perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rinosinusitis Kronik 1. Definisi Rinosinusitis Kronik Sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior), dengan atau tanpa nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah, dengan atau tanpa penurunan/ hilangnya penghidu, dan salah satu temuan dari temuan nasoendoskopi (polip dan atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan atau edema/ obstruksi mukosa di meatus medius) dan atau gambaran tomografi komputer (perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan atau sinus) (Fokkens et al., 2012). 2. Etiologi dan Patofisiologi Rinosinusitis Kronik Mekanisme patologi utama dan terpenting pada rinosinusitis kronik adalah obstruksi ostium sinus. Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya obstruksi mekanik seperti hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung. Berbagai variasi atau commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26 kelainan anatomi seperti haller & agger nasi cell yang menonjol ke arah insersi antero-superior konka media, konka media paradoks, pneumatisasi konka, dan septum deviasi dapat menyebabkan penyempitan ostiomeatal secara mekanik. Faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi terjadinya rinosinusitis kronik adalah malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes mellitus, , kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor predisposisi lingkungan (antara lain polusi udara, debu, udara dingin dan kering, asap rokok) yang dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia sehingga mengakibatkan gangguan pada sistem transport mukosilier sinus paranasal (Bruce et al., 2010). Rinosinusitis kronik idiopatik biasanya dibagi ke dalam rinosinusitis kronik dengan polip hidung dan rinosinusitis kronik tanpa polip hidung berdasarkan temuan endoskopik, CT scan sinus paranasal. Dalam bidang etiologi dan patogenesis, rinosinusitis kronik dengan polip hidung lebih berhubungan dengan obstruksi mekanis pada Kompleks Osteo Meatal (KOM) (Probst, 2006; Payne et al., 2011). Di antara yang penting peran fisiologis dari sinus adalah humidifikasi, pemanasan udara inspirasi, dan eliminasi partikel-partikel asing. Humidifikasi dan pemanasan udara terinspirasi melalui sekresi dari kelenjar serosa, yang dapat menghasilkan cairan sampai 1-2 liter per hari. Sekresi sel goblet dan kelenjar mukus memfasilitasi eliminasi dari partikel-partikel asing. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27 Mukus sangat efektif dalam mengangkut partikel yang lebih besar dari 3-5 mikro hingga 80%, tidak hanya patogen anorganik tetapi juga 75% dari bakteri yang memasuki hidung. Mucus blanket juga berfungsi sebagai sistem pertahanan tubuh mempunyai struktur yang sangat dinamis, terus menerus diperbarui setiap 10-20 menit. Adanya antigen akan merangsang sistem kekebalan tubuh, pergerakan dari epitel bersilia, mendorong mukus kearah ostium sinus, kemudian mengalirkan ke rongga hidung. Mukus tersebut kemudian didorong ke nasofaring untuk ditelan, dan patogen tersebut akan dihancurkan oleh sekresi asam lambung (Becker,2011). Mekanisme primer pertahanan sistem imun natural sinonasal adalah melalui transpor mukosilier. Sekret mukus, yang banyak mengandung antimikroba dan opsonin, secara terus menerus akan dialirkan ke nasofaring, hal ini memberikan proteksi non spesifik pada permukaan mukosa sinonasal. Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait tiga faktor: patensi ostium, fungsi silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktor-faktor tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan sinusitis (Becker,2011). Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem. Apabila terjadi udem, mukosa yang berhadapan akan sering bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, Blokade daerah kompleks ostiomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinuscommit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28 sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus menerus mengakibatkan hipoksia, retensi sekret serta perubahan pH sekret, hal ini merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman patogen. Bakteri juga memproduksi toksin, toksin akan merusak silia. Hipertrofi mukosa akan memperberat blokade kompleks ostiomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan membuka sumbatan yang terjadi pada kompleks ostiomeatal sehingga drainase dan aerasi sinus akan menjadi baik. (Jackman dan Kennedy, 2006; Becker,2011). Gambar 2.1. Siklus Rinosinusitis Kronik (Fernandez, 2000) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 29 3. Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Penatalaksanaan rinosinusitis kronik dapat berupa pemberian medikamentosa atau tindakan pembedahan. Berdasarkan pedoman terapi rinosinusitis PERHATIKL Kelompok Studi Rinologi tahun 2007, pengobatan rinosinusitis kronik adalah pemberian antibiotika lini kedua dari rinosinusitis akut (Soetjipto, 2007). Terapi tambahan dapat berupa dekongestan oral/topikal, mukolitik atau pencucian hidung dengan larutan salin isotonik (Papsin dan McTavish, 2003; Soetjipto, 2007; Yeung, 2011). Pemakaian antibiotika untuk pengobatan rinosinusitis berdasarkan antibiotika yang telah terbukti keefektifannya atau berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas. The Food and Drug Administration Amerika Serikat seperti dikutip dari Thaler (2001) menyatakan beberapa antibiotika berikut dapat digunakan sebagai pengobatan rinosinusitis kronik yaitu: amoxycillin clavulanate, cefpodoxime, cefuroxime axetil dan untuk pasien dewasa dapat digunakan ciprofloxacin, cefditoren, levofloxacin, moxifloxacin. Jika pasien memiliki riwayat alergi terhadap antibiotik β-lactam atau merupakan kontraindikasi penggunaan fluoroquinolone, maka azithromycin atau clarithromycin dapat menjadi pilihan alternatif. Pengobatan dengan antibiotika harus dilanjutkan minimal selama 10-14 hari. Pengobatan yang lebih singkat dapat menimbulkan kekambuhan infeksi dan kemungkinan terjadinya resistensi antibiotika (Thaler, 2001; Patorn, 2013). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30 Pemberian dekongestan memberikan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah hidung, menurunkan aliran darah dan mengurangi odema pada mukosa hidung. Dekongestan oral golongan adrenergik-α agonis misalnya: phenylpropanolamine dan pseudoephedrine. Penggunaan dekongestan topikal (oxymetazoline) dapat digunakan selama 3-5 hari untuk mengurangi gejala serta untuk meningkatkan kecepatan drainase sinus. Penggunaan dekongestan topikal yang lebih lama dapat menyebabkan terjadinya rinitis medikamentosa oleh karena efek rebound vasodilatation (Thaler, 2001). Pemberian mukolitik (guanifesin, ambroxol) berfungsi untuk mengencerkan sekret sehingga membantu fungsi drainase (Thaler, 2001; Levine, 2005; Patorn, 2013). Cuci hidung dengan larutan salin terbukti efektif dalam menurunkan gejala klinis rinosinusitis kronis serta meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Untuk rinosinusitis kronik baik rinosinusitis kronik dengan polip hidung maupun tanpa polip, cuci hidung digunakan pada algoritma penatalaksanaan rinosinusitis kronik menurut EPOS 2012 (Fokkens et al, 2012) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 31 Gambar 2.2. Algoritma penatalaksanaan rinosinusitis kronik berdasarkan EPOS 2012 (Fokkens et al, 2012) Penggunaan larutan cuci hidung dengan salin terbukti aman bagi anakanak, orang dewasa, kehamilan maupun usia lanjut (Papsin, 2003). Pencucian hidung dengan larutan salin isotonik dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada rinosinusitis, rinitis alergi, infeksi saluran napas atas dan pasca pembedahan sinus. Tidak ada peneliti yang melaporkan adanya efek samping yang serius terhadap penggunaan larutan salin isotonis ini. Keluhan yang sering ditemui adalah rasa tidak nyaman dan cemas pada saat penggunaan awal larutan tersebut (Rabago, 2009). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32 Tindakan pembedahan diindikasikan pada rinosinusitis kronik yang gagal dengan terapi konservatif dan rinosinusitis akut dengan komplikasi intrakranial atau ekstrakranial. Tindakan pembedahan dapat berupa irigasi sinus atau bedah sinus endoskopi fungsional (Busquets, 2006). 4. Cuci hidung Pencucian hidung dilakukan dengan mengalirkan larutan salin ke dalam kavum nasi menggunakan teknik irigasi maupun semprot. Teknik irigasi dilakukan dengan memanfaatkan gaya gravitasi menggunakan tekanan tangan dengan syringe atau neti pot , sedangkan teknik pencucian hidung dengan semprot menggunakan kemasan botol semprot yang bertekanan positif rendah (Rabago, 2009) Irigasi salin banyak digunakan oleh banyak ahli THT untuk menangani rinosinusitis kronik. Variasi dari larutan salin banyak tersedia. Beberapa dalam bentuk tetes atau spray. Berbagai variasi bentuk cara penggunaan tersedia. Banyak penelitian membandingkan variasi dari cara penggunaan cuci hidung, beberapa berpendapat lebih baik mengguakan spray dan beberapa lain nya berpendapat lebih baik dalam bentuk irigasi. (Gupta, 2010) Penggunaan cairan normal salin secara irigasi lebih efektif dibandingkan secara spray dalam mengurangi gejala rinosinusitis dan tidak satupun yang menyebabkan lebih banyak efek samping dibandingkan lain commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 33 nya. Pynnonen et al. Membandingkan efektifitas nasal irigasi dan nasal spray pada 127 pasien dengan rata rata umur 47 tahun yang mengalami gejala sinonasal empat hari dalam seminggu, lebih dari dua minggu dalam 30 hari. Walaupun kedua intervensi ini menghasilkan pengurangan signifikan dalam neratnya gejala, frekuensi gejala dan jumlah pasien yang harus menggunakan teapi tambahan, group yang menggunakan irigasi nasal secara nyata mempunyai hasil yang lebih baik. (Darwin, 2012). Penggunaan irigasi adalah cara sederhana, yang telah teruji dengan baik sebagai tatalaksana karena dapat mengenai epitel mukosa sionasal secara langsung. Telah dibuktikan bahwa spray hidung,tidak memasuki sinus frontal dan sphenoid. Penggunaan cairan dengan volume lebih dari 100 cc memastikan akses ke sinus sinus yang tidak terjangkau dengan spray hidung (Alan, 2014). Mekanisme kerja larutan salin sebagai larutan pencuci hidung belum diketahui dengan jelas, namun diperkirakan dapat memperbaiki fungsi mukosilia hidung melalui efek fisiologisnya yaitu: membersihkan mukosa hidung dari sekret atau krusta, mengurangi udem mukosa, melembabkan kavum nasi, mengurangi mediator inflamasi dan risiko perlengketan mukosa serta mempercepat penyembuhan mukosa pasca pembedahan sinus (Papsin, 2003; Hauptman, 2007; Rabago, 2009; Yeung, 2011). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 34 Cuci hidung dilakukan dengan melakukan penyemprotan cairan ke bagian superolateral kavum nasi dalam posisi duduk atau posisi berdiri, dengan kepala condong ke kanan atau kekiri dengan sudut sekitar 450 sehingga satu lubang hidung berada di atas lubang hidung sisi lain. Hidung dicuci dengan cara mengalirkan cairan cuci hidung pada lubang hidung yang berada di atas sehingga cairan keluar dari lubang hidung sisi lain. Pada saat proses cuci hidung berlangsung, dianjurkan bernafas melalui mulut. Alat cuci hidung difiksasi pada bagian superior dari lubang hidung. Buang napas perlahan melalui kedua lubang hidung setelah proses pencucian selesai untuk membersihkan sisa-sisa cairan dan (Cervin, 2009; Miwa M., 2007). Gambar 2.3.Tehnik pencucian hidung commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 35 Penggunaan larutan salin sebagai pencuci hidung juga dapat mengurangi waktu penggunaan antibiotika sehingga dapat mening-katkan kepatuhan pasien dan berkurangnya biaya pengobatan (Papsin, 2003). Sediaan larutan salin berupa larutan salin hipotonik (NaCl 0,45%), isotonik (NaCl 0,9%) dan hipertonis (NaCl 3%, 5%, 7%). Larutan cuci hidung salin isotonik dan hipertonik sama-sama dapat memperbaiki waktu transpor mukosilia hidung (Boek et al., 1999; Ural et al, 2009). Kedua larutan tersebut berbeda dalam hal kekuatan osmotik dan gradien konsentrasinya (Hauptman , 2007). Larutan salin isotonik adalah larutan yang tidak memiliki gradien osmotik (Garavello et al., 2003) dan diyakini sebagai larutan yang paling fisiologis terhadap morfologi seluler epitel hidung (Kim et al., 2005), sehingga aman dan nyaman digunakan pada bayi, ibu hamil maupun usia lanjut (Healtley et al., 2001). Pada larutan salin hipertonik, kondisi hiperosmolar di saluran pernapasan menyebabkan pelepasan kalsium dan prostaglandin E2 dari intraseluler, peningkatan availabilitas adenosine triphosphate pada aksonema silia sehingga terjadi peningkatan ciliary beat frequency (Daviskas et al., 1996; Shoseyov et al., 1998). Larutan salin hipertonis juga dapat menginduksi respon neural yang akan menyebabkan perubahan vaskuler pada mukosa hidung dan menimbulkan rasa tidak nyaman berupa sensasi terbakar dan iritasi pada mukosa hidung sehingga akan mempengaruhi kepatuhan pasien dalam penggunaannya (Hauptman, 2007). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 36 B. Fisiologi transport cairan dan elektrolit di mukosa saluran nafas Proses transportasi ion dan cairan epitel saluran napas menentukan komposisi dan volume cairan permukaan saluran napas (airway surfaceliquid/ ASL) yang merupakan suatu lapisan tipis cairan yang melapisi sel-sel epitel saluran pernapasan. ASL sangat penting dalam proses transportasi mukosilier, pertahanan bawaan terhadap patogen, dan memberikan fungsi humidifikasi pada udara inspirasi. Gerakan cairan transepitel terjadi mengikuti transport aktif ion, terutama ion Na+, Cldan bikarbonat (Suarez, 2012). Transport elektrolit oleh sel epitel : mekanisme dan regulasi Secara umum, ion-ion dan molekul kecil dapat masuk dan ke luar sel melalui dua cara, yaitu transpor pasif dan transpor aktif. Transpor pasif tergantung pada gradien kadar elektrolit antara intraselular dan ekstraselular. Jika suatu molekul lebih tinggi kadarnya di dalam sel, maka arah transpor ion akan terjadi dari dalam menuju ke luar sel. Transpor pasif ion-ion selain dipengaruhi kadar elektrolit, juga dipengaruhi perbedaan muatan antara kedua sisi membran (gradien elektrokimia) sehingga transpor pasif tidak memerlukan energi. Pada transpor aktif, ion-ion berpindah melawan gradien kadar elektrolit. Tak sama dengan transpor pasif, transpor aktif memerlukan energi. Transpor aktif tidak akan terjadi tanpa tersedianya energi dalam sel(Suarez, 2012). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 37 Transpor lintas membran tanpa bantuan protein membran, hanya tergantung pada gradien kadar disebut dengan difusi biasa/ simple diffusion (merupakan transpor pasif), sedangkan jika dengan bantuan protein membran dan tergantung gradien kadar (pasif) disebut dengan difusi terfasilitasi (facilitated diffusion). Transpor aktif memerlukan bantuan protein membran (protein carrier) dan energi, karena melawan gradien.. Perubahan konformasi protein carrier akan memindahkan ion/molekul dari satu sisi ke sisi lain membran (King, 2005;Halperin, 2009). Kadar ion-ion dan molekul intraselular tidak selalu sama dengan ekstraselular. Kadar ion potasium (K+) cairan intraselular dipertahankan lebih besar dibanding kadarnya dalam cairan ekstraselular. Sedangkan kadar ion sodium (Na +), klorida (Cl-), dan kalsium (Ca2+) lebih tinggi di cairan ekstraselular. Dengan keadaan tersebut ion potasium cenderung ke luar sel dan ion sodium (juga ion klorida dan kalsium) cenderung masuk ke sel melalui protein channel (pasif) (King, 2005). Untuk mempertahankan kadar ion potasium tetap tinggi dan pada kisaran kadar tertentu di intraselular dan sodium tetap tinggi di ekstraselular, protein membran Na+K+-ATPase (sodium potassium ATPase/ sodium potassium pump) mengkatalisis ATP (adenosin triphosphate) menjadi ADP (adenosin diphosphate), yang dijadikan sebagai sumber energi untuk mengeluarkan kelebihan ion sodium ke ekstraselular dan mengambil kekurangan potasium dari ekstraselular ke intraselular secara aktif karena melawan gradien elektrokimia. Tiap mentranspor 3 ion Na+ ke luar sel, pompa sodium memasukkan 2 ion K+ ke dalam sel (Lobo, 2013) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 38 Didalam saluran nafas, transport elektrolit dan cairan dapat terjadi dengan cara sekresi, absorpsi dan resirkulasi ion Na + (King, 2005;Lobo, 2013) a. Sekresi Proses ini terjadi karena adanya proses transport anion secara aktif. Proses ini terjadi karena adanya perbedaan gradien elektrik di intra dan ekstra sel sehingga mengaktifkan sistem Na+_K+pumps dan mengaktifkan transporter yang tersebar di bagian basal dan lateral membran sel (King, 2005; Lobo, 2013). Dibagian basolateral sel epitel terdapat co-transporter NKCC-1 yang secara aktif berikatan dengan Na + _ K+ dan Cl -. Transporter ini bersifat isoelektrik dan dapat bergerak aktif membawa ion-ion kedalam dan keluar sel karena adanya perbedaan gradien konsentrasi (King, 2005; Lobo, 2013). Transporter lain yang berperan penting dibagian basolateral adalah NBC-1 yang berikatan dengan Na+ , bikarbonat dan ion karbonat kedalam sel sehingga memiliki peran yang penting dalam regulasi keseimbangan asam dan basa didalam sel saluran pernapasan (King, 2005; Lobo, 2013) b. Absorpsi Ion Na+ masuk ke dalam sel melalui channel spesifik, diantaranya adalah Epithelial Na+ channel (EnaC) dengan aktifasi Na+ _ K+ ATP ase, dimana untuk setiap 3 ion Na+ yang masuk ke intrasel akan diikuti oleh keluarnya 2 ion K+ keluar sel. Masuknya ion Na+ juga menarik ion Cl- ke commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 39 dalam intrasel dengan tujuan untuk tetap mempertahankan keadaan isoelektrik. Proses perpindahan elektrolit ini bersifat menarik cairan untuk tetap mempertahankan muatan listrik normal dan juga agar keadaan isotonis tetap terjaga selama proses transpor ion, maka proses absorpsi ini kemudian diikuti oleh proses re-sirkulasi Na+.Proses ini merupakan kelanjutan dari proses absorpsi dimana ion Na + _ K+ dan Cl- akan dibawa oleh transporter spesifik di basal membran dan di re-absorpsi dibagian basolateral dimana Na+ yang diambil dari basal membran akan keluar melalui saluran di basolateral menuju ruangan intraselular bagian lateral yang diikuti dengan penarikan cairan sehingga keadaan isotonis tetap terjaga(King, 2005; Lobo, 2013). Gambar 2.2. Transpor elektrolit dan cairan di sel epitel saluran nafas (King, 2005) c. Na+K+-ATPase ( Na+/K+ pumps ) Na+ pumps berada di bagian basolateral membran sel epitel. Apabila terdapat perbedaan gradien elektrik di dalam dan luar sel, maka pompa ini commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 40 akan menyediakan energi yang akan digunakan untuk mengaktifkan transporter yang ada di membran sel untuk mengangkut Na+ dari luar sel kedalam sel melalui saluran EnaC (King, 2005; Lobo, 2013) Kecepatan kerja Na+_ K+ pumps dipengaruhi oleh konsentrasi Na+ didalam sel dan meningkat secara drastis dengan peningkatan konsentrasi Na+ (King, 2005; Lobo, 2013). C. Transport cairan dan elektrolit pada rinosinusitis kronik Dari banyak penelitian telah diketahui bahwa infeksi menyebabkan perubahan transport elektrolit dan cairan di dalam sel epitel saluran nafas. Perubahan ini terjadi karena adanya peningkatan kadar ATPase di ekstraselul,er sehingga kadar ATP ekstrasel menurun. Keadaan ini menyebabkan meningkatkan absorpsi Na+ dari ASL ke mukosa diikuti dengan perpindahan air dari ASL ke mukosa. Perubahan ini menyebabkan keadaan dehidrasi di ASL dan sebaliknya menimbulkan udem mukosa karena cairan mengisi mukosa di daerah sub mukosa dan tunika adventitia.Pada kondisi ini, pergerakan silia terhambat sehingga menyebabkan gagalnya proses mucocilliary clearance (Suarez, 2012) Pada inflamasi epitel saluran nafas terjadi Upregulation ENaC, sehingga terjadi peningkatan absorbsi Na+ dan diikuti absorbsi Cl- transepitel jika dibandingkan mukosa sinus normal. Pasali et al (2000) melakukan penelitian dengan menggunakan preparat mukosa sinus paransal dari pasien dengan rinosinusitis kronik, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 41 didapatkan peningkatan absorbsi Na+ meningkat 20%. (Pasali, 2005; Kenji et al, 2006) Pada rinosinusitis kronik terjadi peningkatan absorbsi Na+ mengakibatkan terjadinya peningkatan regulasi pada epitel sinus paranasal. Terjadi mekanisme kompensasi untuk membersihkan cairan residu. Hiperabsorbsi dari Na+, menginduksi terjadinya inflamasi dan berkurangnya air permukaan sinus yaitu air surface Liquid, sehingga transport mukosiliar menjadi terganggu, terjadi blokade ostium sinus dan penebalan mukus (Pasali, 2005; Kenji et al, 2006). Gambar 2.4. Transpor ion dan cairan pada mukosa normal dan pada rinosinusitis kronik (Kenji et al, 2006) D. Sumbatan Hidung Pada Rinosinusitis Kronik Keluhan sumbatan hidung menggambarkan adanya kelainan pada rongga hidung baik anatomis, fisiologis maupun patologis. Gejala sumbatan hidung kronis commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 42 terjadi akibat edema mukosa, peningkatan permeabilitas vaskuler dan pelebaran sinusoid di submukosa baik parsial maupun total (Laynaert et al, 2002). Pada rinosinusitis kronik yang di awali dengan gangguan kompleks osteomeatal menyebabkan hidung tersumbat karena di pengaruhi proses inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal (Robert, 2010 ; Fokkens et al ., 2012). Hidung tersumbat pada rinosinusitis kronik akibat respon akut inflamasi pada pembuluh darah hidung dan inflamasi pada mukosa hidung yang disebabkan oleh bentuk iritasi hidung , dan oleh infeksi dan alergi. Mekanisme patologi utama dan terpenting rinosinusitis kronik adalah obstruksi ostium. Obstruksi ostium sinus menyebabkan sumbatan hidung yang di sebabkan oleh inflamasi mukosa hidung dan terganggunya ventilasi dan drainase sinus anterior, dan menyebabkan gangguan transpor mukosiliar pada sinus paranasal (Robert, 2010) E. Pemeriksaan Sumbatan Hidung Diagnosis dari gejala sumbatan hidung berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk pengukuran sumbatan hidung. Skor sumbatan hidung merupakan salah satu parameter untuk menilai suatu sumbatan hidung. Diperlukan pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis dan mengevaluasi gejala sumbatan hidung. Antara lain adalah spatula lidah ,peak nasal inspiratory flow meter ( PNIF ), rinomanometri (John 2010 ; Chmielik , 2011; Walsh, 2012). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 43 1. Spatula lidah Spatula lidah merupakan alat yang paling sederhana yang bisa mengukur sumbatan hidung. Ketika alat lain tidak tersedia alat ini bisa di gunakan. Dengan meletakkan spatula di depan hidung kemudian pasien disuruh bernafas seperti biasa dan mulut tertutup, maka dapat dilihat hembusan nafas dari salah satu lubang hidung di bandingkan yang lain (Wals, 2012). 2. Peak nasal inspiratory flow meter (PNIF) Pada tahun 1980, Youlten memperkenalkan alat PNIF ini yang kemudian di modifikasi oleh wright dengan menambahkan sungkup hidung (Ottaviano, 2006; Rodrigo, 2011). Penggunaan PNIF relatif mudah, bisa diulang bila diperlukan, mudah dibawa karena berukuran kecil dan mempunyai harga yang murah. Pasien perlu diberikan penjelasan tentang pemakaian alat Peak nasal inspiratory flow meter (PNIF). Alat ini digunakan dengan meletakan “face mask” menutupi hidung dan mulut. Udara inspirasi di hembuskan melalui hidung dengan memastikan mulut tertutup(Rodrigo, 2011). Pengukuran skor sumbatan hidung secara objektif dapat dinilai menggunakan alat ini, termasuk menilai gangguan sumbatan hidung pada penderita rinosinusitis kronik (Ottaviano, 2006). Alat ini bisa juga di gunakan untuk mengetahui adanya sumbatan hidung dengan memperkirakan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 44 volume aliran udara pada penderita rinosinusitis kronik (Rodrigo, 2011; Fokkens , 2012). Nilai PNIF akan menurun pada penyakit saluran nafas bawah seperti asma dan penyakit paru obstruksi kronis (Tabel 1) Nilai Intepretasi <50 l/min Obstruksi hidung berat 50-80 l/min Obstruksi hidung moderat/sedang 80-120 l/min Obstruksi hidung ringan >120 l/min Tidak ada obstuksi Tabel 2. 1. Nilai sumbatan hidung pada PNIF ( Ottaviano, 2006) Gambar 2.5. Peak nasal inspiratory flow meter (PNIF) (Ottaviano, 2006 ) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 45 3. Rinomanometri Rinomanometri digunakan untuk mengukur hambatan aliran udara hidung dengan pengukuran kuantitatif pada aliran dan tekanan udara hidung. Tes ini berdasarkan prinsip bahwa aliran udara melalui suatu tabung hanya bila terdapat perbedaan tekanan yang melewatinya. Perbedaan ini dibentuk dari usaha respirasi yang mengubah tekanan ruang posterior nasal relatif terhadap atmosfir eksternal dan menghasilkan aliran udara masuk dan keluar hidung ( Zhang , 2008). Pada tahun 1984, the European Committee for Standardization of Rhinomanometry menetapkan rumus aliran udara nasal : R = ΔP:V pada tekanan 150 P. R = Tahanan terhadap aliran udara (Pa/cm/det) P = Tekanan transnasal (Pa atau CmH2O) V = Aliran udara (Lt/det atau CmH2) Dengan adanya standarisasi ini diharapkan memberikan perbandingan hasil dan perbandingan rentang normal (Zhang , 2008). Rinomanometri dapat dilakukan secara aktif atau pasif dan dengan pendekatan anterior (melalui lubang hidung) atau posterior (melalui mulut ). Rinomanometri anterior aktif lebih sering digunakan dan lebih fisiologis. Tekanan dinilai pada satu lubang hidung dengan satu kateter yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 46 dihubungkan dengan pita perekat, sementara aliran udara diukur melalui lubang hidung lain yang terbuka ( Zhang ,2008). Rinomanometri relatif membutuhkan waktu mencapai 15 menit. Rinomanometri tidak bisa digunakan jika terjadi sumbatan hidung yang berat atau ketika terdapat perforasi septum (Zhang ,2008). Pada rinomanometri posterior aktif, kateter dimasukkan melalui mulut dengan bibir ditutup agar dapat mengukur tekanan faring. Aliran melalui kedua rongga hidung diukur secara bersamaan. Digunakan sungkup hidung transparan yang sama dengan rinomanometri anterior. Teknik ini kurang invasif dan cenderung mendistorsi rongga hidung (Zhang ,2008). Rhinometri akustik memberikan nada suara yang dapat didengar (15010000 hz) yang dihasilkan oleh klik elektronik dan dibangkitkan oleh tabung suara. Alat ini dimasukan ke hidung dan aliran udara hidung direfleksikan oleh perubahan local pada akuistik impedansi. Bunyi yang direfleksikan ditangkap oleh mikrofon, diteruskan ke komputer dan dianalisa (Grymer, 1996; Kim, 2007). Terdapat berbagai ukuran “nosepiece” untuk menghubungkan tabung suara ke hidung. Sangat perlu untuk menyesuaikan “nosepiece” dengan lubang hidung tanpa menyebabkan deformitas. Pemeriksaan diulang lima kali dan dihitung nilai rata-ratanya (Grymer, 1996; Kim, 2007). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 47 F. Larutan Salin Larutan garam telah banyak digunakan pada terapi rinosinusitis kronik. Larutan garam ini dapat digunakan sebagai pelarut obat, atau digunakan sendiri sebagai mukolitik. Jenis larutan garam yang paling banyak digunakan adalah larutan garam fisiologis 0,9%, tetapi akhir-akhir ini semakin banyak penelitian yang meneliti penggunaan larutan garam hipertonis pada penderita rinosinusitis kronik (Robago, 2006). Larutan isotonik adalah suatu larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut yang sama (tekanan osmotik yang sama) dengan konsentrasi didalam sel. Dikarenakan tidak ada perbedaan gradien antara ekstrasel dan intrasel maka tidak terjadi pergerakan jaringan molekul yang melewati membran sel. Pergerakan molekul terjadi secara difusi pada dua arah dengan kecepatan yang sama sehingga sel tidak mengalami kehilangan ataupun kelebihan cairan (Halperin, 2009). Larutan hipotonik adalah suatu larutan dengan konsentrasi zat terlarut lebih rendah (tekanan osmotik lebih rendah) dari pada yang lain sehingga air bergerak ke dalam sel. Dengan menempatkan sel dalam lingkungan hipotonik, tekanan osmotik menyebabkan jaringan mengalirkan air ke dalam sel, sehingga menyebabkan sel mengalami pembengkakan (Halperin, 2009). Larutan hipertonik adalah larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut yang lebih tinggi daripada didalam sel. Dikarenakan ada perbedaan konsentrasi, sehingga secara fisiologis larutan didalam sel akan bergerak ke luar sel untuk commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 48 menyeimbangkan konsentrasi zat didalam dan luar sel. Sebagai akibatnya, sel secara morfologis dapat mengkerut dikarenakan kehilangan sejumlah cairan (Halperin, 2009). Atas dasar fisiologis inilah, para peneliti kemudian mulai menggunakan NaCl hipertonik dengan hipotesis dapat mempercepat proses mucocilliary clearance. Larutan hipertonik yang paling banyak digunakan untuk terapi irigasi adalah NaCl 3%. Untuk penggunaan NaCl dengan konsentrasi yang lebih tinggi masih dihindari oleh karena dapat menyebabkan cell injury (Jongejan, 1991). Elektrolit (mEq/L) Na + Cl - mOsm/L NaCl 0,9% 154 154 308 NaCl 513 513 1026 3% Tabel 2.2. Perbedaan cairan NaCl isotonik dan hipertonik ( NaCl 3%). Pada rinosinusitis kronik terjadi dehidrasi di ASL dan sebaliknya menimbulkan udem mukosa karena cairan mengisi mukosa di daerah sub mukosa dan tunika adventitia.Pada kondisi ini, pergerakan silia terhambat sehingga menyebabkan gagalnya proses mucocilliary clearance. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka diperlukan terapi yang dapat mengembalikan status hidrasi ASL, mengurangi udem sub mukosa dan memperbaiki reologi mukus agar proses pembersihan mukosilier dapat berjalan dengan optimal (Suarez, 2012, Ater, 2012). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 49 Cuci hidung NaCl terbukti efektif dalam menurunkan gejala klinis rinosinusitis kronis serta meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Mekanisme pasti terjadinya belum diketahui, namun dikatakan cuci hidung dapat memperbaiki fungsi mukosa sinonasal melalui beberapa efek fisiologis, yaitu; pencucian langsung koloni mikroorganisme patogen dan zat iritan pada permukaan mukosa hidung, pengurangan mediator inflamasi, pengurangan udem pada mukosa, pengurangan sekresi musin, peningkatan fungsi mukosiliar dengan meningkatkan frekuensi gerakan silia, dan perbaikan gejala klinis (Culiq, 2010; Arnold, 2011). Pada saat partikel salin yaitu Na+ dan Cl - bertemu dengan partikel molekul mukus, maka ion Na+ dan Cl- akan memutus ikatan ion yang menyusun mukus menyebabkan peregangan struktur makromolekul mukus sehingga lapisan mukus berkurang ketebalannya(King, 2005; Halperin, 2009). Selanjutnya ion Na+ _ Cl- akan sampai ke permukaan membran mukosa epitel. Karena ada perbedaan gradien elektrik di dalam dan luar sel, maka terjadi penarikan cairan sub mukosa ke ASL, sehingga akan mengurangi udem mukosa sekaligus mengembalikan hidrasi ASL (King, 2005; Halperin, 2009). G. Patofisiologi Larutan Salin Isotonik pada Rinosinusitis Kronik Larutan salin telah banyak digunakan pada terapi rinosinusitis kronik. Jenis larutan salin yang paling banyak digunakan adalah larutan salin isotonik 0,9%. Larutan salin isotonik adalah suatu larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 50 yang sama (tekanan osmotik yang sama) dengan konsentrasi didalam sel (Hernandez, 2007; Robago, 2009). Cuci hidung dengan larutan salin isotonik terbukti efektif dalam menurunkan gejala klinis rinosinusitis kronik. Mekanisme pasti terjadinya belum diketahui, namun dikatakan cuci hidung dapat memperbaiki fungsi mukosa sinonasal melalui beberapa efek fisiologis, yaitu; pencucian langsung koloni mikroorganisme patogen dan zat iritan pada permukaan mukosa hidung, pengurangan mediator inflamasi, pengurangan udem pada mukosa, pengurangan sekresi musin, peningkatan transpormukosilia dengan meningkatkan frekuensi gerakan silia. Cuci hidung dengan larutan salin isotonik digunakan sebagai terapi tambahan beberapa penyakit sinonasal (termasuk rinosinusitis akut, rinosinusitis kronis, rinitis alergi, dan penyakit sinonasal lainnya) (Culig, 2010, Wei et.al. 2011, Satdhabudha., 2012). H. Patofisiologi Larutan salin Hipertonik pada Rinosinusitis Kronik Larutan hipertonik adalah larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut yang lebih tinggi daripada didalam sel. Dikarenakan ada perbedaan konsentrasi, sehingga secara fisiologis larutan didalam sel akan bergerak ke luar sel untuk menyeimbangkan konsentrasi zat didalam dan luar sel. Sebagai akibatnya, sel secara morfologis dapat mengkerut dikarenakan kehilangan sejumlah cairan (Halperin, 2009). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 51 Larutan salin hipertonik merupakan larutan alkali ringan. Suasana alkali menyebabkan palut lendir berada dalam fase sol sehingga sekret bersifat kurangviskus. Pemberian larutan salin hipertonis menyebabkan keadaan hiperosmolar disaluran pernapasan sehingga terjadi pelepasan kalsium dan prostaglandin E2 dariintraseluler, peningkatan availabilitas adenosine triphosphate pada aksonema siliadan peningkatan ciliary beat. Larutan hipertonis juga memiliki efek mukolitikpada konsentrasi NaCl 7%. Larutan salin hipertonik memiliki efek antibakteri serta dapat mengurangi udema mukosa (Garavello, et al.,2003; Lee, et al., 2003). Pengangkutan aktif terjadi pada penggunaan cairan hipertonik, dimana substansi melewati membran sel dari daerah yang berkonsentrasi rendah ke daerah yang berkonsentrasi tinggi (Hernandez, 2007). Penambahan salin hipertonik pada epitel telah diuji secara eksperimentalhasilnya adalah terjadi peningkatan ASL kembali normal dalam waktu singkat.Natrium dan Klorida memasuki sel sebagai respon pemberian salin hipertonik. Menginduksi sejumlah konsentrasi Na dan Cl keluar dari sel melalui daerah basolateral. Salin hipertonik yang menginduksi peningkatan konsentarasi NaCl pada permukaan ASL menghasilkan perbedaan grandien sehingga air dapat bergerak transepitelial dan pada arah yang berlawanan yang dibangkitkan oleh ion transpor aktif, yaitu secara osmotik air berpindah melalui submukosa ke ASL. Aliran air terjadi terue menerus selama kurang lebih 30-40 detik mengikuti aliran commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 52 hiperosmotik dan selama periode equilibrasi NaCl diserap dengan arah yang berlawanan melalui transeluler dan paraseluler. Terdapat mekanisme elektrochemical yang mendorong Cl- diserap melalui apikal membran. Sehingga Cl- masuk melalui paraseluler dan transeluler melalui Cl cahnnel untuk menyeimbangkan Na+ yang masuk melalui transeluler. Mekanisme ini berusaha untuk menyeimbangkan tingkat absorbsi Cl- melalui transepitel dengan absorbsi Na+ yang relatif tinggi. Sehingga penyerapan air menjadi lebih tinggi pada ASL (Beule AG., 2010; Zhang S., et al, 2011). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 53 I. Kerangka Teori Faktor Predisposisi: Faktor etiologi: Mukosa hidung dan sinus paranasal - Faktor lingkungan (iritan, polutan) - Usia - Malnutrisi - Defisiensi imun - Obstruksi mekanik (variasi anatomi) - Infeksi (bakteri, virus) - Infeksi odontogen - Alergi Peningkatan aktivitas ENaC Absorbsi Na+ berlebihan Larutan Salin Peningkatan transport ion dan air melewati epitelium Larutan Salin Isotonik Hipertonik Membilas Rehidrasi ASL (+) Gradien Elektrokimia partikel iritan (+)(+) (+)(+)(+) (+)(+) (+) (+) Berkurang nya ASL Penebalan mukus Udem Submukosa (+)(+) Vasodilatasi Mediator inflamasi pembuluh darah berkurang Gangguan gerak silia berkurang Blokade ostium sinus Rinosinusitis Kronik Terapi konservatitf (medikamentosa, cuci hidung dengan larutan salin) commit to user Sumbatan Hidung perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 54 Keterangan gambar : proses akibat : efek larutan salin isotonik : efek larutan salin hipertonik Keterangan Kerangka Teori : Akibat infeksi bakteri dan virus, infeksi odontogen, atau non infeksi (tersering adalah alergi) serta adanya faktor predisposisi yaitu adanya kelainan anatomi, iritan dan polutan, usia, malnutrisi, dan defisiensi imun, terjadi perubahan transport ion pada mukosa sinus paranasal. Pada inflamasi epitel mukosa sinus paranasal terjadi Upregulation ENaC, sehingga terjadi peningkatan absorbsi Na+ dan diikuti absorbsi Cltransepitel jika dibandingkan mukosa sinus normal. Keadaan ini diikuti dengan perpindahan air dari ASL ke mukosa. Perubahan ini menyebabkan keadaan dehidrasi di ASL, penebalan mukus dan sebaliknya menimbulkan udem mukosa karena cairan mengisi mukosa di daerah sub mukosa dan tunika adventitia.Pada kondisi ini, pergerakan silia terhambat sehingga menyebabkan gagalnya proses mucocilliary clearance Akibat udem mukosa yang di pengaruhi proses inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal timbul Gejala sumbatan hidung. Gangguan sumbatan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 55 hidung merupakan gejala untuk rinosinusitis kronik dengan maupun tanpa polip hidung. Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait tiga faktor: patensi ostium, fungsi silia dan kualitas sekret. Penatalaksanaan rinosinusitis kronik dapat berupa pemberian medikamentosa antibiotik dan terapi tambahan dapat berupa dekongestan oral/topikal, mukolitik atau pencucian hidung dengan larutan salin. Diperlukan terapi yang dapat mengembalikan status hidrasi ASL, mengurangi udem submukosa dan memperbaiki reologi mukus agar proses pembersihan mukosilier dapat berjalan dengan optimal Larutan salin isotonik maupun hipertonik yang mengandung ion Na+ dan Cl- dapat memperbaiki proses mucocilary clearance dengan merehidrasi airway surface liquid (ASL), sehingga mengurangi udem mukosa, dan memperbaiki reologi mukus. Pada pemberian cairan hipertonik, terjadi rehidrasi ASL dan juga pembersihan dari partikel iritan. Sedangkan pada pemberian larutan salin hipertonis, terjadi pengurangan udem karena adanya gradien elektrokimia. Patofisiologis ini berperan penting dalam perbaikan tingkat sumbatan hidung pada pasien dengan rinosinusitis kronik. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 56 J. Kerangka Konsep Rinosinusitis Kronik Pemeriksaan tingkat sumbatan Pemeriksaan tingkat sumbatan hidung sebelum terapi hidung sebelum terapi Terapi cuci Hidung dengan larutan Terapi cuci Hidung dengan larutan Isotonik Hipertonik Pemeriksaan tingkat sumbatan Pemeriksaan tingkat sumbatan hidung sesudah terapi hidung sesudah terapi Dibandingkan K. Hipotesis Penelitian Terdapat perbedaan efektivitas antara penggunaan cuci hidung dengan larutan salin isotonik dan hipertonik terhadap tingkat sumbatan hidung pada rinosinusitis kronik commit to user