View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
PENERAPAN PERDA SYARIAT ISLAM DALAM UPAYA
MENANGGULANGI PERILAKU PENYIMPANGAN REMAJA DI
KELURAHAN BORONG RAPPOA KABUPATEN BULUKUMBA
THE APPLICATION OF ISLAM LAW TO OVERCOME JUVENILE
DELINQUENCY IN BORONG RAPPOA DISTRICT, BULUKUMBA
REGENCY
SKRIPSI
ANDI MANNAUNGI
NIM : E411 08 332
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penerapan Syariat Islam melalui Peraturan Daerah telah menjadi
populer di tiap daerah kabupaten.Apalagi di kabupaten yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Kemerosotan moral serta perilaku-perilaku
menyimpang menjadi salah satu alasan dalam upaya penegakan Syariat
Islam. Diantara sekian kabupaten di Sulawesi Selatan, Bulukumba adalah
salah satu kabupaten yang cukup terkenal dalam penerapan syariat islam
melalui peraturan daerah. Orde reformasi setidaknya memberikan ruang
kebebasan bagi masyarakat untuk memperjuangkan cita-citanya. Di
Sulawesi Selatan sendiri, dalam upaya penerapan syariat islam melalui
peraturan daerah memerlukan perjuangan yang panjang.
Sudah menjadi fakta historis bahwa sejak abad ke-14 Islam di
Sulawesi Selatan sudah menjadi anutan para raja dan rakyatnya.Syariat
Islam menjadi dasar orientasi dan way of life. Jika dilihat dari sisi
philosofis, Islam di Sulawesi Selatan telah menjadi sistem nilai kehidupan
bermasyarakat. Aktualisasi Islam sebagai nilai dasar philosofi kehidupan
orang Bugis, Makassar ataupun Mandar sungguh banyak bertebaran dalam
khasanah budaya masyarakat Sulawesi Selatan. Dengan kata lain, Islam
telah membudaya dan secara turun temurun telah berasimilasi dalam
sistem budaya (Lukman; 2007:2).
Di Kabupaten Bulukumba sendiri, perjuangan untuk mewujudkan
Syariat Islam melalui Peraturan Daerah (Perda) tidaklah mudah.Ada
banyak elemen yang terlibat dan tidak sedikit juga hambatan yang
menghadang. Patabai Pabokori (Mantan Bupati Bulukumba) dalam
tuturannya sebagai berikut:
“…..Perda Syariat Islam yang empat itu sebenarnya keinginan dari umat
Islam di Bulukumba. Jadi ketemu antara keinginan dari bawah dan keinginan
pemerintah, sehingga diramulah dan dibuatlah Perda Syariat Islam dan
ternyata mendapat sambutan dari anggota DPRD Bulukumba, karena
bagaimanapun eksekutif berjuang kalau tidak mendapat respon dari anggota
DPRD kan itu menghambat. Kemudian yang kedua kami banyak mendapat
dukungan dari Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI), juga
Jundullah yang saat itu gencar gerakannya. Pada saat itu kami buat konsep
perda dan itulah (merekalah, pen.) yang memberikan dorongan, motivasi dan
tekanan pada DPRD Bulukumba sehingga cepat proses pengesahannya……”
Pernyataan mantan Bupati Bulukumba di atas menegaskan bahwa perjuangan
penerapan Syariat Islam melalui Perda berasal dari bawah dalam artian memang benarbenar keinginan rakyat Bulukumba dan berbagai elemen masyarakat yang memang
berjuang seperti KPPSI dan Jundullah sehingga pada akhirnya mendapat sambutan dari
DPRD Bulukumba.Walau demikian, tidak sedikit juga polemik yang terjadi setelah
diberlakukannya Perda Syariat Islam di Kabupaten Bulukumba.Seperti uraian M
Fadhly Ase, SHI :
“ Perda-perda syariat tersebut, dengan alasan dan
argumentasi masing-masing, telah menimbulkan pro dan kontra di
tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam kalangan umat Islam
sendiri. Sehingga harus benar-benar dicermati bagaimana
menyikapi keinginan umat Islam terhadap tuntutan pelaksanaan
syari‟at Islam secara formal….”
Bulukumba merupakan kabupaten paling ujung selatan Sulawesi
Selatan,berjarak kurang lebih 153 km dari ibu kota propinsi Sulawesi Selatan, dengan
jumlahpenduduk 394.757 jiwayang mayoritasnya beragama Islam, sebanyak 99,88
persen.Luas wilayah Bulukumba sekitar 1.154,67 km2 yang terbagi dalam 10
Kecamatan,125 desa/kelurahan. Kondisi sosial budaya masyarakat Bulukumba berlatar
belakang maritim dan agraris.
Era otonomi daerah telah membawa tiap-tiap Kabupaten untuk
memperjuangkan otonominya dan setelah perjuangan yang panjang, Kabupaten
Bulukumba berhasil menerapkan Perda Syariat Islam.Ada empat Perda Syariat Islam
yang diberlakukan di Kabupaten Bulukumba Dalam “Monitoring Perda Syariat
Islam di Bulukumba”, sejak tahun 2002 di daerah ini mulai berlaku Perdaperda Syariat Islam, antara lain Perda Nomor 03 Tahun 2002 tentang
Larangan, Pengawasan, Penertiban dan Penjualan Minuman Keras, Perda
Nomor 02 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq dan
Shadaqah, Perda Nomor 05 Tahun 2003 Tentang Pakaian Muslim dan
Muslimah, Perda Nomor 06 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis AlQuran bagi Siswa dan Calon Pengantin.
Perda Syariat Islam merupakan produk hukum yang berlandaskan
UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang sekarang
telah direvisi menjadi UU Nomor 12 Tahun 2008. Walau demikian,
semenjak Perda Syariat Islam bermunculan tidak sedikit juga elemen yang
menolak. Perda Syariat Islam memicu problematika yang cukup tajam dari
sisi ketatanegaraan. Pasalnya, status perda adalah sebuah produk hukum
yang posisinya jauh di bawah konstitusi Negara. Sementara semangat
konstitusi jelas-jelas menolak formalisasi Syariat Islam. Dari sisi UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sendiri, terbitnya
Perda Syariat Islam justru telah menabraknya. Masalah agama menjadi
otoritas pemerintah pusat, bukan kewenangan pemerintah daerah. Otonomi
daerah perlu dipahami sebagai kebebasan untuk melaksanakan aturan yang
sudah ada, bukan kebebasan untuk menetapkan undang-undang sendiri.
Semenjak diberlakukannya Perda Syariat Islam di Kabupaten
Bulukumba, bermunculan berbagai macam penelitian dan analisis yang
melihat dampak positif dari penerapan Perda tersebut.
Salah satunya
analisi Lukman (2007:10):
“Setelah pemberlakuan empat perda tersebut tahun 2003 lalu,
Bulukumba telahmenunjukan perkembangan yang sangat pesat dimana
masjid-masjid kian hidup olehramainya jama’ah, beberapa fasilitas
perkantoran serta sekolah lebih bernuansaIslami karena dilengkapi dengan
kaligrafi al-Qur’an, seluruh siswa-siswi besertaguru-guru yang beragama
Islam memakai busanah muslim dan muslimah. Bahkanmenurut penelitian,
sebelum memberlakukan empat perda tersebut, 30 persenpenduduk
Bulukumba buta aksara Al-qur’an, angka kriminalitas, kenakalan remajadan
penyimpangan sosial pun sangat tinggi. Namun setelah mencanangkan
dirisebagai kabupaten yang menerapkan Syari’at Islam, angka 30 persen
tersebut dapatdidongkrak menjadi 100 persen bisa baca Alqur’an, tingkat
kriminalitas menurunhingga 80 persen. Hal ini juga pernah ditegaskan oleh
mantan bupati Bulukumba, Andi Patabai Pabokori yang mengungkapkan
bahwa sejak diterapkannya Perda Syariat Islam pada 2001, tingkat
kriminalitas di Bulukumba turun hingga 85 %.”
Lebih lanjut mantan Bupati Bulukumba Patabai Pabokori dalam
mensosialisasikan Syariat Islam di daerahnya memprioritaskan pada enam segmen
keagamaan yang terbingkai dalam “CrashProgram Keagamaan” yaitu: (1) Pembinaan
dan Pengembangan Pemuda Remaja Mesjid, (2) Pembinaan dan Pengembangan
Taman Kanak-Kanak al-Qur’an, (3) Pembinaan dan Pengembangan Majelis Taklim,
(4) Pembinaan dan Pengembangan Perpustakaan Masjid, (5) Pembinaan dan
Pengembangan Hifzil Qur’an, (6) Pembinaan dan Pengembangan Seni Berbusana
Islami. Selain itu, yang juga menjadi perhatian Bupati adalah pembembentukan desa
percontohan muslim. Melalui desa percontohan ini diharapkan bisa menjadi pelopor
pemberlakuan Syari’at Islam dalam sikap perilaku sehari-hari dan jadi desa pelopor
zakat.
Kelurahan Borong Rappoa berada dalam wilayah Kecamatan
Kindang Kabupaten Bulukumba yang mayoritasnya jumlah penduduknya
beragama Islam. Berdasarkan data dari kelurahan Borong Rappoa tahun
2012, jumlah penduduknya adalah 4029 jiwa dengan rincian jumlah lakilaki 1992 jiwa dan perempuan 2037 jiwa. Jumlah keseluruhan kepala
keluarga di Kelurahan ini adalah 997. Sebagian besar masyarakat di
Kelurahan ini bekerja sebagai petani. Kebun-kebun diolah dan ditanami
dengan tanaman yang memiliki nilai jual cukup tinggi seperti cengkeh,
kopi, durian dan lain-lain. Kelurahan Borong Rappoa adalah kampung
halaman penulis sendiri sehingga penulis cukup mengetahui kondisi
masyarakat di kelurahan ini. Data dari Kelurahan Borong Rappoa juga
menyebutkan bahwa 90% dari jumlah penduduknya adalah petani, 5%
pedagang, 2,5 % PNS, dan 2,5% TNI/Polri.
Kelurahan Borong Rappoa tidak termasuk dalam 12 desa
percontohan muslim sebagai salah satu bentuk penerapan dari Perda
Syariat Islam. Hal ini justru menjadi pertanyaan besar dalam benak penulis
karena walaupun kelurahan ini tidak termasuk desa percontohan muslim,
namun empat Perda Syariat Islam yang telah ditetapkan, berlaku secara
umum diseluruh kelurahan di Kabupaten Bulukumba. Sementara hasil
pengamatan awal penulis melihat
masih banyak bentuk perilaku
penyimpangan yang terjadi di Kelurahan Borong Rappoa terutama
penggunaan minuman keras oleh para remaja. Walaupun telah disebutkan
di atas bahwa terjadi penurunan perilaku penyimpangan remaja, data dari
kelurahan Borong Rappoa menyebutkan 40-60% perilaku menyimpang
remaja adalah peminum minuman beralkohol dan 30% hamil di luar nikah.
Secara sosiologis, agama dapat berfungsi sebagai pranata sosial.
Dengan demikian produk hukum yang landasannya berasal dari agama
seperti Perda Syariat Islam, secara struktural fungsional dapat memelihara
ketertiban dalam masyarakat (Mustain Mashud; 2011). Persoalan
Kelurahan Borong Rappoa tidak termasuk dalam desa percontohan muslim
justru juga menjadi tanda Tanya besar. Persoalannya dari pengamatan
penulis di kelurahan Borong Rapppoa, sepertinya tidak ada efek menurun
dari penerapan desa percontohan muslim jika memang desa percontohan
muslim diharapkan mampu menjadi contoh dari desa yang bukan
percontohan muslim.
Perilaku penyimpangan remaja jika dilihat dari empat Perda
Syariat Islam di Bulukumba yang telah diberlakukan, hanya satu Perda
yang secara langsung menangani perilaku penyimpangan remaja yaitu
Perda Nomor 03 Tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban
dan Penjualan Minuman Keras. Sedangkan perda yang lain memberikan
efek secara tidak langsung. Walau secara sekilas penggunaan minuman
keras oleh remaja di Kelurahan Borong Rappoa tidak tampak, tapi
kemungkinan besar mereka melakukannya secara tersembunyi. Dalam
kajian perilaku menyimpang, ada beberapa tahap yang perlu diperhatiakan
bagaimana seseorang atau kelompok menjadi menyimpang. Pertama,
penyimpangan primer, hal ini dialami seseorang mana kala ia belum
memiliki konsep sebagai penyimpang atau tidak menyadari jika
perilakunya menyimpang. Kedua, penyimpangan sekunder, hal ini
merupakan tahap yang lebih tinggi dari penyimpangan primer yaitu suatu
tindakan menyimpang yang berkembang ketika perilaku dari si
penyimpang itu mendapat penguatan melalui keterlibatannya dengan orang
atau kelompok yang juga menyimpang (Tuti Budirahayu; 2011).
Belum ada penelitian tentang bagaimana bentuk penyimpangan
remaja di Kelurahan Borong Rappoa namun penggunaan minuman keras
dari pengamatan penulis cukup kuat di Kelurahan ini. Oleh karena itu,
penulis tertarik untuk mengetahui proses
serta dampak perda Syariat
Islam di Kelurahan Borong Rappoa dalam upaya penanggulangan perilaku
penyimpangan remaja. Maka penelitian ini dilakukan dengan judul
PENERAPAN
PERDA
SYARIAT
ISLAM
DALAM
UPAYA
MENANGGULANGI PERILAKU PENYIMPANGAN REMAJA DI
KELURAHAN BORONG RAPPOA KABUPATEN BULUKUMBA.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan diajukan yaitu,
1. Bagaimanakah proses penerapan Perda Syariat Islam di Kelurahan
Borong Rappoa?
2. Bagaimana dampak penerapan Perda Syariat Islam terhadap perilaku
penyimpangan remaja di Kelurahan Borong Rappoa?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu,
1. Untuk mengetahui proses penerapan Perda Syariat Islam di Kelurahan
Borong Rappoa.
2. Untuk mengetahui dampak yang terjadi dalam penerapan Perda Syariat
Islam terhadap perilaku penyimpangan remaja di Kelurahan Borong
Rappoa.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini yaitu,
1. Mengetahui proses penerapan Perda Syariat Islam di Kelurahan
Borong Rappoa.
2. Mengetahui dampak yang terjadi dalam penerapan Perda Syariat Islam
terhadap perilaku penyimpangan remaja di Kelurahan Borong Rappoa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA OPERASIONAL
A. Tinjauan Pustaka
a. Sejarah Penerapan Perda Syariat Islam Di Kabupaten Bulukumba
1. Selayang pandang tentang Syariat Islam di Bulukumba
Maraknya penerapan Syariah Islam di Sulawesi selatan
pada beberapa tahun belakangan ini sesungguhnya tidak lepas dari
peran KPPSI (Komite Persiapan Penerapan Syariah Islam) yang
sangat getol menyuarakan penerapan syariah islam di daerahdaerah tersebut. KPPSI di dirikan pada tahun 2000 setelah kongers
pertama umat islam ( Kongres Mujahidin ) di Yogyakarta yang
bertujuan mengintegrasikan antara tujuan dan aksi penerapan
Syariat Islam di Indonesia. Dalam kongres pertama tersebut, di
antara anggota delegasi Sulawesi selatan adalah Abdurahman A.
Basalama mantan rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI), dan
Agus Dwi karna.
Sebagai folow up dari kongres mujahidin Yogyakarta
tersebut, tahun 2000 kongres umat Islam tingkat regional Sulawesi
selatan I di gelar di Makassar. Pada kongres ini, beberapa
keputusan penting di hasilkan. Di antaranya adalah kesepakatan
untuk
membentuk
KPPSI,
sebuah
lembaga
formal
yang
mengemban mandat untuk mengatur dan mengorganisir penerapan
Syariah Islam di Sulawesi selatan. Salah satu dasar yang di
gunakan dalam pembentukan KPPSI ini adalah UU otonomi daerah
yang telah di keluarkan oleh pemerintahan B. J. Habibie pada tahun
1999, sebuah rujukan yang sebenarnya tidak kuat karena dalam UU
tersebut, agama merupakan wewenang pusat. Dengan alasan
tersebut, KPPSI merasa bahwa Sulawesi Selatan pun berhak di beri
otonomi khusus seperti halnya Aceh dalam hal penerapan Syariah
Islam. Menurut Azwar Hasan, sekretaris jenderal KPPSI, KPPSI
memperjuangkan penerapan Syariah Islam secara konstitusional
dan tetap dalam kerangka NKRI.
Setelah terbentuk, disusunlah kemudian badan utama, yaitu
Majelis Syuro dan Majelis Lahjna Tanfidziyah. Angota-angota
Majelis Syuro ini terdiri dari para intelektual dan ulama dari tiga
kampus besar di Sulawesi selatan; Universitas Muslim Indonesia,
Universitas Hasanuddin dan IAIN (UIN) Alauddin. Dalam Majelis
Syuro ini, terdapat representasi dari MUI (Majelis Ulama
Indonesia) propinsi dan kabupaten Se-Sulawesi Selatan. Abdul
Aziz Qahhar Mudzakar terpilih menjadi ketua Majelis Lajnah
tanfidziyh.
Kongres umat Islam tingkat regional Sulawesi selatan II
kembali di adakan pada tahun 2001. Kongres ke dua ini secara
khusus bertujuan mendiskusikan ‘otonomi khusus untuk penerapan
Syariat di Sulawesi selatan. Kongres di buka oleh wakil Gubernur
Sulawesi selatan, dan dihadiri oleh berbagai kelompok masyarakat
antara lain aktivis mahasiswa, utusan dari daerah se-sulawesi
selatan, serta para orang tua yang merindukan romantisme masa
Qahar Mudzakar. Tak ketinggalan hadir pula dalam kongres II ini
Habib Husaian Al-Habsyi dan Abu Bakar Ba’asyir, serta abdul
Hadi awang, pemimpin khrismatik PAS Malaysia.
Fenomena menarik dari kongres ini adalah pengamanan
ketat yang bukan dilakukan oleh aparat kepolisian dan TNI (tentara
nasional Indonesia) tetapi oleh laskar Jundullah. Laskar ini
merupakan quasi-militer dari KPPSI yang nantinya berperan besar
dalam ‘pemaksaan’ penerapan Syariah Islam di Sulawesi selatan.
Anggotanya di klaim berjumlah lebih dari 10.000 orang yang
tersebar di seluruh Sulawesi Selatan. Mereka terdiri dari mantan
anggota gang dan preman. Dalam praktiknya, laskar ini terkadang
bertindak ofer akting dengan melakukan kekerasan dan tindakan
semi kriminal menggunakn senjata tongkat dan perisainya. Di
Bulukumba, di laporkan bahwa laskar ini beberapa tahun silam
memaksa orang-orang tetap membuka restoran di siang hari bulan
ramadhan untuk menutupnya atau di hancurakan, tanpa peduli
siapapun dan non-muslim sekalipun, mereka juga merazia dan
memaksa kaum perempuan untuk memakai jilbab.
Dalam sejarah Sulawesi selatan di sebutkan bahwa Qahhar
Mudzakkar sempat menguasi Sulawesi selatan selama beberapa
waktu. Ia juga sempat menerapkan hukum Islam secara keras di
beberapa tempat di Sulawesi selatan.
Menurut wahyudin Halim, mengutip C. Pelras, beberapa
prinsip yang pernah di gunakan Qahhar Mudzakkar cenderung
menuju Sosialisme Islam. Antara lain lewat upaya Land Reform
dengan
membagikan
tanah
secara
merata
kepada
rakyat,
penghapusan gelar kebangsawanan (feodalisme), penghapusan
beberapa tradisi kemewahan yang biasa di lakukan oleh rakyat
seperti, pengunaan pakaian dan perhiasan yang berlebihan dalam
pesta, dan pencegahan paganisme (sinkretisme) dengan melarang
orang mendatangi (berziarah) ketempat keramat. Dalam hukuman
pidana, Qahar telah melaksanakan hukum potong tangan bagi
pencuri dan rajam bagi para pezina.
Menurutnya juga, ada beberapa hal yang problematik
dengan gerakan KPPSI. Pertama klaim bahwa KPPSI di dukung
oleh sebahagian besar institusi, baik pemerintah maupun ormas
serta publik. Klaim ini tentu saja masih debatable. Kedua,
pressure terhadap media yang terkadang di lakukan oleh KPPSI,
sebagaimana di akui oleh seorang wartawan harian fajar (koran
terbesar di Indonesia timur) tujuannya agar media mem-blow up
kegiaatan KPPSI di cover depannya. Sebaliknya, suara-suara yang
menetang mereka di eliminir sedemikian rupa, hingga nyaris tak
terdengar. Tiga, hal ini yang sama juga di alami oleh bebebrapa
anggota DPRD serta kalangan eksekutif. Akibatnya, DPRD tingkat
I Sulawesi selatan menyetujui draf Syariah Islam yang di ajukan
oleh KPPSI untuk kemudian di ajukan kepada pemerintah pusat.
Pada
bulan
juni
2002
gubernur
Sulawesi
selatan
mengirimkan satu tim yang terdiri dari 8 anggota DPRD dan
KPPSI untuk studi banding ke beberapa wilayah Malaysia yang
telah menerapkan Syariah Islam, yaitu Kuala Lumpur, Trengganu,
dan Malaka. Awal januari 2004, sebuah tim lagi di bentuk untuk
mengunjungi Mesir dan bertemu langsung dengan Grand syekh alazhar untuk meminta pendapatnya untuk penerapan Syariah Islam.
Sekretariat KPPSI juga menginformasikan bahwa ada beberapa tim
lagi yang dikirim ke Pakistan, Iran, dan Yordania untuk tujuan
yang sama pada saat yang hampir bersamaan. Beberapa pengamat
mempertanyakan efektifitas tim-tim tersebut, karena kegiatan studi
banding ini terindikasi hanyalah upaya kong kali kong antara
eksekutif, anggota DPRD, dan KPPSI untuk ‘pelesir’ keluar negeri
dengan mengunakan uang rakyat. Walapun demikian, dukungan
eksplisit dari pemerintah provinsi patut juga di perhtaikan secara
cermat, apakah merupakan dukungan sebenarnya ataukah ada
ketakutan.
2. Mengenal sosok Bupati Andi Patabai Pabokori
Andi Patabai Pobokori bukanlah orang Bulukumba asli. Ia
berasal dari Bone. Jalur pendidikan akademisnya adalah APDN dan
Universitas Hasanuddin (unhas) makassar pada tahun 1977. Di
jajaran birokrasi Bulukumba, ia dikenal setelah menjabat Sekda
pada tahun 1990-1995 pada masa kepemimpinan Drs. A Thamrin
setelah masa jabatan habis Andi Patabai menggantikannya selama
dua periode yaitu peride 1995-2000 dan 2000-2005. Pada tahun
2005, melalui mekanisme pemilihan langsung kepala daerah
(pilkada), ia di gantikan oleh Andi M. syukri Sappewali yang
berlatar belakng militer. Sementara itu, Andi Patabbai sendiri
sekarang menjabat sebagai Kepala Dinas pendidikan Profinsi
Sulawesi selatan.
Benih penerapan syariah islam bukanlah ide yang datang
tiba-tiba dari Andi Patabai, karena empat Perda Syariat Islam
tersebut lahir pada periode ke 2 kepemimpinannya. Tahun 1994,
sewaktu
menjabat
Sekda,
Andi
Patabai
Pabokori
turut
merevitalisasi Badan Koordinasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia
(BKPRMI) Bulukumba yang membuatnya aktif. Bukan hanya
dukungan dana operasional, tetapi juga dukungan fasilitas serta
moril ia berikan. Aktifitas remaja mesjid pun mengeliat dan marak
di Bulukumba. Bahkan, pada tahun 1996, ketiaka menjabat bupati,
Kabupaten Bulukumba menyelengarakan porseni remaja mesjid se-
Sulawesi selatan untuk pertama kalinya. Maraknya kegiatan
BPKRMI ini juga berdampak pada menjamurnya Taman KanakKanak Al-quran/Taman Pendidikan Al-quran (TKA-TPA) dai
Bulukumba. Hal ini dapat dimengerti karena BKPRMI merupakan
wadah induk organisator TKA/TPA tersebut. Atas prestasinya
merevitalisasi BKPRMI Bulukumba, pada tahun 1997 presiden RI
memberinya penghargaan “peniti emas” sebagai pengayom terbaik
pembina remaja mesjid tingkat nasional.
Dengan penghargaan ini, Patabai semakin bersemangat dan
gencar mendirikan TPA/TKA di seluruh pelosok Bulukumba pada
akhir tahun 1990-an. Bahkan, ia juga mendirikan taman pendidikan
orang tua (TPO) dan majelis-majelis taklim. Setelah khatam, anakanak dan orang dewasa tersebut mengikuti wisuda yang di hadiri
langsung oleh patabai, sekaligus mendatangani ijazah mereka. Tak
heran dalam sebulan, agenda patabai di penuhi undangan dari
warga untuk acara wisuda di desa-desa. Ada kebanggaan tersendiri
rupanya, jika Patabai yang mewisuda dan menandatngani ijazah
mereka secara langsung. Beberapa orang bahkan ada yang
membingkai ijazah tersebut dan memajangnya di rumah.
Patabai Pabokori adalah Mantan bupati yang populer di
mata rakyatnya. Ia dikenal sebagai bupati yang tidak menggunakan
pengawalan resmi yang protokoler. Di ceritakan bahwa ia hampir
tidak pernah menolak undangan wisuda serta pengajian warganya.
Menurut beberapa sunber, ia juga sering membawa kaleng biskuit
dan uang tunai yang di bagikan kepada warga yang di kunjungi.
Setelah lahirnya perda busana muslimah, ia pun membawa banyak
stock jilbab di mobil dinasnya untuk di bagikan kepada warga yang
tidak berjilbab walaupun demikian, patabai bukanlah figur yang
paham agama. Menurut penuturan salah seorang kawan dekatnya
saat menjadi bupati, patabai belum mengetahui cara mandi junub
(mandi besar setelah berhubungan seksual atau lainnya).
Di bulan ramadhan, Patabai Pabokori mantan bupati
Bulukumba sering membawa warganya berbuka puasa dan shalat
tarawih di Masjid al-Markaz al-Islami di Kota Makassar. Kegiatan
ini berawal dari keributan antar kampung di suatu kecamatan di
Bulukumba. Dua kelompok berbeda kampung memperebutkan satu
sumur bor yang terletak di antara dua kampung tersebut. Bupati
yang turun langsung saat kejadian tersebut tidak di gubris
kehadiranya. Kejadian yang berlangsung di bulan ramadhan itu
membuat Patabai Pabokori berpikir keras mencari solusianya. Ia
lantas memerintahkan stafnya menyiapkan satu buah bus dan
beberapa mobil guna mengankut ke dua kelompok ke Kota
Makassar untuk berbuka puasa. Rupanya strategi tersebut cukup
efektif untuk meredam konflik. Buntutnya, banyak orang lain yang
meminta agar mereka juga di ajak ke Al-marqaz. Wal hasil, setiap
tahun selama masa
kepemimpinannya, 10 – 15 hari di bulan
ramadhan di gunakan oleh Patabai Pabokori untuk membawa
tokoh-tokoh agama dan masyarakat berkunjung ke Al-Marqaz.
3. “Crash program keagamaan” Kabupaten Bulukumba
Crash program keagamaan merupakan strategi pemerintah
Bulukumba di bawah Patabai Pabokori untuk meramu religiusitas
mayarakat Bulukumba agar menjadi modal dan spirit dalam
pembanguan di berbagai sektor. Dari sekian banyak program
pemerintahannya, ia mencoba merumuskan program keagamaan
yang merupakan kebutuhan masyarakat luas. Dengan disokong
oleh KPPSI Bulukmba, laskar Jundullah, Nu, dan Muhammadiyah
Bulukumba, pada akhirnya meluncurkan program keagamaan yang
di resmikan langsung oleh gubernur Sulawesi selatan saat itu, HZB
palaguna.
Materi-materi crash program keagamaan tersebut adalah
1)
Pembinaan dan pengembangan pemuda remaja mesjid
2)
Pembinaan dan pengembangan TKA dan TPA (taman kanakkanak al-quran dan taman pendidikan al-quran)
3)
Pembinaan dan pengembangan Hifzh al-Quran (menghafal
al-Quran)
4)
Pembinaan dan pengembangan majelis taklim
5)
Pembinaan dan pemngembangan perpustakaan mesjid
6)
Pembinaan dan pengembangan seni bernuansa Islam
Sebagai implementasi dari crash program keagamaan ini,
kemudiaan di lahirkan beberapa perda yang disebut-sebut sebagai
perda yang bernuansa Syariat Islam. Yaitu :
1. Perda No. 03 Tahun 2002 Tentang Larangan, Pengawasan,
Penertiban, dan Penjualan Minuman Beralkohol.
2. Perda No 02 Tahun 2003 Tentang Pengelolaan Zakat Profesi,
Infaq, dan Sedekah.
3. Perda No. 05 Tahun 2003 Tentang Berpakaian Muslim dan
Muslimah.
4. Perda No. 06 Tahun 2003 Tentang Pandai Baca Al-Quran Bagi
Siswa dan Calon Pengantin.
b. Remaja dan Perkembangannya
1. Definisi Remaja
Dalam bahasa Indonesia sering disebut pubertas atau
Remaja. Etimologi atau asal kata istilah ini adalah puberty (Inggris)
atau pubertiet (Belanda) berasal dari bahasa latin: pubertas. Kata
latinpubescere berarti pubes atau rambut kemaluan yaitu tanda
kelamin sekunder yang menunjukkan perkembangan seksual.
Istilah Puber dimaksudkan remaja sekitar masa pematangan
seksual. Pada umumnya masa pubertas terjadi antara 12-16 tahun
pada anak laki-laki dan 11-15 tahun untuk anak perempuan (Drs.
H. Penut Panuju dan Ida Umami S.Ag;1999: 1-2).
Remaja juga diartikan sebagai manusia yang masih di
dalam perkembangannya menuju kedewasaan baik jasmani maupun
psikisnya. Para ahli membagi masa perkembangan itu dalam
beberapa tahap. Sebagai gambaran berikut ini tahap-tahap
perkembangannya. Masa remaja adalah masa mulai aktif dan
energinya serba lengkap. Energi yang berlebihan menyebabkan
sifat anak itu suka ramai, ribut, suka bertengkar, sering
memamerkan kekuatan badannya, lincah dan berani, ingin
menonjolkan dirinya ingin namanya dikenal orang lain. Ia
menganggap tidak ada pekerjaan yang sulit baginya, ingin
melepaskan diri dari kekangan orang tua, ingin berdiri sendiri,
bersifat ambivalent. Sifatnya kadang-kadang destruktif, sering
melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum/ norma
dan sulit diatur.
Sedangkan Masa remaja adalah masa transisi dan secara
psikologis sangat problematis yang ditandai dengan dua ciri yang
berlawanan, yaitu adanya keinginan untuk melakukan perlawanan
dan sikap apatis, dimana pada satu sisi belum mempunyai
pegangan dan disisi lain kepribadian sedang mencari identitas atau
jati diri. Masa remaja disebut juga dengan masa peralihan, yang
mana pada masa peralihan ini sama halnya seperti pada masa anak,
mengalami perubahan-perubahan jasmani, kepribadian, intelek,
dan peranan di dalam maupun diluar lingkungan. Perbedaan proses
perkembangan
yang
jelas
pada
masa
remaja
ini
adalah
psikoseksualitas dan emosionalitas yang mempengaruhi tingkah
laku para remaja, yang sebelumnya pada masa anak tidak nyata
pengaruhnya. Proses perkembangan yang dialami remaja akan
menimbulkan permasalahan bagi mereka sendiri dan mereka yang
ada didekat dengan lingkungan hidupnya (Dra. Singgih. D.
Gunarsa; 1989:3).
2. Perkembangan Remaja
Pada umumnya permulaan masa remaja ditandai oleh
perubahan-perubahan fisik yang mendahului kematangan seksual.
Bersama dengan perubahan fisik, proses perkembangan psikis
remaja juga akan dimulai, dimana mereka mulai melepaskan diri
dari ikatan orang tuanya. Kemudian terlihat perubahan-perubahan
kepribadian yang terwujud dalam cara hidup untuk menyesuaikan
diri dalam masyarakat.
Perlu diketahui bahwa yang sangat berpengaruh pada
proses perkembangan remaja pada tahap selanjutnya atau untuk
seterusnya adalah lingkungan sosial dan teman sepergaulan.
Perubahan yang dialami oleh para remaja dapat dibagi dalam dua
kelompok yaitu:
1.
Perubahan
yang
perkembangannya
mudah
diketahui,
karena
proses
jelas dan mudah diamati orang lain.
2.
Perubahan yang sulit dilihat orang lain, maupun oleh remaja
yang mengalaminya sendiri (Y. Singgih D. Gunarsa dan
Singgih D. Gunarsa; 1990:2).
c. Penyimpangan Perilaku dan Bentuk-Bentuknya
1. Definisi penyimpangan perilaku
Penyimpangan perilaku atau Penyimpangan sosial sadar
atau tidak sadar pernah kita alami atau kita lakukan.
Penyimpangan sosial dapat terjadi dimanapun dan dilakukan oleh
siapapun. Sejauh mana penyimpangan itu terjadi, besar atau kecil,
dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat terganggunya
keseimbangan kehidupan dalam masyarakat.
Penyimpangan merupakan perilaku yang oleh sejumlah
besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas
toleransi (Sunarto;2004:176), sedangkan perilaku yaitu suatu
tindakan, perbuatan dan perilaku (Pius A. Partanto;1994:587).
Jadi yang dimaksud dengan perilaku menyimpang adalah perilaku
dari para warga masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan
kebiasaan, tata aturan atau norma sosial yang berlaku. Secara
sederhana kita memang dapat mengatakan, bahwa seseorang
berperilaku menyimpang apabila menurut anggapan sebagian
besar masyarakat (minimal di suatu kelompok atau komunitas
tertentu) perilaku atau tindakan tersebut diluar kebiasaan, adat
istiadat, aturan, nilai-nilai, atau norma-norma sosial yang berlaku
(J. Narwoko Dwi;2007:98).
Penyimpangan perilaku dapat juga dapat didefinisikan
sebagai suatu perilaku yang diekspresikan oleh seorang atau
beberapa anggota masyarakat yang secara disadari atau tidak
disadari, tidak menyesuaikan diri dengan norma-norma yang
berlaku yang telah diterima oleh sebagian besar dengan anggota
masyarakat (Drs. Yad Mulyadi, dkk;1995:54).
Menurut James Vander Zanden penyimpangan merupakan
perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal
yang tercela dan diluar batas toleransi. Jadi yang dimaksud
dengan penyimpangan adalah perbuatan yang mengabaikan
norma yang terjadi apabila seorang atau sekelompok orang tidak
mematuhi patokan baku di dalam mayarakat (Drs. Taufiq Rohman
Dhohiri, dkk;2003:126).Sedangkan Menurut M.Z. lawang ,
penyimpangan perilaku adalah semua tindakan yang menyimpang
dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial dan
menimbulkan usaha dari pihak yang berwenang dalam sistem itu
untuk
memperbaiki
perilaku
menyimpang
tersebut
(Nurseno;2009:157).
Penyimpangan perilaku remaja disebut juga dengan
kenakalan remaja.Kenakalan remaja adalah perbuatan anak-anak
dan remaja yang melakukan tindakan yang menganggu ketertiban
umum, mabuk-mabukan, perkelahian antar kelompok dan
sebagainya. kenakalan remaja merupakan pelanggaran atas norma
sosial, agama serta hukum. jadi kenakalan remaja ini menyangkut
aspek yuridis, sosiologi, sosial, ekonomi, pendidikan dan
kebudayaan, agama dan sebagainya. Berbagai bentuk perilaku
remaja dapat dikatakan sebagai kenakalan remaja dan pada
gilirannya akan menimbulkan dampak bagi pembentukan citra
diri remaja serta aktualisasi potensi-potensinya.
Kita semua sependapat bahwa kenakalan remaja tidak boleh
dibiarkan, harus diantisipasi.kita berkewajiban untuk mencarikan
alternatif-alternatif pemecahannya agar tidak ada lagi sebutan
kenakalan remaja yang ada hanya sebutan remaja berprestasi.
Secara
umum
yang
digolongkan
sebagai
perilaku
menyimpang, antara lain:
a.
Tindakan nonconform, yaitu perilaku yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai atau norma-norma yang ada. Misalnya
memakai sandal buntut ke kampus atau ke tempat-tempat
formal, membolos, merokok di area larangan merokok,
membuang sampah sembarang tempat dan sebagainya.
b.
Tindakan yang antisosial atau asosial, yaitu tindakan yang
melawan kebiasaan masyarakat atau kepentingan umum
seperti: menarik diri dari pergaulan, tidak mau berteman,
keinginan
untuk
bunuh
diri,
minum-minuman
keras,
menggunakan narkotika atau obat-obat berbahaya, terlibat
dunia prostitusi, penyimpangan seksual (homo dan lesbian),
dan sebagainya.
c.
Tindakan-tindakan kriminal, yaitu tindakan yang nyata-nyata
telah
melanggar
aturan-aturan
hukum
tertulis
dan
mengancam jiwa atau keselamatan orang lain. Tindakan
kriminal yang sering kita temui itu misalnya: pencurian,
perampokan, pembunuhan, korupsi, perkosaan, dan berbagai
bentuk kejahatan lainnya, baik yang tercatat di kepolisian
maupun yang tidak karena tidak dilaporkan ke masyarakat,
tetapi nyata-nyata mengancam ketentraman masyarakat (J.
Narwoko Dwi;2007:101).
2. Bentuk-Bentuk Penyimpangan Perilaku Remaja
Bentuk- bentuk penyimpangan perilaku terdiri atas
penyimpangan primer (primary deviation), penyimpangan sekunder
(secondary
deviation),
penyimpangan
individual
(individual
deviation), penyimpangan kelompok (group deviation) dan
penyimpangan campuran (mixture of both deviation).
a. Penyimpangan primer (primary deviation)
Penyimpangan primer adalah penyimpangan yang
kdilakukan seseorang, hanya bersifat temporer, dan tidak
berulang-ulang. Orang yang melakukan penyimpangan ini
masih dapat diterima secara social karena hidupnya tidak
didominasi
oleh
(Nurseno;2009:159),
pola
perilaku
misalnya:
menyimpang
pegawai
yang
itu
kadang
membolos kerja, banyak minum alkohol pada waktu pesta,
siswa yang membolos atau mencontek saat ujian, memalsukan
pembukuan, mengurangi besarnya pajak pendapatan (Drs.
Taufiq Rohman Dhohiri, dkk.;2003:130).
b. Penyimpangan sekunder (secondary deviation)
Penyimpangan
sekunder
adalah
perbuatan
yang
dilakukan secara khas memperlihatkan perilaku penyimpangan
dan
secara
umum
dikenal
sebagai
orang-orang
yang
menyimpang karena sering kali/ucapkali melakukan tindakan
yang meresahkan orang lain (Drs. Taufiq Rohman Dhohiri,
dkk.;2003:131). Misalnya: seorang peminum yang sering
mabok-mabokan dan memeras orang lain (Nurseno;2009:159).
c. Penyimpangan individu yaitu:
Penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang dengan
melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari normanorma yang telah mapan dan nyata-nyata menolak norma-norma
tersebut. Misalnya: pencurian yang dilakukan sendiri (Drs.
Taufiq Rohman Dhohiri, dkk.;2003:131).
d. Penyimpangan kelompok (group deviation)
Penyimpangan
kelompok
adalah
tindakan
yang
bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang dilakukan
sekolompok
orang
(Nurseno;2009:160).
dan
beraksi
Penyimpangan
ini
secara
kolektif
dilakukan
oleh
sekelompok orang yang tunduk pada norma kelompok, padahal
norma tersebut bertentangan dengan norma masyarakat yang
berlaku.
Misalnya:
kelompok
orang
yang
melakukan
penyelundupan narkotika/ pengedaran narkotika secara gelap
dan
penyalahgunaan
dalam
pemakaiannya,
sekelompok
pencopet atau pencuri yang beroperasi di suatu wilayah tertentu.
e. Penyimpangan campuran (mixture of both deviation)
Jenis penyimpangan ini dilakukan oleh suatu golongan
sosial yang terorganisir secara rapi, sehingga individu ataupun
kelompok didalamnya taat dan tunduk kepada norma-norma
golongan, padahal secara keseluruhan merasa mengabaikan
norma-norma masyarakat yang berlaku.Sebagai contoh adalah
geng-geng anak-anak yang nakal yang meniru “gangster” ala
Amerika.
d. Teori Penyimpangan Perilaku
1.
Teori Anomi
Teori anomi berpandangan bahwa munculnya perilaku
menyimpang merupakan konsekuensi dari perkembangan norma
masyarakat yang makin lama makin kompleks. Akibatnya
tindak ada pedoman yang jelas yang dapat dipelajari dan
dipatuhi warga masyarakat sebagai dasar dalam memilih dan
bertindak dengan benar. Misalnya, akibat kedua orang tua
bekerja dan tidak berada dirumah, anak cenderung menjadi anak
nakal (Nurseno;2009:163).
2.
Teori Sosiologi atau Teori Belajar
Teori ini menyebutkan bahwa penyimpangan perilaku
adalah hasil dari proses belajar. Salah seorang ahli teori belajar
yang banyak dikutip dari tulisannya adalah Edwin H. Sutherland
ia menanamkan teorinya dengan Diasosiasi Diferencial.
Menurut Sutherland, penyimpangan adalah konsekuensi dari
kemahiran dan penguasaan atas suatu sikap atau tindakan yang
dipelajari dari norma-norma yang menyimpang (J. Narwoko
Dwi;2007:121).
3.
Teori Labeling
Teori
ini
umumnya
mempunyai
keyakinan
bahwa
pemberian cap atau stigma sering kali mengubah anggapan
masyarakat terhadap seseorang yang telah melakukan perbuatan
menyimpang.
Semula
pelaku-pelaku
hanya
melakukan
penyimpangan primer, namun lambat laun dengan anggapan
masyarakat itu akan melakukan penyimpangan sekunder
(Nurseno;2009:162).
Analisis tentang pemberian cap itu dipusatkan pada reaksi
orang lain. Artinya ada orang-orang yang memberi definisi,
julukan, atau pemberi label (definers/labelers) pada individuindividu atau tindakan yang menurut penilaian orang tersebut
adalah negative (J. Narwoko Dwi;2007:115),misalnya, disebut
penipu, pencuri, wanita nakal, orang gila, dan sebagainya, maka
si pelaku akan terdorong untuk melakukan penyimpangan
sekunder (tahap lanjut) dengan alasan ”kepalang tanggung”
4. Teori Kontrol
Teori ini menyatakan bahwa penyimpangan merupakan
hasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial.Teori ini
dibangunatas dasar pandangan bahwa setiap manusia cenderung
untuk tidak patuh pada hukum atau memiliki dorongan untuk
melakukan pelanggaran hukum.oleh sebab itu para ahli terori
kontrol menilai perilaku menyimpang adalah konsekuensi logis
dari kegagalan seseorang untuk menaati hokum (J. Narwoko
Dwi;2007:116).
5. Teori Fungsi
Menurut E. Durkhiem tercapainya kesadaran moral dari
semua anggota masyarakat karena faktor keturunan, perbedaan
lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Artinya, kejahatan itu
akan selalu ada sebab orang-orang yang berwatak jahat pun akan
sulalu ada. Bahkan, Durkhiem berpandangan bahwa kejahatan
itu perlu, agar moralitas dan hukum dapat berkembang secara
normal (Drs. Yad Mulyadi, dkk;1995:57)
.
e. Faktor-Faktor Penyimpangan Perilaku Remaja
1. Faktor keluarga
Keluarga
adalah
sebuah
wadah
dari
permulaan
pembentukan pribadi serta tumpuhan dasar fundamental bagi
perkembangan dan pertumbuhan anak. Lingkungan keluarga
secara potensial dapat membentuk pribadi anak menjadi hidup
secara bertanggung jawab, apabila usaha pendidikan dalam
keluarga itu gagal, akan terbentuk seorang anak yang lebih
cenderung melakukan tindakan-tindakan yang bersifat criminal
(Y. Bambang Mulyono;1993:26).Itulah sebabnya mengapa
keluarga dapat juga berperan dalam membentuk keperibadian
yang
menyimpang
(Drs.
Taufiq
Rohman
Dhohiri,
dkk.;2003:136).
2. Faktor sekolah
Sekolah adalah suatu lingkungan pendidikan yang secara
garis besar masih bersifat formal. Anak remaja yang masih
duduk dibangku SLTP maupun SMU pada umumnya mereka
menghabiskan waktu mereka selama tujuh jam disekolah setiap
hari, jadi jangan heran bila lingkungan sekolah juga sangat
berpengaruh terhadap perkembangan moral anak.
Kepala sekolah dan guru adalah pendidik, disamping
melaksanakan
kemampuan
tugas
mengajar,
berpikir,
serta
yaitu
melatih
mengembangkan
membina
dan
mengembangkan kemampuan berpikir anak didiknya, serta
mempunyai kepribadian dan budi pekerti yang baik dan
membuat anak didik mempunyai sifat yang lebih dewasa.
Tujuan ini dapat berhasil jika guru berhasil mendorong dan
mengarahkan murid-muridnya untuk belajar mengembangkan
kreatifitas pengetahuan dan keterampilannya. Artinya antara
guru dan murid ada hubungan yang baik dan saling
mempercayai
untuk
belajar
bersama
(Y.
Bambang
Mulyono;1993:29).
Kerena
kebanyakan
guru
sibuk
dengan
urusan
pribadinya tanpa dapat memperhatikan perkembangan moral
anak didiknya, anak hanya bisa diberi teori berkala sementara
dalam prakteknya guru pun melanggar teori yang telah
disampaikan pada anak didiknya. Padahal guru merupakan suri
tauladan yang nomor dua setelah orang tua, makanya setiap sifat
dan tingkah laku guru menjadi cerminan anak didiknya. Bila
pendidikan kesusilaan dalam agama kurang dapat diterapkan
disekolah maka akan berakibat buruk terhadap anak, sebab
disekolah anak menghadapi berbagai macam bentuk teman
bergaul.
3. Faktor Masyarakat
Masyarakat adalah lingkungan yang terluas bagi
remaja dan sekaligus paling banyak menawarkan pilihan.Pada
lingkungan inilah remaja dihadapkan berbagai bentuk kenyataan
yang ada dalam kehidupan masyarakat yang berbeda-beda,
apalagi dasawarsa terakhir ini perkembangan moral kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat,
sehingga membawa perubahan-perubahan yang sangat berarti
tetapi juga timbul masalah yang mengejutkan.Maka dalam
situasi itulah yang menimbulkan melemahnya norma-norma dan
nilai-nilai dalam masyarakat akibat perbuatan sosial.Akibatnya
remaja terpengaruh dengan adanya yang terjadi dalam
masyarakat yang mana kurang landasan agamanya, dan
masyarakat
yang
acuh
terhadap
lingkungan
yang
ada
disekitarnya.
4. Kelompok Bermain
Lingkungan tempat tinggal dan kelompok bermain
merupakan dua media sosialisasi yang sangat berkaitan, karena
seorang individu akan memiliki kelompok bermain atau
pergaulan dalam lingkungan tempat tinggal tersebut. kadang
seorang individu memiliki kelompok bermain atau pergaulan
diluar lingkungan tempat tinggal, seperti: lingkungan sekolah,
dan luar sekolah. Kelompok bermain atau pergaulan dapat
mempengaruhi kepribadian seorang individu. Jadi apabila
kelompok bermain yang positif maka kepribadiannya cunderung
positif, sebaliknya bila kelompok bermain yang negatif, maka
kepribadiannya cenderung negatif (Drs. Taufiq Rohman
Dhohiri, dkk.;2003:137).
5. Media Masa
Media masa dapat disebut juga sebagai sosialisasi yang
dapat mempengaruhi kepribadian dan perilaku seorang individu.
Pesan-pesan yang sampaikan lewat media masa seperti televisi
mampu mampengaruhi kepribadian bagi orang yang melihatnya.
Seperti:
seseorang
yang
menyaksikan
tayangan
yang
menyedihkan, ia akan ikut sedih, sebaliknya jika seorang
individu menyaksikan tayangan yang membahagiakan, ia akan
ikut bahagia, begitu pula jika seorang anak menyaksikan adegan
kekerasan atau perkelahian maka tayangan tersebut akan
mempengaruhi kepribadian anak tersebut cenderung keras dan
tidak bersahabat. Media masa juga sangat berpotensi dalam
mempengaruhi kepribadian khalayak muda atau remaja. Para
remaja cenderung mengikuti gaya hidup dan mode pakaian yang
dipakai oleh bintang-bintang idolanya ditelevisi. Bahkan,
tayangan pornografi ditelevisi dapat meningkatkan pelanggaran
asusila dalam masyarakat.
f. Pengendalian/Kontrol Sosial
Social control atau pengendalian sosial adalah sesuatu
yang nyata dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk upaya untuk
menciptakan kondisi yang mereka inginkan.
Menurut Koentjaraningrat, ada tiga proses sosial yang perlu
mendapat pengendalian sosial, yaitu:
1.
Ketegangan sosial yang terjadi antara adat-istiadat dan
kepentingan individu.
2. Ketegangan sosial yang terjadi karena adanya pertemuan antar
golongan khusus.
3. Ketegangan sosial yang terjadi karena golongan yang
melakukan penyimpangan secara sengaja menentang tata
kelakuan atau peraturan.
Bagaimana masyarakat melakukan pengendalian sosial
terhadap perilaku anggotanya? Ada tiga sifat yang dipakai dalam
pengendalian sosial, yaitu :
1.
Preventif: yaitu pengendalian sosial yang dilakukan sebelum
terjadi pelanggaran, artinya mementingkan pada pencegahan
agar tidak terjadi pelanggaran
Contoh:
a. Seoarang bapak menasehati anaknya agar tidak merokok
b. Untuk mencegah anaknya berkelahi Ibu Amir menyuruh
anak-anaknya tidak bermain di luar rumah.
c. Tidak bosan-bosannya guru menasehati murid-muridnya
untuk segera pulang dan tidak nongkrong-nongkrong dulu
di jalanan untuk menghindari terjadinya tawuran pelajar,
merokok atau terlibat narkoba.
2. Represif: adalah pengendalian sosial yang dilakukan setelah
orang melakukan suatu tindakan penyimpangan (deviasi).
Pengendalian sosial ini bertujuan untuk memulihkan keadaan
seperti sebelum terjadinya tindakan penyimpangan.
Contoh pengendalian represif yang betul, misalnya :
a. Pemberian hukuman bagi seseorang yang melakukan
pelanggaran
b. Hakim menjatuhkan hukuman kepada terpidana.
c. Pak Darmawan di PHK karena korupsi.
3.
Kuratif adalah tindakan yang diambil setelah terjadinya tindak
penyimpangan sosial dan bersifat mengobati. Tindakan ini
ditujukan untuk memberikan penyadaran kepada para pelaku
penyimpangan agar dapat menyadari kesalahannya dan mau
serta
mampu
memperbaiki
kehidupannya,
sehingga
di
kemudian hari tidak lagi mengulangi kesalahannya.
Contoh : Bagi pencandu narkoba di masukkan ke pusat
rehabilitasi.
Bila dilihat dari segi cara pengendaliannya, dapat
dikelompokkan dalam beberapa cara/teknik, yaitu:
a.
Persuasif
Persuasif merupakan cara pengendalian tanpa
kekerasan. Cara pengendalian lebih menekankan pada
usaha
untuk
mengajak
atau
membimbing
anggota
masyarakat agar dapat bertindak sesuai dengan aturan atau
norma yang berlaku di masyarakat, terkesan halus dan
berupa ajakan atau himbauan.
b.
Koersif
Cara koersif lebih menekankan pada tindakan atau
ancaman yang menggunakan kekerasan fisik. Tujuan
tindakan ini agar si pelaku jera dan tidak melakukan
perbuatan buruknya lagi. Jadi terkesan kasar dan keras.
Adapun tahapan-tahapan dalam pengendalian sosial:
1.
Tahap Sosialisasi atau pengenalan
Tahap sosialisasi atau pengenalan merupakan tahap awal proses
pengendalian sosial. Pada tahap ini, masyarakat dikenalkan pada
bentuk-bentuk penyimpang-an sosial beserta sanksi-sanksinya.
Pengenalan tersebut dimaksudkan agar masyarakat menyadari
efek dan sanksi yang akan diterimanya bila mereka melakukan
suatu tindakan penyimpangan sosial. Di dalam hal ini, tahap
sosiali-sasi bersifat preventif yang bertujuan mencegah perilaku
penyimpangan sosial.
2.
Tahap Penekanan Sosial
Tahap penekanan sosial dilakukan untuk mendukung terciptanya
kondisi sosial yang stabil. Pada tahap ini telah disertai dengan
pelaksanaan sanksi atau hukuman kepada para pelaku tindakan
penyimpangan. Dengan adanya sanksi yang menekan tersebut,
diharapkan masyarakat segan dan tidak mau melakukan
berbagai perbuatan yang menyimpang.
3.
Tahap Pendekatan Kekuasaan / Kekuatan
Pada tahap ini, terlihat adanya pihak pelaku pengendalian sosial
dan pihak yang dikendalikan. Tahap ini dilakukan jika tahaptahap yang lain tidak mampu mengarahkan tingkah laku
manusia sesuai dengan norma atau nilai yang berlaku.
Berdasarkan pelakunya, tahap pendekatan kekuasaan atau
kekuatan ini dapat dibedakan, menjadi berikut ini :
a. Pengendalian kelompok terhadap kelompok; misalnya
anggota Kepolisian Sektor Pasanggrahan Jakarta Selatan
mengawasi
keamanan
dan
ketertiban
masyarakat
di
Kecamatan Pasanggrahan.
b. Pengendalian kelompok terhadap anggotanya; misalnya
bapak/ibu guru di sekolah mengendalikan dan membimbing
siswa/siswi yang belajar di sekolah itu.
c. Pengendalian pribadi terhadap pribadi lain; misalnya seorang
ayah yang mendidik dan merawat anaknya, atau seorang
kakak yang menjaga adiknya.
Robert M.Z Lawang mengemukakan beberapa cara dan
bentuk pengendalian sosial yang biasanya dilakukan orang dalam
suatu masyarakat untuk mengontrol perilaku orang lain yang
menyimpang, antara lain:
1. Desas-desus (Gosip), yaitu “kabar burung” atau “kabar angin”
yang kebenarannya sulit dipercaya. Namun dalam masyarakat
pengendalian sosial ini sering terjadi. Gosip sebagai bentuk
pengendalian sosial yang diyakini masyarakat mampu untuk
membuat pelaku pelanggaran sadar akan perbuatannya dan
kembali pada perilaku yang sesuai dengan nilai dan norma dalam
masyarakat. Gosip kadang dipakai sebagai alat untuk mengangkat
popularitas seseorang, misalnya artis, pejabat, dsb.
2. Teguran, adalah kritik sosial yang bersifat terbuka, baik lisan atau
pun tertulis, terhadap orang atau lembaga yang melakukan tindak
penyimpangan sosial. Contoh : Seorang guru yang menegur
seorang siswa yang tidak memasukan baju ke dalam celana.
3. Kekerasan Fisik, dilakukan sebagai alternatif terakhir dari
pengendalian sosial, apabila alternatif lain sudah tidak dapat
dilakukan. Namun banyak kejadian, perlakuan ini terjadi tanpa
melakukan bentuk pengendalian sosial lain terlebih dahulu.
4. Hukuman (Punishment), adalah sanksi negatif yang diberikan
kepada pelaku pelanggaran tertulis maupun tidak tertulis. Pada
lembaga formal diberikan oleh Pengadilan, pada lembaga non
formal oleh Lembaga Adat.
5. Intimidasi, yaitu berhubungan dengan segala hal yang membuat
pelaku menjadi takut sehingga ia mengakui perbuatannya.
Intimidasi biasanya berupa ancaman, misalnya: penetapan
hukuman mati bagi pengedar narkoba merupakan ancaman agar
tidak ada lagi yang berani mengedarkan narkoba.
6. Ostratisme, yaitu pengendalian dengan cara pengucilan. Hal ini
dilakukan agar orang menyadari perbuatannya sehingga ia bisa
berbaur kembali dengan orang lain. Misalnya, anak yang
sombong dikucilkan dan dijauhi oleh teman-temannya.
7. Pendidikan, adalah proses pengendalian secara sadar dimana ada
perubahan – perubahan tingka laku dihasilkan dari dalam sendiri
sebagai akibat dari pengaruh bimbingan dari orang lain. Contoh :
Seorang anak yang habis makan lalu mencuci piringnya, karena
sebelum makan dia telah dinasehati orang tuanya.
8. Pendidikan Agama, adalah suatu pedoman yang berisi suatu
aturan atau norma yang bersumber dari Tuhan yang harus
dipatuhi dalam kehidupan sehari – hari.
9. Cemohan, adalah ejekan, hinaan, sindiran, yang bertujuan agar
tidak melakukan perbuatan itu lagi. Contoh : seorang gadis karena
sering pulang sekolah larut malam, kemudian disindir oleh
tetangganya dengan ucapan perumpamaan seperti ”Kupu-kupu
malam”.
10. Fraundulens, adalah pengendalian sosial dengan jalan meminta
bantuan orang lain yang dianggap dapat mengatasi masalah yang
ada.
Pada hakikatnya ada dua fungsi pengendalian sosial, yaitu:
1. Meyakinkan masyarakat tentang kebaikan norma.
Usaha ini ditempuh melalui pendidikan baik formal maupun non
formal. Melalui pendidikan formal ditanamkan kepada peserta
didik kesadaran untuk patuh aturan, sadar hukum dan sebagainya
melalui mata pelajaran-mata pelajaran
yang ada. Melalui
pendidikan non formal, mass media dan alat-alat komunikasi
menyadarkan warga masyarakat untuk beretika baik, tertib lalu
lintas, dan sebagainya.
2. Mempertebal kebaikan norma.
Hal ini dilakukan dengan cara mempengaruhi alam pikiran
seseorang dengan legenda, hikayat-hikayat, cerita-cerita rakyat
maupun cerita-cerita agama yang memiliki nilai-nilai terpuji,
contohnya cerita Malin Kundang, cerita Nabi Sulaiman, dan
sebagainya.
Selain itu terdapat juga peranan pranata sosial. Peranan
pranata sosial atau lembaga sosial dalam pengendalian sosial yang
terjadi di masyarakat adalah sangat besar dan dibutuhkan,
khususnya
terhadap
perilaku
yang
menyimpang
demi
keseimbangan sosial.
Lembaga sosial merupakan wadah/tempat dari aturanaturan khusus, wujudnya berupa organisasi atau asosiasi.
Contohnya KUA, mesjid, sekolah, partai, CV, dan sebagainya.
Sedangkan pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan yang
mengatur perilaku dan hubungan antara anggota masyarakat agar
hidup aman, tentram dan harmonis. Dengan bahasa sehari-hari kita
sebut “aturan main/cara main”. Jadi peranan pranata sosial
sebagai pedoman kita berperilaku supaya terjadi keseimbangan
sosial. Pranata sosial merupakan kesepakatan tidak tertulis namun
diakui sebagai aturan tata perilaku dan sopan santun pergaulan.
Contoh: kalau makan tidak berbunyi, di Indonesia pengguna jalan
ada di kiri badan jalan, tidak boleh melanggar hak orang lain, dan
sebagainya.
B. Kerangka Konseptual
Agama merupakan salah satu pranata sosial yang mampu
turut menjaga ketertiban dalam masyarakat. Mustain Mashud
(2011;241) mengatakan bahwa dimensi sosiologis melihat agama
sebagai salah satu dari institusi sosial, sebagai subsistem dari sistem
sosial yang mempunyai fungsi sosial tertentu, misalnya sebagai salah
satu pranata sosial.Oleh karena itu agama dapat mempersatukan
masyarakat dan memelihara stabilitas.
Bulukumba
merupakan
kabupaten
yang
mayoritas
penduduknya beragama islam. Seperti yang dilaporkan dalam “
Monitoring Perda Syariat Islam di Bulukumba”, dari jumlah
penduduk tahun 2006 yakni 383.870 jiwa; 375.187 jiwa atau 99,75%
yang memeluk agama islam. Mayoritasnya jumlah pemeluk agama
islam, secara struktural-fungsional agama islam melalui otonomi
daerah memiliki peluang digunakan sebagai produk hukum melalui
peraturan daerah yang fungsi dan tujuannya tidak lain untuk
mewujudkan ketertiban dalam masyarakat.
Peraturan daerah itu terwujud dengan nama Perda Syariat
Islam.Perda ini muncul dengan memanfaatkan otonomi daerah melalui
UU No. 32 Tahun 2004.Asmuni Mth (2006) dalam “Menimbang
Signifikansi Perda Syariat Islam” mengatakan bahwa formalisasi
syariat islam di tingkat konstitusi Negara dapat dikatakan menemui
jalan buntu. Namun ternyata perjuangan formalisasi syariat tidaklah
berhenti. Hanya saja bergeser ke wilayah lokal dengan memanfaatkan
“celah” UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Era
otonomi daerah telah memicu munculnya perda-perda bernuansa
syariat islam.
Dalam “Monitoring Perda Syariat Islam di Bulukumba”,
sejak tahun 2002 di daerah ini mulai berlaku Perda-perda Syariat
Islam, antara lain Perda Nomor 03 Tahun 2002 tentang Larangan,
Pengawasan, Penertiban dan Penjualan Minuman Keras, Perda Nomor
02 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq dan
Shadaqah, Perda Nomor 05 Tahun 2003 Tentang Pakaian Muslim dan
Muslimah, Perda Nomor 06 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis
Al-Quran bagi Siswa dan Calon Pengantin.
Jadi secara umum ada empat Perda Syariat Islam yang
berlaku di Bulukumba dan salah satu penerapannya difokuskan pada
remaja dan pemuda. Dari empat Perda tersebut hanya Perda Nomor 03
Tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban dan Penjualan
Minuman
Keras
yang
secara
langsung
menyentuh
perilaku
penyimpangan remaja. Sejak tahun 2002 sampai sekarang ini, peneliti
mengamati lokasi penelitian yang juga merupakan kampung halaman
peneliti sendiri dan secara sekilas terdapat banyak remaja yang masih
berperilaku menyimpang.Dalam artian bahwa banyak remaja yang
masih melanggar Perda syariat Islam.
Berdasarkan data dari kantor kelurahan Borong Rappoa
(2012) bahwa 40-60%
perilaku penyimpangan remaja adalah
peminum (minuman beralkohol). Hal ini merupakan penyebab
utamanya
dimana
diiringi
pergaulan
remaja
yang
tidak
terkontrol.Sekitar 30% adalah hamil diluar nikah.Disebutkan bahwa
penyebab utamanya selain pergaulan remaja yang kurang terkontrol,
juga hukum adat yang kurang dijunjung serta aturan yang tidak terlalu
mengikat. Sekitar 10% adalah pencurian dan perjudian 10%.
Secara langsung Perda Nomor 03 Tahun 2002 ini tentunya
diharapkan mampu mengatasi perilaku penyimpangan remaja
terutama yang berhubungan dengan munuman keras. Oleh karena itu
dibutuhkan
tanggapan masyarakat di Kelurahan Borong Rappoa
terutama sejauh mana penerapan Perda ini mampu mengatasi perilaku
penyimpangan remaja.
Uraian tersebut di atas dapat di gambarkan dalam bentuk
skema berikut ini:
SKEMA KERANGKA KONSEPTUAL
Agama Sebagai Pranata
Sosial
Perda Syariat Islam
Perilaku Penyimpangan
Remaja
C. Definisi Operasional
Untuk mempermudah dalam memahami judul Skripsi ini dan
mengetahui arah dan tujuan pembahasan skripsi ini, maka berikut ini
akan dipaparkan penegasan judul sebagai berikut:
a.
Perda Syariat Islam adalah peraturan daerah yang dikeluarkan
oleh pemerintah Bulukumba yang salah satu tujuannya adalah
mengatasi perilaku penyimpangan remaja.
b.
Penyimpangan yaitu tingkah laku secara ringan yang menyalahi
norma dan hukum yang berlaku dalam masyarakat.
c.
Perilaku yaitu perbuatan, tindakan, dan perilaku.
d.
Penyimpangan perilaku adalah perilaku dari para warga
masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata
aturan atau norma sosial yang berlaku.
e.
Remaja yaitu masa peralihan, yang mana pada masa peralihan
ini sama halnya seperti pada masa anak, mengalami perubahanperubah jasmani, keperibadian, intelek, dan peranan di dalam
maupun diluar lingkungan. Seseorang dikatakan remaja yaitu
usia 10-21 tahun.
Berpijak dari permasalahan tersebut peneliti terdorong untuk
meneliti tentang penerapan Perda Syariat Islam dalam upaya
menanggulangi perilaku penyimpangan remaja Di Kelurahan Borong
Rappoa Kecamatan Kindang.
BAB III
METODE PENELITIAN
Dengan mengacu pada tujuan penelitian ini, metode penelitian
yang akan digunakan adalah sebagai berikut:
a. Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu
penelitian dengan memberikan gambaran secara jelas dan sistematis
terkait dengan objek yang diteliti demi member informasi dan data
yang valid terkait dengan fakta dan fenomena yang ada di lapangan.
Penelitian ini didasari dengan maksud untuk menggambarkan secara
deskriptif penerapan Perda Syariat Islam dalam upaya menanggulangi
perilaku penyimpangan remaja di Kelurahan Borong Rappoa. Hal
tersebutlah yang menjadi fokus dan dikaji serta dianalisis secara
deskriptif kualitatif dalam penelitian ini.
b. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Borong Rappoa,
Kecamatan Kindang, Kabupaten Bulukumba, pada bulan Desember
2012 sampai Februari 2013. Lokasi penelitian dilakukan secara
sengaja dengan alasan bahwa di Kelurahan ini merupakan kampung
halaman peneliti sendiri sehingga memudahkan dalam proses
pengambilan data dan pemilihan informan. Selain itu, setelah
melakukan pengamatan awal di Kelurahan ini, “sepertinya” banyak
remaja yang berperilaku menyimpang terutama penggunaan minuman
keras dan beralkohol.
c. Pemilihan Informan (Subjek Penelitian)
Teknik yang digunakan dalam memilih dan menentukan
subjek
penelitian,
yaitu
purposive
sampling
(subjek
sesuai
tujuan).Penentuan subjek penelitian dalam penelitian kualitatif sangat
tepat jika didasarkan pada tujuan dan masalah penelitian.Penentuan
subjek berdasarkan tujuan dilakukan untuk meningkatkan kegunaan
informasi yang didapatkan dari subjek yang kecil. Peneliti memilih
subjek yang mempunyai pengetahuan dan informasi tentang fenomena
yang sedang diteliti (Dr. Iskandar, M.Pd.;2009:114).
Informan (subjek penelitian) dalam penelitian ini akan dipilih
secara sengaja dengan dasar bahwa informan tersebut memiliki
“keahlian” tentang fenomena yang hendak didalami. Berangkat dari
judul penelitian ini mengenai penerapan Perda Syariat Islam dalam
upaya menanggulangi perilaku penyimpangan remaja, maka pemilihan
informan terdiri dari berbagai kalangan yang berasal dari kelurahan
Borong Rappoa, yaitu dari pihak orang tua remaja yang berperilaku
menyimpang, dari tokoh masyarakat, tokoh agama, dari pemerintah
setempat serta remaja itu sendiri.
d. Sumber Data
Berdasarkan pada fokus penelitian, maka sumber utama data
penelitian ini adalah masyarakat di Kelurahan Borong Rappoa yang
terdiri dari para orang tua (keluarga), tokoh masyarakat, dan remaja
(sumber primer). Selain itu, sumber-sumber kepustakaan, yang dapat
diperoleh berbagai review literatur, studi dokumentasi dan studi
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan fokus penelitian (sumber
sekunder).
e. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi instrumen utama adalah
peneliti itu sendiri.Untuk membantu memudahkan peneliti dalam
mengumpulkan data, maka peneliti membuat pedoman wawancara
dan mengobservasi atau mengamati kejadian-kejadian yang berkaitan
dengan fokus penelitian.Hal ini dimaksudkan agar data yang
dikumpulkan sesuai dengan fokus penelitian dan untuk membantu
peneliti memperoleh data yang relevan. Selain itu, peneliti akan
dilengkapi dengan alat-alat seperti tape recorder, kamera digital, buku
catatan dan lain-lain yang dapat membantu jalannya penelitian nanti
dilapangan.
Panduan umum wawancara dan data observasi yang akan
digunakan sebagai alat untuk membimbing peneliti agar tidak keluar
dari fokus penelitian. Untuk melengkapi data dalam penelitian ini
akan dikembangkan isntrument penelitian sederhana berupa pedoman
wawancara dan pedoman pengamatan observasi.
f. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara yang dilakukan peneliti
untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan sesuai dengan fokus
penelitiannya. Teknik pengumpulan data harus disesuaikan dengan
metode penelitian dan fokus penelitian, sehingga mempermudah
peneliti untuk memperoleh data yang valid. Menurut Dr. Iskandar,
M.Pd. (2009:121) teknik pengumpulan data yang populer untuk
penelitian kualitatif antara lain adalah teknik wawancara mendalam
(in-depth interview), observasi partisipasi (participant observer), dan
dokumentasi.
Berdasarkan tujuan penelitian, maka data yang dibutuhkan
bersifat kualitaif. Untuk itu maka dalam penelitian ini akan digunakan
teknik sebagai berikut :
1) Wawancara Mendalam (Indepth Interview)
Dalam penelitian kualitatif wawancara merupakan alat
yang sangat dominan untuk mengumpulkan data, karena dengan
wawancara, peneliti melakukan komunikasi langsung secara
mendalam dengan informan.Hal ini dimaksudkan untuk
memperoleh keterangan, pendapat secara lisan sekaligus dapat
menarik makna dari keterangan yang dikemukakan informan.
Menurut
Dr.
Iskandar,M.Pd.(2009:129)
mengatakan
bahwa keunggulan utama wawancara ialah memungkinkan
peneliti mendapatkan jumlah data yang banyak. Wawancara
akan dilakukan kepada masyarakat di Kelurahan Borong
Rappoa.Peneliti memilih informan tertentu yang peneliti yakini
bahwa informan tersebut dapat memberikan data yang akurat
sesuai dengan masalah penelitian.
Wawancara dalam penelitian ini dimaksudkan untuk
mengumpulkan keterangan, pendapat masyarakat terhadap
penerapan Perda Syariat Islam dalam upaya menanggulangi
perilaku penyimpangan remaja. Untuk itu, maka model
wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur.
1.
Model wawancara terstruktur dimaksudkan disini adalah
dimana peneliti menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang
telah disusun sebelumnya berbentuk pedoman wawancara,
walaupun tidak harus diikuti secara sistematis, tetapi
pertanyaan-pertanyaan tersebut dijadikan sebagai pedoman
dalam wawancara yang dapat berkembang dilapangan.
Untuk wawancara terstruktur dilakukan pada Keluarga,
Tokoh Masyarakat, dan pengawal/pelaksana Perda Syariat
Islam.
2.
Model wawancara tidak terstruktur, pertanyaan tidak
disusun secara sistematis, akan tetapi pertanyaan bersifat
situasional. Dalam prakteknya kedua model wawancara
tersebut pada umumnya tidak dibatasi semata pada gejala
yang akan diamati. Oleh karena itu, wawancara tidak
terstruktur ditujukan pada remaja.
2) Observasi Partisipasi (Participant Observer)
Observasi partisipasi adalah suatu teknik pengumpulan
data dengan melakukan pengamatan terhadap fenomena tertentu
sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan serta
terlibat aktif dalam fenomena tersebut.Peneliti telah terlibat
langsung dalam pergaulan remaja-remaja yang menyimpang
dari Perda Syariat Islam.
Peneliti melakukan pengamatan secara terlibat langsung
dalam pergaulan remaja-remaja yang berperilaku menyimpang,
untuk mengetahui perkembangan secara spesifik yang terjadi
dalam perilaku penyimpangan remaja.
Pengamatan yang dilakukan harus secermat mungkin
sehingga dapat menghasilkan data yang valid, yang berarti
bahwa hasil pengamatan sesuai dengan kenyataan yang menjadi
sasaran penelitian.
Pengamatan dimaksudkan untuk menghimpun berbagai
fenomena yang berhubungan dengan perilaku penyimpangan
dikalangan remaja. Dalam pengamatan ini peneliti akan
menggunakan
catatan-catatan,
dan
kamera
sebagai
alat
dokumentasi observasi.
Pengumpulan data dilakukan langsung oleh peneliti
dengan pertimbangan; (1) peneliti merupakan alat yang peka
dan dapat bereaksi terhadap situasi dari lingkungan yang
diperkirakan bermakna bagi peneliti, dan (2) peneliti sebagai
alat yang dapat langsung menyesuaikan diri terhadap segala
aspek yang diteliti dan dapat segera menganalisis data yang
diperoleh.
3) Studi Dokumentasi
Analisis dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data
yang bersumber dari arsip dan dokumen baik yang berada di
tempat penelitian ataupun yang berada di luar tempat penelitian,
yang ada hubungannya dengan penelitian ini.Arikuntono
(2006:132) dalam Dr. Iskandar,M.Pd. (2009:134), teknik
dokumentasi yaitu “mencari data mengenai hal atau variable
yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya”.
g. Teknik Analisis Data
Analisis data pada penelitian kualitatif dimulai dari
pengumpulan
data
sampai
kepada
penarikan
kesimpulan
penelitian.Oleh karena itu peneliti merupakan instrumen utama
dalam penelitian. Data yang telah dikumpulkan setiap hari selama
penelitian akan dibuatkan laporan lapangan, untuk mengungkapkan
data apa yang masih perlu dicari, pertanyaan apa yang belum
dijawab, metode apa yang harus digunakan untuk mendapatkan
informasi baru, dan kesalahan apa yang perlu diperbaiki, serta data
yang mana yang tidak diperlukan.
1. Reduksi Data
Data yang diperoleh dilapangan langsung diketik dengan
rapi, terinci secara sistematis setiap selesai mengumpulkan
data.Laporan lapangan direduksi, yaitu dengan memilih hal-hal
pokok yang sesuai dengan masalah penelitian, selanjutnya diberi
tema dan kode pada aspek tertentu.
2. Pengambilan Kesimpulan
Mengambil kesimpulan merupakan analisis lanjutan dari
reduksi data, dan display data sehingga data dapat disimpulkan,
dan peneliti masih berpeluang untuk menerima masukan.
Penarikan kesimpulan sementara, masih dapat diuji kembali
dengan data di lapangan, dengan cara merefleksi kembali, peneliti
dapat bertukar fikiran dengan teman sejawat, triangulasi, sehingga
kebenaran ilmiah dapat tercapai. Setelah hasil penelitian telah
diuji kebenarannya, maka peneliti dapatmenarik kesimpulan
dalam bentuk deskriptif sebagai laporan penelitian (Dr.
Iskandar,M.Pd.;2009:142).
h. Pengabsahan Data
Dalam penelitian kualitatif, pengabsahan data merupakan salah
satu faktor yang sangat penting, karena tanpa pengabsahan data yang
diperoleh dari lapangan maka akan sulit seorang peneliti untuk
mempertanggungjawabkan hasil penelitiannya. Untuk melihat derajat
kebenaran dari hasil penelitian ini, maka dilakukan pemeriksaan data,
hal ini didasarkan pada pandangan Moleong (1990;173) dalam Dr.
Iskandar,M.Pd. (2009:151) yang mengisyaratkan bahwa “untuk
menetapkan
keabsahan
data
diperlukan
pemeriksaan
data”.
Pengabsahan data dalam penelitian ini, maka akan dilakukan dengan
melalui cara; (1) mendiskusikan dengan teman-teman mahasiswa S1
khususnya mahasiswa sosiologi baik secara formal maupun nonformal
atau mendiskusikan dengan para dosen sosiologi fisip unhas, (2)
dilakukan triangulasi dengan melakukan cross check dengan sumber
data yakni membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil
wawancara, (3) dilakukan pengamatan secara tekun, (4) dilakukan
pengecekan terhadap temuan dilapangan.
Download