RPKPS SISTIM SOSIAL DAN POLITIK INDONESIA RENCANA PERKULIAHAN DAN PEMBELAJARAN SEMESTER MATA KULIAH SISTIM SOSIAL DAN POLITIK INDONESIA Mata kuliah Pengampu Kode MK/SKS : Sistim Sosial dan Politik Indonesia : Drs. Widodo Agus Setianto, M.Si DR. Kuskrido Ambardy, MA. : SPU 111/3 SKS PENGANTAR Masyarakat pada dasarnya merupakan kesatuan yang terdiri dari entitasentitas yang hidup bersama yang terikat dalam kesatuan jalinan sistim baik dalam jalinan sistim sosial dan budaya maupun dalam jalinan sistim politik. Sebagai sebuah kesatuan entitas, setiap masyarakat memiliki kekhasan dalam khasanah kehidupan sosial politiknya. Demikian juga dengan masyarakat bangsa Indonesia sebagai sebuah kesatuan entitas yang terdiri dari berbagai entitas yang begitu beragam dari segi etnik, budaya, kehidupan sosial, religi, dan juga corak pengelolaan masyarakatnya. Indonesia merupakan kesatuan entitas masyarakat majemuk. Salah satu ciri dari masyarakat majemuk sebagaimana halnya dengan masyarakat Indonesia adalah besarnya potensi konflik yang ada dalam masyarakat sebagai konsekwensi dari keberagaman masyarakatnya. Oleh karenanya perlu sebuah telaah yang komprenhensif mengenai berbagai ciri dan karakter pada setiap entitas masyarakat Indonesia agar diperoleh satu simpul yang mengikat setiap entitas masyarakat bagi terjalinnya integrasi dalam kehidupan bermasyarakat. Integrasi merupakan sebuah konsep politik kemasyarakatan bagi terciptanya kehidupan yang harmoni di antara elemen-elemen masyarakat dalam suatu tertib sosial kemasyarakatan. Integrasi bukan berarti peluruhan terhadap setiap perbedaan yang melekat pada setiap entitas dan melebur pada satu identitas tunggal yang sama, melainkan adalah kesadaran sebagai bagian dari integralitas bangsa yang menghargai pluralitas dan berbagai perbedaan yang ada untuk hidup bersama. Untuk kepentingan ini maka dibuatlah sebuah wadah pengetahuan dalam mata kuliah Sistim Sosial dan Sistim Politik Indonesia (SSPI). Mata kuliah Sistim Sosial dan Politik Indonesia merupakan mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa yang ada di berbagai jurusan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Dengan demikian kedudukan mata kuliah Sistim Sosial dan Politik Indonesia ini merupakan mata kuliah wajib fakultas. Mata kuliah ini sebelumnya ditawarkan secara terpisah yakni mata kuliah Sistim Sosial Indonesia, dan mata kuliah Sistim Politik Indonesia. Akan tetapi sejak 1 tahun 2007 kedua mata kuliah ini dilebur dalam satu wadah Sistim Sosial dan Politik Indonesia (SSPI). Penggabungan kedua mata kuliah ini merupakan hasil restrukturisasi kurikulum yang ada yang lebih memberikan penekanan pada pengembangan kompetensi di tingkat jurusan selain bahwa kedua mata kuliah ini seharusnya memang merupakan sebuah kesatuan yang integratif dalam membahas fenomena sistim sosial dan sistim politik di Indonesia. Dengan demikian diharapkan akan menghasilkan pengetahuan yang komprenhensif bagi para peserta didik dalam memahami dan menganalisis berbagai hal terkait dengan masalah sosial dan politik di Indonesia. Selain itu peserta didik diharapkan dapat bersikap lebih bijak dalam menyikapi berbagai persoalan yang ada, dan dapat berpartisipasi secara lebih konstruktif dalam pluralisme masyarakat dalam kesatuan bangsa Indonesia. DISKRIPSI PERKULIAHAN Mata kuliah ini pada dasarnya ingin memberikan pengetahuan dan wawasan mengenai sistim sosial dan sistim politik di Indonesia dalam perspektif teori-teori ilmu sosial dan ilmu politik. Dengan demikian akan diperoleh proposisi yang tepat untuk menganalisis sistim kehidupan sosial dan politik di Indonesia berdasarkan perspektif teori yang digunakan. Mengingat bahwa kehidupan politik berakar pada realitas kehidupan sosial masyarakat, maka kehidupan sosial dengan sistim sosialnya akan menjadi landasan bagi terbentuknya sebuah sistim politik yang berlaku. Oleh karena itulah dalam melakukan telaah terhadap sistim sosial dan sistim politik Indonesia, terlebih dahulu akan dibahas mengenai sistim sosial Indonesia, baru kemudian membahas tentang sistim politik yang berakar dari sistim sosial yang menopangnya. Sistim sosial Indonesia mendasarkan pada kenyataan sosial yang hidup di antara entitas-entitas masyarakat yang dikonsepsikan sebagai suatu sistim kehidupan yang terbuka dan penuh interaksi baik internal maupun eksternal. Interaksi internal mencangkup interaksi antar komponen yang ada dalam sistim, sedang interaksi eksternal mencangkup interaksi antara sistim dengan lingkungannya. Untuk itu maka dalam kuliah ini akan dibahas pengertian mengenai sistim, masyarakat sebagai suatu sistim baik dalam bentuknya yang statis maupun dinamis, perubahan sistim dalam masyarakat, pluralisme kehidupan masyarakat, maupun konflik dan integrasi yang mendasarkan pada teori-teori struktural fungsional, neo fungsionalaisme, dan konfilk baik dari teori yang dikemukakan oleh Talcot Parson, Robert K.Merton, Marx dan Ralp Dahrendorf. Karena dalam kehidupan sosial masyarakat diperlukan pengaturan yang menyangkut kepemimpinan, kewenangan, dan penataan kehidupan masyarakat secara politis, maka dengan sendirinya terbentuklah sebuah sistim pengaturan kehidupan masyarakat yang bersifat politis dan membentuk sebuah sistim politik. Cakupan dari sistim politik di antaranya adalah bahasan mengenai pengertian sistim politik itu sendiri, sistim politik di Indonesia dan sistim politik Indonesia, Perbandingan mengenai sistim politik, perwakilan politik di Indonesia, Sistim 2 kepartaian dan pemilu, disentralisasi dan otonomi, masyarakat majemuk dan konflik indentitas, potret masyarakat majemuk Indonesia, dan rancangan sistim sosial dan sistim politik Indonesia. TUJUAN PERKULIAHAN . Mata kuliah ini diselenggarakan dengan maksud memberikan pemahaman dan pengetahuan yang integratif dan komprehensif tentang sistim sosial dan politik Indonesia yang mencangkup berbagai aspek kehidupan sosial dan politik di masyarakat. Dengan pemahaman dan pengetahuan tersebut para mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan dalam melakukan analisis terhadap masyarakat sebagai sebuah sistim yang selalu berubah dan berkembang berdasarkan perspektif dan kerangka teoritik konseptual sebagaimana yang dipelajari dalam kuliah ini. Dengan demikian para mahasiswa selain memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai fenomena menyangkut sistim sosial dan politik Indonesia, juga memiliki ketrampilan intelektual dalam mengidentifikasi dan menganalisis berbagai masalah terkait dengan sistim sosial dan politik, memiliki ketrampilan praktis dalam menangani pemecahan masalah terkait dengan masalah sistim sosial dan politik, dan memiliki kemampuan manajerial dalam mengelola berbagai persoalan yang terkait dengan masalah sistim sosial dan sistim politik. METODE PEMBELAJARAN Perkuliahan diberikan secara tatap muka dengan alokasi waktu antara 90 menit sampai dengan 120 menit pada setiap kali pertemuan. Dimulai dengan mempresentasikan materi kuliah kepada para mahasiswa sekitar 60 menit, kemudian diakhiri dengan diskusi dan/atau tanya jawab selama 60 menit. Selain kuliah secara tatap muka, para mahasiswa pada pertemuan k e 3 mendapatkan penugasan membuat kliping dalam rangka mengidentifikasi praktek kehidupan sosial dan sistim sosial dalam masyarakat banagsa Indonesia.. Dan pada pertemuan ke 9 mendapatkan penugasan pembuatan makalah tentang sistim politik di Indonesia. Dengan metode pembelajaran yang demikian ini diharapkan apa yang menjadi tujuan perkuliahan untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki pengetahuan yang integratif dan komprehensif tentang sistim sosial dan sistim politik Indonesia baik yang menyangkut aspek kognitif, intelektual skill, dan aspek vokasional dalam praksis kehidupan sosial dan politik. CARA PENILAIAN Penilaian terhadap mahasiswa peserta kuliah dilakukan secara komprehensif yang meliputi partisipasi mahasiswa dalam setiap perkuliahan yang diselenggarakan 3 sebanyak 14 kali pertemuan dalam satu semester. Dalam perkuliahan selain partisipasi kehadiran, inisiatif, daya kritis dan daya nalar mahasiswa terhadap setiap materi kuliah yang diberikan juga akan mendapatkan penilaian tersendiri. Untuk keseluruhan penilaian yang tercakup dalam partisipasi kuliah ini menduduki bobot penilaian 10 % dari seluruh penilaian yang ada, interaksi kelas (10 %), selain juga tugas-tugas individu yang harus dikerjakan mahasiswa (20 %), ujian tengah semester (30 %) dan ujian akhir semester (30 %). Dengan demikian rincian penilaian bagi para mahasiswa yang mengikuti perkuliahan periklanan adalah sebagai berikut : Partisipasi kuliah Interaksi kelas Tugas individu Ujian tengah semester Ujian akhir semester : 10 % : 10 % : 20 % : 30 % : 30 % Nilai akhir mahasiswa bergantung pada hasil total evaluasi tersebut di atas. Tidak ada tugas lain untuk memperbaiki nilai yang diperoleh dari total evaluasi dan tidak ada tugas, tes, maupun ujian susulan. Untuk Memperoleh Nilai "C": 1. Memperoleh nilai total minimal 56 (lima puluh enam) pada skala 100 (seratus). 2. Memperoleh nilai rata-rata minimal "C" untuk tugas, tes 1, tes 2, UTS, dan Tugas Akhir Semester. Untuk Memperoleh Nilai "B": 1. Memenuhi kriteria perolehan nilai "C" sebagaimana keterangan di atas. 2. Memperoleh nilai rata-rata minimal "B" untuk tes 1, tes 2, UTS, dan Tugas Akhir Semester. Untuk Memperoleh Nilai "A": 1. Memenuhi kriteria 1-2 perolehan nilai "B" sebagaimana keterangan di atas. 2. Memperoleh nilai rata-rata minimal "A" untuk tes 1, tes 2, UTS, dan Tugas Akhir Semester. KEHADIRAN/PARTISIPASI Mengingat materi perkuliahan yang berkesinambungan dan membutuhkan partisipasi aktif para peserta baik individual maupun kelompok, kehadiran mahasiswa dalam 4 setiap pertemuan sangatlah penting. Nilai 10 (sepuluh) persen untuk partisipasi mahasiswa diberikan sebagai berikut: Jumlah Ketidakhadiran (absen) Nilai Kehadiran 0 kali 1 kali 2 kali 3 kali 4 kali 5 kali 10 % 8% 6% 4% 2% 0 % dan Tidak boleh mengikuti UAS (Laporan Tugas Akhir Semester) TES 1, TES 2, UTS, dan UAS Tes 1 diadakan sebelum UTS dengan materi yang berasal dari pertemuan 1 sampai 6. Tes 2 diadakan sebelum UAS dengan materi yang berasal dari pertemuan 7 sampai 13. Materi UTS berasal dari topik pertemuan 1 sampai dengan 6. Sedangkan materi UAS berasal dai topik pertemuan 1 sampai dengan 13. TUGAS Jenis dan bentuk tugas akan diumumkan lebih lanjut di hadapan kelas. PERATURAN KELAS 1. Mahasiswa TIDAK DIPERKENANKAN mengikuti aktivitas perkuliahan, tes, dan ujian jika: Terlambat hadir 20 menit atau lebih dari waktu yang telah ditentukan. Terlambat hadir lebih dari 30 menit untuk tes dan ujian. Tidak memakai sepatu. Tidak berpakaian sebagaimana ketentuan perkuliahan yang berlaku. 2. Mahasiswa TIDAK DIPERKENANKAN mengikuti UAS jika kehadiran kurang dari 75% pertemuan matakuliah. 3. Kecurangan dalam bentuk apa pun ketika tes dan ujian menyebabkan mahasiswa secara langsung memperoleh Nilai E. 5 SUBSTANSI BAHASAN PER SESI Kuliah ke 1 : Akar Sistim Sosial dan Sistim Politik Indonesia Tidak mudah untuk menjelaskan sistim sosial Indonesia mengingat begitu beragamnya corak kehidupan sosial yang berlaku di masyarakat Indonesia yang merupakan entitas-entitas suku bangsa yang masing-masing memiliki sistim sosialnya sendiri. Untuk menjadikan satu sistim sosial yang berlaku di suatu entitas tertentu dari masyarakat Indonesia sebagai sistim sosial Indonesia tentunya merupakan bentuk pemerkosaan terhadap eksistensi sistim sosial dari entitas suku bangsa lainnya di Indonesia. Oleh karenanya konsep sistim sosial Indonesia hanyalah sebuah klaim politis yang dalam realitanya sulit bagi kita untuk menyatakan berbagai sistim sosial yang ada di Indonesia sebagai satu kesatuan sistim sosial yang berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia. Akan lebih mendekati realita soiologis kalau dikatakan sebagai sistim sosial di Indonesia yang merefleksikan berbagai sistim sosial yang ada pada entitas-entitas suku bangsa yang ada di Indonesia. Namun demikian tidak berarti bahwa sistim sosial di Indonesia ini tidak dapat dijelaskan secara teoritik. Sebuah sistim sosial adalah merupakan keniscayaan sebagai konsekwensi dari adanya kehidupan bersama. Berbeda halnya dengan sistim sosial yang pada dasarnya merefleksikan sistim sosial pada entitas-entitas yang mendukung bangunan struktur sosial masyarakat Indonesia, maka sistim politik Indonesia lebih mudah untuk dikonstruksikan sebagai bangunan yang mengatur seluruh kehidupan politik masyarakat bangsa Indonesia. Dalam kerangka menjelaskan sistim sosial dan sistim politik Indonesia, maka hal yang terlebih dahulu harus dijelaskan adalah pengertian dari sistim itu sendiri. Sistim adalah konstruksi yang abstrak dan teratur sehingga merupakan keseluruhan yang terangkai. Artinya setiap bagian dari suatu keseluruhan dapat dihubungkan satu sama lainnya. Sistim adalah rangkaian yang terdiri dari sub sistem-sub sistem yang membentuk satu bangunan yang saling terkait satu sama lainnya. Sistim sosial merupakan bagunan sistim dalam kehidupan sosial masyarakat yang oleh Talcot Parson didefinisikan sebagai : ”Sistim sosial terdiri dari sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan (fisik), aktor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan untuk mengoptimalkan kepuasan yang berhubungan dengan situasi mereka yang didefinisikan dan dimediasi dalam term sistim simbol bersama yang tersturktur secara kultural”. Sistim politik adalah sub sistem dari sistim sosial kemasyarakatan, seperti halnya sistim ekonomi, sistim budaya, sistim hukum, dan sebagainya. Sistim politik adalah kesatuan alur yang mengatur keseluruhan kehidupan politik masyarakat yang menyangkut lembaga negara, partai politik, dan kelompok-kelompok penekan. Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada 6 struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari suatu sistem politik. Dengan mengubah sudut pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagai kebudayaan politik, lembagalembaga politik, dan perilaku politik. Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) ke dalam sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberian oleh pemerintahan untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem politik adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Namun dengan mengingat Machiavelli maka tidak jarang efektifitas sistem politik diukur dari kemampuannya untuk mempertahankan diri dari tekanan untuk berubah. Pandangan ini tidak membedakan antara sistem politik yang demokratis dan sistem politik yang otoriter. Indonesia merupakan sebuah masyarakat bangsa yang dibangun dari entitasentitas suku bangsa yang sangat majemuk dalam arti yang sebenar-benarnya. Tidaklah mengherankan kalau masyarakat bagsa Indonesia adalah masyarakat bangsa yang penuh warna. Demikian juga dengan kehidupan sosial dan sistim sosial yang dikembangkan. Setiap entitas memiliki ciri yang mungkin berbeda dengan entitas sosial lainnya. Dalam kehidupan politik setiap entitas suku bangsa pada dasarnya memiliki sistimnya tersendiri, namun sejak mengikatkan diri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia maka secara politis setiap entitas yang ada haruslah mengkuti sistim yang berlaku dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia itu. Sejak kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, dan Indonesia berdiri sebagai sebuah negara, hingga saat ini telah berlaku beberapa sistim politik. Meski secara formal sistim politik di Indonesia mendasarkan diri pada sistim politik yang demokratis, namun dalam prakteknya demokrasi yang dimaksudkan sangatlah khas Indonesia yang diterjemahkan sesuai dengan kebutuhan politik saat itu. Oleh karenanya dalam perjalanan sejarah politik bangsa dikenal beberapa sistim politik yang berlaku seperti Demokrasi Pancasila, Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, dan kembali kepada Demokrasi Pancasila yang pada tataran praksisnya satu sama lain tidaklah sama. Referensi : Ashadi Siregar (1983). Komunikasi Sosial. Yogyakarta : Fisipol – UGM. Miriam Budiarjo (2008). Pengantar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia. Soerjono Soekanto (1986). Sosiologi Suatu Pengantar . Jakarta : Rajawali. 7 Kuliah 2 & 3 : Kerangka Landasan dalam Memahami Sistim Sosial Indonesia (1) Indonesia dibangun di atas landasan keberagaman masyarakatnya yang terdiri dari berbagai etnik, ras dan suku bangsa. Masing-masing etnik, ras, dan suku bangsa memiliki perbedaan-perbedaan dalam masalah sosial, budaya dan politik.. Dengan demikian Indonesia berada di atas satuan-satuan yang secara sosiologis, antroplogis, dan politis berbeda satu sama lainnya. Perbedaan yang ada menunjukkan bahwa Indonesia merupakan bangsa multi etnis dengan struktur masyarakat majemuk yang rentan terhadap berbagai konflik di antara entitas-entitas masyarakatnya yang berbeda itu. Pada masa lalu konflik dapat terjadi di antara masyarakat yang berbeda dalam identitas kelompoknya, dan berakhir pada penguasaan atau dominasi kelompok yang lebih kuat dalam bentuk penaklukan terhadap kelompok lainnya yang lebih lemah. Masyarakat majemuk pada umumnya dipersatukan dalam kesatuan identitas bangsa dan masuk dalam wadah negara karena dipersatukan oleh suatu paksaan kekuatan yang dominan. Pada masa kerajaan banyak daerah-daerah dari etnik atau sub etnik tertentu yang ditaklukan dan menjadi bagian dari daerah kekuasaan kerajaan yang menakukkannya. Perangkat hukum, sosial, dan politik merujuk pada aturan yang berlaku pada kerajaan penakluknya yang pelaksanaannya diawasi oleh penguasa-penguasa wilayah yang diangkat oleh kerajaan penakluk. Pada masa penjajahan Belanda pusat kekuasaan beralih pada Pemerintahan Hindia Belanda. Kesatuan daerah jajahan yang mengikat entitas-entitas suku bangsa di dalamnya dilakukan melalui bentuk koersi kekuasaan birokrasi dan militer. Perangkat hukum dan sistim politik pemerintahan merupakan perpanjangan dari sistim hukum dan politik pemerintahan kerajaan Belanda yang dirancang untuk melestarikan dominasi kekuasaan penjajah di tanah jajahannya. Hubungan antara pemerintah dengan masyarakat suku bangsa dalam masyarakat jajahan dilakukan melalui golongan perantara yang sangat diuntungkan dalam sistim sosial politik yang demikian itu. Posisi ini di masa lalu dipegang oleh golongan masyarakat keturunan Cina, Arab, dan Timur Asing yang khususnya menangani sektor perekonomian dan mendapatkan previlage secara sosial di atas bangsa pribumi yang terjajah. Sementara para raja, sultan dan para bangsawan yang sebelumnya memegang kendali pemerintahan, pada masa penjajahan tersubordinasi pada kekuasaan penjajah dan banyak digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan penguasaan. Dengan demikian tersusunlah struktur masyarakat dalam beberapa golongan. Golongan yang paling teratas dan paling dominan adalah bangsa Belanda dan bangsa kulit putih lainnya. Kemudian berturut-turut adalah bangsa Cina, Arab, dan bangsa Timur Asing lainnya. Baru lapisan terbawah adalah bangsa pribumi yang juga dibedakan menjadi dua yakni yang telah mengenal peradaban dan mengenyam sistim pendidikan Belanda dan yang masih terbelakang dan primitif. Dalam struktur yang berlaku nasional ini terdapat struktur-struktur hubungan kekuatan dominan-minoritas yang bervariasi sesuai konteks-konteks hubungan dan kepentingan yang berlaku 8 Demikian pula halnya pada masa penjajahan pemerintahan militer Jepang. Dalam mempersatukan daerah jajahannya secara politik, pemerintahan militer Jepang menerapkan hukum militer yang sangat keras, mermposisikan diri sebagai kekuatan pemaksa yang mengeksploitasi seluruh aspek kehidupan masyarakat suku bangsa yang dijajahnya. Kondisi yang sama yang dialami suku-suku bangsa yang dijajah ini pada akhirnya melahirkan kesadaran kolektif dan solidaritas sosial. Perasaan senasib, sependeritaan dan sepenanggungan melahirkan rasa saling ketergantungan pada masyarakat. Melalui proses sosial dan politik yang cukup lama, warga masyarakat Hindia Belanda yang kemudian menjadi warga penjajahan Jepang menyadari pentingnya memerdekakan diri dari penjajahan Jepang yang amat menyengsarakan mereka. Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, dipimpin oleh Soekarno-Hatta, maka suku-suku bangsa di Indonesia menyatakan mengikatkan dirinya sebagai kesatuan bangsa dalam wadah negara Indonesia. Dari sinii terbentuklah suatu tatanan masyarakat baru dalam sebuah kerangka sistim sosial dan politik Indonesia. Referensi Nasikun. 1985. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo. Giddens, Anthony dkk. 2002. Sejarah Sosiologi dan Pemikiran. Sigman, Stuart. 1987. Social Communication. New York: Lexington Books Kuliah 4 & 5 : Kerangka Landasan dalam Memahami Sistim Sosial Indonesia (2) Teori stratifikasi sosial merupakan teori sosial yang diintrodusir dan dikembangkan oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore (1945). Stratifikasi sosial merupakan fenomena universal, karena tidak ada satupun masyarakat tanpa stratifikasi atau tanpa kelas. Stratifikasi adalah keharusan fungsional, dan masyarakat memerlukannya. Oleh karena itu lalu lahirlah sistim stratifikasi sosial berdasarkan fungsinya dalam kehidupan masyarakat. Sistim stratifikaksi sosial adalah sebuah struktur yang tidak mengacu pada pribadi, akan tetapi pada sistim posisi (kedudukan) individu dalam masyarakat. Posisi tertentu individu dalam masyarakat akan mempengaruhi prestise bagi individu yang berbeda. Dalam hal ini Davis dan Moore tidak menekankan bagaimana mendapatkan posisi atau kedudukan itu dalam masyarakat, akan tetapi nemekankan pada bagaimana cara posisi tertentu mempengaruhi tingkat prestise dalam masyarakat. Persoalan krusial dalam stratifikasi sosial-fungsional adalah bagaimana masyarakat memotivasi dan menempatkan individu pada posisi/kedudukannya yang tepat di masyarakat, dan Bagaimana masyarakat menanamkan motivasi kepada individu untuk memenuhi persyaratan dalam mengisi posisi tersebut ? Dari ketiga hal di atas Davis dan Moore lebih memberikan perhatian pada posisi yang penting dalam masyarakat untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat. Ini merupakan posisi yang lebih tinggi tingkatannya dalam stratifikasi 9 masyarakat yang memerlukan bakat dan kemampuan terbaik meski dianggap kurang menyenangkan. Oleh karena itu masyarakat harus memberikan penghargaan yang terbaik (award) bagi individu yang menduduki posisi ini agar dapat bekerja dengan tekun. Sebaliknya posisi-posisi lainnya dianggap lebih rendah dalam stratifikasi masyarakat, kurang penting, dan tidak terlalu memerlukan bakat dan kemampuan terlalu besar namun menyenangkan. Selain itu masyarakat tidak terlalu menuntut individu yang menduduki posisi rendah ini untuk malaksanajan kewajiban mereka dengan tekun. Individu yang berada di puncak stratifikasi harus menerima hadiah/imbalan yang memadai dari fungsi yang dilaksanakannya itu dalam bentuk prestise yang tinggi, gaji besar, dan kesenangan yang cukup. Ini untuk meyakinkan bahwa individu mau menduduki posisi yang tinggi itu dalam masyarakat. Fungsionalisme struktural diperkenalkan dan dikembangkan oleh Talcot Person dan Robert K. Merton sebagai tradisi teoritik dalam kajian-kajian kemasyarakatan khususnya yang menyangkut sturktur dan fungsi masyarakat. Teori fungsionalisme struktural mengambil basis teoritis dari teori stratifikasi sosial yang diperkenalkan oleh Kingsley davis dan Wilbert Moore (1945). Namun dalam perkembangannya teori ini telah mengalami kemerosotan khususnya pada empat dekade terakhir dan akhirnya hanya bermakna historis, untuk kemudian dikembangnya menjadi neo-fungsionalime oleh Zevry Alexander pada tahun 1980 an. Teori struktural fungsional Talcot Person dimulai dengan empat fungsi penting untuk semua sistim ”tindakan” yang disebut dengan AGIL. Melalui Agil ini kemudian dikembangkan pemikiran mengenai struktur dan sistim. Menurut Person fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistim. Dengan difinisi ini Person yakin bahwa ada empat fungsi penting yang diperlukan semua sistim yang dinamakan AGIL yang antara lain adalah : Adaptation (adaptasi). Sebuah sistim harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistim harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya. Goal attainment (pencapaian tujuan). Sebuah sistim harus mendifiniisikan diri untuk mencapai tujuan utamanya. Integration (integrasi). Sebuah sistim harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistim juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L). Latency (pemeliharaan pola). 10 Sebuah sistim harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi. Agar dapat tetap bertahan, maka suatu sistim harus mempunyai keempat fungsi ini. Parson mendisain skema AGIL ini untuk digunakan di semua tingkat dalam sistim teorinya, yang aplikasinya adalah sebagai berikut : Organisme perilaku adalah sistim tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dengan dan mengubah lingkungan eksternal. Sistim kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistim dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya. Sistim sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagianbagian yang menjadi komponennya. Sistim kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak. Dari skema tindakan Parson ini nampak bahwa Parson mempunyai gagasan yang jelas mengenai tingkatan analisis sosial maupun mengenai hubungan antara berbagai tingkatan itu. Susunan hirarkinya jelas, dan tingkat integrasi menurut sistim Parson terjadi dalam dua cara : 1. Masing-masing tingkat yang lebih rendah menyediakan kondisi atau kekuatan yang diperlukan untuk tingkat yang lebih tinggi. 2. Tingkat yang lebih tinggi mengendalikan tingkat yang berada di bawahnya. Inti pemikiran Parson ditemukan dalam empat sistim tindakan yang diciptakannya. Tingkatan yang paling rendah dalam sistim tindakan ini adalah lingkungan fisik dan organisma, meliputi aspek-aspek tubuh manusia, anatomi, dan fisiologisnya. Sedang tingkat yang paling tinggi dalam sistim tindakan adalah realitas terakhir yang mungkin dapat berupa kebimbangan, ketidak pastian, kegelisahan, dan tragedi kehidupan sosial yang menantang organisasi sosial. Di antara dua lingkungan tindakan itulah terdapat empat sistim yang diciptakan oleh Parson meliputi organisme perilaku, sistim kepribadian, sistim sosial, dan sistim kultutral. Semua pemikiran Parson tentang sistim tindakan ini didasarkan pada asumsi-asumsi beikut : 1. Sistim memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling bergantung. 2. Sistim cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan. 3. Sistim mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur. 11 4. Sifat dasar bagian dari suatu sistim berpengaruh terhadap bentuk bagianbagian lain. 5. Sistim memelihara batas-batas dengan lingkunganya. 6. Alokasi dari integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistim. 7. Sistim cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagianbagian dengan kerseluruhan sistim, menegndalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistim dari dalam. Dari asumsi-asumsi inilah Parson menempatkan analisis struktur keteraturan masyarakat pada prioritas utama. Parson sedikit sekali memperhatikan masalah perubahan sosial. Keempat sistim tindakan ini tidak muncul dalam kehidupan nyata; tetapi lebih merupakan peralatan analisis untuk menganalisis kehidupan nyata. Menurut Parson sistim sosial berawal pada interaksi tingkat mikro antara ego dengan alter ego yang merupakan bentuk sistim sosial yang paling mendasar. Parson mendifinisikan sistim sosial sebagai : ”Sistim sosial terdiri dari sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan (fisik), aktoraktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan untuk mengoptimalkan kepuasan yang berhubungan dengan situasi mereka yang didefinisikan dan dimediasi dalam term sistim simbol bersama yang tersturktur secara kultural”. Disini Parson menggunakan konsep-konsep atau kata-kata kunci yakni aktor, interaksi, lingkungan, optimalisasi kepuasan, dan kultur. Uniknya meski Parson berkomitmen melihat sistim sosial sebagai sebuah interaksi, namun Parson tidak menggunakan konsep interaksi sebagai unit fundamental dalam studi tentang sistim sosial, ia malah menggunakan konsep status-peran sebagai unit dasar dari sistim. Status-peran bukan merupakan satu aspek dari aktor atau interaksi, melainkan lebih merupakan komponen sturktural dari sistim sosial. Status mengacu pada posisi struktural di dalam sistim sosial, dan peran adalah apa yang dilakukan aktor dalam posisinya itu, dilihat dalam konteks signifikansi fungsionalnya untuk sistim yang lebih luas. Dalam sistim sosial ini Parson menekankan pentingnya aktor. Akan tetapi Parson lebih melihatnya sebagai kenyataan fungsional bukan struktural, karena aktor merupakan pengemban dari fungsi peran yang adalah bagian dari sistim. Oleh karenanya harus terdapat integrasi pola nilai dalam sistim antara aktor dengan struktur sosialnya. Dan ini hanya dapat dilakukan dengan melalui proses internalisasi dan sosialisasi. Disini terdapat pengalihan norma dan nilai sistim sosial kepada aktor 12 di dalam sistim sosial. Dalam proses sosialisasi yang berhasil, norma dan nilai itu diinternalisasikan, artinya norma dan nilai itu menjadi bagian dari kesadaran aktor. Akibatnya dalam mengejar kepentingannya, aktor harus mengabdi pada kepentingan sistim sebagai satu kesatuan. Dalam proses sosialisasi bukan hanya mengajarkan seorang (anak) untuk bertindak, akan tetapi juga mempelajari norma dan nilai masyarakat. Sosialisasi merupakan sebuah proses yang konservatif, dimana disposisi kebutuhan yang sebagian besarnya dibentuk masyarakat mengikatkan anak-anak pada sistim sosial, dan sosialisasi itu menyediakan alat untuk memuaskan disposisi kebutuhan tersebut. Dengan demikian dalam proses sosialisasi ini hampir tidak ada kreatifitas, kebutuhan untuk mendapatkan gratifikasi mengikatkan anak-anak pada sistim sebagaimana adanya. Sosialisasi merupakan pengalaman seumur hidup, Norma dan nilai yang ditanamkan cenderung bersifat umum sehingga tidak dapat digunakan oleh anakanak ketika menghadapi berbagai situasi khusus ketika mereka dewasa nanti. Oleh karena itu dalam sosialisasi perlu dilengkapi serangkaian pengalaman sosialisasi yang bersifat spesifik, karena nilai dan norma yang dipelajari ketika masih kanakkanak cenderung tidak berubah, dan dengan sedikit penguatan cenderung tetap berlaku seumur hidup. Meski terdapat sosialisasi, namun akan tetap terdapat sejumlah besar perbedaan individual di dalam sistim. Namun sejumlah perbedaan individual ini tidak menjadi problem besar bagi sistim sosial, padahal sistim sosial memerlukan keteraturan. Ada beberapa hal yang mungkin dapat menjelaskan hal ini : 1. Sejumlah mekanisme pengendalian sosial dapat digunakan untuk mendorong ke arah penyesuaian. Tapi menurut Parson, pengendalian sosial adalah pertahanan lapis kedua. Sebuah sistim sosial berjalan dengan baik bila pengendalian sosial hanya digunakan dengan hemat. 2. Sistim sosial harus mampu menghormati perbedaan, bahkan penyimpangan tertentu. Sistim sosial yang lentur lebih kuat ketimbang yang kaku, yang tidak dapat menerima penyimpangan. 3. Sistim sosial harus menyediakan berbagai jenis peluang untuk berperan yang memungkinkan bermacam-macam kepribadian yang berbeda untuk mengungkapkan diri mereka sendiri tanpa mengancam integritas sistim. Dengan demikian sosialisasi dan kontrol sosial merupakan mekanisme utama yang memungkinkan sistim sosial mempertahankan keseimbangannya. Individualitas dan penyimpangan diakomodasi, tetapi bentuk-bentuk yang lebih ekstrem harus ditangani dengan mekanisme penyeimbang ulang. Jelas Parson lebih melihat sistim sebagai satu kesatuan daripada aktor di dalam sistim. Di sini sistim mengontrol aktor, bukan sebaliknya aktor menciptakan dan mengendalikan sistim. 13 Masyarakat adalah bagian dari kolektifitas dalam sistim sosial yang menjadi perhatian Parson. Mengutip pendapat Rocher, Parson menyatakan masyarakat sebagai : kolektifitas yang relatif mencukupi kebutuhannya sendiri, yang anggotanya mampu memenuhi seluruh kebutuhan individualnya, dan hidup sepenuhnya dalam kerangkanya sendiri. kolektif dan Parson membedakan antara empat struktur atau sub sistem dalam masyarakat menurut fungsi sistim tindakan (AGIL) yang dilaksanakan masyarakat, yaitu : Sistim Ekonomi Adalah sub sistim dalam masyarakat yang melaksanakan fungsi masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap ligkungan melalui tenaga kerja, produksi dan alokasi. Melalui pekerjaan ekonomi menyesuaikan diri dengan lingkungan kebutuhan masyarakat dan membantu masyarakat menyesuaikan diri dengan realitas eksternal. Sistim Pemerintahan Sistim pemerintahan atau sistim politik melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan mengejar tujuan-tujuan kemasyarakatan, memobilisasi aktor dan berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan. Sistim Fiduciari Sistim Fiducari (keluarga, sekolah) menjalankan fungsi pemeliharaan pola dengan menyebarkan kultur (norma dan nilai) kepada aktor sehingga aktor menginternalisasikan kultur tersebut. Komunitas Kemasyarakatan Komunitas kemasyarakatan (hukum dsb.) melaksanakan fungsi integrasi yang mengkordinasikan berbagai komponen masyarakat. Menurut Parson, sepenting-pentingnya struktur dalam sistim sosial, yang paling penting adalah sistim kultural dalam masyarakat. Sistim kultural berada di puncak sistim tindakan, yang disebutnya dengan determinis kultural. Sistim kultural merupakan kekuatan utama yang mengikat berbagai unsur dunia sosial. Kultur adalah kekuatan yang mengikat sistim tindakan, menengahi interaksi antar aktor, menginteraksikan kepribadian, dan menyatukan sistim sosial. Kultur mempunyai kapasitas khusus untuk menjadi komponen sistim yang lain. Dalam sistim sosial, sistim diwujudkan dalam norma dan nilai, dan dalam sistim kepribadian norma dan nilai ini diinternalisasikan oleh aktor. Meski sistim kultural menjadi bagian dari suatu sistim tindakan, namun sistim kultural bisa mempunyai eksistensi tersendiri yang terpisah dari sistim tindakan, yaitu dalam bentuk pengetahuan, simbol-simbol, dan gasasan-gagasan. Aspek-aspek dari sistim 14 kultural tersedia untuk sistim sosial dan sistim personalitas, tapi sistim kultural tidak menjadi bagian dari kedua sistim itu. Kultur adalah sistim simbol yang terpola, teratur, yang menjadi sasaran orientasi para aktor dalam rangka penginternalisasian aspek-aspek kepribadian dan pola-pola yang sudah terlembagakan dalam sistim sosial. Kultur bersifat subjektif dan simbolik, oleh karena itu kultur mudah ditularkan dan dipindahkan dari satu sistim sosial ke sistim sosial lain melalui penyebaran (difusi), atau dari satu kepribadian ke pribadian yang lain melalui proses belajar dan sosialisasi. Sifat simbolisme (subjektifitas) dari kultur menempatkan kultur padaposisi mengendalikan sistim tindakan yang lain. Sistim kepribadian dalam sistim tindakan Parsom dikontrol oleh sistim sosial dan sistim kultural, karena sistim kepribadian merupakan hasil sosialisasi dan internalisasi dari sistim sosial dan sistim kultural. Namun demikian bukan berarti bahwa sistim kepribadian ini tidak bebas sama sekali, kepribadian menjadi suatu sistim yang independen melalui hubungannya dengan organisme dirinya sendiri dan melalui keunikan pengalaman hidupnya. Personalitas atau kepribadian adalah sistim orientasi dan motivasi tindakan aktor individual yang terorganisir. Komponen dasarnya adalah disposisi kebutuhan. Disposisi kebutuhan adalah unit-unit motivasi tindakan yang paling penting. Disposisi kebutuhan bukanlah dorongan hati (drives). Dorongan hati merupakan kecenderungan batiniah, bagian dari organisme biologis atau energi fisiologis yang memungkinkan terwujudnya aksi. Meski disposisi kebutuhan bukanlah dorongan hati , namun disposisi kebutuhan bisa juga berasal dari dorongan hati yang dibentuk oleh lingkungan sosial. Disposisi kebutuhan memaksa aktor menerima atau menolak objek yang tersedia dalam lingkungan atau mencari objek yang baru bila objek yang tersedia tidak dapat memuaskan disposisi kebutuhan secara memadai. Parson membedakan disposisi kebutuhan dalam beberapa tipe dasar, di antaranya adalah : 1. Memaksa aktor mencari cinta, persetujuan dan sebagainya dari hubungan sosial mereka. 2. Meliputi internalisasi nilai yang menyebabkan aktor mengamati berbagai standar kultural. 3. Adanya peran yang diharapkan yang menyebabkan aktor memberikan dan menerima respon yang tepat. Ketiga tipe ini menempatkan aktor pada citra yang pasif, karena tindakannya dipaksa oleh dorongan hati, atau didominasi oleh kultur atau dibentuk oleh gabungan dorongan hati dan kultur (disposisi kebutuhan). Sistim kepribadian yang pasif merupakan mata rantai teori yang lemah dalam sebuah teori yang terpadu. Oleh karenanya Parson lalu memberikan kreatifitas tertentu dalam kepribadian bahwa kepribadian tidak semata-mata hasil internalisasi kultur atau sekedar mentaati 15 aturan dan hukum, akan tetapi pada saat melakukan internalisasi kultur sesungguhnya ia juga melakukan modifikasi kreatif. Meski demikian hal ini tidaklah menghilangkan citra sistim kepribadian yang pasif sebagaimana yang diintrodusir Parson. Kritik terhadap teori sistim kepribadian Parson. 1. Penekanan pada disposisi kebutuhan menjadikan sistim kepribadian dalam teori Parson sangat miskin, padahal sistim kepribadian memiliki banyak aspek. 2. Sistim kepribadian terintegrasi dalam sistim sosial. Hal ini dapat dibuktikan dengan statemennya yang menyatakan bahwa ”a) aktor belajar melihat dirinya menurut cara yang sesuai dengan tempat yang didudukinya dalam masyarakat, b) peran yang diharapkan dilekatkan pada setiap peran yang diduduki oleh aktor individual, ini artinya ada pembelajaran mendisiplinkan diri, menghayati orientasi nilai yang semuanya ini menuju pada integrasi sistim kepribadian dengan sistim sosial. 3. Perhatian terhadap internalisasi sebagai proses sosialisasi sistim kepribadian mencerminkan pula manifestasi dari sistim kepribadian yang pasif. Merupakan salah satu dari empat sistim tindakan yang dikemukakan Parson, didasarkan atas konstitusi genetik yang organisasinya dipengaruhi oleh proses pengkondisian dan pembelajaran yang terjadi selama hidup. Dalam kaitannya dengan organisme perilaku ini, Parson mengembangkan studinya tentang perubahan sosial yang didasarkan pada konsepnya mengenai ”Paradigma Perubahan Evolusioner” yang diadopsi dari konsep biologi mengenai teori evolusi. Parson sangat percaya bahwa masyarakat mengalami perubahan secara evolusionis (bertahap) meski tidak menurut pada garis linier, artinya bahwa perubahan dalam masyarakat tidaklah konstan dan tidak berlangsung secara terus menerus, tapi masyarakat akan berkembang tahap demi tahap. Dalam awal perkembangannya menurut paradigma perubahan evolusionier Parson ini, masyarakat akan mengalami proses diferensiasi. Setiap masyarakat tersusun dai sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan struktur dan fungsinya. Ketika masyarakat berubah, maka subsistem dalam masyarakat akan terdiferensiasi membentuk subsistem baru. Subsistem baru ini perlu melakukan penyesuaian diri, dan inilah yang menjadi penekanan pada paradigma perubahan evolusioner Parson, yakni kemampuan menyesuaikan diri yang meningkat dari subsistem sebelumnya. Ini merupakan bentuk perubahan sosial yang positif. Masyarakat yang berubah tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi masalah yang dihadapi, termasuk masalah integrasi masyarakat sebagai akibat dari terjadinya proses diferensiasi. Konsekwensi lain dari perubahan evolusioner dalam masyarakat adalah sistim nilai dari masyarakat sebagai satu kesatuan yang mengalami perubahan 16 serentak dengan perubahan struktur dan fungsi sosial yang tumbuh semakin terdeferensiasi. Sistim baru itu semakin bervariasi, dan sistim nilai tidak lagi mampu mencakup semuanya sebagai satu kesatuan. Yang paling mungkin adalah sistim nilai yang menggariskan ketentuan-ketentuan umum pada tingkat yang lebih tinggi untuk melegitimasi keanekaragaman tujuan dan fungsi yang semakin meluas dari sub unit masyarakat. Namun itupun sering berjalan tidak mulus sebagai akibat dari perlawanan kelompok –kelompok yang melaksanakan sistim nilai sempit mereka sendiri. Proses evolusi dapat berlangsung dengan berbagai macam cara, tidak ada satu pola umum yang mempengaruhi semua masyarakat secara equal. Masyarakat tertentu mungkin mendorong terjadinya evolusi, tetapi masyarakat lain justru tertimpa konflik internal atau menghadapi rintangan lain yang menghalangi atau bahkan memperburuk proses evolusi. Secara umum semua teori Parson dianggap pasif dan konservatif. Untuk menepis semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya, Parson memperlihatkan sisi dinamis yang berubah-ubah ke dalam teorinya melalui gagasannya tentang media pertukaran umum di dalam dan di antara empat sistim tindakannya. Media pertukaran umum itu bisa berujud material maupun simbolik, di antaranya adalah uang, kekuasaan politik, pengaruh, dan komitmen terhadap nilai. Namun Parson lebih menekankan pada kualitas simbolik daripada aspek materialnya. Uang sebagai media pertukaran umum, sangat berperan sebagai medium di dalam perekonomian, dan juga dalam membangun hubungan sosial sistim kemasyarakatan, termasuk juga membangun kekuasaan politik melalui sistim politik. Inilah yang memberikan dinamisme terhadap sebagian besar analisis struktural Parson. Robert K. Merton merupakan murid dari Talcot Parson, mengembangkan teori fungsional struktural yang sifatnya menengah atau terbatas dengan basis landasan teori marxis sehingga ia dikenal sebagai orang yang mendorong teori fungsional struktural ke arah kiri secara politis. Pokok pikirannnya adalah kritikan terhadap tiga postulat dasar analisis struktural yang dikembangkan Malinowski dan Radcliffe Bron. 1. Postulat tentang kesatuan masyarakat. Postulat ini berpendirian bahwa semua keyakinan dan praktik kultural dan sosial yang sudah baku adalah fungsional untuk masyarakat sebagai satu kesatuan maupun untuk individu oleh masyarakat. Pandangan ini secara tersirat menyatakan bahwa berbagai bagian sistim sosial pasti menunjukkan integrasi yang tinggi. Merton berpendapat, meski hal itu mungkin benar bagi masyarakat primitif yang kecil, namun generalisasi tidak dapat diperluas ke tingkat masyarakat yang lebih luas dan kompleks. 2. Postulat tentang fungsionalisme universal, bahwa seluruh bentuk kultur dan sosial dan struktur yang sudah baku mempunyai fungsi positif. Merton menyatakan bahwa postulat ini bertentangan dengan apa yang ditemukannya 17 dalam kehidupan nyata. Yang jelas tidak setiap struktur , adat, gagasan, kepercayaan, dan sebagainya mempunyai fungsi posotif. 3. Postulat tentang indispensability, bahwa semua aspek masyarakat yang sudah baku tidak hanya mempunyai fungsi positif, tetapi juga mencerminkan bagian-bagian yang sangat diperlukan untuk berfungsinya masyarakat sebagai satu kesatuan. Postulat ini mengarah pada pemikiran bahwa semua struktur dan fungsi secara fungsional adalah penting untuk masyarakat. Tidak ada struktur dan fungsi lain manapun yang dapat bekerja sama baiknya dengan struktur dan fungsi yang kini ada dalam masyarakat. Merton menyatakan bahwa kita sekurang-kurangnya mengakui adanya berbagai alternatif struktur dan fungsi yang kita dapatkan di masyarakt. Tiga postulat di atas menurut Merton merupakan pernyataan non empiris, atau teori yang sifatnya abstrak. Untuk itulah perlu dilakukan pengujian empiris atas setiap postulat yang ada. Yang lebih penting menurut Merton bahwa analisis struktural fungsional memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat, dan budaya. Dan sasaran kajiannya adalah peran sosial, pola institusional, proses sosial, pola kultural, emosi yang terpola secara kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, perlengkapan untuk pengendalian sosial, dan sebagainya. Setiap objek yang dapat dijadikan sasaran analisis struktural fungsional akan mencerminkan hal yang standar (terpola dan berulang). Konsep-konsep Merton dalam Sistim Sosial Para analis pada masa struktural fungsional awal lebih memusatkan perhatian pada fungsi satu struktur sosial atau pada fungsi satu intitusi sosial tertentu saja, dan cenderung mencampur adukan motif subjektif individual dengan fungsi struktur atau institusi. Padahal sebagaimana yang dikemukakan Merton, para analis seharusnya justru lebih memusatkan pada fungsi sosial daripada motif individual. Fungsi adalah konsekwensi-konsekwensi yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistim tertentu. Tapi kalau hanya memusatkan perhatian pada adaptasi dan penyesuaian diri tentu akan terjadi bias idiologis, karena adaptasi dan penyesuaian diri selalu mempunyai akibat positif. Satu faktor sosial dapat mempunyai akibat negatif terhadap faktor sosial lain. Oleh karena itu dalam kerangka meralat kelalaian struktural fungsional awal ini, Merton memperkenalkan sebuah konsep tentang disfunction (disfungsi). Struktur dan fungsi selain dapat bersifat positif terhadap sistim sosial, namun juga dapat menimbulkan akibat negatif terhadap sistim sosial. Perbudakan mempunyai akibat positif bagi warga kulit putih di selatan Amerika karena menghasilkan tenaga kerja murah, menyokong perekonomian, dan juga status sosial. Tetapi bersifat negatif atau difungsional bagi masyarakat lainnya yang menjadi korban perbudakan. 18 Selain gagasan tentang disfungsi, Merton juga memperkenalkan gagasan tentang nonfunctions (non fungsi) yang didefinisikannya sebagai akibat-akibat yang sama sekali tidak relevan dengan sistim yang sedang diperhatikan. Misalnya saja bentuk-bentuk sosial yang lama atau pernah ada, yang meski pada masanya dapat bersifat positif atau negatif bagi masyarakatnya, namun tidak memberikan pengaruh yang signifikan untuk masyarakat pada masa kini. Terkait dengan banyaknya akibat yang ditimbulkan antara yang positif dengan yang negatif dalam kaitannya dengan struktur dan fungsi sosial, Merton memperkenalkan gagasan tentang net balance (keseimbangan bersih). Kita tidak akan pernah mampu untuk menimbang mana yang lebih banyak di antara yang positif atau negatif, karena masalahnya demikian kompleks dan banyak penilaian yang bersifat subjektif yang melandasinya sehingga tidak mudah untuk dihitung dan untuk ditimbang. Merton lebih memusatkan pertanyaannya pada yang lebih fungsional atau lebih disfungsional, meski pertanyaan itu juga masih terlalu luas dan mengaburkan sejumlah isu. Untuk mangatasi hal ini Merton menambahkan gagasannya bahwa harus ada level of functional analysis (tingkatan analisis fungsional). Berbeda dengan teorisasi fungsional pada umumnya yang membatasi diri untuk menganalisis masyarakat sebagai satu kesatuan, Merton justru menjelaskan bahwa analisis dapat dilakukan pada unit yang lebih kecil dan terpisah seperti organisasi, intitusi ataupun kelompok. Jadi tidak harus pada masyarakat sebagai satu kesatuan. Untuk kasus perbudakan level analisis fungsionalnya bisa pada keluarga kulit hitam, keluarga kulit putih, organisasi kulit hitam, organisasi kulit putih, dan seterusnya. Sedangklan dari sudut net balance-nya perbudakan lebih fungsional bagi unit sosial tertentu, tetapi disfungsional bagi unit sosial lainnya. Selain itu Merton juga memperkenalkan konsep manifest function (fungsi nyata) dan latent function (fungsi tersembunyi) yang memberikan tambahan penting bagi analisis fungsional. Fungsi nyata adalah fungsi yang diharapkan, sedangkan fungsi tersembunyi adalah fungsi yang tidak diharapkan. Fungsi nyata dari perbudakan adalah meningkatkan produktifitas ekonomi masyarakat, fungsi tersembunyinya adalah menyediakan sejumlah besar kelas rendah yang meningkatkan status kulit putih. Pemikiran atau konsep lain dari Merton yang terkait dengan masalah ini adalah unanticipated concequences (akibat yang tidak diharapkan). Setiap tindakan mempunyai akibat, baik yang diharapkan atau yang tidak diharapkan. Meski setiap orang menyadari setiap akibat yang diharapkan dari tindakannya, namun analisis sosiologis perlu dilakukan untuk menemukan akibat yang tidak diharapkan. Menurut Merton akibat yang tidak diharapkan tidaklah sama dengan fungsi yang tersembunyi. Fungsi tersembunyi adalah satu jenis dari akibat yang tidak diharapkan, satu jenis yang fungsional untuk sitim tertentu. Dua tipe lain dari akibat yang tidak diharapkan adalah ; a) yang disfungsional untuk sistim tertentu dan ini terdiri adri disfungsi tersembunyi dan yang tidak relevan dengan sistim yang 19 dipengaruhinya, baik secara fungsional atau disfungsional. b) disfungsional untuk sistim secara keseluruhan, namun struktur terus bertahan hidup. Misalnya saja sistim diskriminasi antara kulit putih dan kulit hitam, kaum wanita, kelompok minoritas adalah disfungsional bagi masyarakat Amerika namun diskriminasi terus bertahan hidup karena fungsional bagi sebagian sistim fungsional. Diskriminasi terhadap wanita umumnya fungsional bagi kaum laki-laki, tapi ini bukannya tanpa disfungsi tertentu, bahkan untuk kelompok yang fungsional sekalipun. Kaum lelaki menderita akibat diskriminasi mereka terhadap wanita, kaum kulit putih terluka akibat diskriminasi mereka terhadap kulit hitam. Berdasar realita ini Merton berpendapat bahwa tidak semua struktur diperlukan untuk berfungsinya sistim sosial. Beberapa sistim sosial bisa saja dihilangkan, dan ini membuka jalan bagi perubahan sosial yang penuh makna dan menghilangkan kecenderungan konservatisisme teori fungsional. Sistim diskriminasi terhadap berbagai kelompok minoritas dalam masyarakat bisa dilenyapkan, dan ini tdak akan mengganggu eksistensi masyarakat yang sudah ada. Kajian Merton lainnya yang menarik dalam perspektif struktural fungsional adalah tentang hubungan antara kultur, struktur, dan anomie. Kultur adalah seperangkat nilai normatif yang terorganisir, yang menentukan perilaku bersama anggota masyarakat atau anggota kelompok. Struktur sosial adalah seperangkat hubungan sosial yang terorganisir, yang dengan berbagai cara melibatkan anggota masyarakat atau kelompok di dalamnya. Anomie adalah keterputusan hubungan antara norma kultural dan tujuan dengan kapasitas yang terstruktur secara sosial dari anggota kelompok. Secara keseluruhan teori struktural fungsional lebih menekankan ada harmoni dan sinergi dalam masyarakat, sehingga tidak cukup memberikan perhatian pada masalah konflik di masyarakat dan cenderung tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan konflik secara efektif. Referensi M. Munandar Soelaeman. 2006. Ilmu Sosial Dasar. Bandung : Refika Aditama. Amirin Tatang 1996. Pokok-pokok Teori Sistim. Jakarta : Rajawali Pers. Margaret M. Poloma, 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Rajawali Persada. Kuliah 6 : Intergrasi dan Konflik Teori konflik sebagiannya berkembang sebagai reaksi terhadap fungsionalisme struktural dan akibat berbagai kritik yang terjadi. Teori konflik berasal dari berbagai sumber lain seperti teori Marxis, dan pemikiran konflik sosial dari Simmel. Pada tahun 1950 an-1960 an teori konflik memberikan alternatif 20 terhadap teori struktural fungsional, tetapi dalam beberapa tahun terakhir telah digantikan oleh berbagai macam teori Neo-Marxian. Salah satu konstribusi utama teori konflik adalah meletakkan landasan untuk teori-teori yang lebih memanfaatkan pemikiran Marx. Masalah mendasar dalam teori konflik adalah teori itu tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural fungsionalnya, karena teori konflik memang mengambil teori struktural fungsional sebagai basis pengembangan teoritisnya khususnya pada aspek struktur dan institusi sosial masyarakat. Teori ini lebih merupakan sejenis fungsionalisme struktural yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis terhadap masyarakatnya. Meski dalam perspektif basis struktural fungsional yang sama, namun teori konflik merupakan antitesis dari keseluruhan pandangan struktural fungsional tentang masyarakat. Dahrendorf (1959) mensejajarkan pendirian teori struktural fungsional derngan teori konflik . Dahrendorf menyatakan bahwa masyarakat mempunyai dua wajah yaitu konflik dan konsensus, karena masyarakat tidak akan pernah ada tanpa konflik dan konsensus. Oleh karenanya teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian, teoritis konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat, teoritis konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekuasaan yang mengikat masyarakat. Konflik terjadi apabila sebelumnya ada pra kondisi dalam bentuk integrasi, tapi sebaliknya konflik dapat menimbulkan konsensus dan integrasi. Meski ada hubungan timbal balik antara konsensus dengan konflik, namun menurut Dahrendorf sangat mustahil untuk menyatukan dua teori itu dalam bentuk teori yang tunggal. Untuk itulah Dahrendorf mengembangkan teori konflik masyarakat. Dalam mengembangkan teorinya ini Dahrendorf menggunakan perspektif fungsional struktural dalam memandang masyarakat. Dalam perspektif ini sistim sosial dipersatukan oleh kerjasama sukarela atau oleh konsensus bersama atau oleh kedua-duanya. Teori konflik mengambil hal yang sebaliknya bahwa masyarakat disatukan oleh ketidak bebasan yang dipaksakan. Dengan demikian posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Disini terdapat perbedaan distribusi otoritas. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistimatis. Inti tesisnya adalah gagasan bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Otoritas tidak terletak di dalam diri individu, tetapi di dalam posisi. Dahrendorf tidak hanya tertarik pada struktru posisi, tetapi juga pada konflik antara berbagai struktur posisi itu. Sumber struktur konflik harus dicari di dalam tatanan peran sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan. Tugas utama teoritis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam masyarakat .Jadi dalam hal ini Dahrendorf memusatkan pada struktur yang berskala luas, sementara yang menentangnya lebih menekankan pada level individu yang menyangkut ciri-ciri psikologis individu yang menempati posisi itu. Tapi menurut Dahrendorf kalau memusatkan pada ciri-ciri individu, itu bukanlah sosiologi. 21 Kunci pokok dalam analisis Dahrendorf adalah otoritas melekat pada posisi. Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi. Mereka yang menduduki posisi otoritas akan mengendalikan bawahannya, artinya mereka berkuasa karena harapan dari orang yang ada di sekitar mereka, bukan karena ciriciri psikologis mereka sendiri. Seperti halnya otoritas, harapan juga melekat pada posisi bukan pada orangnya. Otoritas bukanlah fenomena sosial yang umum, mereka yang tunduk pada kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol, ditentukan di dalam masyarakat. Karena otoritas adalah absah, maka sanksi dapat dijatuhkan pada mereka yang menentang otoritas. Otoritas tidaklah konstan karena ia terletak pada posisi, bukan di dalam orangnya. Karena itu seorang yang berwenang dalam suatu lingkungan tertentu harus memegang posisi otoritas di dalam lingkungan yang lain.Begitu pula bagi seorang yang berada pada posisi subordinat dalam suatu kelompok, mungkin menempati posisi superordinat dalam kelompok lain. Hal ini berasal dari argumen Dahrendorf bahwa masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang ia sebut sebagai asosiasi yang dikoordinasikan secara imperatif. Masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh hirarki posisi otoritas. Karena masyarakat terdiri dari berbagai posisi, seorang individu dapat menempati posisi otoritas di satu unit, dan menempati posisi yang subordinat di unit lain. Otoritas dalam setiap asosiasi bersifat dikotomis, jadi ada dua kelompok konflik yang dapat terbentuk dalam setiap asosiasi, yakni : Kelompok yang memegang posisi otoritas Kelompok sub ordinat yang mempunyai kepentingan tertentu yang arah dan substansinya saling bertentangan. Dari dua hal yang dikotomis ini ada satu kata kunci lagi dalam konsep Dahrendorf tentang konflik, yakni kepentingan. Masing-masing kelompok baik yang berada di atas maupun yang berada di bawah didefinisikan berdasarkan kepentingan bersama. Kepentingan menurut Dahrendorf meski tampak sebagai sebuah fenomena psikologis namun pada dasarnya adalah fenomena berskala luas. Konflik terjadi karena kelompok yang berada pada posisi di atas atau yang dominan berusaha mempertahankan status quo, sedang yang berada pada posisi subordinasi berupaya mengadakan perubahan. Ini berarti legitimasi otoritas kelompok yang berkuasa selalu merasa terancam. Konflik kepentingan ini tidak selalu harus disadari, tetapi memang merupakan sesuatu yang alami, inilah yang disebut dengan kepentingan tersembunyi. Sedangkan apabila kepentingan tersembunyi itu memang benar-benar disadari, maka berubahlah ia menjadi kepentingan yang nyata. Selain itu Dahrendorf juga menghubungkan antara kelompok, konflik dan perubahan. Dahrendorf membedakan kelompok menjadi tiga. 1. Kelompok semu, merupakan sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama. 22 2. Kelompok kepentingan, merupakan perluasan dari kelompok semu yang lebih besar. 3. Kelompok Konflik, merupakan intrik yang terjadi di antara kelompok kepentingan. Jadi menurut Dahrendorf konsep-konsep dasar dalam menerangkan konflikkonflik yang terjadi di masyarakat adalah berkisar di antara kepentingan tersembunyi, kepentingan nyata, kelompok semu, kelompok kepentingan, dan kelompok konflik. Selain itu bahwa karena keadaan tidak pernah ideal, maka konflik sosial dalam masyarakat bisa juga terjadi karena kondisi-kondisi teknis yang ada seperti masalah rekruitmen personil, kondisi politik, kondisi sosial, dan yang lainnya. Setelah kelompok konflik muncul, maka kelompok itu segera melakukan tindakan yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah radikal. Bila konflik disertai tindakan kekerasan, maka akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba. Referensi Margaret M. Poloma, 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Rajawali Persada. Nasikun. 1985. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo. Giddens, Anthony dkk. 2002. Sejarah Sosiologi Dan Pemikiran Philippe Cabin, 2005. Sosiologi : Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. Yogyakarta : Kreasi Wacana Kuliah 7 : Menuju Kesatuan Sistim Sosial Indonesia Indonesia sebagai masyarakat majemuk secara horisontal terdiri dari banyak etnik, ras, agama, idiologi, dan budaya; dan secara vertikal terdiri dar bebrapa lapisan atau kelas sosial ekonomi, dan besarnya porsi kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok. Masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang rentan dengan konflik-konflik sosial. Tetapi semua itu tergantung dari pemahaman dan pengelolaan konflik dari penguasa negara, termasuk penguasa daerah. Dalam masyarakat dengan polarisasi sosial yang tajam, yang diwarnai dengan konflik-konflik yang laten, yang menunjukkan bahwa sistim sosial yang ada tidak kondusif dan pola integrasi sosial yang menopangnya juga tidak kokoh. Untuk itu ada tiga konsep integrasi dari setiap sistim sosial yang terdiri dari : Integrasi normatif, yaitu suatu ikatan sosial yang terjadi karena adanya suatu kesepakatan (konsensus) terhadap nilai-nilai dan norma-norma dasar. dari dimensinya integrasi semacam ini dapat juga dikatakan sebagai integrsi budaya. Integrasi fungsional, yaitu suatu ikatan sodial yang didasarkan pada situasi saling ketergantungan fungsional antara unsur satu dan lainnya. Integrasi ini lebih berdimensi ekonomi. Integrasi koersif, yaitu suatu ikatan yang terjadi karena adanya kekuatan yang memaksa. Integrasi ini dapat dimasukkan dalam dimensi politik. 23 Ketiga jernis integrasi ini harus ada dan dipertahankan keseimbangannya. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk usaha untuk menjaga keseimbangan antara ketiga sifat integrasi ini merupakan tantangan yang sangat berat, tetapi mendesak. Apabila keseimbangan ini tidak tercapai, maka bangsa ini akan terjatuh ke dalam situasi ekstrim, perpecahan nasional. Referensi Sigman, Stuart. 1987. Social Communication. New York: Lexington Books. Ashadi Siregar. 1983 Komunikasi Sosial. Fisipol-UGM Nurhadiantono, 2004. Konflik-Konflik Sosial Pri Non Pri dan Hukum Keadilan Sosial. Surakarta : MuhammadiyahUniversity Press. Kuliah 8 : Kerangka Landasan dalam Memahami Sistim Politik Indonesia Politik dan kenegaraan merupakan satu kesatuan yang menyangkut sistim yang mengatur kehidupan bersama dalam satu ikatan politik dalam wadah negara. Sistim adalah suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau utuh. Sistim plitik adalah usaha untuk mengadakan pencarian ke arah runag lingkup yang lebih luas, realisme, persisi, ketertiban dalam teori politik agar hubungannya yang terputus antara comparative goverment dengan political theory dapat ditata kembali. Sistim politik memiliki ciri-ciri yang di antaranya adalah kemampuannya untuk dibedakan dengan sistim lainnhya, seperti organisme atau individu. Adapaun ciri lainnya adalah identifikasi, yakni dengan mengidentifikasi unit-unit politik dengan menggambarkan dan memisahkannya dengan unit-unit lain. Ciri lainnya adalah input dan out put politik yang adalah proses saling berhubungan dan saling mempengaruhi antara sistim politik dengan lingkungannya. Sistim politik mempunyai konsekwensi-konsekwensi terhadap masyarakat dalam bentuk keputusan-keputusan otoritatif yang sangat mengikat warganya. Konsekwensi inilah yang disebbut dengan out put dari sistim politik. Sementara keberlangsungan suatu sistim politik akan sangat ditentukan oleh keberadaan input sistim politik. Referensi Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia. A. Rahman H.I. 2007. Sistim Politik Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu. Kantaprawira Rusadi, 2004. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Sinar Baru Algensindo. Kuliah 9 : Konstitusi Masyarakat Konstitusi merupakan hukum dasar untuk pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan, terdiri dari Undang-Undang Dasar dan Konvensi. Konstitusi Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang disyahkan sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan dipilihnya Sukarno dan M. Hatta sebagai presiden dan wakil presiden. Konstitusi dalam wacana politik dapat dimaksudkan pada dua pengertian , Yaitu : 1) untuk 24 menggambarkan keseluruhan sistim kenegaraan suatu negara, kumpulan peraturanperaturan yang mendasari dan mengatur atau mengarahkan pemerintahan. 2) kumpulan hukum, institusi, dan adat kebiasaan yang ditarik dari prinsip-prinsip rasio tertentu...yang membentuk sistim umum, dengan mana masyarakat setuju untuk diperintah. Konstitusi negara hanya merupakan bagian dari keseluruhan sistim pemerintahan negara yang biasanya memiliki status lebih tinggi sebagai kenyataan hukum daripada peraturan-peraturan hukum lainnya dalam sistim ketata negaraan. Referensi Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Inu Kencana Syafei, 2006. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Refika Aditama Kuliah 10 : Analisis Sistim Politik Analisis sistim politik mencakup kajian perbandingan mengenai sistim politik yang berlaku di berbagai negara. Mengingat semakin berkembangnya jumlah negara dengan idiologi dan sistim pilitiknya, maka kajian ini menjadi sesuatu yang sangat menarik. Saat ini terdapat lebih dari 180 negara yang menjadi anggota di perserikatan bangsa-bangsa yang masing-masing memiliki sistim politiknya sendiri. Studi ini akan membantu kita bagaimana memahami bagaimana bekerjanya suatu sistim politik, ciri-cirinya, tipe-tipe pemerintahannya yang mungkin stabil, kurang stabil dan gagal, atau bagaimana suatu masyarakat politik dapat menyelesaikan persoalannya. Dengan memahami berbagai sistim politik yang ada maka akan dapat digunakan pendekatan-pendekatan sistim politik yang memungkinkan lebih adaptif dan kondusif bagi suatu masyarakat. Referensi Sukarna, 1992. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Mandar Maju. Mochtar Mas’ud dan Andrew Mac Collin, 2000. Perbandingan Sistim Politik. Yogyakarta : Gadjah mada University Pers Kuliah 11 : Kilas Balik Sistim Politik Indonesia Indonesia sebagai negara baru dalam perjalanan politiknya telah mengalami berbagai pergantian sistim politik dan pemerintahan. Secara teoritik terdapat beberapa sistim pemerintahan yang dianut oleh banyak negara di anataranya adalah sistim pemerintahan parlementer, dimana dalam sistim ini sistim pengawasan terhadap pemerintahan dilakukan oleh parlemen yang merupakan [perwujudan dari perwakilan rakyat. yang kedua adalah sistim pemerintahan presidensial yakni kekuasaan ada di tangan eksekutif atau presiden yang memiliki kewenangan mengangkat pembantu-pembantunya dalam kabinet. Untuk menjaga keseimbangan agar kekuasaan presiden tidak menjelma menjadi kekuasaan diktator maka lembaga legislatif melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dengan hak-hak khusus yang dimiliki. Ketiga adalah sistim pemerintahan campuran, yakni campuran 25 antara presidensial dengan parlementer. Jadi selain memiliki presiden juga memiliki perdana menteri sebagai kepala pemerintahan untuk memimpin kabinet yang bertanggungjawab terhadap perlemen. Keempat sistim pemerintahan diktaktor proletariat adalah sistim pemerintahan dengan kepartaian tunggal yang pemerintahannya ditujukan untuk kemakmuran rakyat banyak atau kaum proletar. Indonesia dalam masa perjalanan politik bangsa setidaknya telah menggunakan dua sistim politik diantaranya adalah sistim presidensial dan sistim campuran. Referensi Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia. A. Rahman H.I. 2007. Sistim Politik Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu. Kantaprawira Rusadi, 2004. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Sinar Baru Algensindo Kuliah 12 : Perwakilan Politik di Indonesia Keterwakilan politik di Indonesia dilakukan melalui partai-partai politik yang representasinya dilakukan melalui pemilu. Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir yang stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan pemerintahan bagi pimpinan partai dan berdasarkan penguasaan ini akan memberikan manfaat bagi anggota partainya, baik idealisme maupun kekayaan material serta perkembangan lainnya. Di Indonesia keterwakilan politik berjalan sesuai dengan sistim politik yang berlaku. Pada masa demokrasi liberal di masa orde lama terdapat lebih dari 28 partai politik, dan pada masa orde baru anya terdapat 2 partai politik dan 1 golongan karya. Akan tetapi pada masa reformasi sekaranmg ini terdapat lebih dari 36 partai politik yang mengikuti pemilu. Partai politik adalah salah satu dari infra struktur politik dari kekuatan-kekuatan politik lainnya yang tidak dalam bentuk partai politik. Dalam kesertaan terhadap pemilu hanya partai politiklah yang dapat berpartisipasi sebagai peserta pemilu, sedang kekuatan politik lainnya lebih pada dukungan yang sifatnya moral. Sistim pemilu pada umumnya dapat dilakukan dengan sistim distrik ataupun sistim proporsional. Sistim distrik dilakukan berdasarkan daerah pemilihan, sedang sistim proporsional didasarkan pada jumlah penduduk yang menjadi peserta pemilih dengan keterwakilan melalui tanda gambar yang dipilih. Indonesia dalam sistim pemilu yang dilakukan lebih pada sistim proporsional. Referensi Miriam Budiardjo, 2005. Partai Politik dan Pemilu di Indonesia. Jakarta. Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI 26 Kuliah 13 : Desentralisasi dan Otonomi Desentralisasi merupakan penyerahan sebagian kewenangan pemerintahan pusat terhadap daerah. Sedangkan otonomi adalah kewenangan yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah untuk mengatur pemerintahannya sendiri berdasarkan undang-undang. Sistem politik Indonesia dewasa ini sedang mengalami proses demokratisasi yang membawa berbagai frekwensi tidak hanya terhadap dinamika politik, melainkan juga terhadap dinamika sistem lainnya yang menunjang penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pembangunan sistem politik yang demokratis tersebut diarahkan agar mampu mempertahankan keutuhan wilayah Republik Indonesia, dan makin memperkokoh persatuan dan kesatuan Indonesia yang akan memberikan ruang yang semakin luas bagi perwujudan keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan upaya itu salah satunya adalah dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah melalui pemberlakuan undang-undang nomor 22 tahun 1999. Konsekwensi dari pemberlakuan otonomi daerah tersebut adalah terjadinya berbagai perobahan dalam tatanan kehidupan politik di daerah. Keberadaan pemerintah daerah akan sangat ditentukan oleh keputusan yang lebih demokratis oleh rakyat didaerah. Demikian pula pelaksanaan pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, akan sangat ditentukan oleh masyarakat didaerah. Dalam hal ini posisi dan peran DPRD sebagai lembaga yang mewakili aspirasi dan kehendak masyarakat menempati posisi yang sangat penting. Lembaga ini harus mampu menampung dan memperjuangkan menyalurkan aspirasi dan kehendak masyarakat serta menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan umum secara optimal. Referensi Inu kencana Syafei , 2006. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Refika Aditama. Syaukani HR (et all), 2005. Otonomi daerah Dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Kuliah 14 : Media dalam Sistim Sosial dan Politik Indonesia Media adalah subsistem dari sistim kemasyarakatan yang ada. Dengan demikian keberadaan media adalah merupakan bagian yang inherent dalam kehidupan sosial itu sendiri. Pada dasarnya, manusia adalah mahluk yang bergantung. Sehingga, tidak bisa hidup secara mandiri dan pasti membutuhkan orang lain untuk mengatasi kendala yang ada dalam kehidupannya sehingga manusia biasa disebut sebagai makhluk sosial. Dalam menjalani kehidupan sosial tersebut, seseorang memerlukan sebuah fasilitas serta cara untuk membantunya mempermudah dirinya untuk masuk pada ranah sosial tersebut. Interaksi dan komunikasi, merupakan ungkapan yang kemudian dapat menggambarkan cara serta komunikasi tersebut. Dikarenakan secara umum interaksi merupakan kegiatan yang memungkinkan terjadinya sebuah hubungan antara seseorang dengan orang lain, yang kemudian diaktualisasikan melalui praktek komunikasi. Dua hal tersebut 27 mempunyai hubungan yang terikat sehingga diperlukan sebuah pemetaan untuk memahami secara mendalam. Interaksi yang terjadi dalam masyarakat memiliki banyak ranah, di antara ranah interaksi tersebut adalah pada sistim sosial dan sistim politiknya. Media dalam hal ini menjadi wahana bagi terjalinnnya interkasi dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat. Referensi James Currant, 1991. Mass Media and Society. New York : Routladge-Chapmanand Hall, Inc. Diskursus Relasi Masyarakat, Bisnis & Media, 2007. Yogyakarta ; FISIP UAY. Keith Tester, 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Yogyakarta : Jaxtapose dan Tiara Wacana. Krisna Sen, 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta : Institut Studi Arus Informasi dan Media Lintas Inti Nusantara. Silabi Materi Perkuliahan Kuliah Pokok Bahasan ke 1 Akar sistim sosial dan sistim politik Indonesia 2&3 Kerangka landasan dalam memahami sistim sosial Indonesia (1) Sub Pokok Bahasan Referensi Pengertian sistim, sistim sosial, dan sistim politik. Pluralisme kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia. Soerjono Soekanto. 1986. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Rajawali. Ashadi Siregar. 1983 Komunikasi Sosial. Fisipol-UGM. Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia. Struktur majemuk masyarakat Indonesia Saling ketergantungan dalam masyarakat Kesadaran kolektif dan solidaritas sosial Proses sosial dan stratifikasi sosial Tatanan sosial 28 Nasikun. 1985. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo. Giddens, Anthony dkk. 2002. Sejarah Sosiologi Dan Pemikiran. Sigman, Stuart. 1987. Social Communication. New York: Lexington Books Kerangka landasan dalam memahami sistim sosial Indonesia (2) Teori sistim Teori struktural fungsional. Teori interaksionis simbolik dan pertukaran sosial. M. Munandar Soelaeman. 2006. Ilmu Sosial Dasar. Bandung : Refika Aditama. Amirin Tatang 1996. Pokok-pokok Teori Sistim. Jakarta : Rajawali Pers. Margaret M. Poloma, 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Rajawali Persada. 6 Integrasi dan konflik Seputar teori konflik Integrasi agen dan struktur 7 Menuju kesatuan sistim sosial Indonesia Solidaritas nasional : subyektif dan obyektif Pluralitas sosial budaya dan integritas nasional Permasalahan suku dan ras, daerah dan antar daerah, golongan kaya Margaret M. Poloma, 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Rajawali Persada. Nasikun. 1985. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo. Giddens, Anthony dkk. 2002. Sejarah Sosiologi Dan Pemikiran Philippe Cabin, 2005. Sosiologi : Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. Yogyakarta : Kreasi Wacana. Sigman, Stuart. 1987. Social Communication. New York: Lexington Books. Ashadi Siregar. 1983 Komunikasi Sosial. Fisipol- 4&5 29 dan miskin, dan agama Rekonsiliasi konflik dalam Sistem Sosial Budaya Indonesia. 8 Kerangka landasan dalam memahami sistim politik Indonesia Pengertian sistim politik dan kenegaraan Masyarakat majemuk dan konflik identitas 9 Konstitusi masyarakat Perubahan, evolusi dan kekuasaan dalam masyarakat 10 Analisis sistim politik Demokrasi dan Tirani Teori Diktator Masalah-masalah Demokrasi Sistim Komunisme 11 Kilas Balik Sistim Politik Indonesia Demokrasi Pancasila Demokrasi Liberal Demokrasi Terpimpin Reformasi 30 UGM Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia. A. Rahman H.I. 2007. Sistim Politik Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu. Kantaprawira Rusadi, 2004. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Sinar Baru Algensindo. Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Sukarna, 1992. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Mandar Maju. Mochtar Mas’ud dan Andrew Mac Collin, 2000. Perbandingan Sistim Politik. Yogyakarta : Gadjah mada University Pers. Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia. A. Rahman H.I. 2007. Sistim Politik Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu. Kantaprawira 12 Perwakilan Politik di Indonesia Sistem Kepartaian dan Pemilu 13 Desentralisasi dan Otonomi 14 Media dalam sistim sosial dan politik Indonesia Desentralisasi dan otonomi daerah dari masa orde lama hingga orde reformasi. Relasi media dan kehidupan sosial masyarakat Relasi media dan politik dalam perspektif sistim 31 Rusadi, 2004. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Sinar Baru Algensindo Miriam Budiardjo, 2005. Partai Politik dan Pemilu di Indonesia. Jakarta. Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI. Inu kencana Syafei , 2006. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Refika Aditama. James Currant, 1991. Mass Media and Society. New York : RoutladgeChapmanand Hall, Inc. Diskursus Relasi Masyarakat, Bisnis & Media, 2007. Yogyakarta ; FISIP UAY. Keith Tester, 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Yogyakarta : Jaxtapose dan Tiara Wacana. Krisna Sen, 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta : Institut Studi Arus Informasi dan Media Lintas Inti Nusantara. Daftar Pustaka 1. Ashadi Siregar. 1983 Komunikasi Sosial. Fisipol-UGM 2. Amirin Tatang, 1996. Pokok-pokok Teori Sistim. Jakarta : Rajawali Pers 3. Rahman H.I. 2007. Sistim Politik Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu 4. Giddens, Anthony dkk. 2002. Sejarah Sosiologi Dan Pemikiran. 5. Inu kencana Syafei , 2006. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Refika Aditama 6. James Currant, 1991. Mass Media and Society. New York : Routladge-Chapmanand Hall, Inc. 7. Kantaprawira Rusadi, 2004. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Sinar Baru Algensindo 8. Krisna Sen, 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta : Institut Studi Arus Informasi dan Media Lintas Inti Nusantara. 9. Keith Tester, 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Yogyakarta : Jaxtapose dan Tiara Wacana 10. Diskursus Relasi Masyarakat, Bisnis & Media, 2007. Yogyakarta ; FISIP UAY. 11. Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia. 12. Miriam Budiardjo, 2005. Partai Politik dan Pemilu di Indonesia. Jakarta. Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI. 13. Mochtar Mas’ud dan Andrew Mac Collin, 2000. Perbandingan Sistim Politik. Yogyakarta : Gadjah mada University Pers 14. M. Munandar Soelaeman. 2006. Ilmu Sosial Dasar. Bandung : Refika Aditama 15. Margaret M. Poloma, 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Rajawali Persada 16. Nasikun. 1985. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo 17. Philippe Cabin, 2005. Sosiologi : Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. Yogyakarta : Kreasi Wacana 18. Sigman, Stuart. 1987. Social Communication. New York: Lexington Books 19. Sukarna, 1992. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Mandar Maju. Perbaikan silabus Saya sedikit mengubah yang bagian politik. Perubahan itu mulai kuliah ke 7. Ini saya sesuaikan dengan kemampuan saya belaka: Temu ke Pokok Bahasan Sub Pokok Bahasan 1 Akar sistim sosial dan sistim politik Indonesia Pluralisme kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia. Menuju kesatuan sistim sosial dan politik 32 Referensi Indonesia 2 Teori Stratifikasi Fungsional Kerangka landasan dalam memahami sistim sosial Indonesia Fungsionalisme struktural dan Neofungsionalisme 3 Teori konflik Sistim dalam sistim kemasyarakatan Indonesia Teori sistim 4 Integrasi masyarakat menuju kesatuan sistim sosial (1) 5 Integrasi masyarakat menuju kesatuan sistim sosial (2) 6 Kerangka landasan dalam memahami sistim politik Indonesia 7 Studi tentang kekuasaan Sistim kemasyarakatn Indonesia dalam perspektif teori sistim Integrasi agen dan struktur Strukturalisme, empirisme, dan kritik sosial Teori sistim dan teori negara Perubahan, evolusi dan kekuasaan dalam masyarakat Perspektif ttg kekuasaan: Bgm kekuasan didistribusikan? 8 Tipe dan praktek demokrasi 9 Sistem politik Indonesia Demokrasi dan nondemokrasi Elektoral dan deliberasi Masa Orde Lama Masa Orde Baru 10 Pemilu Masa Reformasi Institusi dan praktek di 33 12 Perilaku pemilih 13 Aspek kelembagaan 14 Media dalam sistim politik Indonesia Indonesia Tiga model perilaku politik Partai, Eksekutif, Legislatif Relasi media dan politik dalam perspektif sistim . 34