Full Text - EJournal Stikes PPNI Bina Sehat Mojokerto

advertisement
PERSEPSI WANITA PELAKU PERNIKAHAN DINI TENTANG
HIV/AIDS DI DUSUN PECINAN DESA BESUKI
KECAMATAN BESUKI KABUPATEN
SITUBONDO
Imam Zainuri, Nurul Andryani Mahrufi
STIKES Bina Sehat PPNI Mojokerto
The main reason that underlied early marriage generally was to avoid the risk of free
sex and coexisting diseases, but in fact teenagers who had been married more at risk for
contracting sexually transmitted diseases, especially HIV than unmarried ones. Early
marriages were still rampant, one of the reasons due to negative perception in looking at the
risk of HIV infection. The purpose of this research was to know the perception of women
who did early marriage about HIV/AIDS in Pecinan Sub Village Besuki Village Besuki Sub
District Situbondo District. Research design was descriptive with population were all women
who did early marriage as many as 64 people and obtained 56 respondents as samples who
were taken by using purposive sampling. Variable was the perception of women who did
early marriage about HIV/AIDS. Data obtained by using instruments such as questionnaires
which spreaded on 24 July to 9 August 2014 then it presented in the form of frequency
distribution table. The results showed the majority of respondents had negative perceptions
about HIV/AIDS as many as 33 respondents (58,9%). Negative perception was influenced by
several factors, including their average age were still very young, as housewife, had
elementary education, and lack of the right information about HIV/AIDS. Mothers should
seek additional information about HIV/AIDS from many sources of information. Local
Health Authority should increase coordination with other health provider regarding the
various risks of early marriage, especially HIV/AIDS primarily for teenagers who were at
risk of early marriage through the school health program and the parents of teenage girls.
Keywords: perception, women who did early marriage, HIV/AIDS
PENDAHULUAN
Pernikahan usia dini telah banyak
berkurang di berbagai belahan negara
dalam tiga puluh tahun terakhir, namun
pada kenyataannya masih banyak terjadi di
negara berkembang terutama di pelosok
terpencil. Pernikahan usia dini terjadi baik
di daerah pedesaan maupun perkotaan di
Indonesia serta meliputi berbagai strata
ekonomi dengan beragam latar belakang
(Fadlyana dan Larasaty, 2009). Hasil
penelitian Nour (2006) menunjukkan
alasan utama yang umumnya mendasari
terjadinya pernikahan dini adalah untuk
menghindari risiko seks bebas dan
penyakit
yang
menyertai,
namun
kenyataannya berbeda. Remaja yang telah
menikah lebih berisiko untuk tertular
penyakit menular seksual, khususnya HIV
jika dibandingkan remaja yang belum
menikah. Banyak remaja yang menikah
dini berhenti sekolah saat mereka terikat
dalam lembaga pernikahan, mereka
seringkali
tidak
memahami
dasar
kesehatan reproduksi, sehingga salah
dalam memandang termasuk di dalamnya
risiko terkena infeksi HIV (Fadlyana dan
Larasaty, 2009).
Pernikahan dini merugikan bagi
remaja wanita karena merupakan faktor
risiko terinfeksi HIV/AIDS (hampir
sepertiga remaja wanita di negara
berkembang berusia 10-19 tahun menikah
sebelum usia mereka menginjak 18 tahun)
(Culyer, 2014). Remaja wanita di negaranegara sub sahara Afrika yang berusia 1519 tahun, lebih berisiko 2-8 kali terinfeksi
HIV daripada remaja laki-laki di usia yang
sama. Secara global, prevalensi tertinggi
wanita terinfeksi HIV adalah pada usia 1524 tahun, sedangkan risiko pada laki-laki
akan meningkat 5-10 tahun berikutnya.
Menikah di usia muda menjadi faktor
risiko terinfeksi HIV bagi para remaja
wanita.
Sebuah
studi
di
Kenya
menunjukkan remaja wanita menikah
mempunyai risiko tertular HIV 50% lebih
tinggi dibandingkan mereka yang belum
menikah. Risiko ini bahkan lebih tinggi
(59%) di Zambia. Di Uganda, prevalensi
HIV pada remaja wanita usia 15-19 tahun
lebih tinggi pada mereka yang telah
menikah (89%) daripada yang belum
menikah (66%) (Nour, 2006). Masih
banyak kekeliruan pandangan mengenai
HIV/AIDS di kalangan remaja. Hasil
survei UNICEF menunjukkan 20% remaja
yakin bahwa Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA) pasti terlihat sangat sakit, 7%
mengenali ODHA dari bercak di kulitnya,
4% dari wajah yang pucat pasi, dan 41%
mengaku tidak tahu bagaimana mengenali
ODHA (Palu, 2008).
Penderita HIV/AIDS di Indonesia
secara kumulatif dari tahun 1987-2013
yaitu HIV sebanyak 118.792 kasus, dan
AIDS sebanyak 45.650 kasus. Jumlah
kumulatif kasus AIDS berdasarkan
kategori umur 15-19 tahun adalah 1.441
kasus. Jawa Timut menempati urutan
kedua penderita HIV/AIDS terbesar di
Indonesia, yaitu sebanyak 7.714 kasus
(Spiritia,
2013).
Data
yang
menghubungkan kasus HIV/AIDS dengan
pernikahan dini di Indonesia masih belum
tersedia. Data Survei Data Kependudukan
Indonesia (SDKI) 2007, menunjukkan di
beberapa daerah sepertiga dari jumlah
pernikahan terdata dilakukan pasangan
usia di bawah 16 tahun. Angka pernikahan
dini di Jawa Timur mencapai 39,43%.
Data Dinas Kesehatan Kabupaten
Situbondo mengenai angka penderita
HIV/AIDS menunjukkan peningkatan
jumlah penderita HIV/AIDS dari tahun ke
tahun (2010-2013) usia penderita makin
muda dan jenis kelamin wanita makin
banyak.
Tahun
2010,
prevalensi
HIV/AIDS pada wanita sebanyak 15 orang
(41,7%) , 2011 sebanyak 21 orang
(42,9%), 2012 sebanyak 28 orang (62,2%),
dan 2013 sebanyak 66 orang (70,2%).
Tahun 2013, rata-rata usia terinfeksi
adalah 18,4 tahun. Prevalensi tertinggi
penderita HIV/AIDS adalah di Kecamatan
Panji sebanyak 31 penderita sepanjang
2010-2013 dan Kecamatan Besuki
menduduki peringkat kedua sebanyak 30
penderita.
Studi
pendahuluan
dilakukan
tanggal 21 Februari 2014 di Dusun
Pecinan Desa Besuki Kecamatan Besuki
Kabupaten Sutubondo dengan teknik
wawancara terhadap 8 ibu yang menikah
dini. Kedelapan ibu tersebut rata-rata
menikah pada usia 15/16 tahun dan ratarata bersuamikan laki-laki yang berusia
jauh di atasnya, yaitu berusia >35 tahun,
dimana 7 orang telah beristri. Penyebab
menikah di usia dini, 4 orang menyatakan
karena alasan ekonomi, 3 orang karena
kebiasaan di keluarga untuk menikahkan
anak di usia muda agar terhindar dari zina,
dan 1 orang mengaku karena keinginan
sendiri untuk menikah muda. Hasil
wawancara menunjukkan seluruh ibu
menyatakan tidak mungkin tertular
HIV/AIDS karena ia hanya berhubungan
seksual dengan suami, mereka yakin suami
tidak melakukan hubungan seksual selain
dengan istri yang sah, serta pernikahan
dini bukanlah faktor risiko terinfeksi
penyakit menular seksual termasuk
HIV/AIDS.
Persepsi
berlangsung
saat
seseorang menerima stimulus dari dunia
luar yang ditangkap oleh organ-organ
bantunya yang kemudian masuk ke dalam
otak. Di dalamnya terjadi proses berpikir
yang pada akhirnya terwujud dalam
sebuah pemahaman. Pemahaman ini
kurang lebih disebut persepsi (Sarwono,
2009). Munculnya persepsi yang salah
tentang HIV/AIDS dipengaruhi oleh
beberapa
faktor,
yaitu
adanya
ketidakseimbangan faktor pendidikan dan
budaya setempat. Masih banyak kaum
remaja yang beranggapan mitos-mitos
tentang HIV/AIDS adalah benar adanya,
yaitu pekerja seks merupakan sumber
utama penularan, pengidap kebanyakan
berasal dari kaum homoseksual, dan
berenang
bersama
orang
dengan
HIV/AIDS merupakan salah satu cara
penularan. Faktor pencetus persepsi
berasal dari teman dekat, media cetak dan
elektronik serta berasal dari faktor agama
(Indiyarti, 2010).
Faktor
yang
mempengaruhi
pernikahan dini diantaranya rendahnya
tingkat pendidikan, sikap dan hubungan
dengan orang tua, sebagai jalan keluar dari
berbagai kesulitan seperti ekonomi,
pandangan dan kepercayaan, dan faktor
masyarakat (Romauli dan Vindari, 2009).
Penyebab
lain
tingginya
tingkat
pernikahan dini adalah budaya dan
persepsi orang tua dan pelaku untuk
menyelamatkan diri dari perzinahan dan
HIV/AIDS (Irham, 2011). Pandangan
keliru dari pelaku pernikahan dini
mengenai
HIV/AIDS
dikhawatirkan
menyebabkan peningkatan risiko infeksi
HIV/AIDS di kalangan remaja khususnya
pelaku pernikahan dini. Karena persepsi
yang
salah
menyebabkan
pelaku
pernikahan dini tidak dapat melindungi
kesehatan reproduksinya. Hal ini terbukti
dari beberapa hasil penelitian yang
menunjukkan risiko terinfeksi HIV/AIDS
tinggi di kalangan pelaku pernikahan dini
karena: 1) usia suami yang jauh lebih tua
dibandingkan istri, dimana mereka telah
mempunyai
pengalaman
seksual
sebelumnya
dan
menyebabkannya
mempunyai
risiko
menjadi
karier
pembawa virus infeksi menular seksual
termasuk HIV/AIDS, 2) kesenjangan usia
diantara
pasangan
tersebut
dapat
menyebabkan perbedaan relasi gender,
dimana suami lebih dominan dalam
membuat keputusan dan menghalangi
komunikasi yang sehat diantara keduanya
untuk merencanakan kehidupan seksual
yang sehat, 3) Remaja wanita yang dipaksa
untuk melakukan hubungan seksual dini
sangat berisiko terinfeksi penyakit menular
seksual termasuk HIV/AIDS, akibat
trauma fisik dan akibat imaturitas saluran
genital (Bruce, 2007).
Kemungkinan
terinfeksi
HIV/AIDS tinggi karena vaginanya belum
terlindungi oleh lapisan sel pelindung dan
serviks masih mudah mengalami erosi.
Transmisi HIV juga meningkat karena
laserasi hymen, vagina atau serviks akibat
hubungan seksual dini. Salah satu alasan
fundamental
lainnya
adalah
ketergantungan mereka secara finansial
pada suami, sehingga mereka tidak mampu
menekan suami untuk bermonogami,
menganjurkan tes infeksi menular seksual
termasuk HIV/AIDS, suami menggunakan
kondom saat berhubungan seksual,
menolak hubungan seksual, dan terakhir
mereka tidak dapat berpisah dengan suami
dan kembali pada orang tua karena alasan
ekonomi dan membuat malu keluarga
(Nour, 2006).
METODE PENELITIAN
Desain penelitian ini adalah
deskriptif. Pendekatan dalam penelitian ini
adalah cross sectional. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh wanita pelaku
pernikahan dini di Dusun Pecinan Desa
Besuki Kecamatan Besuki Kabupaten
Situbondo sebanyak 64 orang.
Teknik sampling yang digunakan
dalam penelitian ini adalah jenis non
probability sampling. Non probability
sampling, tipe purposive sampling. Dalam
penelitian ini, sampel yang digunakan
adalah sebagian wanita pelaku pernikahan
dini di Dusun Pecinan Desa Besuki
Kecamatan Besuki Kabupaten Situbondo
yang memenuhi kritera inklusi sebanyak
56 orang.
Untuk mengukur persepsi wanita
pelaku pernikahan dini tentang HIV/AIDS
digunakan lembar kuesioner berskala
likert. Penelitian ini dilakukan di Dusun
Pecinan Desa Besuki Kecamatan Besuki
Kabupaten
Situbondo.
Penelitian
dilaksanakan pada bulan Februari-Agustus
2014 dan pengambilan data dilaksanakan
pada tanggal 24 Juli – 9 Agustus 2014.
HASIL PENELITIAN
Persepsi wanita pelaku pernikahan
dini tentang HIV/AIDS di Dusun Pecinan
Desa
Besuki
Kecamatan
Besuki
Kabupaten Situbondo.
Tabel 1 Distribusi frekuensi persepsi
wanita pelaku pernikahan dini
tentang HIV/AIDS di Dusun
Pecinan
Desa
Besuki
Kecamatan Besuki Kabupaten
Situbondo tanggal 24 Juli – 9
Agustus 2014
Persepsi wanita
pelaku
No pernikahan dini
tentang
HIV/AIDS
1. Positif
2. Negatif
Total
F
%
23
33
56
41,1
58,9
100,0
Tabel 1 menunjukkan sebagian
besar responden mempunyai persepsi
negatif tentang HIV/AIDS sebanyak 33
responden (58,9%).
PEMBAHASAN
Tabel 1 menunjukkan sebagian
besar responden mempunyai persepsi
negatif tentang HIV/AIDS sebanyak 33
responden (58,9%). Persepsi negatif
tersebut terutama pada pernyataan nomor
16 yaitu suami bukan pengguna narkoba
sehingga
tidak
dapat
menularkan
HIV/AIDS, nomor 15 yaitu AIDS hanya
menjangkiti laki-laki yang suka berganti
pasangan seksual yang tidak sah dan
nomor 7 yaitu menikah dengan laki-laki
yang berusia jauh lebih tua tidak
mengakibatkan tertular HIV/AIDS.
Hasil penelitian Nour (2006)
menunjukkan
alasan
utama
yang
umumnya mendasari terjadinya pernikahan
dini adalah untuk menghindari risiko seks
bebas dan penyakit yang menyertai,
namun kenyataannya berbeda. Remaja
yang telah menikah lebih berisiko untuk
tertular penyakit
menular seksual,
khususnya HIV jika dibandingkan remaja
yang belum menikah. Banyak remaja yang
menikah dini berhenti sekolah saat mereka
terikat dalam lembaga pernikahan, mereka
seringkali
tidak
memahami
dasar
kesehatan reproduksi, sehingga salah
dalam memandang termasuk di dalamnya
risiko terkena infeksi HIV (Fadlyana dan
Larasaty, 2009). Masih banyak kaum
remaja yang beranggapan mitos-mitos
tentang HIV/AIDS adalah benar adanya,
yaitu pekerja seks merupakan sumber
utama penularan, pengidap kebanyakan
berasal dari kaum homoseksual, dan
berenang
bersama
orang
dengan
HIV/AIDS merupakan salah satu cara
penularan (Indiyarti, 2010).
Persepsi negatif sebagian besar
responden dapat disebabkan karena
mereka menganggap suami bukan
pengguna narkoba sehingga tidak mungkin
menularkan HIV/AIDS. Selain itu meski
menikah dengan laki-laki yang berusia
jauh lebih tua tidak mengakibatkan tertular
HIV/AIDS karena HIV/AIDS hanya
menjangkiti laki-laki yang suka berganti
pasangan seksual yang tidak sah. Persepsi
negatif tersebut dapat menyebabkan
menurunnya
kewaspadaan
terhadap
penyakit
HIV/AIDS
sehingga
mempermudah
terjangkit
penyakit
tersebut.
Menurut Rakhmat (2007), persepsi
ditentukan oleh faktor situasional dan
faktor personal. Faktor situasional
terkadang disebut sebagai determinan
perhatian yang bersifat eksternal atau
penarik perhatian (attention getter).
Sedangkan faktor personal merupakan apa
yang ada dalam diri individu yang akan
mempengaruhi
dalam
individu
mengadakan persepsi (Walgito, 2004).
Informasi
termasuk
dalam
faktor
situasional, sedangkan umur, pekerjaan
dan pendidikan termasuk dalam faktor
personal.
Tabel usia menunjukkan setengah
dari responden berumur 20-40 tahun
sebanyak 28 responden (50,0%). Hasil
tabulasi silang menunjukkan responden
yang berumur <20 tahun hampir
seluruhnya mempunyai persepsi negatif
sebanyak
11
responden
(84,6%),
responden yang berumur 20-40 tahun
sebagian besar mempunyai persepsi positif
sebanyak 18 responden (64,3%) dan
responden yang berumur >40 tahun
hampir seluruhnya mempunyai persepsi
negatif sebanyak 12 responden (80,0%).
Sunaryo (2004) mengatakan bahwa
kematangan
umur
menyangkut
pertumbuhan fisik dan perkembangan
psikologis yang dipengaruhi faktor
internal. Pada aspek psikologis, taraf
berpikir seseorang menjadi semakin
matang dan dewasa (Mubarak, 2011).
Penelitian Abhinaja dan Astuti (2013)
mengenai “Pengetahuan, persepsi ibu
rumah tangga mengenai infeksi menular
seksual termasuk HIV/AIDS serta perilaku
pencegahannya” didapatkan hasil makin
dewasa
umur
responden,
maka
pengetahuannya semakin baik dan
persepsinya akan semakin positif sehingga
perilaku pencegahannyapun makin baik
pula. Hal ini disebabkan karena
kedewasaan dan kematangannya dalam
berpikir.
Berlawanan dengan hasil penelitian
Abhinaja dan Astuti (2013) yang
menemukan bahwa semakin bertambah
umur maka persepsinya makin positif,
dalam penelitian ini makin bertambah
umur persepsinya makin negatif. Hal ini
dapat disebabkan karena responden
menganggap tidak terjangkit HIV/AIDS
selama usia perkawinannya yang makin
lama, sehingga mereka beranggapan tidak
mungkin mengalami HIV/AIDS. Selain itu
dapat pula disebabkan karena pendidikan
yang rata-rata rendah dan kurangnya
informasi yang tepat mengenai HIV/AIDS.
Responden yang berusia <20 tahun ada
yang mempunyai persepsi positif karena
telah mendapatkan informasi dari tenaga
kesehatan.
Ibu rumah tangga merupakan
pekerjaan yang seringkali dianggap tidak
mempunyai resiko kerentanan yang tinggi
terhadap HIV/AIDS. Rendahnya persepsi
kerentanan ini menyebabkan sebagian
besar responden ibu rumah tangga
mempunyai persepsi negative tentang
HIV/AIDS. Berbeda dengan responden
yang bekerja sebagai wiraswastawan dan
swasta. Mudahnya mendapatkan informasi
menyebabkan sebagian besar mempunyai
persepsi positif mengenai HIV/AIDS.
Meskipun sebagian kecil masih ada yang
mempunyai
persepsi
negatif
yang
disebabkan karena rendahnya tingkat
pendidikan dan kurangnya informasi yang
tepat mengenai HIV/AIDS.
Dalam mempersepsikan sesuatu
dibutuhkan kerangka rujukan yang dapat
memberi makna pada pesan yang diterima
(stimulus) oleh seseorang. Jika orang
tersebut tidak memiliki kerangka rujukan
yang cukup memadai, maka pesan yang
tersampaikan kepadanya tidak akan
menimbulkan pengaruh apa-apa (Rakhmat,
2007). Penelitian Abhinaja dan Astuti
(2013) menunjukkan semakin tinggi
tingkat
pendidikan
maka
persepsi
seseorang semakin positif. Hal ini
disebabkan karena makin tinggi tingkat
pendidikan, makin mudah seseorang
menerima, mengolah dan menyerap
informasi yang didapat sehingga dapat
menambah pengetahuan dan menjadi
kerangka rujukan dalam menilai masalah
yang dihadapi. Penelitian Purwaningsih,
Misutarno dan Nurimamah (2010)
menunjukkan individu dengan tingkat
pendidikan tinggi cenderung memiliki
perhatian
yang
besar
terhadap
kesehatannya sehingga jika individu
tersebut mengalami gangguan kesehatan
maka ia akan segera mencari pelayanan
kesehatan. Semakin
tinggi
tingkat
pendidikan orang resiko tinggi maka
semakin besar keseriusan yang dirasakan
terhadap HIV/AIDS sehingga dengan
persepsi keseriusan yang dimiliki akan
mendorong orang resiko tinggi untuk
memanfaatkan layanan VCT.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Abhinaja dan Astuti (2013) serta
Purwaningsih, Misutarno dan Nurimamah
(2010) dimana makin tinggi tingkat
pendidikan, kesadaran akan derajat
kesehatan makin meningkat. Karena makin
tinggi tingkat pendidikan, makin mudah
seseorang menerima, mengolah dan
menyerap informasi mengenai HIV/AIDS
yang didapat sehingga dapat menambah
pengetahuan dan menjadi kerangka
rujukan
dalam
menilai
masalah
HIV/AIDS. Meski adapula responden yang
berpendidikan SMA namun mempunyai
persepsi negatif. Hal tersebut dapat
disebabkan karena informasi yang diterima
belum tentu benar, tepat dan lengkap
sehingga dapat mempengaruhi pemahaman
dan persepsinya pun menjadi negatif.
Tabel
sumber
informasi
menunjukkan hampir setengah dari
responden mendapat informasi tentang
HIV/AIDS dari TV, radio, majalah, buku,
koran sebanyak 18 responden (32,1%).
Hasil tabulasi silang menunjukkan
responden yang mendapat informasi dari
TV, radio, majalah, buku, koran
setengahnya mempunyai persepsi positif
dan negatif masing-masing sebanyak 9
responden (50,0%), responden yang
mendapat informasi dari dokter, bidan,
perawat seluruhnya mempunyai persepsi
positif sebanyak 13 responden (100,0%),
responden yang mendapat informasi dari
teman,
saudara,
tetangga
hampir
seluruhnya mempunyai persepsi negatif
sebanyak 13 responden (92,9%), dan
responden yang belum mendapat informasi
tentang HIV/AIDS seluruhnya mempunyai
persepsi negatif sebanyak 11 responden
(100,0%),
Azwar (2007) menyatakan adanya
informasi baru mengenai suatu hal
memberi landasan kognitif (pengetahuan)
baru. Pesan-pesan sugestif yang dibawa
oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat
akan memberi dasar afektif (respon
emosional) dalam menilai suatu hal.
Penelitian Purwaningsih, Misutarno dan
Nurimamah (2010) mengenai “Analisis
faktor pemanfaata Voluntary Counseling
and Testing (VCT) pada orang resiko
tinggi HIV/AIDS” menunjukkan bahwa
informasi mengenai VCT terutama dari
tenaga kesehatan merupakan faktor yang
dapat mengurangi stigma atau persepsi
negatif mengenai HIV/AIDS sehingga
mendorong responden melakukan VCT.
Hal ini disebabkan informasi dapat
memperjelas kondisi suatu masalah
sehingga menjadi mudah dipahami.
Responden
yang
mendapat
informasi dari media massa seperti TV,
radio,
dan
sebagainya
merupakan
informasi yang bersifat searah dan tidak
ada timbal balik komunikasi. Responden
dengan tingkat pendidikan rendah akan
mengalami kesulitan jika mendapat
informasi jenis ini. Berbeda dengan
responden yang mendapat informasi dari
tenaga kesehatan. Informasi didapat secara
dua arah, sehingga bila ada yang kurang
dipahami
dapat
ditanyakan
dan
didiskusikan,
sehingga
menambah
pengetahuan, pemahaman serta merubah
persepsinya
menjadi
lebih
positif.
Informasi yang didapat dari teman atau
saudara atau tetangga merupakan sumber
informasi yang belum tentu kebenarannya.
Hal ini menyebabkan hampir seluruh
responden yang mendapat informasi dari
sumber tersebut mempunyai persepsi
negatif. Terlebih responden yang merasa
belum pernah mendapat informasi, maka
mereka tidak mempunyai kerangka
rujukan untuk menilai masalah HIV/AIDS.
SIMPULAN
Hasil penelitian mengenai persepsi
wanita pelaku pernikahan dini tentang
HIV/AIDS di Dusun Pecinan Desa Besuki
Kecamatan Besuki Kabupaten Situbondo
menunjukkan persepsi sebagian besar
responden adalah negatif sebanyak 33
responden (58,9%).
SARAN
Ibu diharapkan dapat mencari
tambahan informasi mengenai HIV/AIDS
terutama bagi ibu yang belum pernah
mendapat informasi tentang HIV/AIDS
dengan membaca buku-buku kesehatan
reproduksi wanita, bertanya pada tenaga
kesehatan maupun menonton tayangan
televisi mengenai masalah yang berkaitan.
Dinas
Kesehatan
lebih
meningkatkan koordinasi dengan pihak
terkait
khususnya
bidan
supaya
meningkatkan pemberian Komunikasi,
Informasi dan Edukasi (KIE) mengenai
berbagai resiko menikah usia dini
khususnya HIV/AIDS. Pemberian KIE
terutama ditujukan pada kalangan remaja
yang mempunyai risiko menikah dini serta
para orang tua yang mempunyai anak
perempuan usia remaja. Mengingat
kecenderungan masyarakat yang malu
untuk bertanya, sehingga bidan harus lebih
aktif mensosialisasikan bahaya menikah
dini. Untuk kalangan remaja dapat
dilakukan dengan mengaktifkan fungsi
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).
Institusi
pendidikan
supaya
menyiapkan tenaga kesehatan khususnya
bidan agar dapat menjadi educator dan
counselor bagi remaja agar tidak terjebak
dalam pernikahan usia dini. Selain itu hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai
referensi bagi peneliti selanjutnya dan
melanjutkan dengan penelitian serupa
yang menitikberatkan pada pemberian
penyuluhan
kesehatan
mengenai
HIV/AIDS pada remaja.
DAFTAR PUSTAKA
Abhinaja dan Astuti. 2013. Pengetahuan,
Persepsi Ibu Rumah Tangga
Mengenai Infeksi Menular Seksual
Termasuk HIV/AIDS serta Perilaku
Pencegahannya di Kelurahan
Sanur
Kecamatan
Denpasar
Selatan Kota Depasar Tahun 2013.
(Internet). 2013. Available from:
(http://ojs.unud.ac.id) (Accessed 20
Juli 2014)
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian:
Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
PT. Rineka Cipta
Azwar, S. 2007. Sikap Manusia, Teori dan
Pengukurannya. Edisi 2. Cetakan
XII. Jakarta: Pustaka Pelajar
Bruce, J. 2007. Child Marriage in the
Context of the HIV Epidemic.
(Internet).
September
2007.
Available
from:
(http://www.popcouncil.org)
(Accessed 12 Februari 2014)
Culyer, A.J. 2014. Encyclopedia of Health
Economics. New York: Mc. Hill
Dariyo, A. 2003. Psikologi Perkembangan
Dewasa Muda. Jakarta: Grasindo
Fadlyana, E. dan Larasaty, S. 2009.
Pernikahan Usia
Dini dan
Permasalahannya.
(Internet).
Agustus 2009. Available from:
(http://www.saripediatri.idai.or.id)
(Accessed 6 Maret 2014)
Fisher, J., dkk. 2011. Mental Health
Aspect of Women’s Reproductive
Health: A Global Review of the
Literature. New York: WHO
Gelb, J. 2009. Women and Politics Around
the World: A Comparative History
and Survey. New York: ABCCLIO
Hidayat, A.A.A. 2010. Metode Penelitian
Kebidanan dan Teknik Analisis
Data. Edisi 1. Jakarta: Salemba
Medika
Indiyarti. 2010. Persepsi Remaja tentang
Mitos HIV/AIDS (Studi Kualitatif
pada Siswa Kelas 1 SMA Negeri 1
Sanden
Bantul
Yogyakarta.
(Internet). 2010. Available from:
(http://eprints.undip.ac.id)
(Accessed 21 Januari 2014)
Irham, M. 2011. Angka Pernikahan Dini di
Sulsel Masih Tinggi. (Internet). 3
Desember 2011. Available from:
(http://www.makassar.tribunnews.c
om) (Accessed 23 Januari 2014)
Ivancevich, J.M., dkk. 2006. Perilaku dan
Manajemen Organisasi. Jakarta:
Erlangga
Mansur, H. 2009. Psikologi Ibu dan Anak
untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba
Medika
Marliani, R. 2010. Psikologi Umum.
Bandung: CV. Pustaka Setia
Maryunani, A. dan Aeman, U. 2009. Buku
Saku Pencegahan Penularan HIV
dari Ibu ke Bayi Penatalaksanaan
di Pelayanan Kebidanan. Jakarta:
TIM
Mubarak. 2011. Promosi Kesehatan
Sebuah Pengantar Proses Belajar
Mengajar
dalam
Pendidikan.
Yogyakarta: Graha Ilmu
Noorkasiani, dkk. 2009. Sosiologi
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Rakhmat, J. 2007. Psikologi Komunikasi.
Jakarta: EGC
Notoatmodjo, S. 2005. Promosi Kesehatan
Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka
Cipta
Riduwan. 2003. Dasar-dasar Statistik.
Bandung: Alfabeta
_____________.
2010.
Metodologi
Penelitian Kesehatan. Cetakan
Ketiga. Jakarta: PT. Rineka Cipta
_______. 2008. Skala
Variabel-variabel
Bandung: Alfabeta
_____________. 2010. Ilmu Perilaku
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Riswandi. 2009. Ilmu Komunikasi.
Yogyakarta: Graha Ilmu
Nour, N.M. 2006. Health Consequences of
Child
Marriage
in
Africa.
(Internet).
November
2006.
Available
from:
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov)
(Accessed 2 Maret 2014)
Romauli dan Vindari. 2009. Kesehatan
Reproduksi
buat
Mahasiswi
Kebidanan. Yogyakarta: Mutia
Medika
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan
Metodologi
Penelitian
Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika
Pengukuran
Penelitian.
Santrock. J. W. 2002. Life-Span
Development:
Perkembangan
Masa Hidup. Jakarta: Erlangga
Sarwono, S.W. 2009. Pengantar Psikologi
Umum. Jakarta: Rajawali Press
Nursalam dan Kurniawati, N.D. 2013.
Asuhan Keperawatan pada Pasien
Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta:
Salemba Medika
Setiawan, A. dan Saryono. 2010.
Metodologi Penelitian Kebidanan
DIII, DIV, S1 dan S2. Yogyakarta:
Nuha Medika
Palu, B. 2008. Menyelamatkan Generasi
Muda. (Internet). 5 November
2008.
Available
from:
(http://www.bappenas.go.id)
(Accessed 1 Maret 2014)
Sobur, A. 2011. Psikologi Umum. Jakarta:
CV. Pustaka Setia
Pertiwi, K.R. 2011. Kesehatan Reproduksi
Remaja dan Permasalahannya.
(Internet). 2011. Available from:
(http://staff.uny.ac.id) (Accessed 17
Februari 2014)
Purwaningsih, Misutarno dan Nurimamah.
2010. Analisis Faktor Pemanfaatan
VCT pada Orang Resiko Tinggi
HIV/AIDS.
(Internet).
2010.
Available
from:
(http://journal.unair.ac.id)
(Accessed 21 Juli 2014)
Soetjiningsih. 2007. Tumbuh Kembang
Remaja dan Permasalahannya.
Jakarta: Sagung Seto
Spiritia. 2013. Statistik Kasus HIV/AIDS di
Indonesia. (Internet). September
2013.
Available
from:
(http://www.spiritia.or.id)
(Accessed 6 Maret 2014)
Sugiyono.
2009.
Statistika
untuk
Penelitian. Bandung: Alfabeta
Sukmadinata,
N.S.
2009.
Metode
Penelitian Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosda Karya
Sunaryo.
2004.
Psikologi
Untuk
Keperawatan. Jakarta: EGC
Walgito, B. 2004. Pengantar Psikologi
Umum. Yogyakarta: Andi Offset
Widyastuti, dkk. 2009. Kesehatan
Reproduksi. Yogyakarta: Fitramaya
World Bank. 2006. World Bank Report:
World Development Report 2007,
Development and the Next
Generation. Washington D.C.:
World Bank
Download