STATUS EKOLOGI KEPADATAN PREDATOR KARANG Acanthaster

advertisement
STATUS EKOLOGI KEPADATAN PREDATOR KARANG Acanthaster planci LINN:
KAITANNYA DENGAN KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN TOMIA,
TAMAN NASIONAL WAKATOBI
Chair Rani1), Arifin Dahlan2), dan Alfian Asmara3)
1).
Jurusan Ilmu Kelautan, Fak. Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS Makassar
Jurusan Perikanan, Fak. Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS Makassar
2,3).
Acanthaster planci atau biasa dikenal dengan Crown of Thorns Starfish merupakan salah
satu jenis bintang laut raksasa dengan jumlah duri yang banyak dan salah satu hewan pemakan
karang yang rakus sehingga keberadaannya perlu dipantau. Penelitian ini bertujuan: (1)
mengetahui status ekologi A. planci di Perairan Tomia, (2) mengetahui kondisi terumbu karang di
Perairan Tomia, dan (3) menganalisis keterkaitan kepadatan A. planci dengan kondisi terumbu
karang (tutupan karang hidup dan karang mati). Penelitian dilakukan di bulan Maret - Juni 2011 di
Perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi. Lima stasiun di Perairan Tomia ditetapkan
berdasarkan sebaran terumbu karang. Untuk penilaian kondisi terumbu karang dilakukan dengan
metode Lifeform Intercept Transect (LIT) sedangkan kepadatan A. planci digunakan transek
sabuk pada titik yang sama dengan pengamatan kondisi terumbu karang dengan luas area
pemantauan 250 m2. Setiap stasiun dilakukan pengamatan pada 2 kedalaman, yaitu kedalaman
3-5 meter dan 7-10 meter. Hasil penelitian menunjukan bahwa kepadatan A. planci di Perairan
Tomia yang berada dalam Status Ancaman ditemukan di Stasiun Waha pada kedalaman 3 – 5
meter, dengan kepadatan mencapai 0,132 individu/m 2, sedangkan pada stasiun lain, statusnya
masih alami/normal dengan kepadatan A. planci berkisar dari 0-0.012 individu/m 2. Kondisi
tutupan karang hidup di semua stasiun dan kedalaman bervariasi dari kondisi kritis – baik.
Kepadatan A. planci di Perairan Tomia berkorelasi negatif terhadap tutupan karang hidup dan
berkorelasi positif terhadap tutupan karang mati, namun tidak signifikan. Meskipun demikian
pada kondisi kepadatan A. planci yang tinggi seperti pada Stasiun Waha di kedalaman 3 – 5
meter, telah menyebabkan penurunan penutupan karang hidup dan peningkatan karang mati
yang relatif tinggi.
Kata Kunci: A.planci, kondisi, terumbu karang, Tomia, Wakatobi
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki terumbu karang (coral reef)
dengan luas kurang lebih 60.000 km2. Potensi sumberdaya alam kelautan ini tersebar di
seluruh Indonesia mengemban beragam nilai dan fungsi, antara lain nilai rekreasi
(wisata bahari), nilai produksi seperti sumber bahan pangan dan ornamental, dan nilai
konservasi yaitu sebagai pendukung proses ekologis dan penyangga kehidupandi
daerah pesisir, sumber sedimen pantai dan melindungi pantai dari ancaman abrasi
(Fossa dan Nilsen, 1996).
Wakatobi sebagai Taman Nasional ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan No. 393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996 dan di tetapkan berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan No.7651/Kpts-II/2002 tanggal 19 Agustus 2002 dengan
luasan 1.390.000 Ha. Penunjukan dan penetapan kawasan Taman Nasional Wakatobi
sebagai Taman Nasional konservasi laut
di Indonesia berdasar atas potensi
keanekaragaman hayati yang tinggi, khususnya ekosistem terumbu karang, padang
lamun dan mangrove.
Dalam rangka menjaga keutuhan dan kelestarian ekosistem terumbu karang di
Taman Nasional Wakatobi dan sekaligus memberikan manfaat optimal bagi
pemanfataan secara berkelanjutan khususnya dalam dua sektor yang menjadi andalan
Pemerintah Kabupaten Wakatobi yaitu perikanan dan pariwisata bahari, maka perlu
dilakukan upaya-upaya terpadu khususnya dalam penanggulangan gangguan, baik
1
yang disebabkan oleh perikanan yang merusak dan gangguan alami akibat telah
terjadinya ketidakseimbangan alam yang menyebabkan meledaknya populasi bintang
laut berduri (Acanthaster planci) di perairan laut Wakatobi (Balai Taman Nasional
Wakatobi, 2007).
A. planci atau biasa dikenal sebagai Crown of Thorns Starfish merupakan salah
satu jenis bintang laut raksasa dengan jumlah duri yang banyak sekali, merupakan
hewan pemakan karang. Hewan ini tersebar diberbagai perairan yang di tumbuhi oleh
beberapa jenis karang. Kepadatan populasi A. planci di daerah terumbu karang akan
memberikan dampak negatif bagi kehidupan karang. Bukan hanya terumbu karang di
Indonesia yang mengalami kerusakan, tapi berbagai wilayah perairan yang ada di dunia,
seperti yang terjadi di Great Barrier Reef tahun 1981-1989 yang menyebabkan rusaknya
karang sekitar 60% (Lucas, 1990).
Kehadiran A. planci dalam batasan populasi normal merupakan hal yang umum
di ekosistem terumbu karang. Jika kepadatan populasi lebih dari 14 individu/1000 m2,
maka keberadaannya sudah mengancam terumbu karang (Endean, 1987). Kondisi ini
menunjukkan bahwa fenomena kehadiran A. planci sudah ekstensif di beberapa
perairan di Indonesia. Olehnya itu kehadiran pemangsa karang ini perlu terus dipantau
sebagai dasar dalam suatu pengambilan tindakan pengelolaan.
Tujuan dari penelitian ini yaitu (1) untuk mengetahui status ekologi A. planci di
perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi; (2) untuk mengetahui kondisi ekologi karang
di Taman Nasional Wakatobi, khususnya di perairan Tomia, dan (3) untuk mengetahui
keterkaitan kepadatan A. planci dengan kondisi terumbu karang (tutupan karang hidup
dan karang mati).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2011.
Lokasi penelitian berada di perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi penelitian (Google, 2011)
Prosedur Penelitian
2
Survei dan Penentuan Lokasi
Dari hasil survei ditetapkan lima stasiun dari sembilan Desa dan Kelurahan yang
ada di Kecamatan Tomia. Kelima stasiun tersebut dirinci pada Tabel 1.
Tabel 1. Posisi stasiun penelitian pada perairan Tomia.
Posisi
Stasiun
Desa/Kelurahan
Lintang Selatan
Bujur Timur
I
50 12’ 9.5” LS
1230 15’ 9.6” BT
Waitii Barat
II
50 12’ 4.0” LS
1230 15’ 9.8” BT
Waha
III
50 12’ 3.4” LS
1230 15’ 8.9” BT
Waha
IV
50 12’ 0.9” LS
1230 15’ 3.3” BT
Onemay
V
50 12’ 2.1” LS
1230 15’ 9.3” BT
Patua 1
Dari ke lima stasiun tesebut, masing-masing stasiun dibagi dua substasiun (dua
kali pengulangan) yaitu pada kedalaman 3 - 5 meter dan 10 - 13 meter.
Tahap Pengambilan Data Lapangan
a. Penilaian Kondisi Terumbu Karang
Penilaian kondisi terumbu karang pada masing-masing substasiun dilakukan
dengan metode line Intercept Transect (LIT) (English et al.,1994). Pengambilan data
komponen tutupan dasar terumbu karang berdasarkan bentuk pertumbuhan. Transek
diletakkan sejajar garis pantai sepanjang 50 meter pada setiap sub stasiun. Pengukuran
panjang tutupan dasar dilakukan sampai dengan ketelitian 1 cm.
Kepadatan Acanthaster planci
Pengambilan data dilakukan pada titik pengamatan line Intercept Transect (LIT)
dengan melakukan pemantauan secara langsung di sepanjang transek line dengan
areal pemantauan 2,5 meter di sisi kiri dan kanan line transek (luas area pemantauan
250 m2). Selanjutnya, jumlah populasi A. planci sepanjang areal pemantauan dicatat
jumlahnya.
Analisis Data
Penilaian Kondisi Terumbu Karang
Untuk mendapatkan gambaran kondisi ekosistem terumbu karang dilakukan
pengambilan data tutupan dasar, yang kemudian dihitung nilai persentase tutupan
setiap kategori berdasarkan petunjuk English et al. (1994) sebagai berikut :
Pc = Li/Ltotal x 100%
Dengan : Pc = persen tutupan (%)
Li = panjang tutupan lifeform (cm)
Ltotal = panjang transek (m)
Penilaian kondisi terumbu karang di kelompokan menurut stasiun dan sub
stasiun berdasarkan nilai penutupan karang hidupnya (Tabel 2).
3
Tabel 2. Kategori dan persentase tutupan karang hidup (Sukmara et al., 2001)
Kategori
Tutupan karang hidup (%)
Rusak
0 - 24,9%
Kritis/sedang
25 - 49.9%
Baik
50 - 74,9%
Sangat baik
75 - 100%
Status Ekologi Kepadatan Acanthaster planci
Untuk menghitung kepadatan A. planci maka digunakan rumus Krebs (1989).
D = n/A
Dengan: D = Kepadatan Spesies (Ind/m2)
n = Jumlah total Individu (individu)
A = Luas total transek (m2)
Kategori status ekologi kepadatan A. planci berdasarkan Endean (1987) yaitu
dikategorikan alami jika kepadatannya kurang dari 14 ind/1000m2 (0,014 individu/m2)
dan ancaman jika kepadatannya lebih dari 14 ind/1000m2
Status ekologi kepadatan A. planci dikelompokkan menurut stasiun dan sub
stasiun dan disajikan dalam bentuk grafik.
Keterkaitan Antara Kepadatan Acanthaster planci Dengan Kondisi Terumbu
Karang
Keterkaitan antara kepadatan A. planci dengan tutupan karang hidup dan tutupan
karang mati dianalisis dengan analisis regresi sederhana dengan formula Sudjana
(1989).
Y=a+bx
Dengan : Y = tutupan karang hidup atau karang mati (%)
a,b = koefisien regresi
x = kepadatan Acanthaster planci (ind/m2)
Selain itu juga di analisis secara deskriptif dengan mengelompokkan status
kepadatan A. planci (alami dan ancaman) dan dihitung rata-rata penutupan karang
hidupnya berdasarkan status kepadatan A. planci tersebut. Adapun hasilnya disajikan
dalam bentuk grafik histogram.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Tomia merupakan salah satu pulau dari empat gugusan pulau yang ada di
Kepulauan Wakatobi dengan luas pulau 52,4 km2. Semula gugusan pulau ini dikenal
dengan nama Kepulauan Tukang Besi, karena sejak dahulu penduduk di kepulauan ini
dikenal sebagai pengrajin atau pandai Besi.
Secara administrasi Tomia adalah salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten
Wakatobi Propinsi Sulawesi Tenggara, dimana secara geografis sebelah utara
berbatasan langsung dengan pulau Kaledupa, sebelah selatan berbatasan langsung
dengan pulau Binongko, sebelah barat berbatasan langsung dengan laut Flores dan
sebelah timur berbatasan langsung dengan laut Banda.
Berdasarkan hasil citra satelit, diketahui bahwa luas terumbu karang di
kepulauan Wakatobi adalah 8.816,169 hektar. Di kompleks pulau Tomia, rataan
terumbunya mencapai 1,2 kilometer untuk jarak terjauh dan 130 meter untuk jarak
terdekat.
Untuk menuju Kecamatan Tomia dapat ditempuh lewat beberapa alternatif
perjalanan dari Wangi-wangi ibu kota Kabupaten Wakatobi dan Kota Bau-bau yaitu:
1. Wanci ke Kelurahan Waha, ibukota Kecamatan Tomia dengan kapal kayu yang
berangkat 3 kali seminggu dari pelabuhan Mola dengan waktu tempuh 3 - 4 jam.
4
2. Bau-bau ke Kelurahan Waha, ibukota Kecamatan Tomia dengan Kapal Kayu yang
berangkat 3 kali seminggu dari pelabuhan Murhum dengan waktu tempuh 10 - 12
jam.
Penduduk di Kabupaten Wakatobi tercatat +100.000 jiwa yang tersebar 8
kecamatan dan hampir 100% memeluk agama Islam. Sebagian besar penduduk
Wakatobi memanfaatkan sumberdaya laut yang ada di perairan kawasan Taman
Nasional Wakatobi sebagai sumber pendapatan/mata pencahariannya. Penduduk
Wakatobi terdiri dari berbagai macam etnis yaitu etnis Wakatobi asli, Bugis, Buton, Jawa
dan Bajau. Namun kebudayaan etnis asli masih kuat, belum banyak mengalami
akulturasi dan masing-masing etnis hidup dengan teratur, rukun dan saling menghargai
(Balai Taman Nasional Wakatobi, 2011).
Kepadatan Acanthaster planci
Acanthaster planci adalah hewan pemakan karang yang dapat menyebabkan
kerusakan karang, Kemunculan hewan ini juga merupakan kontrol ekologi bagi karang
yang pertumbuhannya cepat. Perairan Kecamatan Tomia merupakan salah satu
perairan di Wakatobi yang tidak luput dari kemunculan A. planci. Dalam penelitian ini
diperoleh hasil sebaran dan kepadatan A. planci pada setiap stasiun seperti pada
Gambar 2.
0.140
Kepadatan A. planci
(ind/m2)
.
0.132
Kedalaman 3-5
m
0.120
0.100
0.080
0.060
0.040
0.012
0.020 0.008
0.000
I
0.008
0.008
0.004 0.008
0.000
0.000 0.004
II
III
Stasiun
IV
V
Gambar 2. Kepadatan Acanthaster planci pada setiap Stasiun Penelitian
Kepadatan A. planci pada kedalaman 3 - 5 meter bervariasi, kepadatan tertinggi
ditemukan pada Stasiun II yaitu 0.132 individu/m2 dan yang terendah pada Stasiun V
dimana A. planci tidak ditemukan sama sekali. Sedangkan kepadatan A. planci pada
kedalaman 10 - 13 meter kepadatan tertinggi ditemukan pada Stasiun I yaitu 0.012
individu/m2 dan yang terendah pada Stasiun III dimana A. planci tidak ditemukan sama
sekali.
Secara umum, di kedalaman 3 – 5 meter memiliki kepadatan yang lebih rendah
dibanding pada kedalaman 10 – 13 meter. Demikian pada Stasiun II (keadalaman 10 13 meter) kepadatan A. planci jauh lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya dan
sudah dapat dikatakan dalam kondisi mengancam. Sedangkan empat stasiun lain yang
terdapat pada lokasi penelitian yaitu Stasiun I, III, IV dan V kepadatan A. planci masih
dikategorikan alami/normal. Endean (1987) mengatakan bahwa tingkat kepadatan
normal dari A. planci apabila jumlahnya kurang dari 14 ind/1000 m2 (0.014 individu/m2).
Sedangkan tingkat kepadatan yang melebihi 14 ind/1000 m2 dianggap telah
mengkhawatirkan/mengancam. Adapun status ekologi A. planci di perairan Tomia,
Taman Nasional Wakatobi untuk setiap stasiun disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Status Ekologi A. planci perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi
5
Stasiun Kedalaman
I.1
5-Mar
I.2
13-Oct
II.1
5-Mar
II.2
13-Oct
III.1
5-Mar
III.2
13-Oct
IV.1
5-Mar
IV.2
13-Oct
V.1
5-Mar
V.2
13-Oct
Kepadatan A. planci
(ind/m²)
0.008
0.012
0.132
0.004
0.008
0
0.004
0.008
0
0.008
Status Ekologi
Alami
Alami
Mengancam
Alami
Alami
Alami
Alami
Alami
Padatnya populasi A. planci pada Stasiun II tersebut diduga karena faktor
lingkungan. Kondisi lingkungan pada stasiun tersebut sesuai dengan kehidupan A.
planci, misalnya arus dan kedalaman. Dibandingkan dengan stasiun lain arus pada
Stasiun II lebih lambat (0.0720 meter/detik). Menurut Aziz (1995), A. planci umumnya
terdapat pada perairan dengan arus yang lambat. Ditambahkan oleh Suharsono (1998),
bahwa A. planci sering ditemukan pada kedalaman 3 – 5 meter. Selain faktor
lingkungan, faktor ketersaediaan makanan juga sangat berpengaruh terhadap ada
tidaknya A. planci pada suatu daerah. Menurut Moran (1990), A. planci juga menyukai
daerah terumbu karang dengan persentase tutupan karang yang tinggi (Gambar 3).
Gambar 3. Acanthaster planci yang ditemukan pada Stasiun II di lokasi penelitian
Tutupan dan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Tomia
Berdasarkan hasil pengamatan pada lokasi penelitian, kondisi tutupan terumbu
karang pada Perairan Tomia dapat di lihat pada Tabel 5.
kategori tutupan yang paling tinggi ditemukan didominasi oleh karang hidup
(Non-Acropora) seperti pada Stasiun V (kedalaman 3 – 5 meter) yaitu 63.40 % dan pada
Stasiun I (kedalaman 3 – 5 meter) yaitu 62.30 %. Sedangkan kategori tutupan yang
paling sedikit ditemukan adalah Sponge dan Other dimana pada beberapa stasiun tidak
ditemukan sama sekali. Tingginya tutupan karang hidup pada Stasiun I dan V diduga
berhubungan dengan kedalaman dan kekeruhan perairan. Terumbu karang dengan
kategori baik di lokasi penelitian terdapat pada perairan dengan kedalaman antara 3 – 5
meter. Kedalaman perairan berkaitan erat dengan dengan intensitas cahaya yang
sampai pada terumbu karang, dimana cahaya tersebut dibutuhkan dalam proses
fotosintesis oleh zooxanthella karang. Menurut Nybakken (1992), cahaya diperlukan
oleh algae simbiotik zooxanthella dalam proses fotosintesis guna memenuhi kebutuhan
6
oksigen biota terumbu karang. Pada Stasiun I, terumbu karang dengan kategori baik
juga ditemukan pada kedalaman 3 – 5 meter, hal ini diduga disebabkan karena
kekeruhan perairan pada lokasi tersebut rendah jika dibandingkan dengan stasiun lain
sehingga cahaya masih dapat tembus dengan baik sampai dasar perairan (terumbu
karang).
Tabel 5. Kondisi tutupan Terumbu karang dilokasi penelitian
Stasiun
I
II
III
IV
V
Keadalaman
(m)
AC
NA
DC
Tutupan Kategori (%)
DCA S RCK R
SC
MA
SP
OT
3-5
10-13
3-5
6.30 62.30 0.00 5.50 1.20 2.90 6.60 9.00 5.20 0.60 0.40
9.10 42.00 1.80 3.90 9.30 0.00 12.10 14.40 6.40 0.00 1.00
3.90 37.42 0.00 17.90 0.00 9.10 22.98 8.70 0.00 0.00 0.00
10-13
3-5
10-13
3-5
10-13
3-5
17.60
0.20
6.40
1.60
0.40
0.20
10-13
2.80 45.60 2.00 15.00 0.00 0.00 3.70 17.90 11.80 0.00 1.20
38.60
34.00
18.80
31.30
30.60
63.40
0.00
9.80
10.10
0.00
1.00
0.00
7.80
6.20
9.90
6.80
13.00
4.90
1.60
2.70
12.00
1.00
23.60
2.60
0.00
1.30
0.00
7.20
0.00
6.90
25.80
26.00
16.50
26.60
19.90
4.70
4.80
19.80
24.30
16.20
7.80
7.80
3.20
0.00
0.00
9.30
2.80
4.60
0.60
0.00
0.00
0.00
0.00
4.60
0.00
0.00
2.00
0.00
0.90
0.30
Diketahui juga tutupan karang mati (Dead Coral Algae) cukup tinggi seperti pada
Stasiun II (kedalaman 3 – 5 meter) yaitu 17.90 % dan pada Stasiun V (kedalaman 10 –
13 meter) yaitu 15.00 %. Tingginya persentase karang mati (Dead Coral Algae)
mengindikasikan kerusakan terumbu karang pada beberapa stasiun tersebut sudah
berlangsung lama, baik itu kerusakan yang disebabkan oleh manusia maupun oleh
pengaruh tekanan lingkungan.
Kategori lain yang cukup tinggi ditemukan tutupannya yaitu Rubble dan Soft
Coral. Tutupan Rubble Pada Stasiun IV (kedalaman 3 – 5 meter) yaitu 26.60 % dan
pada Stasiun III (kedalaman 3 – 5 meter) yaitu 26.00 %. Sedangkan tutupan Soft Coral
pada Stasiun III (kedalaman 10 – 13 meter) yaitu 24.30 % dan pada Stasiun III
(kedalaman 3 – 5 meter) yaitu 19.80 %. Tingginya persentase tutupan pecahan karang
dibeberapa stasiun di atas mengindikasikan bahwa di lokasi tersebut telah terjadi
praktek-praktek penggunaan alat penangkapan biota perairan yang tidak ramah
lingkungan seperti penggunaan bom, sedangkan tingginya tutupan karang lunak pada
beberapa stasiun mengindikasikan bahwa telah terjadi suksesi karang pada karang
yang rusak (Tandipayuk, 2006).
Kondisi terumbu karang pada lokasi penelitian dinilai berdasarkan persentase
tutupan nilai karang hidupnya (Acropora dan Non-Acropora). Adapun nilai tutupan
karang hidup dan kondisi terumbu karang disetiap stasiun dapat di lihat pada Gambar 4.
Pada Gambar 4, dapat dilihat bahwa pada kedalaman 3 – 5 meter kondisi
terumbu karang yang masih baik, ditemukan pada Stasiun I dan V dengan tutupan
karang hidup yaitu 68.6 % (Stasiun I) dan 63.6 % (Stasiun V), sedangkan pada Stasiun
II, III dan IV sudah masuk dalam kondisi sedang (kritis). Adapun untuk kedalaman 10 –
13 meter kondisi terumbu karang yang masih baik ditemukan pada Stasiun I dan II
dengan tutupan karang hidup yaitu 51.1 % (Stasiun I) dan 56.2 % (Stasiun II),
sedangkan pada Stasiun III, IV dan V sudah masuk dalam kondisi sedang (kritis).
7
Tutupan Karang Hidup
(%)
Gambar 4. Persentase tutupan karang hidup di lokasi penelitian
Tingginya persentase kemunculan karang hidup dalam kondisi sedang (kritis)
dibanding dengan kondisi baik mengindikasikan karang hidup pada beberapa stasiun
penelitian pernah mengalami tekanan baik dari manusia maupun lingkungan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Tandipayuk (2006) bahwa tingginya persentase tutupan karang
mati yang ditumbuhi alga disebapkan oleh adanya praktek-praktek pengrusakan karang
yang telah berlangsung lama, dan tingginya persentase tutupan pecahan karang
mengindikasikan penggunaan alat penangkapan biota perairan yang tidak ramah
lingkungan seperti penggunaan bom.
Keterkaitan antara Kepadatan Achantaster planci dengan Kondisi Terumbu
Karang
Hubungan antara kepadatan A. planci dengan tutupan karang hidup dan karang
mati pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6. Gambar tersebut
menunjukan hubungan yang sifatnya negatif antara kepadatan A. planci dengan tutupan
karang hidup dan sebaliknya hubungannya bersifat positif dengan tutupan karang mati.
Hasil uji statistik menunjukkan hubungan antara kepadatan A. planci dengan tutupan
karang hidup tidak signifikan (P > 0,05) dengan persamaan regresi ỹ = 45,82 – 30,75Xi.
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0.00
y = -30.74x + 45.81
R² = 0.007
P = 0.818
0.05
0.10
0.15
Kepadatan Acanthaster planci (ind/m²)
Gambar 5. Diagram pencar hubungan antara kepadatan Acanthaster planci
dengan tutupan karang hidup.
8
Tutupan Karang Mati (%)
70
y = 117.0x + 34.03
R² = 0.102
P = 0.367
60
50
40
30
20
10
0
0.00
0.02
0.04
0.06
0.08
0.10
0.12
0.14
Kepadatan Acanthaster planci (ind/m²)
Tutupan Karang Hidup (%)
Gambar 6. Diagram pencar hubungan antara kepadatan Acanthaster planci
dengan tutupan karang mati.
Pada gambar dapat dilihat adanya korelasi positif antara kepadatan A. planci
dengan tutupan karang mati, dimana semakin tinggi kepadatan A. planci maka semakin
tinggi pula tutupan karang mati. Pengukuran dengan uji statistik juga menunjukkan
antara kepadatan A. planci dengan tutupan karang mati menunjukkan hubungan yang
tidak signifikan (P > 0,05) dengan persamaan regresi ỹ = 34,03 + 117,0Xi.
Meskipun tidak menunjukkan korelasi yang signifikan hubungan antara
kepadatan A. planci dengan tutupan karang hidup atau karang mati, namun dalam
kondisi kepadatan A. planci yang tinggi seperti pada Stasiun II (kedalaman 3 – 5 meter)
memperlihatkan suatu fenomena yang mengancam dan bisa menyebapkan dampak
negatif terhadap kondisi terumbu karang (Gambar 7 dan 8). Pada gambar tersebut
memperlihatkan bahwa di Stasiun II (kedalaman 3 – 5 meter) kepadatan A. planci 0.132
ind/m2 telah menyebabkan menurunnya nilai tutupan karang hidup dan meningkatknya
nilai tutupan karang mati.
80
71.74
68.6
63.6
70
56.2
60
51.1
50
34.2
40
10
32.9
31
25.2
30
20
48.4
41.32
4.35 6.52
2.17 4.35 0.00 2.17 4.35 0.00 4.35
0
I.1
I.2 II.1 II.2 III.1 III.2 IV.1 IV.2 V.1 V.2
Stasiun
Acanthaster planci
Karang hidup
Gambar 7. Sebaran A. planci dan tutupan karang hidup di setiap titik pengamatan.
Adapun rata-rata tutupan karang hidup pada kondisi ekologi A. planci yang
tergolong mengancam lebih rendah dari pada kondisi yang masih alami (Gambar 9).
Sebaliknya tutupan karang mati pada kondisi ekologi A. planci yang tergolong
mengancam lebih tinggi dari pada kondisi yang masih alami (Gambar 10).
9
Tutupan Karang Mati (%)
80
71.74
70
57.5
60
49.98
46
50
27.1
30
10
41.6
35.2
40
20
48.5
19.1 20.7
16.2
4.35 6.52
2.17 4.35 0.00 2.17 4.35 0.00 4.35
0
I.1
I.2
II.1 II.2 III.1 III.2 IV.1 IV.2 V.1 V.2
Stasiun
Acanthaster planci
Karang mati
Karang Hidup (%)
Gambar 8. Sebaran A. planci dan tutupan karang mati di setiap titik pengamatan.
Semakin rendahnya tutupan karang hidup pada kondisi A. planci dengan
kepadatan lebih tinggi disebabkan karena adanya pemangsaan polip karang oleh A.
planci yang mengakibatkan kematian pada karang. Populasi A. planci yang padat di
daerah terumbu karang akan memberikan dampak negatif bagi kehidupan karang.
Acanthaster planci adalah predator karang yang dapat memangsa karang dalam jumlah
banyak dalam waktu yang singkat. Menurut Moran (1990), satu individu A. planci
dewasa dapat memangsa rata-rata 5 – 6 m2 koloni karang/tahun.
Tingginya tutupan karang hidup pada terumbu karang di lokasi penelitian
disebabkan karena populasi A. planci yang tidak terlalu tinggi, sehingga pemangsaan
karang juga tidak terlalu tinggi. Jika populasi A. planci pada suatu ekosistem dalam
status alami, maka tidak akan memberikan ancaman yang berarti terhadap ekosistem
terumbu karang bahkan dapat menjaga keseimbangan ekologi di dalam ekosistem. Hal
ini sesuai pendapat Bachtiar (2009), bahwa pemangsaan karang oleh A. planci yang
dalam populasi rendah bersifat selektif dengan preferensi pada Pocilloporidae dan
Acroporidae yang tumbuh cepat dan cenderung mendominasi ruang di terumbu.
Pemangsaan selektif ini mempunyai dampak ekologi yang positif karena memberikan
bantuan kepada karang yang tumbuh lambat untuk tetap tinggal di terumbu tersebut.
Tetapi jika populasi A. planci melebihi kemampuan karang untuk pulih kembali, maka
yang terjadi adalah sebuah bencana kerusakan terumbu karang.
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
45.69
41.32
Ancaman
Alami
Kondisi Ekologi A. planci
Gambar 9. Rata-rata persentase tutupan karang hidup pada kondisi ekologi A. planci.
10
Karang Mati (%)
50
40
49.98
34.66
30
20
10
0
Ancaman
Alami
Kondisi Ekologi A. planci
Gambar 10. Rata-rata persentase tutupan karang mati pada kondisi ekologi A. planci.
Sedangkan rendahnya tutupan karang hidup pada stasiun lain seperti Stasiun III
(kedalaman 10 – 13 meter) tidak luput dari kerusakan karang yang disebabkan oleh
manusia seperti membuang jangkar kapal/perahu dan penggunaan alat tangkap Bubu.
Pada stasiun tersebut diketahui persentase patahan karang (rubble) 16.50% dan soft
coral 24.30%. Stasiun III merupakan tempat berteduh kapal/perahu nelayan ketika
menghindari angin dan gelombang dari arah timur Pulau Tomia. Perahu tersebut
membuang jangkar di atas karang dan berakibat karang patah atau hancur sewaktu
terkena jangkar. Demikian pula ketika jangkar ditarik, karang akan terangkat dan
terbalik atau patah. Di stasiun tersebut juga merupakan tempat nelayan tradisional
menggunakan alat tangkap Bubu untuk menangkap ikan-ikan karang. Bubu dipasang
pada daerah terumbu karang yang biasanya ditempatkan di antara batu-batu karang
yang kemudian di tindih dengan bongkahan karang mati maupun karang hidup.
Pembongkaran karang hidup untuk menindih bubu inilah yang menyebabkan karang
patah dan hancur (Suharsono, 1998).
SIMPULAN
Kepadatan A. planci di Perairan Tomia yang berada dalam status mengancam
ditemukan di Stasiun Waha pada kedalaman 3 – 5 meter, dengan kepadatan mencapai
0,132 individu/m2, sedangkan pada stasiun lain statusnya masih alami/normal dengan
kepadatan A. planci berkisar dari 0 - 0.012 individu/m2.
Kondisi tutupan karang hidup di Perairan Tomia, pada kedalaman 3 – 5 meter di
Stasiun Waitii Barat dan Patua 1 masih berada dalam kondisi/kategori baik, sedangkan
di Stasiun Waha, Waha, dan Onemay sudah dalam kondisi/kategori sedang (kritis).
Adapun di kedalaman 10 – 13 meter pada Stasiun Waitii Barat dan Waha masih dalam
kondisi/katergori baik, dan di Stasiun Waha, Onemay dan Wali sudah masuk dalam
kondisi/kategori sedang (kritis).
Kepadatan A. planci di Perairan Tomia berkorelasi negatif terhadap tutupan
karang hidup dan berkorelasi positif terhadap tutupan karang mati, namun tidak
signifikan. Meskipun demikian pada kondisi kepadatan A. planci yang tinggi seperti
pada Stasiun Waha dikedalaman 3 – 5 meter, kepadatan A. planci yang tinggi
menyebabkan penurunan penutupan karang hidup dan peningkatan karang mati yang
relatif tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, A. 1995. Beberapa Catatan Tentang Kehadiran Bintang Laut Jenis Acanthaster
planci di Perairan Indonesia. Oseana Vol.XX, 2: 23-31. Jakarta.
11
Bachtiar, I. 2009. Bintang Laut Mahkota Duri (Acanthaster planci, Asteroidea).
http://mycoralreef.wordpress.com/2009/01/26/bintang-laut-mahkota-duriacanthaster-planci-asteroidea/. (Di akses 11 Juli 2011).
Balai Taman Nasional Wakatobi. 2007. Laporan Pengangkatan Crown Of Thorns
Starfish (COTs) Wakatobi. Bau-bau.
Balai Taman Nasional Wakatobi. 2011. Informasi Taman Nasional Wakatobi.
http://www.dephut.go.id/files/Wakatobi.pdf (Di akses 11 maret 2011).
Endean, R. 1987. Acanthaster planci Investation. pp. 299-237. In B. salvat (editor).
Human Impact on Coral Reefs: Facts and Recommendations, Antenne
Museum E.P.H.E. French Polynesia. Australia.
English, S.,C. Wilkinson and V. Baker. 1994. Survey Manual For Tropical Marine
Resources. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal
Resources. Australia Institute of Marine Science. Townsvile.
Fossa, A & A. Nilsen. 1996. The Modern Coral Reef Aquarium. Vol.1. Germany: J.C.C
Bruns GmbH.
Krebs, T. 1989. Ecology, the Experimental Analysis of Distribution and Abundance.
Harper and Row. New York.
Lucas, J., 1987. Life History. The Crown of Thorns Starfish, Australiapn Science
Magazine, Issue 3. GBRMPA, Queensland.
Moran,P.J., 1990. The Acanthaster plancii (L.); Biographical Data. Coral Reefs 9; 95-96.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Sudjana, M. A. 1989. Metode Statistik. Edisi kelima. Tarsito. Bandung.
Suharsono, 1998. Kesadaran Masyarakat tentang Terumbu Karang (Kerusakan Karang
di Indonesia). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi –LIPI, Jakarta.
Sukmara, Audrie. J, Siaharnenia, Rotinsulu., 2001. Panduan Pemantauan Terumbu
karang Berbasis-Masyarakat dengan metode Manta Tow. CRMP. Jakarta.
Tandipayuk, L.S. 2006. Kajian Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Terumbu Karang
Berkelanjutan di Perairan Pulau-Pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi
Selatan. Disertasi Program Pasca Sarjana. Universitas Hasanuddin. Makassar.
12
Download