1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adanya perkembangan teknologi dan otonomi daerah menuntut pemerintah daerah melakukan tugasnya dengan baik dan transparan. Otonomi daerah merupakan pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih baik, leluasa untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas dan potensi daerah itu sendiri. Adanya otonomi daerah tersebut pemerintah diberi keleluasaan untuk mengelola sumber daya dan mempertanggungjawabkan kepada masyarakat sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah diperlukan adanya sistem desentralisasi secara transparan, efektif dan efisien dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas. Pertanggung jawaban pemerintah kepada publik yang bersih merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemerintah, dimana untuk mewujudkannya memerlukan media tertentu. Salah satu alat untuk memfasilitasi tercapainya laporan keuangan pemerintah daerah yang kompetitif yaitu laporan keuangan pemerintah daerah tersebut digunakan untuk membandingkan kinerja keuangan akurat dengan anggaran menilai kondisi dan hasil operasional, membantu menentukan tingkat kepatuhan terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan masalah keuangan dan ketentuan lainnya serta membantu mengevaluasi 2 tingkat efisien dan efektivitas. Pengukuran kinerja untuk kepentingan publik dapat dijadikan evaluasi dan memulihkan kinerja dengan pembanding skema kerja dan pelaksanaannya. Selain itu dapat juga digunakan sebagai tolak ukur untuk peningkatan kinerja pemerintah daerah pada periode berikutnya. Pengukuran kinerja disini menggunakan analisis rasio keuangan daerah terhadap laporan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang terdiri dari rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas dan efisiensi pendapatan asli daerah, rasio aktivitas, debt service coverage ratio dan rasio pertumbuhan (Halim, 2004:150-158). Adanya otonomi daerah tersebut mengakibatkan terjadinya desentralisasi sistem pemerintahan pada Kabupaten Blitar, karena itu pemerintahan Kabupaten Blitar sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggung jawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah Kabupaten Blitar berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Adanya penyelewengan-penyelewengan dana anggaran pendapatan belanja daerah yang dilakukan pemerintahan pada masa kekuasaan sebelumnya membuat masyarakat geram dan krisis kepercayaan terhadap kinerja pemerintahan Kabupaten Blitar, untuk itu masyarakat atau penduduk sebagai salah satu sumber daya pembangunan yang memegang dua peranan penting dalam pembangunan yaitu sebagai subjek atau perilaku sekaligus sebagai objek pembangunan menginginkan 3 adanya transparansi anggaran keuangan yang ada pada pemerintahan Kabupaten Blitar sehingga masyarakat atau penduduk juga dapat memantau kinerja pemerin tah Kabupaten Blitar apakah dapat berjalan dengan baik atau tidak. Berdasar uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Pengukuran Kinerja Keuangan Daerah (Studi pada Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang dihadapi adalah ’’Bagaimana kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten Blitar ditinjau dari rasio keuangan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah’’? C. Batasan Masalah Agar dalam pembahasan pokok permasalahan lebih terfokus, maka penulis memberi batasan pada perumusan masalah yang telah dibuat yaitu: Kinerja keuangan pemerintah daerah untuk tahun anggaran 2003, 2004, dan 2005 dengan mempergunakan rasio keuangan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tahun 2003, 2004,2005 dan metode tolok ukur yang digunakan adalah lintas waktu (time series) dan lintas industri (cross section). 4 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja keuangan pada pemerintah daerah kabupaten Blitar ditinjau dari rasio Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). b. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pemerintah Dapat digunakan sebagai bahan koreksi untuk meningkatkan kinerja keuangannya pada tahun berikutnya. 2. Bagi Masyarakat Dapat digunakan untuk mengetahui tingkat efektivitas dan efisiensi kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten Blitar. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Dapat dijadikan tambahan pengetahuan dan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya yang meneliti pada bidang yang sama. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Penelitian Terdahulu Sebagai pembanding penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Aisah Herawati Iskak, Universitas Muhammadiyah Malang (2005) dengan judul “Analisis kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten Banjarnegara periode 2000 sampai 2003. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten Banjarnegara pada periode 2000 sampai 2003. Alat analisis yang digunakan untuk mengetahui kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten Banjarnegara, yaitu menggunakan analisa rasio keuangan daerah yang terdiri dari rasio pertumbuhan, kemandirian, rasio efektivitas dan efisiensi dan rasio debt service coverage ratio pertahunnya. Hasil perhitungan analisis rasio keuangan yang digunakan untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten Banjarnegara periode 2000 sampai 2003 yang diukur dengan rasio keuangan berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah adalah baik, sehingga yang menyatakan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten Banjarnegara periode 2000 sampai 2003 adalah baik. Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah sama-sama menggunakan analisis rasio keuangan pada Anggaran Pendapatan Belanja 6 Daerah untuk menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu pada tempat dan periode pengamatan. Penelitian terdahulu melakukan penelitian di Kabupaten Banjarnegara, periode pengamatan selama tahun 2000 sampai 2003, peneliti sekarang melakukan penelitian di Kabupaten Blitar, periode pengamatan selama tahun 2003 sampai 2005. B. Landasan Teori 1. Pengukuran Kinerja Pengukuran ialah suatu proses atau sistem yang digunakan untuk menentukan nilai kuantitatif sesuatu benda/objek, perkara, atau keadaan. Nilai kuantitatif ini biasanya dinyatakan dalam suatu unit angka yang tetap dengan menggunakan alat pengukuran yang berkaitan. Kinerja merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau program dalam mewujudkan sasaran dan tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategi suatu organisasi (Bastian,2001:329), sedangkan pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa ataupun proses (Larry D. Stout dalam Bastian, 2001:329). Maksudnya bahwa setiap kegiatan organisasi merupakan suatu proses yang 7 tercatat dalam misi dan sejalan dengan tujuan organisasi, dimana kegiatan tersebut dikatakan sukses apabila hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Pengukuran kinerja merupakan suatu alat untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas (James B. Whittaker dalam Bastian, 2001:121). 2. Tujuan Pengukuran Kinerja Tujuan pokok pengukuran kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam mencapai tujuan organisasi dan dalam memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar dapat mencapai hasil yang diinginkan (Nogi, 2003:108). Secara umum, tujuan pengukuran kinerja adalah : a. Untuk mengkomunikasikan strategi secara lebih baik b. Untuk mengukur kinerja finansial dan non finansial secara tertimbang sehingga dapat ditelusuri perkembangan pencapaian strateginya. c. Sebagai alat untuk mencapai kepuasan berdasarkan individual dan kemampuan kolektif yang rasional (Ulum, 2004:277). Pada dasarnya pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga tujuan yaitu: 1) Untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah 2) Untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan 8 3) Untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan (Mardiasmo, 2004:121). 3 Manfaat Pengukuran Kinerja Pengukuran kinerja mempunyai manfaat yang banyak bagi organisasi, secara umum manfaat pengukuran kinerja adalah sebagai berikut: a. Memberikan pemahaman mengenai ukuran yang digunakan menilai kinerja manajemen. b. Menunjukkan arah pencapaian target kinerja yang telah ditetapkan c. Memonitor dan mengevaluasi kinerja dengan membandingkan skema kerja dan pelaksanaannya. d. Membantu mengungkap dan memecahklan masalah yang ada e. Membantu memahami proses kegiatan instansi pemerintah f. Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara objektif (Ulum, 2004 : 277). 4. Informasi yang digunakan dalam pengukuran kinerja a. Informasi Finansial Penilaian laporan kinerja finansial dilihat/diukur berdasarkan anggaran yang telah dibuat, dimana pengukuranya dilakukan dengan menganalisis varian antara kinerja aktual dengan yang dianggarkan. Analisis varian secara garis besar berfokus pada: 9 1. Varian Pendapatan Varian pendapatan adalah semua penerimaan daerah dalam bentuk peningkatan aktiva atau penurunan utang dari berbagai sumber dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Berdasarkan UU no.23 tahun 2004 sumber pendapatan daerah ada 3 yaitu: 1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang bersumber dari : a) Pajak daerah Pajak daerah adalah semua pendapatan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah atau pajak. Jenis pajak kabupaten / kota terdiri dari pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak parkir (Halim, 2004:64). b) Restribusi daerah Restribusi daerah adalah pendapatan yang berasal dari restribusi dari daerah, yang meliputi restribusi pelayanan kesehatan, restribusi air, restribusi pertokoan, restribusi kelebihan muatan dan sebagainya (Halim, 2004:64). c) Bagian laba usaha daerah Bagian laba usaha daerah adalah pendapatan daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. 10 d) Lain-lain pendapatan asli daerah Lain-lain pendapatan asli daerah adalah pendapatan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerintah daerah. Pendapatan ini berasal dari hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan dan penerimaan jasa giro, selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi, potongan atau bentuk lain sebagai akibat dari penjualan oleh daerah. 2) Dana Perimbangan Dana perimbangan adalah dana yang berasal dari penerimaan anggaran pendapatan belanja negara yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah. Jumlah dana perimbangan ditetapkan setiap tahun anggaran dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah. Dana perimbangan terdiri atas (Halim, 2004 : 65). a. Dana bagi hasil, dibagi menjadi dua yaitu dana bagi hasil yang bersumber dari pajak, contohnya pajak bumi dan bangunan, bea hak atas tanah dan bangunan dan dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam manusia yaitu pemberian hak atas tanah negara. b. Dana Alokasi Umum (DAU) Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari anggaran pendapatan negara yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan 11 kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana alokasi umum untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal, (kebutuhan fiskal kapasitas fiskal daerah) dari alokasi dasar. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 20% dari pendapatan dalam negri neto yang ditetapkan dalam APBN. Porsi DAU antara propinsi dan daerah kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara propinsi dan kabupaten /kota. c. Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana alokasi khusus adalah dana yang berasal dari anggaran pendapatan belanja negara yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan tertentu (Halim, 2004 : 65). Besarnya dana alokasi khusus ditetapkan setiap tahun dalam APBD berdasarkan masing-masing bidang kegiatan disesuaikan dengan ketersediaan dana dalam APBD. Dana alokasi khusus dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khususnya yang merupakan unsur daerah. 3). Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah (bantuan yang tidak menguat dan pendapatan dana darurat). 12 2. Varian pengeluaran Varian pengeluaran dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah terdiri dari : a) Varian belanja rutin Anggaran belanja rutin adalah anggaran yang disediakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang sifatnya lancar dan terus menerus yang dimaksudkan untuk menjaga kelemahan roda pemerintahan dan memelihara hasil-hasil pembangunan. Dengan telah diberikannya kewenangan untuk mengelolah daerah, maka belanja rutin diprioritaskan pada optimalisasi fungsi dan tugas rutin perangkat daerah. Peningkatan belanja rutin yang diusulkan oleh setiap pengganggaran harus diikuti dengan penigkatan mutu pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Perencanaan belanja rutin sedapat mungkin menerapkan pendekatan anggaran kinerja, hal tersebut bertujuan untuk memudahkan analisis dan evaluasi hubungan antara kebutuhan dan hasil serta manfaat yang diperoleh, anggaran belanja rutin meliputi belanja APBD, belanja kepala daerah dan wakil kepala daerah, belanja sekretaris daerah dan perangkat lainnya. b) Varian belanja pembangunan. Anggaran belanja pembangunan adalah anggaran yang disediakan untuk membiayai proses perubahan, yang merupakan perbaikan dan 13 pembangunan menuju kemajuan yang ingin dicapai. Pengeluaran yang dianggarkan dalam pengeluaran pembangunan didasarkan atas alokasi sektor industri, pertanian dan kehutanan, hukum, transportasi, dan lain sebagainya (Halim, 2004: 223-226). b. Informasi non finansial Informasi non finansial dapat menambah keyakinan terhadap kualitas kerja manajemen, informasi non finansial biasanya digunakan dalam pengukuran kinerja dengan menggunakan balanced scorecard (Mardiasmo, 2004:123). Informasi non finansial dapat berupa tingkat kepuasan pelanggan, lingkungan eksternal dan internal, pembelajaran dan pertumbuhan serta non finansial (dapat dinyatakan dalam bentuk variabel kunci atau sering disebut dengan key success faktor). Variabel kunci adalah variabel yang mengindikasikan faktor-faktor yang menjadi sebab kesuksesan organisasi (Ulum, 2004:279). 5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan pasal 64 ayat (2) UU no 5 tahun 1974 tentang pokokpokok pemerintah didaerah, APBD adalah rencana operasional keuangan pemerintah daerah, dimana disatu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah dalam 1 tahun anggaran tertentu dan sumber- 14 sunber penerimaan daerah guna menutupi pengeluaran-pengeluaran. Definisi tersebut merupakan pengertian APBD pada era orde baru (Mamesa dalam Halim, 1995:20). Pengertian APBD pada masa orde lama adalah perencanaan pekerjaan keuangan yang dibuat untuk suatu jangka waktu tertentu, dalam waktu mana badan legislatif (DPRD) memberikan kredit kepada badan eksekutif (Kepala daerah) untuk melakukan pembiayaan guna kebutuhan rumah tangga daerah sesuai dengan rancangan yang menjadi dasar penetapan anggaran dan yang menunjukkan semua penghasilan untuk menutup tadi (Wajong dalam Halim, 2004:15). Berdasarkan peraturan perundangan no.17 tahun 2000 tentang pinjaman daerah, APBD dapat diartikan sebagai rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD. APBD adalah suatu anggaran daerah (Halim, 2004: 16). Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa APBD merupakan program pemerintah daerah dalam bentuk angka.Unsur-unsur anggaran pendapatan dan belanja daerah yaitu : 1) Rencana kegiatan suatu daerah dan uraian secara rinci. 2) Terdapat sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya dan aktifitas serta biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan. 15 3) Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka. 4) Periode anggaran yaitu biasanya 1 tahun (Halim, 2004:16). b. Perkembangan susunan anggaran pendapatan dan belanja daerah Diera pra reformasi bentuk dan susunan APBD mula-mula berdasarkan UU no.6 tahun 1975 terdiri atas anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Anggaran rutin dibagi menjadi pendapatan rutin dan belanja sendiri, demikian pula dengan anggaran pembangunan dibagi menjadi pendapatan pembangunan dan belanja pembangunan. Susunan tersebut mengalami perubahan dengan dikeluarkannya beberapa peraturan pada tahun 1984-1988, dimana APBD tidak lagi dibagi atas anggaran rutin dan anggaran pembangunan, tapi dibagi atas pendapatan dan belanja dengan rincian: 1. Pendapatan dibagi menjadi: a. Pendapatan dari daerah b. Penerimaan pembangunan c. Unsur kas dan perhitungan (UKP) (Halim, 2004:16). 2. Belanja dibagi menjadi: a. Belanja rutin diklasifikasikan menjadi: 1) Belanja Pegawai 2) Belanja Barang 3) Belanja Pemeliharaan 16 4) Belanja Perjalanan dinas. 5) Belanja tidak tersangka. b. Belanja pembangunan diklasifikasikan menjadi 21 sektor, yaitu meliputi sektor industri, sektor kehutanan dan pertanian, sektor sumber daya dan migrasi, sektor tenaga kerja, sektor perdagangan, pengembangan usaha daerah, keuangan daerah dan koperasi, sektor transportasi, sektor pembangunan dan energi, sektor pariwisata dan komunikasi daerah, sektor pembangunan daerah dan pemukiman, sektor lingkungan hidup dan tata ruang, sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha kependudukan Esa, pemerintah daerah dan keluarga sejahtera, olah raga, sektor sektor kesehatan, kesejahteraan sosial, peranan wanita, sektor perumahan dan pemukiman, sektor agama, sektor ilmu pengetahuan dan teknologi, sektor hukum, sektor aparatur pemerintah dan pengawasan, sektor politik, penerangan komunikasi dan media massa, sektor keamanan dan ketertiban umum dan sektor pembayaran kembali pinjaman (Halim, 2004:16). Perubahan kedua di era pra reformasi terjadi pada tahun 1998 yaitu pada bagian pendapatan dari daerah perubahan yang terjadi pada klasifikasinya. Jika pada bentuk sebelumnya pendapatan daerah terbagi 17 menjadi empat yaitu sisa lebih perhitungan tahun lalu Pendapatan Asli Daerah, bagi hasil pajak / bukan pajak dan sumbangan / bantuan menjadi satu bagian. Bagian tersebut bernama pendapatan yang berasal dari penerimaan pemerintah atau instansi yang lebih tinggi (Halim, 2004:16). Bentuk APBD terbaru berdasarkan keputusan mentri dalam negri no.29 tahun 2002 adalah: 1) Pendapatan, yang dibagi menjadi 3 kategori: a. Pendapatan asli daerah, merupakan semua penerimaan yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. b. Dana perimbangan, merupakan dana yang bersumber dari penerimaan anggaran pendapatan belanja negara yang di alokasikan pada daerah untuk membiyai kebutuhan dananya. c. Lain-lain pendapatan yang sah, meliputi pendapatan daerah, belanja daerah, pinjaman, ekuitas dana dan cadangan, aset, dan sisa anggaran. 2) Belanja, yang digolongkan menjadi 3, yaitu : a. Belanja aparatur daerah, merupakan belanja yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur, contohnya pembelian kendaraan dinas, pembelian bangunan gedung dan lain sebagainya. 18 b. Belanja pelayanan publik, merupakan belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum, contohnya pembangunan jembatan dan jalan raya dan sebagainya. c. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan 3) Pembiayaan Pembiayaan merupakan kategori baru yang belum ada pada APBD di era pra reformasi, dimana pembiayaan berfungsi sebagai pemisah pimpinan dari pendapatan daerah. Pembiayaan adalah sumber penerimaan dan pengeluaran daerah yang dimaksudkan untuk menutupi defisit anggaran atau sebagai alokasi siklus anggaran, pembiayaan dikelompokkan menjadi : a. Sumber penerimaan daerah yaitu : 1) Sisa lebih anggaran penerimaan tahun lalu. 2) Penerimaan pinjaman dan obligasi. 3) Hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan. 4) Transfer dari dana cadangan. b. Sumber pengeluaran daerah yaitu : 1) Pembayaran hutang pokok yang telah jatuh tempo. 2) Penyertaan modal. 3) Transfer ke dana cadangan. 4) Sisa lebih anggaran tahun sekarang. 19 6. Analisis rasio keuangan berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Alat rasio keuangan yang digunakan adalah analisis rasio yang dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari anggaran penda patan belanja daerah ( Halim, 2004: 128) yaitu : a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Rasio kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri pemerintah, pembangunan dan sesuai target yang ditetapkan kegiatan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan restribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman. Semakin tinggi rasio kemandirian maka tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern semakin rendah, dan demikian pula sebaliknya. Rasio Kemandirian = Pendapatan Asli Daerah Bantuan Pemerintah Pusat/Prop insi dan Pinjaman b. Rasio efektivitas dan efisiensi pendapatan asli daerah 1) Rasio Efektivitas = Realisasi Penerimaan PAD Target Penerimaan PAD Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan 20 dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Kemampuan daerah dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai mencapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100 persen. 2) Rasio Efesiensi = Biaya yang dikeluarka n untuk Memungut PAD Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Rasio efesiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapata dengan realisasi pendapatan yang diterima. Untuk itu pemerintah daerah perlu menghitung secara cermat berapa besarnya biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan seluruh pendapatan yang diterimanya sehingga dapat diketahui apakah kegiatan pemungutan pendapatanya tersebut efesien atau tidak. Hal itu perlu dilakukan karena meskipun pemerintah daerah berhasil merealisasikan penerimaan pendapatan sesuai dengan target yang ditetapkan, namun keberhasilan itu kurang memiliki arti apabila ternyata biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan target penerimaan pendapatannya itu lebih besar daripada realisasi pendapatan yang diterimanya. Kinerja pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan dikategorikan efisien apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau dibawah 100 persen. 21 c. Rasio Aktivitas Rasio ini memprioritaskan menggambarkan alokasi dananya bagaimana pada belanja pemerintah rutin dan daerah belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi presentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti persentase belanja investasi (belanja pembangunan) yang digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil. Secara sederhana, rasio keserasian itu dapat di formulasikan sebagai berikut: 1) Rasio Belanja Rutin terhadap APBD = Total Belanja Rutin Total APBD 2) Rasio Belanja Pembangunan terhadap APBD = Total Belanja Pembanguna n Total APBD d. Rasio Debt Service Coverage Ratio (DSCR) Rasio DSCR merupakan perbandingan antara penjumlahan pendapatan asli daerah, bagian daerah dari pajak bumi dan bangunan, penerimaan sumber daya alam dan bagiab daerah lainya serta dana alokasi umum setelah dikurangi belanja wajib, dengan penjumlahan angsuran pokok, bunga dan biaya, pinjaman lainnya yang jatuh tempo. DSCR = (PAD Bagian Daerah DAU ) - Belanja Wajib Total ( Pokok Angsuran Bunga Biaya Pinjaman ) 22 e. Rasio Pertumbuhan Rasio pertumbuhan (growth ratio) mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang dicapai dari periode ke periode berikutnya. Rasio pertumbuhan dikatakan baik, jika setiap tahunnya mengalami pertumbuhan positif atau mengalami peningkatan. Rasio Pertumbuhan = RpXn Xn 1 x100% RpXn 1 Rp Xn-Xn-1 = Realisasi tahun yang dikurangi tahun sebelumnya. Rp Xn-1 = Realisasi penerimaan pendapatan asli daerah tahun sebelumnya. 7. Tolok Ukur Kinerja keuangan Menurut Warsono ( 2002:28-29 ) Untuk menentukan apakah suatu perusahaan sehat atau tidak dari sisi keuangan dapat dilakukan dengan dua macam metode, yaitu : 1) Metode Lintas Waktu ( Time Series) Metode ini merupakan metode tolok ukur analisis laporan keuangan yang dilakukan dengan cara membandingkan suatu rasio keuangan perusahaan dari satu periode tertentu dengan periode sebelumnya. 2) Metode Lintas Seksi/ Industri ( Cross Section) Metode ini merupakan metode tolok ukur yang digunakan menentukan sehat tidaknya posisi keuangan perusahaan yang dilakukan dengan cara 23 membandingkan rasio keuangan suatu perusahaan pada periode tertentu dengan rasio keuangan rata-rata industrinya yang bersangkutan. C. Hipotesis Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan tinjauan pustaka, maka diambil suatu hipotesis sebagai berikut : Kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten Blitar selama periode (tahun 2003 sampai dengan 2005) kinerja keuangannya adalah baik. 24 BAB III METODOLOGI PENELITIAN . A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar yang terletak di jalan Sudanco Supriyadi no.17 Blitar. B. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus yang menggunakan dan menganalisis data-data yang diperoleh dan menarik kesimpulan dari hasil analisis. Studi kasus ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat karakter khas dari suatu kasus maupun status dari suatu organisasi dari suatu hal yang akan dijadikan sesuatu hal yang bersifat umum. C. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder internal dan bersifat kuantitatif, yaitu laporan perhitungan APBD pemerintah daerah kabupaten Blitar. Data sekunder yaitu data yang dikumpulkan, diolah, dan disajikan oleh pihak lain. 25 D. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa, yaitu dokumentasi, yaitu mengumpulkan data dengan cara mempelajari catatan-catatan dan dokumen-dokumen yang ada pada organisasi tersebut. E. Definisi Operasional Variabel Untuk menghindari kesalah pahaman dan meluasnya permasalahan yang diangkat, maka perlu adanya batasan-batasan pengertian operasional variabel sebagai berikut: 1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah merupakan perbandingan antara ketergantungan pendapatan asli daerah dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain. 2. Rasio Efektivitas dan Efisiensi. Rasio Efektivitas merupakan perbandingan antara penerimaan pendapatan asli daerah dengan target yang telah ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Rasio Efisiensi merupakan perbandingan antara biaya yang dikeluarkan untuk memungut pengdapatan asli daerah dibandingkan dengan realisasi penerimaan asli daerah. 3. Rasio Aktivitas. Rasio belanja rutin terhadap APBD, merupakan perbandingan antara total 26 belanja rutin dengan total APBD. Rasio belanja pembangunan terhadap APBD, merupakan perbandingan antara total belanja pembangunan dengan total APBD. 4. Rasio DSCR (Debt Service Coverage Ratio). Rasio DSCR (Debt Service Coverage Ratio) merupakan perbandingan antara pendapatan asli daerah, bagian daerah dari pajak bumi dan bangunan, penerimaan sumber daya alam dan bagian daerah lainya serta dana alokasi umum setelah dikurangi belanja wajib, dengan penjumlahan angsuran pokok, bunga dan biaya, pinjaman lainnya yang jatuh tempo. 5. Rasio Pertumbuhan. Rasio Pertumbuhan merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. F. Teknik Data Sesuai dengan penelitian yang dilakukan maka teknik analisa data yang digunakan adalah analisa kuantitatif, yaitu data atau informasi berbentuk angkaangka yang kemudian ditarik kesimpulan dengan jelas membandingkan satu dengan yang lain dengan perhitungan yang bersifat kuantitatif. 27 1. Untuk mengetahui kinerja keuangan pemerintah daerah menggunakan lintas waktu (time series) pada : a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (RKKD) RKKD = Pendapatan Asli Daerah Bantuan Pemerintah Pusat/Prop insi dan Pinjaman b. Rasio Aktifitas (RA) 1) Rasio Belanja Rutin terhadap APBD = Total Belanja Rutin Total APBD 2) Rasio Belanja Pembangunan terhadap APBD = Total Belanja Pembanguna n Total APBD c. Rasio Pertumbuhan (RP) RP = RP Xn Xn 1 x100% RP Xn 1 Keterangan : RPXn-Xn-1 = Realisasi tahun yang dihitung dikurangi tahun sebelumnya. RPPAD Xn-1 = Realisasi penerimaan pendapatan asli daerah tahun sebelumnya. 2. Untuk mengetahui kinerja keuangan pemerintah daerah menggunakan lintas seksi/Industri (cross section) adalah : a. Rasio Efektivitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah 28 1) Rasio Efektivitas (RE) Rasio Efektivitas = Realisasi Penerimaan PAD Target Penerimaan PAD 2) Rasio Efisiensi (RE) Rasio Efesiensi = Biaya yang dikeluarka n untuk Memungut PAD Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah b. Rasio Debt Service Coverage Ratio (RDSCR) DSCR = (PAD Bagian Daerah DAU ) - Belanja Wajib Total ( Pokok Angsuran Bunga Biaya Pinjaman ) G. Uji Hipotesis 1. Uji hipotesis dengan menggunakan metode lintas waktu (time series) a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (RKKD) Jika RKKDt > RKKDt-1, maka kinerja keuangan pemerintah daerah dapat dinyatakan baik. b. Rasio Aktivitas (RA) 1) Rasio Belanja Rutin (RBR) Jika RBRt > RBRt-1 , maka kinerja keuangan pemerintah daerah dapat dinyatakan baik. 2) Rasio Belanja Pembangunan (RBP) Jika RBPt > RBPt-1, maka kinerja keuangan pemerintah daerah dapat dinyatakan baik. 29 c. Rasio Pertumbuhan(RP) Jika RPt > RPt-1, maka kinerja keuangan pemerintah daerah dapat dinyatakan baik. 2. Uji hipotesis dengan menggunakan lintas Seksi/Industri (Cross Section) a. Rasio Efektivitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah 1) Rasio Efektivitas Jika RE >1 atau 100%, maka kinerja keuangan pemerintah daerah dapat dinyatakan baik. 2) Rasio Efisiensi Jika RE <1 atau dibawah 100%, maka kinerja keuangan pemerintah daerah dapat dinyatakan baik. b. Rasio DSCR (Debt Service Coverage Ratio) Jika DSCR > 2,5 atau 250% maka kinerja keuangan pemerintah daerah dapat dinyatakan baik. Keterangan : RKKDt = Rasio Kemandirian Keuangan Daerah pada periode tahun ke-t RKKDt-1 = Rasio Kemandirian Keuangan Daerah pada periode tahun ke-t-1 REt = Rasio Efektivitas pada peruode ke-t REt-1 = Rasio Efektivitas pada peruode ke-t-1 REt = Rasio Efisiensi pada peruode ke-t REt-1 = Rasio Efisiensi pada peruode ke-t-1 30 RBR t = Rasio Belanja Rutin pada periode tahun ke-t RBRt-1 = Rasio Belanja Rutin pada periode tahun ke-t-1 RBPt = Rasio Belanja Pembangunan pada periode ke-t RBPt-1 = Rasio Belanja Pembangunan pada periode ke-t-1 DSCRt = Rasio Debt Service Coverage Ratio pada periode ke-t DSCRt-1 = Rasio Debt Service Coverage Ratio pada periode ke-t-1 RPt = Rasio Pertumbuhan pada periode ke-t RPt-1 = Rasio Pertumbuhan pada periode ke-t-1 31 BAB IV Hasil Analisis dan Pembahasan A. Tinjauan Umum Objek Penelitian 1. Gambaran Umum Pemerintahan Daerah Menurut sejumlah buku sejarah, terutama buku Bale Latar, Blitar didirikan pada sekitar abad ke-15.Pada tahun 2006 ini secara administratif jumlah kecamatan yang ada di Kabupaten Blitar sebanyak 22 kecamatan, dari 22 kecamatan tersebut terbagi lagi menjadi 248 Desa/Kelurahan dengan rincian adalah 220 dengan status desa serta 28 dengan status kelurahan sedangkan jumlah dusun/lingkungan tercatat sebanyak 759. Sementara itu kecamatan yang mempunyai luas wilayah paling besar adalah Kecamatan Sutojayan dengan luas total wilayah sebesar 164,54 km2. Kabupaten Blitar adalah sebuah kabupaten di propinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibu kotanya adalah Blitar. Kabupaten Blitar sejak dahulu telah tercatat sebagai kawasan yang strategis dan penuh dinamika dalam perkembangannya. Kabupaten Blitar terletak dipropinsi Jawa Timur yang berbatasan dengan Kabupaten lain yaitu sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Malang, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tulung Agung dan Kabupaten Kediri, bagian utara (perbatasan dengan kabupaten Kediri ) terdapat gunung kelud (1.731 m), salah satu gunung api aktif di pulau 32 Jawa. Pantai selatan pada umumnya berbukit. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kediri dan Kabupaten Malang sementara itu untuk sebelah selatan adalah Samudra Indonesia yang terkenal dengan kekayaan lautnya. Apabila diukur dari atas permukaan laut, maka Kabupaten Blitar mempunyai ketinggian 167 meter dan luas 1.588,79 km2. (Badan Pusat Statistik :BPS). 2. Jumlah Penduduk Penduduk sebagai salah satu sumber daya pembangunan memegang dua peranan penting dalam pembangunan yaitu sebagai subyek/perilaku sekaligus sebagai obyek dari pembangunan. Karenanya data penduduk merupakan salah satu data pokok yang keberadaanya saat ini sangat diperlukan. Hasil regristasi penduduk menunjukkan bahwa penduduk kabupaten Blitar mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Dari 22 kecamatan di wilayah kabupaten Blitar, kecamatan ponggok menempati urutan teratas yang mempunyai jumlah penduduk yang paling besar, yaitu sekitar 92.044 jiwa. Sementara kecamatan lain yang juga berpenduduk cukup besar ( diatas 60.000 jiwa) adalah kecamatan Gandusari (70.771), Nglegok (63.712), Kademangan (63.004) dan Kanigoro (62.728). Kemudian jika diperhatikan kepadatan penduduk akhir tahun, kecamatan Sanakulon menempati urutan teratas yaitu dengan kepasatan di atas 1436 jiwa/km2. sedangkan kecamatan lain yang mempunyai kepadatan di 33 atas 1100 jiwa/km2 yaitu kecamatan Talun 1159 jiwa/km2kecamatan Kanigoro 1129 jiwa/km2. Sedangkan dari kantor pendaftaran penduduk dan catatan sipil kabupaten Blitar diperoleh data bahwa jumlah kutipan akta yang diterbitkan pada tahun 2004 mengalami penurunan.sebeasr 3,865 menjadi 32.150 kutipan. 3. Struktur Organisasi Dinas Pendapatan dan Keuangan (DPKD) Blitar. Struktur organisasi merupakan suatu alat yang dipakai dalam mencapai tujuan perusahaan, dimana dengan struktur organisasi, tugas dan tanggungjawab dapat ditentukan secara tegas. Berdasarkan struktur organisasi DPKD, kepala dinas bertanggungjawab kepada Bupati. Kepala dinas membawai 3 sub bagian yaitu : kepala bagian keuangan, kepala bagian tata usaha dan sub bagian fungsional dan unit pelaksana teknis daerah. Kepala bagian keuangan dibagi menjadi 4 sub bagian yaitu kepala sub bagian anggaran, kepala sub bagian perbendaharaan, kepala sub bagian verifikasi dan kepala sub bagian pembukuan. Masing-masing sub bertanggung jawab langsung kepada kepala dinas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada struktur organisasi di bawah ini. 34 Gambar 1. Struktur Organisasi DPKD. Bupati Kepala Dinas Bagian Keuangan Kasubbag Anggaran Ka Bag TU Kasubbag Perbendaharaan Unit Pelaksanaan Tehnis Kasubbag Verifikasi Kasubbag Pembukuan Sumber data : Dinas Pendapatan dan Keuangan (DPKD) Kabupaten Blitar. B. Analisa Data 1. Analisis rasio keuangan pemerintah daerah Kabupaten Blitar dengan metode lintas waktu (time series) pada : 1.1 Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (RKKD) RKKD = Pendapatan Asli Daerah x 100% Bantuan Pemerintah Pusat/Prop insi dan Pinjaman Tahun 2003 = 21.761.008.786 x 100% 23.713.839.600 17.363.574.595 = 529,76% 35 Tahun 2004 = 22.222.398.703 x 100% 98.990.784 = 22450% Tahun 2005 = 28.136.998.757 x 100% 21.918.624.952 = 128,37% Untuk dapat melihat dan membandingkan antara rasio kemandirian keuangan daerah pemerintah Kabupaten Blitar dapat dilihat pada tabel 1. Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa RKKD mengalami penurunan dan kenaikan. Pada tahun 2003 RKKD sebesar 529,76% yang berarti ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern sudah baik. Pada tahun 2004 RKKD mengalami kenaikan sebesar 21.920,24% menjadi 22450%, ini berarti ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern semakin tinggi. Pada tahun 2005 RKKD yang dicapai sebesar 128,37% mengalami penurunan sebesar 22.321,63% dari tahun sebelumnya. Ini berarti kemampuan penerintah daerah dalam mencukupi kebutuhan pembiayaan untuk melakukan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat sosial masih rendah, dengan kata lain bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah tidak baik. 36 Tabel 1. Perkembangan tingkat kemandirian keuangan Kabupaten Blitar. Tahun Rasio Kemandirian Keuangan Daerah 2003 529,76% 2004 22450% 2005 128,37% Rata-rata 7.702,7% Sumber data : Laporan perhitungan APBD kabupaten Blitar tahun 2003-2005 1.2 Rasio Aktivitas a. Rasio Belanja Rutin terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah. RBR terhadap APBD = Tahun 2003 = Total Belanja Rutin x 100% Total APBD 314.409.620.616 x 100% 394.124.113.236 = 79,77% 383.477.214.029 x 100% Tahun 2004 = 405.266.704.138 = 94,62% 414.724.100.354 x 100% Tahun 2005 = 438.126.159.406 = 94,65% b. Rasio Belanja Pembangunan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RBP). 37 RBP terhadap APBD = Tahun 2003 = Total Belanja Pembanguna n x 100% Total APBD 77.009.074.073 x 100% 394.124.113.236 = 19,54% Tahun 2004 = 305.629.716.124 x 100% 405.266.704.138 = 75,41% Tahun 2005 = 334.451.050.496 x 100% 438.126.159.406 = 76,34% Untuk dapat lebih memahami tingkat rasio aktivitas keuangan pemerintah Kabupaten Blitar dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Rasio Aktivitas Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar. Tahun Rasio Belanja Rutin 2003 79,77% Rasio Belanja Pembangunan 19,54% 2004 94,62% 75,41 % 2005 94,65% 76,34% Rata-rata pertahun 89,68% 57,09% Sumber data : Laporan perhitungan APBD Kabupaten Blitar tahun 2003-2005 Dari tabel 2. diatas dapat dilihat bahwa rata-rata rasio aktivitas pertahunnya sebesar 89,68% untuk rasio aktivitas belanja rutin dan 57,09% untuk rasio aktivitas belanja pembangunan. Selama tahun 38 2003 sampai 2005 diperoleh bahwa rasio aktivitas belanja rutin dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun 2003 rasio belanja rutin yang dicapai sebesar 79,77%. Pada tahun 2004 rasio belanja rutin yang dicapai meningkat sebesar 14,85% menjadi 94,62%. Pada tahun 2005 rasio belanja rutin yang dicapai mengalami peningkatan sebesar 0,03% menjadi 94,65% Peningkatan ini terjadi karena bertambahnya alokasi dana untuk belanja rutin dari 314.409.620.616 menjadi 383.477.214.02 menjadi 414.724.100.354, hal ini menunjukkan bahwa rasio belanja rutin terhadap APBD kinerja keuangannya secara time series adalah baik. Rasio aktivitas belanja pembangunan selama tahun 2003 sampai 2005 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 rasio belanja pembangunan dari 19,54% menjadi 75,41%, pada tahun 2004 rasio belanja pembangunan dari 75,41% menjadi 76,34%. Peningkatan ini terjadi karena bertambah alokasi dana untuk belanja pembangunan dari 77.009.074.073 menjadi 305.629.716.124 menjadi 334.451.050.379, hal ini menunjukkan bahwa rasio belanja pembangunan terhadap APBD kinerja keuangannya secara time series adalah baik. Dari rasio belanja belanja rutin dan belanja pembangunan menunjukkan bahwa pemerintah daerah dalam memprioritaskan 39 alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan belum optimal karena sebagian besar dana yang dimiliki pemerintah daerah masih diprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin sehingga rasio belanja pembangunan terhadap APBD masih relatif kecil, ini menunjukkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah kurang baik 1.3 Rasio Pertumbuhan (RP). Rasio Pertumbuhan (RP) = RP Xn Xn 1 x100% RP Xn 1 Keterangan : RP Xn-Xn-1 = Realisasi tahun yang dihitung dikurangi tahun sebelumnya. RP Xn-1 = Realisasi penerimaan pendapatan asli daerah tahun sebelumnya. Tahun 2003 = 21.761.786 18.877.490.572 x 100% 18.877.490.572 = 15,3% Tahun 2004 = 22.222.398.703 21.761.008.786 x 100% 21.761.008.786 = 2,11% Tahun 2005 = 28.136.998.757 22.222.398.703 x 100% 22.222.398.703 = 26,6% 40 Untuk dapat memahami tingkat rasio pertumbuhan pemerintah daerah Kabupaten Blitar dapat dilihat pada tabel 3. Berdasarkan tabel 3. diatas dapat diketahui bahwa rata-rata rasio pertumbuhan sebesar 113,99% ini menunjukkan bahwa rasio pertumbuhan mengalami pada tahun penelitian mengalami pertumbuhan yang positif. Rasio pertumbuhan pada tahun 2003 sampai 2005 mengalami penurunan dan kenaikan. Pada tahun 2003 RP sebesar 15,3%. Pada tahun 2004 RP mengalami penurunan sebesar 9,19% menjadi 2,11%. Pada tahun 2005 RP yang dicapai sebesar 26,6% mengalami kenaikan pemerintah daerah sebesar dalam 24,49%, ini berarti mempertahankan dan kemampuan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode ini berarti bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah adalah baik. Tabel 3. Rasio Pertumbuhan pemerintah Kabupaten Blitar. Tahun Rasio Pertumbuhan 2003 15,3% 2004 2,11% 2005 26,6% Rata-rata 113,99% Sumber data : Laporan perhitungan APBD Kabupaten Blitar tahun 2003-2005 41 2. Analisis rasio keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar dengan metode cross section pada : 2.1 Rasio Efektivitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah. a. Rasio Efektivitas Rasio Efektivitas = Tahun 2003 = Realisasi Penerimaan PAD x 100% Target Penerimaan PAD 21.761.008.786 x 100% 18.877.490.572 = 115,27% Tahun 2004 = 22.222.398.703 x 100% 20.674.787.400 =107,49% Tahun 2005 = 28.136.998.757 x 100% 23.598.139.360 = 119,23%. b. Rasio Efisiensi RE = Biaya yang dikeluarka n untuk Memungut PAD x 100% Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Tahun 2003 = 394.124.113.236 x 100% 21.761.008.786 = 1.811,1% 42 Tahun 2004 = 4.266.704.138 x 100% 22.222.398.703 = 18,35% Tahun 2005 = 414.724.100.354 x 100% 28.136.998.757 = 1.473,95% Untuk dapat memahami tingkat rasio efektivitas dan efisiensi pendapatan asli daerah pemerintah Kabupaten Blitar dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Rasio Efektivitas dan Efisiensi pendapatan asli daerah Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar. Tahun Rasio Efektivitas Rasio Efisiensi 2003 115,27% 1.811,1% 2004 107,49% 18,35% 2005 119,23% 1.473,95% Rata-rata 113,99% 1.101,1% Sumber data : Laporan perhitungan APBD Kabupaten Blitar tahun 2003-2005 Berdasarkan tabel 4. dapat diketahui bahwa rasio efektivitas menunjukkan bahwa dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan sudah efektif yang artinya kinerja keuangan pemerintah daerah adalah baik. Untuk rasio efisiensi dapat diketahui bahwa rasio efisiensi menunjukkan bahwa dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan 43 dengan target yang ditetapkan belum efektif yang artinya kinerja keuangan pemerintah daerah adalah kurang baik. Untuk memperoleh ukuran yang lebih baik, rasio efektivitas tersebut harus dibandingkan dengan rasio efisiensi yang dicapai pemerintah daerah. Dari perhitungan diatas dapat diketahui bahwa rasio efektivitas dalam melakukan pemungutan sumber pendapatan daerah 1.101,1%. mencapai 113,99%, sedang rasio efisiensinya sebesar Hal itu menunjukkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah kurang baik. 2.2. Rasio Debt Service Coverage Ratio (RDSCR) DSCR = (PAD Bagian Daerah DAU ) - Belanja Wajib x 100% Total ( Pokok Angsuran Bunga Biaya Pinjaman ) Tahun 2003 = DSCR pada tahun ini tidak ada karena pemerintah Kabupaten Blitar tidak mempunyai hutang sehingga total angsuran pinjaman atau hutang dan bunganya tidak ada. Tahun 2004 = (22.222.398.703 42.289.872.651 308.854.000000) (77.847.905 16.185.323.402) 62.117.975 = 578,79%. x 100% 44 Tahun 2005 = (28.136.998.757 21.319.414.674 335.994.000.000) (49.213.814.709 16.350.139.995) 60.574.935 x100% = 493.280%. Untuk dapat melihat dan membandingkan antar debt service coverage ratio (DSCR) pemerintah Kabupaten Blitar dapat dilihat pada tabel 5. berikut. Tabel 5. RDSCR Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar Tahun Debt Service Coverage Ratio (DSCR) 2003 _ 2004 578.879% 2005 493.280% Rata-rata pertahun 825.519% Sumber data : Laporan perhitungan APBD Kabupaten Blitar tahun 2003-2005 Berdasar hasil perhitungan pada tabel 5. diatas dapat dilihat pada tahun 2003 DSCR tidak dapat diketahui karena total pokok angsuran, bunga serta biaya pinjaman tidak ada dan rekening yang menunjukkan hutang pokok angsuran yang jatuh tempo nilainya tidak ada. Pada tahun 2004 dan 2005 secara urut sebesar 578.879% dan 493.280%, sedangkan rasio rata-rata tahun 2004 dan 2005 pertahunnya sebesar 825.519%. Dari rasio tersebut dapat diketahui bahwa pemerintah daerah 45 mempunyai kemampuan untuk melakukan pinjaman karena rasio yang dicapainya lebih dari 2,5 atau 250%. C. Uji Hipotesis. 1. Uji hipotesis dengan menggunakan metode lintas waktu (time series). Berdasarkan tabel 6. dapat diketahui kinerja keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar selama tahun 2003 sampai 2005 dilakukan dengan membandingkan hasil perhitungan rasio-rasio keuangan secara time series sebagai berikut : a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (RKKD). 128,37% (2005) < 22450% (2004) > 529,76% (2003) RKKD pada tahun 2003 dan 2004 menunjukkan kinerja keuangan pemerintah daerah baik dan RKKD pada tahun 2005 menunjukkan kinerja keuangan pemerintah daerah kurang baik. b. Rasio Aktivitas (RA) 1) Rasio Belanja Rutin (RBR) 94,65% (2005) > 94,62% (2004) > 79,77% (2003) RBR pada tahun 2003 sampai 2005 menunjukkan peningkatan, hal ini menunjukkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah adalah baik. 2) Rasio Belanja Pembangunan (RBP) 76,34% (2005) > 75,41% (2004) > 19,54% (2003) 46 RBR pada tahun 2003 sampai 2005 mengalami kenaikan, ini menunjukkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah adalah baik. c. Rasio Pertumbuhan (RP) 26,6% (2005) > 2,11% (2004) < 15,3% (2003) RP pada tahun 2003 dan 2005 menunjukkan peningkatan, ini berarti kinerja keuangan pemerintah daerah pada tahun 2003 dan 2005 adalah baik. Pada tahun 2004 RP mengalami penurunan, ini berarti menunjukkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah adalah kurang baik. Tabel 6. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar tahun 2003 sampai 2005. Item 2003 (%) 2004 (%) 2005 (%) Rata-rata RKKD 529,76 22450 128,37 7.702,7% RBR 79,77 94,62 94,65 89,68% RBP 19,54 75,41 76,34 57,09% RP 15,3 2,11 26,6 113,99% Sumber : Data hasil perhitungan rasio keuangan pemerintah daerah Kabupaten Blitar. Berdasarkan uji hipotesis diatas, perkembangan kinerja pemerintah daerah selama tahun 2003 sampai 2005 menunjukkan peningkatan atau baik apabila dilihat rasio pertumbuhan (RP) dan rasio debt service coverage ratio (DSCR), ini menunjukkan bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana di daerah, selain menggunakan pendapatan asli daerah, pemerintah daerah dapat menggunakan alternatif 47 sumber dana lain, yaitu dengan melakukan pinjaman, sepanjang prosedur dan pelaksanaannya sesuai dengan prosedur ketentuan yang berlaku, ketentuan itu adalah DSCR minimal 2,5 atau 250%. Ditinjau dari rasio kemandirian keuangan daerah (RKKD), rasio aktivitas (RA) perkembangan kinerja keuangan pemerintah daerah adalah kurang baik 2. Uji hipotesis dengan menggunakan metode Lintas Industri (cross section). a. Rasio Efektivitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah. 1) Rasio Efektivitas. RE pada tahun 2003 sampai 2005 > 1 atau 100%, ini menunjukkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah adalah baik. 2) Rasio Efisiensi RE pada tahun 2003 sampai 2005 > 1 atau 100%, ini menunjukkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah adalah kurang baik. b. Rasio DSCR ( Debt Service Coverage Ratio). RDSCR pada tahun 2003 tidak ada dan pada tahun 2004 dan 2005 DSCR > 2,5 atau 250%, ini menunjukkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah adalah baik. Berdasar hasil perhitungan diatas, selama tahun 2003 sampai 2005 mengalami kenaikan atau baik apabila dilihat dari rasio efektivitas (RE), hal ini menunjukkan bahwa kemampuan daerah dalam menjalankan tugas 48 pemerintah sudah efektif, dan rasio efisiensi (RE) kurang baik karena rasio yang dicapai lebih dari 100%, ini menunjukkan bahwa kinerja pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan tidak efisien. Untuk rasio DSCR kinerja keuangan pemerintah daerah adalah baik, ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah mempunyai kemampuan untuk melakukan pinjaman karena rasio yang dicapainya lebih dari 2,5 atau 250%. 49 BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasar hasil analisa dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Berdasar rasio keuangan anggaran pendapatan dan belanja daerah maka kinerja keuangan pemerintah daerah adalah baik jika dilihat dari rasio pertumbuhan (RP) dan rasio DSCR ( Debt Service Coverage Ratio). Namun dapat dikatakan kurang baik apabila dilihat dari rasio kemandirian keuangan daerah (RKKD), rasio aktivitas (RA) dan rasio efektivitas dan efisiensi pendapatan asli daerah (RE). Secara umum dilihat dari kelima rasio keuangan tersebut, pemerintah daerah belum dapat menjalankan tugasnya secara efektif dan efisiensi karena masih banyak rasio-rasio yang menunjukkan kurangnya kinerja kinerja pemerintah Kabupaten Blitar dalam mengeleloh sumber dana yang dimilikinya . Hipotesis yang menyatakan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten Blitar selama periode penelitian (tahun 2003 sampai tahun 2005) kinerja keuangannya adalah kurang baik. 50 B. Implikasi 1. Bagi Pemerintah Daerah a. Pemerintah daerah Kabupaten Blitar harus terus meningkatkan dan meng optimalkan pendapatan asli daerah dan mengurangi ketergantungan terhadap sumber dana ekstern atau bantuan pemerintah pusat dan propinsi dengan cara mengelolah sumber daya daerah yang belum diolah selama ini. b. Pemerintah daerah harus dapat memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. 2. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian yang sama diharapkan mampu melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai kinerja keungan yang didasarkan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), sehingga hasil analisis dapat menggambarkan pengetahuan yang bertambah. 51