Deskripsi

advertisement
RPKPS SISTIM SOSIAL DAN POLITIK INDONESIA
RENCANA PERKULIAHAN DAN PEMBELAJARAN SEMESTER
MATA KULIAH SISTIM SOSIAL DAN POLITIK INDONESIA
Mata kuliah
Pengampu
Kode MK/SKS
: Sistim Sosial dan Politik Indonesia
: Drs. Widodo Agus Setianto, M.Si
DR. Kuskrido Ambardy, MA.
: SPU 111/3 SKS
PENGANTAR
Masyarakat pada dasarnya merupakan kesatuan yang terdiri dari entitasentitas yang hidup bersama yang terikat dalam kesatuan jalinan sistim baik dalam
jalinan sistim sosial dan budaya maupun dalam jalinan sistim politik. Sebagai sebuah
kesatuan entitas, setiap masyarakat memiliki kekhasan dalam khasanah kehidupan
sosial politiknya. Demikian juga dengan masyarakat bangsa Indonesia sebagai
sebuah kesatuan entitas yang terdiri dari berbagai entitas yang begitu beragam dari
segi etnik, budaya, kehidupan sosial, religi, dan juga corak pengelolaan
masyarakatnya. Indonesia merupakan kesatuan entitas masyarakat majemuk. Salah
satu ciri dari masyarakat majemuk sebagaimana halnya dengan masyarakat Indonesia
adalah besarnya potensi konflik yang ada dalam masyarakat sebagai konsekwensi
dari keberagaman masyarakatnya. Oleh karenanya perlu sebuah telaah yang
komprenhensif mengenai berbagai ciri dan karakter pada setiap entitas masyarakat
Indonesia agar diperoleh satu simpul yang mengikat setiap entitas masyarakat bagi
terjalinnya integrasi dalam kehidupan bermasyarakat. Integrasi merupakan sebuah
konsep politik kemasyarakatan bagi terciptanya kehidupan yang harmoni di antara
elemen-elemen masyarakat dalam suatu tertib sosial kemasyarakatan. Integrasi
bukan berarti peluruhan terhadap setiap perbedaan yang melekat pada setiap entitas
dan melebur pada satu identitas tunggal yang sama, melainkan adalah kesadaran
sebagai bagian dari integralitas bangsa yang menghargai pluralitas dan berbagai
perbedaan yang ada untuk hidup bersama. Untuk kepentingan ini maka dibuatlah
sebuah wadah pengetahuan dalam mata kuliah Sistim Sosial dan Sistim Politik
Indonesia (SSPI).
Mata kuliah Sistim Sosial dan Politik Indonesia merupakan mata kuliah wajib
yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa yang ada di berbagai jurusan di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Dengan demikian kedudukan
mata kuliah Sistim Sosial dan Politik Indonesia ini merupakan mata kuliah wajib
fakultas. Mata kuliah ini sebelumnya ditawarkan secara terpisah yakni mata kuliah
Sistim Sosial Indonesia, dan mata kuliah Sistim Politik Indonesia. Akan tetapi sejak
1
tahun 2007 kedua mata kuliah ini dilebur dalam satu wadah Sistim Sosial dan Politik
Indonesia (SSPI).
Penggabungan kedua mata kuliah ini merupakan hasil
restrukturisasi kurikulum yang ada yang lebih memberikan penekanan pada
pengembangan kompetensi di tingkat jurusan selain bahwa kedua mata kuliah ini
seharusnya memang merupakan sebuah kesatuan yang integratif dalam membahas
fenomena sistim sosial dan sistim politik di Indonesia. Dengan demikian diharapkan
akan menghasilkan pengetahuan yang komprenhensif bagi para peserta didik dalam
memahami dan menganalisis berbagai hal terkait dengan masalah sosial dan politik
di Indonesia. Selain itu peserta didik diharapkan dapat bersikap lebih bijak dalam
menyikapi berbagai persoalan yang ada, dan dapat berpartisipasi secara lebih
konstruktif dalam pluralisme masyarakat dalam kesatuan bangsa Indonesia.
DISKRIPSI PERKULIAHAN
Mata kuliah ini pada dasarnya ingin memberikan pengetahuan dan wawasan
mengenai sistim sosial dan sistim politik di Indonesia dalam perspektif teori-teori
ilmu sosial dan ilmu politik. Dengan demikian akan diperoleh proposisi yang tepat
untuk menganalisis sistim kehidupan sosial dan politik di Indonesia berdasarkan
perspektif teori yang digunakan. Mengingat bahwa kehidupan politik berakar pada
realitas kehidupan sosial masyarakat, maka kehidupan sosial dengan sistim sosialnya
akan menjadi landasan bagi terbentuknya sebuah sistim politik yang berlaku. Oleh
karena itulah dalam melakukan telaah terhadap sistim sosial dan sistim politik
Indonesia, terlebih dahulu akan dibahas mengenai sistim sosial Indonesia, baru
kemudian membahas tentang sistim politik yang berakar dari sistim sosial yang
menopangnya.
Sistim sosial Indonesia mendasarkan pada kenyataan sosial yang hidup di
antara entitas-entitas masyarakat yang dikonsepsikan sebagai suatu sistim kehidupan
yang terbuka dan penuh interaksi baik internal maupun eksternal. Interaksi internal
mencangkup interaksi antar komponen yang ada dalam sistim, sedang interaksi
eksternal mencangkup interaksi antara sistim dengan lingkungannya. Untuk itu maka
dalam kuliah ini akan dibahas pengertian mengenai sistim, masyarakat sebagai suatu
sistim baik dalam bentuknya yang statis maupun dinamis, perubahan sistim dalam
masyarakat, pluralisme kehidupan masyarakat, maupun konflik dan integrasi yang
mendasarkan pada teori-teori struktural fungsional, neo fungsionalaisme, dan konfilk
baik dari teori yang dikemukakan oleh Talcot Parson, Robert K.Merton, Marx dan
Ralp Dahrendorf. Karena dalam kehidupan sosial masyarakat diperlukan pengaturan
yang menyangkut kepemimpinan, kewenangan, dan penataan kehidupan masyarakat
secara politis, maka dengan sendirinya terbentuklah sebuah sistim pengaturan
kehidupan masyarakat yang bersifat politis dan membentuk sebuah sistim politik.
Cakupan dari sistim politik di antaranya adalah bahasan mengenai pengertian sistim
politik itu sendiri, sistim politik di Indonesia dan sistim politik Indonesia,
Perbandingan mengenai sistim politik, perwakilan politik di Indonesia, Sistim
2
kepartaian dan pemilu, disentralisasi dan otonomi, masyarakat majemuk dan konflik
indentitas, potret masyarakat majemuk Indonesia, dan rancangan sistim sosial dan
sistim politik Indonesia.
TUJUAN PERKULIAHAN
.
Mata kuliah ini diselenggarakan dengan maksud memberikan pemahaman
dan pengetahuan yang integratif dan komprehensif tentang sistim sosial dan politik
Indonesia yang mencangkup berbagai aspek kehidupan sosial dan politik di
masyarakat. Dengan pemahaman dan pengetahuan tersebut para mahasiswa
diharapkan memiliki kemampuan dalam melakukan analisis terhadap masyarakat
sebagai sebuah sistim yang selalu berubah dan berkembang berdasarkan perspektif
dan kerangka teoritik konseptual sebagaimana yang dipelajari dalam kuliah ini.
Dengan demikian para mahasiswa selain memiliki pengetahuan dan pemahaman
tentang berbagai fenomena menyangkut sistim sosial dan politik Indonesia, juga
memiliki ketrampilan intelektual dalam mengidentifikasi dan menganalisis berbagai
masalah terkait dengan sistim sosial dan politik, memiliki ketrampilan praktis dalam
menangani pemecahan masalah terkait dengan masalah sistim sosial dan politik, dan
memiliki kemampuan manajerial dalam mengelola berbagai persoalan yang terkait
dengan masalah sistim sosial dan sistim politik.
METODE PEMBELAJARAN
Perkuliahan diberikan secara tatap muka dengan alokasi waktu antara 90
menit sampai dengan 120 menit pada setiap kali pertemuan. Dimulai dengan
mempresentasikan materi kuliah kepada para mahasiswa sekitar 60 menit, kemudian
diakhiri dengan diskusi dan/atau tanya jawab selama 60 menit. Selain kuliah secara
tatap muka, para mahasiswa pada pertemuan k e 3 mendapatkan penugasan membuat
kliping dalam rangka mengidentifikasi praktek kehidupan sosial dan sistim sosial
dalam masyarakat banagsa Indonesia.. Dan pada pertemuan ke 9 mendapatkan
penugasan pembuatan makalah tentang sistim politik di Indonesia. Dengan metode
pembelajaran yang demikian ini diharapkan apa yang menjadi tujuan perkuliahan
untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki pengetahuan yang integratif dan
komprehensif tentang sistim sosial dan sistim politik Indonesia baik yang
menyangkut aspek kognitif, intelektual skill, dan aspek vokasional dalam praksis
kehidupan sosial dan politik.
CARA PENILAIAN
Penilaian terhadap mahasiswa peserta kuliah dilakukan secara komprehensif yang
meliputi partisipasi mahasiswa dalam setiap perkuliahan yang diselenggarakan
3
sebanyak 14 kali pertemuan dalam satu semester. Dalam perkuliahan selain
partisipasi kehadiran, inisiatif, daya kritis dan daya nalar mahasiswa terhadap setiap
materi kuliah yang diberikan juga akan mendapatkan penilaian tersendiri. Untuk
keseluruhan penilaian yang tercakup dalam partisipasi kuliah ini menduduki bobot
penilaian 10 % dari seluruh penilaian yang ada, interaksi kelas (10 %), selain juga
tugas-tugas individu yang harus dikerjakan mahasiswa (20 %), ujian tengah semester
(30 %) dan ujian akhir semester (30 %). Dengan demikian rincian penilaian bagi
para mahasiswa yang mengikuti perkuliahan periklanan adalah sebagai berikut :





Partisipasi kuliah
Interaksi kelas
Tugas individu
Ujian tengah semester
Ujian akhir semester
: 10 %
: 10 %
: 20 %
: 30 %
: 30 %
Nilai akhir mahasiswa bergantung pada hasil total evaluasi tersebut di atas. Tidak
ada tugas lain untuk memperbaiki nilai yang diperoleh dari total evaluasi dan tidak
ada tugas, tes, maupun ujian susulan.
Untuk Memperoleh Nilai "C":
1. Memperoleh nilai total minimal 56 (lima puluh enam) pada skala 100 (seratus).
2. Memperoleh nilai rata-rata minimal "C" untuk tugas, tes 1, tes 2, UTS, dan Tugas
Akhir Semester.
Untuk Memperoleh Nilai "B":
1. Memenuhi kriteria perolehan nilai "C" sebagaimana keterangan di atas.
2. Memperoleh nilai rata-rata minimal "B" untuk tes 1, tes 2, UTS, dan Tugas Akhir
Semester.
Untuk Memperoleh Nilai "A":
1. Memenuhi kriteria 1-2 perolehan nilai "B" sebagaimana keterangan di atas.
2. Memperoleh nilai rata-rata minimal "A" untuk tes 1, tes 2, UTS, dan Tugas Akhir
Semester.
KEHADIRAN/PARTISIPASI
Mengingat materi perkuliahan yang berkesinambungan dan membutuhkan partisipasi
aktif para peserta baik individual maupun kelompok, kehadiran mahasiswa dalam
4
setiap pertemuan sangatlah penting. Nilai 10 (sepuluh) persen untuk partisipasi
mahasiswa diberikan sebagai berikut:
Jumlah Ketidakhadiran (absen)
Nilai Kehadiran
0 kali
1 kali
2 kali
3 kali
4 kali
5 kali
10 %
8%
6%
4%
2%
0 % dan Tidak boleh mengikuti
UAS (Laporan Tugas Akhir
Semester)
TES 1, TES 2, UTS, dan UAS
Tes 1 diadakan sebelum UTS dengan materi yang berasal dari pertemuan 1 sampai 6.
Tes 2 diadakan sebelum UAS dengan materi yang berasal dari pertemuan 7 sampai
13. Materi UTS berasal dari topik pertemuan 1 sampai dengan 6. Sedangkan materi
UAS berasal dai topik pertemuan 1 sampai dengan 13.
TUGAS
Jenis dan bentuk tugas akan diumumkan lebih lanjut di hadapan kelas.
PERATURAN KELAS
1. Mahasiswa TIDAK DIPERKENANKAN mengikuti aktivitas perkuliahan, tes,
dan ujian jika:
 Terlambat hadir 20 menit atau lebih dari waktu yang telah ditentukan.
 Terlambat hadir lebih dari 30 menit untuk tes dan ujian.
 Tidak memakai sepatu.
 Tidak berpakaian sebagaimana ketentuan perkuliahan yang berlaku.
2. Mahasiswa TIDAK DIPERKENANKAN mengikuti UAS jika kehadiran kurang
dari 75% pertemuan matakuliah.
3. Kecurangan dalam bentuk apa pun ketika tes dan ujian menyebabkan mahasiswa
secara langsung memperoleh Nilai E.
5
SUBSTANSI BAHASAN PER SESI
Kuliah ke 1 : Akar Sistim Sosial dan Sistim Politik Indonesia
Tidak mudah untuk menjelaskan sistim sosial Indonesia mengingat begitu
beragamnya corak kehidupan sosial yang berlaku di masyarakat Indonesia yang
merupakan entitas-entitas suku bangsa yang masing-masing memiliki sistim
sosialnya sendiri. Untuk menjadikan satu sistim sosial yang berlaku di suatu entitas
tertentu dari masyarakat Indonesia sebagai sistim sosial Indonesia tentunya
merupakan bentuk pemerkosaan terhadap eksistensi sistim sosial dari entitas suku
bangsa lainnya di Indonesia. Oleh karenanya konsep sistim sosial Indonesia hanyalah
sebuah klaim politis yang dalam realitanya sulit bagi kita untuk menyatakan berbagai
sistim sosial yang ada di Indonesia sebagai satu kesatuan sistim sosial yang berlaku
bagi seluruh masyarakat Indonesia. Akan lebih mendekati realita soiologis kalau
dikatakan sebagai sistim sosial di Indonesia yang merefleksikan berbagai sistim
sosial yang ada pada entitas-entitas suku bangsa yang ada di Indonesia. Namun
demikian tidak berarti bahwa sistim sosial di Indonesia ini tidak dapat dijelaskan
secara teoritik. Sebuah sistim sosial adalah merupakan keniscayaan sebagai
konsekwensi dari adanya kehidupan bersama. Berbeda halnya dengan sistim sosial
yang pada dasarnya merefleksikan sistim sosial pada entitas-entitas yang mendukung
bangunan struktur sosial masyarakat Indonesia, maka sistim politik Indonesia lebih
mudah untuk dikonstruksikan sebagai bangunan yang mengatur seluruh kehidupan
politik masyarakat bangsa Indonesia.
Dalam kerangka menjelaskan sistim sosial dan sistim politik Indonesia, maka
hal yang terlebih dahulu harus dijelaskan adalah pengertian dari sistim itu sendiri.
Sistim adalah konstruksi yang abstrak dan teratur sehingga merupakan keseluruhan
yang terangkai. Artinya setiap bagian dari suatu keseluruhan dapat dihubungkan satu
sama lainnya. Sistim adalah rangkaian yang terdiri dari sub sistem-sub sistem yang
membentuk satu bangunan yang saling terkait satu sama lainnya. Sistim sosial
merupakan bagunan sistim dalam kehidupan sosial masyarakat yang oleh Talcot
Parson didefinisikan sebagai : ”Sistim sosial terdiri dari sejumlah aktor individual
yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek
lingkungan (fisik), aktor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai
kecenderungan untuk mengoptimalkan kepuasan yang berhubungan dengan situasi
mereka yang didefinisikan dan dimediasi dalam term sistim simbol bersama yang
tersturktur secara kultural”. Sistim politik adalah sub sistem dari sistim sosial
kemasyarakatan, seperti halnya sistim ekonomi, sistim budaya, sistim hukum, dan
sebagainya. Sistim politik adalah kesatuan alur yang mengatur keseluruhan
kehidupan politik masyarakat yang menyangkut lembaga negara, partai politik, dan
kelompok-kelompok penekan.
Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut,
misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada
6
struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik.
Hubungan antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya
merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok
penekan merupakan bagian lain dari suatu sistem politik. Dengan mengubah sudut
pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagai kebudayaan politik, lembagalembaga politik, dan perilaku politik. Model sistem politik yang paling sederhana
akan menguraikan masukan (input) ke dalam sistem politik, yang mengubah melalui
proses politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya
dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik
lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberian oleh pemerintahan
untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka
efektifitas sistem politik adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan
bagi rakyat. Namun dengan mengingat Machiavelli maka tidak jarang efektifitas
sistem politik diukur dari kemampuannya untuk mempertahankan diri dari tekanan
untuk berubah. Pandangan ini tidak membedakan antara sistem politik yang
demokratis dan sistem politik yang otoriter.
Indonesia merupakan sebuah masyarakat bangsa yang dibangun dari entitasentitas suku bangsa yang sangat majemuk dalam arti yang sebenar-benarnya.
Tidaklah mengherankan kalau masyarakat bagsa Indonesia adalah masyarakat
bangsa yang penuh warna. Demikian juga dengan kehidupan sosial dan sistim sosial
yang dikembangkan. Setiap entitas memiliki ciri yang mungkin berbeda dengan
entitas sosial lainnya. Dalam kehidupan politik setiap entitas suku bangsa pada
dasarnya memiliki sistimnya tersendiri, namun sejak mengikatkan diri dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia maka secara politis setiap entitas yang ada haruslah
mengkuti sistim yang berlaku dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia itu. Sejak
kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, dan Indonesia berdiri sebagai sebuah
negara, hingga saat ini telah berlaku beberapa sistim politik. Meski secara formal
sistim politik di Indonesia mendasarkan diri pada sistim politik yang demokratis,
namun dalam prakteknya demokrasi yang dimaksudkan sangatlah khas Indonesia
yang diterjemahkan sesuai dengan kebutuhan politik saat itu. Oleh karenanya dalam
perjalanan sejarah politik bangsa dikenal beberapa sistim politik yang berlaku seperti
Demokrasi Pancasila, Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, dan kembali
kepada Demokrasi Pancasila yang pada tataran praksisnya satu sama lain tidaklah
sama.
Referensi :
Ashadi Siregar (1983). Komunikasi Sosial. Yogyakarta : Fisipol – UGM.
Miriam Budiarjo (2008). Pengantar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia.
Soerjono Soekanto (1986). Sosiologi Suatu Pengantar . Jakarta : Rajawali.
7
Kuliah 2 & 3 : Kerangka Landasan dalam Memahami Sistim Sosial Indonesia (1)
Indonesia dibangun di atas landasan keberagaman masyarakatnya yang terdiri
dari berbagai etnik, ras dan suku bangsa. Masing-masing etnik, ras, dan suku bangsa
memiliki perbedaan-perbedaan dalam masalah sosial, budaya dan politik.. Dengan
demikian Indonesia berada di atas satuan-satuan yang secara sosiologis, antroplogis,
dan politis berbeda satu sama lainnya. Perbedaan yang ada menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan bangsa multi etnis dengan struktur masyarakat majemuk yang
rentan terhadap berbagai konflik di antara entitas-entitas masyarakatnya yang
berbeda itu. Pada masa lalu konflik dapat terjadi di antara masyarakat yang berbeda
dalam identitas kelompoknya, dan berakhir pada penguasaan atau dominasi
kelompok yang lebih kuat dalam bentuk penaklukan terhadap kelompok lainnya
yang lebih lemah.
Masyarakat majemuk pada umumnya dipersatukan dalam kesatuan identitas
bangsa dan masuk dalam wadah negara karena dipersatukan oleh suatu paksaan
kekuatan yang dominan. Pada masa kerajaan banyak daerah-daerah dari etnik atau
sub etnik tertentu yang ditaklukan dan menjadi bagian dari daerah kekuasaan
kerajaan yang menakukkannya. Perangkat hukum, sosial, dan politik merujuk pada
aturan yang berlaku pada kerajaan penakluknya yang pelaksanaannya diawasi oleh
penguasa-penguasa wilayah yang diangkat oleh kerajaan penakluk. Pada masa
penjajahan Belanda pusat kekuasaan beralih pada Pemerintahan Hindia Belanda.
Kesatuan daerah jajahan yang mengikat entitas-entitas suku bangsa di dalamnya
dilakukan melalui bentuk koersi kekuasaan birokrasi dan militer. Perangkat hukum
dan sistim politik pemerintahan merupakan perpanjangan dari sistim hukum dan
politik pemerintahan kerajaan Belanda yang dirancang untuk melestarikan dominasi
kekuasaan penjajah di tanah jajahannya. Hubungan antara pemerintah dengan
masyarakat suku bangsa dalam masyarakat jajahan dilakukan melalui golongan
perantara yang sangat diuntungkan dalam sistim sosial politik yang demikian itu.
Posisi ini di masa lalu dipegang oleh golongan masyarakat keturunan Cina, Arab,
dan Timur Asing
yang khususnya menangani sektor perekonomian dan
mendapatkan previlage secara sosial di atas bangsa pribumi yang terjajah. Sementara
para raja, sultan dan para bangsawan yang sebelumnya memegang kendali
pemerintahan, pada masa penjajahan tersubordinasi pada kekuasaan penjajah dan
banyak digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan penguasaan.
Dengan
demikian tersusunlah struktur masyarakat dalam beberapa golongan. Golongan yang
paling teratas dan paling dominan adalah bangsa Belanda dan bangsa kulit putih
lainnya. Kemudian berturut-turut adalah bangsa Cina, Arab, dan bangsa Timur Asing
lainnya. Baru lapisan terbawah adalah bangsa pribumi yang juga dibedakan menjadi
dua yakni yang telah mengenal peradaban dan mengenyam sistim pendidikan
Belanda dan yang masih terbelakang dan primitif. Dalam struktur yang berlaku
nasional ini terdapat struktur-struktur hubungan kekuatan dominan-minoritas yang
bervariasi sesuai konteks-konteks hubungan dan kepentingan yang berlaku
8
Demikian pula halnya pada masa penjajahan pemerintahan militer Jepang.
Dalam mempersatukan daerah jajahannya secara politik, pemerintahan militer
Jepang menerapkan hukum militer yang sangat keras, mermposisikan diri sebagai
kekuatan pemaksa yang mengeksploitasi seluruh aspek kehidupan masyarakat suku
bangsa yang dijajahnya. Kondisi yang sama yang dialami suku-suku bangsa yang
dijajah ini pada akhirnya melahirkan kesadaran kolektif dan solidaritas sosial.
Perasaan senasib, sependeritaan dan sepenanggungan
melahirkan rasa saling
ketergantungan pada masyarakat. Melalui proses sosial dan politik yang cukup lama,
warga masyarakat Hindia Belanda yang kemudian menjadi warga penjajahan Jepang
menyadari pentingnya memerdekakan diri dari penjajahan Jepang yang amat
menyengsarakan mereka.
Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus tahun 1945,
dipimpin oleh Soekarno-Hatta, maka suku-suku bangsa di Indonesia menyatakan
mengikatkan dirinya sebagai kesatuan bangsa dalam wadah negara Indonesia. Dari
sinii terbentuklah suatu tatanan masyarakat baru dalam sebuah kerangka sistim sosial
dan politik Indonesia.
Referensi
 Nasikun. 1985. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo.
 Giddens, Anthony dkk. 2002. Sejarah Sosiologi dan Pemikiran.
 Sigman, Stuart. 1987. Social Communication. New York: Lexington Books

Kuliah 4 & 5 : Kerangka Landasan dalam Memahami Sistim Sosial Indonesia (2)
Teori stratifikasi sosial merupakan teori sosial yang diintrodusir dan
dikembangkan oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore (1945). Stratifikasi sosial
merupakan fenomena universal, karena tidak ada satupun masyarakat tanpa
stratifikasi atau tanpa kelas.
Stratifikasi adalah keharusan fungsional, dan
masyarakat memerlukannya. Oleh karena itu lalu lahirlah sistim stratifikasi sosial
berdasarkan fungsinya dalam kehidupan masyarakat. Sistim stratifikaksi sosial
adalah sebuah struktur yang tidak mengacu pada pribadi, akan tetapi pada sistim
posisi (kedudukan) individu dalam masyarakat. Posisi tertentu individu dalam
masyarakat akan mempengaruhi prestise bagi individu yang berbeda. Dalam hal ini
Davis dan Moore tidak menekankan bagaimana mendapatkan posisi atau kedudukan
itu dalam masyarakat, akan tetapi nemekankan pada bagaimana cara posisi tertentu
mempengaruhi tingkat prestise dalam masyarakat.
Persoalan krusial dalam stratifikasi sosial-fungsional adalah bagaimana
masyarakat memotivasi dan menempatkan individu pada posisi/kedudukannya
yang tepat di masyarakat, dan Bagaimana masyarakat menanamkan motivasi
kepada individu untuk memenuhi persyaratan dalam mengisi posisi tersebut ?
Dari ketiga hal di atas Davis dan Moore lebih memberikan perhatian pada
posisi yang penting dalam masyarakat untuk menjaga kelangsungan hidup
masyarakat. Ini merupakan posisi yang lebih tinggi tingkatannya dalam stratifikasi
9
masyarakat yang memerlukan bakat dan kemampuan terbaik meski dianggap kurang
menyenangkan. Oleh karena itu masyarakat harus memberikan penghargaan yang
terbaik (award) bagi individu yang menduduki posisi ini agar dapat bekerja dengan
tekun. Sebaliknya posisi-posisi lainnya dianggap lebih rendah dalam stratifikasi
masyarakat, kurang penting, dan tidak terlalu memerlukan bakat dan kemampuan
terlalu besar namun menyenangkan. Selain itu masyarakat tidak terlalu menuntut
individu yang menduduki posisi rendah ini untuk malaksanajan kewajiban mereka
dengan tekun.
Individu yang berada di puncak stratifikasi harus menerima hadiah/imbalan
yang memadai dari fungsi yang dilaksanakannya itu dalam bentuk prestise yang
tinggi, gaji besar, dan kesenangan yang cukup. Ini untuk meyakinkan bahwa individu
mau menduduki posisi yang tinggi itu dalam masyarakat.
Fungsionalisme struktural diperkenalkan dan dikembangkan oleh Talcot
Person dan Robert K. Merton sebagai tradisi teoritik dalam kajian-kajian
kemasyarakatan khususnya yang menyangkut sturktur dan fungsi masyarakat.
Teori fungsionalisme struktural mengambil basis teoritis dari teori stratifikasi sosial
yang diperkenalkan oleh Kingsley davis dan Wilbert Moore (1945). Namun dalam
perkembangannya teori ini telah mengalami kemerosotan khususnya pada empat
dekade terakhir dan akhirnya hanya bermakna historis,
untuk kemudian
dikembangnya menjadi neo-fungsionalime oleh Zevry Alexander pada tahun 1980
an.
Teori struktural fungsional Talcot Person dimulai dengan empat fungsi
penting untuk semua sistim ”tindakan” yang disebut dengan AGIL. Melalui Agil ini
kemudian dikembangkan pemikiran mengenai struktur dan sistim.
Menurut Person fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah
pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistim. Dengan difinisi ini Person
yakin bahwa ada empat fungsi penting yang diperlukan semua sistim yang
dinamakan AGIL yang antara lain adalah :
 Adaptation (adaptasi).
Sebuah sistim harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistim harus
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan
kebutuhannya.
 Goal attainment (pencapaian tujuan).
Sebuah sistim harus mendifiniisikan diri untuk mencapai tujuan utamanya.
 Integration (integrasi).
Sebuah sistim harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi
komponennya. Sistim juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting
lainnya (A, G, L).
 Latency (pemeliharaan pola).
10
Sebuah sistim harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik
motivasi individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang
motivasi.
Agar dapat tetap bertahan, maka suatu sistim harus mempunyai keempat
fungsi ini. Parson mendisain skema AGIL ini untuk digunakan di semua tingkat
dalam sistim teorinya, yang aplikasinya adalah sebagai berikut :
 Organisme perilaku adalah sistim tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi
dengan menyesuaikan diri dengan dan mengubah lingkungan eksternal.
 Sistim kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan
tujuan sistim dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya.
 Sistim sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagianbagian yang menjadi komponennya.
 Sistim kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan
aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak.
Dari skema tindakan Parson ini nampak bahwa Parson mempunyai gagasan
yang jelas mengenai tingkatan analisis sosial maupun mengenai hubungan antara
berbagai tingkatan itu. Susunan hirarkinya jelas, dan tingkat integrasi menurut sistim
Parson terjadi dalam dua cara :
1. Masing-masing tingkat yang lebih rendah menyediakan kondisi atau
kekuatan yang diperlukan untuk tingkat yang lebih tinggi.
2. Tingkat yang lebih tinggi mengendalikan tingkat yang berada di bawahnya.
Inti pemikiran Parson ditemukan dalam empat sistim tindakan yang
diciptakannya. Tingkatan yang paling rendah dalam sistim tindakan ini adalah
lingkungan fisik dan organisma, meliputi aspek-aspek tubuh manusia, anatomi, dan
fisiologisnya. Sedang tingkat yang paling tinggi dalam sistim tindakan adalah realitas
terakhir yang mungkin dapat berupa kebimbangan, ketidak pastian, kegelisahan, dan
tragedi kehidupan sosial yang menantang organisasi sosial. Di antara dua
lingkungan tindakan itulah terdapat empat sistim yang diciptakan oleh Parson
meliputi organisme perilaku, sistim kepribadian, sistim sosial, dan sistim kultutral.
Semua pemikiran Parson tentang sistim tindakan ini didasarkan pada asumsi-asumsi
beikut :
1. Sistim memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling
bergantung.
2. Sistim cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau
keseimbangan.
3. Sistim mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.
11
4. Sifat dasar bagian dari suatu sistim berpengaruh terhadap bentuk bagianbagian lain.
5. Sistim memelihara batas-batas dengan lingkunganya.
6. Alokasi dari integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan
untuk memelihara keseimbangan sistim.
7. Sistim cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan diri yang
meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagianbagian dengan kerseluruhan sistim, menegndalikan lingkungan yang
berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistim dari
dalam.
Dari asumsi-asumsi inilah Parson menempatkan analisis struktur keteraturan
masyarakat pada prioritas utama. Parson sedikit sekali memperhatikan masalah
perubahan sosial. Keempat sistim tindakan ini tidak muncul dalam kehidupan nyata;
tetapi lebih merupakan peralatan analisis untuk menganalisis kehidupan nyata.
Menurut Parson sistim sosial berawal pada interaksi tingkat mikro antara ego
dengan alter ego yang merupakan bentuk sistim sosial yang paling mendasar. Parson
mendifinisikan sistim sosial sebagai :
”Sistim sosial terdiri dari sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi
dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan (fisik), aktoraktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan untuk
mengoptimalkan kepuasan yang berhubungan dengan
situasi mereka yang
didefinisikan dan dimediasi dalam term sistim simbol bersama yang tersturktur
secara kultural”.
Disini Parson menggunakan konsep-konsep atau kata-kata kunci yakni aktor,
interaksi, lingkungan, optimalisasi kepuasan, dan kultur. Uniknya meski Parson
berkomitmen melihat sistim sosial sebagai sebuah interaksi, namun Parson tidak
menggunakan konsep interaksi sebagai unit fundamental dalam studi tentang sistim
sosial, ia malah menggunakan konsep status-peran sebagai unit dasar dari sistim.
Status-peran bukan merupakan satu aspek dari aktor atau interaksi, melainkan lebih
merupakan komponen sturktural dari sistim sosial. Status mengacu pada posisi
struktural di dalam sistim sosial, dan peran adalah apa yang dilakukan aktor dalam
posisinya itu, dilihat dalam konteks signifikansi fungsionalnya untuk sistim yang
lebih luas.
Dalam sistim sosial ini Parson menekankan pentingnya aktor. Akan tetapi
Parson lebih melihatnya sebagai kenyataan fungsional bukan struktural, karena aktor
merupakan pengemban dari fungsi peran yang adalah bagian dari sistim. Oleh
karenanya harus terdapat integrasi pola nilai dalam sistim antara aktor dengan
struktur sosialnya. Dan ini hanya dapat dilakukan dengan melalui proses internalisasi
dan sosialisasi. Disini terdapat pengalihan norma dan nilai sistim sosial kepada aktor
12
di dalam sistim sosial. Dalam proses sosialisasi yang berhasil, norma dan nilai itu
diinternalisasikan, artinya norma dan nilai itu menjadi bagian dari kesadaran aktor.
Akibatnya dalam mengejar kepentingannya, aktor harus mengabdi pada kepentingan
sistim sebagai satu kesatuan.
Dalam proses sosialisasi bukan hanya mengajarkan seorang (anak) untuk
bertindak, akan tetapi juga mempelajari norma dan nilai masyarakat. Sosialisasi
merupakan sebuah proses yang konservatif, dimana disposisi kebutuhan yang
sebagian besarnya dibentuk masyarakat mengikatkan anak-anak pada sistim sosial,
dan sosialisasi itu menyediakan alat untuk memuaskan disposisi kebutuhan tersebut.
Dengan demikian dalam proses sosialisasi ini hampir tidak ada kreatifitas, kebutuhan
untuk mendapatkan gratifikasi mengikatkan anak-anak pada sistim sebagaimana
adanya. Sosialisasi merupakan pengalaman seumur hidup, Norma dan nilai yang
ditanamkan cenderung bersifat umum sehingga tidak dapat digunakan oleh anakanak ketika menghadapi berbagai situasi khusus ketika mereka dewasa nanti. Oleh
karena itu dalam sosialisasi perlu dilengkapi serangkaian pengalaman sosialisasi
yang bersifat spesifik, karena nilai dan norma yang dipelajari ketika masih kanakkanak cenderung tidak berubah, dan dengan sedikit penguatan cenderung tetap
berlaku seumur hidup.
Meski terdapat sosialisasi, namun akan tetap terdapat sejumlah besar
perbedaan individual di dalam sistim. Namun sejumlah perbedaan individual ini
tidak menjadi problem besar bagi sistim sosial, padahal sistim sosial memerlukan
keteraturan. Ada beberapa hal yang mungkin dapat menjelaskan hal ini :
1. Sejumlah mekanisme pengendalian sosial dapat digunakan untuk mendorong
ke arah penyesuaian. Tapi menurut Parson, pengendalian sosial adalah
pertahanan lapis kedua. Sebuah sistim sosial berjalan dengan baik bila
pengendalian sosial hanya digunakan dengan hemat.
2. Sistim sosial harus mampu menghormati perbedaan, bahkan penyimpangan
tertentu. Sistim sosial yang lentur lebih kuat ketimbang yang kaku, yang tidak
dapat menerima penyimpangan.
3. Sistim sosial harus menyediakan berbagai jenis peluang untuk berperan yang
memungkinkan bermacam-macam kepribadian yang berbeda untuk
mengungkapkan diri mereka sendiri tanpa mengancam integritas sistim.
Dengan demikian sosialisasi dan kontrol sosial merupakan mekanisme utama
yang memungkinkan sistim sosial
mempertahankan keseimbangannya.
Individualitas dan penyimpangan diakomodasi, tetapi bentuk-bentuk yang lebih
ekstrem harus ditangani dengan mekanisme penyeimbang ulang. Jelas Parson lebih
melihat sistim sebagai satu kesatuan daripada aktor di dalam sistim. Di sini sistim
mengontrol aktor, bukan sebaliknya aktor menciptakan dan mengendalikan sistim.
13
Masyarakat adalah bagian dari kolektifitas dalam sistim sosial yang menjadi
perhatian Parson. Mengutip pendapat Rocher, Parson menyatakan masyarakat
sebagai :
 kolektifitas yang relatif mencukupi kebutuhannya sendiri,
 yang anggotanya mampu memenuhi seluruh kebutuhan
individualnya,
 dan hidup sepenuhnya dalam kerangkanya sendiri.
kolektif
dan
Parson membedakan antara empat struktur atau sub sistem dalam masyarakat
menurut fungsi sistim tindakan (AGIL) yang dilaksanakan masyarakat, yaitu :
 Sistim Ekonomi
Adalah sub sistim dalam masyarakat yang melaksanakan fungsi masyarakat
dalam menyesuaikan diri terhadap ligkungan melalui tenaga kerja, produksi dan
alokasi. Melalui pekerjaan ekonomi menyesuaikan diri dengan lingkungan
kebutuhan masyarakat dan membantu masyarakat menyesuaikan diri dengan
realitas eksternal.
 Sistim Pemerintahan
Sistim pemerintahan atau sistim politik melaksanakan fungsi pencapaian tujuan
dengan mengejar tujuan-tujuan kemasyarakatan, memobilisasi aktor dan berbagai
sumber daya untuk mencapai tujuan.
 Sistim Fiduciari
Sistim Fiducari (keluarga, sekolah) menjalankan fungsi pemeliharaan pola
dengan menyebarkan kultur (norma dan nilai) kepada aktor sehingga aktor
menginternalisasikan kultur tersebut.
 Komunitas Kemasyarakatan
Komunitas kemasyarakatan (hukum dsb.) melaksanakan fungsi integrasi yang
mengkordinasikan berbagai komponen masyarakat.
Menurut Parson, sepenting-pentingnya struktur dalam sistim sosial, yang
paling penting adalah sistim kultural dalam masyarakat. Sistim kultural berada di
puncak sistim tindakan, yang disebutnya dengan determinis kultural.
Sistim kultural merupakan kekuatan utama yang mengikat berbagai unsur
dunia sosial. Kultur adalah kekuatan yang mengikat sistim tindakan, menengahi
interaksi antar aktor, menginteraksikan kepribadian, dan menyatukan sistim sosial.
Kultur mempunyai kapasitas khusus untuk menjadi komponen sistim yang lain.
Dalam sistim sosial, sistim diwujudkan dalam norma dan nilai, dan dalam
sistim kepribadian norma dan nilai ini diinternalisasikan oleh aktor. Meski sistim
kultural menjadi bagian dari suatu sistim tindakan, namun sistim kultural bisa
mempunyai eksistensi tersendiri yang terpisah dari sistim tindakan, yaitu dalam
bentuk pengetahuan, simbol-simbol, dan gasasan-gagasan. Aspek-aspek dari sistim
14
kultural tersedia untuk sistim sosial dan sistim personalitas, tapi sistim kultural tidak
menjadi bagian dari kedua sistim itu.
Kultur adalah sistim simbol yang terpola, teratur, yang menjadi sasaran
orientasi para aktor dalam rangka penginternalisasian aspek-aspek kepribadian dan
pola-pola yang sudah terlembagakan dalam sistim sosial. Kultur bersifat subjektif
dan simbolik, oleh karena itu kultur mudah ditularkan dan dipindahkan dari satu
sistim sosial ke sistim sosial lain melalui penyebaran (difusi), atau dari satu
kepribadian ke pribadian yang lain melalui proses belajar dan sosialisasi. Sifat
simbolisme (subjektifitas) dari kultur menempatkan kultur padaposisi mengendalikan
sistim tindakan yang lain.
Sistim kepribadian dalam sistim tindakan Parsom dikontrol oleh sistim sosial
dan sistim kultural, karena sistim kepribadian merupakan hasil sosialisasi dan
internalisasi dari sistim sosial dan sistim kultural. Namun demikian bukan berarti
bahwa sistim kepribadian ini tidak bebas sama sekali, kepribadian menjadi suatu
sistim yang independen melalui hubungannya dengan organisme dirinya sendiri dan
melalui keunikan pengalaman hidupnya.
Personalitas atau kepribadian adalah sistim orientasi dan motivasi tindakan
aktor individual yang terorganisir. Komponen dasarnya adalah disposisi kebutuhan.
Disposisi kebutuhan adalah unit-unit motivasi tindakan yang paling penting.
Disposisi kebutuhan bukanlah dorongan hati (drives). Dorongan hati merupakan
kecenderungan batiniah, bagian dari organisme biologis atau energi fisiologis yang
memungkinkan terwujudnya aksi. Meski disposisi kebutuhan bukanlah dorongan
hati , namun disposisi kebutuhan bisa juga berasal dari dorongan hati yang dibentuk
oleh lingkungan sosial. Disposisi kebutuhan memaksa aktor menerima atau menolak
objek yang tersedia dalam lingkungan atau mencari objek yang baru bila objek
yang tersedia tidak dapat memuaskan disposisi kebutuhan secara memadai.
Parson membedakan disposisi kebutuhan dalam beberapa tipe dasar, di
antaranya adalah :
1. Memaksa aktor mencari cinta, persetujuan dan sebagainya dari hubungan
sosial mereka.
2. Meliputi internalisasi nilai yang menyebabkan aktor mengamati berbagai
standar kultural.
3. Adanya peran yang diharapkan yang menyebabkan aktor memberikan dan
menerima respon yang tepat.
Ketiga tipe ini menempatkan aktor pada citra yang pasif, karena tindakannya
dipaksa oleh dorongan hati, atau didominasi oleh kultur atau dibentuk oleh
gabungan dorongan hati dan kultur (disposisi kebutuhan). Sistim kepribadian yang
pasif merupakan mata rantai teori yang lemah dalam sebuah teori yang terpadu.
Oleh karenanya Parson lalu memberikan kreatifitas tertentu dalam kepribadian
bahwa kepribadian tidak semata-mata hasil internalisasi kultur atau sekedar mentaati
15
aturan dan hukum, akan tetapi pada saat melakukan internalisasi kultur
sesungguhnya ia juga melakukan modifikasi kreatif. Meski demikian hal ini tidaklah
menghilangkan citra sistim kepribadian yang pasif sebagaimana yang diintrodusir
Parson.
Kritik terhadap teori sistim kepribadian Parson.
1. Penekanan pada disposisi kebutuhan menjadikan sistim kepribadian dalam
teori Parson sangat miskin, padahal sistim kepribadian memiliki banyak
aspek.
2. Sistim kepribadian terintegrasi dalam sistim sosial. Hal ini dapat dibuktikan
dengan statemennya yang menyatakan bahwa ”a) aktor belajar melihat
dirinya menurut cara yang sesuai dengan tempat yang didudukinya dalam
masyarakat, b) peran yang diharapkan dilekatkan pada setiap peran yang
diduduki oleh aktor individual, ini artinya ada pembelajaran mendisiplinkan
diri, menghayati orientasi nilai yang semuanya ini menuju pada integrasi
sistim kepribadian dengan sistim sosial.
3. Perhatian terhadap internalisasi sebagai proses sosialisasi sistim kepribadian
mencerminkan pula manifestasi dari sistim kepribadian yang pasif.
Merupakan salah satu dari empat sistim tindakan yang dikemukakan Parson,
didasarkan atas konstitusi genetik yang organisasinya dipengaruhi oleh proses
pengkondisian dan pembelajaran yang terjadi selama hidup. Dalam kaitannya dengan
organisme perilaku ini, Parson mengembangkan studinya tentang perubahan sosial
yang didasarkan pada konsepnya mengenai ”Paradigma Perubahan Evolusioner”
yang diadopsi dari konsep biologi mengenai teori evolusi.
Parson sangat percaya bahwa masyarakat mengalami perubahan secara
evolusionis (bertahap) meski tidak menurut pada garis linier, artinya bahwa
perubahan dalam masyarakat tidaklah konstan dan tidak berlangsung secara terus
menerus, tapi masyarakat akan berkembang tahap demi tahap.
Dalam awal perkembangannya menurut paradigma perubahan evolusionier
Parson ini, masyarakat akan mengalami proses diferensiasi. Setiap masyarakat
tersusun dai sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan struktur dan
fungsinya. Ketika masyarakat berubah, maka subsistem dalam masyarakat akan
terdiferensiasi membentuk subsistem baru. Subsistem baru ini perlu melakukan
penyesuaian diri, dan inilah yang menjadi penekanan pada paradigma perubahan
evolusioner Parson, yakni kemampuan menyesuaikan diri yang meningkat dari
subsistem sebelumnya. Ini merupakan bentuk perubahan sosial yang positif.
Masyarakat yang berubah tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk
menanggulangi masalah yang dihadapi, termasuk masalah integrasi masyarakat
sebagai akibat dari terjadinya proses diferensiasi.
Konsekwensi lain dari perubahan evolusioner dalam masyarakat adalah
sistim nilai dari masyarakat sebagai satu kesatuan yang mengalami perubahan
16
serentak dengan perubahan struktur dan fungsi sosial yang tumbuh semakin
terdeferensiasi. Sistim baru itu semakin bervariasi, dan sistim nilai tidak lagi mampu
mencakup semuanya sebagai satu kesatuan. Yang paling mungkin adalah sistim
nilai yang menggariskan ketentuan-ketentuan umum pada tingkat yang lebih tinggi
untuk melegitimasi keanekaragaman tujuan dan fungsi yang semakin meluas dari sub
unit masyarakat. Namun itupun sering berjalan tidak mulus sebagai akibat dari
perlawanan kelompok –kelompok yang melaksanakan sistim nilai sempit mereka
sendiri.
Proses evolusi dapat berlangsung dengan berbagai macam cara, tidak ada satu
pola umum yang mempengaruhi semua masyarakat secara equal. Masyarakat
tertentu mungkin mendorong terjadinya evolusi, tetapi masyarakat lain justru
tertimpa konflik internal atau menghadapi rintangan lain yang menghalangi atau
bahkan memperburuk proses evolusi.
Secara umum semua teori Parson dianggap pasif dan konservatif. Untuk
menepis semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya, Parson memperlihatkan sisi
dinamis yang berubah-ubah ke dalam teorinya melalui gagasannya tentang media
pertukaran umum di dalam dan di antara empat sistim tindakannya. Media
pertukaran umum itu bisa berujud material maupun simbolik, di antaranya adalah
uang, kekuasaan politik, pengaruh, dan komitmen terhadap nilai. Namun Parson
lebih menekankan pada kualitas simbolik daripada aspek materialnya. Uang sebagai
media pertukaran umum, sangat berperan sebagai medium di dalam perekonomian,
dan juga dalam membangun hubungan sosial sistim kemasyarakatan, termasuk juga
membangun kekuasaan politik melalui sistim politik. Inilah yang memberikan
dinamisme terhadap sebagian besar analisis struktural Parson.
Robert K. Merton merupakan murid dari Talcot Parson, mengembangkan teori
fungsional struktural yang sifatnya menengah atau terbatas dengan basis landasan
teori marxis sehingga ia dikenal sebagai orang yang mendorong teori fungsional
struktural ke arah kiri secara politis. Pokok pikirannnya adalah kritikan terhadap tiga
postulat dasar analisis struktural yang dikembangkan Malinowski dan Radcliffe
Bron.
1. Postulat tentang kesatuan masyarakat. Postulat ini berpendirian bahwa
semua keyakinan dan praktik kultural dan sosial yang sudah baku adalah
fungsional untuk masyarakat sebagai satu kesatuan maupun untuk individu
oleh masyarakat. Pandangan ini secara tersirat menyatakan bahwa berbagai
bagian sistim sosial pasti menunjukkan integrasi yang tinggi. Merton
berpendapat, meski hal itu mungkin benar bagi masyarakat primitif yang
kecil, namun generalisasi tidak dapat diperluas ke tingkat masyarakat yang
lebih luas dan kompleks.
2. Postulat tentang fungsionalisme universal, bahwa seluruh bentuk kultur dan
sosial dan struktur yang sudah baku mempunyai fungsi positif. Merton
menyatakan bahwa postulat ini bertentangan dengan apa yang ditemukannya
17
dalam kehidupan nyata. Yang jelas tidak setiap struktur , adat, gagasan,
kepercayaan, dan sebagainya mempunyai fungsi posotif.
3. Postulat tentang indispensability, bahwa semua aspek masyarakat yang
sudah baku tidak hanya mempunyai fungsi positif, tetapi juga mencerminkan
bagian-bagian yang sangat diperlukan untuk berfungsinya masyarakat
sebagai satu kesatuan. Postulat ini mengarah pada pemikiran bahwa semua
struktur dan fungsi secara fungsional adalah penting untuk masyarakat.
Tidak ada struktur dan fungsi lain manapun yang dapat bekerja sama baiknya
dengan struktur dan fungsi yang kini ada dalam masyarakat. Merton
menyatakan bahwa kita sekurang-kurangnya mengakui adanya berbagai
alternatif struktur dan fungsi yang kita dapatkan di masyarakt.
Tiga postulat di atas menurut Merton merupakan pernyataan non empiris, atau teori
yang sifatnya abstrak. Untuk itulah perlu dilakukan pengujian empiris atas setiap
postulat yang ada. Yang lebih penting menurut Merton bahwa analisis struktural
fungsional memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat, dan
budaya. Dan sasaran kajiannya adalah peran sosial, pola institusional, proses sosial,
pola kultural, emosi yang terpola secara kultural, norma sosial, organisasi kelompok,
struktur sosial, perlengkapan untuk pengendalian sosial, dan sebagainya. Setiap
objek yang dapat dijadikan sasaran analisis struktural fungsional akan mencerminkan
hal yang standar (terpola dan berulang).
Konsep-konsep Merton dalam Sistim Sosial
Para analis pada masa struktural fungsional awal lebih memusatkan perhatian
pada fungsi satu struktur sosial atau pada fungsi satu intitusi sosial tertentu saja, dan
cenderung mencampur adukan motif subjektif individual dengan fungsi struktur atau
institusi. Padahal sebagaimana yang dikemukakan Merton, para analis seharusnya
justru lebih memusatkan pada fungsi sosial daripada motif individual.
Fungsi
adalah konsekwensi-konsekwensi yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi
atau penyesuaian dari sistim tertentu. Tapi kalau hanya memusatkan perhatian pada
adaptasi dan penyesuaian diri tentu akan terjadi bias idiologis, karena adaptasi dan
penyesuaian diri selalu mempunyai akibat positif. Satu faktor sosial dapat
mempunyai akibat negatif terhadap faktor sosial lain. Oleh karena itu dalam
kerangka meralat kelalaian struktural fungsional awal ini, Merton memperkenalkan
sebuah konsep tentang disfunction (disfungsi). Struktur dan fungsi selain dapat
bersifat positif terhadap sistim sosial, namun juga dapat menimbulkan akibat negatif
terhadap sistim sosial. Perbudakan mempunyai akibat positif bagi warga kulit putih
di selatan Amerika karena menghasilkan tenaga kerja murah, menyokong
perekonomian, dan juga status sosial. Tetapi bersifat negatif atau difungsional bagi
masyarakat lainnya yang menjadi korban perbudakan.
18
Selain gagasan tentang disfungsi, Merton juga memperkenalkan gagasan
tentang nonfunctions (non fungsi) yang didefinisikannya sebagai akibat-akibat yang
sama sekali tidak relevan dengan sistim yang sedang diperhatikan. Misalnya saja
bentuk-bentuk sosial yang lama atau pernah ada, yang meski pada masanya dapat
bersifat positif atau negatif bagi masyarakatnya, namun tidak memberikan pengaruh
yang signifikan untuk masyarakat pada masa kini.
Terkait dengan banyaknya akibat yang ditimbulkan antara yang positif
dengan yang negatif dalam kaitannya dengan struktur dan fungsi sosial, Merton
memperkenalkan gagasan tentang net balance (keseimbangan bersih). Kita tidak
akan pernah mampu untuk menimbang mana yang lebih banyak di antara yang
positif atau negatif, karena masalahnya demikian kompleks dan banyak penilaian
yang bersifat subjektif yang melandasinya sehingga tidak mudah untuk dihitung dan
untuk ditimbang. Merton lebih memusatkan pertanyaannya pada yang lebih
fungsional atau lebih disfungsional, meski pertanyaan itu juga masih terlalu luas dan
mengaburkan sejumlah isu. Untuk mangatasi hal ini Merton menambahkan
gagasannya bahwa harus ada level of functional analysis (tingkatan analisis
fungsional). Berbeda dengan teorisasi fungsional pada umumnya yang membatasi
diri untuk menganalisis masyarakat sebagai satu kesatuan, Merton justru
menjelaskan bahwa analisis dapat dilakukan pada unit yang lebih kecil dan terpisah
seperti organisasi, intitusi ataupun kelompok. Jadi tidak harus pada masyarakat
sebagai satu kesatuan. Untuk kasus perbudakan level analisis fungsionalnya bisa
pada keluarga kulit hitam, keluarga kulit putih, organisasi kulit hitam, organisasi
kulit putih, dan seterusnya. Sedangklan dari sudut net balance-nya perbudakan lebih
fungsional bagi unit sosial tertentu, tetapi disfungsional bagi unit sosial lainnya.
Selain itu Merton juga memperkenalkan konsep manifest function (fungsi
nyata) dan latent function (fungsi tersembunyi) yang memberikan tambahan
penting bagi analisis fungsional. Fungsi nyata adalah fungsi yang diharapkan,
sedangkan fungsi tersembunyi adalah fungsi yang tidak diharapkan. Fungsi nyata
dari perbudakan adalah meningkatkan produktifitas ekonomi masyarakat, fungsi
tersembunyinya adalah menyediakan sejumlah besar kelas rendah yang
meningkatkan status kulit putih.
Pemikiran atau konsep lain dari Merton yang terkait dengan masalah ini
adalah unanticipated concequences (akibat yang tidak diharapkan). Setiap
tindakan mempunyai akibat, baik yang diharapkan atau yang tidak diharapkan.
Meski setiap orang menyadari setiap akibat yang diharapkan dari tindakannya,
namun analisis sosiologis perlu dilakukan untuk menemukan akibat yang tidak
diharapkan.
Menurut Merton akibat yang tidak diharapkan tidaklah sama dengan fungsi
yang tersembunyi. Fungsi tersembunyi adalah satu jenis dari akibat yang tidak
diharapkan, satu jenis yang fungsional untuk sitim tertentu. Dua tipe lain dari akibat
yang tidak diharapkan adalah ; a) yang disfungsional untuk sistim tertentu dan ini
terdiri adri disfungsi tersembunyi dan yang tidak relevan dengan sistim yang
19
dipengaruhinya, baik secara fungsional atau disfungsional. b) disfungsional untuk
sistim secara keseluruhan, namun struktur terus bertahan hidup. Misalnya saja sistim
diskriminasi antara kulit putih dan kulit hitam, kaum wanita, kelompok minoritas
adalah disfungsional bagi masyarakat Amerika namun diskriminasi terus bertahan
hidup karena fungsional bagi sebagian sistim fungsional. Diskriminasi terhadap
wanita umumnya fungsional bagi kaum laki-laki, tapi ini bukannya tanpa disfungsi
tertentu, bahkan untuk kelompok yang fungsional sekalipun. Kaum lelaki menderita
akibat diskriminasi mereka terhadap wanita, kaum kulit putih terluka akibat
diskriminasi mereka terhadap kulit hitam.
Berdasar realita ini Merton berpendapat bahwa tidak semua struktur
diperlukan untuk berfungsinya sistim sosial. Beberapa sistim sosial bisa saja
dihilangkan, dan ini membuka jalan bagi perubahan sosial yang penuh makna dan
menghilangkan kecenderungan konservatisisme teori fungsional. Sistim diskriminasi
terhadap berbagai kelompok minoritas dalam masyarakat bisa dilenyapkan, dan ini
tdak akan mengganggu eksistensi masyarakat yang sudah ada.
Kajian Merton lainnya yang menarik dalam perspektif struktural fungsional
adalah tentang hubungan antara kultur, struktur, dan anomie.
 Kultur adalah seperangkat nilai normatif yang terorganisir, yang menentukan
perilaku bersama anggota masyarakat atau anggota kelompok.
 Struktur sosial adalah seperangkat hubungan sosial yang terorganisir, yang
dengan berbagai cara melibatkan anggota masyarakat atau kelompok di
dalamnya.
 Anomie adalah keterputusan hubungan antara norma kultural dan tujuan dengan
kapasitas yang terstruktur secara sosial dari anggota kelompok.
Secara keseluruhan teori struktural fungsional lebih menekankan ada harmoni
dan sinergi dalam masyarakat, sehingga tidak cukup memberikan perhatian pada
masalah konflik di masyarakat dan cenderung tidak memiliki kemampuan untuk
menjelaskan konflik secara efektif.
Referensi
 M. Munandar Soelaeman. 2006. Ilmu Sosial Dasar. Bandung : Refika Aditama.
 Amirin Tatang 1996. Pokok-pokok Teori Sistim. Jakarta : Rajawali Pers.
 Margaret M. Poloma, 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Rajawali Persada.
Kuliah 6 : Intergrasi dan Konflik
Teori konflik sebagiannya berkembang sebagai reaksi terhadap
fungsionalisme struktural dan akibat berbagai kritik yang terjadi. Teori konflik
berasal dari berbagai sumber lain seperti teori Marxis, dan pemikiran konflik sosial
dari Simmel. Pada tahun 1950 an-1960 an teori konflik memberikan alternatif
20
terhadap teori struktural fungsional, tetapi dalam beberapa tahun terakhir telah
digantikan oleh berbagai macam teori Neo-Marxian. Salah satu konstribusi utama
teori konflik adalah meletakkan landasan untuk teori-teori yang lebih memanfaatkan
pemikiran Marx. Masalah mendasar dalam teori konflik adalah teori itu tidak pernah
berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural fungsionalnya, karena teori konflik
memang mengambil teori struktural fungsional sebagai basis pengembangan
teoritisnya khususnya pada aspek struktur dan institusi sosial masyarakat. Teori ini
lebih merupakan sejenis fungsionalisme struktural yang angkuh ketimbang teori
yang benar-benar berpandangan kritis terhadap masyarakatnya.
Meski dalam perspektif basis struktural fungsional yang sama, namun teori
konflik merupakan antitesis dari keseluruhan pandangan struktural fungsional
tentang masyarakat. Dahrendorf (1959) mensejajarkan pendirian teori struktural
fungsional derngan teori konflik .
Dahrendorf menyatakan bahwa masyarakat mempunyai dua wajah yaitu
konflik dan konsensus, karena masyarakat tidak akan pernah ada tanpa konflik dan
konsensus. Oleh karenanya teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian, teoritis
konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat, teoritis konflik harus
menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekuasaan
yang mengikat
masyarakat. Konflik terjadi apabila sebelumnya ada pra kondisi dalam bentuk
integrasi, tapi sebaliknya konflik dapat menimbulkan konsensus dan integrasi.
Meski ada hubungan timbal balik antara konsensus dengan konflik, namun menurut
Dahrendorf sangat mustahil untuk menyatukan dua teori itu dalam bentuk teori yang
tunggal. Untuk itulah Dahrendorf mengembangkan teori konflik masyarakat.
Dalam mengembangkan teorinya ini Dahrendorf menggunakan perspektif
fungsional struktural dalam memandang masyarakat. Dalam perspektif ini sistim
sosial dipersatukan oleh kerjasama sukarela atau oleh konsensus bersama atau oleh
kedua-duanya. Teori konflik mengambil hal yang sebaliknya bahwa masyarakat
disatukan oleh ketidak bebasan yang dipaksakan. Dengan demikian posisi tertentu
di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang
lain. Disini terdapat perbedaan distribusi otoritas. Fakta kehidupan sosial ini
mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi
otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistimatis. Inti tesisnya
adalah gagasan bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas
otoritas yang berbeda. Otoritas tidak terletak di dalam diri individu, tetapi di dalam
posisi. Dahrendorf tidak hanya tertarik pada struktru posisi, tetapi juga pada konflik
antara berbagai struktur posisi itu. Sumber struktur konflik harus dicari di dalam
tatanan peran sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan. Tugas
utama teoritis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam
masyarakat .Jadi dalam hal ini Dahrendorf memusatkan pada struktur yang berskala
luas, sementara yang menentangnya lebih menekankan pada level individu yang
menyangkut ciri-ciri psikologis individu yang menempati posisi itu. Tapi menurut
Dahrendorf kalau memusatkan pada ciri-ciri individu, itu bukanlah sosiologi.
21
Kunci pokok dalam analisis Dahrendorf adalah otoritas melekat pada posisi.
Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi. Mereka yang
menduduki posisi otoritas akan mengendalikan bawahannya, artinya mereka
berkuasa karena harapan dari orang yang ada di sekitar mereka, bukan karena ciriciri psikologis mereka sendiri. Seperti halnya otoritas, harapan juga melekat pada
posisi bukan pada orangnya. Otoritas bukanlah fenomena sosial yang umum, mereka
yang tunduk pada kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol, ditentukan di
dalam masyarakat. Karena otoritas adalah absah, maka sanksi dapat dijatuhkan pada
mereka yang menentang otoritas.
Otoritas tidaklah konstan karena ia terletak pada posisi, bukan di dalam
orangnya. Karena itu seorang yang berwenang dalam suatu lingkungan tertentu harus
memegang posisi otoritas di dalam lingkungan yang lain.Begitu pula bagi seorang
yang berada pada posisi subordinat dalam suatu kelompok, mungkin menempati
posisi superordinat dalam kelompok lain. Hal ini berasal dari argumen Dahrendorf
bahwa masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang ia sebut sebagai asosiasi yang
dikoordinasikan secara imperatif. Masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu yang
dikontrol oleh hirarki posisi otoritas. Karena masyarakat terdiri dari berbagai posisi,
seorang individu dapat menempati posisi otoritas di satu unit, dan menempati posisi
yang subordinat di unit lain.
Otoritas dalam setiap asosiasi bersifat dikotomis, jadi ada dua kelompok
konflik yang dapat terbentuk dalam setiap asosiasi, yakni :
 Kelompok yang memegang posisi otoritas
 Kelompok sub ordinat yang mempunyai kepentingan tertentu yang arah dan
substansinya saling bertentangan.
Dari dua hal yang dikotomis ini ada satu kata kunci lagi dalam konsep
Dahrendorf tentang konflik, yakni kepentingan. Masing-masing kelompok baik
yang berada di atas maupun yang berada di bawah didefinisikan berdasarkan
kepentingan bersama. Kepentingan menurut Dahrendorf meski tampak sebagai
sebuah fenomena psikologis namun pada dasarnya adalah fenomena berskala luas.
Konflik terjadi karena kelompok yang berada pada posisi di atas atau yang dominan
berusaha mempertahankan status quo, sedang yang berada pada posisi subordinasi
berupaya mengadakan perubahan. Ini berarti legitimasi otoritas kelompok yang
berkuasa selalu merasa terancam. Konflik kepentingan ini tidak selalu harus disadari,
tetapi memang merupakan sesuatu yang alami, inilah yang disebut dengan
kepentingan tersembunyi. Sedangkan apabila kepentingan tersembunyi itu memang
benar-benar disadari, maka berubahlah ia menjadi kepentingan yang nyata.
Selain itu Dahrendorf juga menghubungkan antara kelompok, konflik dan
perubahan. Dahrendorf membedakan kelompok menjadi tiga.
1. Kelompok semu, merupakan sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan
yang sama.
22
2. Kelompok kepentingan, merupakan perluasan dari kelompok semu yang
lebih besar.
3. Kelompok Konflik, merupakan intrik yang terjadi di antara kelompok
kepentingan.
Jadi menurut Dahrendorf konsep-konsep dasar dalam menerangkan konflikkonflik yang terjadi di masyarakat adalah berkisar di antara
kepentingan
tersembunyi, kepentingan nyata, kelompok semu, kelompok kepentingan, dan
kelompok konflik. Selain itu bahwa karena keadaan tidak pernah ideal, maka
konflik sosial dalam masyarakat bisa juga terjadi karena kondisi-kondisi teknis yang
ada seperti masalah rekruitmen personil, kondisi politik, kondisi sosial, dan yang
lainnya.
Setelah kelompok konflik muncul, maka kelompok itu segera melakukan
tindakan yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik
itu hebat, perubahan yang terjadi adalah radikal. Bila konflik disertai tindakan
kekerasan, maka akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba.
Referensi
 Margaret M. Poloma, 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Rajawali Persada.
 Nasikun. 1985. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo.
 Giddens, Anthony dkk. 2002. Sejarah Sosiologi Dan Pemikiran
 Philippe Cabin, 2005. Sosiologi : Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. Yogyakarta :
Kreasi Wacana
Kuliah 7 : Menuju Kesatuan Sistim Sosial Indonesia
Indonesia sebagai masyarakat majemuk secara horisontal terdiri dari banyak
etnik, ras, agama, idiologi, dan budaya; dan secara vertikal terdiri dar bebrapa
lapisan atau kelas sosial ekonomi, dan besarnya porsi kekuasaan yang dimiliki oleh
seseorang atau kelompok. Masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang rentan
dengan konflik-konflik sosial. Tetapi semua itu tergantung dari pemahaman dan
pengelolaan konflik dari penguasa negara, termasuk penguasa daerah.
Dalam masyarakat dengan polarisasi sosial yang tajam, yang diwarnai
dengan konflik-konflik yang laten, yang menunjukkan bahwa sistim sosial yang ada
tidak kondusif dan pola integrasi sosial yang menopangnya juga tidak kokoh. Untuk
itu ada tiga konsep integrasi dari setiap sistim sosial yang terdiri dari :
 Integrasi normatif, yaitu suatu ikatan sosial yang terjadi karena adanya suatu
kesepakatan (konsensus) terhadap nilai-nilai dan norma-norma dasar. dari
dimensinya integrasi semacam ini dapat juga dikatakan sebagai integrsi budaya.
 Integrasi fungsional, yaitu suatu ikatan sodial yang didasarkan pada situasi
saling ketergantungan fungsional antara unsur satu dan lainnya. Integrasi ini
lebih berdimensi ekonomi.
 Integrasi koersif, yaitu suatu ikatan yang terjadi karena adanya kekuatan yang
memaksa. Integrasi ini dapat dimasukkan dalam dimensi politik.
23
Ketiga jernis integrasi ini harus ada dan dipertahankan keseimbangannya.
Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk usaha untuk menjaga keseimbangan
antara ketiga sifat integrasi ini merupakan tantangan yang sangat berat, tetapi
mendesak. Apabila keseimbangan ini tidak tercapai, maka bangsa ini akan terjatuh
ke dalam situasi ekstrim, perpecahan nasional.
Referensi
 Sigman, Stuart. 1987. Social Communication. New York: Lexington Books.
 Ashadi Siregar. 1983 Komunikasi Sosial. Fisipol-UGM
 Nurhadiantono, 2004. Konflik-Konflik Sosial Pri Non Pri dan Hukum Keadilan Sosial.
Surakarta : MuhammadiyahUniversity Press.
Kuliah 8 : Kerangka Landasan dalam Memahami Sistim Politik Indonesia
Politik dan kenegaraan merupakan satu kesatuan yang menyangkut sistim
yang mengatur kehidupan bersama dalam satu ikatan politik dalam wadah negara.
Sistim adalah suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang
membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau utuh. Sistim
plitik adalah usaha untuk mengadakan pencarian ke arah runag lingkup yang lebih
luas, realisme, persisi, ketertiban dalam teori politik agar hubungannya yang
terputus antara comparative goverment dengan political theory dapat ditata kembali.
Sistim politik memiliki ciri-ciri yang di antaranya adalah kemampuannya untuk
dibedakan dengan sistim lainnhya, seperti organisme atau individu. Adapaun ciri
lainnya adalah identifikasi, yakni dengan mengidentifikasi unit-unit politik dengan
menggambarkan dan memisahkannya dengan unit-unit lain. Ciri lainnya adalah
input dan out put politik yang adalah proses saling berhubungan dan saling
mempengaruhi antara sistim politik dengan lingkungannya. Sistim politik
mempunyai konsekwensi-konsekwensi
terhadap masyarakat dalam bentuk
keputusan-keputusan otoritatif yang sangat mengikat warganya. Konsekwensi inilah
yang disebbut dengan out put dari sistim politik. Sementara keberlangsungan suatu
sistim politik akan sangat ditentukan oleh keberadaan input sistim politik.
Referensi
 Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia.
 A. Rahman H.I. 2007. Sistim Politik Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu.
 Kantaprawira Rusadi, 2004. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Kuliah 9 : Konstitusi Masyarakat
Konstitusi merupakan hukum dasar untuk pedoman dalam penyelenggaraan
pemerintahan, terdiri dari Undang-Undang Dasar dan Konvensi. Konstitusi
Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang disyahkan sehari setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan
dipilihnya Sukarno dan M. Hatta sebagai presiden dan wakil presiden. Konstitusi
dalam wacana politik dapat dimaksudkan pada dua pengertian , Yaitu : 1) untuk
24
menggambarkan keseluruhan sistim kenegaraan suatu negara, kumpulan peraturanperaturan yang mendasari dan mengatur atau mengarahkan pemerintahan. 2)
kumpulan hukum, institusi, dan adat kebiasaan yang ditarik dari prinsip-prinsip rasio
tertentu...yang membentuk sistim umum, dengan mana masyarakat setuju untuk
diperintah. Konstitusi negara hanya merupakan bagian dari keseluruhan sistim
pemerintahan negara yang biasanya memiliki status lebih tinggi sebagai kenyataan
hukum daripada peraturan-peraturan hukum lainnya dalam sistim ketata negaraan.
Referensi
 Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia
 Inu Kencana Syafei, 2006. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Refika Aditama
Kuliah 10 : Analisis Sistim Politik
Analisis sistim politik mencakup kajian perbandingan mengenai sistim politik
yang berlaku di berbagai negara. Mengingat semakin berkembangnya jumlah negara
dengan idiologi dan sistim pilitiknya, maka kajian ini menjadi sesuatu yang sangat
menarik. Saat ini terdapat lebih dari 180 negara yang menjadi anggota di
perserikatan bangsa-bangsa yang masing-masing memiliki sistim politiknya sendiri.
Studi ini akan membantu kita bagaimana memahami bagaimana bekerjanya suatu
sistim politik, ciri-cirinya, tipe-tipe pemerintahannya yang mungkin stabil, kurang
stabil dan gagal, atau bagaimana suatu masyarakat politik dapat menyelesaikan
persoalannya. Dengan memahami berbagai sistim politik yang ada maka akan dapat
digunakan pendekatan-pendekatan sistim politik yang memungkinkan lebih adaptif
dan kondusif bagi suatu masyarakat.
Referensi
 Sukarna, 1992. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Mandar Maju.
 Mochtar Mas’ud dan Andrew Mac Collin, 2000. Perbandingan Sistim Politik.
Yogyakarta : Gadjah mada University Pers
Kuliah 11 : Kilas Balik Sistim Politik Indonesia
Indonesia sebagai negara baru dalam perjalanan politiknya telah mengalami
berbagai pergantian sistim politik dan pemerintahan. Secara teoritik terdapat
beberapa sistim pemerintahan yang dianut oleh banyak negara di anataranya adalah
sistim pemerintahan parlementer, dimana dalam sistim ini sistim pengawasan
terhadap pemerintahan dilakukan oleh parlemen yang merupakan [perwujudan dari
perwakilan rakyat. yang kedua adalah sistim pemerintahan presidensial yakni
kekuasaan ada di tangan eksekutif atau presiden yang memiliki kewenangan
mengangkat pembantu-pembantunya dalam kabinet. Untuk menjaga keseimbangan
agar kekuasaan presiden tidak menjelma menjadi kekuasaan diktator maka lembaga
legislatif melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dengan hak-hak
khusus yang dimiliki. Ketiga adalah sistim pemerintahan campuran, yakni campuran
25
antara presidensial dengan parlementer. Jadi selain memiliki presiden juga memiliki
perdana menteri sebagai kepala pemerintahan untuk memimpin kabinet yang
bertanggungjawab terhadap perlemen. Keempat sistim pemerintahan diktaktor
proletariat adalah sistim pemerintahan dengan kepartaian tunggal yang
pemerintahannya ditujukan untuk kemakmuran rakyat banyak atau kaum proletar.
Indonesia dalam masa perjalanan politik bangsa setidaknya telah menggunakan dua
sistim politik diantaranya adalah sistim presidensial dan sistim campuran.
Referensi
 Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia.
 A. Rahman H.I. 2007. Sistim Politik Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu.
 Kantaprawira Rusadi, 2004. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Sinar Baru
Algensindo
Kuliah 12 : Perwakilan Politik di Indonesia
Keterwakilan politik di Indonesia dilakukan melalui partai-partai politik yang
representasinya dilakukan melalui pemilu. Partai politik adalah sekelompok manusia
yang terorganisir yang stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan
penguasaan pemerintahan bagi pimpinan partai dan berdasarkan penguasaan ini akan
memberikan manfaat bagi anggota partainya, baik idealisme maupun kekayaan
material serta perkembangan lainnya. Di Indonesia keterwakilan politik berjalan
sesuai dengan sistim politik yang berlaku. Pada masa demokrasi liberal di masa orde
lama terdapat lebih dari 28 partai politik, dan pada masa orde baru anya terdapat 2
partai politik dan 1 golongan karya. Akan tetapi pada masa reformasi sekaranmg ini
terdapat lebih dari 36 partai politik yang mengikuti pemilu. Partai politik adalah
salah satu dari infra struktur politik dari kekuatan-kekuatan politik lainnya yang
tidak dalam bentuk partai politik. Dalam kesertaan terhadap pemilu hanya partai
politiklah yang dapat berpartisipasi sebagai peserta pemilu, sedang kekuatan politik
lainnya lebih pada dukungan yang sifatnya moral. Sistim pemilu pada umumnya
dapat dilakukan dengan sistim distrik ataupun sistim proporsional. Sistim distrik
dilakukan berdasarkan daerah pemilihan, sedang sistim proporsional didasarkan pada
jumlah penduduk yang menjadi peserta pemilih dengan keterwakilan melalui tanda
gambar yang dipilih. Indonesia dalam sistim pemilu yang dilakukan lebih pada
sistim proporsional.
Referensi
 Miriam Budiardjo, 2005. Partai Politik dan Pemilu di Indonesia. Jakarta. Pusat
Studi Hukum Tata Negara FHUI
26
Kuliah 13 : Desentralisasi dan Otonomi
Desentralisasi merupakan penyerahan sebagian kewenangan pemerintahan
pusat terhadap daerah. Sedangkan otonomi adalah kewenangan yang diberikan
pemerintah pusat kepada daerah untuk mengatur pemerintahannya sendiri
berdasarkan undang-undang. Sistem politik Indonesia dewasa ini sedang mengalami
proses demokratisasi yang membawa berbagai frekwensi tidak hanya terhadap
dinamika politik, melainkan juga terhadap dinamika sistem lainnya yang menunjang
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pembangunan
sistem politik yang demokratis tersebut diarahkan agar mampu mempertahankan
keutuhan wilayah Republik Indonesia, dan makin memperkokoh persatuan dan
kesatuan Indonesia yang akan memberikan ruang yang semakin luas bagi
perwujudan keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat
Indonesia. Dan upaya itu salah satunya adalah dengan memberikan otonomi yang
luas kepada daerah melalui pemberlakuan undang-undang nomor 22 tahun 1999.
Konsekwensi dari pemberlakuan otonomi daerah tersebut adalah terjadinya berbagai
perobahan dalam tatanan kehidupan politik di daerah. Keberadaan pemerintah daerah
akan sangat ditentukan oleh keputusan yang lebih demokratis oleh rakyat didaerah.
Demikian pula pelaksanaan pembangunan mulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan, akan sangat ditentukan oleh masyarakat didaerah.
Dalam hal ini posisi dan peran DPRD sebagai lembaga yang mewakili aspirasi dan
kehendak masyarakat menempati posisi yang sangat penting. Lembaga ini harus
mampu menampung dan memperjuangkan menyalurkan aspirasi dan kehendak
masyarakat serta menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan terhadap jalannya
pemerintahan umum secara optimal.
Referensi


Inu kencana Syafei , 2006. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Refika Aditama.
Syaukani HR (et all), 2005. Otonomi daerah Dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Kuliah 14 : Media dalam Sistim Sosial dan Politik Indonesia
Media adalah subsistem dari sistim kemasyarakatan yang ada. Dengan
demikian keberadaan media adalah merupakan bagian yang inherent dalam
kehidupan sosial itu sendiri. Pada dasarnya, manusia adalah mahluk yang
bergantung. Sehingga, tidak bisa hidup secara mandiri dan pasti membutuhkan orang
lain untuk mengatasi kendala yang ada dalam kehidupannya sehingga manusia biasa
disebut sebagai makhluk sosial. Dalam menjalani kehidupan sosial tersebut,
seseorang memerlukan sebuah fasilitas serta cara untuk membantunya
mempermudah dirinya untuk masuk pada ranah sosial tersebut. Interaksi dan
komunikasi, merupakan ungkapan yang kemudian dapat menggambarkan cara serta
komunikasi tersebut. Dikarenakan secara umum interaksi merupakan kegiatan yang
memungkinkan terjadinya sebuah hubungan antara seseorang dengan orang lain,
yang kemudian diaktualisasikan melalui praktek komunikasi. Dua hal tersebut
27
mempunyai hubungan yang terikat sehingga diperlukan sebuah pemetaan untuk
memahami secara mendalam. Interaksi yang terjadi dalam masyarakat memiliki
banyak ranah, di antara ranah interaksi tersebut adalah pada sistim sosial dan sistim
politiknya. Media dalam hal ini menjadi wahana bagi terjalinnnya interkasi dalam
kehidupan sosial dan politik masyarakat.
Referensi




James Currant, 1991. Mass Media and Society. New York : Routladge-Chapmanand
Hall, Inc.
Diskursus Relasi Masyarakat, Bisnis & Media, 2007. Yogyakarta ; FISIP UAY.
Keith Tester, 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Yogyakarta : Jaxtapose dan Tiara
Wacana.
Krisna Sen, 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta : Institut Studi Arus
Informasi dan Media Lintas Inti Nusantara.
Silabi Materi Perkuliahan
Kuliah
Pokok Bahasan
ke
1
Akar sistim sosial dan sistim
politik Indonesia
2&3
Kerangka landasan dalam
memahami sistim sosial
Indonesia (1)
Sub Pokok Bahasan
Referensi
 Pengertian sistim, sistim
sosial, dan sistim
politik.
 Pluralisme kehidupan
sosial dan politik
masyarakat Indonesia.
 Soerjono Soekanto.
1986. Sosiologi
Suatu Pengantar,
Jakarta : Rajawali.
 Ashadi Siregar. 1983
Komunikasi Sosial.
Fisipol-UGM.
 Miriam Budiardjo.
2008. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Jakarta
: Gramedia.
 Struktur majemuk
masyarakat Indonesia
 Saling ketergantungan
dalam masyarakat
 Kesadaran kolektif dan
solidaritas sosial
 Proses sosial dan
stratifikasi sosial
 Tatanan sosial
28



Nasikun. 1985.
Sistem Sosial
Indonesia. Jakarta:
PT Raja Grafindo.
Giddens, Anthony
dkk. 2002. Sejarah
Sosiologi Dan
Pemikiran.
Sigman, Stuart.
1987. Social
Communication.
New York:
Lexington Books
Kerangka landasan dalam
memahami sistim sosial
Indonesia (2)
 Teori sistim
 Teori struktural
fungsional.
 Teori interaksionis
simbolik dan pertukaran
sosial.
 M. Munandar
Soelaeman. 2006.
Ilmu Sosial Dasar.
Bandung : Refika
Aditama.
 Amirin Tatang 1996.
Pokok-pokok Teori
Sistim. Jakarta :
Rajawali Pers.
 Margaret M.
Poloma, 2007.
Sosiologi
Kontemporer.
Jakarta : Rajawali
Persada.
6
Integrasi dan konflik
 Seputar teori konflik
 Integrasi agen dan
struktur
7
Menuju kesatuan sistim
sosial Indonesia
 Solidaritas nasional :
subyektif dan obyektif
 Pluralitas sosial budaya
dan integritas nasional
 Permasalahan suku dan
ras, daerah dan antar
daerah, golongan kaya
 Margaret M.
Poloma, 2007.
Sosiologi
Kontemporer.
Jakarta : Rajawali
Persada.
 Nasikun. 1985.
Sistem Sosial
Indonesia. Jakarta:
PT Raja Grafindo.
 Giddens, Anthony
dkk. 2002. Sejarah
Sosiologi Dan
Pemikiran
 Philippe Cabin,
2005. Sosiologi :
Sejarah dan
Berbagai
Pemikirannya.
Yogyakarta : Kreasi
Wacana.
 Sigman, Stuart.
1987. Social
Communication.
New York:
Lexington Books.
 Ashadi Siregar.
1983 Komunikasi
Sosial. Fisipol-
4&5
29
dan miskin, dan agama
 Rekonsiliasi konflik
dalam Sistem Sosial
Budaya Indonesia.
8
Kerangka landasan dalam
memahami sistim politik
Indonesia
 Pengertian sistim politik
dan kenegaraan
 Masyarakat majemuk
dan konflik identitas
9
Konstitusi masyarakat
 Perubahan, evolusi dan
kekuasaan dalam
masyarakat
10
Analisis sistim politik
 Demokrasi dan Tirani
 Teori Diktator
 Masalah-masalah
Demokrasi
 Sistim Komunisme
11
Kilas Balik Sistim Politik
Indonesia




Demokrasi Pancasila
Demokrasi Liberal
Demokrasi Terpimpin
Reformasi
30
UGM
 Miriam Budiardjo.
2008. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Jakarta
: Gramedia.
 A. Rahman H.I.
2007. Sistim Politik
Indonesia.
Yogyakarta : Graha
Ilmu.
 Kantaprawira
Rusadi, 2004. Sistim
Politik Indonesia.
Bandung : Sinar
Baru Algensindo.
 Miriam Budiardjo.
2008. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Jakarta
: Gramedia
 Sukarna, 1992.
Sistim Politik
Indonesia. Bandung
: Mandar Maju.
 Mochtar Mas’ud
dan Andrew Mac
Collin, 2000.
Perbandingan
Sistim Politik.
Yogyakarta :
Gadjah mada
University Pers.
 Miriam Budiardjo.
2008. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Jakarta
: Gramedia.
 A. Rahman H.I.
2007. Sistim Politik
Indonesia.
Yogyakarta : Graha
Ilmu.
 Kantaprawira
12
Perwakilan Politik di
Indonesia
 Sistem Kepartaian dan
Pemilu

13
Desentralisasi dan Otonomi

14
Media dalam sistim sosial
dan politik Indonesia
 Desentralisasi dan
otonomi daerah dari
masa orde lama hingga
orde reformasi.
 Relasi media dan
kehidupan sosial
masyarakat
 Relasi media dan politik
dalam perspektif sistim




31
Rusadi, 2004.
Sistim Politik
Indonesia. Bandung
: Sinar Baru
Algensindo
Miriam Budiardjo,
2005. Partai Politik
dan Pemilu di
Indonesia. Jakarta.
Pusat Studi Hukum
Tata Negara FHUI.
Inu kencana Syafei ,
2006. Sistim Politik
Indonesia. Bandung
: Refika Aditama.
James Currant,
1991. Mass Media
and Society. New
York : RoutladgeChapmanand Hall,
Inc.
Diskursus Relasi
Masyarakat, Bisnis
& Media, 2007.
Yogyakarta ; FISIP
UAY.
Keith Tester, 2003.
Media, Budaya dan
Moralitas.
Yogyakarta :
Jaxtapose dan Tiara
Wacana.
Krisna Sen, 2001.
Media, Budaya dan
Politik di Indonesia.
Jakarta : Institut
Studi Arus
Informasi dan
Media Lintas Inti
Nusantara.
Daftar Pustaka
1. Ashadi Siregar. 1983 Komunikasi Sosial. Fisipol-UGM
2. Amirin Tatang, 1996. Pokok-pokok Teori Sistim. Jakarta : Rajawali Pers
3. Rahman H.I. 2007. Sistim Politik Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu
4. Giddens, Anthony dkk. 2002. Sejarah Sosiologi Dan Pemikiran.
5. Inu kencana Syafei , 2006. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Refika Aditama
6. James Currant, 1991. Mass Media and Society. New York : Routladge-Chapmanand
Hall, Inc.
7. Kantaprawira Rusadi, 2004. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Sinar Baru Algensindo
8. Krisna Sen, 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta : Institut Studi Arus
Informasi dan Media Lintas Inti Nusantara.
9. Keith Tester, 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Yogyakarta : Jaxtapose dan Tiara
Wacana
10. Diskursus Relasi Masyarakat, Bisnis & Media, 2007. Yogyakarta ; FISIP UAY.
11. Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia.
12. Miriam Budiardjo, 2005. Partai Politik dan Pemilu di Indonesia. Jakarta. Pusat Studi
Hukum Tata Negara FHUI.
13. Mochtar Mas’ud dan Andrew Mac Collin, 2000. Perbandingan Sistim Politik.
Yogyakarta : Gadjah mada University Pers
14. M. Munandar Soelaeman. 2006. Ilmu Sosial Dasar. Bandung : Refika Aditama
15. Margaret M. Poloma, 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Rajawali Persada
16. Nasikun. 1985. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
17. Philippe Cabin, 2005. Sosiologi : Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. Yogyakarta :
Kreasi Wacana
18. Sigman, Stuart. 1987. Social Communication. New York: Lexington Books
19. Sukarna, 1992. Sistim Politik Indonesia. Bandung : Mandar Maju.
Perbaikan silabus
Saya sedikit mengubah yang bagian politik. Perubahan itu mulai kuliah ke 7.
Ini saya sesuaikan dengan kemampuan saya belaka:
Temu
ke
Pokok Bahasan
Sub Pokok Bahasan
1
Akar sistim sosial dan sistim
politik Indonesia
Pluralisme kehidupan
sosial dan politik
masyarakat Indonesia.
Menuju kesatuan
sistim sosial dan politik
32
Referensi
Indonesia
2
Teori Stratifikasi
Fungsional
Kerangka landasan dalam
memahami sistim sosial
Indonesia
Fungsionalisme
struktural dan
Neofungsionalisme
3
Teori konflik
Sistim dalam sistim
kemasyarakatan Indonesia
Teori sistim
4
Integrasi masyarakat menuju
kesatuan sistim sosial (1)
5
Integrasi masyarakat menuju
kesatuan sistim sosial (2)
6
Kerangka landasan dalam
memahami sistim politik
Indonesia
7
Studi tentang kekuasaan
Sistim kemasyarakatn
Indonesia dalam
perspektif teori sistim
Integrasi agen dan
struktur
Strukturalisme,
empirisme, dan kritik
sosial
Teori sistim dan teori
negara
Perubahan, evolusi dan
kekuasaan dalam
masyarakat
 Perspektif ttg
kekuasaan: Bgm
kekuasan
didistribusikan?

8
Tipe dan praktek demokrasi
9
Sistem politik Indonesia
Demokrasi dan nondemokrasi
Elektoral dan
deliberasi
Masa Orde Lama
Masa Orde Baru
10
Pemilu
Masa Reformasi
Institusi dan praktek di
33
12
Perilaku pemilih
13
Aspek kelembagaan
14
Media dalam sistim politik
Indonesia
Indonesia
Tiga model perilaku
politik
Partai, Eksekutif,
Legislatif
Relasi media dan
politik dalam perspektif
sistim
.
34
Download