Pemahaman Dinamika Iklim Di Negara Kepulauan Indonesia Sebagai Modalitas Ketahanan Bangsa (NASKAH ORASI PROFESSOR RISET, 2 JULI 2014) DR. EDVIN ALDRIAN KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BMKG I. PENDAHULUAN Benua maritim Indonesia adalah wilayah yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Hal ini dikarenakan wilayah Indonesia terletak daerah tropis diantara dua benua dan dua samudera. Dengan tata letak demikian maka benua maritim adalah salah satu pusat kendali sistim iklim dunia.1 Akibatnya kejadian perubahan iklim yang terjadi di wilayah ini akan memberi pengaruh terhadap kondisi iklim global.2 Dalam fungsi sebaliknya, perubahan yang terjadi secara global juga akan memberi pengaruh terhadap benua maritim. Beberapa ciri khas yang dimiliki oleh benua maritim dalam efek timbal balik terhadap perubahan iklim dunia: - Sistim sirkulasi atmosfer barat timuran (zonal) Walker dan sistim sirkulasi utara selatan (meridional) Hadley yang salah satu pusat aksinya berada di benua maritim Sistim sirkulasi arus laut global yang melalui perairan Indonesia yaitu arus lintas Indonesia (Arlindo) Tingkat kelembaban tinggi daerah tropis serta fungsi hutan tropis sebagai paru paru dunia Peran pulau pulau kecil benua maritim dan interaksi aktif darat laut dan atmosfer wilayah Indonesia sebagai sumber energi laten wilayah tropis dan subtropis. Permasalahan pokok dari monsoon dan perubahan iklim adalah: - bagaimana mengenali karakter utama dari monsoon Indonesia yang dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim global dan bagaimana proyeksi iklim Indonesia ke depan, mengenali tanda-tanda pemanasan global dan perubahan iklim yang sudah terjadi di Indonesia serta implikasi langsung atau tidak langsung pada sistim monsoon, kebijakan institusi penanganan isu perubahan iklim. II. MONSOON INDONESIA II.1 Definisi Monsoon Kata monsoon berasal dari bahasa Arab “musim” yang berarti pergantian pola angin yang berakibat pada pergantian pola iklim yang ditandai dengan perubahan pola hujan. Monsoon memiliki perioda setengah tahunan dan di Indonesia dikenal sebagai musim kemarau dan musim hujan. Faktor utama pengendali monsoon adalah: a) sirkulasi pergerakan utara selatan dari garis equinoks matahari akibat sistim rotasi dan evolusi peredaran bumi terhadap matahari. Akibat sistim ini terjadi pergeseran pusat radiasi maksimum yang mendorong perubahan lokasi tekanan rendah dan memicu aliran angin. b) Posisi benua dan samudera sebagai penyedia uap air (laut) dan penyedia pusat tekanan rendah (daratan). Fenomena ini pada skala lokal ditandai dengan peristiwa angin darat dan laut pada malam dan siang hari. Saat datangnya musim mulai dari barat laut ke arah tenggara melintas benua Maritim Indonesia dipengaruhi oleh letak Benua Asia dan Australia dan Samudra Pasifik dan Hindia.3 Kerumitan karakter benua maritim juga ditandai dengan banyaknya pulau kecil, Arlindo dan interaksi laut atmosfer yang kompleks menyebabkan beberapa jenis pola monsoon. II.2 Penelitian Monsoon Indonesia Peneliti Belanda bernama Braak4 menunjukkan sifat monsoon di Indonesia dengan argumennya bahwa variasi iklim Indonesia sangat kompleks dan lebih dipengaruhi oleh monsoon, efek pegunungan lokal dan tata letak daratan pulau dan lautnya. Braak dan dilanjutkan oleh Preedy5 membuat pembagian tipe iklim dengan berdasar kepada pola curah hujan rerata dengan basis pulau pulau kecil yang dikelilingi oleh beberapa pulau besar. Selanjutnya Wyrtki6 menghasilkan 9 tipe pola musim berdasarkan pembagian wilayah laut. Hasil validasi model global ECHAM4 (European Center-Hamburg) dengan data curah hujan wilayah Indonesia menghasilkan 5 pola musim yang berbeda.7,8 Penelitian tersebut kemudian disederhanakan dengan menghasilkan tiga tipe pola musim.9 Delineasi tipe pola monsoon yang dihasilkan tersebut serupa dengan definisi umum yang dipegang oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yaitu tipe monsoonal, tipe ekuatorial dan tipe lokal sebagaimana Gambar 1. Berbeda dengan tipe monsoonal selatan maka tipe lokal memiliki puncak curah hujan di tengah tahun dan dipengaruhi oleh sirkulasi Arlindo.10,11,12 Gambar 1. Tipe iklim monsoonal (A), tipe iklim ekuatorial (B) dan tipe iklim lokal (C). 7 II.3 Monsoon dan arus lintas Indonesia Pengaruh Arlindo dalam sistim monsoon Indonesia terutama pada pembentukan pola iklim lokal di wilayah Maluku dan Sulawesi Tengah.10 Arlindo mengalirkan air dari samudera Pasifik ke samudera Indonesia karena efek geostrofis (aliran arus akibat tekanan). Aliran tersebut berasal dari daerah kolam hangat (warm pool) di Pasifik barat dan utara Papua yang terbentuk akibat kumpulan aliran arus permukaan daerah tropis Pasifik.11 Pada saat musim kemarau dibantu angin passat tenggara, arus laut wilayah Indonesia yang mengarah ke barat mendukung aliran dari Pasifik menuju lautan Indonesia. Sebaliknya pada musim hujan, dengan angin passat timur laut dan arus di wilayah Indonesia mengarah ke timur menyebabkan aliran laut di Maluku mengarah keluar ke wilayah Pasifik. Akhirnya di tengah tahun terjadi konveksi berlebih yang berbeda waktunya dari tipe monsoonal umumnya.8 Pada efek sebaliknya, monsoon mempengaruhi Arlindo terutama untuk lapisan permukaan laut sehingga memberikan batasan pengaruh dari fenomena iklim di samudera Pasifik ke wilayah Indonesia. Konsekuensinya dampak dari El Niño dan La Niña yang terjadi di samudera Pasifik hanya terjadi waktu tertentu yaitu musim kemarau11,13 karena Arlindo membawa dampak fenomena di Pasifik masuk wilayah Indonesia. Sedangkan pada puncak musim hujan hampir tidak mungkin terjadi gangguan dari fenomena di Pasifik, atau dalam hal ini musim hujan dapat tetap berlangsung karena arus permukaan laut di wilayah Indonesia justru terdorong ke wilayah Pasifik. III. PEMANASAN GLOBAL III.1 Proses Pemanasan Global Seringkali terjadi salah persepsi antara hubungan pemanasan global dan perubahan iklim serta sebab akibat dari keduanya. Perubahan iklim disebabkan oleh pemanasan global yang utamanya terjadi karena peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer.14 Salah satu faktor utama pemanasan global di Indonesia adalah perubahan tata guna lahan yang menghilangkan daya serap GRK. Konsentrasi GRK, peningkatan suhu muka bumi dan peningkatan paras muka laut adalah parameter utama pemanasan global yang merupakan sebab akibat langsung dari proses tersebut. Indikasi telah terjadinya pemanasan global di Indonesia terlihat dari hasil pengamatan parameter tersebut.14 GRK yang terbuang di atmosfer berfungsi sebagai penyerap energi radiasi matahari, kemudian melepaskannya di atmosfer dari yang seharusnya dipancarkan kembali ke ruang angkasa. Fungsi tersebut dikenal sebagai efek rumah kaca dimana terjadi pengumpulan energi terkungkung di atmosfer. Contoh yang sederhana adalah bagaimana kabin kendaraan tertutup di siang hari menjadi panas akibat panas radiasi yang masuk melalui jendela kaca tidak dapat keluar kabin. Pada skala mikro, proses penyerapan terjadi pada panjang gelombang radiasi matahari yang bersesuaian dengan panjang gelombang eksitasi antar atom pada molekul GRK, dimana ikatan antar atom bereksitasi (bergetar) akibat menyerap energi radiasi yang terpapar. Semakin banyak jumlah molekul GRK yang terdapat di atmosfer maka akan semakin kuat daya serap atmosfer karena jumlah energi radiasi yang masuk atmosfer bumi relatif konstan. Masalahnya, umur hidup GRK tersebut di atmosfer sangat panjang dan selama jangka waktu tersebut, maka molekul gas berpotensi untuk terus menyerap energi radiasi di atmosfer dan akumulasinya lambat laun akan memberikan efek pemanasan global. Dalam perdebatan dan negosiasi politis pemanasan global, negara maju yang ditengarai telah mengemisikan GRK sejak 1,5 abad yang lalu dituduh sebagai biang keladi penyebabnya. Hal ini didasarkan pada waktu hidup beberapa jenis GRK di atmosphere yang mencapai hingga 1,5 – 2,0 abad.14 GRK terdiri dari gas-gas hasil buangan pembakaran industri, rumah tangga dan transportasi. Berdasar kesepakatan Kyoto Annex A gas-gas adalah15 adalah CO2 (karbon dioksida), CH4 (methane), N2O (nitrous oxide), HFCs (Hydrofluoro-carbons), PFCs (Perfluorocarbons) dan SF6 (Sulphur hexa-fluoride). Proses akumulasi gas-gas tersebut diatmosfer dimulai sejak adanya revolusi industri seiring usaha manusia melakukan mekanisasi sejak pertengahan abad 19.14 III.2 Data Pemanasan Global di Indonesia Data dari stasiun pemantau atmosfer global (GAW) BMKG di Bukit Koto Tabang Sumatera menunjukkan peningkatan konsentrasi CO2 dan CH4 dengan pola siklus tahunan. Nilai kecenderungan peningkatan konsentrasi GRK tahunan (2004 – 2010) di stasiun Bukit Koto Tabang adalah CO2 sebesar 1,50 ppm, CH4 2,70ppb, N2O 0,795 ppb dan SF6 0,265 ppt. Hingga akhir 2010, konsentrasi berbagai spesies GRK tersebut sudah mencapai CO2~ 385 ppm, CH4 ~ 1880 ppb, N2O ~ 324 ppb dan SF6 ~ 7,15 ppt.14 Nilai-nilai tersebut merupakan gambaran nilai ambien GRK di Indonesia. Stasiun GAW Koto Tabang adalah satu dari 28 stasiun serupa yang mengukur konsentrasi GRK ambien di dunia dan sudah mendapatkan registrasi dari World Meteorological Organization (WMO). Hasil pengukuran dari stasiun GAW Koto Tabang diperiksa di laboratorium National Ocean and Atmosphere Administration (NOAA) di Boulder USA sehingga angka nilai tersebut telah divalidasi dengan standar internasional, sebanding dengan hasil dari stasiun GAW lainnya. Nilai konsentrasi GRK ambien terpengaruh oleh berbagai aktivitas manusia seperti pembakaran hutan, industri rumah tangga dan lain-lain. Sebagai catatan bahwa dalam sidang United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), target konsentrasi CO2 yang masih didiskusikan adalah sekitar 450 ppm sehingga untuk Indonesia masih ada tenggang waktu 43 tahun atau hingga tahun 2053. Data konsentrasi CO2 dari stasiun Koto Tabang menunjukkan bahwa konsentrasi GRK Indonesia jauh dibawah konsentrasi di Mauna Loa, Hawaii USA dan juga dibawah rata rata dunia. Bukti ini menepis berbagai tuduhan Indonesia sebagai negara emiter ketiga dunia pada 2007.16 Selain itu data peningkatan suhu muka bumi di beberapa kota besar Indonesia antara lain di Jakarta, antara 1,04 – 1,4°C/100 tahun, Cilacap antara 3,38 – 3,41°C/100 tahun, Medan antara 1,55 – 1,98°C/100 tahun, Surabaya antara 1,46 – 3,29°C/100 tahun, Bau Bau hingga 3,63°C/100 tahun dan Makassar antara 1,84 – 2,83°C/100 tahun.14 Data peningkatan paras muka laut tercatat diantaranya di Cilacap 1,3 mm/tahun, Belawan 7,8 mm/tahun, Jakarta 4,38 – 7,00 mm/tahun, Semarang 5,00 – 9,37 mm/tahun, Surabaya 1,00 mm/tahun, timur Sumatera 5,47 mm/tahun dan Lampung 4,15 mm/tahun.14 III.3 Peran Manusia dalam Pemanasan Global Setelah mengetahui betapa besar perubahan yang ditimbulkan oleh pemanasan global terhadap iklim, kita perlu mengetahui bagaimana aktivitas manusia menyebabkan penumpukan GRK yang akhirnya mengubah iklim bumi. Perkembangan yang pesat dari populasi spesies “Homo sapiens” menyebabkan peningkatan GRK alami yaitu uap air akibat respirasi sehari hari. Populasi manusia juga menambah peningkatan GRK lainnya akibat kebutuhan akan konsumsi dan energi. Proses industrialisasi dan perkembangan teknologi membutuhkan sumber energi yang besar dan penumpukan limbah hasil industri yang sedemikian besar ke alam. Hampir semua proses industri primer tidak lepas dari pasokan energi yang disediakan terutama dari sumber energi bahan bakar fosil. Konsumsi utama manusia yaitu karbohidrat, lemak dan protein yang semuanya merupakan suatu rantai karbon. Tubuh manusia dari tingkat genetika hingga struktur morfologi (dari rambut hingga ujung kaki) mengandung unsur karbon. Mineral yang paling berharga (intan berlian) adalah senyawa karbon murni. Konsumsi energi manusia berasal dari senyawa karbon (hidro-karbon). Sehingga kita melihat bahwa karbon adalah pemberi warna kehidupan di bumi, mengapa? Karena unsur karbon memiliki sifat ikatan yang kuat dan netral dengan unsur lainnya. Era sebelum industrialisasi adalah era “God created nature” dimana manusia menerima atau mengambil berkah dari alam sebagai hasil kreasi Tuhan. Pola pekerjaan manusia saat tersebut antara lain adalah pertanian, perkebunan, perburuan, penangkapan ikan, pertambangan dan peternakan. Era industrialisasi adalah era “man made nature” yaitu ketika akal pikiran manusia berupaya menaklukkan alam. Perkembangan teknologi pada era inilah yang menyebabkan benturan manusia dengan alam, karena produk teknologi yang dihasilkan tidak selaras dengan dinamika alam. Manusia harus berinovasi untuk menghindari kepunahannya. Era ke depan ini adalah era “God engineered nature” yaitu teknologi yang kita buat harus selaras mengikuti prinsip dinamika alam dan teknologi yang melekat (embedded) didalamnya, dimanfaatkan untuk kebutuhan umat manusia. Era masa depan adalah era bio-engineering yaitu teknologi hijau untuk energi dan daur ulang. Dengan menyadari perkembangan peradaban manusia dan hubungan dengan karbon beserta siklusnya dimana telah terjadi penumpukan GRK di atmosfer, maka saat ini karbon menjadi salah satu komoditas peradaban. Atmosfer menjadi komoditas terakhir setelah lahan dan air yang diperdagangkan. Anggapan bahwa atmosfer adalah tempat buangan yang akan mendaur ulang sendiri sulit diterima. Padahal atmosfer sudah jenuh dengan polusi dan berdampak pada perubahan iklim. Saat ini manusia sudah berdagang atmosfer sebagai perwujudan harga akan atmosfer yang harus bersih atau langit biru dalam bentuk carbon trading. Perdagangan udara yang dilegalkan oleh Kyoto Protokol, meski sifat tidak seperti perdagangan tanah dan air yang dilakukan oleh individu, tetapi dilakukan oleh komunitas antar perusahaan dan antar negara dan dalam bentuk insentif perdagangan karbon dan pajak udara. Pada akhirnya manusia menyaksikan perubahan fungsi karbon yang dieksplorasi yang menumpuk sebagai sampah di atmosfer. Sampah di atmosfer kini menjadi salah satu barang dagangan utama dunia bahkan disebut sebagai mata uang baru dunia. Proses penumpukan GRK sebagian besar dikarenakan oleh pemakaian energi fosil dan perubahan tata guna lahan. Karbon yang berasal dari perut bumi dieksplotasi dalam bentuk energi yang kemudian dibuang di atmosfer. Karbon yang terbuang tersebut sebagian besar berupa gas CO2. CO2 merupakan GRK dan mengubah komposisi atmosfer dan mengakibatkan efek balik terhadap iklim bumi dan umat manusia. IV. PERUBAHAN IKLIM IV.1 Mengapa pemanasan global menyebabkan perubahan iklim Seperti sudah disampaikan diatas bahwa penumpukan GRK akan menyebabkan penumpukan energi radiasi di atmosfer. Dalam hukum fisika tentang kekekalan energi maka energi yang terkumpul di atmosfer tersebut akan tetap bertahan dan hanya berubah bentuk menjadi jenis energi lainnya seperti: a) energi panas/kalor dalam bentuk peningkatan suhu bumi, mencairnya es di daratan yang menyebabkan peningkatan muka air laut; b) energi gerak/kinetis dalam bentuk angin puting beliung, badai, topan dan siklon tropis serta; c) energi berat/potensial dalam bentuk turunnya hujan air dan es yang lebih deras. Apabila dicermati maka gejala akibat dari perubahan bentuk energi tersebut adalah perubahan dari berbagai parameter iklim yaitu suhu, angin dan hujan atau perubahan siklus air di muka bumi. Selain ketiga parameter tersebut turut berubah pula parameter penguapan, kelembaban dan tutupan awan.14 Salah satu hasil riset17 menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan pada pola siklus air di muka bumi dengan menuju pada percepatan siklus air dan pemusatan siklus air pada pusat aktivitas konveksi dan penguapan. Daerah yang menjadi pusat konveksi akan bertambah basah sedangkan yang menjadi pusat penguapan akan bertambah kering. Percepatan siklus air ditandai dengan meningkatnya frekuensi bencana cuaca dan iklim ekstrim erat kaitannya dengan faktor kelebihan energi di atmosfer. IV.2 Akibat Perubahan Iklim di Indonesia Tanda telah terjadinya perubahan iklim di Indonesia dapat dilihat dari hasil pengamatan parameter utama perubahan iklim tersebut yaitu perubahan pada pola dan intensitas tujuh parameter iklim utama yaitu suhu, curah hujan, arah angin, kecepatan angin, penguapan, kelembaban dan tutupan awan.14 Data terjadinya perubahan iklim di Indonesia dilaporkan dari hasil pengamatan BMKG bahwa terjadinya perubahan pola musim dengan per zona musim pada pulau Jawa dan Sumatera. Berikut ini adalah beberapa akibat yang ditimbulkan dari perubahan iklim untuk daerah tropis (Table 1). Berubahnya pola iklim dan curah hujan dengan meningkatnya GRK membawa beberapa konsekuensi11 seperti: a) Peningkatan laju penguapan yang memicu peningkatan curah hujan, kemarau basah18 dan cuaca ekstrim. b) Peningkatan suhu permukaan juga terjadi di daerah tropis meski tidak sekuat laju permukaan di lintang tinggi. c) Daerah pesisir akan mengalami peningkatan suhu walau tidak setinggi peningkatan di daerah pegunungan. d) Curah hujan di daerah tropis meningkat. e) Salinitas di daerah tropis menurun akibat penambahan curah hujan. f) Sirkulasi laut global menurun akibat kurangnya dorongan akibat perbedaan thermohaline. g) Sirkulasi angin global menurun akibat turunnya perbedaan suhu permukaan antara daerah tropis dengan lintang tinggi. h) Jumlah hari hujan di ekuator berkurang akibat uap air yang berjumlah tetap namun terbagi antara daerah tropis dan tropis baru. i) Meningkatnya keasaman di laut dan atmosfer akibat penambahan curah hujan (sirkulasi di tropis) yang mengikat karbon di atmosfer, kemudian turun sebagai hujan asam. IV.3 Tanda tanda perubahan iklim di Indonesia Peningkatan nilai suhu permukaan laut (SPL) di beberapa wilayah Indonesia terlihat dari hasil kajian data dan pemodelan.14 Data SPL keluaran NCEP menunjukkan peningkatan suhu sebesar 2,08°C dalam seratus tahun untuk wilayah selatan laut Cina Selatan. Sedangkan hasil kajian model laut34 menunjukkan peningkatan SPL pada jalur Arlindo sebesar 2,68°C, 0,84°C, 0,08°C, 1,8°C, 0,84°C dan 1,48°C dalam seratus tahun pada berturut-turut selat Makassar, Lifamatola, Halmahera, Lombok, Ombai dan Timor. Perbedaan besar kenaikan pada Selat Makassar yang mencapai hingga 3 kali lipat kenaikan pada Selat Lifamatola dikarenakan arus di selat Makassar berasal dari Pasifik utara atau daerah lintang tinggi dengan peningkatan SPL yang tinggi. Sedangkan arus yang melalui selat Lifamatola dan selat Halmahera berasal dari daerah samudera Pasifik ekuatorial (kolam hangat) yang sesungguhnya sudah mendekati nilai kritisnya. Data dari hasil simulasi model iklim laut MPIOM36 menunjukkan pelemahan Arlindo di selat Makassar37 terutama dibawah lapisan thermocline. Perubahan iklim juga membawa konsekuensi pada perubahan pola curah hujan di beberapa tempat. Dari hasil analisa litbang BMKG memakai data bangkitan keluaran Climate Research Unit Inggris untuk satu abad terakhir ditemukan perubahan probabilitas kejadian hujan ekstrim 500 mm/bulan dari sekitar 3% menjadi 13% antara 1900-1929 dengan 19601989 di Jawa Barat. Analisa serupa untuk wilayah Nusa Tenggara menunjukkan perubahan probabilitas kejadian hujan ekstrim 650 mm/bulan dari 6% menjadi 21% antara 1900-1929 dengan 1970-1999.14 Selanjutnya hasil penelitian data curah hujan tahunan38 menunjukkan indikasi penurunan di hampir seluruh 63 stasiun pengamatan BMKG. Penurunan terbesar terjadi di kota Bengkulu dan Ketapang. Dengan menghitung proyeksi ketersediaan air dari penurunan curah hujan tahunan tersebut maka diproyeksikan penurunan ketersediaan air tahunan terbesar terjadi di pulau Kalimantan (10755 juta m3) diikuti oleh Sumatera (7652 juta m3) dan Papua Indonesia (7391 juta m3). Selanjutnya penelitian terhadap data 5 dasa warsa dari DAS Brantas di Jawa Timur menunjukkan perubahan iklim yang terjadi. 34,39 Secara rata rata terdapat perluasan daerah kering di Jawa Timur dari tahun 1955 hingga 2005. Pola musim yang normalnya mencurahkan sekitar 80% air di musim penghujan juga mengalami peningkatan yang menunjukkan lebih banyak porsi air hanya jatuh di musim hujan. Temuan selanjutnya menunjukkan pelemahan sinyal monsoon atau tahunan dan memperkuat sinyal frekuensi tinggi yang menunjukkan kuatnya peningkatan potensi curah hujan ekstrim.39 Secara umum ada peningkatan potensi kekeringan di musim kemarau dan potensi banjir di musim hujan.34 Masyarakat Indonesia merasakan bagaimana perubahan iklim nyata terjadi pada tahun 2010. Kemarau basah sepanjang tahun 2010 yang pada akhirnya menutup tahun tanpa kemarau40 adalah gambaran nyata bagaimana iklim telah benar benar berubah. Situasi La Niña moderat di samudera Pasifik dan tingginya SPL sepanjang tahun di lautan Indonesia menjadi penyebab utama dari tahun tanpa kemarau 2010. Siklus tahunan monsoon yang mengikuti pola garis edar ekuinoks matahari ternyata tidak berlaku pada tahun 2010 sehingga panas di lautan tetap bertahan di benua maritim.40 Iklim 2010 menunjukkan betapa pentingnya penguasaan dinamika iklim maritim karena penyebab dasar dari selalu tingginya SPL di benua maritim masih belum dipahami. Hingga saat ini dalam operasional prediksi iklim, unsur dari iklim maritim belum banyak disentuh dan dipakai sebagai acuan dalam melakukan prediksi kemuka. Selain itu, belum ada institusi di Indonesia yang mengoperasikan model simulasi iklim laut yang memahami dinamika laut secara utuh. Perubahan iklim 2010 juga menunjukkan betapa rentannya Indonesia terhadap perubahan iklim yang mengganggu berbagai sektor yang sebenarnya membutuhkan kehadiran musim kemarau yang seharusnya datang secara periodik. Table 1: Dampak perubahan iklim pada fenomena iklim Fenomena Iklim Konsekuensi iklim ekstrim Durasi Indeks Akibat pemanasan global Pergerakan Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ), 19,20 Arus lintas Indonesia Arlindo, Tdk ada, iklim normal Tahunan Belum ada untuk benua maritim Iklim lembab dan hangat, kemarau basah Suhu laut dingin, penguapan rendah Musim kemarau Pelemahan Arlindo Aktivitas ENSO (El Niño Southern Oscillation, El Niño dan La Niña), 7,24,12 Aktivitas Indian Ocean Dipole, 25 Monsoon India, 26 Kekeringan dan kebakaran hutan 1.5 tahun Suhu muka laut (SPL) atau paras muka laut di Maluku dan selat Makassar SPL daerah NINO danindeks SOI yaitu beda tekanan antara Darwin dan Tahiti Kekeringan di Jawa, Lampung, Sumsel Kekeringan di Aceh, Sumut 3 bulanan Indeks Indian Ocean Dipole Indeks All Indian Rainfall Monsoon Seruak dingin (Cold surge) dan aliran adveksi lintas ekuator, 27,28 Variabilitas antar musiman (MJO), gelombang Kelvin timur dan jet tropis, 29 Selama musim kemarau mingguan Mengikuti El Niño akan lebih kuat dan sering Belum diketahui Kekeringan di Riau, Jambi, Kalbar dengan kebakaran hutan, banjir di Jawa Bervariasi mengikuti 50 harian sifat normal, basah dan kering musim dan tahun ENSO 21,22,23 Peningkatan frekuensi dan intensitas Tekanan permukaan turun di Hongkong mencapai 10 mb dalam 5 hari Pelemahan arus lintas ekuatorial Indeks MJO yang dikeluarkan oleh Bureau of Meteorology Australia Lebih intensif/ menguat Proses adveksi dan konveksi lokal, 30 Tidak ada, aktivitas lokal Jam jaman Tdk ada Lebih ekstrim karena iklim basah Variabilitas diurnal angin darat dan laut, 31 Siklon tropis, 32,11 Tidak ada, aktivitas lokal diurnal Tdk ada Melemah karena berkurangnya perbedaan suhu darat dan laut Tidak berubah untuk Pasifik barat karena tempat pembentukan diluar zona ENSO atau kolam hangat Ekor siklon mingguan membawa cuaca ekstrim tetapi daerah yang jauh mengalami kekeringan dan kebakaran hutan Periode variabi-litas Diatas 30 Variabilitas frekuensi lain: quasi dekadal hingga > 30 tahun biennial oscillation ta-hun) mendo-rong penguapan dan iklim dan variabilitas decadal, 33,34 basah V. Nama siklon ditetapkan dan diberi kategori Tidak ada Belum diketahui PROYEKSI IKLIM INDONESIA KE DEPAN Untuk dapat membuat proyeksi iklim ke depan, kita perlu mengetahui karakteristik inheren dari iklim wilayah Indonesia. Dengan kondisi geografis yang lebih dari dua pertiga wilayah adalah lautan, maka analisa perlu dilakukan untuk parameter iklim di atmosfer dan di lautan. Analisa komponen iklim utama memberikan hasil berikut. Karakter iklim dari data hujan memakai hasil kajian data Jawa Timur 34 a) Dominasi terkuat sistim iklim Indonesia adalah monsoon yang memiliki nilai varians 72% artinya monsoon memberi sekitar 72% karakter iklim Indonesia. b) ENSO merupakan karakter iklim kedua yang mendominasi dengan nilai varians 49,9%. Bukti selanjutnya menunjukkan nilai korelasi yang tinggi antara karakter ENSO iklim Indonesia dengan indeks NINO3 di wilayah samudera Pasifik dengan nilai R=0,365 (p< 0,01), terlebih lagi pada periode khusus antara 1963 dan 1982 nilai korelasi R mencapai 0,79 (p < 0,001). c) Variasi dekadal merupakan variabilitas iklim dari data hujan berikutnya yang mendominasi iklim wilayah Indonesia dengan nilai varians mencapai 8,29%. Selanjutnya kajian karakter iklim dari data SPL wilayah Indonesia (15LU – 15LS, 90 – 140BT) dari tahun 1957 - 2003 a) Dominasi terkuat adalah fenomena pemanasan global yang ditunjukkan dengan peningkatan gradien SPL sebesar 0,00768°C. Dominasi kekuatan global warming memiliki nilai varians sebesar 45,1%. Sebagai pembanding laporan kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan peningkatan SPL global sebesar 0,74°C antara 1906 dan 2005.41 b) ENSO adalah fenomena iklim dominan kedua yang memberikan konstribusi nilai varians sebesar 11,7%. Bukti selanjutnya menunjukkan nilai korelasi yang nyata antara karakter ENSO lautan Indonesia dengan indeks NINO34 bulan Desember di wilayah samudera Pasifik dengan nilai R=0,52 (p<0,0001). c) Indian Ocean Dipole (IOD) sebuah fenomena iklim di samudera Indonesia merupakan fenomena iklim dominan berikutnya dengan kontribusi varians sebesar 9,2%. Melihat dari karakter iklim wilayah Indonesia sebagaimana ditunjukkan oleh hasil kajian diatas maka dapat dilihat bahwa antara monsoon (hasil kajian atmosfer) akan berkompetisi dengan faktor pemanasan global dan ENSO. Hasil kajian data laut menunjukkan bahwa faktor pemanasan global memiliki kontribusi diatas tiga kali faktor ENSO. Hal ini dapat dimengerti karena dari dua fenomena ENSO yang terjadi yaitu El Niño dan La Niña, hanya El Niño yang memberikan dampak negatif terhadap pengaruh pemanasan global di Indonesia. Sehingga dibutuhkan suatu fenomena El Niño kuat untuk dapat mengalahkan pengaruh faktor pemanasan global tersebut. Sebagaimana diutarakan sebelumnya bahwa terdapat kestabilan pola musim hujan dibandingkan dengan pola musim kemarau, maka perubahan kuat akan lebih terjadi pada musim kemarau dimana pengaruh pemanasan global memperlihatkan kecenderungan ke arah fenomena kemarau basah.18 Pada saat pengaruh ENSO kuat yang terjadi pada tahun El Niño kuat maka musim kemarau dapat menjadi sangat kering. Apabila tidak terjadi pengaruh El Niño kuat maka masa depan kemarau akan lebih di dominasi oleh kemarau basah atau bahkan kehilangan kemarau sama sekali seperti kasus 2010 dimana ada kombinasi antara fenomena La Niña di samudera Pasifik dan peningkatan SPL di wilayah Indonesia. Secara umum masa depan iklim Indonesia terutama di musim kemarau akan menjadi tahun mirip El Niño atau “El Niño like”dan apabila tidak ada El Niño kuat akan dipengaruhi oleh global warming. Salah satu dampak utama dari El Niño untuk wilayah Indonesia adalah kekeringan panjang dan episode kebakaran hutan.24 Selanjutnya untuk kajian sifat monsoonal kewilayahan perlu dipahami bahwa ada 3 pola monsoon dominan untuk wilayah Indonesia yaitu tipe monsoonal di wilayah selatan, tipe ekuatorial dan tipe lokal. Dari ketiga tipe pola monsoon tersebut, maka hanya pola ekuatorial yang tidak memiliki sifat musim kemarau. Karena tidak adanya ancaman kekeringan maka wilayah dengan tipe ekuatorial justru mendapat pengaruh dari kemarau basah atau ada kecendrungan peningkatan curah hujan pada iklim mendatang. Sedangkan wilayah dengan tipe pola monsoonal dan tipe lokal akan lebih mendapat ancaman kekeringan akibat dampak tahun tahun El Niño. Kedua hipotesa tersebut dibuktikan oleh gambaran hasil prediksi dari kerjasama antara BMKG dengan Meteorological Research Institute (MRI) Jepang tentang simulasi iklim masa mendatang dan berbagai hasil pemodelan iklim global lainnya. Wilayah selatan Indonesia khususnya dari Bengkulu hingga Nusa Tenggara akan mengalami defisit curah hujan sedangkan wilayah ekuatorial akan mengalami surplus. Dengan hasil kajian iklim lampau dan konteks yang relevan dari hasil simulasi iklim mendatang untuk wilayah Indonesia maka dapat dilihat bahwa perlu melakukan penataan kewilayahan khususnya untuk sektor sektor yang terpengaruh oleh perubahan pola ketersediaan air baik air permukaan maupun secara meteorologis. Hasil kajian kerjasama BMKG dan MRI telah di overlay dengan peta danau dan waduk untuk melihat potensi pengurangan sumber daya air permukaan (Gambar 2). Gambar 2. Perbedaan curah hujan iklim 2075 – 2099 terhadap saat ini 1979 – 2000 (dalam persen). Terjadi defisit air hujan di dan/danau (kotak) di wilayah monsoonal (biru) dan peningkatan air hujan di wilayah ekuatorial (kuning).14 VI. KONTEKSTUAL PERMASALAHAN MONSOON DAN PERUBAHAN IKLIM SEBAGAI MODALITAS KETAHANAN BANGSA Pola monsoon dan pergantian musim merupakan sebuah pola periodik yang sudah terpatri dalam alam pemikiran masyarakat. Hampir seluruh sektor kehidupan terbentuk dengan didasari oleh pola musim yang berbeda, sehingga perubahan yang cukup berarti pada pola musim akan berpengaruh pada berbagai sektor. Sektor pertanian, sumber daya air dan kelautan adalah sektor utama yang terpengaruh oleh perubahan pola musim. Selain itu sektor kesehatan, energi, pariwisata, kehutanan, infra struktur dan transportasi akan terpengaruh. Secara keseluruhan maka sembilan sektor diatas perlu mendapat perhatian dalam penanganan dampak perubahan iklim. Upaya yang dilakukan tersebut dinamakan adaptasi sektoral. Sebagai contoh adalah pengaruh iklim terhadap pola hasil tangkapan nelayan di pantai sekitar pulau Jawa.42 Untuk lebih memahami kontekstual faktor iklim dalam adaptasi ke sektoral perlu lebih diperkuat perkembangan iptek iklim Indonesia dalam hal pengembangan teori, observasi dan pemodelan iklim. Dengan karakter benua maritim maka perlu pendekatan unik dalam pemodelan iklim. Hasil pemodelan iklim Indonesia menunjukkan peran dinamika laut dalam peningkatan keakuratan hasil simulasi.36,43 Selain iptek iklim, perlu juga pengembangan pada wilayah riset perubahan iklim yang mengacu kepada hampir seluruh aspek ilmu pengetahuan dengan fokus utama pada ilmu kebumian. Untuk wilayah Indonesia, perlu dilakukan kajian: a. Siklus air dan karbon untuk pemahaman faktor gejala pemanasan global dan perubahan iklim. Beberapa hasil riset karbon wilayah perairan darat membuktikan peran anthropogenik dalam siklus karbon.44,45 b. Proses dan deteksi perubahan iklim. Beberapa hasil riset perubahan parameter iklim di Indonesia dilakukan pada daerah pulau Jawa.34,46 c. Rekonstruksi iklim masa lampau (paleoclimate) seperti program riset es Jayawijaya kerjasama BMKG, Ohio State University and Lamont Doherty Earth Observatory. d. Pemodelan iklim mendatang dengan resolusi super tinggi. Hingga kini hasil riset untuk tipe ini masih memakai hasil simulasi global yang kemudian di downscale untuk wilayah Indonesia secara statistik dan dinamis. Dalam konteks pemberdayaan institusi penanganan isu perubahan iklim, maka perlu dilakukan pembagian beban kerja yang memadai dan komprehensif. Pembagian penanganan dapat mengacu pada struktur yang sudah ada di tingkat internasional seperti IPCC dan UNFCCC. Kedua badan internasional yang lahir dari pelaksanaan Konferensi Iklim Dunia (World Climate Conference) pertama tahun 1979 dan kedua tahun 1990 yang dibidani oleh WMO dan UNEP memiliki prinsip kerja yang berbeda. IPCC lebih pada aspek ilmiah sedangkan UNFCCC pada aspek politik dan kebijakan. Selaras dengan fungsi IPCC pada tingkat internasional yang menetapkan dasar ilmiah bagi perubahan iklim serta upaya adaptasi dan mitigasinya, maka pada tingkat nasional perlu diupayakan untuk mendapatkan lebih banyak lagi hasil penelitian sebagai dasar ilmiah terjadinya perubahan iklim pada skala lokal sebagai basis untuk kebijakan adaptasi dan mitigasi. Dalam hal ini pembagian beban kerja menurut IPCC terdiri dari dasar ilmiah, adaptasi dan mitigasi, sedangkan menurut UNFCCC terdiri dari pendanaan, alih teknologi, adaptasi, REDD kehutanan, program adaptasi lainnya. Salah satu tonggak sejarah IPCC adalah menerima Nobel perdamaian tahun 2007.47 Dalam konteks nasional diperlukan adanya penguatan pada institusi yang dapat memberikan bukti-bukti lokal bagaimana terjadinya perubahan iklim pada skala lokal berikut deteksi dan prosesnya. Dengan mengacu parameter utama pemanasan global dan perubahan iklim diatas maka institusi BMKG untuk parameter iklim dasar, Bakosurtanal untuk perubahan paras muka laut dan KKP untuk perubahan suhu dan dinamika laut mendapat peran penting karena memiliki data primer atas terjadinya perubahan iklim pada skala nasional untuk menjadi acuan bagi penelitian pemanasan global dan perubahan iklim. Sementara itu Kementrian Riset dan Teknologi melakukan koordinasi riset pemanasan global dan perubahan iklim. Riset pemanasan global pada mitigasi pemanasan global sedangkan riset perubahan iklim pada adaptasi perubahan iklim. Tujuan riset mitigasi pemanasan global adalah mendaya-gunakan upaya peningkatan daya serap karbon nasional atau mencegah ekses emisi karbon nasional. Selain itu memetakan kondisi riil neraca karbon nasional di darat, laut dan udara. Perlu penguatan institusi dalam hal observasi, pengukuran dan monitoring GRK nasional dan memasukkan GRK dalam satuan kondisi kualitas udara nasional. Sedangkan tujuan riset adaptasi perubahan iklim adalah melihat kapasitas adaptasi masyarakat, memetakan unsur kerentanan terhadap perubahan iklim dan memetakan dampak perubahan iklim. Tujuan tersebut dapat didekati dengan melihat faktor perubahan iklim historis atau proyeksi yang akan datang. Perubahan historis dikenali dengan memakai data primer atau hasil pemodelan, sedangkan untuk proyeksi mendatang dilakukan dengan memakai model yang mengacu pada beberapa skenario model yang telah ditetapkan IPCC. Diperlukan dukungan data primer perubahan iklim lokal sebagai verifikasi dan validasi yang handal karena hasil pemodelan iklim global harus diverifikasi pada kondisi lokal. Dalam hal ini juga diperlukan peningkatan kapasitas nasional dalam pemodelan iklim. Dalam hal hubungan antara masalah monsoon dan perubahan iklim, kita sadari bahwa perubahan pola monsoon dampak perubahan iklim telah mengganggu berbagai sektor kehidupan masyarakat. Perlu upaya adaptasi lebih nyata. Dalam hal ini perlu koreksi dalam hal manajemen perubahan iklim nasional.48 Berkaitan dengan persepsi pemanasan global dan perubahan iklim, pendekatan pemanasan global dan aspeknya seperti mitigasi karbon bukanlah prioritas pembangunan saat ini terutama karena Indonesia bukan negara Annex 1 yang wajib melakukan mitigasi emisi karbon sesuai konvensi Kyoto Protocol15 dan tidak wajib menurunkan emisi serta melaporkan. Dengan posisi demikian seharusnya perhatian nasional lebih ditekankan pada aspek perubahan iklim dan pemahaman gejala perubahan parameter iklim serta upaya adaptasi sektoral. Sebagai kesalahan konsep dan manajemen, perubahan iklim bukan berarti permasalahan karbon yang sesungguhnya adalah permasalahan pemanasan global, sehingga kebijakan nasional perlu lebih berpihak pada penanganan dampak perubahan iklim. Perlu pemisahan strategis peran berbagai institusi dalam konteks perubahan iklim. VII. KESIMPULAN Menyimak uraian diatas maka masa depan monsoon Indonesia dalam perubahan iklim adalah sebagai berikut: Kemarau basah apabila El Niño tidak kuat kompetisi El Niño (dingin, kering) dan pemanasan global (hangat, basah) dan akibat menguatnya siklus air global menyebabkan daerah tropis semakin basah dan sub tropis mengering. Intensitas El Niño meningkat seiring pemanasan global yang menyebabkan secara periodik Indonesia akan diterpa El Niño ekstrim Selatan Indonesia berisiko penambahan periode kering Arlindo melemah terutama di selat Makassar karena aliran dari Pasifik Utara melemah Tanda-tanda pemanasan global sudah nyata dari hasil pengukuran konsentrasi GRK, SPL dan peningkatan paras muka laut, sedangkan indikasi perubahan iklim di Indonesia juga sudah nampak nyata dari pola perubahan terutama parameter hujan dan suhu. Perlu ada perubahan tata kelola institusi dalam penanganan isu perubahan iklim dengan mengedepankan pendekatan adaptasi daripada mitigasi sebagai modal ketahanan bangsa kedepan. Pemberdayaan institusi riset untuk lebih mengenali dan memahami perubahan dan dampaknya pada sektor terkait. Dengan demikian diharapkan mampu menghadapi perubahan iklim yang tanda tanda kehadirannya semakin nyata. Referensi 1 Robertson, A, V Moron, J Qian, CP Chang, F Tangang, E Aldrian, TY Koh, and L Juneng. 2011. The Maritime Continent Monsoon, in The Global Monsoon System: Research and Forecast, 2nd Ed. Eds. CP Chang, Y Ding, NC Lau, RH Johnson, B Wang and T Yasunari, World Scientific Series on Asia-Pacific Weather and Climate, Vol. 5, World Scientific Publication Company, 608 pp 2 Wang, Z, CP Chang, B Wang and FF Jin. 2005. Teleconnections from Tropics to northern extratropics through a southerly conveyor. J. Atmos. Sci., 62, 4057–4070 3 Chang, CP, Z Wang, J McBride and CH Liu. 2005. Annual cycle of Southeast AsiaMaritime Continent rainfall and the asymmetric monsoon transition. J. Climate, 18,287301 4 Braak, C. 1921-29. Het Climaat van Nederlandsch Indie, Magnet. Meteor. Obser, Batavia, Verhand, No 8 5 Preedy, BH. 1966. Far East Air Force Climatology. Headquarters, Far East Air Force, Singapore 6 Wyrtki, K. 1956. The Rainfall over the Indonesian waters. Kementrian Perhubungan Lembaga Meteorologi dan Geofisik, Verhand. No 49 7 Aldrian, E. 1999. Division of Climate Type in Indonesia based on Rainfall Pattern, Oceanica - J. of Marine Sci. and Tech, BPPT, 5, 165-171 8 Aldrian, E. 2000. Pola hujan rata-rata bulanan wilayah Indonesia; Tinjauan hasil kontur data penakar dengan resolusi ECHAM T-42, Jurnal Sains and Teknologi modifikasi Cuaca, BPPT, 1, no 2, 113-123 9 Aldrian, E and RD Susanto. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature, International Journal of Climatology, 23, 1435-1452 10 Aldrian, E. 2002a. An indication of sea-air interaction that affect the climate pattern over the Moluccan Sea, J. Sains & Tek. Mod. Cuaca, BPPT, 3, 125 – 133 11 Aldrian, E. 2008. Meteorologi Laut Indonesia, ISBN 978-979-1241-19-9, Puslitbang BMG 12 Oktivia, R. 2008. studi interaksi laut-atmosfer menggunakan skenario model coupled, Master ThesisInstitut Teknologi Bandung 13 Aldrian, E. 2002b. Tidak ada dampak El Niño pada puncak musim hujan, Kompas 5 November 2002 14 Aldrian E, M Karmini, Budiman, 2011, Adaptasi dan Miti-gasi Perubahan Iklim di Indonesia, Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG, ISBN-978-602-19508-0-7, 179pp 15 UNFCCC. 1997. Kyoto Protocol to the United Nation Framework Convention on Climate Change 16 Aldrian, E. 2007c. Telaah – Indonesia, Emiter Karbon ketiga, Antara, 19 November 2007 17 Durack, PJ and SE Wijffels. 2010. Fifty-Year Trends in Global Ocean Salinities and Their Relationship to Broad-Scale Warming. J. Climate, 23, 4342–4362 18 Aldrian, E. 2007a. (Perubahan iklim) Kemarau basah akibat La Niña, Kompas 13 Augustus 2007 19 Pike, AC. 1971. Intertropicalconvergence zone studied with aninteracting atmosphere and ocean model. Monthly Weather Review, 99, 469-477 20 Waliser, DA and RCJ Sommerville. 1994. Preferred latitudes of theintertropicalconvergence zone, J. Atmos. Sci, 15, 1619-1639 21 Gordon, A, J Sprintall, H van Aken, RD Susanto, S Wijffels, R Molcard, A Ffield and W Pranowo.2010. The Indonesian Throughflow during 2004-2006 as observed by the INSTANT program, Dynamics of Atmospheres and Oceans, 50, Issue 2, 115-128 22 Hautala, SL, J Sprintall, J Potemra, JCC Chong, W Pandoe, N Bray and AG Ilahude. 2001. Velocity structure and transport of the Indonesian throughflow in the major straits restricting flow into the Indian Ocean. Journal of Geophysical Research 106: 19,52719,546 23 Tillinger, D and AL Gordon. 2009. Fifty years of the Indonesian Throughflow. J. Climate, 22, 6342-6355 24 Heil, A, B Langmann and E Aldrian. 2007. Indonesian peat and vegetation fire emissions: Factors influencing large-scale smoke-haze dispersion, Mitigation and Adaptation Strategy for Global Change, 12, No 1, 113-133 25 Aldrian, E and Asril. 2005. Influences of Indian Ocean Dipole and ENSO on variability of summer inflow of seve-ral dams and lakes in Indonesia. Alami, BPPT, 10, 19-26 26 Harijono, SWB. 2008. Interaksi fenomena El Niño dan Dipole Mode secara simultan serta monsun musim panas India terhadap variabilitas curah hujan di Sumatera Utara, Disertasi Doktoral ITB 27 Aldrian, E and GSA Utama. 2007. Identifikasi dan karakteristik seruak dingin (Cold Surge) tahun 1995-2003. J. Sains Dirgantara, 4, No 2, 107-127 28 Chang, CP, Z Wang and H Hendon. 2006. The Asian winter monsoon, Chapter 3 inThe Asian monsoon. Ed. B. Wang. Praxis Publishing, 89-128 29 Waliser, DE, W Stern, S Schubert and KM Lau. 2003. Dynamic predictability of intraseasonal variability associated with the Asian summer monsoon. Quart. J. Royal Meteor. Soc., 129, 2897-2925 30 Hendon, HH. 2003. Indonesian rainfall variability: impacts of ENSO and local air–sea interaction. Journal of Climate 16: 1775–1790 31 Hadi, TW, T Horinouchi, T Tsuda, H Hashiguchi and S Fukao. 2002. Sea-Breeze Circulation over Jakarta, Indonesia: A Climatology Based on Boundary Layer Radar Observations. Mon. Wea. Rev., 130, 2153–2166 32 Mustika, A. 2008. Karakteristik Siklon Tropis sekitar Indonesia, Skripsi Sarjana Institut Pertanian Bogor 33 Hood, LL and BE Soukharev. 2003. Quasi-decadal variability of the tropical lower stratosphere: The role of extratropical wave forcing. Journal of the atmospheric sciences, 60 No 19. 2389-2403 34 Aldrian, E and YS Djamil. 2008. Spatio-temporal climatic change of rainfall in East Java Indonesia, International Journal of Climatology, 28, Issue 4, 435 – 448 35 Arifian, J. 2008. Variabilitas Thermohaline dan Arus Laut di Jalur Utama Arlindo, Master Thesis Universitas Indonesia 36 Aldrian, E, D Sein, D Jacob, L Dümenil-Gates and R Podzun. 2005. Modelling Indonesian Rainfall with a Coupled Regional Model, Climate Dynamics, 25, 1-17 37 Aldrian, E. 2010c.Peluang dan Tantangan Perubahan Iklim di Indonesia, Diskusi Ilmiah Nasional Potensi dan Mitigasi Bencana Alam di Indonesia, Himpunan Ahli Geofisika Indonesia, Bandung 11 Desember 2010 38 Aldrian, E. 2006. Decreasing trends in annual rainfalls over Indonesia: A threat for the national water resource? J. Meteorologi dan Geofisika, BMG, 7, No 2, 40-49 39 Aldrian, E, F Ismaini and Y Koesmaryono. 2007. The Daily Statistical shift during the half century over the Brantas catchment, East Java, J. Agromet Indonesia, 21, Juni, 1-11 40 Aldrian, E. 2010b. Telaah – Kemarau basah bukti pemanasan global, Antara, 23 Juni 2010 41 IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2007. ClimateChange 2007: The Physical Science Basis. Contribution of WorkingGroup I to the Fourth Assessment Report of the Inter-governmental Panel on Climate Change, Solomon S, Qin D Manning M Chen Z,Marquis M, Averyt KB, Tignor M, Miller HL (eds.). CambridgeUniversity Press: Cambridge, UK; New York, NY, USA 42 Hendiarti N, Suwarso, E Aldrian, RA Ambarini, SI Sachoemar, IB Wahyono and K Amri. 2005. Seasonal Variation of Coastal Processes and Pelagic Fish Catch around the Java, Oceanography, 18, No 4, 112-123 43 Aldrian, E, LD Gates, D Jacob, R Podzun and D Gunawan. 2004. Long term simulation of the Indonesian rainfall with the MPI Regional Model, Climate Dynamics, 22, 8, 794-814 44 Pawitan, H, E. Aldrian and SP Nugroho. 2007. Carbon, Nutrient and Sediment Fluxes of the Java Major Rivers, Journal of Hydrologic Environment, 3, No 1, 9-20 45 Aldrian, E, CTA Chen, S Adi, Prihartanto, N Sudiana and SP Nugroho. 2008. Spatial and seasonal dynamics of riverine carbon fluxes of the Brantas catchment in East Java, J. Geophys. Res. Biogeosciences, 113, G03029 46 Manton, MJ, PMDella-Marta, MR Haylock, KJ Hennessy, N Nicholls, LE Chambers, DA Collins, G Daw, A Finet, D Gunawan, K Inaoe, H Isobe, TS Kestin, P Lefale, CH Leyu, T Lwin, L Maitrepierre, N Ouprasitwong, CM Page, J Pahalad, N Plummer, MJ Salinger, R Suppiah, VL Tran, B Trewin, I Tibig, and D Yee. 2001. Trends in extreme daily rainfall and temperature in Southeast Asia and the South Pacific: 1961-1998. Inter. J. Climatol., 21, 269-284 47 Aldrian, E. 2007b. Nobel bagi perdamaian iklim, Kompas 18 October 2007 48 Harijono, SWB and E Aldrian. 2009. Strengthening the role of science into the Policy Aspect of Climate Change, Proceeding of WMO Inter-regional Workshop on Policy Aspects of Climate Change, Petaling Jaya, Malaysia, 19-21 April 2010, WMO – Elsevier Publishing