menggapai keadilan konstitusi - Konsorsium Reformasi Hukum

advertisement
MENGGAPAI KEADILAN KONSTITUSI
SUATU REKOMENDASI UNTUK
REVISI UU MAHKAMAH KONSTITUSI
KRHN
USAID
@2008
DRSP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Mengapa UU MK Harus Diubah?
Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam system ketatanegaraan Indonesia, telah
memberikan kontribusi yang positif bagi pengembangan negara hukum yang demokratis.
Kehadiran MK sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution) dapat dianggap sebagai
kemenangan terhadap supremasi hukum dan konstitusi yang dicita-citakan. Sebagai bagian dari
kekuasaan peradilan, MK adalah institusi peradilan yang bisa menjaga dan menjamin
terlaksananya pemenuhan hak-hak konstitusi (basic rights) warga negara. MK merupakan
perwujudan mekanisme cheks and balances, yang berfungsi membatasi kekuasaan mayoritas,
sekaligus bertindak sebagai hakim yang dapat menundukkan masalah politik sesuai dengan rel
konstitusi. Jadi, betapa penting dan strategisnya peranan MK dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.
Peranan
itu
berangkat
dari
perubahan
evolusioner
terhadap
prinsip-prinsip
konstitusionalisme, yang menghendaki produk legislasi harus merujuk dan bersumber pada
perintah imperative konstitusi. Hal itu terjadi seiring dengan menyusutnya gagasan kedaulatan
parlemen dalam praktek demokrasi, sekaligus menguatnya gagasan centralized system sebagai
akibat dari lunturnya kepercayaan terhadap decentralized system1 dalam kekuasaan peradilan.
Gagasan-gagasan tersebut kemudian dirumuskan dalam perubahan
konstitusi baru, yang
digunakan pula sebagai koreksi terhadap system pemerintahan otoriter oleh rezim
pemerintahan demokratis. MK merupakan salah satu pertandanya, dan kemudian tumbuh
berkembang di negara-negara demokrasi baru di kawasan Eropa Timur, Afrika, Amerika Latin
dan Asia.2 Tak terkecuali Indonesia, yang telah memutuskan membentuk MK melalui
amandemen konstitusi (UUD 1945) pada tahun 2001.
1
System decentralized mengandung pengertian bahwa kewenangan untuk menentukan konstitusionalitas produk legislasi
dilakukan oleh semua organ pengadilan (hakim). Sedangkan centralized system adalah kebalikannya, yang hanya memberikan
kewenangan tersebut kepada satu institusi peradilan. Mengenai hal ini lihat dalam, Mauro Cappelletti, The Judicial Process in
Comparative Perspective, Oxford Universyty Press, 1989, hal. 132-133.
2
Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian Cases, Cambridge University
Press, 2003, hal. 8-10.
Sejak terbentuk Agustus 2003, hingga kini MK telah menjalankan 3 (tiga) dari 5 (lima)
kewenangan yang telah ditentukan konstitusi. Kewenangan tersebut adalah untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (constitutional review), memutus sengketa
kewenangan konstitusional antarlembaga negara, dan memutus sengketa hasil pemilihan
umum. Sejak awal pembentukan hingga saat ini, kewenangan menguji konstitusionalitas
undang-undang, merupakan kewenangan yang paling sering dilakukan. Kurang lebih dua puluh
(20) perkara pengujian undang-undang yang diperiksa dan diputus MK dalam setiap tahun.
Untuk Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), MK telah memeriksa dan memutus 10
perkara. Pada perkara sengketa hasil pemilu tahun 2004, MK telah memutus 45 perkara dari
kasus yang diajukan 23 partai politik, 21 perkara yang diajukan anggota DPD, dan 1 perkara
diajukan oleh pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.3 Sedangkan kewenangan lainnya,
berkaitan dengan pembubaran partai politik dan pemakzulan (impeachment) Presiden
dan/atau Wakil Presiden, hingga kini belum dilakukan.
Bersamaan
dengan
pelaksanaan
kewenangan
tersebut,
MK
membangun
dan
mengembangkan organisasi kelembagaannya (capacity building). Selain telah memiliki gedung
yang sangat representative, MK berhasil membangun system administrasi peradilan (judicial
administration system) yang dapat memberikan kemudahan akses dan pelayanan yang baik
kepada publik. Publik, terutama para pemohon dapat memperoleh informasi setiap
perkembangan perkara yang ditangani MK. Putusan-putusan MK, tidak hanya dapat diketahui
dengan cepat melalui publikasi media massa dan website MK, tetapi dapat diperoleh secara
gratis. Dengan kata lain, prinsip-prinsip peradilan yang cepat, mudah, murah dan transparan
telah diterapkan oleh MK. Suatu hal yang nampaknya masih sulit dipraktekkan pada institusi
peradilan umum ataupun institusi negara lainnya.
Kendati demikian, selama ini dirasakan pula sejumlah permasalahan dalam praktek
penyelenggaraan MK. Permasalahan yang seringkali menjadi sorotan adalah berkenaan dengan
putusan-putusan yang dikeluarkan MK, terutama dalam perkara pengujian konstitusionalitas
undang-undang. Tidak jarang putusan MK sangat kontroversial, yang kemudian menimbulkan
pro-kontra. Dalam hal ini, beberapa putusan diantaranya dianggap merupakan putusan yang
‘progressif’ dan bersejarah (landmark decisions). Sebaliknya, ada juga putusan-putusan yang
3
Lihat dalam, Empat Tahun Mengemban Amanat Konstitusi 2003-2007, Mahkamah Konstitusi, 2007, hal. 19.
kemudian dinilai janggal, membingungkan sekaligus mengecewakan.4 Kontroversi lainnya
adalah, ketika sejumlah putusan MK dinilai ‘melanggar’ prinsip yang melarang hakim
mengabulkan melebihi tuntutan atau permohonan (ultra petita).5 Terkadang dalam mengadili
dan memutus perkara, MK bertindak ‘melampui kewenangan’ dengan memasuki ranah legislasi.
Bahkan kemungkinan besar terjadi conflict of interest ketika MK harus menilai dan mengadili
dirinya sendiri.
Disisi lain, putusan MK seringkali tidak segera ditindaklanjuti dengan merevisi undangundang yang telah dibatalkan. Pemerintah dan DPR sangat lamban dan cenderung tidak
merespon secara positif putusan-putusan MK. Ini bisa berakibat terjadinya kekosongan hukum.
Pada kenyataan lain juga menunjukkan bahwa, putusan MK yang bersifat final dan mengikat
(final and binding), terkadang bak macan diatas kertas. Bergigi tapi tidak begitu efektif.
Putusan final merupakan putusan pertama dan terakhir, yang dapat dimaknai tidak ada lagi
upaya hukum yang bisa ditempuh. Putusan final yang semestinya dipatuhi, faktanya malah
diabaikan bahkan ditolak oleh aktor-aktor negara judicial maupun non judicial.6 Akan tetapi,
bagaimana jika dalam putusan final terdapat kekeliruan? Hal ini pernah terjadi misalnya dalam
perkara sengketa hasil pemilu, dimana MK dinilai ‘salah hitung’ yang berakibat hilang atau
bergesernya hak kursi seseorang.7 Bagaimana dengan putusan MK dalam perkara lainnya?
Meski sebagian belum terlaksana, tidak tertutup kemungkinan akan menghadapi persoalan
yang sama.
Bisa jadi kontroversi dalam putusan MK, karena ada sudut pandang, pemahaman dan juga
‘kepentingan’ yang berbeda dalam memaknainya. Sebagaimana hakim MK yang kerap kali
berbeda tafsir atau pendapat (dissenting atau concurring opinion) dalam putusan.
Kemungkinan pula
4
karena pengaruh dari keluasan dimensi issue atau persoalan (politik,
Beragam penilaian dari sejumlah kalangan antara lain, Asian Human Rights Comission (AHRC), “MK Gagal Mencatat Sebuah
Sejarah Dalam Gerakan HAM di Indonesia”, Publikasi, 2 Nopember 2007; Adnan Buyung Nasution, “Quo Vadis Hukum dan
Peradilan Indonesia”, Kompas, 22 Desember 2006; Todung Mulya Lubis, “Tiga Putusan MK”, Kompas, 31 Januari 2005; Refly
Harun,” Kontroversi Putusan MK”, Koran Tempo, 22 Pebruari 2005; Marwan Mas, “Pro Kontra Putusan Judicial Review MK”,
Sinar harapan, 4 Agustus 2004.
5
Misalnya, putusan MK terhadap UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan; UU No. 40/2004 tentang Jaminan Sosial Nasional;
UU No. 22/2004 tentang Komisi Yudisial; UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi.
6
Lihat, “Theo Divonis 6 Tahun, Putusan MK Tak Dipakai”, Kompas, 26 Agustus 2006. Juga “UU Migas: MK Ingatkan Presiden
untuk Patuhi Putusan MK”, Majalah Mingguan Gatra, 10 Oktober 2005; “PGRI Tolak Putusan MK”, Radar Cirebon, 18 April 2008.
7
Lihat,
“Sifat
Final
dan
Mengikat
Putusan
MK
Digugat
Lewat
Permohonan
Fatwa”,
http://hukumonline.com/detail.asp?id=10539&cl=Berita, diakses 16 April 2008; Juga, Suara Pembaruan, “MK Diminta Koreksi
Putusan Perkara Dahlan Rais”, 18 Juni 2004.
ekonomi, hak asasi manusia, pidana, dan perdata) yang mesti diputus MK dalam perkara
pengujian undang-undang. Sehingga memaksa putusan MK bersikap ‘moderat’, tetapi disisi lain
menjadi ‘tidak tegas’. Demikian halnya ketika putusan MK tidak implementatif, besar
kemungkinan karena selalu dihadang oleh kompleksitas masalah yang mengemuka ditahap
aplikasi putusan final. Namun jika dibiarkan terus berlangsung, dapat dipastikan akan
melahirkan ketidakadilan, menciptakan ketidakpastian hukum dan hilangnya kepercayaan
terhadap MK. Ini tentunya menjadi persoalan serius yang perlu dicarikan jalan keluarnya.
Disadari bahwa putusan-putusan MK memiliki dampak yang luas bagi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Beragam persoalan dan respon yang muncul mengiringinya,
mendorong keinginan kuat untuk melihat dan mempertanyakan kembali peraturan perundangundangan tentang MK. Sejauh mana peraturan perundang-undangan, khususnya UUMK (UU
No.24/2003), telah mengatur secara lengkap dan memadai. Sebab, putusan sebagai hasil dari
pelaksanaan kewenangan, memerlukan tatacara (hukum acara) yang dapat menuntun dan
menjadi pedoman terlaksananya kewenangan dengan baik. Adakah yang keliru dalam
pengaturannya, ataukah belum secara lengkap UUMK mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
hukum acara? Apabila UUMK sudah mengatur secara lengkap, sejumlah persoalan yang muncul
dapat diantisipasi. Tentunya selain dapat mendukung pelaksanaan kewenangan yang akan
berpengaruh terhadap putusan yang akan diambil.
Sebagaimana diketahui UUMK memang belum memberikan pengaturan secara lengkap
bagi kebutuhan terselenggaranya peranan MK. Masih terdapat sejumlah pertanyaan atau
permasalahan dalam UUMK yang memerlukan rincian, penjelasan dan penegasan lebih lanjut.8
Kelemahan dan kekurangan itu dirasakan ketika UUMK diterapkan, terutama dalam hal ketika
MK menjalankan tugas dan wewenang konstitusionalnya. Berbagai kelemahan dan
permasalahan dalam UUMK tentu saja memerlukan perbaikan dan perubahan. Perubahan yang
setidaknya dapat dilakukan secara komprehensif, tidak hanya menyangkut aspek hukum acara,
akan tetapi menyangkut juga persoalan lain yang diperlukan bagi pengembangan dan
penguatan peranan MK kedepan.
8
Catatan-catatan terhadap sejumlah permasalahan yang ada dalam UU MK, setidaknya dapat dilihat dalam, KRHN, Hukum Dan
Kuasa Konstitusi, KRHN, 2004. Bandingkan pula dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Fajrul Falakh dalam,
“Konstitusi Dalam Berbagai Lapisan Makna” Jurnal Konstitusi, Vol. 3 Nomor 3, 2006, hal. 112-114.
Sekalipun MK telah membuat beberapa Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), terutama
berkaitan dengan hukum acara, kode etik dan pedoman perilaku bagi hakim konstitusi, serta
tata cara untuk pemilihan Ketua MK. Namun demikian, PMK tersebut belum cukup memadai
untuk menutupi kelemahan UUMK dan menunjang pelaksanaan kewenangan MK kedepan.
Selain karena legitimasinya kurang kuat, meskipun dibenarkan atas perintah UUMK, PMK tidak
bisa digunakan untuk menjawab dan mengatasi seluruh kekurangan dan problem yang muncul
dari UUMK. Misalnya, bagaimana seleksi hakim konstitusi dapat dilakukan secara transparan
dan partisipatif, bagaimana membuat ‘pengawasan’ bagi MK, bagaimana sebaiknya mekanisme
dan hukum acara impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden. Jelas beberapa issue atau
persoalan tersebut tidak cukup diatur dan diatasi hanya melalui PMK. Jadi harus melalui revisi
UUMK.
Kebutuhan revisi UUMK ini kemudian mendapatkan dorongan dari putusan MK. Dalam
perkara uji materi UU Komisi Yudisial (UUKY) dan UU Kekuasaan Kehakiman (UUKK),
dinyatakan dalam putusannya;9
“…Karena itu, Mahkamah Konstitusi juga merekomendasikan kepada DPR dan Presiden untuk segera
mengambil langkah-langkah penyempurnaan UU KY. Bahkan, DPR dan Presiden dianjurkan pula
untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan juga
mengadakan perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas UUKK,
UUMA, UUMK, dan undang-undang lain yang terkait dengan sistem peradilan terpadu…”
Melalui putusan tersebut, MK meminta kepada DPR dan Presiden untuk melakukan perbaikan
terhadap UU MK bersama UU lainnya dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi. Meski pada
dasarnya materi pokok permohonan dan putusan menyangkut soal ‘pengawasan’ hakim oleh
KY. Perintah putusan MK kepada DPR dan Presiden itu, merupakan sebuah dorongan dan
kesempatan untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan dalam UUMK. Ini
fenomena menarik, karena revisi atau perubahan UUMK didorong dan dikehendaki sendiri oleh
MK.
Dalam putusan lainnya, setidaknya dapat dikatakan bahwa MK telah ‘mengubah’ sendiri
salah satu ketentuan dalam UUMK. Ketentuan tersebut adalah Pasal 50 yang mengatur tentang
larangan bagi MK untuk menguji undang-undang yang lahir sebelum amandemen UUD 1945. 10
9
Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, hal. 201.
10
Pasal 50 UU MK mengatur bahwa, “Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang
diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dalam penjelasannya
Pasal 50 ini sebelumnya dikesampingkan, ketika MK memutus permohonan perkara pengujian
UU MA No. 14/1985 yang diajukan oleh Machri Hendra, seorang hakim dari Padang (perkara
Nomor: 004/PUU-I/2003). Setahun kemudian, lewat putusan pengujian UU No. 1/1987
tentang Kamar Dagang & Industri yang diajukan bersama UUMK oleh DR. Elias Tobing,
ketentuan Pasal 50 tersebut dibatalkan dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Konsekwensi dari putusan tersebut, MK kemudian menerima dan memutus sejumlah
permohonan pengujian undang-undang yang lahir sebelum amandemen UUD 1945.11
Saat ini revisi UUMK sudah diagendakan dalam Prolegnas tahun 2008. Artinya, dari segi
politik legislasi telah ada kesepakatan bersama antara DPR dan pemerintah untuk segera
membahas dan merevisi UUMK. Bersamaan dengan hal itu, berkembang keinginan kuat dari
kalangan parlemen untuk membatasi kewenangan MK.12 Sekalipun tidak sepenuhnya tepat, bisa
dipahami ‘kegelisahan’ dan ‘kemarahan’ kalangan DPR, karena terkadang ‘begitu mudahnya’
MK membatalkan produk undang-undang yang dihasilkan. Mereka menganggap kewenangan
MK
terlalu
luas,
dan
berkehendak
mambatasi
kewenangan
MK.
Hal
ini
cukup
mengkhawatirkan, dan malah akan menimbulkan persoalan baru. Jika sudah berkembang
menjadi wacana politik dan melembaga, maka yang terjadi adalah resistensi yang berpotensi
mengancam eksistensi dan peranan MK. Hingga pada gilirannya dapat memperlemah upaya
penegakan hak-hak konstitusi dan proses demokratisasi yang sudah berjalan. Tentunya, bukan
hal seperti itu yang kita inginkan bukan?.
Berangkat dari uraian diatas, alasan mengapa UUMK harus diubah dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Situasi dan kondisi yang berkembang dalam praktek penyelenggaraan MK disertai
akibatnya, memerlukan pengaturan lebih lanjut didalam UUMK.
2. Terdapat sejumlah kelemahan dan kekurangan dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur
dalam UUMK.
dikatakan, “Yang dimaksud dengan “setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” adalah
perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999”.
11
Contohnya, MK telah memutus perkara pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan oleh Eggy
Sudjana (No. 013-022/PUU-IV/2006) dan Dr. R. Panji Utomo (No. 06/PUU-V/2007), serta UU No. 22/1997 tentang Narkotika
(No. 2-3/PUU-V/2007).
12
Lihat, ”Ketika Putusan MK Gelisahkan Dewan”, Sinar Harapan, 22 Desember 2006; Juga “Kewenangan MK Akan Dibatasi”,
Kompas, 20 September 2006.
3. Sebagai akibat dari putusan-putusan MK, yang telah membatalkan ketentuan dalam UUMK
dan merekomendasikan perubahan atau perbaikan terhadap UUMK.
4. Adanya kebutuhan kedepan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan kewenangan MK,
terutama dalam hal kebutuhan bagi pengembangan organisasi/kelembagaan.
B. Proyeksi Dan Tujuan Perubahan
Perubahan UUMK haruslah senantiasa diarahkan untuk memperjelas gambaran MK sebagai
lembaga penjaga konstitusi (the Guardian of Constitution). Hal itu diperlukan agar keadilan
berdasarkan konstitusi (constitutional justice) semakin tercapai, serta diletakkan dalam konteks
memperkuat kebutuhan cheks and balances serta perlindungan hak asasi dalam kerangka
negara hukum yang demokratis. Dalam pengertian bahwa, kekuasaan negara tidak hanya
berdasarkan konstitusi, tapi negara tunduk pula terhadap pengawasan hukum. Akan tetapi
pengawasan oleh lembaga hukum, memerlukan pula suatu pertanggungjawaban yang dapat
dikreasikan dan diatur dalam perundang-undangan. Sebab, jika pengawasan hukum atas
kekuasaan negara tidak memadai, maka negara akan terperosok kedalam negara kekuasaan
(machstaat). Dan bila pengawasan kekuasaan peradilan tanpa pertanggungjawaban, maka
peradilan akan kehilangan kepercayaan (distrust of justice) karena penuh penyimpangan dan
penyalahgunaan wewenang. Perubahan UUMK ini, setidaknya dapat pula diharapkan menjadi
sarana untuk meneguhkan ‘kewibawaan’ MK sebagai institusi peradilan, mempermudah upaya
pencapaian keadilan dan kepastian hukum.
Yang kita inginkan pula dalam revisi UUMK adalah, perbaikan-perbaikan atas kelemahan
yang ada dalam UUMK. Perbaikan yang diperlukan untuk menunjang keberadaan serta
terlaksananya tugas dan kewenangan konstitusional MK dengan baik. Dimaksudkan pula untuk
mengatasi kebutuhan dan problem-problem yang muncul pada saat praktik penyelenggaraan
MK selama ini. Dalam hal lain, perbaikan UUMK tidak hanya bagi keperluan sinkronisasi dan
harmoniasi dengan perundang-undangan lainnya, tetapi dapat pula menjawab keperluan
‘pengawasan’ yang mencerminkan pelaksanaan cheks and balances terhadap MK. Sejatinya,
kesemuanya itu menjadi sarana bagi pemenuhan keadilan, perlindungan hak-hak konstitusi
serta penguatan demokratisasi yang masih terus tumbuh berkembang melalui peranan MK.
Tidak ketinggalan tentunya, perubahan UUMK memerlukan dukungan dan partisipasi aktif dari
berbagai kalangan masyarakat (civil society). Dukungan dan partisipasi yang secara konsisten
dan kontinyu mengawal perubahan UUMK agar hasilnya bisa sesuai dengan yang diharapkan
Dalam konteks kebutuhan itu, kegunaan praktis perubahan UUMK ditujukan untuk;
1. Memperbaiki kelemahan dan kekurangan dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam
UUMK.
2. Mengatasi dan menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam praktek penyelenggaraan
MK.
3. Memberikan jaminan bagi keperluan pengembangan organisasi kelembagaan MK kedepan.
4. Mengoptimalkan peranan MK dalam melaksanakan tugas dan kewenangan sebagaimana
telah ditentukan konstitusi.
C. Ruang Lingkup Perubahan
Pada dasarnya perubahan atau revisi suatu perundang-undangan dilakukan, apabila
terdapat ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan tersebut tidak sesuai lagi dengan
situasi atau kondisi yang berkembang. Perubahan itu dapat meliputi hal-hal sebagai berikut:13
1. Menambahkan atau menyisipkan ketentuan baru, menyempurnakan atau menghapus
ketentuan yang sudah ada, baik yang berbentuk Bab, bagian, Paragraf, Pasal, ayat, maupun
perkataan, angka, huruf, tanda baca dan lain-lainnya.
2. Mengganti suatu ketentuan dengan ketentuan lain, baik yang berbentuk Bab, bagian,
Paragraf, Pasal, ayat, maupun perkataan, angka, huruf, tanda baca dan lain-lainnya.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98), disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003, setelah
melalui pembahasan dalam waktu yang relatif singkat. UUMK yang terdiri dari delapan (8) Bab
dan 88 Pasal, pada intinya mengatur soal kedudukan dan susunan (organisasi kelembagaan),
kekuasaan, pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, serta hukum acara MK (lihat
tabel 1). Materi itu merupakan perintah langsung dari UUD 1945 hasil amandemen. Pasal 24C
ayat (6) telah menyatakan bahwa, “Pengangkatan dan Pemberhentian hakim konstitusi,
hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undangundang.” Sedangkan menyangkut soal kewenangan, hakim konstitusi (jumlah, syarat, dan
pengajuan) serta soal pemilihan dan pengangkatan Ketua MK, telah ditentukan dalam UUD
1945.
13
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan (2); Proses dan Teknik Pembentukannya, Yogyakarta-Kanisius,
2007, hal. 179.
Usul perubahan dan rekomendasi dalam position paper ini berangkat dari materi yang
sudah ada dalam UU MK, yang kemudian dipandang perlu untuk diubah atau ditambahkan.
Materi tersebut adalah menyangkut perihal, hukum acara, susunan dan kedudukan (organisasi
dan kelembagaan), pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi. Menyangkut soal
kekuasaan, hanya akan disinggung beberapa bagian issue yang perlu diperhatikan. Sedangkan
masalah yang menyangkut soal kewenangan, tidak akan disinggung secara mendalam karena
hal itu sudah berkaitan dengan materi UUD. Perihal lainnya yang perlu ditambahkan dan
dilengkapi
adalah
menyangkut
persoalan
‘pengawasan’,
persyaratan
serta
system
seleksi/rekuitmennya. Jadi, position paper ini akan lebih banyak menyinggung issue dan
masalah yang ada dalam UU MK.
Tabel 1: Anatomi UU Mahkamah Konstitusi
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Keterangan
Bab I : Ketentuan Umum
Bab II : Kedudukan dan Susunan
Bab III : Kekuasaan Mahkamah Konstitusi.
Bab IV : Pengangkatan & Pemberhentian Hakim
Bab V : Hukum Acara
b. a
b. b
-
6.
7.
8.
Umum
Khusus
Pengujian Undang-Undang
Sengketa Kewenangan
Pembubaran Partai Politik
Perselisihan Pemilu
Dugaan Pelanggaran Hukum
Presiden dan/atau Wakil Presiden
Bab VI : Ketentuan Lain-lain
Bab VII : Ketentuan Peralihan
Bab VIII : Ketentuan Penutup
Pasal
Jumlah
1
2 s/d 9
10 s/d 14
15 s/d 27
28 s/d 85
1 Pasal
8 Pasal
5 Pasal
23 Pasal
57 Pasal
28 s/d 49
21 Pasal
50 s/d 60
61 s/d 67
68 s/d 73
74 s/d 79
80 s/d 88
11 Pasal
7 Pasal
6 Pasal
6 Pasal
9 Pasal
86
87
88
1 Pasal
1 Pasal
1 Pasal
Adapun menyangkut soal kewenangan MK, memang telah disadari bahwa masih ada
kekurangan dan barnagkali belum sepenuhnya dianggap tepat ketentuan yang telah dirumuskan
dalam UUD 1945. Tentunya hal itu akan sangat berpengaruh terhadap rumusan-rumusan yang
ada dalam UUMK, termasuk dalam praktik pelaksanaan MK selama ini. Saat ini memang telah
dirasakan suatu kebutuhan untuk melakukan perubahan (amandemen) kembali UUD 1945,
juga hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan MK. Oleh karena itu, sejumlah issue/persoalan
ditingkat UUD akan disinggung dan dikupas juga, sebagai bagian yang tak terhindarkan dari
position paper ini.
BAB II
PRINSIP-PRINSIP DASAR
MAHKAMAH KONSTITUSI
Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dilakukan dalam Perubahan Ketiga UUD 1945
yang diputuskan MPR dalam Sidang Tahunan MPR 9 Nopember 2001. Keberadaan Mahkamah
Konstitusi diletakkan dalam bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24 (2) UUD 1945
mengatur bahwa;
“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.”
Ketentuan tersebut merupakan bentuk pengakuan dan legitimasi terhadap keberadaan MK. MK
ditentukan berdiri sendiri, terpisah dan berada diluar MA. Keduanya sama-sama merupakan
lembaga pelaksana dari kekuasaan kehakiman yang memiliki fungsi dan kewenangan yang
berbeda. Dari rumusan tersebut dipahami bahwa, saat ini Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan
oleh dua lembaga yaitu MK dan Mahkamah Agung. Keduanya berkedudukan sederajat atau
setara sebagai lembaga negara yang independen.
Ada beberapa alasan mengapa MK ditempatkan dalam konstitusi yang menjadi dasar
konstitusionalitas keberadaan MK:
a. Pada prinsipnya, konstitusi harus memuat tentang nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).
Dan perubahan UUD 1945 telah mengakomodir lebih jelas dan rinci pasal-pasal yang
mengatur HAM. Oleh karena itu, lembaga yang berwenang untuk menjamin, melindungi
dan menegakkan nilai-nilai HAM itu harus pula diletakkan dalam konstitusi.
b. Konstitusi pada prinsipnya harus memberikan pembatasan kekuasaan dan menyediakan
mekanisme cheks and balances antara cabang kekuasaan. Adanya MK beserta
kewenangannya menunjukkan bahwa, perubahan konstitusi sudah memuat adanya
pembatasan dan mekanisme cheks and balances tersebut.
c. Keberadaan MK berikut dengan kewenangan dalam konstitusi, sejalan dan merupakan
penegasan terhadap prinsip negara hukum yang telah dimuat dalam perubahan konstitusi.
Karena ciri-ciri dari negara hukum dapat ditunjukkan dari adanya wewenang untuk menguji
konstitusionalitas (constitutional review) undang-undang oleh kekuasaan kehakiman (MK).
d. Konstitusi sebagai hukum tertinggi harus ditegakkan dan dijalankan secara konsisten oleh
siapapun. Oleh karena itu, konstitusi harus pula menyediakan lembaga yang berwenang
untuk menjaga nilai-nilai konstitusi, yang mesti ditempatkan didalam konstitusi.
Sebagai lembaga yang telah ditentukan konstitusi, maka terdapat beberapa ketentuan yang
telah diatur dan menjadi prinsip atau asas dasar bagi keberadaan dan peranan MK. Prinsipprinsip dasar yang merupakan ratio logis atau alasan bagi lahirnya peraturan hukum, sekaligus
merupakan pengarah umum untuk menganjurkan yang seharusnya menurut hukum. Sebagai
sebuah institusi peradilan, maka MK harus tunduk pada asas-asas peradilan yang baik yang
berlaku secara universal bagi pelaksana kekuasaan kehakiman (judicial power). Dilihat dari
karakteristik perkara yang ditangani MK yang berkaitan dengan urusan kepentingan publik,
maka dapat berlaku pula asas-asas yang digunakan dalam hukum publik (administrasi).
Demikian halnya prinsip atau asas sebagai sebuah institusi peradilan dalam konteks
pemerintahan yang bersih (good governance), dapat pula diterapkan di dalam penyelenggaraan
MK.
Prinsip-prinsip tersebut haruslah menjadi jiwa dan dasar dalam pengaturan UUMK, yang
perlu ditegaskan, dijelaskan, dirinci didalam ketentuan-ketentuan UUMK. Demikian halnya
dalam konteks kebutuhan perubahan UUMK, sedapat mungkin prinsip-prinsip dasar ini dapat
dirumuskan jika sebelumnya tidak ada atau tercermin di dalam UUMK. Adapun prinsip atau
asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut;
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Constitution).
Prinsip supremasi hukum pada dasarnya menghendaki hukum-lah yang harus memegang
komando tertinggi dalam penyelenggaran negara. Hukum tertinggi yang mengikat semua pihak
dan menjadi pedoman pokok dalam menjalankan pemerintahan adalah konstitusi. Di dalamnya
terkandung pengertian bahwa segala cara, tindakan dan kewenangan para penyelenggara
negara, harus berpedoman pada konstitusi. Tidak dibenarkan jika pemerintahan dijalankan
dengan mengabaikan konstitusi. Apabila terjadi penyimpangan (abuse of power), perselisihan
atau sengketa dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka perlu dilakukan koreksi
berdasarkan prinsip-prinsip atau ketentuan dalam konstitusi. Untuk itulah maka kemudian
diperlukan adanya MK, yang diharapkan dapat memperkuat berjalannya prinsip-prinsip dalam
negara hukum.
Prinsip ini mendudukkan MK sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai kekuasaan
tertinggi untuk mengawal agar konstitusi dapat ditegakkan dan dijalankan secara konsisten (the
guardian of constitution). Konstitusi telah menempatkan MK sebagai lembaga peradilan yang
dibutuhkan untuk mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan konstitusi. Dalam
mengadili dan memutus perkara haruslah selalu mendasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam
konstitusi, dan MK berhak secara formal untuk menafsirkan konstitusi (the interpreter of
constitution). Jadi, tidak hanya keberadaan dan kekuasaan yang ditentukan konstitusi, tetapi
ukuran-ukuran yang digunakan MK harus sesuai dengan konstitusi. Prinsip ini juga bertujuan
untuk membatasi MK menggunakan ketentuan lain selain konstitusi, sekaligus ’melarang’
siapapun aktor/lembaga negara (formal atau informal) bersikap dan melakukan tindakantindakan yang bertentangan dengan prinsip, nilai dan norma-norma konstitusi.
2. Bebas dan Tidak Memihak (Independent and Impartial)
Prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam negara hukum
untuk menjamin proses peradilan yang fair. Prinsip ini sudah diterima dan diatur dalam
berbagai ketentuan internasional. Pada dasarnya, prinsip peradilan yang bebas atau merdeka
(independent) tidak menghendaki adanya campur tangan, terutama ke dalam proses
pengambilan putusan, dari kekuasaan eksekutif dan legeslatif terhadap pelaksanaan fungsi
peradilan. Termasuk campur tangan dari unsur-unsur kekuasaan kehakiman itu sendiri, serta
bujukan atau pengaruh dari kekuasaan ekonomi dan politik di luar sistem kekuasaan negara.
Prinsip independensi ini telah dinyatakan dengan tegas dalam konstitusi Pasal 24 (1) UUD 1945
dinyatakan bahwa, “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Prinsip independensi yang mesti dijamin tidak hanya bersifat kelembagaan, tetapi
menyangkut juga independensi personal setiap hakim. Sebab kelengkapan pertama dan utama
untuk menegakkan kekuasaan kehakiman yang independent ada pada hakim. Dan hakim dalam
menjalankan tugasnya harus bebas dari rasa takut, tekanan, bujukan dan ancaman yang dapat
mempengaruhi putusan. Persoalannya sekarang bagaimana merumuskan parameter yang
diperlukan untuk mengukur bahwa kekuasaan kehakiman (MK) itu independent atau tidak.
Untuk menjamin prinsip independensi itu setidaknya perlu dirumuskan ketentuan-ketentuan
yang mengatur; (1) tata cara penunjukkan hakim; (2) masa jabatan hakim; (3) pemberhentian
hakim; (4) hak atas anggaran
Sedangkan prinsip tidak memihak, pada dasarnya hakim tidak boleh memihak kepada
siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Hakim dalam mengadili harus
tidak membeda-bedakan dan menghargai secara adil hak-hak para pihak di dalam proses
pemeriksaan yang bersifat terbuka. Sehingga hakim dalam mengadili perkara terhindar dari
benturan kepentingan (conflict of interest), dan proses pengadilan dapat berjalan secara fair
dan obyektif. Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan jika hakim melepaskan diri
dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang
berperkara. Karenanya, hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika ia melihat
ada potensi imparsialitas. Sementara itu, pemutusan relasi dengan dunia politik penting bagi
seorang hakim agar ia tidak menjadi alat untuk merealisasikan tujuan-tujuan politik.
3. Transparansi dan Akuntabilitas.
Transparansi dan akuntabilitas merupakan dua prinsip penting yang diperlukan untuk
mendorong lahirnya sebuah institusi yang dapat dipercaya. Transparansi merupakan prasyarat
tercapainya akuntabilitas yang juga menjamin kepastian. Kedua prinsip ini menjadi keniscayaan
konstitusional untuk dikreasikan sedemikian rupa dalam revisi UUMK. Keduanya diperlukan
untuk mempermudah access to justice guna pemenuhan hak-hak konstitusional, selain
pemenuhan doktrin universal peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan (contante justice)
bagi para pencari keadilan (justitiabelen).
Prinsip transparansi/keterbukaan pada dasarnya menghendaki agar pengadilan dalam
menjalankan fungsinya dapat dilakukan secara terbuka. Dalam hal ini prinsip persidangan yang
terbuka untuk umum, mulai dari pemeriksaan sampai putusan, sudah sewajarnya dapat
diketahui dengan mudah oleh masyarakat. Apalagi mengingat saat ini hak atas informasi sudah
dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Jadi bagi masyarakat, khususnya para pencari
keadilan, terbuka ruang selebar-lebarnya guna mengetahui informasi mengenai proses
pemeriksaan setiap perkara dan mendapatkan putusan-putusan yang diperlukan. Dan MK
sebagai peradilan yang mengadili system hukum (court of law), yang perkaranya berkenaan
dengan kepentingan umum dan mempunyai implikasi yang luas, sudah sewajarnya jika publik
dapat dengan mudah mengetahui setiap persidangan dan mendapatkan putusan-putusan yang
dikeluarkan MK.
Sedangkan prinsip akuntabilitas/pertanggungjawaban dapat dimaknai merupakan
salah satu cara untuk menciptakan cheks and balances, sekaligus mekanisme untuk menilai
seluruh pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang pemegang mandat kekuasaan, baik secara
individual hakim maupun secara institusional lembaga pengadilan.14 Dalam penjelasan UU No.
28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme dinyatakan bahwa akuntabilitas adalah prinsip yang menentukan bahwa setiap
kegiatan
dan
hasil
akhir
dari
kegiatan
Penyelenggara
Negara
harus
dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Prinsip akuntabilitas ini diperlukan untuk meminimalisir tindakan diluar batas kekuasaan
atau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Setidaknya, memudahkan pihak-pihak
eksternal yang berkompeten untuk melihat/menilai ada tidaknya penyalahgunaan kekuasaan
atau berperilaku menyimpang. Dengan adanya mekanisme pertanggungjawaban, masyarakat
dapat ikut memantau kemampuan dan kinerja pemegang kekuasaan. Bagi pemegang
kekuasaan,
keberadaan
suatu
mekanisme
pertanggungjawaban
akan
mendorong
profesionalisme dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya.
Dalam konteks pengadilan, akuntabilitas dibutuhkan untuk menunjang pelaksanaan prinsip
independensi. Keduanya tidaklah bertentangan, tetapi justru saling memperkuat. Akuntabilitas
diperlukan karena, independensi hakim dan pengadilan tanpa akuntabilitas berpotensi
terjerumus ke dalam perilaku yang korup, despotis dan oligarkhis. Akuntabilitas dapat
berfungsi untuk mencegah timbulnya perilaku tersebut yang dapat merusak system pengadilan
secara keseluruhan. Sejatinya prinsip pertanggungjawaban ini mencakup pertanggungjawaban
secara organisasi, legal, politik, moral dan profesional. Konsep pertanggungjawaban tersebut
masih harus dimodifikasi dan diadaptasi atau perlu disesuaikan dengan konsep lembaga MK.
Setidaknya sebagai sebuah institusi peradilan, pertanggungjawaban yang mesti dilakukan MK
berkaitan dengan putusan, perkara dan manegemen perkara, personalia, serta pengelolaan
keuangan/anggaran.
14
Dalam konteks ini menurut pandangan Mauro Cappelletti, setidaknya ada empat type akuntabilitas individu hakim maupun
institusi peradilan yaitu; 1) Political Accountability, yang pada prinsipnya merupakan akuntabilitas dengan lembaga politik dan
konstitusi; 2) Societal or Public Accountability, akuntabilitas terhadap publik atau masyarakat; 3) Legal Accountability,
akuntabilitas karena jabatannya sebagai hakim dan 4) Legal accountability yang merupakan akuntabilitas secara personal dari
tindakan kriminal, perdata dan pelanggaran disiplin. Lihat Mauro Cappelletti, The Judicial Process..., opcit, hal. 72
4. Partisipasi dan Sosial Kontrol.
Partisipasi dan kontrol sosial merupakan hal yang esensial dalam kehidupan negara
demokrasi. Prinsip ini merupakan perwujudan hak warga negara atas kebebasan berekspresi
dan keikutsertaan dalam pemerintahan yang telah dijamin konstitusi. Keduanya diperlukan
untuk menutupi kekurangan atau kelemahan yang ada dalam mekanisme formal kenegaraan.
Sehingga, proses maupun keputusan yang dibuat menjadi lebih legitimate dan dapat berfungsi
secara maksimal. Lebih jauh lagi, partisipasi secara aktif dan langsung dari masyarakat dapat
menciptakan integrasi sosial dalam masyarakat yang pluralis dan heterogen.
Dalam konteks proses pembuatan dan penegakan hukum, adanya partisipasi masyarakat
dapat membuat hukum berfungsi maksimal, karena mendapatkan legitimasi yang kuat. Tanpa
legitimasi yang kuat dari masyarakat, hukum akan mudah diselewengkan demi kepentingankepentingan partial dan sesaat. Sedangkan kontrol sosial yang dapat muncul dari, pers, kampus
dan organisasi masyarakat, dapat mencegah dan meminimalisir penyimpangan yang terjadi.
Sekaligus dapat mendorong ke arah perbaikan yang diharapkan bersama untuk pencapaian
keadilan dan kebenaran.
Bagi MK, prinsip ini setidaknya perlu dikreasikan dalam proses seleksi hakim konstitusi
yang bersifat terbuka. Sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dan menilai seseorang yang
dianggap tepat, berintegritas dan kredibel untuk menjadi hakim konstitusi. Demikian pula
dalam hal pemeriksaan terhadap perkara-perkara yang berkenaan dengan kepentingan
masyarakat yang mendapat perhatian luas, dapat diatur suatu mekanisme yang dapat
memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Prinsip ini juga dapat dikreasikan
dengan memberikan akses bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perkara sesuai
interest/kepentingannya, terlibat dalam konteks pengawasan MK, dalam hal bahwa hakim dan
institusional MK harus akuntable, maka perlu tersedia system/mekanisme (internal dan
eksternal) yang dapat menjadi saluran masyarakat untuk menyampaikan keluhan atau
keberatannya.
5. Cepat, Sederhana dan Murah
Prinsip peradilan yang cepat dan sederhana, adalah salah satu hal yang dituntut publik
ketika memasuki proses peradilan. Proses yang berbelit-belit akan membuahkan kefrustasian
dan ketidakadilan. Akan tetapi harus diingat bahwa tindakan yang prosedural harus pula
menjamin pemberian keadilan, dan proses yang sederhana harus pula menjamin adanya
ketelitian dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, proses di MK harus dibuat
sedemikian rupa secara sederhana, baik dari segi biaya, lokasi, dan prosedur, termasuk dalam
hal mendapatkan putusan. Sehingga tidak menghalangi hak seseorang untuk memperoleh
keadilan (access to justice).
Proses di pengadilan yang harus ditempuh para pencari keadilan, juga diharapkan tidak
memakan waktu yang lama. Dengan kata lain, proses pengadilan haruslah cepat, jelas, dan tepat
waktu. Proses yang lama dan tidak jelas limitasi waktunya, bukan hanya membuat pesimisme
para pencari keadilan, tetapi mengundang ‘kecurigaan’ atau dugaan yang bersifat negatif. Oleh
karena itu, proses persidangan di MK harus dapat ditentukan dalam batas waktu yang tidak
terlalu lama, jelas dan berkepastian. Untuk itu harus didukung dengan system administrasi dan
managemen perkara yang modern dan bersifat on line. Sehingga tidak hanya untuk para pihak,
tapi publik pun dapat mengetahuinya dan memperolehnya dengan mudah.
Sedangkan mengenai prinsip murah, diartikan bahwa proses di pengadilan harus tidak
dengan biaya yang mahal. Bahkan jika perlu dibebaskan dari biaya perkara, agar orang miskin
yang tidak mampu dapat mengajukan gugatan atau permohonan ke pengadilan. Adanya biaya
perkara ini sudah menjadi kelaziman dalam berperkara di lingkungan pengadilan umum, baik
dalam system common law maupun civil law. Hanya saja seberapa besar biaya perkara itu
ditentukan, jangan sampai memberatkan para pihak yang berperkara. Biaya yang terlalu besar
bisa jadi akan memberatkan, bisa membuat para pencari keadilan tidak bisa berperkara. Dan itu
berarti menjauhkan hak atas keadilan (access to justice) bagi para pencari keadilan. Selain itu,
dalam system peradilan yang belum bisa berjalan secara transparan dan akuntabel, adanya
biaya perkara ini dapat menjadi sumber ‘pungli’ (korupsi).
Meskipun biaya perkara sudah menjadi kelaziman di pengadilan, namun ketika berperkara
di MK sebaiknya dibebaskan dari kewajiban untuk membayar ongkos perkara. Alasannya,
proses peradilan di MK pada intinya bukanlah untuk mengadili kepentingan pribadi orang per
orang, melainkan menyangkut kepentingan umum atau kepentingan lembaga negara yang
bersifat publik. Karena itu berurusan dengan MK tidak perlu dibebani dengan biaya sama
sekali. Selain itu, tiadanya keharusan biaya perkara alias gratis berperkara di MK, untuk
menjaga kehormatan dan kewibawaan MK dari kemungkinan persoalan yang akan timbul yang
berhubungan dengan uang dari pihak lain. Sebaiknya, seluruh kebutuhan MK dibebankan saja
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Prinsip-prinsip sebagaimana tersebut diatas, sebagian sudah terakomodir dan dijamin
dalam UUMK. Misalnya, prinsip akuntabilitas dalam hal laporan MK yang wajib disampaikan
setiap tahun (Pasal 12 – 13). Jaminan bagi transparansi dalam seleksi hakim MK (Pasal 19),
penjadwalan sidang (Pasal 34), sidang dan pembacaan putusan (Pasal 28 ayat 5). Sedangkan
sebagian lainnya, ditegaskan dalam UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Diantaranya, prinsip larangan menolak perkara (Pasal 16), jaminan bagi prinsip pelaksanaan
prinsip independensi dan imparsialitas yang mengharus kan hakim mengundurkan diri apabila
terdapat kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara (Pasal 29). Untuk mengatur
secara lebih komprehensif, sebaiknya prinsip-prinsip yang diatur dalam UU No.4/2004
dimasukkan pula kedalam revisi perubahan UUMK.
BAB III
PENGEMBANGAN LEMBAGA
MAHKAMAH KONSTITUSI
Perkembangan atau perubahan dalam sebuah lembaga adalah suatu keniscayaan.
Perkembangan sebuah lembaga, terkadang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan
dimana lembaga
tersebut berada. Perkembangan dalam sebuah lembaga, memperlihatkan
adanya respon terhadap permasalahan dan tantangan yang dihadapinya, termasuk sebagai
jawaban terhadap tuntutan yang muncul dari publik/lingkungan. Perkembangan lembaga
merupakan bagian dari sebuah proses penyesuaian ke arah yang lebih baik. Sejauh mana
kemudian melihat sebuah lembaga dapat mengembangkan diri, bergantung dari kebutuhan
serta kemampuan lembaga tersebut tanpa menghilangkan prinsip atau kesepakatan dasar yang
telah dibuat. Dan perkembangan tersebut, sedapat mungkin kemudian diakomodir atau diatur
sehingga memperoleh legitimasi dan dapat dijalankan dengan baik.
Lazimnya lembaga pengadilan, terdapat sejumlah perangkat penting kelembagaan yang
dibentuk agar pengadilan dapat berjalan dengan baik dalam mengadili dan memutus perkara.
Bagi Mahkamah Konstitusi (MK), perangkat penting dari organisasi/kelembagaannya, seperti
soal kedudukan lembaga, kekuasaan/kewenangan, dan jumlah hakim, telah ditentukan dalam
UUD. UUMK kemudian mengaturnya lebih lanjut, dan menambahkan komponen penting
lainnya terutama menyangkut soal sekretariat dan panitera, serta penerapan prinsip
akuntabilitas dan transparansi. Namun demikian, UUMK belum mengatur secara rinci dan
lengkap perangkat organisasi lainnya, misalnya soal sekretaris dan asisten hakim. Oleh karena
itu, pengembangan organisasi MK dalam revisi UUMK ini dimaksudkan untuk mendorong agar
komponen organisasi yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas dan kewenangan MK, dapat
diakomodir. Selain itu, dipandang perlu untuk menegaskan, mengubah, melakukan sinkronisasi
dan merinci ketentuan-ketentuan yang sudah ada berkaitan dengan kelembagaan MK.
A. Kedudukan dan Susunan
A.1. Kedudukan
Mengkaji kedudukan MK sebagai lembaga peradilan konstitusi, tidak boleh dipisahkan
dari dinamika kehidupan sosial masyarakat di suatu negara. Sebab, kehadiran MK bukan hanya
berfungsi untuk menyelesaikan dan melaksanakan kewenangan dan kewajibannya yang
ditegaskan dalam UUD, melainkan juga diharapkan dapat menjadi lembaga yang mampu
mengubah pola pikir dan pola perilaku warga masyarakat dan penyelenggara negara dalam
kehidupan bernegara ke arah yang positif. Untuk mengetahui posisi atau kedudukan MK dalam
sistem ketatanegaraan suatu negara, setidaknya mesti melihat secara keseluruhan sistem negara
yang bersangkutan. Misalnya, dalam struktur negara Jerman, Mahkamah Konstitusi Federal
merupakan lembaga konstitusi tertinggi (supreme constitutional body) sama seperti halnya
Pemerintah Federal. Mahkamah Konstitusi di Jerman merupakan badan peradilan murni (true
court) dan bukan lembaga politis. Hal ini diperkuat berdasarkan beberapa alasan, pertama, MK
Federal tidak bertindak ex officio namun hanya diadakan atas permintaan lembaga yang
berwenang. Kedua, dasar utama dari pengambilan keputusan oleh Mahkamah Konstitusi
Federal Jerman adalah konstitusi atau Basic Law negara Jerman. Meski Mahkamah Konstitusi
Federal Jerman diantaranmya memiliki kewenangan untuk mengontrol kekuasaan kehakiman
namun itu tidak beratio Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan dalam tingkat banding
atau kasasi dari kasus-kasus hukum perdata, hukum administrasi maupun hukum pidana biasa.
Mahkamah Konstitusi hanya memutuskan masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum
konstitusi.15
Desain konstitusi Indonesia (UUD 1945) menempatkan eksistensi MK sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Jadi MK merupakan salah satu lembaga
peradilan yang merdeka yang kedudukannya setara dengan Mahkamah Agung. Meski
ditempatkan sama sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman, tetapi MK diberi tugas dan
kewenangan yang berbeda dengan MA. MK diposisikan sebagai peradilan tingkat pertama dan
terakhir, yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD,
memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dan
wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.16
Melihat kewenangan dan kewajiban tersebut, tugas pokok dari MK adalah untuk
menegakkan konstitusi dalam kerangka negara hukum. MK adalah pengawal sekaligus penafsir
konstitusi (the guardian and interpreter of constitution). Ini merupakan ide dasar dari
pembentukan MK, yang setidaknya dapat terlihat dari kewenangan untuk menguji
15
Ms. Justice Ulrike Mullerm (Hakim Mahkamah Konstitusi Federal Jerman), “The Federal Constitutional Court of Germany-
Competencies and Impact of the Courts Jurisdiction”, Makalah disampaikan di LIPI, 20-22 Maret 2002.
16
Lihat Pasal 24C ayat 1 dan 2 UUD 1945.
konstitusionalitas
undang-undang dan
memutus
sengketa kewenangan konstitusional
antarlembaga. Umumnya MK dibanyak negara, diberikan pula kewenangan seperti,
constitutional complaint, constitutional question, interpreter of constitution. Menurut Harjono,
dapat dikatakan kewenangan uji konstitusionalitas tersebut merupakan kewenangan yang
utama, sedangkan kewenangan lainnya bersifat asesoris atau pelengkap.17
Oleh karena itu, MK disebut juga sebagai Peradilan Konstitusi (constitutional judiciary)
yaitu organ yang memiliki otoritas untuk menyelesaikan persengketaan hukum (legal dispute)
berdasarkan konstitusi.18 Peradilan ini dapat memfasilitasi setiap individu atau kelompok
masyarakat untuk mempertanyakan kelayakan suatu kebijakan negara (eksekutif dan legeslatif),
yang biasanya dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Secara konseptual
peradilan konstitusi ini mengandung dua fungsi strategis yaitu; (i) untuk melindungi hak-hak
fundamental masyarakat, dan (ii) untuk mengawasi aktifitas legeslatif pemerintahan. Apabila
hal itu dilaksanakan secara berkesinambungan maka akan mencapai titik kulminasi yang
disebut sebagai keadilan konstitusional (constitutional justice).19
Dengan demikian, MK merupakan satu-satunya lembaga yang paling berwenang untuk
menjaga dan menegakkan konstitusi. MK adalah mekanisme formal kenegaraan yang dibentuk
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan konstitusi. MK dibentuk dan
diadakan lewat konstitusi, dan dasar bertindak atau mengambil keputusan adalah konstitusi.
Namun demikian bukan berarti MK lebih tinggi dari lembaga-lembaga negara lainnya,
termasuk lebih tinggi dari MA. Pendekatan dan pandangan yang bersifat struktural-hierarkhis
seperti itu, selayaknya ditinggalkan dalam membaca sistem ketatanegaraan pascaamandemen
UUD 1945. Jadi, posisi atau kedudukan MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia perlu
dilihat berdasarkan fungsi dan kewenangannya memperkuat cheks and balances di dalam
kerangka negara hukum.
Masalahnya, Bab II Pasal 2 UUMK tentang Susunan dan Kedudukan, hanya menegaskan
bahwa, ”MK merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan Kekuasaan Kehakiman
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”.
17
Harjono, “Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” dalam Firmansyah
Arifin, dkk (peny), Hukum dan Kuasa Konstitusi, Jakarta:KRHN, 2004, hlm. 25-27.
18
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi; Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme
Penyelesaian Sengketa Normatif, Jakarta-Pradnya Paramita, 2006, hal. 75.
19
Ibid., hal. 82-85.
Ketentuan ini sedikit berbeda dengan pengaturan yang ada dalam UU No.4/2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman (UU KK). Pasal 1 UU KK menentukan bahwa, “Kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia.” Selanjutnya dinyatakan dalam Pasal 3 ayat 2 UU KK bahwa, MK
sebagai peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila. Dari ketentuan pasal-pasal tersebut, nampak ada ketidaksinkronan antara
ketentuan dalam UU MK dengan UU KK. Lebih dari itu, tidak jelas apa yang dimaksud dengan
‘penegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila’, dan bagaimana hal itu harus
dilaksanakan oleh MK?
Rekomendasi :
Kedudukan MK sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang menegakkan konstitusi, perlu ditegaskan dalam
UUMK. Hal ini penting untuk mengukuhkan peranan MK dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Selain
itu, dapat mencegah institusi lain melakukan tafsir dan bertindak sendiri dengan mengatasnamakan atau
mengabaikan konstitusi. Konsekwensi dari penegasan itu, akan mendorong secara maksimal peranan MK yang
memungkinkan adanya ’kreasi lain’ dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan MK.
A.2. Susunan
Pasal 4 ayat (2) UU MK mengatur, ”Susunan Mahkamah Kontitusi terdiri atas seorang
Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang
anggota hakim konstitusi”. Dari ketentuan ini dikehendaki, unsur utama pelaksanaan
organisasi MK adalah Ketua, Wakil Ketua dan anggota hakim konstitusi. Susunan seperti ini
nampaknya menggambarkan bangunan struktur organisasi MK yang disesuaikan dengan
kebutuhan kelembagaan MK. Ramping dan sederhana, namun belum lengkap menyebutkan
unsur-unsur lain yang dipandang penting bagi kelembagaan MK. Susunan seperti itu juga
belum menggambarkan adanya pemisahan antara susunan yang organisasi MK secara
keseluruhan dengan susunan dalam hal untuk mengadili dan memutus perkara.20 Artinya, baik
untuk urusan atau tugas yang bersifat kelembagaan secara umum dengan tugas judicial akan
20
Bandingkan dengan pengaturan susunan bagi Mahkamah Agung. Pasal 4 ayat (1) UU No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
mengatur, “Susunan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, dan seorang sekretaris”. Selanjutnya
Pasal 5 ayat 1 menentukan, Pimpinan Mahkamah Agung terdiri atas seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan beberapa orang ketua
muda.
bertumpu dan menjadi tanggungjawab Ketua MK/hakim konstitusi. Susunan seperti itu juga
belum memberikan penegasan tentang tugas dan kewenangan yang disertai mekanisme
pertanggungjawabannya secara jelas. Hal ini terlihat misalnya dari pengaturan mengenai Ketua
MK dan Wakil Ketua MK.
Dalam hal Ketua MK, UUMK mengatur posisi Ketua MK sebagai Ketua yang
merepresentasikan Lembaga/Organisasi MK, sekaligus sebagai pimpinan majelis dalam
persidangan. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1) UUMK yang menyatakan, “MK
memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9
(sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang
hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.” Namun UUMK ini tidak
menegaskan apa yang menjadi tugas dan kewenangan masing-masing dari Ketua dan Wakil
Ketua MK. Dengan kata lain, tidak diatur pembagian tugas yang jelas antara Ketua MK dan
Wakil Ketua MK. Hal ini juga tidak dibuat atau ditentukan lebih lanjut dalam Peraturan MK
(PMK). Pasal 28 ayat (2) UUMK hanya menentukan tugas Wakil Ketua sebagai pengganti dalam
sidang pleno MK jika Ketua berhalangan. Jadi tidak lebih jabatan Wakil Ketua seperti ‘ban
serep’, yang hanya siap mengganti Ketua jika berhalangan hadir dalam sidang pleno MK.
Bagaimana seadainya Ketua MK wafat atau mengundurkan diri, apakah secara otomatis
posisinya bisa langsung digantikan oleh Wakil Ketua?
Rekomendasi:
Perlu diatur susunan organisasi yang menunjukkan adanya pemisahan perangkat dan urusan kelembagaan secara
umum, dengan perangkat pelaksana judicial secara khusus. Pemisahan ini penting untuk memberikan kejelasan
apa tugas dan kewenangan masing-masing, serta alur pertanggungjawaban. Termasuk dalam hal ini menyangkut
soal pembagian tugas antara Ketua dan Wakil Ketua. Rincian tugas dan kewenangan ini perlu dijabarkan sebagai
konsekwensi dari jabatan yang telah disebutkan dalam undang-undang.
A.3. Perihal Masa Jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK.
Konstitusi Pasal 24C ayat (4) UUD 1945 telah menegaskan, Ketua dan Wakil Ketua MK
dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. Dan Pasal 4 ayat (3) UUMK menambahkan ketentuan
bahwa, “Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan
selama 3 (tiga) tahun”. Tidak begitu jelas apa maksud atau tujuan dari pembatasan masa
jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK ini. Apakah untuk mencegah kemungkinan munculnya
intervensi atau dominasi dari lembaga lain, mengingat hakim konstitusi berasal dari DPR,
Presiden dan MA. Jika yang menjadi Ketua dan Wakil Ketua adalah hakim konstitusi yang
berasal dari Presiden, maka bisa jadi MK tidak independent, karena cenderung berpihak kepada
Presiden. Masa jabatan 3 tahun itu juga tidak mendapat ketegasan, sampai berapa kali seorang
hakim konstitusi boleh menjadi Ketua/Wakil Ketua MK.
Akan tetapi, pengaturan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua selama 3 tahun itu, tidak
begitu efektif. Hal ini jika dikaitkan dengan ketentuan soal masa jabatan bagi hakim MK. Pasal
22 UUMK menentukan masa jabatan hakim konstitusi adalah 5 (lima) tahun, dan dapat dipilih
kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Ketua dan Wakil Ketua adalah juga
hakim konstitusi, yang tentunya terikat dengan masa jabatan 5 tahun itu. Ini bisa menjadi
problem, dan mengganggu kinerja MK. Karena bisa jadi hakim konstitusi yang sedang menjadi
Ketua/Wakil Ketua MK, tidak akan terpilih/diajukan kembali pada saat masa jabatan 5 tahun
sudah harus selesai. Atau kalaupun terpilih kembali, apakah jabatan Ketua/Wakil Ketua
otomatis terhenti dan harus dilakukan pemilihan kembali?
Rekomendasi:
Aturan mengenai masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua tidak perlu ada. Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua
mengikuti atau sama dengan masa jabatan hakim konstitusi. Misalnya, masa jabatan hakim konstitusi 9 tahun,
maka jabatan Ketua dan Wakil Ketua ditentukan 9 tahun juga (lihat pembahasan masa jabatan hakim)
B. Memperjelas Kewenangan
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 telah menentukan bahwa MK berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Kemudian dalam ayat (2)-nya dinyatakan bahwa, MK wajib memberikan
putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut UUD. Dugaan pelanggaran yang dimaksud dalam ayat dua (2) ini
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7B ayat (1) merupakan pelanggaran hukum berupa,
penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela. Dan pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Secara umum dapat dikatakan bahwa, kewenangan MK adalah mengadili perkara-perkara
yang berkaitan dengan soal konstitusi. UUMK semestinya bisa memperjelas, mengelaborasi dan
mengatur lebih lanjut wewenang MK yang telah diberikan konstitusi. Sehingga dalam
pelaksanaannya tidak menimbulkan keraguan, ketidakpastian dan persoalan yang justru malah
menjadi penghambat. Namun hal demikian tidak dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
Pasal 10 UUMK memberi pengaturan yang bunyinya kurang lebih sama dengan ketentuan
konstitusi, dan hanya menambahkan ketentuan (satu ayat) berkenaan dengan maksud dari
dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sebaliknya,
UUMK malah memberikan pembatasan, seperti ketentuan Pasal 50 UUMK yang melarang MK
untuk menguji undang-undang yang lahir sebelum perubahan (amandemen) UUD 1945.
Dalam pelaksanaannya, wewenang MK terutama terhadap tiga (3) yang telah dilakukan
yaitu, kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang, memutus sengketa kewenangan
antarlembaga negara, dan perselisihan hasil pemilihan umum, telah mengalami perkembangan
atau perubahan yang menuntut pengaturan lebih lanjut. Pengaturan ini diperlukan agar dapat
memperjelas dan memberi penegasan terhadap kewenangan yang telah dilakukan. Harapannya
kedepan, peranan MK dalam melaksanakan kewenangan tersebut menjadi lebih optimal. Untuk
itu pembahasan mengenai kewenangan tersebut akan coba diurai satu persatu.
1. Menguji Undang-Undang terhadap UUD (constitusional review)
Pada dasarnya wewenang untuk menguji undang-undang terhadap konstitusi (UUD)
sebagai bagian dari penerapan prinsip pemerintahan yang terbatas. Pembatasan ini terutama
ditujukan terhadap organ kekuasaan pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden).
Berdasarkan penelitian sejarah dan analisa hukum, watak produk hukum sangat ditentukan
oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya, kelompok dominan (penguasa) dapat
membentuk undang-undang atau peraturan perundang-undangan menurut visi dan sikap
politiknya sendiri yang belum tentu sesuai dengan jiwa konstitusi yang berlaku.21 Pelaksanaan
dari kewenangan ini dilakukan agar konsistensi tindakan bernegara seperti yang telah
disepakati dalam konstitusi dapat dipertahankan. Dengan demikian, potensi ketidaksesuaian
(diskrepansi) antara preferensi atau kepentingan rakyat dengan yang mewakilinya dapat
diatasi.
Selain sebagai penerapan pemerintahan yang terbatas, kewenangan menguji ini disebabkan
oleh adanya kecenderungan yang mengharuskan persoalan diatur melalui serangkaian
21
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta-LP3ES & UII Press, 1998, hlml. 359.
peraturan perundang-undangan. Kondisi demikian berpotensi menimbulkan ketidakselarasan
baik secara vertikal maupun horizontal antarsesama norma hukum yang lebih rendah, atau
antara norma hukum yang lebih rendah terhadap norma hukum yang lebih tinggi. Dalam
sebuah doktrin hukum yang bersifat hierarkhi struktural, yang juga digunakan dalam sistem
hukum di Indonesia (UU No. 10/2004), bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang diatasnya.
Untuk hal itu, baik UUD 1945 maupun UUMK memberikan pengaturan yang sedemikian
rupa, sehingga cenderung membatasi upaya pencapaian perlindungan dan keadilan
konstitusional secara utuh. UUD 1945 menentukan dengan cara membagi kewenangan menguji
undang-undang terhadap UUD oleh MK. Sedangkan peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang terhadap undang-undang dilakukan oleh Mahkamah
Agung (MA).22
Selanjutnya bagaimana pelaksanaan terhadap wewenang menguji undang-undang ini, Pasal 50
UUMK memberikan pengaturan yang membatasi bahwa, Undang-undang yang dapat
dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya, undang-undang yang
lahir dan dibuat sebelum amandemen UUD 1945 tidak dapat dilakukan pengujian oleh MK.
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (3), pengujian dapat dimohonkan terhadap; (i)
pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan UUD 1945 (uji formil), dan/atau (ii)
materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan
dengan UUD 1945 (uji materiil).
Terhadap ketentuan UUD 1945 yang telah membagi kewenangan menguji peraturan
perundang-undangan antara MK dan MA, memang berpotensi menimbulkan masalah.
Bagaimana jika peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang itu bertentangan
dengan konstitusi, siapa yang akan menguji? Hal itu sangat mungkin terjadi, dan jika tidak ada
lembaga yang berwenang mengujinya maka pelaksanaan penegakan konstitusi menjadi terbatas
dan partial. Namun demikian hal ini merupakan masalah system kekuasaan kehakiman dalam
UUD 1945, dan bukan merupakan bagian materi atau masalah dari UUMK.
Adapun mengenai ketentuan Pasal 50 UUMK, hal ini jelas membatasi hak atas keadilan
22
Pengujian produk hukum oleh Peradilan Konstitusi (MK) biasanya diselenggarakan dengan 3 cara, yaitu (i) pengujian abstrak,
sebelum produk hukum disahkan, (ii) pengujian konkret, dilakukan setelah produk hukum disahkan, (iii) pengaduan konstitusional.
Masing-masing memiliki prosedur acara persidangan sendiri, manfaat dan implikasi hukum yang berbeda satu dengan yang
lainnya. Untuk hal ini lihat, Ahmad Syahrizal, dalam Peradilan Konstitusi., opcit., hal. 88.
konstitusional bagi masyarakat. Pasal ini secara gradual sudah diamputasi dan dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi oleh putusan MK, setelah sebelumnya hanya
dikesampingkan. Pada saat pembatalan Pasal 50 tersebut, MK beralasan diantaranya bahwa,
kewenangan MK yang telah diatur secara jelas dan limitatif oleh UUD 1945 tidak dapat
dikurangi oleh undang-undang. Sebab, MK adalah organ undang-undang dasar, bukan organ
dari undang-undang. Disamping itu, keberadaan Pasal 50 UUMK dipandang tidak hanya
mereduksi kewenangan MK, tetapi dikhawatirkan akan menyebabkan ketidakpastian hukum
yang pasti menimbulkan ketidakadilan karena dalam sebuah sistem hukum akan terdapat tolok
ukur ganda.23 Pembatalan Pasal 50 melalui putusan MK sangatlah tepat, dan tidak dapat
dikatakan bahwa MK telah melampaui kewenangannya, karena ada kepentingan yang lebih luas
yang harus dikedepankan oleh MK.
Dalam melaksanakan kewenangan menguji ini, tidak jarang MK melakukan penafsiran
terhadap ketentuan undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. Uji
konstitusionalitas undang-undang adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas suatu
undang-undang, baik dari segi formil maupaun materil. Artinya, MK memberi tafsir atas
undang-undang apakah sudah sesuai dengan UUD atau justru bertentangan dengan UUD. MK
menentukan apakan perintah UUD sudah termaktub dalam undang-undang, sekaligus
menentukan apakah proses pembentukannya telah sesuai dengan perintah UUD atau belum.
MK menjadi pengaman (the guardian) konstitusi agar tidak dilanggar oleh undang-undang.
Permasalahan yang kemudian muncul ke permukaan, adalah bahwa MK ternyata tidak
dapat menghindarkan diri untuk tidak menafsirkan undang-undang terhadap undang-undang.
Meskipun MK dianggap melakukan penafsiran dengan metode teristematis, dengan tetap
menggunakan UUD sebagai pijakan utama tafsir, akan tetapi jika dilihat dari pertimbangan
hukum yang dipilih, terang pada perkara tertentu MK membenturkan undang-undang satu
dengan undang-undang lain. Kasus ini terjadi pada judicial review UU No. 45 Tahun 1999 jo
UU No, 5 Tahun 2000 yang dianggap bertentangan dengan UU No. 21 Tahun 2001, dengan
argumen asas lex posterior derogat legi priori dan lex specialis derogat legi generalis. Kasus
semacam ini berulang kembali pada perkara judicial review UU No. 25 Tahun 2008 tentang
Penanaman Modal. Meski pijakan utama penafsiran adalah Pasal 33 UUD 45, namun pada
dasarnya MK menganggap UU No. 25 Tahun 2008 bertentangan dengan UU Pokok Agraria No.
23
Alasan tersebut merupakan pendapat dari mayoritas hakim. 3 hakim lainnya yaitu, Laica Marzuki, Achmad Roestandi dan HAS
Natabaya mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Lihat putusan perkara Nomor: 066/PUU-II/2004., hal. 53-55.
5 Tahun 1960. Di sini tidak berlaku asas lex posterior derogat legi priori dan lex specialis
derogat legi generalis. Walaupun kedua putusan tersebut mendapat apresiasi positif dari
masyarakat, sebagai pijakan hukum, hal-hal yang demikian ke depan harus dihindari, karena
bisa memunculkan persepsi bahwa MK telah keluar dari kewenangannya.
Wewenang menafsirkan itu memang melekat, dan dapat dikatakan secara langsung sudah
menjadi bagian atau hak yang harus dilakukan oleh para hakim ketika mengadili perkara.
Namun sekiranya hal ini perlu ditegaskan dalam ketentuan UUMK. Disamping itu, dengan
adanya kompleksitas persoalan hukum dan konstitusi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
tidak jarang MK kemudian dimintai pertimbangannya dari berbagai pihak. Akan lebih baik
pula, jika mengenai hal ini dapat ditegaskan dalam UUMK. Seperti halnya bagi MA yang dapat
memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan
lembaga pemerintahan apabila diminta (Pasal 27 UU No.4/2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman).
Rekomendasi;
1.
Pasal 50 UUMK dicabut atau dihapus dari ketentuan UUMK
2.
Memperjelas/menegaskan hak dan kewenangan yang secara langsung dan implicit sudah dilakukan dan
seharusnya dilakukan oleh MK, yaitu;
-
Hak/wewenang menafsirkan UUD
-
Memberikan pertimbangan, keterangan dan nasihat masalah konstitusi kepada siapapun jika diminta
(constitutional question)
2. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN)
Kewenangan MK dalam hal memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang
kewenangannya diatur dalam UUD, merupakan kewenangan utama. Wewenang ini
dimaksudkan agar persoalan yang bisa menimbulkan sengketa antarlembaga negara dapat
diselesaikan melalui mekanisme hukum, yaitu jalur peradilan MK. Setidaknya hal ini belajar
dari masa lalu ketika timbul persoalan atau sengketa antarlembaga negara tidak begitu jelas
proses penyelesaiannya. Kalaupun ada, penyelesaian lebih banyak dilakukan melalui jalur atau
proses politik. Kewenangan ini dapat pula dipandang sebagai langkah antisipasi kedepan, yang
diperkirakan akan banyak timbul masalah sengketa antarlembaga negara seiring dengan makin
rumit dan kompleksnya urusan atau persoalan kenegaraan.
Masalahnya adalah apa yang dimaksudkan dengan sengketa kewenangan lembaga negara?
Dan yang selalu menjadi pertanyaan adalah siapa yang bisa disebut atau dikualifikasi sebagai
lembaga negara. Istilah atau terminologi lembaga negara ini merupakan istilah yang belum
begitu jelas dan multitafsir, terutama pascaperubahan UUD 1945. Namun istilah itu sudah
ditempatkan menjadi sebuah norma dalam konstitusi (Pasal 24C ayat 1 dan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945) maupun UUMK, yang terkait soal pengaturan subyek pemohon dalam
pengujian undang-undang (Pasal 51 ayat 1 huruf d UU No.24/2003). Hal ini berbeda jika
merujuk pada pengaturan sebelumnya dalam UUDS 1950 dan Ketetapan MPR No. III tahun
1978 yang menyebutkan dengan jelas siapa saja yang disebut sebagai organ/lembaga negara.
Hal ini bisa menjadi persoalan ketika akan menentukan legal standing, siapa yang bisa
mengajukan permohonan jika ada sengketa ke MK. Perihal keduanya tidak mendapat
penjelasan lebih lanjut dalam UUMK.
Pengertian sengketa kewenangan antar lembaga negara itu sendiri, menurut Jimly
Asshiddiqie ialah, “perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim antara
lembaga negara yang satu dengan lembaga negara lainnya, mengenai kewenangan yang
dimiliki oleh masing-masing lembaga negara tersebut.”24 Sedangkan yang menjadi objek
sengketa ialah kewenangan konstitusional dari masing-masing lembaga negara, bilamana
terjadi sengketa penafsiran dalam pelaksanaan kewenangan konstitusonal tersebut, antara
lembaga negara satu dengan lainnya, sehingga terjadi tumpang tindih.25 Dalam konteks ini,
menurut Fajrul Falakh, yang penting berkaitan dengan kewenangan MK ini adalah kualifikasi
sengketa macam apa dari sengketa lembaga negara yang menjadi kompetensi MK. Didalam
UUD disebutkan wewenang konstitusional, jadi kuncinya disitu.26
Sedangkan mengenai apa dan siapa lembaga negara itu, berdasarkan hasil penelitian KRHN
bersama Sekretariat Jendral MKRI, dapat disimpulkan bahwa lembaga negara yang diatur
dengan jelas dalam UUD 1945 ada 18 yaitu; MPR, DPR, DPD, Presiden, Kementrian Negara,
MA, BPK, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, DPRD Propinsi,
DPRD Kabupaten/Kota, komisi pemilihan umum, Komisi Yudisial, MK, bank sentral, TNI,
Kepolisian, dan Dewan Pertimbangan Presiden. Namun dari 18 lembaga negara tersebut yang
berpotensi terjadinya sengketa dan dapat menjadi pihak di MK ada 16 lembaga negara yaitu;
MPR, DPR, DPD, Presiden, Kementrian Negara, MA, BPK, Pemerintah Daerah Propinsi,
24
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Konstitusi Press, 2006, hal. 4.
25
Ibid., hal. 13.
26
Lihat dalam transkip “Expert Meeting Revisi UU Mahkamah Konstitusi”, diselenggarakan oleh KRHN-DRSP di Hotel
Millenium, Jakarta, 27-28 Agustus 2007.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota, komisi
pemilihan umum, Komisi Yudisial, MK, TNI, Kepolisian, dan Dewan Pertimbangan Presiden.27
Menyangkut persoalan lembaga negara, beberapa hakim konstitusi memiliki posisi dan
pendapat yang berbeda. Menurut Jimly Asshiddiqie, setidaknya ada 28 lembaga negara yang
terdapat di dalam UUD, baik yang disebutkan secara eksplisit maupun implisit, yaitu: 1)
Presiden; 2) Wakil Presiden; 3) Dewan pertimbangan presiden; 4) Kementrian Negara; 5) Duta;
6) Konsul; 7) Pemerintah Daerah Propinsi; 8) Gubernur; 9) DPRD Propinsi; 10) Pemerintah
Daerah Kabupaten; 11) Bupati; 12) DPRD Kabupaten; 13) Pemerintah daerah Kota; 14)
Walikota; 15) DPRD Kota; 16) Majelis Permusyawaratan Rakyat; 17) Dewan Perwakilan Rakyat;
18) Dewan Perwakilan daerah; 19) Komisi pemilihan umum; 20) Bank sentra; 21) Badan
Pemeriksa Keuangan; 22) Mahkamah Agung: 23) Mahkamah Konstitusi; 24) Komisi Yudisial;
25) Tentara Nasional Indonesia; 26) Kepolisian Negara RI; 27) Satuan pemerintah daerah yang
bersifat khusus/istimewa; 28) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Di samping itu terdapat
badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman. Dari 28 organ atau
subyek tersebut, yang keberadaan dan kewenangannya ditentukan dengan tegas dalam UUD
1945 hanya 23 organ atau 24 subyek jabatan. Empat organ lainnya yaitu, bank sentral, duta,
konsul dan badan-badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, tidak ditentukan
dengan tegas kewenangannya dalam UUD 1945.28
Lain halnya dengan Jimly, HAS Natabaya menyimpulkan bahwa lembaga/organ negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 adalah; MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK,
BPK, Komisi Yudisial (KY), komisi pemilihan umum, Pemerintahan Daerah dan bank sentral.
Kecuali bank sentral, juga MA dan MK, apabila terjadi sengkata kewenangan antarlembaga
negara tersebut, maka dapat disampaikan gugatannya kepada MK.29 Sedangkan menurut
Harjono melalui pendekatan objectum litis, memasukkan Partai Politik sebagai lembaga negara.
Karena ketentuan UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusional kepada partai politik
untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6A ayat (2) UUD 1945), serta hak partai
politik yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua untuk mengajukan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang akan dipilih oleh MPR (Pasal 8 ayat (3) UUD 1945).
27
28
29
Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara & Sengketa Kewenangan AntarLembaga Negara, KRHN-MKRI, 2005, hal..
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan..., Op.cit., hal. 53-54.
HAS Natabaya, Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan MK, 2008, hal. 215.
Menurutnya, karena yang menjadi objectum litis adalah kewenangan pencalonan Presiden dan
Wakil Presiden, maka dalam kasus demikian partai politik dengan sendirinya dikualifikasi
sebagai lembaga negara menurut UUD 1945. Dengan contoh tersebut, jelas yang dimaksud oleh
Pasal 24C UUD 1945 adalah ”sengketa kewenangan” dan bukan ”sengketa lembaga negara”.30
Dari berbagai pendapat diatas, dapat menunjukkan penafsiran yang beragam tentang apa
yang dimaksud dengan lembaga negara ataupun sengketa kewenangan lembaga negara.
Berbagai pendapat atau penafsiran tersebut tentunya membutuhkan penjelasan dan penegasan
dalam UUMK. Dalam perkembangannya, MK nampaknya telah menentukan pendirian
mengenai persoalan ini. Dalam putusan perkara SKLN yang diajukan oleh Drs. HM. Saleh
Manaf dan Drs. Solihin Sari, dengan termohon Presiden, Mendagri dan DPRD Kabupaten
Bekasi, telah ditegaskan bahwa;
“….rumusan “sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar”, mempunyai maksud bahwa hanya kewenangan yang diberikan oleh undang-undang
dasar saja yang menjadi objectum litis dari sengketa dan Mahkamah mempunyai wewenang untuk
memutus sengketa yang demikian. Ketentuan yang menjadi dasar kewenangan Mahkamah tersebut
sekaligus membatasi kewenangan Mahkamah, yang artinya apabila ada sengketa kewenangan yang
tidak mempunyai objectum litis “kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, maka
Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus. Mahkamah
berpendapat bahwa hal demikian itulah yang dimaksud oleh UUD 1945. Sengketa kewenangan yang
kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang tidaklah menjadi kewenangan Mahkamah;”31
Berdasarkan putusan tersebut, MK telah memberikan pengertian apa yang dimaksud
dengan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar. Dari putusan ini nampaknya kemudian mendasari lahirnya Peraturan
Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa
Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.32 Dalam PMK tersebut dijelaskan sebagai
berikut;
a. Lembaga Negara adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945
(pasal 1 angka 5).
b. Kewenangan konstitusional lembaga negara adalah kewenangan yang dapat berupa
wewenang/hak dan tugas/kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945 (pasal 1
angka 6).
30
Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hal. 461-
462.
31
Putusan Nomor 004/SKLN-IV/2006, hal. 88
32
Putusan dibacakan dalam Sidang terbuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 2008, sedangkan PMK tentang SKLN baru ditetapkan
pada 18 Juli 2008.
c. Sengketa adalah perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan
kewenangan antara dua atau lebih lembaga negara (pasal 1 angka 7).
Namun demikian, penegasan dan penjelasan mengenai sengketa kewenangan lembaga
negara, termasuk istilah lembaga negara itu sendiri, sudah merupakan materi dari undangundang. Tidak tepat jika hal tersebut hanya diatur dalam bentuk PMK, apalagi mengingat
bahwa UUMK tidak menjelaskan pengertian dari SKLN. Oleh karena itu pengertian yang telah
ditegaskan dalam putusan maupun PMK, sebaiknya ditempatkan menjadi materi undangundang MK.
Rekomendasi :
Pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan sengketa kewenangan lembaga negara, serta penjelasan mengenai
lembaga negara dan kewenangan konstitusional sebagaiman diatur dalam PMK No. 08/PMK/2006, sebaiknya
ditempatkan menjadi materi UUMK.
3. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Sengketa atau perselisihan hasil pemilu dapat dikatakan banyak macamnya. Namun, tidak
semua sengketa itu diselesaikan melalui MK. Selain MK, ada KPU, Lembaga Pengawas Pemilu,
Pengadilan umum yang juga menjadi bagian dari lembaga yang bertugas menyelesaikan
sengketa pemilihan umum. Adapun sengketa yang penyelesaiannya berada di tangan MK adalah
sengketa hasil akhir pemilu yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum secara Nasional.
Pengertian perselisihan pemilu seperti itu, tidak mendapatkan penjelasan di dalam UUMK.
Sebelumnya, perselisihan hasil pemilu hanya dimaknai atau dikhususkan bagi peserta
pemilu untuk anggota DPR, DPD, DPRD serta Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden. Hal
ini tergambar dalam Pasal 74 dan 75 UUMK yang menjelaskan kurang lebih bahwa yang
dimaksud dengan sengketa hasil pemilu adalah sengketa tentang kesalahan hasil
penghitungan suara yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk anggota
DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta Partai Politik. Ketentuan ini juga diikuti oleh
Peraturan MK Nomor : 04/Pmk/2004 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum, dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 05/Pmk/2004 Tentang
Prosedur Pengajuan Keberatan Atas Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil
Presiden Tahun 2004. Sedangkan pemilu bagi kepala daerah (Pilkada) Gubernur maupun
Bupati/Walikota, tidak termasuk obyek sengketa hasil yang ditangani MK. Penyelesaian
sengketa hasil pemilu pilkada ditangani oleh MA sebagaimana ditentukan lewat UU
Pemerintahan Daerah (UU No. 32/2004).
Hal itu dipengaruhi oleh pandangan bahwa pilkada dianggap termasuk dalam rezim
pengaturan Pemerintahan Daerah, bukan termasuk rezim pengaturan pemilu dalam konstitusi.
Pandangan tersebut kemudian seperti mendapat penegasan oleh MK dalam putusan pengujian
UU Pemda, bahwa;
“….Mahkamah berpendapat bahwa secara konstitusional, pembuat undang-undang dapat saja
memastikan bahwa Pilkada langsung itu merupakan perluasan pengertian Pemilu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga karena itu, perselisihan mengenai hasilnya
menjadi bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945. Namun pembentuk undang-undang juga dapat menentukan bahwa Pilkada langsung
itu bukan Pemilu dalam arti formal yang disebut dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga
perselisihan hasilnya ditentukan sebagai tambahan kewenangan Mahkamah Agung…” 33
Dalam perkembangannya pandangan tersebut telah dikoreksi. Dalam hal ini, politik legislasi
telah menempatkan pilkada merupakan bagian dari rezim pemilu. Setidaknya perspektif
demikian tercermin dalam pengaturan UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum. Disebutkan dalam Pasal 1 angka 4 dan angka 5 yang telah menyatuatapkan Pilkada
menjadi bagian dari Pemilu sesusai UUD 1945. Pergeseran pandangan dan perubahan arah
politik legislasi seperti itu, kemudian berpengaruh pula terhadap prosedur penanganan
perselisihan hasil pemilu pilkada. Dalam revisi terhadap UU Pemerintahan Daerah ditentukan,
perselisihan hasil pilkada yang semula ditangani MA, kini telah berpindah ke MK.34
Perpindahan prosedur penyelesaian sengketa hasil ini, sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh
putusan MA dan/atau Pengadilan Tinggi yang mengundang kontroversi, seperti putusan dalam
penyelesaian sengketa pilkada Depok, Sulawesi Selatan dan Maluku Utara. Perkembangan
lainnya, sebagai akibat dari putusan MK (putusan Nomor 5/PUU-V/2007), dalam pemilu
pilkada juga telah mengakomodasi dimungkinkannya pasangan calon kepala daerah dari
perseorangan (independen), selain pasangan calon kepala daerah yang diusulkan partai politik
atau gabungan partai politik.35
33
Lihat putusan MK Nomor 072-073/PMK/PUU-II/2004, hal. 115
34
Lihat UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 236C telah
dirumuskan bahwa, Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh
Mahkmah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
35
Lihat Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (1) UU No. 12/2008 tentang Perubahan Kedua UU Pemerintahan Daerah.
Adanya perubahan-perubahan tersebut, tentunya memerlukan pemaknaan ulang terhadap
pengertian atau definisi terhadap perselisihan hasil pemilihan umum selama ini. Hal ini perlu
diperjelas dan ditegaskan karena akan mempengaruhi penentuan siapa saja subyek pemohon
perselisihan hasil pemilu di MK. Sayangnya, pengertian atau definisi tersebut tidak ditemukan
dalam UUMK. Pengertian perselisihan hasil pemilu malah terdapat dalam UU No. 10/2008
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Disebutkan dalam Pasal 258 ayat (1)
UU No. 10/2008 bahwa, “Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan
Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional”.
Sedangkan pada ayat (2) nya ditentukan, “Perselisihan penetapan perolehan suara hasil
Pemilu secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan
perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu”.
Meskipun terdapat sedikit gambaran dari pengertian atau definisi perselisihan hasil pemilu,
namun pengertian yang terkandung dalam UU No. 10/2008 itu masih bersifat sempit. Artinya,
konteks pengertian tersebut hanya dikhususkan bagi peserta pemilu yang disebutkan dalam UU
No. 10/2008 yaitu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pengertian tersebut dapat dikatakan belum
mencakup pengertian dari keseluruhan peserta pemilu sebagaimana tergambar dari perubahanperubahan tersebut diatas. Hal ini harus dijelaskan dalam UUMK agar tidak menimbulkan
ketidakpastian dan kekosongan hukum yang bisa menimbulkan ketidakadilan bagi para peserta
pemilu. Penjelasan yang dapat merangkum atau memberikan gambaran secara komprehensif
keseluruhan dari perubahan-perubahan diatas.
Rekomendasi;
Perlu ada penjelasan sendiri dalam UUMK tentang pengertian perselisihan hasil pemilihan umum. Pengertian
yang dimaksud pada intinya dapat mencakup pengertian yang akan menentukan subyek pemohon dalam
perselisihan hasil pemilu yang akan diajukan ke MK. Dalam hal ini perselisihan hasil pemilu adalah perselisihan
antara KPU dengan peserta pemilihan umum dalam pemilihan umum untuk anggota legeslatif (DPR, DPRD dan
DPD), eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden), dan juga untuk Kepala Daerah.
4. Pembubaran Partai Politik
Dalam sejarah politik Indonesia, pembubaran suatu partai politik seperti menjadi sesuatu
yang lumrah dan sering terjadi, khususnya ketika rezim pemerintah otoritarian berkuasa. Pada
masa Soekarno setidaknya tercatat dua parpol yang dibubarkan, yaitu MASYUMI dan PSI.
Kemudian pada masa Soeharto, selain pembubaran PKI, juga terdapat penggabungan partai-
parti politik (fusi) yang dilakukan oleh pemerintah. Persoalannya, pembubaran partai politik
pada masa yang lampau, lebih didasari oleh sikap suka atau tidak suka (like or dislike)
pemerintah terhadap suatu partai politik, dan menjadi upaya pengekangan kebebasan
berserikat. Bukan didasarkan atas alasan dan pertimbangan hukum yang terang dan jelas. Hal
demikian itu lebih mencerminkan watak otoritarian dari pemeritah berkuasa, yang tentunya
sangat bertentangan dengan asas dan sistem demokrasi yang hendak dibangun dan
dikembangkan.
Belajar dari pengalaman di masa lalu, sebagai upaya mencegah timbulnya watak otoritarian
dari pemerintah, pembubaran partai politik tidak lagi dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah,
tetapi melalui jalur pengadilan yaitu MK. Pasal 24C UUD 1945, salah satunya memberi wenang
kepada MK untuk memutus pembubaran partai politik. Ketentuan tersebut selanjutnya
dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c UUMK, sedangkan mengenai proses beracaranya
diatur dalam Pasal 68-73 UUMK. Dari serangkaian aturan tersebut menjadi terang, bahwa yang
memiliki kewenangan melakukan pembubaran partai politik adalah MK. Pemerintah masih
diposisikan sebagai satu-satunya pihak yang memiliki legal standing untuk menjadi pemohon
pembubaran partai.36 Kendati demikian bubarnya partai politik tidak hanya sebagai akibat
keluarnya putusan MK. Dalam UU Partai Politik No. 2 Tahun 2008, diatur bahwa bubarnya
partai politik bisa dikarenakan membubarkan diri atas keputusan sendiri; menggabungkan diri
dengan Partai Politik lain; atau dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Tetapi menurut Fajrul Falakh, peranan MK dalam pembubaran parpol adalah resultan.
Ibarat main bilyard, itu adalah hasil sodokan dari sebuah kompromi politik. Pemerintah yang
sebelumnya berkuasa terhadap partai-partai, termasuk dalam membubarkan partai, masih
punya peranan tapi hanya sebagai pemohon. Bubar tidaknya partai politik ditentukan oleh
pengadilan (MK), pemerintah boleh mengajukan alasan-alasannya.37 Lebih dari itu, wewenang
mengenai pembubaran partai politik ini mengesankan adanya kontradiksi nilai dalam
konstitusi. Disatu sisi, konstitusi memberikan ruang bagi kebebasan berorganisasi melalui
partai politik sebagai wujud dari pelaksanaan hak asasi dan demokrasi. Tetapi disisi lain,
konstitusi juga memberi pengaturan untuk dimungkinkannya partai politik dibubarkan, meski
melalu jalur pengadilan.
36
Lihat Pasal 68 ayat (1) UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
37
Transkip Expert Meeting….KRHN-DRSP, Op.cit
Oleh karena itu, UUMK mesti dapat memberikan batasan yang jelas berkenaan dengan
alasan-alasan pembubaran sebuah partai. Batasan melalui pengaturan yang terperinci dan
terukur sangat diperlukan, agar pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dengan alasan
yang dibuat-buat ketika mengajukan permohonan pembubaran partai politik ke MK. Jika tidak,
maka pelaksanaan wewenang ini tidak hanya mengancam mati hidupnya sebuah partai, tetapi
berpotensi membunuh demokrasi. Untuk pembahasan masalah ini lebih lanjut, lihat pada
bagian hukum acara khusus pembubaran partai politik.
5. Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Impeachment lebih merupakan suatu proses tuntutan atau dakwaan terhadap seorang
pejabat publik, karena dianggap melakukan pelanggaran hukum yang telah ditentukan undangundang dasar. Hasil akhir dari proses impeachment itu bisa membuat si pejabat publik yang
dituntut tersebut diberhentikan dari jabatannya. Setiap negara yang mengadopsi impeachment
ini, memiliki praktek yang berbeda-beda sesuai dengan pengaturannya dalam konstitusi, baik
menyangkut objeknya, alasan-alasan maupun mekanisme yang digunakan. Tetapi pada
umumnya mekanisme impeachment melibatkan lembaga yudikatif, MA atau MK. Dan bagi
negara yang memiliki keduanya, besar kemungkinannya MK lah yang dipilih terlibat dalam
proses impeachment. Keterlibatan MK dalam proses impeachmet di setiap negara juga berbedabeda. Sejumlah negara ada yang menempatkan peranan MK sebagai bagian akhir setelah
tahapan proses di lembaga negara lain, seperti di Austria, Jerman dan Korea Selatan.
Sedangkan beberapa negara lainnya, seperti di Lithuania dan Indonesia, menempatkan peranan
MK sebagai jembatan yang memberikan landasan pertimbangan hukum kepada proses
selanjutnya di lembaga politik (parlemen).38
Bagaimana mekanisme atau prosedur impeachment yang telah diatur dalam konstitusi
UUD 1945? Pasal 7A dan 7B UUD 1945 mengatur tahapan impeachment adalah sebagai berikut;
ï‚·
Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR dapat mengusulkan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR atas dugaan melakukan melakukan
pelanggaran hukum berupa penghianatan negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
38
Lihat Jimly Asshiddiqie dalam Pengantar Laporan Penelitian “Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi” Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, 2005
ï‚·
Usul pemberhentian dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu
mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat
DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan perbuatan melanggar
hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat.
ï‚·
Permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya
2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam Sidang Paripurna yang dihadiri sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
ï‚·
MK wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR tersebut sekurang-kurangnya
90 hari setelah permintaan itu diterima.
ï‚·
Apabila MK memutuskan terbukti pendapat DPR tersebut, DPR menyelenggarakan Sidang
Paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian kepada MPR.
ï‚·
MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR paling lambat 30 hari
setelah usul diterima.
ï‚·
Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam
rapat paripurna MPR.
ï‚·
Keputusan MPR harus diambil dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya
¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
yang hadir.
Dari tahapan proses impeachment yang diatur dalam konstitusi tersebut, pada intinya dapat
disimpulkan bahwa pertama, impeachment atau proses pemberhentian dalam masa
jabatannya hanya dikhususkan bagi Presiden dan Wakil Presiden.39 Kedua, alasan
pemberhentian tersebut apabila terbukti; [a] melakukan pelanggaran hukum berupa
penghianatan negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
[b] tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketiga, proses
impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden ini melibatkan 3 lembaga yaitu, DPR, MK dan
MPR. Keempat, kata akhir untuk memutus pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
39
Hal ini berbeda dengan ketentuan yang banyak diadopsi negara-negara lain, dimana mekanisme impeachment bisa dilakukan
terhadap pejabat-pejabat tinggi negara lainnya. Misalkan di Amerika Serikat, Presiden, Wakil Presiden dan Pejabat Tinggi Negara
merupakan objek yang dapat dikenakan tuntutan impeachment sehingga dapat diberhentikan. Demikian halnya dengan negaranegara yang memiliki MK, seperti Austria, Jerman, dan Korea Selatan, mekanisme impeachment bisa dilakukan terhadap pejabatpejabat tinggi negara lainnya, tidak hanya untuk Presiden dan/atau Wakil Presiden.
berada pada kewenangan MPR. Sedangkan peranan MK adalah melayani permintaan atau
usulan dari DPR untuk memberikan landasan hukum bagi proses pemberhentian tersebut.40
Ketentuan-ketentuan impeachment tersebut diatas, memunculkan pertanyaan-pertanyaan
yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut. Bagaimana caranya dan atas dasar apa DPR
sampai pada kesimpulan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat? Apabila usul pemberhentian ditolak, atau
batal dibicarakan karena quorum tidak tercapai, bolehkah diulang kembali pada sidang yang
sama? Apakah pendapat sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7A dan 7B,
merupakan pendapat
hukum
yang harus
terukur
bobot
pembuktiannya ketimbang
pertimbangan politik? Bagaimana pula proses pembuktiannya dalam sidang MK? Mungkinkah
Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diberhentikan sementara (non aktif) dari jabatan? Jika
harus ditentukan, lembaga mana yang harus diberi kewenangan untuk melakukannya? Jika
kemudian ternyata Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak bersalah, apakah ada proses untuk
rehabilitasi dan menjadi kewenangan siapa? Untuk menjamin terlaksananya prinsip kesamaan
di depan hukum (equality before the law), apakah diperlukan kehadiran Presiden dan /atau
Wakil Presiden di depan persidangan MK? Jika putusan MK dianggap tidak bersifat final,
apakah terbuka kemungkinan bagi MPR untuk membuat putusan lain. Dengan pengertian
bahwa MPR tidak memberhentikan Presiden, meskipun menerima putusan MK? Apabila
Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dari jabatannya, apakah masalah pelanggaran
hukumannya akan diproses tersendiri, mengingat konstitusi tidak menegaskan bahwa hukuman
yang dijatuhkan terbatas hanya berupa pemberhentian dari masa jabatannya.41
Beragam pertanyaan yang muncul diatas, berangkat dari kelemahan, kekurangan dan
inkonsistensi pengaturan yang ada dalam konstitusi. Untuk menjawabnya, tidak cukup
sepenuhnya ditempatkan dalam pengaturan UUMK. Apalagi jika kemungkinan diatur dalam
pengaturan internal masing-masing lembaga. Tetapi harus diatur pula dalam ketentuan
undang-undang yang mengatur tentang susunan dan kedudukan DPR/MPR. Bahkan jika perlu,
harus melalui proses amandemen kembali UUD 1945 untuk mempertegas sifat dan proses
40
Peranan MK dalam proses impeachment ini, setidaknya terkait pula dengan ketentuan Pasal 24C ayat (2) yang memisahkan
posisi MK sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dalam kewenangan lainnya.
41
Lihat dan bandingkan dengan pertanyaan dalam Laporan Laporan Penelitian “Mekanisme Impeachment ….Op.cit., hal. 11-12.
Juga Marsilam Simanjuntak, “Impeachmen Presiden; Catatan untuk RUU Mahkamah Konstitusi” dalam Firmansyah Arifin (peny),
“Hukum & Kuasa…, Op.cit., hal. 81-90.
impeachmen ini. Sedangkan dalam UUMK, telah diatur lebih lanjut mengenai soal alasan
pemberhentian dan hukum acara persidangan MK.
Menyangkut soal alasan pemberhentian, Pasal 10 ayat (3) UUMK menentukan bahwa; (a)
pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana
diatur dalam undang-undang;42 (b) korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau
penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang;43 (c) tindak pidana berat lainnya adalah
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; (d) perbuatan
tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden;
(e) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.44 Sedangkan menyangkut soal hukum acaranya diatur mengenai DPR sebagai satusatunya pihak pemohon, masalah pembuktian dan beban pembuktian, gugurnya permohonan
jika Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri, serta masalah putusan.
Rekomendasi
1.
Amandemen kembali UUD 1945 untuk memperjelas dan mempertegas proses impeachmen.
2. Mengatur lebih lanjut tata cara impeachmen didalam undang-undang terkait (UU Susduk DPR/MPR dan
UU tentang Kepresidenan).
C. Memahami Sifat Putusan Final
Putusan dalam suatu peradilan adalah merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara
berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk
mengakhiri sengketa/perkara yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan
hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim
itu merupakan tindakan negara dimana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik
42
43
Pasal 104-129 KUHP dan UU No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
44
Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan syarat-syarat Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah; (1) Syarat seorang warga negara
Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri; (2) tidak pernah
mengkhianati negara; (3) mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil
Presiden.
berdasarkan Undang-Undang Dasar maupun undang-undang.45 Putusan hakim seringkali
diibaratkan dengan putusan Tuhan (judicium dei). Oleh karena itu, putusan yang dijatuhkan
harus benar-benar melalui proses pemeriksaan peradilan yang jujur (fairtrial) dengan
pertimbangan yang didasarkan pada keadilan berdasarkan (moral justice), dan bukan sematamata berdasarkan keadilan undang-undang (legal justice).
Dalam mengadili perkara yang menjadi kewenangannya, konstitusi (Pasal 24C ayat 1 UUD
1945) menempatkan MK sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final. Ketentuan ini kemudian diikuti pengaturannya di Pasal 10 ayat (1) UUMK.
Putusan final berarti bahwa putusan MK secara langsung memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Putusan final ini langsung
berlaku mengikat, yang juga dapat diartikan bahwa pihak-pihak, semua orang, badan publik
atau lembaga negara akan mematuhi dan melaksanakan putusan yang telah dijatuhkan. Dengan
kata lain, sebuah putusan apabila tidak ada upaya hukum yang dapat digunakan, berarti
putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan
memperoleh kekuatan mengikat (resjudicata pro veritate habetur).
Mengapa konstitusi menempatkan MK sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final? Pertanyaan ini menjadi relevan jika dihubungkan dengan kritik yang
disampaikan sejumlah pihak yang mempertanyakan, sekaligus menghendaki adanya upaya
hukum atau banding ketika putusan MK dianggap bermasalah. Barangkali secara filosofis dapat
dimaknai bahwa, perkara-perkara yang menjadi kewenangan MK merupakan perkara
konstitusi. Artinya, konstitusi yang akan menjadi tolak ukur atau alat untuk menguji dan
menyelesaikan perkara yang diajukan ke MK. Oleh karena konstitusi yang menjadi rujukan, dan
konstitusi merupakan sumber dari segala sumber hukum tertinggi dalam kontreks negara
hukum Indonesia, maka tidak tepat jika MK diposisikan bukan sebagai pengadilan tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Disamping itu, karena perkara yang
menjadi kewenangan MK memiliki dimensi yang luas (sifat, kepentingan dan akibatnya) dari
segi social-politik, ekonomi maupun lingkup ketatanegaraan. Dengan melihat keluasan dimensi
perkara tersebut, apabila disediakan upaya hukum terhadap putusan MK, maka akan
mengakibatkan ketidakpastian dan ketidakadilan bukan hanya pada para pihak pemohon tetapi
Lihat dalam Maruara Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta,
2005, hal. 193.
45
juga banyak pihak. Ketidakpastian dan ketidakadilan itu tentu saja dapat berujung pada
“kekacauan” dan “instabilitas” di dalam masyarakat maupun pemerintahan.
Yang menjadi pertanyaan pula adalah, mengapa para pembentuk UUD dalam menempatkan
putusan final untuk mengadili perkara yang menjadi kewenangan MK, membuat ketentuan
yang terpisah antara dengan ayat (2). Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menentukan putusan final
itu diperuntukkan bagi perkara pengujian undang-undang, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara, memutus pembubaran partai politik dan perselisihan hasil pemilu. Sedangkan
pasal 24C ayat (2) nya menentukan, bahwa MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Adanya pengaturan
yang terpisah ini, terutama terhadap ketentuan pasal 24C ayat (2), tentu saja mengundang
penafsiran, apakah putusan MK dalam perkara impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden
itu tidak bersifat final dan mengikat (final dan binding), sehingga terbuka kemungkinan bagi
MPR untuk sependapat atau membuat putusan yang berbeda dengan putusan MK. Dengan kata
lain, MPR dapat menafsirkan ulang dan tidak mengikuti atau menindaklanjuti putusan MK?
Nampaknya filosofi itu yang digunakan oleh pembentuk UUD, yang menempatkan MK
bukan sebagai pemutus akhir dalam perkara pemberhentian (impeachmen) Presiden dan/atau
Wakil Presiden. MK hanya menjadi lembaga yang memberikan landasan hukum dalam proses
impeachmen Presiden dan/atau Wakil Presiden. Mekanisme di MPR lah yang akan menjadi
akhir dari proses impeachmen (lihat pembahasan mengenai impeachmen). Tidak begitu jelas
alasan pembentuk UUD, mengapa masih menempatkan MPR sebagai lembaga yang akan
memutuskan pemberhentian, meskipun sudah dibentuk MK. Barangkali karena masih
terpengaruh
pandangan
dan
pikiran
UUD
1945
sebelum
amandemen,
yang
menempatkan/mendudukkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dengan demikian,
kemungkinan putusan final MK itu memang diperuntukkan bagi perkara selain perkara
impeachmen.
Masalah lainnya dalam pengaturan ketentuan undang-undang adalah, apakah putusan final
itu harus juga diikuti dengan kata ‘mengikat’ (binding). Yang berarti undang-undang harus
menentukan secara eksplisit putusan final diikuti dengan kata mengikat (final and binding).
UUD 1945 maupun UUMK memang tidak mengatur atau menegaskan secara demikian. UUMK
hanya menyatakan bahwa, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”46. Dengan tidak adanya
pengaturan yang menyatakan secara eksplisit bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat,
apakah hal ini berarti putusan final MK tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat?
Untuk hal ini, meskipun sifat mengikat (binding) tersebut tidak disebutkan, akan tetap memiliki
makna yang sama dengan yang disebutkan secara eksplisit. Karena final akan selalu diikuti
dengan mengikat.47
D. Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan
Ketentuan soal Sekretariat Jendral (Sekjend) dan Kepaniteraan dalam UUMK
dirumuskan secara singkat, hanya diatur dengan 2 (dua) pasal. Terkait dengan hal ini ada
beberapa issue masalah yang perlu dicermati. Issue masalah tersebut menyangkut soal
keberadaan, susunan organisasi, tugas dan kewenangan serta syarat pengangkatan dan
pemberhentian Sekjend dan Panitera.
1. Keberadaan Sekjend dan Kepaniteraan
Pasal 7 UU MK menyebutkan bahwa, Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan
wewenangnya, Mahkamah
Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan. Kata ‘dibantu’ dalam rumusan pasal tersebut, seperti menunjukkan adanya
keharusan dari unsur atau lembaga lain yang dapat berperan membantu/menunjang
kelembagaan MK. Terbukti, jika melihat ketentuan pada Pasal 1 Keputusan Presiden No.
51/2004 tentang Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan, yang menyatakan Sekretariat
Jendral dan Kepaniteraan adalah aparatur Pemerintah.48 Tidak jelas alasan pembentuk
undang-undang merumuskan ketentuan seperti itu. Apakah karena hakim konstitusi yang
berasal dari 3 lembaga? Atau karena MK merupakan lemabaga baru sehingga memandang
perlu mendapat bantuan? Dan apakah bantuan tersebut bersifat fakultatif yang bisa ada
atau tidak ada sama sekali?
46
Pasal 47 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
47
Lihat dalam laporan penelitian Denny Indrayana, dkk, “Analisis Komparasi Sifat Mengikat Putusan Judicial Review Pada
Peradilan Tata Negara (Mahkamah Konstitusi) Dan Peradilan Tata Usaha Negara”, FH-UGM, Yogyakarta, Juni 2007, hal. 142143.
48
Pasal 1 Keputusan Presiden No. 51/2004, “Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya dalam
Keputusan Presiden ini disebut dengan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan adalah aparatur Pemerintah y.ang di dalam
menjalankan tugas dan fungsinya berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Ketua Mahkamah Konstitusi.”
Ketentuan seperti ini seakan kemudian merefleksikan pejabat di lingkungan Sekretariat
Jendral dan Kepaniteraan yang merupakan aparatur pemerintah (eksekutif) hanyalah
bersifat sementara, yang sewaktu-waktu bisa kembali ke lembaga asal jika sudah selesai
melaksanakan tugasnya di MK. Yang jelas rumusan pada Pasal 7 UUMK itu tidak tepat, dan
tidak benar pula Kepres yang menyebutkan Sekjend dan Kepaniteraan adalah aparatur
Pemerintah.49
Rumusan seperti itu jelas akan mereduksi independensi MK yang bisa
membuka ruang intervensi dari lembaga lain.
Rekomendasi :
Pasal 7 UUMK perlu dirumuskan secara lebih tegas, yang menyatakan bahwa “pada Mahkamah
Konstitusi dibentuk atau ditetapkan adanya Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan”. Dan
ditentukan pula bahwa Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan merupakan aparatur MK, bukan pegawai atau
aparat dari lembaga lain.
Sehubungan dengan fungsi dan tugasnya, dalam Pasal 7 UUMK menjelaskan bahwa,
”Sekretariat Jenderal menjalankan tugas teknis administratif Mahkamah Konstitusi,
sedangkan Kepaniteraan menjalankan tugas teknis administrasi justisial.” Rincian tugas
dan fungsi Sekjend dan Kepaniteraan tersebut, diatur lebih lanjut dalam Pasal 4 Keppres
No. 51/2004.
Tabel 2: Rincian Tugas dan Fungsi Sekjen & Kepaniteraan MKRI
Sekretariat Jendral
Koordinasi pelaksanaan teknis administratif di
lingkungan
Sekretariat
Jenderal
dan
Kepaniteraan;
Penyusunan rencana dan program dukungan
teknis administrative
Pembinaan dan pelaksanaan administrasi
kepegawaian,
keuangan,
ketatausahaan,
perlengkapan, dan kerumah- tanggaan;
Pelaksanaan kerja sama, hubungan masyarakat,
dan hubungan antar lembaga;
Pelaksanaan dukungan fasilitas kegiatan
persidangan
Kepaniteraan
Koordinasi pelaksanaan teknis administratif
justisial
Pembinaan dan pelaksanaan administrasi
perkara;
Pembinaan pelayanan teknis kegiatan pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar 1945
Pelaksanaan
pelayanan
teknis
kegiatan
pengambilan putusan
Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh
Ketua Mahkamah Konstitusi sesuai dengan
bidang tugasnya.
Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Ketua
Mahkamah Konstitusi sesuai dengan bidang
tugasnya.
49
Bandingkan hal ini dengan Panitera di MA. Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2005 tentang Kepaniteraan di Mahkamah Agung,
Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa Panitera adalah aparatur tata usaha negara yang dalam menjalankan tugas dan fungsinya
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Ketua MA.
Penempatan fungsi/tugas dari Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan dalam penjelasan
UUMK sangat tidak tepat. Penjelasan tersebut sudah mengatur soal norma yang semestinya
diletakkan di dalam batang tubuh undang-undang. Sedangkan rincian pelaksanaan fungsi
dan tugas sebagaimana ditentukan lewat Keppres, nampaknya masih memerlukan
penjabaran lebih lanjut. Penjabaran yang dapat menunjukkan adanya kewenangan dalam
pelaksanaan fungsinya masing-masing. Disamping itu, perlu ada pengkajian kembali
terhadap fungsi dan tugas tersebut apakah sudah cukup memadai atau tidak.
Rekomendasi :
ï‚·
Penjelasan Pasal 7 UUMK perlu dipindahkan ke dalam batang tubuh undang-undang.
ï‚·
Perlu dirumuskan kewenangan pokok lain yang diperlukan bagi Sekjend dan kepaniteraan, yang
setidaknya hal ini diatur dan ditentukan melalui Peraturan Presiden.
ï‚·
Perlu penjabaran lebih lanjut pelaksanaan fungsi dan tugas Sekjend dan Kepaniteraan sebagaimana
diatur dalam Kepres. Dan seiring dengan perkembangan, perlu mengkaji kembali apakah fungsi dan
tugas tersebut sudah cukup memadai atau tidak.
2. Susunan Organisasi Sekjend dan Kepaniteraan
Pasal 8 UUMK merekomendasikan agar, “Ketentuan mengenai susunan organisasi,
fungsi, tugas, dan wewenang Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi”.
Selanjutnya Keppres No.51 Tahun 2004 tentang Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MK
mengatur, Kesekretariatan memiliki tugas dan fungsi administratif umum sedangkan
kepaniteraan
mempunyai
fungsi
administratif
justisial.
Perangkat
kesekretariatan
membidani semua kegiatan teknis administratif kerumahtanggaan. Kesekretariatan adalah
eksekutif dalam jalannya pemerintahan di tubuh MK. Sedangkan kepaniteraan melayani
teknis administratif justisial dalam artian semua hal teknis yang berkaitan dengan jalannya
tahapan proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi.
Dapat dikatakan, struktur kelembagaan di MK saat ini terbagi menjadi dua bagian
utama, yaitu Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan. Adanya Sekjend dan Kepaniteraan pada
MK dapat dikatakan sudah tepat, karena keduanya dibutuhkan untuk menjalankan
tugas/fungsi yang berbeda. Meskipun ada juga pemikiran bahwa dua fungsi/tugas dapat
disatukan dengan alasan
kelembagaan MK yang tidak perlu terlalu besar. Sekretariat
Jendral dipimpin oleh seorang Sekretaris Jendral, dan Kepaniteraan dipimpin oleh seorang
Panitera. Keduanya berkedudukan sejajar, berada dibawah dan bertanggungjawab langsung
kepada Ketua MK. Meskipun bertanggungjawab kepada Ketua MK, pengangkatan dan
pemberhentian Sekjend dan Panitera dilakukan oleh Presiden atas usul Ketua MK.50
Struktur Organisasi MKRI
Struktur seperti itu menyebabkan adanya dua lembaga yang sejajar dibawah Ketua MK,
namun terpisah. Hakekat dari pemisahan ini, dimaksudkan agar terjadi pemisahan
perlakuan terhadap persoalan administrasi umum dan penanganan perkara. Meskipun yang
memiliki porsi kewenangan administratif secara umum berada ditangan Sekretariat
Jenderal MK, bahkan pengangkatan pejabat fungsional di lingkungan kepaniteraan pun
dilakukan oleh Sekretaris Jenderal MK. Susunan organisasi sekretariat jendral ditentukan
terdiri atas 5 biro, dan dimungkinkan dalam lingkungan sekretariat jendral dibentuk Pusat
untuk penelitian dan pengkajian.51 Sedangkan Kepaniteraan terdiri atas sejumlah jabatan
fungsional Panitera. Adapun status pegawai dilingkungan Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan adalah pegawai negeri sipil PNS.52
Susunan organisasi sebagaimana di atas, memperlihatkan belum adanya perimbangan
antara Sekjend dan Kepaniteraan. Kepres memberikan porsi pengaturan yang lebih jelas
50
Ibid., Pasal 11 ayat (1)
51
Ibid., Pasal 5 & 8.
52
Sampai akhir Juli 2007, pegawai Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MK terdiri dari, yang berstatus PNS sebanyak 130 orang,
CPNS 5 orang, tenaga honorer 5 orang, tenaga ahli 10 orang, administrator 3 orang, tenaga perbantuan non instansi 11 orang, dokter
non instansi 2 orang, pengemudi 17 orang, dan tenaga perbantuan Polri sebanyak 19 orang. Lihat, “Empat Tahun Mengemban
Amanat Konstitusi”, MKRI, 2007, hal. 60.
dan definitif susunan organisasi untuk Sekretariat Jendral. Sehingga terlihat susunan
organisasi Sekjend lebih ’gemuk’, bahkan peranannya juga dominan. Seperti, ada satuan
tugas
yang
kinerjanya
berkaitan
dengan
Kepaniteraan,
tetapi
secara
struktural
bertanggungjawab kepada Setjend. Pengangkatan dan pemberhentiannya pun dilakukan
oleh Sekjend. Namun tidak demikian halnya dengan Kepaniteraan. Padahal, Kepaniteraan
merupakan unsur yang dapat dikatakan lebih vital peranannya bagi sebuah lembaga
peradilan. UUMK maupun Keppres No. 51/2004, belum memberikan pengaturan yang
memadai bagi kedudukan dan peranan Kepaniteraan/Penitera.
Rekomendasi :
Susunan organisasi Kepaniteraan mesti diatur lebih rinci dan jelas, terutama dengan menyebutkan secara
tegas satuan tugas lain yang diperlukan. Dalam susunan Kepaniteraan perlu diakomodir dan disebutkan
unsur lain seperti Panitera Muda atau Panitera Pengganti. Hal ini akan lebih memberikan kesan kuat
performance MK sebagai institusi peradilan. Setidaknya memperlihatkan pula adanya keseimbangan dalam
struktur kelembagaan MK antara Sekjend dan Kepaniteraan. Agar memperoleh legitimasi yang kuat,
sebaiknya susunan organisasi untuk Sekjend dan Kepaniteraan diatur dalam undang-undang.
3. Syarat Pengangkatan dan Pemberhentian
Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan memiliki
peranan yang penting bagi kelembagaan MK. Untuk menjalankan tugas dan fungsi dari
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan itu, tentunya memerlukan personil yang memiliki
kualitas memadai, profesional dan berintegritas. Persyaratan ini diperlukan agar fungsi dan
tugas Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan dapat berjalan dengan baik dan lancar, sehingga
menunjang kinerja MK secara keseluruhan. Sayangnya, UUMK tidak mengatur mengenai
syarat-syarat yang diperlukan seseorang untuk dianggap layak dan tepat sebagai Sekjend
dan Panitera. Hal itu juga tidak diatur dalam Keppres No. 51/2004. Semestinya soal
persyaratan ini diatur dalam UUMK, mengingat organ kelembagaan dan kewenangannya
disebutkan dalam UU, maka mengenai pejabat pelaksanannya juga harus diatur didalam
UUMK. Demikian halnya dengan alasan pemberhentian bagi Sekjend dan Panitera, tidak
ada pengaturannya dalam UUMK maupun Keppres.53
Pentingnya kualifikasi persyaratan itu diatur adalah, supaya jelas ukuran yang
digunakan untuk menilai dan menentukan layak tidaknya seseorang memegang jabatan
53
Bandingkan hal ini dengan UU No. 5/2004 tentang Mahkamah Agung. Dalam UU MA diatur secara komprehensif syarat-syarat
seseorang untuk menjadi Panitera, Panitera Muda dan Pengganti serta Sekretaris MA. Termasuk didalamnya juga diatur alasanalasan pemberhentian Panitera dan Sekretaris MA.
Sekjend dan Panitera. Prosesnya pun harus dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Dengan demikian dapat dicegah kemungkinan masuknya seseorang yang tidak cakap, atau
karena ada unsur KKN. Selain itu,
agar lebih terjamin pelaksanaan fungsi dan tugas
Sekjend dan Kepaniteraan secara profesional dan bertanggungjawab. Setidaknya syaratsyarat penting bagi calon Sekjend dan Panitera yang perlu diatur dalam UUMK adalah, (i)
syarat pendidikan minimal sarjana; (ii) pengalaman; (iii) tidak tercela, termasuk dalam hal
ini tidak pernah melakukan tindak pidana dan terkena hukuman disiplin; (iv) melaporkan
harta kekayaannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan pentingnya alasan-alasan pemberhentian dari jabatan itu diatur dalam
UUMK adalah, untuk memudahkan mekanisme yang harus diterapkan ketika Sekjend atau
Panitera tidak dapat lagi melakukan tugasnya, atau karena melakukan perbuatan yang
dilarang atau menyimpang. Selain itu, dimaksudkan pula untuk mencegah tindakan
sewenang-wenang yang mungkin timbul terhadap Sekjend atau Panitera. Sehingga lebih
menjamin proses pemberhentiannya dilakukan secara fair dan obyektif. Pengaturan ini
merupakan cermin dan penjabaran dari prinsip akuntabilitas yang senantiasa harus
dikedepankan oleh MK. Adapun alasan-alasan pemberhentian yang harus dirumuskan dan
diatur dalam UUMK, sebagaimana lazimnya diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan lainnya, terbagi menjadi 2 (dua) yaitu; alasan pemberhentian dengan hormat dan
pemberhentian tidak dengan hormat.
Rekomendasi:
Perlu diatur mengenai syarat pengangkatan dan alasan pemberhentian bagi Sekjend dan Panitera. Termasuk
dalam hal ini adalah mekanisme/proses yang digunakan secara transparan, obyektif dan akuntable.
E. Perihal Asisten Hakim (Tenaga Ahli)
Unsur lain yang tidak kalah pentingnya bagi MK adalah Asisten Hakim (legal assistant). Di
negara-negara lain, Asisten Hakim memiliki peranan penting dan strategis bagi kinerja MK.
Misalnya di MK Federal Jerman dan Republik Korea Selatan. Asisten hakim di MK Jerman
sering pula disebut Senat Ketiga, atau diibaratkan black box yang akan merekam seluruh proses
kegiatan sistem pengambilan putusan di MK. Keberadaannya diatur berdasarkan Article 13
Rules of Procedure of the Federal Constitutional Court. Melalui ketentuan tersebut, dikatakan
tugas asisten adalah untuk mendukung kinerja hakim konstitusi dalam melaksanakan tugas
keseharian. Artinya, asisten hakim memainkan peranan penting, dimulai dari tahap
pemeriksaan awal suatu perkara hingga tercapainya putusan berkekuatan hukum final dan
mengikat.
Peranan penting asisten hakim itu tergambar dari tugas-tugasnya seperti; menangani
perkara yang baru diregistrasi, mengumpulkan data, melalukan observasi atau evaluasi,
membuat analisa atau terhadap suatu perkara, atas nama hakim, membuat dan mengirimkan
laporan kepada para pihak yang berperkara untuk mendapatkan tanggapan, mempersiapkan
suatu penetapan yang terkait dengan diterima atau tidaknya perkara, dan merancang sebuah
keputusan.
Para asiten hakim itu mayoritas berasal atau berprofesi sebagai hakim, JPU, pegawai
administrasi yang pernah bekerja di pengadilan umum, serta dari akademisi. Rata-rata berusia
30 -40 tahun. Pengetahuan khusus soal tata negara terkadang tidak diharapkan. Setiap hakim
memiliki 3 asisten hakim, dan masing-masing hakim diberi keleluasaan untuk memilih dan
mengangkat para asistennya. Namun dibolehkan mengalokasikan asisten semata-mata hanya
atas dasar keinginan hakim itu sendiri. Besarnya peranan asisten hakim ini bisa dilihat juga dari
pendanaan yang dialokasikan untuk asisten ini berasal dari Anggaran Belanja Rep. Federal
Jerman, 5 juta DM atau setara dengan 2.4 juta dollar setahun.54
Sedangkan asisten hakim di MK Korea Selatan, disebut juga constitution research yang
keberadaannya diatur dalam article 19 Constitutional Court law. Constitution resesearch dan
asisten constitution research, merupakan anggota/pegawai tetap MK yang diangkat dan
diberhentikan oleh President MK. Tugas pokoknya adalah melakukan penyelidikan dan
penelitian yang berkaitan dengan pertimbangan dan keputusan suatu perkara. Mereka berasal
dari kalangan praktisi hukum; pegawai hukum (legal officers) di lingkungan lembaga-lembaga
pemerintah, National Assembly atau pengadilan dengan pengalaman minimal 3-5 tahun; serta
berasal dari kalangan akademisi.
Bagaimana dengan MK Indonesia? Meskipun tidak diatur dalam UUMK, demikian pula
dalam Keputusan Presiden maupun PMK, asisten hakim pernah hadir dan dipraktekkan di MK
Indonesia. Sebagaimana dijelaskan dalam Blue Print MK, ada 11 orang yang direkuit menjadi
asisten hakim (legal assistant) yang seluruhnya berasal dari kalangan perguruan tinggi. Tugas
54
Ahmad Syahrizal, op cit., hal. 222-227.
pokoknya adalah;55
a. Menyusun pendapat hukum (legal opinion) atas perkara yang masuk.
b. Mengumpulkan dan menganalisis konsep, teori dan dalil atau dogma hukum dan bidang
terkait lainnya untuk diterapkan terhadap perkara.
c. Mendampingi kerja Ketua MK, Wakil Ketua, atau hakim di dalam maupun ke luar
d. Mendampingi Ketua MK, Wakil Ketua MK atau hakim MK dalam rapat yang tidak bersifat
rahasia di dalam dan ke luar MK
e. Mewakili Ketua MK, Wakil Ketua MK atau hakim dalam memenuhi undangan dan
kerjasama dengan pihak luar.
f.
Memberikan pertimbangan strategi nasional terhadap MK.
Pada intinya tugas utama para asisten hakim ini adalah, untuk membantu hakim konstitusi
dalam penanganan perkara. Peranan asisten hakim ini diharapkan dapat memperlancar dan
mempermudah pelaksanaan tugas dan kewenangan hakim konstitusi dalam memutus perkara.
Apalagi jika mengingat hakim konstitusi yang berjumlah 9 orang, bisa jadi akan terbatas untuk
menangani perkara-perkara dalam jumlah yang banyak dan dengan issue/masalah yang
beragam. Yang perlu dipikirkan lagi adalah bagaimana menjaga konsistensi dan kesinambungan
terhadap keseluruhan substansi dalam suatu perkara. Karena besar kemungkinan terjadi,
putusan bisa berbeda meskipun dasar hukum yang menjadi alat ukurnya sama. Atau suatu
perkara yang sudah sekian lama diputus, suatu ketika akan muncul kembali, sedangkan hakim
yang memutus sudah berganti. Artinya, secara kelembagaan MK harus bisa menjaga dan
menjamin konsistensi putusan-putusan yang telah dikeluarkannya. Hal ini penting dilakukan
untuk mencegah ’kebingungan’ yang bisa berakibat terjadinya ketidakpastian hukum
dikemudian hari. Peranan ini setidaknya bisa diberikan kepada asisten hakim. Jadi, betapa
penting dan strategisnya peranan dari asisten hakim bagi MK.
Meskipun disadari akan pentingnya peranan dari asisten hakim, namun keberadaannya
belum dijamin secara jelas. Dalam prakteknya, asisten hakim/tenaga ahli MK direkuit dan
diangkat oleh Ketua MK berdasarkan sistem kontrak. Sistem kontrak ini tentu saja belum
memberikan jaminan yang jelas dan pasti atas keberadaan asisten hakim. Karena besar
kemungkinan keberadaan asisten hakim, amat bergantung dari keperluan dan penilaian
subyektif para hakim
55
Lihat Cetak Biru MKRI, Membangun MK Sebagai Institusi Peradilan Yang Modern Dan Terpercaya, MKRI, hal. 72-
73
Rekomendasi:
Keberadaan Asisten hakim ini perlu diakomodir dalam UUMK. Selain akan memberikan kejelasan dan kepastian,
pengaturan asisten hakim dalam UUMK ini akan menjadi landasan yang kuat bagi pelembagaan asisten hakim di
dalam kelembagaan MK. Adapun hal-hal yang perlu diatur mengenai asisten hakim ini adalah; (i) posisi dan
statusnya; (ii) pengangkatan dan pemberhentian; (iii) syarat-syarat, misalnya syarat umur, pengalaman dan
jenjang pendidikan yang menunjukkan kualifikasi profesional; (iv) serta masa jabatannya.
F. Independensi Anggaran/Keuangan
Independensi peradilan merupakan sebuah prinsip penting yang harus diakui dan dijamin
dalam sebuah konstitusi negara demokrasi. Namun demikian jaminan independensi, baik
secara personal hakim maupun institusional pengadilan, tidak hanya sebatas pengakuan formal
dalam konstitusi. Tetapi bagaimana prinsip independensi itu dapat dilihat dalam hal
penunjukkan dan pemberhentian hakim, jaminan masa jabatan, hak atas pengelolaan anggaran
(financial). Seberapa jauh karakteristik independensi peradilan itu telah diatur dan ditentukan
dalam konstitusi atau undang-undang, akan menjadi penanda seberapa besar perhatian negara
tersebut dalam menjamin dan menerapkan prinsip independensi peradilan.
Sebagaimana disebutkan, salah satu upaya untuk menjamin independensi peradilan adalah
dengan cara menjamin independensi anggaran bagi pengadilan. Pengadilan akan sulit
melaksanakan fungsi dan kewenangannya secara independen, apabila anggaran yang tersedia
tidak mencukupi atau besar kecilnya anggaran terlalu tergantung pada pihak lain (eksekutif
atau legeslatif). Bahkan bisa jadi, pihak eksekutif atau legeslatif akan menggunakan issue
anggaran ini untuk ‘menekan’ dan ‘mengintervensi’ lembaga peradilan jika tidak ada jaminan
independensi anggaran. Oleh karena itu, beberapa konvensi international menegaskan bahwa
adalah kewajiban negara untuk menyediakan anggaran yang memadai bagi terselenggaranya
pengadilan yang baik.56
Di sejumlah negara, issue atau masalah independensi anggaran bagi pengadilan ini menjadi
penting, sehingga merasa perlu untuk diatur dalam konstitusi. Seperti di Thailand dan
Philipina.57 Bahkan dalam konstitusi Philipina disebutkan bahwa, pengadilan mempunyai
56
Misalnya dalam Article 13 International BAR Association Code of Minimum Standarts of Judicial Independence, “Court Service
should be adequately financed by the relevant government”.
57
Dalam Konstitusi Thailand section 275 disebutkan, “The Office of the Courts of Justice shall have autonomy in personnel
administration, budget and other activities as provided by law”. Sedangkan konstitusi Philipina Article VIII Section 3
otonomi keuangan dan ditegaskan bahwa legeslatif tidak boleh menyetujui anggaran bagi
pengadilan lebih rendah dibandingkan dengan anggaran tahun sebelumnya. Hal yang sama
diatur pula dalam UU Constitutional Court Russia, yang menyebutkan adanya jaminan
independensi anggaran untuk menunjang pelaksanaan aktifitas Cons. Court secara efektif dalam
kerangka independensi pelaksanaan tugas konstitusionalnya secara penuh. Dan larangan untuk
budget yang akan dikeluarkan/digunakan tidak boleh berkurang jika dibandingkan budget
tahun sebelumnya.58
Konstitusi, Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 telah memberikan jaminan bahwa Kekuasaan Kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka. Selanjutnya untuk menjaminan independensi tersebut,
UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman telah memerintahkan bahwa untuk
urusan organisasi, administrasi berada dibawah kekuasaan dan kewenangan MA/MK, dan akan
diatur lebih lanjut dalam undang-undang masing-masing lembaga.59 Hal demikian ditegaskan
kembali dalam UUMK bahwa, MK bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia,
administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih (Pasal
12). Selain itu, sehubungan dengan masalah anggaran (financial) ditentukan bahwa
kedudukan protokoler dan hak keuangan
Ketua, Wakil Ketua, dan anggota hakim
konstitusi berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan bagi pejabat negara (pasal 6 ayat
1); dan kewajiban mengumumkan
laporan berkala kepada masyarakat
secara terbuka
mengenai: permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus; pengelolaan keuangan dan
tugas administrasi lainnya (pasal 13 ayat 1); serta soal sumber anggaran MK yaitu APBN (Pasal
9).
Mencermati ketentuan-ketentuan tersebut diatas, dapat memunculkan pertanyaanmenyebutkan, “ The Judiciary shall enjoy fiscal autonomy. Appropriations for the Judiciary may not be reduced by the legislature
below the amount appropriated for the previous year and, after approval, shall be automatically and regularly released.”
58
Section 7 Federal Constitutional Law of the Russian Constitutional Court, “The Constitutional Court Russian Federation is
independent in organizational, financial and material-technical respects from any other bodies. Financing of the Constitutional
Court of the Russian Federation shall be effected at the expense of the federal budges and shall ensure the possibility of
independent implementation of constitutional proceedings to the full extent. The budget of expenses of the Constitutional Court of
the Russian Federation may not be reduced as compared to the previous financial year.”
59
Pasal 13 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur;
(1) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilari yang berada di bawahnya berada di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung.
(2) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Konstitusi berada di bawah kekuasaan dan kewenangan Mahkamah
Konstitusi.
(3)
Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat .(1) untuk
masing-masing Iingkungan, peradilan diatur dalam undangundang sesuai dengan kekhususan Iingkungan peradilan
masing-masing
pertanyaan yang perlu dijelaskan dan ditegaskan lebih lanjut. Apakah ketentuan bahwa MK
bertanggung jawab untuk urusan keuangan dapat ditafsirkan memiliki makna, MK berhak dan
berwenang untuk menentukan dan mengelola keuangannya sendiri? Sebab, UUMK tidak
memberikan ketentuan yang menyatakan secara eksplisit bahwa MK berhak secara mandiri
menentukan dan mengelola keuangannya. Demikian halnya dengan soal protokoler dan hak
keuangan Ketua, Wakil Ketua dan para hakim konstitusi, mengapa harus diatribusikan kembali
lewat peraturan perundang-undangan (biasanya lewat Kepres atau Perpres), dan tidak
ditegaskan saja dalam UUMK? Tidakkah hal ini akan mereduksi independensi para hakim,
ketika hak-haknya ditentukan oleh eksekutif yang bisa jadi amat bergantung pada kepentingan
subyektif Presiden? Dapat dikatakan pengaturan masalah keuangan/financial dalam UUMK,
belum sepenuhnya mencerminkan independensi MK.
Oleh karena itu dirasakan perlunya penegasan kembali soal pengelolaan financial ini, dan
hak-hak para hakim yang harus diberi dan dijamin undang-undang. Penegasan ini tidak perlu
terpengaruh pada persoalan apakah dalam pelaksanaan urusan keuangan telah dianggap cukup
baik atau terpenuhi semua kebutuhan anggaran MK. Atau harus bergantung pada adanya
performa kinerja yang baik terlebih dahulu, sebelum hak dan pengelelolaan anggaran ini
diberikan. Prinsipnya, hal ini memang harus ditegaskan dalam undang-undang untuk lebih
menjamin prinsip dan pelaksanaan independensi MK, terutama dalam hal financial. Sehingga
siapapun (eksekutif dan legeslatif) nantinya tidak akan mudah untuk mempengaruhi
independensi MK dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan melalui pengaturan anggaran.
Disamping itu, jika dalam UUMK ada ketentuan yang mewajiban MK melaporkan tentang
pengelolaan keuangan, supaya ada prinsip perimbangan antara pelaksanaan kewajiban dengan
pemberian hak, mengapa tidak masalah independensi keuangan dan hak-hak para hakim
ditegaskan dalam UUMK.
Rekomendasi :
1.
Perlu penegasan yang menjamin independensi MK dalam urusan keuangan/financial.
2. Hak-hak keuangan, protokoler ataupun tunjangan lainnya bagi para hakim konstitusi, perlu diatur dalam
undang-undang.
G. Transparansi dan Akuntabilitas
Perihal mengenai transparansi dan akuntabilitas diatur dalam Pasal 12-14 UUMK.
Pengaturan dalam pasal-pasal tersebut masih bersifat umum, dan hanya menyangkut
transparansi dan akuntabilitas secara kelembagaan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang
bersih. Dalam hal ini, menyangkut soal kewajiban MK melaporkan secara terbuka tentang
perkara yang telah terdaftar, diperiksa dan diputus, serta penggunaan anggaran dan tugas
administrasi
lainnya.
Disamping
itu,
ditegaskan
pula
hak
dari
masyarakat
untuk
mengakses/mendapatkan putusan MK. Pengaturan mengenai hal ini dapat dikatakan sudah
cukup memadai.
Prakteknya, prinsip transparansi dan akuntabilitas tersebut dapat diselenggarakan dengan
baik oleh MK. Laporan yang berisikan pelaksanaan tugas dan kewenangan dalam menerima dan
memutus perkara, serta penggunaan anggaran dan tugas administrasi, rutin diterbitkan dalam
laporan tahunan. Demikian halnya dalam hal managemen dan administrasi perkara, systemnya
telah didukung dan dilakukan secara on line. Sehingga bagi masyarakat, tidak hanya bisa
mendapatkan putusan MK secara mudah, cepat dan gratis, masyarakat dapat pula mengetahui
setiap perkembangan perkara yang masuk ke MK. Hal ini memang sudah selayaknya dapat
dilakukan/diterapkan MK. Mengingat bahwa perkara-perkara yang ditangani oleh MK tidak
hanya menyangkut kepentingan orang per orang, akan tetapi mengenai sistem yang
menyangkut kepentingan semua orang/warga negara. Penerapan sistem managemen dan
administrasi perkara yang modern seperti itu, sangat sesuai dengan prinsip peradilan yang
cepat dan mudah.
Rekomendasi:
Agar lebih menjamin keberlangsungan pelaksanaan prinsip transparansi dan akuntabilitas sebagaimana telah
dipraktekkan selama ini, maka sistem manajemen dan administrasi perkara secara on line tersebut sebaiknya
dapat diakomodir dan ditegaskan dalam UUMK. Demikian pula hak dari masyarakat untuk bisa mengetahui
perkembangan perkara, tidak hanya berkenaan dengan soal putusan, dapat dirumuskan dan diatur dalam
UUMK.
BAB IV
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
HAKIM KONSTITUSI
Sebagaimana layaknya lembaga peradilan, personil utama dari Mahkamah Konstitusi Indonesia
adalah hakim yang disebut hakim konstitusi. Hakim konstitusi inilah yang nantinya
menjalankan tugas dan kewenangan MK, dengan cara memeriksa, mengadili dan memutus
perkara-perkara yang diajukan para pihak. Untuk menentukan hakim konstitusi ini, prosesnya
tidak dilakukan oleh satu lembaga, tetapi dilakukan oleh beberapa lembaga yang dapat
mengusulkan atau mengajukan orang yang dianggap tepat menjadi hakim MK. Masing-masing
lembaga yang ditunjuk, memiliki hak preogratif dalam memilih atau menyeleksi calon hakim
konstitusi, yang kemudian diangkat dan disahkan. Proses pengajuan hakim MK yang dilakukan
oleh beberapa lembaga, lazim dipraktekkan di hampir semua negara yang memiliki MK (lihat
tabel 2).
Mengapa hakim MK harus diusulkan atau berasal dari beberapa lembaga? Setidaknya hal ini
dapat dipahami pertama, pembagian kewenangan (sharing power) dalam pengajuan hakim
MK dimaksudkan untuk menjaga kepentingan masing-masing lembaga, sekaligus sebagai
penyeimbang (balancing power) kekuasaan/kepentingan lembaga lain. Kedua, model
pengajuan hakim oleh beberapa lembaga, dapat dilihat sebagai bagian dari keperluan untuk
membangun system cheks and
balaces bagi MK. Ketiga, melalui pengajuan hakim oleh
beberapa lembaga itu, legitimasi personal hakim diharapkan dapat berkorelasi secara positif
terhadap eksistensi dan peranan MK secara kelembagaan. Artinya, keberadaan hakim konstitusi
yang telah memperoleh dukungan maksimal itu, dapat menjadi jaminan bagi MK agar dapat
memberikan keadilan sesuai tugas dan kewenangan konstitusional yang telah diberikan.
Meskipun keberadaan hakim konstitusi melalui proses seleksi beberapa lembaga, akan tetapi
tetap harus dijamin bahwa hakim konstitusi independent dari lembaga-lembaga tersebut.
Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, para hakim diharapkan bisa bertindak netral
dan ’menjaga jarak’ dengan lembaga yang mengusulkan. Tindakan itu diperlukan agar hakim
dalam memeriksa perkara dan memberikan putusan, berlaku dan bersikap adil tanpa mudah
dipengaruhi oleh kepentingan lembaga-lembaga lain. Demikian pula sebaliknya, lembagalembaga yang memiliki kewenangan konstitusional mengajukan hakim konstitusi, sedapat
mungkin menahan diri untuk tidak mempengaruhi hakim dalam proses penanganan perkara.
Oleh konstitusi Pasal 24C ayat (3) UUD 1945, hakim konstitusi pada MKRI ditentukan
berjumlah sembilan (9) orang hakim yang berasal masing-masing 3 orang dari MA, 3 orang dari
DPR, dan 3 orang dari Presiden. Jadi, selain menentukan soal jumlah hakim konstitusi 9 orang,
konstitusi telah memberikan kewenangan dan menunjuk 3 lembaga yang berhak untuk
mengajukan hakim konstitusi. Disamping itu, konstitusi juga telah menentukan syarat
keharusan hakim konstitusi. Bagaimana kemudian UUMK mengaturnya lebih lanjut? Apakah
masalah rekuitmen dan persyaratan hakim konstitusi telah diatur secara jelas, rinci dan
komprehensif di dalam UUMK? Ini penting diperhatikan agar dapat menjamin terlaksananya
prinsip independensi dan akuntabilitas para hakim konstitusi.
A. Mengukur Syarat Materiil
Mengenai masalah persyaratan ini, Pasal 24 ayat (5) UUD 1945 telah menentukan bahwa,
Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai
pejabat negara. Sedangkan dalam UUMK, perihal persyaratan ini kemudian dibedakan menjadi
syarat untuk hakim konstitusi dan syarat calon hakim konstitusi. Masalahnya adalah;
pertama, UUMK tidak menjelaskan lebih lanjut perihal syarat hakim konstitusi yang telah
ditentukan UUD. Misalnya, apa yang dimaksud bahwa hakim konstitusi harus negarawan yang
menguasai konstitusi dan ketatanegaraan? Bagaimana mengukur seorang hakim konstitusi
telah memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Ada kesan pengaturan yang
memisahkan syarat atau keharusan hakim konstitusi, dengan syarat seseorang yang dianggap
tepat untuk menjadi calon hakim konstitusi dalam UUMK, tidak berkorelasi satu sama lain.
Seolah-olah, syarat pencalonan hakim konstitusi adalah sesuatu yang berbeda dengan
keharusan ketika seseorang sudah menjabat sebagai hakim konstitusi.
kedua, Pasal 16 UUMK menentukan seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syaratsyarat; (a) warga negara Indonesia; (b) berpendidikan sarjana hukum; (c) berusia sekurangkurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat pengangkatan; (c) tidak pernah dijatuhi pidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; (d)
tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan (e) mempunyai
pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun. Syarat-syarat
tersebut belum cukup tepat dan representative untuk menjelaskan persyaratan keharusan
menjadi hakim konstitusi. Dengan kata lain, persyaratan calon hakim konstitusi itu kurang
mendekati kualifikasi persyaratan ideal hakim konstitusi sebagaimana diinginkan oleh UUD
1945.
ketiga, persyaratan hakim konstitusi yang diatur lebih lanjut pada Pasal 15 UUMK,
rumusannya kurang sesuai dan tidak konsisten dengan rumusan ketentuan Pasal 24C ayat (5)
UUD 1945. Pasal 15 UUMK hanya menyebutkan bahwa Hakim konstitusi harus memenuhi
syarat: memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; adil; dan negarawan yang
menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Sedangkan syarat tidak merangkap sebagai pejabat
negara, ditentukan terpisah dalam Pasal 17 UUMK.
Rekomendasi:
ï‚·
Syarat-syarat hakim konstitusi sebagaimana telah ditentukan UUD, perlu dijelaskan atau diatur lebih rinci.
Hal itu diperlukan untuk mengukur sejauh mana seseorang dapat dianggap layak, dan bisa menjalankan
tugasnya ketika sudah menjadi hakim konstitusi. Dengan kata lain, syarat-syarat yang ditentukan bagi calon
hakim konsitusi harus mengarah kepada kualifikasi persyaratan hakim konstitusi yang telah ditentukan
UUD.
ï‚·
Sebaiknya sistematika perumusan ketentuan pasal-pasal mengenai syarat hakim konstitusi, dapat
dirumuskan secara konsisten dan disesuaikan dengan bunyi rumusan UUD.
Selanjutnya adalah bagaimana menjelaskan sekaligus mengkualifikasi syarat keharusan
hakim konstitusi ke dalam UUMK. Karena syarat yang diharuskan konstitusi yaitu memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, syarat negarawan yang memahami konstitusi
dan ketatanegaraan, serta syarat tidak merangkap jabatan, merupakan syarat ideal yang masih
bersifat umum dan abstrak. Jadi, perlu dirumuskan kriteria-kriteria yang terukur yang bisa
menunjukkan seseorang mendekati atau berperilaku sesuai persyaratan tersebut.
1. Memiliki Integritas Dan Kepribadian Yang Tidak Tercela.
Integritas berasal dari kata "integrity", yang berarti "soundness of moral principle and
character honesty". Dengan kata lain, mereka yang memiliki integritas, lazimnya memiliki
hati nurani yang bersih, mempunyai prinsip moral yang tangguh, adil serta jujur, dan tidak
takut kepada siapapun, kecuali kepada Tuhan. Jadi dapat didefinisikan, integritas itu adalah
jujur dan berperilaku konsisten serta berpegang teguh pada prinsip kebenaran untuk
menjalankan apa yang dikatakan secara bertanggung jawab.
Integritas (integrity) merupakan hal yang esensial yang layak dilaksanakan oleh pejabat
lembaga peradilan. Merujuk pada pedoman perilaku hakim, integritas tinggi pada
hakekatnya bermakna mempunyai kepribadian utuh tidak tergoyahkan, yang terwujud pada
sikap setia dan tangguh, berpegang pada nilai- nilai atau norma- norma yang berlaku dalam
melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani
menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengendapankan tuntutan hati
nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan selalu berusaha melakukan tugas
dengan cara-cara terbaik untukmencapai tujuan terbaik.60
Sedangkan “Kepribadian” (personality) secara umum diartikan sebagai karakteristik
psikologis seseorang yang menentukan pola perilakunya. Secara spesifik kepribadian terdiri
dari sifat-sifat yang mengakibatkan perbedaan individu dalam perilaku. Sifat-sifat seseorang
itu mungkin sama-sama dimiliki dalam satu kelompok (keluarga, masyarakat), tetapi
polanya antara individu berbeda. Jadi, kepribadian sebagai “sesuatu” yang terdapat dalam
diri individu yang membimbing dan memberi arah kepada seluruh tingkah laku individu
yang bersangkutan. Dan kepribadian itu bukan merupakan sesuatu yang bersifat statis,
kepribadian itu dinamis dan senantiasa dapat berubah.
Dari penjelasan atas pengertian tersebut diatas, yang dimaksud integritas dan
kepribadian yang tidak tercela itu adalah seseorang harus bersikap jujur dan adil, serta
senantiasa memelihara karakter dan sifat-sifat pribadi yang baik dan positif yang setia
berpegang teguh pada nilai kebenaran dan norma-norma yang berlaku. Sikap dan karakter
yang positif itu setidaknya telah tercermin sebelum seseorang menjabat sebagai hakim
konstitusi. Jadi, apabila seseorang yang hendak mencalonkan/dicalonkan menjadi calon
hakim konstitusi harus dapat menunjukkan integritas dan kepribadian yang terpuji dan jauh
dari perbuatan/perilaku buruk. Demikian halnya ketika sudah menjadi hakim konstitusi,
integritas dan kepribadiannya itu dapat terus terlaksana dan terjaga secara konsisten,
terutama pada saat menjalankan tugas secara bertanggungjawab sebagai hakim konstitusi.
Rekomendasi:
Untuk dapat mengukur bahwa seorang calon atau hakim konstitusi memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, setidaknya dapat dilihat dan dinilai dari ada/tidaknya;
(1) catatan/laporan harta kekayaannya;
60
Lihat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor : KMA/104 A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim.
(2) melakukan tindak kejahatan/kriminal dan pidana penjara;
(3) melakukan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan;
(4) pelanggaran terhadap etika profesi dan etika akademis;
(5) pelanggaran norma kesusilaan;
(6) melakukan tindakan indisipliner.
Agar integritas dan kepribadian yang tidak tercela itu terjaga, merujuk pada ‘The
Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002’, maka bagi hakim konstitusi setidaknya
diatur ketentuan-ketentuan yang bersifat larangan seperti; (1) mengadili perkara yang
memiliki konflik kepentingan karena ada hubungan pribadi, keluarga dan pertemanan; (2)
mengadili berdasarkan prasangka; (3) menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi
ataupun keluarga. Hal-hal tersebut sebaiknya juga diatur dalam kode etik dan perilaku yang
berlaku khusus bagi hakim konstitusi.
2. Adil
Untuk memahami makna adil dan mengetahui bahwa seseorang itu memiliki sifat adil,
bukanlah suatu hal yang mudah. Barangkali hal itu dapat mudah terlihat ketika hakim
konstitusi sudah memutus perkara. Namun demikian, Adil pada hakekatnya bermakna
menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang
didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum.
Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan
perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap
orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan
yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku
adil dengan tidak membeda-bedakan orang.61
Rekomendasi :
Sikap atau perilaku Adil yang dapat diterapkan oleh hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya; (1) tidak
boleh memberikan kesan mengistimewakan salah satu pihak yang dapat mempengaruhi putusan; (2) tidak
boleh menunjukkan rasa suka atau tidak suka, membeda-bedakan berdasarkan suku, agama, ras, jenis
kelamin, status ekonomi, aliran politik; (3) dilarang mengeluarkan perkataan, bersikap atau melakukan
tindakan yang dapat mengesankan adanya keberpihakan; (4) memberikan kesempatan yang sama kepada
setiap orang untuk memperoleh keadilan; (5) dilarang berhubungan dan berkomunikasi dengan pihak yang
berperkara diluar pengadilan.
61
Lihat., Pedoman Perilaku Hakim
3. Negarawan Yang Memahami Konstitusi dan Ketatanegaraan.
Syarat negarawan nampaknya merupakan syarat yang khusus bagi hakim konstitusi,
yang tidak ditemukan pada persyaratan hakim di lingkungan peradilan umum maupun
pejabat di lembaga-lembaga negara lainnya. Mengapa demikian? Barangkali karena tugas
dan kewenangan hakim konstitusi yang harus menangani perkara berkaitan dengan
masalah-masalah
konstitusi
dan
kenegaraan.
Atau
karena
para
hakim
yang
berasal/diusulkan dari 3 lembaga, maka dituntut sikap dan tindakan negarawan yang selalu
mengedepankan pada kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain, hakim konstitusi harus
bisa berada diatas kepentingan semua lembaga, dan tidak berpihak pada kepentingan
lembaga yang mengusulkan. Masalahnya apa pengertian dari negarawan itu, dan bagaimana
mengukur seseorang itu negarawan yang memahami konstitusi dan ketatanegaraan?
Menurut pengertian umum selama ini, yang disebut sebagai negarawan itu adalah
seseorang yang menunjukkan kebijaksanaan, ketrampilan, dan visi-pandangan jauh
kedepan dalam mengurus soal-soal kenegaraan dan dalam menangani masalah-masalah
yang timbul yang menyangkut masalah umum dan masyarakat. Merujukan pada Kamus
Besar Bahasa Indonesia yang disusun Depdiknas dan diterbitkan Balai Pustaka (2005)
mengartikan negarawan sebagai ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara
(pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan
suatu pandangan ke depan atau mengelola negara dengan kebijaksanaan dan kewajiban.
Tafsir yang hampir sama ditemukan pada Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer karangan
Peter Salim dan Yenny Salim (1995). Negarawan adalah pakar yang menjalankan
pemerintahan atau negara; pakar di bidang kenegaraan. Bisa pula berarti seorang pemimpin
politik yang menciptakan kebijakan negara secara taat asas dengan suatu pandangan ke
depan.
Dari pengertian dan definisi tersebut, setidaknya dapat dikualifikasikan bahwa
seseorang bisa disebut negarawan pertama, pengalaman (ahli) dalam menangani dan
menyelesaikan masalah kenegaraan dan masalah-masalah umum kemasyarakatan. Kedua,
pengalaman tersebut dilakukan baik pada lembaga-lembaga formal negara maupun
lembaga/institusi masyarakat. Artinya, seorang negarawan itu tidak harus berasal dari
lembaga di lingkungan legeslatif, eksekutif dan peradilan, tetapi bisa juga berasal dari
lingkungan partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Ketiga, dalam menangani
masalah
kenegaraan
dan
kemasyarakatan
tersebut,
senantiasa
didasarkan
atas
kebijaksanaan dan pandangan serta kepentingan yang jauh kedepan. Jadi dalam bersikap
dan bertindak, tidak didasarkan atas kepentingan yang sempit, tetapi selalu melampaui
diatas kepentingan dan bias politik, ras, gender, dan golongan.
Namun tidak hanya sebatas negarawan, konstitusi menghendaki dan menekankan
negarawan tersebut harus memahami konstitusi dan ketatanegaraan. Penekanan ini dapat
dipahami karena masalah-masalah yang akan ditangani MK berkaitan dengan masalah
konstitusi dan ketatanegaraan. Kriteria atau parameter yang dapat digunakan untuk
mengukur syarat ini, setidaknya dapat dilihat dan ditentukan dari pengalaman seseorang
dalam menangani masalah kenegaraan, syarat umur, dan dari pengetahuan yang didasarkan
latarbelakang pendidikan/akademisnya.
Pasal 16 ayat (1) UUMK mengatur, syarat seseorang dapat diangkat menjadi hakim
konstitusi berumur sekurang-kurangnya 40 tahun, pendidikan sarjana hukum dan
pengalaman 10 tahun di bidang hukum.62 Syarat yang ditentukan UUMK ini, belum cukup
memadai dan kurang mencerminkan kualifikasi seseorang adalah negarawan yang
memahami konstitusi dan ketatanegaraan. Selain itu, syarat minimalis ini akan sangat
berpengaruh terhadap ‘kredibilitas dan kewibawaan’ MK ketika mengadili perkara atau
berhadapan dengan institusi negara lainnya.
Khusus mengenai syarat umur minimal 40 tahun, batas usia minimal ini bagi seseorang
dipandang masih terlalu muda dan minim pengalaman dalam menghadapi soal-soal
kenegaraan. Disamping itu, terkait dengan masa jabatan hakim konstitusi 5 tahun yang
dibatasi untuk 2 kali periode jabatan, diperkirakan usia maksimal setelah menjadi hakim
konstitusi adalah 50 tahun. Pada usia ini, bagi seseorang yang telah pensiun dari jabatan
hakim konstitusi, dipandang masih produktif dan besar kemungkinan masih memiliki
hasrat yang tinggi untuk menduduki posisi jabatan di lembaga lain. Bahayanya adalah, jika
hasrat atau keinginan tersebut muncul ketika masih menjadi hakim konstitusi, sangat
potensial berpengaruh terhadap perkara yang sedang diperiksa dan diadili. Akibatnya,
putusan bisa menjadi tidak obyektif dan independent. Syarat negarawan yang merupakan
syarat mulia dan terhormat yang harus dimiliki oleh hakim konstitusi, pada akhirnya akan
62
Bandingkan hal ini dengan syarat menjadi hakim agung. Untuk menjadi hakim agung ditentukan persyaratan sekurang-
kurangnya berusia 50 tahun, pengalaman 20 tahun untuk hakim karier dan 25 tahun untuk kalangan non karier, serta berijazah
magister ilmu hukum bagi calon dari non karier (Pasal 7 ayat 1 & 2 UU No. 5/2004 tentang Mahkamah Agung)
mudah tereduksi oleh kepentingan-kepentingan yang sempit dan bersifat personal. Selain
batas usia minimal tersebut diatas, perlu juga diatur batas usia minimal ketika diajukan
menjadi hakim konstitusi. Jangan sampai ketika dicalonkan/diajukan, usianya sudah
mendekati usia pensiun. Sehingga dipastikan dirinya, tidak akan produktif karena tidak
lama menjadi hakim konstitusi.63
Rekomendasi:
Untuk lebih mendekatkan pada kualifikasi syarat negarawan yang memahami konstitusi dan ketatanegaraan,
sejumlah syarat yang telah ditentukan dalam UUMK harus direvisi. Adapun syarat-syarat yang dimaksud
adalah; (1) umur sekurang-kurangnya adalah 50 atau 55 tahun, dan berusia maksimal 60 tahun ketika
diajukan/dicalonkan. Syarat usia minimal itu, berkorelasi dengan pengalaman seseorang yang dapat
diasumsikan telah mencapai tingkat ‘kenegarawanannya’; (2) syarat pendidikan ditingkatkan minimal
magister ilmu hukum (S2), yang juga memiliki pengetahuan mengenai konstitusi dan ketatanegaraan; (3)
berpengalaman
selama
15-20
tahun
di
bidang
hukum.
(4)
memiliki
pengalaman
dalam
menghadapi/mengatasi persoalan-persoalan kenegaraan dan kemasyarakatan secara umum.
4. Tidak Rangkap Jabatan
Syarat tidak merangkap jabatan merupakan syarat yang bersifat kondisional, yang
berarti sesuatu baru akan terjadi atau dilakukan apabila kondisinya telah memenuhi syarat
dan memungkinkan. Jadi, larangan rangkap jabatan ini baru akan dilaksanakan ketika
seseorang telah menjadi hakim konstitusi. Syarat ini tidak memperkenankan hakim
konstitusi dalam waktu yang bersamaan merangkap jabatan atau profesi lainnya. Tujuannya
tidak lain adalah untuk mencegah terjadinya conflict of interest, agar hakim konstitusi tetap
terjaga obyektifitas dan independensinya dalam memutus perkara. Disamping itu, agar
terhindar dari conflict of the time yang dapat mengganggu kelancaran didalam
menyelesaikan perkara-perkara yang telah diterima MK.
Disebutkan dalam Pasal 17 UUMK, jabatan/profesi yang tidak diperkenankan untuk
dirangkap oleh hakim konstitusi yaitu; (a) pejabat negara lainnya; (b) anggota partai politik;
(c) pengusaha; (d) advokat; atau (e) pegawai negeri. Pejabat negara lainnya, misalnya
anggota DPR, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, hakim atau hakim agung, menteri, dan pejabat lain sebagaimana ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan. Selama menjadi hakim konstitusi, status pegawai negeri
yang bersangkutan diberhentikan sementara, dan bagi advokat, tidak boleh menjalankan
63
Sangat disayangkan bahwa dalam seleksi hakim konstitusi jilid II, hakim konstitusi terutama pilihan MA dan Presiden sudah
mendekati usai pensiun. Diantaranya. Prof. Dr. Muktie Fadjar (66 Tahun), Arsyad Sanusi & Muhammad ALim (64 Tahun).
profesinya. Sedangkan untuk pengusaha dijelaskan maksudnya adalah, direksi atau
komisaris perusahaan.
Masalahnya adalah, meski larangan rangkap jabatan baru dilaksanakan ketika seseorang
sudah dipastikan terpilih sebagai hakim konstitusi, ketentuan ini memberikan toleransi
yang mendorong ketidaksungguhan seorang untuk menjadi hakim konstitusi. Jabatan
hakim konstitusi hanya akan jadi mainan, karena bisa jadi seseorang hanya akan coba-coba
atau menjadi jobseekers seperti yang banyak terjadi sekarang ini. Praktik ini berpotensi pula
mereduksi independensi dan imparsialitas hakim, karena besar kemungkinan seorang calon
hakim konstitusi masih sangat kuat dan kental keterikatannya dengan latarbelakang
jabatan/profesi sebelumnya, terutama calon yang berasal dari partai politik. Disamping itu,
larangan rangkap jabatan ini tidak pernah dinyatakan secara terbuka dan transparan ketika
seseorang sudah diangkat menjadi hakim konstitusi. Bisa jadi seorang hakim konstitusi
masih menjabat dan menjalankan tugas pada jabatan yang dilarang undang-undang.
Konsekwensinya lebih lanjut, akan terjadi inefisiensi anggaran karena hak/fasilitas dari
jabatan sebelumnya masih diterima, meskipun yang bersangkutan sudah menjadi hakim
konstitusi.
Rekomendasi:
Sebaiknya larangan rangkap jabatan dilakukan pada saat seseorang belum terpilih menjadi hakim konstitusi.
Diatur mengenai jeda waktu antara yang dapat diberlakukan sebelum seseorang menjadi hakim konstitusi
hingga terpilih dan diangkat menjadi hakim konstitusi. Atau setidak-tidaknya pernyataan mundur/lepas dari
jabatan sebelumnya, sudah disampaikan pada saat seseorang mendaftar sebagai calon hakim konstitusi.
Pernyataan tidak rangkap jabatan dan mundur atau berhenti dari jabatan sebelumnya, harus dinyatakan
secara terbuka, agar tidak menimbulkan kecurigaan yang dapat melunturkan integritas hakim konstitusi.
B. Seleksi Hakim Konstitusi
Seperti yang telah ditentukan UUD, untuk mengajukan hakim konstitusi prosesnya
dilakukan oleh 3 lembaga (DPR, Presiden dan MA). Pasal 18 ayat (1) UUMK menegaskan
kembali hal tersebut, yang kemudian harus ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Bagaimana
proses seleksi hakim konstitusi itu dilakukan di masing-masing lembaga? UUMK menyerahkan
sepenuhnya kepada lembaga yang berwenang untuk mengatur tata cara seleksi, pemilihan, dan
pengajuan hakim konstitusi (Pasal 20 ayat 1). Sekalipun demikian, UUMK juga meminta agar
proses pancalonan hakim konstitusi dilakukan secara transparan dan partisipatif (Pasal 19).
Berdasarkan ketentuan ini, calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa baik cetak
maupun elektronik, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut memberi
masukan atas calon hakim yang bersangkutan. Dan dalam proses pemilihannya, dilaksanakan
secara obyektif dan akuntabel (Pasal 20 ayat 2).
Pertanyaannya adalah bagaimana cara DPR, Presiden dan MA melakukan seleksi hakim
konstitusi? Adakah tata cara tersebut diatur lebih lanjut kemudian, dan bagaimana prinsipprinsip seleksi yang ditentukan UUMK itu diterapkan? Pada kenyataannya, masing-masing
lembaga itu menerapkan tata cara seleksi yang tidak sama baik pada seleksi jilid I tahun 2003
maupun yang kedua pada tahun 2008.64 Pada seleksi hakim konstitusi jilid I, DPR
menggunakan cara fit and proper test terhadap calon-calon hakim konstitusi yang diusulkan
fraksi-fraksi di DPR. Cara yang sama kemudian dilakukan pada seleksi hakim konstitusi jilid II
tahun 2008, namun dengan proses yang lebih terbuka yang memberikan kesempatan bagi
masyarakat untuk mendaftar diri atau dicalonkan. Calon yang terdaftar pun kemudian
diumumkan di media massa, agar masyarakat dapat memberikan masukan ataupun catatan
tentang track record calon meski dalam waktu yang sangat terbatas.
Lain halnya seleksi yang dilakukan oleh Presiden. Pada seleksi jilid I, Presiden melalui
Departemen Hukum & HAM melakukan penjaringan calon hakim konstitusi, yang kemudian
diteliti dan diputuskan bersama oleh Mentri Hukum & HAM, Jaksa Agung dan Menkopolkam
sebelum
diajukan ke Presiden. Untuk
yang kedua,
Presiden memberikan mandat
kewenangannya itu kepada Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres).65 Sedangkan seleksi
oleh MA, baik yang pertama maupun kedua, dapat dikatakan sangat tertutup jika dibandingkan
dengan cara yang dilakukan DPR dan Presiden. Tidak jelas dengan cara bagaimana MA
melakukan seleksi tersebut. MA hanya menentukan nama calon hakim konstitusi yang berasal
dari kalangan hakim (Hakim Agung dan Hakim PT/PTUN), yang kemudian diajukan ke
Presiden untuk diangkat/disahkan.
64
Untuk seleksi jilid I merupakan seleksi hakim konstitusi yang pertama kali dilakukan, sehubungan dengan baru terbentuknya
lembaga MK. Seleksi pada saat itu, dilakukan dalam waktu yang terbatas kurang lebih 10 hari. Sedangkan seleksi hakim konstitusi
jilid II dilakukan sehubungan dengan adanya hakim konstitusi yang pensiun dan selesai masa jabatan 5 tahun pertamanya.
65
Dewan Pertimbangan Presiden membentuk Panitia Seleksi yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat (LSM, Advokat
dan Akademisi). Panitia Seleksi Watimpres ini dalam batas-batas tertentu telah menerapkan prinsip-prinsip transparansi dan
partisipasi dalam menyeleksi calon hakim konstitusi. Hasilnya, Watimpres mengajukan 9 nama dari sejumlah calon hakim
konstitusi untuk dipilih dan diputuskan Presiden sebanyak 3 orang.
Tata cara seleksi yang dilakukan oleh masing-masing lembaga itu, jelas mereduksi prinsipprinsip yang telah ditentukan, bahkan pada prakteknya bertentangan dengan UUMK.
Sayangnya, UUMK tidak mengatur soal konsewensi atau pemberian sanksi, jika hal itu
dilanggar. Oleh karena itu, pengaturan mengenai mekanisme seleksi dengan cara menyerahkan
kepada masing-masing lembaga perlu ditinjau ulang. Karena cara seleksi seperti ini
mengkondisikan masing-masing lembaga untuk menafsirkan dan menerapkan proses seleksi
secara berbeda-beda. Dengan cara seperti itu membuat proses seleksi kurang transparan,
diskriminatif dan berpotensi menyimpang dari ketentuan UUMK sebagaimana yang telah
terjadi dalam praktek.
Untuk itu, semestinya dibuat sebuah mekanisme seleksi yang bisa digunakan bersama. Pada
saat pembahasan RUU MK, KRHN pernah mengusulkan agar mekanisme seleksi bersama itu
dilakukan oleh Komisi Yudisial. Komisi Yudisial bertugas untuk melakukan proses penjaringan
dan penelitian (track record, fit and proper test/wawancara) calon hakim konstitusi. Sedangkan
untuk pemilihan dan penentuannya diserahkan kepada masing-masing lembaga sebelum
diajukan ke Presiden.66 Namun melalui peranan Komisi Yudisial ini, terkendala ketentuan
dalam Konstitusi yang hanya memberikan kewenangan Komisi Yudisial melakukan
rekuitmen/seleksi hakim agung. Untuk menjamin proses seleksi lebih transparan, partisipatif
dan akuntabel, maka kedepan sebaiknya KY ditempatkan pula peranannya dalam seleksi hakim
konstitusi.
Rekomendasi :
1.
Tata cara seleksi berikut tahapan-tahapan yang harus dilakukan masing-masing lembaga, tidak diserahkan
kepada masing-masing lembaga, tetapi diperjelas dan dipertegas dalam UUMK.
2.
Sehubungan dengan hal yang pertama, penjelasan pada pasal 19 UUMK bahwa “calon hakim konstitusi
dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan
untuk ikut memberi masukan atas calon hakim yang bersangkutan”, sebaiknya ditempatkan dalam batang
tubuh UU.
3.
Sebagai penjabaran prinsip transparansi dan akuntabilitas, maka dalam setiap tahapan itu harus ditentukan
pula alokasi waktu yang diperlukan.
4.
Perlu ada aturan mengenai sanksi apabila tahapan-tahapan seleksi diatas tidak dilakukan.
5. Amandemen kembali UUD 1945 yang menempatkan peranan Komisi Yudisial dalam proses seleksi hakim
konstitusi.
C. Masa Jabatan Hakim Konstitusi
66
Firmansyah Arifin dkk (penyusun), Pokok-Pokok Pikiran RUU Mahkamah Konstitusi, KRHN-Kemitraan, 2003, hal. 26-
28.
Masa jabatan merupakan suatu masa atau kurun waktu dimana seseorang telah ditentukan
lamanya menjalankan tugas jabatannya sebagai hakim konstitusi. Ketentuan mengenai masa
jabatan ini berkaitan dengan status hakim konstitusi sebagai pejabat negara (Pasal 5 UUMK).
Dalam hal ini, menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, status pejabat negara
berbeda dengan PNS. Pejabat negara merupakan pimpinan dan anggota Lembaga/Komisi
negara sebagaimana dimaksudkan dalam UUD 1945, dan yang ditentukan oleh undang-undang.
Adapun ciri-ciri yang biasanya dimiliki oleh setiap pejabat negara adalah; (a) pengangkatannya
dilakukan melalui mekanisme tertentu; (b) kedudukannya dalam lembaga negara bersifat
setara; (c) memiliki independensi dan akuntabilitas; (d) memiliki aturan protokoler dan
kesejahteraan sendiri; (d) dapat mengatur sendiri ketentuan kepegawaiannya.
Adanya pengaturan mengenai masa jabatan bagi hakim konstitusi merupakan salah satu
faktor utama untuk menjamin independensi selama masa kerjanya. Biasanya masa kerja pejabat
negara ditentukan secara periodik, seperti masa jabatan atau berdasarkan masa usia pensiun
dalam jabatan hakim agung. Pejabat negara tidak dapat diberhentikan dari jabatannya sebelum
berakhirnya masa jabatan. Karena itu umumnya pejabat negara hanya dapat dicopot dari
posisinya melalui mekanisme tertentu, yang biasanya bersifat politis untuk kondisi tertentu
yang dianggap fatal, seperti melakukan tindak pidana, atau karena sakit terus menerus.
Sehubungan dengan jaminan masa kerja tersebut, maka pertanggungjawaban pejabat negara
umumnya dikaitkan dengan prosedur pemilihan kembali pejabat yang bersangkutan. Apabila
pejabat tersebut memiliki kinerja yang baik, maka sebagai bentuk akuntabilitasnya, ia
berpeluang untuk dipilih kembali pada periode selanjutnya.
Pasal 22 UUMK menentukan masa jabatan hakim konstitusi adalah selama 5 (lima) tahun,
dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Pada prinsipnya
UUMK menentukan masa jabatan hakim konstitusi itu adalah 5 (lima) tahun. Apabila
dikehendaki kembali, dan belum memasuki usia pensiun, maka dimungkinkan untuk dipilih
dan meneruskan jabatan hakim konstitusi untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Pengaturan
periodisasi masa jabatan seperti itu bagi hakim konstitusi itu memiliki beberapa kelemahan;
Kesatu, periodesasi masa jabatan 5 tahun itu berpotensi mempengaruhi independensi MK
sebagai pelaku Kekuasaan Kehakiman. Karena hal itu, menurut Saldi Isra akan membuka ruang
bagi pihak-pihak yang memiliki kewenangan mengajukan hakim konstitusi, untuk melakukan
intervensi melalui pengisian atau penempatan kembali hakim konstitusi yang cenderung
sepihak dengan kepentingan rezim yang berkuasa. Atau sebaliknya, dengan tidak memilih
kembali hakim konstitusi yang dinilai berseberangan dan dapat menghambat kepentingan
rezim penguasa.
67
Dalam pemahaman yang sama, menurut Tom Ginsburg, karena metode
pengangkatan hakim konstitusi yang ditentukan oleh Presiden dan DPR, dimana keduanya
adalah lembaga politik, maka model pengangkatan seperti itu akan menempatkan posisi MK
kedalam politic institutional environment. Persoalan itu setidaknya dapat diatasi dengan
melalui cara membatasi masa jabatan hakim konstitusi hanya untuk satu kali masa jabatan.
Karena masa jabatan hakim yang dapat dipilih kembali dapat mengurangi tingkat independensi
peradilan.68
Kedua, pengaturan periodesasi masa jabatan itu mendorong terjadinya penyimpangan. Dalam
hal ini, menurut Prof. Amzulian Rifa’i para hakim konstitusi akan berusaha untuk terpilih
kembali pada masa jabatan berikutnya, yang kemudian berpotensi melakukan hal-hal yang
menyimpang.69
Ketiga, tidak jelas tolak ukur yang digunakan dalam hal menentukan hakim konstitusi yang
dianggap layak untuk dipilih kembali dan diteruskan masa jabatannya. Atau ketika hakim
konstitusi yang telah selesai masa jabatannya, tidak dipilih kembali dan ditentukan untuk tidak
diteruskan masa jabatan 5 (lima) tahun berikutnya.70
Keempat, adanya periodesasi masa jabatan lima tahunan dapat mengganggu kinerja MK
dalam menangani dan memutus perkara. Hal itu dapat terjadi jika pada saat yang bersamaan
pula, sejumlah hakim konstitusi telah memasuki usia pensiun. Sehingga mayoritas hakim atau
bahkan seluruhnya harus menjalani atau mengikuti proses seleksi yang diadakan.
Rekomendasi :
Periodesasi masa jabatan 5 (lima) tahun perlu ditiadakan. Pengaturan masa jabatan hakim konstitusi sebaiknya
67
Lihat dalam transkip “Expert Meeting Revisi UU Mahkamah Konstitusi”, diselenggarakan oleh KRHN-DRSP di Hotel Millenium,
Jakarta, 27-28 Agustus 2007.
68
Tom Ginsburg, Judicial Review…., opcit, hal. 47.
69
Ibid.,
70
Pada seleksi hakim konstitusi jilid II, Maret 2008, Hakim Konstitusi Jimly Asshiddiqie dan Harjono mengikuti proses seleksi
hakim konstitusi di DPR untuk periode masa jabatan kedua (2008-2013). Oleh Komisi III DPR, keduanya hanya diminta
menyatakan kesediaannya secara tertulis yang kemudian disampaikan secara terbuka didepan Sidang Komisi III DPR. Hasilnya,
DPR memilih Jimly Asshiddiqie untuk dapat meneruskan masa jabatan periode berikutnya. Sedangkan Harjono, digantikan oleh
Aqil Mochtar (F-Golkar), yang terpilih bersama Mahfud MD (F-PKB) menggantikan hakim Achmad Roestandi yang berhenti karena
pensiun. Tidak begitu jelas alasan dan tolak ukur apa yang digunakan DPR, mengapa lebih memilih kembali Jimly Asshiddiqie
sedangkan Harjono tidak.
ditentukan hanya untuk sekali menjabat dengan masa jabatan 9 atau 10 (sepuluh) tahun. Dengan begitu,
prinsip independensi dapat lebih terjaga, peluang terjadinya intervensi dan penyimpangan dapat diminimalisir,
prakteknya lebih mudah diselenggarakan dan tidak menyulitkan, serta tidak terlalu berpengaruh terhadap
kinerja MK dalam mengadili perkara. Apalagi jika melihat perbandingan di banyak negara, pilihan satu kali
masa jabatan hakim konstitusi ini merupakan pilihan yang paling banyak digunakan/dipraktekkan (Lihat
Table 3).
Tabel 3: Komparasi Hakim Mahkamah Konstitusi Beberapa Negara
Negara
Jumlah
Pengajuan usul dan Pengangkatan
Albania
9 orang
Dipilih oleh Presiden atas persetujuan Majelis.
Armenia
9 orang
5 orang oleh National Assembly dan 4 orang oleh
Presiden.
Bulgaria
12 orang
BosniaHerzegovi
na
Republik
Czech
Republik
Federal
Jerman
Italia
9 orang
1/3 oleh Presiden, 1/3 oleh National Assembly dan
1/3 oleh joint meeting para hakim Supreme Court
tingkat kasasi dan Supreme Administration Court
6 orang oleh Parlemen, 3 orang oleh Presiden
European Court of Human Right berkonsul-tasi
dengan lembaga kepresidenan
Oleh Presiden atas persetujuan Senate
15 orang
16 orang
15 orang
Lithuania
9 orang
Federasi
Rusia
19 orang
Republik
Slovenia
9 orang
Spanyol
12 orang
Afrika
Selatan
Korea
Selatan
11 orang
Thailand
15 orang
9 orang
Terdiri dari 2 panel, masing-masing panel
beranggotakan 8 hakim. ½ dari tiap panel dipilih
Bundestag sisanya oleh Bundesrat.
5 orang oleh Parlemen, 5 orang oleh Presiden, dan 5
orang oleh Supreme Ordinary and Administrative
Court
Usul dari Presiden, Ketua Seimas dan Ketua Suprema
Court yang menentukan adalah Seimas
Usul oleh Presiden Federation Council, Deputies of
State Duma, Supreme Court, Biro hukum negara
federal, legal societies, legal scientific dan institusi
pendidikan
Usul oleh Presiden pengangkatan oleh National
Assembly
Usul 4 orang dari Congress 4 orang dari Senate, 2
orang oleh pemerintah dan 2 orang oleh General
Council kekuasaan Yudicial. Penunjukkan oleh Raja
Spanyol
(tidak ada keterangan)
3 orang dipilih Presiden, 3 orang dipilih National
Assembly dan 3 orang ditunjuk oleh Ketua Supreme
Court
Usul Senat, pengangkatan oleh Raja
D. Pemberhentian Hakim Konstitusi
Masa Jabatan
9 tahun tidak dapat dipilih
kembali,
1/3
anggotanya
diperbaharui setiap 3 tahun.
Berakhir jika masuk usia
pensiun, meninggal
dunia,
mengundurkan diri, dijatuhi
hukuman pidana/penjara.
9 tahun dan tidak dapat dipilih
kembali
5 tahun
10 tahun, tidak ada larangan
pemilihan kembali
12 tahun dan tidak dapat dipilih
kembali
9 tahun
9 tahun dan tidak dapat dipilih
kembali
12 tahun dan tidak dapat
diperpanjang kembali
Berakhir jika mencapai usia 70
tahun,
meninggal
dunia,
mengundurkan diri, melanggar
ketentuan
jabatan
hakim,
dijatuhi hukuman pidana/
penjara.
9 tahun dan tidak dapat
diperpanjang, setiap 3 tahun
komposisinya diperbaharui.
12 tahun dan tidak dapat dipilih
kembali
6 tahun dan dapat dipilih
kembali
Berakhir
jika
pensiun,
meninggal
dunia,
mengundurkan diri. Melanggar
ketentuan
jabatan
hakim,
dijatuhi hukuman pidana/
penjara
Ada 2 pokok bahasan masalah yang berkaitan dengan pemberhentian hakim konstitusi ini
yaitu, mengenai alasan pemberhentian dan mekanisme/prosedur pemberhentiannya.
1. Alasan Pemberhentian
Untuk alasan pemberhentian hakim konstitusi, Pasal 23 ayat (1) dan (2) UUMK
membedakan alasan diberhentikan dengan hormat dan alasan diberhentikan dengan tidak
hormat. Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat apabila; (a) meninggal dunia; (b)
mengundurkan diri; (c) telah berusia 67 (enam puluh tujuh) tahun; (d) telah berakhir masa
jabatannya; atau (e) sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus yang dibuktikan dengan
surat keterangan dokter.
Sedangkan diberhentikan dengan tidak hormat apabila; (a) dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
(b) melakukan perbuatan tercela; (c) tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan
kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; (d) melanggar
sumpah atau janji jabatan; (e) dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi
putusan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (f) melanggar larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 soal larangan rangkap jabatan; atau (g) tidak lagi memenuhi syarat
sebagai hakim konstitusi.
Masalah yang hendak dibahas berkenaan dengan alasan pemberhentian ini adalah
pemberhentian dengan tidak hormat karena melakukan perbuatan tercela dan dengan
sengaja menghambat MK memberi putusan dalam waktu yang telah ditentukan Pasal 7B
ayat (4) UUD 1945. Pasal ini mengatur kewenangan MK sehubungan dengan proses
pemakzulan (impeachment) Presiden dan/atau Wakil Presiden.
a. Kualifikasi Perbuatan Tercela
Ketentuan larangan melakukan perbuatan tercela sepertinya sudah menjadi suatu hal
yang lazim diatur dalam undang-undang, terutama ketika mengatur prasyarat untuk
pencalonan dan pemberhentian anggota/pejabat di lingkungan lembaga/komisi negara.
Demikian halnya untuk hakim konstitusi. Hakim konstitusi dapat diberhentikan dengan
tidak hormat apabila melakukan perbuatan tercela. Penjelasan UUMK Pasal 23 ayat (2)
huruf b menjelaskan “Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela” adalah
perbuatan yang dapat merendahkan martabat hakim konstitusi”. Namun penjelasan
seperti ini belum menjelaskan apa yang dimaksud “perbuatan yang dapat merendahkan
martabat hakim konstitusi”. Atau perbuatan-perbuatan apa sajakah yang dapat
dikualifikasikan merendahkan martabat hakim konstitusi?
Jika melihat pada undang-undang lainnya, seperti UU No. 5/2004 tentang Mahkamah
Agung menjelaskan bahwa, yang dimaksud dengan "'perbuatan tercela" adalah perbuatan
atau sikap, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang dapat merendahkan martabat
hakim.71 Sedangkan dalam penjelasan UU Pemerintahan Daerah dan UU Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden dikatakan, yang dimaksud dengan “tidak pernah melakukan perbuatan
tercela” adalah tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma
agama, norma kesusilaan, dan norma adat antara lain seperti judi, mabuk, pecandu
narkoba, dan zina.72 Apakah cukup demikian jika yang dimaksud perbuatan tercela tidak
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan dan adat? Jika
pengertian atau kualifikasi perbuatan tercela adalah seperti itu, kesannya hanya bersifat
personal dan tidak terkait dengan posisi jabatannya. Semestinya pengertian ataupun
perbuatan yang dapat dikualifikasi menjadi perbuatan tercela, harus mencakup perbuatan
yang bersifat personal maupun berhubungan pula dengan posisinya sebagai pejabat negara.
Rekomendasi:
Perlu pengaturan yang lebih tegas dan komprehensif bahwa yang dimaksud perbuatan tercela atau perbuatan
yang dianggap merendahkan martabat hakim dalam UUMK ini adalah perbuatan yang dilakukan yang
bertentangan dengan moral yang bersifat personal/pribadi dan juga sehubungan dengan posisinya sebagai
pejabat negara. Perbuatan-perbuatan tersebut adalah; 73
a.
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat
seperti berjudi, mabuk, pecandu narkoba dan berzina;
b.
melakukan kebohongan publik;
c. tidak melakukan kewajiban sebagai pejabat negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No. 28 tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, diantaranya, tidak bersedia diperiksa
harta kekayaannya, melaporkan harta kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat, KKN, melaksanakan
71
Penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf b UU No. 5 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
72 Penjelasan Pasal 58 huruf l UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah junto Pasal 6 huruf j UU No. 23 tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
73
Lihat dalam siaran pers KRHN tentang Usulan dan Saran Terhadap Substansi RUU Mahkamah Konstitusi- Hasil Pertemuan
KRHN & Tim Pakar, Jakarta 1 Agustus 2003.
tugas dengan membeda-bedakan suku, agama ras dan golongan.
b. Wajib Memberi Putusan Dalam Waktu Yang Ditentukan.
Hakim Konstitusi dapat diberhentikan dengan tidak hormat apabila dengan sengaja
menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan dalam waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7B ayat (4) UUD 1945. Pasal 7B ayat (4) ini mengatur soal kewajiban MK untuk
memutus perkara yang diajukan DPR dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari terhadap
adanya dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Perlunya penegasan waktu 90 hari bagi MK untuk memutus, dapat dipahami maksudnya
adalah untuk memberikan kepastian agar perkara tersebut dapat segera diselesaikan.
Mengingat pula perkara yang berkaitan dengan proses pemakzulan (impeachment) ini,
memiliki dimensi politik yang tinggi. Sehingga kemungkinan terjadinya ‘gejolak politik’ di
masyarakat dan kepentingan publik yang terabaikan karena Presiden dan/atau Wakil
Presiden sedang mengikuti proses hukum, dapat minimalisir dan dihindari.
Namun pertanyaannya, mengapa hanya dalam perkara itu saja hakim konstitusi wajib
memutus dalam batas waktu yang telah ditentukan? Jika ada unsur kesengajaan
menghambat, maka hakim konstitusi diancam untuk diberhentikan dengan tidak hormat.
Bukankah setiap perkara yang menjadi kewenangan MK pada hakikatnya sama karena
diatur dalam UUD? Dan juga dapat dipandang memiliki ‘resiko politik’ dan implikasi yang
luas bagi penyelenggaraan pemerintahan dan kepentingan masyarakat. Apalagi kemudian,
UUMK juga memberi pengaturan kewajiban bagi MK dalam batas waktu tertentu untuk
memberi putusan dalam perkara pembubaran partai politik dan perselisihan pemilu.74
Rekomendasi :
Ketentuan wajib memutus dalam waktu yang telah ditentukan dan menjadi alasan untuk memberhentikan
hakim konstitusi, sebaiknya tidak hanya untuk perkara yang berkenaan dengan proses pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden, tetapi juga perlu diberikan untuk perkara pembubaran partai politik dan
perselisihan hasil pemilu. Alasannya, agar legitimasi putusan MK memiliki derajat yang sama dan tidak
74
Pasal 71 UUMK menyatakan “Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas pembubaran partai politik wajib
diputus dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi”. Sedangkan Pasal 78 UUMK “Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas perselisihan hasil pemilihan
umum wajib diputus dalam jangka waktu….”
terjadi perbedaan yang dapat menimbulkan diskriminasi dan ketidakpastian hukum. Bahkan jika perlu,
diberikan/diberlakukan sama untuk semua perkara.
2. Mengatasi Kekosongan Hakim Konstitusi.
Pada saat hakim konstitusi harus berhenti, karena masa jabatannya habis atau sudah
memasuki usia pensiun, kursi jabatan hakim konstitusi akan menjadi kosong. Kosongnya
posisi hakim konstitusi itu jelas harus segera diisi, dan proses ini mesti dipersiapkan oleh
masing-masing lembaga yang berwenang mengajukan. Apabila tidak segera diisi, maka
kursi hakim konstitusi yang kosong bisa berpengaruh terhadap jalannya penanganan
perkara. Bahkan bisa jadi membuat MK tidak bisa bersidang, atau bisa dianggap tidak sah
kelembagaannya karena jumlah hakim konstitusi sebagaimana dipersyaratkan konstitusi
adalah 9 orang, dan minimal 7 orang hakim dalam keadaan luar biasa, menjadi berkurang
atau tidak terpenuhi. Sementara disisi lain, proses seleksi hakim konstitusi untuk
menggantikan yang sudah berhenti, juga membutuhkan waktu.
Kekhawatiran semacam itu sempat terjadi ketika Ketua MK, Jimly Asshiddiqie
mengingatkan Presiden, DPR dan MA untuk melakukan seleksi hakim konstitusi yang baru,
sehubungan dengan beberapa hakim konstitusi yang pensiun dan akan habis masa
jabatannya di tahun 2008. Peringatan yang disampaikan jauh hari melalui surat itu,
mengkhawatirkan jangan sampai terjadi kekosongan hakim konstitusi yang membuat MK
tidak bisa bersidang. Sebagai sebuah langkah antisipasi, Pasal 26 ayat (1) UUMK sebenarnya
sudah mencoba mengatur bahwa, “Apabila terjadi kekosongan hakim konstitusi karena
berhenti atau diberhentikan, lembaga yang berwenang mengajukan pengganti kepada
Presiden dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak terjadi
kekosongan”. Sedangkan pada ayat (2) nya ditentukan, “Keputusan Presiden tentang
pengangkatan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka
waktu paling lambat 7 ( tujuh) hari kerja sejak pengajuan diterima Presiden”.
Namun demikian ketentuan tersebut dapat dikatakan belum cukup memadai, karena
yang diatur berkenaan dengan limit waktu yang disediakan undang-undang kepada lembaga
yang berwenang untuk mengajukan calon hakim konstitusi pengganti. Ketentuan tersebut
belum menjawab persoalan ketika masa jabatan atau usia pensiun hakim konstitusi sudah
tiba, tetapi calon hakim konstitusi yang akan menggantikan belum terpilih atau
diangkat/disahkan. Oleh karena itu, dipandang perlu membuat sebuah ketentuan yang
dapat mengantisipasi dan mengatasi persoalan tersebut. Dalam hal ini, ketentuan tersebut
dimaksudkan agar kosongnya kursi hakim konstitusi yang berakibat MK tidak bisa
bersidang atau MK tidak sah/tidak ada, tidak terjadi.
Rekomendasi:
Perlu dibuat ketentuan sebagai antisipasi jangan sampai terjadi kekosongan hakim konstitusi. Ketentuan ini
mengatur bahwa sebelum ada hakim konstitusi yang baru yang akan menggantikan, maka hakim konstitusi
yang lama masih bisa bertugas dalam menangani perkara.
3. Mekanisme Pemberhentian Lewat Majelis Kehormatan Atau Pengawasan Eksternal?
Masalah pemberhentian hakim konstitusi, terutama dalam hal pemberhentian dengan
tidak hormat, telah ditentukan bahwa pemberhentian itu akan ditetapkan melalui
Keputusan Presiden atas permintaan Ketua MK.75 Satu hal yang patut diapresiasi dalam
proses pemberhentian dengan tidak hormat ini, UUMK telah mengatur soal pemberhentian
sementara dan larangan untuk menangani perkara. Apabila hasil pemeriksaan tidak
ditemukan kesalahan, maka yang bersangkutan direhabilitasi.76
Ketentuan seperti ini
sangat penting agar terjadi proses yang benar-benar fair dan obyektif dalam proses
pemberhentian
hakim
konstitusi.
Jika
hakim
konstitusi
yang
diancam
dengan
pemberhentian sementara masih menjabat dan menangani perkara, dikhawatirkan akan
bisa menggunakan ‘kekuasaannya’ untuk mengganggu ataupun menghambat proses hukum
yang sedang dijalankan untuk dirinya. Lebih dari itu, dapat dipastikan integritas hakim
konstitusi yang sedang dipersoalkan dan diragukan itu, akan berpengaruh terhadap
kredibilitas dan kewibawaan Mahkamah Konstitusi.
Sebelum hakim konstitusi itu diberhentikan dengan tidak hormat, Pasal 23 ayat (3)
UUMK memberi kesempatan yang bersangkutan dapat membela diri dihadapan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Selanjutnya, apa dan bagaimana MKMK itu,
diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 02/PMK/2003 tentang Kode
Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi. Pasal 4 ayat (1) PMK tersebut mengatur
sebagai berikut;
a. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi bersifat ad hoc, terdiri atas 3 (tiga) orang
Hakim Konstitusi yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi.
75
76
Pasal 23 ayat (4) dan (5) UUMK
Lihat Pasal 24 dan 25 UUMK.
b. Dalam hal Hakim Konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran diancam dengan
sanksi pemberhentian, Majelis Kehormatan terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Konstitusi
ditambah seorang mantan Hakim Agung Mahkamah Agung, seorang praktisi hukum
senior, dan seorang guru besar ilmu hukum.
c. Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam butir a dan b tersebut di atas dipilih
dari dan oleh Hakim Konstitusi dalam Rapat Pleno Mahkamah Konstitusi.
d. Anggota tambahan Majelis Kehormatan sebagaimana dimaksud dalam butir b
dicalonkan oleh Hakim Konstitusi dan dipilih oleh Rapat Pleno Mahkamah Konstitusi
setelah memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengajukan usul dan saran
mengenai para calon Anggota Tambahan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
e. Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dipilih oleh Anggota Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi dari unsur Hakim Konstitusi.
Ditentukan pula dalam Pasal 4 ayat (2) nya bahwa tugas dari MKMK adalah;
a. Majelis Kehormatan bertugas menegakkan Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku
Hakim Konstitusi.
b. Mencari dan mengumpulkan informasi atau keterangan dari pihak-pihak yang berkaitan
atau yang berkepentingan dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim
Konstitusi.
c. Memeriksa dan memutuskan tindakan yang akan direkomendasikan kepada Pimpinan
Mahkamah Konstitusi
Membaca ketentuan dalam PMK tersebut diatas, MKMK yang dimaksudkan dalam PMK
tidak hanya semata-mata untuk proses pemberhentian hakim konstitusi, tetapi ditugaskan
pula untuk menegakkan kode etik dan tingkah laku hakim konstitusi. Pengaturan MKMK
dalam PMK seperti itu bisa membuat proses di forum MKMK bermasalah, karena hal-hal
sebagai berikut;
Kesatu, forum MKMK yang ditujukan bagi penegakkan kode etik dibuat berbeda dengan
MKMK yang ditujukan untuk pelanggaran yang diancam sanksi pemberhentian. MKMK
yang ditujukan untuk penegakkan kode etik, unsurnya hanya berasal dari hakim konstitusi.
Sedangkan MKMK untuk proses pemberhentian dimungkinkan ada unsur diluar hakim
konstitusi yang bisa dilibatkan. Padahal ketentuan dalam kode etik yang harus ditegakkan,
terdapat hal yang sama dengan norma yang menjadi alasan pemberhentian dengan tidak
hormat dalam UUMK. Misalnya, dalam Pasal 2 ayat (1 & 2) ketentuan kode etik, hakim
konstitusi harus mematuhi sumpah jabatan dan menjauhkan perbuatan tercela, yang mana
keduanya juga ditentukan menjadi alasan pemberhentian dengan tidak hormat dalam
UUMK. Apabila terjadi pelanggaran terhadap sumpah jabatan atau dianggap melakukan
perbuatan tercela, mekanisme MKMK mana yang akan digunakan? Jelas hal ini bisa
menimbulkan kebingungan dalam praktek.
Kedua, apabila hal itu terjadi, sebagaimana penjelasan pada point pertama, maka akan
terjadi diskriminasi karena untuk persoalan yang sama, kemungkinan prosesnya dilakukan
dengan cara yang berbeda. Ketiga, ada kesan kuat bahwa MKMK yang diatur dalam PMK
itu cenderung memunculkan esprit de’corps (melindungi kepentingan hakim konstitusi)
yang
terkena
ancaman
pemberhentian.
Hal
itu
setidaknya
dapat
dilihat
dari,
pemilihan/penetapan anggota MKMK dari unsur diluar hakim konstitusi (mantan hakim
agung, praktisi hukum senior dan guru besar ilmu hukum) yang berasal dari usul/saran
masyarakat, yang harus dipilih/ditetapkan dalam rapat pleno MK. Demikian juga Ketua
MKMK yang ditentukan harus berasal dari unsur hakim konstitusi. Seperti pada umumnya
mekanisme penindakan atau pengawasan yang dibuat sendiri oleh lembaga yang
bersangkutan (mekanisme internal), berjalan sangat partial dan kurang obyektif, sehingga
pada gilirannya mekanisme itu diragukan berjalan secara efektif. Jelas dan dapat dipastikan,
kemungkinan seperti itu bakal terjadi pada MKMK.
Adakah mekanisme lain yang bisa dibuat atau digunakan? Sebagai bagian dari upaya
untuk menegakkan kode etik maupun mekanisme pemberhentian hakim konstitusi,
dipandang perlu membuat sebuah mekanisme yang berfungsi mengawasi personal hakim
konstitusi
maupun
kelembagaan
MK.
Pengawasan
ini
menjadi
penting
untuk
menyeimbangkan pelaksanaan prinsip independensi dan akuntabilitas. Karena Kekuasaan
Kehakiman yang independen tanpa diimbangi dengan akuntabilitas berpotensi terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan, ataupun juga menjadi tyrani judicial. Dengan kata lain, harus
ada mekanisme kontrol (cheks and balance) terhadap MK yang dapat meminta sekaligus
menuntut akuntabilitas pelaksanaan kekuasaan atau kewenangan yang telah diberi dan
dimilikinya.
Sebelumnya politik hukum untuk kebutuhan itu, menempatkan peranan Komisi Yudisial
(KY) untuk melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi. Dalam hal ini, UU No.
22/2004 tentang Komisi Yudisial memberikan wewenang pengawasan kepada KY dalam
rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Pengertian hakim dimaksudkan dalam UUKY, tidak hanya sebatas hakim agung atau hakim
pada lingkungan pengadilan umum, tetapi juga dimaksudkan untuk hakim konstitusi.
Untuk kepentingan itu, KY dapat melakukan penerimaan laporan dari masyarakat,
melakukan pemanggilan, memeriksa, dan mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap
hakim yang diduga melakukan penyimpangan, serta dapat memberikan penghargaan
terhadap prestasi/jasa kepada hakim.77
Namun pasal-pasal yang berkenaan dengan pengawasan hakim konstitusi itu telah
dimandulkan oleh putusan MK. MK menganggap bahwa hakim konstitusi bukan merupakan
bagian dari obyek pengawasan KY dengan alasan; (i) sesuai dengan original inten permusan
UUD, KY tidak dimaksudkan berkaitan dengan MK; (ii) hakim konstitusi pada dasarnya
bukanlah hakim sebagai profesi tetap dan diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun saja;
(iii) dalam proses pemilihan dan pengangkatan hakim konstitusi, tidak ada peran KY; (iv)
khawatir kewenangan MK, terutama dalam perkara sengketa kewenangan, akan terganggu.
Karena kemungkinan ketika timbul sengketa antara KY dengan MA, sengketa itu harus
diadili oleh MK.78
Meskipun putusan itu telah bersifat mengikat, namun demikian tidak seluruhnya
pendapat atau pertimbangan dalam putusan MK itu benar. Hasil eksaminasi terhadap
putusan MK ini diantaranya berpandangan dan menilai bahwa; pertama karena kekuasaan
kehakiman dilaksanakan oleh hakim dalam semua lingkungan peradilan, maka tidak tepat
mengatakan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim. Kedua, hakim
konstitusi tidak diawasi KY karena masa jabatannya yang hanya lima tahun dan setelah itu
kembali ke profesi semula, tidak pula tepat. Argumentasi demikian adalah pendapat yang
anti akuntabilitas. Padahal semua lembaga negara dan pejabat negara harus diminta
akuntabilitasnya.79
77
Sebelum dibatalkan oleh putusan MK, mengenai hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 21 – 24 UU No. 22 tahun 2004
tentang Komisi Yudisial
78
Lihat Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian UU Komisi Yudisial dan UU Kekuasaan Kehakiman., hal. 173-
176. Perkara ini diajukan oleh 31 orang hakim agung yang memohon dan meminta MK membatalkan pasal-pasal yang berkenaan
dengan pengawasan hakim agung dalam UU KY dan UUKK.
79
Hasil Eksaminasi Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian UU KY dan UU KK. Majelis Eksaminasi terdiri atas
Prof. Dr. Yohannes Usfunan, SH, Saldi Isra, Denny Indrayana, Fajrul Falakh, Iwan Satriawan, Sahlan Said, Lukman Hakim
Lebih jauh menurut Denny Indrayana, putusan UUKY kental terkontaminasi conflict of
interest. Perilaku hakim konstitusi diputuskan bukan obyek pengawasan KY, dengan alasan
bahwa sistematika pembahasan di dalam konstitusi adalah MA, KY baru MK, tidak sesuai
dengan fakta yang terungkap dipersidangan. The second founding parents yang
merumuskan perubahan UUD mengungkapkan bahwa susunan demikian bukan berarti
hakim konstitusi tidak diawasi oleh KY. Susunan itu terjadi by accident karena proses
pembahasan perubahan UUD 1945 memang tidak sistematis. Sehingga yang lebih banyak
didiskusikan adalah pengawasan terhadap MA dan jajaran peradilan lainnya. Namun, itu
sama sekali bukan berarti hakim konstitusi tidak dapat diawasi oleh KY.80
Akhirnya, pilihan membatalkan semua pasal pengawasan dalam UUKY adalah pilihan
yang masih debatable secara ilmu hukum konstitusi. Justru yang sudah pasti, pilihan itu
menumbuhsuburkan praktik mafia peradilan. Suatu pilihan yang bertentangan dengan
moralitas-konstitusionalitas (constitutional morality), yang bermakna setiap konstitusi
harus diartikan sesuai dengan landasan moralitas. Sewajibnya setiap pilihan interpretasi
hukum tidak boleh menabrak fondasi moralitas antimafia peradilan.81
Idealnya KY memang tetap diberi peran dalam proses pengawasan, terutama terkait
dalam proses pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi. Sebagaimana halnya
Judicial Service Commission di Afrika Selatan yang memiliki kewenangan konstitusional
untuk memberikan saran (advice) kepada Presiden sehubungan dengan pengangkatan dan
pemberhentian Ketua dan Wakil Ketua MK, MA dan Semua Lembaga Peradilan.82 Namun
untuk kearah itu tidak cukup dilakukan melalui revisi UUMK, tetapi harus melalui
amandemen UUD. Dengan tetap memberi wewenang pengawasan pada KY, semestinya
MKMK tidak perlu lagi ada. Kalaupun tetap diadakan, proses pembentukan forum MKMK
tersebut sebaiknya diinisiasi/difasilitasi oleh KY bukan melalui mekanisme internal MK.
Rekomendasi;
Syaifuddin, Firmansyah Arifin. Diselenggarakan oleh Pukat UGM dan Indonesia Court Monitoring (ICM), Yogyakarta, 26-27
September 2006.
80
Denny Indrayana, “Negara Antara Ada dan Tiada; Reformasi Hukum Ketatanegaraan”, Kompas, 2008, hal. 25.
81
Ibid., hal. 31
82
A. Ahsin Tohari, “ Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan”, Elsam, 2004, hal. 135.
System
pengawasan
bagi
MK
perlu
diperjelas,
yang
didalamnya
tersedia
mekanisme
pemberhentian/pemecatan bagi hakim konstitusi. Untuk hal itu maka;
1.
Revisi UUMK perlu mengatur tugas, kewenangan serta unsur dari MKMK, dimana salah satu unsurnya
adalah Komisi Yudisial. Sebaiknya dalam MKMK ini, KY diberi peranan untuk menginisiasi/memfasilitasi
forum MKMK yang hasilnya dapat langsung disampaikan kepada Presiden.
2. Amandemen kembali UUD yang dapat memperjelas/mempertegas posisi dan peranan KY dalam hal
mengawasi hakim, tidak hanya untuk mengawasi hakim agung dan hakim di pengadilan umum, tetapi juga
termasuk hakim konstitusi.
BAB V
MELENGKAPI HUKUM ACARA
MAHKAMAH KONSTITUSI
Hukum acara sangat mutlak diperlukan bagi sebuah institusi pengadilan. Kebutuhan hukum
acara tidak hanya dilihat secara teknis prosedural guna mendukung penyelesaian perkara sesuai
kewenangan pengadilan. Tetapi harus dilihat dan dimaknai bahwa, kebutuhan hukum acara
untuk menjamin terlaksananya proses yang jujur (fair trial). Tujuannya adalah agar hak setiap
orang dapat diperlakukan secara adil dalam proses pemeriksaan di pengadilan. Oleh karena itu,
benar dan adilnya penyelesaian perkara di hadapan pengadilan, tidak hanya dilihat dari putusan
yang telah dijatuhkan, tetapi harus dinilai sejak awal proses pemeriksaan perkara dimulai.
Apakah sejak tahap awal ditangani, pengadilan telah memberi pelayanan yang sesuai dengan
ketentuan hukum acara atau tidak (due process of law atau undue process). Apabila sejak awal
sampai putusan dijatuhkan, proses pemeriksaan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum
acara (due process law), berarti pengadilan telah menegakkan ideologi fair trial yang dicitacitakan negara hukum dan masyarakat demokratis.
Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah institusi pengadilan (court of system), jelas memiliki
hukum acara. Ketentuan mengenai hukum acara bagi Mahkamah Konstitusi cukup banyak
diatur dalam UUMK. Terdapat kurang lebih 57 pasal yang mengatur soal hukum acara, dan
nampaknya merupakan ketentuan/pengaturan yang paling mendominasi isi dari UUMK. Secara
sistematika, pasal-pasal yang mengatur hukum acara ini terdiri dari dua (2) bagian. Pertama
hukum acara yang bersifat umum, dan yang kedua bersifat khusus untuk mengatur pelaksanaan
masing-masing kewenangan. Meskipun UUMK sudah mengandung banyak pasal hukum acara
(pasal 28 – 85), tetapi bukan berarti tanpa kelemahan dan kekurangan. Seperti diakui pula oleh
salah seorang hakim konstitusi, Maruarar Siahaan, pengaturan hukum acara yang dimuat
dalam UUMK sangat sumir sehingga terdapat begitu banyak kekosongan.83
Untuk menutupi kekurangan dan kekosongan tersebut, MK telah membuat beberapa
Peraturan tambahan yang berkaitan dengan hukum acara. Hal ini memang dimungkinkan
sebagaimana diatur dalam Pasal 86 UUMK yang menyatakan bahwa, “Mahkamah Konstitusi
dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan
wewenangnya menurut Undang-Undang ini”. Selain untuk melengkapi kekurangan UUMK,
83
Maruarar Siahaan, “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Konstitusi Press, 2005, hal. 4. Lihat
pula wawancara Maruarar Siahaan dalam, “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Masih Mengandung Kekurangan”, Hukumonline,
9 Desember 2003.
peraturan MK mengenai hukum acara lahir karena adanya kebutuhan dalam praktek
pelaksanaan kewenangan. Peraturan MK tersebut diantaranya adalah; (1) PMK Nomor
04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum;
(2) PMK Nomor 05/PMK/2004 tentang Prosedur Pengajuan Keberatan Atas Penetapan Hasil
Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2004; (3) PMK Nomor 06/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang; (4) PMK Nomor
08/PMK/2006
tentang
Pedoman
Beracara
Dalam
Perkara
Sengketa
Kewenangan
Konstitusional Lembaga Negara.
Namun demikian, meskipun telah ada sejumlah peraturan hukum acara yang dibuat,
peraturan tersebut belum sepenuhnya melengkapi kekurangan yang ada dalam UUMK. Dengan
kata lain, terdapat persoalan yang muncul dan berkembang di dalam praktek serta adanya
kebutuhan baru dalam pelaksanaan tugas/wewenang MK, yang belum terjawab dan diatur baik
didalam UUMK maupun peraturan MK. Disamping itu beberapa hal yang telah diatur dalam
PMK, merupakan materi undang-undang sehingga lebih tepat jika diatur dan ditempatkan
menjadi kedalam UUMK. Oleh karena itu, dalam rangka melengkapi hukum acara MK ini
dimaksudkan untuk mengubah ketentuan, melengkapi atau menambahkan kekurangan, serta
mengambil dan memindahkan ketentuan-ketentuan yang sudah ada ke dalam UUMK.
A. UMUM
Kedudukan dan kewenangan MK yang merupakan pelaksana Kekuasaan Kehakiman selain
MA dan badan peradilan lainnya, dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara konstitusi
berlaku juga asas yang biasa digunakan pengadilan lainnya. Dalam hal ini proses yang
dilakukan MK, tunduk dan mengikuti asas dan ketentuan umum yang berlaku dalam praktek
kekuasaan kehakiman sesuai UU Kekuasaan Kehakiman, maupun secara universal. Asas ini
tidak akan menjadikan sesuatu mendorong proses yang tidak akan mendukung dalam satu dua
hari belakangan ini. Asas-asas yang terkandung dalam UUMK seperti adanya, persidangan
terbuka untuk umum, diatur dalam Pasal 28 ayat (5) dan Pasal 40 ayat (1); independen dan
imparsial peradilan (pasal 2).
Selain menyangkut soal asas-asas, UUMK juga sudah mengatur beberapa ketentuan yang
dipandang positif untuk menunjang peradilan MK dan menjamin pelaksanaan prinsip
transparansi dan akuntable. Selain itu beberapa ketentuan yang diatur dalam hukum acara ini
dapat dipandang merupakan suatu hal yang baru yang berbeda dan belum diatur dalam hukum
acara peradilan lainnya. Ketentuan-ketentuan tersebut menyangkut soal;
a. Limitasi Waktu Yang Jelas, misalnya dalam hal untuk melengkapi berkas permohonan
(Pasal 32 ayat 1), penetapan hari sidang pertama setelah registrasi (Pasal 34 ayat 1),
pemanggilan saksi sebelum hari sidang (Pasal 38 ayat 2), penyampaian putusan kepada para
pihak (Pasal 49)
b. Kewajiban Mengumumkan Hari Sidang (Pasal 34 ayat 2 dan 3).
c. Alat Bukti dalam Bentuk Elektronik atau Alat Optic (pasal 36 ayat 1).
d. Perolehan Alat bukti yang harus dipertanggungjawabkan secara Hukum (Illegally Obtained
Evidence/pasal 36 ayat 2).
e. Pemeriksaan Pendahuluan (pasal 39).
f.
Countempt of Court atau kewajiban menaati tata tertib sidang (pasal 40).
g. Dissenting Opinion dalam putusan (pasal 45 ayat 10).
Meskipun demikian, berbagai ketentuan hukum acara yang sudah diatur dalam UUMK dan
dilengkapi dengan beberapa PMK, sekiranya masih terdapat kekurangan dalam pengaturan
hukum acara tersebut. Kekurangan yang sudah seharusnya dapat dilengkapi dengan
mengadopsi, menambah ataupun mengelaborasi sejumlah ketentuan yang sudah ada. Dalam
hal ini, mengingat pula bahwa perkara-perkara yang akan diperiksa dan diadili dalam
persidangan MK merupakan perkara yang berkaitan dengan kepentingan publik, maka
beberapa asas penting dan relevan dapat menjiwai dan ditentukan pengaturannya kedalam
UUMK.
1. Melengkapi Asas-Asas Hukum Acara
a. Larangan menolak perkara (ius curia novit)
Prinsip ini mendasarkan pada anggapan bahwa Pengadilan mengetahui hukum yang
diperlukan untuk menyelesaikan perkara, dan tidak boleh menolak perkara dengan
alasan hukumnya tidak jelas. Dengan kata lain, MK harus menerima, memeriksa,
mengadili dan memutus perkara yang diajukan kepadanya sesuai dengan wewenang
yang dimilikinya. Prinsip ini memberikan kewajiban kepada hakim sebagai organ
pengadilan yang dianggap memahami hukum, untuk menentukan penyelesaian perkara
melalui penafsiran, penelitian, mengkonstruksikan maupun melalui penemuan hukum
(rechtsvinding).
b. Hak Untuk Mendengar Secara Berimbang (Audi At Alteram Partem)
Dalam proses peradilan, setiap pihak mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk
didengarkan keterangannya secara berimbang. Termasuk dalam hal mengajukan buktibukti yang dipandang perlu untuk memperkuat dalil-dalil permohonan yang diajukan.
Asas ini untuk menjamin prinsip independensi dan impartialitas yang harus ditegakkan.
Dalam hal ini pula, pengadilan atau Mahkamah dapat memanggil dan meminta
keterangan dari pihak–pihak yang dianggap relevan. Bahkan bilamana perlu, pengadilan
juga memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang merasa berkepentingan untuk
mengajukan diri memberikan keterangan.
c. Hakim Bersifat Aktif (Dominus Litis).
Pada dasarnya perkara-perkara yang menjadi wewenang MK adalah perkara yang
berkaitan denga kepentingan umum atau publik. Seperti pada umumnya yang berlaku di
dalam hukum publik, maka hakim dalam persidangan di MK harus berupaya mencari
dan mengungkapkan fakta dan melengkapi segi hukumnya. Sikap aktif tersebut
dikarenakan mencari kebenaran atas suatu peristiwa yang merupakan kepentingan
publik yang menurut hukum publik harus diberi wewenang yang besar. Dengan sikap
aktif ini, hakim apabila perlu dapat menentukan sendiri hal-hal yang diperlukan
(misalnya dengan, memanggil dan menentukan para pihak yang perlu didengarkan
keterangannya, melakukan pemeriksaan pendahuluan, memanggil dan mendengarkan
saksi-saksi yang diperlukan, menentukan dan menilai alat bukti), dengan maksud
memperoleh kebenaran materiil, tanpa harus tergantung pada inisiatif dan keaktifan
para pihak yang bersengketa. Dengan kata lain, hakim aktif ini tertuju kepada upaya
untuk memperbaiki fakta yang tidak didalilkan oleh para pihak.
Sikap aktif hakim ini dimaksudkan pula untuk mengimbangi kedudukan para pihak yang
tidak setara, antara pemohon yang merupakan orang atau warga negara dengan
penguasa (pemerintah/legeslatif) sebagai termohon. Dalam hal ini, Van Wijk dan
Willem Konijnenbelt, sebagaimana dikutip oleh Suparto Wijoyo menyatakan bahwa,
pada umumnya penguasa mempunyai kedudukan lebih kuat, juga dalam beracara. Hal
ini
dapat
dikompensasi
dengan
meminimalkan
aturan-aturan
beracara
dan
memaksimalkan kebebasan hakim.84
84
Suparto Wijoyo, “Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi”, Surabaya-Airlangga University Press, 1997, hal.
69.
Rekomendasi;
UUMK harus melengkapi asas-asas hukum acara yang dapat menjadi pengarah bagi MK dalam
melaksanakan fungsinya mengadili perkara. Asas-asas tersebut adalah;
1.
Larangan menolak perkara
2.
Hak untuk mendengar secara berimbang
3. Hakim bersifat aktif
2. Menambahkan Ketentuan Penting.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa, beberapa hal yang belum diatur dalam UUMK
telah ditentukan lebih lanjut dalam PMK. Ketentuan tambahan dalam PMK tersebut
selain timbul karena adanya kebutuhan, juga sebagai akibat dari adanya peristiwa atau
persoalan yang berkembang didalam praktek. Tentu saja ketentuan tambahan yang telah
dimuat dalam PMK, merupakan sesuatu yang positif yang diperlukan untuk menunjang
pelaksanaan penanganan perkara, sekaligus sebagai langkah antisipatif jika suatu saat
nanti ditemukan peristiwa atau kasus yang sama.
Beberapa ketentuan penting yang sudah diatur dalam PMK seperti; pengajuan
permohonan dapat melalui media elektronik (fax atau email), pembebasan dari biaya
perkara, pemeriksaan persidangan jarak jauh melalui teleconference, keterangan ahli
yang tidak memiliki kepentingan (conflict of interest) dengan pokok perkara. Bahkan
secara khusus dalam hukum acara untuk pengujian undang-undang, PMK Nomor
06/PMK/2005 telah mengatur soal akses bagi pihak terkait/ad informandum dan
penghentian pemeriksaan jika terdapat dugaan perbuatan pidana dalam pembentukan
undang-undang (Prejudiciil Geschill).85
Namun demikian, beberapa ketentuan yang sudah diatur dalam PMK tersebut dapat
dipandang merupakan materi muatan undang-undang, yang ketentuan maupun
akibatnya akan mengikat banyak pihak. Para pihak yang tidak hanya sedang berperkara
di MK, tetapi mengikat pihak-pihak lain, baik pemerintah, DPR, masyarakat secara luas.
Apabila hanya diatur dan ditentukan melalui PMK, dikhawatirkan kurang mendapat
Pasal 16 ayat 1 PMK Nomor 06/PMK2005 menentukan bahwa “ Mahkamah dapat menghentikan sementara proses pemeriksaan
permohonan pengujian undang-undang dapat hal terdapat dugaan terjadinya perbuatan pidana dalam proses pembentukan
undang-undang, yang telah diproses secara hukum”.
85
pengakuan, dukungan atau legitimasi dari pihak-pihak tersebut. Dengan kata lain, bisa
saja pada suatu saat ketentuan yang sudah diatur dalam PMK tidak diakui, bahkan
ditentang atau ditolak ketika akan diterapkan.
Oleh karena itu, mengingat pentingnya materi yang sudah ditentukan dalam PMK
tersebut sebaiknya perlu dimasukkan menjadi materi atau ketentuan dalam UUMK.
Sehingga dapat memperoleh jaminan dan legitimasi yang kuat, serta memudahkan segi
penyampaian atau sosialisasinya kepada publik secara lebih luas.
Rekomendasi:
Beberapa materi dalam PMK mengenai hukum acara, sebaiknya diakomodir dan ditempatkan menjadi
materi UUMK. Materi tersebut adalah; (a) pengajuan permohonan dapat melalui media elektronik (fax
atau email), (b) pembebasan dari biaya perkara, (c) pemeriksaan persidangan jarak jauh melalui
teleconference, (d) keterangan ahli yang tidak memiliki kepentingan (conflict of interest) dengan pokok
perkara; (e) akses bagi pihak terkait/ad informandum dan (g) penghentian pemeriksaan jika terdapat
dugaan perbuatan pidana dalam pembentukan undang-undang.
3. Masalah Pembuktian
Pembuktian dalam sebuah persidangan bukanlah merupakan persoalan yang mudah
untuk diterapkan. Hal ini amat bergantung dari system pembuktian yang dianut dan alat
bukti yang dipergunakan atau diperkenankan undang-undang. Oleh karena perkara
yang diadili MK merupakan perkara yang memiliki karakteristik perkara publik, maka
system atau asas pembuktian yang digunakan MK adalah mengacu kedalam hukum
publik, yaitu asas pembuktian bebas (vrij bewijs). Konsekwensi dari asas pembuktian
bebas ini maka berlaku; 1) dalam melakukan pembuktian hakim tidak tergantung pada
fakta yang dikemukakan para pihak; 2) hakim yang membagi beban pembuktian di
antara para pihak; 3) hakim tidak terikat pada ketentuan yang ada untuk memilih alat
bukti; 4) penilaian terhadap hasil pembuktian diserahkan sepenuhnya kepada hakim
yang bersangkutan.86
Prinsip umum dalam hukum acara juga menggunakan dalil bahwa “siapa mendalilkan
harus membuktikan”. Kecuali peristiwa atau keadaan yang telah diketahui secara umum
(notoire feit), dan hal-hal yang telah diketahui sendiri oleh hakim baik karena
86
Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara…, Opcit., hal. 67-69
pengalaman maupun karena dilihat sendiri didepan persidangan. Untuk masalah
pembuktian ini, UUMK tidak mengatur beberapa hal penting dalam proses pembuktian,
misalnya apa yang harus dibuktikan? Apa yang tidak perlu dibuktikan? Kapan dan
kepada siapa pembuktian harus dibebankan?87 Namun karena asas hukum asas hukum
acara yang digunakan dalam hukum publik dipandang dapat berlaku juga di MK, maka
berdasarkan asas pembuktian bebas hakim bebas untuk menentukan beban pembuktian
dan menilai alat-alat bukti.
Adapun menyangkut soal alat bukti, Pasal 36 ayat (1) UUMK menentukan alat bukti
ialah; a) surat atau tulisan; b) keterangan saksi; c) keterangan ahli; d) keterangan para
pihak; e) petunjuk; dan f) alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Dalam hal alat bukti surat atau tulisan yang dimaksud, berupa kutipan, salinan, atau
fotokopi peraturan perundang-undangan, keputusan tata usaha negara, dan/atau
putusan pengadilan, naskah aslinya harus diperoleh dari lembaga resmi yang
menerbitkannya.88 UUMK juga menentukan harus dapat dipertanggunjawabkan
perolehannya secara hukum (Illegally Obtained Evidence). Jika tidak, surat atau tulisan
tersebut tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah (Pasal 36 ayat 2 dan 3).
Menyangkut alat bukti ini, terutama soal keterangan ahli, UUMK tidak memberikan
definisi ataupun menentukan kriteria seorang ahli. Pernah dalam suatu perkara
pengujian undang-undang MK ‘kecolongan’, karena seseorang yang memiliki konflik
kepentingan dengan perkara yang sedang diproses justeru dimintai keterangan sebagai
ahli.89 Oleh karena itu perlu diberikan kriteria dan batasan mengenai ahli ini. Dalam
PMK keterangan ahli adalah diberi penjelasan, “keterangan yang diberikan oleh
seseorang yang karena pendidikan dan/atau pengalamannya memiliki keahlian atau
pengetahuan mendalam yang berkaitan dengan permohonan, berupa pendapat yang
bersifat ilmiah, teknis, atau pendapat khusus lainnya tentang suatu alat bukti atau
fakta yang diperlukan untuk pemeriksaan permohonan.”90 Dari penjelasan tersebut
87
Lihat Maruara Siahaan, Hukum Acara…., opcit., hal. 126-127
88
Pasal 19 ayat (2) PMK No. 06/PMK/2006
89
Lihat dalam “Kriteria Ahli dalam Persidangan MK Perlu Dipertegas”, http://hukumonline/detail.asp?id=11917&cl=Berita,
diakses 14 April 2008.
90
Pasal 1 angka 3 PMK Nomor 06/PMK/2005
dapat diketahui bahwa, yang dimaksud ahli tidak hanya karena pendidikan atau
memiliki gelar akademis, tetapi karena pengalamannya sehingga memiliki keahlian atau
pengetahun mendalam tentang suatu hal tertentu yang berkaitan dengan perkara yang
disidangkan. Selain itu untuk lebih menjamin obyektifitas, seorang ahli tidak boleh
memiliki kepentingan tersendiri dengan perkara yang diajukan.91
Ketentuan mengenai alat bukti dalam bentuk elektronik atau alat optik ini
merupakan sesuatu yang baru yang diatur dalam hukum acara sebuah pengadilan.
Dalam ketentuan hukum acara pidana, perdata maupun tata usaha negara ketentuan
mengenai alat bukti seperti ini belum ada. Boleh jadi hal ini merupakan sebuah
perkembangan hukum, yang dipengaruhi oleh adanya perkembangan teknologi dan
informasi. Sehingga suatu fakta atau peristiwa yang dibuktikan dengan informasi yang
tersimpan secara elektronik ini dapat dikatagorikan menjadi alat bukti.
Namun pengaturan mengenai bentuk elektronik atau alat optic dalam UUMK ini lebih
ringkas jika dibandingkan pengaturan dalam ketentuan Pasal 26A UU No. 20/2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 26A ditentukan alat bukti
yang sah dalam bentuk petunjuk, dapat diperoleh dari; (a) alat bukti lain yang berupa
informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu; dan (b) dokumen, yakni setiap rekaman data
atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki
makna.
Rekomendasi:
1.
Perlu ditentukan kriteria dan batasan mengenai ahli dalam UUMK.
2. Alat bukti berupa alat elektronik dan alat optic perlu dielaborasi lagi lebih lengkap.
91
Pasal 22 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005 menentukan, Keterangan ahli yang dapat dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah
keterangan yang diberikan oleh seorang yang tidak memiliki kepentingan yang bersifat pribadi (conflict of interest) dengan subjek
dan/atau objek perkara yang sedang diperiksa.
B. KHUSUS
B.1. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang
a.
Melihat Kembali Subyek Pemohon
Dalam Pasal 51 ayat (1) UUMK dikatakan, “Pemohon adalah pihak yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undangundang” . Siapa saja pihak yang dimaksud? Dalam pasal itu juga ditentukan pihak-pihak
yang menjadi subyek pemohon atau memiliki kedudukan hukum (legal standing), yaitu:
a) perorangan warga negara Indonesia; b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang
diatur dalam UU; c) badan hukum publik atau privat; dan d) lembaga negara. Apabila
pihak-pihak tersebut menganggap hak atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan,
maka wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonan tentang; a) pembentukan
undang-undang tidak memenuhi ketentuan UUD 1945 (Uji Formiil); (b) materi muatan
dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD
1945 (uji materiil).92
Masalahnya, ketentuan yang terdapat dalam pasal itu sesungguhnya mengandung
ketidakjelasan yang bisa berakibat menyulitkan para pemohon untuk mendalilkan,
termasuk para hakim konstitusi untuk membuktikan dan mengaitkan pelanggaran yang
didalilkan pemohon terhadap ketentuan dalam UUD 1945. Meskipun kemudian
ditentukan dengan bersandar pada pada yurisprudensi Amerika, sebagian hakim MK
kemudian memberi tafsir, bahwa untuk memiliki standing to sue, harus dipenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
(1) adanya kerugian yang timbul karena adanya pelanggaran kepentingan pemohon
yang dilindungi secara hukum yang bersifat (i) spesifik atau khusus, dan (ii) actual
dalam satu kontroversi dan bukan hanya bersifat potensial; (2) adanya hubungan
sebab akibat atau hubungan kausalitas antara kerugian dengan berlakunya satu
undang-undang; (3) kemungkinan dengan diberikannya keputusan yang diharapkan,
maka kerugian akan dihindarkan atau dipulihkan.93
92
Pasal 51 ayat 2 dan 3 UUMK
93
Maruarar Siahaan, Op.Cit., hal. 80. Sebagaimana mengutip Lujan v. Defenders of Wildlife, 112 S.Ct.2310,2316 (1992). Senada
dengan hal ini, lihat Jimly Asshiddiqie, dalam Op.Cit., hal. 67-72.
Tradisi Amerika yang menganut paradigma konkret review, sebenarnya dipengaruhi
oleh jenis perkara yang diajukan. Perkara yang dimintakan judicial review ke MA
(Supreme of Court) Amerika Serikat, oleh hakim Negara Bagian, umumnya adalah
perkara-perkara konkret yang sedang disidangkan di pengadilan negara bagian. Dari
pendapat tersebut bisa ditarik simpulan, bahwa MK di Indonesia menganut paradigma
konkret/aktual review, bukan abstrak/potensial review, sehingga pemohon harus secara
terang bisa membuktikan kerugian konstitusional yang dialaminya, bukan sekedar
prediksi akan mengalami kerugian konstitusional.
Namun demikian, bagaimana permohonan yang diajukan oleh perorangan atau
kelompok warga negara yang mempermasalahkan atau hendak menguji keberlakukan
sebuah undang-undang dianggap tidak berdasarkan UUD 1945 (uji formiil)? Bagaimana
kemudian pemohon harus mendalilkan dan membuktikan adanya causal verband bahwa
proses pembentukan suatu undang-undang telah merugikan hak atau kewenangan
konstitusionalnya? Hal ini tentunya tidak mudah dan sulit ditemukan. Karena tindakan
menyimpang dan tidak sesuai dengan UUD 1945 dalam proses pembentukan undangundang, tergolong tindakan legeslatif dengan kekuasaannya yang bersifat negative yang
lebih besar potensi kerugiannya dialami oleh anggota atau kelompok minoritas di
parlemen. Oleh sebab itu, sebaiknya pengujian secara formil tidak dapat diajukan oleh
perseorangan, tetapi bisa diberikan kepada kelompok minoritas diparlemen.94
Fenomena lain, ada kecenderungan mereka yang sedang menjalani proses hukum atau
didakwa karena kasus pidana, mengajukan permohonan uji materiil ke MK. Kasus
semacam ini terutama ramai pada perkara-perkara korupsi, di mana para terdakwanya
berbondong-bondong mengajukan permohonan judicial review UU PTPK. Seolah-olah
upaya yang dilakukan oleh mereka, dapat dibenarkan dan merupakan bagian dari
pelaksanaan hak yang harus dipenuhi. Dan MK membuka akses seluas-luasnya, yang
tidak tertutup kemungkinan mengabulkan permohonan yang diajukan para terdakwa.
Namun tak bisa dipungkiri, kalau kenyataan tersebut memberikan kesan kuat bahwa apa
yang dilakukan para terdakwa kasus pidana, seperti memperoleh sebuah upaya hukum
yang bisa memberikan ‘amunisi’ baru untuk lolos dari jeratan hukum (impunitas).
94
Ahmad Sjahrizal, Peradilan Konstitusi.., Opcit., hal. 312-313.
Yang dapat dibenarkan adalah bukan para terdakwa kasus pidana, tetapi para hakim di
pengadilan umum. Alasannya, para hakim-lah yang bisa melihat dan akan menentukan
apakah pasal-pasal yang akan digunakan untuk menghukum bertentangan atau
melanggar konstitusi atau tidak. Jika hakim merasa ragu, maka dirinya bisa mengajukan
permohonan untuk meminta pertimbangan konstitusionalitas kepada MK. Sedangkan
para terdakwa, dapat mengajukan permohonan uji materiil jika kasus yang menimpa
dirinya sudah diputus oleh pengadilan. Praktek seperti ini yang lazim berlaku di banyak
negara yang memiliki MK.
Rekomendasi;
Meninjau kembali ketentuan mengenai subyek hukum pengujian undang-undang, dengan
membatasi hak perorangan dapat mengajukan permohonan pengujian formiil dan membatasi
mereka yang sedang menjalani proses hukum kasus pidana mengajukan uji materiil. Sekaligus
menegaskan kelompok minoritas di parlemen dan hakim di pengadilan umum dapat menjadi
subyek pemohon dalam perkara pengujian undang-undang.
b. Legitimasi dan Akibat Putusan
Dalam ketentuan Pasal 58 UUMK dinyatakan bahwa, “Undang-undang yang diuji oleh
Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa
undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945”. Ketentuan ini berarti
memposisikan putusan MK berlaku kedepan (prospektif), tidak berlaku surut
(retroaktif). Konsekwensi dari putusan prospektif adalah segala peristiwa, perbuatan
atau keputusan yang telah terjadi sebelum ketentuan pasal/ayat/undang-undang
dibatalkan, selalu dianggap sah dan tidak bertentangan dengan putusan yang telah
dijatuhkan (rechtmatig). Keputusannya hanya dapat dibatalkan dan bukan batal demi
hukum.
Suatu hal yang dirasakan dan oleh banyak pihak sulit dipahami adalah putusan
prospektif itu mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum (Rechtvacuum).
Landasan hukumnya sudah tidak ada, tetapi secara de facto fakta atau peristiwa
hukumnya masih berlangsung. Dalam hal ini, masalahnya organ pembentuk UU tidak
cepat tanggap terhadap sifat mengikat dari putusan MK. Bahkan mereka terkesan
mengacuhkan kehendak putusan MK. Akibatnya putusan MK memiliki problem di
tingkat implementasi. Banyak UU yang sudah dibatalkan kekuatan mengikatnya,
kemudian tidak jelas kelanjutannya, sehingga berimplikasi pada tidak adanya aturan
hukum yang bisa menjadi pegangan. Pada sisi lain, jamak juga UU yang kekuatan
mengikatnya telah dibatalkan, tetapi masih tetap digunakan sebagai kaidah hukum yang
berlaku (ex: UU Minyak dan Gas).
Melihat perkembangan yang demikian, untuk menghindari terjadinya kekosongan
hukum (rechtvacuum), khususnya bagi perkara-perkara yang krusial, strategi yang
ditempuh MK selanjutnya adalah dengan cara mengundurkan periode pembatalan suatu
UU. Guna memberikan tenggat waktu bagi organ undang-undang, untuk menyiapkan
pengganti UU yang dibatalkan, sehingga tidak terjadi periode kekosongan hukum.
Contoh nyata tindakan ini adalah pada perkara uji konstitusionalitas pengadilan tindak
pidana korupsi. Dalam putusannya secara dejure Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sudah dinyatakan inkonstitusional, namun MK memberikan tenggat waktu tiga tahun
bagi organ pembentuk UU, untuk menyiapkan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
yang baru, sebelum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi secara defacto dinyatakan
inkonstitusional. Meskipun demikian, organ pembentuk UU pun masih lambat
menanggapinya.
Pemberlakuan putusan bagi UU selain yang diuji (erga omnes) adalah sebuah bentuk
bahwa putusan tersebut dipatuhi oleh berbagai pihak. walaupun tidak dapat diartikan
mengikat terhadap ketentuan serupa dalam UU yang berbeda (UU yang tidak diuji)
namun dalam hal ketentuan serupa menjadi dasar sengketa di pengadilan mestinya
hakim memperhatikan putusan MK. Dalam hal di luar pengadilan mestinya pembentuk
UU termasuk Perda segera merubah produk hukum yang bersangkutan untuk
disesuaikan dengan putusan MK. Misalnya tentang syarat untuk calon legislatif Pasal 60
huruf g. Dengan demikian perlu diatur agar sifat final dan mengikat putusan MK dirinci
tentang tindakan yang harus dilakukan oleh penyelenggara negara yang lain untuk tidak
memberlakukan ketentuan yang sudah dinyatakan tidak mengikat atau segera mereviu
produk hukum yang memiliki ketentuan senada.
Selama ini putusan MK bisa dikatakan tidak berwatak implementatif, di mana ketika
mencapai tahap aplikasi, seringkali putusan MK dihadang oleh sekian banyak rintangan
yang menggangu eksekusi putusan tersebut. Oleh karenanya, kiranya perlu suatu
strategi kesadaran kolektif untuk bersama-sama mengaplikasikan putusan MK pada
kondisi yang dikehendaki konstitusi. Akan sangat absurd pengimplementasian putusan
MK tanpa adanya respon positif dari organ pembentuk undang-undang dan pemerintah
berkuasa. Selama ini kerap kali terjadi kesenjangan dan disparitas antara tahap
pembacaan dengan implementasi putusan final di lapangan. Jika persoalan ini terus
dibiarkan, niscaya putusan MK hanya akan memiliki kekuatan simbolik yang menghiasi
lembaran berita negara.
Ke depan, organ MK sebaiknya tidak sekedar memiliki kewenangan yang besar dalam
hal pengujian konstitusionalitas, melainkan juga harus dibekali kewenangan untuk
mengawasi putusannya, artinya putusan final harus disertai dengan judicial order yang
diarahkan kepada perorangan atau pun institusi negara. Selanjutnya harus pula
diadakan ketentuan formal yang mengatur implementasi putusan final dan mengikat,
selain diperkuat dengan adanya kesepakatan kolektif dari lembaga dan aktor negara
untuk
melakukan
tindakan
koordinatif
dan
kolaboratif
yang
mendukung
pelaksanaan/implementasi dari putusan MK. Persoalan besarnya pada dasarnya
terdapat pada daya ikat atau keberlakukan putusan MK. Bilamana organ pembentuk
undang-undang memiliki kesadaran untuk segara menindaklanjuti atau melakukan
eksekusi atas keluarnya suatu putusan MK, yang membatalkan UU tertentu, sebenarnya
permasalahan kekosongan hukum tidak akan pernah terjadi. Artinya, yang perlu
didorong adalah bagaimana membuat putusan MK memiliki daya eksekutorial yang
kuat.
Disamping masalah kekosongan hukum, putusan pengujian undang-undang juga
dirasakan tidak memberi rasa keadilan secara langsung kepada para pemohon,
maupun masyarakat lain yang potensial merasakan keadilan sebagai akibat dari putusan
yang dijatuhkan. Hak atas keadilan dari pemohon atau masyarakat yang mendapatkan
akibat dari putusan MK, tidak serta merta didapatkan, melainkan harus menunggu atau
menempuh suatu proses lain di lembaga lain. Bahkan besar kemungkinan malah
diabaikan atau ditolak. Jika hal ini terus berlanjut, bisa jadi MK akan ditinggalkan para
pencari keadilan. Kondisi demikian terjadi karena faktor-faktor yang saling berkaitan,
antara putusan MK yang berlaku prospektif dengan respon negatif dari aktor dan
lembaga negara terhadap putusan MK. Ada baiknya kemudian memberikan
kemungkinan untuk pemberlakukan putusan yang dapat berlaku surut (retroaktif),
seperti MK di Italia dan Korea, terutama dalam kasus-kasus pidana atau yang
mendapatkan perhatian dan berdampak luas kepada masyarakat.95
Namun sebaliknya, dalam beberapa putusan MK telah ‘berijtihad’ dengan membuat
kondisi dimana ada Conditionally Constitutional (konstitusional bersyarat). Artinya,
ada suatu muatan atau norma yang konstitusional bila dimaknai sesuai dengan yang
ditentukan MK berdasarkan penafsiran terhadap UUD 1945. Dengan kata lain, kondisi
tersebut harus ditafsirkan sesuai pertimbangan hukum MK. Apabila sebaliknya, undangundang tersebut tidak tertutup kemungkinan diuji kembali. Setidaknya konstitusional
bersyarat terdapat dalam putusan pengujian UU Air, UU PPTKI, UU Pemilu No. 10
tahun 2008 dan UU Perfilman.
Putusan yang memberi pertimbangan konstitusional bersyarat ini, jelas ‘menabrak’
ketentuan yang melarang pengujian kembali terhadap terhadap materi muatan ayat,
pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji (Pasal 60 UUMK). Tetapi
disatu sisi, dapat ditafsirkan bahwa konstitusional bersyarat ini membuka ruang
keadilan, terutama bagi pemohon, apabila dikemudian hari ditemukan bahwa suatu
keadaan yang dianggap merugikan hak konstitusional yang telah diajukan sebelumnya,
dapat dimohonkan kembali. Putusan semacam ini, dapat dianggap merupakan bagian
dari asas kebebasan hakim untuk menentukan pilihan demi mencapai kebenaran
materiil berdasarkan konstitusi.
c. Memberikan Putusan ‘Provisi’
Selama ini MK tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan penetapan sementara
yang dapat meminta kepada para pihak untuk tidak mengeluarkan keputusan hingga
keluarnya putusan MK. Putusan sela (provisi) memang hanya ditentukan pada perkara
SKLN, tidak dikenal pada perkara lain.96 Dalam perkara pengujian UU, MK sekedar
memiliki kewenangan untuk mengeluarkan pemberitahuan kepada MA, bahwa MK
sedang sedang melakukan pengujian suatu UU. Hal ini sebagai antisipasi jikalau UU
95
Lihat dalam Allan R Brewer, Judicial Review in Comparative Law, Newyork-Cambridge University Press, 1989, hal. 224.
Juga Ahmad Sjahrizal, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, 2006, hal. 243244.
96
Pasal 63 UUMK menentukan, “Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon
dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan
Mahkamah Konstitusi”
yang sedang diuji oleh MK, tengah menjadi sandaran hukum dalam penanganan suatu
perkara oleh MA atau peradilan di bawahnya.
Persoalan lain kemudian muncul, seperti pada kasus pengujian UU No. 10 Tahun 2008
tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Dalam kasus tersebut ketentuan dalam UU a quo
yang menjadi sandaran KPU untuk mengeluarkan keputusan tentang siapa yang berhak
menjadi peserta pemilu 2009, justru dibatalkan kekuatan mengikatnya oleh MK.
Meskipun putusan MK berlaku propektus, toh kemudian muncul gugatan dari parpolparpol yang tidak lolos verifikasi, yang kemudian berimbas pada bertambahnya jumlah
parpol peserta pemilu. Peristiwa ini tentunya menimbulkan masalah yang bisa
menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan, dalam hal dengan tidak selarasnya
agenda atau jadwal pemerintahan yang harus berjalan.
Disisi lain, besar kemungkinan pemerintah atau siapapun pihak terkait yang akan
terkena dampak dari perkara yang diuji MK, akan menyiasati kondisi maupun ketentuan
yang ada untuk kepantingannya. Hal semacam ini tentunya dapat dianggap tidak etis,
mengingat perkara yang sedang berjalan di MK berpotensi mempengaruhi kebijakan
atau keputusan yang akan dibuat dan dikeluarkannya. Kemungkinan seperti ini pernah
disorot oleh Frans Limahelu, dalam memberikan kesaksian di MK pada perkara
pengujian UU Pemda. Dikatakan bahwa, ketika suatu undang-undang sedang dibahas di
sidang pengadilan maka berarti semua kegiatan tentang pembuatan undang-undang
harus berhenti.97
Rekomendasi :
Memberikan kewenangan bagi MK untuk bisa mengeluarkan penetapan bagi pihak terkait
untuk tidak membuat atau mengeluarkan keputusan/kebijakan atau peraturan yang bersifat
penting dan strategis terkait dengan perkara yang sedang diuji.
d. Boleh Tidaknya Ultra Petita
Dalam beberapa putusan pengujian undang-undang, MK telah bertindak ultra petita
atau memutus melebihi yang dimintakan oleh pemohon. Misalnya, putusan tentang
97
Perkara Nomor: 072- 073 /PUU-II/2004, hal. 90.
judicial review UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 30 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, putusan judicial review UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial, serta putusan judicial review UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).
Pada putusan pengujian UU PTPK, MK mengambil langkah ultra petita, dengan
membatalkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, yang mempersempit ruang lingkup
ajaran sifat melawan hukum. Sedangkan pemohon pada waktu itu hanya sekedar
memohonkan pembatalan beberapa frasa dari UU PTPK, tidak keseluruhan kalimat.
Pada putusan pengujian UU KY, MK membatalkan kewenangan KY untuk melakukan
pengawasan terhadap hakim konstitusi, padahal pemohon hanya memintakan
pembatalan kewenangan KY untuk mengawasi hakim agung. Fungsi substansial KY
menjadi terhapuskan, KY sekedar memiliki kewenangan untuk melakukan seleksi hakim
agung, dan pengawasan hakim pada lingkungan peradilan umum, di bawah MA.
Sedangkan pada putusan pengujian UU KKR, MK memotong jantung UU KKR, sehingga
tamatlah riwayat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Terhadap ketiga putusan tersebut MK beralasan, bahwa materi yang dilakukan
pengujian adalah materi inti (organ vital) undang-undang, yang berakibat pada batalnya
materi-materi lain, sebagai implikasi batalnya organ vital tersebut. Sebagian pakar
kemudian berpendapat, bahwa secara tidak langsung, MK sebagai negative legislature
telah mengambil peran DPR sebagai positif legislature, karena MK membuat putusan
yang sifatnya mengatur (regeling), melalui putusan yang sifatnya ultra petita. Padahal
fungsi MK adalah untuk menjaga agar tidak ada UU yang bertentangan dengan UUD,
bukan membatalkan UU yang pengaturannya dinyatakan terbuka oleh UUD, dan
menjadi kewenangan DPR untuk menafsirkannya.98
Pada dasarnya ultra petita hanya dilarang dalam ranah peradilan perdata, sebab mereka
yang bersengketa adalah individu melawan individu, sehingga jika diperbolehkan ultra
petita dikhawatirkan akan menguntungkan sekaligus merugikan salah satu pihak yang
bersengketa. Lagipula dalam mekanisme sengketa perdata, diperkenankan adanya
tahapan banding yang dapat melawan kembali putusan yang telah dijatuhkan
pengadilan dibahwanya. Berbeda dengan MK yang perkaranya menyangkut kepentingan
umum, tidak hanya terkait kepentingan para pemohon secara an sich. Para hakim
98
Moh. Mahfud MD, Mendudukkan Soal Ultra Petita, KOMPAS, Senin, 5 Februari 2007. Lihat juga Moh. Mahfud MD, Kontroversi
Vonis Ultra Petita, Seputar Indonesia, Selasa, 30 Januari 2007.
konstitusi dapat secara ’leluasa’ memberikan penafsiran yang dibutuhkan untuk
mendapatkan keadilan dan kepastian hukum berdasarkan konstitusi.
Oleh karena itu, dengan karakteristik sikap aktifnya hakim konstitusi memang dapat
melakukan memutus diluar permohonan (ultra petita). Meski demikian, hakim tidak
boleh memutus tentang hal-hal yang berada di luar batas permasalahan dan isi dari
kebijakan (undang-undang) yang dimohonkan. Hakim hanya dapat memeriksa dan
memutus tentang hal-hal yang langsung terkait dengan permasalahan pokok yang
digugat, meskipun hal tersebut tidak dimohonkan oleh pemohon untuk diputus. Dari
ultra petita itu, dapat pula menjurus kepada adanya ”reformatio in peius”, dimana
putusan yang nantinya dikeluarkan bisa jadi merugikan atau mengurangi kepentingan
hukum penggugat/pemohon. Artinya, putusan yang dikeluarkan akan membawa situasi
yang lebih merugikan baginya daripada keadaan sebelum perkara diajukan.99
Oleh karenanya, ultra petita seharusnya tidak dilarang dalam ranah peradilan tata
negara (Mahkamah Konstitusi). Jika ultra petita dilarang, MK akan menjadi sangat
positivis dan legalistik, yang akan merugikan kepentingan banyak pihak, sebab hanya
mengabulkan permohonan yang diajukan para pemohon saja. Tugas MK adalah menguji
norma-norma yang sifatnya umum, bukan sengketa antara individu yang satu dengan
lainnya, dan bukan perkara yang sifatnya legalistik saja, melainkan norma konstitusi.
Karenanya ultra petita dibutuhkan untuk menjaga tetap berdirinya norma-norma
umum/konstitusi, dan tidak dilanggaranya kepentingan umum. Dan yang paling
mendasar
adalah, larangan terhadap ultra petita akan menabrak prinsip
independensi hakim yang sudah ditegaskan dalam konstitusi. Putusan merupakan
ranah independensi hakim yang patut dijaga dan dijunjung tinggi, dan tidak boleh
diintervensi. Dengan kata lain, larangan ultra petita akan bertentangan dengan
konstitusi yang berpotensi diajukan pengujiannya ke MK.
B.2. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
a. Memastikan Lembaga Negara.
Dalam ketentuan Pasal 61 ayat (1) UUMK dikatakan, “Pemohon adalah lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yang mempunyai kepentingan langsung
99
Lihat Suparto Wijoyo, Opcit., hal. 73
terhadap kewenangan yang dipersengketakan”. Dari ketentuan ini ada dua hal pokok
yang harus dipastikan lebih lanjut, yaitu pemohon adalah lembaga negara dan adanya
kepentingan langsung yang dipersengketakan. Sebagaimana diketahui sebelumnya,
terdapat beragam penafsiran untuk menentukan siapa yang bisa dikualifikasikan sebagai
negara, termasuk
dikalangan hakim
konstitusi (lihat
pembahasan
mengenai
kewenangan dalam sengketa lembaga negara).
Namun demikian Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) telah menentukan lembaga
negara yang dapat menjadi pemohon dan termohon dalam perkara sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara adalah;100
a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
d. Presiden;
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
f.
Pemerintah Daerah
g. Lembaga Negara Lain Yang Kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Masalahnya, PMK malah membuka ruang penafsiran lain yang perlu dijelaskan lebih
lanjut dalam point g, apa yang dimaksud dengan, lembaga negara lain yang
kewenangannhya diberikan oleh UUD 1945? Jika ada lembaga negara lain dalam UUD
1945, mengapa lembaga negara tersebut tidak disebutkan pula dalam ketentuan PMK?.
Disamping itu, apa yang ditentukan dalam pasal 2 PMK No. 08/PMK/2006 sudah
merupakan materi undang-undang yang tidak tepat jika hanya diatur/ditentukan dalam
PMK.
100
Pasal 2 No. 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.
Rekomendasi :
1. Ketentuan dalam PMK yang menyebutkan secara rinci tentang lembaga negara yang
dapat menjadi pihak pemohon dalam sengketa kewenangan lembaga negara, sebaiknya
ditempatkan kedalam materi undang-undang.
2. Perlu diperjelas dan dipertegas lebih lanjut, siapa lembaga negara lain yang
kewenangannya diberikan UUD.
b. Kedudukan MA Sebagai Pihak
Pasal 65 UUMK melarang bahwa Mahkamah Agung (MA) menjadi pihak dalam perkara
SKLN. Tidak begitu jelas alasan pembentuk undang-undang, mengapa terdapat
ketentuan yang melarang MA menjadi pihak dalam perkara SKLN. Padahal dari segi
teoritik, MA merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan atau diatur
dalam UUD 1945. Dan pada kenyataannya, konflik atau sengketa antara MA dengan
lembaga negara lain pernah terjadi. Misalnya, sengketa MA dengan Komisi Yudisial (KY)
mengenai obyek dan cara pemeriksaan hakim agung yang diduga melakukan
penyimpangan. Juga sengketa yang belum lama terjadi antara MA dengan BPK
mengenai biaya perkara.
Terhadap ketentuan larangan tersebut, MK memberikan penafsiran bahwa MA tidak
dapat menjadi pihak baik sebagai pemohon atau termohon dalam sengketa kewenangan
yang bersifat teknis peradilan (yudisial).101 Jika menyangkut perkara non teknis yudisial,
maka dimungkinkan MA menjadi pihak dalam perkara SKLN. Alasan tersebut
sebenarnya tidaklah logis, sebab yang menjadi objek sengketa bukanlah putusan MA,
melainkan kewenangan konstitusonal yang dimiliki MA. Oleh sebab itu, sudah
seharusnya jika MA dapat menjadi pihak dalam perkara SKLN, karena sangat
dimungkinkan MA akan berselisih kewenangan dengan lembaga negara lainnya.
Rekomendasi :
Sebaiknya pasal ini dihapus atau ditiadakan.
101
Pasal 2 ayat (3) PMK No. 08/PMK/2006
B.3. Perselisihan Hasil Pemilu
a. Melengkapi Para Pihak
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, perkembangan proses politik selama 4
tahun terakhir telah mengubah saluran demokrasi yang berpengaruh terhadap
adanya perubahan hukum mengenai pemilu. Perubahan tersebut juga sebagai akibat
dari putusan MK, yang telah memberikan kesempatan masuknya calon dari luar
partai politik (independen) untuk ikut dalam bursa pencalonan dalam pemilihan
kepala daerah. Untuk yang terakhir ini, perubahan tersebut telah diakomodasi dalam
revisi UU Pemerintah Daerah yang telah disahkan beberapa waktu lalu (lihat
pembahasan masalah kewenangan memutus perselisihan hasil pemilu).
Disamping itu, dinamika perpolitikan menjelang pemilu 2009 juga diperkirakan
akan mempengaruhi kompleksitas dan kerumitan masalah dalam sengketa pemilu.
Selain partai politik yang bertarung pada pemilu 2009 lebih banyak (48 partai), juga
karena sistem yang diberlakukan adalah parlementary treshold dimana partai politik
yang tidak memperoleh prosentase yang telah ditentukan, akan dinyatakan gugur
dan tidak boleh mengikuti pemilu berikutnya. Jadi, ini berarti hidup dan matinya
partai politik. Adanya partai politik yang menerapkan suara terbanyak dalam pemilu
legeslatif, juga berpotensi memunculkan masalah konflik internal. Dalam hal ini,
tidak hanya antara partai dengan KPU, tetapi juga partai dengan caleg-calegnya.
Melihat perkembangan dan perubahan tersebut, tentu saja ketentuan Pasal 74
UUMK dipandang sudah tidak relevan lagi. Dalam pasal tersebut ditentukan, subyek
pemohon terdiri atas; a) perorangan calon anggota DPD; b) pasangan calon presiden
dan wakil presiden; c) partai politik. Sementara sejalan dengan realitas
perkembangan yang ada sekarang, subyek pemohon tidak lagi terdiri atas 3 pihak
tetapi telah bertambah. Sebagai tambahan dari 3 unsur yang sudah ditentukan
undang-undang, lainnya adalah; calon perseorangan dalam pemilu pilkada, calon
legeslatif /anggota partai peserta pemilu legeslatif.
30
b. Putusan Final vs Penetapan KPU
Perselisihan hasil pemilu yang dapat diajukan ke MK sebagaimana dimaksudkan
dalam Pasal 74 ayat (2) UUMK, merupakan permohonan terhadap penetapan hasil
pemilu yang dilakukan oleh KPU secara nasional. Penetapan hasil tersebut
berpengaruh terhadap terpilihnya calong anggota DPD, penentuan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang masuk pada putaran kedua serta terpilihnya
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilu Presiden, dan perolehan
kursi partai politik di suatu daerah pemilihan.
1) Berdasarkan data dan catatan hasil pemilu 2004, sebagai hasil dari proses di MK,
yang di dalamnya ada 4 gugatan partai yang dimenangkan berkenaan dengan
perolehan kursi DPR, ada 4 kursi yang beralih dari satu partai ke partai lainnya.
1) untuk daerah pemilihan Kalimantan Barat, satu kursi yang menurut penetapan
KPU sebelumnya dimenangkan oleh Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
(PNBK), melalui putusan MK dialihkan menjadi milik Partasi Bintang Reformasi
(PBR)
2) di daerah pemilihan Irian Jaya Barat, Partai Damai Sejahtera (PDS)
mendapatkan satu kursi yang semula ditetapkan oleh KPU untuk Partai
Persatuan Demokrasi Kebangsaan (Partai PDK).
3) MK memberikan kemenangan kepada Partai Pelopor yang mendapatkan satu
kursi di daerah pemilihan Papua yang sebelumnya ditetapkan KPU untuk Partai
Golkar.
4) di Sulawesi Tengah, Partai Amanat Nasional (PAN) mendapatkan kursi DPR dari
Partai
Demokrat
setelah
memenangkan
gugatan
di
MK.
Perubahan kursi DPD dari hasil Keputusan MK tidak sebanyak yang terjadi untuk
kursi DPR. Hanya satu kursi yang bergeser di sini, yaitu untuk Provinsi Jawa
Tengah. Sebelumnya ditetapkan bahwa calon yang menempati peringkat ke-4 dalam
perolehan suara adalah Dahlan Rais, dengan keputusan MK dialihkan kepada KH
Ahmad Helwani (yang sebelumnya menempati peringkat 5 dalam perolehan suara).
Di Provinsi Sumatera Selatan juga ada kasus, namun akhirnya MK mengukuhkan
perolehan kursi calon anggota DPD terpilih Ruslan Nurjaya. Sedangkan gugatan
yang diajukan oleh calon dengan perolehan suara ke-5 terbesar dikalahkan. Dengan
31
kata lain tidak ada perubahan terhadap penetapan yang dibuat oleh KPU untk
provinsi tersebut102.
Sebelumnya, KPU meminta fatwa MK yang berharap agar keputusan MK mengenai
sengketa kursi DPR dari Irian Jaya Barat dan Sulawesi Tengah bisa tidak dieksekusi.
Alasannya,
data-data
yang
digunakan
MK
itu
terbukti
hasil
manipulasi saat penghitungan suara. Di Provinsi Irian Jaya Barat, kursi Partai
Persatuan Demokrasi Kebangsaan beralih menjadi milik Partai Damai Sejahtera
melalui keputusan sidang MK. Begitu pula Partai Amanat Nasional memperoleh
tambahan satu kursi dari yang seharusnya milik Partai Demokrat. Tapi kemudian,
Pengadilan Neger di Sorong dan Donggala memenangkan gugatan Partai PDK dan
Partai Demokrat. Keputusan dua pengadilan negeri yang berbeda dengan keputusan
MK ini menyebabkan kesulitan KPU untuk menetapkan dua kursi itu.
Selanjutnya seusai hasil konsultasi dengan Ketua MK pada tanggal 12 Januari 2006
lalu, dapat ditarik kesimpulan, yakni, pertama, putusan MK atas sengketa Irjabar
Partai Damai Sejahtera (PDS) dengan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan
(PPDK) dan antara Partai Pelopor dengan Partai Golkar, sudah bersifat final,"
paparnya.
Ia mengatakan, keputusan Pengadilan Negeri (PN) Sorong dan PN
Wamena atas pemalsuan hasil rekapitulasi Pemilu adalah murni kasus pidana dan
bukan kasus perselisihan hasil pemilu sebagaimana diatur dalam pasal 24 C ayat (1)
UUD 1945 dan UU tentang MK, maka putusan perkara pidana itu tidak bisa
dijadikan untuk mengenyampingkan putusan MK.
B.4. Pembubaran Partai Politik
a. Syarat/Alasan Pembubaran
Dalam UUMK, Pasal 68 mengisyaratkan bahwa syarat pembubaran partai politik
berkait dengan ideology partai, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai. Tetapi
tidak jelaskan ideology, asas, tujuan, program, dan kegiatan seperti apa yang dapat
menjadi alasan bagi pembubaran partai politik. Pada UU No. 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik di bagian Pembubaran dan Penggabungan Partai Politik, pun tidak
102
KPU Online, 30 Juli 2004
32
terdapat pengaturan mengenai syarat atau alasan pembubaran partai politik. Perihal
syarat pembubaran justru diatur dibagian larangan, dan tentang posisi MK
dimunculkan pada bagian sanksi. Dalam UU Partai Politik ditegaskan bahwa Parpol
dilarang:103
(2) Partai Politik dilarang:
a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan;
atau
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Partai Politik dilarang:
a. menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk
apa pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
b. menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun
tanpa mencantumkan identitas yang jelas;
c. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha
melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
d. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, dan badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya;atau
e. menggunakan fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah kabupaten/kota sebagai sumber pendanaan Partai Politik.
(4) Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu
badan usaha.
(5) Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran
atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme.
Dari sekian larangan yang berakhir dengan sanksi pembekuan/pembubaran, hanya
larangan pada Pasal 40 ayat (2) dan ayat (5) saja yang merupakan wenang dari
Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pembubaran.104
b. Tata Cara dan Siapa yang Harus Membubarkan
Pasal 24C UUD 1945, salah satunya memberi wenang kepada MK untuk memutus
pembubaran partai politik. Ketentuan tersebut selanjutnya dipertegas dalam Pasal 10
ayat (1) huruf c UUMK, sedangkan mengenai proses beracaranya diatur dalam Pasal 6873 UUMK. Dari serangkaian aturan tersebut menjadi terang, bahwa yang memiliki
kewenangan melakukan pembubaran partai politik adalah MK. Kendati demikian
bubarnya partai politik tidak hanya sebagai akibat keluarnya putusan MK. Dalam UU
103
Pasal 40 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
104
Pasal 48 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
33
Partai Politik No. 2 Tahun 2008, diatur bahwa bubarnya partai politik bisa dikarenakan
membubarkan diri atas keputusan sendiri; menggabungkan diri dengan Partai Politik
lain; atau dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pemberian wewenang pembubaran partai politik kepada Mahkamah Konstitusi, adalah
sebagai upaya menjamin dan menegakkan hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
Sebab jika kewenangan pembubaran partai politik ada di tangan pemerintah berkuasa,
maka yang akan terjadi ialah perilku persaingan dan saling jegal antara partai berkuasa
(pemerintah) dengan partai oposisi. Akan sangat bias tentunya jikalau kewenangan
pembubaran parpol berada di tangan pemerintah. Meskipun demikian, yang berhak
menjadi pemohon dalam perkara pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi,
hanyalah pemerintah berkuasa.105 Tidak ada pihak lain di luar pemerintah yang memiliki
legal standing untuk menjadi pihak/pemohon dalam perkara tersebut. Hal itu dilakukan
sebagai upaya agar tidak ada upaya saling jegal antara partai satu dengan partai lain,
dalam berkontestasi.
Secara umum pengaturan mengenai pembubaran partai politik, termasuk hukum
acaranya, masih sangat minim diatur dalam UUMK. Hingga saat ini pun belum terdapat
Peraturan
Mahkamah
Konstitusi
mengenai
pedoman
beracara
pada
perkara
pembubaran partai politik. Selain prosedur beracara, UU juga belum mengatur
mengenai hal-hal apa saja yang bisa menjadi dasar/alasan MK untuk menjatuhkan
putusan pembubaran parpol,106 hal ini penting untuk memudahkan MK dalam
penyusunan pedoman beracara perkara pembubaran partai poltik. Selain itu, hal ini juga
untuk menghindari terjadinya persaingan tidak sehat antara partai berkuasa
(pemerintah) dengan partai opisisi. Sebab jika perkara pembubaran partai politik
memiliki nuansa politis yang kental sekali, sehingga UU perlu mengaturnya secara tegas
dan terperinci.
B.5. Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden
Dalam system politik presidensil, pemakzulan terhadap presiden adalah sebuah upaya
yang luar biasa sulit. Mengingat kuatnya posisi presiden, yang dipilih secara langsung
105
Pasal 68 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tantang Mahkamah Konstitusi.
106
Meskipun hal ini telah diatur secara tersebar dalam UU Partai Politik No. 2 Tahun 2008, namun sebaikanya
hal ini diatur pula dalam UUMK, mengingat sering terjadinya pergantian UU Partai Politik di negeri ini, setiap kali
menghadapi penyelenggaraan pemilu.
34
oleh rakyat, bukan melalui mekanisme parlemen. Apalagi jika partai pemerintah adalah
partai mayoritas di parlemen (DPR). Pasal 7A UUD 1945 menyebutkan, bahwa presiden
dan/atau wakil presiden dapat dihentikan pada masa jabatanyya, jika terbukti telah
melakaukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wapres. Ketentuan UUD tersebut
selanjutnya dijelaskan secara lebih rinci pada Pasal 10 ayat (3) UUMK. Terkait dengan
hukum
acaranya,
pun
sebenarnya
sudah
cukup
jelas
mengatur,
tinggal
diimplementasikan ke dalam PMK yang mengatur pedoman beracara pada perkara
impeachment presiden.
Pada dasarnya yang perlu ditegaskan lagi ialah menyangkut objek sengketa dan para
pihak yang bersengkata. Perkara impeachment adalah perkara yang penuh dengan
nuansa politiknya. Selain pertimbangan yang dikemukanan oleh Pasal 7A UUD, bisa saja
kemudian pertimbangan DPR hanya atas dasar rasa suka atau tidak suka (like or dislike)
kepada presiden. Artinya, fakta dan pertimbangan yang diberikan adalah tolok ukur
yang sifatnya politis, sehingga keberadaan MK menjadi penting. Objek perkara yang
menjadi kewenangan MK adalah fakta yuridis atas temuan-temuan yang diungkap oleh
DPR, untuk mengukur apakah benar presiden dan/atau wapres telah melakukan
tindakan pelanggaran hukum, atau tidak layak lagi menjabat sebagai presiden dan/atau
wapres. MK tidak memiliki wenang untuk memutus apakah presiden dan/atau wapres
bersalah, melainkan hanya memutus apakah temuan-temuan yang diajukan DPR benar
atau keliru menurut hukum. Penghakiman politis selanjutnya menjadi wewenang dari
MPR, untuk menyatakan presiden bersalah dan tidak bersalah, harus berhenti atau
melanjutkan jabatannya. Dalam perkara impeachment, yang dapat menjadi pemohon
hanyalah DPR, sedangkan kedudukan termohon secara eksplisit tidak ada, sebab
meskipun dalam persidangan dihadirkan Presiden dan/atau Wapres, kapasitasnya
bukanlah sebagai pihak, melainkan sebagi saksi, untuk memberi keterangan atas
temuan-temuan yang dikemukakan DPR.
Berkait isu apakah putusan MK berakibat pada terjadinya nebis in idem, bilamana dari
temuan yang diungkap DPR, terbukti telah terjadi pelanggaran pidana? Tidak tentunya,
sebab objek perkara di MK berbeda dengan objek perkara jikalau kasusnya kemudian
dibawa ke paradilan umum. MK memeriksa dan memutus temuan DPR atas dugaan
35
presiden dan/atau wapres telah melakukan pelanggaran pidana, sedangkan umum objek
perkaranya berakit dengan kasus pelanggaran pidananya.
Pengaturan mengenai Impeachment dapat dilakukan dengan PMK sepanjang mengenai
prosedur pemeriksaan. Namun demikian memang perlu dipikirkan secara cermat karena
pemohon adalah DPR. Sementara pihak yang didakwa melanggar hukum adalah Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Jabatan termohon mesti ditempatkan sesuai dengan kehormatan
yang disandangnya. Apakah termohon dapat diperlakukan sebagai pesakitan, seperti di
pengadilan biasa, tentu saja tidak. Apakah mungkin pemeriksaan permohonan dibatasi
hanya memeriksa berkas yang diajukan DPR atau pemeriksaan keabsahan dakwaan berikut
bukti-buktinya. Apakah putusan MK mengikat dan berlaku asas nebis in idem (tidak boleh
lagi diperiksa oleh pengadilan lain meskipun terbukti melakukan tidak pidana?).
36
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ahsin, A. Tohari, Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, Elsam, 2004.
Cappelletti, Mauro., The Judicial Process in Comparative Perspective, Oxford Universyty Press, 1989.
Arifin, Firmansyah, dkk (penyusun), KRHN, Hukum Dan Kuasa Konstitusi, KRHN, 2004.
------------------------, Pokok-Pokok Pikiran RUU Mahkamah Konstitusi, KRHN-Kemitraan, 2003.
-----------------------, Lembaga Negara & Sengketa Kewenangan AntarLembaga Negara, KRHN-MKRI,
2005.
Asshiddiqie, Jimly , Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Konstitusi Press, 2006
Asshiddiqie, Jimly & Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan MKRI, 2006.
Farida, Maria Indarati S, Ilmu Perundang-Undangan (2); Proses dan Teknik Pembentukannya,
Yogyakarta-Kanisius, 2007.
Ginsburg, Tom., Judicial Review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian Cases, Cambridge
University Press, 2003.
Harjono., Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2008, hal. 461-462. Vol. 3 Nomor 3, 2006
Indrayana, Denny., Negara Antara Ada dan Tiada; Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Kompas, 2008.
Indrayana, Denny., dkk, Laporan Penelitian “Analisis Komparasi Sifat Mengikat Putusan Judicial
Review Pada Peradilan Tata Negara (Mahkamah Konstitusi) Dan Peradilan Tata Usaha
Negara”, FH-UGM, Yogyakarta, Juni 2007, hal. 142-143.
--------------. Empat Tahun Mengemban Amanat Konstitusi 2003-2007, Mahkamah Konstitusi, 2007.
--------------, Cetak Biru MKRI, Membangun MK Sebagai Institusi Peradilan Yang Modern Dan
Terpercaya, MKRI, 2005
--------------, Laporan Penelitian “Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”
Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta,
2005.
--------------, Lihat dalam transkip “Expert Meeting Revisi UU Mahkamah Konstitusi”, diselenggarakan
oleh KRHN-DRSP di Hotel Millenium, Jakarta, 27-28 Agustus 2007.
Mahfud, Moch MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta-LP3ES & UII Press, 1998.
Natabaya, HAS Natabaya, Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia,
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MK, 2008, hal. 215.
R. Brewer, Allan Carias, Judicial Review in Comparative Law, Cambridge University, 1989.
Maruarar Siahaan, “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Konstitusi Press, 2005.
Syahrizal, Ahmad., Peradilan Konstitusi; Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Jakarta-Pradnya Paramita, 2006.
Wijoyo, Suparto “Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi”, Surabaya-Airlangga University
Press, 1997.
37
Makalah
Atmadja, I Dewa Gde, Kewenangan Mahkamah Konstitusi, DImensi Konstitusionalisme, Makalah
Expert Meeting, KRHN – DRSP, 2007.
Harun, Refly., Pokok-Pokok Pikiran Perubahan UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
Makalah Expert Meeting, KRHN – DRSP, 2007.
Marwan, Mas., Memaknai Perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Makalah Expert Meeting,
KRHN – DRSP, 2007.
Rifai, Amzulian, Struktur Kelembagaan Mahkamah Konstitusi, Makalah Expert Meeting, KRHN –
DRSP, 2007.
Ulrike, Ms. Justice Mullerm (Hakim Mahkamah Konstitusi Federal Jerman), “The Federal Constitutional
Court of Germany- Competencies and Impact of the Courts Jurisdiction, 2002.
Zanibar, Zein., Mengapa UU MK Perlu Diubah?, Makalah Expert Meeting, KRHN – DRSP, 2007.
Peraturan/Putusan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Undang-Undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Pengujian UndangUndang.
Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam
Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor : KMA/104 A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku
Hakim.
Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2005 tentang Kepaniteraan di Mahkamah Agung
The Constitution of Thailand
The Constitution of Republic Philipina
Federal Constitutional Law of the Russian Constitutional Court
International BAR Association Code of Minimum Standarts of Judicial Independence
38
39
Download