Surga Menurut Para Mufassir - UIN Sunan Gunung Djati Bandung

advertisement
ABSTRAKSI
Abdul Hamid: Surga Menurut Para Mufassir (Penafsiran Muh. Abduh dan Muh.
Rasyid Ridha terhadap Al-Qur’an Surat al-Baqarah Ayat 25).
Para mufassir berbeda pendapat dalam memahami surga atau jannah
dalam al-Baqarah ayat 25. Ada yang menggambarkan surga secara abstrak ada
pula yan g kongkrit, misalnya Muhammad Abduh menggambarkan surga secara
abstrak sedangkan Rasyid Ridha menggambarkan secara konkrit. Dua penafsiran
yang berbeda ini lahir dari guru dan murid, Abduh adalah gurunya Rasyid Ridha.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penafsiran para mufassir
tentang surga yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 25, metode
penafsiran dan karakteristik tafsir yang diterapkan.
Penelitian ini bertitik tolak dari kerangka berpikir, bahwa penafsiran alQuran bersumber kepada dua sumber, yakni penafsiran yang bersumber kepada
riwayat, dan penafsiran yang bersumber kepada akal atau dirayat. Dua sumber
tersebut digunakan dengan mengacu kepada empat pilihan metode penafsiran,
yakni tafsir tahlili, ijmali, muqarran, dan maudhu'i.Setiap mufassir dalam
menafsirkan al-Quran senantiasa ditentukan oleh coraknya sendiri, yakni corak
fiqhi, ilmi, falsafi, shufi, isyari dan adabi ijtima'i.
Tafsir yang paling ekstrim adalah Muhammad Abduh yang hidup dalam
dunia politik dan filsafat yang sangat mendalam, ia bergaul dekat dengan tokoh
pembaharu Jamaluddin al-Afghani yang dikenal politisi yang hebat dan besar
namanya. Muhammad Abduh banyak belajar filsafat, sehingga ia banyak
menafsirkan al-Quran secara filosofis, ia pun belajar sosiologi, antropologi, tata
negara, logika dan sebagainya, sehingga penafsirannya dipengaruhi oleh ilmunya.
Tafsirnya bercorak Adabi Ijtima'i, metodenya tahlili, sumbernya dirayah atau
ijtihad. Rasyid Ridha meskipun muridnya, ia banyak belajar kepada Ibnu Qayyim
yang bermadzhab syafi’I , sehingga Ridha lebih tradisional dalam menafsirkan alQuran, Dalam menafsirkan jannah, perbedaanya pada pendekatan, Abduh melihat
surga itu bersifat abstrak, sedangkan Ridha bersifat kongkrit. Oleh sebab itu
Abduh kontekstual sedang Abduh tekstual.
Penelitian ini bersumber pada kitab tafsir al-Manar dan kitab lainnya
sebagai sumber data sekunder. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah
book survey dengan pendekata deskriptif. Analisis data digunakan content
analisis, yaitu mengumpulkan data, mengklasifikasi data dan menafsirkan isi data,
Jenis-jenis datanya adala surat al-Baqarah ayat 25, pendapat para mufassir
terutama Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha tentang surga, dan pandangan
ulama tafsir tentang perkembagan metode penafsiran al-Quran.
Bagi Muhammad Abduh dan mufassir yang bercorak filsafat surga bersifat
kongkrit yang mengandung unsur-unsur duniawi, hanya surga bersifat abadi dan
tidak mengenal relativitas, mufassir lain cenderung fiqhiyah, seperti Ibnu Katsir
dan Muhammad Rasyid Ridha, menyatakan bahwa surga adalah sesuatu yang
ghaib, yang keadaannya tidak pernah akan dapat diilustrasikan.
1
KATA PENGANTAR
Tiada yang paling indah dari kalimat yang wajib penulis ungkapkan dalam
pengantar ini kecuali haturan syukur alhamdulilah kepada Allah SWT. yang telah
memberi kekuatan kepada penulis berupa akal dan ilmu pengetahuan serta
kemampuan dan kemauan untuk berpikir. Penelitian ini adalah buah dari rahman
rahiem-Nya yang paling besar bagi kehidupan segenap manusia. Yang kedua
adalah haturan shalawan serta salam untuk junjunan kita Nabi Muhammad saw.
beliau adalah suri tauladan umat manusia yang akhlaknya sangat mulia.
Penelitian tentang penafsiran al-Qur’an sangat penting karena al-Qur’an
tanpa tafsir bagaikan kita hidup meraba-raba di jalan yang gelap. Untuk mengerti
al-Qur’an pertama-tama harus mengerti bahasa Arab, oleh karena itu semua alat
untuk menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur’an berkaitan dengan bahasa Arab.
Akan tetapi, meskipun para mufassir pandai berbahasa Aran ikhtilaf tidak akan
pernah lenyap, penafsiran di antara mufassir selalu saja menimbulkan perbedaan,
dan salah satunya penafsiran Muhammad Abduh dengan Rasyid Ridha. Meskipun
guru dan murid, perbedaan pendapat tidak dapat dihindarkan. Penelitian ini
memberikan gambaran tentang munculnya perbedaan penafsiran antara guru dan
murid atau kyai dan santri mengenai kedudukan surga.
Dengan selesainya penelitian ini penulis menghaturkan terima kasih
kepada pihak-pihak sebagai berikut:
1. Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung;
2. Ketua Lembaga Penelitian UIN Sunan Gunung Djati Bandung;
3. Seluruh Ketua Bidang, terutama bidang penelitian Lembaga Penelitian
UIN Sunan Gunung Djati Bandung;
2
4. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung;
dan
5. Semua pihak yang telah ikut serta membantu penelitiann ini, baik secara
materil maupun moril.
Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua, dan mohon maap jika
hasil penelitian ini masih belum sempurna.
Peneliti
3
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR
1
SURGA MENURUT MUHAMMAD ABDUH DAN MUHAMMAD
RASYID RIDHA
4
A. Pendahuluan
4
B. Identifikasi Masalah
7
C. Pembahasan
7
DAFTAR PUSTAKA
18
4
SURGA MENURUT MUHAMMAD ABDUH DAN MUHAMMAD
RASYID RIDHA
A. Pendahuluan
Dalam al-Qur'an Surat al-Baqarah ayat 25 yang berbunyi:
$%& !"# ☺
3
./012
,$'(*+,
☺89: 02647 241
,0☺A 3 >?@ ;<=
⌧FG
#
D
@1;C=
H'I 3 1 ;<= .
2 NO4 L+ M K&
T*1;&
2RS
PA2#
2RS
'(G
V0W2XY
\] ^ Z9 [
Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan
berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga yang mengalir sungai-sungai
di dalamnya. Setiap mereka diberi buah-buahan yang di dalam surga itu, mereka
berkata: “ini semua pernah diberikan kepada kami dulu. Mereka diberi buahbuahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan
mereka kekal di dalamnya.
Al-Qur'an merangkai sifat-sifat surga dan keadaan tersebut. Demikian pula
al-Qur'an menerangkan sifat-sifat neraka sebagaimana dalam surat al-Furqan ayat:
12 yang berbunyi sebagai berikut:
b%c$
*+,
3a
(21&=
e⌧f
_ `
NdFM
\h]^ g0S; g9YFP
5
Apabila mereka itu melihat neraka dari tempat yang jauh, mereka
mendengar kegeramannya dan suara menyala-nyala.
Zahir ayat di atas menunjukkan bahwa mereka itu dapat melihat, dan ini
mungkin terjadi dengan kekuasaan Allah. atau ayat ini menggambarkan
bagaimana dasyat dan seramnya neraka itu agar setiap orang dapat
menggambarkannya. Gambaran surga dengan ilustrasi duniawi, sebagaimana
adanya buah-buahan, perempuan yang sangat cantik, madu yang sangat lezat dan
kolam susu yang tak akan pernah habis disantap oleh penghuni surga.
Akan tetapi, untuk menegaskan sifat surga Allah SWT. merangkai sifatsifatnya yang berbeda dengan unsur-unsur duniawi sebagaimana di dalam Surat
al-Sajdah ayat: 17 yang berbunyi:
lm[K& $ Tk1e6 (j i⌧S
&nop&
6⌧r
k0
3a
☺ M
*+,
q.-
\ht^ %☺s
Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka itu
yakni (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai
balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.
Dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah R.A. berbunyi:
Dari Abi Hurairah R.A ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda Allah
berfirman: Aku Janjikan untuk hamba-hamba-Ku yang shalih apa yang
didalamnya belum pernah mata melihatnya, belum pernah telinga mendengarnya,
dan belum pernah terlintas dalam hati manusia.
6
Surga adalah tempat yang luar biasa, manusia pun tidak akan mampu
membayangkannya, karena berbeda dengan segala hal yang indah dan nikmat di
dunia ini.Akan tetapi, gambaran surga itu adalah gambaran materi, sehingga
berbagai penafsiran keberadaan surga berbeda-beda ada yang mengatakan ia
adalah bersifat rusak, adapula yang mengatakan bersifat abadi Muhamad Abduh
berpendapat bahwa, jika ada yang menemukan kesulitan untuk menjelaskan kabar
gaib menurut teksnya, dan menggunakan pikiran untuk menakwilkannya dengan
landasan dalil yang kuat, disamping harus tetap mempercayai adanya hari akhir,
adanya pahala dan siksa, asalkan takwilnya tidak mengurangi nilai kemampuan
syariat untuk dijalankan oleh masyarakat, maka ia adalah mukmin sejati.
Walaupun tidak baik mengambil teladan kepadanya dalam takwil penafsirannya.
Muhamad Abduh ketika mengartikan surga dalam surat al-Baqarah ayat 25
ia menggambarkannya secara abstrak. la menegaskan bahwa surga adalah tempat
bagi orang-orang yang bertaqwa, sedangkan neraka adalah bagi orang-orang yang
berbuat fasik. Manusia beriman bahwa, keduanya ada dan tidak akan mampu
membahas tentang hakikat keduanya, karena alam ghaib tidak bisa diqiaskan
kepada kepada alam dunia. ( Rasyid Ridha, t.t.: 232). Gambaran marterial tentang
surga hanya untuk memudahkan manusia tertarik kepada ajaran-ajaran Allah,
bukan menunjukan hakekat yang sebenarnya hanya Allah yang mengetahui-Nya.
Rasyid Ridla, murid dan pengikut Muhammad Abduh, berbeda pendapat
dengan gurunya sendiri jika Muhammad Abduh menggambarkan Surga dengan
sesuatu yang immateri! ( bukan materi ) sedangkan Rasyid Ridla sebaliknya, ia
menggambarkan Surga secara konkrit. Ia mengatakan : Jika di dalam ayat al-
7
Quran hanya menceritakan Surga, maka manusia wajib menerimanya tidak boleh
mencari jalan untuk memalingkannya. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa Surga
digambarkan oleh al-Quran bersifat material,maka begitulah adanya.Diadalam
Surga terdapat pohon yang berbuah , istri yang suci,sungai yang mengalir. Semua
itu adalah gambaran Surga yang konkrit yang dikiaskan kepada alam nyata
meskipun Surga merupakan alam ghaib.
B. Identifikasi Masalah
Beberapa mufassir yang memiliki pemahaman berbeda tentang surga
adalah sebagai berikut:
1. Muhammad Abduh menafsirkan surga dengan pandangannya yang
abstrak, ia berpendapat bahwa surga tidak terbayangkan oleh manusia di
dunia, oleh sebab itu gambaran duniawi tentang surga bukan yang
sebenarnya;
2. Muhammad Rasyiod Ridha mengatakan bahwa surga itu kongkrit,
sebagaimana gambaran dalam al-Qur’an.
Dengan penafsiran yang berbeda tersebut, penelitian ini cukup menarik
untuk dilanjutkan, karena akan menambah wawasan keilmuan di bidang ilmu
tafsir.
C. Pembahasan
Muhammad Abduh dalam menafsirkan Jannah dalam ayat 25 surat alBaqarah, lebih cenderung menggambarkan dengan sifat-sifat yang bukan
8
sebagaimana dilihat di dunia ini. ia lebih menitik beratkan pada segi kejiwaan dari
gambaran menurut lahiriyah ayat.
Ia mengatakan: Di banyak tempat, lafadz jannah selalu berdampingan
dengan lafadz Nar. Jannah menurut bahasa adalah kebun, tetapi yang dimaksud
oleh ayat itu bukan maksud menurut bahasa saja, melainkan keduanya merupakan
tempat yang kekal di alam akhirat.
Jannah adalah tempat bagi orang-orang yang berbuat baik dan bertaqwa.
Sedangkan neraka adalah tempat bagi orang-orang yang durhaka dan orang-orang
yang fasiq. Kita percaya keduanya termasuk alam ghaib dan tidak bisa membatas
hakikat keduanya karena alam ghaib tidak bisa dikiaskan kepada alam Syahadah.
(Rasyid Ridha, I, t.t. :232). Apakah Nar al-Ni'mah dinamakan Jannah hanyalah
perumpamaan ? Kernudian diceritakan tentang sungai-sungai yang mengalir
didalamnya, karena di dunia ini kebun-kebun biasa dialiri sungai, ataukah
dinamakan Jannah tersebut karena mencakup semua kebun ? yaitu nama untuk
keseluruhan dengan nama untuk sebagian. Hanya Allah yang mengctahui maksud
firman-Nya. ( Rasyid Ridha, l,t.t.:232).
Yang mengetahui hakikat Jannah hanyalah Allah. Manusia tidak bisa
mengetahuinya secara pasti. Walaupun ayat itu menggambarkan dengan gambaran
dunia, tetapi Jannah bukan dunia, Sudah semestinya kita melupakan dunia ketika
kita akan menerangkan Jannah. Kalau tidak, kita akan terjerumus pada kesalahan.
Ketika Abduh menafsirkan lafadz "Kullama ruziqu minha min tsamaratin"
, ia mengatakan: tujuan makan di dunia untuk menjaga badan dari kerusakan,
Oleh karena itu makan dan minum di akhirat adalah untuk tujuan lain atau untuk
9
kelezatan yang tidak kita ketahui, karena di alam ghaib. Kita hanya percaya
kepada Allah dan yakin bahwa kelezatan di akhirat lebih dari kelezatan di dunia.
Rizki tersebut adalah wujud janji, sebagai pahala atas perbuatan baiknya.
Ketika mereka di beri rizki, mereka menyebut janji Allah sebagai tanda terima
kasih daripada-Nya karena telah memberi petunjuk untuk beramal yang dijanjikan
dengan pahala itu. Itu menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara yang
dijanjikan dengan yang diberi janji. Seolah-olah amal itulah wujud pahala.
Ahli surga akan makan dan minum rizki sebagai pahala bagi perbuatan
baiknya sewaktu di dunia. Makan dan minum di surga beda dengan di dunia baik
cara ataupun tujuannya, karena di surga tanpa makanpun lidak akan hancur.
Muhammad Abduh mengatakan bahwa makanan di surga itu seolah-olah amal
baiknya sewaktu di dunia.
Selanjutnya
ketika
menafsirkan
lafadz
"Wa
lahum
Fiiha
Azwajun Muthahharatun", Abduh mengatakan: bergaul dengan isteri-isteri
di akhirat keadaannya sama dengan hal-hal ghaib lainnya. Kita beriman kepada
apa yang diperintahkan Allah, tidak menambah dan tidak menguranginya
dan
jangan membahas tentang cara-caranya. Kita tahu secara umum bahwa
kehidupan akhirat lebih berharga dan lebih tinggi daripada kehidupan di dunia.
Hikmah mengambil kenikmatan dengan isteri adalah keturunan, sedangkan di
akhirat tidak ada keturunan.Oleh karena itu kelezatan bergaul dengan isteri di
akhirat lebih tinggi.
Kemudian ketika menafsirkan lafadz "Wa hum fiha Khaalidun", ia
mengatakan al-khulud menurut syara adalah kekal abadi, yakni tidak akan keluar
10
darinyadan juga tidak akan rusak, kemudian merekaturun dari surga karena
surganya rusak. Kehidupan di surga adalah kehidupan yang kekal abadi dan tidak
akan berakhir.
Muhammad Abduh membagi alam ini kepada dua, yaitu alam ghaib dan
alam syahadah. Yang dimaksud alam ghaib ialah kehidupan di akhirat dan bukan
hal-hal yang tidak dapat di indera, seperti Tuhan, Malaikat dan yang lainnya.
Pembagiaan ini erat hubungannya dengan hakikat manusia yang
menurutnya, tersusun dari unsur tubuh dan unsur jiwa. Oleh karena itu termasuk
dalam dua alam yang berbeda, yaitu alam nyata dan alam ghaib. Jiwa manusia
akan kekal dan tetap akan ada, tidak akan hancur sesudah terpisah dari tubuh. Jiwa
manusia akan terus hidup kekal di alam ghaib.
Akal manusia tidak akan sama tentang mengetahui persoalan adanya hidup
sesudah mati. Mungkin sedikit sekali orang yang dapat memahami hal itu, yaitu
orang-orang yang di istimewakan Allah dengan kesempurnaan akal dan nur
cahaya hati.
Di antara keadaan-keadaan yang berlaku pada kehidupan akhirat itu ada
yang sama sekali tidak mungkin bagi akal manusia sendirinya untuk
mengetahuinya, seperti hainya berbagai kelezatan, pedihnya siksaan dan lain
sebagainya.
Salah satu hal yang masih dipermasalahkan, yaitu apakah yang akan
merasakan kelezatan pahala dan kepedihan siksa itu ruh saja ataukah jasmani
saja? apakah ruh dan jasmani secara bersamaan? Dalam hal ini para Ulama dan
para filosof terbagi kepada lima golongan :
11
1. Kelompok yang berpendapat bahwa yang akan menerima kelezatan pahala
dan kepedihan siksa adalah jasmani saja
2. Kelompok yang berpendapat hahwa yang akan merasakan kelezatan
pahala dan kepedihan siksa hanyalah ruh.
Kelompok ini kebanyakan
para ahli filsafat ketuhanan yang berpendapat
mannsia
itu
bahwa sesungguhnya
hakikatnya adalah jiwa, sedangkan badan hanya sebagai
alat.
3. Kelompok yang mengatakan bahwa yang akan merasakan kelezatan
pahala dan kepedihan siksa itu adalah jasmani dan ruhani bersamaan. Ini
adalah pendapat kebanyakan umat Islam.
4. Kelompok yang meniadakan pahala dan siksa, baik bagi jasmani dan
ruhani bersamaan. Mznurul mereka, jika mannsia itu mati, maka ruhnya
akan hilang.
5. Kelompok yang meragukan adanya kelangsungan jiwa setelah berpisah
dari jasadnya.
Muhammad Abduh jalan pikirannya setaraf dengan para filosof. Bahkan
tidak mustahil jika ia berpendapat bahwa yang akan menerima kelezatan pahala
dan kepedihan siksa itu hanya ruh saja. Hal itu secara lebih jelas jika kita meliha
penafsirannya terhadap ayat-ayat tentang kebangkitan dalam tafsir al-Mannar, ia
selalu menafsirkannya dengan tafsiran lain. Sebagai contoh penafsirannya
terhadap beberapa ayat berikut ini :
1. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 56:
12
dM
vwa
%0cpOjH
(cuM
'(9I8#
k(A
'(c'
\
^
Yang dimaksud dengan kebangkitan pada ayat di atas adalah diperbanyak
keturunannya. Tegasnya, setelah mereka mati oleh petir atau yang lainnya dan
mengira akan mematikan semuanya, Allah memberikan keturunan mereka,
supaya mereka kembali mensyukliri nikmat Allah yang telah dirasakan oleh
keruhun, tetapi mereka di siksa oieh karena mengingkari nikmat tersebut.
2. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 259:
| j{FG L\=Ps yl8z& x
2' dM
Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri Ini setelah
hancur?" Mereka tidak sadarkan diri dalam beberapa waktu yang lama. Mereka
telah kehilangan kekuasaan, gera dan ingatan, tanpa berpisah antara ruh dan
jasadnya. Begitulah yang telah terjadi pada Ashshab al-Kahfi.
3. Firman Allah dalam surat al-An'am ayat 36:
(}?g'Ns
%-'0s
ylx'☺1#
+1F# `
k(A
!
|
\/^
Yang dimaksud mati dalam ayat ini adalah mati hati. Mereka tidak
mendengar seruan Allah. Allah akan mengeluarkan mereka dan akan
13
menggiringnya ke tempat pcrhitungan, kemudian malaikat akan mcngembalikan
mereka untuk mendapat balasan.
Muhammad Abduh membagi wahyu kepada tiga bagian :
1. Wahyu yang ditujukan kepada kaum-kaum Khawas
serta kaum
awam, dan merupakan sebagian besar dari ayal-ayai al-Qur 'an.
2. Wahyu yang hanya dilujukati kepada kaum awam dan jumlahnya
sedikit.
3. Wahyu yang dilujukan kepada kaum khawas
dan wahyu serupa
inilah yang paling sedikit Jumlahnya.
Penjelasan suatu masalah terkadang terdapat pada ayat yang ditujukan
kepada kaum khawas dan kaum awam secara bersamaan dan terdapat pula pada
ayat yang ditujukan kepada kaum khawas, seperti penjelasan tentang sifat-sifat
surga. Di beberapa tempat surga digambarkan dengan sifat konkrit, seperti pada
ayat 25 surat al-Baqarah. dan di tempat lain digambarkan dengan gambaran yang
bukan sebagaimana yang dapat dilihat di dunia, yaitu pada surat al-Sajdah ayat 17
yang berbunyi :
lm[K& $ Tk1e6 (j i⌧S
&nop&
6⌧r
k0
3a
☺ M
*+,
q.-
\ht^ %☺s
Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah
dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.
14
Oleh karena itu Muhammad Abduh kelihatannya lebih mengambil makna
kandungan ayat 17 surat al-Sajdah, daripada mengambil makna lahiriah ayat 25
surat al-Baqarah.
Penggambaran masalah kehidupan di akhirat digambarkan dengan
gambaran yang sebagaimana dapat dilihat di dunia ini, menurut Abduh adalah
supaya lebih berkesan kepada jiwa yang sederhana umat Islam, juga Yahudi dan
kristen yang sudah berpikiran jauh apokaliptis (pewahyuan) daripada jika
menjelaskan rahasia kerajaan ruhani secara psichologis dan metapisis semata.
Begitulah gambaran Jannah yang digambarkan oleh Abduh tak ubahnya
seperti orang mimpi mendapatkan kenikmatan sewaktu tidurnya. la mimpi makan
buah-buahan atau bersenang-senang dcngan isteri yang cantik disuatu tempat yang
belum pernah ia datangi. padahal jasadnya berada di tempat tidur. Bedanya kalau
mimpi bisa berakhir jika kita bangun dari tidur sedangkan di surga bersifat kekal
abadi.
Walaupun pada dasarnya antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
sama-sama mengakui tidak ada yang mengetahui hakikat surga serta keadaankeadaannya kecuali Allah, namun Rasyid Ridha dalam penafsiranya terhadap ayat
25 surat al-Baqarah, lebih cendrung menggambarkan surga dengan gambaran
sebagaimana digambarkan oleh lahiriyah ayat tersebut.
Ia lebih cenderung
menggambarkannya dengan gambaran kongkret.
Ia mengatakan bahwa jika pada ayat ini hanya diceritakan tentang jannah,
maka kita wajib menerimanya, dan tidak boleh mencari-cari tafsiran lain. Dalam
ayat lain diceritakan tentang macam-macam pohon yang berbuah dan buah-
15
buahan. Itu menunjukan adanya persamaan antara alam gaib dan alam syahadah
dalam segala bentuknya.
Apakah engkau tidak melihat dan memikirkan bagairnana Tuhanmu
meceritakan ahli surga? setiap mereka diberi buah-buahan, mereka mengatakan: "
ini yang telah kami diberi rizkl sebelum ini!". Mereka diberi rizki yang serupa,
artinya mereka diberi buah-buahan akhirat yang serupa dengan buah-buahan
dunia, yaitu serupa pada warna, bentuk dan wangi, namun lebih dalain rasa dan
kelezatannya.
Penjelasan di atas, kelihatan mempersamakan keadaan di surga dengan di
dunia dalam segi keberadaannya yang bersipat materi, hanya saja keadaan di
surga lebih tinggi dan lebih sempurna nilainya.
Ketika menafsirkan lafazh " Wa lahum fiha azwajun muthahharah", ia
mengatakan: kalimat itu lebih menegaskan kesucian dan kebersihan mereka.
Mereka bersih dari kotoran jasmani sekalipun yang menjadi kebiasaan mereka
sewaktu di dunia seperti haid dan nifas. Merekajuga bersih dari kotoranjiwa
seperti tipu daya, berbohong dan semua akhlak jelek, karena mereka selalu
mensucikan did dari setiap kotoran. Perempuan di surga adalah perempuan
mu'min yang shalih. Dalam al-Qur'an mereka dikenal dengan nur al-ain. di surga
itu bersih dari kotoran jasmani, itu mengisyaratkan bahwa wanita ahli surga itu
sama dengan wanita dunia yaitu terdiri dari ruh dan jasad. jika penduduknya
terdiri dari materi, berarti surga yang didiaminya juga bersifat materi seperti
dunia.
16
Selanjutnya di akhir penjelasan ayat, Rasyid Ridha mengatakan: Begitulah
kesimpulan
penafsiran
Abduh
dalam
mengimani
alam
gaib.
Tidak
mengkiaskannya kepada alam syahadah, tidak berarti meniadakan keadaan
manusia di alam akhirat berupa manusia seperti di dunia, tapi jati diri manusia di
akhirat lebih sempurna dibanding dcngan manusia di dunia.
Kita percaya di surga ada makanan, minuman, bcrgaul dengan istri-istri
sebagaimana ditetapkan juga dalam hadits shahih, bahwa ahli surga itu suka
makan minum, tidak meludah, tidak kencing, tidak buang air besar dan tidak
beringus. Para shahabat bertanya, kalau begitu, apa makanan mereka? Rasul
menjawab: Air scperti air miski, mereka melafadkan tahmid dan tasbih,
sebagaimana kebiasaan jiwa. Diriwayatkan dalam hadits shahih, bahwa bagi tiap
laki-laki di surga disediakan dua istri. Yang satu dari wanita dunia dan satu lagi
wanita surga.
Rasyid Ridha dalam menggambarkan surga dengan gambaran materil itu,
selain mengambil lahiriyah ay at dan hadits, juga berangkat dari keyakinan bahwa
yang akan mendapatkan balasan pahala atau siksa di akhirat itu adalah ruh dan
jasad secara bersamaan. Kalau yang menerima balasan pahala atau siksa itu ruh
dan jasad, maka jelas surga atau nerakapun berupa materi.
Ia mengatakan: “Yang akan mendapatkan balasan di akhirat adalah ruh
dan jasad secara bersamaan. Kehidupan di dunia ini adalah simpangan untuk
kehidupan akhirat. Hidup adalah karena bersatunya jiwa dan raga, sedangkan mati
adalah berpisahnya jiwa dari badan. Pada hari kebangkitan nanti, jiwa yang
tadinya bersama badan, dengan sendirinya akan menyatu kembali. Apabila jiwa
17
telah bersatu dengan badan, keduanya akan menerima pahala atau siksa sesuai
dengan yang dilakukan jiwa dan badan di dunia ini secara bersamaan.
Badan akan merasakan kelezatan pengindraan, dan ruh akan merasakan
kebahagiaan. Akal mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa adalah mengenal dan
mencintai Allah. Sedangkan kebahagiaan badan adalh kelezatan pengindraan.
Kedua kebahagiaan tersebul di dunia ini tidak mungkin tercapai, karena manusia
dalam mencapai nur alam ghaib, tidak bisa melepaskan dari kelezatan dunia.
Ketika sedang merasakan kelezatan dunia ia tidak sanggup melihat kelezatan
ruhani, karena di dunia ini ruh merasa lemah. Apabila ruh telah berpisah dengan
badan dan lama diam di alam qudus dan suci, ruh itu akan kuat dan sempurna.
Bila ia kembali kepada badan pada hari kebangkitan ia akan kuat dan bisa bersatu
untuk mendapatkan kelezatan jasmani dan ruhani secara bersamaan.
Lebih jelas lagi ketika ia menafsirkan ayat 15 surat Ali 'Imran, ia
mengatakan: Allah menyediakan pahala bagi orang yang bertaqwa dua bagian.
Sebagian berupa jasmaniyah nafsiah yaitu surga dan segala isinya yang baik-baik
dan istri-istri yang suci yaitu gadis remaja dunia yang telah dijanjikan Allah.
Sebagian lagi berupa pahala ruhanlyah aqliyah yaitu ridha Allah.
Manusia berbeda-beda tingkatannya dalm memahami hal-hal ghaib.
Sebagian ada yang sulit memahaminya, sebagian lagi ada yang mudah. Orang
semakin mampu memahami hal-hal spiritual (non materi) akan semakin sedikit
ketergantungannya kepada materi.
Oleh karena itu apa yang dipahami oleh orang yang punya tingkat
pemahaman tinggi, tidak dapat dipahamkan kepada orang yang tingkat
18
pemahamannya rendah. Apabila dipaksakan, mereka akan memberikan tanggapan
yang bertentangan dengan kesimpulan yang sebenarnya.
Mengingat adanya perbedaan yang besar dalam memahami yang ghaib,
dan mengingat bahaya yang mungkin terjadi ketika ajaran yang tinggi
disampaikan,
maka
al-Qufan
mengemukakan
ajaran-ajaraimya
dengan
penyampaian sederhana scsuai dengan kemampuan kebanyakan orang, dan ia
berbicara dengan menggunakan bahasa yang dapat mereka pahami.
Berdasarkan pemyataan di atas, maka Rasyid Ridha dalam menafsirkan
jannah, ia menggambarkan dengan gambaran sebagaimana digambarkan oleh
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Mahmud al-Aqad
1986
Filsafai al-Qur'an:Filsafai Spiritual dan sosial dalam Isyarat al-
Qur'un, Pustaka.Firdaus, Jakarta.
Abi Su'ud bin Muhammad al-Amadi
t.t.
Irsyad al-Aqlu al-Salim ala Mazaya al-Kitab al-Karim, Jld. J,
Maktabah Riyadh al-Hadits, Riyadh.
Abi al-A'Ia Muhammad bin Abd al-Rahman al- Kafuri,
1979
Tuhfat al-Ahwadzi hi Syarhi Jami' al-Tirmitdi, jld. VII, Cel. II, Dar
al-Fikr.
Ahmad Daudi
1983
Allah dan Manusia Dalam Konsepsi Syaikh Nuruddin al-Raniri,
Rajawali, Jakarta.
19
Ahmad Amin
1979
Al-Syaikh Muhammad A bduh Zu 'ama al-Ishlah fi Ashr al-
hadits,Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah. Kairo.
Ahmad Hanafi
1969
Pengantar Fihajat Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Ahmad Musthafa al-Maraghi
I 961 Tafsir al-Maraghi, Jld. I, al-Bab al-l lalabi, Mesir. Abd al-Majid
Abd al-Salam al-Muhtasib
1973
Itiijahat al-Tafasir 'Ashr al-Hadits, Daral-Fikir, Bairut.
Al-Syaikh Hasan al-Bana
1 983 Muqaddamah fi al-Tafair Ma 'a al-tajsir al-Fatihah Wa Awwal
Surat al-Baqarah, Trj. Mu'amal Hamadi, Get. II, Bina Ilmu, Surabaya.
Syaikh
t.t.
Rasyid
Ridha
al-lmam
al-Mujlahid,
al-Muassasah al-
Misriyah
al-Ammah. Sayyid Mahmud al-Alusi,
t.t.
Tafsir Ruh al-Ma'ani, Shaba'ah al-muniriyah,Bairut, Libanon.
al-Farmawi
t.t
Al—Bidayah fi al-Tafsir al—Qur'an. Dar al-Fikr, Beirut.
Al-Imam Muhammad Fahr al-Din. al-Razi
1985
Tqfsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, Jld. 1. XV. Dar al-Fikr,
Beirut, Libanon.
Harun Nasution, Ed.,
20
1987 Ensiklopedia Islam, Jld. Ill, Departemen Agama Republik Indonesia.
1987
Muhammad Abduh dan Teologi Rational Mu'tazilah, Universitas
Indonesia, Press Jakarta.
1975 Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan Bulan
Bintang, Jakarta.
1982
Gerakan Islam Moderen di Indonesia 1900-1942 LP3FS, Jakarta.
1979
Tofsir al-Azhar, Jld. 1, Get. V, Pustaka Panjimas, Jakarta.
Hamka
Husen Abu al-Farhah
1981
Al-Futuhat al-Rabbaniyah ft alTafsir al-Maudhu’i li al-Ayat
al-Qur'anniyah, Jld. II, Get. II. Daral-Risalah, Al-Qahirah.
H.M. Rasyidi
1983
Filsafat Agama, Bulan Bintang Jakarta.
Ibnu al-Mundur
t.t.
Lisanul-Arah, Jld. XIII, Dar al-Fikr, Mesir.
Ibrahim Madkur
1119 H.
Fi Falsafah al-Islamiyah, Dar al-Ma'arif.
Isma'il Haqi al-Baruswy
t.t.
Tafsir Ruh al-Bayan, Jld. 1. Dar al-Fikr.
Imam al- Bukhari
t.t.
Al-Jami' al-Shahih
al-Bukhari,
Ma'arif. Bandung, Indonesia.
Imam al-Ghazali
21
Jilid.
I.
II,
Syirkah
al-
1933
Jawahir al-Qur'an, al-Rahmaniyah, Kalro, Mesir.
t.t.
Ihya 'Ulumal-Din, Jld. I, Mesir.
1985
Jawahir al-Qur'an, Trj. Saifullah Muhyiddin, Rajawali, Jakarta.
Imam Nawawi
1981
Shahih Muslim Bi Syarhi til-Nawawi, Jld. XVIII,
Daral-Fikr.
Beirut.
Imad al-Ain Abi al-Fida Isma'il bin Katsir,
t.t, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, JJd. I, Syikat al-Nur Asia.
John J . dan John L. Donohue
1989
Esposito; Islam danpembaharuan , Trj. Mahmud Husen, Rajawali,
Jakarta.
Louis Ma'luf
1986
Munjid fi al-Lughah wa al-llmi, Xl-Maktabah al-Syariqah, Bairut,
Libanon.
Muhammad Abduh
1366
Risalat al-Tctuhid, Dar al-Mannar, Kairo.
1979
Risalat al-Tauhid, Trj. Firdaus A. N. , Cel. VII, Bulan Bintang,
Jakarta Abur.Abd al-Ghani,
1977
Allah Wa al-lnsan al-Ma'ashir,Dw al-Fikr al-'Arabi,
Charles C. Adams.
1933
Islam and Modernism in Egypt, University Press, London.
Muhammad Husen al-Dzahabi
22
1966
Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jld. I, II, Get. II, Dar al-Kutub al-
Hadits.
Miftah dan Agus Sihabuddin Farid
1989 Al-Quran Sumber Hukuni Islam Yang Pertama, Pustaka, Bandung.
Muhammad Basuni Faudah
1987
Tafsir
al-Qur 'an;
Perkenalan
Dengan
Metodologi
Tafsir,
Trj. Mochtar Zoorni dan Abdul Qadir Hamid, Get. I, Pustaka, Bandung.
Muhammad Abd al-Mun'in ai-Jamal
t.t.
Tafsir al-Farid Li al-Qur'an al-Majid, Jld. I, Dar al-Kitab al-Jadid.
Mesir Muni' Abd al-Halim Mahmud,
t.t.
Manahij cil-Mufassirin, Dar al-Maktabah, Bairut.
Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi,
1957 Mahasin al-Ta'wil, Jld. 1, Get. I, Isaal-Bab al-Halabi, Kairo.
Nasruddin Razak
1982
Dien al-lslam, al-Ma'arif, Bandung.
Nizam al-Din a!-Hasan bin Muhammad bin al-Husen al-Qami
1962
Gharib al-Qur’an wa Ragha’ib al-Furqan, al-Babi al-Halabi al-
Qahirah.
Philip K. Hitti,
1971
History of The Arabs, The Macmillan Press, London.
Poespoprojo
1986
Fisafati Moral, Remaja Karya, Bandung.
Syaikh Thanthawi Jauhari
23
t.t.
Al-Jawahirfi Tafsir at-Qitr'an. Jld. I, Dar al-Ulum.
Soenarjo dkk
1971
Al-Qur'an dan Terjemahnya, Yayasan penyelenggara Penterjemah,
Depag RI., Jakarta.
Sulaiman Dunia
1966
Tahaful al-Falasifah Li al-Gazali, Dar al-Ma'arif, Mesir.
1119
Al-llaqlqah fi Nadhar al-Gajali, Dar al-Ma'arif.
1955 Al-Syaik Muhammad Abduh Baina al-Falasifah wa al-Amiyyah,alBab al-Halabi, Mesir.
24
Download