Kelompok Studi Herpes Indonesia (KSHI) Badan Penerbit

advertisement
Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Kelompok Studi Herpes Indonesia (KSHI)
i
Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-­Undang
Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin editor dan penerbit.
Diterbitkan pertama kali oleh :
Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta, 2014
Penerbitan buku ini dikelola oleh :
Badan Penerbit FKUI, Jakarta
Website: bpfkui.com
Isi diluar tanggung jawab percetakan
Koordinator Penerbitan : Dr. Hendra Utama, SpFK
Redaksi Pelaksana Penerbitan : Dr. Herqutanto, MPH, MARS
ISBN: 978-­979-­496-­828-­4
ii
Pengantar
Salam sejahtera
Sangat disadari, morbiditas infeksi virus di Indonesia masih sangat tinggi. Hal ini terbukti dari data oleh Kelompok Studi Herpes Indonesia (KSHI), yang berhasil mengumpulkan morbiditas Herpes Zoster dari 13 RS Pendidikan di Indonesia dan beberapa RS tipe A dan B di Indonesia Barat sampai Timur. Terlihat dari data, bahwa insidens infeksi tertinggi pada dekade ke-­ 4, sehingga terjadi pergeseran usia dari data infeksi HZ terdahulu, dan 20% diantaranya mengalami kejadian Neuralgia Paska Herpes sehingga usaha preventif dan dampak kualitas hidup akibat gejala sisa berupa nyeri berkepanjangan paska infeksi ini juga perlu dianalisis dan mendapat perhatian khusus. Dalam era saat ini, harus menjadi perhatian bahwa diagnosis dini hingga tatalaksana yang tepat, merupakan kompetensi dokter layanan primer. Dan tatalaksana dalam menghadapi komplikasi klinis serta gejala sisa merupakan ranah dokter spesialis Kulit dan Kelamin serta dokter spesialis terkait lain. Penghargaan setingginya pada Ketua dan para anggota KS yang telah berhasil menyusun buku panduan ini dalam format buku saku yang mudah digunakan;; dan dirasakan iii
sangat perlu sehingga para dokter mempunyai pegangan dalam praktek sehari-­hari. Akhir kata, ucapan selamat menjalankan tugas kepada sejawat sekalian di daerah masing-­masing, dan khusus kepada KS agar tetap berkarya sebagai kontribusi PERDOSKI kepada anggota, dan khususnya dalam mewujudkan kesehatan masyarakat Indonesia. Salam hangat
Ketua PP PERDOSKI
Dr. Syarief Hidayat, SpKK
FINSDV,FAADV
iv
Prakata
Dengan mengucap syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa, akhirnya terbitlah buku penatalaksanaan infeksi Virus Varisela Zoster tahun 2014. Kami harapkan buku ini akan menjawab tantangan bagi para dokter dalam meningkatkan kompetensinya dan juga akan meningkatkan kepercayaan para dokter dalam menangani pasien dalam kaitan penanganan infeksi virus. Beberapa tambahan dan perkembangan baru melengkapi Penatalaksanaan Infeksi Herpes Virus Humanus Di Indoneisa tahun 2011. Adapun tambahan tersebut yaitu :
t Adanya data epidemiologi Herpes Zoster terbaru 2011-­
2013, yang menunjukan trend dimana Herpes Zoster cenderung diderita pada orang dengan usia yang lebih muda
t Dampak Herpes Zoster dan Neuralgia Post Herpetika pada kualitas hidup, Virologi Herpes Zoster, Herpes Zoster pada keadaan khusus seperti usia lanjut, immunokomporomais, dan komorbid lain.
t Membicarakan secara rinci tentang imunisasi herpes zoster yang akan melibatkan disiplin ilmu yang lain dan kelompok kerja vaksinasi Indonesia.
v
Kami mengucapkan terima kasih kepada:
t Para anggota KSHI yang tidak kenal lelah dalam memberi materi dalam penyusunan buku sampai selesai.
t Kepala bagian IP Kulit dan Kelamin dari RS pendidikan seluruh Indonesia yang telah membantu dalam memberikan data tentang herpes dan NPH.
t Satgas Imunisasi Dewasa PABDI yang turut terlibat dalam penyusunan buku ini. t Ketua PERDOSKI Pusat Indonesia yang telah memberikan restu dan sambutannya dalam penerbitan buku ini.
t PT MSD yang telah banyak membantu sehingga buku ini dapat terbit.
t Semua pihak yang namanya tidak bisa disebutkan satu per satu dalam buku ini.
Harapan kami semoga buku ini akan memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam penatalaksanaan infeksi Virus Varisela Zoster di Indonesia.
Terakhir kami sampaikan permohonan maaf kami apabila dalam penulisan terdapat kesalahan baik dalam penulisan nama, gelar dan sebagainya.
Ketua Kelompok Studi Herpes Indonesia.
DR Hans Lumintang dr, SpKK(K), DSTD, FINS-­DV, FAADV
vi
Tim Penyusun
AAGP Wiraguna, Sp KK
AdolfH.Mittaart, Sp KK
Denpasar
Manado
Andi Sastri Zainuddin, Sp KK Makassar
Armen Muchtar, Sp KK Jakarta
Benny E.Wiryadi, Sp KK
Jakarta
Dwi Murtiastutik, Sp KK
Surabaya
Endi Moegni, Sp OG
Jakarta
Erdina H D Pusponegoro, Sp KK
Jakarta
Farida Zubier, Sp KK
Jakarta
Fera Ibrahim Sp MK
Jakarta
Hanny Nilasari, Sp KK
Jakarta
Hans Lumintang, Sp KK
Surabaya
Hardiono D Pusponegoro Sp A
Harijono Kariosentono, Sp KK
Jakarta
Solo
Jusuf Barakbah, Sp KK
Surabaya
Lewie Suryaatmadja, Sp KK
Semarang
Made Swastika Adiguna, Sp KK
Denpasar
Qaira Anum, Sp KK
Padang
Rachmat dinata Sp KK
Bandung
Bandung
Rasmia Rowawi, Sp KK
Richard S P Hutapea, Sp KK
Sawitri, Sp KK
Medan
Surabaya
Siti Aisah B, Sp KK
Jakarta
Sjaiful Fahmi Daili, Sp KK
Jakarta
Soedarman Sjamsoe Sp M
Jakarta
Sunardi Radiono, Sp KK
Tony Djaja kusumah, Sp KK
Jogjakarta
Bandung
Wresti Indriatmi, Sp KK
Jakarta
Lukman Hakim, Sp KK
Malang
Nurdjannah J. Niode, Sp KK
Manado
Satiti Retno P. , Sp KK
Jogjakarta
Suroso Adi Nugroho, Sp KK
Palembang
Titi Lestari Sugito, Sp KK
Jakarta
Tjahjadi,drg, Sp KK
Jakarta
, Tjut NurulAlam, Sp KK Jakarta
Santoso Edy Budiono, Sp KK
Endang Sutedja, Sp KK
Banten
Bandung
vii
Rasmia Rowawi, Sp KK
Richard S P Hutapea, Sp KK
Sawitri, Sp KK
Bandung
Medan
Surabaya
Siti Aisah B, Sp KK
Jakarta
Sjaiful Fahmi Daili, Sp KK
Jakarta
Soedarman Sjamsoe Sp M
Tim Penyusun
Jakarta
Wresti Indriatmi, Sp KK
Jakarta
Lukman Hakim, Sp KK
Malang
Nurdjannah J. Niode, Sp KK
Manado
Sunardi Radiono, Sp KK
Tony Djaja kusumah, Sp KK
Satiti Retno P. , Sp KK
Jogjakarta
Bandung
Jogjakarta
Suroso Adi Nugroho, Sp KK
Palembang
Titi Lestari Sugito, Sp KK
Jakarta
Tjahjadi,drg, Sp KK
Jakarta
, Tjut NurulAlam, Sp KK Jakarta
Santoso Edy Budiono, Sp KK
Endang Sutedja, Sp KK
Banten
Bandung
Sri Adi Sularsito, Sp KK Jakarta
Lili Legiawati, Sp KK Jakarta
Nadia Yusharyahya, Sp KK
Afif Hidayati, Sp KK
viii
Jakarta
Surabaya
Dhelya Widasmara, Sp KK
Malang
Dewi Inong, Sp KK
Jakarta
Dali Amiruddin, Sp KK
Makassar
Roh Prabohwo, Sp KK
Bogor
Samsuridjal Djauzi , Sp PD
Jakarta
Sukamto Koesno, Sp PD
Jakarta
Daftar Isi
I. Pendahuluan ..................................................... 1 A. Permasalahan .............................................. 1
B. Dampak Terhadap Kualitas Hidup ................ 3
C. Epidemiologi di Indonesia ............................. 5
II. Virologi Virus Varicella Zoster ............................ 8
III. Diagnosis Herpes Zoster : ................................. 13
A. Diagnosis klinis ............................................ 13
B. Pemeriksaan laboratorium ........................... 16
C. Diagnosis Banding ....................................... 16
IV. Komplikasi Herpes Zoster ................................. 17
A. Kutaneus ...................................................... 17
B. Neurologis .................................................... 17
C. Mata ............................................................. 18
D. THT .............................................................. 18
E. Viseral .......................................................... 19
ix
Daftar Isi
V.
I. Herpes Zoster pada keadaan khusus .............. 20
A. Usia Lanjut dan Immunosenescence ........... 20
B. Imunokompromais ....................................... 21
C. Komorbid lain ............................................... 23
VI.
II. Penatalaksanaan Herpes Zoster ....................... 25
A. Strategi 6A .................................................... 25
B. Terapi NPH ................................................... 30
C. Indikasi Rawat Inap ...................................... 31
D. Rujukan ........................................................ 31
E. Pencegahan ................................................. 32
III. VII. Vaksin Herpes Zoster [Oka/Merck] (Zostavax®) 33
VIII.
IV. Kepustakaan ..................................................... 41
Lampiran
• Bagan alur penatalaksanaan Herpes zoster ...... 45
• Bagan Terapi Nyeri Menetap (NPH) .................. 46
• Rekomendasi Vaksinasi Herpes Zoster dari KSHI 2014 .................................................... 47
• Rekomendasi Vaksinasi Satgas Imunisasi
Dewasa 2014 ...................................................... 48
x
BAB I. PENDAHULUAN
A. PERMASALAHAN
‡ Herpes zoster (HZ) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh reaktivasi virus varisela zoster (VVZ) yang laten berdiam terutama dalam sel neuronal dan kadang-­kadang di dalam sel satelit ganglion radiks dorsalis dan ganglion sensorik saraf kranial;; menyebar ke dermatom atau jaringan saraf yang sesuai dengan VHJPHQ\DQJGLSHUVDUD¿Q\D
‡Selama fase reaktivasi, dapat terjadi infeksi VVZ di dalam sel mononuklear darah tepi yang biasanya subklinis.
‡Penyebab reaktivasi tidak sepenuhnya dimengerti tetapi di-­
perkirakan terjadi pada kondisi gangguan imunitas selular.
‡ Faktor-­faktor yang berpotensi menyebabkan reaktivasi adalah: pajanan VVZ sebelumnya (cacar air, vaksinasi), usia lebih dari 50 tahun, keadaan imunokompromais, obat-­obatan imunosupresif, HIV/AIDS, transplantasi sumsum tulang atau organ, keganasan, terapi steroid jangka panjang, stres psikologis, trauma dan tindakan pembedaan.
‡Kejadian HZ meningkat secara dramatis seiring dengan bertambahnya usia. Kira-­kira 30% populasi (1 dari 3 orang) akan mengalami HZ selama masa hidupnya, bahkan pada usia 85 tahun, 50 % (1 dari 2 orang) akan 1
mengalami HZ. Insidens HZ pada anak-­anak 0.74 per 1000 orang per tahun. Insidens ini meningkat menjadi 2,5 per 1000 orang di usia 20-­50 tahun (adult age), 7, per 1000 orang di usia lebih dari 60 tahun (older adult age) dan mencapai 10 per 1000 orang per tahun di usia 80 tahun.
‡ Hampir 90% akan mengalami nyeri. Nyeri akut maupun nyeri kronisnya dapat mengganggu kualitas hidup. Bahkan berdasarkan pengukuran derajat nyeri dari literature Katz J & Melzack R, nyeri akut herpes zoster berada pada derajat yang lebih nyeri daripada nyeri melahirkan. ‡ Pada kasus-­kasus tertentu :
o Usia lanjut : insidens HZ meningkat, komplikasi lebih sering terjadi terutama neuralgia paska HZ (NPH) yang meningkat sampai 10-­40% kasus. Penderita juga dapat mengalami komplikasi motor neuropati sebanyak 1-­5%.
o Keadaan imunokompromais : lesi kulit tampak lebih berat dan terjadi diseminata pada 6-­26% kasus. Lesi dapat menyebar ke organ dalam pada 10-­40% kasus;; 5-­15% di antaranya meninggal akibat pneumonitis.
o Penderita HIV : HZ sering mengalami rekurensi dan atau berjalan kronis.
o Bila menyerang di daerah trigeminal cabang pertama:
10-­25% terjadi komplikasi pada mata.
2
Lebih dari 53% dokter mendapat kesulitan dalam mendiagnosis HZ sebelum muncul erupsi kulit (prodromal), sehingga memperlambat pengobatan HZ. Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan pengetahuan tentang diagnosis dini pada primary health care (Puskesmas).
Perlu memberi informasi dan edukasi kepada pasien tentang penyakit HZ dan komplikasinya sehingga dapat berobat ke dokter sedini mungkin.
Melihat berbagai permasalahan tersebut di atas, diperlukan diagnosis yang cepat dan pengobatan yang efektif, aman, dan tepat waktu, untuk menghilangkan nyeri pada fase akut dan mencegah komplikasi yang dapat terjadi.
Upaya pencegahan lebih baik dilakukan untuk menurunkan angka kejadian zoster, menurunkan insidensi NPH, serta menurunkan beban penyakit. Saat ini upaya pencegahan dapat dilakukan dengan lebih efektif melalui vaksinasi herpes zoster.
B. DAMPAK TERHADAP KUALITAS HIDUP
Dampak HZ dan NPH terhadap kualitas hidup semakin dikenal, dimana pada studi kualitas hidup yang dilakukan oleh Johnson RW et al. 2010, menunjukan bahwa HZ dan NPH berdampak pada 4 area kualitas hidup yaitu :
t FISIK : Kelelahan , anorexia, penurunan
berat badan, insomnia, berkurangnya mobilitas,
LQDNWL¿WDV¿VLN
3
t PSIKOLOGIS : Depresi, ansietas, beban emosional kesulitan konsentrasi, ketakutan.
t SOSIAL : Menarik diri, isolasi, hilangnya kemandirian,
perubahan peran sosial,
menurunnya kehadiran
dalam kumpulan sosial
t AKTIVITAS RUTIN : Berpakaian, mandi, makan
bepergian, memasak pekerjaan rumah, berbelanja dan aktivitas
rutin lain
Simptom non-­nyeri dan komplikasi HZ juga mempengaruhi kualitas hidup. Beberapa simptom tertentu menyebabkan disabilitas bagi pasien, bahkan pada pasien-­pasien yang tidak mengalami nyeri yang terlalu berat. Satu dari 10 pasien imunokompeten , mengalami setidaknya 1 komplikasi non-­nyeri.
Komplikasi non-­nyeri yang dapat menyebabkan disabilitas permanen misalnya komplikasi pada mata, neurologis (misal NHOXPSXKDQVDUDISHULIHUGDQNUDQLDOGH¿VLWPRWRULNSDUHVLV
Pasien herpes juga mempunyai risiko stroke lebih besar (studi retrospektif di Taiwan menyatakan HZ meningkatkan 1,31 kali risiko stoke dan herpes zoster ophthalmicus meningkatkan 4,52 kali risiko stroke. 4
C. EPIDEMIOLOGI DI INDONESIA
t Tingginya infeksi varicella di Indonesia terbukti pada studi yang dilakukan Jufri, et al tahun 1995-­1996, dimana 2/3 dari populasi berusia 15 tahun seropositive terhadap antibodi varicella.
t Dari total 2232 pasien herpes zoster pada 13 rumah sakit pendidikan di Indonesia (2011-­2013) o Puncak kasus HZ terjadi pada usia 45-­64 : 851 (37.95 % dari total kasus HZ)
o Trend HZ cenderung terjadi pada usia yang lebih muda
o Gender : Wanita cenderung mempunyai insiden lebih tinggi
‡ Total kasus NPH adalah 593 kasus (26.5% dari total kasus HZ)
o Puncak kasus NPH pada usia 45-­64 yaitu 250 kasus NPH (42% dari total kasus NPH) 5
6
t Komplikasi Herpes Zoster Pada Mata dari Department Kulit Kelamin RS Prof. Dr. R.D. Kandou , FK Universitas Sam Ratulangi di Menado tahun 2008-­2013
o Persentase HZ Opthalmicus di Kandou Hospital: 39/224 = 17.41%
o Sama insidensinya antara mata kanan vs kiri
o Hampir 2 kali lipat insidensinya pada wanita o Insidensi tertinggi 45-­64 tahun (48%) dan •65 tahun (35%)
Data Morbiditas Herpes Zoster Dep. IK Kulit & Kelamin RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou FK UNSRAT Tahun 2008-­‐2013 Pasien Baru No Diagnosis < 5 th 5 – 14 th 15 – 24 th 25 – 44 th 45 – 64 th >= 65 th L P L P L P L P L P L P L JUMLAH P Total 1 Herpes zoster fasialis sinistra 3 2 2 1 2 1 7 4 11 2 Herpes zoster fasialis dextra 1 1 2 2 1 1 1 4 5 9 3 Herpes zoster oftalmica sinistra 2 3 6 3 4 6 12 18 4 Herpes zoster oftalmica dextra 1 1 2 4 6 4 3 9 12 21 5 Herpes zoster cervicalis sinistra 1 1 2 4 1 2 1 8 4 12 6 Herpes zoster cervicalis dextra 1 3 2 7 3 3 3 13 9 22 7 Herpes zoster torakalis sinistra 3 1 1 7 4 8 12 4 3 23 20 43 8 Herpes zoster torakalis dextra 1 1 3 2 5 4 11 5 6 3 26 15 41 9 Herpes zoster lumbalis sinistra 1 3 1 4 2 2 3 9 7 16 10 Herpes zoster lumbalis dextra 2 2 5 3 3 2 10 7 17 11 Herpes zoster sacralis sinistra 1 1 2 1 2 3 5 8 12 Herpes zoster sacralis dextra 1 1 2 1 1 2 4 6 1 7
BAB II.
VIROLOGI VIRUS VARICELLA ZOSTER
Varicella-­zoster virus (VZV) adalah herpesvirus yang merupakan penyebab dari 2 penyakit berbeda yaitu varicella (juga dikenal cacar air) dan herpes zoster (juga dikenal sebagai shingles/cacar ular/cacar api/dompo). II.VIROLOGI VIRUS VARICELLA ZOSTER
VZV merupakan anggota dari keluarga Herpesviridae, seperti herpes atau Human Herpes Virus 3 (HHV 3)
simplex virus (HSV) tipe 1 dan 2, Varicella-­zoster virus (VZV)
adalah herpesvirus yang merupakan penyebab dari 2 penyakit berbeda yaitu varicella (juga dikenal cacar air) dan herpes zoster (juga cytomegalovirus (CMV), Epstein-­Barr virus (EBV), human dikenal sebagai shingles/cacar ular/cacar api/dompo). herpesvirus 6 (HHV-­6), human herpesvirus 7 virus (HHV-­7), VZV merupakan anggota dari keluarga Herpesviridae,
bersama herpes simplex (HSV) tipe 1 dan dan 2, cytomegalovirus (CMV), Epstein-­Barr virus (EBV), human herpesvirus 6 (HHV-­6), human human herpesvirus 8 (HHV-­8).
herpesvirus 7 (HHV-­7), dan human herpesvirus 8 (HHV-­8).
1
2
7DEHO.ODVL¿NDVLYLUXVKHUSHV
Tabel 1. Klasifikasi keluarga virus herpes
8
8
Human herpes type
Name
Sub Family
Target cell type
Latency
1
Herpes simplex-­1
(HSV-­1)
Alphaherpesvirinae
Mucoepithelia
Neuron
Close contact
2
Herpes simplex-­2
(HSV-­2)
Alphaherpesvirinae
Mucoepithelia
Neuron
Close contact usually sexual
3
Varicella Zoster virus (VSV)
Alphaherpesvirinae
Mucoepithelia
Neuron
Contact or respiratory route
4
Epstein-­Barr Virus (EBV)
Gammaherpesvirinae
B lymphocyte, epithelia
B lymphocytes
Saliva
Epithelia, monocytes, lymphocytes
Contact, blood Monocytes, transfusions, lymphocytes and transplantation, possibly others
congenital
Transmission
5
Cytomegalovirus (CMV)
6
Herpes lymphotropic Betaherpesvirinae
virus
T lymphocytes and T lymphocytes others
and others
Contact, respiratory route
7
Human herpes virus-­7 (HHV-­7)
T lymphocytes and T lymphocytes others
and others
Unknown
8
Human herpes virus-­8 (HHV-­
8)Kaposi's sarcoma-­ Gammaherpesvirinae
associated herpes virus (KSHV)
Endothelial cells
Exchange of body fluids?
Betaherpesvirinae
Betaherpesvirinae
Unknown
Virus varicella adalah virus DNA, alphaherpesvirus dengan besar genom 125.000 bp, berselubung/berenvelop, dan berdiameter 80-­120 nm (Gambar 1). Virus mengkode kurang lebih 70-­80 protein, salah satunya ensim thymidine kinase yang rentan terhadap obat antivirus karena memfosforilasi acyclovir sehingga dapat menghambat replikasi DNA virus. Virus menginfeksi sel Human diploid fibroblast in vitro, sel limfosit T teraktivasi, sel epitel dan sel epidermal in vivo untuk replikasi produktif, serta sel neuron. Virus varicella dapat 8
membentuk sel sinsitia dan menyebar secara langsung dari sel ke sel . Virus varicella adalah virus DNA, alphaherpesvirus dengan besar genom 125.000 bp, berselubung/berenvelop, dan berdiameter 80-­120 nm (Gambar 1). Virus mengkode kurang lebih 70-­80 protein, salah satunya ensim thymidine kinase yang rentan terhadap obat antivirus karena memfosforilasi acyclovir sehingga dapat menghambat replikasi DNA virus. Virus menginfeksi sel Human diploid ¿EUREODVW LQ YLWUR, sel limfosit T teraktivasi, sel epitel dan sel epidermal in vivo untuk replikasi produktif, serta sel neuron. Virus varicella dapat membentuk sel sinsitia dan menyebar secara langsung dari sel ke sel. Gambar 1. Morfologi dan struktur VZV Infeksi primer dengan VZV atau varicella pada umumnya ringan, merupakan penyakit self-­limited yang biasanya ditemukan pada anak-­anak ditandai dengan demam ringan dan disertai vesikel berisi cairan yang gatal pada seluruh tubuh. Sesudah infeksi primer varicella, VZV menetap dan laten dalam akar ganglion sensoris dorsalis. Sesudah beberapa dekade, virus neurotropik ini dapat 9
mengalami reaktivasi dan menyebabkan herpes zoster. Zoster ditandai dengan erupsi vesikel unilateral yang nyeri, khas nya mengikuti dermatom saraf sensorik .
Varicella ditransmisi melalui rute respirasi. Virus menginfeksi sel epitel dan limfosit di orofaring dan saluran nafas atas atau pada konjungtiva, kemudian limfosit terinfeksi akan menyebar ke seluruh tubuh. Virus kemudian masuk kekulit melalui sel endotel pembuluh darah dan menyebar ke sel epitel menyebabkan ruam vesikel varicella. Penularan dapat terjadi melalui kontak lesi di kulit. Lesi vesikular akan EHUXEDK PHQMDGL SXVWXODU VHWHODK LQ¿OWUDVL VHO UDGDQJ
Selanjutnya lesi akan terbuka dan kering membentuk krusta, umumnya sembuh tanpa bekas. Waktu dari pertama kali kontak dengan VZV sampai muncul gejala klinis adalah 10-­
21 hari, rata-­rata 14 hari. Setelah infeksi primer, virus akan menginfeksi secara laten neuron ganglia cranial dan dorsal.
Pemahaman Laten VZV masih terbatas karena sifatnya yang VSHFLHVVSHFL¿F dan muatan virus yang rendah. Neuron adalah situs selular utama tempat VZV laten, dimana genom virus dijaga dalam bentuk konkatemerik sirkular tidak terintegrasi dengan ekspresi gen terbatas. Pola ekspresi gen terbatas VZV laten memperlihatkan ada 5 gen yang diekspresikan (VZV Open reading frames 21,29,62,63 dan 66), dengan gen 63 sebagai penanda latensi VZV.
Antibodi yang terbentuk berperan protektif akan menetap sepanjang hidup, memperlihatkan kemampuan imunoglobulin anti VZV untuk mengatasi penyakit. Sel T sitotoksik yang terbentuk 2-­3 hari setelah awitan varicella mengurangi keparahan penyakit. Imunitas selular sangat penting berperan dalam mencegah reaktivasi virus dan zoster. Jika imunitas 10
VHOXODUVSHVL¿NWHUKDGDS9=9PHQXUXQYLUXVGDSDWUHDNWLYDVL
dari ganglion turun melalui axon saraf ke sel epitel berreplikasi dan menyebabkan zoster dermatomal. Pada individu dengan gangguan sistem imun berat dapat terjadi zoster diseminata. Menurut teori Hope-­Simpson, sesudah infeksi primer VZV, selain VZV akan menetap laten di ganglion saraf dorsalis, infeksi ini akan menimbulkan kekebalan seluler VSHVL¿N9=9\DQJPHQJKDPEDWNHPDPSXDQYLUXV9=9ODWHQ
XQWXNUHDNWLYDVL.HNHEDODQVHOXOHUVSHVL¿N9=9LQLPHQXUXQ
bertahap sejalan usia namun secara berkala juga di-­booster oleh infeksi subklinis akibat paparan VZV (misalnya ketika merawat anak yang menderita cacar air). Beberapa episode reaktivasi terjadi namun dengan cepat dihambat oleh respon imun sehingga tidak ada ruam yang timbul (Gambar 2). Hope-­Simpson menyebutkan kasus abortif ini “contained reversions” yang kadang menimbulkan nyeri di dermatom terkait tanpa timbul ruam, disebut ‘zoster sine herpete’. 6HLULQJ EHUMDODQQ\D XVLD NHNHEDODQ VSHVL¿N WHUKDGDS 9=9
bisa turun dibawah batas ambang, yang menyebabkan reaktivasi virus, dan menyebabkan herpes zoster. Besarnya jumlah VZV yang diproduksi selama episode herpes zoster meningkatkan lagi kekebalan terhadap VZV, sehingga hal ini Menjelaskan mengapa jarang terjadi rekurensi pada individu yang imunokompetent.
11
12
*DPEDU3DWRJHQHVLVKHUSHV]RVWHUEHUGDVDUNDQ+RSH6LPSVRQ6XPEHU0RGL¿NDVLGDUL
Hope-­Simpson R. ProcR Soc Med. 1965;;58:9-­20.
BAB III.
DIAGNOSIS HERPES ZOSTER
A. DIAGNOSIS KLINIS
Gejala Prod romal Berlangsung 1-­5 hari. Keluhan biasanya diawali dengan nyeri pada daerah dermatom yang akan timbul lesi dan dapat berlangsung dalam waktu yang bervariasi. Nyeri bersifat segmental dan dapat berlangsung terus-­menerus atau sebagai serangan yang hilang timbul. Keluhan bervariasi dari rasa gatal, kesemutan, panas, pedih, nyeri tekan, hiperestesi sampai rasa ditusuk-­tusuk.
o Selain nyeri, dapat didahului dengan cegukan atau sendawa. Gejala konstitusi berupa malaise, sefalgia, RWKHUÀXOLNHV\PSWRPVyang biasanya akan menghilang setelah erupsi kulit timbul. Kadang-­kadang terjadi limfadenopati regional
Erupsi kulit
o Erupsi kulit hampir selalu unilateral dan biasanya WHUEDWDVSDGDGDHUDK\DQJGLSHUVDUD¿ROHKVDWX
ganglion sensorik. Erupsi dapat terjadi di seluruh bagian tubuh, yang tersering di daerah ganglion torakalis.
o Lesi dimulai dengan makula eritroskuamosa, kemudian terbentuk papul-­papul dan dalam waktu 12-­24 jam lesi berkembang menjadi vesikel. Pada hari ketiga berubah 13
menjadi pustul yang akan meng ering menjadi krusta dalam 7-­10 hari. Krusta dapat bertahan sampai 2-­3 minggu kemudian mengelupas. Pada saat ini biasanya nyeri segmental juga menghilang.
o Lesi baru dapat terus muncul sampai hari ketiga dan kadang-­kadang sampai hari ketujuh.
o Erupsi kulit yang berat dapat meninggalkan makula hiperpigmentasi dan jaringan parut (pitted scar)
o Erupsi umumnya disertai nyeri (60-­90% kasus)
Variasi klinis
o Pada beberapa kasus nyeri segmental tidak diikuti erupsi kulit, keadaan ini disebut zoster sine herpete.
o Herpes zoster abortif : bila perjalanan penyakit berlangsung singkat dan kelainan kulit hanya berupa vesikel dan eritema.
o Herpes zoster oftalmikus : HZ yang menyerang cabang pertama nervus trigeminus. Erupsi kulit sebatas mata sampai ke verteks, tetapi tidak melalui garis tengah dahi. Bila mengenai anak cabang nasosilaris (adanya vesikel pada puncak hidung yang dikenal sebagai tanda Hutchinson, sampai dengan kantus medialis) harus diwaspadai kemungkinan terjadinya komplikasi pada mata.
14
o Sindrom Ramsay-­Hunt : HZ di liang telinga luar atau membrana timpani, disertai paresis fasialis yang nyeri, gangguan lakrimasi, gangguan pengecap 2/3 bagian depan lidah, tinitus, vertigo, dan tuli. Kelainan tersebut sebagai akibat virus menyerang nervus fasialis dan nervus auditorius.
o Herpes zoster aberans : HZ disertai vesikel minimal 10 buah yang melewati garis tengah.
o Herpes zoster pada imunokompromais : perjalanan penyakit dan manifestasi klinisnya berubah, seringkali WLGDN VSHVL¿N VHULQJ UHNXUHQV EHUODQJVXQJ OHELK ODPD
(lebih dari 6 minggu), cenderung kronik persisten, menyebar ke alat-­alat dalam terutama paru, hati, dan otak. Gejala prodromal lebih hebat, erupsi kulit lebih berat (bula hemoragik, hiperkeratotik, nekrotik), lebih luas (aberans/
multidermatom/diseminata), lebih nyeri, dan komplikasi lebih sering terjadi.
o Herpes zoster pada ibu hamil : ringan, kemungkinan terjadi komplikasi sangat jarang. Risiko infeksi pada janin dan neonatus dari ibu hamil dengan HZ juga sangat kecil. Karena alasan tersebut, HZ pada kehamilan tidak diterapi dengan antiviral.
o Herpes zoster pada neonatus : jarang ditemukan. Penyakit biasanya ringan, sembuh tanpa gejala sisa. HZ pada neonatus tidak membutuhkan terapi antiviral.
o Herpes zoster pada anak : ringan, banyak menyerang di daerah servikal bawah. Juga tidak membutuhkan pengobatan dengan antiviral.
15
B. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium diperlukan bila terdapat gambaran klinis yang meragukan.
t Tes Tzanck (adanya perubahan sitologi sel epitel dimana terlihat multi nucleated giant sel)
t ,GHQWL¿NDVL DQWLJHQDVDP QXNOHDW 99= GHQJDQ
metode PCR
C. DIAGNOSIS BANDING
Stadium praerupsi : nyeri akut segmental sulit dibedakan dengan nyeri yang timbul karena penyakit sistemik sesuai dengan lokasi anatomik
Stadium erupsi : herpes simpleks zosteriformis, dermatitis kontak iritan, dermatitis venenata, penyakit Duhring, luka bakar, autoinokulasi vaksinia, infeksi bakterial setempat.
16
BAB IV. KOMPLIKASI HERPES ZOSTER
A. KOMPLIKASI KUTANEUS
o Infeksi sekunder : dapat menghambat penyembuhan dan pembentukan jaringan parut (selulitis ,impetigo dll)
o *DQJUHQ VXSHU¿VLDOLV menunjukkan HZ yang berat, mengakibatkan hambatan penyembuhan dan pem-­
bentukan jaringan parut
B. KOMPLIKASI NEUROLOGIS
o Neuralgia paska herpes (NPH) : nyeri yang menetap di dermatom yang terkena 3 bulan setelah erupsi HZ menghilang. Insidensi PHN berkisar sekitar 10-­40% dari kasus HZ. NPH merupakan aspek HZ yang paling mengganggu pasien secara fungsional. dan psikososial. Pasien dengan NPH akan mengalami nyeri konstan (terbakar, nyeri, berdenyut), nyeri intermiten (tertusuk-­tusuk), dan nyeri yang dipicu stimulus seperti allodinia (nyeri yang dipicu stimulus normal seperti sentuhan dll).
Risiko NPH meningkat pada usia>50 th (27x lipat) ;; nyeri prodromal lebih lama atau lebih hebat;; erupsi kulit lebih hebat (luas dan berlangsung lama) atau intensitas nyerinya lebih berat. Risiko lain : Distribusi di daerah oftalmik, ansietas, depresi, kurangnya kepuasan hidup, wanita, diabetes.
17
Walaupun mendapat terapi antivirus, NPH tetap terjadi pada 10-­20% pasien HZ, dan sering kali refrakter terhadap pengobatan, walau pengobatan sudah optimal, 40 % tetap merasa nyeri.
o Meningoensefalitis, arteritis granulomatosa, mielitis, motor QHXURSDWLGH¿VLWPRWRULNVWURNHGDQbell’s palsy
C. KOMPLIKASI MATA
o Keterlibatan saraf trigeminal cabang pertama menyebabkan HZ Oftalmikus, terjadi pada 10-­25% dari kasus HZ, yang dapat menyebabkan hilangnya penglihatan, nyeri menetap lama, dan/atau luka parut. o Keratitis (2/3 dari pasien HZO), konjungtivitis, uveitis, episkleritis, skleritis, koroiditis, neuritis optika, retinitis, retraksi kelopak, ptosis, dan glaukoma.
D. KOMPLIKASI THT
Sindrom Ramsay Hunt sering disebut HZ Otikus merupakan komplikasi pada THT yang jarang terjadi namun dapat serius. Sindrom ini terjadi akibat reaktivasi VZV di ganglion genikulata saraf fasialis. Tanda dan gejala sindrom Ramsay Hunt meliputi HZ di liang telinga luar atau membrana timpani, disertai paresis fasialis yang nyeri, gangguan lakrimasi, gangguan pengecap 2/3 bagian depan lidah, tinitus, vertigo, dan tuli. Banyak pasien yang tidak pulih sempurna.
18
E. VISERAL
o Dipertimbangkan bila ditemukan nyeri abdomen dan distensi abdomen.
o Komplikasi visceral pada HZ jarang terjadi, komplikasi yang dapat terjadi misalnya hepatitis, miokarditis, pericarditis, artitis.
19
BAB V.
HERPES ZOSTER PADA KEADAAN KHUSUS
A. USIA LANJUT (IMMUNOSENESCENCE) Immunosenescence merupakan suatu proses kompleks yang ditandai dengan penurunan fungsi sistem imun seseorang seiring dengan bertambahnya usia.
Insiden HZ meningkat tajam pada usia ‫׽‬50–60 tahun dan terus meningkat pada usia > 60 tahun, bahkan pada studi kohort menunjukan pada usia 85 tahun, 1 dari 2 orang akan terkena HZ. Hal ini terjadi akibat penurunan imunitas seluler VSHVL¿NWHUKDGDSYLUXVvaricella zoster. 0HQXUXQQ\D LPPXQLWDV VHOXOHU VSHVL¿N WHUKDGDS YLUXV
varicella zoster juga menyebabkan meningkatnya insidensi nyeri prodromal, meningkatnya keparahan HZ dan peningkatan insiden NPH. NHP merupakan komplikasi paling sering, Komplikasi HZ ODLQ \DQJ VHULQJ WHUMDGL SDGD XVLD ODQMXW DGDODK LQÀDPDVL
okular pada HZ oftalmikus, stroke sekunder akibat artritis granulomatous di arteri karotid internal pada HZ oftalmikus, paresis motorik, sindrom Ramsay Hunt, dan infeksi bakteri sekunder pada lesi HZ.
Seperti pada berbagai penyakit lain pada pasien usia lanjut, HZ dapat menunjukan tanda dan gejala yang tidak khas, seperti adanya nyeri segmental yang tidak diikuti erupsi kulit (“zoster sine herpete”);; kelumpuhan fasial akut, tuli, vertigo, atau disgeusia (“neuritis kranial”);; penglihatan kabur dan nyeri mata (“nekrosis retina akut”);; demam, delirium, 20
meningismus (“meningoensefalitis”). Pada lesi perioral dan gluteal, sulit dibedakan dengan “zosteriform herpes simpleks”. Oleh karena itu diagnosis perlu ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium.
B. IMMUNOKOMPROMAIS
Disfungsi imunitas seluler pada pasien immunokompromais merupakan pemicu HZ yang potensial, sehingga insiden HZ meningkat pada pasien-­pasien immunokompromais sbb:
‡ Gangguan limfoproliferatif
‡.DQNHU
‡ Pemberian kemoterapi
‡ Transplantasi organ dan sumsum tulang
‡ 'H¿VLHQVLLPXQLWDVVHOXOHU
‡ Infeksi HIV
‡ Penyakit Hodgkin’s
‡ Limfoma non-­Hodgkin”s
‡ Leukemia
‡ Penyakit otoimun seperti sistemik lupus eritematosus
‡ Pemakaian obat-­obat immunosupresif
Infeksi HIV/ AIDS merupakan penyebab terbanyak reaktivasi HZ. Pada penderita HIV bisa terjadi serangan rekuren dari HZ.
Pada penderita imunokompromais dengan VZV infeksi / reaktivasi ditemukan keadaan sebagai berikut:
‡
Infeksi Varisela dengan penyebaran visceral
‡
Herpes Zoster dengan diseminasi kutan
21
‡
Herpes Zoster dengan diseminasi visceral dan kutan
‡
Reaktivasi penyebaran VZV infeksi dengan diseminasi hematogenous
‡
Herpes Zoster yang persisten pada infeksi dermatom
‡
VZV infeksi kronik dikulit setelah penyebaran hematogenous.
Anamnesa :
Melakukan anamnesa yang teliti tentang keadaan penderita seperti adanya riwayat seksual, penasun, penularan vertikal ibu ke anak;; riwayat adanya pemakaian obat ARV;; tanda-­
tanda konstitusi dari infeksi ARV seperti infeksi akut, ÀX
like sindrom, diare, batuk, penurunan berat badan;; riwayat pemakaian obat kemoterapi, steroid jangka panjang;; penyakit \DQJGLFXULJDLVHEDJDLSHQ\HEDESHQ\DNLWLPXQRGH¿VLHQVL
Gambaran klinik:
‡ Ditemukan penyebaran infeks varisela yang rekuren tanpa adanya gejala Herpes Zoster, dimana lesi vesikel dan pustule sangat banyak.
‡ Ditemukan adanya gejala Herpes Zoster yang menyerang beberapa dermatom sekaligus.
‡ Adanya gejala Herpes Zoster yang disertai dengan vesikel dan bula yang tersebar (Herpes Zoster Generalisata).
‡ Adanya lesi herpes zoster yang menetap berupa papul 22
dan nodul yang menjadi hiperkeratosis dan verukous pada satu dermatom.
‡ Ulkus kronik yang menetap selama berbulan-­bulan dimana penyembuhan dari ulkus sangat lambat.
‡ Terjadinya gambaran bula didaerah tangan dan tumit, dilanjutkan penyebaran tanpa mengikuti dermatom. Lesi kronis yang berupa nodul ulkus, krusta. Reaksi pasca LQÀDPDVLEHUXSDKLSRGDQKLSHUSLJPHQWDVL
‡ Ditemukan adanya gejala sistemik yang menyerang: mata dan retina, gangguan penglihatan sampai buta.
‡ Gejala sistem saraf.
Prognosa:
Pada lesi yang menyerang organ viseral terutama pada kemoterapi, mortalitas mencapai 30 %. Apalagi kalau jumlah limfosit menurun menjadi < 500/mikroliter.
Varisela pneumoni dapat muncul 3-­ 7 hari setelah serangan infeksi kulit, berlangsung 2 -­ 4 minggu.
Gejala CNS muncul 4 -­ 8 hari setelah infeksi kulit dan akan memberikan prognosa jelek.
C. KOMORBID LAIN
Pada studi case control yang dilakukan Riduan, et al, 2012, dari data sekitar 60.000 pasien HZ usia 20-­64 tahun. Diantara 10 penyakit kronis (tanpa mengikut sertakan pasien imunokompromais) yang paling sering ditemukan di Amerika (rinitis alergika, penyakit paru obstruktif kronis, penyakit 23
jantung koroner, depresi, diabetes mellitus [DM], gout, hiperlipidemia, hipertension, hipotiroidism, dan osteoarthritis), PDND SHQ\DNLW NURQLV WHUVHEXW VLJQL¿NDQ PHQLQJNDWNDQ
ULVLNR+=NHFXDOLJRXWGDQKLSHUWHQVL1DPXQVWXGLNRQ¿UPDVL
masih perlu dilakukan lebih lanjut.
24
BAB VI.
PENATALAKSANAAN HERPES ZOSTER
A. Strategi 6A
Dalam penatalaksanaan HZ, dikenal strategi 6 A:
‡Attract patient early
‡Asses patient fully
‡Antiviral therapy
Efektivitas antiviral dalam menurunkan insidens, beban penyakit HZ durasi HZ, serta nyeri berkepanjangan telah dievaluasi secara metaanalisis, multicenter randomized double-­blind controlled trial. Masuk dalam kategori high GHJUHHRIFRQ¿GHQFH
Tambahan terapi
‡Analgetik
‡Antidepressant/antikonvulsant
‡Allay anxietas-­counselling
(¿NDVLQ\D LQNRQVLVWHQ PHUXSDNDQ KDVLO GDUL uncontrolled multiple clinical trial dan clinical experiences. Masuk dalam kategori PRGHUDWHFRQ¿GHQFH
25
Attract patient early :
o Pasien
Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang optimal, pengobatan sedini mungkin dalam 72 jam setelah erupsi kulit
o Dokter
Diagnosis dini
$QDPQHVLV GDQ SHPHULNVDDQ ¿VLN VHFDUD VHNVDPD GDQ
lengkap
Asses patient fully :
memperhatikan kondisi khusus pasien misalnya usia lanjut, risiko NPH, risiko komplikasi mata, sindrom Ramsay +XQWNHPXQJNLQDQLPXQRNRPSURPDLVNHPXQJNLQDQGH¿VLW
motorik dan kemungkinan terkenanya organ dalam.
Antiviral
Antivirus diberikan tanpa melihat waktu timbulnya lesi pada :
o usia > 50 thn
o dengan risiko terjadinya NPH
o HZO / sindrom Ramsay Hunt / HZ servikal / HZ sakral
o imunokompromais, diseminata/ generalisata, dengan komplikasi
o anak-­anak, usia < 50 tahun dan perempuan hamil diberikan terapi antiviral bila disertai: risiko terjadinya NPH, HZO/sindrom Ramsay Hunt, imunokompromais, diseminata/generalisata, dengan komplikasi.
26
Pengobatan Antivirus :
o Asiklovir dewasa : 5 x 800 mg/hari selama 7-­10hari atau
o Asiklovir iv 3x10 mg/kgBB/hari
o Valasiklovir untuk dewasa 3x1 gram/hari selama 7 hari atau
o Famsiklovir untuk dewasa: 3x250 mg/hari selama 7 hari.
Catatan khusus :
tPemberian antivirus masih dapat diberikan setelah 72 jam
bila masih timbul lesi baru/ terdapat vesikel berumur < 3 hari.
t Bila disertai keterlibatan organ viseral diberikan asiklovir
intravena 10 mg/kgBB, 3x per hari selama 5-­10 hari. Asiklovir dilarutkan dalam 100 cc NaCl 0,9% dan diberikan tetes selama satu jam.
tUntuk wanita hamil diberikan asiklovir
tUntuk herpes zoster dengan paralisis fasial/kranial, polineuritis, dan keterlibatan SSP dikombinasikan dengan kortikosteroid walaupun keuntungannya belum dievaluasi secara sistematis
27
Pengobatan Antivirus pada pasien imunokompromais
o Asiklovir dewasa : 4-­5 x 800 mg/hari atau
o Asiklovir iv 3 x 10 mg/kgBB/hari pada highly imunocompromais, multi semental/diseminata
o Valasiklovir untuk dewasa : 3 x 1 gram/hari atau
o Famsiklovir untuk dewasa : 3 x 500 mg/hari.
o Pada kasus yang hebat selain pemberian IV acyclovir ditambahkan Interferon Alpha 2a
o Acyclovir resisten diberi Foscarnet
o Pengobatan dapat dilanjutkan dengan terapi supresi terutama bila gejala klinik belum menghilang : berikan acyclovir 2 x 400 mg perhari atau Valacyclovir 500 mg perhari.
o Peningkatan sistem imun
1. Pemberian imunomodulator seperti interferon
2. Pemberian Isoprinosine
o Suportif sel Jaringan mencegah stress jaringan dan apoptosis:
1. Anti oksidan
2. Memperbaiki protein dan karbohidrat
Catatan : lama pemberian antiviral sampai stadium krustasi
28
Dosis Asiklovir anak
< 12 tahun : 30 mg/kgBB 7 hari
> 12 tahun : 60 mg/kgBB 7 hari
Analgetik :
o Nyeri ringan: parasetamol/NSAID
o Nyeri sedang sampai berat: kombinasi opioid ringan (tramadol, kodein)
Allay anxietas-­counselling :
o Edukasi mengenai penyakit herpes zoster untuk mengurangi kecemasan serta ketidak-­pahaman pasien tentang penyakit dan komplikasinya
o 0HPSHUWDKDQNDQ NRQGLVL PHQWDO GDQ DNWLYLWDV ¿VLN DJDU
tetap optimal
o Memberikan perhatian dapat membantu pasien mengatasi penyakitnya.
Pengobatan topikal
‡ Menjaga lesi kulit agar kering dan bersih
‡ Hindari antibiotik topikal kecuali ada infeksi sekunder
‡ Rasa tidak nyaman, kompres basah dingin steril/ losio kalamin
‡ Asiklovir topikal tidak efektif
29
Terapi suportif
• Istirahat, makan cukup
• Jangan digaruk
• Pakaian longgar
• Tetap mandi
B.TERAPI NPH
B.TERAPI NPH • Tujuan : agar pasien dapat segera melakukan aktivitas • Tujuan : agar pasien dapat segera melakukan aktivitas sehari-­hari.
sehari-­hari.
• Terapi farmakologik lini pertama: masuk dalam kategori • Terapi farmakologik lini pertama: masuk dalam kategori
medium to high efficacy, good strength of evidence, low level
level of side effect
of side effect
• Terapi non-­farmakologik : masuk dalam kategori reports of • Terapi non-­farmakologik : masuk dalam kategori reports of benefit limited
Terapi NPH
Obat
Dosis awal
Titrasi
Lini pertama :
Trisiklik 10mg setiap malam Ditingkatkan 20mg setiap 7 hari menjadi
Antidepresan (2 jam sebelum tidur) 50mg, kemudian menjadi 100 mg dan
150mg tiap malam Gabapentin 100mg 3x perhari 100-­300mg ditingkatkan setiap 5 hari sampai dosis 1800-­3600mg perhari
Pregabalin 75 mg sampai
2x perhari
Tingkatkan sampai 150 mg 2 x perhari
dosis 1800-­3600mg perhari
Pregabalin mg 2 x perhari
75
mg
2x
perhari
Tingkatkan
sampai
150
dalam
1 minggu
Lidokain
topikal EMLA, Lidokain gel 5%, Lidokain
dalam 1 minggu
transdermal 5%
Lidokain topikal EMLA, Lidokain gel 5%, Lidokain transdermal 5%
Lini Kedua: Tramadol 50 mg perhari Tingkatkan 50 mg setiap 3-­4 hari
Terapi NPH (Nonfarmakologik)
sampai dosis antara 100-­400 mg 30
per hari, dalam dosis terbagi
• Neuroaugmentif
o Counter iritation
o Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
o Stimulasi deep brain
o Akupunktur
o Low intensity laser therapy
o Neurosurgikal
Terapi NPH (Nonfarmakologik)
‡ Neuroaugmentif
o Counter iritation
o Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
o Stimulasi deep brain
o Akupunktur o Low intensity laser therapy
‡ Neurosurgikal
‡ Psikososial
C. INDIKASI RAWAT ‡ Penderita HZ yang luas sampai mengganggu keadaan umum (tidak dapat makan atau minum)
‡ HZO/HZ dengan komplikasi
‡ HZ Imunokompromais yang multi segmental atau di seminata
D. RUJUKAN
‡ Bila tidak tersedia terapi nonfarmakologis dirujuk ke neurologi
‡HZ oftalmik : rujuk ke dokter mata
‡Sindrom Ramsay-­Hunt: rujuk ke dokter THT
31
‡HZ dengan komplikasi: rujuk ke spesialis sesuai dengan organ yang terkena
‡Bila eruspi kulit tidak menyembuh sesuai dengan waktu-­
nya, rujuk (kemungkinan resisten dengan asiklovir)
E. PENCEGAHAN
Metode pencegahan dapat berupa:
t Dengan cara pemakaian asiklovir jangka panjang dengan dosis supresi. Misalnya, asiklovir sering diberikan sebagai obat pencegahan pada penderita leukemia yang akan melakukan transplantasi sumsum tulang dengan dosis 5 x 200 mg/hari, dimulai 7 hari sebelum transplantasi sampai 15 hari sesudah transplantasi.
t Pemberian vaksinasi dengan vaksin VZV hidup yang dilemahkan (Zostavax®), sering diberikan pada orang lanjut usia untuk mencegah terjadinya penyakit, meringankan beban penyakit, serta menurunkan terjadinya komplikasi NPH.
32
BAB VII. Vaksin Herpes Zoster [Oka/Merck] (Zostavax®)
Mekanisme kerja vaksin Herpes Zoster [Oka/Merck]
Vaksin herpes zoster [Oka/Merck] ditujukkan untuk men cegah terjadinya herpes zoster dengan meningkatkan ke kebalan WXEXK9=9 VSHVL¿N \DQJ PHUXSDNDQ PHNDQLVPH \DQJ PH-­
lindungi terhadap reaktivasi VZV dan komplikasinya. Mekanisme kerja :
t Vaksin ini akan mengontrol reaktivasi laten VZV sehingga mencegah terjadinya Herpes Zoster
t Vaksin ini akan mengontrol replikasi dan penyebaran VZV ke kulit sehingga akan mengurangi kerusakan neurologis, mengurangi keparahan dan durasi nyeri, dan mengurangi insiden NPH.
Manfaat Vaksinasi Herpes Zoster [Oka/Merck] Pemberian vaksinasi dengan vaksin VVZ hidup yang dilemahkan Vaksin Herpes Zoster [Oka/Merck], perlu diberikan pada orang • 50 tahun untuk mencegah terjadinya penyakit, meringankan beban penyakit, serta menurunkan terjadinya komplikasi NPH.
Perbedaan antara vaksin varicella (yang telah digunakan untuk mencegah cacar air pada anak-­anak) adalah bahwa vaksin herpes zoster berisi 19.400 plaque forming unit per dosis, 14 kali lipat lebih virion.
33
Vaksinasi Zoster Vaccine Live (OKA/MERCK) meningkatkan kekebalan seluler VSHVL¿N XQWXN YLUXV YDULFHOOD OHELK WLQJJL
dari respon imun infeksi alamiah, antigen yang lebih tinggi sesudah replikasi dan keberadaan antigen lebih bertahan lama.
9DNVLQ LQL VHFDUD VLJQL¿NDQ PHQLQJNDWNDQ cell-­mediated immunity VSHVL¿N 9=9. Sel T memori yang dihasilkan bertahan seumur hidup bahkan tanpa paparan antigen.
Efektivitas Vaksin Herpes Zoster [Oka/Merck]
Tingkat keamanan dan efektivitas dari dosis tunggal [Oka/
Merck]telah diuji melalui studi bertajuk Shingles Prevention Study (SPS) pada orang dewasa berusia 60 tahun ke atas dengan melibatkan sebanyak 38,546 pria dan wanita yang belum pernah memiliki riwayat Herpes Zoster [Oka/Merck] n=19,270 vs plasebo n=19,276). Hasil studi SPS menunjukkan bahwa [Oka/Merck] secara VLJQL¿NDQ PDPSX PHQJXUDQJL NHMDGLDQ +HUSHV =RVWHU
hingga 51% dibandingkan dengan plasebo (315 kasus vs 642 kasus)
Efektivitas Vaksin Herpes Zoster [Oka/Merck] dalam mencegah herpes zoster paling tinggi pada kelompok usia 60 sampai 69 tahun (122 kasus vs 334 kasus – mampu mengurangi angka kejadian Herpes Zoster hingga sebesar 64 %) dan menurun seiring dengan pertambahan usia.
Pada kelompok usia 50 hingga 59 tahun, efektivitas [Oka/
Merck] juga dibuktikan dalam Zostavax®(I¿FDF\DQG6DIHW\
7ULDO=(67GLPDQD=RVWDYD[VHFDUDVLJQL¿NDQPHQJXUDQJL
kejadian Herpes Zoster hingga 70% (30 kasus vs 99 kasus) dibandingkan dengan plasebo. 34
Sebuah studi retrospektif (yang dilakukan mulai 1 Januari 2007 sampai dengan 31 Desember 2009) melibatkan sejumlah orang yang terdaftar dalam rencana kesehatan Kaiser Permanente Southern California, untuk menguji efektivitas [Oka/Merck] di antara 75.761 peserta yang divaksinasi dibandingkan dengan 227.283 peserta tidak divaksinasi (rasio 1:3). [Oka/Merck] terbukti mampu menurunkan angka kejadian Herpes Zoster hingga 55%, hasil ini hampir serupa dengan hasil SPS dengan kadar efektivitas sebesar 51%.
Vaksin Herpes Zoster [Oka/Merck] dan Pencegahan Nyeri
Dalam studi SPS, PHN yang secara klinis berkaitan erat dengan rasa nyeri yang timbul akibat zoster, akan timbul dan bertahan setidaknya selama 90 hari sejak ruam WLPEXO>2ND0HUFN@VHFDUDVLJQL¿NDQWHUEXNWLPHQJXUDQJL
kejadian PHN secara menyeluruh yakni sebanyak 67% dibandingkan dengan kelompok plasebo (27 kasus vs 80 kasus). Penurunan kejadian PHN dialami oleh dua kelompok usia (60-­69 dan • 70 tahun).
3UR¿O.HDPDQDQ9DNVLQ+HUSHV=RVWHU>2ND0HUFN@
3UR¿ONHDPDQDQGDQWLQJNDWHIHNWLYLWDV>2ND0HUFN@WHODK
dikaji dalam beragam studi yang melibatkan lebih dari 60.000 orang termasuk diantaranya studi SPS dan ZEST. Insiden Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang serius setara dengan plasebo. KTD yang paling umum adalah nyeri pada daerah injeksi.
35
Studi Durasi Proteksi
Studi LTPS (Long Term Persistence Study) menganalisa H¿NDVLYDNVLQEHUGDVDUNDQGDWD\DQJGLNXPSXONDQVDPSDL
WDKXQ NH VHVXGDK YDNVLQDVL GL VWXGL 636 (¿NDVL
vaksin yang diamati pada studi LTPS menunjukan hasil yang konsisten dengan studi SPS.
36
5LQJNDVDQ3UR¿O9DNVLQ+HUSHV=RVWHU
[Oka/Merck] (Zostavax®)
Sediaan
Indikasi Yang Disetujui di BPOM Indonesia
Kontraindikasi
Rekomendasi pemberian dari SATGAS Imunisasi Dewasa
Pemberian
Dosis
Penyimpanan
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi yang sering ditemukan
Interaksi Obat
Sediaan bentuk serbuk terlipofilisasi virus varicella hidup yang dilemahkan dari strain Oka/Merck yang diambil dari anak yang terkena varicella secara alamiah.
Saat akan digunakan direkonstitusi/dilarutkan dengan pelarut yang disediakan di kemasan
Zostavax diindikasikan untuk imunisasi individu usia 50 tahun atau lebih -­Pencegahan herpes zoster (shingles)
-­Pencegahan postherpetic neuralgia (PHN)
(Tidak dipakai untuk pengobatan HZ dan NPH)
Riwayat reaksi anafilaksis/anakfilatoid terhadap gelatin, neomisin atau komponen lain dari vaksin Imunosupresi atau imunodefisiensi
Tuberkulosis aktif yang tidak diterapi
Kehamilan
Laki-­laki dan perempuan usia •50 tahun keatas (dengan atau tanpa episode zoster sebelumnya)
Immunokompeten
(Detail Lihat Lampiran 3) SC, pada lengan atas
Diberikan dalam 30 menit sejak vaksin dilarutkan
Tunda Vaksinasi Zostavax bila ada demam > 38.5ÛC
Dosis tunggal, 0.65 ml/dosis, satu kali injeksi, tidak butuh booster
2-­8ÛC, masa kadaluarsa 18 bulan
Eritema, nyeri, pembengkakan, hematoma, pruritus, panas, reaksi lokal (inflamasi di tempat injeksi)
Hentikan pemberian antiviral 24 jam sebelum vaksinasi dan 14 hari sesudah vaksinasi.
Bisa diberikan bersamaan dengan vaksin influenza trivalent inaktif dan vaksin pneumokokal polisakarida ..
36
37
Rekomendasi Pemberian Vaksinasi Herpes Zoster dari KSHI 2014 (Diadopsi oleh Satgas Imunisasi Dewasa)
Strategi vaksinasi direkomendasikan kepada semua orang yang immunokompeten, berusia • 50 tahun, dengan atau tanpa episode zoster sebelumnya, dan tanpa perlu dilakukan pemeriksaan antibodi sebelumnya. (lampiran 3)
Vaksin Herpes Zoster [Oka/Merck] disetujui oleh FDA A.S. sejak Mei 2006, pada Oktober 2006 direkomendasikan oleh CDC ACIP, dan pada Januari 2014 disetujui oleh BPOM Indonesia.
Pencegahan Herpes Zoster pada imunokompromais:
Pasien imunokompromais berisiko lebih tinggi untuk menderita herpes zoster. Gejala Klinik herpes zoster pada penderita imunokompromais dapat lebih berat. Vaksin herpes zoster merupakan vaksin virus hidup sehingga penggunaannya pada penderita imunokompromais harus dilakukan secara hati-­hati. Mengingat kebutuhan pencegahan herpes zoster pada kondisi imunokompromais maka perlu dilakukan uji klinik untuk menilai manfaat dan efek samping yang mungkin timbul.
Pemberian vaksin herpes zoster pada penderita yang menjalani terapi imunosupresi dianjurkan 14 hari sebelum mendapat terapi imunokompresi atau satu bulan sesudah terapi imunosupresi dihentikan. Sedangkan pada keadaan penderita dengan penyakit akut atau berat vaksinasi ditunda sampai penyakit sembuh. 38
Vaksinasi tidak diindikasikan untuk:
‡ Pengobatan Herpes Zoster dan neuralgia post herpetika
‡ Mencegah terjadinya neuralgia post herpetika pada pasien yang sedang menderita Herpes Zoster Kontraindikasi Pada Pasien Immunokompromais
Pada umumnya vaksin hidup jika diberikan pada penderita imunokompromais perlu mempertimbangkan manfaat dan risiko yang mungkin dihadapi. karena itu vaksin herpes zoster:
t Dikontraindikasi pada pasien dengan riwayat imuno-­
GH¿VLHQVL SULPHU DWDX GLGDSDW WHUPDVXN OHXNHPLD
limfoma atau tipe lain, atau neoplasma maligna lainnya yang mempengaruhi sumsum tulang atau sistim limfatik;; atau AIDS atau HIV.
t Pasien leukemia yang sudah remisi dan tidak mendapat kemoterapi atau radiasi selama 3 bulan dapat diberikan Zostavax (rekomendasi ACIP).
t Kontraindikasi pada pasien AIDS atau HIV dengan kadar CD4 T-­Limfosit ” 200/mm3 atau ”15 % dari limfosit total t Pasien yang menjalani Transplantasi Stem Sel Hematopoietic boleh divaksin 24 bulan sesudah transplantasi (rekomendasi ACIP).
t 3DVLHQ GHQJDQ LPXQRGH¿VLHQVL VHOXODU WLGDN VSHVL¿N
tidak boleh diberikan, namun pasien dengan hipogamaglobulinemia atau disgamaglobulinemia boleh diberikan (rekomendasi ACIP).
39
Kontraindikasi Pada Immunosupresi
Pasien dengan Terapi t Kontraindikasi pada pasien dengan Terapi immunosupresif, misalnya kortikosteroid dosis tinggi.
t Kontraindikasi menurut ACIP :
o High-­dose kortikosteroid (•20 mg/day prednisone atau ekivalen) selama 2 minggu atau lebih. Pasien boleh divaksin 1 bulan sesudah berhenti menggunakan high-­
dose kortikosteroid
o Pasien dengan terapi agen biologis (adalimumab, HWDQDUFHSW LQÀL[LPDEGOO GDSDW GLYDNVLQ EXODQ
sesudah pemberian agen biologis
t Bukan Kontraindikasi menurut ACIP
o Pasien dengan methotrexate dosis rendah (”0.4 mg/Kg/
minggu), azathioprine dosis rendah (”3.0 mg/Kg/hari), atau 6-­mercaptopurine (”1.5 mg/Kg/hari) boleh divaksin.
40
Kepustakaan
1. Arvin AM. Immune responses to varicella-­zoster virus. Infect Dis Clin North Am. 1996;;10:529–570.
2. Arvin AM. Varicella-­zoster virus. In: Knipe DM, Howley PM, eds. Virology. 4th ed. Philadelphia, Pa: Lippincott Williams & Wilkins;; 2001:2731–2767.
3. Berlin AL, Muhn AY, Billick RC. Hiccups, eructation, and other uncommon prodromal manifestations of herpes zoster. J Am Acad Dermatol 2003;;49(6):1121-­4.
4. Brauer J. Varicella Zoster. Dalam: Zuckerman AJ, Banatvala -( 6FKRXE %'*ULI¿WKV 3' 0RUWLPHU 3 SHQ\XQWLQJ
Principles and practice of clinical virology, edisi keenam.. London: John willey & Sons Ltd, 2009;;133-­56.
5. Christo PJ, Hobelmann G, Maine DN. Post-­Herpetic Neuralgia in Older Adults: Evidence-­Based Approaches to Clinical Management. Drugs Aging;; 2007;; 24(1):1-­19.
6. Cunningham AL, Breuer J, Dwyer DE, Gronow DW, Helme RD, Litt JC, dkk. The Prevention and Management of Herpes Zoster. MJA 2008;;188(3):171-­76.
7. Dubinsky RM, Kabbani H, El-­Chami Z, Boutwell C, Ali H.
Practice Parameter: treatment of postherpetic neuralgia: An ev-­
idence-­based report of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology Neurology 2004;;63:959-­65.
8. Dworkin RH, Johnson RW, Breuer J, Gnann JW, Levin MJ, Backonja M. Recommendations for the management of herpes zoster. Clinical infectious diseases 2007;;44:S1-­26.
9. Gershon AA, Silverstein SJ. Varicella-­zoster virus. In: Richman DD, Whitley RJ, Hayden FG. Clinical Virology. Washington, DC: ASM Press;; 2002:413–432.
10. Grose C. Pathogenesis of infection with varicella vaccine. Infect Dis Clin North Am. 1996;;10:489–505.
41
11. Harpaz R et al. MMWR. 2008;;57(RR-­5):1–30.
12. Juffrie M, Graham RR, Tan RI, et al, Seroprevalence Of Hepatitis A Virus And Varicella Zoster Antibodies In A JavaneseCommunity (Yogyakarta, Indonesia), Southeast Asian J Trop Med Public Health, 2000, 31(1):21-­24.
13. Kenneth Schmader. Herpes Zoster in Older Adults. Aging And Infectious Disease. Clinical Infectious Diseases 2001;; 32:1481–6.
14. Katz J & Melzack R. Measurement of Pain. Surgical Clinics North America. 1999;;79(2):231-­252.
15. Lee Goldman and Andrew I Schafer, Goldman’s Cecil Medicine, 24th Edition, 383, 2128-­2131, 2012
16. Morbidity and Mortality Weekly Report.Prevention of Herpes Zoster Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP).June 6, 2008 / Vol. 57 / RR-­5
17. Murray PR., Rosenthal KS., Pfaller MA. Medical Microbiology 7 th ed. Philadelphia, Elsevier Saunders;;2013:461-­478
18. Oxman MN et al.Shingles Prevention Study (SPS) N Engl J Med, 2005;;352:2271–2284.
19. Oxman.MN, Herpes Zoster Pathogenesis and Cell-­Mediated Immunity and ImmunosenescenceJ Am Osteopath Assoc. 2009;;109(suppl 2):S13-­S17
20. Oxman MN, Levin MJ, Johnson GR, et al. Shingles Prevention Study (SPS).N Engl J Med. 2005;;352:2271–2284.
21. Oxman MN. Varicella-­Zoster Virus: Virology and Clinical Management. Cambridge University Press;; 2000:246–275.
22. Patterson-­Bartlett J et al. Vaccine. 2007;;25:7087–7093.
23. Quinlivan M, Breuer J. Molecular and Therapeutics Aspects of Varicella-­zoster Virus Infection. Expert Reviews in molecular medicine 2005;;7(5):1-­24.
24. Rekomendasi Jadwal Imunisasi Dewasa. SatGas Imunisasi Dewasa PABDI, tahun 2014
42
25. Rekomendasi Pemberian Vaksinasi Herpes Zoster dari KSHI 2014.
26. Riduan M. Joesoef, MD, PhD;; Rafael Harpaz, MD, MPH;; Jessica Leung, MPH;; and Stephanie R. Bialek, MD, MPH Chronic Medical Conditions as Risk Factors for Herpes Zoster Mayo Clin Proc. 2012;;87(10):961-­967
27. Schmader KE, Dworkin RH. Natural History and Treatment of Herpes Zoster. The journal of Pain 2008;;9(1):s3-­9.
6FKPDGHU.(HWDO=RVWDYD[Š(I¿FDF\DQG6DIHW\7ULDO=(67
Clin Infect Dis, 2012;;54:922–928.
6FKPDGHU.(HWDO=267$9$;(I¿FDF\DQG6DIHW\7ULDO=(67
Clin Infect Dis, 2012;;54:922–928
6FKPDGHU.(HWDO3HUVLVWHQFHRIWKHHI¿FDF\RI]RVWHUYDFFLQH
in the Shingles Prevention Study and the Short-­Term Persistence Substudy, . Clin Infect Dis. 2012;;55:1320–1328.
31. Siegrist C-­A et al. In: Vaccines. 5th ed. Elsevier;; 2008:17–36. 32. Straus SE, Oxman MN. Varicella and herpes zoster. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, et al, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 5th ed. New York, NY: McGraw-­Hill;; 1999:2427–2450.
33. Straus SE, Oxman MN. Varicella and herpes zoster. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, et al, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 5th ed. New York, NY: McGraw-­Hill;; 1999:2427–2450.
34. Twersky JI, Schmader K. Herpes Zoster. Dalam: Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, High KP, Asthana S. penyunting. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology. Edisi ke-­6. Milan: McGraw-­Hill;; 2009.h.1565-­75.
35. Tyring SK. Management of herpes zoster and postherpetic neuralgia. Dalam: Weinberg JM. Penyunting. Alleviating the burden of herpes zoster through vaccination. Supp J Am Acad Dermatol 2007;;57(6):s136-­42.
43
36. Weinberg JM. Herpes zoster: Epidemiology, natural history, and common complications. Dalam: Weinberg JM. Penyunting. Alleviating the burden of herpes zoster through vaccination. Supp J Am Acad Dermatol 2007;;57 (6) :s130-­5.
37. Whitley RJ. Varicella-­zoster virus infections. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 15th ed. New York, NY: McGraw-­Hill;; 2001:1106–1108.
38. Wu CL, Raja SN. An Update on Treatment of Postherpetic Neuralgia. The Journal of Pain 2008;;9 (1) :S19-­30.
39. ZOSTAVAX US Prescribing Infromation, Merck & Co., Inc.
44
Lampiran 1. Bagan alur penatalaksanaan Herpes zoster
HZ akut
HZO/RH sindrom/organ visceral atau motor involment / dengan
-­ Terapi antiviral oral
-­ Rujuk ke spesialis terkait
YA
TIDAK
Terapi antiviral ditambah analgesik
-­ Nyeri ringan asetaminofen/NSAID
-­ Nyeri sedang/berat : opioid ringan
Faktor resiko NPH ?
YA
Tambahan : antidepresan/antikonvulsan
-­ Amitriptilin 10mg single dose/hari 3 bulan, atau
-­ Gabapentin 300mg single dose/hari 4-6 minggu,
atau
-­ Pregabalin 50-75mg single dose/hari 2-4 minggu
TIDAK
Terapi antiviral ditambah analgesik
-­ Nyeri ringan asetaminofen/NSAID
-­ Nyeri sedang atau berat : oploid ringan Terapi suportif
-­ Mempertahankan lesi kulit bersih dan kering
-­ Rasa tidak nyaman, kompres basah dingin steril/losio calamin
VIII.KEPUSTAKAAN
-­ Menyarakan memakai pakaian longgar, istirahat dan makan cukup -­ infeksi sekunder : antibiotika topikal/oral
-­ Edukasi mengenai penyakit HZ untuk mengurangi kecemasan serta
ketidakpahaman pasien mengenai penyakitnya
Catatan : Asiklovir topikal tidak rekomendasi
Tindak lanjut selama 12 minggu
Nyeri menetap (NPH) lihat lampiran 2
42
45
Lampiran 2
Terapi NPH
Farmakologis
Sistemik
Non Farmakologis
Topikal
Ramadol Amitripilin Gabapentin Pregabalin Tramadol Hidroksisin
(untuk gatal)
Alodemia :
anestetik
Discomfort :
kompres dingin, capsaicin
Tens Akupungtur Psikososial Perilaku, dll.
8 minggu tidak ada perbaikan rujuk
Bila ada perbaikan diteruskan sampai
3 bulan setelah nyeri hilang. Kemudian
dosis diturunkan secara berkala
46
43
Lampiran 3. Rekomendasi Vaksinasi Herpes Zoster dari KSHI 2014
KELOMPOK STUDI HERPES INDONESIA (INDONESIAN HERPES STUDY GROUP) Dept IK Kulit dan Kelamin FKUI-­‐RSCM Jl. Diponegoro No. 71, Jakarta 10430, Telp. : 021-­‐315 3937, Fax: 021-­‐315 3937 REKOMENDASI PENGGUNAAN VAKSIN HERPES ZOSTER Sesuai dengan hasil pertemuan dan kesepakatan Anggota Kelompok Studi Herpes Indonesia (KSHI) pada tanggal 16 Februari 2014, yang dihadiri oleh Anggota Kelompok Studi Herpes Indonesia (KSHI) dari beberapa institusi pendidikan dan perwakilan PERDOSKI cabang, maka kami menyampaikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Dari data morbiditas 13 RS pusat pendidikan menunjukkan bahwa kejadian Herpes Zoster terjadi pada usia yang lebih muda, dengan puncak tetinggi pada usia 45-­‐64 tahun (30,95% dari semua insidens Herpes Zoster) 2. Insiden neuralgia post herpetika terjadi sebesar 26,5% dari seluruh insiden Herpes Zoster, dengan puncak tertinggi pada usia 45-­‐64 tahun (42% dari semua kasus neuralgia post herpetika) 3. Dari data morbiditas yang ada bahwa Herpes Zoster dan berbagai komplikasinya memberikan beban penyakit termasuk dampak terhadap kualitas hidup yang signifikan terutama pada pasien usia lanjut. Berdasarkan hal tersebut di atas, KSHI merekomendasi: 1. Melakukan pencegahan Herpes Zoster dengan cara vaksinasi 2. Strategi vaksinasi direkomendasikan kepada semua orang yang imunokompeten, ďĞƌƵƐŝĂ ш ϱϬ ƚĂŚƵŶ͕ ĚĞŶŐĂŶ ĂƚĂƵ ƚĂŶƉĂ ĞƉŝƐŽĚĞ njŽƐƚĞƌ ƐĞďĞůƵŵŶLJĂ ĚĂŶ ƚĂŶƉĂ ƉĞƌůƵ
dilakukan pemeriksaan antibodi sebelumnya. Demikianlah kami sampaikan rekomendasi ini untuk menjadi dasar diperlukannya tindakan vaksinasi terhadap Herpes Zoster untuk polulasi di Indonesia. Jakarta, 16 Februari 2014 Kelompok Studi Herpes Indonesia Dr. dr. Hans Lumintang, SpKK(K) dr. Hanny Nilasari, SpKK Ketua Sekretaris Catatan: Hal-­‐hal tentang prosedur, situasi khusus, kontra indikasi, peringatan dan penjelasan lainnya terdapat pada lampiran. 47
Lampiran 3. Rekomendasi Vaksinasi Herpes Zoster dari KSHI 2014
KELOMPOK STUDI HERPES INDONESIA (INDONESIAN HERPES STUDY GROUP) Dept IK Kulit dan Kelamin FKUI-­‐RSCM Jl. Diponegoro No. 71, Jakarta 10430, Telp. : 021-­‐315 3937, Fax: 021-­‐315 3937 Pemberian hati-­‐hati pada : 1. Individu yang akan menerima terapi imunosupresi (14 hari sebelum terapi diberikan) dan 1 bulan sesudah terapi imunosupresi dihentikan 2. Pada kasus yang ada riwayat penyakit kronis seperti gagal ginjal kronik, diabetes melitus, rematoid artritis, penyakit paru kronis (kecuali dalam kondisi yang merupakan kontraindikasi) Kontra indikasi: 1. Alergi komponen vaksin 2. Imunokompromais -­‐ Leukimia limfoma, keganasan sumsum tulang. -­‐ Pasien HIV -­‐ Sedang dalam terapi imunosupresif dengan kortikosteroid dosis tinggi -­‐ Hematopoitik stem cell transplantasi (HSCT) 3. Kehamilan Pada keadaan penyakit akut atau berat vaksinasi ditunda sampai penyakit sembuh Vaksinasi tidak diindikasikan untuk: -­‐ Pengobatan Herpes Zoster dan pengobatan neuralgia post herpetika -­‐ Mencegah terjadinya neuralgia post herpetika pada pasien yang sedang menderita Herpes Zoster 48
49
Lampiran 4. Rekomendasi Vaksinasi Satgas Imunisasi Dewasa 2014
50
Lampiran 4. Rekomendasi Vaksinasi Satgas Imunisasi Dewasa 2014
Download