BAB II BAKTERI TERMOFILIK AMILOLITIK PADA SUMBER MATA

advertisement
BAB II
BAKTERI TERMOFILIK AMILOLITIK PADA
SUMBER MATA AIR PANAS
A. Bakteri Termofilik
Istilah termofilik digunakan pertama kali oleh Miquel pada tahun 1879,
yaitu untuk mendeskripsikan organisme yang mampu hidup pada suhu tinggi
(Morrison dan Tanner, 1921). Menurut kamus Henderson’s Dictionary of
Biology (Lawrence, 2005), termofil adalah organisme yang memiliki suhu
optimum pertumbuhan antara 45 - 80°C. Studi mengenai bakteri termofilik
telah dilakukan oleh T.D Brock sejak tahun 1970-an di Yellowstone National
Park (Brock et al., 1971).
Organisme termofilik terbagi dalam dua domain filogenetik yang sangat
berbeda, yaitu Bakteria dan Archaea (Holden, 2009). Bakteri termofilik akan
hidup dominan pada habitat dengan kisaran suhu 50 - 90°C, sedangkan
habitat dengan suhu lebih dari 80°C akan didominasi oleh Archaea. Bakteri
termofilik dapat bersifat aerob, anaerob, organotrof maupun litotrof.
Organisme prokariotik termofilik dapat diklasifikasikan berdasarkan suhu
optimum pertumbuhannya, (Aragno, 1992 dalam Vèsteinsdòttir, 2008) yaitu:
1.
Fakultatif termofilik, mampu hidup pada rentang suhu mesofilik (<
45°C).
2.
Thermotolerant, memiliki Top sebesar 45°C, namun masih mampu
hidup hingga > 45°C.
7
8
3.
Moderate termofilik, memiliki Top sebesar 45 - 60°C.
4.
Strict termofilik, memiliki Top sebesar 60 - 90°C.
5.
Ekstrem termofilik, memiliki Top sebesar > 90°C.
Gambar 2.1. Pohon Filogenetik Bakteri
(Sumber: Lebedinsky, Chernyh, dan Bonch-Osmolovskaya
2007: 1306).
Saat ini telah dikembangkan pohon filogenetik bakteri, yang dibuat
berdasarkan analisis gen 16S rRNA (Gambar 2.1). Seluruh anggota Filum
Aquificae, Dictyoglomi, dan Thermotogae merupakan bakteri termofilik dan
ditandai dengan kotak yang berwarna abu - abu. Filum yang berada di dalam
kotak yang berwarna putih menandakan bahwa hanya sebagian dari anggota
filum tersebut yang merupakan bakteri termofilik, yaitu terdiri dari Filum
9
Proteobacteria, Bacteroidetes, Spirochaetes, Deferribacteres, Nitrospirae,
Cyanobacteria, Actinobacteria, Firmicutes, Chloroflexi, dan DeinococcusThermus.
Filum Aquificae bersifat ekstrem termofilik, aerob maupun anaerob,
dan litoautotrof. Filum Termotogae merupakan organisme termofilik yang
hidup pada kedalaman lebih dari 2000 meter di bawah permukaan tanah dan
bersifat organotrof. Filum Dictyoglomi dapat melakukan fermentasi dan
hidup pada hydrothermal vents yang berada di dasar laut. Filum
Cyanobacteria, Actinobacteria, dan Bacteroidetes mampu membentuk lapisan
(mat) pada sumber air panas yang memiliki suhu antara 40 - 70°C. Filum
Firmicutes dan Deferribacteres umumnya bersifat termofilik anaerob. Filum
Proteobacteria terbagi menjadi lima kelas (α, β, γ, δ, ε) serta bersifat
moderate termofilik. Filum Spirochaetes memiliki struktur unik yang disebut
spirochetes dan hidup pada lingkungan dengan pH basa (Garrity et al., 1984;
Lebedinsky, Chernyh, dan Bonch-Osmolovskaya, 2007; Holden, 2009).
Bakteri termofilik harus mengembangkan suatu mekanisme tertentu
untuk dapat beradaptasi pada habitatnya yang ekstrem, khususnya terkait
dengan suhu tinggi. Suhu merupakan salah satu parameter lingkungan yang
paling relevan berdampak pada sisi fisiologis maupun ekologis setiap
organisme, tidak terkecuali bakteri. Rezende (2009) melakukan ekperimen
mengenai pola pembentukan koloni dan kemampuan termotaksis pada isolat
bakteri termofilik dan mesofilik, yaitu dengan menggunakan gradien suhu.
Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa Bacillus licheniformis
10
memperlihatkan adanya indikasi kemampuan termotaksis. Hal ini merupakan
bukti bahwa mikroorganisme pun mampu “merasakan” dan merespon
perubahan suhu pada tingkat tertentu.
Pengaruh suhu tidak hanya terjadi dalam tahapan fisiologis saja, tetapi
akan berpengaruh pula pada tingkatan molekuler maupun struktur biologis.
Bakteri termofilik diketahui memiliki membran sel yang unik, yaitu tersusun
atas lipid dalam bentuk asam lemak dengan rantai karbon yang panjang dan
termetilasi (Lasa dan Berenguer, 1993). Membran sel pada bakteri termofilik
tersusun atas fosfolipid yang terdiri dari asam lemak jenuh, dengan titik lebur
yang tinggi sehingga dapat tetap mempertahankan fluiditas dan permeabilitas
membran pada suhu ekstrem. Mekanisme termostabilitas lainnya yaitu
melalui induksi heat shock protein (Abou-Shanab, 2007), pembentukan salt
bridges dan peningkatan jumlah ikatan hidrogen (Kumar dan Nussinov,
2001), serta aktivitas reverse gyrase (Perugino et al., 2009). Salt bridge dan
ikatan hidrogen dapat menstabilkan energi elektrostatik molekul sehingga
dapat menjaga stabilitas protein. Enzim reverse gyrase dapat menginduksi
terjadinya supercoiling positif pada molekul DNA dan mempengaruhi
mekanisme perbaikan melalui pelapisan protein tertentu pada daerah yang
rusak.
11
B. Enzim Amilase
Amilase merupakan enzim yang dapat mengkatalis proses hidrolisis
ikatan glikosidik yang terdapat pada amilum (Smith, 2000). Amilum terdiri
dari dua macam polisakarida, yaitu amilosa dan amilopektin (Saunders,
2003). Amilosa disusun oleh unit - unit D-glukosa yang terikat melalui ikatan
α-1,4-glikosidik, sehingga membentuk rantai terbuka yang tidak bercabang.
Amilopektin berbeda halnya dengan amilosa, karena polisakarida ini selain
memiliki ikatan α-1,4-glikosidik pada unit D-glukosa penyusunnya, juga
memiliki cabang ikatan α-1,6-glikosidik. Struktur tersebut menyebabkan
amilopektin berbentuk rantai terbuka dan bercabang. Struktur amilosa dan
amilopektin penyusun amilum dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Enzim amilase dapat dikelompokan berdasarkan mekanisme aksi serta
lokasi pemutusan ikatan glikosidik yang dimiliki amilum (Koivula, 1996).
Endoamilase seperti α-amilase dapat menghidrolisis ikatan α-1,4-glikosidik
secara acak pada bagian dalam struktur amilum, sehingga menghasilkan
oligosakarida yang linier dan bercabang (α-limit dextrin). Enzim ini dapat
ditemukan pada berbagai mikroorganisme, baik itu bakteri maupun Archaea
(Van der Maarel et al., 2002). β-amilase, glukoamilase dan α-glukosidase
termasuk dalam jenis enzim eksoamilase. β-amilase dapat memotong ikatan
α-1,4-glikosidik, sedangkan glukoamilase dan α-glukosidase dapat memotong
baik itu ikatan α-1,4-glikosidik maupun ikatan α-1,6-glikosidik. Eksoamilase
akan bekerja pada bagian luar amilosa atau amilopektin, yaitu pada bagian
reducing end. Tipe ketiga adalah debranching enzymes yang terdiri dari
12
isoamilase, pullulanase I, dan pullulanase II. Anggota enzim amilase lainnya,
yaitu siklodextrin glikosiltransferase bahkan memiliki kemampuan unik yang
dapat membentuk oligosakarida sirkuler. Kompleksitas struktur amilum
menyebabkan berbagai enzim tersebut dibutuhkan untuk dapat menghidrolisis
amilum (Gambar 2.2).
Gambar 2.2. Mekanisme Aksi Enzim Amilolitik
(Sumber: Bertoldo dan Antranikian, 2002)
13
A
B
Gambar 2.3. Struktur Amilosa (A) dan Amilopektin (B)
(Sumber: Saunders, 2003: 2-3)
C. Sumber Mata Air Panas
Area panas bumi terbagi menjadi dua kategori berdasarkan suhu yang
dimilikinya, yaitu area bersuhu tinggi dan rendah (Kristjansson dan
Alfredsson, 1992 dalam Vèsteinsdòttir 2008). Area bersuhu tinggi berada di
sekitar aktifitas vulkanik aktif dengan suhu lebih dari 200°C pada kedalaman
1000 meter di bawah permukaan tanah. Area ini umumnya ditandai dengan
adanya fumarol dan memiliki kandungan sulfur (S) yang tinggi. Area bersuhu
rendah berada di luar aktifitas vulkanik aktif. Suhu di area ini kurang dari
150°C pada kedalaman 1000 meter di bawah permukaan tanah. Karakteristik
dari area panas bumi bersuhu rendah adalah adanya kolam dan mata air panas
dengan suhu 20 - 100°C.
14
Suhu pada mata air panas umumnya bersifat konstan setiap tahunnya,
dengan variasi sebesar 1 - 2°C. Variasi antara mata air panas yang satu
dengan yang lainnya sangat beragam yaitu mulai dari 20°C hingga 100°C,
yang dipengaruhi oleh perbedaan lokasi dan tekanan. Area panas bumi
merupakan habitat yang cocok bagi organisme termofilik, termasuk bakteri.
Area ini memiliki darajat keasaman (pH), komposisi gas, mineral, dan nutrisi
yang bervariasi. Variasi berbagai parameter tersebut menyebabkan hadirnya
keanekaragaman genetik dan metabolisme setiap mikroorganisme yang hidup
didalamnya (Amend dan Shock, 2001).
Data dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat (2006)
menyatakan bahwa daerah Gunung Darajat memiliki luas wilayah sebesar
14,13 km2. Daerah ini secara administratif berada di dua wilayah Kabupaten,
yaitu Kabupaten Bandung (Kecamatan Pangalengan dan Kecamatan
Kertasari) dan Kabupaten Garut (Kecamatan Talegong, Kecamatan
Bungbulang, dan Kecamatan Cisewu). Manifestasi panas bumi di daerah ini
termasuk dalam tipe immature waters, yaitu berdasarkan kandungan relatif
sulfat (SO4) dan bikarbonat (HCO3) yang dimilikinya (Herdianita dan Priadi,
2007). Saat ini pemanfaatan mata air panas di daerah Gunung Darajat
hanyalah sebagai objek pariwisata pemandian saja yang masih dalam tahap
pengembangan.
Daerah Ciengang secara administratif termasuk ke dalam Kecamatan
Tarogong Kaler, yang berbatasan dengan Kecamatan Leles, Samarang,
Banyuresmi, dan Tarogong Kidul (Kecamatan Tarogong Kaler, 2009). Luas
15
wilayah kecamatan tersebut adalah 5.057 Ha dan berjarak sekitar 4 km dari
Ibukota Kabupaten Garut. Daerah ini terletak pada 500 - 1000 meter dari
permukaan laut. Mata air panas Ciengang berasal dari Gunung Guntur dan
disana belum pernah dilakukan penelitian terkait dengan kandungan kimiawi
airnya. Mata air panas ini telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar
sebagai objek pariwisata pemandian air panas.
D. Identifikasi Bakteri Secara Fenotipik (Cultivation-dependent Methods)
Studi mengenai keanekaragaman dan identifikasi mikroorganisme telah
dilakukan secara konvensional melalui observasi parameter fenotip setiap
jenis mikroorganisme, yang didapatkan melalui pengkayaan dan pembuatan
kultur murni isolat. Identifikasi mikroorganisme sangat diperlukan untuk
menyeleksi dan mengisolasi spesies yang dibutuhkan oleh berbagai industri,
hingga menetukan mikroorganisme patogen penyebab penyakit tertentu.
Medium dan berbagai kondisi inkubasi yang bersifat selektif untuk
mikroorganisme tertentu digunakan untuk mengkultur organisme yang
menjadi objek studi, sehingga metode ini dapat disebut sebagai cultivationdependent methods (Hobel, 2004).
Mikroorganisme memiliki karakteristik biokimia tertentu yang dapat
digunakan sebagai penanda atau pembeda dalam proses identifikasi
(Cappucino dan Sherman, 1986). Karakteristik tersebut dikendalikan oleh
aktivitas enzimatik yang bertanggung jawab dalam pembentukan energi,
biosintesis, dan biodegradasi di dalam sel. Transformasi biokimia merupakan
16
dasar bagi metabolisme seluler dan terkait dengan enzim sebagai
biokatalisnya. Enzim yang terlibat dalam metabolisme seluler dapat
dikelompokan menjadi eksoenzim dan endoenzim (Gambar 2.4). Produk
hasil
metabolisme
yang
terbentuk
tidak
hanya
bertujuan
untuk
mengidentifikasi enzim tertentu saja, namun dapat pula digunakan untuk
mengidentifikasi, memisahkan, dan mengklasifikasikan mikroorganisme.
Fermentasi karbohidrat
Reaksi susu litmus
Produksi H2S
Reduksi nitrat
Endoenzim
Reaksi katalase
Uji urease
Uji oksidase
Uji iMViC
Enzim
Uji Triple Sugar Iron
Hidrolisis amilum
Eksoenzim
Hidrolisis lipid
Hidrolisis kasein
Hidrolisis gelatin
Gambar 2.4. Aktivitas Biokimia Mikroorganisme
(Sumber: Cappucino dan Sherman, 1986: 126, dengan modifikasi)
Metode fenotipik hingga saat ini masih dipelajari, digunakan, dan
dikembangkan, terlepas dari timbulnya berbagai permasalahan terkait dengan
keakuratan data hasil identifikasi mikroorganisme. Identifikasi berbagai
mikroorganisme patogen pada laboratorium klinis umumnya masih
menggunakan metode fenotipik, baik itu secara manual, otomatis, maupun
17
semi-otomatis (Petti, Polage, dan Schreckenberger, 2005). Kunci identifikasi
fenotipik juga dikembangkan untuk mempermudah identifikasi genus
mikroorganisme tertentu yang memiliki keanekaragaman tinggi (Reva,
Sorokulova, dan Smirnov, 2001). Hal ini dilakukan sebagai suatu bentuk
studi awal, sehingga dapat memudahkan dalam menentukan penggunaan
tehnik identifikasi terbaru yang lebih akurat.
E. Identifikasi Bakteri Secara Molekuler ( Metode Gen 16S rRNA)
Karakter fenotipik bakteri seperti pewarnaan Gram, morfologi koloni,
dan aktivitas enzim dapat digunakan untuk proses identifikasi, namun tidak
bersifat statis dan dapat berubah seiring dengan stress ataupun evolusi
(Ochman, Lerat, dan Daubin, 2005). Kesalahan identifikasi dapat disebabkan
oleh hadirnya karakteristik fenotip bakteri yang tidak biasa ataupun
kurangnya pengalaman dalam menginterpretasikan data karakter fenotipik.
Hal ini menimbulkan hadirnya metode identifikasi secara molekuler, salah
satu diantaranya adalah metode gen 16S rRNA.
Gen 16S rRNA memiliki ukuran sekitar 1500 pb (Gambar 2.5) dan
biasa digunakan dalam proses identifikasi bakteri (Petti, 2007). Identifikasi
dengan menggunakan Gen 16S rRNA dapat dilakukan karena adanya urutan
yang khas dan berbeda untuk setiap spesies bakteri, selain itu gen ini bersifat
relatif konstan dan memiliki laju mutasi yang kecil (Gonzales dan SaisJimenez, 2005; Janda dan Abbott, 2007). Gen 16S rRNA terdiri dari dua
daerah, yaitu daerah variabel dan daerah lestari (conserved area). Daerah
18
lestari pada Gen 16S rRNA memiliki ukuran sekitar 500 - 540 pb dan
d akan
dikenali oleh primer gen 16S. Daerah variabel akan memperlihatkan urutan
atau sikuen unik yang berfungsi sebagai pembeda antar spesies bakteri (Petti,
2007). Sikuen tersebut kemudian dapat dibandingkan dengan sikuen referensi
yang tersimpan di database gen.
Daerah lestari yang menjadi target primer
Gambar 2.5. Gen 16S rRNA
(Sumber: Petti, 2007: 1109)
Keterangan :
daerah lestari;
daerah variabel
Polymerase Chain Reaction)
Reaction merupakan tehnik setiap fragmen
PCR (Polymerase
atau sikuen DNA spesifik dapat diperkuat (diamplifikasi atau disalin
beberapa kali) secara in vitro (Hogg, 2005). Tehnik ini dapat membuat
milyaran salinan fragmen DNA target dalam beberapa jam, yaitu jauh lebih
cepat daripada pengklonan fragmen
fragmen DNA yang butuh berhari - hari dengan
membuat plasmid rekombinan dan membiarkannya bereplikasi di dalam sel
bakteri. Materi awal yang dibutuhkan untuk PCR adalah fragmen DNA
target, DNA polimerase, primer, dan nukleotida atau dNTPs (Campbell dan
Mitchell,
ell, 2002). Primer yang digunakan dalam PCR ini merupakan molekul
DNA untai tunggal sintetik yang pendek dan bersifat komplemen terhadap
ujung - ujung DNA target, sehingga dapat menentukan fragmen DNA yang
akan diamplifikasi (misalnya Gen 16S rRNA).
19
Gambar 2.6. Proses PCR (Polymerase Chain Reaction)
(Sumber: Hogg, 2005: 334)
Setiap siklus PCR terdiri dari tiga tahapan (Gambar 2.6), yaitu
denaturasi, penempelan, dan pemanjangan (Hogg, 2005). Denaturasi
(melting) merupakan tahap awal yang berlangsung pada suhu tinggi, antara 94
- 96ºC selama ± 5 menit. Suhu tinggi tersebut menyebabkan ikatan hidrogen
pada DNA akan terputus, sehingga fragmen DNA target yang berupa rantai
ganda menjadi DNA untai tunggal. Pemisahan ini menyebabkan DNA target
tidak stabil dan menjadi cetakan (template) bagi DNA polimerase. Tahapan
selanjutnya adalah annealing primer. Penempelan primer terjadi secara
spesifik pada suhu 50 - 60ºC, umumnya selama satu hingga dua menit. Primer
akan menempel pada DNA template yang komplemen urutan basanya, yaitu
20
satu primer akan menempel pada setiap untai DNA. Tahap ketiga adalah
elongasi atau pemanjangan. DNA polimerase akan menambahkan nukleotida
pada ujung 3’ primer, dengan menggunakan DNA template sebagai
cetakannya. Tahapan ini berlangsung pada suhu ± 72ºC selama satu menit.
Siklus PCR akan berlangsung berulang - ulang antara 25 - 35 siklus, hingga
urutan DNA target telah terduplikasi berulang kali.
Makromolekul dapat dipisahkan berdasarkan laju perpindahannya
melewati suatu gel di bawah pengaruh medan listrik, yaitu dengan
menggunakan tehnik elektroforesis (Campbell dan Mitchell, 2002).
Elektroforesis tidak hanya memisahkan molekul DNA berdasarkan berat
molekulnya, tetapi juga menurut bentuk, dan properti topologi yang
dimilikinya (Watson et al., 2004). Gel yang biasa digunakan dalam proses
elektroforesis DNA umumnya menggunakan agarose (Pierce, 2002). Agarose
ini akan dilarutkan dalam larutan buffer dan dituangkan ke dalam cetakan
tertentu kemudian dibiarkan memadat (Gambar 2.7). Sumur - sumur kecil
dibuat pada bagian ujung gel agarose untuk menempatkan larutan yang berisi
fragmen DNA. Fragmen DNA kemudian akan bermigrasi dari arah kutub
negatif ke kutub positif saat diberikan aliran listrik. Gel agarose berperan
sebagai “saringan” saat proses migrasi tersebut berlangsung, karena molekul
DNA akan bergerak melalui pori - pori yang terbentuk diantara partikel gel.
Molekul berupa asam nukleat seperti DNA, memiliki laju migrasi yang
berbanding terbalik dengan ukuran molekulnya. Fragmen DNA dengan
21
ukuran yang telah diketahui biasanya digunakan untuk menentukan ukuran
dari fragmen DNA yang belum diketahui.
Gambar 2.7. Proses Elektroforesis DNA
(Sumber: Pierce, 2002:513)
Gel agarose dapat diwarnai setelah proses separasi DNA, dan biasanya
dideteksi dengan menggunakan pewarna pengikat-DNA (Moat et al., 2002).
Pewarna ini akan berpendar di bawah cahaya ultraviolet. Ketepatan mengenai
isolasi fragmen DNA yang dikehendaki dapat diketahui melalui ukuran
fragmen yang terlihat melalui tehnik elekroforesis ini.
Identifikasi bakteri dengan menggunakan metode gen 16S rRNA
melibatkan perbandingan antara sikuen yang akan diidentifikasi dengan
sikuen referensi yang tersimpan di database gen, oleh karena itu dibutuhkan
proses sikuensing. Ada dua metode yang biasa digunakan dalam proses
sikuensing DNA, yaitu metode dideoksi dan metode degradasi kimiawi
22
(Ausubel et al., 2003). Metode dideoksi yang dikembangkan oleh Sanger
lebih sering digunakan karena secara teknis lebih mudah untuk diterapkan
dalam penentuan untai panjang DNA.
Metode sikuensing dideoksi pada dasarnya menggunakan prinsip
replikasi (Pierce, 2002). Fragmen DNA yang akan di sikuensing digunakan
sebagai template untuk membuat molekul DNA baru. Proses sintesis DNA
dalam keadaan normal terjadi melalui pembentukan ikatan fosfodiester antara
grup fosfat pada dNTP dengan grup –OH pada nukleotida terakhir dari
untaian DNA template. Nukleotida khusus yang disebut ddNTP digunakan
dalam metode dideoksi ini. Nukleotida ddNTP pada dasarnya tidak berbeda
dengan dNTP, namun tidak memiliki grup –OH pada atom C nomor 3. Hal
ini menyebabkan terhentinya sintesis DNA, yang diakibatkan dari tidak
terbentuknya ikatan fosfodiester.
Sikuensing DNA menggunakan metode dideoksi dilakukan pada empat
reaksi yang terpisah (Ausubel et al., 2003). Setiap reaksi mengandung untai
tunggal DNA target yang akan di sikuensing, primer, dNTP, DNA
polimerase, dan salah satu jenis ddNTP. Selama proses sintesis DNA,
nukleotida ditambahkan pada bagian ujung 3’ dari primer dengan DNA target
sebagai template-nya. Saat ddNTP menempel dengan untaian DNA yang
sedang memanjang tersebut, proses sintesis pun terhenti karena tidak adanya
grup –OH pada atom C nomor 3. Terminasi sintesis DNA ini terjadi pada
posisi dan untaian yang berbeda untuk setiap reaksi, sehingga menghasilkan
fragmen DNA dengan panjang yang bervariasi. Fragmen yang terbentuk di
23
setiap reaksi kemudian dipisahkan dengan menggunakan polyacrylamid gel
electrophoresis (Moat et al., 2002). Sikuen DNA dapat langsung dibaca dari
pita - pita yang terbentuk di autoradiograf (Gambar 2.8).
Gambar 2.8. Proses Sikuensing DNA dengan Metode Dideoksi
(Sumber: Pierce, 2002:554, dengan modifikasi)
24
Proses sikuensing dilakukan dengan menggunakan mesin Automated
DNA Sequencer. Saat hasil sikuensing dipisahkan pada gel elektroforesis,
sinar laser ion argon akan menyebabkan eksitasi elektron pada molekul DNA
yang ujungnya mengandung molekul dideoksinukleotida terminator dye.
Molekul DNA yang memiliki ukuran berbeda akan berpendar (Moat et al.,
2002). Hasil sikuen muncul dalam bentuk grafik yang dihasilkan oleh
penerjemahan otomatis suatu detektor.
Kebutuhan akan analisis berbagai data biologis (seperti hasil dari
sikuensing), membutuhkan kajian dari sisi bioinformatika. Bioinformatika
adalah studi interdisiplin yang melibatkan aspek komputerisasi, biologi
molekuler, dan matematika yang terkait dengan makromolekul biologis,
seperti DNA, RNA, dan protein (Dworkin, 2006). Bioinformatika terdiri dari
dua sub-kajian yaitu pengembangan software komputerisasi dan pembuatan
database. Analisis sikuen merupakan salah satu aplikasi dari interaksi antara
kedua sub-kajian bioinformatika tersebut. Analisis sikuen memungkinkan
dilakukannya, perbandingan genomik, filogenetik, prediksi gen dan promoter,
pencarian database sikuen gen, dan sequence alignment (Xiong, 2006).
Basic Local Alignment Search Tool (BLAST) adalah program yang
paling sering digunakan untuk mengetahui kesamaan antara sikuen gen
tertentu dengan gen yang terdapat pada database nukleotida dan protein
(Dworkin, 2006). Program ini banyak digunakan oleh berbagai peneliti
karena memiliki sensitivitas, ketelitian, kemudahan, dan proses dengan
kecepatan yang tinggi (Wolfsberg dan Madden, 1999). Prinsip utama yang
25
digunakan dalam program BLAST adalah penentuan kesamaan (similarity)
yang dapat dilihat dalam bentuk maximum scoring pairs pada bagian akhir
analisis. Maximum scoring pairs adalah representasi dari kesamaan segmen
sikuen DNA yang dianalisis dengan sikuen DNA yang terdapat di database
(Xiong, 2006).
Download