PERAN INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AUTHORITY (IAEA) TERHADAP PELANGGARAN PENGEMBANGAN TENAGA NUKLIR UNTUK TUJUAN DAMAI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung Oleh NPM : Ari Haryadi : 10040004001 Dibawah Bimbingan: Irawati, S.H.,M.H FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 2011 MOTTO “Jangan sekali-kali merasa kesepian di atas jalan kebenaran hanya karena sedikit orang yang berada disana” -Ali Bin Abi Thalib- Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” --(QS Al Baqarah : 164)- “Skripsi ini penulis persembahkan kepada Alm. Ayahanda tercinta semoga amal ibadahnya di terima di sisi Allah SWT “ ABSTRAK International Atomic Energy Agency (IAEA) memiliki wewenang dalam mengawasi negara-negara yang memiliki kekuatan nuklir, ada negara yang terangterangan tidak mau tunduk dan tidak mau terlibat kedalam Nuclear NonProliferation Treaty (NPT), ada pula negara yang secara diam-diam melakukan pengembangan senjata nuklir. Penelitian ini dilaksanakan dengan metode yang di gunakan adalah Deskriftif Analisis dan pendekatan penelitian ini adalah pendekatan secara Yuridis Normatif. International Atomic Energy Agency (IAEA) memiliki kewenangan untuk membuat standar keselamatan penggunaan energi nuklir (Safeguard) untuk tujuan damai yang akan gunakan oleh negara sebagaimana di atur di dalam Article III dari Statuta IAEA, serta di atur pula di dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Artikel III Ayat 1-3 yang merupakan perjanjian internasional yang mencerminkan suatu sifat mengikat antara Negara yang menciptakan hak dan kewajiban secara hukum diantara para pihak yang mengadakan persetujuan mengenai masalah-masalah yang di maksudkan di dalam perjanjian tersebut. Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai perjanjian internasional yang di buat dalam kerangka organisasi internasional memiliki batas-batas. Batas-Batas tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 5 konvensi wina 1969 yaitu bahwa perjanjian internasional merupakan instrumen pokok dari organisasi internasional tanpa harus mengurangi arti dari setiap aturan yang relevan dari organisasi tersebut, dengan kata lain bahwa pembentukan Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) tidak bertentangan dengan Statuta IAEA. i ABSTRACT International Atomic Energy Agency (IAEA) has the authority in overseeing the countries that have nuclear power, there are states which openly do not want to bow and not get involved into the Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), there is also a country that is secretly to develop nuclear weapons. The research was carried out by the method used is descriptive analysis and the approach of this research is normative juridical approach. International Atomic Energy Agency (IAEA) has the authority to make the safety standards of use of nuclear energy (Safeguard) for peaceful purposes to be used by the state as the set in Article III of the Statute of the IAEA, and the set also in the Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Article III Section 1-3 which is an international treaty that reflects the binding properties between the State which creates legal rights and obligations among the parties who entered into agreements on matters which are intended in the agreement. Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) as an international treaty that created within the framework of international organizations have boundaries. The limits are as provided in article 5 of the 1969 Vienna Convention treaty was the principal instrument of an international organization without prejudice of any relevant rules of the organization, in other words that the formation of the Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) does not contradict with the IAEA Statute. ii KATA PENGANTAR Bismilahirrahmanirrahim Alhamdullilahirrabil’alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT, karena rahmat dan keridhaan-nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Peran International Atomic Energy Agency (IAEA) Terhadap Pelanggaran Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk Tujuan Damai Menurut Hukum Internasional” Tidak lupa penulis panjatkan Shalawat dan salam kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta Ahlul Bait-nya yang suci dalam memperjuangkan ajaran Allah hingga sampai akhir hidup penulis akan tetap pegang teguh ajaran yang disampaikan beliau. Keberhasilan penulis ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Dr. Asyhar Hidayat., S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung; 2. Ibu Irawati.,S.H.,M.H, sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini; 3. Dr. Oentong Wahyoe, S.H.,M.H, sebagai dosen penelaah yang telah memberikan saran, kritik dan arahannya kepada penulis; 4. Ahmad S Abdullah, SH.,MH selaku dosen wali selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum; iii 5. Drs. Arinto Nurcahyo M.Hum yang telah menyempatkan waktunya disela-sela kesibukannya untuk berbagi cerita filsafat dengan penulis; 6. Bpk Husni Syam S.H., L.L.M terima kasih sudah mau berbagi pengalaman hidup selama perkuliahan; 7. Seluruh dosen-dosen Fakultas Hukum Unisba yang telah memberikan pengetahuan kepada penulis; 8. Terima kasih kepada seluruh Staff Akademik Fakultas Hukum Unisba; 9. Adikku (Heru Hamdani, Angga Adi Guna Saputra, dan Tia Purnama Sari) cinta dan kasih sayang untuk kalian bertiga. Abang (Ade) semoga masih ingat sama kami berempat. Ua Mumu, Ua Yadi, Mang Mulyani, Bibi Ety, Ua Ocih, Mang Supdi, Bibi Euis, dan Eni atas doa dan nasehat-nasehatnya kepada penulis; 10. Keluarga besar Pandeglang-Banten di Pangandaran-Ciamis, yang selalu Bogor, mendorong Jakarta penulis dan untuk menyelesaikan studi di Fakultas Hukum; 11. Sahabat-sahabat di Komunitas Music Hardcore Pandeglang-Bom Active Crew (Agus, Sakmad, Husein, Fanny, Ozy, dan Desta) yang selalu mendukung penulis semoga bisa berkumpul kembali; 12. Kawan-kawan seperjuangan di organisasi kemahasiswaan: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Fordismapelar Periode 2005-2007, Asrama Kumandang-Bandung, BEM-FH Unisba Periode 2004-2006, Studi Philosophie and Social Science (SPSS), dan International Law Student iv Forum (ILSF) Periode 2005-2006 yang banyak memberikan pengetahuan dan pengalaman kepada penulis; 13. Kawan-kawan seperjuangan Mahasiswa Fakultas Hukum UNISBA Angkatan 2002, 2003 dan 2004, akhirnya dapat menyelesaikan studi di fakultas hukum bersama-sama; 14. Kawan-kawan alumni Fakultas Syariah Unisba Rangga, Rantau, Iwan, Iman, dan Emil terima kasih atas Share wacana keislamnannya; 15. Kawan-kawan di UNPAD: Fuad, Angga De lova, Isni, Nandang, Adang, Asep, Yunik, Azhar Riyadi dan Satria. Senang bisa kenal kalian; 16. Kawan-kawan UPI: Ade Chandra Waskita, Heru, Edison dan Suryanto, sukses selalu; 17. Terima kasih kepada Mas Imam yang sudah mau mengajari penulis Logika secara intensif; 18. Kawan-kawan senior Himpunan Mahasiswa Islam HMI se-Cabang Bandung, maaf kalo kalian sering aku lawan dan terima kasih atas pembelajarannya selama ini; 19. Fakhrozi Derriyan S.H (Kojek), Yudi (Jim`s), Surya S.H (superheroes) S.H, Riki Arya Putra S.H dan Mugia Rachman S.H terima kasih untuk peminjaman komputer dan notebooknya selama penulis mengerjakan skripsi serta mau nongkrong di kosn penulis yang sempit berlama-lama (Tuhan bersama kita); v 20. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terkasih Constantin Safira S.H yang selama ini membantu penulis baik secara materil maupun moril. Semoga kesabaran membuahkan hasil yang membahagiakan. Terima kasih yang tak terhingga kepada Almarhum Ayahanda (Bapak Samid) tercinta yang telah lebih dulu meninggalkan kami sekeluarga, semoga amal ibadah ayahanda di terima di sisi Allah SWT, terima kasih juga yang tak terhingga dan tak terukur oleh apapun penulis sampaikan kepada ibunda (Tita Rosita) tercinta yang selalu mencurahkan hati dan hari-harinya untuk mengurus kami buah hati kalian. Sayang dan bakti ananda untukmu. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi yang membacanya. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan di masa yang akan datang Wassalamu`alaikum Wr.Wb Bandung, Agustus 2011 Ari Haryadi vi DAFTAR ISI Hal LEMBAR PENGESAHAAN MOTTO LEMBAR PERSEMBAHAN ABSTRAK........................................................................................................... i ABSTRACT................................................................................................. ii KATA PENGANTAR......................................................................................... iii DAFTAR ISI....................................................................................................... vii BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang............................................................................................ 1 B. Identifikasi Masalah.................................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian........................................................................................ 7 D. Kegunaan Penelitian................................................................................... 7 E. Kerangka Pemikiran................................................................................... 7 F. Metode Penelitian...................................................................................... 17 G. Sistematika Penelitian............................................................................... 18 BAB II WEWENANG INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY (IAEA) DALAM MENGAWASI PENGGUNAAN TENAGA NUKLIR UNTUK TUJUAN DAMAI OLEH NEGARA-NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Sejarah Pembentukan International Atomic Energy Agency (IAEA) Sebagai Badan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa ............................... 20 B. International Atomic Energy Agency (IAEA) Sebagai Subyek Hukum Internasional.............................................................................................. 24 C. Pembentukan Perjanjian Internasional Oleh International Atomic Energy Agency (IAEA).......................................................................................... 39 BAB III PERAN INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY (IAEA) SEBAGAI SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL YANG MENGATUR vii PENGEMBANGAN TENAGA NUKLIR UNTUK TUJUAN DAMAI MENURUT STATUTA IAEA A. Struktur Organisasi International Atomic Energy Agency (IAEA) Sebagai Badan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa............................................. 55 B. Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Sebagai Sumber Hukum Internasional Yang Mengatur Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk Tujuan Damai........................................................................................................ 70 C. Resolusi Yang Dikeluarkan Oleh Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa Terkait Pelanggaran Pengembangan Nuklir Untuk Tujuan Damai........................................................................................................ 76 BAB IV PERAN INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY (IAEA) TERHADAP PELANGGARAN PENGEMBANGAN TENAGA NUKLIR UNTUK TUJUAN DAMAI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Peran International Atomic Energy Agency (IAEA) Terhadap Pelanggaran Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk Tujuan Damai............................... 84 B. Pengaturan Pengembangan Tenaga Nuklir Menurut Nuclear NonProliferation Treaty (NPT)..................................................................... 101 C. Penerapan Sanksi Terhadap Pelanggaran Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk Tujuan Damai............................................................................... 109 BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan................................................................................................. 115 B. Saran........................................................................................................ 116 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Energi nuklir adalah tipe teknologi yang penggunaannya harus secara terkendali. Kecelakaan yang diakibatkan penggunaan energi nuklir sangat berbahaya serta berakibat fatal bagi kehidupan1. Menyadari akibat nuklir tersebut yang sangat berbahaya bagi kehidupan mahluk hidup, Negara-negara sepakat melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membentuk badan khusus yang menangani masalah nuklir, badan khusus yang di maksud adalah International Atomic Energy Agency (IAEA). International Atomic Energy Agency (IAEA) merupakan badan khusus yang otonom dibawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), International Atomic Energy Agency (IAEA) bertujuan untuk mengembangkan dan memperluas pemanfaatan sumber daya nuklir untuk berbagai tujuan yang bersifat damai, serta menjadi badan pengawas untuk negara-negara yang ikut menandatangani atau menyatakan diri terikat kedalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT)2. International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam melaksanakan perannya harus berhadapan dengan berbagai macam negara. Ada negara yang 1 Akibat penggunaan nuklir dalam jumlah yang begitu besar dapat mengakibatkan reaksi berantai yang dapat menghancurkan sebuah kota atau wilayah dengan radius yang cukup luas serta dapat menghasilkan ledakan, panas, api, radiasi, dan cahaya yang intensif. Setengah dari korban yang tewas dari penggunaan nuklir pada dasarnya meninggal dua hingga lima tahun setelah ledakan nuklir akibat radiasi. Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/teknologi_nuklir, 16 November 2010. 2 Adel El-gorary, Ahmadinnejad: The Nuclear Savior of Teheran, Pustaka Iman, Jakarta, 2008.hlm.278-279. 1 terang-terangan tidak mau tunduk dan tidak mau terlibat kedalam Nuclear NonProliferation Treaty (NPT), ada pula negara yang secara diam-diam melakukan pengembangan nuklir bukan untuk damai3. Negara yang memiliki program senjata nuklir merupakan negara-negara yang tergabung kedalam Group Nuklir. Group Nuklir merupakan anggota dari International Atomic Energy Agency (IAEA) yang memiliki program senjata nuklir yang terdiri atas Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis, dan Cina yang ikut menanda tangani perjanjian pelarangan untuk transfer senjata nuklir. Di samping itu, ada pula beberapa negara yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan senjata nuklir seperti Iran, Jerman, Kanada, Belanda, Italia, Belgia, Spanyol, Swedia, Polandia, Korea Selatan, Indonesia dan Jepang yang memiliki Reaktor Atom untuk Produksi Uranium lebih dari level 3,5%, juga terdapat sejumlah negara yang lebih dulu mengembangkan program nuklir namun belum pernah mencapai tahap kesempurnaan, sedangkan untuk mencapai kesempurnaan memproduksi senjata nuklir dibutuhkan uranium level 92% dari uranium 2354. Ketegangan menyangkut program nuklir dimulai semenjak dunia mengenal uji coba senjata nuklir pada era perang dunia. Selama kurun waktu perang berlangsung tercatat Amerika Serikat paling banyak menggelar uji coba nuklir yakni 1.030 kali pengujian. Amerika Serikat meledakkan senjata nuklir pertama kali dalam sebuah percobaan dengan nama "Trinity", dekat Alamogordo, New Mexico, pada tanggal 16 Juli 1945. Percobaan ini untuk menguji cara 3 4 Muhamad Awan, Rahasia Nuklir Israel, Navila Idea, Yogyakarta, 2010,hlm.37 Adel El-Gogary, op.cit,hlm.277-278 2 peledakkan nuklir yang kemudian menyusul diledakannya Bom Uranium, “Little Boy” di kota Hiroshima diikuti dengan peledakkan Bom Plutonium “Fat Man” di Nagasaki, pada tanggal 6 Agustus 1945, kedua bom nuklir tersebut diledakan di wilayah negara Jepang. Menyusul uji coba nuklir berikutnya di lakukan oleh Uni Soviet dengan 1715 kali pengujian dengan meledakkan senjata fisi nuklir pertamanya, Prancis 210 kali pengujian, Inggris 45 kali pengujian, dan Cina 43 kali pengujian. Serta dalam kurun waktu tahun 1945 sampai tahun 1996, didunia telah terjadi 2.044 kali uji coba senjata nuklir yang dilakukan di berbagai lokasi di dunia5. Delapan tahun berselang setelah uji coba bom atom, Presiden Amerika Serikat pada waktu itu, Dwight D Eisenhower, mengutarakan gagasan pentingnya penggunaan atom untuk tujuan damai6. Sejak uji coba peledakkan tersebut, tidak ada senjata nuklir yang dilepaskan secara ofensif. Namun, perlombaan untuk mengembangkan senjata nuklir terjadi pada tahun-tahun berikutnya7. Penegaskan urgensi perlucutan senjata nuklir adalah karena negara pemilik senjata nuklir adalah ancaman sejati perdamaian dan keamanan dunia. Negara pemilik senjata nuklir bukan hanya tidak menepati komitmen internasional, bahkan kini sedang bergerak untuk mempercanggih senjata penghancur massal dan mengancam pihak lain baik yang tidak memiliki teknologi nuklir sama sekali atau pun negara-negara yang kemampuan teknologi nuklirnya tidak sama dengan negara pemilik senjata nuklir. Produksi dan kepemilikan senjata nuklir merupakan tindakan yang senantiasa bertentangan dengan kemanusiaan. Tanpa senjata nuklir dunia bisa mewujudkan stabilitas, keamanan dan perdamaian permanen. Dengan 5 Lina Nursanty, Uji Coba Senjata Nuklir, Pikiran Rakyat,19 Oktober 2009,hlm.25 http://bataviase.co.id/detailberita, 22 November 2010 7 http://en.wikipedia.org/wiki/teknologi_nuklir, 19 November 2010 6 3 demikian, tuntutan masyarakat internasional hanya bisa diwujudkan dengan pemahaman yang baik atas kondisi yang ada saat ini dimana negara-negara yang memiliki program nuklir harus bertujuan untuk damai8. Perang nuklir dalam skala yang besar akan menjadi bencana bukan hanya bagi pihak yang terlibat perang tetapi juga pada umat manusia dan tidak akan menghasilkan apapun bagi manusia. Jika semua senjata nuklir yang ada sudah di hancurkan dan ada perjanjian untuk tidak membuat yang baru, maka perang senjata nuklir dapat dihindari9. Dalam masyarakat internasional dewasa ini, perjanjian internasional memainkan peranannya yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar Negara untuk tercapaianya keamanan dan ketertiban dunia. Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai suatu instrumen yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau subyek hukum internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama dalam pengembangan teknologi nuklir untuk tujuan damai. Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) dapat menjadi harapan baru bagi masyarakat internasional agar terhindar dari bahaya perang nuklir, serta memanfaatkan pengembangan tersebut secara damai. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh lima Negara bersenjata nuklir atau yang disebut Nuclear Weapon States (NWS) yang terdiri dari Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis, dan Cina, serta bersama 189 negara lainnya yang disebut sebagai Non-Nuclear 8 9 http://indonesian.irib.ir/:strategi-iran-lucuti-senjata-nuklir-dunia-nuklir, 22 Novemver 2010 Bertrand Russel, Akal Sehat Dan Ancaman Nuklir, Ikon Teralitera, malang, 2002,hlm.23-24 4 Weapon States (NNWS)10. Semenjak berlakunya Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) pada tanggal 5 maret 1970 yang telah diratifikasi oleh Inggris, Uni Soviet, Amerika Serikat, dan 40 negara lainnya. sampai kurang lebih tiga dekade perjalanannya, perjanjian tentang pengembangan program tenaga nuklir untuk damai justru lebih banyak menimbulkan ketimpangan stabilitas keamanan dunia yang di cita-citakannya11. Sejauh ini telah ada 191 negara yang masih terikat ke dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) di bawah pengawasan International Atomic Energy Agency (IAEA) 12. Meskipun Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) bersifat internasional, namun masih ada Negara yang tidak ikut menandatangani dan tidak menjalankan perjanjian tersebut atau tidak mau tunduk terhadap perjanjian. Terdapat tiga Negara yang melakukan pengembangan nuklir namun tidak termasuk kedalam Negara penandatangan Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) serta memiliki instalasi pengembangan senjata nuklir, negara tersebut antara lain India, Pakistan dan Israel yang memiliki hampir 300 hulu ledak nuklir13. Pelanggaran terhadap Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai perjanjian internasional apabila diselidiki sebabnya sering mempunyai alasan atau latar belakang yang cukup kuat, pelanggaran yang dilakukan tidak lagi dengan begitu saja dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran hukum internasional14. Sebagai mana yang terjadi pada negara anggota Nuclear Non-Proliferation Treaty 10 Ari Nursanty, Masalah Nuklir Tak Kunjung Berakhir, Pikiran Rakyat,29 Desember 2009. Javad Zarif, Sanksi Atas Iran: Zero-Sum Game, Bulletin SY`IAR, Edisi Muharam 1428H, 23 Desember 2007. 12 http://en.wikipedia.org/wiki/Nuclear_Non-Proliferation_Treaty, 12 oktober 2010. 13 Muhamad Awan, op.cit,hlm,43 14 Mochtar Kusumaatmaadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003,hlm.66 11 5 (NPT) yang di kenakan sanksi berupa resolusi oleh Dewan keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk menghentikan program nuklirnya. Namun masih tetap melakukan aktifitasnya dalam melakukan pengembangan teknologi nuklir. Terkait Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) tersebut sebagai perjanjian yang di buat oleh para pihak atau negara-negara dalam kerangka organisasi internasional merupakan sumber hukum internasional untuk pengembangan program nuklir tujuan damai bagi negara-negara yang terikat kedalam perjanjian, Sehingga pengembangan program nuklir dapat di gunakan untuk tujuan damai, demi kesejahteraan masyarakat internasional. Berdasarkan uraian kasus diatas, penulis bermaksud untuk meneliti dan menganalisisnya kedalam bentuk karya tulis ilmiah dengan judul: “PERAN INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY (IAEA) TERHADAP PELANGGARAN PENGEMBANGAN TENAGA NUKLIR UNTUK TUJUAN DAMAI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL” B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian diatas dan untuk memudahkan pembahasan maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana Peran International Atomic Energy Agency (IAEA) terhadap pelanggaran pengembangan tenaga nuklir untuk tujuan damai Menurut Hukum Internasional? 2. Bagaimana Pengaturan pengembangan tenaga Nuklir Menurut Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT)? 6 3. Bagaimana penerapan Sanksi terhadap pelanggaran pengembangan tenaga Nuklir untuk tujuan Damai? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis peran dari International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam mengawasi pengembangan tenaga nuklir untuk tujuan damai. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis sejauhmana Nuclear Non- Proliferation Treaty (NPT) telah di terapkan oleh negara-negara di dalam melakukan pengembangan nuklir untuk tujuan damai. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis sanksi terhadap pelanggaran pengembangan nuklir untuk tujuan damai. D. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah : 1. Kegunaan Teoritis Berguna bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya mengenai mata kuliah hukum perjanjian internasional. 2. Kegunaan Praktis Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan bagi penulis, instansi-instansi pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta masyarakat yang berminat. E. Kerangka Pemikiran 7 Organisasi internasional merupakan bentuk kerja sama yang bersifat internasional yang bertujuan untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia. Suatu organisasi internasional baru ada bila negara-negara menghendakinya dan kehendak tersebut di tuangkan di dalam perjanjian internasional, organisasi internasional di sebut juga sebagai subyek buatan karena keberadaannya adalah sebagai akibat kehendak bersama negara-negara15. Subyek hukum dari suatu sistem hukum adalah semua yang menurut ketentuan hukum diakui mempunyai kemampuan untuk bertindak. Didalam hukum internasional subyek-subyek tersebut termasuk negara, organisasi internasional dan kesatuan-kesatuan lainnya16. Organisasi internasional dapat pula berkedudukan sebagai badan hukum internasional. Badan hukum internasional adalah badan yang berkedudukan sebagai subyek internasional publik yang dapat dibebani hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban badan hukum internasional dibatasi oleh tugas organisasi tersebut17. Organisasi internasional dalam pengertian yang luas adalah bentuk kerjasama antar pihak-pihak yang bersifat internasional. organisasi Internasional disini adalah organisasi internasional publik yang anggota-anggotannya terdiri Negara-negara, karena itu disebut juga organisasi antar pemerintah (intergovermental organization), namun pada umumnya disebut sebagai organisasi internasional dan agar organisasi internasional tersebut mempunyai status publik, 15 Boer Mauna, Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2005., hlm.467 Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Alumni, Bandung, 1997,hlm 45 17 Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hlm.172-173 16 8 maka harus di bentuk dengan suatu persetujuan internasional atau lazim disebut instrument pokok (constituent instrumen)18. Instrument pokok (constituent instrumen) dapat memuat asas dan tujuan organisasi internasional, menetapkan landasan kerja dan arah kegiatan organisasi tersebut. Tujuan organisasi internasional juga menentukan kepentingan yang dikelola organisasi internasional. Cara kerja organisasi internasional menentukan cara dalam melakukan bagian pekerjaannya, baik yang berupa pembuat keputusan maupun yang berupa pelaksanaan keputusan19. Penetapan asas dan tujuan tersebut merupakan sumber hukum bagi organisasi internasional untuk melakukan perannya sebagai subyek hukum internasional untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia. Sifat heterogen masyarakat internasional telah semakin meningkatkan perjanjian-perjanjian internasional sebagai sumber hukum utama dari hukum internasional umum20. Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian internasional merupakan sumber hukum untuk mengatur kegiatan Negara-negara atau subyek hukum internasional lainnya di dunia. Bentuk persetujuan bersama yang dirumuskan dalam sebuah perjanjian internasional merupakan sumber hukum untuk mengatur kegiatan Negara-negara atau subyek hukum internasional lainnya di dunia. Sumber hukum dipakai sebagai arti dasar berlakunya hukum. sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan yang mengikat dan 18 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, PT. Tatanusa, Jakarta, 2008 ,hlm.39 Sugeng Istanto, op.cit, hlm.173 20 G.J.H Van Hoof, Pemikiran Kembali Sumber Hukum Internasional, Alumni, Bandung,2000, hlm.40 19 9 memaksa sehingga apabila aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya21. Sedangkan Hans Kelsen dalam buku teori hukum murni menyatakan bahwa22 : “istilah sumber hukum digunakan bukan hanya untuk menyebut metodemetode pembentukan hukum, tetapi juga digunakan untuk mengkarakterisasi landasan bagi validitas hukum”. Sumber hukum Internasional, sebagaimana mana hukum pada umumnya, mengenal sumber hukum formil dan sumber hukum materil. Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang memberikan kekuatan hukum pada suatu peraturan tertentu, sedangkan sumber hukum materil adalah dari mana subtansi hukum diambil23. Menurut J.G Starke, sumber hukum materil hukum internasional dapat didefinisikan sebagai berikut 24: “Bahan-bahan aktual yang digunakan oleh para ahli hukum internasional untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi suatu peristiwa atau situasi tertentu”. Sumber hukum adakalanya diartikan lain, menurut Mochtar Kusumaadmatja, ada sumber hukum dalam arti yang ketiga yaitu 25: “Sumber hukum yang meneliti faktor kausal atau penyebab yang turut membantu dalam pembentukan kaidah. sumber hukum dalam artian ketiga lebih terletak dalam bidang luar hukum (ekstra yuridis), sebagaimana juga masalah sumber hukum materil merupakan sumber hukum ekstra yuridis yakni pada hakekatnya merupakan persoalan falsafah” Doktrin sumber hukum internasional dapat berfungsi juga menyiratkan suatu pendekatan Softlaw. Pendekatan Softlaw merupakan sumbangan yang cukup besar terhadap doktrin hukum internasional. Softlaw sedikit banyak 21 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, P.T Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.91 Hans kelsen, Teori Hukum Murni, Rimdi Press, Bandung. 1995,hlm.133 23 G.J.H Van Hoof, op.cit, hlm.418 24 Boer Mauna, op.cit., hlm.8 25 Mochtar Kusumaadmatja, op.cit, hlm 115 22 10 memperkuat persepsi suatu perkembangan kearah keaneka ragaman yang bertambah besar dalam sumber hukum yang menuntut pandangan yang lebih jauh akan sangat jauh dalam intensitasnya. Sebagaimana menurut Mcnair bahwa26 : “Softlaw mencoba menggambarkan implikasi-implikasi hukum dari instrumen-instrumen yang secara hukum tidak mengikat, terutama juga mengenai hubungannya dengan peraturan-peraturan hukum yang mapan (full fledged legal rules”).” Pendekatan terhadap sumber-sumber hukum internasional dilakukan untuk memiliki kepastian dan kejelasan hubungan hukum antara hubunganhubungan masyarakat internasional. Sumber-sumber hukum internasional dapat dilihat di dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, yaitu terdiri atas 27: 1. International convention, whether general or particular establishing rules expressly recognized by the constesting states; 2. International custom , as evidence of a general practice accepted as law; 3. The general principles of law recognized by civilized nations; 4. Subject to the provisions of article 59, judicial decision and the teaching of the most highly qualified publicist of the various nations, as subsidiary means for the determinations of rules of law. Perjanjian internasional yang dibentuk oleh negara-negara di dalam suatu Organisasi Internasional menjadikan Organisasi Internasional memiliki kedudukan sebagai subyek dalam hukum internasional yaitu sebagai Organisasi Antar-Pemerintah (intergoverment organization) bukan non government orgsanization28. 26 G.J.H Van Hoof, loc.cit, hlm.384 Sugeng Istanto, loc.cit, hlm. 20 28 Sefriani, Hukum Internasional: Sebuah Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010,hlm.144 27 11 Perjanjian internasional atau dalam bahasa Inggris-nya disebut dengan “treaties” dan dalam bahasa Prancis disebut dengan “traiter” yang berarti ”perundingan” dimaksudkan sebagai instrumen internasional yang mempunyai sifat mengikat. Instrumen hukum semacam itu mencerminkan suatu sifat kontraktual antara Negara atau antar Negara dengan organisasi internasional yang menciptakan hak dan kewajiban secara hukum diantara para pihak yang mengadakan persetujuan mengenai masalah-masalah yang di maksudkan di dalam perjanjian tersebut29. Menurut Boer Mauna, Perjanjian Internasional diartikan sebagai berikut30 : “Semua perjanjian yang dibuat oleh Negara sebagai salah satu subyek hukum internasional yang diatur oleh sumber hukum internasional dan berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum”. Perjanjian internasional sebagai suatu perjanjian antara dua Negara atau lebih yang dimana untuk mencari hubungan yang di atur oleh hukum internasional. Perjanjian Internasional Menurut Oppenheim adalah 31 : “Perjanjian internasional merupakan persetujuan yang bersifat kontraktual antar Negara atau organisasi Negara yang menimbulkan hak dan kewajiban secara hukum bagi para pihak”. Pasal 2 ayat (1) Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional menetapkan pengertian perjanjian internasional, yaitu: ““treaty” means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation;” 29 Sumaryo Suryokusumo, Hukum ….op.cit, hlm.17 Boer Mauna, loc.cit, hlm.85 31 Sumaryo Suryokusumo, Hukum…..loc.cit,hlm.29 30 12 “Perjanjian” diartikan sebagai suatu persetujuan internasional yang dibuat antar Negara didalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, Apakah itu disusun dalam satu instrumen tunggal, dua atau lebih instrumen yang terkait dan apapun bentuknya yang dibuat secara khusus;” Perjanjian-perjanjian yang dibuat antara Negara dalam organisasi internasional atau antar organisasi internasional dapat pula kita lihat batasanbatasannya di dalam Pasal 5 Konvensi Wina 1969, yaitu: “The present Convention applies to any treaty which is the constituent instrument of an international organization and to any treaty adopted within an international organization without prejudice to any relevant rules of the organization.” “konvensi ini ditetapkan pada setiap perjanjian yang merupakan instrument pokok dari organisasi internasional dan pada setiap perjanjian yang disahkan dalam lingkungan suatu organisasi internasional tanpa mengurangi arti dari setiap aturan yang relevan dari organisasi tersebut” Kapasitas dalam membuat suatu perjanjian internasional tidaklah asli dan bersifat parsial dalam artian kapasitas tersebut berasal dari kehendak Negaranegara anggota yang dirumuskan dalam konstitusi suatu organisasi internasional dan organisasi tersebut hanya dapat melakukan kegiatan dibidang yang termasuk kedalam wewenangnya32. Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai salah satu perjanjian internasional dibuat dan ditandatangani oleh Negara-negara yang mengikatkan diri kedalam perjanjian tersebut merupakan sumber hukum yang menjadi dasar bagi Negara peserta dalam melakukan pengembangan tenaga nuklir. Perjanjian tersebut merupakan dasar dimana pada akhirnya mengkerucut kepada sebuah badan khusus yang bersifat sebagai pengawas dan penanggung jawab 32 Boer Mauna, loc.cit. hlm.86. 13 dilaksanakannya perjanjian tersebut yaitu Internasional Atomic Energy Agency (IAEA). Pengaturan mengenai pelarangan untuk penggunaan dan mengedarkan senjata nuklir di atur dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Article I yang di tujukan untuk negara-negara bersenjata nuklir (NWS) yaitu menyatakan: “Each nuclear-weapon State Party to the Treaty undertakes not to transfer to any recipient whatsoever nuclear weapons or other nuclear explosive devices or control over such weapons or explosive devices directly, or indirectly; and not in any way to assist, encourage, or induce any nonnuclear-weapon State to manufacture or otherwise acquire nuclear weapons or other nuclear explosive devices, or control over such weapons or explosive devices”. “Setiap Negara bersenjata nuklir (NWS) dilarang untuk mengedarkan senjata nuklir atau bahan peledak dalam bentuk apapun kepada siapapun. NWS juga dilarang untuk mengatur peredaran senjata atau bahan peledak nuklir baik secara langsung maupun tidak langsung. NWS juga dilarang untuk mendukung, mendorong atau membujuk negara tidak bersenjata nuklir (NNWS) untuk mengembangkan atau menerima senjata nuklir. NWS dilarang pula untuk mendukung, mendorong atau membujuk NNWS untuk mengedarkan senjata nuklir atau bahan peledak nuklir” Pengaturan untuk pelarangan penggunaan serta peredaran senjata nuklir yang di tujukan bagi negara yang tidak bersenjata nuklir (NNWS) diatur dalam Article II Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yaitu yang menyatakan : “Each non-nuclear-weapon State Party to the Treaty undertakes not to receive the transfer from any transferor whatsoever of nuclear weapons or other nuclear explosive devices or of control over such weapons or explosive devices directly, or indirectly; not to manufacture or otherwise acquire nuclear weapons or other nuclear explosive devices; and not to seek or receive any assistance in the manufacture of nuclear weapons or other nuclear explosive devices”. “Setiap negara tidak bersenjata nuklir (NNWS) dibawah kendali traktat dilarang untuk menerima peredaran nuklir dari pengedar manapun; atau dari NWS baik secara langsung maupun tidak langsung NNWS dilarang untuk mengembangkan atau menerima bantuan dalam rangka mengembangkan senjata nuklir atau bahan peledak nuklir” 14 Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) pun tidak mengatur mengenai sanksi bagi pelanggaran pengembangan teknologi nuklir. Perjanjian hanya mengatur Negara pemilik teknologi nuklir yang terikat oleh perjanjian untuk bernegosiasi atas langkah-langkah yang berkaitan dengan penghentian senjata nuklir dan pelucutan senjata dengan itikad baik sebagaimana tercantum dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Artickel VI yang menyatakan : “Each of the Parties to the Treaty undertakes to pursue negotiations in good faith on effective measures relating to cessation of the nuclear arms race at an early date and to nuclear disarmament, and on a treaty on general and complete disarmament under strict and effective international control”. “Negara yang terikat dalam traktat ini sanggup bernegosiasi atas langkah yang berkaitan dengan penghentian senjata nuklir dan pelucutan senjata nuklir dengan itikad baik. Hal yang sama juga pada perjanjian tentang pelucutan senjata di bawah kontrol dunia internasional” Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai sumber hukum dalam mengawasi pengembangan program tenaga nuklir yang dilakukan oleh suatu Negara peserta perjanjian memiliki kekuatan mengikat bagi setiap anggota perjanjian tersebut. Sebagaimana ajaran Anziloti, perjanjian internasional mengikat Negara-negara anggota perjanjian tersebut berdasarkan prinsip pacta sunt servanda33. Pengikatan diri dari suatu Negara untuk masuk ke dalam perjanjian diatur dalam Article IX ayat 1 Nuclear Non-Prolieration Treaty (NPT) yang menyatakan: “This Treaty shall be open to all States for signature. Any State which does not sign theTreaty before its entry into force in accordance with paragraph 3 of this Article may accede to it” 33 Sugeng Istanto, loc.cit, hlm.91 15 “Perjanjian ini harus terbuka bagi semua Negara untuk tanda tangan. Setiap negara yang tidak menandatangani perjanjian sebelum berlakunya sesuai dengan ayat 3 Pasal ini dapat menyatakan keikutsertaannya kapanpun” Prinsip mengenai mengikatnya perjanjian bagi Negara peserta diatur di dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional yaitu berbunyi: “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.” “setiap perjanjian yang berlaku adalah mengikat terhadap para pihak perjanjian tersebut dan harus dilaksanakan oleh mereka dengan itikad baik”. Hak dan kewajiban yang ditetapkan oleh suatu perjanjian internasional pada prinsipnya tidak dialihkan kepada pihak lain oleh Para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian tersebut. Disini berlaku prinsip Pacta Tertiis Nee Nocent Nee Prosunt yang berarti bahwa perjanjian tidak dapat menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada Negara ketiga34. Prinsip Pacta Tertiis Nee Nocent Nee Prosunt merupakan prinsip umum di dalam konvensi atau perjanjian internasional yang menyatakan hanya pihak dari konvensi atau perjanjian internasional yang terikat dengan perjanjian tersebut. Prinsip ini diatur dalam pasal 34 Konvenasi Wina 1969 tentang perjanjian internasional yang menyatakan sebagai berikut : “a treaty does not create either obligation or right for a third state without its consent” “suatu perjanjian tidak menciptakan baik kewajiban maupun hak bagi negara ketiga tanpa kesepakatan” 34 Boer Mauna, loc.cit, hlm.143 16 F. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian dalam penulisan ini adalah Deskriftif Analisis35 yaitu menggambarkan peran dari Internasional Atomic Energy Agency (IAEA) dan menggambarkan Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan yang dibahas. 2. Metode Pendekatan Pendekatan penelitian ini adalah penulis melakukan pendekatan secara Yuridis Normatif. Pendekatan Yuridis Normatif yang disebut juga dengan penelitian hukum doktrin yaitu melakukan pembahasan terhadap permasalahan yang dilandasi oleh teori-teori, buku-buku, serta peraturanperaturan yang berlaku. 3. Tahap Penelitian Penelitian dilakukan dengan penelitian kepustakaan, dalam upaya mencari data yang bersifat sekunder dengan menggunakan bahan hukum primer. Bahan hukum primer ini antara lain bahan pustaka yang berisikan ilmu pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir, yang mencakupi buku-buku, karangan ilmiah, majalah, teori-teori hukum, peraturan-peraturan internasional dan sumber-sumber lainnya. Ditambah dengan bahan hukum tersier yang memberikan petunjuk kepada bahan hukum sekunder dan 35 Rony Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, PT.Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998,hlm.97 17 bahan hukum primer yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum36. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan penelitian studi dokumen dengan cara mengumpulkan data, bukubuku,literatur, peraturan internasional, peraturan perundang-undangan dan dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan pokok bahasan skripsi ini. 5. Metode Analisis Data Data-data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif artinya data-data yang diperoleh disusun secara sistematis, untuk mencapai penjelasan masalah yang akan dibahas dengan tidak menggunakan rumus dan data statistik. G. Sistematika Penelitian BAB I Merupakan pendahuluan yang memaparkan tentang latar belakang penulisan, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, sistematika penelitian dan daftar pustaka. BAB II Terdiri dari materi-materi yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas, diantaranya materi tentang sejarah pembentukan International Atomic Energy Agency (IAEA), Peran International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi yang mengawasi penggunaan tenaga nuklir oleh negara-negara, International Atomic Energy Agency (IAEA) Sebagai Subyek 36 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT.RajaGrasindo Persada,1983,hlm.33 18 Hukum Internasional, dan Pembentukan Perjanjian Internasional Oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). BAB III menguraikan mengenai struktur organisasi International Atomic Energy Agency (IAEA), Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) dan resolusiresolusi atas pelanggaran pengembangan tenaga nuklir untuk tujuan damai. BAB IV penulis melakukan analisis terhadap pandangan hukum perjanjian internasional mengenai peran International Atomic Energy Agency (IAEA) serta kekuatan hukum perjanjian internasional Nuclear Non-Proliferation Treaty. BAB V Merupakan Bab terakhir atau penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran 19 BAB II WEWENANG INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY (IAEA) DALAM MENGAWASI PENGGUNAAN TENAGA NUKLIR UNTUK TUJUAN DAMAI OLEH NEGARA-NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Sejarah Pembentukan International Atomic Energy Agency (IAEA) Sebagai Badan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa. Badan Tenaga Atom Internasional atau International Atomic Energy Agency (IAEA) didirikan pada tahun 1957 sebagai organisasi otonom antar pemerintah yang berada dalam lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). International Atomic Energy Agency (IAEA) bertugas mempercepat dan memperluas peranan program teknologi tenaga atom untuk perdamaian, kesehatan dan kesejahteraan dunia, serta menjamin bantuan yang diberikan atau yang disediakan tidak digunakan sedemikian rupa untuk tujuan militer36. International Atomic Energy Agency (IAEA) diciptakan sebagai tanggapan atas ketakutan dan harapan yang dihasilkan dari penemuan energi nuklir. Pada tanggal 8 Desember 1953 Presiden Amerika Serikat Dwight D. Eisenhower mengusulkan di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar membentuk sebuah organisasi untuk memajukan penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai dan untuk memastikan energi nuklir tersebut tidak 36 Lihat Safeguard IAEA dan pengembangan penerapannya dalam pemanfaatan nuklir untuk damai (bagian 1) http://www.infonuklir.com/keamanan_keselamatan/non_proliferation/, 18 Februari 2011. 20 menjalankan apa saja untuk segala macam tujuan militer. Usulan ini membantu dalam pembentukan Statuta IAEA yang disetujui oleh 81 negara dengan suara bulat pada bulan Oktober 1956 yang mana Statuta tersebut menguraikan adanya tiga pilar kerja dari badan verifikasi nuklir yaitu keamanan, keselamatan dan transfer teknologi nuklir. Selanjutnya pada tahun 1957 di Sidang Umum PBB, Eisenhower mencanangkan pemanfaatan nuklir untuk maksud damai yang dikenal dengan istilah Atom for Peace37. Tahun 1961 dibukanya Laboratorium International Atomic Energy Agency (IAEA) di Seibersdorf, Austria dengan tujuan untuk menciptakan saluran penelitian nuklir global. International Atomic Energy Agency (IAEA) menandatangani perjanjian trilateral dengan Monako dan Lembaga Oseanografi yang dipimpin oleh Jacques Cousteau untuk penelitian tentang efek radioaktivitas di laut, suatu tindakan yang akhirnya mengarah pada penciptaan Laboratorium Lingkungan Laut International Atomic Energy Agency (IAEA). Usulan Eisenhower memimpin penciptaan dari International Atomic Energy Agency (IAEA) dan membantu untuk membentuk kerjasama internasional dalam penggunaan energi nuklir sipil selesai sampai tahun 197838. Di tahun 1967 dibentuk suatu perjanjian nuklir antara negara-negara di Amerika Latin yang diberi nama Treaty for the Prohibition of Nuclear Weapons in Latin America atau lebih dikenal dengan nama Tlatelolco Treaty. Sebagaimana halnya Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), Tlatelolco Treaty mengharuskan 37 David Fischer, History of the International Atomic Energy Agency: the First Forty Years, IAEA Publisher, Vienna, 1997. Hlm. 9 38 http://www.iaea.org/about/history.html, 19 Februari 2011 21 anggota-anggotanya untuk menandatangani Safeguards Agreements dengan International Atomic Energy Agency (IAEA). Begitu juga dengan Treaty of Bangkok (untuk kawasan Asia Tenggara). Traktat Zona bebas senjata nuklir di Pasifik Selatan (Treaty of Rarotonga) dan the Treaty of Pelindaba (untuk Afrika)39. Tahun 1970 menunjukkan bahwa Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) akan diterima oleh hampir semua negara-negara industri dan oleh sebagian besar negara-negara berkembang. Pada saat yang sama, prospek tenaga nuklir meningkat secara dramatis. Teknologi ini telah jatuh tempo dan tersedia secara komersial, dan krisis minyak tahun 1973 meningkatkan daya tarik opsi energi nuklir. Fungsi International Atomic Energy Agency (IAEA) menjadi jelas lebih penting pada proses berlangsungnya program pengembangan tenaga nuklir untuk tujuan damai dan segera mendapat perhatian utama dan antusias dari seluruh dunia yang berlangsung hampir selama dua dekade. Pada awal 1980-an, permintaan baru pembangkit listrik tenaga nuklir telah menurun tajam di kebanyakan negara Barat, dan menyusut hingga hampir nol di negara-negara setelah kecelakaan Chernobyl 198640. Tahun 1988 Organisasi Pangan dan Pertanian PBB serta International Atomic Energy Agency (IAEA) bergabung dengan instansi lain untuk membasmi 39 40 http://www.infonuklir.com/readmore/keamanan_keselamatan/non_proliferation/,20februari 2011 http://www.iaea.org/About/history.html, 21 februari 2011 22 menyebar penyakit ternak mematikan. Teknologi radiasi yang berbasis untuk membasmi cacing ini dikembangkan di Laboratorium Badan Seibersdorf41. Pada awal 1990, akhir Perang Dingin dan akibatnya peningkatan dalam keamanan internasional hampir menghilangkan bahaya konflik nuklir global. kepatuhan luas untuk perjanjian regional menekankan status bebas senjata nuklir di wilayah Amerika Latin, Afrika dan Asia Tenggara, serta Pasifik Selatan. Hingga pada tahun 1995, Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yang dibuat permanen tersebut di tahun berikutnya yaitu pada tahun 1996 perjanjian larangan uji komprehensif oleh Majelis Umum PBB disetujui dan terbuka untuk penandatanganan. Sedangkan kegiatan nuklir militer yang berada di luar lingkup aturan International Atomic Energy Agency (IAEA) itu sekarang yang diterima akan menangani beberapa masalah yang diwariskan oleh perlombaan senjata nuklir, verifikasi penggunaan damai atau penyimpanan bahan nuklir dari senjata dibongkar dan surplus militer stok bahan fisil untuk menentukan risiko yang ditimbulkan oleh limbah nuklir dari kapal perang nuklir yang dibuang di Kutub Utara, dan verifikasi keselamatan bekas lokasi pengujian nuklir di Asia Tengah dan Pasifik.42 Pada Final Dokumen tahun 2000, Negara-negara peserta menegaskan bahwa perlindungan International Atomic Energy Agency (IAEA) adalah rezim non-proliferation nuclear yang memainkan pilar fundamental hingga diperlukan peran dalam pelaksanaan perjanjian dan membantu untuk menciptakan 41 David Fischer, loc.cit. Hlm. 9 42 http://www.iaea.org/About/history.html, 21 februari 2011 23 lingkungan yang kondusif untuk perlucutan senjata nuklir dan kerjasama nuklir dalam beberapa tahun terakhir, pekerjaan International Atomic Energy Agency (IAEA) telah difokuskan kepada beberapa dimensi tambahan yang cukup mendesak diantaranya adalah terhadap ancaman terorisme nuklir, fokus dari rencana tindakan baru multi-faceted43. B. International Atomic Energy Agency (IAEA) Sebagai Subyek Hukum Internasional Organisasi yang dalam bahasa Yunani yaitu ὄργανον (organon atau Alat) adalah suatu kelompok orang yang ada di dalam suatu wadah yang memiliki suatu tujuan bersama. Sedangkan di dalam kajian mengenai organisasi sering disebut studi organisasi (organizational studies), perilaku organisasi (organizational behaviour), atau analisa organisasi (organization analysis). Stephen P. Robbins menyatakan bahwa44: “Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relative dan terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan”. Selain organisasi yang di maksudkan di atas yang terdiri dari kelompok orang yang ada di dalam suatu wadah yang memiliki tujuan yang sama, terdapat organisasi yang keanggotaannya terdiri atas negara-negara yang di dalamnya memiliki tujuan bersama yang di sebut sebagai organisasi internasional45. 43 44 45 http://www.iaea.org/About/history.html, 24 februari 2011 Stephen P.Robbins, Teori Organisasi Struktur, Desain, dan Aplikasi, Arcan, Jakarta, 1994, hlm.4 http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi, 09 Desember 2010 24 Istilah organisasi internasional menurut J.G Starke di kenal dengan kata “lembaga internasional”, yang artinya yaitu 46: “kata “lembaga” digunakan dalam arti yang luas sebagai “Nomen Generalissimum” (nama umum) bagi timbulnya berbagai asosiasi negara dalam perusahaan-perusahaan umum”. Menurut Teuku May Rudy, Organisasi internasional di definisikan sebagai berikut47 : “Pola kerjasama yang melintasi batas-batas negara dengan didasari struktur organisasi yang sejelas dan lengkap serta diharapkan atau di proyeksikan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antara pemerintah dengan pemerintah maupun antara sesama kelompok nonpemerintah pada negara yang berbeda”. Pengertian organisasi internasional diatas merupakan pengertian organisasi internasional yang didasari oleh struktur yang menunjang fungsi dan tujuan organisasi internasional dan tidak hanya menyangkut akan organisasi antara pemerintah dengan pemerintah namun juga organisasi antar sesama kelompok non-pemerintah antar negara. Sedangkan pengertian lain tentang organisasi internasional menurut Boer Mauna adalah48 : “Himpunan negara-negara yang terikat dalam suatu perjanjian internasional yang dilengkapi dengan suatu anggaran dasar dan organorgan bersama serta mempunyai suatu personalitas yuridik yang berbeda dari yang dimiliki oleh negara-negara anggotanya”. 46 47 48 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasionl 2, Aksara Persada Indonesia, Jakarta. 1989. Hlm.289 Teuku May Rudy, Administrasi dan Organisasi Internasional, PT. Eresco, Bandung,1993. hlm.3 Boer Mauna, op,cit., hlm.463 25 Pengertian dari Boer Mauna pada dasarnya lebih menekankan kepada adanya keterikatan negara-negara kedalam organisasi internasional melalui perjanjian internasional yang dilengkapi dengan anggaran dasar dan organ-organ bersama, dan yang lebih penting pengertian ini memasukan personalitas yuridik dan membedakan personalitas tersebut dengan personalitas negara anggota. Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional dalam Pasal 2 ayat (1) huruf (i), mengartikan organisasi internasional sebagai berikut : “International Organization” means an intergovernmental organization” “Organisasi Internasional adalah suatu organisasi antar pemerintahan” Pasal 2 Ayat (1) Huruf (i) Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasioal tersebut memberikan suatu definisi yang cukup sempit karena hanya membatasi diri pada hubungan antar pemerintah. Definisi ini juga tidak memberikan penjelasaan mengenai syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh suatu organisasi untuk dapt dinamakan organisasi internasional dalam arti kata yang sebenarnya49. Merujuk Pengertian atas Organisasi internasional tersebut di atas pada dasarnya tidak dapat ditetapkan unsur-unsur dari suatu organisasi internasional, hal ini dikarena terlalu luasnya pengertian tersebut sehingga dapat masuk kedalam segala unsur. Sedangkan unsur-unsur suatu organisasi internasional dapat di lihat dari beberapa hal, menurut Teuku May Rudy unsur-unsur tersebut antara lain50: 1. Kerjasama yang ruang lingkupnya melintasi batas negara; 2. Mencapai tujuan bersama yang disepakati; 49 Boer Mauna, loc,cit., hlm.462 50 Teuku May Rudy, loc,cit, hlm.3-4 26 3. Dilakukan baik antara pemerintah maupun non-pemerintah; 4. Struktur organisasi yang jelas dan lengkap; 5. Melaksanakan fungsi secara berkesinambungan. Pentingnya memasukan unsur dari pengertian organisasi yaitu untuk menetapkan ruang lingkup dari kewenangan organisasi internasional serta menentukan fungsinya sebagai subyek hukum internasional dan membedakannya dari subyek hukum internasional yang lain. Pengertian atas subyek hukum dari suatu sistem hukum dapat diartikan sebagaimana bahwa semua yang menurut ketentuan hukum diakui mempunyai kemampuan untuk bertindak. Didalam hukum internasional, subyek-subyek tersebut termasuk negara, organisasi internasional dan kesatuan-kesatuan lainnya51. Benih-benih Organisasi Internasional termasuk gagasan-gagasan pemikirannya sudah mulai tumbuh sejak zaman yunani kuno, yaitu ketika mulai berkembangnya sistem negara-kota di Yunani Kuno (Acient Greece)52. Model pertama dari organisasi internasional adalah munculnya Liga Amphictyonic (Amphictyonic League) yang di buat antar negara-negara kota, walaupun tujuan ke 12 negara-kota dan wilayah kesukuan yang menjadi anggotanya bersifat keagamaan yaitu mempertahankan tempat Suci Delphi53. Namun pada pertengahan abad ke-17 perkembangan organisasi internasional tidak saja di wujudkan dalam berbagai konferensi internasional yang kemudian melahirkan 51 Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus………op,cit. hlm 45 52 Teuku May Rudy, loc,cit. hlm.12-13 53 ibid. hlm.14 27 persetujuan-persetujuan, tetapi lebih dari itu telah melembaga dalam berbagai variasi dari Komisi (Commission), Sarekat (Union), Dewan (Council), Liga (League), Persekutuan (Association), Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations), Persemakmuran (Commonwealth), Masyarakat (Community), Kerjasama (Coorperation), dan lain-lain54. Pemikiran-pemikiran kearah pembentukan organisasi kerjasama regional dan internasional mulai tumbuh setelah perjanjian perdamaian Westphalia (1648) yang cukup dikenal sebagai awal pengakuan terhadap sistem negara bangsa dan sistem perimbangan, kemudian sampai kepada Konferensi Den Haag (Hague Confrence) 1899 dan 1907, perjanjian di Versailles (1919) yang diejawantahkan kedalam pembentukan Liga Bangsa-Bangsa dan perjanjian San Fransisco (1945) yang membentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa55. Organisasi internasional yang ruang lingkupnya mendunia (Global) mulai berkembangan pada abad ke XX56. Organisasi internasional pun sering diidentikan dengan sudut pandang Government-Oriented karena dalam melakukan hubungan internasional yang berperan aktif adalah aktor negara yang dalam hal ini merupakan perwakilan resmi dari sebuah negara. Faktor yang diasosiasikan dengan kebanyakan organisasi internasional terdiri dari pertemuan paripurna dari keseluruhan anggota (biasa disebut majelis atau konferensi), sebuah pertemuan secara teratur oleh segelintir anggota (biasanya berkaitan dengan Power pada 54 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1990. hlm.2 55 Teuku May Rudy, loc,cit. hlm.12-13 56 Ibid. 28 organisasi tersebut), dan sebuah sekretariat permanen untuk mendukung kegiatan administratif organisasi internasional tersebut57. Organisasi internasional memiliki arti ganda, yakni dalam arti luas dan sempit. Organisasi Internasional dalam pengertian yang luas adalah bentuk kerjasama antar pihak-pihak yang bersifat internasional. organisasi Internasional disini adalah organisasi internasional publik yang anggota-anggotannya terdiri Negara-negara, karena itu disebut juga organisasi antar pemerintah (InterGovermental Organization), sedangkan organisasi internasional yang dalam arti yang sempit maksudnya adalah organisasi yang hubungannya melintasi batas negara dimana keanggotaannya khusus diwakili oleh komponen tertentu dari suatu negara58. Sebagaimana subyek hukum lainya, organisasi internasional pun memiliki ciri-ciri. Menurut Leroy Bennet ciri-ciri dari organisasi internasional adalah sebagai sebagai berikut 59: 1) 2) 3) 4) 5) A permanent organization to carry on a continuing set of function; Voluntary membership of eligible parties; Basic instrument stating goals, structure, and methods of operation; A broadly representative consultative conference organ; Permanent secretariat to carry on continuous administrative, research, and information functions. 1) Suatu organisasi permanen untuk melakukan suatu fungsi secara terus menerus; 2) Keanggotaan Sukarela pihak yang memenuhi syarat; 57 Adita Bella Lastania, Definisi Organisasi Internasional Menurut Clive Archer, www.google.com/14 November 2010/ Definisi-Organisasi-Internasional-Clive Archer/. 58 http://petikdua.wordpress.com/definisi-dan-analisis-definisi-organisasi-kerjasama-internasional/ 11 november 2009/ . 59 A.Leroy Bennet, International Organization, (New Jersey; Prentice-Hall, iNc, 1979), hlm.3 disadur dari buku Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi ….op.cit. hlm.14 29 3) Dasar instrumen yang menyatakan tujuan, struktur, dan metode operasi; 4) Suatu organ konferensi konsultatif perwakilan secara luas; 5) Sekretariat Tetap untuk melakukan penelitian secara terus menerus, administratif, dan fungsi informasi. Legislasi internasional pada hakekatnya merupakan proses perkembangan organisasi internasional dalam menghimpun peraturan-peraturan internasional yang terkait dengan bidang dari organisasi tersebut. Fungsi legislatif pun dalam suatu sistem organisasi internasional terkait masalah pelaksanaan keputusankeputusan yang mengikat secara hukum terhadap keputusan keputusan yang dikeluarkan oleh organisasi internasional tersebut yang di kaitkan dengan sangsi, sedangkan organisasi internasional itu sendiri bukan sebagai badan yang mempunyai wewenang supra-nasional60. Adapun menurut taraf kewenangannya (kekuasaan) organisasi internasional terdiri atas61 : 1. Organisasi Supra-Nasional (Supra-National Organization). Kedudukan dan kewenangan organisasi internasional berada diatas Negara-negara anggota, namun bentuk “Supra-National Organization” belum pernah terrealisasikan dalam sejarah dunia modern. Hal ini dikarenakan di dunia saat ini menganut pola banyak negara (MultiState System), masing-masing berdaulat dan sederajat satu sama lain. 2. Organisasi Kerja-Sama (Co-Operative Organization). Kedudukan dan kewenangan organisasi internasional tidaklah lebih tinggi dibandingkan negara-negara anggotanya dan organisasi adalah wadah kerjasama berdasarkan kesepakatan anggota. Kedudukan dan Kewenangan dari organisasi internasional tersebut diatas harus dimiliki oleh organisasi internasional, hal ini dikarenakan agar adanya pembedaan terhadap kedudukan dan kewenangan dari organisasi internasional dengan 60 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi……loc.cit, hlm.4-5 61 Teuku May Rudy, loc,cit. hlm.7 30 Negara-negara anggotanya yang merupakan sebagai suatu wadah kerjasama dibidang tertentu. Struktur organisasi internasional menentukan pembagian kerja dalam kesatuan kerja sama untuk mecapai tujuan organisasi internasional. Pembagian kerja itu setidak-tidaknya terdiri dari organ-organ yang menetapkan kebijakan dan organ yang melaksanakan kebijakan. Pembagian yang dimaksud menentukan tugas dan wewenang organ tersebut62. Dilengkapinya organisasi internasional dengan organ-organ permanen, wewenang dan sasaran tertentu tidak jarang dapat menimbulkan terjadinya fenomena Retroaksi yaitu organisasi-organisasi internasional, karena status yuridiknya yang otonom dapat mempengaruhi sikap negara-negara anggotanya atau dengan kata lain dapat memaksa negara-negara anggotanya63. Selain dilengkapi dengan organ-organ permanen, wewenang dan sasaran tertentu yang dapat mempengaruhi atau memaksa negara-negara anggotanya terdapat pula fungsi dari organisasi internasional. adapun Fungsi dari organisasi internasional terbagi menjadi tiga yaitu64 : 1. Organisasi Politikal (Political Organization), yaitu organisasi yang dalam kegiatannya menyangkut masalah-masalah politik dalam hubungan internasional dan merupakan organisasi yang bersifat politik jika ada sangkut paut (sekecil apapun) dengan masalah perdamaian dan keamanan. 2. Organisasi Administratif (Administrative Organization), yaitu organisasi yang sepenuhnya hanya melaksanakan kegiatan teknis secara administratif. 62 Sugeng Istanto, loc.cit, hlm.172-173 63 Boer Mauna, loc,cit., hlm.464 64 Teuku May Rudy, op.cit. hlm.8-9 31 3. Organisasi Peradilan (Judicial Organization), yaitu organisasi yang menyangkut penyelesaian sengketa pada berbagai bidang atau aspek (politik, ekonomi, sosial, hukum dan budaya) menurut prosedur hukum dan melalui proses peradilan (sesuai dengan ketentuan internasional dan perjanjian-perjanjian internasional). Hubungan antara negara dalam kerangka organisasi internasional pada prinsipnya adalah untuk lebih terjaminnya pencapaian kepentingan masingmasing negara ataupun warga negara dari negara-negara yang tergabung dalam organisasi internasional, agar kepentingan itu tidak terganggu bahkan lebih jauh lagi demi tercapainya tujuan bersama secara efisien dan efektif dari negaranegara yang tergabung kedalam suatu organisasi internasional65. Proses administratif dan tata hukum Organisasi internasional tidak sama dengan masyarakat atau satuan-satuan secara nasional. Organisasi internasional terdiri dari keanggotaan negara-negara, tetapi secara hukum tidak dibenarkan untuk mengunakan personalitas hukum negara-negara anggotanya. International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai subyek hukum internasional perlu mempunyai keabsahan sebagai satuan tersendiri, bukan sekedar mengatasnamakan negara-negara anggotanya66. Personalitas dari suatu subyek hukum organisasi internasional adalah tindakan dalam kapasitasnya sebagai organisasi internasional, untuk melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan ketentuan yang termuat didalam instrument pokok yang dimiliki oleh organisasi internasional tersebut67. 65 Ibid, hlm.48 66 Ibid. hlm.22 67 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi……loc.cit, hlm.12 32 Pembentukan Organisasi Internasional pada waktu merumuskan piagam di dalam Konferensi Internasional di San Fransisco pada bulan April 1945 tidak secara khusus di cantumkan masalah personalitas hukum68. Personalitas hukum secara khusus termuat di dalam Charter Of The United Nation Pasal 10469, yaitu : “the organization shall enjoy in the territory of each or its members such legal capacity as may be necessary for exercise of its functions and the fulfilment of its purpose”. "Organisasi harus menikmati di wilayah masing-masing kapasitas hukum anggotanya tersebut yang mungkin diperlukan untuk pelaksanaan fungsi dan memenuhi tujuannya" Pada dasarnya tidak semua organisasi internasional memiliki personalitas hukum atau tidak lebih cenderung di ukur berdasarkan kriteria objektif. Schermers berpendapat bahwa untuk dapat memiliki personalitas hukum maka suatu organisasi internasional harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut 70: 1. Dibentuk oleh suatu perjanjian internasional; 2. Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya; 3. Diatur oleh hukum internasional publik. Personalitas hukum International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai subyek hukum internasional terpisah dari personalitas hukum masing-masing 68 Ibid, hlm.112 69 Dari pasal 104 Charter Of The United Nation, personalitas hukum organisasi internasional dibagi menjadi dua pengertian yaitu personalitas hukum dalam kaitannya dengan hukum negara dimana negara itu menjadi tuan rumah atau markas besar Organisasi Internasional dan personalitas hukum dalam kaitannya dengan negara-negara atau subyek hukum internasional….ibid. hlm.113 70 Lihat H.G Schermers, International Institutional Law, Sijthoff, Leyden, 1980, p.12-23. Disadur dari buku Boer Mauna, loc,cit., hlm.475 33 negara anggotanya, Terdapat syarat-syarat bagi suatu organisasi internasional untuk memiliki personalitas hukum sendiri, yaitu71: 1. Merupakan himpunan (keanggotaan) negara-negara, yang bersifat tetap (permanent), serta dilengkapi dengan struktur organisasi yang lengkap. Dengan kata lain, bukan sekedar komite Ad-Hoc yang biasannya berfungsi sementara atau jangka-waktu tertentu; 2. Memiliki perbedaan dalam hal kewenangan hukum dan tujuan organisasi antara organisasi itu dengan negara anggotanya; Adanya kewenangan hukum organisasi itu yang dapat diterima (oleh pihak lain) serta diterapkan dalam melaksanakan kegiatan pada ruanglingkup internasional, bukan sekedar kegiatan di dalam ruang lingkup nasional salah satu atau masing-masing negara anggotanya. Dengan kata lain, diakui sebagai suatu kesatuan tersendiri (bukan sekedar pengelompokan beberapa negara) dalam transaksi atau hubungan dengan pihak lain. Selain Syarat-syarat personalitas hukum secara umum di atas maka personalitas hukum yang menyangkut dengan hal-hal yang lebih khusus harus di lengkapi oleh72: 1. Kemampuan mengadakan perjanjian (The Treaty-Making Power); 2. Adanya hak dan kewenangan secara hukum untuk memiliki asset-asset berupa barang, modal, bangunan, peralatan (milik organisasi), serta status khusus bagi personalia yang diberi kepercayaan atau amanat (diakreditasi) atas nama organisasi; 3. Kemampuan mengajukan tuntutan (claim) terhadap negara anggota dan juga negara bukan anggota, jika terhadap hal yang merugikan organisasi internasional; 4. “Locus Standi” untuk mengajukan perkara kepengadilan internasional dan berdasarkan jurisdiksi internasional; 5. Adanya perlindungan fungsional terhadap staf dan personalia; 6. Hak organisasi yang disertai pengakuan atau penerimaan oleh negara atau organisasi lain untuk mengirim perwakilan menghadiri berbagai konferensi internasional yang berkenaan. 71 Teuku May Rudy, loc,cit. hlm.23. 72 Ibid. 34 Batasan personalitas hukum yang tekait dengan Judicial Personality dalam General Convention On The Privileges And Immunities Of The United Nations Pasal 1 Ayat 1 yaitu antara lain 73: “The United Nations shall possess juridical personality. It shall have the capacity : a) To contract; b) To acquire and dispose of immovable property; c) To institute legal proceedings. "Perserikatan Bangsa-bangsa akan memiliki kepribadian yuridis. Ini harus mempunyai kapasitas sebagai berikut: a) Untuk kontrak; b) Untuk memperoleh dan memberikan hak milik yang tidak dapat dipindahkan; c) Untuk menjalankan proses hukum Berbeda dari negara, personalitas hukum organisasi internasional sebagai subyek hukum internasional dibatasi oleh prinsip specialitas, yang artinya bahwa suatu organisasi internasional hanya dapat melaksanakan kapasitas yuridik yang dimilikinya dalam batas-batas dan untuk tujuan yang telah ditetapkan oleh piagam konstitutif organisasi internasional. Untuk itu maka, personalitas hukum yang dimiliki oleh organisasi internasional adalah bersifat fungsional74. Walaupun personalitas hukum bagi International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional tidak di cantumkan dalam instrument pokok namun sebagai subyek hukum internasional, International Atomic Energy Agency (IAEA) tidak perlu akan kehilangan personalitas hukum-nya, karena 73 Resolusi Majelis Umum PBB 22A, (1) tanggal 13 februari 1946. Lihat juga Resolusi Majelis Umum PBB yang (II) tanggal 12 novemver 1947 mengenai Convention On The Privilage And Immunities of Specialized Agencies, pasal 2 ayat 3 mengenai Personalitas Yurisdiksi dari badanbadan khusus PBB. Disadur dari buku Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi……op.cit.hlm.112 74 Boer Mauna, loc,cit, hlm.480 35 sebagai organisasi internasional, International Atomic Energy Agency (IAEA) akan mempunyai kapasitas untuk melakukan prestasi hukum sesuai dengan aturan dan prinsip hukum internasional75. Organisasi internasional yang memiliki personalitas hukum akan mempunyai kapasitas hukum untuk melakukan prestasi hukum sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional dan dapat mengembangkan serta memperluas fungsinya dalam rangka mencapai tujuantujuan utamannya76. Personalitas hukum internasional memungkinkan suatu organisasi internasional mengajukan gugatan hukum, dan sebaliknya juga diberi tanggung jawab bagi perbuatan yang menyalahi hukum. Sebagaimana Doctrine Of Implied Power yang dimana menyatakan bahwa kemampuan yang terkandung dalam personalitas hukum internasional dalam melakukan perbuatan hukum dinyatakan secara tegas atau implisit sehingga memungkinkan organisasi itu melaksanakan fungsi-fungsinya secara efektif77. Pembahasan mengenai International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai subyek hukum internasional tidak terlepas pula dari aspek-aspek hukum organisasi internasional, aspek-aspek tersebut seperti misalnya aspek filosofis, aspek administratif dan aspek hukum dari organisasi internasional itu sendiri. aspek filosofis menyangkut nilai-nilai historis, memperbandingkan tema-tema pokok perdamaian dari organisasi internasional serta tema-tema lainnya yang 75 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi……loc.cit, hlm.112 76 Setyo Widagdo, Masalah-Masalah Hukum Internasional Publik, Bayumedia Publisher, Malang, 2008. Hlm.178 77 Ibid, hlm.181 36 dianut dan falsafah yang mendasari organisasi internasional. aspek administratif lebih banyak menentukan tingkat personalitas dan kapasitas organisasi internasional. Sedangkan dilihat dari aspek hukumnya organisasi internasional lebih menitik beratkan pada masalah-masalah konstitusional dan prosedural seperti misalnya wewenang dan pembatasan-pembatasan (restrictions) baik terhadap organisasi internasional itu sendiri maupun anggotanya sebagaimana termuat di dalam ketentuan-ketentuan instrumen dasar organisasi internasional, termasuk perkembangan organisasi internasional secara praktis78. International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai kehendak bersama negara-negara merupakan subyek hukum internasional buatan. Didalam hukum internasional subyek-subyek tersebut termasuk negara, organisasi internasional dan kesatuan-kesatuan lainnya79. Sebagai subyek hukum internasional International Atomic Energy Agency (IAEA) berkedudukan sebagai badan hukum internasional. Badan hukum internasional ini dapat di artikan sebagai suatu badan yang dapat dibebani hak dan kewajiban serta berkedudukan sebagai subyek internasional publik. Hak dan kewajiban badan hukum internasional dibatasi oleh tugas dari organisasi tersebut80. Struktur hukum dari International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai subyek hukum internasional sangat bervariasi yang kadang sebagian besar bergantung pada suatu unsur kontinuitas yang diwakili oleh suatu sekretaris atau 78 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi……op.cit,hlm.5-11 79 Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus……,loc.cit, hlm 45 80 Sugeng Istanto, loc.cit, hlm. 173 37 biro sekretariat. Ada tiga hal umum yang penting terkait status hukum menurut J.G Starke yaitu81 : 1. Fungsi lembaga-lembaga internasional tertentu diarahkan terutama untuk mengilhami kerjasama antara negara-negara, yakni yang disebut aktivitas-aktivitas “promosional”, dan hanya pada tingkatan kedua untuk melaksanakan secara langsung suatu kewajiban penting, yakni yang disebut aktvitas-aktivitas “operasional”. 2. Dalam segi operasional lembaga internasional berkuasa hanya untuk mengusut (menginvestigasi) atau merekomendasikan bukan membuat keputusan-keputusan yang mengikat. 3. Pada umumnya lembaga-lembaga internasional dilepaskan dari suatu konferensi internasional, dalam arti bahwa suatu keputusan organik akhirnya bergantung pada keputusan mayoritas negara-negara anggota. Organisai internasional sebagai subyek hukum dapat mempunyai hubungan bukan hanya diantara organisai internasional itu sendiri, tetapi juga dengan subyek-subyek hukum internasional lainnya, termasuk negara. Terdapat dua macam hubungan yang dapat menimbulkan pembentukan peraturan hukum internasional diantara subyek-subyek hukum internasional, yaitu 82: 1. Hubungan antar negara-negara dan organisasi internasional; 2. Hubungan di antara organisasi internasional itu sendiri. Adapun bubarnya International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional dapat dilihat dari beberapa alasan, alasan yang utama ialah karena tugas yang dilaksanakanya sudah selesai dan karena tugasnya diambil alih oleh organisasi internasional lain. Pembubaran pun dapat di tetapkan berdasarkan ketentuan anggaran dasarnya, keputusan rapat anggotanya, perjanjian internasional dengan organisasi internasional lain atau kemacetan 81 J.G Starke, op.cit, Hlm.290 82 Ibid. hlm.291 38 organisasi internasional tersebut83. Sedangkan menurut J.G Starke Suatu organisasi internasional dapat bubar di karenakan beberapa hal yaitu antra lain84: 1. Jika diciptakan hanya untuk jangka waktu terbatas, setelah jangka waktu tersebut habis; 2. Jika bersifat peralihan, setelah situasi tersebut lewat atau setelah tujuan tercapai, untuk mana organisasi tersebut didirikan; 3. Oleh keputusan para anggota, secara eksplisit atau implisit. Keputusan tersebut tidak harus berdasarkan suara bulat, tetapi sudah cukup berdasarkan suara mayoritas termasuk suara negara-negara besar. Kedudukan International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai subyek hukum internasional tidak dapat di ragukan lagi untuk saat ini, meskipun pada awalnya belum ada kepastian mengenai hal ini. Meski struktur dan pekerjaan International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional mencakupi kegiatan-kegitannya secara materil, namun tetap memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum internasional sampai saat ini melalui kesepakatan-kesepakatan yang di buatnya. C. Pembentukan Perjanjian Internasional Oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) Cepatnya perkembangan masyarakat internasional telah semakin meningkatkan perjanjian-perjanjian internasional sebagai sumber hukum utama dari hukum internasional umum. Perjanjian-perjanjian yang di sepakati bersama yang dirumuskan dalam perjanjian internasional merupakan sebagai suatu sumber hukum untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subyek hukum internasional lainnya di dunia. Bentuk persetujuan bersama yang dirumuskan dalam sebuah 83 Sugeng Istanto, op.cit, hlm.172-173 84 J.G Starke, loc.cit. Hlm.314-315 39 perjanjian internasional tersebut merupakan sumber hukum untuk mengatur kegiatan Negara-negara atau subyek hukum internasional lainnya di dunia85. Sumber hukum dapat pula dipakai sebagai arti dasar berlakunya hukum itu sendiri. sumber hukum merupakan sebagai sesuatu yang menimbulkan aturan yang mengikat dan memaksa sehingga apabila aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya86. Sedangkan menurut Hans Kelsen, menyangkut arti dari sumber hukum itu sendiri menyatakan bahwa87 : “Istilah sumber hukum digunakan bukan hanya untuk menyebut metodemetode pembentukan hukum, tetapi juga digunakan untuk mengkarakterisasi landasan bagi validitas hukum”. Sebagaimana mana hukum pada umumnya, dalam hukum internasional mengenal sumber hukum formil dan sumber hukum materil. Sumber hukum formil diartikan sebagai sumber hukum yang memberikan kekuatan hukum pada suatu peraturan tertentu, sedangkan sumber hukum materil diartikan dalam pengertian dari mana subtansi hukum diambil88. Sedangkan menurut J.G Starke, sumber hukum materil dari hukum internasional dapat didefinisikan sebagai berikut 89: “Bahan-bahan aktual yang digunakan oleh para ahli hukum internasional untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi suatu peristiwa atau situasi tertentu”. 85 G.J.H Van Hoof, op.cit, hlm.40 86 Ishaq, op.cit, hlm.91 87 Hans Kelsen, op.cit,hlm.133 88 G.J.H Van Hoof, loc.cit, hlm.418 89 Boer Mauna, loc.cit., hlm.8 40 Sedangkan menurut Mochtar Kusumaadmatja, Sumber hukum internasional adakalanya diartikan lain yaitu sebagai sumber hukum dalam arti yang ketiga. Sumber hukum internasional dalam arti yang ke tiga ini di pahami sebagai90: “Sumber hukum yang meneliti faktor kausal atau penyebab yang turut membantu dalam pembentukan kaidah. sumber hukum dalam artian ketiga lebih terletak dalam bidang luar hukum (ekstra yuridis), sebagaimana juga masalah sumber hukum materil merupakan sumber hukum ekstra yuridis yakni pada hakekatnya merupakan persoalan falsafah”. Terhadap adanya sumber hukum internasional tersebut di atas maka doktrin sumber hukum internasional berfungsi didalam menyiratkan suatu pendekatan yaitu pendekatan Hardlaw dan Softlaw. Pendekatan Hardlaw adalah pendekatan yang dapat ditinjau pada penerapan dari subtansi materil perjanjian internasional itu sendiri. Seperti implementasi dari perjanjian internasional di bidang pengembangan tenaga nuklir untuk tujuan damai yaitu Nuclear NonProliferation Treaty (NPT) terhadap negara-negara peserta yang terikat dalam perjanjian tersebut. Sedangkan Pendekatan Softlaw adalah merupakan suatu sumbangan yang cukup besar terhadap doktrin hukum internasional yang secara hukum tidak mengikat. Pendekatan Softlaw sebagaimana menurut Mcnair yang menyatakan bahwa91 : “Softlaw mencoba menggambarkan implikasi-implikasi hukum dari instrumen-instrumen yang secara hukum tidak mengikat, terutama juga mengenai hubungannya dengan peraturan-peraturan hukum yang mapan (full fledged legal rules).” 90 Mochtar Kusumaadmatja, loc.cit, hlm 115 91 G.J.H Van Hoof, loc.cit, hlm.384 41 Pendekatan Softlaw dapat di lihat dari resolusi-resolusi yang di keluarkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang menyangkut dengan pelanggaran penggunaan nuklir untuk tujuan damai seperti Resolusi 1747 yang merupakan perluasan dari Resolusi 1737 yang berisi agar dalam 60 hari Negara yang dinyatakan telah melanggar Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) harus dapat menghentikan program nuklirnya92. Urutan penyebutan sumber hukum tidak menggambarkan urutan pentingnya masing-masing sumber hukum itu sebagai sumber hukum formal, hal ini dikarenakan tidak diaturnya urutan di dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, namun satu-satunya klasifikasi yang dapat di buat menurut Mochtar Kusumaadmatja bahwa sumber hukum formal di bagi dua golongan yaitu93 : 1. Sumber hukum utama atau primer yang meliputi ketiga golongan sumber hukum yang tersebut terdahulu; 2. Sumber hukum tambahan atau subsidier yaitu keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran sarjana hukum yang paling terkemuka dari berbagai negara. Hukum internasional sebagai sebagai fondasi hubungan antar Negara mengikuti perkembangan, internasional juga ikut lahirnya faktor-faktor mempengaruhi baru sendi-sendi dalam hukum hubungan internasional tradisional, antara lain di tandai dengan94: 92 Resolusi 1737 dan 1747 adalah resolusi yang dikeluarkan bagi negara Iran yang merupakan anggota dari International Atomic Energy Agency (IAEA) oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) lihat Rumadi, Iran Pasca Resolusi DK PBB, KOMPAS, 30 april 2007. 93 Mochtar Kusumaadmatja, loc.cit, hlm 116 94 Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian International: Kajian Teori dan Praktek Indonesia, Rafika Aditama, Bandung, 2009. Hlm.2 42 1. Subjek hukum yang diakui oleh hukum internasional tidak lagi hanya Negara, melainkan juga organisasi-organisasi internasional; 2. Hukum internasional tidak lagi mengatur tingkah laku suatu Negara terhadap Negara lain, melainkan juga mengatur perbuatan Negara terhadap dirinya sendiri. 3. Negara tidak lagi memiliki kedaulatan hukum karena hukum internasional telah menempatkan diri sebagai rujukan bagi hukum nasional dalam pengertian bahwa hukum nasional harus compatible dengan hukum internasional. Perubahan tersebut diatas merupakan merupakan perubahan yang berdasarkan dengan karakter pergaulan internasional yang semakin tidak mengenal batas-batas wilayah Negara serta berpeluang untuk melahirkan perkaraperkara hukum yang bersifat lintas Negara. Perjanjian internasional merupakan instrument pokok yang harus dimiliki oleh organisasi internasional dan memerlukan ratifikasi dari semua anggotanya. Instrumen pokok ini dapat berupa piagam, covenant, final act, treaty, statute, deklarasi, constitution dan lain-lain95. Persetujuan di antara negara-negara, setiap jenis instrument atau dokumen, atau pembicaraan lisan sekalipun melibatkan perbuatan yang dilakukan oleh negara-negara dapat merupakan suatu traktat. Istilah traktat “treaty” sudah merupakan istilah umum (nomen generalissimum) dalam hukum internasional, dan bisa berarti persetujuan diantara organisasi-organisasi internasional saja (interse), atau diantara suatu organisasi internasional di satu pihak dan suatu negara atau beberapa negara di pihak lain96. 95 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi……op.cit.hlm.12 96 J.G Starke, loc.cit. hlm.118 43 Pembentukan Perjanjian internasional (bahasa Inggris-nya disebut dengan “treaties” dan dalam bahasa Prancis disebut dengan “traiter” yang berarti ”perundingan”) dimaksudkan sebagai instrumen hukum internasional yang mempunyai sifat mengikat bagi negara-negara yang menjadi peserta perjanjanjian. Instrumen hukum internasional semacam itu mencerminkan adanya suatu sifat kontraktual antara Negara atau antar Negara dengan organisasi internasional yang menciptakan hak dan kewajiban secara hukum diantara para pihak yang mengadakan persetujuan mengenai masalah-masalah yang di maksudkan di dalam perjanjian tersebut97. Perjanjian internasional memiliki beberapa macam nama, beberapa diantaranya menunjukan perbedaan prosedur atau derajat formalitas. Selain istilah traktat (treaty) itu sendiri terdapat sejumlah istilah lain seperti : Konvensi (convention), Protokol (protocol), Persetujuan (agreement), Arrangement, Proses Verbal (proces verbal), Statuta (statute), Deklarasi (declaration), Modus Vivendi, Pertukaran Note (exchange of note or of letter), Ketentuan Penutup (final act),dan Ketentuan Umum (general act)98. Sementara itu menurut Ian Browlie, Komisi Hukum Internasional telah memberi konsep definisi “treaty” sebagai berikut99: “Any international agreement in written form, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation (treaty, convention, protocol, covenant, charter, statute, act, declaration, concordat, exchange of note, agreed minute, 97 Sumaryo Suryokusumo, Hukum ….loc.cit, hlm.17 98 J.G Starke, loc.cit. hlm.123 99 Ian Brownlie, Principle of Public International Law, Oxford University Prees, United States, Tahun 2008. Hlm.608-609 44 memorandum of agreement, modus Vivendi or any other appellation), concluded between two or more states or other subject of international law and governed by international law”. “perjanjian internasional yang mana saja dalam bentuk tertulis, apakah mewujudkan dalam satu instrument atau dua atau lebih instrument yang berhubungan dan apapun khusus penunjukan (treaty, convention, protocol, covenant, charter, statute, act, declaration, concordat, exchange of note, agreed minute, memorandum of agreement, modus Vivendi atau panggilan yang lain) menyimpulkan antara dua atau lebih Negara atau subjek hukum internasional yang lain dan pengaturannya oleh hukum internasional. Definisi tersebut diatas merupakan suatu pendefinisian yang umum bagi arti “treaty” itu sendiri, hal ini karena Komisi Hukum Internasional telah memasukan unsur tertulis dalam perjanjian internasional serta dibuat oleh dua Negara atau lebih atau subjek hukum lainnya yang diatur oleh hukum internasional. Menurut standar kerjanya suatu perjanjian, Lord Macnair memberikan definisi “treaty” sebagai berikut100: “a written agreement by which two or more states or international organisations create or intend to create a relation between themselves operating within the sphere of international law”. “persetujuan tertulis yang dibuat oleh dua atau lebih negara atau organisasi internasional yang bermaksud untuk menciptakan hubungan diantara mereka beroperasi di bawah bidang hukum internasional”. Walaupun menurut definisi yang telah diperoleh cukup luas, namun dengan menunjuk kepada hal-hal tertentu maka pengertian tersebut perlu di masukan agar dapat menunjukan kepada hal yang pokok, sangat tepat menganggap bahwa perjanjian berisikan persetujuan hal yang tidak menjalankan inti yang tidak berbelit-belit, perjanjian tersebut hanya mengenai kesepakatan antar negara, hal 100 John O`brien, International Law, Cavendish Publishing Limited, London, 2002.hlm.325-326 45 ini karena bertujuan untuk memulai memisahkan perjanjian mengenai organisasi internasional serta pengertian tersebut harus menunjukan kepada perjanjian yang di atur oleh hukum internasional. Perjanjian internasional sebagai suatu perjanjian antara dua Negara atau lebih yang mana bertujuan untuk mencari hubungan yang di atur oleh hukum internasional. Sedangkan perjanjian Internasional menurut Boer Mauna, diartikan sebagai berikut101: “Semua perjanjian yang dibuat oleh Negara sebagai salah satu subyek hukum internasional yang diatur oleh sumber hukum internasional dan berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum”. Pengaturan atas hubungan yang diatur oleh hukum internasional tersebut terdapat dalam negara sebagai subyek hukum, dalam pengertian perjanjian internasional tersebut Boer Mauna tidak memasukan organisasi internasional sebagai subyek hokum yang memiliki personalitas hukum untuk membentuk perjanjian internasional. Sedangkan adanya sifat kontraktual di dalam Perjanjian Internasional menjadi hal yang perlu di masukan ke dalam perjanjian internasional. Perjanjian internasional Menurut Oppenheim diartikan sebagai berikut102 : “Perjanjian internasional merupakan persetujuan yang bersifat kontraktual antar Negara atau organisasi Negara yang menimbulkan hak dan kewajiban secara hukum bagi para pihak”. Perjanjian internasional dalam pengertian ini lebih menunjukan sifat mengikatnya (kontraktual) suatu perjanjian yang di buat oleh negara-negara yang menimbulkan 101 Boer Mauna, loc.cit, hlm.85 102 Sumaryo Suryokusumo, Hukum perjanjian…..loc.cit,hlm.29 46 hak dan kewajiban bagi negara-negara yang terikat atau mengikatkan diri ke dalam perjanjian secara hukum. Perjanjian Internasional menurut Teuku May Rudy diartikan sebagai berikut103: “perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu". Hal yang dapat kita garis bawahi dari pengertian diatas yaitu kata “anggota masyarakat bangsa-bangsa” yang cakupannya sukup luas dimana pengertian tersebut juga termasuk di dalamnya perjanjian antar negara dan perjanjian antar suatu organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya. Pasal 2 ayat (1) Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional menetapkan pengertian perjanjian internasional, yaitu: ““treaty” means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation;” “Perjanjian” diartikan sebagai suatu persetujuan internasional yang dibuat antar Negara didalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, Apakah itu disusun dalam satu instrumen tunggal, dua atau lebih instrumen yang terkait dan apapun bentuknya yang dibuat secara khusus;” Secara fungsional dilihat dari segi sumber hukum, maka perngertian perjanjian internasional dapat di bedakan kedalam dua golongan yaitu “Treaty Contract” dan “Law Making treaties”. Yang di maksud dengan “Treaty Contract“ adalah perjanjian-perjanjian seperti suatu kontrak atau perjanjian dalam hukum 103 T. May Rudy, Hukum Internasional 1, PT.Rafika Aditama,Bandung, 2006.hlm.4 47 perdata yang mengakibatkan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu saja. Sedangkan “Law Making Treaties” dimaksudkan sebagai perjanjian yang meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan104. Menurut Damos Dumoli Agusman, terdapat beberapa kriteria dasar yang harus dipenuhi oleh suatu dokumen perjanjian untuk dapat ditetapkan sebagai perjanjian internasional, yaitu105 : 1. Perjanjian tersebut harus berkarakter internasional (an international agreement) sehingga tidak termasuk perjanjian-perjanjian yang berskala nasional seperti perjanjian-perjanjian antarnegara bagian atau antara pemerintahan daerah dari suatu Negara nasional; 2. Perjanjian tersebut harus dibuat oleh Negara dan/atau organisasi internasional (by subject of international law), sehingga tidak mengcakup perjanjian yang sekalipun bersifat internasional namun oleh Non-subject hukum internasional, seperti perjanjian antara Negara dengan perusahaan multinasional; 3. Pejanjian tersebut tunduk kepada rezim hukum internasional (governed by internastional law). Bentuk dan peristilahan mengenai perjanjian internasional pada prakteknya tidak sistematis dan mengandung banyak ketidak seragaman, sebab utama dari ketidak seragaman dan ketidak sistematisan ini karena beberapa faktor, faktor utamanya adalah perjanjian internasional adalah peninggalan tradisi dan bentuk-bentuk diplomatik lama yang sulit disesuaikan dengan kehidupan internasional modern negara-negara untuk dapat menstandarisasikan pemakaian 104 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional : Bunga Rampai, Alumni, Bandung, 2003. Hlm.108 105 Damos Dumoli Agusman, op.cit.hlm.20 48 perjanjian internasional. Adapun bentuk-bentuk utama dari perjanjian internasional adalah sebagai berikut106 : 1. Bentuk yang digunakan oleh kepala negara. Dalam hal ini perjanjian di rancang sebagai suatu persetujuan diantara kepala-kepala negara dan kewajiban-kewajibannya dinyatakan mengikat sebagai “pihak agung yang berjanji”. Bentuk seperti ini hampir tidak pernah lagi digunakan sekarang dan hanya dipakai untuk konvensi-konvensi khusus dan bersifat rahasia; 2. Bentuk antar-pemerintah. Perjanjian seperti ini dirancang sebagai suatu persetujuan diantara para pemerintah. Bentuk ini pada pokoknya tidak mengandung perbedaan, namun, bentuk ini biasa digunakan untuk persetujuan-persetujuan yang bersifat teknis dan non-politis; 3. Bentuk antar negara. Perjanjian dirancang secara tegas atau tersirat sebagai suatu persetujuan diantara negara-negara yang dimana penandatangannya sering disebut dengan “para pihak”; 4. Perjanjian dapat dirundingkan dan ditandatangani oleh para menteri dari setiap negara peserta, pada umumnya oleh menteri-menteri luar negeri; 5. Perjanjian dapat merupakan suatua persetujuan antar-departemen yang ditandatangani oleh para wakil departemen pemerintah, seperti misalnya oleh para wakil administrasi dari negara-negara peserta; 6. Perjanjian dapat diadakan di antara para tokoh politik dari negaranegara peserta. Memandang perjanjian internasional hanya sebagai suatu persetujuan belaka akan mempersempit fungsi dan arti pentingnya dalam bidang hukum internasional. Tujuan “Treaty” atau perjanjian internasional adalah untuk meletakkan kewajiban-kewajiban yang mengikat bagi negara-negara peserta. Treaty atau perjanjian internasional merupakan instrument utama untuk memulai atau mengembangkan kerjasama internasional107. Perjanjian-perjanjian yang dibuat antara Negara dalam organisasi internasional atau dalam lingkungan organisasi internasional memiliki batasan- 106 J.G Starke, op.cit. hlm.121 107 Ibid. hlm.119 49 batasan tertentu yang dapat kita lihat di dalam Pasal 5 Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional, yaitu: “The present Convention applies to any treaty which is the constituent instrument of an international organization and to any treaty adopted within an international organization without prejudice to any relevant rules of the organization.” “konvensi ini ditetapkan pada setiap perjanjian yang merupakan instrument pokok dari organisasi internasional dan pada setiap perjanjian yang disahkan dalam lingkungan suatu organisasi internasional tanpa mengurangi arti dari setiap aturan yang relevan dari organisasi tersebut” Organisasi internasional harus mempunyai kekuasaan membuat traktat atau perjanjian, karena diperlukan untuk menjalankan fungsi-fungsi dari organisasi internasional tersebut. Sejumlah besar badan internasional secara De Facto telah mengadakan traktat-traktat baik diantara mereka sendiri maupun dengan negara-negara serta kesatuan-kesatuan lainnya108. Adanya Kapasitas yang di miliki oleh organisasi internasional dalam membuat suatu perjanjian internasional tidaklah asli dan bersifat parsial, hal ini dapat diartian bahwa kapasitas tersebut berasal dari adanya kehendak negaranegara anggota dan kehendak-kehendak tersebut dirumuskan dalam konstitusi organisasi internasional sehingga organisasi tersebut hanya dapat melakukan kegiatan dibidang yang termasuk kedalam wewenangnya109. Perjanjian internasional yang di buat oleh negara-negara peserta perjanjian dapat menimbulkan kewajiban-kewajiban yang dapat mengikat bagi negaranegara peserta tersebut. Mengikatnya perjanjian internasional ini dapat dikaitkan 108 109 J.G Starke, loc.cit. hlm.315 Boer Mauna, loc.cit. hlm.86. 50 terhadap ajaran dari Anzilotti yang mana berpendapat bahwa kekuatan mengikat dari suatu perjanjian terletak pada adagium latin yaitu Pacta Sunt Servanda yang berarti bahwa negara-negara harus melaksanakan perjanjian dengan itikad baik terhadap segala kewajiban mereka yang ada atau di atur didalam perjanjian tersebut. Apabila suatu negara telah mengikatkan diri terhadap perjanjian maka negara tersebut tidak boleh menarik diri secara sepihak dari kewajibankewajibannyatanpa persetujuan negara-negara peserta110. Pembuatan perjanjian internasional dapat kita bagi kedalam tiga tahap yaitu111: 1. Perundingan (Negotiation), dilakukan berdasarkan pada penunjukan surat kuasa dari wakil sah dari suatu negara atau pemerintahan untuk mengadakan perjanjian internasional (letter of credence) diberikan kepada credencial committee. 2. Penandatanganan (Signature), persetujuan suatu negara untuk mengikatkan diri kepada suatu perjanjian, dapat diberikan dengan berbagai cara dan tergantung dari persetujuan antar negara-negara peserta pada waktu perjanjian itu diadakan. Persetujuan untuk mengikatkan diri dapat dilakukan dengan suatu penandatanganan ratifikasi, pernyataan turut serta atau menerima suatu perjanjian. 3. Pengesahan (Ratification), terdapat tiga sistem peratifikasian perjanjian internasional yaitu: a. Sistem dimana ratifikasi semata-mata dilakukan oleh badan eksekutif; b. Sistem dimana ratifikasi semata-mata dilakukan oleh badan legislatif; c. Sistem campuran dimana baik badan eksekutif maupun legislatif memainkan suatu peranan dalam proses ratifikasi perjanjian. Pengaturan menyangkut Prinsip mengikatnya suatu perjanjian internasional bagi Negara peserta diatur di dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional yaitu berbunyi: 110 J.G Starke, op.cit. 121 111 T. May Rudy, Hukum Internasional 1,….op.cit.hlm.44 51 “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.” “setiap perjanjian yang berlaku adalah mengikat terhadap para pihak perjanjian tersebut dan harus dilaksanakan oleh mereka dengan itikad baik”. Peserta perjanjian pada umumnya hanya negara-negara yang memenuhi persyaratan sebagai negara berdaulat dari sudut hukum internasional atau organisasi-organisasi internasional. Setiap hak dan kewajiban yang ditetapkan oleh suatu perjanjian internasional pada prinsipnya tidakdapat dialihkan kepada pihak lain (negara ketiga) oleh para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian tersebut. Disini hal ini maka berlaku prinsip Pacta Tertiis Nee Nocent Nee Prosunt yang berarti bahwa perjanjian tidak dapat menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada Negara ketiga112. Prinsip Pacta Tertiis Nee Nocent Nee Prosunt diatur dalam pasal 34 Konvenasi Wina 1969 tentang perjanjian internasional yang menyatakan sebagai berikut : “a treaty does not create either obligation or right for a third state without its consent” “suatu perjanjian tidak menciptakan baik kewajiban maupun hak bagi negara ketiga tanpa kesepakatan” Prinsip Pacta Tertiis Nee Nocent Nee Prosunt ini merupakan suatu prinsip umum yang ada di dalam suatu konvensi atau perjanjian internasional yang mana menyatakan bahwa hanya pihak yanng ikut dalam konvensi atau perjanjian internasional tersebut yang terikat untuk melaksanakan hak dan kewajiban sebagai 112 Boer Mauna, loc.cit, hlm.143 52 negara peserta. Pihak lain (negara ketiga) tidak terikat pada konvensi atau perjanjian internasional. Adagium Pacta Tertiis Nee Nocent Nee Prosunt mendapat dukungan dalam praktek negara-negara dan di dalam ketentuan Pasal 34 Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional, tetapi ada pengecualian dari aturan umum ini, yakni113: 1) Perjanjian yang ditujukan untuk memberi hak-hak kepada pihak ketiga dengan pernyataan atau persetujuan yang diandaikan dari mereka seperti perjanjian tentang penyelesaian sengketa. Tetapi jika para peserta bermaksud untuk memberikan hak-hak dari pihak ketiga itu banyak bergantung pada keadaan setiap kasus. Pasal 34 konvensi wina 1969 tentang perjanjian internasional mengandung suatu prinsip umum yang meliputi perjanjian-perjanjian yang ditujukan untuk memberikan hak-hak kepada pihak ketiga; 2) Perjanjian-perjanjian multilateral dan bilateral yang memuat hukum kebiasaan internasional akan berlaku juga bagi negara-negara yang bukan peserta, tetapi posisi yang sebenarnya adalah bahwa negaranegara yang bukan peserta tidak diikat oleh perjanjian melainkan oleh hukum kebiasaan walaupun formulasi akhir dari hukum tersebut dalam perjanjian mungkin cukup penting; 3) Perjanjian-perjanjian multilateral yang meciptakan praturan hukum internasional yang baru dapat mnegikat negara-negara yang bukan peserta dengan cara yang sama dengan semua peraturan hukum internasional atau de facto dapat ditetapkan oleh mereka dalam instrumen-instrumen baku; 4) Beberapa Konvensi multilateral yang dimaksudklan untuk berlaku umu dapat menentukan ketentuan-ketentuan bagi negara-negara yang bukan peserta; 5) Pasal 34 Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional menyatakan bahwa dari suatu ketentuan perjanjian lahir kewajiban bagi pihak ketiga jika para peserta memaksudkan ketentuan tersebut sebagai sarana utuk menetapkan kewajiban dan pihak ketiga secara eksplisit menerima kewajiban itu secara tertulis. Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional memberikan persyaratan yang berat bagi adanya kewajiban bagi negara ketiga yang lahir atas dasar 113 J.G Starke, loc.cit. hlm.126-128 53 perjanjian internasional dibandingkan dengan syarat pemberian hak kepada negara ketiga. Terdapat dua cara yang dapat mengakibatkan negara ketiga menjadi terikat pada suatu perjanjian internasional, menurut Yudha Bhakti Ardhiwisastra yaitu antara lain114: 1. Asas doktrin yang mengecualikan prinsip “pacta tertiis” sehingga negara ketiga dapat menikmati hak dan dibebani kewajiban atas dasar suatu perjanjian; 2. Adanya hubungan antara perjanjian internaional dengan hukum kebiasaan internasional yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara ketiga. Dari kedua cara yang mengakibatkan terikatnya negara ketiga kedalam perjanjian internasional ini, maka dapat dilihat bahwa setiap kebijakan atas hak pengembangan tenaga nuklir di negara ketiga tidak harus dilihat dari perjanjian itu mengikat atau tidak tetapi dapat dilihat dari kebiasaan internasional yang tentu dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara ketiga dalam pengembangan tenaga nuklir untuk tujuan damai 114 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, loc.cit. hlm.154 54 BAB III PERAN INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY (IAEA) SEBAGAI SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL YANG MENGATUR PENGEMBANGAN TENAGA NUKLIR UNTUK TUJUAN DAMAI MENURUT STATUTA IAEA A. Struktur Organisasi International Atomic Energy Agency (IAEA) Sebagai Badan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam menjalankan perannya untuk mempromosikan kerjasama internasional antara negara anggota serta dalam kedudukannya yang khusus untuk menjalankan kecenderungan dunia terhadap persoalan dan tantangan keamanan nuklir serta perlindungan melalui berbagai macam keseragaman karena aktivitas nuklir, International Atomic Energy Agency (IAEA) berhubungan dengan penegakkan dari standar keselamatan dan petunjuk keselamatan yang akan gunakan115. International Atomic Energy Agency (IAEA) terdiri dari empat Kepala sekretariat berkedudukan di Vienna International Center, Wina (Austria). Penghubung kerja dan kantor regionalnya yang berlokasi di New York, Toronto, Canada dan Jepang, sedangkan pusat penelitian dan labolatorium ilmiah terletak di Wina dan Seibersdorf (Austia), Monaco dan Trieste (Italy). Sekretariat tersebut terdiri dari anggota yang berjumlah 2200 orang yang didalamnya terdiri atas profesional multidisiplin ilmu pengetahuan dan didukung lebih dari 90 negara. 115 Tomihiro Taniguchi, A Global Challenge: Nuclear Activities Are Increasingly Multinational, No Longer Confined To The Borders Of One Country, IAEA Bulletin, Vol 50-2, May 2009. 55 Perwakilan di pimpin oleh seorang Direktur Jenderal dan enam wakil Direktur Jenderal pada tiap bagian besar departemen116. International Atomic Energy Agency (IAEA) yang di pimpin oleh direktur jenderal yang mana membawahi Office of External Relations and Policy Coordination, Office of Internal Oversight Services, Office of Legal Affairs, Secretariat of the Policy-making Organs dan enam departemen yang membantu direktur jenderal dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Departemen-departemen tersebut antara lain adalah117: 1. Department Of Technical Cooperation yang memiliki tugas dalam menjaga kerjasama dan memantau beberapa wilayah tertentu yang dimana membawahi lima divisi yaitu : Division Of Programme Support And Coordination yang mana divisi ini membawahi seksi yang bertugas melakukan pengembangan kemitraan dan jaminan asuransi, seksi tersebut antara lain Strategy and Partnership Section, Finance and Information Management Section dan Quality Assurance Section. Division For Africa yang mana membawahi dua seksi yaitu African Section 1 dan African Section 2. Division For Asia And The Pacific membawahi dua seksi yaitu Asia and The Pasific Section 1 dan Asia and The Pasific Section 2. Division For Latin America membawahi Latin American Section 1 dan Latin American Section 2 dan Division For Europe membawahi Europe Section 1 dan Europe Section 2. 116 117 http:// www.iaea.org/home/about us.html, 21 Februari 2011 Organchart of International Atomic Energy Agency, http:// www.iaea.org/home/about us.html, September 2010 56 2. Department Of Nuclear Energy bertugas memantau standar energi nuklir dunia yang mana dalam kegiatannya di bantu oleh Planning And Economic Studies Section, Inis And Nuclear Knowledge Management Section, dan IAEA Library. Department Of Nuclear Energy ini membawahi dua divisi utama yaitu: Division Of Nuclear Fuel Cycleand Waste Technology dibantu oleh tiga seksi yaitu Nuclear Fuel Cycle And Materials Section, Waste Technology Section dan Research Reactor Section. Sedangkan Division Of Nuclear Power membawahi Nuclear Power Engineering Section dan Nuclear Power Technology Development Section. 3. Department Of Nuclear Safety And Security ini merupakan departemen yang menetapkan standar kelesamatan nuklir dunia yang dimana dalam setiap kegiatannya di bantu oleh tiga seksi yaitu Safety And Security Coordination Section, Office Of Nuclear Security dan Incident And Emergency Centre. Department Of Nuclear Safety And Security ini membawahi dua divisi yaitu antara lain: Division Of Radiation, Transport And Waste Safety di bantu oleh tiga seksi yaitu Regulatory Infrastructure And Transport Safety Section, Radiation Safety And Monitoring Section dan Waste And Environmental Safety Section. Sedangkan untuk Division Of Nuclear Installation Safety dalam kegiatannya membawahi lima seksi yaitu antara lain: Operational Safety Section, Safety Assessment Section, Regulatory Activities Section, 57 Research Reactor Safety Section dan International Seismic Safety Centre. 4. Department Of Management ini bertugas untuk mengatur atau mengelola perkembangan dan informasi nuklir dunia yang dimana membawahi enam divisi sekaligus termasuk Office Of Procurement Services yang merupakan pembantu dalam setiap kegiatan dalam departemen tersebut. enam divisi tersebut yaitu antara lain: Division Of Human Resources terdiri dari empat seksi Human Resources Planning Section, Staff Administration Section, Recruitment And Staff Development Section, dan Vic Medical Service. Division Of Information Technology dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh empat seksi yaitu Customer Services Section, Systems Services Section, Business Solutions Section, dan Network And Telecommunications Section. Division Of General Services membawahi empat seksi antara lain Facilities Management Section, Seibersdorf Facility Management Section, Archives And Records Management Section dan Travel And Transportation Section dan satu Vic Commissary. Division Of Conference And Document Services dalam melaksanakan tugasnya di bantu oleh sembilan seksi yaitu Conference Services Section, Document Support Section, English Translation Section, French Translation Section, Spanish Translation Section, Russian Translation Section, Arabic Translation Section, Chinese Translation Section dan Publishing Section. 58 Division Of Budget And Finance dalam melaksanakan fungsinya dalam hal pembiayaan di bantu oleh lima seksi yaitu Finance And Accounting Section, Financial Policy And Systems Section, Programme And Budget Section, General Accounts Payable Section dan Staff Accounts Payable Section. Divisi terakhir dari Department Of Management adalah Division Of Public Information yang mana di bantu dua seksi yaitu Media And Outreach Section dan News And Information Section. 5. Department Of Nuclear Sciences And Applications ini yang melakukan penelitian dan pengembangan nuklir untuk tujuan damai yang mana membawahi empat divisi dan di bantu oleh Research Contracts Administration Section dan Programme Of Action For Cancer Therapy Office. Sedangkan ke empat divisi tersebut yaitu : Division Of Physical And Chemical Sciences yang mana dalam tugasnya di bantu oleh Physics Section, Industrial Applications And Chemistry Section, Nuclear Data Section dan Isotope Hydrology Section. Divisiong Of Human Health membawahi empat seksi yang dapat membantu melaksanakan tugas-tugas divisi yaitu Nuclear Medicine Section, Applied Radiation Biology And Radiotherapy Section, Dosimetry And Medical Radiation Physics Section, dan Nutritional And Health-Related Environmental Studies Section. International Atomic Energy Agency (IAEA) Environment Laboratories (Nael), Monaco, penempatan atas tugas di labolatorium International Atomic Energy Agency (IAEA) terdiri dari Radiometrics Laboratory, Radioecology 59 Laboratory, Marine Environmental Studies Laboratory, dan Terrestrial Environment Laboratory. Joint FAO/IAEA Division Of Nuclear Techniques In Food And Agriculture terdapat lima seksi yaitu antara lain: Soil And Water Management And Crop Nutrition Section, Plant Breeding And Genetics Section, Animal Production And Health Sectio, Insect Pest Control Section dan Food And Environmental Protection Section. 6. Department Of Safeguards ini menetapkan standar keamanan suatu perencanaan perkembangan nuklir dan penetapan standar operasi keselamatan yang dimana membawahi enam divisi dan di bantu oleh Effectiveness Evaluation Section dan Office Of Safeguards Analytical Services. Sedangkan enam divisi tersebut antara lain: Division Of Concepts And Planning yang mana memiliki tugas membuat konsep dan perencanaan dalam menentukan standar keselamatan bagi penggunaan tenaga nuklir untuk tujuan damai. Dalam melaksanakan tugasnya Division Of Concepts And Planning di bantu oleh empat seksi Concepts Andapproaches Section, Process Design Section, Programme And Resources Section dan Training Section. Division Of Technical Support divisi yang mana menentukan pendukung teknik dalam menentukan standar keselamatan yang mana terdiri atas empat seksi yaitu Inspection Logistics Section, Technical Support Coordination Section, Surveillance, Seals And Remote 60 Monitoring Section dan Attended And Unattended Nondestructive Assay Section. Division Of Operations B merupakan divisi yang memiliki tugas-tugas menurut kategorisasi tertentu yang di bantu oleh lima seksi yaitu antara lain Coordination And Support Section, Section OB1, Section OB2, Section OB3 dan Section OB4 sebagaimana Division Of Operations B, Division Of Operations A memiliki kategorisasi operasi khusus namun dalam divisi ini mencakup Tokyo Regional Office, adapun seksinya terdiri dari Coordination And Support Section, Section OA1, Section OA2 dan Section OA3. Division Of Information Management memberikan informasi terhadap penataan dari standar keselamatan yang membawahi empat seksi yaitu Information Architecture And Projects Section, Information Collection And Analysis Section, Declared And Statistical Information Analysis Section dan Customer Services And Operations Section. Sedangkan untuk Division Of Operations C terbagi ke dalam lima seksi yaitu Coordination And Support Section, Section OC1, Section OC2, Section OC3, dan Section OC4. Aktivitas International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam melaksanakan kinerjanya di bidang pengawasan nuklir tidak lepas dari ketentuanketentuan yang ada di dalam Statuta IAEA, yang dimana menjadikanya sebagai pedoman organisasi untuk menjalankan kewenanganya sebagai organisasi yang 61 melakukan pengamanan terhadap penyelenggaraan pengembangan energi nuklir di dunia. Pengamanan yang ditetapkan dalam Statuta IAEA yang dirancang terutama untuk menutup pabrik nuklir individu atau pasokan bahan bakar, jelas tidak memadai untuk berkembang pengamanan komitmen untuk dan mencegah proliferasi. Ada dukungan yang internasional, mengikat secara hukum, komprehensif untuk menghentikan penyebaran lebih lanjut senjata nuklir. Dengan mengikuti konvensi tanggung jawab nuklir internasional lainnya pada tingkatan di seluruh dunia (yang dimana terbuka untuk semua negara) termasuk juga beberapa ketentuan yang terkait tangggung jawab pengembangan nuklir seperti118: a. The 1963 Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage119, direvisi pada tahun 1997 (the Vienna Convention): yang terdiri dari 32 peserta perjanjian pada konvensi wina 1963; Protocol 1997120 peninjauan ulangnya belum juga di katakan memaksa; b. The 1997 Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage121 belum juga dikatakan memaksa; c. The 1988 Joint Protocol Relating to the Application of the Vienna Convention and the Paris Convention (the Joint Protocol)122: yang terdiri dari 24 perserta perjanjian. 118 Carlton Stoiber…[et al.], Handbook On Nuclear Law, IAEA Publishing, Vienna, 2009. hlm.110 Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage, INFCIRC/500, IAEA,Vienna (1996). 120 Protocol to Amend the Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage, INFCIRC/566, IAEA,Vienna (1998). 121 Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage, INFCIRC/567, IAEA,Vienna (1998). 119 62 Statuta IAEA disetujui pada tanggal 23 Oktober 1956 dan mulai berlaku pada tanggal 29 Juli 1957 oleh Konferensi Statuta Badan Energi Atom Internasional, yang diselenggarakan di Markas Besar perserikatan bangsa-bangsa (PBB). Statuta telah diubah tiga kali yaitu Pada 31 Januari 1963, bulan Juni 1973 dan pada 28 Desember 1989 yang mana dilakukannya amandemen di bagian pengantar dari ayat A.l. Semua perubahan pun telah dimasukkan ke dalam teks Statuta, yang akibatnya menggantikan semua edisi sebelumnya123. Mengenai perizinan dan pengawasan tenaga nuklir secara damai pada prinsipnya, Statuta IAEA mengatur dalam bentuk pengawasan kerjasama internasional, baik antar satu anggota dengan anggota lainnya atau satu anggota dengan anggota yang satu kelompok dalam International Atomic Energy Agency (IAEA). Sesuai dengan tujuan di bentuknya International Atomic Energy Agency (IAEA) yaitu mencari cara untuk mempercepat dan memperbesar kontribusi energi atom untuk perdamaian, kesehatan dan kesejahteraan seluruh dunia. Serta menjamin, sejauh International Atomic Energy Agency (IAEA) mampu memberikan bantuan kepada negara-negara anggota atau atas permintaan atau di bawah pengawasan atau kontrol tidak digunakan sedemikian rupa untuk lebih lanjut tujuan militer124. Pengaturan perizinan terkait penyebaran energi nuklir meliputi kegiatankegiatan awal dibidang penggunaan tenaga nuklir sampai dengan anggota tersebut bermaksud mengubah jumlah, bentuk serta komposisi dari bahan-bahan dan 122 Joint Protocol Relating to the Application of the Vienna Convention and the Paris Convention, INFCIRC/402, IAEA,Vienna (1992). 123 Lihat http://www.iaea.org/publication/historisofstatutaIAEA/english/.html, 21 Februari 2011 124 Lihat Artikel II Statuta IAEA 63 fasilitas-fasilitas yang tersedia dalam proyek-proyek serta apabila anggota tersebut bermaksud mengakhiri kegiatannya dibidang penggunaan tenaga nuklir. Dalam rangka melaksanakan fungsi-fungsi lainya dibidang nuklir, didalam Statuta IAEA mengatur struktur organisasi yang dimana terdiri dari tiga bagian utama yaitu : Sidang Umum, Dewan Gubernur, dan Direktur Jenderal125. Sidang umum adalah sidang tahunan yang dihadiri oleh semua negara anggota, diselenggarakan oleh direktur jenderal atas permintaan dewan gubernur atau atas permintaan dari mayoritas negara anggota. Adapun tugas-tugas sidang umum International Atomic Energy Agency (IAEA) antara lain126: 1. Membahas laporan tahunan dari dewan gubernur; 2. Menyetujui atau menolak anggaran biaya yang sudah direkomendasikan dewan gubernur baik sebagian atau seluruhnya; 3. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada PBB sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perjanjian antara PBB dan International Atomic Energy Agency (IAEA), kecuali pertanggung jawaban itu oleh PBB dikembalikan kepada dewan gubernur beserta rekomendasinya; 4. Membuat dan menyetujui perjanjian antara International Atomic Energy Agency (IAEA) dengan PBB atau dengan organisasi-organisasi lainnya seperti yang dutetapkan dalam Article XVI Statuta IAEA. Sidang umum dapat menolak dan mengembalikan persetujuan- 125 Lihat Statuta IAEA, Article IV Membership, Article V General Conference, Article Vl Board of Governors dan Article VII Staff 126 Lihat Statuta IAEA Article V. 64 persetujuan beserta rekomendasi-rekomendasi itu kepada dewan gubernur. Tugas sidang umum lainya yaitu Memilih anggota dewan gubernur, Membuat persetujuan mengenai penerimaan anggota, Membekukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban anggota, Membuat peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pembatasan wewenang dewan gubernur, Membuat amandemenamandemen terhadap Statuta IAEA serta Memilih dan menetapkan direktur jenderal127. Secara administratif direktur jenderal adalah pimpinan tertinggi International Atomic Energy Agency (IAEA), yang dimana diangkat oleh dewan gubernur dengan persetujuan dari sidang umum untuk masa jabatannya selama empat tahun128. Dalam setiap keputusan oleh dewan gubernur memiliki dua wewenang utama yaitu wewenang yang ditetapkan secara umum yang dimana ditetapkan untuk melaksanakan tugas-tugas International Atomic Energy Agency (IAEA) sesuai dengan tanggung jawab terhadap sidang umum dan wewenang yang ditetapkan secara khusus dimana ditetapkannya suatu bentuk kepanitiaan atau mengangkat seorang untuk mewakilinya di dalam organisasi-organisasi lain yang ada hubungannya dengan International Atomic Energy Agency (IAEA). Statuta IAEA mengatur fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan oleh lembaga-lembaga International Atomic Energy Agency (IAEA) terutama Dewan Gubernur dan Direktur Jenderal, antara lain129: 127 Lihat Statuta IAEA Article V S/D XVII Paragraf A Lihat Statuta IAEA Article VII 129 Lihat Statuta IAEA Article V S/D VI 128 65 1. Mendorong dan membantu penelitian serta pengembangkan dan mempraktekan pelaksanaan tenaga nuklir untuk maksud damai diseluruh dunia, untuk itu International Atomic Energy Agency (IAEA) dapat bertindak sebagai mediator dalam menjamin pelaksanaan service, suplai bahan, peralatan fasilitas dari salah satu anggota kepada angota yang lain. 2. Melakukan pengawasan dan pengendalian agar tenaga nuklir yang dimiliki dan dikelola oleh para anggota baik yang diperoleh dari perjanjian bilteral maupun multilateral tidak digunakan untuk tujuan militer. 3. Menetapkan standar keselamatan dan kesehatan serta memperkecil bahaya sampai ketingkat paling rendah untuk melindungi kehidupan dan harta benda, bersama-sama dengan lembaga-lembaga atau organisasi khusus yang ada di PBB. 4. Mengarahkan kegiatan-kegiatan dibidang tenaga nuklir agar sesuai dengan prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan dari PBB dalam memajukan perdamaian dan kerjasama internasional yang telah diberi wewenang untuk mengadakan pelucutan senjata dalam usaha melindungi seluruh masyarakat internasional. 5. Menentukan penggunaan bahan tenaga nuklir secara efisien dan secara umum dapat memberikan keuntungan yang lebih besar terhadap wilayah di seluruh dunia dalam peran serta memikul tanggung jawab 66 atas kepentingan-kepentingan khusus bagian-bagaian dunia yang sedang berkembang. 6. Menyampaikan laporan tahunan kepada majelis umum PBB dan dewan keamanan, juga kepada dewan ekonomi dan sosial serta bagianbagian dari perserikatan bangsa-bangsa (PBB) atas setiap masalah yang termasuk wewenang dari lembaga-lembaga yang ada dalam perserikatan bangsa-bangsa (PBB). 7. Dalam hal International Atomic Energy Agency (IAEA) melaksanakan bantuan terhadap para anggotannya baik untuk kepentingan politik, ekonomi ataupun militer tidak boleh bertentangan dengan ketentuanketentuan yang telah ditetapkan oleh statuta. Konsep ”Safeguards” pada hakekatnya telah diperkenalkan untuk pertama kali oleh Amerika Serikat dengan meluncurkan skema yang lebih luas yang dikenal dengan Baruch Plan, yang merupakan nama yang diambil dari salah satu nama delegasi Amerika Serikat yang mempresentasikan skema tersebut. Skema tersebut dibuat dalam rangka mencegah penggunaan senjata nuklir, dengan titik berat pada tanggung jawab negara dalam perkembangan penggunaan energi nuklir untuk maksud damai130. Skema Baruch Plan bertujuan untuk menginternasionalisasi semua penggunaan energi nuklir yang dimana bila dipergunakan akan mencegah terjadinya perlombaan senjata nuklir131. 130 Safeguard IAEA dan pengembangan penerapannya dalam pemanfaatan nuklir untuk damai (bagian 1-2) lihat juga http://www.infonuklir.com/keamanan_keselamatan/non_proliferation/, 21 februari 2011. 131 Bertrand Russel, op.cit,hlm.97-98 67 Safeguards memberi tanggung jawab ganda bagi International Atomic Energy Agency (IAEA), yaitu selain untuk mempromosikan penggunaan energi nuklir untuk maksud damai dan aman, juga untuk menjamin kepastian bahwa energi nuklir tidak disalahgunakan untuk tujuan perang (bukan damai). Statuta IAEA memberikan kuasa kepada International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk membuat dan mengatur usaha perlindungan (Safeguards)132. Dalam Article III.A.5 dari Statuta IAEA juga memberi kuasa untuk mempergunakan “Safeguards” atas permohonan negera peserta untuk setiap penetapan bilateral dan multilateral dan permintaan atau permohonan dari negara kepada setiap aktivitas negara dibidang energi nuklir133. Didalam skema yang paling luas, usaha perlindungan (Safeguards) terdiri dari tiga fungsi yaitu: pembukuan (Accountancy), penahanan (Containment) dan pengawasan (survaillance) dan pemeriksaan (inspection). Langkah pembukuan (Accountancy) membutuhkan negara untuk melaporkan kepada International Atomic Energy Agency (IAEA) terhadap tipe dan jumlah materi yang dapat dibelah jadi atom (Material Fissionable) yang berada dibawah kendali. Kemampuan suatu negara untuk menyediakan informasi yang akurat dan tepat pada waktunya yang disebut dengan State System For Accounting and Control (SSAC) yang mampu melakukan pekerjaan sesuai alur material yang relevan. penahanan (Containment) dan pengawasan (Survaillance) langkahnya mengerahkan melalui International Atomic Energy Agency (IAEA) oleh pengguna untuk menutup tempat material nuklir dan memfilmkan atau menayangkannya di 132 Lihat Statuta IAEA Artikel III.A.5, Artikel XI tentang Agency Project, Dan Artikel XII tentang Safeguard 133 Carlton Stoiber…[et al.], loc.cit..hlm.121 68 dokumen televisi daerah pusat fasilitas nuklir tersebut berada untuk menetapkan apakah yang tak diberi kuasa pergerakan bahan-nya telah akurat. Pemeriksaan (Inspection) diselenggarakan oleh pengawas International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk memeriksa dan menyatakan jumlah bahan nuklir dimana mereka melaporkan bahwa tidak ada bahan nuklir di negara tersebut. Aktivitas pemeriksaan termasuk mengecek atau memeriksa kelengkapan serta meninjau ulang fasilitas arsip dan dengan bebas mengukur bahan atau daftar bahan yang lain termasuk dokumen pembukuan pokok dengan usaha perlindungan134. Pemeriksaan serta pengawasan yang di lakukan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) secara teknis merujuk kepada Fundamental Safety Principles yang mana di buat sebagai suatu standar dalam kategorisasi keselamatan atau perlindungan pengembangan tenaga nuklir untuk tujuan damai135. Pemakaian istilah “Safeguard Inspection” yang secara implisit kemudian diatur dalam Statuta IAEA. Adapun tujuan yang hendak di capai oleh Safeguard Infection antara lain 136: 1. Eksternal safeguard yaitu pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan dibidang penggunaan tenaga nuklir yang dilakukan oleh negara-negara anggota. 2. Internal atau Auto Safeguard yaitu pengawasan terhadap kegiatankegiatan penggunaan tenaga nuklir yang dimiliki International Atomic Energy Agency (IAEA) sendiri. 134 Ibid.hlm.122. Strategies And Processes For The Establishment Of Iaea Safety Standards (SPESS) Version 1.1 Lihat http:// www.iaea.org/home/about us.html, 10 Maret 2011 136 Paul Szazs, The law And Practices of The Atomic Energy Authority, IAEA, legal series No.7, hlm.532-533 135 69 Apabila terjadinya sengketa terhadap pelanggaran pengembangan nuklir untuk tujuan damai, International Atomic Energy Agency (IAEA) dapat menggunakan cara negosiasi yang merujuk kepada Mahkamah internasional serta memperdayakan Konferensi Umum dan Dewan Gubernur tunduk pada persetujuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk meminta Mahkamah Internasional untuk memberikan pendapatnya mengenai setiap masalah hukum yang timbul dalam ruang lingkup kegiatan pengembangan energi nuklir137. Dengan disetujui dan berlakunya Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai usaha perlindungan dalam pengembangan tenaga nuklir untuk tujuan damai maka kedudukan International Atomic Energy Agency (IAEA) menjadi semakin kuat dalam penerapannya untuk melakukan pengawasan dibidang penggunaan tenaga nuklir yang menjadi dasar utama adanya pengawasan nuklir oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). B. Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Sebagai Sumber Hukum Internasional Yang Mengatur Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk Tujuan Damai Perjanjian Non-proliferasi Nuklir (bahasa Inggris: Nuclear Non- Proliferation Treaty atau disingkat NPT) adalah suatu perjanjian internasional yang ditandatangani pada 1 Juli 1968 yang membatasi kepemilikan senjata nuklir. Sebagian besar negara berdaulat (187 negara) mengikuti perjanjian ini, walaupun dua di antara tujuh negara yang memiliki senjata nuklir dan satu negara yang 137 Lihat Artikel XVII Statuta IAEA 70 mungkin memiliki senjata nuklir belum meratifikasi perjanjian ini. Perjanjian ini diusulkan oleh Irlandia dan pertama kali ditandatangani oleh Finlandia138. Di Berlakukannya Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) pada tanggal 5 maret 1970 dengan cara diratifikasi oleh Inggris, Uni Soviet, Amerika Serikat, dan 40 negara lainnya hingga tiga dekade perjalanannya, cukup berpengaruh terhadap pengembangan program tenaga nuklir untuk damai yang telah berjalan cukup lama dan menciptakan stabilitas keamanan dunia yang aman dan damai seperti yang di cita-citakan pada wal di bentuknya perjanjian tersebut139. Sejauh ini telah ada 191 negara yang masih terikat ke dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) di bawah pengawasan International Atomic Energy Agency (IAEA). Instrumen internasional lain yang menjadi acuan untuk melengkapi Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yang dimana menyediakan tambahan untuk suatu tindakan mewakili aspirasi politik suatu negara di suatu wilayah atau regional tertentu untuk mengikuti perjanjian dalam memaksa atau dalam proses ratifikasi, antara lain140: a. The Treaty for the Prohibition of Nuclear Weapons in Latin America (the Tlatelolco Treaty), yang mana telah terbuka untuk tanda tangan pada tahun 1967141; b. The South Pacific Nuclear Free Zone Treaty (the Rarotonga Treaty), yang mana termasuk hal yang memaksa pada tahun 1986142; 138 http://en.wikipedia.org/wiki/Nuclear_Non-Proliferation_Treaty, 14 februari 2011 Javad Zarif, Sanksi Atas Iran: Zero-Sum Game, Bulletin SY`IAR, Edisi Muharam 1428H, 23 Desember 2007. 140 Carlton Stoiber…et al, op.cit.hlm.122 141 Treaty for the Prohibition of Nuclear Weapons in Latin America, United Nations Document A/6663, United Nations, New York (1967) 139 71 c. The Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone Treaty (the Bangkok Treaty), yang mana termasuk hal yang memaksa pada tahun 1997143; d. The African Nuclear-Weapon-Free Zone Treaty (the Pelindaba Treaty), yang mana telah terbuka untuk tanda tangan pada tahun 1996144. Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) menetapkan atas adanya suatu penggolongan terhadap negara yang bersenjatakan nuklir yang disebut derngan Nuclear Weapon States (NWS) dan negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir yang disebut dengan Non-Nuclear Weapon States (NNWS). Mengenai pelarangan untuk penggunaan dan mengedarkan senjata nuklir di atur dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yang di tujukan untuk negara-negara bersenjata nuklir (NWS) yang dimana dilarang untuk mengedarkan senjata nuklir atau bahan peledak dalam bentuk apapun juga dilarang untuk mengatur peredaran senjata atau bahan peledak nuklir baik secara langsung maupun tidak langsung145. Bagi Setiap negara yang tidak memiliki senjata nuklir Non-Nuclear Weapon States (NNWS) dibawah kendali traktat dilarang untuk menerima peredaran nuklir dari pengedar manapun; atau dari Nuclear Weapon States (NWS) baik secara langsung maupun tidak langsung, Non-Nuclear Weapon States 142 South Pacific Nuclear Free Zone Treaty, INFCIRC/331, IAEA,Vienna (1986). Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone Treaty, Association of Southeast Asian Nations, Jakarta (1997). 144 African Nuclear-Weapon-Free Zone Treaty, United Nations Document A/50/426, United Nations, New York (1995). 145 Lihat Article I-II, Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) 143 72 (NNWS) pun dilarang untuk mengembangkan atau menerima bantuan dalam rangka mengembangkan senjata nuklir atau bahan peledak nuklir146. Setiap Non-Nuclear Weapon States (NNWS) dibawah kendali traktat dilarang untuk menerima perlindungan (safeguard), sebagaimana kesepakatan untuk di negosiasikan dan di putuskan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) berdasarkan anggaran dasar International Atomic Energy Agency (IAEA). Tujuannya yaitu untuk adanya verifikasi pemenuhan dari kewajiban terhadap Non-Nuclear Weapon States (NNWS) dengan maksud mencegah pengalihan energi nuklir atau bahan peledak nuklir lainnya147. Serta pengontrolan terhadap setiap penyediaan sumber atau fisi khusus dan peralatan atau bahan khusus yang dirancang atau di persiapkan untuk memproses, penggunaan atau produksi material yang di kirim oleh Non-Nuclear Weapon States (NNWS) untuk tujuan damai148. Sedangkan tujuannya yang lain dibentuknya perlindungan atau safeguard yaitu untuk menghindari adanya hambatan perkembangan ekonomi dan teknologi para penandatangan Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) atau kerjasama internasional dalam kegiatan pengembangan tenaga nuklir demi perdamaian, tujuan ini pun sesuai dengan Statuta IAEA Pasal IV (C)149. Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) pun tidak mengatur mengenai sanksi bagi pelanggaran pengembangan teknologi nuklir. Perjanjian hanya mengatur Negara pemilik teknologi nuklir yang terikat oleh perjanjian untuk 146 Lihat Article II, Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Lihat Article III Ayat (1), Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) 148 Lihat Article III Ayat (2), Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) 149 Lihat Article III Ayat (3), Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) 147 73 bernegosiasi atas langkah-langkah yang berkaitan dengan penghentian senjata nuklir dan pelucutan senjata dengan itikad baik150. Hal yang sama pun berlaku pada perjanjian tentang pelucutan senjata dibawah kontrol dunia internasional. Mengikatnya Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai sumber hukum dalam mengawasi pengembangan program tenaga nuklir yang dilakukan oleh suatu Negara peserta perjanjian memiliki kekuatan mengikat bagi setiap anggota perjanjian tersebut. Negara dapat terikat kedalam perjanjian melalui beberapa cara menurut Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) seperti misalnya151: 1. Negara tersebut menyatakan keikut sertaanya kedalam perjanjian; 2. Melalui ratifikasi oleh negara penandatangan traktat; 3. Traktat mulai berlaku pada tanggal penyimpanan bukti ratifikasi atau kesepakatan mereka. Sejak konferensi Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Pada Tahun 1995 International Atomic Energy Agency (IAEA) pun menetapkan tiga komisi yang dapat menjangkau Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), yaitu152 : 1. Komisi Utama I: Penanganan keamanan dan pelucutan senjata. Komisi ini bertugas untuk meninjau ulang pasal I dan II Nuclear NonProliferation Treaty (NPT) tentang komitmen non-proliferation negara pendukung. 150 Lihat Artickel VI, Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Lihat Artickel IX Ayat 1-6, Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) 152 Lihat http://www.iaea.org/publication/factsheets/html atau lihat juga Muhamad Awan, loc.cit.hlm,37. 151 74 2. Komisi Utama II: Penanganan zona bebas nuklir, perlindungan, dan Non-Proliferasi. Komisi ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan pasal III (verifikasi dan perlindungan International Atomic Energy Authority (IAEA) atas semua kawasan dunia), pasal I dan II (komitmen non-proliferasi yang berkaitan dengan verifikasi nuklir demi perdamaian), dan pasal VII (penciptaan zona bebas nuklir). 3. Komisi Utama III: Penggunaan energy nuklir demi perdamaian. Komisi ini bertugas untuk memeriksa pelaksanaan pasal III (pencegahan keterhambatan perkembangan teknologi dan ekonomi negara-negara pendukung Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT)), pasal IV (promosi penggunaan energy nuklir untuk perdamaian), dan pasal V (pemakaian nuklir) dan paragraf pembukaan NPT. Maka untuk dapat menghadapi hal tersebut International Atomic Energy Agency (IAEA) pun menerapkan empat model pengawasan dalam hal penerapan Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), yaitu 153: 1. Inspeksi Ad Hoc, infeksi ini berupa verifikasi atas laporan negara yang menandatangani Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT). Inspeksi ini juga meliputi pengawasan atas perdagangan bahan-bahan nuklir dunia internasional; 2. Inspeksi Rutin, inspeksi ini adalah inspeksi yang sering dilakukan. Inspeksi ini terbatas pada fasilitas nuklir atau tempat yang memiliki bahan-bahan nuklir; 153 Ibid. 75 3. Inspeksi Khusus, dilakukan apabila International Atomic Energy Authority (IAEA) mendapat informasi tambahan mengenai penyelewengan nuklir untuk damai di sebuah negara. Inspeksi ini pun bisa merupakan lanjutan dari inspeksi rutin; 4. Kunjungan Perlindungan, kunjungan ini dilakukan untuk pengawasan atas kemungkinan pelanggaran Nuclear Non-Prolifertion Treaty (NPT). Keempat model pengawasan ini pun menjadikan International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional yang cukup konsisten dalam menjalankan fungsi dan perannya untuk menjaga terjadinya pelanggaran terhadap penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai. C. Resolusi Yang Dikeluarkan Oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Terkait Pelanggaran Pengembangan Nuklir Untuk Tujuan Damai Pelanggaran terhadap pengembangan energi nuklir membuat masyarakat internasional menjadi lebih waspada terhadap peredaran senjatan nuklir. Hal ini dapat dilihat dengan dikeluarkannya resolusi-resolusi oleh Dewan keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang terkait dengan pengembangan tenaga nuklir. Resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa (DK PBB) terkait pelanggaran pengembangan tenaga nuklir yaitu Resolusi 1696 kemudian lebih lengkapnya dimasukan kedalam Resolusi 1737 76 pada tahun 2006 yang kemudian menyusul dengan dikeluarkannya dua Resolusi yaitu Resolusi 1747 pada tahun 2007 dan Resolusi 1929 pada tahun 2010 terkait penghentian pengembangan tenaga nuklir yang di lakukan oleh negara peserta Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), yaitu Negara Iran. Sedangkan untuk Korea Utara dalam rincian program nuklirnya, terungkapan program nuklir Pyongyang yang memiliki ribuan mesin sentrifugal untuk pengayakan uranium, pembangunan reaktor air ringan tengah dalam kemajuan aktif dan sebuah pabrik pengayaan uranium dengan beberapa ribu sentrifugal yang bertujuan untuk mengamankan pasokan bahan bakar, oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) sedang dilakukan tahapan verifikasi agar tidak terjadi ekspansi senjata nuklir oleh negara korea utara dan penjatuhan sangsi atau Resolusi jika terbukti melanggar perjanjian Non-Proliferasi nuklir154. Dalam wawancaranya Direktur Jenderal International Atomic Energy Agency (IAEA) meminta protokol tambahan, yang memberikan kewenangan lebih untuk menjalankan kewenangan yang lebih membuat International Atomic Energy Agency (IAEA) agar bisa berbuat maksimal bagi kenyamanan dunia. Dengan protokol yang ada, Iran cuma wajib melapor ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Bila Iran menyatakan fasilitas pengolahan nuklirnya untuk tujuan damai, tak ada masalah buat Timur Tengah. International Atomic 154 Lihat http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip, Selasa, 30 November 2010 77 Energy Agency (IAEA) punya kecurigaan Iran dikarenakan meningkatkan pengayaan uranium secara terus-menerus155. Resolusi 1737 berisikan antara lain menegaskan bahwa Iran boleh lebih jauh menunda menggunakan atau penerimaan atas pengembangan reaktor nuklir yang diperlukan oleh gubernur jenderal dewan pengurus International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagaimana di cantumkan dalam Resolusi dengan Nomor Seri GOV/2006/14, Resolusui tersebut secara esensial untuk membangun kepercayaan didalam maksud damai secara khusus karena program nuklir dan memutuskan pertanyaan yang terkemuka. Selain itu Resolusi 1737 juga memutuskan dalam keadaan bahwa Iran boleh tanpa lebih lanjut menunda menangguhkan mengikuti proliferation aktivitas nuklirnya dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut156: 1. Semua yang berhubungan dengan memperkaya dan aktivitas memproses ulang, termasuk riset dan pembangunan akan dilakukan verifikasi oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). 2. Dalam Mengerjakan atau menjalankan semua yang berhubungan dengan proyek air berat (heavy water-related projects), termasuk pembangunan reaktor riset modern oleh air-berat (heavy water) akan di verifikasi oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). 155 Wawancara Mohammed El-Baradei ketika masih menjabat sebagai Direktur Jenderal IAEA pada 25 januari 2010 lihat http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip, 22 januari 2011. 156 Lihat Resolusi DK PBB 1737 tahun 2006 78 Selain itu Resolusi 1737 juga memutuskan bahwa semua Negara juga harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah penyediaan bagi Iran atas bantuan teknis atau pelatihan, bantuan keuangan, investasi, broker atau layanan lain, dan transfer sumber daya keuangan atau jasa, terkait dengan penjualan, persediaan, transfer, pembuatan atau penggunaan dilarang, bahan, peralatan, barang dan teknologi yang ditetapkan. Serta semua Negara akan membekukan dana, aset keuangan lainnya dan ekonomi sumber daya yang berada di wilayah mereka pada tanggal Penerapan resolusi atau pada waktu sesudahnya157, Resolusi 1747 yang merupakan perluasan dari Resolusi 1737 yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang berisi agar dalam 60 hari Negara tersebut harus dapat menghentikan program nuklirnya. Permintaan dalam waktu 60 hari ini merupakan laporan lebih lanjut dari Direktur Jenderal International Atomic Energy Agency (IAEA) tentang apakah Iran telah membentuk suspensi penuh dan berkelanjutan semua kegiatan disebutkan dalam Resolusi 1737 (2006), serta pada proses Iran kepatuhan dengan semua langkah yang diperlukan oleh Dewan International Atomic Energy Agency (IAEA) dan dengan yang lain ketentuan Resolusi 1737 (2006) dan resolusi ini, kepada Dewan Gubernur International Atomic Energy Agency (IAEA) dan secara paralel kepada Dewan Keamanan untuk dipertimbangkan;158. 157 158 Lihat Ayat 12 dari Resolusi DK PBB 1737 tahun 2006 Lihat Ayat 12 Resolusi DK PBB 1747 79 Adapun hal yang harus di sampaikan oleh negara tersebut sesuai di dalam Resolusi 1747 yaitu terdiri antara lain 159: 1. Bahwa negara akan menunda pelaksanaan langkah-langkah jika dan untuk selama Iran menghentikan semua kegiatan pengayaan dan pemrosesan kembali terkait, termasuk penelitian dan pengembangan, sebagaimana yang dijabarkan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA), untuk memungkinkan negosiasi dengan itikad baik dalam Untuk mencapai hasil awal dan saling dapat diterima; 2. Bahwa negara ini akan menghentikan tindakan yang ditentukan sebagaimana yang di cantumkan dalam pasal-pasal sebelumnya datri resolusi DK PBB 1747 bahwa Iran telah sepenuhnya memenuhi kewajibannya yang relevan berdasarkan resolusi Dewan Keamanan dan memenuhi persyaratan Dewan Gubernur International Atomic Energy Agency (IAEA), seperti ditegaskan oleh Dewan International Atomic Energy Agency (IAEA); 3. Menegaskan bahwa Iran tidak mematuhi Resolusi 1737 (2006) dan Resolusi 1747. Resolusi 1747 dan Resolusi 1929 Menegaskan kembali komitmen International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) mengingat bahwa laporan terakhir oleh Direktur Jenderal International Atomic Energy Agency (IAEA) (GOV/2007/8) dari 22 Februari 2007 159 Lihat Ayat 13 Resolusi DK PBB 1747 80 dan menyesalkan bahwa, seperti yang ditunjukkan di dalamnya, yaitu negara Iran yang merupakan Negara yang masuk ke dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) telah gagal memenuhi Resolusi 1696 (2006) dan Resolusi 1737 (2006)160, Resolusi Dewan Gubernur International Atomic Energy Agency (IAEA) (GOV/2006/14), yang menyatakan bahwa solusi untuk masalah nuklir Iran akan memiliki kontribusi untuk upaya mewujudkan tujuan Timur Tengah bebas dari senjata pemusnah massal, termasuk sarana pengiriman mereka, International Atomic Energy Agency (IAEA) bertekad untuk memberikan efek terhadap keputusan dengan mengadopsi langkah yang tepat untuk membujuk Iran untuk mematuhi Resolusi 1696 (2006) dan Resolusi 1737 (2006) dan dengan persyaratan International Atomic Energy Agency (IAEA), dan juga untuk menghambat perkembangan sensitif teknologi Iran untuk mendukung program nuklir dan rudal, hingga seperti waktu sebagai Dewan Keamanan menentukan bahwa tujuan dari Resolusi ini telah dipenuhi, Mengingat persyaratan dari Amerika untuk bergabung dalam mengusahakan bantuan timbal balik dalam melaksanakan langkah-langkah yang diputuskan oleh Dewan Keamanan.. International Atomic Energy Agency (IAEA) melalui Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) 1747 Menggarisbawahi bahwa tidak ada dalam Resolusi tersebut yang mengharuskan Negara untuk menolak perusahaan memiliki warga negara masuk ke wilayahnya, dan bahwa semua Negara harus dalam pelaksanaan ayat didalam resolusi, memperhitungkan pertimbangan kemanusiaan termasuk kewajiban agama, serta kebutuhan untuk 160 Lihat Resolusi DK PBB 1747 dan Resolusi DK PBB 1926 81 memenuhi Tujuan dari resolusi 1737 (2006), termasuk di mana Pasal XV dari Statuta IAEA161. Dalam Anex II dari Resolusi 1747 terdapat komitmen dari negara iran dan International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam proses menangani masalah nuklir iran. Adapun komitmen-komitmen tersebut menyangkut Unsur-unsur perjanjian jangka panjang yang dimana tujuannya adalah untuk mengembangkan hubungan dan kerjasama dengan Iran, atas dasar saling menghormati dan pembentukan kepercayaan dunia internasional terhadap eksklusif sifat damai dari program nuklir Republik Islam Iran. Mengusulkan agar segera mulai untuk menegosiasi perjanjian yang komprehensif dengan Iran. Perjanjian akan disimpan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) dan disahkan dalam resolusi Dewan Keamanan. Untuk menciptakan kondisi yang tepat untuk negosiasi, serta langkah yang ditempuh oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) adalah162: 1. Menegaskan hak Iran untuk mengembangkan energi nuklir untuk tujuan damai sesuai dengan kewajibannya berdasarkan Nuclear NonProliferation Treaty (NPT), dan dalam konteks ini menegaskan kembali dukungan International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk pengembangan program energi nuklir sipil Iran; 2. Berkomitmen untuk mendukung secara aktif membangun reaktor air ringan baru di Iran melalui proyek-proyek kerjasama internasional, 161 162 Lihat Ayat 3 Resolusi DK PBB 1747. Lihat ANEX II dari Resolusi DK PBB 1747 82 sesuai dengan Statuta IAEA dan Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT); 3. Setuju untuk menangguhkan pembahasan program nuklir Iran di Keamanan Dewan pada pembukaan kembali perundingan. Adapun komitmen dari Negara iran dalam menindak lanjuti keluarnya resolusi oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yaitu antara lain terkait komitmennya untuk menangani semua keprihatinan yang beredar dari International Atomic Energy Agency (IAEA) melalui penuh kerjasama dengan International Atomic Energy Agency (IAEA), prasangka terhadap semua kegiatan pengayaan dan pengolahan ulang terkait harus diverifikasi oleh International Atomic Energy Agency (IAEA), seperti yang diminta oleh Dewan Gubernur International Atomic Energy Agency (IAEA) dan Dewan Keamanan, dan berkomitmen untuk melanjutkan negosiasi ini selama ini, serta melanjutkan pelaksanaan Protokol Tambahan. Wilayah kerja sama di masa depan yang tercakup dalam negosiasi pada jangka panjang perjanjian163. 163 Lihat ANEX II dari Resolusi DK PBB 1747 83 BAB IV PERAN INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY (IAEA) TERHADAP PELANGGARAN PENGEMBANGAN TENAGA NUKLIR UNTUK TUJUAN DAMAI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Peran International Atomic Energy Agency (IAEA) Terhadap Pelanggaran Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk Tujuan Damai Gagasan awal dibentuknya International Atomic Energy Agency (IAEA) yang disampaikan oleh Dwight D. Eisenhower pada tanggal 8 Desember 1953 di depan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan sebagai tanggapan atas ketakutan dan harapan dari masyarakat dunia atas ditemukannya energi nuklir. Reaksi atas ketakutan dan harapan ini kemudian menjadi suatu dasar untuk memajukan penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai, dan memastikan energi nuklir tersebut tidak digunakan untuk segala macam dari tujuan militer. Dibentuknya International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional yang Anggota-anggotanya terdiri dari negara-negara, merupakan organisasi antar pemerintah (Inter-Govermental Organization). InterGovermental Organization pada umumnya disebut sebagai organisasi internasional yang mempunyai status hukum internasional publik, sebagai organisasi agar dapat memiliki status hukum internasional publik, International Atomic Energy Agency (IAEA) harus dibentuk berdasarkan persetujuan internasional atau lazim disebut instrument pokok (Constituent Instrumen). Instrument pokok tersebut adalah Statuta IAEA yang mana menentukan 84 International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional dan memiliki status hukum internasional publik. Pembentukan International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional secara umum dapat ditinjau melalui aspek-aspek hukum organisasi internasional, aspek-aspek tersebut seperti aspek filosofis yang mana aspek ini menyangkut nilai-nilai filosofis dan nilai-nilai historis yang menjadi suatu dasar atas dibentuknya organisasi internasional tersebut. Nilai-nilai tersebut seperti adanya itikad baik dari negara-negara yang berdaulat untuk menjaga keamanan dan kedamaian dunia dari terjadinya pelanggaran pengembangan tenaga nuklir dan demi terciptanya nuklir untuk tujuan damai. Selain aspek filosofis, organisasi internasional juga memiliki aspek administratif yang lebih banyak menentukan tingkat personalitas dan kapasitas organisasi internasional itu sendiri dalam upaya memenuhi unsur-unsur dari dibentuknya organisasi internasional tersebut. Aspek administratif tersebut dapat dilihat dari adanya instrumen pokok dari International Atomic Energy Agency (IAEA) itu sendiri yaitu Statuta IAEA yang mengatur mengenai fungsi dan keanggotaan dari International Atomic Energy Agency (IAEA) serta persetujuan yang di buat dalam kerangka International Atomic Energy Agency (IAEA) dimana merupakan persetujuan internasional yang mengikat bagi negara-negara anggotanya dan pembentukan International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional di atur oleh hukum internasional. 85 Sedangkan dilihat dari aspek hukumnya, organisasi internasional lebih menitik beratkan pada masalah-masalah konstitusional dan prosedural seperti misalnya wewenang dan pembatasan-pembatasan atau restrictions baik terhadap organisasi internasional itu sendiri maupun anggotanya sebagaimana termuat di dalam ketentuan-ketentuan instrumen dasar organisasi internasional. Aspek hukum dari International Atomic Energy Agency (IAEA) dapat dilihat dalam Statuta IAEA Artikel I- XXIII serta lampiran atau ANNEX komisi persiapan pembentukan International Atomic Energy Agency (IAEA) yang mana dilihat dari aspeknya merupakan aspek hukum dalam menitik beratkan pada masalah-masalah konstitusional dan prosedural, baik itu penetapan aturan kerjasama di bidang pengembangan nuklir maupun prosedur standar dari penggunaan tenaga nuklir. Gagasan dibentuknya International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional dapat dilihat pula pada dasar terpenuhinya suatu unsur organisasi internasional secara umum yang mana International Atomic Energy Agency (IAEA) layak dikatakan sebagai organisasi internasional. Unsur dari terbentuknya organisasi internasinonal tersebut antara lain seperti kerjasama yang ruang lingkupnya melintasi batas negara atau adanya kerjasama antar negara, kerjasama tersebut dilakukan antar negara anggota International Atomic Energy Agency (IAEA) maupun yang bukan negara anggota, adanya upaya pencapaian tujuan bersama yang disepakati antar negara-negara dalam kerangka organisasi internasional, memiliki struktur organisasi yang jelas dan lengkap, dan organisasi internasional tersebut melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan. Dari unsur-unsur tersebut diatas berdasarkan unsur pembentukannya, International 86 Atomic Energy Agency (IAEA) telah memenuhi unsur-unsur sebagai organisasi internasional publik yang ruang lingkupnya melintasi batas negara serta memiliki struktur organisasi yang jelas dan keberadaan International Atomic Energy Agency (IAEA) diakui oleh hukum internasional. Selain unsur organisasi internasional secara umum tersebut diatas, International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional memiliki ciri-ciri sebagai organisasi internasional. Ciri-ciri yang dimaksud antara lain seperti International Atomic Energy Agency (IAEA) merupakan sebagai organisasi internasional yang dibentuk secara permanen untuk melakukan suatu fungsi secara terus menerus, keanggotaan dari International Atomic Energy Agency (IAEA) yaitu negara-negara secara sukarela yang memenuhi syarat sebagai negara anggota, adanya tujuan dari organisasi, struktur organisai serta metode operasi yang termuat di dalam Statuta IAEA sebagai dasar instrumen pokok dari organisasi, International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai suatu organisasi perwakilan negara-negara dalam kerjasama di bidang pengembangan tenaga nuklir, serta memiliki sekretariat tetap untuk melakukan penelitian secara terus menerus, kegiatan secara administratif dan sekretariat tersebut berperan sebagai pusat informasi bagi negara-negara anggotanya. Pembentukan International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional tersebut menjadikan International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai subyek hukum internasional, subyek hukum dari suatu sistem hukum adalah semua yang menurut ketentuan hukum diakui mempunyai kemampuan untuk bertindak, hal ini sebagaimana penulis jelaskan dalam Bab II 87 sebagai subyek hukum internasional, organisasi internasional memiliki beberapa unsur sebagai subyek hukum internasional seperti adanya kerjasama yang ruang lingkupnya melintasi batas negara, adanya pencapaian tujuan bersama yang telah di sepakati oleh negara-negara anggota serta memiliki struktur organisasi yang jelas dan lengkap sebagai penunjang dalam melaksanakan fungsi-fungsinya secara berkesinambungan. Hal ini cukup penting bahwa penetapan atas unsur-unsur dari organisasi internasional tersebut adalah untuk menetapkan ruang lingkup dari kewenangan organisasi internasional tersebut, serta menentukan fungsinya sebagai subyek hukum internasional dan membedakannya dari subyek hukum internasional yang lainnya. International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam melaksanakan perannya sebagai organisasi internasional, pada dasarnya memiliki kewenangan sebagai organisasi supra-nasional atau Supra-National Organization, yang mana kewenangan organisasi supra-nasional tersebut menjadikan organisasi internasional, dalam hal ini International Atomic Energy Agency (IAEA), memiliki kedudukan yang berada di atas negara-negara anggotanya seperti misalnya adanya kewenangan dalam membuat ketentuan yang sesuai dengan instrumen pokok atau Statuta IAEA dalam pembentukan Nuclear NonProliferation Treaty (NPT) yang kemudian di sepakati oleh negara-negara anggota. Kewenangan lain yang dimiliki oleh organisasi internasional yaitu kewenangan sebagai organisasi kerjasama atau co-operative organization, yang mana organisasi internasional tersebut berperan sebagai suatu wadah kerjasama yang berdasarkan atas kesepakatan negara-negara anggotanya, hal ini didasarkan 88 pada persamaan kedaulatan bagi seluruh anggotanya dan untuk memastikan bahwa semua anggota menggunakan hak dan kewajibannya dalam melakukan upaya kerjasama dalam menjaga kedamaian dunia, maka kedudukan dan kewenangan organisasi internasional, dalam hal ini International Atomic Energy Agency (IAEA), tidaklah lebih tinggi dibandingkan negara-negara anggotanya. Dalam pembentukannya, International Atomic Energy Agency (IAEA) memiliki struktur organisasi sebagai penunjang dalam menjalankan perannya sebagai organisasi internasional. Struktur tersebut yang mana telah di jelaskan dalam Bab II berfungsi untuk menentukan pembagian kerja dalam kesatuan kerja sama demi tercapainya tujuan organisasi internasional. Struktur organisasi sebagai penunjang bagi organisasi internasional dalam menjalankan perannya memiliki fungsi lain yaitu fungsi organisasi yang menjalankan kegiatannya menyangkut masalah politik dalam hubungan internasional terkait kemanan dan perdamaian dunia merupakan fungsi organisasi internasional yang bersifat politik atau disebut political organization, fungsi dalam menjalankan kegiatan teknis secara administratif seperti penetapan keanggotaan negara dalam organisasi internasional merupakan fungsi administratif organisasi atau disebut administratif organization dan fungsi yang menyangkut upaya penyelesaian sengketa yang terjadi di berbagai bidang menurut proses hukum disebut dengan fungsi hukum organisasi atau disebut judicial organization, terkait pelaksanaan fungsi judicial organization, International Atomic Energy Agency (IAEA) telah menjalankan fungsi tersebut terhadap adanya dugaan pelanggaran perjanjian non-proliferasi nuklir yang telah disepakati oleh negara-negara anggota International Atomic 89 Energy Agency (IAEA) untuk diajukan ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Ketiga fungsi tersebut diatas dapat menentukan suatu proses personalitas hukum dari subyek hukum internasional. Personalitas hukum tersebut adalah suatu tindakan di dalam kapasitasnya sebagai organisasi internasional dan untuk melaksanakan tindakan-tindakan tersebut harus sesuai dengan ketentuan yang termuat di dalam instrument pokok yang dimiliki oleh organisasi internasional tersebut. Keberadaan personalitas hukum dari suatu organisasi internasional tidak sama dengan personalitas hukum negara-negara anggotanya. agar dapat memiliki personalitas hukum, organisasi internasional harus memenuhi syarat yang dimana organisasi tersebut dibentuk oleh suatu perjanjian internasional yang menjadi instrumen pokok bagi organisasi internasional tersebut, organisasi internasional tersebut memiliki organ yang tepisah dari negara-negara anggotanya serta organisasi internasional tersebut dibentuk oleh hukum internasional publik. International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional publik tidak dibenarkan untuk menggunakan personalitas hukum negara-negara anggotanya. Keterpisahan antar pesonalitas hukum International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional dengan negaranegara anggotanya secara umum dikarenakan International Atomic Energy Agency (IAEA) merupakan himpunan (keangotaanya) negara-negara yang bersifat tetap serta di lengkapi dengan struktur organisasi yang lengkap, hal ini dapat di lihat dalam struktur organisasi International Atomic Energy Agency (IAEA) serta Statuta IAEA yang memiliki perbedaan dengan negara-negara anggotanya dalam 90 hal kewenangannya, dimana adanya kewenangan hukum dan tujuan dari International Atomic Energy Agency (IAEA) yang dapat diterima serta di terapkan dalam melaksanakan kegiatan dalam ruang lingkup internasional. International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional memiliki personalitas hukum berdasarkan kriteria objektifnya karena memenuhi syarat-syarat seperti adanya perjanjian internasional yang mengatur pembentukan organisasi internasional tersebut yaitu sebagaimana tercantum dalam Statuta IAEA Artikel I terkait pembentukan International Atomic Energy Agency (IAEA), organ-organ yang ada di dalam International Atomic Energy Agency (IAEA) tersebut terpisah dari negara-negara anggotanya dalam hal ini organ tersebut berada di bawah tanggung jawab Direktur Jenderal, dan yang menjadi hal utama yaitu keberadaan International Atomic Energy Agency (IAEA) tersebut diatur oleh hukum internasional publik. Selain personalitas hukum secara umum, sebagai organisasi internasional, International Atomic Energy Agency (IAEA) memiliki personalitas hukum yang lebih khusus menyangkut kewenangan dan fungsi organisasi sesuai dengan Statuta IAEA yaitu Artikel III mengenai fungsi dari International Atomic Energy Agency (IAEA) itu sendiri seperti memiliki kemampuan mengadakan perjanjian, dalam hal ini dibentuknya Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai hasil dari adanya kewenangan International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam mengadakan perjanjian. Adanya hak dan kewenangan secara hukum untuk memiliki aset-aset milik organisasi dan status khusus bagi personalia yang dilakukan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) kepada negara 91 pemilik nuklir serta mampu mengajukan tuntutan terhadap negara anggota juga bukan kepada negara anggota, mengajukan perkara kepengadilan internasional berdasarkan yurisdiksi internasional, perlindungan fungsional personalia dimana para personalia International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam melakukan pemeriksaan terhadap reaktor nuklir memiliki hak dan kewenangan selama masa tugasnya sebagaimana yang di atur di dalam Statuta IAEA Artikel XV menyangkut kapasitas hukum hak istimewa dan kekebalan yang diperlukan untuk menjalankan fungsinya dan pengiriman perwakilan untuk dapat menghadiri konferensi yang berkaitan. International Atomic Energy Agency (IAEA) merupakan organisasi internasional publik yang berada di bawah pengawasan Perserikatan BangsaBangsa yang di bentuk untuk menciptakan program nuklir untuk tujuan damai sebagaimana diatur dalam Statuta IAEA Artikel II yang mana International Atomic Energy Agency (IAEA) dapat mencari cara untuk mempercepat dan memperbesar kontribusi energi atom untuk perdamaian, kesehatan dan kesejahteraan bagi seluruh dunia. Langkah yang dilakukan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) ini dapat dilihat di dalam Nuclear NonProliferation Treaty (NPT) dan penetapan INES (International Nuclear And Radiological Event Scale). Personalitas hukum yang di miliki International Atomic Energy Agency (IAEA) pada dasarnya bersifat fungsional artinya personalitas hukum tersebut di batasi oleh prinsip specialitas yang dimana organisasi hanya dapat melaksanakan kapasitas yuridik yang dimilikinya di dalam batas-batas dan tujuan yang telah di 92 tetapkan oleh piagam konstitutif organisasi internasional. Batas-batas dan tujuan yang di tetapkan dalam statuta menentukan personalitas hukum International Atomic Energy Agency (IAEA). Meski pun di dalam Statuta IAEA tidak dicantumkan personalitas hukum secara pasti, sebagai organisasi internasional yang merupakan subyek hukum internasional, International Atomic Energy Agency (IAEA) tidak perlu kehilangan personalitas hukum karena International Atomic Energy Agency (IAEA) memiliki kapasitas untuk dapat melakukan prestasi hukum sesuai dengan aturan dan prinsip hukum internasional, demi terciptanya keamanan, dan ketertiban masyarakat dunia. International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan untuk dapat melakukan pemeriksaan, pemantauan dan pengembangan memiliki beberapa kewenangan yang dimana berbeda dengan subyek hukum yang lain. International Atomic Energy Agency (IAEA) memiliki kewenangan sebagai mana dalam Statuta IAEA Artikel III A.1-7 yang telah menentukan bahwa untuk membuat ketentuan sesuai dengan Statuta bagi bahan, jasa, peralatan, dan fasilitas serta dapat memenuhi kebutuhan penelitian, pengembangan dan aplikasi praktis energi atom untuk tujuan damai termasuk produksi tenaga listrik, dengan mempertimbangkan kebutuhan di bawah wilayah di dunia yang sedang berkembang. Membangun dan mengatur perlindungan yang dirancang untuk memastikan bahan-bahan fisi, layanan, fasilitas, peralatan, dan informasi yang disediakan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) dan menerapkan perlindungan atas permintaan para pihak, untuk setiap pengaturan bilateral atau 93 multilateral maupun permintaan suatu negara untuk semua itu aktivitas negara di bidang energi atom sebagaimana di atur dalam Artikel III A.5 merupakan suatu landasan bagi International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam menjalankan kewenangannya untuk menetapkan suatu pengaturan internasional di bidang pengembangan energi nuklir untuk tujuan damai. Aktivitas International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam melaksanakan kinerjanya di bidang pengawasan nuklir tidak lepas dari ketentuanketentuan Statuta IAEA, penetapan kewenangan (kuasa) International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional berdasarkan kepada instrument pokok Artikel III.A.5 dan Artikel XI yang dimana International Atomic Energy Agency (IAEA) memiliki kewenangan terhadap penerapan safeguard atas permohoan negara peserta untuk setiap perjanjian atau kesepakatan bilateral dan multilateral. Sistem safeguards dilaksanakan terhadap reaktor penelitian dan reaktor eksperimental sesuai dokumen International Atomic Energy Agency (IAEA) INFIRC/26 dan dokumen IAEA INFCIRC/66/Rev.2, International Atomic Energy Agency (IAEA) kemudian membuat peraturan yang lebih luas lagi yaitu safeguards yang dapat menjangkau reaktor untuk segala jenis, termasuk didalamnya pengawasan kepada reprocessing plants dan seluruh fuel fabrication plants. Sebagai organisasi internasional yang menjalankan perannya untuk dapat mempromosikan kerjasama intenasional antara negara-negara anggotanya serta dalam kedudukannya yang khusus untuk menjalankan kecenderungan dunia terhadap persoalan dan tantangan keamanan nuklir dan sebagaimana di atur dalam 94 Statuta IAEA Artikel XII yang berhubungan dengan penegakan standar keselamatan dan petunjuk keselamatan yang akan digunakan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional sehingga dapat melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dalam pemeriksaan, pemantauan dan pengembangan energi nuklir serta adanya kewenangan sebagai organisasi yang kedudukannya berada dia atas negara-negara anggotanya, hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan terhadap adanya indikasi pelanggaran pengembangan energi nuklir oleh negara anggota untuk tujuan militer. Kewenangan supra-nasioal organization dari International Atomic Energy Agency (IAEA) ini yang belum dapat terealisasi dikarenakan didunia saat ini menganut pola banyak negara (multi-state system) masing-masing negara berdaulat dan sederajat satu sama lain. Sedangkan International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam wewenangnya tidaklah lebih tinggi dibandingkan negaranegara anggotanya dan International Atomic Energy Agency (IAEA) hanya sebagai wadah kejasama internasional berdasarkan kesepakatan negara-negara anggotanya. Kewenangan dalam membuat atau menentukan aturan bagi pengembangan tenaga nuklir, di dalam Statuta IAEA terdapat pengaturan terkait dengan Safeguards yang dimana memberikan tanggung jawab ganda bagi International Atomic Energy Agency (IAEA), tanggung jawab ini yaitu selain untuk mempromosikan penggunaan energi nuklir untuk maksud damai dan aman, juga untuk menjamin kepastian bahwa energi nuklir tidak disalahgunakan untuk tujuan perang (bukan damai). Statuta memberikan kuasa kepada International Atomic 95 Energy Agency (IAEA) untuk membuat dan mengatur usaha perlindungan safeguards tersebut sebagaimana tercantum di dalam Artikel XII. Hal inilah yang menjadi prioritas dalam kinerja dari International Atomic Energy Agency (IAEA) itu sendiri. Sebagai organisasi internasional yang memiliki kewenangan untuk membuat perjanjian internasional, International Atomic Energy Agency (IAEA) merujuk kepada Pasal 5 Konvensi Wina 1969 dan sesuai dengan tujuan dari di bentuknya International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk mencipatakan “atom for peace”. perjanjian internasional yang ditetapkan merupakan instrument pokok dari organisasi internasional dan pada setiap perjanjian yang disahkan dalam lingkungan suatu organisasi internasional tanpa mengurangi arti dari setiap aturan yang relevan dari organisasi tersebut. International Atomic Energy Agency (IAEA) selain dilengkapi oleh organorgan permanen, wewenang dan sasaran tertentu juga fungsi-fungsi tertentu seperti dalam kegiatan yang menyangkut masalah-masalah politik dalam hubungan internasional apabila ada keterkaitan dengan masalah perdamaian dan keamanan maka International Atomic Energy Agency (IAEA) dapat mengoptimalkan fungsi politik International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional yang di atur di dalam Statuta IAEA yaitu Artikel V, Artikel VIII, Artikel XVI. Dalam melaksanakan fungsi yang sepenuhnya hanya untuk kegiatan seperti penyusunan laporan kegiatan pengawasan, pemeriksaan dan penetapan standar tenaga nuklir secara administrasi maka fungsi dari International Atomic Energy Agency (IAEA) ini disebut dengan fungsi 96 administratif International Atomic Energy Agency (IAEA) yang dimana fungsi ini di atur dalam Statuta IAEA Artikel IV, Artikel VI, Artikel VII, Artikel IX, Artikel Xl, Artikel XIV, dan Artikel XXI. Sedangkan fungsi International Atomic Energy Agency (IAEA) yang menyangkut masalah penyelesaian sengketa menurut prosedur hukum dan melalui proses hukum disebut dengan fungsi peradilan organisasi yang dimana fungsi ini tidak jarang melibatkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB) dan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Hal ini dapat dilihat dalam menghadapi kasus pelanggaran pengembangan nuklir oleh negara Iran, Judicial Organization yang di gunakan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam menyelesaikan masalah pelanggaran pengembangan tenaga nuklir tersebut sesuai dengan Statuta IAEA Artikel XVII tentang Settlement Of Disputes atau penyelesaian sengketa yang dimana International Atomic Energy Agency (IAEA) lebih memperdayakan Konferensi Umum dan Dewan Gubernur yang tunduk pada persetujuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai setiap masalah hukum yang timbul dalam ruang lingkup kegiatan International Atomic Energy Agency (IAEA), dan membawa permasalah pelanggaran kepada dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa (DK PBB). Terhadap fungsi-fungsi tersebut di atas, terdapat struktur yang menunjang fungsi dan tujuan organisasi yang tidak hanya menyangkut organisasi antar pemerintah dengan pemerintah tetapi juga terdapat struktur penunjang yang terdiri atas direktur jenderal yang membawahi enam departemen yang membantu direktur jendral di dalam melaksanakan tugas-tugas. Struktur penunjang tersebut 97 diatur dalam Statuta IAEA Artikel IV yang menyangkut keanggotaan, Artikel V menyangkut General Conference, Artikel VI menyangkut Board Of Governors dan Artikel VII tentang Staff. Struktur penunjang tersebut merupakan salah satu syarat untuk diakuinya International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional publik. Dilengkapinya International Atomic Energy Agency (IAEA) dengan struktur, staff, wewenang dan tujuan tidak jarang dapat menimbulkan terjadinya Fenomena Retroaksi bagi International Atomic Energy Agency (IAEA) karena status yuridiknya yang otonom dapat mempengaruhi sikap negara-negara anggotanya atau dengan kata lain dapat memaksa negara-negara anggotanya untuk dapat mematuhi segala ketentuan-ketentuan yang di buat oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) itu sendiri sehingga tidak jarang menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan bahkan menimbulkan konflik atau perang. Seperti halnya dikeluarkanya resolusi oleh dewan perserikatan bangsa-bangsa bagi negara anggota International Atomic Energy Agency (IAEA). Sehubungan dengan pengaturan Safeguards, International Atomic Energy Agency (IAEA) mempunyai hak dan tanggung jawab yang relevan dengan proyek atau pengaturan tersebut seperti membentuk staf inspektur yang bertujuan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk mencegah sumber dan bahan fisi khusus yang digunakan atau dihasilkan dalam operasi sendiri dari yang digunakan sebagai kelanjutan dari setiap tujuan militer. Badan harus mengambil segera tindakan perbaikan untuk memperbaiki setiap ketidaksesuaian atau kegagalan untuk mengambil tindakan yang memadai. Staf inspektur juga memiliki 98 tanggung jawab untuk memperoleh dan memverifikasi. Inspektur harus melaporkan ketidakpatuhan kepada Direktur Jenderal yang kemudian menyampaikan laporan kepada Dewan Gubernur. Sehingga dewan gubernur dapat membawa setiap ada masalah ketidak patuhan ke dewan keamanan dan majelis umum perserikatan bangsa-bangsa sesuai dengan Statuta IAEA Artikel XII tentang Agency Safeguards atau Badan perlindungan. Konsep dasar mengenai Safeguards yang lebih baik melalui International Atomic Energy Agency (IAEA) mulai diformulasikan dan diterapkan. Meskipun masih berjalan lambat karena masih tergantung pada kemauan masing-masing negara untuk menerima Safeguards tersebut seperti inspeksi dan tipe atau fasilitas yang di inspeksi mulai meningkat. Hal ini di karenakan aspek hukumnya organisasi internasional lebih menitik beratkan pada masalah-masalah konstitusional dan prosedural seperti misalnya wewenang dan pembatasanpembatasan (Restrictions) baik terhadap organisasi internasional itu sendiri maupun anggotanya sebagaimana termuat di dalam ketentuan-ketentuan instrumen dasar organisasi internasional, termasuk perkembangan organisasi internasional secara praktis. Pada tahap awal pelaksanaannya, fungsi pengawasan International Atomic Energy Agency (IAEA) lebih terkonsentrasi kepada perdagangan nuklir internasional yang diakui mempunyai peranan penting dalam proliferasi nuklir. Akan tetapi dengan penerapan Safeguards dalam perdagangan internasional, komoditi nuklir ternyata menjadi lebih meningkat terutama dalam kaitan dengan transfer teknologi nuklir. Untuk itu pengaturan terhadap pengawasan perdagangan 99 nuklir internasional diatur dalam Statuta IAEA yaitu Artikel X yang dimana mengatur tentang pelayanan, peralatan, dan fasilitas anggota sehingga dapat membuat suatu layanan yang tersedia sehingga di mungkinkan adanya suatu peralatan dan fasilitas dalam memenuhi tujuan dan fungsi International Atomic Energy Agency (IAEA). Sedangkan pengaturan terhadap komoditi nuklir internasional diatur dalam Statuta IAEA Artikel Xl mengenai proyek-proyek International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk nuklir bertujuan damai, peran dan fungsi pengaturannya menyangkut pengaturan proses dari proyek-proyek International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam melakukan kepada perdagangan nuklir internasional. Menyangkut penyelesaian sengketa menurut prosedur hukum dan melalui proses hukum bagi negara anggota yang melanggar perjanjian yang di buat, sebagaimana tercantum dalam Statuta IAEA Artikel XIX menyangkut penundaan hak negara anggota dalam melakukan proses pengembangan energi nuklir diwilayahnya yang terus-menerus melanggar ketentuan-ketentuan Statuta IAEA atau perjanjian apapun yang di buat sesuai dengan apa yang termuat dalam Statuta IAEA dapat terkendala dari pelaksanaan hak dan kewajiban keanggotaan oleh Konferensi Umum dengan mayoritas dua pertiga anggota yang hadir dan pemungutan suara atas rekomendasi oleh Dewan Gubernur. Ketentuan atas kendala pelaksanaan hak dan kewajiban bagi negara peserta ini oleh konferensi umum terkadang membuat supra-nasional organization yang dimiliki oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional tidak dapat diterapkan kepada negara-negara anggota dari International Atomic 100 Energy Agency (IAEA) itu sendiri seperti upaya atas pemberlakuan sangsi bagi negara yang melanggar peraturan atau statuta. Dalam melaksanakan perannya untuk mengadakan upaya keselamatan dalam pengembangan energi nuklir, International Atomic Energy Agency (IAEA) kemudian membentuk suatu perjanjian internasional untuk menjalankan perannya tersebut demi menjaga keamanan dan kedamaian dunia di bidang penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai. pembentukan perjanjian internasional ini merupakan salah satu kewenangan dari International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan ketentuan yang termuat didalam instrumen pokok yang dimiliki oleh organisasi internasional tersebut seperti pembentukan perjanjian non-proliferasi nuklir yang di buat oleh negara-negara anggota dari International Atomic Energy Agency (IAEA). B. Pengaturan Pengembangan Tenaga Nuklir Menurut Nuclear NonProliferation Treaty (NPT) Perjanjian Non-proliferasi Nuklir (bahasa Inggris: Nuclear NonProliferation Treaty) merupakan suatu perjanjian yang di tandatangani pada 1 Juli 1968 yang kemudian berlaku pada tanggal 5 maret 1970, tujuan di buatnya perjanjian ini adalah untuk membatasi kepemilikan senjata nuklir oleh negaranegara. Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) merupakan suatu perjanjian yang dibuat dalam kerangka organisasi internasional khususnya yang dibuat dalam kerangka International Atomic Energy Agency (IAEA). Nuclear Non- 101 Proliferation Treaty (NPT) sebagai suatu perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional terkait penggunaan energi nuklir. Pembentukan perjanjian Non-proliferasi Nuklir atau Nuclear NonProliferation Treaty (NPT) ini memenuhi beberapa kriteria dasar sebagai suatu dokumen perjanjian untuk dapat ditetapkan sebagai perjanjian internasional seperti Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) memiliki karakter internasional (an international agreement) dan tidak termasuk dalam perjanjian yang berskala nasional seperti perjanjian-perjanjian antarnegara bagian atau antara pemerintahan daerah dari suatu negara nasional, Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) dibuat oleh Negara dan/atau organisasi internasional (by subject of international law) bukan perjanjian antara Negara dengan perusahaan multinasional, dan yang lebih penting adalah Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) tunduk kepada rezim hukum internasional (governed by internastional law). Perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara dalam kerangka organisasi internasional diatur oleh sumber hukum internasional, berisikan ikatanikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum bagi negara-negara tersebut. Akibatakibat hukum tersebut menunjukan sifat mengikatnya dari suatu perjanjian, serta menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara-negara yang terikat atau mengikatkan diri ke dalam perjanjian. Secara hukum Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) merupakan sumber hukum internasional yang mengikat bagi negara dan memiliki kekuatan hukum yang dibentuk oleh organisasi internasional dalam kerangka International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional. 102 Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) merupakan perjanjian internasional yang mencerminkan suatu sifat mengikat antara Negara yang menciptakan hak dan kewajiban secara hukum diantara para pihak yang mengadakan persetujuan mengenai masalah-masalah yang di maksudkan di dalam perjanjian tersebut. Sifat mengikatnya ini merupakan suatu persetujuan tertulis yang dibuat oleh dua atau lebih negara atau organisasi internasional yang bermaksud untuk menciptakan hubungan diantara mereka yang beroperasi di bawah bidang hukum internasional. Hal ini dilandasi oleh Pasal 2 ayat (1) Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional yang dimana telah menetapkan pengertian perjanjian internasional sebagai instrumen hukum. Sebagaimana penulis jelaskan di dalam Bab III bahwa Instrumen hukum yang terkait dan menjadi acuan bagi eksistensi Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) antara lain seperti The Treaty for the Prohibition of Nuclear Weapons in Latin America dimana merupakan perjanjian pelarangan senjata nuklir yang di buat dalam wilayah Amerika, The South Pacific Nuclear Free Zone Treaty (the Rarotonga Treaty), perjanjian ini merupakan perjanjian zona bebas senjata nuklir untuk wilayah laut selatan, The Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone Treaty (the Bangkok Treaty) perjanjian yang di buat untuk pelarangan senjata nuklir di zona asia tenggara, sedangkan untuk wilayah afrika dalam menetapkan wilatah bebas senjata nuklir di atur dalam The African Nuclear-Weapon-Free Zone Treaty (the Pelindaba Treaty). Perjanjian-perjanjian inilah yang kemudian menjadi langkah awal terbentuknya Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT). 103 Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai perjanjian yang di buat dalam kerangka organisasi internasional memiliki batas-batas. Batas-batas tersebut penulis jelaskan di dalam Bab II bahwa perjanjian dalam batas-batasnya merujuk kepada Pasal 5 konvensi wina 1969 yaitu bahwa Nuclear NonProliferation Treaty (NPT) merupakan instrumen pokok dari organisasi internasional tanpa harus mengurangi arti dari setiap aturan yang relevan dari organisasi tersebut, dengan kata lain bahwa pembentukan Nuclear NonProliferation Treaty (NPT) tidak bertentangan dengan Statuta IAEA. Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yang di buat tidak serta merta menjadi perjanjian internasional, hal ini mesti dilihat bahwa agar bisa menjadi perjanjian internasional harus memenuhi beberapa kriteria dasar suatu dokumen perjanjian untuk dapat ditetapkan sebagai perjanjian internasional. Kriteria tersebut antara lain perjanjian tersebut harus berkarakter internasional sehingga tidak termasuk perjanjian-perjanjian yang berskala nasional seperti perjanjianperjanjian antarnegara bagian atau antara pemerintahan daerah dari suatu negara nasional, Perjanjian tersebut harus dibuat oleh Negara dan/atau organisasi internasional, sehingga tidak mencakup perjanjian yang sekalipun bersifat internasional namun oleh bukan subjek hukum internasional, seperti perjanjian antara Negara dengan perusahaan multinasional, serta pejanjian tersebut tunduk kepada rezim hukum internasional. Selain dari ketiga kriteria tersebut di atas, seperti yang penulis jelaskan di dalam Bab II bahwa Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai perjanjian internasional dalam pembentukannya dibagi ke dalam beberapa tahapan yaitu 104 perundingan (negotiation) sebagai langkah awal untuk mengadakan perjanjian yang dimana di dasarkan kepada penunjukan surat kuasa dari wakil sah suatu negara, tahap penandatanganan (signature) yaitu dimana merupakan persetujuan suatu negara untuk mengikatkan diri kepada suatu perjanjian dan dapat diberikan dengan berbagai cara tergantung dari persetujuan antar negara peserta, dan yang terakhir adalah pengesahan (ratifikasi) yang merupakan tindakan dimana negara mengikatkan diri kepada perjanjian. Mengenai kapankah suatu persetujuan terikat kedalam perjanjian dinyatakan dengan cara ratifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Konvensi Wina 1969 yang merumuskan syarat-syaratnya dan kemudian diterapkan di dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), tindakan tersebut merupakan tindakan internasional dimana negara mengikatkan diri kepada perjanjian tersebut. Dari ke tiga keriteria tersebutlah dapat dilihat bahwa Nuclear NonProliferation Treaty (NPT) merupakan suatu perjanjian internasional yang tentunya mengikat negara-negara untuk tunduk kepada perjanjian tersebut sebagaimana yang di cantumkan dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional mengenai prinsip mengikatnya perjanjian bagi Negara peserta perjanjian. Perjanjian internasional merupakan sumber hukum internasional yang melalui pendekatan Hardlaw. Hardlaw yaitu merupakan suatu pendekatan terhadap Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yang dapat ditinjau pada penerapan dari subtansi materil perjanjian internasional atau Nuclear NonProliferation Treaty (NPT) itu sendiri. 105 Negara-negara yang telah menandatangani Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai negara non-senjata nuklir dan mempertahankan status tersebut memiliki catatan baik untuk tidak mengembangkan senjata nuklir. Di beberapa wilayah, fakta bahwa negara-negara tetangga bebas dari senjata nuklir mengurangi tekanan bagi negara tersebut untuk mengembangkan senjata nuklir sendiri, biarpun negara tetangga tersebut diketahui memiliki program tenaga nuklir damai yang bisa memicu kecurigaan. Dalam hal ini, Nuclear NonProliferation Treaty (NPT) bekerja sebagaimana mestinya. mengikatnya perjanjian bagi negara-negara peserta tentu merupakan suatu sumber hukum dalam perangkat Hardlaw. Mengikatnya Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) ini dapat dilihat dalam Artikel I dan II yang dimana negara-negara peserta yang terikat ke dalam perjanjian digolongkan ke dalam negara yang bersenjatakan nuklir yang disebut derngan Nuclear Weapon States (NWS) dan negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir yang disebut dengan Non-Nuclear Weapon States (NNWS). Pembukaan perjanjian menerangkan bahwa negara-negara pemilik senjata nuklir berusaha mencapai rencana untuk mengurangi dan membekukan simpanan mereka, dan Artikel IV dari Perjanjian menyatakan dalam perlucutan umum dan lengkap di bawah kendali internasional yang tegas dan efektif merupakan upaya dari International Atomic Energy Agency (IAEA) melalui Nuclear NonProliferation Treaty (NPT) untuk membatasi negara-negara pemilik senjata nuklir. Doktrin serangan dan bentuk ancaman lainnya bisa dianggap sebagai 106 bujukan atau godaan oleh negara-negara yang tidak memiliki senjata nukllir untuk membuat dan mengembangkan nuklir untuk tujuan militer. Mengikatnya Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai sumber hukum dalam mengawasi pengembangan program tenaga nuklir yang dilakukan oleh suatu Negara-negara dapat dilihat dalam Artickel IX Ayat 1-6 Nuclear NonProliferation Treaty (NPT) yang dimana Negara tersebut menyatakan keikut sertaanya kedalam perjanjian, Melalui ratifikasi oleh negara penandatangan traktat,dan penyimpanan bukti ratifikasi atau kesepakatan. Dibuat dan mengikatnya perjanjian bagi Negara-negara peserta yang ikut menandatangani serta meratifikasinya, hal ini sesuai dengan adagium Pacta Sunt Servanda yang berarti negara-negara harus melaksanakan dengan itikad baik segala kewajiban mereka yang ada didalam perjanjian. Dibolehkannya sebuah negara untuk mundur dari perjanjian diatur dalam Artikel X Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) dimana jika terjadi hal-hal penting, yang berhubungan dengan subjek perjanjian, telah mengacaukan kepentingan utama negara tersebut, memberikan pemberitahuan tiga bulan sebelumnya dan negara tersebut harus memberikan alasannya keluar dari perjanjian mengatakan jika salah satu negara anggotanya berperang, maka perjanjian ini tidak lagi berlaku. Artinya negara tersebut dapat keluar tanpa pemberitahuan. Argumen ini dibutuhkan untuk mendukung kesepakatan senjata nuklir, namun sebenarnya bertolakbelakang dengan Perjanjian Non-Proliferasi ini. 107 Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) dalam proses pembentukan dan penerapannya menekankan kepada prinsip Pacta Tertiis Nee Nocent Nee Prosunt yang berarti bahwa perjanjian tidak dapat menimbulkan hak-hak dan kewajibankewajiban pada negara ketiga. Hal ini dapat dilihat dengan tidak di keluarkanya sanksi terhadap tiga negara yang tidak menjadi anggota dan tidak ikut menanda tangani Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) tersebut. Sebagai prinsip umum, Pacta Tertiis Nee Nocent Nee Prosunt ini diatur dalam Pasal 34 Konvenasi Wina 1969 tentang perjanjian internasional yang dimana suatu perjanjian internasional tidak dapat menciptakan hak maupun kewajibannya kepada negara ketiga tanpa ada kesepakatan atau persetujuan negara tersebut. Namun, terdapat pengecualian dari Pasal 34 Konvensi Wina 1969 yang dimana perjanjian-perjanjian multilateral dan bilateral yang memuat hukum kebiasaan internasional akan berlaku juga bagi negara-negara yang bukan peserta, tetapi posisi yang sebenarnya adalah bahwa negara-negara yang bukan peserta tidak diikat oleh perjanjian melainkan oleh hukum kebiasaan walaupun formulasi akhir dari hukum tersebut dalam perjanjian serta perjanjian-perjanjian multilateral yang meciptakan peraturan hukum internasional yang baru dapat mengikat negara-negara yang bukan peserta dengan cara yang sama dengan semua peraturan hukum internasional atau de facto dapat ditetapkan oleh mereka dalam instrumen-instrumen baku. Adanya pengecualian terhadap Pasal 34 Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional dapat dilihat dalam dua cara yaitu adanya Asas doktrin yang mengecualikan prinsip “pacta tertiis” sehingga negara ketiga dapat menikmati hak dan dibebani kewajiban atas dasar suatu perjanjian dan adanya 108 hubungan antara perjanjian internasional dengan hukum kebiasaan internasional yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara ketiga. C. Penerapan Sanksi Terhadap Pelanggaran Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk Tujuan Damai Disahkanya Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai suatu instrumen yuridis bagi International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk melaksanakan peran dan fungsinya didalam melakukan pengawasan terhadap pengembangan penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai tidak dapat di terapkan secara maksimal. Dengan di keluarkanya sanksi oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) bagi negara anggota International Atomic Energy Agency (IAEA) terkait pelanggaran pengembangan nuklir untuk tujuan damai mengambarkan bahwa perjanjian atau Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) tersebut tidak berjalan secara maksimal. Sebagaimana diatur dalam Statuta IAEA Artikel XVI terkait peran dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangasa (DK PBB) yang memiliki hubungan dengan peran International Atomic Energy Agency (IAEA) yang mana kedudukannya tersebut berada di atas International Atomic Energy Agency (IAEA) memiliki fungsi sebagai badan pertimbangan terhadap laporan badan resolusi tentang tindakan yang akan diambil oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) menyangkut masalah penyelesaian sengketa dan pemberian sanksi terhadap setiap pelanggaran di bidang nuklir. Selain fungsi di atas, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) juga memiliki peran untuk 109 membangun hubungan politik antar negara di dalam kerangka organisasi jika keterkaitan dengan masalah perdamaian dan keamanan dunia. Sedangkan di lihat dari fungsi administrasinya, Dewan Keamanan Perseriktatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dengan pelanggaran pengembangan tenaga nuklir berperan menerima penyampaian laporan pertanggung jawaban dan mengembalikan laporan pertanggung jawaban beserta rekomendasi-rekomendasinya terhadap setiap masalah sebagaimana yang telah di tetapkan dalam Statuta IAEA. Pelanggaran terhadap pengembangan energi nuklir membuat masyarakat internasional menjadi lebih waspada terhadap peredaran senjata nuklir. Resolusi yang berisikan antara lain menegaskan bahwa negara yang dianggap telah melanggar Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) harus menunda menggunakan atau penerimaan atas pengembangan reaktor nuklir yang diperlukan oleh gubernur jenderal dewan pengurus International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagaimana di cantumkan dalam resolusi yang mana secara esensial untuk membangun kepercayaan didalam maksud damai secara ekslusive karena program nuklir. Penjatuhan resolusi kepada negara iran merupakan suatu tindakan hukum berupa pendekatan Softlaw. Pendekatan Softlaw sedikit banyak memperkuat persepsi suatu perkembangan hukum internasional kearah keaneka ragaman yang bertambah besar dalam sumber hukum yang menuntut pandangan yang lebih jauh akan sangat jauh dalam intensitasnya. Resolusi pertama yang di jatuhkan adalah Resolusi 1696 yang kemudian lebih lengkapnya dimasukan kedalam resolusi berikutnya yaitu Resolusi 1737 pada tahun 2006. Selang beberapa tahun 110 penjatuhan resolusi tersebut dikarenakan tidak adanya kerjasama yang baik antara International Atomic Energy Agency (IAEA) dengan negara Iran yang di duga melakukan pelanggaran terhadap pengembanagan energi nuklir untuk tujuan damai, maka menyusul kemudian dikeluarkannya dua Resolusi yaitu Resolusi 1747 pada tahun 2007 dan Resolusi 1929 pada tahun 2010. Penjatuhan resolusi tersebut merupakan sebagai doktrin sumber hukum internasional yang dimana menyiratkan pendektan Softlaw, Softlaw mencoba menggambarkan implikasi-implikasi hukum dari instrumen-instrumen yang secara hukum tidak mengikat, terutama juga mengenai hubungannya dengan peraturanperaturan hukum yang mapan (full fledged legal rules). Hubungan dengan peraturan yang mapan merujuk kepada doktrin sumber hukum Hardlaw dimana berupa perjanjian internasional atau Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT). Komitmen dari Negara iran dalam menindak lanjuti keluarnya resolusi oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yaitu antara lain terkait komitmennya untuk menangani semua keprihatinan yang beredar dari masyarakat internasional melalui kerjasama penuh dengan International Atomic Energy Agency (IAEA), di lakukan diverifikasi oleh International Atomic Energy Agency (IAEA), seperti yang diminta oleh Dewan Gubernur International Atomic Energy Agency (IAEA) dan Dewan Keamanan, dan berkomitmen untuk melanjutkan negosiasi serta melanjutkan pelaksanaan Protokol Tambahan. Tindakan yang dilakukan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) merupakan tindakan terhadap penerapan konsep safeguard yang sebagaimana tercantum di dalam Statuta IAEA Artikel III.A.5, Artikel XI tentang Agency 111 Project, Dan Artikel XII tentang Safeguard, sementara itu pengaturan mengenai sanksi terhadap pelanggaran penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai tidak diatur di dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) itu sendiri, Perjanjian hanya mengatur Negara pemilik teknologi nuklir yang terikat oleh perjanjian untuk bernegosiasi atas langkah-langkah yang berkaitan dengan penghentian senjata nuklir dan pelucutan senjata dengan itikad baik. Langkah-langkah terkait dikeluarkanya resolusi membentuk empat model pengawasan yang dimana International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam melaksanakan di patuhinya resolusi yang telah di keluarkan oleh dewan keamanan bertujuan agar negara yang telah di jatuhkan sanksi tersebut di awasi dalam melakukan pengembangan teknologi nuklirnya secara khusus, serta dapat menjalankan pengembangan teknologi untuk tujuan damai. Keempat model pengawasan sangat perlu karena sulit bagi negara yang sudah punya senjata nuklir untuk melucuti senjatanya sendiri, atau mengawasi pengembangan teknologinya sehingga hanya mengarah pada pemakaian energi nuklir semata. Masalah ini bukan soal isu teknologinya, tapi pada kemauan politik dan persepsi negosiasi dan itikad baik negara Iran dan International Atomic Energy Agency (IAEA) terhadap ancaman dan keamanan negara. Negara Iran sadar perlu jaminan keamanan, sewaktu-waktu senjata itu diperlukan. Karena itu, perlu bahwa negaranegara pemilik senjata itu perlu mengkonkretkan langkah untuk membebaskan dunia dari senjata nuklir. Tidak diaturnya sanksi dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) membuat peran International Atomic Energy Agency (IAEA) menjadi lebih sulit, 112 hal ini dikarenakan International Atomic Energy Agency (IAEA) sendiri pada dasarnya tidak mengeluarkan sanksi, namun hanya menjalankan fungsi pengawasan terhadap negara yang di duga telah melanggar Nuclear NonProliferation Treaty (NPT). Dalam hal pemberian sanksi International Atomic Energy Agency (IAEA) membawanya ke dewan keamanan perserikatan bangsabangsa sebagai organisasi internasional yang berada di atas International Atomic Energy Agency (IAEA) itu sendiri sebagaimana diatur dalam Statuta IAEA Artikel XVII untuk menggunakan cara negosiasi terhadap negara yang diduga telah melanggar Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai instrumen internasional tidak di jalankan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) sehingga resolusi atau sanksi yang di berikan terhadap negara iran tersebut dapat bersifat sepihak, karena dewan keamanan hanya menentukan suara, sedangkan fungsi pemeriksaan, pengawasan dan penentuan terhadap adanya penggunaan energi nuklir di lakukan sepenuhnya oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). Resolusi sebagai suatu langkah tegas dalam melakukan pengawasan terhadap pengembangan energi nuklir untuk tujuan damai merupakan suatu landasan dan acuan terhadap pelanggaran yang telah di lakukan oleh negara anggota, namun resolusi tersebut hanya lebih bersifat teknis, sedangkan hal-hal yang menyangkut mengenai subtansi dari Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) tidak semuanya di laksanakan secara tegas dan mengikat. Pada kenyataannya, hampir semua negara Non-Nuclear Weapon States (NNWS) yang tidak berapiliasi dengan negara Nuclear Weapon States (NWS) terus bersiasat 113 agar nuklir masing-masing Non-Nuclear Weapon States (NNWS) dapat berkembang. Ketidak tegasan ini dapat membuat negara-negara baik itu Nuclear Weapon States (NWS) maupun Non-Nuclear Weapon States (NNWS) dalam menghadapi masalah nuklir dapat menghadapi kebuntuan, sehingga kebijakan “brinkmanship’ dapat diambil secara sepihak. Kebijakan ini merupakan kebijakan dimana praktik politik luar negeri yang akan terus maju sepanjang masih memungkinkan walaupun harus menentang bahaya sampai pada saatnya harus berhenti. Kebijakan ini merupakan bentuk ke tidak tegasan baik dari Nuclear NonProliferation Treaty (NPT) sebagai produk hukum International Atomic Energy Agency (IAEA) serta tidak di patuhinya setiap resolusi yang di keluarkan oleh DK PBB. Ketidak patuhan negara yang telah di jatuhkan sanksi oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) menjadi suatu titik balik bagi peran dan fungsi International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional untuk bisa lebih mengoptimalkan pengawasannya di bidang pengembangan tenaga nuklir untuk tujuan damai, sehingga dapat tercipta “Atom For Peace” sebagai tujuan awal dibentuknya organisasi tersebut, serta yang lebih penting adalah dunia dapat terhindarkan dari bencana perang nuklir. 114 BAB V SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: A. Simpulan 1. Sebagai organisasi internasional, International Atomic Energy Agency (IAEA) berperan dalam mencari cara mempercepat dan memperbesar kontribusi pengembangan energi nuklir untuk tujuan damai, serta melakukan pengawasan dan pengontrolan pengembangan energi nuklir sehingga tidak di gunakan untuk tujuan militer. Peran tersebut sesuai dengan Statuta IAEA Pasal II, melakukan verifikasi terhadap negara yang melakukan pelanggaran pengembangan energi nuklir sesuai dengan fungsi International Atomic Energy Agency (IAEA) yang terdapat dalam Statuta IAEA Pasal III, serta membuat penetapan safeguard atau standar keselamatan terhadap negara yang akan melakukan pengembangan energi nuklir untuk tujuan damai sebagai mana diatur pula dalam Nuclear NonProliferation Treaty (NPT) Artikel III Ayat 1-3. 2. Menurut Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Artikel III Ayat 1-3, International Atomic Energy Agency (IAEA) memainkan peranan yang sangat penting dalam melakukan pengawasan terhadap pengembangan energi nuklir untuk tujuan damai. International Atomic Energy Agency 115 (IAEA) memiliki kewenangan terhadap negara yang melakukan pengembangan energi nuklir yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Kewenangan International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam perjanjian tersebut hanyalah bersifat fungsional administratif, bukan bersifat fungsional jurisdiksi. 3. Resolusi yang dikeluarkan yaitu Resolusi 1696 dan kemudian dimasukan kedalam Resolusi 1737, menyusul dengan dikeluarkannya dua Resolusi lain yaitu Resolusi 1747 dan Resolusi 1929 terkait penghentian pengembangan tenaga nuklir oleh Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa (DK PBB), Resolusi tersebut dikeluarkan sebagai suatu langkah tegas yang dilakukan dan merupakan suatu kewenangan yang bersifat jurisdiksi, namun Resolusi tersebut hanya lebih bersifat teknis, sedangkan hal-hal yang menyangkut mengenai pemberian sangsi atau Resolusi dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sendiri tidak di atur secara tegas. B. Saran 1. Sebagaimana diatur di dalam Statuta IAEA Pasal II tentang fungsi dari International Atomic Energy Agency (IAEA), untuk lebih mengoptimalkan perannya tersebut maka perlu adanya pengawasan yang secara intensif atas standar keselamatan serta kerjasama dari negara yang memiliki instalasi nuklir agar dalam melakukan pengembangan energi nuklir terbuka kepada masyarakat internasional, khususnya kepada International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai lembaga yang berwenang atas program pengembangan tenaga nuklir untuk tujuan damai sehingga tidak terjadi 116 kecurigaan yang akan berdampak kepada penjatuhan sangsi atau Resolusi serta terciptanya keamanan dan ketertiban dunia. 2. Perlunya pengaturan sangsi di dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sehingga dapat memiliki efek tegas di dalam perjanjian tersebut sebagai suatu instrumen hukum internasional dan termasuk cara-cara dalam menyelesaikan sengketa atas dugaan adanya pelanggaran pengembangan energi nuklir untuk tujuan damai. 3. Dalam penerapan sangsi terhadap pelanggaran pengembangan tenaga nuklir untuk tujuan damai diperlukan kerjasama dari berbagai pihak, yang mana dalam hal ini International Atomic Energy Agency (IAEA) dan negara-negara anggotanya, serta dilakukannya verifikasi dan pengawasan secara intensif sehingga penerapan sangsi dapat menjadi suatu landasan bagi negara yang mencoba mengembangkan teknologi nuklirnya untuk tujuan damai agar tidak melanggar Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT). 117 DAFTAR PUSTAKA REFERENSI BUKU Adel El-Gorary, Ahmadinnejad: The Nuclear Savior of Tehran, Pustaka Iman, Jakarta. Tahun 2008. Bertrand Russell, Akal Sehat Dan Ancaman Nuklir, Ikon Terlitera, Yogyakarta. Tahun 2002. Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, Cetakan Ke-II. Tahun 2005. Carlton Stoiber…[et al.], Handbook On Nuclear Law, IAEA Publishing, Vienna. Tahun 2009 ___________________, Handbook On Nuclear Law: Implementing Legislation, IAEA Publishing. Tahun 2010. David Fischer, History Of The International Atomic Energy Agency The First Forty Years, IAEA, Vienna, The Agency. Tahun 1997. D.W Bowett Q.C.LL.D, Hukum Organisasi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta. Tahun 1995. Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian International: Kajian Teori dan Praktek Indonesia, PT. Rafika Aditama, Bandung. Tahun 2009. G.J.H Van Hoof, Pemikiran Kembali Sumber Hukum Internasional, Alumni, Bandung. Tahun 2000. Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Rimdi Press, Bandung. Tahun 1995. Ian Brownlie, Principle of Public International Law, Oxford University Prees, United States. Tahun 2008. Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, P.T Sinar Grafika, Jakarta. Tahun 2009. J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Aksara Persada, Jakarta. Tahun 1989. John O`brien, International Law, Cavendish Publishing Limited, London. Tahun 2002. Mochtar Kusumaatmaadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung. Tahun 2003. Muhamad Awan, Rahasia Nuklir Israel, Navila Idea, Yogyakarta. Tahun 2010. Rony Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, PT.Ghalia Indonesia, Jakarta. Tahun 1998. Sefriani, Hukum Internasional: Sebuah Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Tahun 2010. Setyo Widagdo, Masalah-Masalah Hukum Internasional Publik, Bayumedia Publisher, Malang. Tahun 2008. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT.RajaGrasindo Persada. Tahun 1983. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta. Tahun 2010. Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Tahun 1990. __________________, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Alumni, Bandung. Tahun 1997. ___________________, Hukum Perjanjian Internasional, PT. Tatanusa, Jakarta. Tahun 2008. Teuku May Rudy, Administrasi dan Organisasi Internasional, PT. Eresco, Bandung. Tahun 1993. ________________, Hukum Internasional 1, PT. Rafika Aditama, Bandung. Tahun 2006. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional: Bunga Rampai, Alumni, Bandung. Tahun 2003. Peraturan-Peraturan Vienna Convention On The Law Of Treaties 1969 Statute International Atomic Energy Agency (STATUTA IAEA) Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Security Council Resolution 1696 (Tahun 2006) Security Council Resolution 1737 (Tahun 2006) Security Council Resolution 1747 (Tahun 2007) Security Council Resolution 1929 (tahun 2010) Sumber Lainnya Ari Nursanty, Masalah Nuklir Tak Kunjung Berakhir, Pikiran Rakyat, 29 Desember 2009. IAEA Bulletin, The International Legal Framework for Nuclear Security, IAEA International Law Series No. 4, Vienna, Austria, January 2011. IAEA, Amendment To The Convention On The Physical Protection Of Nuclear Material, IAEA International Law Series No. 2, Vienna, Austria, 2006. IAEA, Joint Convention On The Safety of Spent Fuel Management and on the Safety of Radioactive Waste Management, IAEA International Law Series No.1, Vienna, Austria. 2006 IAEA, Nuclear Safety Review for the Year 2009, IAEA Bulletin, Vienna, Austria, July 2010 Javad Zarif, Sanksi Atas Iran: Zero-Sum Game, Bulletin SY`IAR, Edisi Muharam 1428H, 23 Desember 2007. Lina Nursanty, Uji Coba Senjata Nuklir, Pikiran Rakyat,19 Oktober 2009 Peter Kaiser..(Editor), Keys To Security, IAEA Bulletin, Division of Public Information IAEA, Vienna, Austria. 2010 Resolusi DK PBB 1747: OKI Memahami Sikap Indonesia Soal Iran, Kompas, 5 April 2007. Rumadi, Iran Pasca Resolusi DK PBB, Kompas, 30 April 2007. Tariq Rauf and Zoryana Vovchok, A Secure Nuclear Future: Several Mechanisms Are Under Consideration to Guarantee Assurances of Supply of Nuclear Fuel to States, IAEA Bulletin, Vol 51-1, Austria, September 2009. Tomihiro Taniguchi, A Global Challenge: Nuclear Activities Are Increasingly Multinational, No Longer Confined To The Borders Of One Country., IAEA Bulletin, Vol 50-2, Austria, May 2009. Vilmos Cserveny, Road to Disarmament, Vol 51-1, IAEA Bulletin, Austria, September 2009 Sumber Internet Adita Bella Lastania, Definisi Organisasi Internasional Menurut Clive Archer, http://www.google.com/14 November 2010; http://bataviase.co.id/detailberita, 22 November 2010; http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi, 09 Desember 2010 http://en.wikipedia.org/wiki/Nuclear_Non-Proliferation_Treaty, 06 desember 2010; http://indonesian.irib.ir/:strategi-iran-lucuti-senjata-nuklir-dunia-nuklir, 22Novemver 2010; http://petikdua.wordpress.com/2009/11/11/definisi-dan-analisis-definisiorganisasi-kerjasama-internasional; http://wbw-wbw.blogspot.com/2010/08/negara-negara-pengguna-nuklir-didunia.html; http://www.iaea.org/statute-IAEA/pdf; http://www.world-nuclear.org/info.html.12 januari 2011.