BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Human Immunodeficiency Virus termasuk ke dalam keluarga retroviridae
dan merupakan subfamili dari lentivirus. Terdapat dua tipe HIV, yaitu HIV-1 dan
HIV-2. Penyebab utama kasus HIV di seluruh dunia, termasuk USA adalah HIV1. Baik HIV-1 maupun HIV-2 merupakan infeksi zoonosis. Salah satu spesies
simpanse, Pan troglodytes troglodytes, telah ditetapkan sebagai reservoir alami
dari HIV-1 dan yang paling dicurigai sebagai sumber infeksi ke manusia. HIV-2
secara filogenetik lebih dekat dengan Simian Immunodeficiency Virus (SIV) yang
ditemukan pada sooty mangabeys dibanding HIV-1 (Fauci, et al., 2008).
Hubungan taksonomi di antara lentivirus pada primata ditunjukan pada gambar di
bawah ini.
Gambar 2.1 Pohon filogenetik berdasarkan struktur genom virus
immunodefisiensi primata (Fauci, et al., 2008)
5
Gambar 2.2 Struktur virus HIV (Fauci, et al., 2008)
HIV merupakan virus RNA yang dapat melakukan reverse transcription
terhadap genomnya dari RNA ke DNA dengan enzim reverse transcriptase.
Siklus replikasi HIV dimulai dengan penempelan yang kuat dari protein p120
terhadap reseptornya di permukaan sel host yaitu CD4. CD4 merupakan sebuah
protein dengan berat 55-kDa yang ditemukan secara dominan pada bagian limfosit
T yang bertanggung jawab terhadap sistem imun. CD4 juga terdapat pada
permukaan monosit/makrofag dan sel dendritik/Langerhans. Sekali gp120 terikat
ke CD4, maka gp120 akan mengalami perubahan untuk memfasilitasi pengikatan
terhadap co-reseptor yang lain. Dua co-reseptor utama pada HIV-1 adalah CCR5
dan CXCR4. Kedua reseptor ini penting bagi virus untuk masuk ke dalam sel.
Setelah pengikatan gp120 terhadap CD4, maka fusi akan terjadi melalui
terpaparnya gp41 yang melakukan penetrasi ke plasma membran target sel dan
kemudian menggulung dirinya sendiri untuk membawa virion dan target sel
secara bersama-sama. Selanjutnya, komplek preintegrasi, yang terdiri dari virus
RNA dan enzim serta dikelilingi oleh lapisan kapsid protein, dilepaskan ke dalam
sitoplasma target sel. Komplek preintegrasi ini akan melintasi sitoplasma untuk
mencapai nucleus. Enzim reverse transcriptase dari virus akan menyebabkan
transkripsi balik dari genom RNA menjadi DNA, dan lapisan protein akan terbuka
untuk melepaskan double-stranded HIV DNA. Pada titik siklus replikasi ini,
genom virus sangat rentan terhadap faktor seluler yang dapat menghambat
progresivitas dari infeksi tersebut (Paul, 2008; Merati and Djauzi, 2009).
Dengan aktivasi sel, virus DNA akan masuk ke dalam nucleus, dimana
virus akan diintegrasikan ke dalam kromosom host melalui aktivasi enzim
integrase. Provirus HIV (DNA) secara selektif bergabung dengan DNA nuclear
ke dalam intron dari gen yang aktif. Provirus ini bisa tetap dalam keadaan
transkripsional inaktif (latent) atau akan bermanifes dalam berbagai tingkat
ekspresi gen sampai terjadi produksi aktif dari virus (Merati and Djauzi, 2009).
Aktivasi seluler memainkan peran penting dalam siklus replikasi HIV dan
patogenesis penyakit yang ditimbulkannya. Pengikatan awal dan internalisasi
virion ke sel target adalah labil dan tidak berintegrasi secara efisien ke dalam
genom host jika aktivasi seluler terjadi segera setelah infeksi. Beberapa tingkat
aktivasi dari sel host diperlukan untuk mengawali transkripsi dari proviral DNA
terintegrasi ke RNA genom atau mRNA. Setelah terjadi transkripsi, mRNA HIV
ditranslasikan menjadi protein yang mengalami modifikasi melalui proses
glycosylation, myristylation, phosphorylation, dan cleavage. Partikel virus
dibentuk dengan menggabungkan protein HIV, enzim, dan RNA genom di
membran plasma sel. Pembentukan virus-virus baru terjadi melalui tempat khusus
pada lapisan lipid bilayer membran sel host yang dikenal sebagai lipid raft,
dimana inti membutuhkan envelopenya. Protease akan memicu pelepasan
precursor gag-pol untuk menghasilkan virion yang matur. Virion yang matur ini
akan menginfeksi sel-sel host yang lain dan sikus yang sama akan terjadi kembali
(Paul, 2008; Fauci, et al., 2008).
Penurunan sistem imun terjadi karena defisiensi progresif sel T helper
secara kuantitatif maupun kualitatif karena CD4 merupakan reseptor primer dari
HIV. Penurunan jumlah CD4 sebanding dengan perburukan infeksi HIV yang
sedang berlangsung. Pasien dengan level sel T CD4 di bawah batas tertentu sangat
rentan terhadap berbagai penyakit oportunistik, khususnya infeksi dan neoplasia
(Djoerban and Djauzi, 2009).
Gambar 2.3 Siklus replikasi HIV (Fauci, et al., 2008)
HIV ditularkan melalui kontak seksual, pertukaran cairan tubuh (darah,
ASI, jarum suntik) dan secara vertikal dari ibu ke bayi. Bayi yang tertular HIV
akan mengalami gangguan tumbuh kembang dan sering mengalami infeksi baik
karena virus maupun bakteri (Depkes RI, 2006).
2.2 Kehamilan dengan Infeksi HIV
Data UNAIDS tahun 2009 menunjukkan terdapat 33,3 juta kasus HIV di
seluruh dunia dan 48% dari jumlah tersebut (15,9 juta) adalah wanita. Sebagian
besar mereka berada dalam usia reproduksi. Gray and Mclntyre, tahun 2007,
melaporkan bahwa 8,5% dari seluruh penderita HIV adalah wanita hamil yang
akan melahirkan bayinya setiap tahun. Wanita dengan HIV tetap memiliki hak
untuk hamil dan mempunyai anak (Gray and Mclntyre, 2007; UNAIDS, 2009).
Terdapat perdebatan dari berbagai literatur mengenai efek kehamilan
terhadap progresifitas dan perjalanan penyakit pada wanita yang terinfeksi HIV.
Sebuah tinjauan teori dan meta-analisis dari tujuh penelitian kohort prospektif
menunjukkan bahwa di negara berkembang, perburukan infeksi HIV terjadi secara
progresif dan kematian terjadi lebih awal di antara wanita hamil dibanding dengan
wanita yang tidak hamil. Pada daerah dengan prevalensi HIV tinggi, infeksi telah
menjadi penyebab utama kematian maternal. Penelitian lain menunjukkan bahwa
kematian maternal terkait HIV dan AIDS telah menjadi penyebab kematian
maternal di negara berkembang, dalam hal ini diambil contoh negara Afrika
Selatan, yaitu 20,1 % dari seluruh kematian maternal, lebih tinggi dari penyebab
obstetri yang lain (Moodley, 2005; Gray and Mclntyre, 2007).
Studi di USA dan Eropa tidak menunjukkan bahwa kehamilan mempunyai
efek terhadap progresifitas infeksi HIV. Berbagai laporan dari penelitian-
penelitian yang dilakukan di negara miskin menyatakan bahwa progresifitas
infeksi dipercepat dengan adanya kehamilan tetapi sulit untuk meninterpretasikan
hasil penelitian tersebut karena jumlah sampelnya kecil dan memiliki bias dalam
seleksi subjek untuk penelitian tersebut (Moodley, 2005).
Baik wanita HIV positif maupun negatif akan mengalami penurunan
absolut CD4 dalam kehamilannya. Hal ini disebabkan adanya hemodilusi.
Sedangkan persentase CD4 relatif lebih stabil. Oleh sebab itu, persentase CD4
lebih akurat dibanding absolut CD4 dalam menilai fungsi imun pada wanita hamil
dengan infeksi HIV. Karena sistem imunitas berkorelasi dengan VL HIV di dalam
darah, maka persentase CD4 diduga dapat menggambarkan VL HIV di dalam
darah ibu hamil HIV positif. Jika perubahan absolut CD4/persentase CD4
dibandingkan sepanjang waktu, maka tidak ada perbedaan antara wanita hamil
HIV positif dan wanita yang tidak hamil. Hal ini menunjukkan bahwa kehamilan
tidak mempercepat penurunan CD4. Tingkat HIV RNA (viral load) relatif tetap
stabil selama kehamilan meskipun tanpa pengobatan. Penelitian lain menunjukkan
bahwa kehamilan memberikan perubahan yang kecil terhadap kadar HIV pada
wanita dengan HIV tipe 1 seropositif. Jadi, tidak ada peningkatan viral load atau
penurunan CD4 yang berhubungan dengan kehamilan, meskipun jumlah hitung
limfosit dapat menurun (Anderson, 2001; Ball, 2002; Gray and Mclntyre, 2007).
Kontroversi mengenai hasil kehamilan pada wanita yang terinfeksi HIV
masih ada. Di negara maju, dilaporkan tidak ada peningkatan frekuensi terjadinya
kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, IUGR, dan lahir mati dibandingkan
dengan kelompok yang sama dari wanita tanpa infeksi HIV. Tingginya mortalitas
perinatal dilaporkan terjadi pada wanita hamil dengan infeksi HIV di negara
miskin, dengan parahnya infeksi HIV dihubungkan dengan tingginya angka
kematian neonatal. Teori adanya sindrom malformasi terkait infeksi HIV belum
dapat dibuktikan. Belum ada studi yang mengindikasikan adanya peningkatan
frekuensi defek/malformasi pada bayi terkait infeksi HIV (Moodley, 2005).
2.3 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
Penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan akhir dari rantai penularan
yang kemungkinan berasal dari seorang laki-laki HIV positif yang menularkan
HIV kepada pasangan perempuannya melalui hubungan seksual tidak aman, dan
selanjutnya pasangan perempuan itu menularkan HIV kepada bayi yang
dikandungnya. Sepanjang usia reproduksi aktifnya, perempuan tersebut secara
potensial masih memiliki risiko untuk menularkan HIV kepada bayi berikutnya
jika ia hamil kembali (Depkes RI, 2006).
Transmisi perinatal merupakan penyebab infeksi HIV pada bayi dan anak
di seluruh dunia. Penelitian De Cock, et al., pada tahun 2000 mendapatkan risiko
penularan HIV dari ibu ke bayi adalah sekitar 25-45%. Risiko penularan ini
terbagi dalam 3 tahap, yaitu selama kehamilan (5-10%), saat persalinan (10-20%),
dan penularan melalui ASI (10-20%). Intervensi setiap tahap di atas sangat
penting untuk dapat menurunkan risiko transmisi HIV. Pemberian ARV
profilaktik merupakan salah satu intervensi yang efektif untuk mengurangi risiko
transmisi. Namun demikian, ARV harus diberikan pada saat yang tepat untuk
mendapatkan manfaat optimal dan mengurangi efek samping ARV. Gambar di
bawah ini merupakan estimasi risiko transmisi yang didapat dari sebuah studi
kohort dari 100 anak yang lahir dari ibu dengan infeksi HIV tanpa intervensi
apapun. Angka di dalam segitiga adalah jumlah anak yang berisiko mengalami
infeksi (De Cock, et al., 2000; Cunningham, et al., 2010).
Gambar 2.4 Estimasi risiko transmisi HIV perinatal selama kehamilan dan
persalinan pada populasi yang tidak menyusui (Cunningham, et al., 2010).
Rentang angka penularan yang lebar dimungkinkan karena perbedaan pola
menyusui, VL HIV di dalam tubuh ibu, dan penanganan obstetrik. Sebagian besar
transmisi terjadi dalam 2 minggu terakhir kehamilan, menjelang persalinan, dan
ketika bersalin. Meskipun mekanisme pasti transmisi vertikal ini belum diketahui,
tetapi alasan yang paling mungkin adalah terjadinya mikrotransfusi selama
kontraksi Braxton Hicks, kontraksi selama persalinan, penyebaran virus melalui
vagina dan serviks ketika mengalami pecah ketuban, dan masuknya virus melalui
saluran pencernaan janin ketika persalinan sedang berlangsung. Hal ini didukung
oleh penelitian yang menunjukkan bahwa transmisi dapat diturunkan melalui
seksio sesarea terencana dan terjadinya peningkatan penularan dengan
bertambahnya durasi pecah ketuban. Meskipun hanya terdapat sedikit bukti akan
risiko prosedur antenatal seperti amniocentesis, cordocentesis dan chorionic villus
sampling, sebagian besar klinisi menyarankan perlunya terapi ARV profilaksis
jika prosedur ini akan dilakukan (Moodley, 2005).
Wanita yang terinfeksi HIV tetapi tidak mendapat ARV selama
kehamilannya, dan wanita dengan VL HIV terdeteksi, untuk mengurangi
penularan dari ibu ke bayi dapat dilakukan dengan seksio sesarea secara
terencana. Sebuah meta-analisis dari 15 penelitian kohort prospektif, yang
melibatkan 8533 ibu dan anaknya, menemukan penurunan tingkat transmisi
sebesar 50% pada wanita yang menjalani seksio sesarea terencana sebelum
mulainya persalinan atau pecah ketuban. Pada wanita dengan VL HIV yang tidak
terdeteksi, manfaat dari seksio sesarea masih belum pasti. Persalinan dengan
seksio sesarea dihubungkan dengan komplikasi anestesi, intraoperaif dan postoperatif. Laporan mengenai morbiditas dan mortalitas terkait seksio sesarea pada
wanita HIV positif masih belum konsisten. Beberapa studi menemukan
peningkatan kejadian sepsis pada wanita yang terinfeksi HIV dibandingkan
dengan yang tidak terinfeksi, dan tingkat komplikasi berhubungan dengan tingkat
penurunan sistem imunitas. Di negara miskin keadaan ini sering terjadi. Pada
penelitian randomized mode of delivery di Eropa, seksio sesarea terencana pada
wanita HIV positif tidak berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas dibandingkan dengan persalinan pervaginam (Moodley, 2005;
Jamieson, et al., 2007).
Wanita yang memilih persalinan pervaginam harus mendapat penanganan
obstetri yang dapat memperkecil transmisi HIV dari ibu ke bayi. Pengelolaan ini
termasuk menghindari pemakaian elektrode pada kulit kepala janin, sampling
darah fetus, penggunaan ventouse pada kala II persalinan, episiotomi, dan yang
penting adalah menjaga selaput ketuban tetap intak selama mungkin saat kala I
persalinan. Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV
dari ibu ke bayi juga semakin meningkat karena semakin lama terjadi kontak
antara bayi dengan darah dan lendir ibu. Ketuban pecah dini lebih dari 4 jam
sebelum persalinan akan meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat
dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan (Moodley,
2005; Depkes RI, 2006).
Faktor yang paling baik untuk memprediksi kemungkinan transmisi infeksi
pada neonatus adalah VL HIV ibu. Telah diketahui bahwa pada sebagian besar
wanita, VL HIV yang tinggi dalam plasma dan dihubungkan dengan CD4-T
limfosit yang rendah selama ANC akan meningkatkan risiko transmisi HIV dari
ibu ke bayi. Dua penelitian besar menunjukkan bahwa transmisi perinatal secara
signifikan berhubungan dengan VL HIV ibu. Penelitian ini juga menunjukkan
bahwa tidak ada transmisi terjadi ketika VL HIV dalam plasma < 1000 kopi/ml
dan < 500 kopi/ml. Pemeriksaan viral load assay saat ini bisa mendeteksi HIV
lebih baik daripada yang digunakan dalam penelitian di atas. Tetapi, sebuah metaanalisis dari tujuh studi prospektif menemukan 44 kasus transmisi perinatal di
antara 1202 wanita dengan VL HIV < 1000 kopi/ml, baik saat atau menjelang
persalinan. Tingkat transmisi akan meningkat signifikan pada wanita dengan VL
HIV plasma ≥ 10.000 kopi/ml. Sebaliknya, tingkat transmisi rendah ketika VL
HIV ibu tidak terdeteksi. Belum ada bukti yang cukup untuk mengetahui ambang
batas VL HIV dimana transmisi tidak terjadi. Akan tetapi dengan pemberian
regimen ARV yang efektif, kemungkinan transmisi bisa diminimalisir (Jourdain,
et al., 2007; Depkes RI, 2006; Moodley, 2005; Ayisi, et al., 2004; Ioanidis, et al.,
2001).
Strategi untuk mencegah penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi
yang telah diterapkan antara lain (Depkes RI, 2006):
 Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif
 Layanan konseling dan tes HIV sukarela
 Pemberian obat antiretroviral
 Konseling tentang HIV dan makanan bayi serta pemberian makanan bayi
 Persalinan yang aman
Tatalaksana pasien hamil dengan HIV berdasarkan Panel Ahli tahun 2013
(Putra, 2013):
 Perempuan dewasa dengan HIV yang sudah mendapat ARV, saat hamil ARV
diteruskan dengan regimen yang sama
 Perempuan dengan HIV yang diketahui statusnya pada saat kehamilannya,
segera mulai ARV sedini mungkin tanpa memandang usia kehamilan,
stadium klinis, dan jumlah CD4 (Panel Ahli tahun 2013)
 Penatalaksanaan persalinan:
 Seksio caesarea elektif merupakan cara persalinan yang memiliki risiko
transmisi terkecil. Seksio caesarea mengurangi risiko penularan HIV dari
ibu ke bayi sebesar 50-66%
 Persalinan pervaginam. Persyaratan persalinan pervaginam adalah ibu
minum ARV teratur lebih dari 6 bulan dan atau viral load HIV tidak
terdeteksi
 Laktasi: Bayi dapat diberikan susu formula eksklusif. Pilihan lain adalah ASI
eksklusif (maksimal 6 bulan) dengan pemberian ARV bagi ibu dan bayi.
Tidak boleh diberikan campuan susu formula dan ASI.
2.4 Alur Tatalaksana Pasien di Klinik PMTCT “Nigraha” RSUP Sanglah
Pasien hamil yang dicurigai terinfeksi HIV yang dirujuk dari LSM, RSUD,
RS atau klinik swasta dan yang datang sendiri ke klinik PMTCT RSUP Sanglah
akan dilakukan anamnesis secara menyeluruh dan digali faktor-faktor risiko
terkait. Selanjutnya pasien akan diberikan konseling untuk pemeriksaan antibodi
HIV dan absolut CD4. Selanjutnya pasien akan mendapatkan penanganan secara
komprehensif untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi serta membuat ibu
hamil dengan HIV tetap sehat selama kehamilannya. Pasien yang dirujuk dari poli
VCT RSUP Sanglah, klinik VCT luar RSUP Sanglah, team CST RSUP Sanglah
dan program rumatan metadon, dengan diagnosis HIV yang sudah tegak, akan
menjalani pemeriksaan absolut CD4 untuk mengetahui status imunitas saat ini
(Protap PMTCT RSUP Sanglah).
Pasien hamil terinfeksi HIV yang melakukan kunjungan antenatal di klinik
PMTCT RSUP Sanglah akan mendapatkan terapi ARV profilaksis untuk
mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi. ARV profilaksis diberikan tanpa
memandang usia kehamilan dan jumlah hitung absolut CD4. Berbeda dengan
sebelumnya, dimana ARV profilaksis akan diberikan bila absolut CD4 < 350
sel/mm3 pada usia kehamilan kurang dari 32 minggu. Bila absolut CD4 masih
tinggi yaitu lebih dari 350 sel/mm3, maka ARV profilaksis baru akan diberikan
saat usia kehamilan genap 32 minggu. Sebelum pemberian ARV, fungsi hati dan
fungsi ginjal akan dinilai lebih dahulu dan dipantau secara berkala (Protap
PMTCT RSUP Sanglah).
Regimen ARV profilaksis yang diberikan adalah lamivudine (3TC) 150
mg dan zidovudine (AZT) 300 mg dengan pemberian 2 kali sehari satu tablet.
Dapat diberikan sebelum atau sesudah makan. Respon pemberian ARV akan
dimonitor secara berkala, terbaik dengan menggunakan PCR untuk memantau VL
HIV di darah ibu. Namun pemeriksaan ini tergolong mahal dan sebagai pengganti
biasanya digunakan pemeriksaan absolut CD4 untuk memantau perbaikan sistem
imunitas ibu. Bila VL HIV rendah maka risiko transmisi vertikal juga rendah. Bila
persentase CD4 terbukti bisa memprediksi VL HIV dengan baik, maka persentase
CD4 dapat diusulkan menjadi pemeriksaan alternatif sebagai pengganti VL dalam
memantau respon terapi pemberian ARV profilaksis tersebut (Depkes RI, 2006).
Gambar 2.5 Alur pelaksanaan Program PMTCT “Nigraha” RSUP Sanglah –
Denpasar (Protap PMTCT RSUP Sanglah)
2.4 Hubungan antara VL HIV dengan CD4
Absolut CD4 Count (Helper T-cell Count) adalah penghitungan jumlah
sel-T helper yang secara teknis disebut CD4 limfosit yang dimungkinkan sebagai
pemeriksaan yang penting untuk mengetahui status sistem imunitas wanita dengan
HIV. Sel-T helper bertanggung jawab terhadap signaling sel-sel sistem imun lain
untuk melawan infeksi di dalam tubuh. Pemeriksaan jumlah hitung CD4
mencerminkan jumlah sel CD4 dalam millimeter kubik (sel/mm3) atau mikroliter
(sel/µL) dalam darah. Dalam paper ilmiah kadang ditulis sebagai sel x 106/L.
Jumlah hitung normal absolut CD4 adalah pada laki-laki dewasa tanpa infeksi
HIV adalah 400 – 1200 sel/mm3, sedangkan pada wanita dewasa tanpa infeksi
HIV adalah 500 – 1600 sel/mm3. CDC dalam buku panduan laboratorium manual
tahun 2004, menetapkan nilai normal untuk absolut CD4 475 – 1616 sel/mm3.
Tanpa terapi ARV, rata-rata pasien dengan infeksi HIV mengalami penurunan
jumlah hitung sel-T helper sekitar 50 – 100 sel per millimeter kubik setiap
tahunnya (Horn, 2004; AIDSmap, 2004; CDC, 2004).
Jumlah hitung CD4 tunggal tidak mencerminkan hal yang banyak. Pasien
harus memiliki beberapa hasil secara berkala untuk melihat polanya (trend).
Jumlah hitung absolut CD4 dapat naik dan turun tergantung waktu tiap hari.
Banyak hal yang mempengaruhi jumlah hitung absolut CD4, di antaranya adalah
karena malnutrisi, luka bakar atau adanya stres psikososial. Splenektomi pun
dapat meningkatkan jumlah absolut CD4 secara palsu. Selain itu CD4 juga
dipengaruhi oleh variasi diurnal yang menyebabkan CD4 lebih rendah pada
waktu-waktu tertentu. Pada kehamilan juga terjadi hemodilusi yang menyebabkan
penurunan jumlah hitung CD4. Hal ini akan menyebabkan jumlah CD4 menjadi
bervariasi dan kurang optimal dalam menilai status imunitas ibu hamil dengan
infeksi HIV (Irwin, 2001; Depkes RI, 2009; Hoffmann, 2009).
Hal ini menyebabkan penilaian status sistem imun harus berdasarkan
beberapa hasil pemeriksaan CD4 secara berkala untuk melihat polanya, apakah
naik, turun, ataukah tetap stabil. Hal ini tentu menyebabkan pemeriksaan absolut
CD4 menjadi kurang praktis dan kurang akurat.
CD4 % (CD4 percentage) adalah persentase dari total limfosit yang
merupakan sel CD4. Pada orang sehat, jumlah sel-T helper sekitar 31 % dan 65 %
dari total jumlah limfosit (termasuk sel-B dan tipe-tipe sel-T yang lain).
Persentase CD4 merupakan pengukuran yang lebih stabil dibanding jumlah CD4
karena hasil pengukurannya tidak terlalu bervariasi. Sebagai contoh, seorang
pasien dengan jumlah CD4 bervariasi antara 160 dan 240 selama beberapa kali
pemeriksaan dalam beberapa bulan, sementara persentase CD4 tetap konstan yaitu
15 %. Kadang-kadang jumlah hitung CD4 dapat relatif tinggi sementara
persentase CD4-nya rendah (kurang dari 21 %). Dalam situasi ini, banyak praktisi
kesehatan akan mempertimbangkan bahwa sistem imun secara signifikan
memburuk berdasarkan persentase CD4 (Horn, 2004; CDC, 2004).
a. CD4 % 13 % adalah sebanding dengan jumlah hitung CD4 200 sel/mm3
b. CD4 % 31 % adalah sebanding dengan jumlah hitung CD4 475 sel/mm 3,
tetapi ada rentang yang luas untuk nilai yang lebih tinggi.
c. Pasien HIV negatif biasanya memiliki CD4 % sekitar 40 %
Untuk lebih memudahkan pemahaman, maka dibuatlah skema sebagai berikut:
Gambar 2.6 Pola penurunan jumlah hitung CD4 yang didapat dari pemeriksaan
Absolut CD4 secara berkala.
Gambar di atas menunjukkan penurunan sistem imunitas yang ditandai
dengan penurunan jumlah hitung
CD4. Setiap titik menggambarkan jumlah
absolut CD4. Garis lurus menunjukkan rata-rata hasilnya. Pada contoh di atas,
menunjukkan bahwa pola absolut CD4 cenderung turun setiap waktu, tetapi
hasilnya naik-turun, tidak konsisten. Karena jumlah hitung absolut CD4
bervariasi, maka jumlah hitung yang tidak diharapkan misalnya tinggi atau rendah
sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan ulangan jika memungkinkan.
Persentase CD4 secara umum dipertimbangkan sebagai indikator yang
lebih akurat untuk menilai integritas sistem imunitas karena hasilnya tidak terlalu
berfluktuasi akibat penyakit penyerta atau faktor-faktor lain yang tidak terkait
HIV misalnya variasi diurnal (Frascino, 2010). Pada pemantauan terapi ARV pada
pasien yang mengalami splenektomi dan wanita hamil, persentase CD4
memberikan hasil prognosis yang lebih signifikan. Pada sebuah penelitian kohort
terhadap wanita hamil yang diakukan di Abidjan tahun 2007, menyimpulkan
bahwa di antara sebelum kehamilan dan periode setelah melahirkan, jumlah
hitung CD4 secara signifikan mengalami peningkatan, dimana persentase CD4
tetap tidak berubah. Untuk menentukan waktu yang akurat kapan memulai terapi
ARV, persentase CD4 dapat lebih reliabel daripada jumlah hitung absolut pada
wanita hamil di sub-Sahara Afrika (Ekouevi, et al., 2007). Namun penelitian yang
dilakukan oleh Toumala, et al., 1997, menyimpulkan bahwa absolut CD4 dalam
kehamilan tidak banyak mengalami perubahan dan cukup konsisten. Peneliti lain
juga menyatakan bahwa CD4 absolut lebih penting dalam menilai status imunitas
dibanding persentase CD4 dan lebih bermanfaat sebagai dasar pengambilan
keputusan untuk terapi pada pasien terinfeksi HIV (Gebo, et al., 2004). Dengan
demikian masih terdapat kontroversi mengenai keakuratan persentase CD4 dan
absolut CD4 dalam menilai sistem imunitas yang sebenarnya.
VL HIV secara tidak langsung berhubungan dengan CD4. Makin tinggi
VL, makin rendah sistem imunitas (baik persentase CD4 maupun absolut CD4).
Berdasarkan hubungan tersebut, sebenarnya VL di dalam darah dapat diprediksi.
Dengan kelebihannya, akan tetapi masih terdapat kontroversi, persentase CD4
diduga dapat memberi prediksi VL lebih baik dibanding absolut CD4 di dalam
darah ibu hamil terinfeksi HIV. Bila hal ini terbukti, maka VL HIV bisa diprediksi
dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium yang ekonomis. Dengan
demikian risiko transmisi perinatal bisa diramalkan dan dapat dicegah melalui
pemberian ARV di saat yang tepat dan respon terapi ARV ini pun dapat dimonitor
secara berkala dengan lebih baik.
2.6 Metode Pemeriksaan VL HIV, Persentase CD4, dan Absolut CD4
Pemeriksaan viral load
HIV pada penelitian ini akan menggunakan
metode PCR (Polymerase Chain Reactions) yang memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi. Metode pemeriksaan ini menggunakan reagen the Roche
Amplicor HIV-1 Monitor Test (version 1,5; Roche Molecular Systems, Basel,
Switzerland). Rentang viral load yang didapat dari reagen versi 1,5 ini adalah
antara 400 sampai 750.000 kopi HIV-1 RNA per mililiter dengan menggunakan
prosedur pengolahan spesimen standar (200 µL sampel). Pemeriksaan dengan
reagen ini memiliki sensitivitas 100 % dan spesifisitas 97,4 %. Metode PCR
dalam pemeriksaan viral load HIV akan menjadi gold standar dalam penelitian
ini (Barletta, et al., 2004).
Pemeriksaan absolut CD4 akan menggunakan flowcytometer sedangkan
pemeriksaan persentase CD4 dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara
langsung dengan menggunakan single platform assay dengan BD Facscaliburas
sebagai gold standar dan secara tidak langsung dengan perhitungan. Seperti yang
diketahui bahwa persentase CD4 merupakan persentase dari total limfosit yang
merupakan sel CD4, sehingga perhitungan dilakukan berdasarkan perbandingan
jumlah absolut CD4 dan jumlah limfosit total. Hasil dinyatakan dalam persentase.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Penelitian yang dilakukan oleh Kihembo, et al., tahun 2010, menunjukkan
bahwa hasil perhitungan persentase CD4 yang didapat dari kedua cara tersebut
tidak berbeda bermakna. Perhitungan persentase CD4 secara manual memiliki
sensitivitas 100 % dan spesifisitas 97,3 %. Hal ini akan membuat persentase CD4
mudah diaplikasikan untuk daerah-daerah yang belum memiliki fasilitas
laboratorium memadai (Kihembo, et al., 2010).
Download