Imbal Jasa Lingkungan Sebagai Jalan Konservasi

advertisement
Imbal Jasa Lingkungan Sebagai Jalan Konservasi Disusun sebagai laporan Workshop Imbal jasa Lingkungan IPB International Convention Centre Bogor, 3‐4 Agustus 200 Oleh: Panji Anom Dorongan Motivasi Dalam perkembangan untuk menyelamatkan Planet Bumi akibat tekanan pemanasan global yang disebabkan akumulasi dan penambahan GRK (gas rumah kaca) sejenis NO3, NH4, CO, CO2, disinyalir sebagai dampak dari ketidak seimbangan eksploitasi sumberdaya alam dengan kemampuan memperbaiki diri alam. Essensi dari ketidakseimbangan tersebut merupakan jejak rekam dari aktivitas deforestasi dan polusi untuk pemenuhan kenyamanan hidup manusia dalam beragam bentuk. Sebagai dampaknya terjadi berbagai bentuk konflik alam‐manusia yang menghasilkan pemanasan bumi dan rusaknya lapisan ozone bersama dengan konsekuensi‐konsekuensinya. Inti dari konflik alam‐manusia berawal dari lemahnya kontribusi manusia untuk tetap menjaga keseimbangan kondisi alam dan ditambah dengan peningkatan jumlah penduduk yang besar sehingga memerlukan sumberdaya alam dalam berbagai bentuk yang semakin besar pula. Eksploitasi sumberdaya alam menjadi semakin meningkat dan bersifat merusak. Eksploitasi sumberdaya alam disinyalir akibat ketidakseimbangan factor ekonomi di berbagai belahan bumi. Dengan demikian dipikirkan semacam skema yang dapat menyeimbangkan antara pemakai jasa‐
jasa lingkungan, perusak lingkungan dan penjaga lingkungan. Dalam hal ini, kasus yang paling dominan adalah lemahnya factor ekonomi aktor‐aktor yang berkompeten pada penjagaan lingkungan, sedangkan pemakai dan perusak relative memiliki tingkat ekonomi dan penghasilan jauh lebih baik dengan tingkat kontribusi pada peningkatan GRK yang paling besar. Keikutsertaan menjadi peserta workshop imbal jasa lingkungan menjadi hal yang penting sebagai salah satu jalan untuk memahami perkembangan dinamika dan isu global lingkungan hidup. Imbal jasa lingkungan memerlukan pemahaman yang mendalam sebagai salah satu jalan untuk mendorong kegiatan konservasi di tingkat komunitas. Dengan demikian menjadi hal yang sangat penting untuk mengikuti workshop imbal jasa lingkungan sebagai jalan peningkatan kapasitas dan pemahaman dalam membangun penjagaan sumberdaya lingkungan hidup dan khususnya hutan. Pemahaman mengenai mekanisme imbal jasa lingkungan sangat diperlukan bagi kegiatan‐kegiatan pendampingan di tingkat masyarakat berhubungan dengan peluang masyarakat untuk mendapatkan haknya untuk penjagaan lingkungan hidup. Mekanisme tersebut juga dapat menjadi sarana pendorong perilaku berkeadilan dan keseimbangan antara hulu‐hilir dalam skala local atau Negara Industri‐Negara Agraris dalam skala global. PES sebagai isu global lingkungan PES singkatan dari payment on environmental services/pembayaran jasa lingkungan adalah satu tren yang berkembang di penggiat lingkungan. Skema PES tersebut merupakan upaya menarik semua pihak dalam skala global untuk ikut bertanggungjawab dalam penjagaan lingkungan hidup. Seperti dipahami saat ini telah terjadi tingkat kerusakan lingkungan yang sangat besar dan menjadi ancaman bagi seluruh kehidupan planet bumi. Factor kerusakan lingkungan hutan dan peningkatan jumlah polutan di lapisan atmosfer bumi menjadi hal mutlak untuk diatasi bersama. Dalam skala local, kerusakan sejumlah besar sumberdaya hutan sebagai area penyimpan karbon dan penyeimbang iklim mikro sekaligus perannya secara makro. Dari hasil workshop terdapat berbagai hasil mengenai analisis PES dalam beberapa bentuk. Saat ini dari 30‐an criteria jasa lingkungan hanya 4 jenis yang tergolong marketable criteria. Ke‐4 jasa lingkungan tersebut adalah: biodiversity, landscape, water and watershed dan carbon stock. Dari ke‐4 kriteria tersebut yang telah mampu berjalan sebagai skema pasar local yaitu biodiversity dalam bentuk taman safari, hasil pertanian dan peternakan, ekolabeling serta perusahaan hutan tanaman industry, landscape dalam bentuk ecotourism dan water dalam bentuk perusahaan air minum dan retribusinya. Untuk criteria pasar karbon, secara local disinyalir masih dalam proses‐proses negosiasi seperti yang terdapat di Ulu Masen. PES terdiri dari dua criteria. Criteria pertama, PES dalam bentuk pajak lingkungan yang banyak di‐charge bagi misalnya pertambangan, pabrik, bangunan. PES yang dijalankan dalam bentuk pajak lingkungan belum banyak mendapat signifikansi positif bagi lingkungan. Kebanyakan dana pajak lingkungan akan terakumulasi dalam pendapatan asli daerah (PAD) untuk dialokasikan dalam dana alokasi umum daerah maupun pusat (DAU atau DAP). Belum di dapatkan skema langsung pajak lingkungan yang digunakan langsung untuk peningkatan kualitas lingkungan. Kriteria kedua, PES merupakan dana sukarela (voluntary payment) oleh pemanfaat jasa lingkungan langsung seperti PDAM atau perusahaan air minum komersial yang berkontribusi untuk mendanai pembangunan hutan di daerah hulu. Lebih lanjut bentuk tersebut juga dijalankan oleh perusahaan Krakatau steel di Cilegon yang memberikan kontribusi langsung bagi daerah di hulu Cidanau untuk tetap melestarikan hutannya. Gambaran skema PES dapat digambarkan sebagai berikut: Kondisi
Alam
Stewards
(mengelola)
Guardians
(melindungi)
Teras, wanatani
‘hutan larangan’
•Keanekaragaman hayati
Fungsi Ekologi •Keindahan alam
•Kuantitas dan kualitas air
•Penyerapan karbon
Fungsi Jasa Lingkungan
Penggunaan lahan
Benefit langsung
Pemanfaat Jasa Lingkungan
Penyedia Jasa Lingkungan • Apakah cukup berarti untuk dilakukan?
• Kontrol terhadap lahan
Pengakuan & Imbalan
Kebijakan & Kelembagaan
• Biaya transaksi
• Dukungan atau kendala
Dalam kenyataan global, PES telah mengalami klasifikasi pasar menurut skala tertentu yang dapat digambarkan sebagai berikut: Pasar Jasa Lingkungan dalam Berbagai
Skala
Jasa
Lingkungan
Makro
Meso
Mikro
Global
Regional –
Lintas batas
negara
Nasional
Inter komunitas
(provinsi, kabupaten)
Intra‐
komunitas
(desa, kota) Penyerapan
Karbon
+++
++
+
‐
‐‐
Keaneka‐
ragaman Hayati
+++
+
+
‐‐
‐
Tata Air dan
perlindungan
DAS
‐‐‐
‐
‐
++
+++
Keindahan
Lanskap
++
++
+++
‐
‐‐
Mekanisme PES dalam pemanfaatan biodiversity PES sebagai skema pasar dalam pemanfaatan biodiversity secara teknis merupakan skema pasar langsung antara produsen dengan konsumen. Pemanfaatan biodiversity terjadi dalam sector pertanian, kehutanan, peternakan, perburuan legal, konservasi ex situ dan ekolabeling. Dalam skema PES untuk biodiversity tergolong dalam bentuk transaksi langsung antara konsumen dan produsen. PES yang dapat langsung dijalankan dicaontohkan pada kasus konservasi kedaung di Jawa Barat oleh salah satu masyarakat yang menjelaskan bahwa didapat dua manfaat dengan pelestarian kedaung, yaitu dapat menjual hasil kedaung berikut tetap melestarikan alam. Salah satu contoh yang dikemukakan dalam workshop adalah bentuk premi bagi petani kopi di Gayo, NAD dengan coffee mills yaitu starbucks. Mekanisme yang dikembangkan adalah peningkatan harga beli kopi Gayo untuk mengisi konsumsi kopi starbucks bagi petani dengan melalui syarat ekolabeling dari lembaga yang ditunjuk untuk itu (missal; rainforest alliance, …). Premi yang diberikan juga didasari syarat kopi yang diproduksi secara organic, diusahakan secara berlembaga sejenis koperasi, memiliki niliai penjagaan lingkungan/dengan menumbuhkan tanaman naungan sebagai syarat biodiversity, memiliki plang konservasi bagi satwa liar dan sejenisnya. Contoh kasus tersebut diungkapkan oleh Nielson (2009) dalam workshop sebagai berikut: Case-study survey results
Important characteristics
Lampung Aceh
Toraja
Majority of coffee grown in the area
Robusta
Arabica
Total coffee production in province (‘000 ton)
Arabica
120
30
5
Rp/kg) [1]
15
24
31
Rp/kg) [2][3]
20
38
37
In-migration (% of respondents born elsewhere)
52
48
2
% of respondents applying urea in last 12 months
34
37
15
% of respondents applying herbicides/pesticides in 12 months
86
80
85
% of respondents receiving technical advice from coops
0
0
0
% of respondents receiving a price premium for certification
0
1
0
Average farm-gate coffee price in 2008 (‘000
Estimated average FOB export price (‘000
[1] Average
farm-gate price taken from household survey and converted to a green bean equivalent if sold as cherries, parchment, or wet beans.
price for Lampung Robusta is estimated using the average price in London for May 2008 (www.ico.org), and taking into account an exchange rate
of Rp9,285 and a discount of 200USD/tonne to the London price.
[3] Export prices for Aceh and Toraja Arabica are estimated using the average price in New York for June 2008 (www.ico.org), and taking into account an
exchange rate of Rp9,383 and a premium of +40cents/lb above the New York price (+35cents/lb for Toraja).
[4] Only 47% of respondents in Toraja were able to even estimate local land prices (compared to 90% for Aceh and 83% in Lampung). This indicates the
relative absence of a real estate market in Toraja and the near total lack of exchange in coffee farms due to strong adat land arrangements.
[2] Export
Selain itu sejenis dengan kopi, terdapat pula ekolabeling bagi kayu industry dengan nilai jual yang lebih tinggi daripada kayu yang tidak bersertifikat. Pembelian kayu sertifikat juga bersifat ekolabeling yang berdasarkan pada syarat keberlanjutan sumberdaya hutan dan manajemen hutan disertai dengan kelestarian. Contoh produk pertanian yang diberi premi semisal produk sayuran yang diusahakan memiliki syarat organic (tidak memakai bahan kimia) akan dibeli dengan harga lebih tinggi daripada produk non organic. Hal tersebut merupakan bentuk premi sebagai upaya petani sayur untuk mengurangi degradasi lahan usaha produksi berikut tingkat pelepasan zat pollutan dari pupuk dan pestisida kimiawi ke udara. Mekanisme PES dalam landscape untuk ecoturisme Mekanisme PES dalam pemanfaatan PES saat ini masih terbatas pada retribusi yang dikenakan pada daerah wisata alam yang sebagian kecil dikembalikan untuk rehabilitasi kawasan. Beberapa mekanisme lain yang dikembangkan dalam ecoturisme adalah keterlibatan langsung pengunjung untuk melestarikan kondisi alam seperti bantuan bibit tanaman hutan bagi masyarakat, pajak bagi villa dan rumah makan, perusahaan agribisnis. Mekanisme PES dalam water and watershed PES yang tengah mendapat perhatian besar dalam bentuk hubungan antara masyarakat hulu sebagai pelestari hutan dan bantaran sungai dengan perusahaan air minum. Setidaknya telah tercatat PDAM telah mengalokasikan anggaran setiap tahunnya hingga 5 milyar untuk dimasukkan dalam dana alokasi daerah (DAD) yang ditujukan untuk pengembangan daerah hulu. Selain itu telah digagas semacam kupon lingkungan bagi para pengguna jasa air minum untuk selanjutnya digunakan sebagai pendanaan untuk konservasi daerah hulu. Untuk menilai tingkat ekonomi watershed / DAS berdasar fungsi hidrologis bagi masyarakat, Bahruni (2009) mengungkapkan fakta sebagai berikut: No
1
2
3
4
5
6
Macam nilai hutan
Sumber
Nilai guna TN Gn Gede
Pangrango (metode kontingensi
& biaya pengadaan) :
Air konsumsi rumah tangga
Rp 265.742.000/ha
Air pertanian
Rp 8.194.000/ha
Nilai pengendalian banjir hutan
produksi di Jambi (metode nilai
aset)
Nilai air hutan produksi di
Kalimantan sebagai prasarana
transportasi sungai (metode
nilai input)
Nilai air Ht Lindung Curug
Cilember
Bogor,
untuk
konsumsi
rumah
tangga
(metode kontingensi)
Rp 25/ha
Rp 4.860/ha
96.080/ha
Darusman, D
(1991)
Fak Kehutanan IPB
& Dephut (1999)
–
Rp
Rp 303.600/ha
Bahruni (1999)
Nilai guna TN Gn Halimun (metode
kontingensi & biaya pengadaan) :
Air konsumsi rumah tangga
Rp 85.820/ha
Air pertanian
Rp 39.820/ha
Dinas Kehutanan
Jabar dan PT.
Ushakindo Jaya
Konsultan (2002)
Air konsumsi rumah tangga Rp 49.650/ha & Rp
musim hujan dan kemarau 67.000/ha
(metode kontingensi)
Nilai air hutan lindung
Baturaden Sub DAS Pelus
(metode fungsi produksi,biaya
input)
Air pertanian (irigasi)
Rp 23.613.000/ha
Air minum (PDAM)
7
Nilai
Mekanisme PES dalam Carbon stock Ginoga,
Purwanto,Cahyono,
Murtiono (2006)
Rp 113.190/ha
Nilai fungsi pencegahan erosi Rp 4.060.330/ha
kebun
campuran
(metode
USLE dan nilai pengganti)
Herlianto (2005)
Supriatna, IS
(2007)
Pengertian carbon stock trading/perdagangan stock karbon adalah penilaian oleh semacam lembaga perwakilan untuk menangani jumlah karbon yang mampu diserap dan disimpan oleh sebuah areal kehutanan untuk jangka waktu lama. Saat ini polusi karbon dianggap paling besar memepengaruhi di atmosfer sebagai gas rumah kaca. Perlu skema yang mendorong reward‐punishment atau imbalan‐
hukuman bagi individu atau kelompok yang berjasa dalam menjaga keberlangsungan stok karbon dengan individu atau kelompok yang berperan besar dalam peningkatan pelepasan karbon ke atmosfer. Mekanisme yang terjadi dalam carbon trading adalah skema voluntary market yang dapat berjalan di segala tingkatan baik local, regional, nasional maupun internasional serta mekanisme mandatory market yang berjalan pada tataran nasional dan internasional. Kedua mekanisme memiliki masing‐masing aspek dan persyaratan. Tipologi pasar karbon
Regulatory market
Voluntary market
Total volume in 2006
$31 billion
$148 million
Total volume in 2007
$64 billion
$265 million
Total volume in 2008
$118 billion
$499 million
Expected future
volume
$1 trillion in 2027
$50 billion in 2012
Price range
AFOLU project type
inclusion
$12 to $12.1
$1 to $78/ton
•Strongly regulated
•Strict and
bureaucratic rules
= self-imposed standard
Quality and price varies significantly, as
defined by:
•Additionality
•Accuracy of initial and on-going monitoring
•Potential for double counting
•Permanence
Limited. Only A/R, if at
all
all AFOLU project types, including A/R,
REDD, AF, and rangeland management
Hal yang menjadi persyaratan dalam carbon trading adalah pengaruh dari keberadaan pasar karbon untuk keberlanjutan sumberdaya lingkungan dan hutan yang digambarkan sebagai berikut: Percent of Forst Fraction
Konsep Forest Transition
Adanya faktor
pendorong
Pembukaan
deforestasi
hutan secara
(jalan dll)
luas untuk
perkebunan
& pertanian
Pemanfaatan&
produktivitas
lahan sudah
optimal dan
kegiatan
ekonomsi
berbasis non
lahan semakin
tersedia
Undisturbed Deforestation
start
Reach
stabilization
Penghijauan
dan
restorasi
hutan sudah
meningkat
With
REDD
Without
REDD
Enter
transition
Kepadatan Penduduk dan GDP sering digunakan sebagai
proxy dalam menentukan kapan periode transisi terjadi
Sedangkan proses perhitungan dapat dilihat dalam skema sebagai berikut: REED & Perhitungan Karbon
Dengan perhitungan nilai stock karbon sebagai berikut: Perhitungan Reduksi Emisi Netto
Skenario Baseline Skenario Proyek
Perubahan di Areal Proyek
Stok Karbon Riil di Areal Proyek pada waktu t
Perubahan di Areal Leakage ‐
Stok Karbon Riil di Areal Proyek pada waktu t‐1
‐
Baseline stok karbon di Areal Proyek pada waktu t‐1
‐
Baseline stok karbon di Areal Proyek pada waktu t
‐
Stok Karbon Riil di Areal Leakage pada waktu t
‐
Stok Karbon Riil di Areal Leakage pada waktu t‐1
‐
Baseline stok karbon di Areal Leakage pada waktu t
‐
Baseline stok karbon di Areal Leakage pada waktu t‐1
‐
Emisi GRK Non‐
biomas (BBM, nitrogen pupuk, dll.) 8
PES dan konsekuensi bagi gerakan lingkungan hidup Pengembangan skema PES sebagai tren dunia telah merubah pola gerakan lingkungan hidup yang sebelumnya parsial menjadi gerakan bersama‐sama. Satu hal yang menjadi tantangan pengembangan PES secara local adalah bentuk nyata transaksi yang mampu mendorong berkurangnya aktivitas polusi, degradasi serta deforestasi. Peran dan andil dari semua pihak menjadi hal yang utama untuk dilakukan. Setidaknya ada 3 prasyarat dalam pengembangan PES secara local; kelembagaan masyarakat yang tertata, negosiasi, transaksi dan pola kebijakan yang mendukung serta rehailitasi biofisik sumberdaya lingkungan sehingga emisi GRK menurun. Ketiga syarat tersebut saling berkaitan dan mendukung. Proses‐proses fasilitasi PES akan mengalami banyak gangguan apabila ketiga syarat tersebut belum terpenuhi dengan baik. Secara nyata juga dibutuhkan ide‐ide segar yang sederhana tetapi mampu menjawab persoalan lingkaran tekanan lingkungan seperti kupon lingkungan di PDAM yang dapat digunakan sebagai dana rehabilitasi lahan dan hutan, premi tanaman organic, skema insentif air pertambangan serta ide‐ide yang lain. ‐Panji‐ 
Download