M. tuberculosis

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Mycobacterium tuberculosis
Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) merupakan bakteri nonmotil
penyebab tuberkulosis pada manusia. Bakteri ini berbentuk batang sehingga
disebut juga dengan Bacillus tuberculosis (Gambar 2.1). Berdasarkan struktur
dinding selnya yang mengandung peptidoglikan tebal, M. tuberculosis
diklasifikasikan ke dalam bakteri gram positif. Bakteri bersifat aerob obligatif
sehingga kompleks M. tuberculosis selalu ditemukan di lobus paru bagian atas
yang memiliki sirkulasi udara yang baik (Todar, 2008). Pada manusia, bakteri
dapat mengalami fase dorman atau laten. Laju replikasi yang lambat dan
kemampuan untuk bertahan dalam keadaan laten mengakibatkan infeksi
tuberkulosis bersifat kronis. Waktu replikasi bakteri lambat, yaitu sekitar 24 jam
dan membutuhkan 3-4 minggu untuk membentuk koloni secara in vitro (Uplekar,
2012).
Gambar 2.1 Struktur Morfologi M. tuberculosis (Goldstein, 2011)
6
7
M. tuberculosis memiliki dinding sel yang terdiri dari dua bagian. Bagian
luar membran berupa sel amplop yang mengandung lebih dari 60% lipid. Lipid
tersebut mengandung beberapa komponen, seperti asam mikolat, glikolipid dan
polisakarida (Todar, 2008). Asam mikolat mencapai 50% dari berat kering sel
amplop. Asam mikolat adalah molekul hidrofobik yang membentuk cangkang
lipid di sekeliling sel M. tuberculosis. Komponen ini berpengaruh terhadap
permeabilitas permukaan sel (Todar, 2008). Selain komponen tersebut, terdapat
peptidoglikan (PG) yang berikatan kovalen dengan arabinogalaktan (AG).
Arabinogalaktan melekat pada asam mikolat dengan meromycolate panjang dan
rantai pendek. Kompleks dinding sel ini disebut dengan mycolyl arabinogalactanpeptidoglikan (mAGP). Selain itu, terdapat komponen lain berupa protein,
phosphatidylmyo inositol mannosides (PIMs), phthiocerol lipid, lipomannan (LM)
dan lipoarabinomannan (LAM). Bagian dalam terdiri dari komponen lipid bilayer,
beberapa mengandung asam lemak dengan rantai pendek dan beberapa asam
lemak pendek dengan rantai panjang (Brennan, 2003) (Gambar 2.2).
Pada saat dilakukan ekstraksi dengan pelarut yang sesuai, dinding sel akan
rusak, sedangkan lipid bebas, protein, LAM serta PIMs akan terlarut. Kompleks
mAGP yang penting untuk kelangsungan hidup sel akan menjadi residu yang
tidak larut. Inti dinding sel diketahui mengandung jembatan diglycosyl-P yang
terletak di antara PG dan galaktan linear. Seluruh unit penghubung, galaktan dan
arabinan disintesis sebagai unit pada polyfrenyl-P pembawa lipid. Polyfrenyl-P
pembawa lipid terlibat dalam penempelan asam mikolat baru pada dinding sel
(Brennan, 2003).
8
Transformasi biokimia M. tuberculosis dikode oleh beberapa gen pada jalur
sintesis asam mikolat. Sintesis berlangsung dari acetyl CoA dan malonyl CoA.
Acetyl CoA diubah menjadi acyl CoA pada FAS I. Sedangkan malonyl CoA
diubah menjadi malonyl ACP oleh Gen FabD. Acyl CoA maupun malonyl CoA
oleh Gen FabH akan diubah menjadi beta ketoacyl-ACP yang merupakan
berperan dalam fatty acid synthases (FAS) II sebagai prekursor sintesis asam
mikolat. Beta ketoacyl ACP kemudian direduksi oleh gen mabA. Selanjutnya
pembentukan acyl ACP dikatalisis oleh inhA dan elongasi dikatalisis oleh kasA
dan kasB (Brennan, 2003).
Gambar 2.2 Struktur Dinding Sel M. tuberculosis (McLean, et al., 2007)
2.1.1 Genomik
Whole Genom M. tuberculosis H37Rv terdiri atas 4411532 bp (Liu, et al.,
2014). Genom ini merupakan genom terbesar kedua setelah Escherichia coli.
Genom terdiri dari 4000 gen dengan komponen G + C yaitu 65,6%. Kandungan
9
basa tersebut penting untuk produksi enzim yang terlibat dalam lipogenesis dan
lipolisis serta produksi protein kaya glisin dengan struktur berulang yang
merupakan sumber variasi antigenik (Cole, et al., 1998).
Pada sekuen whole genom, setiap gen memiliki regio tertentu. Promoter
inhA berada pada regio 1673325-1673439; Gen inhA berada pada regio 16742021675011 dan gen katG berada pada regio 2153889-2156111 (Flandrois, et al.,
2014).
2.1.2 Mekanisme dan Faktor-faktor Virulensi
Terdapat beberapa sifat umum M. tuberculosis yang berkontribusi terhadap
virulensinya, yaitu:
a. Mekanisme masuk sel
Pada saat kontak dengan makrofag host, M. tuberculosis berikatan langsung
dengan reseptor mannose melalui glikolipid dinding sel alveolar, LAM atau secara
tidak langsung melalui reseptor komplemen tertentu. Glikoprotein ditemukan pada
permukaan alveolar yang dapat meningkatkan ikatan dan penyerapan M.
tuberculosis dengan meningkatkan regulasi reseptor mannose. Sehingga M.
tuberculosis lebih cenderung menyerang alveolar (Smith, 2003; Todar, 2008). M.
tuberculosis yang terfagositosit berada dalam vacuoule endocytic atau fagosom.
Jika siklus pematangan fagosomal terjadi secara normal, yaitu fusion fagosom
lizosom maka bakteri akan lisis karena berada pada lingkungan pH asam atau lisis
oleh enzim lizosom. Namun apabila M. tuberculosis menyekresi protein maka
dapat mengubah membran fagosom sehingga fusi fagosom lizosom akan
terhambat (Smith, 2003).
10
b. Detoksifikasi radikal oksigen
M. tuberculosis dapat mengganggu efek racun dari intermediate oxygen
reaktive yang dihasilkan dalam proses fagositosis dengan tiga mekanisme, yaitu:
1. Glikolipid, sulfatides dan LAM akan mengatur mekanisme sitotoksik oksidatif.
2. Uptake makrofag melalui reseptor komplemen dapat memotong aktivasi
respiratory burst.
3. Oksidatif burst dapat dinetralkan oleh produksi enzim katalase dan superoksida
dismutase.
(Todar, 2008)
c. Waktu pertumbuhan lambat
Waktu pertumbuhan yang lambat mengakibatkan sistem kekebalan tubuh
tidak mudah mengenali bakteri atau mungkin kurang sensitif untuk difagositosis
(Todar, 2008).
d. Konsentrasi lipid dinding sel tinggi
Konsentrasi lipid yang tinggi pada dinding sel akan mempengaruhi
impermeabilitas dan ketahanan terhadap agen antimikroba. Ketahanan terhadap
hambatan senyawa asam dan basa baik intraseluler maupun ekstraseluler
lingkungan serta ketahanan terhadap lisis osmotik melalui deposisi komplemen
dan serangan lizosim (Todar, 2008).
e. Genom M. tuberculosis
Sekitar 4.000 gen dalam genom M. tuberculosis, 525 terlibat dalam dinding
sel dan proses sel, 188 gen mengkode protein regulasi dan 91 gen yang terlibat
dalam virulensi, detoksifikasi dan adaptasi. Lebih dari 200 gen yang diidentifikasi
11
sebagai pengkode enzim untuk metabolisme asam lemak. Jumlah yang besar ini
berkaitan dengan kemampuan patogen untuk tumbuh dalam jaringan host yang
terinfeksi, dengan asam lemak menjadi sumber karbon utama (Todar, 2008).
f. LAM
LAM adalah kompleks glikolipid yang mengandung pengulangan subunit
disakarida arabinosa-mannose. LAM merupakan komponen utama dari dinding
sel M. tuberculosis. Penambahan LAM pada protein makrofag dapat menekan
produksi IFN-gamma. LAM juga dapat mengikat radikal oksigen secara in vitro
serta dapat melindungi bakteri dari mekanisme berpotensi mematikan seperti burst
respiratory (Todar, 2008).
g. Mycobacterium tuberculosis Pili (MTP)
Selama menginfeksi host-nya, M. tuberculosis menghasilkan pili yang
terlibat dalam kolonisasi awal host. Pili merupakan fibrillar meshwork padat yang
terdiri atas gulungan serta serat agregat tipis yang memanjang hingga beberapa
mikrometer dari permukaan bakteri. Struktur ini diberi nama Mycobacterium
tuberculosis pili (Todar, 2008).
2.2
Multidrug Resistance Tuberculosis (MDR-TB)
MDR-TB adalah penyakit tuberkulosis yang disebabkan oleh strain M.
tuberculosis yang resisten terhadap minimal rifampisin dan isoniazid (WHO,
2012). Kelompok obat ini disebut sebagai obat lini pertama atau primer (Depkes
RI, 2005). Pasien dengan MDR-TB membutuhkan waktu beberapa bulan lebih
lama, bahkan mungkin mencapai 2 hingga 3 tahun untuk memperoleh uji kultur
12
negatif dibandingkan dengan pasien TB tanpa MDR (Dipiro, et al., 2008).
Pengobatan MDR-TB membutuhkan penggunaan jangka panjang OAT lini
kedua. Beberapa efek yang potensial terjadi pada pengobatan MDR-TB yaitu
pasien mendapatkan pengobatan yang tidak adekuat dalam waktu lama;
peningkatan risiko kegagalan pengobatan atau kematian; seleksi terhadap strain
yang resisten OAT; pasien tetap terinfeksi dan meningkatkan penyebaran penyakit
(Tessema, et al., 2012).
Resistensi OAT disebabkan salah satunya karena adanya mutasi pada target
obat sehingga mengurangi pengikatan obat atau mengakibatkan peningkatan
produksi target. INH memblok biosintesis asam mikolat M. tuberculosis pada
konsentrasi MIC (minimum inhibitor consentration) obat dan mereduksi 99% dari
bakteri (Bennerje, 1994).
2.3
Isoniazid
Isoniazid (INH) atau asam isonikotinat hidrazid adalah agen bakterisida
sintetik pertama yang diproduksi pada awal tahun 1900 tetapi tidak digunakan
sebagai antituberkulosis sampai tahun 1952 (Whitney dan Wainberg, 2002). INH
memiliki struktur yang sederhana terdiri dari sebuah cincin piridin dan sebuah
gugus hidrazid, kedua komponen ini penting untuk aktivitas melawan M.
tuberculosis. Pada, strain M. tuberculosis yang menunjukkan resisten terhadap
INH (Silva and Palomino, 2011). Mutasi dalam beberapa gen, meliputi katG, kasA,
oxyR-ahpc, furA, iniA, iniB, iniC, ndh, dan inhA telah ditemukan dan bertanggung
jawab terhadap resisten INH. Frekuensi mutasi penyebab resistensi telah diuraikan
13
dalam beberapa penelitian. Mutasi terjadi pada gen katG sebesar 50-95%; gen
inhA sebesar 8-43% dan sisanya pada gen lain (Zhang and Yew, 2009).
Gambar 2.3 Struktur Isoniazid (Kolyva and Karakousis, tt)
Isoniazid memiliki mekanisme kerja yang sama dengan ethionamide (ETH)
yaitu menghambat biosintesis asam mikolat. ETH merupakan analog dari INH
yang termasuk dalam OAT lini kedua. Adanya kesamaan struktur dan fenomena
resistensi silang mengindikasikan bahwa kedua OAT ini memiliki target
molekular yang sama (Morlock et al., 2003).
2.4
Gen Resisten Isoniazid
2.4.1 inhA
Salah satu target setelah pengaktifan INH adalah protein yang dikode oleh
gen inhA. InhA merupakan gen pengkode enzim enoil reduktase, enzim yang
terlibat dalam biosintesis asam mikolat yang merupakan target kerja dari INH dan
ETH (Banerjee et al., 1994; Rozwarski et al., 1998). Ikatan INH diaktivasi untuk
membentuk kompleks terner INH-NADH sehingga menghasilkan penghambatan
biosintesis asam mikolat (Ramaswamy dan Musser, 1998).
14
Berdasarkan penelitian Hazbon et al. (2006), 0-5% dari isolat M.
tuberculosis yang resisten terhadap INH, bermutasi pada open reading frame
(ORF) inhA. Mutasi pada gen inhA ataupun pada daerah promoter akan
menyebabkan resistensi terhadap INH (Isoniazid) dan ETH (Ethionamide)
(Morlock et al., 2003). Mutasi promoter inhA diketahui terjadi pada posisi -24
(G→T), -16 (A→G), atau -8 (T→G/A) dan -15 (C→T) (Gambar 2.4)
(Ramaswamy dan Musser, 1998). Pada identifikasi mutasi isolat MDR-TB di Bali
menggunakan teknik PCR, diperoleh adanya mutasi pada regio promoter inhA
pada posisi -15 (C→T) (Kusdianingrum, 2014). Adanya mutasi pada promoter
mengekspresikan terjadinya resistensi INH level rendah. Sekitar 70-80% dari
resistensi INH dalam isolat klinis M. tuberculosis dapat dikaitkan dengan mutasi
di gen katG dan inhA (Ramaswamy dan Musser, 1998).
Berdasarkan penelitian pada isolat di Myanmar, dilaporkan adanya mutasi
pada gen inhA dari sebagian kecil isolat MDR-TB. Isolat yang resisten terhadap
isoniazid sebanyak 2 dari 96 (2,1%) sampel dengan titik mutasi pada kodon 94
dengan perubahan asam amino Serin menjadi Alanin (TCG→GCG) (Valvatne, et
al., 2009). Selain itu, pada penelitian lainnya diketahui adanya jenis dan mutasi di
titik yang sama pada 4 strain isolat (Brossier, et al., 2006).
Gambar 2.4 Titik Mutasi pada Promoter inhA
(Ramaswamy dan Musser, 1998)
15
2.4.2 katG
Isoniazid masuk ke dalam sel sebagai prodrug. INH akan diaktivasi oleh
enzim katalase peroksidase yang dikode oleh gen katG. Peroksidase dibutuhkan
dalam mengaktivasi INH menjadi isonikotinat asil. Bentuk aktif inilah yang akan
menghambat biosintesis asam mikolat. Terganggunya biosintesis asam mikolat
mengakibatkan kehilangan integritas selular dan kematian bakteri (Cardoso, et al.,
2004).
Hilangnya aktivitas katalase akan mengakibatkan resistensi INH. Selain itu,
adanya mutasi pada gen katG juga mengakibatkan resistensi INH (Cardoso, et al.,
2004). Mutasi katG paling sering terjadi pada kodon 315. Substitusi Serin
menjadi Treonin diperkirakan terjadi 30-60% dari isolat resisten INH (Johnson, et
al., 2009).
2.5
Mutasi Gen
Mutasi atau dalam bahasa latin disebut mutare didefinisikan sebagai
perubahan. Pada awalnya mutasi ditandai dengan adanya perubahan ekspresi
fenotip hingga diketahui terdapat perubahan genotip. Perubahan diwariskan
dalam urutan nukleotida DNA (Schleif, 1993).
Mutasi dapat terjadi dengan tidak mengubah fenotip. Kebanyakan mutasi
hanya mempengaruhi satu nukleotida di lokasi tertentu sehingga disebut mutasi
titik. Ada beberapa jenis mutasi titik, antara lain:
a. Silence mutation
Silence mutation merupakan jenis mutasi yang tidak dapat dideteksi. Mutasi
16
ini terjadi karena adanya substitusi basa tunggal pada kodon sehingga membentuk
formasi baru sebagai asam amino yang sama. Sebagai contoh, kodon AGG
diubah ke CGG dan masih merupakan pengkode untuk Arginin. Meskipun mutasi
telah terjadi, ekspresi mutasi ini sering tidak akan terdeteksi kecuali pada tingkat
DNA atau mRNA. Bila tidak ada perubahan protein atau konsentrasi, tidak akan
ada perubahan fenotip organisme (Schleif, 1993).
b. Missense mutation
Tipe mutasi ini melibatkan substitusi basa tunggal dalam DNA yang
mengubah kodon untuk satu asam amino menjadi kodon asam amino lain.
Sebagai contoh kodon GAG yang mengekspresikan asam amino Asam glutamat
diubah menjadi GUG, yang merupakan kode untuk valin. Ekspresi mutasi
missense dapat bervariasi. Tentu mutasi dinyatakan pada tingkat protein struktur
(Schleif, 1993).
c. Nonsense mutation
Jenis mutasi ini mengakibatkan terminasi translasi lebih awal sehingga
menghasilkan polipeptida lebih pendek. Mutasi melibatkan perubahan kodon
menjadi kodon stop (UAA; UAG; UGA). Ekspresi fenotip tidak banyak
dipengaruhi bila mutasi mengakibatkan satu atau dua asam amino saja yang
tersisa setelah kodon stop. Namun kehilangan fungsi normal pasti akan terjadi
jika mutasi terjadi lebih dekat ke tengah gen (Schleif, 1993).
d. Frameshift mutation
Mutasi frameshift timbul dari penyisipan atau penghapusan satu atau dua
basa nukleotida dalam daerah pengkode gen. Kode terdiri dari urutan yang tepat
17
dari kodon triplet, sehingga penambahan atau penghapusan kurang dari tiga
pasangan basa akan menyebabkan reading frame yang akan bergeser untuk
semua kodon hilir. Mutasi frameshift biasanya sangat merusak dan menghasilkan
fenotip mutan dari sintesis protein nonfungsional (Schleif, 1993).
Gambar 2.5 Mutasi Titik (Schleif, 1993)
Mutasi frameshift terdiri atas beberapa tipe, yaitu:
a. Mutasi Delesi merupakan adanya penghilangan atau penghapusan pasang
basa.
b. Mutasi Insersi merupakan adanya penambahan pasang basa di tempat baru
DNA.
c. Mutasi Substitusi merupakan adanya perubahan satu basa dengan basa
lainnya.
(UCMP, tt)
18
Tabel 2.1 Kode Genetik Universal (Schleif, 1993)
Posisi Kedua
C
A
U
C
A
G
2.6
Phe
Leu
Leu
Ile
Met
Val
UCU
UCC
UCA
UCG
CCU
CCC
CCA
CCG
ACU
ACC
ACA
ACG
GCU
GCC
GCA
GCG
Ser
Pro
Thr
Ala
UAU
UAC
UAA
UAG
CAU
CAC
CAA
CAG
AAU
AAC
AAA
AAG
GAU
GAC
GAA
GAG
Tyr
Stop
His
Gln
Asn
Lys
Asp
Glu
UGU
UGC
UGA
UGG
CGU
CGC
CGA
CGG
AGU
AGC
AGA
AGG
GGU
GGC
GGA
GGG
Cys
Stop
Trp
Arg
Ser
Arg
Gly
U
C
A
G
U
C
A
G
U
C
A
G
U
C
A
G
Posisi Ketiga
Posisi Pertama
U
UUU
UUC
UUA
UUG
CUU
CUC
CUA
CUG
AUU
AUC
AUA
AUG
GUU
GUC
GUA
GUG
G
Isolasi DNA
Template DNA untuk proses PCR dapat dipersiapkan dengan menggunakan
metode isolasi. Metode isolasi adalah penyiapan DNA kromosom ataupun DNA
plasmid menurut metode standar yang tergantung dari jenis sampel asal DNA
tersebut. Metode isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid memerlukan tahapan
yang lebih kompleks dibandingkan dengan penyiapan DNA dengan menggunakan
metode lisis. Prinsip isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid adalah
pemecahan dinding sel, yang diikuti dengan pemisahan DNA kromosom atau
DNA plasmid dari komponen-komponen lain. Dengan demikian akan diperoleh
kualitas DNA yang lebih baik dan murni (Handoyo dan Rudiretna, 2000).
19
2.7
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction adalah suatu teknik amplifikasi DNA secara in
vitro. Segmen DNA dapat dikalikan jumlahnya bahkan hingga lebih dari satu juta
kali lipat hanya dalam beberapa jam. PCR dapat diaplikasikan dalam
penggandaan DNA untuk berbagai keperluan karena memiliki sensitifitas yang
tinggi (Handoyo dan Rudiretna, 2000).
2.7.1 Tahapan Siklus PCR
Proses PCR melibatkan beberapa tahap, yaitu predenaturasi template DNA;
denaturasi template DNA; penempelan (annealing) primer pada template DNA;
pemanjangan primer (elongasi) dan pemantapan (elongasi akhir). Tahapan proses
dapat dilihat pada Gambar 2.6. Adapun tahapan proses secara lengkap, yaitu :
1. Predenaturasi dan Denaturasi
Predenaturasi dan denaturasi dilakukan pada suhu tinggi, yaitu >90°C. Suhu
yang direkomendasikan adalah 94°-96°C agar proses denaturasi terjadi secara
tuntas. Proses denaturasi dilakukan selama 1-2 menit untuk siklus awal dan
memerlukan 5-30 detik untuk siklus selanjutnya (Biolabs, 2013; Zodar, 2011).
2. Annealing
Tahapan annealing atau penempelan memerlukan waktu 20 detik hingga 1
menit. Temperatur annealing yang digunakan biasanya adalah 50°-65°C,
tergantung primer yang digunakan (Biolabs, 2013; Zodar, 2011). Temperatur
dapat dioptimasi mulai dari 5°C di bawah suhu Tm. Optimasi diperlukan agar
tidak terjadi mispriming atau kesalahan penempelan (Biolabs, 2013). Ikatan
hidrogen antar DNA akan terbentuk bila sekuen primer memiliki kecocokan
20
dengan sekuen template DNA. Adanya ikatan DNA polimerase pada primer dan
template DNA akan memulai sintesis DNA (Zador, 2011).
3. Elongasi dan Elongasi akhir
Temperatur yang umum digunakan untuk tahapan elongasi adalah 72°C.
Suhu disesuaikan dengan suhu optimum aktivitas Taq polimerase (Biolabs, 2013;
Novel, dkk., 2011). DNA polimerase akan mensintesis untaian DNA komplemen
pada untai template DNA dengan penambahan dNTPs dari ujung 5’ ke ujung 3’.
Waktu yang dibutuhkan tergantung dari panjang fragmen DNA yang
diamplifikasi (Zador, 2011). Laju pemanjangan yang disarankan adalah 1 menit
per kilobasa dengan penggunaan <5 pasang primer dan 2 menit per kilobasa
untuk lebih dari 6 pasang primer. Pada temperatur optimum, DNA polimerase
akan mencetak ribuan DNA setiap menitnya. Suhu elongasi akhir yang digunakan
adalah 70°-74°C selama 5-15 menit setelah siklus akhir PCR untuk memastikan
untaian DNA telah seluruhnya diperpanjang (Novel, dkk., 2011).
Jumlah siklus yang umum adalah 30-35 kali. Namun dibutuhkan hingga 40
siklus untuk mendeteksi jumlah amplifikasi rendah (Biolabs, 2013). Jumlah
amplikon pada akhir siklus PCR secara teoritis dapat dihitung menurut rumus:
Y = (2n-2n) X
Keterangan:
Y : jumlah amplikon
n : jumlah siklus
X : jumlah molekul template DNA semula (Handoyo dan Rudiretna, 2000)
21
I
II
II
I
Gambar 2.6 Tahapan Proses Amplifikasi PCR (Zador, 2011)
Keterangan gambar: (I) Tahap denaturasi untai DNA; (II) Tahap
annealing primer; (III) Tahap elongasi primer
2.7.2 Komponen Reaksi PCR
1. Template DNA
Template DNA merupakan regio DNA yang mengandung fragmen target
yang akan diamplifikasi (Zador, 2011). Template DNA berfungsi sebagai cetakan
untuk sintesis untai DNA yang baru (Handoyo dan Rudiretna, 2000).
2. Primer
Primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target yang akan
diamplifikasi. Selain itu, primer merupakan penyedia gugus hidroksi (-OH) pada
ujung 3’ yang diperlukan saat proses elongasi DNA (Handoyo dan Rudiretna,
2000). Untuk satu regio target, diperlukan satu pasang primer yang merupakan
komplemen dari ujung 3’ untai DNA sense dan anti sense DNA target (Zador,
2011).
22
3. DNA polimerase
DNA polimerase berfungsi sebagai katalis reaksi polimerisasi DNA. Enzim
ini digunakan pada tahap elongasi (Handoyo dan Rudiretna, 2000). DNA
polimerase yang sering digunakan adalah Taq polimerase dengan temperatur
optimum berkisar sekitar 70°C (Zador, 2011).
4. dNTPs
Deoksinukleotida trifosfat merupakan empat nukleotida (dATP, dCTP,
dGTP dan dTTP) yang mengandung gugus trifosfat. Nukleotida ini berfungsi
sebagai building block dalam sintesis untai DNA (Zador, 2011). dNTP akan
menempel pada gugus -OH ujung 3’ dari primer pada proses elongasi dan
membentuk untai baru yang komplementer dengan untai template DNA (Handoyo
dan Rudiretna, 2000).
5. Larutan Buffer
Buffer berfungsi sebagai penyangga pH pada reaksi PCR dan menjaga
stabilitas dari DNA polimerase yang digunakan (Handoyo dan Rudiretna, 2000;
Zodar, 2011).
6. Kation Divalen, Magnesium atau Ion Mangan
Kation berfungsi sebagai kofaktor dalam menstimulasi aktivitas DNA
polimerase. Kation akan meningkatkan interaksi primer dengan template DNA
yang membentuk kompleks larut dengan dNTP (Handoyo dan Rudiretna). Kation
yang umum digunakan adalah Mg2+ (Zador, 2011).
23
2.7.3 Multiplex PCR
Multiplex PCR atau disebut juga reaksi berantai polimerase adalah suatu
metode enzimatis untuk memperbanyak secara eksponensial sekuen nukleotida
secara in vitro (Novel, dkk., 2011). Multiplex PCR merupakan salah satu
modifikasi atau variasi teknik PCR yang dapat mengamplifikasi dua hingga lebih
regio DNA secara simultan (Edwards, 1994; Henegariu et al., 1997). Pada
metode
multiplex
mengamplifikasi
PCR
regio
digunakan
DNA
target.
sejumlah
pasangan
Keunggulan
primer
multiplex
PCR
untuk
bila
dibandingkan dengan metode PCR lainnya, yaitu:
1. Adanya kontrol internal dari amplifikasi beberapa fragmen sekaligus. Hal ini
berfungsi untuk mengetahui adanya hasil negatif palsu. Reaksi dapat
dikatakan negatif atau gagal apabila seluruh produk tidak tampak pada
visualisasi. Bila hanya satu atau beberapa produk saja dari seluruh fragmen
yang diamplifikasi tidak tampak, dapat dikatakan hasil adalah negatif palsu.
2. Multiplex PCR lebih mampu mengindikasikan kualitas template DNA
dibandingkan pada PCR tunggal. Penurunan kualitas template DNA akan
menunjukkan pita-pita panjang lebih lemah dibandingkan yang pendek.
3. Efisiensi biaya dan waktu persiapan bila dibandingkan dengan multiplex
tunggal. Multiplex PCR merupakan teknik yang dapat dipilih bila ingin
mengeluarkan biaya serta menggunakan template DNA yang relatif sedikit.
Persiapan reaksi amplifikasi untuk beberapa fragmen dapat dilakukan
sekaligus.
(Edwards, 1994)
24
2.8
Desain Primer
Primer PCR merupakan oligodioksinukleotida atau oligomer yang didesain
sebagai komplemen ujung sekuen amplikon target PCR. Dua buah primer PCR
merupakan komplemen dari untai tunggal target amplifikasi sehingga tidak saling
berhubungan. Pemilihan primer yang digunakan dalam proses PCR sebaiknya
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Panjang Primer
Panjang primer yang ideal adalah 18-24 bp (Henegariu, et al., 1997). Primer
dengan panjang kurang dari 18 bp memiliki kemungkinan terjadinya mispriming
tinggi. Hal ini akan mengurangi spesifisitas primer dan berakibat pada efektivitas
dan efisiensi proses PCR. Namun pada penggunaan primer yang terlalu panjang
tidak akan meningkatkan spesifisitas primer secara bermakna melainkan
mengakibatkan biaya primer yang lebih mahal (Handoyo dan Rudiretna, 2000).
b. Persen (%) GC
Kandungan basa G dan C pada primer umumnya adalah 35-60% (Henegariu,
et al., 1997). Primer dengan % (G+C) rendah diperkirakan tidak akan mampu
berkompetisi untuk menempel secara efektif pada target yang dituju sehingga
akan menurunkan efisiensi proses PCR. Pada ujung 3’, basa nukleotida sebaiknya
G atau C. Nukleotida A atau T bersifat lebih toleran terhadap mismatch dari pada
G atau C karena memiliki jumlah ikatan hidrogen yang lebih sedikit (Handoyo
dan Rudiretna, 2000).
25
c. Temperatur Annealing
Temperatur annealing yang baik adalah 55°-58°C (Henegariu, et al., 1997).
Temperatur annealing umumnya dapat dihitung 5°C lebih rendah dari perkiraan
melting temperature (Judelson, 2006).
d. Melting Temperature (Tm)
Melting temperature adalah temperatur ketika 50% untai ganda DNA
terpisah. Tm berkaitan dengan komposisi primer dan panjang primer. Secara
teoritis Tm primer dapat dihitung dengan menggunakan rumus [2(A+T) +
4(C+G)] (Handoyo dan Rudiretna, 2000). Temperatur yang ideal adalah 55°-65°C.
Primer dengan Tm di atas 65°-70°C akan mudah mengalami mispriming pada
temperatur rendah. Primer dengan Tm rendah tidak akan dapat bekerja pada
termperatur tinggi. Pada dua buah primer yang digunakan harus memiliki
perbedaan Tm tidak lebih dari 5°C (Judelson, 2006).
e. Interaksi Primer-primer
Pada primer forward dan reverse sebaiknya tidak ada dimer maupun hairpin
(Henegariu, et al., 1997). Dimer menunjukkan adanya hibridisasi antara basa
primer yang identik. Dimer pada ujung 3’ dapat dilihat pada Gambar 2.7 dan
dimer bagian lain pada Gambar 2.8. DNA polimerase dapat mengikat spesies yang
identik dan memperpanjang di kedua arah. Hal ini dapat mengakibatkan
penurunan efisiensi amplifikasi hingga produk yang dihasilkan tidak sesuai
dengan keinginan (Yuryev, tt). Hairpin memiliki kesamaan dengan dimer, namun
pada hairpin ujung-ujung primer saling berkomplemen. Interaksi hairpin dapat
dilihat pada Gambar 2.9.
26
Gambar 2.7 Dimer Primer pada Ujung 3’ (Judelson, 2006)
Gambar 2.8 Dimer Primer selain pada Ujung 3’ (Judelson, 2006)
Gambar 2.9 Hairpin Primer (Judelson, 2006)
f. Stabilitas Primer
Stabilitas primer menentukan efisiensi false priming. Primer yang ideal
memiliki ujung 5' yang stabil dan ujung 3' yang tidak stabil. Jika primer memiliki
ujung 3' stabil, maka ikatan ke situs komplemen akan menggantung di tepi. Hal
ini akan mengakibatkan pita sekunder. Sehingga disarankan stabilitas ujung 5’
lebih tinggi dibandingkan dengan ujung 3’ (PBI, 2009).
g. Repeats dan Runs
Repeats merupakan pengulangan dinukleotida secara berurut pada primer.
Sedangkan runs merupakan pengulangan nukleotida secara berurut pada primer.
Adanya Repeats dan runs akan meningkatkan kemungkinan false priming. Primer
tidak diperbolehkan memiliki repeats ataupun runs sebanyak tiga atau lebih (PBI,
2009).
27
Hasil amplifikasi dengan primer yang dirancang seringkali kurang sesuai
dengan yang diharapan sehingga dianjurkan untuk melakukan optimasi proses
PCR. Dalam proses optimasi dapat dilakukan perlakuan sebagai berikut:
1. Apabila produk tidak dideteksi, maka dapat dilakukan peningkatan
konsentrasi primer atau penurunan temperatur annealing.
2. Yield produk rendah, dapat dilakukan peningkatan konsentrasi primer;
untuk produk yang panjang dapat dilakukan penurunan waktu elongasi;
sedangkan untuk produk yang pendek dapat dilakukan pemanjangan waktu
elongasi.
3. Yield produk terlalu banyak dapat dilakukan penurunan konsentrasi primer
atau untuk produk yang panjang, waktu elongasi diturunkan (Loffert, et al.,
1999).
2.9
Analisis Produk PCR
Produk PCR dapat dilakukan analisis dengan menggunakan elektroforesis
dan sekuensing.
2.9.1 Elektroforesis
Elektroforesis merupakan metode pemisahan yang digunakan untuk
menentukan ukuran molekul fragmen DNA (BEC, 2003). Prinsip pemisahannya
adalah molekul yang lebih kecil akan melewati pori-pori gel lebih mudah daripada
yang lebih besar. Tingkat migrasi fragmen DNA linear berbanding terbalik
dengan log ukurannya dalam pasangan basa. Ini berarti bahwa semakin kecil
fragmen linier, semakin cepat bermigrasi melalui gel. Mobilitas molekul selama
28
elektroforesis dapat dipengaruhi oleh konsentrasi gel dan volume larutan gel
agarosa (BEC, 2003).
Elektroforesis horizontal merupakan tipe yang paling umum digunakan
untuk memisahkan molekul DNA dibandingkan dengan tipe vertikal (pemisah
protein). Chamber elektroforesis memiliki elektroda pada kedua ujungnya yang
memiliki konduktivitas listrik yang baik (BEC, 2003).
Gel agarosa yang digunakan sebagai media dibuat dengan melarutkan
serbuk agarosa dalam larutan buffer mendidih. Pada beberapa eksperimen
diperlukan gel agarosa dengan persentase hingga 1% atau 1,5% untuk
memperoleh pemisahan yang baik. Larutan tersebut kemudian didinginkan sampai
sekitar 55°C dan dituangkan ke dalam baki pengecoran yang berfungsi sebagai
cetakan. Sumur dibuat dengan cetakan comb saat larutan gel mengeras. Setelah
gel mengeras, gel direndam dalam buffer pada alat elektroforesis yang berisi
elektroda positif di satu sisi dan elektroda negatif pada sisi yang lain. Sampel
dapat dicampurkan dengan komponen, seperti gliserol atau sukrosa, yang
berfungsi sebagai pemberat. Sumber listrik (DC) terhubung ke alat elektroforesis.
Molekul yang memiliki muatan negatif akan bermigrasi ke arah elektroda positif
(anoda) sedangkan molekul bermuatan positif bermigrasi ke arah elektroda negatif
(katoda). Semakin tinggi tegangan yang diberikan maka semakin cepat sampel
bermigrasi. Buffer berfungsi sebagai konduktor listrik dan untuk mengontrol pH
molekul biologis. DNA bermigrasi melalui gel menuju elektroda positif selama
elektroforesis (BEC, 2003).
29
Dalam proses elektroforesis diperlukan suatu perwarnaan untuk menentukan
secara tepat migrasi sampel. Pewarna yang paling umum digunakan adalah
Etidium bromida atau Methylene blue. Visualisasi hasil pemisahan elektroforesis
membutuhkan sumber cahaya ultraviolet gelombang pendek (transiluminator)
(BEC, 2003).
2.9.2 Sekuensing
Sekuensing berfungsi untuk memperoleh urutan DNA produk PCR. Sekuen
yang diperoleh dapat digunakan untuk dibandingkan dengan sekuen wild type
produk sehingga diketahui adanya perubahan urutan nukleotida (Edwards and
Gibbs, 1994).
Download