kajian pustaka, kerangka pemikiran, dan hipotesis

advertisement
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN
HIPOTESIS
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1
Modal Sosial
Modal sosial (social capital) dapat didefinisikan sebagai kemampuan
masyarakat untuk bekerja bersama, demi mencapai tujuan-tujuan bersama, di dalam
berbagai kelompok dan organisasi (Coleman, 1999).
Secara lebih komperehensif Burt (1992) mendefinsikan, modal sosial adalah
kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain dan
selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan
ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain.
Fukuyama (1995) mendifinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilainilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu
kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Adapun Cox
(1995) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar
manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang
memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan
dan kebajikan bersama.
Sejalan dengan Fukuyama dan Cox, Partha dan Ismail S. (1999)
mendefinisikan, modal sosial sebagai hubungan - hubungan yang tercipta dan normanorma
yang
membentuk
kualitas
dan
5
kuantitas
hubungan
sosial
6
dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social
glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Pada jalur
yang sama Solow (1999) mendefinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilainilai atau norma-norma yang diwujudkan dalam perilaku yang dapat mendorong
kemampuan
dan
kapabilitas
untuk
bekerjasama
dan
berkoordinasi
untuk
menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas.
Adapun menurut Cohen dan Prusak L. (2001), modal sosial adalah sebagai
setiap hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), saling
pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang
mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat
dilakukan secara efisien dan efektif. Senada dengan Cohen dan Prusak L., Hasbullah
(2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan
kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih
baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur unsur utamanya sepetri
trust (rasa saling mempercayai), ketimbalbalikan, aturan-aturan kolektif dalam suatu
masyarakat atau bangsa dan sejenisnya.
2.1.2
Dimensi Modal Sosial
Modal sosial (social capital) berbeda definisi dan terminologinya dengan
human capital (Fukuyama, 1995). Bentuk human capital adalah ‘pengetahuan’ dan
‘ketrampilan’ manusia. Ivestasi human capital kovensional adalah dalam bentuk
seperti halnya pendidikan universitas, pelatihan menjadi seorang mekanik atau
programmer computer, atau menyelenggarakan pendidikan yang tepat lainnya.
Sedangkan modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di
dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial dapat
7
dilembagakan dalam bentuk kelompok sosial paling kecil atau paling mendasar dan
juga kelompok-kelompok masyarakat paling besar seperti halnya Negara (bangsa).
Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme - mekanisme kultural seperti
agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000). Modal sosial dibutuhkan
untuk menciptakan jenis komunitas moral yang tidak bisa diperoleh seperti dalam
kasus bentukbentuk human capital. Akuisisi modal sosial memerlukan pembiasaan
terhadap norma-norma moral sebuah komunitas dan dalam konteksnya sekaligus
mengadopsi kebajikan-kebajikan seperti kesetiaan, kejujuran, dan dependability.
Modal sosial lebih didasarkan pada kebajikan-kebajikan sosial umum.
Bank Dunia meyakini modal sosial adalah sebagai sesuatu yang merujuk ke
dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma yang
membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Modal sosial
bukanlah sekedar deretan jumlah institusi atau kelompok yang menopang
(underpinning) kehidupan sosial, melainkan dengan spektrum yang lebih luas. Yaitu
sebagai perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara
bersama-sama.
Dimensi modal sosial tumbuh di dalam suatu masyarakat yang didalamnya
berisi nilai dan norma serta pola-pola interaksi sosial dalam mengatur kehidupan
keseharian anggotanya (Woolcock dan Narayan, 2000). Oleh karena itu Adler dan
Kwon (2000) menyatakan, dimensi modal sosial adalah merupakan gambaran dari
keterikatan internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas dan
keuntungan-keuntungan bersama dari proses dinamika sosial yang terjadi di dalam
masyarakat.
Dimensi modal sosial menggambarkan segala sesuatu yang membuat
masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta
8
didalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi
(Dasgupta dan Serageldin, 1999). Dimensi modal sosial inheren dalam struktur relasi
sosial dan jaringan sosial di dalam suatu masyarakat yang menciptakan berbagai
ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran
informasi, dan menetapkan norma-norma, serta sangsi-sangsi sosial bagi para
anggota masyarakat tersebut (Coleman, 1999).
Namun demikian Fukuyama (1995, 2000) dengan tegas menyatakan, belum
tentu norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomani sebagai acuan bersikap,
bertindak, dan bertingkah-laku itu otomatis menjadi modal sosial. Akan tetapi
hanyalah norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dibangkitkan oleh kepercayaan
(trust). Dimana trust ini adalah merupakan harapan-harapan terhadap keteraturan,
kejujuran, dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas
masyarakat yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh para
anggotanya. Norma-norma tersebut bisa berisi pernyataan pernyataan yang berkisar
pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan.
Setidaknya dengan mendasarkan pada konsepsi-konsepsi sebelumnya, maka
dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dimensi dari modal sosial adalah memberikan
penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki
kualitas hidupnya, dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara
terus menerus. Di dalam proses perubahan dan upaya mencapai tujuan tersebut,
masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma-norma yang dipedomani
sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku, serta berhubungan atau
membangun jaringan dengan pihak lain.
Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan ruh modal sosial antara lain:
sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan
9
menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan normanorma yang mendukungnya. Unsur lain yang memegang peranan penting adalah
kemauan masyarakat untuk secara terus menerus proaktif baik dalam mempertahakan
nilai, membentuk jaringan kerjasama maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide
baru. Inilah jati diri modal sosial yang sebenarnya.
Oleh karena itu menurut Hasbullah (2006), dimensi inti telaah dari modal
sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerjasama
membangun suatu jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut
diwarnai oleh suatu pola inter relasi yang timbal balik dan saling menguntungkan
serta dibangun diatas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai
sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh
semangat proaktif membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip sikap yang
partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling
percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang
mendukungnya.
Definisi modal sosial, bersama dengan peran dan kegiatan social
entrepreneur, telah menjadi subyek perdebatan. Klarifikasi dimensi modal sosial
merupakan penelitian dengan prioritas tinggi (Putnam 1995a). Nahapiet dan Ghoshal,
misalnya, membuat perbedaan yang berguna antara tiga dimensi modal sosial yaitu
dimensi struktural (konfigurasi jaringan sosial), dimensi kognitif (sistem berbagi
makna, narasi, bahasa), dan dimensi relasional (norma, kepercayaan, kewajiban).
Pandangan struktural kami, kewirausahaan sosial menekankan dimensi pertama,
menjelajahi struktur dasar modal sosial (lubang struktural terhadap kohesivitas
sosial), strategi yang berhubungan dengan kewirausahaan (perpecahan vs serikat)
dan hubungan antara konteks kelembagaan dan strategi. Perbedaan kita, seperti yang
10
kita
menguraikan
bawah,
membantu
untuk
memperjelas
perdebatan
dan
menyelesaikan beberapa kebingungan tentang pendekatan struktural untuk modal
sosial dan kewirausahaan sosial. Meskipun kami menekankan dimensi struktural
modal sosial, kami mengakui pentingnya dimensi kognitif dan relasional.
2.1.3
Tipologi Modal Sosial
Mereka yang memiliki perhatian terhadap modal sosial pada umumnya
tertarik untuk mengkaji kerekatan hubungan sosial dimana masyarakat terlibat
didalamnya, terutama kaitannya dengan pola-pola interaksi sosial atau hubungan
sosial antar anggota masyarakat atau kelompok dalam suatu kegiatan sosial.
Bagaimana keanggotaan dan aktivitas mereka dalam suatu asosiasi sosial merupakan
hal yang selalu menarik untuk dikaji.
Dimensi lain yang juga sangat menarik perhatian adalah yang berkaitan
dengan tipologi modal sosial, yaitu bagaimana perbedaan pola-pola interaksi berikut
konsekuensinya antara modal sosial yang berbentuk bonding/exclusive atau bridging
atau inclusive. Keduanya memiliki implikasi yang berbeda pada hasil-hasil yang
dapat dicapai dan pengaruh-pengaruh yang dapat muncul dalam proses kehidupan
dan pembangunan masyarakat.
(a) Modal Sosial Terikat (Bonding Social Capital)
Modal sosial terikat adalah cenderung bersifat eksklusif (Hasbullah, 2006).
Apa yang menjadi karakteristik dasar yang melekat pada tipologi ini, sekaligus
sebagai ciri khasnya, dalam konteks ide, relasi dan perhatian, adalah lebih
berorientasi ke dalam (inward looking) dibandingkan dengan berorientasi keluar
(outward looking). Ragam masyarakat yang menjadi anggota kelompok ini pada
umumnya homogenius (cenderung homogen).
11
Di dalam bahasa lain bonding social capital ini dikenal pula sebagai ciri
sacred society. Menurut Putman (1993), pada masyarakat sacred society dogma
tertentu mendominasi dan mempertahankan struktur masyarakat yang totalitarian,
hierarchical, dan tertutup. Di dalam pola interaksi sosial sehari-hari selalu dituntun
oleh nilai-nilai dan norma norma yang menguntungkan level hierarki tertentu dan
feodal.
Hasbullah (2006) menyatakan, pada mayarakat yang bonded atau inward
looking atau sacred, meskipun hubungan sosial yang tercipta memiliki tingkat
kohesifitas yang kuat, akan tetapi kurang merefleksikan kemampuan masyarakat
tersebut untuk menciptakan dan memiliki modal sosial yang kuat. Kekuatan yang
tumbuh sekedar dalam batas kelompok dalam keadaan tertentu, setruktur hierarki
feodal, kohesivitas yang bersifat bonding.
Secara umum pola yang demikian ini akan lebih banyak membawa pengaruh
negatif dibandingkan dengan pengaruh positifnya. Kekuatan interaksi sosial
terkadang berkecenderungan untuk menjauhi, menghindar, bahkan pada situasi yang
ekstrim mengidap kebencian terhadap masyarakat lain di luar kelompok, group,
asosiasi dan sukunya. Oleh karena itu di dalam keikatannya dengan upaya
pembangunan masyarakat di negara-negara berkembang saat ini, mengidentifikasi
dan mengetahui secara seksama tentang kecenderungan dan konfigurasi modal sosial
di masing-masing daerah menjadi salah satu kebutuhan utama.
Dapat ditarik suatu benang merah bahwa, adalah keliru jika pada masyarakat
tradisional yang socially inward looking kelompok-kelompok masyarakat yang
terbentuk dikatakan tidak memiliki modal sosial. Modal sosial itu ada, akan tetapi
kekuatannya terbatas pada satu dimensi saja, yaitu dimensi kohesivitas kelompok.
Kohesivitas kelompok yang terbentuk karena faktor keeratan hubungan emosional
12
kedalam yang sangat kuat. Keeratan tersebut juga disebabkan oleh pola nilai yang
melekat dalam setiap proses interaksi yang juga berpola tradisional.
Mereka juga miskin dengan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat modern
yang mengutamakan efisiensi produktivitas dan kompetisi yang dibangun atas
prinsip pergaulan yang egaliter dan bebas. Konsekuensi lain dari sifat dan tipologi
ketertutupan sosial ini adalah sulitnya mengembangkan ide baru, orientasi baru, dan
nilai-nilai serta norma baru yang memperkaya nilai-nilai dan norma yang telah ada.
Kelompok bonding social capital yang terbentuk pada akhirnya memiliki resistensi
kuat terhadap perubahan. Pada situasi tertentu, kelompok masyakakat yang demikian
bahkan akan menghambat hubungan yang kreatif dengan negara, dengan kelomok
masyarakat lain, serta menghambat pembangunan masyarakat itu sendiri secara
keseluruhan.
Dampak negatif lain yang sangat menonjol di era modern ini adalah masih
kuatnya dominasi kelompok masyarakat bonding social capital yang mewarnai
kehidupan masyarakat atau bangsa (Putman, Leonardi, Nanetti, 1993). Konsekuensi
akan kuat pula tingkat akamodasi masyarakat terhadap berbagai perilaku
penyimpangan yang dilakukan oleh anggota kelompok terhadap kelompok lain atau
negara, yang berada di luar kelompok mereka.
Demikian pula sudah merupakan fakta umum, bahwa sering sekali
sekelompok ilmuwan ekonomi, para perencana dan para praktisi pembangunan
dibuat kaget dan gelisah mengamati hasil-hasil pembangunan yang dicapai. Antar
daerah di suatu negara stimulus pembangunan yang dicapai cenderung sama, akan
tetapi hasilnya jauh berbeda. Selama ini kajian-kajian penyebab terjadinya disparsitas
tersebut diarahkan pada varian human capital yang ada di suatu wilayah atau daerah
13
dan beberapa faktor lainnya, akan tetapi mengabaikan adanya varian kultural yang
direfleksikan oleh adanya variasi-variasi konfigurasi dan tipologi modal sosial.
(b) Modal Sosial yang Menjembatani (Bridging Social Capital)
Mengikuti Hasbullah (2006), bentuk modal sosial yang menjembatani ini
biasa juga disebut bentuk modern dari suatu pengelompokan, group, asosiasi, atau
masyarakat. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada prinsipprinsip universal tentang: (a) persamaan, (b) kebebasan, serta (c) nilai-nilai
kemajemukan dan humanitarian (kemanusiaan, terbuka, dan mandiri).
Prinsip persamaan, artinya setiap anggota dalam suatu kelompok masyarakat
memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama. Setiap keputusan kelompok
berdasarkan kesepakatan yang egaliter dari setiap anggota kelompok. Pimpinan
kelompok masyarakat hanya menjalankan kesepakatan-kesepakatan yang telah
ditentukan oleh para anggota kelompok. Prinsip kebebasan, artinya setiap anggota
kelompok bebas berbicara, mengemukakan pendapat dan ide yang dapat
mengembangkan kelompok tersebut. Iklim kebebasan yang tercipta memungkinkan
ide-ide kreatif muncul dari dalam (kelompok), yaitu dari beragam pikiran anggotanya
yang kelak akan memperkaya ide-ide kolektif yang tumbuh dalam kelompok
tersebut.
Prinsip kemajemukan dan humanitarian, artinya nilai-nilai kemanusiaan,
penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain yang merupakan
prinsip dasar dalam pengembangan asosiasi, group, kelompok, atau suatu
masyarakat. Kehendak kuat untuk membantu orang lain, merasakan penderitaan
orang lain, berempati terhadap situasi yang dihadapi orang lain, adalah merupakan
dasar-dasar ide humanitarian.
14
Sebagai konsekuensinya, masyarakat,yang menyandarkan pada bridging
social capital biasanya hiterogen dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya
dan suku. Setiap anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk membuat
jaringan atau koneksi keluar kelompoknya dengan prinsip persamaan, kemanusiaan,
dan kebebasan yang dimiliki. Bridging social capital akan membuka jalan untuk
lebih cepat berkembang dengan kemampuan menciptakan networking yang kuat,
menggerakkan identitas yang lebih luas dan reciprocity yang lebih variatif, serta
akumulasi ide yang lebih memungkinkan untuk berkembang sesuai dengan prinsipprinsip pembangunan yang lebih diterima secara universal.
Mengikuti Coleman (1999), tipologi masyarakat bridging social capital
dalam gerakannya lebih memberikan tekanan pada demensi fight for (berjuang
untuk). Yaitu yang mengarah kepada pencarian jawaban bersama untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kelompok (pada situasi tertentu,
termasuk problem di dalam kelompok atau problem yang terjadi di luar kelompok
tersebut). Pada keadaan tertentu jiwa gerakan lebih diwarnai oleh semangat fight
againts yang bersifat memberi perlawanan terhadap ancaman berupa kemungkinan
runtuhnya simbul-simbul dan kepercayaan-kepercayaan tradisional yang dianut oleh
kelompok masyarakat. Pada kelompok masyarakat yang demikian ini, perilaku
kelompok yang dominan adalah sekedar sense of solidarity (solidarity making).
Bentuk modal sosial yang menjembatani (bridging capital social) umumnya
mampu memberikan kontribusi besar bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan
masyarakat. Hasil-hasil kajian di banyak negara menunjukkan bahwa dengan
tumbuhnya
bentuk
modal
sosial
yang
menjembatani
ini
memungkinan
perkembangan di banyak dimensi kehidupan, terkontrolnya korupsi, semakin
efisiennya pekerjaan-pekerjaan pemerintah, mempercepat keberhasilan upaya
15
penanggulangan kemiskinan, kualitas hidup manusia akan meningkatkan dan bangsa
menjadi jauh lebih kuat.
Persoalannya menurut Hasbullah (2006), fakta yang ada di negara-negara
berkembang menunjukkan kecenderungan bahwa dampak positif modal sosial dari
mekanisme outward looking tidak berjalan seperti yang diidealkan. Walaupun
asosiasi yang dibangun oleh masyarakat dengan keaggotaannya yang hiterogen dan
dibentuk dengan focus dan jiwa untuk mengatasi problem sosial ekonomi masyarakat
(problem solving oriented), akan tetapi tidak mampu bekerja secara optimal.
Tabel 2.1 Modal Sosial Terikat dan Modal Sosial Menjembatani
Bonding Social Capital


Bridging Social Capital
Terikat/ketat, raingan yang

Terbuka
eksklusif.

Memiliki jaringan yang lebih
Perbedaan yang kuat antara ‘orang
kami’ Dn ‘orang luar’.
fleksibel.

Toleran.

Hanya ada satu alternative jawaban. 
Memungkinkan untuk memiliki

Sulit menerima arus perubahan.
banyak alternative jawaban dan

Kurang akomodatif terhadap pihak
penyelesaian masalah.
luar.

Akomodatif untuk menerima
perubahan.
Mengutamakan kepentingan
kelompok.



Cenderung memiliki sikap yang
Mengutamakan solidaritas
altruistic, humanitaristik, dan
kelompok.
universal.
Sumber: Hasbullah (2006)
16
2.1.4
Orientasi Kewirausahaan
Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar,
kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju kesuksesan. Beberapa literatur
manajemen memberikan tiga landasan dimensi-dimensi dari kecenderungan
organisasional untuk proses manajemen kewirausahaan, yakni kemampuan inovasi,
kemampuan mengambil risiko, dan sifat proaktif (Weerawardeena, 2003; Matsuno,
Mentzer dan Ozsomer, 2002).
Kewirausahaan dikenal sebagai pendekatan baru dalam pembaruan kinerja
perusahaan. Hal ini, tentu harus direspon secara positif oleh perusahaan yang mulai
mencoba bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat krisis berkepanjangan.
Kewirausahaan disebut-sebut sebagai spearhead (pelopor) untuk mewujudkan
pertumbuhan ekonomi perusahaan berkelanjutan dan berdaya saing tinggi.
Membangun kewirausahaan dinyatakan sebagai satu dari empat pilar dalam
memperkuat lapangan pekerjaan. Sedangkan Wirausaha sendiri berarti suatu kegiatan
manusia dengan mengerahkan tenaga pikiran atau badan untuk mencapai /
menciptakan suatu pekerjaan yang dapat mewujudkan insan mulia. Dengan kata lain,
wirausaha berarti manusia utama (unggul) dalam menghasilkan suatu pekerjaan bagi
dirinya sendiri atau orang lain. Orang yang melakukan wirausaha dinamakan
wirausahawan. Bentuk dari aplikasi atas sikap-sikap kewirausahaan dapat
diindikasikan dengan orientasi kewirausahaan dengan indikasi kemampuan inovasi,
proatifitas, dan kemampuan mengambil resiko (Looy et al. 2003).
Kemampuan inovasi berhubungan dengan persepsi dan aktivitas terhadap
aktivitas-aktivitas bisnis yang baru dan unik. Kemampuan berinovasi adalah titik
penting dari kewirausahaan dan esensi dari karakteristik kewirausahaan. Beberapa
hasil penelitian dan literature kewirausahaan menunjukkan bahwa orientasi
17
kewirausahaan lebih signifikan mempunyai kemampuan inovasi daripada yang tidak
memiliki kemampuan dalam kewirausahaan.
Proaktifitas seseorang untuk berusaha berprestasi merupakan petunjuk lain
dari aplikasi atas orientasi kewirausahaan secara pribadi. Demikian pula bila suatu
perusahaan menekankan proaktifitas dalam kegiatan bisnisnya, maka perusahaan
tersebut telah melakukan aktifitas kewirausahaan yang akan secara otomatis
mendorong tinginya kinerja (Weerawardena, 2003). Perusahaan dengan aktifitas
kewirausahaan yang tinggi berarti tampak dari tingginya semangat yang tidak pernah
padam karena hambatan, rintangan, dan tantangan. Sikap aktif dan dinamis adalah
kata kuncinya.
Seseorang yang berani mengambil risiko dapat didefinisikan sebagai
seseorang yang berorientasi pada peluang dalam ketidakpastian konteks pengambilan
keputusan. Hambatan risiko merupakan faktor kunci yang membedakan perusahaan
dengan jiwa wirausaha dan tidak. Fungsi utama dari tingginya orientasi
kewirausahaan adalah bagaimana melibatkan pengukuran risiko dan pengambilan
risiko secara optimal (Looy et al. 2003).
Penelitian ini mengadopsi indikator variabel orientasi kewirausahaan, yaitu:
kemampuan berinovasi, proaktitas, dan keberanian dalam mengambil risiko seperti
yang telah digunakan dalam penelitian Weerawardena (2003).
Orientasi Wirausaha, atau beberapa dimensinya, telah dikaitkan dengan efek
positif terkait dengan kinerja (Chow 2006; Coulthard 2007; De Clerq & Ruis 2007;
Jantunen, Puumalainen, Saarenketo & Kylaheiko 2005) atau dengan hubungan
negatif (Naldi, Nordqvist, Sjöberg & Wiklund 2007). Dimensi Komponen lima EO yaitu, inovasi, otonomi, proactiveness, agresivitas kompetitif dan pengambilan
resiko, seperti yang disarankan oleh Lumpkin dan Dess (1996).
18
Inovasi
Schumpeter (2002), "jenis murni genus pengusaha " adalah " pengusaha yang
membatasi dirinya secara ketat dengan fungsi karakteristik kewirausahaan,
pelaksanaan dari kombinasi baru ", dalam kata: 'inovasi'. Menurut Lumpkin dan Dess
(1996), inovasi mencerminkan kecenderungan perusahaan "Untuk terlibat dan
mendukung ide-ide baru, kebaruan, eksperimentasi, dan proses kreatif yang dapat
mengakibatkan produk baru, jasa, atau proses teknologi ". Inovasi adalah sarana
penting mengejar peluang dan sebagainya merupakan komponen penting dari
orientasi kewirausahaan (Lumpkin & Dess, 1996).
Otonomi
Lumpkin dan Dess (1996) percaya bahwa "jiwa independen" diperlukan
untuk kewirausahaan, dan otonomi mengacu pada tindakan independen dalam hal
"membawa
tindakan
ide
atau
visi
hingga
bebas
dan
independen
tujuan
serta
tercapai
pengambilan
",
termasuk
keputusan.
konsep
"Sebuah
kecenderungan independen dan tindakan otonom "adalah komponen kunci dari
orientasi kewirausahaan, karena intensionalitas harus dilakukan.
Proactiveness
Proactiveness berkaitan dengan inisiatif dan keuntungan first mover, dan
untuk "mengambil inisiatif dengan mengantisipasi dan mengejar peluang baru
"(Lumpkin & Dess 1996). Proactiveness dikaitkan dengan kepemimpinan, dan tidak
mengikuti, sebagai proaktif perusahaan "memiliki kemauan dan keinginan untuk
menangkap peluang baru, bahkan jika bukan kita yang selalu menjadi orang pertama
untuk melakukannya ", menurut Lumpkin dan Dess (1996). Proactiveness dianggap
berbeda dari agresivitas kompetitif, yang berkaitan dengan peluang pasar dalam
19
kewirausahaan dengan "merebut inisiatif dan bertindak oportunis untuk membentuk
lingkungan "(Lumpkin & Dess 1996).
Kompetitif Agresivitas
Kompetitif Agresivitas menurut Lumpkin dan Dess (1996), "mengacu pada
kecenderungan perusahaan untuk secara langsung dan intens menantang pesaingnya
untuk mencapai entri atau meningkatkan posisi "dan ditandai oleh tanggap dalam hal
konfrontasi atau tindakan reaktif. Berbeda dengan proactiveness, yang berkaitan
dengan peluang pasar, kompetitif agresivitas (Lumpkin & Dess 1996) mengacu pada
bagaimana perusahaan "Berhubungan dengan pesaing" dan "menanggapi tren dan
permintaan yang sudah ada di pasar ".
Mengambil Resiko
Metode atau gaya manajemen yang berhubungan dengan pengambilan risiko
merupakan indikasi orientasi kewirausahaan. Namun, dalam konteks yang berbeda,
efek dimensi orientasi kewirausahaan termasuk pengambilan risiko yang diharapkan
berbeda dalam hal pengaruhnya terhadap kinerja sesuai dengan konteks spesifik
(Lumpkin & Dess 1996).
Setelah membahas berbagai dimensi Orientasi
kewirausahaan, perlu untuk merefleksikan pengertian kinerja kewirausahaan dan
bagaimana
Orientasi
kewirausahaan
diambil
sebagai
indikator
kinerja
kewirausahaan.
2.1.5
Kinerja Kewirausahaan
Pada umumnya, kisah tentang wirausaha sering menceritakan alasan- alasan
yang menyebabkan keberhasilan dan kesuksesan mereka, namun jarang mereka
menceritakan alasan- alasan kegagalan mereka. Pada kenyataanya terdapat juga
wirausaha yang gagal. Berikut ini penyebab kegagalan wirausaha.
20
1) Kurangnya pengalaman manajemen
Banyak wirausaha yang tidak sepenuhnya memahami sulitnya
mengoperasikan sebuah perusahaan. Ada beberapa wirausaha yang akan
memasuki dunia bisnis, tetapi mereka tidak tahu cara mengelolanya.
Pada waktu persoalan bisnis muncul, mereka tidak mampu
mengatasinya. Misalnya seorang wirausaha dengan latar belakang pendidikan
teknik mungkin mempunyai kecakapan dalam desain produk. Tetapi dia tidak
memahami akuntansi, keuangan, pemasaran, penjualan, dan manajemen SDM
(Sumber Daya Manusia). Apabila disiplin bisnis ini diabaikan maka dapat
menyebabkan kegagalan bisnis.
2) Kurang Mampu membuat perencanaan keuangan
Wirausaha yang berpikir bahwa mereka akan mendapat modal yang
cukup pada tahun – tahun pertama usaha mereka akan kehabisan modal
sebelum akhir tahun pertama. Penyusunan anggaran yang kurang seimbang
akan mengakibatkan defisit keuangan. Sehingga dalam menggunakan modal
harus memerhatikan penggunaan untuk masa sekarang dan masa yang akan
datang.
3) Kurang mampu menganalisa lokasi
Diantara para wirausaha berusaha menghemat biaya dengan
menempati lokasi yang kurang menguntungkan. Penempatan lokasi seperti itu
akan merugikan wirausaha itu sendiri, karena pelanggan tidak teertarik untuk
datang ke lokasi tersebut. Pemilihan lokasi yang benar merupakan salah satu
faktor penting dalam mendirikan sebuah usaha.
21
4) Bersifat boros
Ada beberapa wirausaha yang lebih mengutamakan modal tetap
daripada modal lancar. Misalnya mereka lebih memilih membeli mebel dan
perlengkapan kantor baru dari pada yang bekas. Ini menyebabkan modal
kerja yang sedianya untuk mengoperasikan perusahaan menjadi terbatas,
sehingga akan menyebabkan timbulnya persoalan lain.
5) Kurang bersedia untuk berkorban
Wirausaha harus berani berkorban dengan bekerja keras, terutama
pada tahun – tahun yang merupakan masa pertumbuhan bisnis mereka.
Mereka bersedia bekerja dengan jam kerja melebihi jam kerja rata-rata yang
dilakukan oleh ornag lain. Mereka harus menghadapi kesulitan sehingga
perusahaan menjadi kuat.
Sejalan dengan pertimbangan kami bahwa kewirausahaan adalah sebuah
mesin penting bagi generasi-mencakup kegiatan usaha, kami menganggap bahwa
kinerja kewirausahaan merupakan salah satu ukuran kinerja kunci untuk penelitian
kami. Menurut Lumpkin and Dess (1996), Kinerja Wirausaha didefinisikan sebagai
jumlah inovasi organisasi, pembaharuan, dan upaya bertualang di mana inovasi
melibatkan menciptakan dan memperkenalkan produk, proses produksi dan sistem
organisasi.
Pembaruan berarti revitalisasi operasi perusahaan dengan mengubah ruang
lingkup bisnisnya, pendekatan kompetitif, dan memperoleh kemampuan baru dan
kemudian secara kreatif memanfaatkan mereka untuk menambah nilai bagi
pemegang saham. Mengawali berarti bahwa organisasi akan memasuki bisnis baru
dengan memperluas operasi di pasar yang sudah ada atau yang baru.
Pandangan kewirausahaan terhadap kinerja menganggap bahwa keunggulan
22
kinerja perusahaan relatif lebih kompetitif, sebagai sarjana manajemen strategis teru,
Bukan merupakan ukuran yang cukup untuk kinerja kewirausahaan, hal ini terkait
wawasan bahwa keunggulan kinerja mungkin tidak cukup untuk mengimbangi biaya
kesempatan alternatif lain, premi likuiditas untuk waktu dan modal dan premi untuk
bantalan ketidakpastian. Kewirausahaan peneliti lebih mempertimbangkan kinerja
sebagai sejauh mana peluang berharga (sebagai contoh, entri baru) dieksploitasi, ada
dengan menciptakan rente kewirausahaan.
Definisi di atas kinerja kewirausahaan sebagai 'jumlah inovasi organisasi,
pembaharuan, dan upaya bertualang' mungkin membuat kebingungan dengan ukuran
orientasi kewirausahaan, Orientasi kewirausahaan didefinisikan sebagai indikasi
sikap kewirausahaan dan praktek pada tingkat perusahaan, dengan demikian,
Orientasi kewirausahaan menentukan kecenderungan perusahaan untuk menjadi
wirausaha, dan merupakan ukuran dari sikap perusahaan untuk melakukan upaya
kewirausahaan.
Untuk menghindari kebingungan antara dua istilah, kita melihat kinerja
kewirausahaan sebagai inisiatif kewirausahaan yang sebenarnya dalam hal inovasi,
pembaharuan, dan bertualang dan karenanya sebagai manifestasi dari sikap
kewirausahaan usaha. Bahkan melalui mungkin ada korelasi positif yang tinggi
antara Orientasi kewirausahaan dan kinerja kewirausahaan kita melihat mereka
sebagai berbeda dan terpisah membangun , misalnya, perusahaan dapat menampilkan
rendahnya tingkat kinerja kewirausahaan meskipun tingkat tinggi dari Orientasi
kewirausahaan sejak organisasi tidak mampu untuk mengubahnya kewirausahaan
postur menjadi kinerja aktual kewirausahaan (misalnya: produk baru) atau karena
jarak temporal antara perilaku kewirausahaan dan kinerja wirausaha yang
sebenarnya.
23
Mengingat perbedaan antara kewirausahaan dalam konteks perusahaan
mapan sebagai lawan organisasi yang baru didirikan, misalnya, dalam hal saham
sumber daya, kami berharap dapat menemukan pola-pola yang berbeda dari kinerja
kewirausahaan. Sedangkan untuk perusahaan yang baru didirikan menciptakan
produk baru dan memperkenalkan mereka ke pasar baru adalah kunci untuk
mengatasi kewajiban kebaruan, dalam konteks perusahaan mapan panjang berbagai
jenis kegiatan inovasi mungkin menjadi penting untuk kelangsungan hidup dan
kemakmuran. Sebagai contoh, sebuah produk penjualan atas yang memiliki basis
pelanggan setia tidak harus diciptakan kembali atau diganti dengan produk baru,
bahkan jika itu adalah 'tua' lebih, panjang barang atau jasa yang sukses jangka perlu
diremajakan dan tidak perlu menjadi diganti untuk memuaskan hari ini pelanggan.
sesuai kami berharap perusahaan mapan jangka panjang untuk menampilkan
berbagai jenis kinerja kewirausahaan, dengan tingkat yang lebih rendah mungkin
inovasi dalam hal produk baru atau pasar, tetapi tingkat yang lebih tinggi dari
pembaharuan. Dengan demikian kita melihat kinerja kewirausahaan bukan sebagai
manifestasi dari kebutuhan perusahaan untuk mengatasi kewajiban kebaruan.
Tapi untuk mengatasi 'kewajiban ketuaan', Ditetapkan sebagai kewajiban
yang dihadapi oleh perusahaan mapan untuk bersaing dengan perubahan dalam
pengaturan lingkungan dan organisasi. Dalam cara yang sama, kita mungkin
menemukan bahwa perusahaan mapan ditantang lebih dengan menyusut portofolio
produk yang telah menjadi berlebihan diversifikasi selama bertahun-tahun. Berbeda
dengan perspektif kewirausahaan tradisional, kita melihat langkah tersebut samasama kewirausahaan yang menambahkan produk baru.
24
2.2
Kerangka Pemikiran
MODAL SOSIAL
Dimensi Struktural
Dimensi Kognitif
Dimensi Relasional
T1
KINERJA KEWIRAUSAHAAN
Jumlah Inovasi Organisasi
Pembaharuan
T3
Upaya Bertualang
ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN
Otonomi
Proaktif
T2
Mengambil Resiko
Inovasi
Kompetitif Agresivitas
Sumber : Data Peneliti , 2012
Gambar 2. 2 Kerangka Teoritis
2.3
Hipotesis

H0 = Modal Social tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Kineja
Kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta
Ha= Modal Social memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Kineja
Kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta

H0 = Orientasi Kewirausahaan tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap Kinerja Kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta
Ha = Orientasi Kewirausahaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
Kinerja Kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta
25

H0 = Modal Social dan Orientasi Kewirausahaan tidak memiliki pengaruh
secara simultan dan signifikan terhadap Kinerja Kewirausahaan pada PT.
Mentari Esa Cipta
Ha = Modal Social dan Orientasi Kewirausahaan memiliki pengaruh secara
simultan dan signifikan terhadap Kinerja Kewirausahaan pada PT. Mentari
Esa Cipta
Download