BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV) Human Immunodeficiency Virus termasuk ke dalam keluarga retroviridae dan merupakan subfamili dari lentivirus. Terdapat dua tipe HIV, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Penyebab utama kasus HIV di seluruh dunia, termasuk USA adalah HIV1. Baik HIV-1 maupun HIV-2 merupakan infeksi zoonosis. Salah satu spesies simpanse, Pan troglodytes troglodytes, telah ditetapkan sebagai reservoir alami dari HIV-1 dan yang paling dicurigai sebagai sumber infeksi ke manusia. HIV-2 secara filogenetik lebih dekat dengan Simian Immunodeficiency Virus (SIV) yang ditemukan pada sooty mangabeys dibanding HIV-1 (Fauci, et al., 2008). Hubungan taksonomi di antara lentivirus pada primata ditunjukan pada gambar di bawah ini. Gambar 2.1 Pohon filogenetik berdasarkan struktur genom virus immunodefisiensi primata (Fauci, et al., 2008) 5 Gambar 2.2 Struktur virus HIV (Fauci, et al., 2008) HIV merupakan virus RNA yang dapat melakukan reverse transcription terhadap genomnya dari RNA ke DNA dengan enzim reverse transcriptase. Siklus replikasi HIV dimulai dengan penempelan yang kuat dari protein p120 terhadap reseptornya di permukaan sel host yaitu CD4. CD4 merupakan sebuah protein dengan berat 55-kDa yang ditemukan secara dominan pada bagian limfosit T yang bertanggung jawab terhadap sistem imun. CD4 juga terdapat pada permukaan monosit/makrofag dan sel dendritik/Langerhans. Sekali gp120 terikat ke CD4, maka gp120 akan mengalami perubahan untuk memfasilitasi pengikatan terhadap co-reseptor yang lain. Dua co-reseptor utama pada HIV-1 adalah CCR5 dan CXCR4. Kedua reseptor ini penting bagi virus untuk masuk ke dalam sel. Setelah pengikatan gp120 terhadap CD4, maka fusi akan terjadi melalui terpaparnya gp41 yang melakukan penetrasi ke plasma membran target sel dan kemudian menggulung dirinya sendiri untuk membawa virion dan target sel secara bersama-sama. Selanjutnya, komplek preintegrasi, yang terdiri dari virus RNA dan enzim serta dikelilingi oleh lapisan kapsid protein, dilepaskan ke dalam sitoplasma target sel. Komplek preintegrasi ini akan melintasi sitoplasma untuk mencapai nucleus. Enzim reverse transcriptase dari virus akan menyebabkan transkripsi balik dari genom RNA menjadi DNA, dan lapisan protein akan terbuka untuk melepaskan double-stranded HIV DNA. Pada titik siklus replikasi ini, genom virus sangat rentan terhadap faktor seluler yang dapat menghambat progresivitas dari infeksi tersebut (Paul, 2008; Merati and Djauzi, 2009). Dengan aktivasi sel, virus DNA akan masuk ke dalam nucleus, dimana virus akan diintegrasikan ke dalam kromosom host melalui aktivasi enzim integrase. Provirus HIV (DNA) secara selektif bergabung dengan DNA nuclear ke dalam intron dari gen yang aktif. Provirus ini bisa tetap dalam keadaan transkripsional inaktif (latent) atau akan bermanifes dalam berbagai tingkat ekspresi gen sampai terjadi produksi aktif dari virus (Merati and Djauzi, 2009). Aktivasi seluler memainkan peran penting dalam siklus replikasi HIV dan patogenesis penyakit yang ditimbulkannya. Pengikatan awal dan internalisasi virion ke sel target adalah labil dan tidak berintegrasi secara efisien ke dalam genom host jika aktivasi seluler terjadi segera setelah infeksi. Beberapa tingkat aktivasi dari sel host diperlukan untuk mengawali transkripsi dari proviral DNA terintegrasi ke RNA genom atau mRNA. Setelah terjadi transkripsi, mRNA HIV ditranslasikan menjadi protein yang mengalami modifikasi melalui proses glycosylation, myristylation, phosphorylation, dan cleavage. Partikel virus dibentuk dengan menggabungkan protein HIV, enzim, dan RNA genom di membran plasma sel. Pembentukan virus-virus baru terjadi melalui tempat khusus pada lapisan lipid bilayer membran sel host yang dikenal sebagai lipid raft, dimana inti membutuhkan envelopenya. Protease akan memicu pelepasan precursor gag-pol untuk menghasilkan virion yang matur. Virion yang matur ini akan menginfeksi sel-sel host yang lain dan sikus yang sama akan terjadi kembali (Paul, 2008; Fauci, et al., 2008). Penurunan sistem imun terjadi karena defisiensi progresif sel T helper secara kuantitatif maupun kualitatif karena CD4 merupakan reseptor primer dari HIV. Penurunan jumlah CD4 sebanding dengan perburukan infeksi HIV yang sedang berlangsung. Pasien dengan level sel T CD4 di bawah batas tertentu sangat rentan terhadap berbagai penyakit oportunistik, khususnya infeksi dan neoplasia (Djoerban and Djauzi, 2009). Gambar 2.3 Siklus replikasi HIV (Fauci, et al., 2008) HIV ditularkan melalui kontak seksual, pertukaran cairan tubuh (darah, ASI, jarum suntik) dan secara vertikal dari ibu ke bayi. Bayi yang tertular HIV akan mengalami gangguan tumbuh kembang dan sering mengalami infeksi baik karena virus maupun bakteri (Depkes RI, 2006). 2.2 Kehamilan dengan Infeksi HIV Data UNAIDS tahun 2009 menunjukkan terdapat 33,3 juta kasus HIV di seluruh dunia dan 48% dari jumlah tersebut (15,9 juta) adalah wanita. Sebagian besar mereka berada dalam usia reproduksi. Gray and Mclntyre, tahun 2007, melaporkan bahwa 8,5% dari seluruh penderita HIV adalah wanita hamil yang akan melahirkan bayinya setiap tahun. Wanita dengan HIV tetap memiliki hak untuk hamil dan mempunyai anak (Gray and Mclntyre, 2007; UNAIDS, 2009). Terdapat perdebatan dari berbagai literatur mengenai efek kehamilan terhadap progresifitas dan perjalanan penyakit pada wanita yang terinfeksi HIV. Sebuah tinjauan teori dan meta-analisis dari tujuh penelitian kohort prospektif menunjukkan bahwa di negara berkembang, perburukan infeksi HIV terjadi secara progresif dan kematian terjadi lebih awal di antara wanita hamil dibanding dengan wanita yang tidak hamil. Pada daerah dengan prevalensi HIV tinggi, infeksi telah menjadi penyebab utama kematian maternal. Penelitian lain menunjukkan bahwa kematian maternal terkait HIV dan AIDS telah menjadi penyebab kematian maternal di negara berkembang, dalam hal ini diambil contoh negara Afrika Selatan, yaitu 20,1 % dari seluruh kematian maternal, lebih tinggi dari penyebab obstetri yang lain (Moodley, 2005; Gray and Mclntyre, 2007). Studi di USA dan Eropa tidak menunjukkan bahwa kehamilan mempunyai efek terhadap progresifitas infeksi HIV. Berbagai laporan dari penelitian- penelitian yang dilakukan di negara miskin menyatakan bahwa progresifitas infeksi dipercepat dengan adanya kehamilan tetapi sulit untuk meninterpretasikan hasil penelitian tersebut karena jumlah sampelnya kecil dan memiliki bias dalam seleksi subjek untuk penelitian tersebut (Moodley, 2005). Baik wanita HIV positif maupun negatif akan mengalami penurunan absolut CD4 dalam kehamilannya. Hal ini disebabkan adanya hemodilusi. Sedangkan persentase CD4 relatif lebih stabil. Oleh sebab itu, persentase CD4 lebih akurat dibanding absolut CD4 dalam menilai fungsi imun pada wanita hamil dengan infeksi HIV. Karena sistem imunitas berkorelasi dengan VL HIV di dalam darah, maka persentase CD4 diduga dapat menggambarkan VL HIV di dalam darah ibu hamil HIV positif. Jika perubahan absolut CD4/persentase CD4 dibandingkan sepanjang waktu, maka tidak ada perbedaan antara wanita hamil HIV positif dan wanita yang tidak hamil. Hal ini menunjukkan bahwa kehamilan tidak mempercepat penurunan CD4. Tingkat HIV RNA (viral load) relatif tetap stabil selama kehamilan meskipun tanpa pengobatan. Penelitian lain menunjukkan bahwa kehamilan memberikan perubahan yang kecil terhadap kadar HIV pada wanita dengan HIV tipe 1 seropositif. Jadi, tidak ada peningkatan viral load atau penurunan CD4 yang berhubungan dengan kehamilan, meskipun jumlah hitung limfosit dapat menurun (Anderson, 2001; Ball, 2002; Gray and Mclntyre, 2007). Kontroversi mengenai hasil kehamilan pada wanita yang terinfeksi HIV masih ada. Di negara maju, dilaporkan tidak ada peningkatan frekuensi terjadinya kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, IUGR, dan lahir mati dibandingkan dengan kelompok yang sama dari wanita tanpa infeksi HIV. Tingginya mortalitas perinatal dilaporkan terjadi pada wanita hamil dengan infeksi HIV di negara miskin, dengan parahnya infeksi HIV dihubungkan dengan tingginya angka kematian neonatal. Teori adanya sindrom malformasi terkait infeksi HIV belum dapat dibuktikan. Belum ada studi yang mengindikasikan adanya peningkatan frekuensi defek/malformasi pada bayi terkait infeksi HIV (Moodley, 2005). 2.3 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi Penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan akhir dari rantai penularan yang kemungkinan berasal dari seorang laki-laki HIV positif yang menularkan HIV kepada pasangan perempuannya melalui hubungan seksual tidak aman, dan selanjutnya pasangan perempuan itu menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya. Sepanjang usia reproduksi aktifnya, perempuan tersebut secara potensial masih memiliki risiko untuk menularkan HIV kepada bayi berikutnya jika ia hamil kembali (Depkes RI, 2006). Transmisi perinatal merupakan penyebab infeksi HIV pada bayi dan anak di seluruh dunia. Penelitian De Cock, et al., pada tahun 2000 mendapatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi adalah sekitar 25-45%. Risiko penularan ini terbagi dalam 3 tahap, yaitu selama kehamilan (5-10%), saat persalinan (10-20%), dan penularan melalui ASI (10-20%). Intervensi setiap tahap di atas sangat penting untuk dapat menurunkan risiko transmisi HIV. Pemberian ARV profilaktik merupakan salah satu intervensi yang efektif untuk mengurangi risiko transmisi. Namun demikian, ARV harus diberikan pada saat yang tepat untuk mendapatkan manfaat optimal dan mengurangi efek samping ARV. Gambar di bawah ini merupakan estimasi risiko transmisi yang didapat dari sebuah studi kohort dari 100 anak yang lahir dari ibu dengan infeksi HIV tanpa intervensi apapun. Angka di dalam segitiga adalah jumlah anak yang berisiko mengalami infeksi (De Cock, et al., 2000; Cunningham, et al., 2010). Gambar 2.4 Estimasi risiko transmisi HIV perinatal selama kehamilan dan persalinan pada populasi yang tidak menyusui (Cunningham, et al., 2010). Rentang angka penularan yang lebar dimungkinkan karena perbedaan pola menyusui, VL HIV di dalam tubuh ibu, dan penanganan obstetrik. Sebagian besar transmisi terjadi dalam 2 minggu terakhir kehamilan, menjelang persalinan, dan ketika bersalin. Meskipun mekanisme pasti transmisi vertikal ini belum diketahui, tetapi alasan yang paling mungkin adalah terjadinya mikrotransfusi selama kontraksi Braxton Hicks, kontraksi selama persalinan, penyebaran virus melalui vagina dan serviks ketika mengalami pecah ketuban, dan masuknya virus melalui saluran pencernaan janin ketika persalinan sedang berlangsung. Hal ini didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwa transmisi dapat diturunkan melalui seksio sesarea terencana dan terjadinya peningkatan penularan dengan bertambahnya durasi pecah ketuban. Meskipun hanya terdapat sedikit bukti akan risiko prosedur antenatal seperti amniocentesis, cordocentesis dan chorionic villus sampling, sebagian besar klinisi menyarankan perlunya terapi ARV profilaksis jika prosedur ini akan dilakukan (Moodley, 2005). Wanita yang terinfeksi HIV tetapi tidak mendapat ARV selama kehamilannya, dan wanita dengan VL HIV terdeteksi, untuk mengurangi penularan dari ibu ke bayi dapat dilakukan dengan seksio sesarea secara terencana. Sebuah meta-analisis dari 15 penelitian kohort prospektif, yang melibatkan 8533 ibu dan anaknya, menemukan penurunan tingkat transmisi sebesar 50% pada wanita yang menjalani seksio sesarea terencana sebelum mulainya persalinan atau pecah ketuban. Pada wanita dengan VL HIV yang tidak terdeteksi, manfaat dari seksio sesarea masih belum pasti. Persalinan dengan seksio sesarea dihubungkan dengan komplikasi anestesi, intraoperaif dan postoperatif. Laporan mengenai morbiditas dan mortalitas terkait seksio sesarea pada wanita HIV positif masih belum konsisten. Beberapa studi menemukan peningkatan kejadian sepsis pada wanita yang terinfeksi HIV dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi, dan tingkat komplikasi berhubungan dengan tingkat penurunan sistem imunitas. Di negara miskin keadaan ini sering terjadi. Pada penelitian randomized mode of delivery di Eropa, seksio sesarea terencana pada wanita HIV positif tidak berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas dibandingkan dengan persalinan pervaginam (Moodley, 2005; Jamieson, et al., 2007). Wanita yang memilih persalinan pervaginam harus mendapat penanganan obstetri yang dapat memperkecil transmisi HIV dari ibu ke bayi. Pengelolaan ini termasuk menghindari pemakaian elektrode pada kulit kepala janin, sampling darah fetus, penggunaan ventouse pada kala II persalinan, episiotomi, dan yang penting adalah menjaga selaput ketuban tetap intak selama mungkin saat kala I persalinan. Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke bayi juga semakin meningkat karena semakin lama terjadi kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu. Ketuban pecah dini lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan (Moodley, 2005; Depkes RI, 2006). Faktor yang paling baik untuk memprediksi kemungkinan transmisi infeksi pada neonatus adalah VL HIV ibu. Telah diketahui bahwa pada sebagian besar wanita, VL HIV yang tinggi dalam plasma dan dihubungkan dengan CD4-T limfosit yang rendah selama ANC akan meningkatkan risiko transmisi HIV dari ibu ke bayi. Dua penelitian besar menunjukkan bahwa transmisi perinatal secara signifikan berhubungan dengan VL HIV ibu. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak ada transmisi terjadi ketika VL HIV dalam plasma < 1000 kopi/ml dan < 500 kopi/ml. Pemeriksaan viral load assay saat ini bisa mendeteksi HIV lebih baik daripada yang digunakan dalam penelitian di atas. Tetapi, sebuah metaanalisis dari tujuh studi prospektif menemukan 44 kasus transmisi perinatal di antara 1202 wanita dengan VL HIV < 1000 kopi/ml, baik saat atau menjelang persalinan. Tingkat transmisi akan meningkat signifikan pada wanita dengan VL HIV plasma ≥ 10.000 kopi/ml. Sebaliknya, tingkat transmisi rendah ketika VL HIV ibu tidak terdeteksi. Belum ada bukti yang cukup untuk mengetahui ambang batas VL HIV dimana transmisi tidak terjadi. Akan tetapi dengan pemberian regimen ARV yang efektif, kemungkinan transmisi bisa diminimalisir (Jourdain, et al., 2007; Depkes RI, 2006; Moodley, 2005; Ayisi, et al., 2004; Ioanidis, et al., 2001). Strategi untuk mencegah penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang telah diterapkan antara lain (Depkes RI, 2006): Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif Layanan konseling dan tes HIV sukarela Pemberian obat antiretroviral Konseling tentang HIV dan makanan bayi serta pemberian makanan bayi Persalinan yang aman Tatalaksana pasien hamil dengan HIV berdasarkan Panel Ahli tahun 2013 (Putra, 2013): Perempuan dewasa dengan HIV yang sudah mendapat ARV, saat hamil ARV diteruskan dengan regimen yang sama Perempuan dengan HIV yang diketahui statusnya pada saat kehamilannya, segera mulai ARV sedini mungkin tanpa memandang usia kehamilan, stadium klinis, dan jumlah CD4 (Panel Ahli tahun 2013) Penatalaksanaan persalinan: Seksio caesarea elektif merupakan cara persalinan yang memiliki risiko transmisi terkecil. Seksio caesarea mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50-66% Persalinan pervaginam. Persyaratan persalinan pervaginam adalah ibu minum ARV teratur lebih dari 6 bulan dan atau viral load HIV tidak terdeteksi Laktasi: Bayi dapat diberikan susu formula eksklusif. Pilihan lain adalah ASI eksklusif (maksimal 6 bulan) dengan pemberian ARV bagi ibu dan bayi. Tidak boleh diberikan campuan susu formula dan ASI. 2.4 Alur Tatalaksana Pasien di Klinik PMTCT “Nigraha” RSUP Sanglah Pasien hamil yang dicurigai terinfeksi HIV yang dirujuk dari LSM, RSUD, RS atau klinik swasta dan yang datang sendiri ke klinik PMTCT RSUP Sanglah akan dilakukan anamnesis secara menyeluruh dan digali faktor-faktor risiko terkait. Selanjutnya pasien akan diberikan konseling untuk pemeriksaan antibodi HIV dan absolut CD4. Selanjutnya pasien akan mendapatkan penanganan secara komprehensif untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi serta membuat ibu hamil dengan HIV tetap sehat selama kehamilannya. Pasien yang dirujuk dari poli VCT RSUP Sanglah, klinik VCT luar RSUP Sanglah, team CST RSUP Sanglah dan program rumatan metadon, dengan diagnosis HIV yang sudah tegak, akan menjalani pemeriksaan absolut CD4 untuk mengetahui status imunitas saat ini (Protap PMTCT RSUP Sanglah). Pasien hamil terinfeksi HIV yang melakukan kunjungan antenatal di klinik PMTCT RSUP Sanglah akan mendapatkan terapi ARV profilaksis untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi. ARV profilaksis diberikan tanpa memandang usia kehamilan dan jumlah hitung absolut CD4. Berbeda dengan sebelumnya, dimana ARV profilaksis akan diberikan bila absolut CD4 < 350 sel/mm3 pada usia kehamilan kurang dari 32 minggu. Bila absolut CD4 masih tinggi yaitu lebih dari 350 sel/mm3, maka ARV profilaksis baru akan diberikan saat usia kehamilan genap 32 minggu. Sebelum pemberian ARV, fungsi hati dan fungsi ginjal akan dinilai lebih dahulu dan dipantau secara berkala (Protap PMTCT RSUP Sanglah). Regimen ARV profilaksis yang diberikan adalah lamivudine (3TC) 150 mg dan zidovudine (AZT) 300 mg dengan pemberian 2 kali sehari satu tablet. Dapat diberikan sebelum atau sesudah makan. Respon pemberian ARV akan dimonitor secara berkala, terbaik dengan menggunakan PCR untuk memantau VL HIV di darah ibu. Namun pemeriksaan ini tergolong mahal dan sebagai pengganti biasanya digunakan pemeriksaan absolut CD4 untuk memantau perbaikan sistem imunitas ibu. Bila VL HIV rendah maka risiko transmisi vertikal juga rendah. Bila persentase CD4 terbukti bisa memprediksi VL HIV dengan baik, maka persentase CD4 dapat diusulkan menjadi pemeriksaan alternatif sebagai pengganti VL dalam memantau respon terapi pemberian ARV profilaksis tersebut (Depkes RI, 2006). Gambar 2.5 Alur pelaksanaan Program PMTCT “Nigraha” RSUP Sanglah – Denpasar (Protap PMTCT RSUP Sanglah) 2.4 Hubungan antara VL HIV dengan CD4 Absolut CD4 Count (Helper T-cell Count) adalah penghitungan jumlah sel-T helper yang secara teknis disebut CD4 limfosit yang dimungkinkan sebagai pemeriksaan yang penting untuk mengetahui status sistem imunitas wanita dengan HIV. Sel-T helper bertanggung jawab terhadap signaling sel-sel sistem imun lain untuk melawan infeksi di dalam tubuh. Pemeriksaan jumlah hitung CD4 mencerminkan jumlah sel CD4 dalam millimeter kubik (sel/mm3) atau mikroliter (sel/µL) dalam darah. Dalam paper ilmiah kadang ditulis sebagai sel x 106/L. Jumlah hitung normal absolut CD4 adalah pada laki-laki dewasa tanpa infeksi HIV adalah 400 – 1200 sel/mm3, sedangkan pada wanita dewasa tanpa infeksi HIV adalah 500 – 1600 sel/mm3. CDC dalam buku panduan laboratorium manual tahun 2004, menetapkan nilai normal untuk absolut CD4 475 – 1616 sel/mm3. Tanpa terapi ARV, rata-rata pasien dengan infeksi HIV mengalami penurunan jumlah hitung sel-T helper sekitar 50 – 100 sel per millimeter kubik setiap tahunnya (Horn, 2004; AIDSmap, 2004; CDC, 2004). Jumlah hitung CD4 tunggal tidak mencerminkan hal yang banyak. Pasien harus memiliki beberapa hasil secara berkala untuk melihat polanya (trend). Jumlah hitung absolut CD4 dapat naik dan turun tergantung waktu tiap hari. Banyak hal yang mempengaruhi jumlah hitung absolut CD4, di antaranya adalah karena malnutrisi, luka bakar atau adanya stres psikososial. Splenektomi pun dapat meningkatkan jumlah absolut CD4 secara palsu. Selain itu CD4 juga dipengaruhi oleh variasi diurnal yang menyebabkan CD4 lebih rendah pada waktu-waktu tertentu. Pada kehamilan juga terjadi hemodilusi yang menyebabkan penurunan jumlah hitung CD4. Hal ini akan menyebabkan jumlah CD4 menjadi bervariasi dan kurang optimal dalam menilai status imunitas ibu hamil dengan infeksi HIV (Irwin, 2001; Depkes RI, 2009; Hoffmann, 2009). Hal ini menyebabkan penilaian status sistem imun harus berdasarkan beberapa hasil pemeriksaan CD4 secara berkala untuk melihat polanya, apakah naik, turun, ataukah tetap stabil. Hal ini tentu menyebabkan pemeriksaan absolut CD4 menjadi kurang praktis dan kurang akurat. CD4 % (CD4 percentage) adalah persentase dari total limfosit yang merupakan sel CD4. Pada orang sehat, jumlah sel-T helper sekitar 31 % dan 65 % dari total jumlah limfosit (termasuk sel-B dan tipe-tipe sel-T yang lain). Persentase CD4 merupakan pengukuran yang lebih stabil dibanding jumlah CD4 karena hasil pengukurannya tidak terlalu bervariasi. Sebagai contoh, seorang pasien dengan jumlah CD4 bervariasi antara 160 dan 240 selama beberapa kali pemeriksaan dalam beberapa bulan, sementara persentase CD4 tetap konstan yaitu 15 %. Kadang-kadang jumlah hitung CD4 dapat relatif tinggi sementara persentase CD4-nya rendah (kurang dari 21 %). Dalam situasi ini, banyak praktisi kesehatan akan mempertimbangkan bahwa sistem imun secara signifikan memburuk berdasarkan persentase CD4 (Horn, 2004; CDC, 2004). a. CD4 % 13 % adalah sebanding dengan jumlah hitung CD4 200 sel/mm3 b. CD4 % 31 % adalah sebanding dengan jumlah hitung CD4 475 sel/mm 3, tetapi ada rentang yang luas untuk nilai yang lebih tinggi. c. Pasien HIV negatif biasanya memiliki CD4 % sekitar 40 % Untuk lebih memudahkan pemahaman, maka dibuatlah skema sebagai berikut: Gambar 2.6 Pola penurunan jumlah hitung CD4 yang didapat dari pemeriksaan Absolut CD4 secara berkala. Gambar di atas menunjukkan penurunan sistem imunitas yang ditandai dengan penurunan jumlah hitung CD4. Setiap titik menggambarkan jumlah absolut CD4. Garis lurus menunjukkan rata-rata hasilnya. Pada contoh di atas, menunjukkan bahwa pola absolut CD4 cenderung turun setiap waktu, tetapi hasilnya naik-turun, tidak konsisten. Karena jumlah hitung absolut CD4 bervariasi, maka jumlah hitung yang tidak diharapkan misalnya tinggi atau rendah sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan ulangan jika memungkinkan. Persentase CD4 secara umum dipertimbangkan sebagai indikator yang lebih akurat untuk menilai integritas sistem imunitas karena hasilnya tidak terlalu berfluktuasi akibat penyakit penyerta atau faktor-faktor lain yang tidak terkait HIV misalnya variasi diurnal (Frascino, 2010). Pada pemantauan terapi ARV pada pasien yang mengalami splenektomi dan wanita hamil, persentase CD4 memberikan hasil prognosis yang lebih signifikan. Pada sebuah penelitian kohort terhadap wanita hamil yang diakukan di Abidjan tahun 2007, menyimpulkan bahwa di antara sebelum kehamilan dan periode setelah melahirkan, jumlah hitung CD4 secara signifikan mengalami peningkatan, dimana persentase CD4 tetap tidak berubah. Untuk menentukan waktu yang akurat kapan memulai terapi ARV, persentase CD4 dapat lebih reliabel daripada jumlah hitung absolut pada wanita hamil di sub-Sahara Afrika (Ekouevi, et al., 2007). Namun penelitian yang dilakukan oleh Toumala, et al., 1997, menyimpulkan bahwa absolut CD4 dalam kehamilan tidak banyak mengalami perubahan dan cukup konsisten. Peneliti lain juga menyatakan bahwa CD4 absolut lebih penting dalam menilai status imunitas dibanding persentase CD4 dan lebih bermanfaat sebagai dasar pengambilan keputusan untuk terapi pada pasien terinfeksi HIV (Gebo, et al., 2004). Dengan demikian masih terdapat kontroversi mengenai keakuratan persentase CD4 dan absolut CD4 dalam menilai sistem imunitas yang sebenarnya. VL HIV secara tidak langsung berhubungan dengan CD4. Makin tinggi VL, makin rendah sistem imunitas (baik persentase CD4 maupun absolut CD4). Berdasarkan hubungan tersebut, sebenarnya VL di dalam darah dapat diprediksi. Dengan kelebihannya, akan tetapi masih terdapat kontroversi, persentase CD4 diduga dapat memberi prediksi VL lebih baik dibanding absolut CD4 di dalam darah ibu hamil terinfeksi HIV. Bila hal ini terbukti, maka VL HIV bisa diprediksi dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium yang ekonomis. Dengan demikian risiko transmisi perinatal bisa diramalkan dan dapat dicegah melalui pemberian ARV di saat yang tepat dan respon terapi ARV ini pun dapat dimonitor secara berkala dengan lebih baik. 2.6 Metode Pemeriksaan VL HIV, Persentase CD4, dan Absolut CD4 Pemeriksaan viral load HIV pada penelitian ini akan menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reactions) yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Metode pemeriksaan ini menggunakan reagen the Roche Amplicor HIV-1 Monitor Test (version 1,5; Roche Molecular Systems, Basel, Switzerland). Rentang viral load yang didapat dari reagen versi 1,5 ini adalah antara 400 sampai 750.000 kopi HIV-1 RNA per mililiter dengan menggunakan prosedur pengolahan spesimen standar (200 µL sampel). Pemeriksaan dengan reagen ini memiliki sensitivitas 100 % dan spesifisitas 97,4 %. Metode PCR dalam pemeriksaan viral load HIV akan menjadi gold standar dalam penelitian ini (Barletta, et al., 2004). Pemeriksaan absolut CD4 akan menggunakan flowcytometer sedangkan pemeriksaan persentase CD4 dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung dengan menggunakan single platform assay dengan BD Facscaliburas sebagai gold standar dan secara tidak langsung dengan perhitungan. Seperti yang diketahui bahwa persentase CD4 merupakan persentase dari total limfosit yang merupakan sel CD4, sehingga perhitungan dilakukan berdasarkan perbandingan jumlah absolut CD4 dan jumlah limfosit total. Hasil dinyatakan dalam persentase. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: Penelitian yang dilakukan oleh Kihembo, et al., tahun 2010, menunjukkan bahwa hasil perhitungan persentase CD4 yang didapat dari kedua cara tersebut tidak berbeda bermakna. Perhitungan persentase CD4 secara manual memiliki sensitivitas 100 % dan spesifisitas 97,3 %. Hal ini akan membuat persentase CD4 mudah diaplikasikan untuk daerah-daerah yang belum memiliki fasilitas laboratorium memadai (Kihembo, et al., 2010).