis untuk bulan pertama. Gambar 2. Pilihan Biaya Berlangganan Layanan Spotify Premium Sumber: makemac.com Sementara itu, Apple Music menggabungkan layanan streaming musik berbasis langganan dengan program radio global serta fitur sosial yang menyambungkan konsumen dengan para artis. Layanan Apple Music ini berbeda dengan piranti lunak iTunes yang mengharuskan konsumen membeli lagu untuk menikmatinya, konsumen cukup membayar tarif rata untuk mengakses seluruh koleksi lagu yang dimiliki Apple Music. Perbedaan selanjutnya, dalam Apple Music konsumen tidak memiliki lagu yang didengarkan, tetapi lebih kepada menyewa. Sistem ini mirip dengan Spotify, karena memang layanan ini dibuat untuk menyaingi Spotify. Konsumen cukup menggunakan akun Apple ID yang mereka miliki untuk mengaktifkan layanan Apple Music. Layanan ini tersedia dengan keadaan sudah terinstal untuk produk Apple, dan tersedia sebagai unduhan gratis untuk komputer dan telepon genggam non-Apple. Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 Keunggulannya, konsumen mendapatkan layanan premium gratis selama 3 bulan pertama masa penggunaan. Setelahnya konsumen harus membayar biaya berlangganan per bulan untuk pilihan berlangganan individual maupun berlangganan keluarga yang dapat digunakan hingga 6 akun Apple ID. Apabila tidak membayar untuk melanjutkan langganan, maka layanan Apple Music tidak dapat digunakan oleh konsumen. Gambar 3. Pilihan Biaya Berlangganan Apple Music Sumber: inet.detik.com Sistem SBMS di Indonesia yang masih baru ini tidak datang tanpa masalah. Untuk berlangganan layanan musik, masyarakat hanya diberikan pilihan untuk membayar melalui kartu kredit. Tingkat transaksi kartu kredit di Tanah Air masih sangat rendah, sehingga akses masyarakat terhadap layanan SBMS pun masih minim. Berdasarkan data dari World Bank, Indonesia bersama negara lain seperti Filipina, Thailand, Vietnam, dan Mongolia, penggunaan kartu kreditnya masih dibawah 10% dari total populasi orang dewasa, dan kurang dari 40% masyarakat di Indonesia memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal (Setiaji, 2015). Sebuah artikel di Wall Street Journal (2014) membahas bahwa hambatan dalam transaksi online menggunakan kartu kredit di Indonesia adalah penetrasi kecil dari perusahaan penyedia. Artikel tersebut menyatakan bahwa berdasarkan data dari Euromonitor International pada tahun 2013, hanya 92 juta nasabah bank yang menggunakan kartu kredit dalam populasi yang Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 berjumlah 240 juta. Selain itu, ketidakpercayaan menjadi alasan lainnya. Menurut Nielsen dalam artikel yang sama, 60 persen dari konsumen di Indonesia enggan untuk memberikan informasi kartu kredit secara online—jumlah ini melebihi negara lainnya di Asia Tenggara kecuali Filipina. Tabel 1. Pertumbuhan kartu kredit di Indonesia Tahun Jumlah Kartu Jumlah Transaksi Nilai Transaksi (Juta) 2009 12.259.295 177.817.542 132.651.567 2010 13.574.673 294.675.233 158.687.057 2011 14.785.382 205.303.560 178.160.763 2012 14.817.168 217.956.183 197.558.986 2013 15.091.684 235.695.969 219.026.985 2014 16.043.347 250.543.218 250.177.517 2015 16.863.842 274.719.267 273.141.964 April 2016 16.896.126 95.250.839 89.359.332 Sumber: Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Sistem berlangganan menggunakan kartu kredit yang diberlakukan oleh layanan streaming musik dianggap sebagian masyarakat rumit, membuat masyarakat mencari alternatif lain untuk mendapatkan musik yang diinginkan. Sayangnya, sebagian masyarakat memutuskan untuk kembali ke cara pembajakan. Proses evaluasi alternatif menurut Ha et al. (2010) terkadang dapat dianggap sulit, makan waktu dan penuh tekanan bagi seorang konsumen. Hal ini disebabkan sulitnya menemukan produk ideal yang memuaskan kebutuhan pelanggan sebagaimana terdapat sejumlah faktor yang menentukan proses pengambilan keputusan konsumen. Terlebih lagi, kualitas, merek, dan harga menjadi pertimbangan dalam tahap ini. Maka dari itu, tahap ini dianggap menjadi tahap yang paling penting dalam seluruh proses pengambilan keputusan konsumen yang dikenalkan oleh Cox et al. (1983). Sebuah artikel di CNN menyebutkan kelemahan lain adalah bahwa beberapa pengamat mempertanyakan apakah model layanan seperti Spotify adalah hal yang baik bagi para artis yang lagunya didengarkan oleh para konsumen dengan bebas (Sutter, 2011). Dalam artikel lain di BBC, pengamat industri musik Mark Milligan menghitung rataan bentuk pay-per-play pada Spotify, para artis mendapatkan keuntungan sekitar $0.004 atau sekitar 55 rupiah (BBC, 2011). Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 Terlepas dari isu tersebut, sebagaimana yang ditunjukkan oleh cuitan di Twitter, sebagian artis menunjukkan dukungan bagi layanan alternatif ini (Sutter, 2011). Namun dengan tersedianya layanan dengan akun gratis yang ditawarkan oleh Spotify dan free trial selama 3 bulan pertama dari layanan Apple Music masih dianggap lebih menguntungkan oleh masyarakat daripada membeli produk musik melalui toko online seperti iTunes Store dan Amazon.Voucher untuk transaksi Apple ID pun juga kini tersedia di toko-toko seperti 7 Eleven, yang dapat digunakan untuk membayar biaya berlangganan Apple Music. Bahkan Spotify menawarkan metode pembayaran melalui transfer bank, online banking, bayar secara tunai di Alfamart, dan potong pulsa khusus untuk pengguna provider seluler tertentu. Spotify yang dikenal sebagai layanan SBMS dengan koleksi lagu terlengkap telah bekerjasama dengan perusahaan musik ternama seperti Universal Music serta label-label indie (Adhi, 2016), sehingga dapat memenuhi hak atas kekayaan intelektual. Sebagaimana yang dikatakan oleh Halmenschlager dan Waelbroeck (2014), fight free with free—memberikan konsumen apa yang mereka inginkan sambil mengurangi pembajakan, bahkan meningkatkan keuntungan. Faktanya, 70 persen dari masyarakat yang berpartisipasi dalam penelitian yang diadakan oleh Delikan (2010) melaporkan bahwa mereka membuang waktu lebih sedikit untuk mencari musik dan lebih dari 72 persen mulai menemukan musik baru lebih cepat daripada sebelumnya. Keamanan dan kesederhanaan menjadi kekuatan pada argumen bahwa layanan SBMS merupakan alternatif yang dapat diterima terhadap pembajakan musik. Studi ini juga menunjukkan bahwa 87 persen dari pengguna layanan SBMS sebelumnya pernah melakukan tindak pembajakan musik digital, dan 40 persen dari mereka telah berhenti melakukan pembajakan, sementara 38 persen lainnya mengaku sudah jarang mengunduh musik ilegal setelah penggunaan layanan SBMS.Hal ini membuktikan bahwa konsumen dapat berganti saluran berdasarkan pemahaman dan sikap terhadap setiap saluran, sebagaimana pula dengan norma sosial dan persepsi atas kontrol perilaku konsumen. Setiap saluran penjualan diasosiasikan dengan dimensi tertentu yang mempengaruhi ketertarikan konsumen. Pada tahun 1985, Fred Davis menggagaskan model penerimaan teknologi atau technology acceptance model (TAM) dalam tesis doktoralnya, yang menjelaskan penggunaan sistem merupakan sebuah respon yang dapat dijelaskan atau diperkirakan melalui motivasi pengguna, yang sebaliknya, secara langsung dipengaruhi oleh stimulus eksternal yang terdiri dari fitur dan kemampuan sistem yang sebenarnya. Tentu Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 masyarakat menikmati sesuatu ketika hal tersebut mudah untuk digunakan, namun kemudahannya yang dipasangkan dengan rekomendasi musik pribadi berdasarkan sejarah lagu yang didengarkan sangatlah menarik. Model penerimaan teknologi tersebut didukung pula oleh hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Jonathan Dörr (2013) tentang alternatif pembajakan musik menunjukkan bahwa penggunanya merespon dengan positif kepada fitur sosial yang dimiliki layanan-layanan SBMS. Kesimpulan dan Saran Memang, tindak pembajakan musik sangat sulit untuk hilang karena demikian cara kerja internet. Sebagaimana pasar gelap obat-obatan, pembajak digital akan selalu menemukan cara. Namun hal tersebut tidak membuktikan bahwa masalah ini tidak bisa dikurangi secara efektif, dan layanan SBMS yang banyak tersedia saat ini telah membuktikan hal tersebut. Kurang ketatnya peraturan tentang pembagian materi berhak cipta di Swedia menyebabkan negara tersebut menjadi salah satu pemimpin pembajakan digital. Sejak meluncurkan layanannya, Spotify mengklaim angka pembajak musik menurun sebesar 25 persen pada tahun 2009 hingga 2011. Alasan utama SBMS dapat mengambil hati jutaan konsumen ialah fakta bahwa konsumen tidak perlu membayar untuk layanan musik, kecuali konsumen menginginkan untuk membayar. Kenyataan bahwa layanan-layanan ini ditawarkan secara gratis memberikan alasan bagi para pelaku pembajakan untuk mencoba merasakan pengalamannya masing-masing. Apabila layanan gratis yang tersedia belum cukup untuk meyakinkan mereka meninggalkan pembajakan, maka iklan dan kualitas suara dapat menjadi alasan lainnya. Masyarakat yang pernah membajak musik atau produk digital lainnya paham bahwa pembajakan tidak sesederhana sebagaimana tampaknya. Tentunya siapapun dapat mengunduh program seperti uTorrent dan menuju situs yang menyediakan produk hasil pembajakan untuk mengunduh produk digital. Namun bagi masyarakat yang awam terhadap mengunduh musik melalui sistem torrent dapat merasa cara ini rumit, termasuk adanya potensi komputer mereka untuk terinfeksi virus. Layanan SBMS menawarkan rasa aman bagi masyarakat yang mengetahui bahwa musik yang mereka dengarkan adalah aman. Terlepas dari keamanan, Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 layanan-layanan ini mudah untuk digunakan, terutama bila dibandingkan dengan mencari file yang aman untuk diunduh. Dengan munculnya layanan SBMS di Indonesia, tingkat pembajakan musik digital dapat menurun walaupun tidak dalam waktu yang singkat. Persaingan antar perusahaan akan menghasilkan peningkatan kualitas layanan. Dengan berjalannya waktu serta sadarnya industri rekaman musik akan potensi layanan SBMS, dukungan dari mereka akan mampu membuat perbedaan. Apabila perusahaan rekaman musik besar dan pelaku lainnya yang terlibat dalam industri musik ingin melakukan sesuatu terhadap pembajakan musik, maka mereka perlu memperluas penggunaan layanan SBMS serta melakukan penelitan lebih lanjut terhadap ranah ini. Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 Daftar Pustaka Books Biagi, S. (2013). Media/Impact: An Introduction to Mass Media (10th Edition ed.). Boston, Massachusetts, USA: Wadsworth. Boyle, D. (1992). Evaluation of Music Ability. In R. Colwell, Handbook of Research on Music Teaching and Learning. New York: Shirmer. Burnett, R. (1996). The Global Jukebox: The International Music Industry. London: Routledge. Dominick, J. (2012). The Dynamics of Mass Communication: Media in Transition (12th Edition ed.). New York: McGraw-Hill. Fishbein, M., & Ajzen, I. (1975). Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to Theory and Research. Reading, Massachusetts: Adison-Wesley. Jones, M., & Beagrie, N. (2001). Preservation Management of Digital Materials: A Handbook. London: The British Library. McQuail, D. (2010). McQuail's Mass Communication Theory (Vol. 6). London: Sage. Straubhaar, J., LaRose, R., & Davenport, L. (2012). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology (7th Edition ed.). Boston, Massachusetts, USA: Wadsworth. Journal Article Ang, S. H., Cheng, P. S., Lim, E. A., & Tambyah, S. K. (2001). Spot the Difference: Consumer Respones Towards Counterfeits. Journal of Consumer Marketing, 18, 219-235. Barendregt, B., & van Zanten, W. (2002). Popular Music in Indonesia since 1998, in Particular Fusion, Indie and Islamic Music on Video Compact Discs and the Internet. Yearbook for Traditional Music, 34, 67113. Bhattacharjee, S., Gopal, R. D., Lertwachara, K., & Marsden, J. R. (2006). Consumer Search and Retailer Strategies in the Presence of Online Music Sharing. Journal of Management Information Systems, 23 (1), 129-159. Chaffee, S. H. (1985). Popular Music and Communication Research. Communication Research, 12 (3), 413424. Chan, A., Wong, S., & Leung, P. (1998). Ethical Beliefs of Chinese Consumers in Hong Kong. Journal of Business Ethics, 17 (11), 1163-1170. Chiou, J.-S., Huang, C.-y., & Lee, H.-h. (2005). The Antecedents of Music Piracy Attitudes and Intentions. Journal of Business Ethics, 57, 161-174. Cox, A., Granbois, D., & Summers, J. (1983). Planning, Search, Certainty and Satisfaction Among Durables Buyers. Advances in Consumer Research, 10 (1), 394-399. Crawford, J. (2005). Are You Really Measuring Your Multi-Channel Consumer Experience? Apparel, 47 (4). d’Astous, A., Colbert, F., & Montpetit, D. (2005). Music Piracy on the Web – How Effective Are Anti-Piracy Arguments? Evidence From the Theory of Planned Behaviour. Journal of Consumer Policy, 28, 289310. Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 Dörr, J., Wagner, T., Benlian, A., & Hess, T. (2013). Music as a Service as an Alternative to Music Piracy? Business & Information Systems Engineering, 5 (6), 383-396. Gomory, R. E. (1983). Technology Development. Science, New Series, 220 (4597), 578-580. Ha, H.-Y., Janda, S., & Muthaly, S. (2010). Development of Brand Equity: Evaluation of Four Alternative Models. Service Industries Journal, 30 (6), 911-928. Harris, C. (2004). Fact or fiction? Libraries Can Thrive in the Digital Age. The Phi Delta Kappan, 96 (3), 20-25. Jones, S. (2002). Music That Moves: Popular Music, Distribution and Network Technologies. Cultural Studies, 16 (2), 213-232. Jones, S., & Lenhart, A. (2004). Music Downloading and Listening: Findings from the Pew Internet and American Life Project. Popular Music and Society, 27 (2), 185-199. Kretschmer, M., Klimis, G. M., & Wallis, R. (2001). Music in Electronic Markets: An Empirical Study. New Media & Society, 4 (4), 417-441. LaRose, R., & Kim, J. (2007). Share, Steal, or Buy? A Social Cognitive Perspective of Music Downloading. CyberPsychology & Behavior, 10 (2), 267-277. Kwong, K. K., Yau, O. H., Lee, J. S., Sin, L. Y., & Tse, A. C. (2003). The Effects of Attitudinal and Demographic Factors on Intention to Buy Pirated CDs: The Case of Chinese Consumers. Journal of Business Ethics, 47 (3), 223-235. Lysonski, S., & Durvasula, S. (2008). Digital Piracy of MP3s: Consumer Ethical Predispositions. Journal of Consumer Marketing, 25 (3), 167-178. McDonald, G., & Roberts, C. (1994). Product Piracy: The Problem that Will Not Go Away. Journal of Product & Brand Management, 3 (4), 55-65. Moore, C. (2004). A Picture Is Worth 1000 CDs: Can the Music Industry Survive as a Stand-Alone Business? American Music, 22 (1), 176-186. Nelson, P. (1970). Information and Consumer Behavior. Journal of Political Economy, 78 (2), 311-329. Robertson, K., McNeill, L., Green, J., & Roberts, C. (2012). Illegal Downloading, Ethical Concern, and Illegal Behavior. Journal of Business Ethics, 108 (2), 215-227. Robinson, D. C. (1986). Youth and Popular Music: A Theoretical Rationale for an International Study. Gazette, 37 (1), 33-50. Seashore, C. (1939). Psychology of Music. Music Educators Journal, 26, 31-33. Sheth, J., & Sisodia, R. (1997). Consumer Behavior in the Future. Electronic Marketing and the Consumer , 1737. Shoham, A., Ruvio, A., & Davidow, M. (2008). (Un)ethical Consumer Behavior: Robin Hoods or Plain Hoods. Journal of Consumer Marketing, 25 (4), 200-2010. Walsh, G., Mitchell, V.-W., Frenzel, T., & Wiedmann, K.-P. (2003). Internet-Induced Changes in Consumer Music Procurement Behavior: A German Perspective. Journal of Marketing Practice: Applied Marketing Science merged into Marketing Intelligence & Planning , 21 (5), 305-317. Magazine Putranto, W. (2009). Rolling Stone Music Biz: Manual Cerdas Menguasai Bisnis Musik. Yogyakarta: B-First. Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 Tempo. (2012). Asyiknya Musik Digital Legal. Research Report AKKI. (n.d.). Credit Card Growth. Retrieved May 20, 2016, from Asosiasi Kartu Kredit Indonesia: http://www.akki.or.id/index.php/cr International Federation of the Phonographic Industry. (2004). IFPI Online Music Report. Retrieved April 17, 2016, from Bundesverband Musikindustrie: http://www.musikindustrie.de/fileadmin/news/publikationen/pb_digital-music-report-2004.pdf Pew Internet & American Life Project. (2000). 13 million Americans ‘freeload’ music on the Internet; 1 billion free music files now sit on Napster users’ computers. Internet Tracking Report, 2. Thesis/Dissertation Davis, F. (1985). A Technology Acceptance Model for Empirically Testing New End-User Information Systems. Thesis, Massachusetts Institute of Technology, Sloan School of Management. Delikan, M. D. (2010). Changing Consumption Behavior of Net Generation and the Adoption of Streaming Music Services. Jönköping International Business School, Economics and Mangement of Entertainment & Arts. Jönköping University. Website/Online Source Adhi. (2016). Layanan Streaming Jadi Penyelamat Industri Musik. Retrieved May 10, 2016, from Money.id: http://www.money.id/digital/layanan-streaming-jadi-penyelamat-industri-musik-160330u.html Ahlberg, E. (2000, November 27). ...Find Tunes. Retrieved April 17, 2016, from The Wall Street Journal: http://www.wsj.com/articles/SB974739886618225705 Albright, D. (2015, April 30). The Evolution of Music Consumption: How We Got Here. Retrieved April 23, 2016, from makeuseof: http://www.makeuseof.com/tag/the-evolution-of-music-consumption-how-wegot-here/ Andy. (2013a). Spotify Was Designed From The Ground Up to Combat Piracy. Retrieved May 9, 2016, from Torrentfreak: https://torrentfreak.com/spotify-was-designed-from-the-ground-up-to-combat-piracy131204/ Andy. (2013b). Piracy Collapses As Legal Alternatives Do Their Job. Retrieved May 9, 2016, from Torrentfreak: https://torrentfreak.com/piracy-collapses-as-legal-alternatives-do-their-job-130716/ Arrizal, D. (2015). Disc Tarra Akan Tutup 40 Gerai di Seluruh Indonesia. Retrieved May 20, 2016, from Rolling Stone Indonesia: http://rollingstone.co.id/article/read/2015/11/04/140505037/1096/disc-tarraakan-tutup-40-gerai-di-seluruh-indonesia?src=hl BBC. (2011). Spotify launches US streaming music service. Retrieved May 23, 2016, from BBC News: http://www.bbc.co.uk/news/mobile/technology-14150644 Femmy, P. (2014). Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pengaruh Terhadap Musik. Retrieved April 27, 2016, from Institut Komunikasi Indonesia Baru: http://www.komunikasi.us/index.php/course/perkembangan-teknologi-komunikasi/1878-putrinkafemmy-13140110053-15 Gong, Y. (2005). Identifying P2P Users Using Traffic Analysis. Retrieved April 23, 2016, from Symantec: http://www.symantec.com/connect/articles/identifying-p2p-users-using-traffic-analysis Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015 Halmenschlagery, C., & Waelbroeckz, P. (2014). Fighting Free with Free: Freemium vs. Piracy. Retrieved May 9, 2016, from Social Science Research Network: http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2475641 Harvey, E. (2014). Station to Station: The Past, Present, and Future of Streaming Music. Retrieved April 23, 2016, from Pitchfork: http://pitchfork.com/features/cover-story/reader/streaming/ Hasreiza. (2015). Industri Musik Indonesia di Persimpangan. Retrieved May 10, 2016, from Linkedin.com: https://www.linkedin.com/pulse/industri-musik-indonesia-di-persimpangan-hasreiza?forceNoSplash=true Hernawan, B. (2016). Panduan Lengkap Membuat Akun dan Berlangganan Spotify. Retrieved May 10, 2016, from MakeMac: http://www.makemac.com/panduan-spotify-makemac/ Hitsss.com. (2016). Lokananta Meluncurkan Perpustakaan Digital Arsip Musik. Retrieved April 19, 2016, from Indonesia Youth Portal: http://hitsss.com/lokananta-meluncurkan-perpustakaan-digital-arsip-musik/ Kwang, K. (2013). Indonesia's music industry loses $1.65M a day from online piracy. Retrieved May 20, 2016, from ZDNet: http://www.zdnet.com/article/indonesias-music-industry-loses-1-65m-a-day-from-onlinepiracy/ McElhearn, K. (2016). 15 Years of iTunes: A Look at Apple’s Media App and Its Influence on an Industry. Retrieved April 23, 2016, from Macworld: http://www.macworld.com/article/3019878/software/15years-of-itunes-a-look-at-apples-media-app-and-its-influence-on-an-industry.html Musikator.com. (2015). Laporan Studi Musik Indonesia 2015 dari Guvera. Retrieved April 25, 2016, from Musikator: http://www.musikator.com/studi-musik-indonesia-guvera/ Rahman, A. F. (2015). Ini Cara Berlangganan Apple Music. Retrieved May 10, 2016, from inet.detik.com: http://inet.detik.com/read/2015/07/01/125846/2957355/317/ini-cara-berlangganan-apple-music Rolling Stone. (2012). Musik di Era Digital. Retrieved April 25, 2016, from Rolling Stone Indonesia: http://www.rollingstone.co.id/article/read/2012/07/04/1957652/1096/musik-di-era-digital Setiaji, S. A. (2015). Penggunaan Kartu Kredit di Indonesia Masih Rendah. (Y. Yunus, Editor) Retrieved May 10, 2016, from Bisnis.com: http://finansial.bisnis.com/read/20150820/90/463954/bank-duniapenggunaan-kartu-kredit-di-indonesia-masih-rendah Statista. (2016). Number of actual and attempted piracy attacks in Indonesia from 2008 to 2015. Retrieved May 20, 2016, from Statista: http://www.statista.com/statistics/250866/number-of-actual-and-attemptedpiracy-attacks-in-indonesia/ Sutter, J. (2011). What's this Spotify thing all about? Retrieved May 23, 2016, from CNN: http://edition.cnn.com/2011/TECH/innovation/07/14/spotify.us.why/ Tajudin, Q. (2015). Industri Musik di Era Digital. Retrieved April 17, 2016, from Tempo: https://m.tempo.co/read/news/2015/02/24/112645006/industri-musik-di-era-digital Wardiana, W. (2002). Perkembangan Teknologi Informasi di Indonesia. Retrieved April 27, 2016, from EPrints in Library & Information Science: http://eprints.rclis.org/6534/1/WAWAN_PERKEMBANGAN_TI.pdf Watts, J. M. (2014). Just Looking: Indonesia Still Not Down With Online Shopping. Retrieved May 20, 2016, from Wall Street Journal: http://blogs.wsj.com/indonesiarealtime/2014/08/30/just-looking-indonesiastill-not-down-with-online-shopping/ Digitalisasi industri ..., Giantra Rizky Barata, FISIP UI, 2015