BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Modal Sosial Modal sosial (social capital) dapat didefinisikan sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama, demi mencapai tujuan-tujuan bersama, di dalam berbagai kelompok dan organisasi (Coleman, 1999). Secara lebih komperehensif Burt (1992) mendefinsikan, modal sosial adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Fukuyama (1995) mendifinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilainilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Adapun Cox (1995) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama. Sejalan dengan Fukuyama dan Cox, Partha dan Ismail S. (1999) mendefinisikan, modal sosial sebagai hubungan - hubungan yang tercipta dan normanorma yang membentuk kualitas dan 5 kuantitas hubungan sosial 6 dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Pada jalur yang sama Solow (1999) mendefinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilainilai atau norma-norma yang diwujudkan dalam perilaku yang dapat mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas. Adapun menurut Cohen dan Prusak L. (2001), modal sosial adalah sebagai setiap hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Senada dengan Cohen dan Prusak L., Hasbullah (2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur unsur utamanya sepetri trust (rasa saling mempercayai), ketimbalbalikan, aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya. 2.1.2 Dimensi Modal Sosial Modal sosial (social capital) berbeda definisi dan terminologinya dengan human capital (Fukuyama, 1995). Bentuk human capital adalah ‘pengetahuan’ dan ‘ketrampilan’ manusia. Ivestasi human capital kovensional adalah dalam bentuk seperti halnya pendidikan universitas, pelatihan menjadi seorang mekanik atau programmer computer, atau menyelenggarakan pendidikan yang tepat lainnya. Sedangkan modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial dapat 7 dilembagakan dalam bentuk kelompok sosial paling kecil atau paling mendasar dan juga kelompok-kelompok masyarakat paling besar seperti halnya Negara (bangsa). Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme - mekanisme kultural seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000). Modal sosial dibutuhkan untuk menciptakan jenis komunitas moral yang tidak bisa diperoleh seperti dalam kasus bentukbentuk human capital. Akuisisi modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas dan dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan seperti kesetiaan, kejujuran, dan dependability. Modal sosial lebih didasarkan pada kebajikan-kebajikan sosial umum. Bank Dunia meyakini modal sosial adalah sebagai sesuatu yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma yang membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Modal sosial bukanlah sekedar deretan jumlah institusi atau kelompok yang menopang (underpinning) kehidupan sosial, melainkan dengan spektrum yang lebih luas. Yaitu sebagai perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Dimensi modal sosial tumbuh di dalam suatu masyarakat yang didalamnya berisi nilai dan norma serta pola-pola interaksi sosial dalam mengatur kehidupan keseharian anggotanya (Woolcock dan Narayan, 2000). Oleh karena itu Adler dan Kwon (2000) menyatakan, dimensi modal sosial adalah merupakan gambaran dari keterikatan internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas dan keuntungan-keuntungan bersama dari proses dinamika sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Dimensi modal sosial menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta 8 didalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi (Dasgupta dan Serageldin, 1999). Dimensi modal sosial inheren dalam struktur relasi sosial dan jaringan sosial di dalam suatu masyarakat yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi, dan menetapkan norma-norma, serta sangsi-sangsi sosial bagi para anggota masyarakat tersebut (Coleman, 1999). Namun demikian Fukuyama (1995, 2000) dengan tegas menyatakan, belum tentu norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku itu otomatis menjadi modal sosial. Akan tetapi hanyalah norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dibangkitkan oleh kepercayaan (trust). Dimana trust ini adalah merupakan harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas masyarakat yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh para anggotanya. Norma-norma tersebut bisa berisi pernyataan pernyataan yang berkisar pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan. Setidaknya dengan mendasarkan pada konsepsi-konsepsi sebelumnya, maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dimensi dari modal sosial adalah memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas hidupnya, dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus. Di dalam proses perubahan dan upaya mencapai tujuan tersebut, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma-norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku, serta berhubungan atau membangun jaringan dengan pihak lain. Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan ruh modal sosial antara lain: sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan 9 menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan normanorma yang mendukungnya. Unsur lain yang memegang peranan penting adalah kemauan masyarakat untuk secara terus menerus proaktif baik dalam mempertahakan nilai, membentuk jaringan kerjasama maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Inilah jati diri modal sosial yang sebenarnya. Oleh karena itu menurut Hasbullah (2006), dimensi inti telaah dari modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerjasama membangun suatu jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola inter relasi yang timbal balik dan saling menguntungkan serta dibangun diatas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mendukungnya. Definisi modal sosial, bersama dengan peran dan kegiatan social entrepreneur, telah menjadi subyek perdebatan. Klarifikasi dimensi modal sosial merupakan penelitian dengan prioritas tinggi (Putnam 1995a). Nahapiet dan Ghoshal, misalnya, membuat perbedaan yang berguna antara tiga dimensi modal sosial yaitu dimensi struktural (konfigurasi jaringan sosial), dimensi kognitif (sistem berbagi makna, narasi, bahasa), dan dimensi relasional (norma, kepercayaan, kewajiban). Pandangan struktural kami, kewirausahaan sosial menekankan dimensi pertama, menjelajahi struktur dasar modal sosial (lubang struktural terhadap kohesivitas sosial), strategi yang berhubungan dengan kewirausahaan (perpecahan vs serikat) dan hubungan antara konteks kelembagaan dan strategi. Perbedaan kita, seperti yang 10 kita menguraikan bawah, membantu untuk memperjelas perdebatan dan menyelesaikan beberapa kebingungan tentang pendekatan struktural untuk modal sosial dan kewirausahaan sosial. Meskipun kami menekankan dimensi struktural modal sosial, kami mengakui pentingnya dimensi kognitif dan relasional. 2.1.3 Tipologi Modal Sosial Mereka yang memiliki perhatian terhadap modal sosial pada umumnya tertarik untuk mengkaji kerekatan hubungan sosial dimana masyarakat terlibat didalamnya, terutama kaitannya dengan pola-pola interaksi sosial atau hubungan sosial antar anggota masyarakat atau kelompok dalam suatu kegiatan sosial. Bagaimana keanggotaan dan aktivitas mereka dalam suatu asosiasi sosial merupakan hal yang selalu menarik untuk dikaji. Dimensi lain yang juga sangat menarik perhatian adalah yang berkaitan dengan tipologi modal sosial, yaitu bagaimana perbedaan pola-pola interaksi berikut konsekuensinya antara modal sosial yang berbentuk bonding/exclusive atau bridging atau inclusive. Keduanya memiliki implikasi yang berbeda pada hasil-hasil yang dapat dicapai dan pengaruh-pengaruh yang dapat muncul dalam proses kehidupan dan pembangunan masyarakat. (a) Modal Sosial Terikat (Bonding Social Capital) Modal sosial terikat adalah cenderung bersifat eksklusif (Hasbullah, 2006). Apa yang menjadi karakteristik dasar yang melekat pada tipologi ini, sekaligus sebagai ciri khasnya, dalam konteks ide, relasi dan perhatian, adalah lebih berorientasi ke dalam (inward looking) dibandingkan dengan berorientasi keluar (outward looking). Ragam masyarakat yang menjadi anggota kelompok ini pada umumnya homogenius (cenderung homogen). 11 Di dalam bahasa lain bonding social capital ini dikenal pula sebagai ciri sacred society. Menurut Putman (1993), pada masyarakat sacred society dogma tertentu mendominasi dan mempertahankan struktur masyarakat yang totalitarian, hierarchical, dan tertutup. Di dalam pola interaksi sosial sehari-hari selalu dituntun oleh nilai-nilai dan norma norma yang menguntungkan level hierarki tertentu dan feodal. Hasbullah (2006) menyatakan, pada mayarakat yang bonded atau inward looking atau sacred, meskipun hubungan sosial yang tercipta memiliki tingkat kohesifitas yang kuat, akan tetapi kurang merefleksikan kemampuan masyarakat tersebut untuk menciptakan dan memiliki modal sosial yang kuat. Kekuatan yang tumbuh sekedar dalam batas kelompok dalam keadaan tertentu, setruktur hierarki feodal, kohesivitas yang bersifat bonding. Secara umum pola yang demikian ini akan lebih banyak membawa pengaruh negatif dibandingkan dengan pengaruh positifnya. Kekuatan interaksi sosial terkadang berkecenderungan untuk menjauhi, menghindar, bahkan pada situasi yang ekstrim mengidap kebencian terhadap masyarakat lain di luar kelompok, group, asosiasi dan sukunya. Oleh karena itu di dalam keikatannya dengan upaya pembangunan masyarakat di negara-negara berkembang saat ini, mengidentifikasi dan mengetahui secara seksama tentang kecenderungan dan konfigurasi modal sosial di masing-masing daerah menjadi salah satu kebutuhan utama. Dapat ditarik suatu benang merah bahwa, adalah keliru jika pada masyarakat tradisional yang socially inward looking kelompok-kelompok masyarakat yang terbentuk dikatakan tidak memiliki modal sosial. Modal sosial itu ada, akan tetapi kekuatannya terbatas pada satu dimensi saja, yaitu dimensi kohesivitas kelompok. Kohesivitas kelompok yang terbentuk karena faktor keeratan hubungan emosional 12 kedalam yang sangat kuat. Keeratan tersebut juga disebabkan oleh pola nilai yang melekat dalam setiap proses interaksi yang juga berpola tradisional. Mereka juga miskin dengan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat modern yang mengutamakan efisiensi produktivitas dan kompetisi yang dibangun atas prinsip pergaulan yang egaliter dan bebas. Konsekuensi lain dari sifat dan tipologi ketertutupan sosial ini adalah sulitnya mengembangkan ide baru, orientasi baru, dan nilai-nilai serta norma baru yang memperkaya nilai-nilai dan norma yang telah ada. Kelompok bonding social capital yang terbentuk pada akhirnya memiliki resistensi kuat terhadap perubahan. Pada situasi tertentu, kelompok masyakakat yang demikian bahkan akan menghambat hubungan yang kreatif dengan negara, dengan kelomok masyarakat lain, serta menghambat pembangunan masyarakat itu sendiri secara keseluruhan. Dampak negatif lain yang sangat menonjol di era modern ini adalah masih kuatnya dominasi kelompok masyarakat bonding social capital yang mewarnai kehidupan masyarakat atau bangsa (Putman, Leonardi, Nanetti, 1993). Konsekuensi akan kuat pula tingkat akamodasi masyarakat terhadap berbagai perilaku penyimpangan yang dilakukan oleh anggota kelompok terhadap kelompok lain atau negara, yang berada di luar kelompok mereka. Demikian pula sudah merupakan fakta umum, bahwa sering sekali sekelompok ilmuwan ekonomi, para perencana dan para praktisi pembangunan dibuat kaget dan gelisah mengamati hasil-hasil pembangunan yang dicapai. Antar daerah di suatu negara stimulus pembangunan yang dicapai cenderung sama, akan tetapi hasilnya jauh berbeda. Selama ini kajian-kajian penyebab terjadinya disparsitas tersebut diarahkan pada varian human capital yang ada di suatu wilayah atau daerah 13 dan beberapa faktor lainnya, akan tetapi mengabaikan adanya varian kultural yang direfleksikan oleh adanya variasi-variasi konfigurasi dan tipologi modal sosial. (b) Modal Sosial yang Menjembatani (Bridging Social Capital) Mengikuti Hasbullah (2006), bentuk modal sosial yang menjembatani ini biasa juga disebut bentuk modern dari suatu pengelompokan, group, asosiasi, atau masyarakat. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada prinsipprinsip universal tentang: (a) persamaan, (b) kebebasan, serta (c) nilai-nilai kemajemukan dan humanitarian (kemanusiaan, terbuka, dan mandiri). Prinsip persamaan, artinya setiap anggota dalam suatu kelompok masyarakat memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama. Setiap keputusan kelompok berdasarkan kesepakatan yang egaliter dari setiap anggota kelompok. Pimpinan kelompok masyarakat hanya menjalankan kesepakatan-kesepakatan yang telah ditentukan oleh para anggota kelompok. Prinsip kebebasan, artinya setiap anggota kelompok bebas berbicara, mengemukakan pendapat dan ide yang dapat mengembangkan kelompok tersebut. Iklim kebebasan yang tercipta memungkinkan ide-ide kreatif muncul dari dalam (kelompok), yaitu dari beragam pikiran anggotanya yang kelak akan memperkaya ide-ide kolektif yang tumbuh dalam kelompok tersebut. Prinsip kemajemukan dan humanitarian, artinya nilai-nilai kemanusiaan, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain yang merupakan prinsip dasar dalam pengembangan asosiasi, group, kelompok, atau suatu masyarakat. Kehendak kuat untuk membantu orang lain, merasakan penderitaan orang lain, berempati terhadap situasi yang dihadapi orang lain, adalah merupakan dasar-dasar ide humanitarian. 14 Sebagai konsekuensinya, masyarakat,yang menyandarkan pada bridging social capital biasanya hiterogen dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya dan suku. Setiap anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk membuat jaringan atau koneksi keluar kelompoknya dengan prinsip persamaan, kemanusiaan, dan kebebasan yang dimiliki. Bridging social capital akan membuka jalan untuk lebih cepat berkembang dengan kemampuan menciptakan networking yang kuat, menggerakkan identitas yang lebih luas dan reciprocity yang lebih variatif, serta akumulasi ide yang lebih memungkinkan untuk berkembang sesuai dengan prinsipprinsip pembangunan yang lebih diterima secara universal. Mengikuti Coleman (1999), tipologi masyarakat bridging social capital dalam gerakannya lebih memberikan tekanan pada demensi fight for (berjuang untuk). Yaitu yang mengarah kepada pencarian jawaban bersama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kelompok (pada situasi tertentu, termasuk problem di dalam kelompok atau problem yang terjadi di luar kelompok tersebut). Pada keadaan tertentu jiwa gerakan lebih diwarnai oleh semangat fight againts yang bersifat memberi perlawanan terhadap ancaman berupa kemungkinan runtuhnya simbul-simbul dan kepercayaan-kepercayaan tradisional yang dianut oleh kelompok masyarakat. Pada kelompok masyarakat yang demikian ini, perilaku kelompok yang dominan adalah sekedar sense of solidarity (solidarity making). Bentuk modal sosial yang menjembatani (bridging capital social) umumnya mampu memberikan kontribusi besar bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan masyarakat. Hasil-hasil kajian di banyak negara menunjukkan bahwa dengan tumbuhnya bentuk modal sosial yang menjembatani ini memungkinan perkembangan di banyak dimensi kehidupan, terkontrolnya korupsi, semakin efisiennya pekerjaan-pekerjaan pemerintah, mempercepat keberhasilan upaya 15 penanggulangan kemiskinan, kualitas hidup manusia akan meningkatkan dan bangsa menjadi jauh lebih kuat. Persoalannya menurut Hasbullah (2006), fakta yang ada di negara-negara berkembang menunjukkan kecenderungan bahwa dampak positif modal sosial dari mekanisme outward looking tidak berjalan seperti yang diidealkan. Walaupun asosiasi yang dibangun oleh masyarakat dengan keaggotaannya yang hiterogen dan dibentuk dengan focus dan jiwa untuk mengatasi problem sosial ekonomi masyarakat (problem solving oriented), akan tetapi tidak mampu bekerja secara optimal. Tabel 2.1 Modal Sosial Terikat dan Modal Sosial Menjembatani Bonding Social Capital Bridging Social Capital Terikat/ketat, raingan yang Terbuka eksklusif. Memiliki jaringan yang lebih Perbedaan yang kuat antara ‘orang kami’ Dn ‘orang luar’. fleksibel. Toleran. Hanya ada satu alternative jawaban. Memungkinkan untuk memiliki Sulit menerima arus perubahan. banyak alternative jawaban dan Kurang akomodatif terhadap pihak penyelesaian masalah. luar. Akomodatif untuk menerima perubahan. Mengutamakan kepentingan kelompok. Cenderung memiliki sikap yang Mengutamakan solidaritas altruistic, humanitaristik, dan kelompok. universal. Sumber: Hasbullah (2006) 16 2.1.4 Orientasi Kewirausahaan Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju kesuksesan. Beberapa literatur manajemen memberikan tiga landasan dimensi-dimensi dari kecenderungan organisasional untuk proses manajemen kewirausahaan, yakni kemampuan inovasi, kemampuan mengambil risiko, dan sifat proaktif (Weerawardeena, 2003; Matsuno, Mentzer dan Ozsomer, 2002). Kewirausahaan dikenal sebagai pendekatan baru dalam pembaruan kinerja perusahaan. Hal ini, tentu harus direspon secara positif oleh perusahaan yang mulai mencoba bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat krisis berkepanjangan. Kewirausahaan disebut-sebut sebagai spearhead (pelopor) untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi perusahaan berkelanjutan dan berdaya saing tinggi. Membangun kewirausahaan dinyatakan sebagai satu dari empat pilar dalam memperkuat lapangan pekerjaan. Sedangkan Wirausaha sendiri berarti suatu kegiatan manusia dengan mengerahkan tenaga pikiran atau badan untuk mencapai / menciptakan suatu pekerjaan yang dapat mewujudkan insan mulia. Dengan kata lain, wirausaha berarti manusia utama (unggul) dalam menghasilkan suatu pekerjaan bagi dirinya sendiri atau orang lain. Orang yang melakukan wirausaha dinamakan wirausahawan. Bentuk dari aplikasi atas sikap-sikap kewirausahaan dapat diindikasikan dengan orientasi kewirausahaan dengan indikasi kemampuan inovasi, proatifitas, dan kemampuan mengambil resiko (Looy et al. 2003). Kemampuan inovasi berhubungan dengan persepsi dan aktivitas terhadap aktivitas-aktivitas bisnis yang baru dan unik. Kemampuan berinovasi adalah titik penting dari kewirausahaan dan esensi dari karakteristik kewirausahaan. Beberapa hasil penelitian dan literature kewirausahaan menunjukkan bahwa orientasi 17 kewirausahaan lebih signifikan mempunyai kemampuan inovasi daripada yang tidak memiliki kemampuan dalam kewirausahaan. Proaktifitas seseorang untuk berusaha berprestasi merupakan petunjuk lain dari aplikasi atas orientasi kewirausahaan secara pribadi. Demikian pula bila suatu perusahaan menekankan proaktifitas dalam kegiatan bisnisnya, maka perusahaan tersebut telah melakukan aktifitas kewirausahaan yang akan secara otomatis mendorong tinginya kinerja (Weerawardena, 2003). Perusahaan dengan aktifitas kewirausahaan yang tinggi berarti tampak dari tingginya semangat yang tidak pernah padam karena hambatan, rintangan, dan tantangan. Sikap aktif dan dinamis adalah kata kuncinya. Seseorang yang berani mengambil risiko dapat didefinisikan sebagai seseorang yang berorientasi pada peluang dalam ketidakpastian konteks pengambilan keputusan. Hambatan risiko merupakan faktor kunci yang membedakan perusahaan dengan jiwa wirausaha dan tidak. Fungsi utama dari tingginya orientasi kewirausahaan adalah bagaimana melibatkan pengukuran risiko dan pengambilan risiko secara optimal (Looy et al. 2003). Penelitian ini mengadopsi indikator variabel orientasi kewirausahaan, yaitu: kemampuan berinovasi, proaktitas, dan keberanian dalam mengambil risiko seperti yang telah digunakan dalam penelitian Weerawardena (2003). Orientasi Wirausaha, atau beberapa dimensinya, telah dikaitkan dengan efek positif terkait dengan kinerja (Chow 2006; Coulthard 2007; De Clerq & Ruis 2007; Jantunen, Puumalainen, Saarenketo & Kylaheiko 2005) atau dengan hubungan negatif (Naldi, Nordqvist, Sjöberg & Wiklund 2007). Dimensi Komponen lima EO yaitu, inovasi, otonomi, proactiveness, agresivitas kompetitif dan pengambilan resiko, seperti yang disarankan oleh Lumpkin dan Dess (1996). 18 Inovasi Schumpeter (2002), "jenis murni genus pengusaha " adalah " pengusaha yang membatasi dirinya secara ketat dengan fungsi karakteristik kewirausahaan, pelaksanaan dari kombinasi baru ", dalam kata: 'inovasi'. Menurut Lumpkin dan Dess (1996), inovasi mencerminkan kecenderungan perusahaan "Untuk terlibat dan mendukung ide-ide baru, kebaruan, eksperimentasi, dan proses kreatif yang dapat mengakibatkan produk baru, jasa, atau proses teknologi ". Inovasi adalah sarana penting mengejar peluang dan sebagainya merupakan komponen penting dari orientasi kewirausahaan (Lumpkin & Dess, 1996). Otonomi Lumpkin dan Dess (1996) percaya bahwa "jiwa independen" diperlukan untuk kewirausahaan, dan otonomi mengacu pada tindakan independen dalam hal "membawa tindakan ide atau visi hingga bebas dan independen tujuan serta tercapai pengambilan ", termasuk keputusan. konsep "Sebuah kecenderungan independen dan tindakan otonom "adalah komponen kunci dari orientasi kewirausahaan, karena intensionalitas harus dilakukan. Proactiveness Proactiveness berkaitan dengan inisiatif dan keuntungan first mover, dan untuk "mengambil inisiatif dengan mengantisipasi dan mengejar peluang baru "(Lumpkin & Dess 1996). Proactiveness dikaitkan dengan kepemimpinan, dan tidak mengikuti, sebagai proaktif perusahaan "memiliki kemauan dan keinginan untuk menangkap peluang baru, bahkan jika bukan kita yang selalu menjadi orang pertama untuk melakukannya ", menurut Lumpkin dan Dess (1996). Proactiveness dianggap berbeda dari agresivitas kompetitif, yang berkaitan dengan peluang pasar dalam 19 kewirausahaan dengan "merebut inisiatif dan bertindak oportunis untuk membentuk lingkungan "(Lumpkin & Dess 1996). Kompetitif Agresivitas Kompetitif Agresivitas menurut Lumpkin dan Dess (1996), "mengacu pada kecenderungan perusahaan untuk secara langsung dan intens menantang pesaingnya untuk mencapai entri atau meningkatkan posisi "dan ditandai oleh tanggap dalam hal konfrontasi atau tindakan reaktif. Berbeda dengan proactiveness, yang berkaitan dengan peluang pasar, kompetitif agresivitas (Lumpkin & Dess 1996) mengacu pada bagaimana perusahaan "Berhubungan dengan pesaing" dan "menanggapi tren dan permintaan yang sudah ada di pasar ". Mengambil Resiko Metode atau gaya manajemen yang berhubungan dengan pengambilan risiko merupakan indikasi orientasi kewirausahaan. Namun, dalam konteks yang berbeda, efek dimensi orientasi kewirausahaan termasuk pengambilan risiko yang diharapkan berbeda dalam hal pengaruhnya terhadap kinerja sesuai dengan konteks spesifik (Lumpkin & Dess 1996). Setelah membahas berbagai dimensi Orientasi kewirausahaan, perlu untuk merefleksikan pengertian kinerja kewirausahaan dan bagaimana Orientasi kewirausahaan diambil sebagai indikator kinerja kewirausahaan. 2.1.5 Kinerja Kewirausahaan Pada umumnya, kisah tentang wirausaha sering menceritakan alasan- alasan yang menyebabkan keberhasilan dan kesuksesan mereka, namun jarang mereka menceritakan alasan- alasan kegagalan mereka. Pada kenyataanya terdapat juga wirausaha yang gagal. Berikut ini penyebab kegagalan wirausaha. 20 1) Kurangnya pengalaman manajemen Banyak wirausaha yang tidak sepenuhnya memahami sulitnya mengoperasikan sebuah perusahaan. Ada beberapa wirausaha yang akan memasuki dunia bisnis, tetapi mereka tidak tahu cara mengelolanya. Pada waktu persoalan bisnis muncul, mereka tidak mampu mengatasinya. Misalnya seorang wirausaha dengan latar belakang pendidikan teknik mungkin mempunyai kecakapan dalam desain produk. Tetapi dia tidak memahami akuntansi, keuangan, pemasaran, penjualan, dan manajemen SDM (Sumber Daya Manusia). Apabila disiplin bisnis ini diabaikan maka dapat menyebabkan kegagalan bisnis. 2) Kurang Mampu membuat perencanaan keuangan Wirausaha yang berpikir bahwa mereka akan mendapat modal yang cukup pada tahun – tahun pertama usaha mereka akan kehabisan modal sebelum akhir tahun pertama. Penyusunan anggaran yang kurang seimbang akan mengakibatkan defisit keuangan. Sehingga dalam menggunakan modal harus memerhatikan penggunaan untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. 3) Kurang mampu menganalisa lokasi Diantara para wirausaha berusaha menghemat biaya dengan menempati lokasi yang kurang menguntungkan. Penempatan lokasi seperti itu akan merugikan wirausaha itu sendiri, karena pelanggan tidak teertarik untuk datang ke lokasi tersebut. Pemilihan lokasi yang benar merupakan salah satu faktor penting dalam mendirikan sebuah usaha. 21 4) Bersifat boros Ada beberapa wirausaha yang lebih mengutamakan modal tetap daripada modal lancar. Misalnya mereka lebih memilih membeli mebel dan perlengkapan kantor baru dari pada yang bekas. Ini menyebabkan modal kerja yang sedianya untuk mengoperasikan perusahaan menjadi terbatas, sehingga akan menyebabkan timbulnya persoalan lain. 5) Kurang bersedia untuk berkorban Wirausaha harus berani berkorban dengan bekerja keras, terutama pada tahun – tahun yang merupakan masa pertumbuhan bisnis mereka. Mereka bersedia bekerja dengan jam kerja melebihi jam kerja rata-rata yang dilakukan oleh ornag lain. Mereka harus menghadapi kesulitan sehingga perusahaan menjadi kuat. Sejalan dengan pertimbangan kami bahwa kewirausahaan adalah sebuah mesin penting bagi generasi-mencakup kegiatan usaha, kami menganggap bahwa kinerja kewirausahaan merupakan salah satu ukuran kinerja kunci untuk penelitian kami. Menurut Lumpkin and Dess (1996), Kinerja Wirausaha didefinisikan sebagai jumlah inovasi organisasi, pembaharuan, dan upaya bertualang di mana inovasi melibatkan menciptakan dan memperkenalkan produk, proses produksi dan sistem organisasi. Pembaruan berarti revitalisasi operasi perusahaan dengan mengubah ruang lingkup bisnisnya, pendekatan kompetitif, dan memperoleh kemampuan baru dan kemudian secara kreatif memanfaatkan mereka untuk menambah nilai bagi pemegang saham. Mengawali berarti bahwa organisasi akan memasuki bisnis baru dengan memperluas operasi di pasar yang sudah ada atau yang baru. Pandangan kewirausahaan terhadap kinerja menganggap bahwa keunggulan 22 kinerja perusahaan relatif lebih kompetitif, sebagai sarjana manajemen strategis teru, Bukan merupakan ukuran yang cukup untuk kinerja kewirausahaan, hal ini terkait wawasan bahwa keunggulan kinerja mungkin tidak cukup untuk mengimbangi biaya kesempatan alternatif lain, premi likuiditas untuk waktu dan modal dan premi untuk bantalan ketidakpastian. Kewirausahaan peneliti lebih mempertimbangkan kinerja sebagai sejauh mana peluang berharga (sebagai contoh, entri baru) dieksploitasi, ada dengan menciptakan rente kewirausahaan. Definisi di atas kinerja kewirausahaan sebagai 'jumlah inovasi organisasi, pembaharuan, dan upaya bertualang' mungkin membuat kebingungan dengan ukuran orientasi kewirausahaan, Orientasi kewirausahaan didefinisikan sebagai indikasi sikap kewirausahaan dan praktek pada tingkat perusahaan, dengan demikian, Orientasi kewirausahaan menentukan kecenderungan perusahaan untuk menjadi wirausaha, dan merupakan ukuran dari sikap perusahaan untuk melakukan upaya kewirausahaan. Untuk menghindari kebingungan antara dua istilah, kita melihat kinerja kewirausahaan sebagai inisiatif kewirausahaan yang sebenarnya dalam hal inovasi, pembaharuan, dan bertualang dan karenanya sebagai manifestasi dari sikap kewirausahaan usaha. Bahkan melalui mungkin ada korelasi positif yang tinggi antara Orientasi kewirausahaan dan kinerja kewirausahaan kita melihat mereka sebagai berbeda dan terpisah membangun , misalnya, perusahaan dapat menampilkan rendahnya tingkat kinerja kewirausahaan meskipun tingkat tinggi dari Orientasi kewirausahaan sejak organisasi tidak mampu untuk mengubahnya kewirausahaan postur menjadi kinerja aktual kewirausahaan (misalnya: produk baru) atau karena jarak temporal antara perilaku kewirausahaan dan kinerja wirausaha yang sebenarnya. 23 Mengingat perbedaan antara kewirausahaan dalam konteks perusahaan mapan sebagai lawan organisasi yang baru didirikan, misalnya, dalam hal saham sumber daya, kami berharap dapat menemukan pola-pola yang berbeda dari kinerja kewirausahaan. Sedangkan untuk perusahaan yang baru didirikan menciptakan produk baru dan memperkenalkan mereka ke pasar baru adalah kunci untuk mengatasi kewajiban kebaruan, dalam konteks perusahaan mapan panjang berbagai jenis kegiatan inovasi mungkin menjadi penting untuk kelangsungan hidup dan kemakmuran. Sebagai contoh, sebuah produk penjualan atas yang memiliki basis pelanggan setia tidak harus diciptakan kembali atau diganti dengan produk baru, bahkan jika itu adalah 'tua' lebih, panjang barang atau jasa yang sukses jangka perlu diremajakan dan tidak perlu menjadi diganti untuk memuaskan hari ini pelanggan. sesuai kami berharap perusahaan mapan jangka panjang untuk menampilkan berbagai jenis kinerja kewirausahaan, dengan tingkat yang lebih rendah mungkin inovasi dalam hal produk baru atau pasar, tetapi tingkat yang lebih tinggi dari pembaharuan. Dengan demikian kita melihat kinerja kewirausahaan bukan sebagai manifestasi dari kebutuhan perusahaan untuk mengatasi kewajiban kebaruan. Tapi untuk mengatasi 'kewajiban ketuaan', Ditetapkan sebagai kewajiban yang dihadapi oleh perusahaan mapan untuk bersaing dengan perubahan dalam pengaturan lingkungan dan organisasi. Dalam cara yang sama, kita mungkin menemukan bahwa perusahaan mapan ditantang lebih dengan menyusut portofolio produk yang telah menjadi berlebihan diversifikasi selama bertahun-tahun. Berbeda dengan perspektif kewirausahaan tradisional, kita melihat langkah tersebut samasama kewirausahaan yang menambahkan produk baru. 24 2.2 Kerangka Pemikiran MODAL SOSIAL Dimensi Struktural Dimensi Kognitif Dimensi Relasional T1 KINERJA KEWIRAUSAHAAN Jumlah Inovasi Organisasi Pembaharuan T3 Upaya Bertualang ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN Otonomi Proaktif T2 Mengambil Resiko Inovasi Kompetitif Agresivitas Sumber : Data Peneliti , 2012 Gambar 2. 2 Kerangka Teoritis 2.3 Hipotesis H0 = Modal Social tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Kineja Kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta Ha= Modal Social memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Kineja Kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta H0 = Orientasi Kewirausahaan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Kinerja Kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta Ha = Orientasi Kewirausahaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Kinerja Kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta 25 H0 = Modal Social dan Orientasi Kewirausahaan tidak memiliki pengaruh secara simultan dan signifikan terhadap Kinerja Kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta Ha = Modal Social dan Orientasi Kewirausahaan memiliki pengaruh secara simultan dan signifikan terhadap Kinerja Kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta