BAB II TEORI DASAR

advertisement
BAB II
TEORI DASAR
2.1 Batuan
Mineral terbentuk secara alamiah oleh alam dari gabungan senyawa kimia
di bumi. Mineral biasa ditemukan dalam bentuk butiran yang diameternya
berkisar antara sub atomik hingga sentimeter. Untuk mendefinisikan mineral
secara spesifik, komposisi mineral serta struktur molekulnya harus tertentu.
Sedangkan batu adalah mineral yang terkumpul dan dapat memperlihatkan
sifat-sifat yang tidak dimiliki mineral jika berdiri sendiri. Mikrostruktur batuan
digunakan untuk menjabarkan kompleksitas geometri internal batuan. Satu
karakteristik
batuan
yang
menarik
yaitu
besarnya
ketidaksamaan
atau
inhomogenitas yang terjadi sehingga sifat fisis batuan dapat bergantung pada
besarnya skala pengukuran.
Berdasarkan proses yang terjadi, batuan dibedakan menjadi tiga yaitu
batuan beku, batuan sedimen, serta batuan metamorf. Pada batuan beku proses
kristalisasi dan pembekuan atau pengerasan magam yang keluar dari perut bumi
ke permukaan terjadi dalam waktu cepat ataupun lambat. Batuan sedimen
terbentuk dari proses-proses kimia atau fisika, seperti pengaruh cuaca, terbawa
angin yang kemudian teerkumpul di suatu tempat, atau terbawa air yang kemudian
Halaman |6
mengendap atau tersedimentasi. Sedang batuan metamorf terbentuk akibat efek
terkubur ataupun pemanasan.
Jumlah batuan beku di lapisan kerak bumi mencapai 95 %, namun 75 %
dari permukaan benua dan permukaan lempeng samudera merupakan batuan
sedimen (Palciauskas, et. al. 1994). Karena batuan beku lebih padat,
difungsikankan sebagai lantai rumah, dll. Batuan sedimen lebih berongga,
sehingga ruang porinya dapat menyimpan fluida. Fluida berupa gas, minyak atau
air atau pun campuran dari ketiganya.
Salah satu jenis batuan sedimen adalah lempung (clay). Batu lempung
merupakan jenis batuan sedimen yang memiliki ukuran butir lebih kecil dari
(http://id.wikipedia.org/wiki/Batuan_sedimen).
Batu
lempung
umumnya bersifat plastis, berkomposisi hidrous alumunium silikat (2H2OAL2O3.
2SiO2) atau mineral lempung yang mempunyai ukuran butir halus (Pettijohn,
1957).
Gambar 2.1 Lempung
2.2 Sifat-sifat Batuan
2.2.1 Porositas
Porositas adalah ukuran volume pori yang dimiliki suatu batuan. Porositas
didefinisikan sebagai bagian volume batuan yang tidak menempati zat padatan di
batuan. Secara matematis, porositas adalah persentase volume pori dibagi volume
total batuan.
VP
×100 %
V
V P = Volume Pori
φ=
V = Volume Total
Nilai porositas menentukan besar jumlah fluida yang terkandung di dalam
batuan. Porositas sendiri dibedakan menjadi dua yaitu porositas total dan porositas
efektif. Porositas total adalah nilai total semua ruang pori yang ada pada suatu
batuan per seluruh volume batuan. Sedangkan porositas efektif adalah nilai ruang
pori yang saling terhubung hingga dapat mengalirkan fluida.
2.2.2 Tortuositas
Tortuositas didefinisikan sebagai panjang ruang pori, yang saling
terhubung dengan yang lainnya sehingga membentuk jalur yang dialiri fluida, dari
satu sisi ke sisi yang berseberangan dibandingkan dengan panjang dari sampel
batuan tersebut (Palciauskas, et. al. 1994). Tortuositas berkaitan dengan porositas
efektif karena sama-sama berkaitan dengan ruang pori batuan yang saling
berhubungan.
Gambar berikut merupakan ilustrasi tortuositas.
Gambar 2.2 Tortuositas
Secara matematis, tortuositas adalah
L'
L
L' = panjang saluran pori
L = panjang dimensi batuan
τ=
2.2.3 Bilangan Koordinasi
Bilangan koordinasi adalah jumlah pertemuan jalur pori pada satu node.
Bilangan koordinasi dapat dihitung hanya pada batuan ataupun model batuan tiga
dimensi.
2.3 Geometri Fraktal
Terdapat dua metode untuk melukiskan objek, yaitu metode geometri
euclidian dan metode geometri fraktal. Metode geometri euclidian adalah metode
untuk melukiskan objek dengan persamaan matematika (Hearn, 1977). Metode ini
cocok untuk melukiskan objek-objek industri yang bentuknya teratur dan
permukaannya halus seperti persegi, persegi panjang, lingkaran, dll dalam dua
dimensi dan kubus, kerucut, bola, dll dalam tiga dimensi. Sedangkan metode
geometri fraktal adalah metode untuk melukiskan objek-objek alami yang
memiliki bentuk yang tidak teratur seperti tepi pantai, awan, gunung, batuan, dll.
Geometri fraktal dikenalkan oleh Mandelbrot pada 1977. Terdapat dua
karakteristik dasar objek fraktal yaitu memiliki detil yang tak berhingga pada
setiap titik, dan memiliki kemiripan bentuk potongan objek dengan objek induk
secara keseluruhan (Hamzah, 2006).
Gambar 2.3 Fraktal Kurva Von Koch 1 Dimensi
Ada dua cara untuk membentuk objek fraktal. Pertama yaitu dengan
menerapkan proses berulang (iterative process) pada persamaan sederhana.
Metode lainnya adalah dengan menggunakan sistem fungsi teriterasi atau Iterated
Function System (IFS). Dalam tugas akhir ini akan digunakan metode iterative
process sebagai metode untuk merekonstruksi model pigeon hole.
2.4 Model Pigeon Hole
Model pigeon hole pertama kali diperkenalkan oleh Hansgeorg Pape pada
tahun 1987 dalam papernya. Model ini menggunakan prinsip self similarity pada
struktur dan sub stukturnya. Struktur dasar model pigeon hole berupa sebuah
lingkaran, kemudian lingkaran ini dikelilingi sub struktur yang merupakan objek
setengah lingkaran dalam ukuran yang lebih kecil dari struktur dasar objek (Pape,
1987).
Gambar 2.4 Model Pigeon Hole 2D Batuan Sedimen
Gambar berikut merupakan ilustrasi Pape membuat batuan sedimen dengan model
pigeon hole.
Pembuatan model pigeon hole menggunakan langkah berulang untuk
membuat objek yang semakin kasar. Program rekonstruksi pigeon hole dua
dimensi yang telah dilakukan menggunakan langkah-langkah seperti dijelaskan
pada gambar berikut:
Level 0
Level 1
Gambar 2.5 Inisiator dan Generator Pigeon Hole 2 Dimensi
Dengan proses berulang (iterative process), level 0 merupakan objek awal atau
inisiator, sedangkan level 1 adalah bentuk pembangkit atau generator. Proses
berikutnya menempatkan setiap lengkungan lingkaran pada bentuk pembangkit.
Hasil proses iterative membentuk seperti berikut ini:
Level 2
Level 3
Gambar 2.6 Model Pigeon Hole 2 Dimensi
Untuk merekonstruksi model pigeon hole dalam ruang tiga dimensi
dilakukan cara yang sama seperti ketika merekonstruksi model pigeon hole dua
dimensi. Dengan level 0 sebagai objek mula-mula atau inisiator, dan level 1
sebagai objek pembangkit atau generator.
2.5 Two Point Correlation Function (TPCF)
Sebelum menjelaskan mengenai two point correlation function, akan
dijelaskan terlebih dahulu mengenai one point correlation function. Gambar yang
hanya terdiri atas dua komponen, seperti image batuan berpori yang terdiri atas
bagian pori dan bagian matriks batuan. Jika image direpresentasikan dengan
fungsi f, dan pada posisi x yang merupakan pori maka f(x)=1, dan jika x
merupakan matriks maka f(x)=0, jumlah seluruh fungsi f pada seluruh x adalah
yang disebut one point correlation function (S1).
Karena f(x) yang memiliki nilai hanya pada ruang pori saja, maka perhitungan one
point correlation function tak lain merupakan nilai porositas dari image batuan itu
sendiri.
Sedangkan pada two point correlation function (TPCF), jika dilakukan
anggapan yang sama ketika menganalisa one point correlation function yaitu
image direpresentasikan dengan fungsi f, dan pada posisi x yang merupakan pori
maka f(x)=1, dan jika x merupakan matriks maka f(x)=0, maka two point
correlation function adalah jumlah probabilitas dari dua titik yang terpisah jarak r,
keduanya berada dalam ruang pori.
Gambar 2.7 Contoh Grafik Two Point Correlation Function
Gambar 2.7 diatas adalah satu contoh grafik two point correlation
function dengan porositas batuan sekitar 0,0788. Sumbu-x pada grafik diatas
adalah variasi jarak r antar dua titik, sedangkan sumbu-y merupakan nilai korelasi
antara dua titik tersebut (S2). Pada x=0, nilai y adalah nilai porositas batuan. Dan
dari grafik two point correlation function ini dapat pula didapatkan nilai porositas
efektif, ukuran butiran mikrostruktur, serta dapat menjelaskan morfologi partikel
secara kualitatif.
Download