BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mycobacterium tuberculosis Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) merupakan bakteri nonmotil penyebab tuberkulosis pada manusia. Bakteri ini berbentuk batang sehingga disebut juga dengan Bacillus tuberculosis (Gambar 2.1). Berdasarkan struktur dinding selnya yang mengandung peptidoglikan tebal, M. tuberculosis diklasifikasikan ke dalam bakteri gram positif. Bakteri bersifat aerob obligatif sehingga kompleks M. tuberculosis selalu ditemukan di lobus paru bagian atas yang memiliki sirkulasi udara yang baik (Todar, 2008). Pada manusia, bakteri dapat mengalami fase dorman atau laten. Laju replikasi yang lambat dan kemampuan untuk bertahan dalam keadaan laten mengakibatkan infeksi tuberkulosis bersifat kronis. Waktu replikasi bakteri lambat, yaitu sekitar 24 jam dan membutuhkan 3-4 minggu untuk membentuk koloni secara in vitro (Uplekar, 2012). Gambar 2.1 Struktur Morfologi M. tuberculosis (Goldstein, 2011) 6 7 M. tuberculosis memiliki dinding sel yang terdiri dari dua bagian. Bagian luar membran berupa sel amplop yang mengandung lebih dari 60% lipid. Lipid tersebut mengandung beberapa komponen, seperti asam mikolat, glikolipid dan polisakarida (Todar, 2008). Asam mikolat mencapai 50% dari berat kering sel amplop. Asam mikolat adalah molekul hidrofobik yang membentuk cangkang lipid di sekeliling sel M. tuberculosis. Komponen ini berpengaruh terhadap permeabilitas permukaan sel (Todar, 2008). Selain komponen tersebut, terdapat peptidoglikan (PG) yang berikatan kovalen dengan arabinogalaktan (AG). Arabinogalaktan melekat pada asam mikolat dengan meromycolate panjang dan rantai pendek. Kompleks dinding sel ini disebut dengan mycolyl arabinogalactanpeptidoglikan (mAGP). Selain itu, terdapat komponen lain berupa protein, phosphatidylmyo inositol mannosides (PIMs), phthiocerol lipid, lipomannan (LM) dan lipoarabinomannan (LAM). Bagian dalam terdiri dari komponen lipid bilayer, beberapa mengandung asam lemak dengan rantai pendek dan beberapa asam lemak pendek dengan rantai panjang (Brennan, 2003) (Gambar 2.2). Pada saat dilakukan ekstraksi dengan pelarut yang sesuai, dinding sel akan rusak, sedangkan lipid bebas, protein, LAM serta PIMs akan terlarut. Kompleks mAGP yang penting untuk kelangsungan hidup sel akan menjadi residu yang tidak larut. Inti dinding sel diketahui mengandung jembatan diglycosyl-P yang terletak di antara PG dan galaktan linear. Seluruh unit penghubung, galaktan dan arabinan disintesis sebagai unit pada polyfrenyl-P pembawa lipid. Polyfrenyl-P pembawa lipid terlibat dalam penempelan asam mikolat baru pada dinding sel (Brennan, 2003). 8 Transformasi biokimia M. tuberculosis dikode oleh beberapa gen pada jalur sintesis asam mikolat. Sintesis berlangsung dari acetyl CoA dan malonyl CoA. Acetyl CoA diubah menjadi acyl CoA pada FAS I. Sedangkan malonyl CoA diubah menjadi malonyl ACP oleh Gen FabD. Acyl CoA maupun malonyl CoA oleh Gen FabH akan diubah menjadi beta ketoacyl-ACP yang merupakan berperan dalam fatty acid synthases (FAS) II sebagai prekursor sintesis asam mikolat. Beta ketoacyl ACP kemudian direduksi oleh gen mabA. Selanjutnya pembentukan acyl ACP dikatalisis oleh inhA dan elongasi dikatalisis oleh kasA dan kasB (Brennan, 2003). Gambar 2.2 Struktur Dinding Sel M. tuberculosis (McLean, et al., 2007) 2.1.1 Genomik Whole Genom M. tuberculosis H37Rv terdiri atas 4411532 bp (Liu, et al., 2014). Genom ini merupakan genom terbesar kedua setelah Escherichia coli. Genom terdiri dari 4000 gen dengan komponen G + C yaitu 65,6%. Kandungan 9 basa tersebut penting untuk produksi enzim yang terlibat dalam lipogenesis dan lipolisis serta produksi protein kaya glisin dengan struktur berulang yang merupakan sumber variasi antigenik (Cole, et al., 1998). Pada sekuen whole genom, setiap gen memiliki regio tertentu. Promoter inhA berada pada regio 1673325-1673439; Gen inhA berada pada regio 16742021675011 dan gen katG berada pada regio 2153889-2156111 (Flandrois, et al., 2014). 2.1.2 Mekanisme dan Faktor-faktor Virulensi Terdapat beberapa sifat umum M. tuberculosis yang berkontribusi terhadap virulensinya, yaitu: a. Mekanisme masuk sel Pada saat kontak dengan makrofag host, M. tuberculosis berikatan langsung dengan reseptor mannose melalui glikolipid dinding sel alveolar, LAM atau secara tidak langsung melalui reseptor komplemen tertentu. Glikoprotein ditemukan pada permukaan alveolar yang dapat meningkatkan ikatan dan penyerapan M. tuberculosis dengan meningkatkan regulasi reseptor mannose. Sehingga M. tuberculosis lebih cenderung menyerang alveolar (Smith, 2003; Todar, 2008). M. tuberculosis yang terfagositosit berada dalam vacuoule endocytic atau fagosom. Jika siklus pematangan fagosomal terjadi secara normal, yaitu fusion fagosom lizosom maka bakteri akan lisis karena berada pada lingkungan pH asam atau lisis oleh enzim lizosom. Namun apabila M. tuberculosis menyekresi protein maka dapat mengubah membran fagosom sehingga fusi fagosom lizosom akan terhambat (Smith, 2003). 10 b. Detoksifikasi radikal oksigen M. tuberculosis dapat mengganggu efek racun dari intermediate oxygen reaktive yang dihasilkan dalam proses fagositosis dengan tiga mekanisme, yaitu: 1. Glikolipid, sulfatides dan LAM akan mengatur mekanisme sitotoksik oksidatif. 2. Uptake makrofag melalui reseptor komplemen dapat memotong aktivasi respiratory burst. 3. Oksidatif burst dapat dinetralkan oleh produksi enzim katalase dan superoksida dismutase. (Todar, 2008) c. Waktu pertumbuhan lambat Waktu pertumbuhan yang lambat mengakibatkan sistem kekebalan tubuh tidak mudah mengenali bakteri atau mungkin kurang sensitif untuk difagositosis (Todar, 2008). d. Konsentrasi lipid dinding sel tinggi Konsentrasi lipid yang tinggi pada dinding sel akan mempengaruhi impermeabilitas dan ketahanan terhadap agen antimikroba. Ketahanan terhadap hambatan senyawa asam dan basa baik intraseluler maupun ekstraseluler lingkungan serta ketahanan terhadap lisis osmotik melalui deposisi komplemen dan serangan lizosim (Todar, 2008). e. Genom M. tuberculosis Sekitar 4.000 gen dalam genom M. tuberculosis, 525 terlibat dalam dinding sel dan proses sel, 188 gen mengkode protein regulasi dan 91 gen yang terlibat dalam virulensi, detoksifikasi dan adaptasi. Lebih dari 200 gen yang diidentifikasi 11 sebagai pengkode enzim untuk metabolisme asam lemak. Jumlah yang besar ini berkaitan dengan kemampuan patogen untuk tumbuh dalam jaringan host yang terinfeksi, dengan asam lemak menjadi sumber karbon utama (Todar, 2008). f. LAM LAM adalah kompleks glikolipid yang mengandung pengulangan subunit disakarida arabinosa-mannose. LAM merupakan komponen utama dari dinding sel M. tuberculosis. Penambahan LAM pada protein makrofag dapat menekan produksi IFN-gamma. LAM juga dapat mengikat radikal oksigen secara in vitro serta dapat melindungi bakteri dari mekanisme berpotensi mematikan seperti burst respiratory (Todar, 2008). g. Mycobacterium tuberculosis Pili (MTP) Selama menginfeksi host-nya, M. tuberculosis menghasilkan pili yang terlibat dalam kolonisasi awal host. Pili merupakan fibrillar meshwork padat yang terdiri atas gulungan serta serat agregat tipis yang memanjang hingga beberapa mikrometer dari permukaan bakteri. Struktur ini diberi nama Mycobacterium tuberculosis pili (Todar, 2008). 2.2 Multidrug Resistance Tuberculosis (MDR-TB) MDR-TB adalah penyakit tuberkulosis yang disebabkan oleh strain M. tuberculosis yang resisten terhadap minimal rifampisin dan isoniazid (WHO, 2012). Kelompok obat ini disebut sebagai obat lini pertama atau primer (Depkes RI, 2005). Pasien dengan MDR-TB membutuhkan waktu beberapa bulan lebih lama, bahkan mungkin mencapai 2 hingga 3 tahun untuk memperoleh uji kultur 12 negatif dibandingkan dengan pasien TB tanpa MDR (Dipiro, et al., 2008). Pengobatan MDR-TB membutuhkan penggunaan jangka panjang OAT lini kedua. Beberapa efek yang potensial terjadi pada pengobatan MDR-TB yaitu pasien mendapatkan pengobatan yang tidak adekuat dalam waktu lama; peningkatan risiko kegagalan pengobatan atau kematian; seleksi terhadap strain yang resisten OAT; pasien tetap terinfeksi dan meningkatkan penyebaran penyakit (Tessema, et al., 2012). Resistensi OAT disebabkan salah satunya karena adanya mutasi pada target obat sehingga mengurangi pengikatan obat atau mengakibatkan peningkatan produksi target. INH memblok biosintesis asam mikolat M. tuberculosis pada konsentrasi MIC (minimum inhibitor consentration) obat dan mereduksi 99% dari bakteri (Bennerje, 1994). 2.3 Isoniazid Isoniazid (INH) atau asam isonikotinat hidrazid adalah agen bakterisida sintetik pertama yang diproduksi pada awal tahun 1900 tetapi tidak digunakan sebagai antituberkulosis sampai tahun 1952 (Whitney dan Wainberg, 2002). INH memiliki struktur yang sederhana terdiri dari sebuah cincin piridin dan sebuah gugus hidrazid, kedua komponen ini penting untuk aktivitas melawan M. tuberculosis. Pada, strain M. tuberculosis yang menunjukkan resisten terhadap INH (Silva and Palomino, 2011). Mutasi dalam beberapa gen, meliputi katG, kasA, oxyR-ahpc, furA, iniA, iniB, iniC, ndh, dan inhA telah ditemukan dan bertanggung jawab terhadap resisten INH. Frekuensi mutasi penyebab resistensi telah diuraikan 13 dalam beberapa penelitian. Mutasi terjadi pada gen katG sebesar 50-95%; gen inhA sebesar 8-43% dan sisanya pada gen lain (Zhang and Yew, 2009). Gambar 2.3 Struktur Isoniazid (Kolyva and Karakousis, tt) Isoniazid memiliki mekanisme kerja yang sama dengan ethionamide (ETH) yaitu menghambat biosintesis asam mikolat. ETH merupakan analog dari INH yang termasuk dalam OAT lini kedua. Adanya kesamaan struktur dan fenomena resistensi silang mengindikasikan bahwa kedua OAT ini memiliki target molekular yang sama (Morlock et al., 2003). 2.4 Gen Resisten Isoniazid 2.4.1 inhA Salah satu target setelah pengaktifan INH adalah protein yang dikode oleh gen inhA. InhA merupakan gen pengkode enzim enoil reduktase, enzim yang terlibat dalam biosintesis asam mikolat yang merupakan target kerja dari INH dan ETH (Banerjee et al., 1994; Rozwarski et al., 1998). Ikatan INH diaktivasi untuk membentuk kompleks terner INH-NADH sehingga menghasilkan penghambatan biosintesis asam mikolat (Ramaswamy dan Musser, 1998). 14 Berdasarkan penelitian Hazbon et al. (2006), 0-5% dari isolat M. tuberculosis yang resisten terhadap INH, bermutasi pada open reading frame (ORF) inhA. Mutasi pada gen inhA ataupun pada daerah promoter akan menyebabkan resistensi terhadap INH (Isoniazid) dan ETH (Ethionamide) (Morlock et al., 2003). Mutasi promoter inhA diketahui terjadi pada posisi -24 (G→T), -16 (A→G), atau -8 (T→G/A) dan -15 (C→T) (Gambar 2.4) (Ramaswamy dan Musser, 1998). Pada identifikasi mutasi isolat MDR-TB di Bali menggunakan teknik PCR, diperoleh adanya mutasi pada regio promoter inhA pada posisi -15 (C→T) (Kusdianingrum, 2014). Adanya mutasi pada promoter mengekspresikan terjadinya resistensi INH level rendah. Sekitar 70-80% dari resistensi INH dalam isolat klinis M. tuberculosis dapat dikaitkan dengan mutasi di gen katG dan inhA (Ramaswamy dan Musser, 1998). Berdasarkan penelitian pada isolat di Myanmar, dilaporkan adanya mutasi pada gen inhA dari sebagian kecil isolat MDR-TB. Isolat yang resisten terhadap isoniazid sebanyak 2 dari 96 (2,1%) sampel dengan titik mutasi pada kodon 94 dengan perubahan asam amino Serin menjadi Alanin (TCG→GCG) (Valvatne, et al., 2009). Selain itu, pada penelitian lainnya diketahui adanya jenis dan mutasi di titik yang sama pada 4 strain isolat (Brossier, et al., 2006). Gambar 2.4 Titik Mutasi pada Promoter inhA (Ramaswamy dan Musser, 1998) 15 2.4.2 katG Isoniazid masuk ke dalam sel sebagai prodrug. INH akan diaktivasi oleh enzim katalase peroksidase yang dikode oleh gen katG. Peroksidase dibutuhkan dalam mengaktivasi INH menjadi isonikotinat asil. Bentuk aktif inilah yang akan menghambat biosintesis asam mikolat. Terganggunya biosintesis asam mikolat mengakibatkan kehilangan integritas selular dan kematian bakteri (Cardoso, et al., 2004). Hilangnya aktivitas katalase akan mengakibatkan resistensi INH. Selain itu, adanya mutasi pada gen katG juga mengakibatkan resistensi INH (Cardoso, et al., 2004). Mutasi katG paling sering terjadi pada kodon 315. Substitusi Serin menjadi Treonin diperkirakan terjadi 30-60% dari isolat resisten INH (Johnson, et al., 2009). 2.5 Mutasi Gen Mutasi atau dalam bahasa latin disebut mutare didefinisikan sebagai perubahan. Pada awalnya mutasi ditandai dengan adanya perubahan ekspresi fenotip hingga diketahui terdapat perubahan genotip. Perubahan diwariskan dalam urutan nukleotida DNA (Schleif, 1993). Mutasi dapat terjadi dengan tidak mengubah fenotip. Kebanyakan mutasi hanya mempengaruhi satu nukleotida di lokasi tertentu sehingga disebut mutasi titik. Ada beberapa jenis mutasi titik, antara lain: a. Silence mutation Silence mutation merupakan jenis mutasi yang tidak dapat dideteksi. Mutasi 16 ini terjadi karena adanya substitusi basa tunggal pada kodon sehingga membentuk formasi baru sebagai asam amino yang sama. Sebagai contoh, kodon AGG diubah ke CGG dan masih merupakan pengkode untuk Arginin. Meskipun mutasi telah terjadi, ekspresi mutasi ini sering tidak akan terdeteksi kecuali pada tingkat DNA atau mRNA. Bila tidak ada perubahan protein atau konsentrasi, tidak akan ada perubahan fenotip organisme (Schleif, 1993). b. Missense mutation Tipe mutasi ini melibatkan substitusi basa tunggal dalam DNA yang mengubah kodon untuk satu asam amino menjadi kodon asam amino lain. Sebagai contoh kodon GAG yang mengekspresikan asam amino Asam glutamat diubah menjadi GUG, yang merupakan kode untuk valin. Ekspresi mutasi missense dapat bervariasi. Tentu mutasi dinyatakan pada tingkat protein struktur (Schleif, 1993). c. Nonsense mutation Jenis mutasi ini mengakibatkan terminasi translasi lebih awal sehingga menghasilkan polipeptida lebih pendek. Mutasi melibatkan perubahan kodon menjadi kodon stop (UAA; UAG; UGA). Ekspresi fenotip tidak banyak dipengaruhi bila mutasi mengakibatkan satu atau dua asam amino saja yang tersisa setelah kodon stop. Namun kehilangan fungsi normal pasti akan terjadi jika mutasi terjadi lebih dekat ke tengah gen (Schleif, 1993). d. Frameshift mutation Mutasi frameshift timbul dari penyisipan atau penghapusan satu atau dua basa nukleotida dalam daerah pengkode gen. Kode terdiri dari urutan yang tepat 17 dari kodon triplet, sehingga penambahan atau penghapusan kurang dari tiga pasangan basa akan menyebabkan reading frame yang akan bergeser untuk semua kodon hilir. Mutasi frameshift biasanya sangat merusak dan menghasilkan fenotip mutan dari sintesis protein nonfungsional (Schleif, 1993). Gambar 2.5 Mutasi Titik (Schleif, 1993) Mutasi frameshift terdiri atas beberapa tipe, yaitu: a. Mutasi Delesi merupakan adanya penghilangan atau penghapusan pasang basa. b. Mutasi Insersi merupakan adanya penambahan pasang basa di tempat baru DNA. c. Mutasi Substitusi merupakan adanya perubahan satu basa dengan basa lainnya. (UCMP, tt) 18 Tabel 2.1 Kode Genetik Universal (Schleif, 1993) Posisi Kedua C A U C A G 2.6 Phe Leu Leu Ile Met Val UCU UCC UCA UCG CCU CCC CCA CCG ACU ACC ACA ACG GCU GCC GCA GCG Ser Pro Thr Ala UAU UAC UAA UAG CAU CAC CAA CAG AAU AAC AAA AAG GAU GAC GAA GAG Tyr Stop His Gln Asn Lys Asp Glu UGU UGC UGA UGG CGU CGC CGA CGG AGU AGC AGA AGG GGU GGC GGA GGG Cys Stop Trp Arg Ser Arg Gly U C A G U C A G U C A G U C A G Posisi Ketiga Posisi Pertama U UUU UUC UUA UUG CUU CUC CUA CUG AUU AUC AUA AUG GUU GUC GUA GUG G Isolasi DNA Template DNA untuk proses PCR dapat dipersiapkan dengan menggunakan metode isolasi. Metode isolasi adalah penyiapan DNA kromosom ataupun DNA plasmid menurut metode standar yang tergantung dari jenis sampel asal DNA tersebut. Metode isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid memerlukan tahapan yang lebih kompleks dibandingkan dengan penyiapan DNA dengan menggunakan metode lisis. Prinsip isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid adalah pemecahan dinding sel, yang diikuti dengan pemisahan DNA kromosom atau DNA plasmid dari komponen-komponen lain. Dengan demikian akan diperoleh kualitas DNA yang lebih baik dan murni (Handoyo dan Rudiretna, 2000). 19 2.7 Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase Chain Reaction adalah suatu teknik amplifikasi DNA secara in vitro. Segmen DNA dapat dikalikan jumlahnya bahkan hingga lebih dari satu juta kali lipat hanya dalam beberapa jam. PCR dapat diaplikasikan dalam penggandaan DNA untuk berbagai keperluan karena memiliki sensitifitas yang tinggi (Handoyo dan Rudiretna, 2000). 2.7.1 Tahapan Siklus PCR Proses PCR melibatkan beberapa tahap, yaitu predenaturasi template DNA; denaturasi template DNA; penempelan (annealing) primer pada template DNA; pemanjangan primer (elongasi) dan pemantapan (elongasi akhir). Tahapan proses dapat dilihat pada Gambar 2.6. Adapun tahapan proses secara lengkap, yaitu : 1. Predenaturasi dan Denaturasi Predenaturasi dan denaturasi dilakukan pada suhu tinggi, yaitu >90°C. Suhu yang direkomendasikan adalah 94°-96°C agar proses denaturasi terjadi secara tuntas. Proses denaturasi dilakukan selama 1-2 menit untuk siklus awal dan memerlukan 5-30 detik untuk siklus selanjutnya (Biolabs, 2013; Zodar, 2011). 2. Annealing Tahapan annealing atau penempelan memerlukan waktu 20 detik hingga 1 menit. Temperatur annealing yang digunakan biasanya adalah 50°-65°C, tergantung primer yang digunakan (Biolabs, 2013; Zodar, 2011). Temperatur dapat dioptimasi mulai dari 5°C di bawah suhu Tm. Optimasi diperlukan agar tidak terjadi mispriming atau kesalahan penempelan (Biolabs, 2013). Ikatan hidrogen antar DNA akan terbentuk bila sekuen primer memiliki kecocokan 20 dengan sekuen template DNA. Adanya ikatan DNA polimerase pada primer dan template DNA akan memulai sintesis DNA (Zador, 2011). 3. Elongasi dan Elongasi akhir Temperatur yang umum digunakan untuk tahapan elongasi adalah 72°C. Suhu disesuaikan dengan suhu optimum aktivitas Taq polimerase (Biolabs, 2013; Novel, dkk., 2011). DNA polimerase akan mensintesis untaian DNA komplemen pada untai template DNA dengan penambahan dNTPs dari ujung 5’ ke ujung 3’. Waktu yang dibutuhkan tergantung dari panjang fragmen DNA yang diamplifikasi (Zador, 2011). Laju pemanjangan yang disarankan adalah 1 menit per kilobasa dengan penggunaan <5 pasang primer dan 2 menit per kilobasa untuk lebih dari 6 pasang primer. Pada temperatur optimum, DNA polimerase akan mencetak ribuan DNA setiap menitnya. Suhu elongasi akhir yang digunakan adalah 70°-74°C selama 5-15 menit setelah siklus akhir PCR untuk memastikan untaian DNA telah seluruhnya diperpanjang (Novel, dkk., 2011). Jumlah siklus yang umum adalah 30-35 kali. Namun dibutuhkan hingga 40 siklus untuk mendeteksi jumlah amplifikasi rendah (Biolabs, 2013). Jumlah amplikon pada akhir siklus PCR secara teoritis dapat dihitung menurut rumus: Y = (2n-2n) X Keterangan: Y : jumlah amplikon n : jumlah siklus X : jumlah molekul template DNA semula (Handoyo dan Rudiretna, 2000) 21 I II II I Gambar 2.6 Tahapan Proses Amplifikasi PCR (Zador, 2011) Keterangan gambar: (I) Tahap denaturasi untai DNA; (II) Tahap annealing primer; (III) Tahap elongasi primer 2.7.2 Komponen Reaksi PCR 1. Template DNA Template DNA merupakan regio DNA yang mengandung fragmen target yang akan diamplifikasi (Zador, 2011). Template DNA berfungsi sebagai cetakan untuk sintesis untai DNA yang baru (Handoyo dan Rudiretna, 2000). 2. Primer Primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target yang akan diamplifikasi. Selain itu, primer merupakan penyedia gugus hidroksi (-OH) pada ujung 3’ yang diperlukan saat proses elongasi DNA (Handoyo dan Rudiretna, 2000). Untuk satu regio target, diperlukan satu pasang primer yang merupakan komplemen dari ujung 3’ untai DNA sense dan anti sense DNA target (Zador, 2011). 22 3. DNA polimerase DNA polimerase berfungsi sebagai katalis reaksi polimerisasi DNA. Enzim ini digunakan pada tahap elongasi (Handoyo dan Rudiretna, 2000). DNA polimerase yang sering digunakan adalah Taq polimerase dengan temperatur optimum berkisar sekitar 70°C (Zador, 2011). 4. dNTPs Deoksinukleotida trifosfat merupakan empat nukleotida (dATP, dCTP, dGTP dan dTTP) yang mengandung gugus trifosfat. Nukleotida ini berfungsi sebagai building block dalam sintesis untai DNA (Zador, 2011). dNTP akan menempel pada gugus -OH ujung 3’ dari primer pada proses elongasi dan membentuk untai baru yang komplementer dengan untai template DNA (Handoyo dan Rudiretna, 2000). 5. Larutan Buffer Buffer berfungsi sebagai penyangga pH pada reaksi PCR dan menjaga stabilitas dari DNA polimerase yang digunakan (Handoyo dan Rudiretna, 2000; Zodar, 2011). 6. Kation Divalen, Magnesium atau Ion Mangan Kation berfungsi sebagai kofaktor dalam menstimulasi aktivitas DNA polimerase. Kation akan meningkatkan interaksi primer dengan template DNA yang membentuk kompleks larut dengan dNTP (Handoyo dan Rudiretna). Kation yang umum digunakan adalah Mg2+ (Zador, 2011). 23 2.7.3 Multiplex PCR Multiplex PCR atau disebut juga reaksi berantai polimerase adalah suatu metode enzimatis untuk memperbanyak secara eksponensial sekuen nukleotida secara in vitro (Novel, dkk., 2011). Multiplex PCR merupakan salah satu modifikasi atau variasi teknik PCR yang dapat mengamplifikasi dua hingga lebih regio DNA secara simultan (Edwards, 1994; Henegariu et al., 1997). Pada metode multiplex mengamplifikasi PCR regio digunakan DNA target. sejumlah pasangan Keunggulan primer multiplex PCR untuk bila dibandingkan dengan metode PCR lainnya, yaitu: 1. Adanya kontrol internal dari amplifikasi beberapa fragmen sekaligus. Hal ini berfungsi untuk mengetahui adanya hasil negatif palsu. Reaksi dapat dikatakan negatif atau gagal apabila seluruh produk tidak tampak pada visualisasi. Bila hanya satu atau beberapa produk saja dari seluruh fragmen yang diamplifikasi tidak tampak, dapat dikatakan hasil adalah negatif palsu. 2. Multiplex PCR lebih mampu mengindikasikan kualitas template DNA dibandingkan pada PCR tunggal. Penurunan kualitas template DNA akan menunjukkan pita-pita panjang lebih lemah dibandingkan yang pendek. 3. Efisiensi biaya dan waktu persiapan bila dibandingkan dengan multiplex tunggal. Multiplex PCR merupakan teknik yang dapat dipilih bila ingin mengeluarkan biaya serta menggunakan template DNA yang relatif sedikit. Persiapan reaksi amplifikasi untuk beberapa fragmen dapat dilakukan sekaligus. (Edwards, 1994) 24 2.8 Desain Primer Primer PCR merupakan oligodioksinukleotida atau oligomer yang didesain sebagai komplemen ujung sekuen amplikon target PCR. Dua buah primer PCR merupakan komplemen dari untai tunggal target amplifikasi sehingga tidak saling berhubungan. Pemilihan primer yang digunakan dalam proses PCR sebaiknya memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Panjang Primer Panjang primer yang ideal adalah 18-24 bp (Henegariu, et al., 1997). Primer dengan panjang kurang dari 18 bp memiliki kemungkinan terjadinya mispriming tinggi. Hal ini akan mengurangi spesifisitas primer dan berakibat pada efektivitas dan efisiensi proses PCR. Namun pada penggunaan primer yang terlalu panjang tidak akan meningkatkan spesifisitas primer secara bermakna melainkan mengakibatkan biaya primer yang lebih mahal (Handoyo dan Rudiretna, 2000). b. Persen (%) GC Kandungan basa G dan C pada primer umumnya adalah 35-60% (Henegariu, et al., 1997). Primer dengan % (G+C) rendah diperkirakan tidak akan mampu berkompetisi untuk menempel secara efektif pada target yang dituju sehingga akan menurunkan efisiensi proses PCR. Pada ujung 3’, basa nukleotida sebaiknya G atau C. Nukleotida A atau T bersifat lebih toleran terhadap mismatch dari pada G atau C karena memiliki jumlah ikatan hidrogen yang lebih sedikit (Handoyo dan Rudiretna, 2000). 25 c. Temperatur Annealing Temperatur annealing yang baik adalah 55°-58°C (Henegariu, et al., 1997). Temperatur annealing umumnya dapat dihitung 5°C lebih rendah dari perkiraan melting temperature (Judelson, 2006). d. Melting Temperature (Tm) Melting temperature adalah temperatur ketika 50% untai ganda DNA terpisah. Tm berkaitan dengan komposisi primer dan panjang primer. Secara teoritis Tm primer dapat dihitung dengan menggunakan rumus [2(A+T) + 4(C+G)] (Handoyo dan Rudiretna, 2000). Temperatur yang ideal adalah 55°-65°C. Primer dengan Tm di atas 65°-70°C akan mudah mengalami mispriming pada temperatur rendah. Primer dengan Tm rendah tidak akan dapat bekerja pada termperatur tinggi. Pada dua buah primer yang digunakan harus memiliki perbedaan Tm tidak lebih dari 5°C (Judelson, 2006). e. Interaksi Primer-primer Pada primer forward dan reverse sebaiknya tidak ada dimer maupun hairpin (Henegariu, et al., 1997). Dimer menunjukkan adanya hibridisasi antara basa primer yang identik. Dimer pada ujung 3’ dapat dilihat pada Gambar 2.7 dan dimer bagian lain pada Gambar 2.8. DNA polimerase dapat mengikat spesies yang identik dan memperpanjang di kedua arah. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan efisiensi amplifikasi hingga produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan keinginan (Yuryev, tt). Hairpin memiliki kesamaan dengan dimer, namun pada hairpin ujung-ujung primer saling berkomplemen. Interaksi hairpin dapat dilihat pada Gambar 2.9. 26 Gambar 2.7 Dimer Primer pada Ujung 3’ (Judelson, 2006) Gambar 2.8 Dimer Primer selain pada Ujung 3’ (Judelson, 2006) Gambar 2.9 Hairpin Primer (Judelson, 2006) f. Stabilitas Primer Stabilitas primer menentukan efisiensi false priming. Primer yang ideal memiliki ujung 5' yang stabil dan ujung 3' yang tidak stabil. Jika primer memiliki ujung 3' stabil, maka ikatan ke situs komplemen akan menggantung di tepi. Hal ini akan mengakibatkan pita sekunder. Sehingga disarankan stabilitas ujung 5’ lebih tinggi dibandingkan dengan ujung 3’ (PBI, 2009). g. Repeats dan Runs Repeats merupakan pengulangan dinukleotida secara berurut pada primer. Sedangkan runs merupakan pengulangan nukleotida secara berurut pada primer. Adanya Repeats dan runs akan meningkatkan kemungkinan false priming. Primer tidak diperbolehkan memiliki repeats ataupun runs sebanyak tiga atau lebih (PBI, 2009). 27 Hasil amplifikasi dengan primer yang dirancang seringkali kurang sesuai dengan yang diharapan sehingga dianjurkan untuk melakukan optimasi proses PCR. Dalam proses optimasi dapat dilakukan perlakuan sebagai berikut: 1. Apabila produk tidak dideteksi, maka dapat dilakukan peningkatan konsentrasi primer atau penurunan temperatur annealing. 2. Yield produk rendah, dapat dilakukan peningkatan konsentrasi primer; untuk produk yang panjang dapat dilakukan penurunan waktu elongasi; sedangkan untuk produk yang pendek dapat dilakukan pemanjangan waktu elongasi. 3. Yield produk terlalu banyak dapat dilakukan penurunan konsentrasi primer atau untuk produk yang panjang, waktu elongasi diturunkan (Loffert, et al., 1999). 2.9 Analisis Produk PCR Produk PCR dapat dilakukan analisis dengan menggunakan elektroforesis dan sekuensing. 2.9.1 Elektroforesis Elektroforesis merupakan metode pemisahan yang digunakan untuk menentukan ukuran molekul fragmen DNA (BEC, 2003). Prinsip pemisahannya adalah molekul yang lebih kecil akan melewati pori-pori gel lebih mudah daripada yang lebih besar. Tingkat migrasi fragmen DNA linear berbanding terbalik dengan log ukurannya dalam pasangan basa. Ini berarti bahwa semakin kecil fragmen linier, semakin cepat bermigrasi melalui gel. Mobilitas molekul selama 28 elektroforesis dapat dipengaruhi oleh konsentrasi gel dan volume larutan gel agarosa (BEC, 2003). Elektroforesis horizontal merupakan tipe yang paling umum digunakan untuk memisahkan molekul DNA dibandingkan dengan tipe vertikal (pemisah protein). Chamber elektroforesis memiliki elektroda pada kedua ujungnya yang memiliki konduktivitas listrik yang baik (BEC, 2003). Gel agarosa yang digunakan sebagai media dibuat dengan melarutkan serbuk agarosa dalam larutan buffer mendidih. Pada beberapa eksperimen diperlukan gel agarosa dengan persentase hingga 1% atau 1,5% untuk memperoleh pemisahan yang baik. Larutan tersebut kemudian didinginkan sampai sekitar 55°C dan dituangkan ke dalam baki pengecoran yang berfungsi sebagai cetakan. Sumur dibuat dengan cetakan comb saat larutan gel mengeras. Setelah gel mengeras, gel direndam dalam buffer pada alat elektroforesis yang berisi elektroda positif di satu sisi dan elektroda negatif pada sisi yang lain. Sampel dapat dicampurkan dengan komponen, seperti gliserol atau sukrosa, yang berfungsi sebagai pemberat. Sumber listrik (DC) terhubung ke alat elektroforesis. Molekul yang memiliki muatan negatif akan bermigrasi ke arah elektroda positif (anoda) sedangkan molekul bermuatan positif bermigrasi ke arah elektroda negatif (katoda). Semakin tinggi tegangan yang diberikan maka semakin cepat sampel bermigrasi. Buffer berfungsi sebagai konduktor listrik dan untuk mengontrol pH molekul biologis. DNA bermigrasi melalui gel menuju elektroda positif selama elektroforesis (BEC, 2003). 29 Dalam proses elektroforesis diperlukan suatu perwarnaan untuk menentukan secara tepat migrasi sampel. Pewarna yang paling umum digunakan adalah Etidium bromida atau Methylene blue. Visualisasi hasil pemisahan elektroforesis membutuhkan sumber cahaya ultraviolet gelombang pendek (transiluminator) (BEC, 2003). 2.9.2 Sekuensing Sekuensing berfungsi untuk memperoleh urutan DNA produk PCR. Sekuen yang diperoleh dapat digunakan untuk dibandingkan dengan sekuen wild type produk sehingga diketahui adanya perubahan urutan nukleotida (Edwards and Gibbs, 1994).