[Don Komo Studio] Jurnal Tanah Air

advertisement
Bahasan: Korporatokrasi
DAFTAR ISI
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
www.walhi.or.id | www.eng.walhi.or.id
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI- Friends of the Earth Indonesia) berdiri sejak 15 Oktober 1980.
Adalah forum organisasi lingkungan hidup terbesar di Indonesia yang membangun gerakan
lingkungan menuju lingkungan
hidup yang adil, sehat dan lestari.
Hadir di 25 propinsi dengan 435
anggota organisasi dan 122 anggota individu. WALHI menggalang
sumber daya dari publik (donatur
dan relawan Sahabat WALHI) dan
tidak menerima pendanaan dari
perusahaan maupun partai politik.
Dengan Rp. 1000,- per hari Anda
telah menjadi Sahabat WALHI dan
mendukung upaya penyelamatan lingkungan hidup Indonesia.
Untuk menjadi Sahabat WALHI,
Hub: 021-79193363-68 atau
[email protected]
Korporatokrasi,Menyempurnakan
Negara Sebagai Pengabdi Perusahaan
Defenisi, Teori, Filsafat tentang Korporatokrasi
(Hubungan antara Negara dan Modal)
Danial Indrakusuma..........................................2
Historis Korporatokrasi
(Cengkeraman Modal terhadap Negara)
di Indonesia
Arianto Sangaji.................................................11
Ekonomi Partikelir
di Era Neokolonialisme
Dani Setiawan dan Longgena Ginting............19
Orkestrasi Gerakan Hijau
dan Pesta Korporatokrasi
Khalisah Khalid................................................28
Korporatokrasi
dan Cara Bekerjanya di Indonesia
Salamuddin Daeng dan Pius Ginting..............35
Catatan Hitam
Praktik Korporatokrasi Di Indonesia
Sudiarto............................................................47
Selamatkan Indonesia
Dari Cengkeraman Korporatokrasi
Sudiarto............................................................50
Jurnal
tanah air
Jurnal Ilmiah Gerakan Lingkungan Hidup
REDAKSI
Penanggung Jawab :
Berry Nahdian Forqan
Distribusi:
Triyanto
Suhardi
Redaktur Pelaksana:
Pius Ginting
Alamat Redaksi:
Jl.Tegal Parang Utara No.14
Mampang Prapatan,Jakarta 12790
Telp:(021)79193363/68
Fax:(021)7941673
Email:[email protected]
Website:www.walhi.or.id
Dewan Redaksi:
Erwin Usman
Teguh Surya
Mariamah Achmad
Pius Ginting
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
1
Bahasan: Korporatokrasi
Kata Pengantar
Awalnya, semangat kontrak bersama rakyat Indonesia untuk mendirikan Republik Indonesia adalah
merdeka dan terbebas dari penjajahan, yakni merdeka dari sistem ekonomi kapitalisme (dengan aktor utamanya:
korporasi). Maka tertuanglah dalam pasal 33 UUD 1945 bahwa semua kekayaan alam Indonesia digunakan untuk
kepentingan rakyat (setelah sebelumnya dikelola oleh perusahaan perkebunan swasta, tambang swasta, dll);
demikian juga semangat yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 bahwa tujuan Pemerintahan Negara Indonesia
adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa… bukan untuk kepentingan korporasi, atau kepentingan
investasi (modal).
Namun semenjak tahun 1965 telah terjadi perubahan haluan yang tajam. Dari awalnya ada upaya
mengusahakan sistem ekonomi yang mandiri, menjadi membukakan diri kepada kepentingan korporasi. Orde Baru
bisa saja berlagak memperjuangkan kepentingan nasional. Dalam prakteknya, dia makin menggiring Indonesia
ke dalam cengkeraman sistem korporatrokasi. Setelah kejatuhan harga minyak internasional tahun 1980-an, dan
terakhir karena krisis Asia tahun 1997, jejaring sistem korporatorkasi semakin merasuk ke hampir semua pori-pori
bangsa Indonesia.
Sejarah telah memberikan contoh atas bertumbangannya sistem-sistem yang sudah dinilai tidak rasional lagi
pada perkembangan selanjutnya, seperti kehancuran sistem kekaisaran yang besar yang pernah dunia kenal, sistem
kerajaan, kehancuran dominasi gereja di Eropa. Tampaknya, sistem korporatokrasi pun bukan yang pertama bisa
selamat dari kehancuran ini. Sistem tersebut telah gagal menjawab kebutuhan manusia, malahan telah memperburuk
banyak persoalan: kemiskinan, kelaparan, penurunan tingkat kesehatan, dan penghancuran lingkungan hidup.
2
Sistem korporatokrasi menempatkan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam sebagai barang komoditi
untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan menggunakan instrumen pasar dan kekuasaan (politik) sekaligus
sehingga mengabaikan prinsip keadilan dan keberlanjutan kehidupan rakyat. Hal inilah yang mengakibatkan
terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya manusia dan sumber-sumber kehidupan rakyat (aset
alam) yang kemudian berdampak kepada terjadinya kemiskinan struktural dan bencana ekologi. Dalam sistem
korporatokrasi ini tidak ada jaminan bagi rakyat atas keamanan dan kesejahteraan hidupnya, atas keberlanjutan
produktivitasnya dan atas keberlanjutan jasa pelayanan alam.
Kesadaran publik akan bahaya sistem korporatokrasi berkembang terus. Jika gerakan mahasiswa tahun
1998 lebih terfokus kepada menentang kediktatoran, maka seiring dengan laju kebijakan neoliberal beserta berbagai
produk perundang-undangan yang dibuat institusi negara yang terang-terangan memfasilitasi kepentingan korporasi,
maka kini tudingan publik pun makin mengarah kepada pokok dan sumber permasalahan: sistem korporatoraksi.
Sebagai contoh, dalam isu perubahan iklim, gerakan sosial kian menyadari bahwa dalang penghambat bagi
agenda-agenda mengurangi dampak polusi gas rumah kaca adalah korporasi; dan kepentingan korporasi tersebut
memiliki lobi yang kuat terhadap negeri-negeri industri, dan juga para intelektual.
Dalam situasi di mana lebih setengah penduduk dunia hidup di bawah kemiskinan dan bumi berada dalam
spiral kerusakan ekologis, maka sewajarnya lah mayoritas umat manusia memikirkan dan mengusahan sistem yang
lain, yang lebih manusiawi, yang bisa merestorasi kerusakan lingkungan, sistem sosial dan ketidakadilan yang telah
terjadi.
Untuk menundukkan sistem korporatokrasi tersebut tentunya dengan memperluas ruang kontrol publik
terhadapnya. Dan itu tidak hanya pekerjaan aktivis, profesor dari belakang meja komputer, tapi menuntut upaya
kerjasama dan solidaritas dari komunitas-komunitas rakyat yang selama ini digusur demi investasi, diberangus demi
investasi; dan komponen lainnya yang menginginkan keadaan yang lebih manusiawi dan lestari.
Semoga Jurnal Tanah Air edisi kali ini bisa membawa pencerahan dan berkontribusi untuk mewujudkannya.
Salam
Berry Nahdian Forqan
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Korporatokrasi,
Menyempurnakan Negara Sebagai
Pengabdi Perusahaan*
Danial Indrakusuma
Di semua tempat, apakah itu dalam kebudayaan popular, hingga sistim propaganda, terdapat tekanan terus
menerus agar orang merasa bahwa dirinya tak bisa ditolong lagi, bahwa peran mereka hanyalah menyetujui
segala keputusan dan melahapnya—Chomsky.
Hambatan sesungguhnya bagi produksi kapitalis adalah kapital itu sendiri—Marx.
Landasan-Pijak Teoritik Korporatokrasi
Bila saja Marx masih hidup, ia mungkin akan
tercengang menyaksikan kreativitas borjuis dalam
mendayagunakan negara demi kepentingannya1; Hamza
Alavi tentu akan maklum atas semakin sempitnya ruang
otonomi relatif negara di tengah semakin rentannya
sistim kapitalisme (negeri-negeri maju) terhadap krisis
(yang dampak gelombangnya semakin mendunia)2; dan
bila saja Richard Robison mempertimbangkan dari mana
sumber dana dan kebijakan negara (Orde Baru), maka
tentu ia tak akan berposisi: negara (Orde Baru) mampu
“menciptakan” kelas (di Indonesia)?3
Kadang korporatokrasi (corporatocracy)
sering dikaitkan dengan gerakan anti-globalisasi,
mungkin karena terkesiap atas gejala bagaimana
pemerintahan (terutama) negeri-negeri berkembang
tunduk pada kepentigan-kepentingan perusahaanperusahaan besar/transnasional. Misalnya saja, John
Omaha, Phd, menyimpulkan bahwa perang Irak
dicetuskan oleh perusahaan-perusahaan yang telah
berhasil menguasai negara (dan segala kelembagaannya)
republik demokratik Amerika—yang sekarang telah
menjadi korporatokrasi.4
Perusahaan-perusahaan dianggap memiliki
kekayaan yang begitu besar sehingga bisa menyuap,
menyusup dan menguasai pemerintahan di berbagai
negeri. Bahkan, ia sanggup mengemudikan eksekutif,
media-media terkemuka, legislatif, dan lembagalembaga hukum, menyatukannya ke dalam suatu unit
yang berentang-dunia yang dinamakan korporatokrasi.
Fokus dari tujuannya hanya satu, tak terbagi5:
perusahaan—keuntungan harus maksimal; sumber
daya alam, segala kelembagaan, warga negara, harus
digunakan (atau disingkirkan bila tak diperlukan lagi)
demi memaksimalkan keuntungan; perusahaan harus
memiliki pasar-pasar baru untuk dikuasai; dan, bila
perlu, perusahaan-perusahaan yang memproduksi
peralatan militer harus memiliki pasar serta
menyesuaikannya dengan penaklukkan negeri-negeri
yang akan mengakumulasi keuntungan perusahaan6.
Bahkan, sejak akhir Perang Dunia II,
perusahaan-perusahaan besar telah muncul sebagai
penguasa dominan planet ini. Bank Dunia (World
Bank/WB), Dana Moneter Internasional (International
Monetary Fund/IMF) dan Organisasi Perdagangan
Dunia (World Trade Organization/WTO) pun tak lepas
dari cengkeraman korporatokrasi.7 [Aku lebih percaya
bahwa lembaga-lembaga tersebut merupakan kreasi
dari perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam
korporatokrasi rahasia, bukan sekadar kesepakatan
* Naskah diterima oleh Redaksi pada 30 September 2008
1
Karl Marx dan Friedrich Engels, “Manifesto Partai Komunis”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, Neuron, [email protected]; Karl Marx, The Eighteen Brumaire
of Louis Bonaparte , dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works, dalam 1 Jilid, London, 1970.
Hamza Alavi, The State in Postcolonial Societies: Pakistan and Bangladesh, dalam Imperialism and Revolution in South Asia, ed. Kathleen Gough dan
Hari P. Sharma, Monthly Review Press, New York and London, 1973.
2
3
Richard Robison, Indonesia: The rise of capital, Allen & Unwin, Sydney 1986.
4
John Omaha, Ph.D., Corporatocracy and the Iraqi War, http://www.sourcewatch.org/index.php?title= Corporatocracy.
Walaupun, dalam situasi tertentu, perusahaan bisa saja (atau harus) sedikit mengucurkan keuntungannya kepada pihak-pihak lain, namun tujuan dari
pembagian tersebut tetap saja demi melancarkan maksimalisasi keuntungan perusahaan.
5
6
Boeing, Lockheed Martin, Ford, merupakan beberapa perusahaan yang mendapat keuntungan besar dari perang di Vietnam, Grenada, Panama,
Afghanistan, Colombia, Kuwait, Yugoslavia, Albania, Irak. Penjualan persenjataan Amerika Serikat (AS) jumlahnya sama dengan penjualan persenjataan
(gabungan) berbagai negeri di dunia.
7
Lembaga-lembaga tersebut turut memberikan sumbangan yang menyebabkan 200 perusahaan besar dunia bisa menguasai 28,3% output dunia; dan 50
bank komersil serta perusahaan-perusahaan finansial (derivatif) berhasil mengangkangi 60% dari 20 trilyun dollar saham (modal produktif) dunia.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
3
Bahasan: Korporatokrasi
multilateral negeri-negeri kapitalis maju. Lebih jauh lagi,
Hannah Holleman dan R. Jonna mengatakan:
Dalam kenyataannya, pertentangan—yang
tidak sekadar tercermin dalam berbagai wujud
kekuasaan—justru merupakan sumber kekuasaan
dalam hubungan-hubungan sosial sistim kapitalis. Dan
pertentangan tersebut tidaklah dimulai dengan kelahiran
lembaga-lembaga tersebut the (IMF, World Bank, WTO,
GATT, dan lain sebagainya.)—dan tidak juga akan
berakhir di lembaga-lembaga tersebut…]8
Dikatakan
bahwa
korporatokrasi
juga
memasukkan cara-cara kriminal dalam strategitaktiknya—membuat laporan-laporan keuangan palsu,
merekayasa pemilu, menyogok, mengancam, seks,
membunuh, kudeta—sebagaimana yang diungkapkan
oleh John Perkins, Sang Penjagal (bidang) Ekonomi
(Economic Hit Man).9 Contoh lainnya: Manajer-manajer
4
perusahaan Rockefeller melakukan perdagangan BBM,
melalui negeri netral Swiss, dengan musuh Sekutu:
Jerman. Kantor Chase Bank di teritori yang diduduki Nazi,
Paris, melakukan bisnis jutaan dollar dengan musuh dan
sepengetahuan kantor pusatnya di Manhattan (keluarga
Rockefeller adalah salah satu pemiliknya); truk-truk
Jerman yang digunakan untuk menduduki Prancis
dibuat oleh Ford dengan persetujuan dari Dearborn,
Michigan; Kolonel Sosthenes Behn, kepala perusahaan
(konglomerat) ITT, terbang dari New York ke Madrid, lalu
ke Berne, selama perang berlangsung untuk membantu
mengembangkan sistim komunikasi Hitler dan bombom robot yang meluluhlantakkan London. Bahkan ITT
mengembangkan FockeWulfs, yang menjatuhkan bombom ke tentara Inggris dan Amerika.10
Pengertian korporatokrasi di atas tidak bisa
disamakan dengan korporatisme—yang mengacu pada
sistim ekonomi dan politik yang dikendalikan oleh
suatu badan (yang tidak dipilih secara demokratik
dan memiliki hirarki internalnya sendiri) berisikan
perwakilan-perwakilan
dari
kelompok-kelompok
ekonomi, industrial, agraria, sosial, kebudayaan dan/
atau professional.11
Istilah korporatisme popular pada masa
kekuasaan Getulio Vargas di Brazil selama tahun 1920-
an dan 1930-an, saat dia memerlukan lembaga yang
dapat memoderatkan pasar bebas—yang ia maknai
sebagai kapitalisme modern—dengan kesejahteraan
sosial. Ilmuwan politik biasa juga menggunakan istilah
korporatisme untuk memaknai negara yang, dengan
kekuasaannya, mewajibkan dan membuat aturan
yang menyatukan pimpinan-pimpinan agama, sosial,
ekonomi, atau organisasi-organisasi popular, agar dapat
dikooptasi dan diredam potensinya untuk melawan
kekuasaan serta mencari legitimasinya dari kekuasaan.
Pada tahun 1891, korporatisme juga pernah digunakan
oleh Paus Leo XIII (encyclical Rerum Novarum)
sebagai wadah kolaborasi/tawar menawar antara kelas
buruh dengan kelas kapitalis karena Katolik khawatir
akan pengaruh ideologi sosialis terhadap serikat buruh
Katolik. Dan korporatisme juga dipraktekkan oleh fasis
Italia (tokohnya adalah Alfredo Rocco dan Mussolini)
serta rejim diktator Orde Baru (Indonesia) (tokohnya
adalah Suhardiman, Ali Murtopo). Namun, pada masamasa selanjutnya, korporatisme sering digunakan untuk
meloloskan kepentingan perusahaan (dengan legitimasi
negara) di atas kepentingan publik. Ada juga istilah
neokorporatisme, misalnya dalam wujud kongkrit:
International Labour organization (ILO); Komite Ekonomi
dan Sosial Uni Eropa; pengaturan kesepakatan bersama
di antara negeri-negeri Skandinavia; Kemitraan Sosial di
Irlandia; Dewan Pengupahan Nasional di Singapura; dan
banyak lagi. Walupun korporatokrasi berbeda makna
dengan korporatisme, namun korporatokrasi sering
menggunakan unsur-unsur dalam korporatisme sebagai
variabel penting dalam strategi-taktik mereka, apalagi
unsur-unsur dalam dalam korporatisme (atau, misalnya,
sisa-sisanya yang masih banyak berkiprah dalam serikatserikat buruh di Indonesia pasca kejatuhan Suharto)
berkarakter lemah.
Kita harus melihat korporatokrasi dari
pendekatan ekonomi-politik yang historis, agar jangan
sampai terjerembab pada analisa on the spot seolah-olah
korporatokrasi lahir dari ruang hampa sosial—misalnya
melihat korporatokrasi dari sisi sosiologis (kapitalis
memerlukan wadah yang lebih struktural dan permanen
untuk lobbying); dari sisi ilmu politik [korporatokrasi
merupakan wadah, yang bisa saja di luar struktur
negara, yang dapat menjamin kediktatoran kelas
kapitalis; dan dibedakan dengan korporatisme (yang
8
Hannah Holleman dan R. Jonna, The War for Control of the Periphery, Monthly Review, February, 2008.
9
Lihat John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, Berrett-Koehler Publishers, Inc., San Francisco, 2004.
10
Lihat Charles Higham, Trading With The Enemy: The Nazi-American Money Plot 1933-1949, iUniverse, Inc., Lincoln, NE, 2007.
11
Lihat From Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Corporatism.
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
merupakan ruang di dalam struktur negara) yang masih
memberikan kesempatan tarik menarik kepentingan];
atau, walaupun pendekatannya historis, korporatokrasi
hanya dilihat sebagai rangkaian (kronologis) fragmenfragmen bagaimana negara dan kapitalis bekerjasama
mengorbankan kepentingan kelas pekerja atau warga
negara.
Tidak, secara historis negara dan kapitalisme
bukanlah dua entitas yang terpisah, negara (kapitalis)
adalah anak kandung kedikatatoran (ekonomi)
kapitalisme. Seperti kata Marx:
“Borjuis senantiasa makin bersemangat menghapuskan
keadaan penduduk yang terpencar-pencar dari alatalat produksinya, dan dari hak pemilikannya. Ia telah
menimbun penduduk, memusatkan alat-alat produksi,
dan telah mengkonsentrasikan hak pemilikan ke dalam
beberapa tangan. Akibat yang seharusnya dari hal
tersebut adalah pemusatan politik. Provinsi-provinsi
yang merdeka atau yang tak begitu erat kepentingannya,
undang-undang, pemerintah dan sistim pajak yang
berlainan, menjadi terpadu sebagai suatu bangsa,
dengan satu pemerintah, satu undang-undang, satu
kepentingan kelas, satu bangsa, satu perbatasan dan satu
tarif pabean.”12
“Kekuasaan eksekutif
tersebut, dengan organisasi
birokrasi serta militernya yang sangat hebat, dengan
mesin negaranya yang serba rumit dan cerdik,
yang meliputi lapisan-lapisan luas, dengan barisan
pegawainya yang berjumlah setengah juta, di samping
tentaranya yang juga sebesar setengah juta, badan yang
bersifat parasit mengerikan ini, yang menjerat tubuh
masyarakat Prancis seperti jala dan menyumbat segala
pori-pori di kulitnya, terjadi pada masa monarki absolut
saat keruntuhan sistem feodal, dan jasad parasit itu
telah membantu mempercepat keruntuhannya. Revolusi
Prancis, pertama-tama ia telah mengembangkan
sentralisasi, ‘tetapi pada saat yang bersamaan’ ia
memperluas sifat dan jumlah agen-agen kekuasaan
pemerintahan. Napoleon menyempurnakan mesin
negara ini. Monarki Legitimis dan Monarki Juli tidak
memberikan manfaat apapun, kecuali pembagian
kerja yang lebih besar. Akhirnya, dalam perjuangan
menentang revolusi, republik parlementer menemukan
dirinya sebagai suatu hal keterpaksaan, bersama dengan
tindakan-tindakan penindasan, memperkuat saranasarana dan sentralisasi kekuasaan pemerintah. Semua
penggulingan kekuasaan menyempurnakan mesin ini,
bukan menghancurkannya…”15
Dengan penjelasan di atas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa:
1.
Atau seperti kata Engels:
“Negara, dengan demikian, adalah sama sekali bukan
merupakan kekuatan yang dipaksakan dari luar kepada
masyarakat, sebagai suatu yang sesempit ‘realitas ide
moral’, ‘bayangan dan realitas akal’, sebagaimana yang
ditegaskan oleh Hegel. Justru, negara adalah produk
masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu; …”13
Atau, lebih kongkret lagi, Marx menjelaskan bagaimana
borjuis menyempurnakan negara agar sesuai dengan
kepentingannya:
“Tetapi revolusi adalah radikal. Ia masih dalam
perjalanannya, melewati tempat pensucian arwah. Ia
melaksanakan usahanya berdasarkan suatu metoda.
Sampai tanggal 2 Desember, 1851 (hari berlangsungnya
kudeta Louis Bonaparte), ia telah menyelesaikan
separuh dari pekerjaan persiapannya, sekarang ia
sedang menyelesaikan separuh yang lainnya. Pertamatama, ia menyempurnakan kekuasaan parlementer, agar
menggulingkan kekuasaan lama. Sekarang, setelah itu
tercapai, ia akan menyempurnakan kekuasaan eksekutif,
…”14
2.
3.
4.
pembentukan negara bukanlah sekadar hasil
dari hasrat moral dan sebagai entitas di luar
masyarakat (dipaksakan kepada masyarakat);
dalam
perkembangan
tertentu
suatu
masyarakat16, muncul kelas borjuis yang
membutuhkan—lebih tegas lagi: menciptakan—
negara (borjuis) karena negara lama tak lagi
bersesesuaian dengan kepentingannya;
pada akhir analisa, bukan negara (borjuis) yang
menciptakan kelas (borjuis), tapi sebaliknya;
karenanya, landasan kepentingan borjuislah
(konsentrasi/sentralisasi
tenaga
produktif,
akumulasi kapital, perluasan pasar, bahkan
politik)
yang
mendorong
(keniscayaan)
pembentukan, penaklukan, penyesuaian dan
penyempurnaan negara (borjuis).
Dengan demikian, telaah terhadap korporatokrasi
haruslah dilandasi oleh penelitian tentang:
1.
sejarah perkembangan kapitalisme (maju),
dan sejauh manakah (instrumen kelas borjuis)
Karl Marx dan Friedrich Engels, “Manifesto Partai Komunis”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, hal. 49, Neuron, revolt83@
hotmail.com.
12
13
Friedrich Engels, Asal Usul Keluarga, Milik Perseorangan dan Negara, dalam Lenin, Negara dan Revolusi, http://marxists.org/
indonesia/-archive/lenin/1917/negara/state2.htm
14
Karl Marx, Brumaire ke-18 Louis Bonaparte, dalam Lenin, Negara dan revolusi, http://marxists.org/-indonesia/-archive/
lenin/1917/negara/state2.htm.
15
Ibid.
16
Sering juga dikatakan: dalam fase tertentu perkembangan tenaga produktifnya.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
5
Bahasan: Korporatokrasi
2.
3.
4.
5.
6
negara telah lebih sempurna melayaninya;
dan, saat kapitalisme (maju) tersebut
merentangkan
cengkeramannya
secara
global—sebagai suatu keniscayaan (kebutuhan
untuk
mengkonsentrasi/sentralisasikan
tenaga produktif; mengakumulasi kapital
dan meluaskan pasar)—maka sampai sejauh
manakah negara (nasional) yang akan menjadi
koloninya perlu disempurnakan agar sesuai
dengan kebutuhannya;
kontradiksi negara (apa?) terhadap borjuis tentu
saja mengisyaratkan, menceminkan, bahwa
negara sedang dalam proses penggulingan oleh
unsur-unsur revolusioner; atau hanya sedang
digerogoti unsur-unsur sosial-demokrat, yang
bisa saja menghasilkan reaksi balik sogokan
otonomi relatif negara (dalam berhadapan
dengan borjuis)—agar sistim kapitalisme secara
keseluruhan tidak runtuh.17;
atas dasar kesejarahannya, tentu saja, negara
negeri-negeri berkembang (yang kaya tenaga
produktif sumberdaya alam18) akan paling tidak
sempurna, tidak bersesuaian dengan negara
negeri-negeri kapitalis maju;
Kasus bailout di negeri-negeri koloni/
berkembang (misalnya, BLBI di Indonesia), atau
negeri kapitalis maju (misalnya, permohonan
talangan 700 milyar dollar oleh Bush kepada
Kongres), substasinya sama: pada krisis
kapitalisme yang sudah mendunia, maka jalan
keluar daruratnya adalah (apa yang aku sebut)
penyangga rapuh finansial—merampas kembali
uang (sosial) kelas pekerja yang sudah diserahkan
borjuis pada negara (perampokan fiskal).
Paling tidak, kelima faktor tersebut di ataslah yang akan
menjadi pertimbangan kadar kekejaman korporatokrasi.
Sekarang, marilah kita lihat apa makna sejarah
perkembangan kapitalismenya:
Ruang hidup korporatokrasi: konsentrasi/
sentralisasi tenaga produktif; akumulasi modal;
perluasan pasar; dan krisis kapitalisme (global)
Bahwa perkembangan kapitalisme tidak dapat
dilepaskan dari pengamatan terhadap dinamika hukum-
hukumnya—apakah sebagaimana yang telah dirumuskan
oleh Marx dan Engels; atau yang kemudian tak sempat
diamatinya—karena, di dalam perkembangannya,
kapitalisme dibebani oleh hukum (besi) yang melekat
di dalamnya (inheren). Dalam Kesipulan Garis Besar
Sketsa Evolusi sejarah, Engels mengatakan:
C.
“Di satu pihak, penyempurnaan mesin-mesin, yang
dirangsang oleh persaingan—yang merupakan
kewajiban bagi setiap individu pemilik pabrik—
diembel-embeli oleh semakin meningkatnya
pemutusan
hubunga
kerja.
Bala
tentara
pengangguran, atau pasukan cadangan industri. Di
lain pihak, perluasan produksi tanpa batas—yang
di bawah tekanan persaingan, juga merupakan
kewajiban bagi setiap pemilik pabrik. Gabungan
keduanya menghasilkan perkembangan tenagatenaga produktif yang sebelumnya tak pernah
ada, kelebihan penawaran dibanding permintaan,
kelebihan produksi (overproduction), banjir
barang-barang dagangan di pasar-pasar…
D. Kelas kapitalis itu sendiri dipaksa secara
sepihak untuk mengakui watak sosial tenagatenaga produktif. Lembaga-lembaga besar harus
mengambilalihnya—guna kepentingan produksi
dan komunikasi—pertama-tama oleh perusahaan
saham-gabungan, kemudian oleh gabungan
perusahaan dan, pada akhirnya, oleh negara. …”19
Menurut Doug Lorimer:
“Untuk mengendalikan akumulasi kapital, menurut
Marx, caranya harus mempertentangkan kapitalis
dengan buruh, dan mempertentangkan buruh dengan
buruh. Dan, selain itu, juga harus mempertentangkan
kapitalis dengan kapitalis. Setiap kapitalis “harus tunduk
pada hukum mati produksi kapitalis, hukum eksternal
dan memaksa”. Karena semua daya upayanya ditujukan
untuk mengakmulasi kapital, atau sekadar berfungsi
dalam proses akumulasi kapital, maka mau tak mau
harus berseteru dengan kapitalis lainnya.
Proses akumulasi kapital dan persaingan antar-kapitalis
semakin lama akan semakin mengkonsentrasikan dan
mensentralisasikan kapital ke tangan segelintir kapitalis
saja, layaknya ikan besar melahap ikan kecil. …”20
Perkembangan spekulasi saham dan finansial tak dapat
sepenuhnya diamati oleh Marx, padahal ekonomekonom kiri sering melihatnya sebagai salah satu faktor
yang memperdalam krisis. Misalnya saja, Engels, dalam
catatan tambahan bagi Capital, Jilid III, mengatakan:
“…bursa saham masih merupakan elemen sekunder
Sebagaimana pembacaanku atas Karl Marx, The Eighteen Brumaire of Louis Bonaparte, dalam Karl Marx dan Frederick Engels,
Selected Works, dalam 1 Jilid, London, 1970; dan Hamza Alavi, The State in Postcolonial Societies: Pakistan and Bangladesh, dalam
Imperialism and Revolution in South Asia, ed. Kathleen Gough dan Hari P. Sharma, Monthly Review Press, New York and London,
1973.
18
Dalam perkembangan selanjutnya, proporsi kebutuhan akan tenaga produktif pekerja semakin menurun.
19
Dikutip dan diterjemahkan dari Friedrich Engels, Socialism: Utopian and Scientific, dalam Karl Marx dan Friedrich Engels,
Selected Works (dalam 3 Jilid), Jilid 3, hal. 150-151, Progress Publisher, Moscow, 1970-1977.
20
Doug Lorimer, “Serangan Global Imperialisme dan Kemungkinan Perlawanannya”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, hal. 107,
Neuron, [email protected].
17
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
dalam sistim kapitalis, namun setelah masa itu mulai
nampak perubahannya. Sekarang ini, bursa saham
memegang peranan yang sangat penting dan terus
menerus berkembang sehingga, kemudian, cenderung
mengkonsentrasikan seluruh cabang produksi—apakah
itu industri atau pun pertanian, bersama dengan seluruh
perdagangannya; apakah itu alat-lat komunikasi maupun
pertukaran fungsinya—ke tangan para spekulator bursa
saham, sehingga bursa saham menjadi perwakilan
produksi kapitalis yang sedemikian penting.”21
Sedangkan menurut Allen Myers:
Namun alasan utama mengapa begitu banyak uang yang
digunakan dalam spekulasi semacam itu adalah karena
krisis kelebihan produksi/kelebihan kapasitas. Terlalu
banyak kapital yang tidak bisa diinvestasikan kembali.22
(dalam bahasanya) suatu “gelembung di atas pusaranair spekulasi”24.
Semua hukum-hukum tersebut, pada akhirnya (dalam
siklus krisis), akan menghasilkan ekses lanjutan:
Secara tipikal, bisa disimpulkan, bahwa suatu perputaran
krisis muncul akibat adanya kesenjangan antara nilai
dengan harga: selama periode boom, karena harga-harga
dan keuntungan meningkat, bahkan kapitalis yang paling
tak efisien pun bisa menghasilkan laba. Dan karena
setiap orang berupaya merebut peluang, maka terjadi
kelangkaan, yang akan menyebabkan naiknya hargaharga dan keuntungan yang lebih besar lagi. Tingkat
harga rata-rata meningkat lebih tinggi dan lebih tinggi
lagi di atas tingkat nilai rata-rata. Akibatnya, modal yang
kurang efisien akan tersingkir bersama tenaga kerja
sosial yang tak bisa digunakan lagi (pemborosan).
Dan menurut Castro:
Sekarang ini, dalam skala dunia, jumlah transaksi
harian penjualan mata uang asing (yang langsung
bisa disediakan) diperkirakan mencapai US $ 1, 5
trilyun. Jumlah tersebut tak termasuk dengan apa yang
disebut sebagai operasi-operasi keuangan tambahan,
yang jumlahnya kurang lebih sama. Camkanlah
perbandingannya dengan jumlah total ekspor dunia
dalam satu tahun, yang berjumlah sekitar US $ 6.5
trilyun, sehingga kita bisa membayangkan: betapa
luar biasa besarnya jumlah transaksi moneter yang tak
berkaitan dengan perdagangan nyata.23
Total saham aset-aset keuangan seperti saham
perusahaan dan macam-macamnya, obligasi (hutang)
negara, dan lain sebagainya, naik dari 5 trilyun dollar,
pada tahun 1980, menjadi 35 trilyun dollar, pada tahun
1992, dan diharapkan akan naik lagi menjadi 80 trilyun
dollar, dan itu artinya tiga kali lipat nilai total barang dan
jasa yang diproduksi oleh ekonomi kapitalis maju. Begitu
banyaknya uang yang dispekulasikan menjadi uang,
tanpa menjadi produksi riil, tanpa menjadi perdagangan
nyata, sehingga bila tak diatasi akan memperbesar
dan mempercepat pecahnya gelembung finansial yang
mematikan produktivitas dan kemampaun daya beli
masyarakat. Bahkan seorang Keynes pun percaya bahwa
kebangkitan kapital finansial, sebagaimana yang terjadi
pada tahun 1920-an, akan mengakhiri rasionalitas
kapitalis, mengubah perusahan produktif, menjadi
Demikian pula, kesenjangan antara nilai dengan
harga menjadi terlalu besar, sehingga tiba-tiba
menyebabkan sebagian besar kapitalis tak mungkin
lagi bisa mendanai biaya produksi25 dan menghasilkan
keuntungan normalnya. Depresi/resesi klasik diatasi
dengan meredam kontradiksi yang paling penting, yakni
mengupayakan keseimbangan (kembali) antara nilai
dengan harga—terutama melalui pernyataan pailit atau
pengambilalihan perusahaan-perusahaan yang kurang
efisien—atau, dengan kata lain: penghancuran kapital.26
Redaksi Monthly Review percaya bahwa kapitalisme
memiliki wajah yang baru: pertumbuhan yang melambat,
kapital berekses, dan menggunungnya hutang. Sektor
finansial ekonomi kapitalis tidak lagi sekadar diarahkan
demi kebutuhan produksi, meningkatkan kesempatan
kerja, dan investasi. Dimulai sejak tahun 1980-an,
sektor finansial semakin menjadi bentuk otonom mata
pencaharian (mencari uang), khususnya di pasar-pasar
derivatif. Kecepatan pertumbuhan dan ambruknya
nilai-nilai finansial menambah resiko bahkan pada
kesejahteraan individual. Dan karena sektor finansial
secara keseluruhan merupakan bagian yang sangat
penting, maka resikonya pun akan membebani ekonomi
secara keseluruhan—apalagi bank bisa meminjamkan
hingga 95% dana bagi aktivitas pembelian derivatif.
Dalam kapitalisme monopoli, ekses kapasitas tidak
21
Friedrich Engels, catatan untuk Karl Marx, Capital, Jilid 3, http://marxists.org/archive/marx/works/-1894-c3/pref.htm.
22
Allen Myeers, “Sebab-sebab Krisis Ekonomi Internasional”, Jurnal Kiri, Volume.3, ,hal. 114, Neuron, [email protected].
Fidel Castro Ruz, Arsitektur Keuangan Internasional, Apendiks pidato Fidel Castro Ruz, Presiden Dewan Negara dan Dewan
Menteri Republik Kuba, yang disampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin-pemimpin Negara-negara Selatan yang
tergabung dalam Kelompok 77, Havana, 12 April, 2000.
23
24
Lihat John Bellamy Foster, The End of Rational Capitalism, Monthly Review, March 2005.
25
Padahal, bersamaan dengan ketidakberdayaan kapitalis mendanai biaya produksnya lagi, sebagian keuntungan yang lalu
sekarang (oleh kapitalis) lebih nyaman dispekulasikan/diperjudikan di bursa-bursa saham, pasar-pasar valas dan lain-lain derivaitif
keuangan lainnya—penulis.
26
Opcit, hal. 105.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
7
Bahasan: Korporatokrasi
bisa dipandang sekadar sebagai gejala temporer yang
berkaitan dengan siklus penurunan bisnis. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Josef Steindl dalam tulisannya
Maturity and Stagnation in American Capitalism (New
York: Monthly Review Press, 1976, hal. 10-12), “kelesuan”
atau “ketidakseimbangan” ekses kapasitas bisa saja
“dalam makna praktis…permanen”, selalu mengekor
pada kecenderungan fundamental ekonomi yang sedang
menuju stagnasi.27
Bahkan Bank Dunia, saat menilai Asia Timur, pun
berkata:
…tak diragukan lagi bahwa hidup puluhan juta manusia
akan semakin terpuruk dalam beberapa tahun ke depan.
Krisis yang demikian parah sekarang ini merupakan
peringatan bahwa penderitaan atas hilangnya potensi
manusia tetap akan terasa selama bertahun-tahun
sekalipun krisis tersebut sudah berlalu. Anak-anak yang
terpaksa harus putus sekolah telah mencapai tingkat yang
sangat mengkhawatirkan. Di Indonesia, sebagai contoh,
pejabat pemerintahnya melaporkan bahwa jumlah yang
mendaftar sekolah menurun secara drastis, dari 78%
menjadi 54%. Tekanan ekonomi telah memaksa banyak
keluarga tercerai berai, memaksa gadis-gadis belia
menjadi pelacur, dan menyebabkan para manula miskin
terancam hidupnya.28
8
Nampaknya krisis dunia memang akan merupakan siklus
krisis jangka panjang. Krisis Asia menandai permulaan
sebuah siklus krisis kelebihan produksi (cyclical
overproduction) dalam perekonomian dunia, seperti
yang terjadi pada tahun 1974-1975, pada tahun 19801983, pada tahun 1990-1993, pada tahun 1997-2000-an
dan, sekarang, tanda-tandanya sudah mulai kelihatan
(dengan adanya krisis finansial ekonomi Amerika). Dalam
laporan World Economic outlook, IMF memperkirakan
bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil
dunia pada tahun 1998 hanya akan meningkat 2% saja.
Laporan tersebut juga memberikan catatan: “Pada tahun
1999, peluang-peluang beberapa perbaikan signifikan
juga telah menurun, dan resiko kemerosotan yang lebih
dalam, lebih luas dan lebih panjang telah meningkat.”29
Krisis tersebut tidak saja sudah dan akan melanda Asia
(termasuk Jepang dan Korea Selatan), tapi juga sudah
dan akan melanda Amerika dan Eropa, yang ditandai
dengan stagnasi relatif dalam pertumbuhan.30
Kadar krisis tersebutlah yang akan menarik-ulur taring
korporatokrasi. Dan, seperti biasanya, melalui IMF,
akan diyakinkan bahwa obat bagi krisis tersebut adalah
kebijakan-kebijakan mutakhir kapitalisme yang sesuai
dengan
hukum
besinya—konsentrasi/sentralisasi
tenaga produktif; akumulasi kapital; dan perluasan
pasar—yakni: seraya menyodorkan paket penyelamatan
(bailout) milyaran dollar, IMF menuntut perubahan
kebijakan, berupa bahwa pemerintah akan menjamin
hutang luar negeri sektor swasta; penurunan tingkat
permintaan domestik melalui kebijakan suku bunga
tinggi dan surplus anggaran pemerintah (termasuk
potongan segala macam subsidi); serta “reformasi”
struktural untuk menghilangkan hambatan-hambatan
yang menghalangi pasar “bebas” (termasuk privatisasi).
Kebangkrutan kapital Dunia Ketiga dapat membantu
menaikan rata-rata keseluruhan tingkat keuntungan dan,
di akhir perang dingin, imperialisme tak lagi merasakan
adanya kebutuhan untuk memajang etalase “macan”
ekonomi sebagai kontra terhadap contoh-contoh ekonomi
“komunis’ dari Cina dan Uni Soyet. Sebagi altenatifnya,
hanya diberi sogokan (wortel) pembangunan terbatas;
sedangkan untuk mempertahankan ketertiban kapitalis
di negeri-negeri semi-kolonial, mereka lebih banyak
tergantung pada kekerasan (tongkat)—seperti di Irak.
Namun demikian, bagi imperialisme, peningkatan
penghisapan Dunia Ketiga tak cukup untuk mengatasi
krisis. Sekarang ini, juga merupakan suatu periode
persaingan sengit antar-imperialis, yang bentuknya
berbeda-beda.
Suatu respon terhadap krisis kelebihan produksi
adalah meningkatkan monopolisasi (baca: konsentrasi/
sentralisasi tenaga produktif): melalui penghancuran
atau menyerap para pesaing Dunia Ketiga, juga melalui
pengambilalihan atau merjer. Respon terhadap dua
bentuk kapital—kapital produktif dan kapital finansial—
adalah berkembangnya maniak merjer, yang skalanya
dijadikan jaminan apakah mampu atau tidak keluar dari
krisis.
Neoliberalisme, globalisasi krisis
27
Lihat The New Face of Capitalism: Slow Growth, Excess Capital, and a Mountain of Debt, Editors, Monthly Review, April, 2002.
28
The World Bank, East Asia: The Road to Recovery, Washington, DC, 1998, hal, IX.
29
International Monetary Fund, World Economic Outlook: October 1998, Washington DC, 1998, hal.1, dalam Allen Myeers, “Sebabsebab Krisis Ekonomi Internasional”, Jurnal Kiri, Volume.3, hal. 114, Neuron, [email protected].
Untuk melihat angka-angkanya, lihat Robert Brenner, From Neoliberalism to Depression?, Against the Current, November/
Desember 1998, hal.22.
30
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Bahkan termasuk spekulator besar seperti George Soros
pun merasa khawatir bahwa “globalisasi” dan kebijakan
“pasar bebas” neoliberal yang sudah diberlakukan
akan mengenyampingkan partisipasi rakyat pekerja,
dan menggantikannya dengan hukum kapital yang
akan membangkitkan “keresahan sosial yang massal”.;
demikian pula majalah Inggris, Economist, yang jelasjelas merupakan juru bicara paling gigih kapitalis
laissez-faire (siapa kuat, dia menang) sejak majalah itu
diterbitkan pada awal abad ke-19, bekomentar:
“…Dalam bidang ekonomi, dunia sudah ditata menjadi
suatu kesatuan aktivitas. Dalam bidang politik,
masih saja…terpecah-pecah. Tekanan antara kedua
kecenderungan antitesis yang saling berlawanan tersebut
telah menghasilkan runtunan pukulan, kejutan dan
menghancurkan kehidupan sosial manusia.”31
Economist sebenarnya merujuk pada krisis ekonomi yang
lebih besar dari Great Depression, yang diglobalisasikan
ke seluruh negeri-negeri kapitalis, pun bukan sederet
krisis keuangan dan kejatuhan ekonomi seperti di Jepang
(1989), di Mexico (1994), di Korea Selatan, di Thailand
dan di Indonesia (1997), serta di Rusia (1998). Sebut saja
salah satu contoh menyedihkan: kenaikan suku bunga
di Amerika mendorong kenaikan suku bunga di seluruh
dunia, merusak nilai kredit-bermanfaat negeri-negeri
yang berhutang banyak. Negeri-negeri yang bermodal
minim mencoba untuk mengekspor guna mencari jalan
keluar dari krisis keuangannya, namun proteksionisme
meningkat, beban hutang menjadi semakin berat,
kegagalan demi kegagalan memaksa sistim keuangan
internasional semakin menegang. Pemotongan upah dan
rencana-rencana penghematan lainnya, yang nampaknya
dianggap sebagai solusi yang paling “realistik” bagi
setiap orang, justru semakin membuat kacau persoalan.
Ekonomi pinggiran, yang cadangan keuangannya tak
memadai,
menunda
pembayaran-pembayarannya
karena kondisi kapital yang kabur (capital flight)
semakin buruk.
Dan menurut Castro:
Di Amerika Latin, di mana neoliberalisme diterapkan
sebagai lampiran doktrin, pertumbuhan ekonomi
yang dihasilkan pada tahap/masa neoliberal tidaklah
lebih tinggi ketimbang yang dicapai oleh kebijakan
pembangunan (negara) sebelumnya. Setelah PD
II, Amerika Latin tak memiliki hutang sama sekali
tapi, sekarang, berhutang sebesar 1 trilyun dollar.
Itu merupakan hutang per kapita tertinggi di dunia.
Kesenjangan pendapatan antara si kaya dengan si
miskin juga terbesar di dunia. Saat ini, Amerika Latin,
mengalami saat yang paling berat sepanjang sejarahnya
karena semakin banyak orang miskin, pengangguran,
dan yang kelaparan.
Sebenar-benarnya, di bawah kebijakan neoliberalisme,
ekonomi dunia ternyata tidak mengalami pertumbuhan
yang pesat; tapi, malahan lebih sering tidak stabil, lebih
banyak spekulasi, peningkatan hutang luar negeri dan
pertukaran/perdagangan yang tak setara. Demikian
juga, terdapat kecenderungan lebih besar dan semakin
seringnya krisis keuangan, sementara kemiskinan,
ketidakadilan dan kesenjangan antara negeri-negeri
Utara (yang makmur) dengan negei-negeri Selatan (yang
dimiskinkan) malah makin melebar.
Dalam dua tahun terakhir ini, krisis, instabilitas,
kekacauan dan ketidakpastian merupakan kalimat yang
biasa digunakan untuk menjelaskan tatanan ekonomi
dunia.
Deregulasi—yang melekat dalam neoliberalisme—dan
liberalisasi nilai kapital telah memberikan dampak
negatif sangat mendalam terhadap ekonomi dunia
karena mengakibatkan ledakan spekulasi mata uang dan
pasar-pasar yang terkena dampaknya, yang transaksi
hariannya (sebagian besar spekulatif) bernilai tak kurang
dari 3 trilyun dollar.32
Setelah semua penjelasan di atas, atau setelah perluaan
kapitalis (berserta krisisnya) berentang-dunia maka,
pada tahap inilah, keniscayaan korporatokrasi mulai
nampak:
Globalisasi neoliberal tak lain dan tak bukan adalah
globalisasi (perluasan ke seluruh penjuru dunia)
kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosial neoliberal.
Namun kebijakan-kebijakan tersebut tak ada urusannya
dengan, atau bertujuan untuk, memperlemah kekuasaan
penekan negara-bangsa terhadap rakyat pekerja,
atau bertujuan memperlemah kekuasaan penekan
negara-bangsa imperialis, khususnya negara-bangsa
Amerika Serikat, terhadap penjuru duna lainnya. Malah
sebaliknya, mereka bertujuan menjamin bahwa pasar
penjuru dunia lainnya dibuka bagi barang-barang dan
investasi mereka.
Lihat Doug Lorimer, “Serangan Global Imperialisme dan Kemungkinan Perlawanannya”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000,
hal. 115-116, Neuron, [email protected].
31
Fidel Castro Ruz, Globalisasi Neoliberal dan Dunia Ketiga, pidato Fidel Castro Ruz, Presiden Dewan Negara dan Dewan Menteri
Republik Kuba, yang disampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin-pemimpin Negara-negara Selatan yang tergabung
dalam Kelompok 77, Havana, 12 April, 2000.
33
Kontradiksi kapitalisme, bagaimanapun juga, tidak bisa dihilangkan dalam kerangka-kerja kapitalisme, tak peduli seperti apapun
demokrasi politik yang dijejalkannya. Kontradiksi tersebut hanya bisa diakhiri bila perbudakan tenaga kerja manusia oleh hukumhukum pasar diakhiri dan digantikan oleh sosialisasi tenaga produktif (termasuk tenaga kerja manusia), yang diabdikan pada
pengawasan demokratik agar tenaga produktif (termasuk tenaga kerja) tersebut dapat diorgansir secara kolektif atau, dengan kata
lain, digantikan oleh: sosialisme.
32
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
9
Bahasan: Korporatokrasi
Tak cocok dengan doktrin “pasar bebas” liberal, pembuat
kebijakan imperialis yang ada di Washington begitu
mengerti bahwa kekuatan kekerasan yang terorganisir,
sebagai esensi kekuasaan negara, merupakan alat yang
sangat dibutuhkan (krusial) dalam kebijakan ekonomi,
dan merupakan instrumen yang menentukan dalam
memutusakan siapa yang akan jadi pemenang dan
siapa yang akan menjadi pecundang dalam kompetisi
global mengakumulasi kapital di antara geng pengeruk
keuntungan yang saling berseteru. (Siapapun yang ragu
akan hal tersebut, harus mengujinya dengan pengalaman
ekonomi Irak sejak Perang Teluk.)
Berbeda dengan pendapat kaum terpelajar borjuis,
intelektual-intelektual mantan-radikal dan liberal-kiri,
yang berpendapat bahwa globalisasi neoliberal telah
memperlemah kekuasaan negara-bangsa, ternyata kapital
Amerika Serikat terus menerus memperkuat kekuasaan
penekan negara-bangsanya dengan meningkatkan
pembelanjaan untuk mesin-mesin militernya melebihi
seluruh pembelanjaan militer enam negeri kuat yang ada
sekarang ini.
10
Dan organisasi-organsisai penguasa imperialis, yang
harus memaksakan kebijakan-kebijakannya kepada
negeri-negeri kapitalis berkembang, seperti WB, IMF
dan lainnya, sebenarnya bukanlah lembaga-lembaga
yang anggotanya terdiri berbagai nasionalitas (supranational). Lembaga-lembaga tersebut, sebenarnya,
merupakan
cerminan
kekuasaan
negara-bangsa
imperialis (terutama) yang paling kuat, Amerika Serikat,
dalam ekonomi global dan, langsung atau tak langsung,
merupakan cerminan perusahaan-perusahaan besar
transnasional, cerminan korporatokrasi (rahasia atau
terbuka)—bisa saja disebut neo-korporatokrasi.
Kesimpulan
1.
Bahwa korporatokrasi, pada tahap tertentu
kapitalisme, merupakan salah satu (dari banyak)
pranata (institution) keniscayaan dalam upaya
borjuis menggunakan negara sebagai instrumen
bagi kepentingan-kepentingannya karena, seperti
kata Marx dan Engels, walaupun negara (borjuis)
itu merupakan hasil bentukkan borjuis (kadang
dengan memanipulasi rakyat/kelas pekerja
pengikutnya), namun negara (borjuis) tak akan
serta merta melengkapi mesin-mesinnya sesuai
dengan keinginan hukum-hukum kapitalisme;
kadang, terutama dalam sistim kapitalisme yang
sudah lebih maju, negara merupakan cerminan
persaingan borjuis, yang di dalamnya mereka saling
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
berebut pengaruh (penaklukan) karena, biasanya
(secara tradisi), borjuis lama (Rockefellers, Ford,
Mellons, Morgans, DuPonts, Whitneys, Warbugs,
Vanderbilts) sudah terlalu lama mendekam
menguasai negara, menindas kesempatan borjuis
baru dalam menggunakan negara sebagai instrumen
kepentingan-kepentingannya; atau negara (borjuis)
sedang dalam “ancaman” digulingkan oleh kaum
revolusioner, atau sedang sekadar digerogoti oleh
kaum sosial demokrat;
2.
Selama mesin-mesin negara (beserta ideologinya)
belum lengkap, belum sempurna bersesuaian
dengan, mengakomodir, kepentingan-kepentingan
borjuis (termasuk membantu mengatasi krisiskrisisnya), maka korporatokrasi dibutuhkan
oleh borjuis dan, oleh karena itu, karakternya:
transisional. Masalahnya: korporatokrasi tak
akan bisa menyelesaikan krisis kapitalisme;
korporatokrasi bukan pranata (institution) untuk
menyelesaikan krisis tapi, (terutama) pada saat
krisis, ia sekadar pranata (institution) untuk
menyelamatkan individu dan/atau klik borjuis
dengan cara (seperti telah dijelaskan di atas):
perampokan fiskal dan penindasan (bila ada
perlawanan).
Rekomendasi:
Hanya ada dua jalan pilihan: pertama, selagi kita masih
hidup, agar keseluruhan sistim kapitalisme tidak ambruk,
turut membantu memperpanjang hidup kapitalisme
dengan mendukung perampokan fiscal (bailout)
seraya menuntut ceceran jaring pengaman sosial. Dan
hasilnya bisa dinikmati selagi kita masih hidup; atau
kedua, selagi kita masih hidup, menggulingkan sistim
kapitalisme dengan mempercepat persatuan di kalangan
kiri dan/dengan kalangan progresif guna mempercepat
pembentukan/perluasan kekuatan alternatif rakyat
mandiri, alternatif dan mandiri terhadap kekuatankekuatan politik lama dan reformis gadungan. Dan
hasilnya belum tentu bisa dinikmati selagi kita masih
hidup33; tak ada pilihan lain.
Daftar Acuan
Karl Marx, The Eighteen Brumaire of Louis Bonaparte ,
dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works,
dalam 1 Jilid, London ,1970.
----------Theories of Surplus Value, bagian 1, Progress
Publishers, Moscow, 1963.
Friedrich Engels, Asal Usul Keluarga, Milik
Bahasan: Korporatokrasi
Perseorangan dan Negara, dalam Lenin, Negara dan
Revolusi, http://marxists.org/indonesia/-archive/
lenin/1917/negara/state2.htm.
----------Socialism: Utopian and Scientific, dalam Karl
Marx dan Friedrich Engels, Selected Works (dalam 3
Jilid), Jilid 3, Progress Publisher, Moscow, 1970-1977.
----------Catatan untuk Karl Marx, dalam Capital, Jilid 3,
http://marxists.org/archive/-marx/works/-1894-c3/pref.htm.
Karl Marx dan Friedrich Engels, “Manifesto Partai Komunis”,
Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli 2000, Neuron, revolt83@
hotmail.com.
Hamza Alavi, The State in Postcolonial Societies: Pakistan and
Bangladesh, dalam Imperialism and Revolution in South Asia,
ed. Kathleen Gough dan Hari P. Sharma, Monthly Review Press,
New York and London, 1973.
Richard Robison, Indonesia: The rise of capital, Allen & Unwin,
Sydney, 1986.
The World Bank, East Asia: The Road to Recovery,
Washington, DC, 1998, hal. IX.
International Monetary Fund, World Economic Outlook:
October 1998, Washington DC, 1998, hal.1.
Robert Brenner, From Neoliberalism to Depression?, Against the
Current, November/Desember 1998.
Michal Kalecki, Essays in the Theory of Economic Fluctuations,
Allen and Unwin, London, 1939.
Michael Klare, The New Geopolitics, Monthly Review, July–
August, 2003.
John Hobson, Imperialism: A Study, Ann Arbor: University of
Michigan Press, 1965.
Noam Chomsk, The Cold War and the Superpowers, Monthly
Review, November, 198.
John Omaha, Ph.D., Corporatocracy and the Iraqi War, http://
www.sourcewatch.org/-index.php?title=Corporatocracy.
Neil Smith, American Empire: Roosevelt’s Geographer and the
Prelude to Globalizaton, University of California Press, Berkeley,
2003.
Hannah Holleman dan R. Jonna, The War for Control of the
Periphery, Monthly Review, February, 2008.
James Burnham, The Struggle for the World, John Day, New
York, 1947.
John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, BerrettKoehler Publishers, Inc., San Francisco, 2004.
The New Geopolitics, Economist, July 31, 1999.
Charles Higham, Trading With The Enemy: The Nazi-American
Money Plot 1933-1949, iUniverse, Inc., Lincoln, NE, 2007.
Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/
Corporatism.
Doug Lorimer, “Serangan Global Imperialisme dan
Kemungkinan Perlawanannya”, Jurnal Kiri, Tahun I, No.1, Juli
2000, Neuron, [email protected].
Allen Myeers, “Sebab-sebab Krisis Ekonomi Internasional”,
Jurnal Kiri, Volume.3, Neuron, [email protected].
John Bellamy Foster, The End of Rational Capitalism, Monthly
Review, March, 2005.
----------Monopoly Capital and the New Globalization, Monthly
Review, January, 2002.
----------The Financialization of Capitalism, Monthly Review,
April, 2007.
----------The Financialization of Capital and the Crisis, Monthly
Review,
April, 2008.
Editor Monthly Review, The New Face of Capitalism: Slow
Growth, Excess Capital, and a Mountain of Debt, Monthly
Review, April, 2002.
G. John Ikenberry, America’s Imperial Ambition, Foreign Affairs,
Vol. 81, No. 5, September–October 2002.
William K. Tabb, Labor and the Imperialism of Finance, Monthly
Review, October, 1999.
Minqi Li, After Neoliberalism: Empire, Social Democracy, or
Socialism?, Monthly Review, January, 2004.
United Nations, Human Development Report, Oxford University
Press, 2000 dan 2002.
James Petras and Henry Veltmeyer, Globalization Unmasked,
Zed Books, London and New York, 2001.
Oskar Lange and Fred M. Taylor, On the Economic Theory of
Socialism, McGraw-Hill, New York, 1964.
Fidel Castro Ruz, Globalisasi Neoliberal dan Dunia Ketiga,
pidato Fidel Castro Ruz, Presiden Dewan Negara dan Dewan
Menteri Republik Kuba, yang disampaikan pada Konferensi
Tingkat Tinggi Pemimpin-pemimpin Negara-negara Selatan
yang tergabung dalam Kelompok 77, Havana, 12 April, 2000.
----------Arsitektur Keuangan Internasional, Apendiks pidato
Fidel Castro Ruz, Presiden Dewan Negara dan Dewan Menteri
Republik Kuba, yang disampaikan pada Konferensi Tingkat
Tinggi Pemimpin-pemimpin Negara-negara Selatan yang
tergabung dalam Kelompok 77, Havana, 12 April, 2000.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
11
Bahasan: Korporatokrasi
Historis Korporatokrasi
(Cengkeraman Modal terhadap
Negara) di Indonesia *
Oleh Arianto Sangaji
Menteorikan korporatokrasi
memakai istilah ini untuk menjelaskan sebuah bentuk
Dalam bukunya yang laris manis ‘Confessions
kedaulatan global yang baru (the new global form of
of an Economic Hit Man’, John Perkins (2004)
sovereignty) yang ditandai dengan merosotnya dominasi
menyebut korporatokrasi. Sebutan ini merujuk kepada
kekuatan Negara-bangsa (nation-state). Faktor-faktor
sebuah kekaisaran global (global empire) yang memiliki
produksi dan pertukaran—uang, teknologi, orang, dan
tiga pilar, korporasi, perbankan, dan pemerintah.
barang— bergerak cepat melintasi batas-batas negara, di
Katanya, korporatokrasi bukan sebuah konspirasi, tetapi
mana negara-bangsa kian tidak berdaya mengatur dan
pilar-pilarnya menjunjung nilai dan tujuan bersama.
menggunakan kewenangannya. Negara-bangsa paling
Salah satu fungsi utama dari korporatokrasi adalah
kuat dan berpengaruh pun tidak dapat mempertahankan
melanggengkan, memperluas dan memperkuat sistem
supremasinya, bahkan dalam wilayah kedaulatannya
secara terus-menerus. Nilai dan tujuan bersama, serta
sendiri. Poin pokoknya adalah bahwa kedaulatan yang
system yang dimaksud tak lain adalah sistem kapitalis.
baru ini terdiri dari organisme nasional dan supranasional
yang menyatu di bawah satu kekuatan tunggal berbentuk
Buku itu sendiri lebih bertutur tentang an
Economic Hit Man (EHMs). Kalau menerjemahkannya
12
jaringan kekuasaan. Keduanya meletakkan kekuatan US,
IMF, World Bank, bahkan NGO ke dalam regim ini.
secara bebas berarti para pembunuh professional
ekonomi. Dalam logat (slang) bahasa Inggris, hit man
Lantas apa yang bisa dilakukan? Di dalam
berarti seseorang yang disewa oleh sebuah sindikat
buku mereka yang lain ’multitude’ (2006), keduanya
kriminal sebagai pembunuh profesional. Dengan EHMs
membayangkan tentang pentingnya demokrasi sebagai
Perkins (2004:ix) maksudkan adalah para professional
jalan keluar. Tetapi, konsep demokrasi yang mereka
bergaji sangat tinggi, yang menipu seluruh negeri
bayangkan adalah yakni nonkapitalis, nonrepresentative,
dengan trilyunan dollar. Mereka menyalurkan uang
dan nonnational. Konsep ini diwadahi dalam apa yang
dari World Bank, USAID, dan organisasi keuangan
disebut dengan multitude, yakni tidak lain adalah
internasional yang lain ke dalam brankas korporasi-
semacam organisasi common singularities. Mereka
korporasi raksasa dan saku segelintir keluarga-keluarga
mengakui perbedaan (plurality) atau difference, tetapi
kaya yang mengontrol sumber daya alam di planet ini.
bukan fragmentary. Di sini mereka menganggap
Senjata mereka adalah laporan-laporan keuangan yang
pentingnya aksi-aksi bersama. siapa saja yang berpotensi
penuh tipu muslihat, pemilihan umum yang curang,
ambil bagian aksi-aksi bersama itu?. Atau dalam bahasa
hadiah (payoffs), pemerasan, seks, dan pembunuhan.
keduanya potential subjectivity of multitude. Itu
berwujud bentuk dalam perjuangan menentang IMF,
Sebenarnya, inti gagasan Perkins bukan hal
World Trade Organization, WB, gerakan mahasiswa di
baru dalam percakapan ilmu-ilmu sosial. Empat tahun
Indonesia dan Korea Selatan, perjuangan anti-dolarisasi
sebelum buku Perkins terbit, Michael Hard dan Antonio
di Equador, dan sebagainya.
Negri (2000) telah menjelaskan satu regim global baru
yang sedang tumbuh, yang oleh keduanya memberi
Jauh sebelum konsep Empire lahir, sudah
sebutan ‘Empire’. Mengombinasikan antara pendekatan
berkembang terlebih dulu apa yang disebut dengan
post-modernisme
imperialisme, dengan pengertian yang berbeda, tetapi
dan
ekonomi
politik,
keduanya
* Naskah diterima oleh Redaksi pada 15 September 2008
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
sama-sama berusaha memahami arah perkembangan
akumulasi primitif (primitive accumulation). Dari
globalisasi atau kapitalisme. Vladimir Lenin (1982, 1943)
kitabnya ‘Capital’ jilid pertama, kita menggaris-bawahi
punya perhatian yang luas dan mendalam mengenai
pengertian akumulasi primitif dalam hubungannnya
imperialisme, baik dalam menejelaskan sifat-sifatnya
dengan
juga cara menghadapinya. Lenin (1982:83) menyatakan
keuntungan sebanyak-banyaknya melalui pengrusakan,
bahwa imperialisme merupakan hasil transformasi
perbudakan, penaklukan, dan pengambilan secara paksa.
dari sistem kapitalis berbasis kompetisi bebas
cara
produksi
kapitalis
untuk
mengeruk
ke
Dia menjelaskan proses ini dalam kasus pertambangan
sistem kapitalis monopoli. Sistem monopoli memiliki
di wilayah penduduk asli di Amerika, kasus penaklukan
ciri pemusatan produksi dan modal di dalam industri
India di Asia, dan perburuan orang-orang kulit hitam di
berskala besar, setelah industri-industri berskala kecil
Afrika untuk tujuan komersil.
mengalami kebangkrutan atau dibangkrutkan. Bentukbentuk monopoli meliputi kartel, sindikasi, trusts, dan
Dalam sejarah perkembangan kapitalisme
merger di antara perusahaan-perusahaan besar. Menurut
akumulasi primitif terus berulang. Tentu saja, cara
Lenin sistem ini bekerja melalui operasi monopoli dan
kerjanya pada zaman sekarang jauh lebih kompleks,
kompetisi untuk memperoleh bahan-bahan mentah di
tetapi dengan ruh yang sama. Dalam tujuan ini, mengikuti
seluruh dunia. Hal ini terjadi melalui ekspansi ekonomi
Marx, David Harvey (2003:145) membuat istilah lain,
yang melintasi batas-batas negerinya sendiri, melalui
yang dia namakan akumulasi melalui pengambilan
kolonisasi untuk mengeruk keuntungan dari negeri-
secara paksa (accumulation by dispossession). Dengan
negeri koloninya.
istilah ini Harvey menunjuk pada komodifikasi dan
privatisasi tanah dan pengusiran para petani secara
Kalau kita menengok ke dunia hari ini, apa
paksa; pergantian berbagai bentuk hak milik (seperti hak
yang disebut dengan imperialisme tetap terjadi, tentu
milik bersama, hak milik kolektif, hak milik negara, dan
saja dengan cara kerja yang lebih canggih. Tetapi, watak
sebagainya) ke dalam hak milik pribadi secara ekslusif;
pokoknya tetap ada, yaitu eksploitasi oleh kelas borjuis,
komodifikasi tenaga kerja dan pengekangan terhadap
baik yang berlangsung di negerinya sendiri, maupun
bentuk-bentuk produksi dan konsumsi asli; proses-
antar negeri. Kendati dewasa ini banyak kosakata baru
proses pengambilan asset seperti sumber daya alam
dipercakapkan,
empire,
dengan cara-cara kolonial, neo-kolonial, dan imperial;
neo-liberalisme, dan globalisasi, tetapi kata-kata itu
monetisasi semua bentuk pertukaran dan perpajakan,
sebenarnya melahirkan kegelisahan yang kurang lebih
terutama di bidang pertanahan; perdagangan budak;
sama, akibat dari eksploitasi. Itulah, dengan membaca
riba, hutang nasional, dan dan penerapan sistem kredit.
buku
Katherin
seperti
neo-imperialisme,
Robinson
(1986)
’Stepchildren
of
Progress’, sebenarnya kita bisa melihat bagaimana
Modal di Indonesia
imperialisme bekerja dengan ganasnya di pedalaman
pulau Sulawesi, saat puluhan ribu ton nickel dikeruk
Masa penjajahan
oleh korporasi raksasa Inco untuk pasar Jepang. Sebuah
proses akumulasi keuntungan
yang berdarah-darah
Kedatangan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)
dan penuh air mata, melalui perampasan tanah dan
di tahun 1602 merupakan tonggak sejarah penting
eksploitasi buruh, baik dengan teror kekerasan, maupun
dari kolonialisme dan imperialisme di nusantara. Pada
dengan berbagai aturan perundangan yang seolah
dasarnya, badan ini adalah sebuah usaha dagang untuk
beradab.
keperluan ekonomi Belanda. Tetapi kalau melihat
kegiatannya,
VOC
seperti
sebuah
negara,
karena
Kata kunci yang penting adalah akumulasi
memiliki tentara, membuat perjanjian, memungut
keuntungan. Dalam hubungan ini Karl Marx (1976)
pajak, menghukum para pelanggar hukum dan lainnya
memberikan konsep mendasar dan penting, yaitu
(Anderson, 1983:479). Selama dua abad VOC menguasai
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
13
Bahasan: Korporatokrasi
kegiatan perdagangan dan mengeruk keuntungan besar
swasta di usaha pertambangan. Dua tahun berikutnya,
dari kepulauan nusantara dengan cara kerja seperti itu.
pemerintah mengeluarkan izin penambangan timah
Pulau Belitung (Lindblad,2002:95).
kepada sebuah usaha swasta Billiton Maatchappij di
Badan ini kemudian mengalami kebangkrutan
karena korupsi dan salah urus, sehingga pemerintah
Belanda mengambil alih
kegiatan-kegiatan yang
Kecuali ditunjang dengan berbagai kebijakan,
sebelumnya dijalankan VOC. Pemerintah bertindak
maka aspek penting yang mendukung pertumbuhan
melalui kegiatan pengawasan produksi dan kegiatan-
swasta adalah tersedianya infrastruktur keuangan yang
kegiatan pengerukan keuntungan ekonomi. Belanda
luas. Selain dari NHM
memulainya dengan membentuk NHM (Nederlandsche
Belanda, maka lembaga-lembaga perbankan seperti
atau maskapai perdagangan
Handed Maatchappij) dan Javasche Bank pada 1825,
Javasche Bank
dan memberlakukan cultuur-stelsel (tanam paksa)
membiayai investasi swasta terutama di bidang pertanian,
1830. NHM merupakan agen untuk kegiatan ekspor dan
perkebunan, dan pertambangan (Furnivall,1944).
aktif memberikan kredit untuk
impor, sementara Javasche Bank merupakan pelayan
jasa keuangan. Boleh dibilang, pemerintah Belanda
Sejak awal abad 20, kebijakan-kebijakan
bukan saja menjalankan mesin birokrasi pemerintahan,
yang mendukung usaha swasta semakin berkembang,
tetapi sekaligus bertindak sebagai saudagar. Dan seperti
sehingga sektor ini tumbuh secara cepat. Tetapi, krisis
yang kita lihat di kemudian hari, pemerintah menjadi
ekonomi 1930an, intervensi negara kembali diperlukan
pelaku penting untuk memutar roda perekonomian di
untuk melindungi pasar luar negeri dan industri-industri
nusantara, dengan langsung ikut ambil bagian dalam
baru. Tentu saja, hal ini bertentangan dengan tradisi
usaha perkebunan dan pertambangan (Furnivall,1944).
pemerintah Belanda sejak 1870 yang mempercayai
peran
14
Peningkatan pengaruh kekuatan politik liberal
swasta,
kompetisi
dan
perdagangan
bebas
(Furnivall,1944).
setelah 1850-an, yang diikuti dengan penghapusan
Sistem Tanam Paksa pada 1870, menyurutkan campur
Masa kemerdekaan – 1965
tangan pemerintah di dalam kegiatan ekonomi, dan lebih
memusatkan perhatian pada pemeliharaan hukum dan
Setelah
kemerdekaan,
warisan
ekonomi
ketertiban serta penyediaan infrastruktur. Pemerintah
kolonial masih
juga mengkhususkan dirinya sebagai pembuat kebijakan
asing terus beroperasi kendati mengalami banyak
untuk
Di
hambatan sepanjang zaman revolusi. Tonggak paling
menjamin
antaranya,
pertumbuhan
dengan
usaha
mengeluarkan
swasta.
berkerja. Berbagai perusahaan milik
Undang-undang
penting dari kembalinya modal asing adalah keputusan
Agraria 1870, agar perusahaan-perusahaan swasta
Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 di Den Haag, yang
memperoleh kemudahan-kemudahan, seperti sewa tanah
mengakui kedaulatan politik Indonesia, dan sebaliknya
pertanian/perkebunan selama 75 tahun. Pemerintah
hak-hak modal asing tetap dipertahankan. Itu berarti
juga mengeluarkan UU tentang Gula yang membatasi
perusahaan-perusahaan
kontrolnya atas perkebunan gula (Furnivall,1944). Kedua
perusahaan asing lain tetap dizinkan beroperasi di
UU itu telah mempercepat proses modernisasi pada
wilayah nusantara. Akibatnya, perusahaan-perusahaan
pabrik-pabrik gula, yang hasil produksinya ditujukan
asing leluasa beroperasi di bidang modern, seperti
ke pasar internasional. Juga, pada 1899, pemerintah
perbankan, pertambangan, transportasi, distribusi, dan
kolonial mengeluarkan UU pertambangan
(Indische
pertanian. Perusahaan-perusahaan itu bersifat padal
Mijnwet) pertama, agar mendorong peran swasta di
modal dan memusatkan kegiatannya untuk tujuan-
bidang ini (ter Braake,1977). Sebelumnya, pada tahun
tujuan ekspor.
Belanda
dan
perusahaan-
1850, pemerintah memberlakukan mijnreglemen 1850,
sebuah peraturan perundangan yang memberi peran
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Menyadari
warisan
ekonomi
kolonial,
Bahasan: Korporatokrasi
pemerintah sebenarnya juga bermaksud membangun
perusahaan Belanda, dengan mengeluarkan Undang-
perekonomian yang lebih nasionalistis. Misalnya, tahun
undang 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-
1951, pemerintah memperkenalkan program rekonstruksi
perusahaan Milik Belanda pada 31 Desember 1958. UU
ekonomi, yang disebut ’Rencana Urgensi Perekonomian
ini dinyatakan berlaku surut sampai 3 Desember 1957,
(RUP)’.
untuk
tentu dimaksudkan untuk memayungi aksi pengambil-
mengembangkan industri nasional dan meningkatkan
Pada
hakikatnya,
alihan perusahaan-perusahaan Belanda oleh serikat-
peran
pengusaha
RUP
pribumi.
bertujuan
disebut,
serikat buruh. Pasal 1 UU ini secara tegas menyatakan
program ini gagal melahirkan kelas borjuasi domestik
Tetapi
boleh
bahwa “Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang
yang kuat, kecuali pekembangan sektor pemerintah
berada di wilayah Republik Indonesia yang akan
yang menonjol. Peran negara dalam kehidupan ekonomi
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan
terutama tumbuh lebih meyakinkan pada masa-masa
nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik yang
berikutnya setelah nasionalisasi perusahaan asing.
penuh dan bebas Negara Republik Indonesia”. Ratusan
Ketika itu perusahaan-perusahaan negara
perusahaan di berbagai sektor (perkebunan/pertanian,
dibentuk
untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda
perdagangan,
setelah nasionalisasi (Robison,1986:213).
transportasi, industri, dan sebagainya) dinasionalisasi
pertambangan,
keuangan,
angkutan/
dalam periode ini.
Modal asing tetap diberikan ruang dalam
perekonomian Indonesia. RUP tidak memusuhi modal
Dengan
nasionalisasi
perusahaan-
asing. Bahkan secara formal mendorongnya, asalkan
perusahaan asing, maka kegiatan-kegiatan ekonomi
memenuhi persyaratan 51 % dimiliki oleh orang
kemudian digerakkan oleh pemerintah. Sejak ahir
Indonesia, dan pembatasan-pembatasan pada bidang
1950-an dan sepanjang awal 1960-an, pemerintah
tertentu yang disediakan untuk pemilikan domestik
mendirikan perusahaan-perusahaan negara di berbagai
secara eksklusif (Hill, 1990:14). UU No.78/1958 tentang
bidang, seperti perkebunan, kehutanan, pertanian,
penanaman modal asing (PMA) memberikan jaminan
pertambangan, angkutan dan transportasi, perdagangan,
investasi asing secara terbatas. UU PMA pertama setelah
keuangan dan sebagainya. Sebagian di antaranya jatuh
kemerdekaan ini membatasi modal asing dalam beberapa
di bawah kontrol Tentara Nasional Indonesia (Robison
sektor
angkutan/transportasi,
1986:251). Sementara sektor swasta besar yang tersisa
telekomunikasi, pembangkit listrik – dan beberapa
pelayanan
publik
–
seperti tiga perusahaan minyak asing (Stanvak, Caltex,
bidang pertambangan.
dan Shell), karena pertimbangan tertentu dibiarkan
tetap beroperasi. Meskipun berada di bawah tekanan
Tetapi,
dilaksanakan,
rencana-rencana
karena
itu
meningkatnya
tidak
dapat
nasionalisasi yang kuat.
ketegangan
politik. Konflik Indonesia-Belanda soal Irian Barat
Masa Orde baru - reformasi
memicu sentimen kuat anti Belanda. Pemerintah
Indonesia mengeluarkan UU No 13 tahun 1956 tentang
Sejak 1966, Indonesia mulai melaksanakan
Pembatalan Konferensi Meja Bundar. Sentimen anti-
pembangunan
Belanda meningkat tajam pada 1957, setelah PBB gagal
Suharto di bawah bimbingan negara-negara barat
mengesahkan resolusi
Belanda
memperkenalkan skema kebijakan ekonomi liberal, yang
merundingkan soal Irian Barat. 3 Desember 1957, serikat-
disusun oleh sekelompok ahli ekonomi berpendidikan
serikat buruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai
Amerika, yang dikenal dengan ‘Mafia Berkeley’ (Ransom,
Nasional Indonesia (PNI) mengambil alih perusahaan-
1970). Bersama-sama dengan IMF,
perusahaan dan kantor-kantor dagang Belanda.
berperan penting dengan mendorong pemerintah Orde
yang
menghimbau
ekonomi
yang
kapitalistik.
Regim
WB juga ikut
Baru untuk menyatukan ekonomi Indonesia ke dalam
Pemerintah
bertindak
mengambil
alih
sistem kapitalis. Lembaga-lembaga itu bersama dengan
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
15
Bahasan: Korporatokrasi
negara-negara kapitalis menyediakan dana pinjaman
Maxus Energy dari Amerika; Total Indonesia, yakni
kepada Indonesia, termasuk dengan mendirikan sebuah
anak perusahaan dari Compagnie Francaise des Petroles
Inter-Government
Perancis. Perusahaan-perusahaan lain adalah Exxon
Group on Indonesia (IGGI), yang kemudian berganti
Mobil Oil, Conoco Ltd, Unocal, Expan, Santa Fe, dan
nama menjadi Consultative Group for Indonesia (CGI).
Vico.
konsorsium
pemberi
pinjaman
Dapat disimpulkan bahwa di akhir dekade 1960, sebuah
model ekonomi Barat menjadi pilihan untuk modernisasi
Indonesia.
Selain kebijakan yang menganak-emaskan
penanaman modal asing, pemerintah juga mendukung
perkembangan
Regim baru memulainya dengan membuat
16
perusahaan-perusahaan
swasta
di
dalam negeri. Tetapi seperti yang kita lihat, perusahaan-
kebijakan yang menghormati modal asing. Kebijakan
perusahaan
pemerintah disambut dengan lega oleh modal luar
kelompok-kelompok usaha yang didukung oleh negara.
negeri, yang di masa pemerintahan Sukarno mengalami
Pemerintah mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam
kesulitan. Pada tahun 1967, pemerintah mengeluarkan
Negeri pada tahun 1968. Kebijakan berhasil menelorkan
Undang-Undang Penanaman Modal Asing, di mana
perusahaan-perusahaan swasta nasional dalam jumlah
ketentuan-ketentuannya sangat liberal dibanding dengan
yang besar. Fakta bahwa kehadiran konglomerat
UU yang sama tahun 1958 (Hill, 1990:48). Memastikan
Indonesia yang bergerak di bidang keuangan, industri
tidak akan ada nasionalisasi seperti pada masa lalu, maka
otomotif, industri pertanian, perdagangan, kehuatanan,
UU baru menjamin hak milik dan menghormati semua
perkebunan, elektronik, real estate, pertekstilan, rokok,
ketentuan dalam perjanjian internasional. Bahkan,
minyak dan hasil tambang lainnya, menunjukkan
pemerintah mendorong modal asing dengan keringanan
gambaran nyata dari kemajuan tersebut. Perkembangan
perpajakan (tax holiday). Tidak heran, kebijakan ini
ini terlihat pada peranan penting dari modal domestic
cukup sukses menarik investasi asing. Berdasarkan data
yang dikuasai oleh pengusaha keturunan China, dan
statistik yang dikeluarkan BKPM, dari tahun 1967 hingga
dalam hubungan mereka dengan modal internasional,
1999, pemerintah telah menyetujui 7,665 proyek investasi
dan kekuasaan politik-birokrasi (politico-bureaucratic
aing dengan nilai sekitar US$ 228,2 milyar (dikutip oleh
power) (Robison, 1986).
Embassy of United States of America, 2000).
dapat melihat perkembangan yang sangat menonjol dari
yang tumbuh dapat disebutkan sebagai
Pada lapisan berikut, kita
bisnis-bisnis keluarga para politisi (politico-businesses
Selain industri manufaktur, perdagangan,
perbankan,
perkebunan,
pertambangan
adalah
kelautan,
contoh
maka
paling
industri
nyata
families) karena hubungan mereka dengan otoritas
pengelola negara (Robison & Hadiz, 2004:57-60).
dari
Dalam semangat yang kurang lebih sama, terutama sejak
kehadiran modal swasta asing. Kita menyaksikan
1980an, pemerintah memberikan perhatian khusus
sesudah Freeport Indonesia (subsidiary of Freeport
kepada pengusaha-pengusaha pribumi, di mana peranan
Sulphur Co, USA) memperoleh kontrak karya (KK)
dari kantor Sekretariat Negara sebagai patron untuk
tahun 1967, maka berbagai pemain dalam industri
menciptakan atau memelihara
pertambangan berlomba-lomba masuk ke Indonesia.
(Pangaribuan, 1995:56-7).
klien-klien bisnisnya
Industri pertambangan minyak merupakan contoh yang
lain, betapa hebatnya perusahaan-perusahaan asing
Dengan demikian, apa yang kita lihat dari
berkiprah di negeri ini. Misalnya, Arco (Amerika) yang
perkembangan modal dalam negeri adalah munculnya
beroperasi di Indonesia dengan menggunakan bendera
borjuasi-borjuasi nasional yang asal-usulnya memiliki
Atlantic Richfield Indonesia; PT Caltex Pacific Indonesia
kedekatan dengan pemerintah. Bisnis keluarga Suharto
(sahamnya dikuasai oleh dua perusahaan Amerika
adalah contoh paling lengkap. Ketika dia turun dari
Texaco Inc. 50 % dan Chevron 50 %); Maxus Southeast
tahta, keluarganya memiliki saham kurang lebih di
Asia Ltd., yang tidak lain adalah anak perusahaan dari
1,251
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
perusahaan-perusahaan
besar.
Saham-saham
Bahasan: Korporatokrasi
itu juga berhubungan dengan perusahaan-perusahaan
bingar. Di lapangan ekonomi, di bawah dikte lembaga-
asing seperti General Electric, Du Pont, British
lembaga keuangan internasional dan negara-negara
Petroleum, Lloyds of London, Nestle, dan Energy Equity
kapitalis maju, regim baru menjadi agen kekuatan
Corporation (Backman, 1999: 261, 290-291). Sementara
imperialis, dengan menjalankan kebijakan liberalisasi,
pengusaha-pengusaha pribumi yang juga mengeruk
seperti privatisasi, pencabutan subsidi, dan berbagai
keuntungan karena kedekatan dengan pemerintah
kebijakan yang memudahkan borjuasi internasional
adalah Bakrie, Bukaka Teknik Utama, Medco, Kalla
mengeruk lebih dalam kekayaan sumber daya alam. UU
Group (Pangaribuan, 1996:51-7).
No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi merupakan
contoh paling jelas bagaimana kekuatan-kekuatan
Industri pertambangan menjadi contoh bagus
imperialis mendikte proses pengambilan keputusan
dari sepak terjang pengusaha nasional yang memperoleh
negara. Seperti kita lihat UU ini memaksa Pertamina
keuntungan karena kedekatannya dengan pemerintah.
untuk melepaskan dominasinya di industri hulu minyak
Di zaman Orde Baru, Bakrie Group dan kemudian PT
dan gas. Bahkan liberalisasi juga dilakukan di sektor
Nusamba Mineral menguasai PT Indocopper Investama
hilir, dengan demikian semakin memangkas peranan
Corporation, di mana perusahaan ini menguasai saham
Pertamina. Semangat yang sama juga bisa dilihat dari
sebesar 9, 36 % atas PT Freeport Indonesia (PT FI).
UU No 19/2004 tentang Kehutanan dan Keputusan
Selain mengambil keuntungan dari investasi asing,
Presiden 41/2004 yang mengizinkan 13 perusahaan
pengusaha nasional juga menjadi pemain utama dalam
tambang beroperasi di hutan lindung.
industri ini. Misalnya, PT Medco Energy Corporation –
investasi dan holding company dari belasan perusahaan.
Tidak
heran,
perusahaan
transnasional
Grup perusahaan ini dirintis oleh Arifin Panigoro dengan
dengan leluasanya mendulang kekayaan dari perut bumi
bisnis intinya adalah minyak dan gas.
Indonesia. Enam perusahaan transnasional di sektor
pertambangan, masing-masing Rio Tinto, Broken Hill
Seperti telah kita lihat, berbasiskan pada
borjuasi
nasional
yang
lengket
dengan
Property Company Ltd, Newmont Mining Coorporation,
kekuasan
Newcreast Mining Ltd, Inco Ltd (sekarang Vale Inco),
negara dan menggantungkan harapannya pada modal
dan Freeport Mc Moran Copper & Gold menguasai
internasional, ekonomi kapitalis Indonesia mengalami
industri pertambangan Indonesia dalam penambangan
pukulan telak, ketika krisis keuangan menyerang di tahun
emas, perak, tembaga, nikel, dan batubara (Sangaji,
1997. Krisis itu menjungkir-balikkan oligarki ekonomi
2002).
dan politik Orde Baru yang segera diikuti dengan sebuah
menguasai industri perminyakan. Tercatat, produser
revolusi borjuis untuk mengakhiri kediktatoran Suharto.
minyak terbesar adalah Chevron yang menguasai bekas
Sebuah regime korup dengan tangan berlumuran darah
aset milik Caltex Pacific dan Unocal. Produser lain yang
selama 32 tahun tumbang karena karib internasionalnya
menonjol adalah British Petroleum, ConocoPhillips,
(negara-negara Barat dan lembaga-lembaga keuangan
ExxonMobil, dan Total. Sementara itu, kendati, PT
internasional) tidak mau lagi mendukung, perpecahan di
Pertamina turut juga bermain, tetapi enam perusahaan
kalangan elit yang terbuka dan vulgar, serta perlawanan
transnasional mendominasi industri gas Indonesia.
heroik mahasiswa, anak-anak muda kelas menengah
Keenamnya adalah Total (diperkirakan menguasai
perkotaan.
sekitar 30 persen pasar [market share] pada tahun
Perusahaan-perusahaan
transnasional
juga
2004), ExxonMobil (17 persen), Vico (a BP-Eni joint
Revolusi borjuis itu membawa Indonesia
ke sistem yang benar-benar liberal di bidang politik
venture, 11 persen), ConocoPhillips (11 persen), BP (6
persen), and Chevron (4 persen) (Anonymous, 2007).
dan ekonomi. Dibarengi dengan kekerasan-kekerasan
berdarah dan pemerintahan yang korup, revolusi 1998
Seperti di masa Orde Baru, borjuasi nasional
melahirkan sebuah demokrasi borjuis penuh hingar
yang dekat dengan kekuasaan politik kembali berkibar-
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
17
Bahasan: Korporatokrasi
kibar. Bisnis keluarga politisi menjadi contoh yang pas
menyuarakan tuntutan-tuntutan, baik yang bersifat
bagaimana kelompok-kelompok borjuasi nasional warisan
reformis maupun radikal, dengan spektrum isyu yang
Orde Baru dengan leluasa memperoleh privelese. Seperti
luas, dari penolakan-penolakan terhadap pencabutan
dilaporkan oleh George J Adtjondro (2006a:13, 2006b)
subsidi BBM, liberalisasi pasar tenaga kerja (labor
bahwa sejak Jusuf Kalla menjadi Wakil Presiden R.I.
market flexibility[LMF]), privatisasi hak atas tanah,
dan kemudian merangkap Ketua Umum Partai Golkar,
privatisasi air, pertanian dan perkebunan monokultur,
PT Bukaka, salah satu perusahaan milik keluarganya
hingga nasionalisasi perusahaan-perusahaan tambang.
membangun berbagai proyek kelistrikan di pulau
WALHI tergolong salah satu ornop yang cukup konsisten
Sulawesi dan Sumatera. Dalam laporannya tentang Aceh
melakukan perlawanan itu sejak zaman Suharto. Dengan
setelah perjanjian damai Helsinki, Aditjondro (2007)
menggunakan jaringan yang luas di nusantara dan
juga mengupas tuntas bagaimana kerajaan-kerajaan
jaringan internasionalnya, perlawanan organisasi ini
bisnis para politisi-bisnis, seperti Abu Rizal Bakrie dan
telah menarik perhatian publik luas. Freeport adalah salah
Surya Paloh berbisnis dengan leluasa di sana.
satu contoh kasus yang secara konsisten dikampanyekan
oleh WALHI. Lainnya adalah aksi permohonan kepada
Jalan keluar
Mahkamah Konstitusi untuk mencabut UU No 19/2004.
Tetapi seperti kita lihat perlawanan-perlawanan yang
Lalu apa yang mesti dilakukan?. Dewasa
ini respon terhadap imperialisme berlangsung dalam
selalu menyerap perhatian media itu selalu menemui
kegagalan.
berbagai bentuk, dari perlawanan yang ditunjukan oleh
18
satu negara secara individual, atau koalisi di antara
negara-negara dalam wilayah tertentu, dan perlawanan
Di
yang bersifat transnasional. Di luar respon revolusioner
globalisasi/neo-liberalisme
seperti yang diajarkan oleh Lenin, dewasa ini kita
politik melalui penguasaan institusi negara. Tetapi,
menyaksikan
seperti terjadi di Venezuela, perjuangan itu telah
gerakan-gerakan
anti-globalisasi/anti-
Kedua, aksi politik untuk menguasai negara.
Amerika
Latin,
perlawanan
anti-imperialisme/
merupakan
perjuangan
neo-liberalisme/ anti-imperialisme berlangsung di dua
meninggalkan
tingkatan. Pertama, aksi yang dilakukan oleh organisasi
oleh Martha Harnecker (2005:147) ditandai dengan
non-pemerintah (Ornop) secara global. Aksi tersebut
pentingnya sebuah blok sosial alternatif (alternative
memiliki bahasa yang berbeda karena titik berdiri dan
social block) yang luas. Blok ini harus mencakup berbagai
kepentingannya yang beragam. Ada kelompok moderat
kelompok dengan latar belakang yang beragam seperti
yang menonjolkan isyu partisipasi dan transparansi;
kelas pekerja di kota dan desa, kelompok-kelompok yang
kelompok liberal yang mendorong restrukturisasi sistem
mewakili sektor yang termarginalisasi dan termiskinkan,
dan lembaga-lembaga global; dan kelompok radikal
sektor-sektor menengah yang termiskinkan, pengusaha-
yang
pengusaha skala menengah dan kecil, pekerja sector
berorientasi
lembaga
global
kepada
(Marcuse,
penghancuran
2000:27).
lembaga-
Perlawanan-
ekonomi
cara-cara
informal,
revolusioner
lapisan
klasik,
mayoritas
dari
yang
kelas
perlawanan berskala transnasional itu pada umumnya
professional, penganggur, orang-orang tua, anggota-
melibatkan kelompok masyarakat sipil (civil society)
anggota koperasi, polisi, tentara berpangkat menengah
antar negara. Genoa, Seattle, dan protes anti perang
dan
adalah contoh paling konkrit tentang reaksi masyarakat
berkontradiksi dengan modal transnasional.
rendahan,
dan
sektor-sektor
kapitalis
yang
sipil transnasional terhadap merajalelalnya praktik
imperialisme.
Di Indonesia, meskipun dalam satu dekade
terakhir, lebih banyak kegagalan dalam mendorong
Di Indonesia, perlawanan terhadap globalisasi/
neo-liberalisasi/imperialisme
lumayan
bergaung.
Banyak kelompok kelas menengah secara sporadik selalu
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
kebijakan anti-imperialis, tetapi optimisme bukannya
tidak
ada.
keterbatasan
Beberapa
kelompok
perlawanan
mulai
dengan
menyadari
menggunakan
Bahasan: Korporatokrasi
instrumen non-negara, dan memikirkan solusi lain
Economy. London: Cambridge University Press.
melalui perjuangan politik. Dalam hubungan ini, inisiatif
Hardt, M.,&Negri, A., (2006). Mutlitude: War and democracy in
sejumlah aktivis untuk membangun partai politik untuk
the age of empire. London: Penguin Books.
ambil bagian dalam politik elektoral seperti Sarikat
--------------, (2000). Empire. Massachusetts: Harvard
Hijau, PPR, dan Papernas merupakan langkah politik
University Press.
yang maju. Bagaimanapun sulit untuk membayangkan
Harnecker, M. (2005). On Leftist Strategy. Science & Society, 69
sebuah perubahan kebijakan strategik di tingkat negara,
(2):142-152.
tanpa menguasai instrumen-instrumen negara. Oleh
Harvey, D. (2003). The New Imperialism. Oxford: Oxford
karena itu, sikap anti partai di sebagian aktivis ornop
University Press.
barangkali perlu ditahan dulu, kalau memang belum
Hill, H., (1990). Investasi Asing dan Industrialisasi di
bisa dihilangkan sama sekali. Prinsipnya, perlawanan
Indonesia (diterjemahkan oleh Burhanuddin Abdullah dari
terhadap
Foreign Investment and Industrialization in Indonesia).
imperialisme
tidak
bisa
lagi
dilakukan
sendiri-sendiri, dengan menggunakan cara-cara lama
Jakarta: LP3ES.
khas
Lenin, V.I., (1982). Imperialism: The highest stage of
‘advokasi’ dari luar negara semata. Saya tidak
mengatakan bahwa cara-cara itu sudah ketinggalan
capitalism. Moscow: Progress Publisher.
zaman, tetapi sebaiknya memperkayanya dengan alat-
--------------., (1943). State and Revolution. New York:
alat baru. Dengan begitu, kita bisa masuk ke dalam
International Publisher.
salah satu pilar korporatokrasi seperti disebut Perkins,
Lindblad, J.T., (2002). The Outer Islands in the 19th century :
yakni pemerintah. Hanya dari sanalah peluang untuk
Contest for periphery, in Howard Dick,et,al, eds, The Emergence
menggunting imperialisme terbuka lebar.
of a National Economy, an economic history of Indonesia,
1800-2000, Honolulu: Allen & Unwin and University of Hawai’I
Press.
Referensi
Marcuse, P. (2000). The Language of Globalization. Monthly
Aditjondro, G.J., (2007). Profiting from Peace: The political
Review, 52 (3):23-27.
economy of Aceh’s post-Helsinki reconstruction. Report For
Pangaribuan, R. (1996). The Indonesian State Secretariat 1945
INFID. Jakarta.
– 1993. (translated by Vedi Hadiz. Jakarta: Sinar Harapan.
------------------, (2006a). Terlalu Bugis, Kurang Perancis,
Perkins, J., (2004). Confessions of an Economic Hit Man. San
Makalah disampaikan dalam acara bedah buku Manusia Bugis
Francisco: Berrett-Koehler Publishers, Inc.
karangan Christian Pelras di Bentara Budaya, Jakarta, hari
Marx, K. (1976). Capital: A critique of Political Economy
Kamis, 16 Maret.
(Volume one) (Translated by Ben Fowkes). London: Penguin
------------------ (2006b). Potret Masalah Ekonomi Politik
Books.
di Indonesia, Sesudah 61 Tahun Merdeka, Makalah untuk
Ransom, D., (1970). The Berkeley Mafia and the Indonesian
Temu Raya Oikmas 2 GKI Sinode Wilayah Jawa Barat di GKI
Massacre. Ramparts, 9 (4): 27-29, 40-49.
Samanhudi, Jl. Samanhudi no. 28, hari Jumat, 25 Agustus.
Robinson, K.M., (1986), Stepchildren of Progress,the Political
Anderson, B.R O’G., (1983). Old State, New Society : Indonesia’s
Economy of Development in an Indonesia Mining Town,
New Order in comparative historical perspective, Journal of
Albany: State University of New York.
Asian Studies, 42 (3):477-496.
Robison, R. (1986). Indonesia: The rise of capital. Sydney: Allen
Anonymous (2007). Indonesia: Oil & Natural Gas. [Online].
& Unwin.
Dapat diakses melalui: http://www.eia.doe.gov/emeu/cabs/
Robison, R. and Hadiz, V.(2004). Reorganizing Power in
Indonesia/NaturalGas.html. (akses 12-9-2008).
Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets. New
Backman, M., (1999). Asian Eclipse, Exploring the Dark Side of
York: RoutledgeCurson.
Business in Asia, John Wiley & Sons (Asia). Singapore: Pte Ltd.
Sangaji, A. (2002). Buruk Inco Rakyat Digugat: Ekonomi
Embassy of The United States of America, (2000). Indonesia :
politik pertambangan Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
Investment Climate Statement 2000, Jakarta.
ter Braake, A. L, (1977). Mining in the Netherlands East Indies,
Furnivall,J.S., (1944). Netherlands India: A Study of Plural
New York: Arno Press.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
19
Bahasan: Korporatokrasi
Ekonomi Partikelir
di Era Neokolonialisme *
Oleh: Dani Setiawan dan Longgena Ginting
Korporatokrasi (corporatocracy), saat ini menjadi
terminologi baru yang dikaji banyak kalangan. Istilah ini
sering digunakan untuk menggambarkan keadaan saat
pemerintah dalam banyak hal bekerja di bawah tekanan,
tunduk kepada, dan sekaligus melayani kepentingan
perusahaan swasta besar.
20
John Perkins mengartikan korporatokrasi sebagai “a
system of governance controlled by big corporations,
international banks, and government”.1 Tujuan
akhirnya adalah melanggengkan tatanan global yang
pro-akumulasi modal. Amin Rais menggunakan istilah
korporatokrasi sebagai sistem atau mesin kekuasaan
yang bertujuan untuk mengkontrol ekonomi dan
politik global yang memiliki 7 unsur, yaitu: korporasikorporasi besar; kekuatan politik pemerintahan tertentu;
perbankan internasional; kekuatan militer; media massa;
kaum intelektual yang dikooptasi; dan elit nasional yang
bermental inlander.2
Meskipun belum dikenal secara umum di antara
kalangan akademik, setidaknya istilah baru ini mampu
memberi penjelasan secara tepat tentang kekuasaan yang
sedang mengontrol dunia. Merekalah para kelompok
yang mendominasi sistem sosial, politik dan ekonomi
masyarakat sehingga berjalan di atas hukum pasar
ekonomi neoliberal saat ini. Korporatokrasi tidak hanya
membuka tabir gelap tentang kekuasaan segelintir elit
yang zalim di panggung kekuasaan, namun membongkar
motif penyingkiran Negara dari wilayah-wilayah publik
dan hanya menjadikannya sebagai penjaga malam bagi
berjalannya kepentingan perusahaan-perusahaan besar
mengeruk keuntungan.
Ungkapan ini setidaknya membantu kita untuk
menjelaskan mengapa di Negara Indonesia yang
kaya ini masih terdapat banyak orang miskin dan
pengangguran. Mengapa emas, tambang, batubara, gas,
minyak yang terus diambil dari bumi Indonesia tidak
memberi dampak bagi meningkatnya kesejahteraan
rakyat. Dalam kasus lain, istilah korporatokrasi dapat
memberi penerangan yang jelas mengapa seolah tidak
tersedia alternatif pembiayaan selain utang luar negeri
yang notabene menciptakan ketergantungan ekonomi
yang tinggi kepada Negara lain. Bagaimana mungkin
rakyat harus menanggung beban pembayaran utang
yang sangat besar, sehingga subsidinya harus dicabut.
Sedangkan di sisi lain sejumlah perbankan (termasuk
perbankan asing) menikmati “subsidi” terselubung dari
Negara lewat pembayaran obligasi.
Penelusuran lebih jauh terhadap masalah ini akan
menghasilkan fakta historik kekuasaan lembaga-lembaga
keuangan internasional di Indonesia dalam mengkontrol
kebijakan ekonomi. Transaksi utang luar negeri telah
berhasil membentuk aliansi transnasional antara elit di
Negara-negara kreditor dengan elit penguasa di tingkat
domestik. Persekutuan ini melahirkan kerjasama yang
apik dalam merancang kembalinya kekuatan kolonial,
terutama
perusahaan-perusahaan
transnasional
dalam mendominasi struktur ekonomi dan politik di
Indonesia.
Sejarah Kolonialisme
Kolonialisme di nusantara ditandai dengan tindak
eksploitasi manusia melalui sistem perundang-undangan
yang berlaku, seperti pajak tanah (landrente), kerja
* Naskah Diterima oleh Redaksi pada 20 Oktober 2008
1 John Perkins, Confession of an Economic Hit Men, (2004), hal. Xii.
2 Amin Rais, Selamatkan Indonesia, (Yogyakarta: PPSK Press, 2008), hal. 82-83.
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
paksa (culture stelsel), kuli kontrak (onderneming), dan
sistem feodalisme yang sangat menindas.
Tentang riwayat berkuasanya perusahaan di panggung
politik pemerintahan, sesungguhnya sudah terjadi sejak
lama. Dalam sejarah kolonialisme Indonesia, sebuah
perusahaan swasta Belanda VOC (Vereenigde OostIndische Compagnie) melakukan ekspansi imperialisme
pada awal abad 17, dan diteruskan oleh Pemerintahan
Belanda hingga berakhirnya Perang Dunia II. Peran
VOC dalam proses kolonialisme di Indonesia menarik
untuk diperhatikan. Sebuah perusahaan swasta Belanda
yang sangat kuat karena pengaruhnya terhadap
pemerintahan.
Ekspansi perdagangan VOC yang telah berhasil menguras
sumber daya alam di kepulauan Indonesia saat itu tidak
lepas dari dukungan politik pemerintahan Belanda.
Bukan hanya itu, hak monopoli dagang di Hindia Timur
(Nusantara) yang diberikan oleh pemerintahan Belanda
menjadikan perusahaan ini memiliki wewenang untuk
menduduki wilayah manapun yang dikehendakinya.
Semua hal tersebut dilakukan oleh VOC dengan dukungan
militer serta persenjataan lengkap yang disediakan oleh
pemerintah Belanda.
Hasilnya, pada tahun 1669 VOC menjadi perusahaan
swasta terbesar di dunia, memiliki 150 kapal dagang,
40 kapal perang, 50.000 karyawan, angkatan darat
swasta
sebesar 10.000 prajurit, dan pembayaran
deviden sebanyak 40%.3 Tidak hanya armada dagang
dan armada perang, kekuatan kolonial juga memelihara
para intelektual yang bertugas untuk memberikan
saran akademis dan melakukan justifikasi atas praktek
imperialisme di negeri jajahan. Praktek kongkret dapat
kita lihat dalam peran Snouge Hugronge memberikan
saran kepada pemerintah Belanda tentang bagaimana
cara memerangi rakyat Aceh.
Meskipun dukungan militer dan pemerintah yang
kuat, serta para “intelektual tukang” yang berada di
sekitarnya, kekuasaan VOC niscaya tidak akan pernah
besar tanpa dukungan elit penguasa lokal yang memilih
tunduk kepada pihak Penjajah. Meski dapat diurai
berbagai alasan yang mendasarinya, ketertundukan para
penguasa lokal disebabkan oleh dua hal. Pertama, mereka
yang memilih tidak melakukan perlawanan karena
ketidakseimbangan kekuatan dan memilih menyerah
pada pihak Belanda. Kedua, atau mereka yang sengaja
berkolaborasi dengan Belanda untuk kepentingannya
sendiri. Teori “kolaborasi” ini menjelaskan mengapa
orang Eropa dalam jumlah sedikit – sering cuma
segelintir – sanggup terus berkuasa di dunia non Eropa:
Elit pribumi terbukti bersedia bekerjasama karena di
bawah tekanan, dan ada pergeseran dalam perimbangan
kekuatan. Ini juga menjelaskan mengapa kekuasaan
kolonial berakhir ketika sebuah elit nasionalis baru
membatalkan kerjasama mereka.4
Para elit bermental inlander tersebut memilih untuk
takluk di bawah kekuasaan kolonial dan rela menjual
harga diri dan tanah airnya demi memperoleh dukungan
politik Belanda. Demikian seterusnya politik kolonial
menjadikan kekuasaan para raja untuk melakukan
penindasan kepada rakyat untuk mengeksploitasi hasil
bumi Indonesia. Tak kurang Belanda pun menjadi peyulut
dan sumber perselisihan antar kerajaan atau praktek
adu domba untuk memastikan penguasa-penguasa lokal
tunduk pada aturan-aturan kolonial.
Begitulah kekuasaan pada masa itu dijalankan untuk
memenuhi motif memperoleh kehormatan dan
keagungan. Belanda telah mengembangkan teori-teori
imperialisme dengan cara mengawinkan birokrasi
pribumi dengan birokrasi Barat atas nama pemerasan
dan penindasan. Walaupun mengalami keterlambatan
dalam ekspansi kolonialisme, Belanda telah berhasil
melakukan perluasan-perluasan wilayah kekuasaannya
di Indonesia dan menjadi salah satu Negara di Eropa
yang kuat dan cukup disegani oleh para Negara kolonial
lainnya seperti Inggris dan Perancis.
Pelajaran dari VOC masa lalu di Indonesia, menjadi
gambaran bahwa praktek korporatokrasi sudah lama
terjadi di Indonesia. Adapun terjadi kemiripan dengan tipe
kekuasaan saat ini, lebih merupakan bentuk transformasi
praktek kolonialisme dalam era neoliberalisme. Sejarah
sungguh bukan berulang, tetapi hampir tidak ada
interupsi dari praktek eksploitasi ekonomi di Indonesia.
Struktur perekonomian Indonesia tidak pernah berubah.
Perusahaan besar dan perusahaan menengah berada di
tangan bangsa asing dan warga keturunan. Sementara
rakyat Indonesia hanya menjadi kuli dari keseluruhan
proses produksi yang sedang berlangsung.
Sejak jauh hari wakil presiden Muhamad Hatta
3 http://en.wikipedia.org/wiki/Dutch-East-India-Company
4 Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial; Hubungan Jambi – Batavia dan
Bangkitnya Imperialisme Belanda, (Jakarta: Mei 2008), hal. 22
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
21
Bahasan: Korporatokrasi
mengingatkan
ancaman
kembalinya
praktek
imperialisme melalui kekuatan korporasi. Hatta (1967)5
menyebut di dalam pasal 33 sebagai sendi politik
perekonomian nasional tercantum cita-cita ekonomi
berencana di mana pemerintah memiliki peranan yang
menentukan. Ayat (1), (2), dan (3) pasal 33 merupakan
bagian dari upaya mewujudkan demokrasi ekonomi,
terdapat pembagian yang jelas antara sektor-sektor
yang dapat diselenggarakan secara privat dengan sektorsektor yang harus diselenggarakan secara kolektif.
Dalam sistem pasal 33 UUD 1945, perusahaan berskala
kecil dan besar dapat dikerjakan oleh koperasi. Dan
usaha yang besar-besar dikerjakan oleh pemerintah.
Bukan saja perusahaan yang tergolong masuk “public
utilities” diselenggarakan oleh pemerintah, melainkan
juga cabang-cabang produksi yang penting sebagai
industri dasar, tambang dan lain-lainnya dimiliki atau
dikuasai oleh pemerintah. Dalam pengelolaannya, Hatta
menyebutkan bahwa pemerintah dapat menyerahkan
manajemen perusahaan kepada orang-orang yang
cakap dan tenaga ahli yang disewa dari luar negeri,
asalkan dapat dipercaya dan bertanggung jawab kepada
pemerintah.
22
Inisiatif partikelir (swasta) tetap diberikan tempat oleh
pemeritah asalkan sejalan dengan strategi perekonomian
yang telah dibuat. Tetapi seiring dengan meningkatnya
kemampuan koperasi untuk mengelola usaha-usaha
sedang dan besar, pihak swasta diharapkan semakin kecil
peranannya dalam perekonomian nasional. Hal tersebut
sejalan dengan semangat kolektifitas yang menjadi ciri
dalam pengelolaan perekonomian Indonesia merdeka
yang dicita-citakan. Sebagaimana dikhawatirkan oleh
Hatta, bahwa suatu politik perekonomian yang didasarkan
pada inisiatif partikelir hanya akan membuka jalan bagi
masuknya kapitalis asing ke Indonesia. Dan, dengan itu,
sejarah kolonialisme ekonomi, berulang kembali.
Ciri kolektifisme dalam ekonomi Indonesia bertolak
belakang dengan pendirian ekonomi pasar yang dianut
ekonomi neoliberalisme. Desain ekonomi nasional
dalam skenario konstitusi tersebut diarahkan untuk
membuka kesempatan bagi rakyat untuk terlibat di
seluruh lapangan perekonomian. Rakyat terlibat dalam
proses produksi, distribusi dan menikmati hasil-hasil
produksi. Identitas kolektifisme dalam perekonomian
Indonesia dianggap yang paling sesuai dengan tradisi
gotong-royong masyarakat Indonesia dan saling tolongmenolong.
Konsep kolektifisme berbeda dengan persaingan bebas
(free competition) dan pasar bebas (free market) yang
oleh kaum Smithian dianggap dapat menghasilkan
efisiensi ekonomi. Di dalamnya, kebebasan individual
dalam ekonomi harus diberikan seluas-luasnya untuk
mengoptimalkan
pamrih
pribadi
(self-interest).
Dalam perekonomian yang bebas, proteksi dan subsidi
dianggap sebagai penyakit yang menimbulkan distorsi
pasar sehingga menyebabkan pemborosan dan efisiensi.
Begitu berkuasanya “pasar” hingga dapat mengalahkan
kepentingan umum rakyat dan menggadaikan
kedaulatan bangsa. Hingga kita patut bertanya, siapakah
yang disebut “pasar” oleh para ekonom dan pengkhotbah
neoliberalisme itu. Apakah menunjuk pada pasar
tradisional yang umum kita kenal di Indonesia seperti
pasar Bringharjo di Yogyakarta, pasar Tanah Abang di
Jakarta, atau justru yang dimaksud sebenarnya adalah
pasar keuangan?.
Prof. Sri Edi Swasono menjelaskan bahwa pasar adalah
the global financial tycoon atau para taoke keuangan
global dengan para fund manager mereka.6 Si miskin,
acapkali sekedar merupakan penonton dan sekaligus
sebagai objek pasar, tetapi bukan penentu keputusankeputusan pasar. Para taoke keuangan global ini
membentukkan diri sebagai ”a global governance” yang
terstruktur dalam jaringan trans national corporation
(TNCs) yang mencapai jumlah 37.000 (2002), Bank
Dunia, IMF, G8, TC (Trilateral Commision Forum)
dan seterusnya. Dalam definisi ini, jelas kiranya yang
dimaksud adalah kebijakan ekonomi yang harus ramah
kepada pasar, dimaksudkan untuk melayani kepentingan
korporasi dan lembaga-lembaga keuangan internasional
ini.
Jangkauan
wilayah
ekspansi
bisnis
korporasi
multinasional yang luas menjadikan kekuatan
ekonominya melebihi perusahaan-perusahaan nasional
atau negara berdaulat sekalipun. Motif mencari
keuntungan, keagungan dan kehormatan membuat
para eksekutif korporasi multinasional melakoni
perselingkuhan dengan para politisi dan pejabat di negara
asal mereka. Sama halnya di negara wilayah ekspansi,
kerjasama-kerjasama yang dilakukan bersama politisi
5 M. Hatta, Membangun Ekonomi Indonesia,(Jakarta: 1985),hal.82-83
6 Prof.Dr.Sri Edi Swasono,Daulat Rakyat versus Daulat Pasar, (PUSTEP UGM: 2005),hal.16
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
dan elit penguasa dilakukan demi tercapainya ambisi
mencari keuntungan. Meskipun dalam prakteknya,
harus dilakukan dengan mengorbankan kepentingan
rakyat banyak dan melanggar aturan-aturan hukum
yang berlaku.
Pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 1945,
tragedi paling mengerikan berkuasanya korporasi asing
terjadi ketika proses peralihan kekuasaan dari Soekarno
kepada Suharto. Terlepas dari berbagai versi mengenai
situasi yang terjadi menjelang 1965 – 1967, setidaknya
ada dua peristiwa penting yang patut diperhatikan.
Pertama, beralihnya kekuasaan Soekarno kepada
Suharto telah diikuti dengan pembuatan undang undang
baru yang mendukung investasi asing di Indonesia. Pada
Agustus 1965, sebulan sebelum Peristiwa 30 September,
terbit UU Nomor 16 Tahun 1965. Isinya mencabut UU
Nomor 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal
Asing. Bagian Menimbang UU itu berbunyi antara lain
“bahwa penanaman modal asing di Indonesia, yang
bagaimanapun juga adalah bersifat menarik keuntungan
sebanyak-banyaknya dan dengan demikian menjalankan
terus-menerus penghisapan atas rakyat Indonesia,
serta menghambat jalannya Revolusi Indonesia dalam
menyelesaikan tahap nasional demokratis untuk
menjalankan
Sosialisme
Indonesia
berdasarkan
Pancasila”. Jadi, dalam UU Nomor 16 Tahun 1965 ini
Indonesia jelas sekali mengambil sikap tegas antimodal
asing dan itu disahkan pada 23 Agustus 1965, lima
minggu sebelum Peristiwa 30 September 1965.
Banyak sudut pandang sejarah yang mencoba
menjelaskan maupun mengaburkan apa sebetulnya yang
terjadi di balik Peristiwa 30 September 1965 itu. Apa
pun model penafsirannya, satu hal jelas bahwa peristiwa
itu merupakan upaya sistematis pihak asing kembali
meletakkan Indonesia di bawah kekuasaan mereka.
Mari melihat lagi fakta sejarah. Bulan Februari 1966
keluar UU Nomor 1 Tahun 1966 tentang Penarikan Diri
Republik Indonesia dari Keanggotaan Dana Moneter
Internasional (IMF) dan Bank Internasional untuk
Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank
for Reconstruction and Development). UU ini memang
keluar setelah 30 September 1965, tetapi ia sudah
telanjur diproses sebelumnya dan baru disahkan pada
Februari 1966. Menyusul setelah itu adalah komitmen
rezim Suharto untuk melunasi utang luar negeri warisan
Hindia Belanda disepakati untuk dibayar selama 35
tahun terhitung sejak 1968. Sedangkan utang luar negeri
warisan Soekarno disepakati untuk dibayar selama 30
tahun terhitung sejak 1970.7
Kedua, dalam bulan November 1967, menyusul
digulingkannya Soekarno dan pembantaian terhadap
hampir 1 juta orang anggota dan simpatisan Partai
Komunis Indonesia, The Time-Life Corporation
mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang
dalam waktu tiga hari merancang pengambil-alihan
Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang
paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David
Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili:
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General
Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland,
British American Tobacco, American Express, Siemens,
Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel.
Di seberang meja adalah orang-orangnya Suharto yang
oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia
yang top”, begitu penuturan Jeffrey Winters.
Perekonomian Indonesia sejak saat itu dibagi-bagi
menurut kepentingan pihak korporasi internasional.
Mereka mendiktekan apa-apa saja yang menjadi
kemauannya termasuk meminta pemerintah merancang
infrastruktur hukum untuk investasi di Indonesia. Tidak
mungkin masuk dalam akal sehat kita sebuah modal
internasional dapat duduk satu meja dengan wakil
negara berdaulat dan merancang perampokan global
atas masuknya investasi asing ke negaranya sendiri.
Hasilnya adalah, Freeport mendapatkan tambang
tembaga dan emas di Papua Barat (di mana Henry
Kissinger duduk sebagai board dalam perusahaan itu).
Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel di Papua
Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari
bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan
Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan
tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan.
Dua peristiwa penting ini luput dari perhatian publik
sejak lama. Bahkan, terkesan ditutup-tutupi oleh rezim
yang berkuasa hingga saat ini. Padahal jika melakukan
penelusuran sejarah lebih mendalam, segera dapat
diketahui bahwa transisi kekuasaan politik pada masa
tersebut diikuti dengan bangkitnya kekuatan korporasi
asing menguasai sumber daya alam di Indonesia.
Peristiwa tersebut menggambarkan bagaimana kekuatan
7 Revrisond Baswir, Republik Utang, Republika, 17 April 2006.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
23
Bahasan: Korporatokrasi
korporatokrasi ikut terlibat dalam pembentukan sebuah
rezim otoriter Suharto. Watak otoriter dari politik
kekuasaan Suharto digunakan sebagai tameng untuk
menghadapi perlawanan rakyat terhadap praktek
investasi asing. Bahkan bagi lembaga keuangan
internasional, pelanggaran HAM terhadap rakyat yang
menolak sebuah proyek utang serta praktek korupsi atas
proyek-proyek utang yang dilakukan oleh rezim ini tidak
menghalangi mereka untuk tetap menyalurkan utang
luar negeri. Akibatnya, dalam era pemerintahan Suharto
tercatat jumlah utang luar negeri Indonesia justru
membengkak menjadi 54 miliar dolar AS.
Utang dan Korporatokrasi
Menurut Perkins, Korporatokrasi dimulai saat
World
Bank/IMF/ADB
menyalurkan
pinjaman
untuk pembangunan megaproyek di negara miskin
atas rekomendasi fiktif buatan Economic Hit Men
(EHM). Kredit cair jika dengan syarat: tender-tender
pembangunan dihadiahkan kepada MNC/mitra lokal
atas restu korporatokrasi.
24
Maka, negara miskin itu terjebak utang luar negeri
ratusan miliar dollar AS yang takkan bisa dilunasi sampai
tujuh turunan. Sebaliknya, profit MNC/mitra lokal naik
setiap tahun selama proyek dikerjakan.
Derita negara itu belum selesai. Negara dunia ketiga
seperti Indonesia menjadi gagal menjalankan amanat
untuk mensejahterakan rakyat karena anggaran
negaranya habis untuk membayar cicilan dan pokok
utang. Sebagai contoh, kewajiban pembayaran cicilan
dan bunga utang luar negeri yang sudah ditunaikan
pemerintah Indonesia sampai tahun 2005 berjumlah
100.31 milyar USD. Dengan demikian kewajiban
pembayaran utang luar negeri pemerintah masih tersisa
sebesar 61.81 milyar USD. Selain itu, pemerintah masih
berkewajiban untuk membayar biaya komitmen atas
utang luar negeri yang belum dicairkan. Sampai dengan
akhir tahun 2005 lalu biaya komitmen yang sudah
dibayarkan pemerintah sudah mencapai 24 milyar USD
lebih8.
Seluruh kewajiban utang luar negeri tersebut telah
menghabiskan sepertiga belanja pemerintah dalam
APBN setiap tahunnya dan praktis membatasi alokasi
belanja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pada
tahun 2008, pemerintah menghabiskan alokasi belanja
negara untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga
utang luar negeri sebesar Rp92 triliun. Ditambah beban
pembayaran cicilan bunga utang dalam negeri sebesar
Rp66 triliun, maka total alokasi APBN untuk pembayaran
cicilan pokok dan bunga utang mencapai Rp158 triliun.
Bandingkan dengan `pos anggaran pendidikan sebesar
Rp 45 triliun dan anggaran kesehatan sebesar Rp18
triliun.9
Dalam RAPBN 2009, pembayaran bunga utang dalam
dan luar negeri sebesar Rp110.327 triliun atau 2,1
persen terhadap PDB. Sebesar 77.088 triliun merupakan
pembayaran bunga utang dalam negeri, sedangkan
sisanya sebesar Rp33.239 triliun merupakan pembayaran
bunga utang luar negeri. Jumlah tersebut menunjukan
peningkatan dibandingkan realisasi APBN 2008. Kondisi
ini semakin parah jika kita memasukkan komponen
pembayaran angsuran pokok utang luar negeri sebesar
Rp59.642 triliun. Maka pembayaran cicilan pokok dan
bunga utang dalam dan luar negeri dalam RAPBN 2009
berjumlah Rp169 triliun. Pos alokasi pembayaran cicilan
pokok dan bunga utang inilah sebenarnya penyumbang
terbesar melebarnya defisit anggaran selama ini.
Kondisi perekonomian semacam ini dimanfaatkan oleh
korporatokrasi untuk menekan sebuah negara untuk
menjual kekayaan alamnya demi membayar utang luar
negeri. Korporatokrasi mendikte kebijakan reformasi
ekonomi di negara penunggak utang dengan agendaagenda ekonomi yang sesuai dengan prinsip Konsensus
Washington. Seperti melakukan privatisasi, liberalisasi,
dan deregulasi.
Lembaga keuangan internasional mendorong kebijakan
deregulasi guna memperkokoh liberalisasi ekonomi di
Indonesia melalui transaksi utang luar negeri. Perjanjian
utang telah mensyaratkan sebuah negara untuk
membuka sektor-sektor strategis, seperti pertambangan
dan kehutanan bagi masuknya investasi asing. Pada
akhirnya, kondisi tersebut menyebabkan terjadinya
praktek de-nasionalisasi ekonomi.
Kuatnya arus de-nasionalisasi ekonomi telah membentuk
kembali susunan ekonomi Indonesia di bawah dominasi
korporasi asing yang saat ini menguasai 85,4% konsesi
pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa
Efek Jakarta, dan lebih dari separuh (50%) kepemilikan
8 Presentasi Depkeu dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI
9 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2009
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
perbankan di Indonesia (FRI, 2007).
Hingga kini 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan
lapangan migas di Indonesia masih dikuasai oleh
korporasi asing, yang juga menduduki 10 besar produsen
migas di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan
pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesia
(Prancis), China National Offshore Oil Corporation
(Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development
Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro
Energy, 2007).
Sementara itu, delapan di antara 10 besar produsen gas
di tanah air pun dikuasai asing. Total E&P Indonesia
menempati peringkat pertama dengan total produksi gas
mencapai 2.513 juta kaki kubik per hari dan Pertamina
diperingkat kedua dengan total produksi 948,9 mmscfd
(Investor Daily, 2007).
Syarat yang lainnya adalah, pihak kreditor memaksa
dilakukan privatisasi BUMN strategis, mengurangi
subsidi bagi rakyat, membuka keran impor bagi
masuknya produk-produk dari negara maju, serta
menggenjot ekspor produk bahan mentah (tambang,
energi, kayu, dll) untuk memenuhi kebutuhan industri di
negara-negara kreditor. Tercatat selama periode 1998 –
2006 sebanyak 21 BUMN strategis di sektor perbankan,
telekomunikasi, transportasi, serta pertambangan sudah
diprivatisasi oleh pemerintah dengan berbagai skema.10
Atas rekomendasi IMF, pemerintah juga melakukan
restrukturisasi sejumlah perusahaan negara seperti PLN
dan Pertamina sebagai langkah awal menuju privatisasi
dan liberalisasi sektor migas di Indonesia bagi masuknya
investor asing.
Berbagai persyaratan (conditionalities) yang menyertai
setiap transaksi utang, sesungguhnya digunakan untuk
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi negara maju.
Misalnya kewajiban memakai konsultan asing, teknologi
serta barang-barang produksi yang berasal dari negara
yang meminjamkan utang serta persyaratan lainnya yang
mendorong pelaksanaan agenda liberalisasi ekonomi.
Hal tersebut sesuai dengan pengertian sesungguhnya
mengenai utang luar negeri sebagai bentuk fasilitas kredit
pembelian barang dan jasa dari negara-negara kreditor.
Dengan mensyaratkan penggunaan jasa konsultan asing,
pembeliaan produk barang bagi kegiatan proyek yang
diimpor dari luar, maka dapat dipastikan sebagian besar
dana utang akan kembali ke negara kreditor. Belum lagi
keuntungan yang diperoleh akibat operasi perusahaanperusahaan asing itu di hampir semua sektor ekonomi.
Dari sisi ini, dapat diketahui bahwa keinginan berutang
dari suatu negara sebagian besar dilandasi oleh
penawaran pihak kreditor yang ingin menggunakan
instrumen utang sebagai mekanisme perdagangan luar
negerinya.
Kecenderungan tersebut didukung oleh satu teori
tentang desakan utang yang diformulasikan oleh Darity
dan Horn,11 yang mengemukakan bahwa peningkatan
akumulasi utang luar negeri pada sebagian besar
negara-negara berkembang secara substansial terjadi
akibat dorongan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
keuangan internasional yang mengguasai surplus
petrodolar. Surplus petrodolar ini sengaja di lempar
ke negara-negara berkembang karena berkurangnya
permintaan utang di negara maju. Akibatnya, banyak
proyek ekonomi di negara-negara berkembang tidak
dapat dipertanggung jawabkan secara ekonomis.
Di sinilah terletak kolaborasi antara pihak kreditor
dengan pejabat-pejabat pemerintahan terjadi. Sehingga
kebijakan ekonomi melalui pembangunan proyek-proyek
yang dibiayai oleh utang luar negeri dibuat atas rekayasa
atau tekanan pihak kreditor. Selain tidak berdampak
pada peningkatan kapasitas produksi nasional, bahkan
seringkali menjadi proyek mubazir atau tidak bisa
dimanfaatkan. Bentuk kolaborasi antara pihak loanpusher dengan pemerintahan juga mengakibatkan
terjadinya manipulasi nilai proyek yang dibiayai dari
pinjaman.
Di titik ini analisis Revrisond Baswir sungguh relevan
untuk diperhatikan. Transaksi utang menurutnya terjadi
dalam suatu konstruksi sosial dan ideologis tertentu,
yaitu sistem ekonomi kapitalisme.12 Dengan demikian,
untuk memahami konsepsi utang lebih jauh, penyelidikan
mengenai siapa yang membuat, memberi, dan paling
banyak mendapat manfaat dari transaksi utang-piutang
tersebut, tidak dapat dielakkan. Penyelidikan ini berlaku
di kedua belah pihak, baik di sisi pemberi utang maupun
di sisi penerima utang.
10 http://www.bumn-ri.com/#reportPriv1 http://jurnal-ekonomi.org/2008/02/06/bom-privatisasi-indonesia-2008/
trackback/
11 Sritua Arif, Pembangunan dan Ekonomi Indonesia, (Jakarta: 1998), hal. 124
12 Revrisond Baswir, Utang dan Imperialisme, 2006.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
25
Bahasan: Korporatokrasi
Dalam konsep ini, peranan elit berkuasa di kedua
belah negara memegang peranan yang cukup penting.
Kebijakan penyalurkan utang di negara kreditor dan
keputusan berutang di negara debitor dilakukan dalam
ruang kekuasaan elit yang tertutup dan jauh dari
kontrol rakyat. Sesuai dengan motivasi di atas, sangat
mungkin kebijakan utang luar negeri dibuat dengan
mempertimbangkan kepentingan korporasi, para
konsultan, serta elit politik yang mendapat bagian dari
setiap transaksi utang luar negeri.
Contoh paling anyar menjadi bukti yang relevan untuk
ditampilkan. Bagaimana lembaga-lembaga internasional
terlibat dalam proses liberalisasi sektor energi (Migas dan
listrik) di Indonesia. Terkuaknya bukti-bukti keterlibatan
IMF, USAID, Bank Dunia, dan ADB dalam mendorong
kebijakan restrukturisasi sektor energi dengan membuat
regulasi baru di sektor migas (UU Migas Nomor 22/2001)
dan listrik (UU Ketenagalistrikan No. 20/2002).
26
UU Migas nomor 22 tahun 2001 jelas memberikan
landasan bagi praktek liberalisasi sektor migas di
Indonesia. Pemain asing, seperti Chevron, Shell,
Petronas, dll yang telah lama menguasai cadangan
minyak nasional, bermaksud memperkuat legitimasinya
dengan ikut berbisnis di sektor hilir dengan cara
mendorong liberalisasi harga migas. Selain itu, juga
memberi landasan penting bagi keberlanjutan supply
cadangan migas nasional bagi kepentingan ekspor untuk
negara-negara maju. Sementara di dalam negeri rakyat
dan sektor industri menanggung beban berat akibat
kebijakan salah ini.
Di sektor air yang melayani hajat hidup orang banyak
kondisinya tidak jauh berbeda. Kehadiran swasta
asing lewat pembuatan UU Sumber Daya Air nomor
7 tahun 2004 menyebabkan tarif air bersih menjadi
komersial karena mengikuti hukum full cost recovery
sesuai hukum pasar. Kondisi ini menyebabkan rakyat
kecil harus membayar air bersih lebih mahal dari
pendapatannya yang juga semakin tergerus. Selain itu,
UU ini juga memungkinkan penguasaan sektor swasta
asing terhadap cadangan-cadangan air dan Daerah Aliran
Sungai bagi kepentingan komersial. Padahal, praktek ini
menyebabkan sawah pertanian menjadi kering karena
tidak mendapat aliran air.
Undang-undang Penanaman Modal nomor 25 tahun
2007. Undang-undang ini dibuat untuk memfasilitasi
masuknya modal asing di hampir semua sektor strategis
dan penting bagi negara. Undang-undang tersebut
diikuti dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor
76/2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan
Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang
Terbuka dengan persyaratan di Bidang Penanaman
Modal dan Peraturan Presiden Nomor 77/2007 tentang
Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha
yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman
Modal.
Lahirnya dua Peraturan Presiden tersebut sungguh
telah membuka mata banyak orang di negeri ini. Betapa
tidak, dalam peraturan inilah UU Penanaman Modal
menunjukan watak aslinya. Mendorong dominasi
kepemilikan asing terhadap sektor-sektor produksi
nasional serta mengabaikan aspek kedaulatan ekonomi
kita sebagai bangsa.13
Peran Mafia Berkeley
Kondisi Indonesia di bawah cengkraman korporatokrasi
semacam ini negeri bukanlah fenomena baru. Situasi ini
sengaja diciptakan sejak awal kemerdekaan Republik,
lalu dilanjutkan oleh para menteri dan sejumlah ekonom
jebolan Amerika yang menjadi arsitek perekonomian
Orde Baru. Para Menteri dan ekonom tersebut dikenal
dengan sebutan Mafia Berkeley. Mereka adalah kelompok
ekonom beraliran neoklasik yang berkuasa menentukan
arah, strategi, dan kebijakan ekonomi negara selama
hampir 41 tahun nyaris tanpa henti dari 1966-2007.
Pada awal pemerintahan orde baru, para ekonom
ini memang mencatat prestasi yang meningkatkan
popularitasnya. Dengan bantuan IMF, mereka berhasil
menekan inflasi sekitar 600 persen pada tahun 1966
menjadi di bawah 10 persen pada tahun 1969. Mereka
juga berhasil membekukan pembayaran utang luar negeri
selama beberapa tahun, menggalang pembuatan utang
luar negeri baru, dan menggenjot masuknya investasi
asing secara besar-besaran. Hasilnya perekonomian
indonesia tumbuh pesat rata-rata enam persen per
tahun.14
Dalam sejarahnya, kelompok mafia tersebut dipersiapkan
Praktek kolonialisme yang paling akhir adalah penetapan
13 Dani Setiawan, Arah Liberalisasi Investasi, Jawa Pos, 14 Juli 2007.
14 Revrisond Baswir, Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta: 2006) hal. 17-18.
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia selama
sepuluh tahun sebelum berkuasa (1956-1965) sebagai
bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan
progresif dan revolusioner di kawasan Asia. Disebut
dengan istilah “Mafia Berkeley” karena kebanyakan dari
generasi pertamanya adalah lulusan Program Khusus di
Universitas Berkeley, California, Amerika Serikat.
Indonesia. Di masa Suharto, sejumlah undang-undang
digunakan oleh pihak kolonial, yaitu para korporasi
multinasional untuk menaklukkan rezim politik agar
berpihak pada kepentingan modal. Sekaligus dapat
melancarkan misi utama untuk merampas sumber daya
alam tanpa khawatir mendapatkan sanksi internasional
maupun perlawanan rakyat.
Kelompok
Mafia
Berkeley
memiliki
jaringan
internasional yang kuat dan meluas seperti USAID,
IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia.
Bahkan sumber pembiayaan utama lembaga-lembaga
akademik dan penelitian yang dikontrol Mafia tersebut
berasal dari bantuan atau grant lembaga internasional
tersebut. Tidak aneh bila produk hasil penelitian dan
rekomendasi kebijakan biasanya sejalan-sebangun
dengan rekomendasi Washington Konsensus/IMF-Bank
Dunia, Policy Pappers USAID atau lembaga kreditor
internasional lainnya.
Sayangnya, bau anyir darah akibat pembantaian
500.000 – 1.000.000 orang yang dituduh sebagai
simpatisan sebuah partai politik serta kejatuhan rezim
anti imperialisme Barat kala itu merupakan harga yang
dibayarkan demi pembentukan struktur politik dan
ekonomi pro modal semacam ini. Bagi kekuatan kolonial,
sebuah goncangan sosial (social shock) terkadang
diperlukan agar penetrasi kapital dan doktrin neoliberal
jauh lebih dalam memasuki setiap relung kehidupan
masyarakat.
Untuk menjaga agar arah strategis kebijakan ekonomi
Indonesia sejalan dengan arahan IMF-Bank Dunia,
USAID, Mafia Berkeley menyepakati penyusunan
Undang-undang atau peraturan pemerintah yang
dikaitkan dengan pinjaman utang luar negeri. Dengan
mekanisme seperti ini, kepentingan rakyat dan nasional
Indonesia dijamin menjadi sub-ordinasi kepentingan
global. Mekanisme mengaitkan utang luar negeri dengan
penyusunan Undang-undang dan peraturan pemerintah
juga menyebabkan adanya intervensi kepentingan global
terhadap kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia.
Hal inilah yang menjadi penyebab utama ketertinggalan
ekonomi Indonesia sejak lama, sekaligus menempatkan
bangsa ini pada posisi permanen sebagai subordinasi
dari kepentingan global.
Penutup
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
ciri-ciri yang hampir seragam mengenai proses transisi
kolonialisme lama di masa penjajahan Belanda menuju
era neokolonialisme di masa Suharto hingga praktek
berikutnya setelah kejatuhan Suharto.
Praktek kolonialisme di nusantara dimulai dengan
menerapkan aturan-aturan hukum guna melancarkan
penguasaan dan perampasan atas wilayah dan sumber
daya alam. Begitupun transisi politik di era Suharto
dilakukan dengan membuat aturan-aturan hukum baru
yang melanggengkan kekuasaan modal internasional di
Setelah kejatuhan Suharto, lembaga keuangan
internasional seperti IMF dan Bank Dunia menjadikan
orde reformasi sebagai era pengukuhan agendaagenda neokolonialisme di Indonesia. Mekanisme
ketergantungan baru dibuat melalui kucuran utang
luar negeri yang diakumulasi setiap rezim. Pada
intinya, agar para penguasa baru itu mau mengikuti
aturan-aturan yang telah digariskan dalam Structural
Adjustment Programe atau Letter of Intent milik Bank
Dunia dan IMF, di antaranya adalah membuat undangundang untuk meliberalisasi ekonomi. Padahal dua
lembaga tersebut sejak lama dianggap lebih merupakan
kepanjangan tangan negara-negara industri maju dan
perusahaan-perusahaan multinasional.
Sebuah koreksi total atas arah pembangunan ekonomi
nasional yang bercorak kolonial ini perlu segera dilakukan
sebagai agenda penting menuju kemerdekaan yang
hakiki. Perubahan tidak cukup mengenai para aktor saja,
tetapi juga harus meliputi perubahan paradigma dalam
mengelola negara termasuk merubah semua uturanaturan yang telah merugikan kepentingan nasional dan
kepentingan rakyat secara umum. Konstitusi harus
menjadi acuan utama, sebuah konsensus nasional serta
petunjuk yang objektif bagi bangsa Indonesia dalam
bernegara. Tanpa itu semua, sesungguhnya kita sedang
menunggu kehancuran sebuah negara bangsa bernama
INDONESIA.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
27
Bahasan: Korporatokrasi
Orkestrasi Gerakan Hijau dan
Pesta Korporatokrasi *
Oleh : Khalisah Khalid
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat,”
Aransemen Korporatokrasi
Saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah
Kuasa korporasi yang sangat besar di Indonesia
pernyataan yang disampaikan oleh mantan Direktur
di awali oleh peraturan perundangan yang di keluarkan
WALHI, Chalid Muhammad yang mengatakan bahwa
pemerintah sejak ujung kekuasaan Soekarno, di perbesar
“negeri ini telah dikuasai oleh rezim korporatokrasi dan
oleh rezim Suharto dan berlangsung hingga saat ini. Di
kleptokrasi”. Sebuah pernyataan yang menggambarkan
awali UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing,
bagaimana
korporatokrasi
UU No 5/67 Tentang Kehutanan, UU No 11/67 tentang
telah menghegomoni seluruh kehidupan bangsa ini.
Pertambangan, Kontrak Karya Pertambangan Generasi
Korporatokrasi saat ini kembali ramai menjadi wacana
I dan II, menghantar Indonesia memasuki fase: Jual
publik, karena tidak ada satupun yang dapat menyangkal
Murah; Jual Cepat; dan Jual Habis Kekayaan Alam
bahwa krisis yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh
demi kejayaan korporasi. Beberapa perundangan yang
semakin kuatnya rezim ini memainkan peran-perannya,
menyokong kuasa korporasi antara lain: UU Minyak dan
baik secara ekonomi maupun politik.
Gas, UU 41/99 tentang Kehutanan, Perpu No 1/2004
kekuatan
aktor-aktor
yang telah jadi UU N0 19.2004 tentang Pertambangan di
28
Istilah korporatokrasi sendiri diperkenalkan
Kawasan Lindung, UU No 7/2004 tentang Sumber Daya
oleh John Perkins dalam bukunya Confression of an
Air, UU 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No
Economic Hit Man (2004) yang mengatakan bahwa dunia
26/2007 tentang Tata Ruang, UU no 27/2007 tentang
saat ini dikuasai oleh imperium internasional, dimana
Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau kecil, Pepres
imperium ini menyatukan kekuatan yang dimilikinya,
36/2005 jo Pepres 65/2005 tentang Pengadaan Tanah
baik kekuatan finansial maupun kekuatan politiknya
untuk Infrastruktur dan lain-lain.
untuk menguasai berbagai sumber kehidupan di belahan
bumi ini. Dalam bukunya yang berjudul Selamatkan
Indonesia (2008), Amin Rais melihat korporatokrasi
tetes air Indonesia telah dikuasai oleh korporasi baik
sebagai sebuah gambaran atas sistem kekuasaan yang
melalui kontrak karya pertambangan, kontrak bagi hasil
dikontrol dan didominasi oleh berbagai korporasi besar,
minyak dan gas, kontrak bagi hasil batu bara, kuasa
bank internasional dan pemerintah.
pertambangan, hak penguasaan hutan, hak penguasaan
Secara legal, setiap jengkal tanah dan setiap
perkebunan besar kelapa sawit. Data WALHI dan
ruang
JATAM pada tahun 2005 menujukan, bahwa sekitar 35,1
kemenangannya ketika pengurus negara memberikan
Korporasi
semakin
menemukan
juta hektar kawasan hutan telah dikuasai oleh perusahan
penguasaan penuh untuk memainkan peran-peran
pemegang HPH, 15 juta hektar untuk Hak Guna Usaha,
mereka, dengan melegalisasi melalui sejumlah undang-
8,8 juta hektar untuk Hutan Tanaman Industeri, 35
undang dan produk regulasi lainnya. Disinilah bentuk
% daratan Indonesia di kuasai oleh 1.194 pemegang
transaksi antara penguasa dengan modal salah satunya
kuasa pertambangan, 341 Kontrak Karya Pertambangan
adalah kebijakan, kenyataan inilah yang disebut dengan
dan 257 Kontrak Pertambangan Batubara (PKP2B).
alur kolonialisasi secara ekonomi, berjalan beriringan
Sementara rakyat yang selama ini hidup didalam dan
dengan kolonialisasi secara politik.
sekitar hutan, dipaksa keluar dari tanah mereka.
* Naskah Diterima oleh Redaksi pada 7 Oktober 2008
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
penghisapan ekonomi disatu sisi, dan kerusakan
Negara
sesungguhnya
tidak
pernah
lingkungan hidup disisi yang lain, bahkan telah melahirkan
diuntungkan dari aktifitas mereka, kasus penunggakan
krisis dan ancaman terhadap keberlangsungan dan
pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan batubara
keberlanjutan kehidupan rakyat intra dan antar generasi.
baru-baru ini, semakin memperjelas posisi bahwa yang
Industri tambang misalnya, industri ini memiliki karakter
diuntungkan oleh korporasi yang mengeruk sumber
yang tidak terbarukan,berumur pendek, berdaya rusak
daya alam hanyalah segelintir elit, yang menjual
tinggi dan berorientasi ekspor.
kekayaan alam dan buruh murah tanpa perlindungan
keselamatan kerja. Nampaknya apa yang disampaikan
oleh Cecil Rhodes (1852-1902), yang menyatakan bahwa
telah mendominasi semua yang menyangkut kehidupan
kolonialisme adalah penemuan tanah baru dimana
nasib
dari tanah tersebut dapat dengan mudah mendapatkan
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan
bahan-bahan mentah (sumber daya alam) yang dapat
modal yang semurah-murahnya dengan menggunakan
dieksploitasi
murah
buruh murah, dan mengabaikan lingkungan hidup yang
dari penduduk pribumi. Sumber daya alam (SDA),
dinilai berbiaya mahal dan tidak menguntungkan bagi
sesungguhnya selalu menjadi alasan utama bagi kolonial
kepentingan bisnis mereka.
dengan
menggunakan
buruh
Dengan watak dan cara kerjanya, kekuatan ini
orang
banyak,
dengan
memegang
prinsip
baru (baca, korporasi) dimanapun untuk mendominasi
dan menanamkan kekuasannya, dan entitas politik
negeri ini mengamini seluruh nafsu kolonialisme
lebih hanya sebagai sebuah komoditas, yang bisa dikeruk
tersebut, karena menguntungkan bagi mereka secara
habis guna memenuhi tingkat konsumsi bagi negara-
politik melalui ongkos-ongkos politik yang disediakan
negara maju, dan menghancurkan secara sistematis
oleh kekuatan modal.
dan struktural produktifitas yang disebabkan oleh
Sumber daya alam (SDA) ditempatkan tidak
penguasaan akses dan kontrol atas tanah dan alat-alat
Modal internasional tidak hanya mengeruk
produksi yang lain, dan menghancurkan pengetahuan
sumber daya alam untuk pemenuhan konsumsi bagi
lokal yang mengatur regulasi wilayah dan tata kehidupan
negara-negara maju, mereka bahkan mendikte negara
masyarakat itu sendiri. Semua modal sosial yang ada
untuk
melindungi
dalam tatanan masyarakat, diruntuhkan oleh mesin-
dan mensejahterakan rakyatnya sebagaimana yang
mengurangi
mesin kapitalisme yang bekerja secara baik dan didukung
dimandatkan oleh Konstitusi. Telah terjadi defisit
penuh oleh kekuatan politik.
kedaulatan
negara
tanggungjawabnya
dan
bertemu
dengan
defisit
kesejahteraan yang berujung pada kemiskinan. Mencabut
Pemilu, Absen Agenda Krisis
subsidi terhadap BBM bagi rakyat miskin, menjadi
salah satu contoh kuat bagaimana kekuatan ekonomi
perubahan yang positif  menyangkut hak-hak sipil-
internasional
tanggungjawab
politik, seperti kebebasan pers, kebebasan pendirian
negara dan menyerahkannya kepada pasar. Corporate
partai-partai politik, reformasi dalam sistem pemilu,
Social Responsibility (CSR) menjadi salah satu contoh
antara lain sistem pemilihan presiden langsung. Namun
dari sebuah alat yang didorong oleh modal untuk
secara substansial, berbagai perubahan ini hanya
mengambilalih peran dan fungsi sosial negara, dan
mencerminkan pergeseran kepentingan dan sirkulasi
mengalihkan tanggungjawab negara tersebut.
di tingkat elit kekuasaan, dengan mengabaikan aspek
telah
mengambil-alih
Reformasi 1998, memang terjadi berbagai
akuntabilitas dan representasi kepentingan publik. Ini
yang
tercermin dari kegagagalan reformasi mewujudkan
dimainkan begitu cantik oleh korporasi besar, lembaga
Kekuatan
aransemen
kolaboratif
janjinya, untuk memperbaiki pemenuhan keadilan dan
keuangan internasional dan elit politik yang duduk
hak-hak dasar rakyat di bidang ekonomi dan sosial. 
di pemerintahan, telah menghasilkan sebuah cerita
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
29
Bahasan: Korporatokrasi
politik
Agenda reformasi bahkan dibajak oleh elit
untuk
hanya memberi kesempatan kepada kekuatan neoliberal
korporasi semakin memperkuat perangkatnya dengan
dan predatoris untuk bergantian menguasai lembaga-
serangkaian strategi yang lebih sistematis dengan
lembaga negara. Hasil dari pertarungan ini adalah
kemasan
kombinasi yang amat buruk: liberalisasi di bidang
reform,
kekuasaannya,
sebagai sebuah kemenangan dari politik prosedural, dan
bahkan
legal
kepentingan
economic
dan
economic
reform, yang semakin melahirkan angka kemiskinan
ekonomi dan konservatif di bidang politik.
yang panjang. Kompas dalam headlinenya bahkan
memprediksikan bahwa dalam 25 tahun mendatang,
Indonesia akan mengalami krisis pangan. Bahkan
dialami oleh rakyat, bahkan hiruk pikuk pilkada
ILO menyatakan bahwa pada bulan Februari 2008,
dan ribuan banner dan bendera partai politik telah
terdapat 52,1 juta pekerja miskin. Ini belum ditambah
menenggalamkan jeritan penderitaan yang dialami
dengan pukulan kenaikan harga sebesar 125 persen yang
oleh perempuan yang tidak bisa memberikan asupan
disebabkan oleh kenaikan harga BBM.
gizi yang cukup bagi keluarganya. Pilkada pemilihan
Pemilu sama sekali jauh dari krisis yang
Gubernur Jawa Timur menjadi sebuah pembelajaran
Elit politik yang sudah lama menghiasi
yang utuh untuk menggambarkan, bagaimana kekuatan
reklame iklan di media massa juga absen melihat krisis
korporasi yang bernama Lapindo Brantas Inc telah
rakyat dalam agenda-agenda politik yang ditawarkan.
mampu menutup mata seluruh kandidat Gubernur
Jalan keluar yang disodorkan bahkan tidak melihat
Jawa Timur untuk membicarakan derita rakyat korban
persoalan mendasar yang dialami oleh bangsa ini. Tidak
lumpur Lapindo yang harus menjadi pengungsi ekologis
ada tawaran perubahan atas pilihan ekonomi, yang
dan tercerabut dari ruang hidupnya.
menempatkan tata kuasa, tata guna lahan, tata produksi
dan tata konsumsi kedalam sebuah kebijakan yang adil
30
Blok Politik Hijau, Meretas Jalan Perubahan
dan berkelanjutan.
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup
Kekuatan
mempengaruhi
korporatokrasi
agenda-agenda
telah
politik
mampu
mulai
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
dari
pelayanan kesehatan.”
tingkatan Pilkada hingga Pemilu Legislatif dan Pilpres.
Caranya melalui dukungan finasial pada kandidat-
kandidat yang bertarung pada pesta demokrasi, janji-
dari gerakan sosial menyadari bahwa begitu berat dan
janji politik yang disampaikan tidak lebih hanya untuk
besarnya musuh yang dihadapi oleh rakyat, karena
semakin melanggengkan dominasi agenda neoliberal.
kekuatan mereka bahkan telah masuk ke ruang-ruang
Harapan pembaruan terhadap pemilu 2009, hampir sama
kehidupan masyarakat, yang menjelma menjadi sebuah
dengan pemilu 2004. Berbagai janji juga digelontorkan
fasisme baru yang diyakini sebagai sebuah kebenaran.
oleh partai politik dan beberapa calon presiden melalui
Kita dapat menyaksikan, bagaimana fundamentalisme
belanja iklannya di media massa yang menawarkan
pasar telah melahirkan sebuah bentuk fundamentalisme
berbagai jalan baru, yang jika dicermati secara seksama
agama yang menduplikasi cara kerja yang sama yakni
tidak lebih hanya sebuah kamuflase.
tidak menghormati pluralisme dan keberagaman tak
Gerakan lingkungan hidup sebagai bagian
ubahnya cara pandang monukultur dalam industri
Dari diskusi panjang Demokrasi Dibawah
perkebunan besar.
Tirani Modal yang beberapa waktu lalu diselenggarakan
di Universitas Indonesia, semakin memperjelas posisi
korporatokrasi ini terhadap ruang demokrasi yang
yang diciptakan oleh kekuatan modal dan politik, berbagai
dibangun di Indonesia. Demokrasi yang terpusat pada
inisiatif perjuangan juga diciptakan oleh berbagai
pemilihan umum (electoral democracy) tidak lebih hanya
elemen rakyat. Mencoba membangun demokrasi dan
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Namun, ditengah berbagai ancaman hidup
Bahasan: Korporatokrasi
ekonomi dari bawah sebagai sebuah bentuk perlawanan
Blok politik hijau, kemudian yang menjadi sebuah
yang digagas oleh rakyat sebagai sebuah alternatif diluar
alternatif yang ditawarkan oleh berbagai gerakan
proses electoral democracy
sosial, baik gerakan tani, buruh, maupun gerakan yang
mengusung isu lingkungan sebagai agenda utama
Demikian juga inisiatif yang dibangun dari
perubahan.
gerakan lingkungan hidup, yang bercita-cita melakukan
perubahan gerakan, salah satunya dengan menggunakan
blok
untuk
oleh DEMOS yang berjudul Satu Dekade, Maju dan
membangun kekuatan politik alternatif yang dibangun
Mundurnya Demokrasi di Indonesia menilai bahwa
dari pondasi massa rakyat yang kritis. Memainkan peran-
aktor-aktor demokrasi yang ada saat ini marjinal secara
peran politiknya untuk dapat mendiseminasi gagasan
politik dan mengambang secara sosial. Karenanya Blok
hijau sebagai sebuah upaya melakukan reformasi
politik hijau diharapkan mampu berdialektika untuk
pengelolaan
politik
hijau
sebagai
lingkungan
kendaraannya
hidup
dan
Dalam
survey
nasional
yang
dilakukan
pembangunan
menghadapi politik keteraturan yang dimainkan oleh elit
konsepsi ekonomi yang berbasiskan pada kedaulatan
oligarki dibawah bendera korporatokrasi. Blok politik
rakyat dan keadilan ekologi sebagai sebuah jalan baru
hijau diharapkan dapat melakukan aktifitas politik yang
yang ditawarkan.
teroganisir bersama dengan pihak-pihak yang selama ini
menjadi korban kebijakan pembangunan dan eksploitasi
Inisiatif ini didasari atas sebuah keyakinan,
sumber daya alam.
bahwa gerakan lingkungan hidup berada di jantung
perlawanan
atas
penghisapan
penjajahan
baru
Riset ini juga menemukan mulai tumbuhnya
(eksploitasi sumber-sumber kehidupan), karenanya
agenda dan visi yang komprehensif, dalam fenomena
dibutuhkan kekuatan dari blok politik anti imperialisme
jejaring gerakan green politic. Ditemukan bahwa
lainnya selain blok politik hijau (buruh, nasionalis, sosialis
kasus-kasus individual yang berkaitan dengan isu
dan lain-lain) yang menjadi kekuatan politik alternatif
tanah, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat
dengan garis ideologi yang kuat dan berbasiskan pada
adat, hak-hak sosial ekonomi, lingkungan hidup dan
kekuatan massa kritis yang masif, terorganisir, terpimpin
kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi,
untuk mendobrak kebekuan politik yang terjadi.
tampak berhubungan erat dengan isu-isu pembangunan
berkelanjutan
Pandangan ini juga didasari atas analisis bahwa
dan
pembangunan
partisipatoris
-
termasuk pengelolaan secara swadaya atas kehidupan
rezim kekuasaan hari ini berada di dalam kebangkrutan
sosial-ekonomi,
karena menjadi sumber ancaman keselamatan rakyat
komunitas, maupun tuntutan perbaikan penyelenggaraan
dan menanamkan benih kehancuran negeri ini. Bahwa
kepentingan umum dalam rangka melawan privatisasi;
oligarki politik hari ini bercokol di hampir semua partai
juga
politik yang ada hari ini. kepentingannya tunggal yakni
budgeting.
pengelolaan
gagasan-gagasan
sumberdaya
mengenai
kolektif/
participatory
mempertahan kekuasaan dan share/pembagian sekaligus
persaingan kalangan sendiri untuk meperebutkan rente
ekonomi dari penggadaian kekayaan alam negeri ini.
kiri-hijau yang lebih umum. Ini berseberangan dengan
Kalau pun ada pertentanganan dan sikap yang seolah-
tidak adanya pertanda yang sama dalam agenda gerakan
olah opisisi, sesungguhnya hanya permainan politik dan
buruh yang lebih luas, dengan atau tanpa kepedulian
sirkulasi elit atau oligarki politik-ekonomi.
kelas menengah liberal. Lepas dari sudah terbentuknya
Semua ini bisa menjadi basis bagi agenda politik
demokrasi prosedural menyangkut keberadaan lembaga
Habermas menyatakan bahwa bagaimana
lembaga pemilu, amandemen konstitusi, legislatif,
demokrasi dapat memasuki ruang-ruang kuasa, bukan
eksekutif, yudikatif namun perjalanan meraih demokrasi
hanya kepada elit, tetapi juga kepada masyarakat sipil.
substansial masih jauh. Maka tidak bisa tidak, kita
harus semakin gigih melawan dengan kecerdasan dan
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
31
Bahasan: Korporatokrasi
imajinasi.
sebagai alasan untuk menyingkirkan rakyat dari ruang
hidupnya. Disinilah kita dapat menilai, bagaimana
JAWABAN KRISIS KESELAMATAN RAKYAT,
strategi modal dalam menjawab isu keadilan ekologi,
TEGAKAN KEADILAN SOSIAL
melalui penghindaran, kambing hitam dan kooptasi.
Kunci untuk mewujudkan keadilan sosial
ekologi
yang
dimaksud
adalah
adalah pemerataan alokasi dan distribusi sumber daya
bagaimana Lingkungan Hidup dipandang kesatuan ruang
sosial, lingkungan hidup (alam) yang berlangsung
dengan segala benda, daya, keadaan dan makhluk hidup,
dari tingkat lokal, nasional hingga tingkat global.
termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi
Selama ini kemiskinan dan kehancuran lingkungan
kelangsungan
hidup bukan disebabkan oleh tingkat pertumbuhan
manusia serta makhluk hidup lain. Salah satu komponen
penduduk di negara dunia ketiga, sebagaimana yang
terpenting dari lingkungan hidup dan menjadi prasyarat
selalu dikampanyekan oleh negara dunia pertama.
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia
Realitas dunia yang timpang saat ini, lebih dikarenakan
adalah alam. Alam menjamin pemenuhan kebutuhan
penguasaan akses sumber daya alam yang hanya
sekaligus menjadi ruang hidup manusia.
bertumpu pada segelintir kelompok, untuk pemenuhan
tingkat konsumsi mereka dengan mengabaikan sebagian
besar dari penduduk bumi.
perikehidupan
dan
kesejahteraan
Namun, alam memiliki keterbatasan untuk
menunjang kehidupan manusia. Karenanya, alam harus
dikelola secara keberlanjutan. Keberlanjutan pelayanan
Keadilan sosial ini untuk menjamin pemihakan
yang kuat terhadap kelompok terlemah di dalam
masyarakat dunia, jaminan terpenuhinya kebutuhan
32
Keadilan
dasar manusia, adanya jaminan bagi semua warga
alam sama artinya dengan memberikan akses dan
kontrol terhadap sumber daya alam yang utuh yang
memungkinkan manusia dapat hidup dan bertahan,
termasuk tanah, tempat tinggal, pangan, air dan udara.
negara memiliki kebebasan dan kesempatan untuk
mengembangkan kehidupan pribadi dan sosial, sekaligus
ekosistim dan menjamin keanekaragamannya sebagai
Untuk itu kita perlu menghargai integritas
tanggung jawab sosial dan ekologinya. Tercakup di dalam
prasyarat untuk mendukung kelangsungan kehidupan
perwujudan keadilan sosial adalah penghargaan terhadap
manusia. Dengan itu sekaligus terdapat jaminan bagi
pluralisme budaya, keadilan gender, masyarakat adat
generasi saat ini untuk melangsungkan perikehidupannya
dan keadilan antar generasi.
dengan baik, dan jaminan generasi mendatang untuk
menikmati kualitas alam yang sama baiknya.
JAWABAN KRISIS RUANG HIDUP RAKYAT,
TEGAKAN KEADILAN DAN KEBERLANJUTAN
LINGKUNGAN HIDUP (KEADILAN EKOLOGI)
JAWABAN KRISIS PRODUKTIFITAS RAKYAT,
TEGAKAN KEDAULATAN DAN KEMANDIRIAN
Sering kali agenda lingkungan hidup juga
SOSIAL-EKONOMI
disetir oleh kekuatan pasar, yang membelokkan wacana
kepentingan lingkungan untuk kepentingan pasar.
Lingkungan hidup kemudian didominasi oleh kekuatan
modal yang memodernisasi pembangunan dengan
tujuan untuk menyingkirkan rakyat yang tidak memiliki
kekuatan secara politik dan ekonomi terhadap sumbersumber kehidupan. Kasus penggusuran masyarakat
“Perekonomian
nasional
diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan,
efisiensi
berkeadilan,
berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional”.
adat dari tanah mereka untuk kepentingan konservasi,
menunjukkan
bahwa
lingkungan
hidup
dijadikan
dibangun
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Demokrasi
politik
berdasarkan
yang
kerangka
sejati
haruslah
kedaulatan
dan
Bahasan: Korporatokrasi
kemandirian
pengelolaan
bahwa agenda reformasi pengelolaan lingkungan hidup
sumber-sumber kehidupan rakyat atau basis material
dikemas dalam sebuah gerakan reformasi pengelolaan
yang menjadi fondasi tata kemasyarakatan dan negara.
lingkungan hidup, dan semua dapat diwujudkan dengan
Penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber kehidupan
pra syarat sebagai berikut: Pertama, mengembalikan
rakyat (sosial dan ekonomi) haruslah berlandaskan
mandat negara sebagaimana yang terdapat didalam
semangat BERDIKARI dan kekuatan daya kreasi rakyat
konstitusi untuk melindungi, menjamin dan memenuhi
secara kolektif di tingkat lokal. Hak menguasai negara
hak dasar rakyat, khususnya terkait dengan hak ekonomi,
atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
sosial dan budaya (ekosob). Kedua, menata kembali relasi
dan menguasai hajat hidup orang atas bumi, air, dan
antara negara, rakyat dan modal yang telah mengalami
kekayaan alam untuk sepenuh-penuhnya kemakmuran
ketimpangan karena begitu kuatnya agenda korporasi
rakyat, memiliki legitimasi apabila didedikasikan kepada
yang menggunakan kekuatan hak menguasai negara,
kepentingan hak asasi warganya.
untuk kepentingan akumulasi modal mereka. Rakyat
dalam
penguasaan
dan
Bung Hatta dalam konsepsi ekonominya
menyebutkan,
bahwa
bangsa
ini
akan
mencapai
kemandiriannya jika menggunakan mesin ekonomi
yang digerakkan oleh kekuatan rakyat untuk mencapai
kesejahteraan bagi rakyat. Hatta mengatakan bahwa
manusia tidak mungkin bisa hidup damai dan sejahtera,
jika sumber-sumber kehidupannya dikuasai oleh manusia
yang lain yang berkuasa baik secara ekonomi maupun
politik. Dalam pemikirannya, ekonomi menjadi penting
dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan politik, harusnya
diletakkan dengan tujuan untuk menata sumber-sumber
kehidupan (ekonomi) yang menempatkan rakyat sebagai
pelaku utamanya.
terutama dalam hal akses terhadap bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus
dijadikan sarana utama dan tujuan akhir dari hak
menguasai negara. Dengan demikian, maka peran modal
bersifat sekunder dan komplementer, bukan substitusi
oleh
sesungguhnya kontrol terhadap pengelolaan sumber
daya alam berada di tangan rakyat sebagaimana yang
terdapat didalam Undang-Undang Dasar 1945. Ketiga,
menyelesaikan konflik sumber daya alam dan agraria
struktural yang dialami oleh rakyat menghadapi dua
kekuatan yakni kekuatan di sektor bisnis dan atau negara
sebagaimana yang disebutkan oleh Alexis Tocqueville.
Konsorsium Pembaruan Agaria (KPA) mencatat, tidak
kurang dari 1.753 kasus tanah terjadi dari tahun 19702001. Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI) juga mencatat, tidak kurang 70
kasus konflik sumber daya alam di tingkat nasional yang
masih belum bisa diselesaikan.
Kepentingan rakyat atau hak asasi rakyat,
pengelolaan
justru ditempatkan sebagai pihak pelengkap, padahal
rakyat.
Inilah
yang
dinamakan
mengalokasikan kekayaan alam untuk pemenuhan dalam
negeri, bukan komoditas ekspor atau yang diistilahkan
oleh Ichsanudin Noorsy dengan Close Sirkuit Economy
dalam sebuah diskusi yang mengupas tentang politik
anggaran dan penyakit kronis ekonomi klasik.
Beberapa
gerakan
sosial
mengusulkan
nasionalisasi sebagai jawaban atas agenda penguasaan
dan dominasi korporasi. Namun gerakan politik hijau
juga menekankan hendaknya sebelum kita bicara soal
nasionalisasi industri, yang seharusnya dilihat lebih jauh
dan dan tajam adalah prasyarat yang harus dipenuhi
untuk mendukung sebuah jalan menuju nasionalisasi
industri. Bagaimana tata kuasanya, bagaimana tata
guna lahannya, bagaimana tata produksinya, bagaimana
tata konsumsinya. Belum lagi syarat-syarat yang harus
dijamin oleh negara seperti syarat keselamatan rakyat,
syarat produktivitas rakyat, syarat kesejahteraan rakyat,
syarat keberlanjutan pelayanan alam. Semua prasyarat
Reformasi Pengelolaan Lingkungan
Semua agenda yang ditawarkan oleh gerakan
lingkungan hidup ini akan terwujud jika gerakan
lingkungan hidup mampu mempengaruhi publik luas
tersebut, harus sudah mampu dijawab sebelumnya, dan
menempatkan warga krisis sebagai aktor utama untuk
menentukan arah sebuah pembangunan kemandirian
negara, yang salah satunya melalui nasionalisasi industri
sebagai salah satu alat demokrasi politik kerakyatan.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
33
Bahasan: Korporatokrasi
Critical Mass, Belajar dari Lao Tzu
rakyat. Mengutip apa yang dikatakan oleh Lao Tzu :
”berjalanlah bersama rakyat, tinggal bersama mereka,
Semua mimpi membangun orkestrasi gerakan
belajar dari mereka, cintailah mereka, mulailah dengan
yang membawa perubahan oleh gerakan blok politik
apa yang mereka miliki. Hanya dengan pemimpin terbaik,
hijau, hanya akan menjadi cita-cita yang melangit. Cita-
ketika pekerjaan sudah selesai dan tujuan tercapai, rakyat
cita tersebut tidak akan terwujud, jika tidak diturunkan
akan berkata kita telah melakukannya sendiri. Semuanya
ke bumi sebagai sebuah cita-cita bersama rakyat.
bisa dimulai dengan inisiatif-inisiatif perlawanan lokal
yang telah dipraktekkan oleh berbagai organisasi rakyat,
Masyarakat Indonesia memang masih banyak
dan terus memperluas dan memperbesar gerakan ini
yang meragukan blok politik hijau ini, menyadari
menuju keberlanjutan lingkungan dan kamandirian
bahwa isu lingkungan hidup di Indonesia masih berupa
ekonomi rakyat.”
”kesadaran
semu”
bukan
”pengetahuan”.
Namun
berbagai bencana ekologi yang datang silih berganti,
penurunan kualitas lingkungan hidup yang semakin
membangun dialektika dengan momentum politik 2009
tinggi, konflik sumber daya alam dan krisis yang selalu
sebagai titik awalnya, untuk membuat sebuah jalan baru
muncul menghiasi media, sebenarnya menjadi cukup
yang diharapkan bisa merespon krisis yang dialami oleh
alasan bagi gerakan blok politik hijau untuk mengajak
rakyat dan bangsa ini. Apa yang ditawarkan oleh Blok
masyarakat lebih luas untuk mendukung gerakan ini.
Politik Hijau semangatnya seperti apa yang diletakkan
Blok
politik
hijau
diharapkan
mampu
secara mendasar oleh gerakan kemerdekaan yang diusung
34
Massa yang kritis sebagai pra syarat utama
dimasa kolonial. Semangat yang ingin digelorakan lagi
perubahan menjadi pekerjaan rumah yang harus segera
adalah bagaimana membangun optimisme, menuju
diselesaikan oleh gerakan blok politik hijau ini, sehingga
Indonesia merdeka seratus persen secara ekonomi dan
mimpi perubahan Indonesia ini diciptakan sendiri oleh
politik.
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
Korporatokrasi
dan Cara Bekerjanya di Indonesia *
Oleh :Salamuddin Daeng dan Pius Ginting
Studi tentang korporatokrasi adalah suatu studi yang luas, karena masalah ini tidak hanya menyangkut urusanurusan ekonomi, akan tetapi berhubungan dengan sistem idiologi dan praktek politik yang dianut oleh suatu
negara. Manifestasi kekuasaan korporatokrasi menurut banyak kalangan1 bahkan telah merasuk jauh dalam
hubungan-hubungan sosial dan kebudayaan masyarakat dewasa ini, sehingga dibutuhkan studi yang mendalam
untuk memahami masalah ini secara lebih lengkap. Artikel berikut ini hanya akan meninjau sebagian kecil saja
dari fenomena koporasi dalam mewujudkan kekuasaan ekonomi mereka.
Istilah korporatokrasi dihubungkan dengan
kekuasaan perusahaan-perusahaan (korporasi) besar
termasuk perusahan keuangan (finasial institution)
yang menyatukan seluruh kekuatan yang dimilikinya
membentuk pemerintahan dalam rangka mengontrol
negara dan seluruh masyarakat. Dengan kekuasaan yang
dimilikinya tersebut baik negara maupun masyarakat
menjadi sangat tergantung kepada korporasi tersebut
dan tidak memiliki banyak pilihan. Manifestasi
korporatokrasi sangat gampang dilihat dalam praktek
penyelenggaraan kekuasaan negara maju saat yang
menempatkan masyarakat dunia di bawah kontrol
mereka.
Barangkali tidak banyak orang yang menyadari
kekuasaan korporasi besar tersebut, akan tetapi
faktanya setiap hari kita mendapatkan suguhan yang
dipaksakan oleh korporasi raksasa. Seluruh kebutuhan
hidup kita yang paling dasar, mulai dari minyak tanah,
bensin, minyak goreng, sabun mandi, listrik, telepon,
transportasi adalah produk dari korporasi. Bahkan
diruang-ruang hidup kita yang paling privat, korporasi
hadir dalam bentuk iklan, sinetron, berita dan informasi
yang membetuk fikiran kita sesuai dengan kehendak
korporasi tersebut.
Korporasi sangat berkuasa, bahkan kekuasaan
mereka lebih besar dari apa yang dibayangkan oleh
khalayak ramai. Mereka menentukan undang-undang,
mengatur bekerjanya instrument politik, mengatur
pembagian kekayaan negara ke tangan-tangan mereka,
mengatur militer, polisi dan para penegak hukum dan
bahkan mengatur sistem idiologi yang harus diyakini
oleh masyarakat.
Praktek demokrasi liberal yang dijalankan
di Indonesia saat ini adalah tempat belajar yang
paling mudah untuk memahami bagaimana korporasi
membentuk pemerintahan dalam rangka mengontrol
negara. Contohnya, seorang calon gubernur, bupati atau
calon anggota legislatif (caleg) membutuhkan biaya yang
sangat besar untuk mengikuti proses demokrasi liberal
seperti pemilu dan pilkada, dimana seorang kandidat
membutuhkan dukungan modal besar untuk dapat
mengikuti proses tersebut untuk membiayai pendaftaran,
kampanye yang mahal melalui koran, televisi, radio,
poster, pamflet, mobilisasi massa, membayar saksi di
setiap TPS dan lain sebagainya. Bahkan dengan uang
yang besar pula memungkinkan terjadinya manipulasi
dan kecurangan dalam proses politik semacam itu.
Hasilnya sudah dapat dipastikan korporasi atau pemilik
modal besar yang akan memenangkan calon-calon yang
mereka biayai dalam demokrasi liberal semacam ini.
Selanjutnya kemenangan korporasi dalam
politik akan memperbesar kontrol mereka dalam bidang
ekonomi. Korporasi mengatur penuh kegiatan produksi
* Naskah Diterima oleh Redaksi pada 17 November 2008
1 Istilah korporatokrasi di gunakan oleh John Perkins untuk menggambarkan
rangka membangun imperium global, korporasi, international
bergabung menyatukan kekuatan
mengikuti
betapa dalam
finance institutions dan pemerintah
finansial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia
kehendak mereka (John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man,
2004)
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
35
Bahasan: Korporatokrasi
sumber-sumber penting yang menyangkut hajat hidup
orang banyak. Hal ini dapat kita lihat bagimana kekuasaan
korporasi atas produksi minyak, gas, batubara, minyak
sawit (CPO), tebu dan sumber-sumber tambang lainnya.
Penguasaan mereka atas sumber-sumber pangan dan
energi akan sangat mementukan hidup matinya suatu
masyarakat. Contohnya penguasaan korporasi dalam
hal produksi di hulu minyak, gas, batubara menjadikan
mereka mampu mengatur produksi, distribusi dan
harga harus dibayar masyarakat. Dengan demikian
kemampuan suatu masyarakat dalam mendapatkan
barang dan jasa kebutuhannya sangat ditentukan oleh
kebijakan korporasi. Contoh lainnya dapat dilihat dari
bagaimana korporasi mendorong parlemen menaikkan
tarif listrik, tarif jalan tol dan lain sebagainya.
di sektor hulu dalam rangka ekploitasi minyak. Lebih
dari 40 juta hektar diserahkan dalam rangka ekploitasi
mineral dan batubara, sekitar 7 juta hektar diserahkan
untuk korporasi perkebunan dan sekitar 31 juta hektar
diserahkan untuk korporasi kehutanan.
Struktur Penggunaan
Tahun 2005
1.
2.
3
4
5
6
7
8
Kekuasaan korporasi di Indonesia 36
Sebelum kita membahas bagimana cara bekerjanya
korporatokrasi di Indonesia maka sebaiknya kita terlebih
dahulu memahami korporasi terkemuka di Indonesia
yang menguasai sektor-sektor ekonomi strategis seperti
pertambangan minyak, gas, mineral, perusahaan
keuangan dan perusahan perdagangan. Meskipun
pendekatan ini bukan merupakan satu-satunya alat
untuk memahami masalah ini, akan tetapi menurut
penulis aspek inilah yang paling penting dan paling
relevan untuk mengetahui siapa mereka saat ini.
Pada level paling atas kita menemukan bahwa kontrol
terhadap perekonomian Indonesia dilakukan oleh
perusahaan besar yang berasal dari luar negeri atau
disebut pemodal asing. Mereka sekelompok perusahaan
yang berasal dari negara-negara maju yang sebagian
diantaranya berasal dari yang pernah menjajah Indonesia
secara langsung. Mereka menguasai sektor-sektor
ekonomi utama di negara ini. Mulai dari minyak, gas,
mineral, perkebunan, perusahaan-perusahan keuangan
dan jasa.
Korporasi asing menguasai lebih dari 85 persen kegiatan
ekploitasi minyak dan gas di Indonesia. Sedangkan
kepemilikan asing di luar sektor tersebut diatas dalam
aktifitas investasi langsung (FDI) mencapai lebih dari 75
% dari total investasi yang ada. Lebih dari 95 juta hektar
lahan telah diserahkan kepada perusahaan minyak
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Lahan
di
Indonesia
Penggunaan
Luas
Kontrak Kerja Migas
Kontrak Karya (mineral)
KP mineral
KP Batu Bara
KKB/ PKP2B
HPH Alam
HTI
Perkebunan Negara *
Perkebunan Swasta *
Total
Luas Lahan Pertanian
Luas Daratan
(juta Ha)
95.45
6.47
7.67
24.77
5.2
27.72
3.4
3.3
1.08
175.06
11.8
192,26
Sumber : Data diolah dari berbagai sumber, ESDM,
Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian.
Keterangan : * Data tahun 2003
Tidak hanya disektor ekstraktif, di sektor keuangan
korporasi asing mengambil tempat yang semakin
dominan. Kepemilikan asing atas aset perbankan
nasional mencapai 47,02 persen, terus meningkat sejak
krisis1. Contohnya, kepemilikan saham publik di Bank
Rakyat Indonesia Tbk (BRI) lebih didominasi investor
asing dengan per 31 Maret 2007 kepemilikan saham
investor asing mencapai 37,2 persen, sedangkan investor
domestik hanya menguasai 5,8 persen saham BRI.2 Di
sektor keuangan lainnya kepemilikan modal asing juga
terjadi dalam jumlah yang cukup besar. Tahun 2007
kepemilikan modal asing di pasar modal sebesar 67,34
persen dengan nilai Rp 601,055 triliun.3
Tidak hanya itu, dalam hal kepemilikan surat utang
negara (SUN) oleh pihak asing saat ini meningkat sekitar
Rp26 triliun atau mencapai Rp104 triliun jika dibanding
dengan kondisi pada awal 2008 sebesar Rp78 triliun. Sekarang porsi asing di SUN 19,5 persen atau Rp104
triliun, meningkat dibandingkan 16,6 persen atau Rp78
triliun pada awal 2008 4.
Bahasan: Korporatokrasi
Bagaimana dengan pelaku nasional, pengusaha nasional
kaitannya dengan praktek korporatokrasi di Indonesia?
Pelaku-pelaku nasional adalah pemain yang paling
tampak. Upaya-upaya untuk mengotrol Negara dan
mengendalikannya sekaligus berdasarkan keinginan
dan orientasi mereka sangat jelas. Wakil presiden
dan beberapa menteri adalah berasal dari kalangan
pengusaha. Bahkan salah satu menteri dalam Kabinet
SBY – JK adalah orang paling kaya di Asia sebelum krisis
keuangan global melanda dunia.
Krisis ekonomi Indonesia tahun 1997 adalah penampakan
nyata kekuasaan pemilik modal nasional. Pemilik modal
dapat menyelamatkan diri mereka dari hantaman badai
krisis yang melanda saat itu dengan cara menjebol uang
Negara sebesar 630 trilun dalam proyek rekapitalisasi.
Ini adalah angka yang sangat besar dibandingkan dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat
itu. Hingga saat ini Negara harus menanggung utang
yang sangat besar dari kegiatan ini dan harus membayar
bunga utang tersebut. Keluarnya uang Negara yang
sangat besar tersebut dilakukan secara legal sesuai
hukum Indonesia.
Meski kedudukan mereka cenderung dibawah dominasi
modal asing, pelaku-pelaku usaha nasional tidaklah
terlalu lemah dalam hal skala penguasaan ekonomi
mereka. Mereka menggunakan konstitusi untuk
mendorong Negara membuat suatu undang-undang
yang memungkinkan bagi modal nasional untuk
membantu modal asing atau bekerja di sana. Misalnya
dengan menjadi subkontraktor korporasi tambang
besar di berbagai bidang seperti penyediaan makanan
bagi pekerja tambang hingga pembelian limbah dengan
dengan keuntungan besar. Undang-undang No. 1 Tahun
1967 Tentang Penanaman Modal di jaman Orde Baru
memberi strategi bagi pembesaran modal nasional
dengan menjadi pembantu modal asing, khususnya
di sektor pertambangan. Keadaan yang terjadi di
PT. Freeport Indonesia sebuah perusahaan tambang
terbesar di Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara
sebuah perusahaan tambang mineral terkaya di dunia
memperlihatkan peran modal-modal nasional kedua
perusahaan tersebut sebagai pembantu perusahaan asing
pada bisnis-bisnis yang tidak diminati oleh perusahaan
asing lainnya.
Pemodal nasional pun berkepentingan meluaskan
kepentingannya di bagian hilir di sektor migas. Setelah
hak Pertamina di sektor hulu migas dimutilasi melalui
undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Minyak dan Gas dan dirubahnya perusahaan tersebut
menjadi perusahaan swasta, menyebabkan sebagian
besar industri pengelolaan migas dihulu dikuasai modal
asing. Para pemilik modal nasional berbondong-bondong
menguasasi sektor hilir. Sebagian besar pelaku di sektor
hilir yang jumlahnya ribuan adalah pemodal nasional,
mereka adalah distributor-distributor dan pedagang
ritel BBM. Para pemodal nasional inilah yang selalu
menjadi pendukung kenaikan harga penjualan produk
BBM seperti premium, minyak tanah dan solar dan
belakangan menjadi pendukung utama kenaikan harga
penjualan gas bagi rumah tangga. Seluruh perdagangan
BBM di dalam negeri milik perusahaan nasional akan
mendapatkan revenue lebih dari 500 triliun dalam
tahun 2008. Jumlah tersebut dua kali lipat dari seluruh
biaya yang mereka perlukan dalam menghasilkan BBM.
Sementara di sektor gas, PT. Perusahaan Gas Nasional
(PGN) menguasai lebih dari 90 persen perdagangan
Gas di Indonesia. Meski terus untung perusahaan ini
terus mendorong kenaikan harga gas dalam rangka
melipatgandakan keuntungan.
Kekuasaan modal nasional memang sebagian besar
dalam bisnis ritel barang-barang yang diproduksi
oleh modal asing. Inilah yang menjadikan dasar bagi
pembangunan outlet-outlet dan pusat perbelanjaan yang
begitu luas terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Rencana pembesaran uang para pelaku nasional tersebut
dilakukan juga dengan mendorong kebijakan impor
produk pertanian seperti beras, gandum, kedelai dan
impor produk pangan lainnya.
2 Selasa, 9 September 2008 | 07:50 WIB, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Muliaman Hadad,
Senin (8/9) di Jakarta
3 Jakarta (ANTARA News),Kepemilikan Saham Publik BRI Didominasi Investor Asing
4 Rabu, 25 Juli 2007 | 18:20 WIB, TEMPO Interaktif, Jakarta
5 http://www.bankdki.co.id/index.php?option=com_content&task= view&id=227&Itemid=91
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
37
Bahasan: Korporatokrasi
Pembesaran modal nasional terjadi melalui bisnis ritel
lainnya seperti perdagangan produk otomotif dengan
menumpang pada industri modal asing di sektor ini.
Bisnis ritel ini juga melahirkan keuntungan bagi modal
pelaku nasional di sektor perbankan melalui ekspansi
kredit murah produk otomotif seperti mobil dan sepeda
motor. Eskpansi kredit tersebut berpotensi menjadi
subprime mortgage versi Indonesia.
Legitimasi Hukum dan Politik Kekuasaan perusahaan asing yang sedemikian luas di
Indonesia memang adalah buah dari kerja keras mereka
dalam memperalat birokrasi Negara melalui proyek
utang yang besar. Cara ini sangat efektif dan menjadi alat
paling kuat bagi upaya penetrasi ke dalam perekonomian
Indonesia.
38
Sampai dengan tahun 2008 utang luar negeri telah
mencapai angka 1.400 triliun lebih. Uang yang sebagian
besar berasal dari negara-negara maju dan lembaga
keuangan internasional yang beroperasi di Indonesia
dalam rangka mendukung kepentingan korporasikorporasi besar, yaitu kepentingan untuk terus
mempertahankan kekuasaan mereka pada kegiatankegiatan ekonomi paling strategis di Indonesia. Utang
luar negeri adalah modal asing yang memiliki signifikasi
langsung dengan kepentingan korporasi, dikarenakan
melalui utang luar negeri baik dalam bentuk proyek
dan program berkaitan langsung dengan kepentingan
korporasi.
Negara maju dan lembaga keuangan internasional
yang memberikan utang adalah alat perusahaan
multinasional dalam rangka pembesaran skala ekonomi
mereka. Alhasil, negara maju-negara maju seperti
Jepang, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa
adalah sumber utang terbesar bagi Indonesia. Proyek
utang telah menghasilkan pendapatan yang besar bagi
negara-negara maju dan lembaga keuangan melalui
bunga. Sementara para pengusaha asing mendapatkan
kebijakan negara dan infrastruktur yang dibiayai dengan
utang dalam rangka menopang investasi asing.
Kepentingan utang untuk mendukung investasi asing
dalam rangka pencarian sumber daya alam adalah
contoh kongkrit dalam hal ini. Jepang sebagai negara
pemberi utang bagi Indonesia adalah negara yang ahirnya
menerima sumber daya alam paling besar. Jepang adalah
penerima ekspor gas, minyak dan batubara tersebesar
dari Indonesia. Tanpa keberadaan perusahaan yang
dibiayai langsung dengan investasi tersebut maka dapat
dipastikan ekonomi Jepang akan kesulitan
Demikian halnya dengan utang dari lembaga pinjaman
Bank Dunia (WB), kesemuanya ditujukan agar negara
membangun institusi-institusi yang mendukung
penanaman modal dan mempromosikan pertumbuhan
ekonomi. Dalam setiap peraturan pinjaman pembangunan
untuk Indonesia, Bank Dunia menetapkan prioritas agar
utang ditujukan untuk mendukung perbaikan-perbaikan
iklim penanaman modal, pengelolaan keuangan publik
dan prioritas kunci lainnya.5
Infrastruktur yang dibiayai utang tersebut tersebut
menjadi penopang investasi-investasi swasta. Dua
lembaga lainnya yang bernaung di bawah Bank Dunia
sekaligus yang berurusan dengan sektor swasta ialah
Korporasi Keuangan Internasional (IFC)6 dan Badan
Penjamin Investasi Multilateral (Multilateral Investment
Guarentee Agency/MIGA)7. IFC adalah badan
penanaman modal swasta dari kelompok Bank Dunia.
IFC menawarkan pinjaman jangka panjang dan investasi
modal. Investasi IFC disalurkan kepada korporasi swasta
yang selanjutnya memberikan bantuan pembiayaan
proyek investasi perusahaan swasta di negara-negara
terbelakang yang kaya sumber daya alam.
Perusahaan yang dijamin MIGA di Indonesia, yakni
Tambang Grasberg, Papua Barat; PT East Java Power Co,
(pada tahun 1997). Pada Tahun anggaran 1995-2000,
5 Laporan Tahunan ini juga tersedia di internet dengan situs www.worldbank.org.
6 Didirikan pada tahun 1956, memiliki 178 Anggota, Komitmen porfolio: $2 ,6 milyar dolar (termasuk
$5, milyar dolar pinjaman-pinjaman sindikat). Komitmen untuk Pembukuan Tahun 2006: $6,7 milyar
dolar untuk 284 proyek perusahaan di 66 negara. IFC berkantor di Washington, DC, dengan kantorkantor cabang tersebar di seluruh dunia.
7 Didirikan pada tahun 1988, memiliki 167 Anggota, Jaminan kumulatif yang sudah dikeluarkan :$ 6
milyar, Pembukuan tahun 2006 jaminan yang sudah dikeluarkan sebesar $ , 3 milyar
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
MIGA menjamin dua proyek lain di Indonesia. Pada
tahun 1997, US West International Holding, Inc. dan
Chase Manhattan Bank (bertindak atas nama sekelompok
pemberi pinjaman) menerima sebuah jaminan sebesar
14 juta dolar AS untuk investasi modal dan pinjaman
mereka untuk perluasan dan pengoperasian jaringan
telepon di Jawa Barat.
MIGA terlibat dalam dua kasus yang paling kontroversial
di Indonesia, yakni asuransi resiko politik dari PT Enron
Java Power Co. Ketika PLN membatalkan perjanjian
pembelian tenaga listrik dengan PT East Java Power
Co, anak perusahaan PT Enron Java Co. akibatnya,
Indonesia terkena penalti sebesar 15 juta dolar AS. Data
dari Statistik Bank Indonesia menyebutkan pada tahun
2001, Indonesia harus menanggung utang dari MIGA
sebesar 8 juta dolar AS. Kasus PT. Enron berawal dari
perjanjia jual beli daya listrik (PPA) yang disepakati
Enron bersama Presiden Suharto digelembungkan 30%
lebih tinggi dari harga pasar. Enron memenangkan
proyek itu tanpa proses tender sebagaimana seharusnya.
PLN didesak Suharto untuk menandatangani perjanjian
itu. Walau Indonesia tengah dirundung masalah setelah
krisis, Pemerintahan Clinton mendesak Indonesia
untuk menghormati seluruh perjanjian bisnis yang
ditandatangani era Suharto. Pemerintahan Clinton
mengatakan bila Indonesia mengingkari janji artinya
sama saja dengan melecehkan ”kemurnian” kontrak.
Ketika awalnya Indonesia menolak membayar penuh
tagihan sebesar 15 juta dolar, MIGA menolak memberikan
asuransi kepada Indonesia. Sanksi tersebut baru dicabut
pada tahun 2001 ketika pada akhirnya Indonesia setuju
untuk membayar. Meskipun MIGA membayar 15 juta
dolar atas tuntutan tersebut ditambah bunga 220.000
Dolar AS, MIGA juga menerima 10,5 juta dolar dari
penjamin kedua (re-insurer) dan 880.000 Dolar dari
pemerintah Indonesia.
Pada tahun 1996, MIGA menerbitkan jaminan sebesar
USD 50 juta untuk Capital Indonesia Power I C.V., anak
cabang General Electric Capital Co. dari Amerika Serikat.
GE Capital mencari asuransi untuk investasi modalnya
sebesar USD 61,2 juta dalam pembangunan dan
pengoperasian dua pembangkit listrik tenaga batubara
berdaya 615 megawatt di Kompleks Pembangkit Listrik
Paiton, Jawa Timur8.
Lembaga keuangan lainnya, yakni ADB juga merupakan
pemberi utang besar bagi Indonesia dengan skema yang
sama. Lembaga keuangan ini terlibat dalam perlombaan
untuk memberi utang kepada Indonesia dengan harapan
memperoleh bunga dan sumber daya alam yang besar
bagi perusahaan swasta asing sebagai hasilnya. Pada
Agustus 2006 ADB telah menyetujui pinjaman untuk
sektor swasta terkait pengembangan infrastruktur. ADB
memberikan pinjaman senilai AS$ 350 juta untuk Proyek
Pengembangan Lapangan Gas Tangguh di Irian Barat
oleh British Petroleum (BP). Selain itu, proyek Pipanisasi
Gas dari Sumatera ke Jawa Barat oleh PT Perusahaan
Gas Negara Tbk (PGN) juga mendapat pinjaman senilai
US$ 80 juta. Pinjaman-pinjaman tersebut merupakan
pinjaman dengan bunga komersial yang menggunakan
tingkat bunga LIBOR+ 20 basis poin, serta biaya
komitmen.9
Sebagian telah diakui secara terbuka oleh
agen korporatokrasi bahwa mereka berperan dalam
merancang undang-undang mengakomodir kepentingan
korporatokrasi. Diantaranya adalah melalui Undangundang Migas peran Pertamina dibatasi dan sertai
subsidi BBM dicabut (”dieufemiskan dengan mengikuti
nilai keekonomian). Hal tersebut diungkapkan USAID
melalui web site nya bahwa lembaga tersebut bersama
ADB mendonori pembuatan undang-undang tersebut.10
Revrisond Baswir menyatakan tidak hanya UU Migas,
namun hal yang sama juga terjadi dengan UU Kelistrikan,
UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan beberapa
produk perundang-undangan lainnya. RUU Kelistrikan
disusunkan oleh Bank Dunia, sedangkan RUU BUMN
disusunkan oleh Price Waterhouse Coopers11.
Jika John Perkins dalam bukunya Pengakuan
Bandit Ekonomi Dunia menyatakan dia bekerja untuk
lembaga konsultan MAIN laporan-laporan bagus (namun
manipulatif) tentang indikator-indikator pembangunan,
8 Factsheet LKI diterbitkan oleh Down to Earth, Kampanye Internasional untuk Lingkungan Hidup
yang Berkeadilan di Indonesia.http://dte.gn.apc.org/Aif16.htm
9 Wednesday, 1 November 2006: ADB Tawarkan Pinjaman US$ 4 Miliar JAKARTA, Investor Daily
10 (http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html
11 Revrisond Baswir, Amerikanisasi BBM
12 Ibid
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
39
Bahasan: Korporatokrasi
maka “Kajian Dampak Ekonomi Kenaikan Harga BBM,”
yang diterbitkan oleh Pusat Studi Energi, Departemen
ESDM pada Desember 2001, kajian tersebut ternyata
dibiayai oleh AUSAID (Australia Agency for
International Development), melalui International
Trade Strategies (ITS) Pte. Ltd., Australia12. Bank Dunia
pun pernah menulis surat kepada Menteri ESDM agar
para pemain baru diberi akses menggunakan fasilitasfasilitas produksi dan distribusi milik Pertamina. Bank
yang didominasi Amerika Serikat tersebut mengatakan
jika tidak hal tersebut tidak dilakukan, para pemain
baru yang akan datang tidak akan kuat bersaing dengan
Pertamina yang terlanjur memiliki fasilitas yang cukup
lengkap. 13 Hal tersebut telah dilakukan
oleh pemerintahan Indonesia. Benar-benar, sistem
korporatokrasi telah tercipta sempurna.
40
Korporasi memanfaatkan kartu lainnya,
yakni kedutaan di negeri mereka beroperasi untuk
mempengaruhi dan menekan pejabat setempat. Dalam
sebuah acara sidang di parlemen Australian pada akhir
tahun 2002, Menteri Luar Negeri, Downer, mengaku
bahwa staf Kedutaan Besar Australia, bahkan Duta
Besarnya secara langsung, melakukan lobi intensif
atas nama BHP Biliton, Newcrest, Placer Dome, and
Rio Tinto. Para korporasi ini secara khusus meminta
dan menerima bantuan lobi dari Keduataan agar
Indonesia membiarkan korporasi tersebut beroperasi
di kawasan lindung di Indonesia. Pejabat kedutaan
sebanyak sembilan kali memaksa parlemen Indonesia,
juga Departemen Ekonomi (Budiono), Pertambangan
(Purnomo S), Kehutanan dan Lingkungan Hidup agar
mencabut larangan melakukan penambangan terbuka
di kawasan-kawasan lindung di tempat perusahaan
tersebut beroperasi.14
Kedutaan menjadi ujung tombak kepentingan
korporasi untuk menekan pemerintah juga terjadi dalam
kasus pencemaran lingkungan di Teluk Buyat. Duta
Besar Amerika Serikat mendatangai Presiden Megawati
Soekarnoputri, dan memperingkatkan (namun bisa
kita tafsirkan mengancam) bahwa kasus Buyat ”bisa
berdampak pada iklim investasi di Indonesia”.
Sering terjadi namun hanya sesekali terungkap,
korporasi memberikan uang kepada kepada penguasa
politik untuk melancarkan usaha mereka mengejar
keuntungan. Monsanto, pada tahun 2002, melalui
anak perusahaannya menyuap pejabat Departemen
Pertanian Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup
agar produk transgenik bisa masuk ke Indonesia. Hingga
kini tidak ada penuntutan hukum terhadap kasus ini di
Indonesia, dan dari media menyatakan bahwa Mosanto
setuju membayar $ AS 1,5 juta tidak dituntut secara
hukum di Indonesia.15 Pembayaran terhadap pejabat
tersebut berlangsung cukup lama, dari periode 19972002 (yang sudah terbuka ke publik). Monsanto diduga
telah menyetor uang US$ 700 ribu (setara dengan Rp
6,3 miliar) kepada sedikitnya 140 pejabat Indonesia.
Transaksi suap terbesar yang pernah dilakukan Monsanto
adalah pemberian tanah dan pembangunan rumah yang
diatasnamakan istri seorang pejabat tinggi Departemen
Pertanian, senilai US$ 373.990 (Rp 3,37 miliar)16.
Bagi pemerintah Indonesia yang ada saat ini,
hal-hal tersebut bukan sebagai pelanggaran terhadap
kedaulatan negara (karena negaranya memang telah
ditempa dan teruji untuk mengakomodir kekuatan
korporasi). Kedualatan dan keutuhan negara hanya jadi
alat pemukul mana kala muncul gerakan rakyat yang
dikategorikan separatis atau menentang proyek yang
disebut vital yang sebenarnya adalah milik korporasi.
Demokrasi Semu dan Berbiaya Mahal
Dengan begitu mencengkeramnya kekuatan korporasi
terhadap negara (sehingga terjadi sistem korporatokrasi),
maka demokrasi yang ada sekarang ini sebenarnya adalah
semu. Atau sering diistilahkan hanya prosedural, tanpa
13 http://www.suarapembaruan.com/News/2003/10/21/Ekonomi/eko02.htm
14 http://www.mpi.org.au/companies/bhpb/bhp_deceiver/
15 http://www.corporatepolicy.org/issues/FCPA.htm
16 http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/01/17/LK/mbm.20050117.LK97651.id.htm
17 “Negara tidak lain tidak bukan adalah alat penindasan satu kelas terhadap kelas lainnya—begitu
kejadiannya dalam sebuah republik demokratik begitupula dalam sebuah monarki”, Preface to Karl
Marx, The Civil War in France, 1891
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
substansial, karena dalam prakteknya, paska pemilihan,
lembaga-lembaga dan pejabat negara dikontrol oleh
kepentingan korporasi. Sesuatu hal yang seharusnya
tidak perlu membuat kita terkejut, karena jauh-jauh hari
Engels17 telah menyatakan negara adalah alat dari kelas
yang berkuasa, dan yang saat ini yang berkuasa adalah
kelas kapitalis (bukan lagi kelas feodal yang sudah
almahrum, dan saat ini bukan pula petani miskin, kaum
miskin kota, dan buruh yang paling terkena dampakdampak negatif ekspansi korporasi).
Pengalaman pribadi
saya (Pius), sedikit
mundur ke belakang dari cerita pengaruh-pengaruh
korporasi di atas. Tak lama usai Pemilu 1999
mendampingi aksi buruh dari salah satu kawasan Industri
di Jawa Barat. Aroma demokrasi (namun ilusif) masih
mengental, banyak berharap bahwa wakil rakyat yang
dipilih dalam situasi lebih demokratis akan bisa berbuat
banyak bagi rakyat. Jumlah buruh tersebut adalah 500
orang lebih, sedangkan direksi dan manajer perusahaan
tidak lebih dari 50 orang. Namun DPRD yang mereka
datangi bahkan tidak kuasa memaksa pengusaha untuk
datang ke gedung parlemen agar berunding dengan
buruh. Belum lupa lagi bau tinta pemilu, namun prinsip
penjumlahan one man/woman one vote kalah dengan
kekuatan modal (one dollar one vote, makin banyak
uang makin berkuasa).
Di Amerika Serikat, pengaruh uang korporasi
terhadap anggata parlemen selama pemilihan mereka
telah banyak diungkap ke media. Misalnya, www.
opensecrets.org mencatat uang dari 50 korporasi
sebanyak $ 813,671,471 ke anggota Konggres selama
pemilihan umum 2007-2008.18
Dana korporasi melalui dalam pemilihan
pilpres dan caleg juga terjadi di Indonesia. Hal tersebut
dinyatakan oleh Amien Rais bahwa capres tertentu
dalam Pilpres 2004 menerima dana bantuan kampanye
dari Yayasan Washington19. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengancam akan menuntutnya terkait
pendanaan tersebut, namun hal tersebut tidak kunjung
dilakukan, membuat publik makin berkeyakinan bahwa
dana tersebut benar adanya.
Menyingkap aliran uang korporasi kepada
caleg, capres dan partai di Indonesia masih menjadi
tantangan yang perlu dilakukan sebagai bagian dari
kampanye menghentikan intervensi korporasi terhadap
institusi publik.
Militer dalam Sistem Korporatokrasi
Dalam buku Kisah Lanjutan Pengakuan Bandit
Ekonomi, John Perkins mengungkapkan pengakuan
seorang seorang perwira militer Indonesia bahwa sejak
lengsernya Suharto keadaan makin memburuk. ”Mereka
pikir dengan mengurangi anggaran militer, tujuan
akan tercapai [agar militer tunduk kepada sipil]. Tapi
para jenderal tahu ke mana mereka harus meminta
bantuan: perusahaan-perusahaan pertambangan dan
energi.” (Perkins:2007:60). Freeport telah mengakui
memberikan uang $AS 20 juta [Rp.184 milyar, $AS
1=Rp 9.200] kepada komandan dan satuan-satuan
yang berada di daerah pertambangan tersebut atas jasa
pengamanannya. Laporan lain mengungkapkan pribadi
Jenderal Mahidin Simbolon menerima uang sebanyak
$ AS 247,705 dari Freeport dari tahun 2001 hingga
tahun 2003. Keterpautan antara militer dari korporasi
juga terlihat di Aceh. Militer penjaga Exxon terbukti
melakukan pemerkosaan, pembunuhan dan penyiksaan
ketika mengamankan Exxon Mobile di Aceh.20 Kejadiankejadian ini menunjukkan institusi militer telah dibawah
kendali korporasi.
Pengaruh ini diperkuat dengan bantuan militer
AS ke militer Indonesia yang dipulihkan kembali setelah
pemerintahan Bush. Bantuan militer dari AS ini tentu
tidak terlepas dari lobi dan kepentingan korporasi21.
Bagian dari program bantuan ini adalah penyekolahan
perwira-perwira militer Indonesia ke Amerika Serikat.
Mereka orang-orang yang terbukti kemudian memegang
18 http://www.opensecrets.org/industries/mems.php
19 http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2007/5/20/n3.html
20 http://www.jatam.org/content/view/508/1/
21 Roger Moody (2005) mengatakan Freeport melobi Kongges dan Presiden AS untuk menambah
bantuan militer terhadap Indonesia.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
41
Bahasan: Korporatokrasi
peran penting dalam militer, diantaranya Susilo Bambang
Yudhono22, Prabowo Subianto. Sekolah militer Amerika
Serikat ini ini terkenal melahirkan banyak perwira yang
melakukan pelanggaran HAM23.
Tentang pentingnya pengaruh Amerika Serikat
melalui penyekolahan perwira ke AS ini, dari pengalaman
Venezuela, yang menghentikan pelatihan militernya ke
Amerika Serikat, dimulai pada generasi Chavez dalam
derajat tertentu diakui oleh Chavez terhadap menurunnya
pengaruh Amerika terhadap militer negeri tersebut24.
Kekuasaan Kolonial Baru
42
Secara sederhana strategi praktek ekonomi kolonial
dijalankan dalam bentuk mobilisai sumber daya alam
melalui investasi langsung yang berorientasi ekspor.
Tesis ekonomi modern saat ini dibuat di universitas
terkemuka di dunia dalam rangka memberi landasan
bagi beroperasinya ekonomi negara-negara terbelakang
agar tetap bersedia memproduksi sumber-sumber yang
diinginkan perusahaan-persuahaan multinasional yang
berkantor pusat di negara-negara maju. Digunakannya
Product Domestik Bruto (PDB) sebagai indikator
ekonomi adalah bukti nyata dari tidakan tersebut.
Mengapa
Indonesia
menjadi
incaran?
Dunia
mengibaratkan negeri ini bagaikan untaian mutiara
di katulistiwa. Seluruh wilayah daratan Indonesia
adalah tanah yang subur. Menyediakan syarat bagi
berkembangbiaknya hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Menjadikan Indonesia sebagai wilayah dengan hutan
tropis terluas ketiga di dunia. Tutupan hutannya
mencapai lebih dari 101 juta ha, dengan kekayaan flora
yang terlengkap di dunia. Selain itu, wilayah perairan
Indonesia kaya dengan beragam kehidupan biota laut.
Terumbu karangnya yang melengkapi keindahan pulaupulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke.
Bagaimana kekuasaan perusahaan asing sedemikian
besar, tentu ini bukan sesuatu yang terjadi begitu saja.
Dalam menganalisis soal ini memang memerlukan
penjelasan historis yang memadai. Suatu penjelasan
tentang sejarah penguasaan modal asing di Indonesia
selama lebih dari 400 tahun lamanya dan masih
berlangsung hingga saat ini.
Fakta ini bukan sesuatu yang sulit untu ditunjukkan,
kita dapat mengambil contoh bagaimana penguasaan
mineral di Indonesia sejak kontrak karya generasi
pertama, terdapat suatu upaya sistematis dari modal
asing dalam rangka menguasai sumber daya mineral
di negeri ini. Keluarnya undang-undang No. I tahun
1967, selanjutnya diikuti dengan kontrak karya Generasi
pertama yang diperoleh oleh PT. Freeport Indonesia
adalah upaya langsung dari modal asing. Bahkan
kontrak karya Freeport tersebut diberikan tanpa
menunggu rampungnya aturan-aturan pertambangan
yang seharusnya menjadi payung hukum bagi ekploitasi
tambang.
Selama kekuasaan Orde Baru, praktis perekonomian
Indonesia dikontrol secara penuh oleh modal asing.
Kebijakan semacam ini terus berlanjut sampai saat ini.
Meskipun sudah terjadi empat kali pergantian rezim
pasca tumbangnya Orde Baru, kebijakan ekonomi
Indonesia cenderung mengabdi pada kepentingan
korporasi asing.
Bahkan di dalam Undang-undang Penanaman
Modal yang baru, yaitu UU No. 25 Tahun 2007 yang
menggantikan Undang-undang yang berlaku selam
40 tahun lebih di Indonesia, sangat jelas dimaksudkan
sebagai undang-undang yang mendukung kepentingan
bisnis modal asing di Indonesia. Beberapa hal di dalam
undang-undang tersebut menjadi bukti dari diperalatnya
instrumen Negara sebagai strategi modal asing,
seperti: pemberlakukan azas perlakukan yang sama
bagi penanaman modal, hak menguasai tanah hingga
jangka waktu 95 tahun, insentif pajak yang berlebihan,
kebebasan melakukan transfer, repatriasi asset dan lain
22 Pendidikan militer SBY di Amerika Serikat: Airborne and Ranger Course di Fort Benning, Georgia,
AS (1976), Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning, Georgia, AS (1982-1983) dengan meraih
honor graduate, Jungle Warfare Training di Panama (1983), dan Command and General Staff College
di Fort Leavenworth, Kansas, AS (1990-1991) http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/susilo-byudhoyono/biografi/jenderal.shtml
23 Cerita tentang kekerasan para alumni sekolah militer yang banyak melatih perwira negara dunia
ketiga yang kemudian hari banyak jadi petinggi negara ini bisa dilihat di www.soaw.org
24 Memahami Revolusi Venezuela, Monthlyreview, New York, 2007
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
sebagainya. Kesemuanya adalah jalan termurah bagi
modal asing untuk memperluas ruang ekploitasi dan
dominasi ekonominya di Indonesia.
oleh partikelir-partikelir untuk penanaman komoditi
tertentu27.
Tindakan-tindakan ekonomi dalam bentuk pembesaran
ekspor adalah tindakan yang sejalan dengan kepentingan
korporasi asing. Sebagaimana kita ketahui bahwa
perusahaan-persuahaan asing tersebut melakukan
investasi di Indonesia dalam rangka untuk mendapatkan
sumber daya alam bagi industri-industri di negara.
Contoh nyata adalah investasi pada PT. Newmont
Nusa Tenggara yang dibiayai Jepang. Perusahaan ini
adalah salah satu perusahaan tambang besar yang telah
terikat kontrak dengan pembeli dari Jepang untuk
jangka panjang sejak perusahaan akan mengembangkan
tambang tembaga di Batu Hijau, Sumbawa. Sebanyak
90% produk berupa konsentrat tembaga beserta emas
yang merupakan produk mineral ikutan dalam konsentrat
tersebut langsung diekspor ke Jepang 25.
Karakteristik eksploitasi oleh perusahaan asing di
Indonesia saat ini, mirip dengan model ekploitasi sistem
kolonialisme liberal yang diterapkan jaman Belanda
(1870 – 1900-an). Beberapa hal yang mencirikan
persamaan tersebut diantaranya adalah ; pertama, saat
itu pemerinta Hindia Belanda mengundang banyak
investor asing untuk menanamkan modalnya di Hindia
Belanda (Indonesia), kedua, pemerintah Hindia Belanda
hanya mengatur lalu lintas investasi dan perdagangan,
menetapkan pungutan bea masuk (invoerrechten)
dimana bea masuk tersebut dipungut semata-mata
untuk kepentingan keuangan negara (birokrasi) dan
bukan karena alasan-alasan perlindungan atau proteksi.
Ketiga, menerapkan sistem kerja bebas (upah) melalui
kerja kontrak, penanaman bebas, dan persewaan tanah26
Praktek pengerukan kekayaan alam sebagaimana
yang dikatakan sebelumnya, memang ditujukan
bagi industrialisasi di negara-negara maju. Hal ini
dikarenakan perusahaan-persuahaan yang beroperasi
di sektor ini menggunakan sumber-sumber keuangan
yang berasal dari negara maju dalam bisnis mereka.
Orientasi ekspor dari seluruh sumber-sumber strategis,
minyak gas mineral merupakan sebab bagi tidak
tumbuhnya industrialisasi nasional dan industrialisnya.
Yang tumbuh sebagian besar hanyalah makelar, calo dan
birokrat antek korporasi asing.
Media, Intelektual
Program CSR Perguruan
Tinggi
dan
Adalah tidak mungkin suatu kekuasaan perusahaan
raksasa yang dijalankan memalui praktek kolonial bisa
bertahan sedemikan lama di sebuah negara miskin dan
tanpa penolakan, malainkan dikarenakan lengkapnya
strategi yangt dijalankan oleh para penyokongnya.
Hampir setiap hari kita menyaksikan di televisi, membaca
di koran-koran bisnis dan ekonomi tentang masalahmasalah utama yang dihadapi ekonomi Indonesia. Secara
umum pemberitaannya adalah tentang perkembangan
nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, tentang
Indeks harga saham gabungan (ISHG) yang seolah-olah
masalah tersebut dihadapi oleh rakyat Indonesia seharihari. Padahal tidak demikian keadaannya. Apa yang
dipertontonkan di media-media massa tersebut adalah
aktifitas ekonomi yang dijalankan oleg segelintir orang
saja, sekitar 300 – an emiten di bursa saham dan lebih
dari separuh adalah pemilik modal asing yang tengah
25 Investor Tambang (Baru) wajib membangun Smelter, Bronto Sutopo, Thu, 04 Jan 2007 20:20:44
–0800 : Bisnis Indonesia
26 Pada tahun 1874 diadakan peraturan mengenai pembukaan tanah oleh penduduk untuk dijadikan
milik perorangan. Selanjutnya hak milik perorangan atas tanah dilindungi oleh pemerintah. Akan
tatapi diberlakukan larangan pemindahan hak atas tanah (vervreemdingsverbod). Dalam staatblad
1875 no. 179, dalam mana pemindahan hak atas tanah oleh orang Indonesia asli kepada orang-orang
bukan Indonesia asli dinyatakan tidak sah (illegal). Dalam periode ini pemerintah kolonial melakukan
pembagian tanah secara luas terutama di Jawa dan Madura, dari tahun 1882 sampai dengan 1932
kepemilikan tanah perorangan meningkat dari 47 persen menjadi 83 persen. (Burger, 1962 hal : 218).
27 Dalam tahun 1891 penanaman perusahaan atas tanah-tanah rakyat yang disewakan meliputi tiga
perempat daripada seluruh penanaman-penanaman tebu. Juga dalam tahun berikutnya merupakan
penanaman yang terpenting. (burger, 1962, hal : 222)
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
43
Bahasan: Korporatokrasi
menjalankan aktifitas spekulasi uang panas (hot money).
Sebagian besar masyarakat di Indonesia dan bahkan
mayoritas masyarakat di dunia tidak mengetahui apapun
tentang prilaku para pelaku pasar (pemilik modal besar),
apalagi mengetahui bagaimana mereka mengambil
untung dari pasar keuangan derivatif yang menjadi
sumber dari krisis keuangan global saat ini.
Spekulasi di pasar modal dan pasar keuangan adalah
contoh paling gamblang betapa minoritas korporasi
raksasa menjadikan media sebagai sarana untuk
mefasilitasi kepentingan-kepentingan mereka. Media
massa dipaksa tunduk pada kepentingan ekspansi,
akumulasi bahkan tidakan-tindakan rekayasa sistem
finasial dalam rangka untuk mendapatkan legitimasi.
Masayarakat tidak akan pernah mengetahui tiba-tiba
tabungan meraka di Bank telah menyusut dan bahkan
bisa lenyap nilainya, baik karena nilai tukar yang berubah
maupun ambruknya saham-saham tempat mereka
menabung dan menanamkan modalnya.
44
Doktrin-doktrin media massa telah menyebabkan
hampir tidak ada gugatan terhadap masalah ini. Media
massa yang memang dihidupkan dan dibesarkan oleh
sistem ini telihat seperti seorang tamu yang mabuk dan
memasuki rumah-rumah penduduk. Bahkan tempat
paling rahasia dari rumah-rumah tersebut, kamarkamar tidur dan kamar mandi. Televisi telah menjadi
tamu yang paling dihormati di semua rumah. Sepanjang
hari mengoceh menyampaikan pesan–pesan agar
masyarakat terus bertambah boros terus mengkonsumsi
dalam rangka memperbesar akumulasi keuntungan para
pemilik modal besar. Media adalah langkah termurah
bagi korporatokrasi untuk menguasai keadaan.
Baik terhadap praktek-praktek praktek-praktek di
bursa saham dan pasar mata uang, maupuan terhadap
iklan dan dorongan berkonsumsi secara rakus, tidak
mengalami kritik dari kalangan akademisi yang mengerti
tentang kedaan ini. Para intelektual di kampus-kampus
terkemuka yang mereka sepenuhnya mengerti tentang
masalah ini, bahkan melakukan penjungkirbalikan teori.
Mereka memberikan analisis yang mendukung praktekpraktek semacam ini. Bahkan belakangan beberapa
ekonom dan akademisi menyatakan bahwa konsumsi
yang besar adalah penentu pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Artinya, para akademisi sama sekali tidak
memberi kritik terhadap konsumsi yang telah melewati
batas pendapatan riel yang diterima masyarakat. Para
akademiksi tidak mengatakan bahwa konsumsi yang
ditopang oleh kredit konsumsi dan utang masyarakat
kepada perbankkan adalah sesuatu yang membahayakan
bagi kehidupan ekonomi.
Hal tersebut terjadi karena akademisi adalah elemen
yang terlibat secara langsung dan mengambil keuntungan
dari kolonial ini. Kapitalisme telah memperkaya proyekproyek penelitian mereka dan dan tidak ada jalan
keluar lain karena dasar keilmuan yang dimiliki oleh
sebagian besar akademisi adalah menganut mainstream
pemikiran ortodoks semacam itu. Tidak hanya itu,
kalangan kampus-kampus terutama kampus terkemuka,
mengambil keuntungan dari proyek yang dikeluarkan
oleh lembaga-lembaga keuangan dunia seperti World
Bank (WB), Asian Development Bank (ADB) bagi
pengembangan dunia pendidikan, mulai dari program
pembangunan infrastruktur, hingga proyek-proyek
penelitian ilmiah dalam rangka meraup sumber daya
alam dan potensi bagi ekspansi bisnis. Keadaan tersebut
telah menyebabkan kepentingan para akademisi dan
kalangan kampus telah tegabung ke dalam kepentingan
pebisnis.
Di luar kampus berjamur lembaga-lembaga penelitian
yang memperebutkan proyek-proyek penelitian dari
lembaga keuangan dan perusahaan swasta, dan bersaing
dengan kampus-kampus yang ada. Hasil penelitain
mereka seringkali secara ekstrim mengeluarkan
dukungan kepada perusahaan dan lembaga keuangan
global dalam rangka mengatur dunia pendidikan.
Indonesia Country Assistance Strategy (CAS) adalah
sebuah proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia28. Bank
tersebut menyebutkan bahwa salah satu rekomendasi
28 Sebagai bagian dari penyusunan CAS periode 2001-2003, diklaim telah dilakukan serangkaian
konsultasi publik dilaksanakan dengan segenap organisasi dan jaringan masyarakat sipil. Proses ini,
yang melibatkan sekitar 400 organisasi masyarakat sipil (OMS), difasilitasi oleh Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) di Jakarta.
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
dari Masyarakat Sipil medukung Bank Dunia agar
di bidang pendidikan Bank Dunia perlu membantu
pendanaan dalam bentuk grant bagi reformasi kebijakan
untuk mendisain kembali kolonial pendidikan nasional
secara komprehensif 29. Bagaimana mungkin institusi
pendidikan tempat mencetak kader bangsa diserahkan
untuk didesain oleh kepentingan global yang bekerja
pada korporasi. Jelas ini adalah rencana ”pemusrikan”
yang paling hebat terhadap kader-kader bangsa.
Terhadap
pengeritiknya,
korporasi
melakukan pemberangusan, baik melalui jalur hukum
maupun luar jalur hukum. Beberapa aktivis WALHI
telah dan sedang menghadapi pemberangusan ini,
diantaranya Rignolda Jamaludin, Yani Sagaroa, dan
Jull Takaliuang. Pemberangusan ini adalah kelanjutan
dari tindakan penyangkalan terhadap publik terhadap
keberadaan kerusakan lingkungan dan juga praktek
pabrik pemeras keringat (sweatshop) dilakukan oleh
korporasi. Penyangkalan tersebut dikombinasikan
dengan kampanye-kampanye bahwa korporasi telah
memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat
dan lingkungan. Kepedulian tersebut dikenal saat ini
dikenal dengan nama tanggung jawab sosial perusahaan
(corporate sosial responsibility--CSR), yang tidak lebih
sebagai usaha menutup borok perilaku buruk korporasi.
Josep Stiglitz, mantan ekonom Bank Dunia yang kini
menjadi pengeritik ekses globalisasi, pun menganjurkan
bahwa CSR adalah salah satu alternatif agar globalisasi
bisa tetap bekerja. Namun dia pun menyadari bahwa
bahwa bahkan perusahaan yang paling polutif dan
dengan perlakuan yang buruk terhadap buruh pun
telah menyewa jasa perusahaan kehumasan (PR) untuk
mengagung-agungkan perasaan bertanggung jawab
terhadap sosial dari perusahaan30.
Dengan mengikuti defenisi Milton Friedman
(ideolog korporasi yang sangat kanan namun tidak
menutup nutupi logika korporatokrasi) menyatakan
bahwa “Korporasi adalah milik pemilik saham.
Kepentingan korporasi adalah kepentingan pemilik
saham. Hanya ada satu “tanggung-jawab sosial
perusahaan”, para eksekutif perusahaan harus mencetak
uang sebanyak mungkin bagi pemilik sahamnya. Hanya
ada satu situasi dimana tanggung-jawab sosial korporasi
ditoleransi, yakni ketika para eksekutif perusahaan
memperhatikan nilai-nilai sosial dan lingkungan sebagai
cara untuk memaksimalkan keuntungan. Menurutnya,
CSR tak lebih dari menaruh seorang perempuan cantik
di depan sebuah mobil. Tujuannya, bukanlah untuk
menjual kencantikan, namun mobil terjual.31 Joel Bakan,
seorang ahli hukum dan penulis buku The Corporation:
Pathological Pursuit of Profit and Power menelanjangi
kelemahan CSR ini.
Dibandingkan dengan keuntungan korporasi, tidak
banyak uang yang dikeluarkan untuk aktifitas CSR
ini, berkisar antara 0,5 sampai dengan 1 persen dari
keuntungan perusahaan. PT. PGN salah satu BUMN
di Indonesia mengeluarkan hanya 0,8 persen dari
keuntungannya untuk CSR. Perusahaan Newmont Nusa
Tenggara salah satu perusahaan asing terkaya di dunia
mengeluarkan 1 persen saja dari keuntungan yang
diperolehnya untuk program CSR yang disebut sebagai
program pengembangan masyarakat. Program tersebut
hampir setiap saat dikampanyekan melalui mediamedia massa. Di sektor pengelolaan migas biaya CSR
perusahaan-perusahaan minyak hulu seperti Exxon,
Chevron, dan lainnya bahkan ditanggung oleh negara
melalui cost recovery32.
Sepak terjang perusahaan tambang skala besar adalah
tempat yang tepat untuk mempelajari dampak CSR
bagi masyarakat lokal. Hampir di seluruh tempat di
mana perusahaan tambang beroperasi masyakat telah
kehilangan banyak dari sumber ekonomi mereka. Lahanlahan pertanian berkurang secar signifikan, laut-laut
tercemar akibat pembuangan limbah, sumber air bagi
pertanian telah berkurang akibat hutan digali untuk
tambang. Fakta–fakta yang dialami masyarakat berbeda
29 http://www-wds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2005/
06/29/000012009_20050629124725/Rendered/ PDF/315340rev.pdf
30 Joseph Stiglitz. Making Globalization Work. Penguin Books, 2007
31 Joel Bakan. The Corporation: Pathological Pursuit of Profit and Power, Constable&Robinson, 2004
32 Cost recovery adalah biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah sebagai penggantian atas
seluruh biaya ekplorasi dan ekploitasi migas yang dilakukan oleh perusahaan di sektor hulu minyak
yang didominasi oleh perusahaan asing.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
45
Bahasan: Korporatokrasi
jauh dengan apa yang dikeluarkan oleh para peneliti dari
kalangan kampus. Entah bagaimana metode penelitian
yang dilakukan, hampir sebagian besar hasil penelitian
yang dilakukan oleh kampus-kampus terkemuka
menggambarkan situasi yang berbeda dengan keadaankeadaan di lapangan.
perhatian para aktivis kritis agar memusuhi agen-agen
yang justru dipelihara perusahaan tambang. Hal ini
menjadi bagian paling berbahaya dari program CSR yang
memecahkan persatuan diantara kalangan gerakan sosial
dan menjauhkan gerakan sosial dari strategi perjuangan
massa.
Yang terjadi di lapangan adalah meluasnya kemiskinan
dan kelaparan, keadaan yang menyebabkan masyarakat
semakin tergantung pada belas kasihan perusahaan
tambang. Sementara pada saat yang sama pemerintahan
lokal tidak memperdulikan masalah ini. Para aktivis
lokal selalu mencurigai pemerintahan dan anggota DPRD
mengambil dana-dana CSR untuk berbagai kegiatan yang
tidak penting sebagai imbalan atas dukungan politik
yang diberikan kepada perusahaan tambang. Dugaan
kalangan LSM cukup berdasar, akan tetapi seringkali
tidak dapat dibuktikan karena tidak transparannya
pengelolaan dana CSR sendiri.
46
Luasnya saling mencurigai dikalangan masyarakat,
gerakan sosial dan pemerintahan lokal menjadi
keuntungan tersendiri bagi korporasi tambang.
Para pengamat yang independen mengetahui bahwa
perusahaan tambang berusaha menyogok tidak hanya
pemerintahan lokal dan anggota DPRD akan tetapi
juga aktifis-aktifis yang kritis dan bahkan lembaga
swadaya masyarakat. Dengan cara itu, korporasi dapat
menciptakan kompetisi diantara aktivis lokal dalam
rangka mencari perhatian perusahaan, dan mengalihkan
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Makin kecil anggaran negara untuk dana peningkatan
kesejahteraan masyarakat sejalan dengan kebijakan
neoliberal yang didorong oleh pendukung sistem
korporatokrasi,
makin
kuatlah
ketergantungan
masyarakat terhadap dana CSR korporasi. Padahal,
secara prinsip/konstitusi, negara bertanggung-jawab
untuk kesejahteraan rakyat, bukannya mengakomodir
kepentingan korporasi. Seharusnya negara menjalankan
kewajiban konstitusinya untuk kesejahteraan dengan
mengenakan pajak bagi korporasi untuk kesejahteraan
rakyat. Tentu saja, hal itu pun belumlah menjamin
kesejahteraan masyarakat dan terjaganya lingkungan,
karena korporasi akan membebankan kembali semua
biaya ke massa konsumen (sebagian besar adalah kelas
menengah ke bawah) termasuk ekternalitas negatif
(pengerusakan lingkugan) ke masyarakat, terutama
komunitas sekitar lokasi operasi korporasi. Konsekuensi
logis jalan mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah
dijalankannya unit-unit ekonomi secara kolektif oleh
rakyat. Dan karena lingkungan sekitar adalah ruang hidup
rakyat dan mereka terikat erat di dalamnya (tidak seperti
korporasi yang bisa menerapkan keruk lalu pergi), maka
tentunya rakyat berkepentingan menjaga lingkungan
sambil menjalankan aktivitas untuk kelangsungan
hidupnya…Semoga menjadi bahan pelajaran.
RESENSI BUKU
Bahasan: Korporatokrasi
CATATAN HITAM
PRAKTIK
KORPORATOKRASI
DI INDONESIA
Oleh: Sudiarto
Judul
:Catatan
Indonesia
Mafia -
Hitam
Sebuah
Lima
Investigasi
Presiden
1997-2007,
Ekonomi, dan Jalan Baru Membangun
Indonesia
Penulis
: Ishak Rafick
Penerbit : Ufuk Publishing House (Jakarta)
Cetakan : I (Januari 2008)
Tebal
: 422 halaman + xx (hard cover)
Menulis buku, terutama topik yang cukup
serius, jarang sekali dilakukan oleh jurnalis di Indonesia.
Ishak Rafick, dengan pengalaman jurnalistiknya belasan
tahun selama bekerja di majalah bisnis terkemuka
SWAsembada dan GlobeAsia, telah menulis berbagai
artikel
tentang
ekonomi-politik,
korporasi
dan
manajemen. Buku yang semula hendak diberi judul
“Jalan Baru Membangun Indonesia” ini memaparkan
investigasi selama 10 tahun, dari 1997 hingga 2007,
memotret perjalanan Indonesia selama berlangsungnya
reformasi, tarik-menarik dalam strategi ekonomi sejak
pemerintahan Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY-JK,
dan membiarkan para aktor politik dan bisnis berbicara
sendiri menanggapi situasi.
Transisi
dari
sistem
dalam operasionalnya menjadi semacam “GBHN super
dari bawah meja IMF”, dan mengikat presiden-presiden
penggantinya. Biasanya orang tidak mau datang ke
dokter yang sama dua kali, bila pada kali pertama si
dokter telah membeli obat yang salah. Tapi Suharto,
menjelang kejatuhannya, dengan panik kembali ke
pelukan mentornya, menerima mentah-mentah resepresep IMF justru setelah terbukti sebelumnya gagal.
Indonesia pun batal tinggal landas. Jika pada tahun 1967
GNP per kapita Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan
dan Cina nyaris sama yaitu kurang dari US$ 100 per
otoriter
ke
sistem
demokrasi ternyata tidak membawa manfaat yang besar
pada kemajuan negara maupun kesejahteraan rakyat.
kapita, pada tahun 2004 menjadi: Taiwan US$ 14.590,
Malaysia US$ 4.520, Thailand US$ 2.490, Cina US$
1.500 dan Indonesia US$ 1.100!
Dalam kondisi vakum ideologi, dominasi pragmatisme,
politik uang, dan kelemahan visi para pemimpin
bangsa, Indonesia akhirnya berada di bawah pengaruh
pandangan ekonomi ortodoks dan neoliberal yang
mengecilkan peran Negara dalam menyejahterakan
rakyat. Peran lembaga-lembaga internasional seperti
IMF dan Bank Dunia begitu dominan dalam menentukan
arah dan kebijakan ekonomi Indonesia. Letter of Intent
(LoI) yang ditandatangani Suharto pada 20 Januari 1998
Peran Mafia Ekonomi Membangkrutkan
Indonesia
John
Pilger,
wartawan
terkemuka
berwarganegara Australia yang bermukim di Inggris,
membuat film dokumenter tentang Indonesia, The
New Rulers of the World. Ia menggambarkan, pada
November 1967, setelah Jenderal Suharto berkuasa,
diadakan konferensi istimewa di Jenewa dalam waktu
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
47
Bahasan: Korporatokrasi
48
tiga hari merancang “pengambilalihan Indonesia”. Para
rekapitalisasi perbankan, biasa dikenal dengan obligasi
pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa
rekap, yang bersama bunganya menjadi Rp 600 triliun
di dunia, orang-orang seperti Rockefeller. Semua
lebih.
raksasa korporasi terwakili, seperti General Motors,
Menurut Kwik Kian Gie, mantan Menko
British American Tobacco, American Express, Siemens,
Perekonomian zaman Gus Dur dan ketua Bappenas
Goodyear, dan US Steel. Di seberang meja adalah
zaman Megawati, mulanya obligasi rekap hanya sebatas
tim Suharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-
instrumen saja, akan ditarik lagi kalau banknya sudah
ekonom Indonesia yang top”. Dalam konferensi, tim
sehat. Tapi ketika sudah sehat dan bebas dari kredit
yang diketuai Sultan Hamengkubuwono IX terkenal
macet, IMF mendesak agar bank-bank rekap itu mesti
dengan sebutan Mafia Berkeley, karena beberapa di
dijual bersama obligasinya. Lalu demi memelihara
antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah
kepercayaan internasional, bank-bank itu jatuh ke
Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California
tangan asing atau konsorsiumnya. Maka, pemerintah
di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang
pun jatuh ke dalam jebakan utang yang kedua setelah
menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan
utang luar negeri, karena tanpa disadari pemerintah
yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari
telah mengubah utang swasta menjadi utang publik.
negara dan bangsanya, Sultan menawarkan: “…… buruh
Beban utang ini menggelayuti pemerintahan
murah yang melimpah…. cadangan besar dari sumber
pasca-reformasi. Tahun 2004, Kabinet Gotong-Royong
daya alam ….. pasar yang besar...”
Mega-Hamzah membayar pokok dan bunga utang
Selama 40 tahun kemudian, Mafia Berkeley
dalam dan luar negeri sebesar Rp 139,4 triliun. Kabinet
terbukti gagal membawa Indonesia menjadi negara yang
Indonesia Bersatu SBY-JK membayar Rp 126,315 triliun
besar dan sejahtera. Strategi dan kebijakan ekonomi
pada 2005, dengan rincian cicilan utang pokok Rp
yang dirancang oleh Mafia Berkeley selalu menempatkan
61,614 triliun dan bunga Rp 64,691 triliun. Lebih rendah
Indonesia di bawah subordinasi kepentingan global,
Rp 17,2 triliun dari yang dianggarkan karena mendapat
padahal tidak ada negara yang berhasil meningkatkan
moratorium akibat bencana tsunami di Aceh dan Nias.
kesejahteraannya dengan mengikuti model Konsensus
Dalam APBN 2006, untuk pembayaran utang dalam dan
Washington. Kemerosotan selama tiga dasawarsa di
luar negeri pemerintah telah mengalokasikan Rp 140,22
Amerika Latin (1970-2000) adalah contoh monumental,
triliun, atau empat kali lebih besar daripada anggaran
dan justru negara-negara yang melakukan penyimpangan
pendidikan yang dijatah hanya Rp 34 triliun. Masih jauh
dari model Konsensus Washington seperti Jepang,
lebih besar daripada selisih antara harga BBM domestik
Taiwan, Korea Selatan, Malaysia dan Cina yang berhasil
dan internasional yang dipelintir menjadi “subsidi” (Rp
meningkatkan kesejahteraan dan memperbesar kekuatan
95 triliun). Itupun masih didesak IMF untuk dipangkas
ekonominya.
hingga nol dalam tenggat waktu yang telah ditentukan,
Menjelang
kejatuhan
rejim
Orde
Baru,
tepatnya pada Maret 1998, utang luar negeri Indonesia
padahal BBM menyangkut hajat hidup orang banyak.
Profesor
William
R.
Liddle
menyebut
mencapai US$ 137,424 milyar, dan lebih dari separuhnya
kehadiran Boediono sebagai Menko Perekonomian
(US$ 73,962 milyar) adalah utang swasta besar alias
dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua sebagai
konglomerat. Sebagian besar utang ini berasal dari
reinkarnasi Mafia Berkeley yang pada masa Orde Baru
bank komersial yang mengenakan persyaratan berat:
dipimpin oleh Widjojo Nitisastro. Bedanya, jika waktu
berjangka pendek dan berbunga tinggi. Sedangkan utang
itu Widjojo cs tinggal datang untuk mempresentasikan
domestik pemerintah tercipta melalui penggelontoran
konsepnya kepada Suharto, audiens Boediono adalah
bantuan likuiditas (BLBI) hingga mencapai Rp 144
pasar, tepatnya pasar modal dan pasar uang. Hanya saja,
triliun ke sejumlah bank yang mengalami rush akibat
sangat mubazir kalau doktor ekonomi sekaliber Boediono
badai krisis moneter. Atas desakan IMF, pemerintah
dan Menteri Keuangan Sri Mulyani ditugasi untuk
lalu mengeluarkan obligasi sebesar Rp 430 triliun untuk
menjual surat utang negara (SUN), yang yield-nya 329
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Bahasan: Korporatokrasi
basis poin di atas treasury bill AS atau bunganya 3,29%
Jalan Baru Seperti Apa?
lebih tinggi dari obligasi internasional di AS. “Mahasiswi
Subordinasi
kepentingan
rakyat
dan
semester 2 jurusan Tataboga saja bisa melakukan,
nasional kepada kepentingan korporatokrasi global
malah lebih mudah lewat MLM,” sindir Rafick sinis
mengakibatkan Indonesia tidak memiliki kemandirian
(hlm. 21). Semestinya orang-orang sekaliber Boediono
dalam perumusan perundang-undangan, strategi dan
dan Sri Mulyani ditugasi kerja-kerja besar semacam
kebijakan ekonomi, dan hanya terpaku pada model
penghapusan dan pemotongan utang, atau menarik
generik Konsensus Washington. Selama tidak ada
obligasi rekap dan menyatakannya tidak berlaku.
perubahan dalam arah dan kepemimpinan ekonomi,
Berbeda dengan Pakistan yang berani meminta
kepada AS untuk memotong utang sampai 50% bahkan
Indonesia tidak akan pernah mampu mengangkat
kesejahteraan mayoritas rakyat.
bunganya diturunkan sampai 0% demi mendukung
Meskipun tidak ditujukan sebagai cerita
invasi ke Afghanistan, atau Nigeria dengan dalih “ongkos
pengantar tidur untuk menyenangkan semua orang,
demokrasi” meminta pemotongan utang sampai 70%,
namun narasi yang dibangun Ishak Rafick membuat
Boediono waktu menjabat Menkeu Kabinet Gotong-
buku ini begitu nikmat untuk dibaca, ringan, mengalir
Royong bersama Menko Perekonomian Dorodjatun
dari awal sampai akhir. Hampir tak ada yang luput dari
Koentjorojakti sama sekali tidak berupaya ke arah sana.
penelusuran jurnalistik Rafick, seperti diniatkannya
Mendengar ide penghapusan utang saja sudah waswas.
sebagai kajian yang komprehensif memotret Indonesia
Boediono-Sri Mulyani juga bungkam soal Blok Cepu
selama 10 tahun terakhir. Sayangnya, Rafick tak
dan rencana buyback Indosat, tapi keras menolak segala
hendak membuat pendahuluan dan penutup, sebagai
program yang meringankan beban rakyat dan lihai
kesimpulan, menganggapnya teknik penulisan yang
mengutak-atik angka sehingga berkurangnya anggaran
“kuno” yang cocok untuk tulisan ilmiah di kampus. Tak
publik (subsidi BBM, listrik, kesehatan dan pendidikan)
dijelaskan jalan baru seperti apa yang dibutuhkan untuk
tampak manis. Pada minggu ketiga 2006, Menkeu Sri
membangun Indonesia ke depan. Pembaca dibiarkan
Mulyani terang-terangan menyatakan, “Kalau ingin
menarik kesimpulan sendiri dari paparan dalam bab
pertumbuhan 6% per tahun dengan PDB Rp 3000 triliun,
demi bab.
perlu dana investasi Rp 150 triliun kali empat, karena
Tapi,
untuk
memberikan
gambaran
apa
output rasio investasi kita masih empat, artinya kredit
adanya tentang Indonesia, dan memberikan pencerahan
dan investasi yang dibutuhkan sekitar Rp 600 triliun.”
kepada anak bangsa, buku ini telah meraih tujuannya.
Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Boediono-Sri
Buku ini layak dibaca untuk memahami bagaimana
Mulyani tak punya alternatif lain kecuali mengikuti jalan
struktur korporatokrasi bekerja merusak perekonomian
yang telah digariskan IMF dan pendahulunya.
Indonesia, khususnya pada periode 1997-2007.
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
49
RESENSI BUKU
Bahasan: Korporatokrasi
SELAMATKAN INDONESIA
DARI CENGKERAMAN
KORPORATOKRASI
Oleh: Sudiarto
Judul
: Agenda Mendesak Bangsa -
Selamatkan Indonesia!
Penulis
: Mohammad Amien Rais
Penerbit
: PPSK Pers (Yogyakarta)
Cetakan
: II (April 2008)
Tebal
: 298 halaman + xv
tentang Penanaman Modal yang memperbolehkan
kepemilikan asing hingga 95% di sektor kelistrikan,
migas, jalan tol, air minum dan pertanian, sedang di
bidang pendidikan diperbolehkan mencapai 49%.
“Sejarah berulang kembali,” tulis Amien Rais
pada bab pertama bukunya. Pada masa VOC, berbeda
dengan Sultan Agung yang berjuang mengirim pasukan
ke Batavia untuk mengusir VOC, penerusnya yaitu
50
“Mengapa Indonesia tetap miskin, terbelakang
dan tercecer dalam derap kemajuan bangsa-bangsa lain?”
Amein Rais, sang lokomotif reformasi, menuangkan
permenungannya
dalam
buku
ini.
Mengambil
perumpamaan nasionalisme sepakbola, jika bangsa ini
diibaratkan rumah di pinggir jalan, olahraga adalah
pagar depan yang tampak oleh setiap orang yang lewat.
Bangsa atau pemerintah kita memiliki obsesi yang aneh,
yang penting pagar rumah terlihat bersih dan mengkilap,
yang lain masa bodoh. Sehingga ketika perabotan rumah
dicuri orang di depan mata pemilik rumah, bahkan ketika
isteri dan anak-anaknya digondol keluar rumah, ia hanya
bisa menonton, sama sekali tidak merisaukan.
Nasionalisme dangkal ini yang membuat
kita hanya membisu, seperti kehilangan harga diri dan
martabat, menyaksikan penjarahan kekayaan alam oleh
korporasi asing, bahkan hingga isi perundang-undangan
pun didiktekan oleh kartel neokolonial. Revrisond Baswir
mencatat peranan Bank Dunia dalam penyusunan UU
Migas, Price Waterhouse Cooper dalam UU BUMN, dan
Asian Development Bank (ADB) dalam UU Kelistrikan.
Paling buruk adalah terbitnya UU No. 25 tahun 2007
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Sultan Amangkurat I justru memilih melepaskan tanahtanah di Jawa Barat sebagai imbalan atas dukungan
VOC mengalahkan pemberontakan Trunojoyo. Konsesi
tanah VOC terus meluas, hingga pada 1755 wilayah
kerajaan Mataram hanya menyisakan Yogyakarta dan
Surakarta. Mentalitas inlander inilah yang membuat
VOC dan Belanda menjajah negeri ini hingga tiga
setengah abad. Ironisnya, pemerintahan sekarang di
bawah kepemimpinan SBY-JK mengulangi langgam
yang sama, mensubordinasikan diri kepada kepentingan
korporatokrasi.
Elemen-elemen Korporatokrasi
Korporatokrasi,
menurut
John
Perkins
(2005: xii), adalah gabungan kekuasaan korporasi,
perbankan dan pemerintahan yang mendukung nilainilai dan sasaran-sasaran bersama untuk terus-menerus
mengabadikan, memperluas dan memperkuat diri.
Amien Rais menguraikan 7 unsur korporatokrasi.
Pertama, korporasi besar. Tujuan utama korporasi
besar adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya
dengan biaya serendah-rendahnya, dan dengan segala
cara, tidak peduli terhadap harga nyawa manusia dan
Bahasan: Korporatokrasi
pelestarian lingkungan. Tak heran, korporasi besar
programs).
dianggap mengidap pathology of profit. Terkuaknya
Keempat, militer. Dalam buku The Power
skandal korporasi Enron (2001) dan Worldcom (2002)
Elite (Oxford Press, 1956), C. Wright Mills menulis
di Amerika Serikat (AS) hanya yang terekspose saja,
bahwa struktur ekonomi, struktur militer, dan struktur
karena hampir semua perusahaan di AS pernah dan
politik adalah saling mengunci. Eisenhower, tiga hari
sedang melakukan berbagai skandal: suap, monopoli,
sebelum lengser dari jabatan presiden AS pada 1961,
pemalsuan
memperingatkan
akuntansi,
pencucian
uang,
perusakan
lingkungan, dan sebagainya.
Kedua,
pemerintahan.
complex.
akan
bahaya
mutakhir
military-industrial
bagaimana
kompleks
secara
militer-industrial ini bekerja adalah betapa cepatnya
teoretis pemerintah mendapatkan mandat kekuasaan
ribuan kontraktor AS menyerbu Irak begitu Baghdad,
dari rakyat, dalam kenyataannya ia lebih banyak tunduk
Basra dan kota-kota lainnya luluh lantak, dengan dalih
dan melayani kepentingan korporasi. Cara paling mudah
“rekonstruksi Irak”. Di antara korporasi predator yang
bagi korporasi menaklukkan pemerintah adalah dengan
ikut kenduri Irak adalah Halliburton, yang CEO-nya dulu
membiayai kampanye kandidat kepala pemerintahan.
adalah Dick Cheney, wakil presiden Bush. Belum mulai
David Korten, dalam bukunya When Corporations Rule
bekerja saja Halliburton sudah me-markup tagihan
the World (Kumarian Pres, 1995), menulis bahwa di AS
minyak untuk kebutuhan tentara AS sebesar 60 juta
demokrasi tidak saja dijual kepada korporasi-korporasi
dolar. Anak perusahaan Halliburton yang sebenarnya
Amerika, tetapi juga korporasi asing. Pemerintah
sudah bangkrut, KBR (Kellog, Brown, and Root),
Meksiko
dihidupkan kembali dan memenangkan kontrak ratusan
mengeluarkan
Meskipun
Contoh
sedikitnya
25
juta
dolar
sebagai pelicin untuk lobi politik di Washington demi
juta dolar.
mengamankan posisi Meksiko di NAFTA. Sedangkan
Kelima, media massa. Pemikir konservatif
uang semir Jepang ke tokoh-tokoh politik di Washington
Inggris, Edmund Burke (1729-1797), memasukkan
mencapai 100 juta dolar setahun, dan 300 juta dolar
media massa sebagai pilar keempat demokrasi, di
untuk tokoh-tokoh yang dapat mempengaruhi opini
samping tiga pilar Trias Politika Montesquieu, yakni
publik. Jepang mendirikan 92 biro hukum, humas dan
lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun teori
lobi, disusul Inggris (42), Kanada (25), dan Belanda (7),
muluk ini dibantah oleh Noam Chomsky, yang sejak 20
untuk melahirkan atau mengganti undang-undang yang
tahun lalu telah memperingatkan bahwa media massa
lebih menguntungkan korporasi.
pada dasarnya menyuarakan kepentingan korporasi
Ketiga, perbankan dan lembaga keuangan
besar, sehingga isi pokok media massa sejatinya adalah
internasional. Di antara banyak bank korporat, dua
“propaganda” untuk melindungi kepentingan korporasi.
lembaga keuangan bentukan konferensi Bretton Woods
Di AS, empat stasiun televisi raksasa yang berpengaruh
di akhir Perang Dunia II yaitu Bank Dunia dan IMF
dalam arah pemberitaan ternyata dimiliki oleh korporasi
adalah pilar atau pemain utama globalisasi, bahkan
besar non-media, yaitu NBC (General Electric), ABC
arsiteknya. Keduanya berperan sebagai instrumen untuk
(Walt Disney Company), NBC (Viacom Inc.), dan CNN
membela kapitalisme global, mengupayakan keuntungan
(AOL-Time Warner). Sedangkan pimpinan tiga koran
maksimal bagi korporasi besar, dan melestarikan
besar AS juga duduk dalam pimpinan berbagai korporasi
dominasi ekonomi AS. Pembagian kerjanya, Bank
besar; mereka adalah New York Times duduk di Carlyle
Dunia memberikan pinjaman jangka panjang ke negara-
Group, Ford, dan Johnson and Johnson, Wahington
negara berkembang untuk mendanai proyek-proyek
Post di Lockheed Martin, Coca Cola, dan Gillette, dan
pembangunan infrastruktur, sedang IMF memberikan
The Tribune (Chicago dan LA Times) duduk di 3M,
arahan-arahan atau tepatnya “tekanan-tekanan” apa yang
Caterpillar, ConocoPhilips, Kraft, McDonalds dan Pepsi.
harus dikerjakan oleh negara-negara yang mendapatkan
Selain melalui kepemilikan usaha, penyeragaman suara
bantuan utang. Kegiatannya sering tumpang tindih, tapi
media massa juga terjadi melalui pemasangan iklan,
tetap satu formula, yaitu SAP (structural adjustment
produksi berita besar-besaran oleh instansi-instansi
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
51
Bahasan: Korporatokrasi
penguasa, dan flak atau berondongan kritik dan ancaman
diri. Sebaliknya dengan negara-negara Afrika yang terus
yang diarahkan kepada media massa oleh pusat-pusat
menjadi pelayan kapitalisme global. Menurut laporan
kekuasaan politik dan ekonomi. Fenomena embedded
George Ayyittey, intelektual berkebangsaan Ghana, di
journalist dalam Perang Irak menunjukkan bahwa
depan Komisi Luar Negeri Senat AS, Afrika telah menjadi
media massa telah berhenti perannya sebagai watch dog
vampire states, negara-negara penghisap kesejahteraan
(musuh pemerintah dan korporasi), ataupun guard dog
rakyat, di mana Negara terdiri dari gerombolan gangster
(mendukung sekaligus mengkritik), dan akhirnya hanya
dan pencoleng yang memperkaya diri dan kroni-kroninya
menjadi lap dog, anjing jinak untuk dipangku dan dielus-
dengan mengucilkan kelompok lain, bahkan adakalanya
elus, tidak lagi berbahaya.
presidennya sendiri adalah kepala bandit.
Keenam, intelektual pengabdi kekuasaan.
Dalam 20-30 tahun belakangan, universitas dijadikan
sasaran
52
oleh
kekuatan
Untuk menaklukkan Indonesia, kekuatan
sebanyak mungkin lulusan dalam berbagai disiplin ilmu
korporatokrasi internasional tak perlu mengirim pasukan
yang menghamba dan melayani kepentingan korporasi.
seperti di Irak dan Afghanistan, ataupun mengirim para
Campur tangan korporasi makin jauh merasuk ke tubuh
jackals (meminjam istilah John Perkins), karena negeri
universitas
finansial.
ini telah dijajah, atau dalam istilah Amien Rais “state
Berbagai riset dilakukan untuk tujuan korporat sebagai
capture corruption” (korupsi yang menyandera Negara).
imbalan balik dari pihak donor. Jika komersialisasi
Korupsi ini lebih jahat daripada korupsi biasa, karena
menjadi misi keempat universitas, setelah riset, transfer
dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa dengan
pengetahuan, dan pengabdian masyarakat, maka kaum
tunduk dan setia pada kepentingan korporasi asing.
intelektual hanya akan menjadi budak kekuasaan
Semua pemerintahan, dari zaman Orde Baru hingga
ekonomi dan politik.
reformasi, mengikuti agenda Konsensus Washington,
mengalami
untuk
Tawaran Agenda Penyelamatan Bangsa
mencetak
setelah
korporat
himpitan
Ketujuh, elite nasional bermental inlander.
dengan meliberalisasi sektor keuangan di mana asing
Selama kolonisasi mental tetap bercokol di benak para
bisa memiliki 99% saham bank di Indonesia (era
pemimpin bangsa, sulit diharapkan bangsa tersebut
Habibie), privatisasi BUMN dan pengampunan terhadap
dapat memelihara kedaulatan dan kemandiriannya.
para obligor bermasalah (era Megawati), dan liberalisasi
Musuh dari dalam ini, yaitu mentalitas terjajah, dengan
investasi (era SBY-JK).
kompleks inferioritasnya dan penyakit selalu kalah,
membuahkan
kebingungan,
kelembaman
Amien Rais menawarkan sejumlah saran
(inertia),
demi penyelamatan bangsa, yaitu mempersiapkan
dan kehilangan rasa percaya diri. Amien Rais khawatir,
kepemimpinan alternatif yang diisi oleh tokoh-tokoh
berlarut-larutnya Indonesia jatuh di bawah bayang-
muda dan mempunyai semangat kemandirian nasional.
bayang korporatokrasi global karena sebagian pemimpin
Berbagai
kita masih bermental terjajah, merasa diri tidak dapat
(Kontrak Production Sharing) di sektor migas harus
mencapai kemajuan selain mengikuti jalan Barat. Tidak
dinegosiasi ulang dengan memprioritaskan kepentingan
seperti para pemimpin di negara-negara lain seperti
bangsa.
Mahathir Mohammad (Malaysia), Chavez (Venezuela),
lingkungan, kegiatan korporasi asing bisa dihentikan
Evo Morales (Bolivia), Raffale Correa (Ekuador) dan
secara sepihak. Indonesia juga harus membentuk sendiri
Nestor Kirchner (Argentina) yang berani berkata
badan arbitrase untuk menyelesaikan konflik dengan
tidak kepada resep-resep ala Konsensus Washington.
korporasi asing. Semua HPH harus ditinjau ulang,
Begitu pula negara-negara seperti Iran dan dua raksasa
dan para pemegang HPH yang menghancurkan hutan
Asia, India dan Cina. Negara-negara yang mengalami
harus diberi sanksi tegas. Kepemimpinan baru ini juga
kemajuan pesat pada 20-30 tahun belakangan adalah
diharapkan menghilangkan penyakit kecanduan utang
negara-negara yang mempunyai pemimpin bermental
(debt-addict) dan melakukan renegosiasi pembayaran
bebas, merdeka, berdaulat dan mandiri serta percaya
utang luar negeri.
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Kontrak
Bahkan
Karya
demi
pertambangan
kepentingan
dan
KPS
pelestarian
Bahasan: Korporatokrasi
Dengan menuliskan gagasannya dalam bentuk
yang membawa bendera Indonesia, sehingga IMF tak
buku, Amien Rais tak sekadar melontarkan kritik-kritik
pernah mencairkan pinjaman selama Gus Dur berkuasa.
pedas yang seringkali hanya berhenti pada moderasi
Amien Rais juga tidak mengupas gerakan-gerakan anti-
belaka, seperti dilakukannya selama ini. Ia menerima
globalisasi yang fenomenal sejak Seattle (1999) maupun
Habibie sebagai penerus Suharto. Ia menolak desakan-
ajang World Social Forum (WSF), dan hanya menampilkan
desakan untuk menjatuhkan Megawati, dan sekarang
para elite, sejalan dengan manuver-manuver elitisnya
SBY-JK, di tengah jalan. “Tentukan melalui pemilu
selama berkiprah di dunia politik. Tetapi secara umum,
saja,” kata Amien Rais di sela-sela peluncuran bukunya
gambaran lengkap dalam buku ini tentang sepak terjang
di Gelora Bung Karno. Sebaliknya, terhadap Gus Dur,
tiga pilar globalisasi (IMF, Bank Dunia dan WTO),
dijatuhkannya melalui Sidang Istimewa ketika Amien
hegemoni Pax Americana, dan korporatokrasi, dapat
Rais menjabat Ketua MPR. Dalam buku ini, sub-bab
mengisi kekosongan pemikiran mainstream tentang
tentang zaman Gus Dur seperti sengaja dilewatkan.
ancaman
Padahal menarik untuk membahas bagaimana Gus
diharapkan bisa memberi energi baru kepada kalangan
Dur menghadapi tekanan korporatokrasi, misalnya
aktivis dan intelektual.(*)
globalisasi
dan
korporatokrasi,
sehingga
penolakan Gus Dur melikuidasi perusahaan Texmaco
Sahabat WALHI, Sahabat Lingkungan
Kebersamaan
menjadi
saja
adalah
kekuatan,Dalam
organisasi
yang
publik,
peduli
mau
membantu
hidup
di
terhadap
upaya
Indonesia
secara
kami
upaya
WALHI
mengajak
lingkungan
hidup
penyelamatan
sukarela
siapa
dan
menjadi
Sahabat
untuk Menyelamatkan
Lingkungan Hidup Indonesia
lingkungan
dan
mandiri
untuk bergabung dalam Sahabat WALHI dengan menjadi
relawan,Dengan
Gerakan Bersama
WALHI
anda
akan
Mendapatkan Info
Lingkungan Hidup melalui
Jurnal Tanah Air
bergabung bersama sahabat-sahabat lain yang telah terlibat
aktif mendukung gerakan lingkungan hidup di Indonesia.
Partisipasi langsung dalam
kegiatan-kegiatan yang
diadakan oleh WALHI
Ada tiga Cara bergabung menjadi
Sahabat WALHI yaitu dengan mengisi formulir
anggota Sahabat WALHI dan :
1. Bayar biaya keanggotaan Rp.120.000.-/tahun(atau cuma Rp.10.000,-/bulan)
2. Sumbangan secara rutin kepada WALHI, dengan jumlah sumbangan minimal Rp.120.000,-/tahun
3. Jadi Relawan Aktif selama 3 bulan
Cara Pembayaran
Transfer ke
Yayasan WALHI
No.Rek.070 - 0003016420
Bank Mandiri cabang Mampang Prapatan
Jl.Mampang Prapatan Raya No.61 Jakarta Selatan
atau Antar Langsung ke:
Kantor Eksekutif Nasional WALHI
JL.Tegal Parang Utara No.14,
Mampang,Jakarta Selatan 12790
Telp
:(021) 7919 3363
Fax
:(021) 7919 1673
edisi Januari 2009 | Jurnal tanah air
53
Bahasan: Korporatokrasi
Penulis:
Arianto Sangaji
lahir di Mareku, Tidore, 9 April 1962. Menjabat sebagai Direktur Yayasan Tanah Merdeka, Palu. Memperoleh MA di
School of Social Science, University of Birmingham, Inggris. Buku karya-karya antara lain: The Security Forces and
Regional Violence in Poso, dalam Schulte Nordholt, Henk and Gerry van Klinken, eds, Renegotiating Boundaries:
local Politics in Post-Suharto Indonesia, KITLV, Leiden, 2007; The masyarakat adat movement in Indonesia: a critical
insider’s view, dalam Jamie S. Davidson and David Henley, eds, The Revival of Tradition in Indonesian Politics,
Routledge, London and New York, 2007; Politik Konservasi : Orang Katu di Behoa Kakau, KPSHK, Bogor, 2002;
Buruk Inco, Rakyat Digusur : Ekonomi Politik Pertambangan Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 2002; PLTA Lore
Lindu ; Orang Lindu Menolak Pindah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002. Dia dapat dihubungi melalui
[email protected]
Dani Setiawan
Lahir di Bogor pada tanggal 05 Agustus 1982. Menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Jurusan Pemikiran Politik Islam. Mantan Sekretaris Jenderal Lingkar Studi-Aksi untuk
Demokrasi Indonesia (LS-ADI) dan saat ini menjabat sebagai Ketua Koalisi Anti Utang (KAU). Aktif menulis
di berbagai media massa serta jurnal nasional. Editor buku “Menjala Ikan Terakhir” dan “Lapindo: Tragedi
Kemanusiaan dan Ekologi” (Walhi, 2007). Menulis buku “Monitoring Proyek Utang Luar Negeri” (KAU, segera
terbit). Dapat dihubungi melalui email: [email protected].
54
Danial Indrakusuma
Pernah belajar di Universitas Kristen Indonesia (Ekonomi), Universitas Indonesia (Sejarah), University of Tulsa,
Tulsa, Oklahoma, AS; Documentary Script Development, Jakarta Internasional Film Festival. Kini aktif sebagai
dalam organisasi Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM). Dia dapat dihubungi melalui [email protected]
Khalisah Khalid
Saat ini adalah Anggota Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) 2008-2012; Biro Politik
dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia (SHI). Dia dapat dihubungi melalui: [email protected]
Longgena Ginting
Sebelumnya adalah Direktuf Eksekutif Nasional WALHI. Kini sebagai Kordinator Kampanye IFIs (International
Financial Institutions) Friend of The Earth International. Dia dapat dihubungi melalui: [email protected]
Pius Ginting
Saat ini adalah Officer Publikasi WALHI Eksekutif Nasional. Sebelumnya adalah pekerja sosial di Lembaga
Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS) dan redaksi Tabloid Pembebasan. Dia dapat dihubungi melalui: pius.
[email protected].
Salamuddin Daeng,
Sebelumnya adalah peneliti di WALHI NTB dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Sekarang peneliti di
Institute Global Justice. Merupakan saksi ahli dari Koalisi Masyarakat Sipil Menolak UU PMA, yang mengajukan
gugatan judicial review terhadap UU Penanaman Modal di Mahkamah Konstitusi.
Dia dapat dihubungi melalui [email protected]
Khalisah Khalid
Saat ini adalah Anggota Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) 2008-2012; Biro Politik
dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia (SHI). Aktif menulis di media massa seperti Koran Tempo, Kompas, Buletin
Elektronik Praxis, dan Media Indonesia
Sudiarto
Lahir di pesisir utara Kabupaten Tegal pada 29 Juni 1978, pernah belajar di Institut Teknologi Bandung (ITB), dan
semasa kuliah aktif dalam pengorganisasian kekuatan rakyat khususnya petani Badega (Garut), dan mendukung
aksi-aksi buruh di Bandung Raya. Sebelumnya bekerja di PT Penta Software Indonesia (Pentasoft), kini menjadi staf
informasi dan dokumentasi di Institute for Global Justice (IGJ). Dia dapat dihubungi melalui stopimperialistwar@
yahoo.com
Jurnal tanah air | edisi Januari 2009
Download