JRL Vol.6 No.1 Hal. 21 - 28 Jakarta, Maret 2010 ISSN : 2085-3866 PERLAKUAN Ethyl Methane Sulfonate (EMS) PADA Enterobacter Aerogenes AY-2 DARI LIMBAH METAN FERMENTASI UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI GAS HIDROGEN Mahyudin Abdul Rachman Pusat Teknologi Bioindustri-BPPR. Gedung 2 BPPT Lt 15. Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta Pusat LAPTIAB, Puspiptek Serpong,Banten Telp/fax/email:021-3169530/3169510/[email protected] Abstract Enterobacter aerogenes AY-2 mutant is known for hydrogen gas producer which ws obtained from the sludge of methane fermentation and the yield is 1.5 fold higher than wildtype. Hydrogen gas production can be gain via NADH oxidation in anaerobic metabolic pathway by blocking organic acid production. Metabolic pathway can be changed by mutagenesis. Enterobacter aerogenes AY-2 mutated with ethyl methane sulfonate in logarithmic phase with consentration 10, 11, 12, 13, 14 and 15 μl/ml cell suspention during 120 minute. Mutation that result lowest survival ratio (0,01%) was 14 μl EMS/ml cell suspention is repeated with variation incubation time, 30, 60, 90 and 120 minute. 166 double mutant colony has been collected and choosen randomly. The choosen 43 colony was fermented in glycerol complex medium for determining ten double mutant with the highest H2 production. Double mutant AD-H43 is a highest H2 producer that increase 20% H2 production from AY-2 and has a decrease lactid acid production, 31% less from AY-2. Increasing H2 production in double mutant AD-H43 is caused by lactate dehydrogenase defficient. Keywords: Enterobacter aerogenes AY-2, ethyl methane sulfonate (EMS), H2 and methane sludge 1. Pendahuluan Gas hidrogen (H2) yang dihasilkan melalui aktifitas mikroorganisme, dianggap sebagai energi alternatif untuk masa depan yang ramah lingkungan karena di dalam proses produksinya tidak memerlukan energi yang besar serta tidak ada emisi karbon yang dihasilkan. Selain itu hasil pembakaran biohidrogen adalah berupa air dan energi tanpa menghasilkan limbah hasil pembakaran sebagaimana pada penggunaan bahan bakar fossil maupun biomassa (Levin dkk. 2003: 173). Energi hasil pembakaran bio- H2 dengan mudah disalurkan dalam fuel cell menjadi energi listrik yang dapat disimpan, dimana di dalam fuel cell terjadi proses elektrokimia yang mampu mempertemukan antara H2 dengan O2 untuk menghasilkan energi listrik menjadi H2O dan panas (Ngundiwaluyo & Amos 1996: 134; Ginkel 21 dkk. 2001: 4726). Gas H2 dapat dihasilkan oleh Enterobacter aerogenes melalui fermentasi gelap (dark fermentation), sehingga produksi H2 tidak tergantung pada cahaya matahari. Enterobacter aerogenes juga dapat menghasilkan H2 lebih cepat dari mikroorganisme fotosintetik dan dapat bertahan hidup pada kandungan H2 yang tinggi (Rachman 1999: 81; Ito dkk. 2004: 227) Enterobacter aerogenes menghasilkan H2 melalui proses metabolisme secara fermentatif yang diawali jalur glikolisis (Gambar 1). Asam piruvat dengan bantuan enzim piruvat format liase (PFL) akan membentuk asam format yang kemudian terhidrolisis menjadi H 2 dan CO 2 dengan bantuan enzim format hidrogenliase (Madigan dkk. 2000: 119; Xi Chen dkk. 2003: 387). Tanisho dkk. pada tahun 1989 (lihat Nath & Das 2004: 524) menyatakan bahwa H2 juga dapat JRL Vol. 6 No. 1, Maret 2010 : 21 -28 diproduksi dengan melibatkan oksidasi NADH. Konversi piruvat menjadi etanol, asam laktat, dan 2,3-butandiol juga melibatkan oksidasi NADH, sehingga H2 tidak banyak dihasilkan. Konsentrasi NADH dapat meningkat apabila pembentukan metabolit berupa alkohol dan asam organik tersebut terhambat (Nath & Das 2004: 524). Produksi H2 secara teoritis pada fermentasi asetat menghasilkan 4 mol H2/mol glukosa, sedangkan Rachman dkk. (1997: 362) melaporkan bahwa mutan E. aerogenes AY-2 hanya mampu menghasilkan 1,17 mol H2/mol glukosa. Produktivitas H2 oleh E. aerogenes AY-2 masih dapat ditingkatkan melalui perubahan metabolisme, yaitu dengan menghambat pembentukan metabolit berupa alkohol dan asam organik. Perubahan metabolisme pada mikroorganisme dapat dilakukan dengan mutagenesis menggunakan suatu mutagen, antara lain mutagen kimia yang dapat menyebabkan mutasi secara acak pada basa DNA (Sambrook & Russell 2001: 13.78). Ethyl methane sulfonate (EMS) merupakan mutagen kimia yang bersifat sebagai alkylating agent (Gambar 2). Gugus alkil EMS akan berikatan dengan basa guanin (G) membentuk O6-alkilguanin, menyebabkan kesalahan pemasangan basa guanin dengan basa timin pada proses replikasi DNA (Meuth & Arrand 1982: 1459). Transisi basa tersebut menyebabkan perubahan pada gen, antara lain gen pengkode laktat dehidrogenase (LDH). Susunan gen yang berubah dapat menyebabkan perubahan fenotip, yaitu penurunan produktivitas asam laktat. Salem dkk. (1985: 1191) menyatakan bahwa asam laktat yang dihasilkan oleh mutan Streptococcus mutans akibat perlakuan mutasi secara acak dengan EMS jauh lebih rendah dibandingkan dengan jenis normal. Hal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas enzim LDH pada mutan menurun. Penurunan aktivitas enzim LDH pada metabolisme sel E. aerogenes yang telah dimutasi menggunakan N-methyl-N’-nitro-Nnitrosoguanidine (NTG) menyebabkan produksi H2 meningkat. Hal tersebut dapat terjadi karena NADH yang teroksidasi untuk pembentukan asam laktat berkurang, sehingga dapat digunakan untuk pembentukan H2 (Rachman dkk. 1997: 358). Oleh sebab itu untuk menurunkan produksi asam laktat dan aktifitas LDH merupakan tujuan akhir dari penelitian untuk meningkatkan produksi H2. 22 2. Bahan Dan Metode 2.1 Kultur Bakteri dan Pemeliharaan Kultur E. aerogenes AY-2 ditumbuhkan dalam medium kompleks glukosa yang terdiri atas 10 g glukosa, 5.0 ekstrak khamir, 5.0 tripton, 7.0 g K2HPO4, 1.0 g(NH4)2SO4, 0.25 g MgSO4.7H2O, 0.021 g CaCl2.2H2O, 0.029 g Co(NO3)2.6H2O, 0.039 g Fe(NH4)2SO4.6H2O, 0.172 mg Na2Se03, 0.02 mg NiCI2, 0.5 g MnCl2.4H2O, 0.1 g H3BO3, 0.01 g AlK(SO4)2.12 H2O, 0.001 g CuCl2.2H2O, 0.5 g Na2EDTA.2H2O, dan 2.0 mg asam nikotenat per liter. Kultur ditumbuhkan dengan modifikasi teknik Hungate dan kombinasi teknik botol serum untuk menciptakan kondisi mikroaerofil (Rachman dkk. 1997: 359). 2.2 Mutagenesis dan Isolasi Mutan Mutagenesis berdasarkan metode kombinasi Hillman (1979: 3--4) dan Rachman dkk. (1997: 359). Sebanyak 1 ml kultur yang berada pada awal fase logaritmik dipindahkan ke tabung mikrosentrifus, dan disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit pada suhu 4°C. Pelet disuspensikan dengan 1 ml buffer fosfat pH 7, kemudian disentrifugasi (dilakukan sebnyak 2 kali). Pelet disuspensi kembali dengan buffer fosfat pH 7, kemudian ditambahkan 10, 11, 12, 13, 14 dan 15 µl Ethyl methane sulfonate (EMS/ C3H8O3S 98%) dan diinkubasi pada suhu 37° C selama 120 menit dalam shaker incubator pada150 rpm. Campuran tersebut kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit pada suhu 4°C. Supernatan dibuang dan pelet disuspensikan dengan 1 ml medium kompleks gliserol dan disentrifugasi. Supernatan dibuang dan pelet disuspensi kembali dengan 1 ml medium kompleks gliserol. Suspensi sel diencerkan hingga pengenceran 10-2, 10-3, dan 10-4 dalam medium kompleks gliserol, kemudian 0,1 ml ditambahkan ke dalam medium penapisan yang mengandung indikator 2,3,5-triphenyltetrazolium chloride (TTC) yang disebar hingga merata sebanyak 0,1 ml dengan dua pengulangan. Kontrol negatif dilakukan dengan mengambil 1 ml kultur yang berada pada awal fase logaritmik dan disebar pada medium penapisan sebanyak 0,1 ml dari pengenceran 10-5, 10-6, dan 10-7 dengan dua pengulangan. Hal yang sama dilakukan untuk perlakuan mutasi pada konsentrasi 14 µl EMS/ dengan variasi waktu inkubasi 30, 60, 90, dan 120 menit. JRL Vol. 6 No. 1, Maret 2010 : 21 -28 Koloni berwarna merah yang tumbuh pada medium penapisan diambil secara acak menggunakan tusuk gigi steril dan ditumbuhkan dalam cawan petri yang berisi medium kompleks gliserol agar dengan metode spot plate berdasarkan Nakayama dan Nishikata (1995: 135 -136). Kultur tumbuh dalam inkubator pada suhu 37° C. Gambar 1. Jalur metabolisme pada E. aerogenes [Sumber: Modifikasi Xi Chen dkk. 2003: 387; Nishio & Nakashimada 2004: 78.] 23 JRL Vol. 6 No. 1, Maret 2010 : 21 -28 1.3 Analisis Produksi H2 Pengukuran jumlah H2 (ml) menggunakan respirometer. Pengukuran asam asetat, etanol, dan 2,3-butandiol dilakukan dengan GC [Shimadzu 14A], sedangkan asam laktat dilakukan dengan HPLC [Hitachi] berdasarkan Ito dkk. (2004: 228) dan Xian-Jun Zheng & Han-Qing Yu (2004: 3). 3. Hasil 3.1 Kurva Pertumbuhan E. aerogenes AY-2 dan waktu mutasi Enterobacter aerogenes AY-2 ditumbuhkan pada medium kompleks glukosa selama 48 jam pada Gambar 2. Titik awal fase logaritmik pada kultur E. aerogenes AY-2 terjadi sangat cepat dan diperkirakan fase tersebut terjadi sebelum jam ke-4. Titik awal fase log sangat penting untuk diketahui karena perlakuan mutasi pada kultur sel sebaiknya dilakukan saat kultur sel berada dalam fase tersebut. Madigan dkk. (2000: 140) menyatakan bahwa kultur sel yang mengalami fase log sedang memperbanyak diri secara logaritmik, sehingga perubahan genetik akibat perlakuan mutasi yang diberikan dapat diwariskan kepada sebanyak mungkin keturunannya. Fase lag terjadi pada jam ke-0 sampai jam ke-2. Transisi fase lag dan fase log dimulai pada jam ke-2 sampai jam ke-3, kemudian pada jam ke-3 sampai jam ke-7 menunjukkan fase log, yaitu saat pertumbuhan terjadi sangat cepat (Gambar 2 B). Persamaan garis kurva yang terbentuk pada transisi antara fase lag dan fase log adalah y = 0,0462e0,5276x, sedangkan persamaan garis linear yang terbentuk pada fase log adalah y = 0,3186x – 0,3685. Hasil perpotongan kedua garis tersebut, yaitu pada jam ke-1,5 dengan OD680 0,058 menunjukkan bahwa sel mencapai akhir fase lag dan akan mulai mengalami pertumbuhan. Perlakuan mutasi dilakukan pada jam ke-3, yaitu ketika kultur sel mengalami awal fase log dengan OD680 mencapai 0,353 dan jumlah sel bakteri mencapai 107 sampai 108. Fase log merupakan fase saat sel memiliki kondisi fisiologis yang paling baik, karena seluruh unsur biokimia yang penting bagi pertumbuhan sedang disintesis dengan waktu pembentukan rata-rata yang sama (balance growth), termasuk replikasi DNA (Brock dkk. 1994: 331). Mutasi dengan EMS diharapkan terjadi saat proses tersebut yang mengakibatkan adanya mispairing pada basa DNA, sehingga kesalahan basa yang terjadi setelah replikasi DNA dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya (Fairbanks & Andersen 1999: 125). Gambar 2. Kurva pertumbuhan E. Aerogenes AY-2 pada medium kompleks glukosa selama 48 jam (A) dan penentuan awal fase logaritmik untuk mutasi 24 JRL Vol. 6 No. 1, Maret 2010 : 21 -28 3.2 Mutasi ganda dengan EMS Gambar 3. (a) Koloni E. aerogenes AY2 dan (b) koloni mutan pada medium yang mengandung TTC 0,0025% dengan waktu inkubasi selama 2 hari, 37°C. Total mutan ganda yang diperoleh dari perlakuan mutasi dengan variasi konsentrasi dan waktu inkubasi adalah 166 koloni. Koloni yang memiliki warna merah lebih merata dipilih dan diambil secara acak, sebanyak 43 koloni. 3.3 Analisis Produksi H2 Dari Tabel 1. terlihat dengan perlakuan mutasi EMS hasil fermentasi wild type E. aerogenes AY-2 dan 10 (sepuluh) buah mutan, produksi akan asam laktat mengalami penurunan 25 hingga 60 % diikuti dengan kenaikan produksi alkohol baik itu etanol dan 2,3 butandiol, sedangkan produktivitas produksi H 2 yang tertinggi dicapai oleh mutan E. aerogenes ADH43 hingga 20 % lebih tinggi dibanding wildtype E. aerogenes AY-2. 4. Pembahasan 4.1 Mutasi ganda dengan EMS Mutasi dilakukan pada jam ke-3, yaitu ketika kultur sel mengalami awal fase log dengan OD680 mencapai 0,353 dan jumlah sel bakteri mencapai 107 sampai 108. Fase log merupakan fase saat sel memiliki kondisi fisiologis yang paling baik, karena seluruh unsur biokimia yang penting bagi pertumbuhan sedang disintesis dengan waktu pembentukan rata-rata yang sama (balance growth), termasuk replikasi DNA (Brock dkk. 1994: 331). Mutasi dengan EMS diharapkan terjadi saat proses replikasi DNA yang mengakibatkan adanya mispairing pada basa DNA, sehingga kesalahan basa yang terjadi setelah replikasi DNA dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya (Fairbanks & Andersen 1999: 125). Berdasarkan hasil penelitian, waktu inkubasi 120 menit, pemberian EMS sebanyak 15 µl/ml suspensi bakteri menghasilkan rasio kematian 100% atau tidak ada koloni yang tumbuh pada medium penapisan. Pemberian EMS pada konsentrasi 14 µl/ml suspensi bakteri menghasilkan survival ratio terendah, yaitu sebesar 0,01% sedangkan konsentrasi lain memiliki survival ratio lebih tinggi, yaitu berkisar antara 0,15 sampai 0,2%. Hal tersebut menjelaskan bahwa mutasi pada konsentrasi 14 µl EMS/ml suspensi bakteri diperoleh sebanyak 0,01% koloni dari jumlah koloni kontrol yang dapat tumbuh pada medium penapisan dan mengalami mutasi. Menurut Meuth & Arrand (1982: 1459), mutasi menggunakan EMS dapat menyebabkan kesalahan pemasangan basa (mispairing), sehingga terjadi transisi basa GT menjadi AT pada replikasi DNA. Mutasi tersebut, apabila terjadi pada gen yang berperan penting dalam sintesis suatu metabolit maka dapat menyebabkan perubahan produktivitas metabolit tersebut (Wright 2000: 2993). Kultur bakteri hasil perlakuan mutasi pada berbagai konsentrasi EMS dan waktu inkubasi disebar pada medium penapisan yang mengandung 2,3,5-triphenyltetrazolium chloride (TTC) 0,0025% (w/v) dan diinkubasi selama 48 JRL Vol. 6 No. 1, Maret 2010 : 21 -28 jam pada inkubator suhu 37°C. Koloni mutan ganda yang tumbuh pada medium penapisan memperlihatkan adanya beberapa variasi fenotip koloni (Gambar 3). Koloni mutan ganda memiliki ukuran koloni antara 0,2- 0,4 cm, bertekstur smooth dengan pinggir koloni rata dan koloni berbentuk lingkaran. Warna merah pada beberapa koloni mutan ganda merata pada seluruh bagian koloni dan koloni lain menyisakan warna putih tipis pada bagian tepi koloni. Koloni yang memanfaatkan substrat pada medium dengan lebih baik, akan menghasilkan endapan formazan lebih banyak, sehingga koloni akan berwarna lebih merah dan merata di seluruh permukaan (Bochner & Savageau 1977: 438--439). Abhyankar dkk. (1985: 1267) memperoleh mutan St. mutans menggunakan NTG dengan produksi asam laktat rendah. Koloni yang diperoleh memperlihatkan warna merah pada medium penapisan yang mengandung TTC. Menurut Salem dkk. (1985: 1191) warna koloni yang terbentuk pada medium TTC menunjukkan adanya perbedaan antara koloni normal dan koloni mutan yang menghasilkan asam laktat lebih rendah. Koloni mutan akan menghasilkan warna merah atau merah muda sedangkan koloni normal berwarna putih. Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan pada mutasi mutan E. aerogenes AY-2 tidak menunjukkan adanya perbedaan warna yang signifikan terhadap koloni kontrol dengan koloni setelah mutasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa keduanya (mutan ganda dan AY-2) memiliki kemampuan yang sama dalam mereduksi senyawa TTC menjadi formazan. Menurut Bochner & Savageau (1977: 436), TTC dapat tereduksi mejadi formazan yang berwarna merah secara langsung pada pH yang sangat basa. Salem dkk. (1985: 1192) melaporkan bahwa koloni St. mutans normal dan mutan dengan produksi asam laktat rendah memiliki perbedaan pH medium yang signifikan, yaitu koloni normal menghasilkan pH medium 4,85--5,48 dan mutan menghasilkan pH medium 5,82--6,25. Mutan dan mutan ganda yang diperoleh pada penelitian menghasilkan pH medium hampir sama, yaitu mutan E. aerogenes AY-2 menghasilkan pH medium 5,19 dan mutan ganda menghasilkan pH medium 5,00--5,50 (Data tidak terlampir). Berdasarkan hal tersebut diduga bahwa tidak adanya perbedaan warna koloni pada mutan E. aerogenes AY-2 dan mutan ganda karena kisaran pH medium pada mutan ganda hampir sama dengan pH medium kontrol. Berdasarkan pengamatan dapat disimpulkan bahwa penapisan pada medium yang 26 mengandung TTC tidak dapat menentukan koloni mutan ganda yang dapat menghasilkan asam laktat rendah melalui warna koloni. Oleh karena itu, mutan ganda yang dihasilkan dari seluruh perlakuan mutasi dikoleksi dan diseleksi secara acak dengan kriteria tertentu. Koloni mutan yang dipilih adalah 43 koloni mutan yang memiliki warna merah cukup merata dengan ukuran koloni antara 0,2--0,3 cm. Menurut Bochner & Savageau (1977: 438--439), koloni dengan warna merah yang cukup merata pada medium yang mengandung TTC dapat menggunakan substrat dengan baik. Koloni mutan ganda yang telah dipilih kemudian diisolasi dengan metode spot plate dan dilakukan pengujian untuk mengetahui produksi H2 yang dihasilkan. 4.2 Produksi H2 Produksi H2 tertinggi mencapai 1,97 mol H2/ mol gliserol dengan kenaikan 20% dari produksi E. aerogenes AY-2, yaitu 1,64 mol H2/mol gliserol (Tabel 1 & Gambar 4). Mutan ganda tersebut diperoleh dari hasil mutasi dengan konsentrasi EMS 14 µl/ml suspensi sel dan waktu inkubasi 120 menit. Lima mutan ganda lain yang memiliki produktivitas H2 lebih tinggi dari kontrol, yaitu AA-B42, AA-F42, AA-E42, AA-C42, AA-G42 juga dihasilkan dari mutasi dengan konsentrasi EMS 14 µl/ml suspensi sel, tetapi dengan waktu inkubasi 30 menit. Hal tersebut memperlihatkan bahwa perlakuan mutasi dengan konsentrasi EMS yang tinggi dapat memperbesar kemungkinan dihasilkannya mutan ganda dengan produktivitas H2 lebih tinggi. Nilai produksi senyawa organik oleh mutan ganda yang memiliki produktivitas H2 lebih tinggi terlihat cukup beragam, misalnya produksi etanol yang dihasilkan mutan ganda berkisar antara 0,132--0,425 mol/mol gliserol (Tabel 1). Abhyankar dkk. (1985:1269) melaporkan bahwa mutan-mutan St. mutans yang diperoleh dari hasil mutasi dengan NTG mempunyai kisaran produksi senyawa organik yang cukup beragam, misalnya produksi etanol yang dihasilkan mutan berkisar antara 8,7-14,9 μmol/ml. Ito dkk. (2004: 230) melakukan mutasi pada E. aerogenes menggunakan NTG untuk memperoleh mutan dengan produktivitas H2 lebih tinggi dan mutan-mutan dengan produktivitas H2 lebih tinggi yang diperoleh memiliki nilai produksi asam organik yang beragam, sebagai contoh produksi etanol pada mutan berkisar antara 0,40-0,76 mol/mol glukosa. Penelitian yang dilakukan Abhyankar dkk. (1985:1269) dan Ito dkk. (2004: 230) memberikan indikasi bahwa mutagen kimia JRL Vol. 6 No. 1, Maret 2010 : 21 -28 menyebabkan mutasi secara acak pada basa-basa DNA, sehingga mutasi dapat terjadi pada lokasi gen target yang diinginkan atau pada gen lainnya di setiap mutan. Hal tersebut dapat mempengaruhi aktivitas enzim serta metabolit yang dihasilkan pada setiap mutan guna menjaga reaksi oksidasi dalam metabolisme sel tetap seimbang. Tabel 1. Perbandingan kenaikan produkproduk hasil fermentasi selama 48 jam pada mutan terhadap mutan E. aerogenes AY-2 Kode Prod. H2 % kenaikan H2 Prod. Etanol % kenaikan Etanol AY-2 1,64 0,00 0,112 0,00 CD-H30 1,70 3,50 0,316 181,73 AA-B42 1,72 4,66 0,132 17,53 AD-323 1,74 5,83 0,136 21,66 CD-A01 1,76 7,00 0,214 90,72 AA-F42 1,76 7,00 0,226 101,27 AA-E42 1,77 7,58 0,359 220,11 CD-E01 1,78 8,17 0,292 160,39 AA-C42 1,82 10,50 0,425 279,32 AA-G42 1,82 10,50 0,149 33,01 AD-H43 1,97 19,83 0,328 192,45 Nath & Das (2004: 524) menyatakan bahwa H2 dapat dihasilkan dengan melibatkan oksidasi dua senyawa NADH selain dari penguraian asam format. Pembentukan asam laktat, etanol, dan 2,3-butandiol juga melibatkan oksidasi NADH, sehingga konsentrasi produk senyawa-senyawa organik dan H 2 yang dihasilkan akan saling berkaitan. Perbandingan produktivitas H2, etanol, dan 2,3-butandiol terhadap asam laktat dapat dilihat pada Gambar 4 dan Tabel 1. Penurunan asam laktat akibat defisiensi laktat dehidrogenase menyebabkan aktivitas enzim tersebut menurun, sehingga jumlah NADH bebas dalam sel meningkat dan dapat digunakan sebagai koenzim pembentukan senyawa lain yaitu H2, tetapi etanol dan 2,3 butandiol juga dapat terbentuk. Nishio & Nakashimada (2004: 78) menunjukkan bahwa rangkaian reaksi pembentukan etanol dan 2,3butandiol melibatkan oksidasi NADH. Produksi etanol yang lebih tinggi pada hasil fermentasi mutan ganda menunjukkan bahwa sebagian NADH yang seharusnya menjadi koenzim reaksi pembentukan asam laktat digunakan untuk koenzim rangkaian reaksi pembentukan etanol. 27 Sepuluh mutan ganda diperoleh memiliki produktivitas H2 lebih tinggi dari E. aerogenes AY-2. Mutan ganda AD-H43 merupakan mutan dengan produktivitas H2 tertinggi. Skema jalur metabolisme yang mungkin berlangsung pada mutan ganda AD-H43 dapat dilihat pada Gambar 5. Mutan ganda AD-H43 mengalami penurunan produksi asam laktat sebesar 31% dengan produksi H2 serta etanol meningkat, sehingga dapat diasumsikan bahwa AD-H43 mengalami defisiensi laktat dehidrogenase. Menurut Nakashimada dkk.(2002: 1399) pembentukan asam laktat, etanol, dan 2,3-butandiol melibatkan oksidasi NADH. Nath & Das (2004: 521--523) menyatakan bahwa oksidasi NADH berperan dalam produksi H2. Senyawa NADH yang tidak digunakan sebagai koenzim dalam pembentukan asam laktat akan berinteraksi dengan enzim hidrogenase dan feredoksin yang tereduksi sehingga menghasilkan H 2 (2NADH à FdH2 à H2). Sebagian senyawa NADH yang tidak digunakan dalam pembentukan asam laktat dapat berperan dalam pembentukan alkohol, yaitu etanol dan 2,3-butandiol. Hal tersebut menunjukkan bahwa penurunan produksi asam laktat pada AD-H43 menyebabkan produk metabolit lain meningkat, yaitu produksi senyawa yang melibatkan oksidasi NADH (H2, etanol, dan 2,3-butandiol). Produktivitas pada 2,3-butandiol sangat kecil (0,032 mol/mol gliserol), sehingga dapat diabaikan. Hasil penelitian memberikan informasi bahwa EMS dapat memberikan efek mutasi sehingga terjadi perubahan jalur metabolisme pada mutan E. aerogenes AY-2 dengan memproduksi asam laktat lebih rendah dari sebelumnya. Penurunan produksi tersebut diduga karena adanya perubahan basa pada gen pengkode laktat dehidrogenase, sehingga menyebabkan penurunan aktivitas enzim laktat dehidrogenase. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil produksi lain seperti H2, etanol, dan 2,3butandiol yang mengalami peningkatan akibat adanya peningkatan jumlah NADH bebas dalam sel yang tidak berperan dalam pembentukan asam laktat, sehingga NADH dapat berperan dalam pembentukan H2. Mutan ganda E. aerogenes AD-H43 merupakan bakteri yang potensial dalam pengembangan bioenergi masa depan. Mutan ganda tersebut memiliki produktivitas H2 dan etanol yang tinggi. Gas H2 dan etanol diketahui dapat digunakan sebagai bioenergi, khususnya kendaraan bermotor (Claasen dkk. 1999: 741 & 748). JRL Vol. 6 No. 1, Maret 2010 : 21 -28 Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 28 Abhyankar, S., H.J. Sandham & K.H. Chan. 1985. Serotype C Streptococcus Mutans Mutable To Lactate Dehydrogenase Deficiency. J. Dent. Res. 64(11): 1267-1271. Bochner, B. R. & M. A. Savageau. 1977. Generalized Indicator Plate For Genetic, Metabolic, And Taxonomic Studies With Microorganisms. Appl. Environ. Microbiol. 33(2): 434--444. Brock, T.D., M.T. Madigan, J.M. Martinko & J. Parker. 1994. Biology Of Microorganisms. 7th ed. Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs: xvii + 909 hlm. Claassen, P.A.M., J.B. Van Lier, A.M.L. Contreras, E.W.J. Van Niel, L. Sijtsma, A.J.M. Stams, S.S. deVries & R.A. Weusthuis. 1999. Utilisation Of Biomass For The Supply Of Energy Carriers. Appl. Microbiol. Biotechnol. 52: 741--755. Fairbanks, D.J. & W.R. Andersen. 1999. Genetics: The Continuity Of Life. Wadsworth Publishing Company, London: xix + 820 hlm. Ginkel, S. Van., S. Sung & J. J. Lay. 2001. Biohydrogen Production As A Function Of Ph And Substrate Concentration. Environ. Sci. Technol. 35(24): 4726--4730. Hillman, J. D., 1979. Method Of Controlling Dental Caries With Streptococcus Mutans Strains. United States Patent. 880.499: 1--16 hlm. Ngundiwaluyo, S. & Amos. 1996. Hidrogen Sebagai Alternatif Sumber Energi. Majalah BPPT. 65 (5): 134--138. Ito, T., Y. Nakashimada, T. Kakizono & N. Nishio. 2004. High Yield Production Hydrogen By Enterobacter Aerogenes Mutants With Decreased Α-Acetolactate Syntethase Activity. J. Biosci. Bioeng. 97(4): 227--232. Levin, D.B., L. Pitt & M. Love. 2004. Biohydrogen Production: Prospects And Limitations To Practical Application. Int. J. H2 Energy. 29: 173--185. Madigan, M.T., J.M. Martinko & J. Parker. 2000. Brock Biology Of Microorganism. 9th ed. Prentice Hall Inc., Upper Saddle River: xix + 991 + A-13 + G-14 + I-26 hlm. Meuth, M & J.E. Arrand. 1982. Alteration Of Gene Structure In Ethyl Methane 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Sulfonate-Induced Mutants Of Mammalian Cells. Mol. Cell. Biol. 2(11): 1459--1462. Nakashimada, Y., M.A. Rachman, T. Kakizono & N. Nishio. 2002. Hydrogen Production Of Enterobacter Aerogenes Altered By Extracellular And Intracellular Redox States. Int. J. H2 Energy. 27: 1399-1405. Nath, K. & D. Das. 2004. Improvement Of Fermentative Hydrogen Production: Various Approaches. Appl. Microbiol. Biotechnol. 65: 520--529. Nishio, N. & Y. Nakashimada. 2004. High Rate Production Of Hydrogen/Methane From Various Substrate And Wastes. Adv. Biochem. Engin. Biotechnol. 90: 63--87. Rachman, M.A. 1999. Pembentukan Sel Flokulan Enterobacter Aerogenes Untuk Menaikkan Rasio Dan Produksi H2 Dengan Substrat Xylosa Glukosa Dan Campurannya Di Reaktor Packed-Bad. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 1(2): 81--84. R a c h m a n , M . A . , Y. F u r u t a n i , Y. Nakashimada, T. Kakizono & N. Nishio. 1997. Enhanced Hydrogen Production In Altered Mixed Acid Fermentation Of Glucose By Enterobacter Aerogenes. J. Ferment. Bioeng. 84(4): 358--363. Salem, H.H.H., H.J. Sandham & K.H. Chan. 1985. Lactate Dehydrogenase Deficient Mutants Of Serotype G Streptococcus Mutans. J. Dent. Res. 64(10): 1191--1194. Sambrook, J.S. & D.W. Russell. 2001. Molecular Cloning: A laboratory Manual. Vol 2. 3rd ed. Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York: xxvii + 14.53 + I.44 hlm. Wright, B.E. 2000. A Biochemical Mechanism for Nonrandom Mutations and Evolution. J. Bacteriol. 182(11): 2993-3001. Xi Chen, Zhilong Xiu, Jianfeng Wang, Daijia Zhang & Ping Xu. 2003. Stoichiometric Analysis And Experimental Investigation Of Glycerol Bioconversion To 1,3Propanediol By Klebsiella Pneumonia Under Microaerobic Conditions. Enzyme Microb. Technol. 33: 386--394. Xian-Jun Zheng & Han-Qing Yu. 2004. Role Of Ph In Biologic Production Of Hydrogen And Volatile Fatty Acids From Glucose By Enriched Anaerobic Culture. Appl. Biochem. Biotech. 112: 1--12. JRL Vol. 6 No. 1, Maret 2010 : 21 -28