PENERAPAN PERDA SYARIAT ISLAM DALAM UPAYA MENANGGULANGI PERILAKU PENYIMPANGAN REMAJA DI KELURAHAN BORONG RAPPOA KABUPATEN BULUKUMBA THE APPLICATION OF ISLAM LAW TO OVERCOME JUVENILE DELINQUENCY IN BORONG RAPPOA DISTRICT, BULUKUMBA REGENCY SKRIPSI ANDI MANNAUNGI NIM : E411 08 332 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penerapan Syariat Islam melalui Peraturan Daerah telah menjadi populer di tiap daerah kabupaten.Apalagi di kabupaten yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kemerosotan moral serta perilaku-perilaku menyimpang menjadi salah satu alasan dalam upaya penegakan Syariat Islam. Diantara sekian kabupaten di Sulawesi Selatan, Bulukumba adalah salah satu kabupaten yang cukup terkenal dalam penerapan syariat islam melalui peraturan daerah. Orde reformasi setidaknya memberikan ruang kebebasan bagi masyarakat untuk memperjuangkan cita-citanya. Di Sulawesi Selatan sendiri, dalam upaya penerapan syariat islam melalui peraturan daerah memerlukan perjuangan yang panjang. Sudah menjadi fakta historis bahwa sejak abad ke-14 Islam di Sulawesi Selatan sudah menjadi anutan para raja dan rakyatnya.Syariat Islam menjadi dasar orientasi dan way of life. Jika dilihat dari sisi philosofis, Islam di Sulawesi Selatan telah menjadi sistem nilai kehidupan bermasyarakat. Aktualisasi Islam sebagai nilai dasar philosofi kehidupan orang Bugis, Makassar ataupun Mandar sungguh banyak bertebaran dalam khasanah budaya masyarakat Sulawesi Selatan. Dengan kata lain, Islam telah membudaya dan secara turun temurun telah berasimilasi dalam sistem budaya (Lukman; 2007:2). Di Kabupaten Bulukumba sendiri, perjuangan untuk mewujudkan Syariat Islam melalui Peraturan Daerah (Perda) tidaklah mudah.Ada banyak elemen yang terlibat dan tidak sedikit juga hambatan yang menghadang. Patabai Pabokori (Mantan Bupati Bulukumba) dalam tuturannya sebagai berikut: “…..Perda Syariat Islam yang empat itu sebenarnya keinginan dari umat Islam di Bulukumba. Jadi ketemu antara keinginan dari bawah dan keinginan pemerintah, sehingga diramulah dan dibuatlah Perda Syariat Islam dan ternyata mendapat sambutan dari anggota DPRD Bulukumba, karena bagaimanapun eksekutif berjuang kalau tidak mendapat respon dari anggota DPRD kan itu menghambat. Kemudian yang kedua kami banyak mendapat dukungan dari Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI), juga Jundullah yang saat itu gencar gerakannya. Pada saat itu kami buat konsep perda dan itulah (merekalah, pen.) yang memberikan dorongan, motivasi dan tekanan pada DPRD Bulukumba sehingga cepat proses pengesahannya……” Pernyataan mantan Bupati Bulukumba di atas menegaskan bahwa perjuangan penerapan Syariat Islam melalui Perda berasal dari bawah dalam artian memang benarbenar keinginan rakyat Bulukumba dan berbagai elemen masyarakat yang memang berjuang seperti KPPSI dan Jundullah sehingga pada akhirnya mendapat sambutan dari DPRD Bulukumba.Walau demikian, tidak sedikit juga polemik yang terjadi setelah diberlakukannya Perda Syariat Islam di Kabupaten Bulukumba.Seperti uraian M Fadhly Ase, SHI : “ Perda-perda syariat tersebut, dengan alasan dan argumentasi masing-masing, telah menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam kalangan umat Islam sendiri. Sehingga harus benar-benar dicermati bagaimana menyikapi keinginan umat Islam terhadap tuntutan pelaksanaan syari‟at Islam secara formal….” Bulukumba merupakan kabupaten paling ujung selatan Sulawesi Selatan,berjarak kurang lebih 153 km dari ibu kota propinsi Sulawesi Selatan, dengan jumlahpenduduk 394.757 jiwayang mayoritasnya beragama Islam, sebanyak 99,88 persen.Luas wilayah Bulukumba sekitar 1.154,67 km2 yang terbagi dalam 10 Kecamatan,125 desa/kelurahan. Kondisi sosial budaya masyarakat Bulukumba berlatar belakang maritim dan agraris. Era otonomi daerah telah membawa tiap-tiap Kabupaten untuk memperjuangkan otonominya dan setelah perjuangan yang panjang, Kabupaten Bulukumba berhasil menerapkan Perda Syariat Islam.Ada empat Perda Syariat Islam yang diberlakukan di Kabupaten Bulukumba Dalam “Monitoring Perda Syariat Islam di Bulukumba”, sejak tahun 2002 di daerah ini mulai berlaku Perdaperda Syariat Islam, antara lain Perda Nomor 03 Tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban dan Penjualan Minuman Keras, Perda Nomor 02 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq dan Shadaqah, Perda Nomor 05 Tahun 2003 Tentang Pakaian Muslim dan Muslimah, Perda Nomor 06 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis AlQuran bagi Siswa dan Calon Pengantin. Perda Syariat Islam merupakan produk hukum yang berlandaskan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang sekarang telah direvisi menjadi UU Nomor 12 Tahun 2008. Walau demikian, semenjak Perda Syariat Islam bermunculan tidak sedikit juga elemen yang menolak. Perda Syariat Islam memicu problematika yang cukup tajam dari sisi ketatanegaraan. Pasalnya, status perda adalah sebuah produk hukum yang posisinya jauh di bawah konstitusi Negara. Sementara semangat konstitusi jelas-jelas menolak formalisasi Syariat Islam. Dari sisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sendiri, terbitnya Perda Syariat Islam justru telah menabraknya. Masalah agama menjadi otoritas pemerintah pusat, bukan kewenangan pemerintah daerah. Otonomi daerah perlu dipahami sebagai kebebasan untuk melaksanakan aturan yang sudah ada, bukan kebebasan untuk menetapkan undang-undang sendiri. Semenjak diberlakukannya Perda Syariat Islam di Kabupaten Bulukumba, bermunculan berbagai macam penelitian dan analisis yang melihat dampak positif dari penerapan Perda tersebut. Salah satunya analisi Lukman (2007:10): “Setelah pemberlakuan empat perda tersebut tahun 2003 lalu, Bulukumba telahmenunjukan perkembangan yang sangat pesat dimana masjid-masjid kian hidup olehramainya jama’ah, beberapa fasilitas perkantoran serta sekolah lebih bernuansaIslami karena dilengkapi dengan kaligrafi al-Qur’an, seluruh siswa-siswi besertaguru-guru yang beragama Islam memakai busanah muslim dan muslimah. Bahkanmenurut penelitian, sebelum memberlakukan empat perda tersebut, 30 persenpenduduk Bulukumba buta aksara Al-qur’an, angka kriminalitas, kenakalan remajadan penyimpangan sosial pun sangat tinggi. Namun setelah mencanangkan dirisebagai kabupaten yang menerapkan Syari’at Islam, angka 30 persen tersebut dapatdidongkrak menjadi 100 persen bisa baca Alqur’an, tingkat kriminalitas menurunhingga 80 persen. Hal ini juga pernah ditegaskan oleh mantan bupati Bulukumba, Andi Patabai Pabokori yang mengungkapkan bahwa sejak diterapkannya Perda Syariat Islam pada 2001, tingkat kriminalitas di Bulukumba turun hingga 85 %.” Lebih lanjut mantan Bupati Bulukumba Patabai Pabokori dalam mensosialisasikan Syariat Islam di daerahnya memprioritaskan pada enam segmen keagamaan yang terbingkai dalam “CrashProgram Keagamaan” yaitu: (1) Pembinaan dan Pengembangan Pemuda Remaja Mesjid, (2) Pembinaan dan Pengembangan Taman Kanak-Kanak al-Qur’an, (3) Pembinaan dan Pengembangan Majelis Taklim, (4) Pembinaan dan Pengembangan Perpustakaan Masjid, (5) Pembinaan dan Pengembangan Hifzil Qur’an, (6) Pembinaan dan Pengembangan Seni Berbusana Islami. Selain itu, yang juga menjadi perhatian Bupati adalah pembembentukan desa percontohan muslim. Melalui desa percontohan ini diharapkan bisa menjadi pelopor pemberlakuan Syari’at Islam dalam sikap perilaku sehari-hari dan jadi desa pelopor zakat. Kelurahan Borong Rappoa berada dalam wilayah Kecamatan Kindang Kabupaten Bulukumba yang mayoritasnya jumlah penduduknya beragama Islam. Berdasarkan data dari kelurahan Borong Rappoa tahun 2012, jumlah penduduknya adalah 4029 jiwa dengan rincian jumlah lakilaki 1992 jiwa dan perempuan 2037 jiwa. Jumlah keseluruhan kepala keluarga di Kelurahan ini adalah 997. Sebagian besar masyarakat di Kelurahan ini bekerja sebagai petani. Kebun-kebun diolah dan ditanami dengan tanaman yang memiliki nilai jual cukup tinggi seperti cengkeh, kopi, durian dan lain-lain. Kelurahan Borong Rappoa adalah kampung halaman penulis sendiri sehingga penulis cukup mengetahui kondisi masyarakat di kelurahan ini. Data dari Kelurahan Borong Rappoa juga menyebutkan bahwa 90% dari jumlah penduduknya adalah petani, 5% pedagang, 2,5 % PNS, dan 2,5% TNI/Polri. Kelurahan Borong Rappoa tidak termasuk dalam 12 desa percontohan muslim sebagai salah satu bentuk penerapan dari Perda Syariat Islam. Hal ini justru menjadi pertanyaan besar dalam benak penulis karena walaupun kelurahan ini tidak termasuk desa percontohan muslim, namun empat Perda Syariat Islam yang telah ditetapkan, berlaku secara umum diseluruh kelurahan di Kabupaten Bulukumba. Sementara hasil pengamatan awal penulis melihat masih banyak bentuk perilaku penyimpangan yang terjadi di Kelurahan Borong Rappoa terutama penggunaan minuman keras oleh para remaja. Walaupun telah disebutkan di atas bahwa terjadi penurunan perilaku penyimpangan remaja, data dari kelurahan Borong Rappoa menyebutkan 40-60% perilaku menyimpang remaja adalah peminum minuman beralkohol dan 30% hamil di luar nikah. Secara sosiologis, agama dapat berfungsi sebagai pranata sosial. Dengan demikian produk hukum yang landasannya berasal dari agama seperti Perda Syariat Islam, secara struktural fungsional dapat memelihara ketertiban dalam masyarakat (Mustain Mashud; 2011). Persoalan Kelurahan Borong Rappoa tidak termasuk dalam desa percontohan muslim justru juga menjadi tanda Tanya besar. Persoalannya dari pengamatan penulis di kelurahan Borong Rapppoa, sepertinya tidak ada efek menurun dari penerapan desa percontohan muslim jika memang desa percontohan muslim diharapkan mampu menjadi contoh dari desa yang bukan percontohan muslim. Perilaku penyimpangan remaja jika dilihat dari empat Perda Syariat Islam di Bulukumba yang telah diberlakukan, hanya satu Perda yang secara langsung menangani perilaku penyimpangan remaja yaitu Perda Nomor 03 Tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban dan Penjualan Minuman Keras. Sedangkan perda yang lain memberikan efek secara tidak langsung. Walau secara sekilas penggunaan minuman keras oleh remaja di Kelurahan Borong Rappoa tidak tampak, tapi kemungkinan besar mereka melakukannya secara tersembunyi. Dalam kajian perilaku menyimpang, ada beberapa tahap yang perlu diperhatiakan bagaimana seseorang atau kelompok menjadi menyimpang. Pertama, penyimpangan primer, hal ini dialami seseorang mana kala ia belum memiliki konsep sebagai penyimpang atau tidak menyadari jika perilakunya menyimpang. Kedua, penyimpangan sekunder, hal ini merupakan tahap yang lebih tinggi dari penyimpangan primer yaitu suatu tindakan menyimpang yang berkembang ketika perilaku dari si penyimpang itu mendapat penguatan melalui keterlibatannya dengan orang atau kelompok yang juga menyimpang (Tuti Budirahayu; 2011). Belum ada penelitian tentang bagaimana bentuk penyimpangan remaja di Kelurahan Borong Rappoa namun penggunaan minuman keras dari pengamatan penulis cukup kuat di Kelurahan ini. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengetahui proses serta dampak perda Syariat Islam di Kelurahan Borong Rappoa dalam upaya penanggulangan perilaku penyimpangan remaja. Maka penelitian ini dilakukan dengan judul PENERAPAN PERDA SYARIAT ISLAM DALAM UPAYA MENANGGULANGI PERILAKU PENYIMPANGAN REMAJA DI KELURAHAN BORONG RAPPOA KABUPATEN BULUKUMBA. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan diajukan yaitu, 1. Bagaimanakah proses penerapan Perda Syariat Islam di Kelurahan Borong Rappoa? 2. Bagaimana dampak penerapan Perda Syariat Islam terhadap perilaku penyimpangan remaja di Kelurahan Borong Rappoa? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu, 1. Untuk mengetahui proses penerapan Perda Syariat Islam di Kelurahan Borong Rappoa. 2. Untuk mengetahui dampak yang terjadi dalam penerapan Perda Syariat Islam terhadap perilaku penyimpangan remaja di Kelurahan Borong Rappoa. D. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini yaitu, 1. Mengetahui proses penerapan Perda Syariat Islam di Kelurahan Borong Rappoa. 2. Mengetahui dampak yang terjadi dalam penerapan Perda Syariat Islam terhadap perilaku penyimpangan remaja di Kelurahan Borong Rappoa. BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA OPERASIONAL A. Tinjauan Pustaka a. Sejarah Penerapan Perda Syariat Islam Di Kabupaten Bulukumba 1. Selayang pandang tentang Syariat Islam di Bulukumba Maraknya penerapan Syariah Islam di Sulawesi selatan pada beberapa tahun belakangan ini sesungguhnya tidak lepas dari peran KPPSI (Komite Persiapan Penerapan Syariah Islam) yang sangat getol menyuarakan penerapan syariah islam di daerahdaerah tersebut. KPPSI di dirikan pada tahun 2000 setelah kongers pertama umat islam ( Kongres Mujahidin ) di Yogyakarta yang bertujuan mengintegrasikan antara tujuan dan aksi penerapan Syariat Islam di Indonesia. Dalam kongres pertama tersebut, di antara anggota delegasi Sulawesi selatan adalah Abdurahman A. Basalama mantan rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI), dan Agus Dwi karna. Sebagai folow up dari kongres mujahidin Yogyakarta tersebut, tahun 2000 kongres umat Islam tingkat regional Sulawesi selatan I di gelar di Makassar. Pada kongres ini, beberapa keputusan penting di hasilkan. Di antaranya adalah kesepakatan untuk membentuk KPPSI, sebuah lembaga formal yang mengemban mandat untuk mengatur dan mengorganisir penerapan Syariah Islam di Sulawesi selatan. Salah satu dasar yang di gunakan dalam pembentukan KPPSI ini adalah UU otonomi daerah yang telah di keluarkan oleh pemerintahan B. J. Habibie pada tahun 1999, sebuah rujukan yang sebenarnya tidak kuat karena dalam UU tersebut, agama merupakan wewenang pusat. Dengan alasan tersebut, KPPSI merasa bahwa Sulawesi Selatan pun berhak di beri otonomi khusus seperti halnya Aceh dalam hal penerapan Syariah Islam. Menurut Azwar Hasan, sekretaris jenderal KPPSI, KPPSI memperjuangkan penerapan Syariah Islam secara konstitusional dan tetap dalam kerangka NKRI. Setelah terbentuk, disusunlah kemudian badan utama, yaitu Majelis Syuro dan Majelis Lahjna Tanfidziyah. Angota-angota Majelis Syuro ini terdiri dari para intelektual dan ulama dari tiga kampus besar di Sulawesi selatan; Universitas Muslim Indonesia, Universitas Hasanuddin dan IAIN (UIN) Alauddin. Dalam Majelis Syuro ini, terdapat representasi dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) propinsi dan kabupaten Se-Sulawesi Selatan. Abdul Aziz Qahhar Mudzakar terpilih menjadi ketua Majelis Lajnah tanfidziyh. Kongres umat Islam tingkat regional Sulawesi selatan II kembali di adakan pada tahun 2001. Kongres ke dua ini secara khusus bertujuan mendiskusikan ‘otonomi khusus untuk penerapan Syariat di Sulawesi selatan. Kongres di buka oleh wakil Gubernur Sulawesi selatan, dan dihadiri oleh berbagai kelompok masyarakat antara lain aktivis mahasiswa, utusan dari daerah se-sulawesi selatan, serta para orang tua yang merindukan romantisme masa Qahar Mudzakar. Tak ketinggalan hadir pula dalam kongres II ini Habib Husaian Al-Habsyi dan Abu Bakar Ba’asyir, serta abdul Hadi awang, pemimpin khrismatik PAS Malaysia. Fenomena menarik dari kongres ini adalah pengamanan ketat yang bukan dilakukan oleh aparat kepolisian dan TNI (tentara nasional Indonesia) tetapi oleh laskar Jundullah. Laskar ini merupakan quasi-militer dari KPPSI yang nantinya berperan besar dalam ‘pemaksaan’ penerapan Syariah Islam di Sulawesi selatan. Anggotanya di klaim berjumlah lebih dari 10.000 orang yang tersebar di seluruh Sulawesi Selatan. Mereka terdiri dari mantan anggota gang dan preman. Dalam praktiknya, laskar ini terkadang bertindak ofer akting dengan melakukan kekerasan dan tindakan semi kriminal menggunakn senjata tongkat dan perisainya. Di Bulukumba, di laporkan bahwa laskar ini beberapa tahun silam memaksa orang-orang tetap membuka restoran di siang hari bulan ramadhan untuk menutupnya atau di hancurakan, tanpa peduli siapapun dan non-muslim sekalipun, mereka juga merazia dan memaksa kaum perempuan untuk memakai jilbab. Dalam sejarah Sulawesi selatan di sebutkan bahwa Qahhar Mudzakkar sempat menguasi Sulawesi selatan selama beberapa waktu. Ia juga sempat menerapkan hukum Islam secara keras di beberapa tempat di Sulawesi selatan. Menurut wahyudin Halim, mengutip C. Pelras, beberapa prinsip yang pernah di gunakan Qahhar Mudzakkar cenderung menuju Sosialisme Islam. Antara lain lewat upaya Land Reform dengan membagikan tanah secara merata kepada rakyat, penghapusan gelar kebangsawanan (feodalisme), penghapusan beberapa tradisi kemewahan yang biasa di lakukan oleh rakyat seperti, pengunaan pakaian dan perhiasan yang berlebihan dalam pesta, dan pencegahan paganisme (sinkretisme) dengan melarang orang mendatangi (berziarah) ketempat keramat. Dalam hukuman pidana, Qahar telah melaksanakan hukum potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi para pezina. Menurutnya juga, ada beberapa hal yang problematik dengan gerakan KPPSI. Pertama klaim bahwa KPPSI di dukung oleh sebahagian besar institusi, baik pemerintah maupun ormas serta publik. Klaim ini tentu saja masih debatable. Kedua, pressure terhadap media yang terkadang di lakukan oleh KPPSI, sebagaimana di akui oleh seorang wartawan harian fajar (koran terbesar di Indonesia timur) tujuannya agar media mem-blow up kegiaatan KPPSI di cover depannya. Sebaliknya, suara-suara yang menetang mereka di eliminir sedemikian rupa, hingga nyaris tak terdengar. Tiga, hal ini yang sama juga di alami oleh bebebrapa anggota DPRD serta kalangan eksekutif. Akibatnya, DPRD tingkat I Sulawesi selatan menyetujui draf Syariah Islam yang di ajukan oleh KPPSI untuk kemudian di ajukan kepada pemerintah pusat. Pada bulan juni 2002 gubernur Sulawesi selatan mengirimkan satu tim yang terdiri dari 8 anggota DPRD dan KPPSI untuk studi banding ke beberapa wilayah Malaysia yang telah menerapkan Syariah Islam, yaitu Kuala Lumpur, Trengganu, dan Malaka. Awal januari 2004, sebuah tim lagi di bentuk untuk mengunjungi Mesir dan bertemu langsung dengan Grand syekh alazhar untuk meminta pendapatnya untuk penerapan Syariah Islam. Sekretariat KPPSI juga menginformasikan bahwa ada beberapa tim lagi yang dikirim ke Pakistan, Iran, dan Yordania untuk tujuan yang sama pada saat yang hampir bersamaan. Beberapa pengamat mempertanyakan efektifitas tim-tim tersebut, karena kegiatan studi banding ini terindikasi hanyalah upaya kong kali kong antara eksekutif, anggota DPRD, dan KPPSI untuk ‘pelesir’ keluar negeri dengan mengunakan uang rakyat. Walapun demikian, dukungan eksplisit dari pemerintah provinsi patut juga di perhtaikan secara cermat, apakah merupakan dukungan sebenarnya ataukah ada ketakutan. 2. Mengenal sosok Bupati Andi Patabai Pabokori Andi Patabai Pobokori bukanlah orang Bulukumba asli. Ia berasal dari Bone. Jalur pendidikan akademisnya adalah APDN dan Universitas Hasanuddin (unhas) makassar pada tahun 1977. Di jajaran birokrasi Bulukumba, ia dikenal setelah menjabat Sekda pada tahun 1990-1995 pada masa kepemimpinan Drs. A Thamrin setelah masa jabatan habis Andi Patabai menggantikannya selama dua periode yaitu peride 1995-2000 dan 2000-2005. Pada tahun 2005, melalui mekanisme pemilihan langsung kepala daerah (pilkada), ia di gantikan oleh Andi M. syukri Sappewali yang berlatar belakng militer. Sementara itu, Andi Patabbai sendiri sekarang menjabat sebagai Kepala Dinas pendidikan Profinsi Sulawesi selatan. Benih penerapan syariah islam bukanlah ide yang datang tiba-tiba dari Andi Patabai, karena empat Perda Syariat Islam tersebut lahir pada periode ke 2 kepemimpinannya. Tahun 1994, sewaktu menjabat Sekda, Andi Patabai Pabokori turut merevitalisasi Badan Koordinasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Bulukumba yang membuatnya aktif. Bukan hanya dukungan dana operasional, tetapi juga dukungan fasilitas serta moril ia berikan. Aktifitas remaja mesjid pun mengeliat dan marak di Bulukumba. Bahkan, pada tahun 1996, ketiaka menjabat bupati, Kabupaten Bulukumba menyelengarakan porseni remaja mesjid se- Sulawesi selatan untuk pertama kalinya. Maraknya kegiatan BPKRMI ini juga berdampak pada menjamurnya Taman KanakKanak Al-quran/Taman Pendidikan Al-quran (TKA-TPA) dai Bulukumba. Hal ini dapat dimengerti karena BKPRMI merupakan wadah induk organisator TKA/TPA tersebut. Atas prestasinya merevitalisasi BKPRMI Bulukumba, pada tahun 1997 presiden RI memberinya penghargaan “peniti emas” sebagai pengayom terbaik pembina remaja mesjid tingkat nasional. Dengan penghargaan ini, Patabai semakin bersemangat dan gencar mendirikan TPA/TKA di seluruh pelosok Bulukumba pada akhir tahun 1990-an. Bahkan, ia juga mendirikan taman pendidikan orang tua (TPO) dan majelis-majelis taklim. Setelah khatam, anakanak dan orang dewasa tersebut mengikuti wisuda yang di hadiri langsung oleh patabai, sekaligus mendatangani ijazah mereka. Tak heran dalam sebulan, agenda patabai di penuhi undangan dari warga untuk acara wisuda di desa-desa. Ada kebanggaan tersendiri rupanya, jika Patabai yang mewisuda dan menandatngani ijazah mereka secara langsung. Beberapa orang bahkan ada yang membingkai ijazah tersebut dan memajangnya di rumah. Patabai Pabokori adalah Mantan bupati yang populer di mata rakyatnya. Ia dikenal sebagai bupati yang tidak menggunakan pengawalan resmi yang protokoler. Di ceritakan bahwa ia hampir tidak pernah menolak undangan wisuda serta pengajian warganya. Menurut beberapa sunber, ia juga sering membawa kaleng biskuit dan uang tunai yang di bagikan kepada warga yang di kunjungi. Setelah lahirnya perda busana muslimah, ia pun membawa banyak stock jilbab di mobil dinasnya untuk di bagikan kepada warga yang tidak berjilbab walaupun demikian, patabai bukanlah figur yang paham agama. Menurut penuturan salah seorang kawan dekatnya saat menjadi bupati, patabai belum mengetahui cara mandi junub (mandi besar setelah berhubungan seksual atau lainnya). Di bulan ramadhan, Patabai Pabokori mantan bupati Bulukumba sering membawa warganya berbuka puasa dan shalat tarawih di Masjid al-Markaz al-Islami di Kota Makassar. Kegiatan ini berawal dari keributan antar kampung di suatu kecamatan di Bulukumba. Dua kelompok berbeda kampung memperebutkan satu sumur bor yang terletak di antara dua kampung tersebut. Bupati yang turun langsung saat kejadian tersebut tidak di gubris kehadiranya. Kejadian yang berlangsung di bulan ramadhan itu membuat Patabai Pabokori berpikir keras mencari solusianya. Ia lantas memerintahkan stafnya menyiapkan satu buah bus dan beberapa mobil guna mengankut ke dua kelompok ke Kota Makassar untuk berbuka puasa. Rupanya strategi tersebut cukup efektif untuk meredam konflik. Buntutnya, banyak orang lain yang meminta agar mereka juga di ajak ke Al-marqaz. Wal hasil, setiap tahun selama masa kepemimpinannya, 10 – 15 hari di bulan ramadhan di gunakan oleh Patabai Pabokori untuk membawa tokoh-tokoh agama dan masyarakat berkunjung ke Al-Marqaz. 3. “Crash program keagamaan” Kabupaten Bulukumba Crash program keagamaan merupakan strategi pemerintah Bulukumba di bawah Patabai Pabokori untuk meramu religiusitas mayarakat Bulukumba agar menjadi modal dan spirit dalam pembanguan di berbagai sektor. Dari sekian banyak program pemerintahannya, ia mencoba merumuskan program keagamaan yang merupakan kebutuhan masyarakat luas. Dengan disokong oleh KPPSI Bulukmba, laskar Jundullah, Nu, dan Muhammadiyah Bulukumba, pada akhirnya meluncurkan program keagamaan yang di resmikan langsung oleh gubernur Sulawesi selatan saat itu, HZB palaguna. Materi-materi crash program keagamaan tersebut adalah 1) Pembinaan dan pengembangan pemuda remaja mesjid 2) Pembinaan dan pengembangan TKA dan TPA (taman kanakkanak al-quran dan taman pendidikan al-quran) 3) Pembinaan dan pengembangan Hifzh al-Quran (menghafal al-Quran) 4) Pembinaan dan pengembangan majelis taklim 5) Pembinaan dan pemngembangan perpustakaan mesjid 6) Pembinaan dan pengembangan seni bernuansa Islam Sebagai implementasi dari crash program keagamaan ini, kemudiaan di lahirkan beberapa perda yang disebut-sebut sebagai perda yang bernuansa Syariat Islam. Yaitu : 1. Perda No. 03 Tahun 2002 Tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban, dan Penjualan Minuman Beralkohol. 2. Perda No 02 Tahun 2003 Tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq, dan Sedekah. 3. Perda No. 05 Tahun 2003 Tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah. 4. Perda No. 06 Tahun 2003 Tentang Pandai Baca Al-Quran Bagi Siswa dan Calon Pengantin. b. Remaja dan Perkembangannya 1. Definisi Remaja Dalam bahasa Indonesia sering disebut pubertas atau Remaja. Etimologi atau asal kata istilah ini adalah puberty (Inggris) atau pubertiet (Belanda) berasal dari bahasa latin: pubertas. Kata latinpubescere berarti pubes atau rambut kemaluan yaitu tanda kelamin sekunder yang menunjukkan perkembangan seksual. Istilah Puber dimaksudkan remaja sekitar masa pematangan seksual. Pada umumnya masa pubertas terjadi antara 12-16 tahun pada anak laki-laki dan 11-15 tahun untuk anak perempuan (Drs. H. Penut Panuju dan Ida Umami S.Ag;1999: 1-2). Remaja juga diartikan sebagai manusia yang masih di dalam perkembangannya menuju kedewasaan baik jasmani maupun psikisnya. Para ahli membagi masa perkembangan itu dalam beberapa tahap. Sebagai gambaran berikut ini tahap-tahap perkembangannya. Masa remaja adalah masa mulai aktif dan energinya serba lengkap. Energi yang berlebihan menyebabkan sifat anak itu suka ramai, ribut, suka bertengkar, sering memamerkan kekuatan badannya, lincah dan berani, ingin menonjolkan dirinya ingin namanya dikenal orang lain. Ia menganggap tidak ada pekerjaan yang sulit baginya, ingin melepaskan diri dari kekangan orang tua, ingin berdiri sendiri, bersifat ambivalent. Sifatnya kadang-kadang destruktif, sering melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum/ norma dan sulit diatur. Sedangkan Masa remaja adalah masa transisi dan secara psikologis sangat problematis yang ditandai dengan dua ciri yang berlawanan, yaitu adanya keinginan untuk melakukan perlawanan dan sikap apatis, dimana pada satu sisi belum mempunyai pegangan dan disisi lain kepribadian sedang mencari identitas atau jati diri. Masa remaja disebut juga dengan masa peralihan, yang mana pada masa peralihan ini sama halnya seperti pada masa anak, mengalami perubahan-perubahan jasmani, kepribadian, intelek, dan peranan di dalam maupun diluar lingkungan. Perbedaan proses perkembangan yang jelas pada masa remaja ini adalah psikoseksualitas dan emosionalitas yang mempengaruhi tingkah laku para remaja, yang sebelumnya pada masa anak tidak nyata pengaruhnya. Proses perkembangan yang dialami remaja akan menimbulkan permasalahan bagi mereka sendiri dan mereka yang ada didekat dengan lingkungan hidupnya (Dra. Singgih. D. Gunarsa; 1989:3). 2. Perkembangan Remaja Pada umumnya permulaan masa remaja ditandai oleh perubahan-perubahan fisik yang mendahului kematangan seksual. Bersama dengan perubahan fisik, proses perkembangan psikis remaja juga akan dimulai, dimana mereka mulai melepaskan diri dari ikatan orang tuanya. Kemudian terlihat perubahan-perubahan kepribadian yang terwujud dalam cara hidup untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat. Perlu diketahui bahwa yang sangat berpengaruh pada proses perkembangan remaja pada tahap selanjutnya atau untuk seterusnya adalah lingkungan sosial dan teman sepergaulan. Perubahan yang dialami oleh para remaja dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu: 1. Perubahan yang perkembangannya mudah diketahui, karena proses jelas dan mudah diamati orang lain. 2. Perubahan yang sulit dilihat orang lain, maupun oleh remaja yang mengalaminya sendiri (Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa; 1990:2). c. Penyimpangan Perilaku dan Bentuk-Bentuknya 1. Definisi penyimpangan perilaku Penyimpangan perilaku atau Penyimpangan sosial sadar atau tidak sadar pernah kita alami atau kita lakukan. Penyimpangan sosial dapat terjadi dimanapun dan dilakukan oleh siapapun. Sejauh mana penyimpangan itu terjadi, besar atau kecil, dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat terganggunya keseimbangan kehidupan dalam masyarakat. Penyimpangan merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi (Sunarto;2004:176), sedangkan perilaku yaitu suatu tindakan, perbuatan dan perilaku (Pius A. Partanto;1994:587). Jadi yang dimaksud dengan perilaku menyimpang adalah perilaku dari para warga masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan atau norma sosial yang berlaku. Secara sederhana kita memang dapat mengatakan, bahwa seseorang berperilaku menyimpang apabila menurut anggapan sebagian besar masyarakat (minimal di suatu kelompok atau komunitas tertentu) perilaku atau tindakan tersebut diluar kebiasaan, adat istiadat, aturan, nilai-nilai, atau norma-norma sosial yang berlaku (J. Narwoko Dwi;2007:98). Penyimpangan perilaku dapat juga dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku yang diekspresikan oleh seorang atau beberapa anggota masyarakat yang secara disadari atau tidak disadari, tidak menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku yang telah diterima oleh sebagian besar dengan anggota masyarakat (Drs. Yad Mulyadi, dkk;1995:54). Menurut James Vander Zanden penyimpangan merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi. Jadi yang dimaksud dengan penyimpangan adalah perbuatan yang mengabaikan norma yang terjadi apabila seorang atau sekelompok orang tidak mematuhi patokan baku di dalam mayarakat (Drs. Taufiq Rohman Dhohiri, dkk;2003:126).Sedangkan Menurut M.Z. lawang , penyimpangan perilaku adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha dari pihak yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang tersebut (Nurseno;2009:157). Penyimpangan perilaku remaja disebut juga dengan kenakalan remaja.Kenakalan remaja adalah perbuatan anak-anak dan remaja yang melakukan tindakan yang menganggu ketertiban umum, mabuk-mabukan, perkelahian antar kelompok dan sebagainya. kenakalan remaja merupakan pelanggaran atas norma sosial, agama serta hukum. jadi kenakalan remaja ini menyangkut aspek yuridis, sosiologi, sosial, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan, agama dan sebagainya. Berbagai bentuk perilaku remaja dapat dikatakan sebagai kenakalan remaja dan pada gilirannya akan menimbulkan dampak bagi pembentukan citra diri remaja serta aktualisasi potensi-potensinya. Kita semua sependapat bahwa kenakalan remaja tidak boleh dibiarkan, harus diantisipasi.kita berkewajiban untuk mencarikan alternatif-alternatif pemecahannya agar tidak ada lagi sebutan kenakalan remaja yang ada hanya sebutan remaja berprestasi. Secara umum yang digolongkan sebagai perilaku menyimpang, antara lain: a. Tindakan nonconform, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma yang ada. Misalnya memakai sandal buntut ke kampus atau ke tempat-tempat formal, membolos, merokok di area larangan merokok, membuang sampah sembarang tempat dan sebagainya. b. Tindakan yang antisosial atau asosial, yaitu tindakan yang melawan kebiasaan masyarakat atau kepentingan umum seperti: menarik diri dari pergaulan, tidak mau berteman, keinginan untuk bunuh diri, minum-minuman keras, menggunakan narkotika atau obat-obat berbahaya, terlibat dunia prostitusi, penyimpangan seksual (homo dan lesbian), dan sebagainya. c. Tindakan-tindakan kriminal, yaitu tindakan yang nyata-nyata telah melanggar aturan-aturan hukum tertulis dan mengancam jiwa atau keselamatan orang lain. Tindakan kriminal yang sering kita temui itu misalnya: pencurian, perampokan, pembunuhan, korupsi, perkosaan, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya, baik yang tercatat di kepolisian maupun yang tidak karena tidak dilaporkan ke masyarakat, tetapi nyata-nyata mengancam ketentraman masyarakat (J. Narwoko Dwi;2007:101). 2. Bentuk-Bentuk Penyimpangan Perilaku Remaja Bentuk- bentuk penyimpangan perilaku terdiri atas penyimpangan primer (primary deviation), penyimpangan sekunder (secondary deviation), penyimpangan individual (individual deviation), penyimpangan kelompok (group deviation) dan penyimpangan campuran (mixture of both deviation). a. Penyimpangan primer (primary deviation) Penyimpangan primer adalah penyimpangan yang kdilakukan seseorang, hanya bersifat temporer, dan tidak berulang-ulang. Orang yang melakukan penyimpangan ini masih dapat diterima secara social karena hidupnya tidak didominasi oleh (Nurseno;2009:159), pola perilaku misalnya: menyimpang pegawai yang itu kadang membolos kerja, banyak minum alkohol pada waktu pesta, siswa yang membolos atau mencontek saat ujian, memalsukan pembukuan, mengurangi besarnya pajak pendapatan (Drs. Taufiq Rohman Dhohiri, dkk.;2003:130). b. Penyimpangan sekunder (secondary deviation) Penyimpangan sekunder adalah perbuatan yang dilakukan secara khas memperlihatkan perilaku penyimpangan dan secara umum dikenal sebagai orang-orang yang menyimpang karena sering kali/ucapkali melakukan tindakan yang meresahkan orang lain (Drs. Taufiq Rohman Dhohiri, dkk.;2003:131). Misalnya: seorang peminum yang sering mabok-mabokan dan memeras orang lain (Nurseno;2009:159). c. Penyimpangan individu yaitu: Penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari normanorma yang telah mapan dan nyata-nyata menolak norma-norma tersebut. Misalnya: pencurian yang dilakukan sendiri (Drs. Taufiq Rohman Dhohiri, dkk.;2003:131). d. Penyimpangan kelompok (group deviation) Penyimpangan kelompok adalah tindakan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang dilakukan sekolompok orang (Nurseno;2009:160). dan beraksi Penyimpangan ini secara kolektif dilakukan oleh sekelompok orang yang tunduk pada norma kelompok, padahal norma tersebut bertentangan dengan norma masyarakat yang berlaku. Misalnya: kelompok orang yang melakukan penyelundupan narkotika/ pengedaran narkotika secara gelap dan penyalahgunaan dalam pemakaiannya, sekelompok pencopet atau pencuri yang beroperasi di suatu wilayah tertentu. e. Penyimpangan campuran (mixture of both deviation) Jenis penyimpangan ini dilakukan oleh suatu golongan sosial yang terorganisir secara rapi, sehingga individu ataupun kelompok didalamnya taat dan tunduk kepada norma-norma golongan, padahal secara keseluruhan merasa mengabaikan norma-norma masyarakat yang berlaku.Sebagai contoh adalah geng-geng anak-anak yang nakal yang meniru “gangster” ala Amerika. d. Teori Penyimpangan Perilaku 1. Teori Anomi Teori anomi berpandangan bahwa munculnya perilaku menyimpang merupakan konsekuensi dari perkembangan norma masyarakat yang makin lama makin kompleks. Akibatnya tindak ada pedoman yang jelas yang dapat dipelajari dan dipatuhi warga masyarakat sebagai dasar dalam memilih dan bertindak dengan benar. Misalnya, akibat kedua orang tua bekerja dan tidak berada dirumah, anak cenderung menjadi anak nakal (Nurseno;2009:163). 2. Teori Sosiologi atau Teori Belajar Teori ini menyebutkan bahwa penyimpangan perilaku adalah hasil dari proses belajar. Salah seorang ahli teori belajar yang banyak dikutip dari tulisannya adalah Edwin H. Sutherland ia menanamkan teorinya dengan Diasosiasi Diferencial. Menurut Sutherland, penyimpangan adalah konsekuensi dari kemahiran dan penguasaan atas suatu sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang (J. Narwoko Dwi;2007:121). 3. Teori Labeling Teori ini umumnya mempunyai keyakinan bahwa pemberian cap atau stigma sering kali mengubah anggapan masyarakat terhadap seseorang yang telah melakukan perbuatan menyimpang. Semula pelaku-pelaku hanya melakukan penyimpangan primer, namun lambat laun dengan anggapan masyarakat itu akan melakukan penyimpangan sekunder (Nurseno;2009:162). Analisis tentang pemberian cap itu dipusatkan pada reaksi orang lain. Artinya ada orang-orang yang memberi definisi, julukan, atau pemberi label (definers/labelers) pada individuindividu atau tindakan yang menurut penilaian orang tersebut adalah negative (J. Narwoko Dwi;2007:115),misalnya, disebut penipu, pencuri, wanita nakal, orang gila, dan sebagainya, maka si pelaku akan terdorong untuk melakukan penyimpangan sekunder (tahap lanjut) dengan alasan ”kepalang tanggung” 4. Teori Kontrol Teori ini menyatakan bahwa penyimpangan merupakan hasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial.Teori ini dibangunatas dasar pandangan bahwa setiap manusia cenderung untuk tidak patuh pada hukum atau memiliki dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum.oleh sebab itu para ahli terori kontrol menilai perilaku menyimpang adalah konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk menaati hokum (J. Narwoko Dwi;2007:116). 5. Teori Fungsi Menurut E. Durkhiem tercapainya kesadaran moral dari semua anggota masyarakat karena faktor keturunan, perbedaan lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Artinya, kejahatan itu akan selalu ada sebab orang-orang yang berwatak jahat pun akan sulalu ada. Bahkan, Durkhiem berpandangan bahwa kejahatan itu perlu, agar moralitas dan hukum dapat berkembang secara normal (Drs. Yad Mulyadi, dkk;1995:57) . e. Faktor-Faktor Penyimpangan Perilaku Remaja 1. Faktor keluarga Keluarga adalah sebuah wadah dari permulaan pembentukan pribadi serta tumpuhan dasar fundamental bagi perkembangan dan pertumbuhan anak. Lingkungan keluarga secara potensial dapat membentuk pribadi anak menjadi hidup secara bertanggung jawab, apabila usaha pendidikan dalam keluarga itu gagal, akan terbentuk seorang anak yang lebih cenderung melakukan tindakan-tindakan yang bersifat criminal (Y. Bambang Mulyono;1993:26).Itulah sebabnya mengapa keluarga dapat juga berperan dalam membentuk keperibadian yang menyimpang (Drs. Taufiq Rohman Dhohiri, dkk.;2003:136). 2. Faktor sekolah Sekolah adalah suatu lingkungan pendidikan yang secara garis besar masih bersifat formal. Anak remaja yang masih duduk dibangku SLTP maupun SMU pada umumnya mereka menghabiskan waktu mereka selama tujuh jam disekolah setiap hari, jadi jangan heran bila lingkungan sekolah juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan moral anak. Kepala sekolah dan guru adalah pendidik, disamping melaksanakan kemampuan tugas mengajar, berpikir, serta yaitu melatih mengembangkan membina dan mengembangkan kemampuan berpikir anak didiknya, serta mempunyai kepribadian dan budi pekerti yang baik dan membuat anak didik mempunyai sifat yang lebih dewasa. Tujuan ini dapat berhasil jika guru berhasil mendorong dan mengarahkan murid-muridnya untuk belajar mengembangkan kreatifitas pengetahuan dan keterampilannya. Artinya antara guru dan murid ada hubungan yang baik dan saling mempercayai untuk belajar bersama (Y. Bambang Mulyono;1993:29). Kerena kebanyakan guru sibuk dengan urusan pribadinya tanpa dapat memperhatikan perkembangan moral anak didiknya, anak hanya bisa diberi teori berkala sementara dalam prakteknya guru pun melanggar teori yang telah disampaikan pada anak didiknya. Padahal guru merupakan suri tauladan yang nomor dua setelah orang tua, makanya setiap sifat dan tingkah laku guru menjadi cerminan anak didiknya. Bila pendidikan kesusilaan dalam agama kurang dapat diterapkan disekolah maka akan berakibat buruk terhadap anak, sebab disekolah anak menghadapi berbagai macam bentuk teman bergaul. 3. Faktor Masyarakat Masyarakat adalah lingkungan yang terluas bagi remaja dan sekaligus paling banyak menawarkan pilihan.Pada lingkungan inilah remaja dihadapkan berbagai bentuk kenyataan yang ada dalam kehidupan masyarakat yang berbeda-beda, apalagi dasawarsa terakhir ini perkembangan moral kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat, sehingga membawa perubahan-perubahan yang sangat berarti tetapi juga timbul masalah yang mengejutkan.Maka dalam situasi itulah yang menimbulkan melemahnya norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat akibat perbuatan sosial.Akibatnya remaja terpengaruh dengan adanya yang terjadi dalam masyarakat yang mana kurang landasan agamanya, dan masyarakat yang acuh terhadap lingkungan yang ada disekitarnya. 4. Kelompok Bermain Lingkungan tempat tinggal dan kelompok bermain merupakan dua media sosialisasi yang sangat berkaitan, karena seorang individu akan memiliki kelompok bermain atau pergaulan dalam lingkungan tempat tinggal tersebut. kadang seorang individu memiliki kelompok bermain atau pergaulan diluar lingkungan tempat tinggal, seperti: lingkungan sekolah, dan luar sekolah. Kelompok bermain atau pergaulan dapat mempengaruhi kepribadian seorang individu. Jadi apabila kelompok bermain yang positif maka kepribadiannya cunderung positif, sebaliknya bila kelompok bermain yang negatif, maka kepribadiannya cenderung negatif (Drs. Taufiq Rohman Dhohiri, dkk.;2003:137). 5. Media Masa Media masa dapat disebut juga sebagai sosialisasi yang dapat mempengaruhi kepribadian dan perilaku seorang individu. Pesan-pesan yang sampaikan lewat media masa seperti televisi mampu mampengaruhi kepribadian bagi orang yang melihatnya. Seperti: seseorang yang menyaksikan tayangan yang menyedihkan, ia akan ikut sedih, sebaliknya jika seorang individu menyaksikan tayangan yang membahagiakan, ia akan ikut bahagia, begitu pula jika seorang anak menyaksikan adegan kekerasan atau perkelahian maka tayangan tersebut akan mempengaruhi kepribadian anak tersebut cenderung keras dan tidak bersahabat. Media masa juga sangat berpotensi dalam mempengaruhi kepribadian khalayak muda atau remaja. Para remaja cenderung mengikuti gaya hidup dan mode pakaian yang dipakai oleh bintang-bintang idolanya ditelevisi. Bahkan, tayangan pornografi ditelevisi dapat meningkatkan pelanggaran asusila dalam masyarakat. f. Pengendalian/Kontrol Sosial Social control atau pengendalian sosial adalah sesuatu yang nyata dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk upaya untuk menciptakan kondisi yang mereka inginkan. Menurut Koentjaraningrat, ada tiga proses sosial yang perlu mendapat pengendalian sosial, yaitu: 1. Ketegangan sosial yang terjadi antara adat-istiadat dan kepentingan individu. 2. Ketegangan sosial yang terjadi karena adanya pertemuan antar golongan khusus. 3. Ketegangan sosial yang terjadi karena golongan yang melakukan penyimpangan secara sengaja menentang tata kelakuan atau peraturan. Bagaimana masyarakat melakukan pengendalian sosial terhadap perilaku anggotanya? Ada tiga sifat yang dipakai dalam pengendalian sosial, yaitu : 1. Preventif: yaitu pengendalian sosial yang dilakukan sebelum terjadi pelanggaran, artinya mementingkan pada pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran Contoh: a. Seoarang bapak menasehati anaknya agar tidak merokok b. Untuk mencegah anaknya berkelahi Ibu Amir menyuruh anak-anaknya tidak bermain di luar rumah. c. Tidak bosan-bosannya guru menasehati murid-muridnya untuk segera pulang dan tidak nongkrong-nongkrong dulu di jalanan untuk menghindari terjadinya tawuran pelajar, merokok atau terlibat narkoba. 2. Represif: adalah pengendalian sosial yang dilakukan setelah orang melakukan suatu tindakan penyimpangan (deviasi). Pengendalian sosial ini bertujuan untuk memulihkan keadaan seperti sebelum terjadinya tindakan penyimpangan. Contoh pengendalian represif yang betul, misalnya : a. Pemberian hukuman bagi seseorang yang melakukan pelanggaran b. Hakim menjatuhkan hukuman kepada terpidana. c. Pak Darmawan di PHK karena korupsi. 3. Kuratif adalah tindakan yang diambil setelah terjadinya tindak penyimpangan sosial dan bersifat mengobati. Tindakan ini ditujukan untuk memberikan penyadaran kepada para pelaku penyimpangan agar dapat menyadari kesalahannya dan mau serta mampu memperbaiki kehidupannya, sehingga di kemudian hari tidak lagi mengulangi kesalahannya. Contoh : Bagi pencandu narkoba di masukkan ke pusat rehabilitasi. Bila dilihat dari segi cara pengendaliannya, dapat dikelompokkan dalam beberapa cara/teknik, yaitu: a. Persuasif Persuasif merupakan cara pengendalian tanpa kekerasan. Cara pengendalian lebih menekankan pada usaha untuk mengajak atau membimbing anggota masyarakat agar dapat bertindak sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku di masyarakat, terkesan halus dan berupa ajakan atau himbauan. b. Koersif Cara koersif lebih menekankan pada tindakan atau ancaman yang menggunakan kekerasan fisik. Tujuan tindakan ini agar si pelaku jera dan tidak melakukan perbuatan buruknya lagi. Jadi terkesan kasar dan keras. Adapun tahapan-tahapan dalam pengendalian sosial: 1. Tahap Sosialisasi atau pengenalan Tahap sosialisasi atau pengenalan merupakan tahap awal proses pengendalian sosial. Pada tahap ini, masyarakat dikenalkan pada bentuk-bentuk penyimpang-an sosial beserta sanksi-sanksinya. Pengenalan tersebut dimaksudkan agar masyarakat menyadari efek dan sanksi yang akan diterimanya bila mereka melakukan suatu tindakan penyimpangan sosial. Di dalam hal ini, tahap sosiali-sasi bersifat preventif yang bertujuan mencegah perilaku penyimpangan sosial. 2. Tahap Penekanan Sosial Tahap penekanan sosial dilakukan untuk mendukung terciptanya kondisi sosial yang stabil. Pada tahap ini telah disertai dengan pelaksanaan sanksi atau hukuman kepada para pelaku tindakan penyimpangan. Dengan adanya sanksi yang menekan tersebut, diharapkan masyarakat segan dan tidak mau melakukan berbagai perbuatan yang menyimpang. 3. Tahap Pendekatan Kekuasaan / Kekuatan Pada tahap ini, terlihat adanya pihak pelaku pengendalian sosial dan pihak yang dikendalikan. Tahap ini dilakukan jika tahaptahap yang lain tidak mampu mengarahkan tingkah laku manusia sesuai dengan norma atau nilai yang berlaku. Berdasarkan pelakunya, tahap pendekatan kekuasaan atau kekuatan ini dapat dibedakan, menjadi berikut ini : a. Pengendalian kelompok terhadap kelompok; misalnya anggota Kepolisian Sektor Pasanggrahan Jakarta Selatan mengawasi keamanan dan ketertiban masyarakat di Kecamatan Pasanggrahan. b. Pengendalian kelompok terhadap anggotanya; misalnya bapak/ibu guru di sekolah mengendalikan dan membimbing siswa/siswi yang belajar di sekolah itu. c. Pengendalian pribadi terhadap pribadi lain; misalnya seorang ayah yang mendidik dan merawat anaknya, atau seorang kakak yang menjaga adiknya. Robert M.Z Lawang mengemukakan beberapa cara dan bentuk pengendalian sosial yang biasanya dilakukan orang dalam suatu masyarakat untuk mengontrol perilaku orang lain yang menyimpang, antara lain: 1. Desas-desus (Gosip), yaitu “kabar burung” atau “kabar angin” yang kebenarannya sulit dipercaya. Namun dalam masyarakat pengendalian sosial ini sering terjadi. Gosip sebagai bentuk pengendalian sosial yang diyakini masyarakat mampu untuk membuat pelaku pelanggaran sadar akan perbuatannya dan kembali pada perilaku yang sesuai dengan nilai dan norma dalam masyarakat. Gosip kadang dipakai sebagai alat untuk mengangkat popularitas seseorang, misalnya artis, pejabat, dsb. 2. Teguran, adalah kritik sosial yang bersifat terbuka, baik lisan atau pun tertulis, terhadap orang atau lembaga yang melakukan tindak penyimpangan sosial. Contoh : Seorang guru yang menegur seorang siswa yang tidak memasukan baju ke dalam celana. 3. Kekerasan Fisik, dilakukan sebagai alternatif terakhir dari pengendalian sosial, apabila alternatif lain sudah tidak dapat dilakukan. Namun banyak kejadian, perlakuan ini terjadi tanpa melakukan bentuk pengendalian sosial lain terlebih dahulu. 4. Hukuman (Punishment), adalah sanksi negatif yang diberikan kepada pelaku pelanggaran tertulis maupun tidak tertulis. Pada lembaga formal diberikan oleh Pengadilan, pada lembaga non formal oleh Lembaga Adat. 5. Intimidasi, yaitu berhubungan dengan segala hal yang membuat pelaku menjadi takut sehingga ia mengakui perbuatannya. Intimidasi biasanya berupa ancaman, misalnya: penetapan hukuman mati bagi pengedar narkoba merupakan ancaman agar tidak ada lagi yang berani mengedarkan narkoba. 6. Ostratisme, yaitu pengendalian dengan cara pengucilan. Hal ini dilakukan agar orang menyadari perbuatannya sehingga ia bisa berbaur kembali dengan orang lain. Misalnya, anak yang sombong dikucilkan dan dijauhi oleh teman-temannya. 7. Pendidikan, adalah proses pengendalian secara sadar dimana ada perubahan – perubahan tingka laku dihasilkan dari dalam sendiri sebagai akibat dari pengaruh bimbingan dari orang lain. Contoh : Seorang anak yang habis makan lalu mencuci piringnya, karena sebelum makan dia telah dinasehati orang tuanya. 8. Pendidikan Agama, adalah suatu pedoman yang berisi suatu aturan atau norma yang bersumber dari Tuhan yang harus dipatuhi dalam kehidupan sehari – hari. 9. Cemohan, adalah ejekan, hinaan, sindiran, yang bertujuan agar tidak melakukan perbuatan itu lagi. Contoh : seorang gadis karena sering pulang sekolah larut malam, kemudian disindir oleh tetangganya dengan ucapan perumpamaan seperti ”Kupu-kupu malam”. 10. Fraundulens, adalah pengendalian sosial dengan jalan meminta bantuan orang lain yang dianggap dapat mengatasi masalah yang ada. Pada hakikatnya ada dua fungsi pengendalian sosial, yaitu: 1. Meyakinkan masyarakat tentang kebaikan norma. Usaha ini ditempuh melalui pendidikan baik formal maupun non formal. Melalui pendidikan formal ditanamkan kepada peserta didik kesadaran untuk patuh aturan, sadar hukum dan sebagainya melalui mata pelajaran-mata pelajaran yang ada. Melalui pendidikan non formal, mass media dan alat-alat komunikasi menyadarkan warga masyarakat untuk beretika baik, tertib lalu lintas, dan sebagainya. 2. Mempertebal kebaikan norma. Hal ini dilakukan dengan cara mempengaruhi alam pikiran seseorang dengan legenda, hikayat-hikayat, cerita-cerita rakyat maupun cerita-cerita agama yang memiliki nilai-nilai terpuji, contohnya cerita Malin Kundang, cerita Nabi Sulaiman, dan sebagainya. Selain itu terdapat juga peranan pranata sosial. Peranan pranata sosial atau lembaga sosial dalam pengendalian sosial yang terjadi di masyarakat adalah sangat besar dan dibutuhkan, khususnya terhadap perilaku yang menyimpang demi keseimbangan sosial. Lembaga sosial merupakan wadah/tempat dari aturanaturan khusus, wujudnya berupa organisasi atau asosiasi. Contohnya KUA, mesjid, sekolah, partai, CV, dan sebagainya. Sedangkan pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan yang mengatur perilaku dan hubungan antara anggota masyarakat agar hidup aman, tentram dan harmonis. Dengan bahasa sehari-hari kita sebut “aturan main/cara main”. Jadi peranan pranata sosial sebagai pedoman kita berperilaku supaya terjadi keseimbangan sosial. Pranata sosial merupakan kesepakatan tidak tertulis namun diakui sebagai aturan tata perilaku dan sopan santun pergaulan. Contoh: kalau makan tidak berbunyi, di Indonesia pengguna jalan ada di kiri badan jalan, tidak boleh melanggar hak orang lain, dan sebagainya. B. Kerangka Konseptual Agama merupakan salah satu pranata sosial yang mampu turut menjaga ketertiban dalam masyarakat. Mustain Mashud (2011;241) mengatakan bahwa dimensi sosiologis melihat agama sebagai salah satu dari institusi sosial, sebagai subsistem dari sistem sosial yang mempunyai fungsi sosial tertentu, misalnya sebagai salah satu pranata sosial.Oleh karena itu agama dapat mempersatukan masyarakat dan memelihara stabilitas. Bulukumba merupakan kabupaten yang mayoritas penduduknya beragama islam. Seperti yang dilaporkan dalam “ Monitoring Perda Syariat Islam di Bulukumba”, dari jumlah penduduk tahun 2006 yakni 383.870 jiwa; 375.187 jiwa atau 99,75% yang memeluk agama islam. Mayoritasnya jumlah pemeluk agama islam, secara struktural-fungsional agama islam melalui otonomi daerah memiliki peluang digunakan sebagai produk hukum melalui peraturan daerah yang fungsi dan tujuannya tidak lain untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat. Peraturan daerah itu terwujud dengan nama Perda Syariat Islam.Perda ini muncul dengan memanfaatkan otonomi daerah melalui UU No. 32 Tahun 2004.Asmuni Mth (2006) dalam “Menimbang Signifikansi Perda Syariat Islam” mengatakan bahwa formalisasi syariat islam di tingkat konstitusi Negara dapat dikatakan menemui jalan buntu. Namun ternyata perjuangan formalisasi syariat tidaklah berhenti. Hanya saja bergeser ke wilayah lokal dengan memanfaatkan “celah” UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Era otonomi daerah telah memicu munculnya perda-perda bernuansa syariat islam. Dalam “Monitoring Perda Syariat Islam di Bulukumba”, sejak tahun 2002 di daerah ini mulai berlaku Perda-perda Syariat Islam, antara lain Perda Nomor 03 Tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban dan Penjualan Minuman Keras, Perda Nomor 02 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq dan Shadaqah, Perda Nomor 05 Tahun 2003 Tentang Pakaian Muslim dan Muslimah, Perda Nomor 06 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Quran bagi Siswa dan Calon Pengantin. Jadi secara umum ada empat Perda Syariat Islam yang berlaku di Bulukumba dan salah satu penerapannya difokuskan pada remaja dan pemuda. Dari empat Perda tersebut hanya Perda Nomor 03 Tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban dan Penjualan Minuman Keras yang secara langsung menyentuh perilaku penyimpangan remaja. Sejak tahun 2002 sampai sekarang ini, peneliti mengamati lokasi penelitian yang juga merupakan kampung halaman peneliti sendiri dan secara sekilas terdapat banyak remaja yang masih berperilaku menyimpang.Dalam artian bahwa banyak remaja yang masih melanggar Perda syariat Islam. Berdasarkan data dari kantor kelurahan Borong Rappoa (2012) bahwa 40-60% perilaku penyimpangan remaja adalah peminum (minuman beralkohol). Hal ini merupakan penyebab utamanya dimana diiringi pergaulan remaja yang tidak terkontrol.Sekitar 30% adalah hamil diluar nikah.Disebutkan bahwa penyebab utamanya selain pergaulan remaja yang kurang terkontrol, juga hukum adat yang kurang dijunjung serta aturan yang tidak terlalu mengikat. Sekitar 10% adalah pencurian dan perjudian 10%. Secara langsung Perda Nomor 03 Tahun 2002 ini tentunya diharapkan mampu mengatasi perilaku penyimpangan remaja terutama yang berhubungan dengan munuman keras. Oleh karena itu dibutuhkan tanggapan masyarakat di Kelurahan Borong Rappoa terutama sejauh mana penerapan Perda ini mampu mengatasi perilaku penyimpangan remaja. Uraian tersebut di atas dapat di gambarkan dalam bentuk skema berikut ini: SKEMA KERANGKA KONSEPTUAL Agama Sebagai Pranata Sosial Perda Syariat Islam Perilaku Penyimpangan Remaja C. Definisi Operasional Untuk mempermudah dalam memahami judul Skripsi ini dan mengetahui arah dan tujuan pembahasan skripsi ini, maka berikut ini akan dipaparkan penegasan judul sebagai berikut: a. Perda Syariat Islam adalah peraturan daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah Bulukumba yang salah satu tujuannya adalah mengatasi perilaku penyimpangan remaja. b. Penyimpangan yaitu tingkah laku secara ringan yang menyalahi norma dan hukum yang berlaku dalam masyarakat. c. Perilaku yaitu perbuatan, tindakan, dan perilaku. d. Penyimpangan perilaku adalah perilaku dari para warga masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan atau norma sosial yang berlaku. e. Remaja yaitu masa peralihan, yang mana pada masa peralihan ini sama halnya seperti pada masa anak, mengalami perubahanperubah jasmani, keperibadian, intelek, dan peranan di dalam maupun diluar lingkungan. Seseorang dikatakan remaja yaitu usia 10-21 tahun. Berpijak dari permasalahan tersebut peneliti terdorong untuk meneliti tentang penerapan Perda Syariat Islam dalam upaya menanggulangi perilaku penyimpangan remaja Di Kelurahan Borong Rappoa Kecamatan Kindang. BAB III METODE PENELITIAN Dengan mengacu pada tujuan penelitian ini, metode penelitian yang akan digunakan adalah sebagai berikut: a. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu penelitian dengan memberikan gambaran secara jelas dan sistematis terkait dengan objek yang diteliti demi member informasi dan data yang valid terkait dengan fakta dan fenomena yang ada di lapangan. Penelitian ini didasari dengan maksud untuk menggambarkan secara deskriptif penerapan Perda Syariat Islam dalam upaya menanggulangi perilaku penyimpangan remaja di Kelurahan Borong Rappoa. Hal tersebutlah yang menjadi fokus dan dikaji serta dianalisis secara deskriptif kualitatif dalam penelitian ini. b. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Borong Rappoa, Kecamatan Kindang, Kabupaten Bulukumba, pada bulan Desember 2012 sampai Februari 2013. Lokasi penelitian dilakukan secara sengaja dengan alasan bahwa di Kelurahan ini merupakan kampung halaman peneliti sendiri sehingga memudahkan dalam proses pengambilan data dan pemilihan informan. Selain itu, setelah melakukan pengamatan awal di Kelurahan ini, “sepertinya” banyak remaja yang berperilaku menyimpang terutama penggunaan minuman keras dan beralkohol. c. Pemilihan Informan (Subjek Penelitian) Teknik yang digunakan dalam memilih dan menentukan subjek penelitian, yaitu purposive sampling (subjek sesuai tujuan).Penentuan subjek penelitian dalam penelitian kualitatif sangat tepat jika didasarkan pada tujuan dan masalah penelitian.Penentuan subjek berdasarkan tujuan dilakukan untuk meningkatkan kegunaan informasi yang didapatkan dari subjek yang kecil. Peneliti memilih subjek yang mempunyai pengetahuan dan informasi tentang fenomena yang sedang diteliti (Dr. Iskandar, M.Pd.;2009:114). Informan (subjek penelitian) dalam penelitian ini akan dipilih secara sengaja dengan dasar bahwa informan tersebut memiliki “keahlian” tentang fenomena yang hendak didalami. Berangkat dari judul penelitian ini mengenai penerapan Perda Syariat Islam dalam upaya menanggulangi perilaku penyimpangan remaja, maka pemilihan informan terdiri dari berbagai kalangan yang berasal dari kelurahan Borong Rappoa, yaitu dari pihak orang tua remaja yang berperilaku menyimpang, dari tokoh masyarakat, tokoh agama, dari pemerintah setempat serta remaja itu sendiri. d. Sumber Data Berdasarkan pada fokus penelitian, maka sumber utama data penelitian ini adalah masyarakat di Kelurahan Borong Rappoa yang terdiri dari para orang tua (keluarga), tokoh masyarakat, dan remaja (sumber primer). Selain itu, sumber-sumber kepustakaan, yang dapat diperoleh berbagai review literatur, studi dokumentasi dan studi dokumen-dokumen yang berkaitan dengan fokus penelitian (sumber sekunder). e. Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi instrumen utama adalah peneliti itu sendiri.Untuk membantu memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data, maka peneliti membuat pedoman wawancara dan mengobservasi atau mengamati kejadian-kejadian yang berkaitan dengan fokus penelitian.Hal ini dimaksudkan agar data yang dikumpulkan sesuai dengan fokus penelitian dan untuk membantu peneliti memperoleh data yang relevan. Selain itu, peneliti akan dilengkapi dengan alat-alat seperti tape recorder, kamera digital, buku catatan dan lain-lain yang dapat membantu jalannya penelitian nanti dilapangan. Panduan umum wawancara dan data observasi yang akan digunakan sebagai alat untuk membimbing peneliti agar tidak keluar dari fokus penelitian. Untuk melengkapi data dalam penelitian ini akan dikembangkan isntrument penelitian sederhana berupa pedoman wawancara dan pedoman pengamatan observasi. f. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah cara yang dilakukan peneliti untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan sesuai dengan fokus penelitiannya. Teknik pengumpulan data harus disesuaikan dengan metode penelitian dan fokus penelitian, sehingga mempermudah peneliti untuk memperoleh data yang valid. Menurut Dr. Iskandar, M.Pd. (2009:121) teknik pengumpulan data yang populer untuk penelitian kualitatif antara lain adalah teknik wawancara mendalam (in-depth interview), observasi partisipasi (participant observer), dan dokumentasi. Berdasarkan tujuan penelitian, maka data yang dibutuhkan bersifat kualitaif. Untuk itu maka dalam penelitian ini akan digunakan teknik sebagai berikut : 1) Wawancara Mendalam (Indepth Interview) Dalam penelitian kualitatif wawancara merupakan alat yang sangat dominan untuk mengumpulkan data, karena dengan wawancara, peneliti melakukan komunikasi langsung secara mendalam dengan informan.Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh keterangan, pendapat secara lisan sekaligus dapat menarik makna dari keterangan yang dikemukakan informan. Menurut Dr. Iskandar,M.Pd.(2009:129) mengatakan bahwa keunggulan utama wawancara ialah memungkinkan peneliti mendapatkan jumlah data yang banyak. Wawancara akan dilakukan kepada masyarakat di Kelurahan Borong Rappoa.Peneliti memilih informan tertentu yang peneliti yakini bahwa informan tersebut dapat memberikan data yang akurat sesuai dengan masalah penelitian. Wawancara dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan keterangan, pendapat masyarakat terhadap penerapan Perda Syariat Islam dalam upaya menanggulangi perilaku penyimpangan remaja. Untuk itu, maka model wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. 1. Model wawancara terstruktur dimaksudkan disini adalah dimana peneliti menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sebelumnya berbentuk pedoman wawancara, walaupun tidak harus diikuti secara sistematis, tetapi pertanyaan-pertanyaan tersebut dijadikan sebagai pedoman dalam wawancara yang dapat berkembang dilapangan. Untuk wawancara terstruktur dilakukan pada Keluarga, Tokoh Masyarakat, dan pengawal/pelaksana Perda Syariat Islam. 2. Model wawancara tidak terstruktur, pertanyaan tidak disusun secara sistematis, akan tetapi pertanyaan bersifat situasional. Dalam prakteknya kedua model wawancara tersebut pada umumnya tidak dibatasi semata pada gejala yang akan diamati. Oleh karena itu, wawancara tidak terstruktur ditujukan pada remaja. 2) Observasi Partisipasi (Participant Observer) Observasi partisipasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan terhadap fenomena tertentu sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan serta terlibat aktif dalam fenomena tersebut.Peneliti telah terlibat langsung dalam pergaulan remaja-remaja yang menyimpang dari Perda Syariat Islam. Peneliti melakukan pengamatan secara terlibat langsung dalam pergaulan remaja-remaja yang berperilaku menyimpang, untuk mengetahui perkembangan secara spesifik yang terjadi dalam perilaku penyimpangan remaja. Pengamatan yang dilakukan harus secermat mungkin sehingga dapat menghasilkan data yang valid, yang berarti bahwa hasil pengamatan sesuai dengan kenyataan yang menjadi sasaran penelitian. Pengamatan dimaksudkan untuk menghimpun berbagai fenomena yang berhubungan dengan perilaku penyimpangan dikalangan remaja. Dalam pengamatan ini peneliti akan menggunakan catatan-catatan, dan kamera sebagai alat dokumentasi observasi. Pengumpulan data dilakukan langsung oleh peneliti dengan pertimbangan; (1) peneliti merupakan alat yang peka dan dapat bereaksi terhadap situasi dari lingkungan yang diperkirakan bermakna bagi peneliti, dan (2) peneliti sebagai alat yang dapat langsung menyesuaikan diri terhadap segala aspek yang diteliti dan dapat segera menganalisis data yang diperoleh. 3) Studi Dokumentasi Analisis dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari arsip dan dokumen baik yang berada di tempat penelitian ataupun yang berada di luar tempat penelitian, yang ada hubungannya dengan penelitian ini.Arikuntono (2006:132) dalam Dr. Iskandar,M.Pd. (2009:134), teknik dokumentasi yaitu “mencari data mengenai hal atau variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya”. g. Teknik Analisis Data Analisis data pada penelitian kualitatif dimulai dari pengumpulan data sampai kepada penarikan kesimpulan penelitian.Oleh karena itu peneliti merupakan instrumen utama dalam penelitian. Data yang telah dikumpulkan setiap hari selama penelitian akan dibuatkan laporan lapangan, untuk mengungkapkan data apa yang masih perlu dicari, pertanyaan apa yang belum dijawab, metode apa yang harus digunakan untuk mendapatkan informasi baru, dan kesalahan apa yang perlu diperbaiki, serta data yang mana yang tidak diperlukan. 1. Reduksi Data Data yang diperoleh dilapangan langsung diketik dengan rapi, terinci secara sistematis setiap selesai mengumpulkan data.Laporan lapangan direduksi, yaitu dengan memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan masalah penelitian, selanjutnya diberi tema dan kode pada aspek tertentu. 2. Pengambilan Kesimpulan Mengambil kesimpulan merupakan analisis lanjutan dari reduksi data, dan display data sehingga data dapat disimpulkan, dan peneliti masih berpeluang untuk menerima masukan. Penarikan kesimpulan sementara, masih dapat diuji kembali dengan data di lapangan, dengan cara merefleksi kembali, peneliti dapat bertukar fikiran dengan teman sejawat, triangulasi, sehingga kebenaran ilmiah dapat tercapai. Setelah hasil penelitian telah diuji kebenarannya, maka peneliti dapatmenarik kesimpulan dalam bentuk deskriptif sebagai laporan penelitian (Dr. Iskandar,M.Pd.;2009:142). h. Pengabsahan Data Dalam penelitian kualitatif, pengabsahan data merupakan salah satu faktor yang sangat penting, karena tanpa pengabsahan data yang diperoleh dari lapangan maka akan sulit seorang peneliti untuk mempertanggungjawabkan hasil penelitiannya. Untuk melihat derajat kebenaran dari hasil penelitian ini, maka dilakukan pemeriksaan data, hal ini didasarkan pada pandangan Moleong (1990;173) dalam Dr. Iskandar,M.Pd. (2009:151) yang mengisyaratkan bahwa “untuk menetapkan keabsahan data diperlukan pemeriksaan data”. Pengabsahan data dalam penelitian ini, maka akan dilakukan dengan melalui cara; (1) mendiskusikan dengan teman-teman mahasiswa S1 khususnya mahasiswa sosiologi baik secara formal maupun nonformal atau mendiskusikan dengan para dosen sosiologi fisip unhas, (2) dilakukan triangulasi dengan melakukan cross check dengan sumber data yakni membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara, (3) dilakukan pengamatan secara tekun, (4) dilakukan pengecekan terhadap temuan dilapangan.