ANALISIS SEMIOTIK FILM BIOLA TAK BERDAWAI Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) Oleh : Aminah Tuzahra NIM : 107051102738 KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti karya ini hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, Agustus 2011 Aminah Tuzahra ABSTRAK Aminah Tuzahra 107051102738 Analisis Semiotik Film Biola Tak Berdawai Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia memerlukan komunikasi untuk kelangsungan hidupnya. Film merupakan suatu medium ekspresi dan komunikasi. Media film memiliki keampuhan yang besar untuk mempengaruhi publik. Publik seakan menyaksikan langsung, bahkan seolah-olah ikut terlibat pada peristiwa yang terjadi dalam sebuah film. Film yang menjadi objek penelitian ini adalah film Biola Tak Berdawai (BTB), garapan sutradara Sekar Ayu Asmara. Film BTB mengisahkan tentang kasih sayang dan ketulusan seorang wanita terhadap anak-anak asuhnya yang menderita berbagai macam kelainan sejak lahir, salah satunya seorang anak yang terlahir dengan jaringan otak yang rusak berat, autisme, tuna wicara dan tuna daksa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna denotasi, konotasi dan mitos yang terdapat dalam film BTB. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Karena sebuah film pada dasarnya bisa melibatkan bentukbentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodean pesan yang sedang disampaikan. Untuk itu, penulis menggunakan teori semiotik dalam penelitian ini dengan model Roland Barthes. Barthes mengembangkan semiotik menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu denotasi dan konotasi yang menghasilkan makna eksplisit untuk memahami makna yang terkandung dalam film ini. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai „mitos‟ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Film BTB, memiliki makna denotasi sebagai film yang menggambarkan anak-anak yang mempunyai kelainan sejak lahir, salah satunya seorang anak yang memiliki jaringan otak yang rusak berat, autisme, dan tuna daksa. Mereka sering dianggap tidak berguna oleh lingkungannya. Sedangkan makna konotasinya, anak-anak yang memiliki jaringan otak yang rusak berat, autisme dan juga tuna daksa. Anak tersebut tidak pernah merespon pembicaraan dan mengeluarkan katakata apapun. Hal ini diibaratkan seperti biola tak berdawai, tidak bisa dimainkan dan tidak bisa menghasilkan nada-nada yang indah. Film yang tergolong kedalam film verbal ini menegaskan mitos, bahwa manusia memerlukan komunikasi dalam kehidupan. Karena manusia adalah makhluk sosial, baik itu komunikasi verbal maupun nonverbal sangat dibutuhkan. KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, pemilik alam semesta. Alangkah tak berdayanya semua makhluk dihadapan-Mu, Dzat yang Maha Kuasa, Dzat yang Maha Mengatur, sehingga dengan Rahmat dan hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai nabi akhir zaman yang menjadi suri teladan bagi seluruh umat manusia. Tahap demi tahap dengan selalu memohon ridlo kepada Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, dengan didukung oleh berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibuku tercinta, Fathiyah Duryad Reso Radin dan almarhum bapakku, Muslim Salimin, atas segala ridlo dan ketangguhannya mendidikku. Ini bukan akhir perjalanan hidupku untuk membahagiakan kalian. 2. Bapak Dr. Arief Subhan, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi; Bapak Drs. Wahidin Saputra, M.A selaku Pembantu Dekan I; Bapak Drs. Mahmud Djalal, M.A selaku Pembantu Dekan II; serta Bapak Drs. Study Rizal LK, M.A selaku Pembantu Dekan III. 3. Bapak Dr. Suhaimi, M.Si, selaku Dosen pembimbing yang telah banyak memberikan waktu, motivasi, do‟a dan ilmu kepada penulis. 4. Ibu Rubiyanah, M.A, selaku Ketua Konsentrasi Jurnalistik, beserta Ibu Ade Rina Farida, M.Si, selaku Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik. 5. Seluruh Dosen dan staf akademik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Kepada Ibu Sekar Ayu Asmara, selaku sutradara film Biola Tak Berdawai, yang banyak membantu demi terselesaikannya skripsi ini. 7. Kepada kru Kalyana Shira Film, atas segala bantuan dan partisipasinya. 8. Keluargaku tercinta, Siti Widiyastuti Muslim, Arif Rahman Muslim, MF Amin Fauzi Muslim, Hasan Alwi Muslim, M. Lutfi Muslim, Sholahuddin Muslim, Husni Mubarok Muslim, Yuyun Nazili, dan Ayu Irawati Wulandari, serta kedua keponakanku, Savira Layyina Rizqa dan Vara Lubhna Aghnia. Terima kasih atas segala dukungan kepada penulis, baik moril maupun materil. 9. Segenap karyawan perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 10. Segenap guru SDN Dukuh 09 Pagi Jak-Tim, MTs NU Banat Kudus JaTeng, dan MAK Futuhiyyah-1 Mranggen Ja-Teng yang turut membantu demi terselesaikannya skripsi ini. 11. Teman-teman Jurnalistik angkatan 2007: Ika, Cahya, Mawa, Zahro, Ririn, Zabrina, Yanti, Dita, Nana, Nunu, Sintia, Lola, Nia, Silvi, Nadia, Andi, Wahyu, Ajat, Iqbal, Miral, Kiki, Helmi, Taufik, Rezza, Munir, Dodo, Nujumul, Fajar, Iman, Era dan Zainal. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Spesial untuk Ahmad Syafiul Alam, yang telah banyak membantu, meluangkan waktu, dan memberikan motivasi. Serta rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas segala dukungan dan perhatian kalian. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis. Jakarta, Agustus 2011 Penulis DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK……………………………………………………………. KATA PENGANTAR………………………………………………… DAFTAR ISI………………………………………………………….. DAFTAR TABEL…………………………………………………….. DAFTAR GAMBAR…………………………………………………. i ii v vi vii BAB I PENDAHULUAN……………………………………………. A. Latar Belakang Masalah………………………………… B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………….. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………. D. Metodologi Penelitian…………………………………… E. Tinjauan Kepustakaan…………………………………... F. Sistematika Penulisan…………………………………… 1 1 4 4 5 7 8 BAB II TINJAUAN TEORITIS…………………………………….. A. Tinjauan Teoritis tentang Film…………………………. B. Tinjauan Teoritis Semiotik……………………………… 1. Konsep Semiotik…………………………………….. 2. Konsep Semiotik Roland Barthes…………………… C. Tinjauan Teoritis Komunikasi Nonverbal……………… 10 10 28 28 34 39 BAB III GAMBARAN UMUM FILM BIOLA TAK BERDAWAI... A. Profil Sutradara Film…………………………………… B. Profil Pemain Film……………………………………… C. Sinopsis Film……………………………………………. 48 48 49 51 BAB VI DATA DAN HASIL PENELITIAN………………………... A. Analisis Makna Judul Film Biola Tak Berdawai………… B. Makna Denotasi, Konotasi dan Mitos dalam Film Biola Tak Berdawai……………………………………… 55 55 BAB V PENUTUP…………………………………………………… A. Kesimpulan……………………………………………… B. Saran…………………………………………………….. 86 86 87 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………… LAMPIRAN-LAMPIRAN…………………………………………… 88 90 60 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 : Trikotomi Ikon/ Indeks/ Simbol dari Charles Sanders Pierce Tabel 2 : Peta Tanda Roland Barthes………………………... Tabel 3 : Scene 2……………………………………………... Tabel 4 : Scene 5……………………………………………… Tabel 5 : Scene 8……………………………………………… Tabel 6 : Scene 10…………………………………………….. Tabel 7 : Scene 24…………………………………………….. Tabel 8 : Scene 25…………………………………………….. Tabel 9 : Scene 40…………………………………………….. Tabel 10: Scene 41…………………………………………….. Tabel 11: Scene 62……………………………………………. Tabel 12: Scene 73……………………………………………. 32 37 60 63 66 69 71 73 76 79 81 83 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 : Mbak Wid Bermain Kartu Tarot……………….. Gambar 2 : Renjani akan Menghadiri Acara Pemakaman…. Gambar 3 : Renjani dan Dewa Berjalan-jalan di Pematang Sawah Gambar 4 : Renjani Berbincang dengan Mbak Wid……….. Gambar 5 : Renjani Menari Ballet untuk Dewa……………. Gambar 6 : Mbak Wid Bermain Kartu Tarot………………. Gambar 7 : Renjani Berbincang dengan Bhisma…………... Gambar 8 : Renjani Menari Ballet Diiringi Alunan Biola Bhisma Gambar 9 : Mbak Wid Bermain Kartu Tarot………………. Gambar 10: Bhisma dan Dewa ke Pusara Makam Renjani… 61 63 66 69 71 74 77 79 81 83 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah komunikasi digunakan dalam arti yang sangat luas untuk menampung semua prosedur yang bisa digunakan oleh satu pikiran untuk mempengaruhi pikiran lain. Adapun tujuan dari komunikasi adalah sebagai suatu usaha untuk mempengaruhi tingkah laku sasaran (tujuan) komunikasi (atau penerima pesan).1 Pada dasarnya, kegiatan komunikasi sehari-hari manusia tidak hanya menggunakan komunikasi verbal saja, namun komunikasi non verbal juga diperlukan. Karena dalam mempersepsikan manusia, kita tidak hanya lewat bahasa verbal, namun juga melalui prilaku non verbalnya. Komunikasi non verbal merupakan aspek penting di dalam komunikasi manusia. Jika komunikasi verbal itu menggunakan kata-kata, baik dalam bentuk percakapan maupun tulisan, komunikasi non verbal lebih banyak menggunakan lambang-lambang atau isyarat gerak tubuh. Menurut D. A Peransi dalam bukunya Film/Media/Seni, Film merupakan suatu medium ekspresi dan komunikasi. Film merupakan suatu medium yang relatif baru di dalam kebudayaan umat manusia, dibandingkan dengan medium seperti bahasa dan tulisan2. Karena seringkali penonton film terbuai dan terbawa oleh suasana dan menganggap apa yang disajikan 1 Werner J. Severin dan James W. Tankard, Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, ed. 5, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 57. 2 D.A. Peransi, Film/Media/Seni, (Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2005), cet. 1, h.146. pada layar sungguh-sungguh kenyataan. Dalam kondisi inilah terjadi proses identifikasi para penonton. Film dianggap memiliki pengaruh lebih kuat terhadap khalayaknya dibandingkan dengan media lain. Meskipun berbagai penelitian tidak mendapatkan buktinya, dugaan film menguasai khalayaknya juga tidak hilang. Isi dan teknik pembuatan film memang sedemikian rupa sehingga mengikat perhatian penontonnya. Bahkan ada pengamat yang menyatakan bahwa film memiliki kekuatan hipnotis. Dalam Penguin Film Review No 8, Hugh Mauerhofer menguraikan betapa film mempunyai kekuatan tersendiri dalam memenuhi pikiran penonton, dan karena kekuatan inilah film perlu dikontrol. Film dikatakannya dapat menyihir penonton sehingga mereka selalu pasif dan menerima saja apa yang disajikan film3. Sebagai film drama, “Biola Tak Berdawai” (BTB) memiliki kisah yang romantis, dramatik, sekaligus memperlihatkan kasih sayang seorang wanita terhadap seorang anak yang memiliki kelainan fisik sejak lahir. Film BTB diproduksi oleh PT Kalyana Shira Film pada tahun 2002, disutradarai oleh Sekar Ayu Asmara. BTB merupakan salah satu film drama yang tergolong sukses mendapatkan bermacam penghargaan seperti Naguib Mahfouz Prize di Cairo International Film Festival 2003, juga meraih aktris terbaik di Festival Film Asia Pasifik di Shiraz, serta aktor dan musik terbaik di Bali International Film Festival. Bahkan di Festival Film Bandung (FFB) yang digelar pada bulan Maret 2004, BTB mendapatkan enam penghargaan dari tujuh kategori yang diperebutkan. Salah satu dari penghargaan tersebut 3 William L. Rivers, jay W. Jensen, dan Theodore Peterson, Media Massa dan Masyarakat Modern, (Terj.) oleh Haris Munandar dan Dudy Priatna. (Jakarta:Prenada Media, 2004), ed. 2, cet. 2, h.291. adalah sebagai musik Terpuji yang digarap oleh Addie MS. Selanjutnya MTV Indonesia menggelar pula ajang bergengsi untuk insan film Indonesia, yang dikenal dengan MTV Indonesia Movie Awards. Dari 5 nominasi Most favorite yang direncanakan, BTB yang berdurasi 97 menit masuk 4 nominasi yang berasal dari pemilihan seratus jurnalis yaitu: Most Favorite Actor (Nicolas Saputra), Most Favorite Actress (Ria Irawan), Most Favorite Supporting Actor (Dicky Lebrianto), Most Favorite Supporting Actress (Jajang C. Noer). Dari berbagai macam ajang penghargaan perfilman tersebut, jelas bahwa film “Biola Tak Berdawai” memiliki kualitas yang cukup diperhitungkan dan diakui dalam perfilman di dalam maupun di luar negeri4. Dalam film ini, ada scene yang menggambarkan tentang seorang anak yang lahir dalam keadaan yang tidak normal. Seorang anak yang dilahirkan dengan jaringan otak yang rusak berat. Selain itu, dia juga mempunyai kecendrungan autisme dan penyandang tuna wicara. Tubuhnya kerdil, kepalanya selalu tertunduk ke bawah dengan tatapan mata yang hampa. namun pada suatu hari, anak yang menderita ketidak normalan itu mendadak mengangkat kepalanya, untuk yang pertama kalinya. hal ini dikarenakan setelah ia mendengarkan lagu dan tarian. Inilah yang membuat penulis tertarik untuk sedikit menyajikan unsur komunikasi non verbal dalam film ini. Bahwa ternyata pentingnya mempelajari komunikasi non verbal disamping komunikasi verbal yang telah kita miliki sejak lahir. Semua ini terbingkai apik dalam film besutan sutradara Sekar Ayu Asmara. 4 Ismail Fahmi, “Biola Tak Berdawai”,artikel ini diakses pada 17 Juli 2011 dari cafe.degromiest.nl/wp/archives/30. Ini adalah drama kemanusiaan yang mengisahkan cinta lebih besar dari segalanya, bahwa cinta bisa membuat harapan yang tidak mungkin bisa menjadi kenyataan. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menyusun skripsi ini dengan judul: “Analisis Semiotik Film Biola Tak Berdawai” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar penelitian ini lebih fokus, maka penulis membatasi pengambilan potongan adegan-adegan dan teks dalam film BTB, hanya yang dianggap memiliki makna dari tanda atau simbol yang mewakili kasih sayang seorang wanita terhadap anak-anak asuhnya yang menderita berbagai macam kelainan sejak lahir, salah satunya seorang anak yang terlahir dengan jaringan otak yang rusak berat, autis, dan tuna daksa. Penelitian ini menggunakan analisis semiotik model Roland Barthes. Perumusan masalah dalam penilitian ini adalah: C. Bagaimana makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam film BTB? Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan rumusan pertanyaan penelitian di atas, secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna denotasi, konotasi, dan mitos yang terdapat dalam film BTB. Sedangkan manfaat yang diharapkan dari adanya penelitian ini adalah: 1. Manfaat Akademis yang ingin dicapai adalah untuk menambah kajian ilmu komunikasi serta sebagai tambahan referensi bahan pustaka, khususnya pemikiran tentang analisis dengan minat pada kajian film dan semiotika. 2. Manfaat Praktis hasil karya ilmiah ini diharapkan dapat menarik penelitian lain, khususnya dikalangan mahasiswa. Untuk mengembangkan penelitian dalam karya ilmiah lanjutan tentang masalah yang serupa, memberi masukan kepada kalangan pembuat film. Dan tulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wacana tentang wawasan, khususnya dalam komunikasi nonverbal. D. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini digunakan dengan pertimbangan bahwa penelitian ini nantinya akan menganalisis pesan yang disampaikan dalam film BTB, Sedangkan taraf analisis dalam penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran dan penjelasan terkait dengan rumusan masalah. 2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab semua pertanyaan yang ada, dan untuk menemukan hasil yang sesuai ialah metode analisis semiotik. Semiotik merupakan teori yang membahas tanda-tanda. Akan tetapi, yang akan dibahas lebih lanjut adalah tanda-tanda yang dihasilkan oleh manusia. Melihat sebenarnya manusia hidup didalam dunia yang penuh dengan tanda-tanda dan menggunakannya dalam berkomunikasi, bahkan telah membentuk kehidupan sosial. Maka mempelajari tentang tanda-tanda merupakan kebutuhan yang cukup penting dalam kehidupan manusia. Semiotika adalah studi tentang tanda-tanda itu bekerja. 3. Objek Penelitian Objek penelitian adalah film Biola Tak Berdawai besutan sutradara Sekar Ayu Asmara yang dirilis pada tahun 2003. 4. Teknik Pengumpulan data Dokumentasi Yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang berupa catatan formal dan juga video serta artikel yang didapat dengan mengunduh dari internet serta catatan lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Observasi Mengadakan pengamatan langsung melalui media yang bersangkutan. Dalam hal ini, akan dilakukan pengamatan langsung dengan menonton film Biola Tak Berdawai . 5. Unit Analisis Unit analisis penelitiannya adalah potongan gambar atau teks yang terdapat dalam film Biola Tak Berdawai yang berkaitan dengan rumusan masalah dan penelitian. 6. Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Januari hingga Mei 2011. 7. Teknik analisis data Setelah data primer dan sekunder terkumpul, kemudian diklasifikasikan sesuai dengan pertanyaan penelitian yang telah ditentukan. Setelah data terklasifikasi, dilakukan analisis data dengan menggunakan teknik analisis semiotika Roland Barthes. Barthes mengembangkan semiotik menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu denotasi dan konotasi yang menghasilkan makna eksplisit untuk memahami makna yang terkandung dalam film Biola Tak Berdawai yang menjadi objek penelitian. E. Tinjauan Kepustakaan Tinjauan kepustakaan yang menjadi rujukan penulis, yaitu: 1. “Analisis Semiotika Film Turtle Can Fly” oleh Istianah tahun 2009, jurusan Jurnalistik, UIN Jakarta. 2. “Makna Foto Berita Perjalanan Ibadah haji (Analisis Semiotika karya Zarqoni Maksum pada Galeri Foto antara.co.id”) oleh Fatimah tahun 2008, KPI D, UIN Jakarta. Kedua skripsi diatas memiliki objek penelitian yang berbeda. Ada yang membedah tentang Film dan Foto. Di sini penulis bermaksud, untuk mengetahui persamaan dan perbedaan diantara kedua skripsi tersebut. Masing-masing menggunakan teknik analisis semiotika model Roland Barthes. Selain itu peneliti juga mencari data-data dan artikel di internet dan skripsi lain yang mungkin terdapat ketidaksengajaan sama dengan judul ini. Peneliti menemukan sebuah abstrak di internet yaitu eprints.umm.ac.id/4620. Disusun oleh Insyaf Luhur Bramasto (2006) dengan judul “ Autisme dalam Film Biola Tak Berdawai” (Analisis Semiotik pada Film Biola Tak Berdawai karya Sekar Ayu Asmara), Undergraduate thesis, Universitas Muhammadiyah Malang, namun peneliti tidak menemukan persamaan isi dengan abstrak thesis tersebut. Meskipun dalam penelitian ini penulis mendapatkan rujukan dari skripsi-skripsi tersebut di atas, penelitian yang dilakukan penulis tetaplah berbeda. Objek penelitian penulis adalah sebuah film karya anak bangsa dengan menggunakan pendekatan analisis semiotika model Roland Barthes. Pengambilan film ini didasarkan karena belum ada mahasiswa yang meneliti film ini, sehingga penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat menambah referensi penelitian film. F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah proses penelitian ini, penulis menguraikan beberapa hal pada penulisan yang terdiri dari lima bab dengan beberapa subbabnya. Sistematika penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku pedoman penulisan Karya Ilmiah UIN ( Skripsi, Tesis, dan Disertasi Karya hamid Nasuhi dkk), yaitu sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Terdiri dari latar belakang masalah, batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Kepustakaan dan Sistematika Penulisan. BAB II TINJAUAN TEORITIS Bab ini menguraikan Tinjauan umum Film; Pengertian Film, Sejarah dan Perkembangan Film, Jenis dan Klasifikasi Film, Unsur-unsur Pembentuk Film, Struktur Film, Film Suatu Medium Ekspresi dan Komunikasi, Teknik Pengambilan Gambar; Konsep Umum Semiotik, Konsep Semiotik Roland Barthes serta Tinjauan Umum tentang Komunikasi Non Verbal. BAB III GAMBARAN UMUM FILM BIOLA TAK BERDAWAI Bab ini menggambarkan secara umum film Biola Tak Berdawai karya Sekar Ayu Asmara, terdiri dari biografi Sekar Ayu Asmara dan karya-karyanya, Sinopsis Cerita serta Profil Tokoh. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini memfokuskan pada data dan hasil penelitian BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini menyampaikan uraian singkat berupa kesimpulan dan saran penulis atas permasalahan yang diteliti. BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Teoritis Tentang Film 1. Pengertian Film Film adalah gambar hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di dunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera.5 Definisi Film Menurut UU 8/1992, adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan 5 David Summerton, “Definisi Film” Ayanona. Tumblr.com. artikel ini diakses pada 11 Mei 2011 dari atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem Proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya.6 Secara material film terdiri atau dibangun oleh gambar-gambar dan bukan oleh seluloid. Gambar-gambar ini menimbulkan ilusi yang kuat sekali pada kita bahwa apa yang diproyeksilkan pada layar sungguh-sungguh kenyataan. Ini disebabkan karena gambar-gambar itu berbeda dengan gambar-gambar seni lukis misalnya, tapi merupakan gambar-gambar mekanis (dibuat oleh dan dengan suatu mekanik: fototustel, kamera film ).7 Film lahir di kurun waktu seni, terutama seni lukis meninggalkan naturalisme dan realisme. Impresionalisme di bidang seni rupa telah memulai perjalanan pasti ke arah pemberian bentuk abstrak pada seni rakyat.8 Fotografi dan film mengambil jurus yang bertentangan. Kenyataan malah direproduksi dengan mirip sekali,termasuk gerak yang oleh seni rupa tidak dapat ditiru.film mengambil tontonan massa, tempatnya bukan di galeri atau museum, tetapi di lapangan, di sebuah tenda (sekarang bioskop).9 Media film memiliki keampuhan yang besar untuk mempengaruhi publik. Medium ini dapat menyajikan gambar-gambar atau peragaan gerak, termasuk suara. Teknologi baru yang hampir sejenis dengan film adalah kaset video dengan piringan laser (laser disc). Teknologi baru 6 David Summerton, “Definisi Film” artikel ini diakses pada 11 Mei 2011 dari Ayanona. Tumblr.com. 7 D.A. Peransi, Film/Media/Seni, (Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2005), cet. 1, h.146. 8 Ibid, h.28. 9 Ibid, h.29. mempunyai sifat praktis karena dengan menghubungkan melalui monitor televisi dirumah-rumah, kemudian muncul gambar dan sekaligus suaranya. Film dapat dikategorikan menjadi beberapa macam sebagai berikut: 10 2. a. Film Berita (news reel) b. Film Dokumenter c. Film Cerita (story film) d. Film Kartun e. Film Iklan (orientasi bisnis) Sejarah dan Perkembangan Film Pada penghujung abad XIX, teknologi pembuatan film, gambar yang bisa bergerak, ditemukan di Perancis, Inggris dan Amerika. Pada waktu itu, negeri Nusantara ini masih merupakan jajahan Belanda dengan nama Nederlands Indie atau dalam bahasa Pribumi disebut Hindia Belanda. Sejak 1900, tontonan film mulai bisa disaksikan oleh masyarakat di kota-kota besar Hindia Belanda.11 Teknologi film atau motion picture bekerja berdasarkan proses kimiawi seperti fotografi. Medium ini dikembangkan pada 1880-an dan 1890-an. Pada 1930-an bioskop sudah ada di mana-mana menayangkan talkies.12 Pada dasarnya tontonan bergerak sudah ada sejak lama. Tanggal 24 April 1894, The New York Times memberitakan dahsyatnya sambutan publik terhadap film layar lebar pertama yang ditayangkan 10 YS. Gunadi dan Djony Heffan, Himpunan Istilah Komunikasi, (Jakarta: PT Grasindo, 1998), h. 11-12. 11 Misbach Yusran Biran, Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), h. 1. 12 John Vivian, Teori Komunikasi Massa, (Jakarta: Kencana, 2008), ed. 8, h.161. yakni tentang dua gadis pirang yang memperagakan tarian payung. Film pertama ditayangkan di AS pada tanggal 23 April 1896 di kota New York.13 Sejarah film pertama terjadi di Prancis, tepatnya pada 28 Desember 1895, ketika Lumiere bersaudara telah membuat dunia „terkejut‟. Mereka telah melakukan pemutaran film pertama kalinya di depan publik, yakni di Cafe de Paris. Film-film buatan Lumiere yang diputar pada pertunjukan pertama itu adalah tentang para laki-laki dan wanita pekerja di Pabrik Lumiere, kedatangan kereta api di Stasiun la Ciotat, bayi yang sedang makan siang dan kapal-kapal yang meninggalkan pelabuhan. Salah satu kejadian unik, yaitu saat dipertunjukan lokomotif yang kelihatannya menuju ke arah penonton, banyak yang lari ke bawah bangku. Teknologi temuan Lumiere ini kemudian mendunia dengan cepat karenajuga didukung oleh teknologi proyektor berfilm 2 ¾ inci yang lebih unggul keluaran The American Biograph, yang diciptakan Herman Casler pada 1896. Maka sejak pertunjukan di cafe de Paris itulah, kata Louis Lumiere, lahirlah ekspresi I have been to a movie !14 Perubahan dalam industri perfilman, jelas nampak pada teknologi yang digunakan. Jika pada awalnya, film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem pengelihatan mata kita, berwarna dan dengan segala macam 13 William L. Rivers, jay W. Jensen, dan Theodore Peterson, Media Massa dan Masyarakat Modern, Edisi kedua, (Terj.) oleh Haris Munandar dan Dudy Priatna. (Jakarta: Prenada Media, 2004), cet. 2, h.198. 14 Misbach Yusran Biran, Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), h. xv. efek-efek yang membuat film lebih dramatis dan terlihat lebih nyata. Isu yang cukup menarik dibicarakan mengenai industri film adalah persaingannya dengan televisi. Untuk menyaingi televisi, film diproduksi dengan layar lebih lebar, waktu putar lebih lama dan biaya yang lebih besar untuk menghasilkan kualitas yang lebih baik. Sejarah perfilman di Indonesia secara ringkas sebagai berikut: 15 a. Film pertama dibuat di Kota Bandung, tahun 1926 oleh Davis, berjudul Lely Van Java. b. Film Euis Atjih produksi Krueger Corporation tahun 1927/1928. c. Film cerita Loetoeng Kasarung, Si Lorat dan Pereh. Namun, sampai tahun 1930 film-film di Indonesia masih bisu, tanpa efek suara. d. Film Terang Bulan merupakan film bicara pertama yang dibintangi oleh Roekiah dan Raden Mochtar, atas cerita naskah garapan Saerun. e. Tahun 1941 berlangsung Perang Asia Timur raya. Perfilman di Indonesia diambil alih oleh Jepang. f. Tahun 1950-an perkembangan film di Indonesia cukup cerah sampai sekarang ini. 15 YS. Gunadi dan Djony Heffan, Himpunan Istilah Komunikasi, (Jakarta: PT Grasindo, 1998), h. 11-12. 3. Jenis dan klasifikasi Film a. Jenis-Jenis Film Jika dilihat dari isinya, film dibedakan menjadi jenis film fiksi dan non fiksi. Sebagai contoh, untuk film non fiksi adalah film dokumenter yang menjelaskan tentang dokumentasi sebuah kejadian alam, flora, fauna maupun manusia. Adapun penjelasan dari jenis-jenis film itu sebagai berikut: 1) Film Dokumenter adalah film yang menyajikan fakta berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata. Film dokumenter dapat digunakan untuk berbagai macam maksud dan tujuan seperti informasi atau berita, biografi, pengetahuan, pendidikan, sosial, politik (propaganda), dan lain sebagainya. 2) Film fiksi adalah film yang menggunakan cerita rekaan di luar kejadian nyata, terkait oleh plot, dan memiliki konsep pengadegaan yang telah dirancang sejak awal. Struktur cerita film juga terikat hokum kausalitas. Cerita fiksi juga seringkali diangkat dari kejadian nyata dengan menggunakan beberapa cuplikan rekaman gambar dari peristiwa aslinya (fiksi-dokumenter). 3) Film Eksperimental merupakan film yang berstruktur namun tidak berplot. Film ini tidak bercerita tentang apapun (anti- naratif) dan semua adegannya menentang logika sebab-akibat (anti-rasionalitas).16 b. Klasifikasi Film Menurut Himawan Pratista dalam buku Memahami Film-nya, metode yang paling mudah dan sering digunakan untuk mengklasifikasi film adalah berdasarkan genre, yaitu klasifikasi dari sekelompok film yang memiliki karakter atau pola sama (khas) sebagai berikut17: 1) Aksi, yaitu film yang berhubungan dengan adegan-adegan aksi fisik seru, menegangkan, berbahaya, dan nonstop dengan tempo cerita yang cepat. 2) Drama, yaitu film yang kisahnya seringkali menggugah emosi, dramatik, dan mampu menguras air mata penontonnya. Tema umumnya mengangkat isu-isu sosial, seperti kekerasan, ketidakadilan, masalah kejiwaan, penyakit, dan sebagainya. 3) Epik sejarah, yaitu film dengan tema periode masa silam (sejarah) dengan latar sebuah kerajaan, peristiwa, atau tokoh besar yan menjadi mitos, legenda, atau kisah biblical. 4) Fantasi, yaitu film yang berhubungan dengan tempat, peristiwa dan karakter yangtidak nyata, dengan menggunakan unsur magis, mitos, imajinasi, halusional, serta alam mimpi. 16 Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), cet. 1, h. 17 Ibid, h. 13-20. 4-8. 5) Fiksi Ilmiah, yaitu film yang berhubungan dengan teknologi dan kekuatan di luar jangkauan teknlogi masa kini yang artificial. 6) Horror, yaitu film yang berhubungan dengan dimensi spiritual atau sisi gelap manusia. 7) Komedi, yaitu jenis film yang tujuannya menghibur dan memancing tawa penonton. 8) Kriminal dan Gangster, yaitu film yang berhubungan dengan aksi-aksi kriinal dengan mengambil kisah kehidupan tokoh kriminal besar yang diinspirasi dari kisah nyata. 9) Musikal, yaitu film yang mengkombinasikan unsur musik, lagu, tari (dansa), serta gerak (koreografi). 10) Petualangan, yaitu film yang berkisah tentang perjalanan, eksplorasi, atau ekspedisi ke suatu wilayah asing yang belum pernah tersentuh. 11) Perang, yaitu film yang mengangkat tema ketakutan serta teroe yang ditimbulkan oleh aksi perang dengan memperlihatkan kegigihan, dan perjuangan. 12) Western, yaitu film dengan tema seputar konflik antara pihak baik dan jahat berisi aksi tembak-menembak, aksi berkuda, dan aksi duel. 4. Unsur-Unsur Pembentuk Film18 Film secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuk, yakni unsur naratif dan unsur sinematik. Kedua unsur tersebut saling berinteraksi dan berkesinambungan satu dengan yang lainnya. Unsur naratif adalah bahan (materi) yang akan diolah, berhubungan dengan aspek cerita atau tema film, terdiri dari unsur-unsur seperti: tokoh, masalah, lokasi, dan waktu. Sedangkan unsur sinematik adalah cara (gaya) untuk mengolahnya. Sementara unsur sinematik atau gaya sinematik merupakan aspek-aspek teknis pembentuk film. Unsur sinematik terdiri dari empat elemen pokok, yakni: a) Mise-en-scene, yaitu segala hal yang berada di depan kamera. b) Sinematografi, yaitu perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta hubungan kamera dengan obyek yang diambil. c) Editing, yakni transisi sebuah gambar (shot) ke gambar (shot) lainnya. d) Suara, yakni segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui indera pendengaran. Film juga mengandung unsur-unsur dramatik. Unsur dramatik dalam istilah lain disebut dramaturgi, yakni unsur-unsur yang dibutuhkan untuk melahirkan gerak dramatik pada cerita atau pada pikiran penontonnya, antara lain: konflik, suspense, curiosity, dan surprise. Konflik merupakan suatu pertentangan yang terjadi dalam sebuah film misalnya, pertentangan antar tokoh. Suspense merupakan 18 1-2. Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), cet. 1, h. ketegangan yang dapat menggiring penonton ikut berdebar menantikan adegan selanjutnya. Curiosity merupakan rasa ingin tahu atau penasaran penonto terhadap jalannya cerita sehinga penonton terus mengikuti alur film sampai selesai. Surprise adalah kejutan. Kejutan ini biasanya digunakan pada alur film yang sulit ditebak. 19 5. Struktur Film20 Esensi dari struktur film terletak pada pengaturan berbagai unit cerita atau ide sedemikian rupasehingga mudah dipahami. Struktur adalah blueprint; kerangka desain yang menyatukan berbagai unsur film dan merepresentasikan jalan pikiran dari pembuat film. Struktur terdapat dalam semua bentuk karya seni. Pada film ia mengikat aksi (action) dan ide menjadi satu kesatuan yang utuh. Struktur yang baik adalah struktur yang sederhana tapi penuh relief. Struktur yang sederhana berhubungan dengan kontinyuitas fisik, yaitu: anak dilahirkan, hidup sebagai orang dewasa, kemudian mati. Ini mengandaikan adanya permulaan, pengembangan dan akhir. Variasi dari urutan ini banyak sekali, misalnya suatu akhir dapat dijadikan permulaan dalam hal kilas balik flashback umpamanya. 19 Elizabeth Lutters, Kunci Sukses menulis Skenario, (Jakarta: Grasindo.2004), cet. 3, h.100-103. 20 D.A. Peransi, Film/Media/Seni, (Jakarta: FFTV-IKJ Press,2005), cet. 1, h. 8-16. Penyusunan pikiran dan perasaan si seniman film ditentukan oleh faktor-faktor: a. Keutuhan: Semua unsur dalam film mesti bertalian dengan subyek utamanya, harus menjaga bagian dari keseluruhan. Arti dan maknanya ditentukan pertaliannya dengan keseluruhan karya. b. Ketergabungan: Unsur atau unit yang satu harus memiliki hubungan dengan unit atauunsur berikutnya, sedemikian rupa sehingga hubungan itu bukan saja logis akan tetapi juga hubungan yang membangun. Ini berarti bahwa urutan unsur ini harus menunjukkan perkembangan yang menuju suatu kesimpulan. Faktor ketergabungan ini tergantung lagi pada sebab, akibat dan kemungkinan. c. Tekaan: Berhubungan dengan atau menentukan posisi dari unitunit pertama dan sampingan, hubungan yang satu terhadap yang lain. Tekanan menentukan juga proporsi dari unit-unit itu sehingga menjadi jelas nilai dari berbagai unit tersebut. d. Interes: Berhubungan dengan “isi” dari setiap unit. Pilihan ini yang tepat untuk menjadikan unit-unit itu saling berhubungan dengan jalinan subordinat dan menjadfi suatu kesatuan karya yang utuh. Struktur film terdiri dari struktur lahiriah dan struktur batiniah. Dalam struktur lahiriah, terdapat unsur-unsur atau unit-unit yang membangun yaitu : a. shot; dapat dirumuskan sebagai peristiwa yang direkam oleh film tanpa interupsi. b. scene terbentuk apabila beberapa shot disusun secara berarti dan menimbulkan suatu pengertian yang lebih luas tapi utuh. Adegan dapat kita sebut juga premis minor. Banyaknya shot, panjang pendeknya shot dalam sebuah adegan akan menentukan ritme dari adegan itu. Selain shot dan scene, adapula c. sequence atau babak; babak terbentuk apabila beberapa adegan disusun secara berarti dan logis. Babak memiliki ritme permulaan, pengembangan dan akhir. d. totalitas; Dalam hubungan ini sudah jelas merupakan nilai yang muncul dari seluruh urutan shot, adegan dan sekwens, yaitu tema. Struktur batiniah ditentukan oleh sejumlah faktor: 1. Eksposisi: keterangan tempat, waktu dan perwatakan. 2. Point of Attack atau serangan awal: menggambarkan tentang konfrontasi awal dari kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan. 3. Komplikasi: segi-segi yang menarik dari watak-watak tokohtokohnya. 4. Discovery atau penemuan: memberikan informasi-informasi baru tentang tokoh-tokohnya sementara cerita berlangsung terus, munculnya kejadian-kejadian. 5. Reversal atau pembalikan: terjadi komplikasi-komplikasi baru 6. Konflik: pertentangan-pertentangan batin yang menguasai tokohtokoh. 7. Rising action atau tanjakan aksi: bagian cerita yang mengungkapkan pengembangan plot utama, mulai dari point of attack sampai klimaks. 8. Krisis: meramalkan suatu perkembangan baru. 9. Klimaks: puncak paling tinggi dari semua ketegangan dan intensitas. 10. Falling action atau surutnya aksi: klimaks menurun dan menuju kesimpulan. 11. Kesimpulan: dalam tahap ini semua pertanyaan dijawab, masalahmasalah utama dan sampingan dipecahkan dan diatasi. 6. Film Suatu Medium Ekspresi dan Komunikasi21 Film merupakan suatu medium yang relatif baru di dalam kebudayaan umat manusia, dibandingkan dengan medium seperti tulisan dan bahasa. Ernest Cassier (An Essay on Man dan Die Philosophie der Syimbolischen Formen) merumuskan manusia sebagai “animal 21 D.A. Peransi, Film/Media/Seni, (Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2005), cet. 1, h. 146. syimbolicum”, yang berbeda dengan binatang, berkomunikasi dengan lambang-lambang dan perlambangan. Bahasa adalah salah satu lambang bunyi yang arbitrer yang diciptakannya. Itu sebabnya orang Indonesia dan Inggris mempunyai bunyi yang berbeda untuk melambangkan fakta yang sama. Komunikasi antara dua orang yang lahir dari masyarakat bahasa yang berbeda akan sulit dilakukan apabila yang satu tudak mengenal bahasa yang lainnya. Sejak fotografi ditemukan abad yang lalu, dan didasarkan atas fotografi film dikembangkan, maka bertambah lagi medium ekspresi dan komunikasi antar manusia. Tetapi berbeda dengan bahasa yang mempergunakan unsurebunyi untuk mengekspresikan arti dan bersifat lebih abstrak, film mempergunakan rekaman optik dari kenyataan. Film merekam secara persis sekali kenyataan yang pernah ada di depan kamera dan kenyataan itu (melalui film) tampil di depan kita yang melihatnya sebagai kenyataan optik. Dengan menganggap bahwa apa yang ada dilayar sungguhsungguh kenyataan maka pada penonton sebenarnya terjadi ilusi. Ilusi bahwa yang ia lihat benar-benar kenyataan. Di dalam kondisi demikian itu terjadi beberapa proses identifikasi pada penonton. Pertama, adalah identifikasi optik.Penonton melihat kenyataan sebagaimana kenyataan itu dilihat oleh lensa (optik) kamera. Kedua, adalah identifikasi emosional. Disini penonton secara emosional mempertautkan dirinya dengan bayangan-bayangan dari kenyataan yang ia lihat di layar. Ketiga, adalah identifikasi imajiner. Di sini penonton mengidentifikasikan dirinya dengan salah satu tokoh atau beberapa tokoh di dalam film yang ditontonnya. Film mempunyai daya magis yang kuat sekali, tentu tergantung pada baik-buruknya film yang dibuat. Film adalah suatu medium yang memungkinkan manusia terlibat secara ekstensial dengan kenyataan-kenyataan imajiner. Terlibat secara eksistensial berarti bahwa terjadi suatu hubungan yang dialektis antara dirinya dan kenyataan memang imajiner itu. Film pada dasarnya menceritakan suatu perkembangan psikologis dari tokoh-tokohnya, bukan seperti film dokumenter yang bertolak dari konsep dan ide. Perkembangan psikologis itu dituang ke dalam suatu plot cerita yang mengenal permulaan, pengembangan cerita dan klimaks. Di dalam garris plot itulah protagonis dan antagonisnya dipertemukan dan dipertentangkan. Konflik antara protagonis dan antagonis tentunya merupakan konflik antara nilai-nilai yang menjadi dasar masing-masing. Nilai itu bisa bersumber pada pribadi atau pada kelompok dimana pribadi itu berada. Itu sebabnya konflik-konflik di dalam cerita film bisa juga merupakan konflik antara berbagai kelompok dan kepentingan, latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan sejarah. Sering pula di dalam film Indonesia, ketidakmampuan dramaturgi pembuat filmnya menyebabkan film itu menawarkan kenyataankenyataan serta penyelesaiannya yang tidak masuk akal. 7. Teknik Pengambilan Gambar a. Sinematrogafi Dalam sebuah produksi film ketika seluruh aspek mise-enscene telah tersedia dan sebuah adegan telah siap untuk diambil gambarnya, maka pada tahap inilah unsur sinematografi mulai berperan. Sinematografi secara umum dapat dibagi menjadi tiga aspek, yakni kamera dan film, framing, serta durasi gambar. Kamera dan film mencakup teknik-teknik yang dapat dilakukan melalui kamera dan stok filmnya, seperti warna, penggunaan lensa, kecepatan gerak gambar, dan sebagainya. Sama seperti teknik dalam pemotretan, pada kamera juga menggunakan teknik framing dalam pengambilan gambarnya. Framing adalah meletakkan objek sebagai foreground untuk membuat bingkai yang bertujuan memberi kesan ruang tiga dimensi.22 22 h. 55. Yannes Irwan Mahendra, Dari Hobi jadi Profesional, (Yogyakarta: Andi, 2010), ed. 1, Berikut ini adalah salah satu aspek framing yang terdapat dalam sinematografi, yakni jarak kamera terhadap obyek (type of shot), yaitu:23 1) Extreme long shot, merupakan jarak kamera yan paling jauh dari objeknya. Teknik ini umumnya untuk menggambarkan sebuah objek yang sangat jauh atau panorama yang luas. 2) Long shot, pada teknik ini memperlihatkan tubuh fisik manusia yang tampak jelas namun latar belakang masih dominan. 3) Medium long shot, pada teknik ini manusia terlihat dari bawah lutut sampai ke atas. 4) Medium shot, pada jarak ini memperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas. 5) Medium close-up, pada jarak ini memperlihatkan manusia dari dada ke atas. Adegan percakapan normal biasanya mengunakan jarak ini. 6) Close-up, umumnya memperlihatkan wajah, kaki, atau sebuah obyek kecil lainnya. Teknik ini mampu memperlihatkan ekspresi wajah secara jelas serta gestur yang mendetil. 7) Extreme close-up,teknik ini mampu memperlihatkan lebih detil bagian dari wajah, seperti telinga, mata, hidung, dan lainnya atau bagian dari sebuah obyek. 23 104-106. Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), cet. 1, h. b. Sudut Pengambilan gambar Ada beberapa tehnik pengambilan gambar yang biasa di gunakan diantaranya: Bird Eye View Ini merupakan sudut pengambilan gambar yang dilakukan di atas,seperti burung terbang yang melihat ke bawah. Efek yang tampak, subjek terlihat menjadi rendah, pendek dan kecil. Manfaatnya untuk menyajikan suatu lokasi atau pemandangan24. Biasanya untuk mengambil gambar dengan sudut ini dilakukan dari atas gedung ataupun dengan helikopter. High Angle Ini merupakan sudut pengambilan gambar yang tepat diatas objek, pengambilan gambar seperti ini memiliki arti yang dramatik yaitu kecil atau kerdil. Low Angle Ini merupakan sudut Pengambilan gambar yang diambil dari bawah si objek, sudut pengambilan gambar ini merupakan kebalikan dari high angle. Efek yang timbul adalah distorsi perspektif yang secara teknis dapat menurunkan kualitas gambar. Bagi yang kreatif, hal ini dimanfaatkan untuk menimbulkan efek khusus. Kesan efek ini adalah menimbulkan sosok pribadi yang besar, tinggi, kokoh, dan berwibawa, juga angkuh25. 24 Yannes Irwan Mahendra, Dari Hobi jadi Profesional,(Yogyakarta: Andi, 2010), ed. 1, h. 49. 25 Ibid, h. 50. Eye Level Ini merupakan sudut pengambilan gambar sebatas mata posisi berdiri. Sudut pengambilan gambar ini merupakan posisi yang paling umum. Objek sejajar dengan mata, tidak menimbulkan kesan khusus yang terlihat menonjol26. Frog Level Ini merupakan sudut pengambilan gambar yang diambil sejajar dengan permukaan tempat objek berdiri, seolah-olah memperlihatkan objek menjadi sangat besar.27 B. Tinjauan Teoritis Semiotik 1. Konsep Semiotik Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan „tanda‟. Dengan demikian, semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda.28 Secara sederhana semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.29 Studi sistematis tentang tanda-tanda dikenal sebagai semiologi. Arti harfiahnya adalah”kata-kata mengenai tanda-tanda”. Kata semi 26 Yannes Irwan Mahendra, Dari Hobi jadi Profesional,(Yogyakarta: Andi, 2010), ed. 1, h. 49. 27 Ibid, h.50. Alex Sobur, Analisis teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet. 6, h.87. 29 Rahmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006),ed. 1, h. 261-262. 28 dalam semiologi berasal dari semeion (bahasa Latin), yang artinya „tanda‟. Semiologi telah dikembangkan untuk menganalisis tandatanda.30 Menurut Ferdinand de Saussure didalam bukunya Course in General Linguistik. Bahasa adalah suatu sistem tanda yang mengekpresikan ide-ide (gagasan-gagasan) dan karena itu dapat dibandingkan dengan sistem tulisan, huruf-huruf untuk orang bisu-tuli, simbol-simbol keagamaan, aturan-aturan sopan santun, tanda-tanda kemiliteran, dan sebagainya. Semua itu merupakan hal yang sangat penting dari keseluruhan sistem tersebut. Suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda kehidupan dalam masyarakat bersifat dapat dipahami. Hal itu merupakan bagian dari psikologi sosial atau berkaitan dengan psikologi umum. Saussure menyebutnya sebagai semiologi (dari bahasa Latin semion: tanda). Semiologi akan menjelaskan unsur yang menyusun suatu tanda dan bagaimana hukum-hukum itu mengaturnya.31 Untuk menyederhanakannya kemudian Umberto Eco dalam bukunya A Theory of Semiotics menjelaskan dan mempertimbangkan, bahwa semiotika berkaitan dengan segala hal yang dapat dimaknai tanda-tanda. Suatu tanda adalah segala sesuatu yang dapat dilekati (dimaknai) sebagai penggantian yang signifikan untuk sesuatu lainnya. Segala sesuatu ini tidak terlalu mengharuskan perihal adanya atau mengaktualisasikan 30 perihal dimana dan kapan suatu tanda Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer,Edisi Baru,(Yogyakarta: tiara wacana, 2010),cet. 1, h. 4. 31 Ibid, h.4. memaknainya. Jadi, semiotika ada dalam semua kerangka (prinsip), semua disiplon studi, termasuk dapat pula digunakan untuk menipu bila segala sesuatu tidak dapat dipakai untuk menceritakan (mengatakan) segala sesuatu (semuanya).32 Umberto Eco menyebut tanda tersebut sebagai “kebohongan”; dalam tanda ada sesuatu yang tersembunyi dibaliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial.33 Semiotika seperti yang kita kenal dapat dikatakan baru karena berkembang sejak awal abad-20. Memang pada awal abad-18 dan ke-19 banyak ahli teks (khususnya Jerman) berusaha mengurai pelbagai masalah yang berkaitan dengan tanda, namun mereka tidak menggunakan pengertian semiotis.34 Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure didalam Course in General Linguistik. Sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.35 Sedangkan semiotika menurut Roland Barthes adalah ilmu mengenai bentuk (form). Studi ini mengkaji signifikasi yang terpisah dari sisinya (content). Semiotika tidak hanya meneliti mengenai signifier dan signified, tetapi juga 32 Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, (Yogyakarta: tiara wacana, 2010),cet. 1, h. 4. 33 Alex Sobur, Analisis teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet. 6, h.87. 34 Tommy Cristomy, Semiotika Budaya,(Depok: Universitas Indonesia, 2004), cet. 1, h.81 35 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotik; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), h. 256 . hubungan yang mengikat mereka. Tanda yang berhubungan secara keseluruhan.36 Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinan de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Pierce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Pierce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik sedangkan Pierce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkan semiologi (semiolology).37 Ada dua pendekatan pendekatan yang penting atas tanda-tanda. didasarkan pada pandangan Pertama Saussure yang mengatakan bahwa tanda-tanda disusun oleh dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan suatu konsep tempat citra-bunyi itu disandarkan. 38 TANDA Penanda Petanda Citra-bunyi konsep Bagi Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer (bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Pendekatan kedua yang penting untuk memahami tanda-tanda, yakni suatu sistem 36 Alex Sobur, Analisis teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet. 6, h.123. 37 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual; Metode Analisis Tanda dan Makna pada Karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), cet. 2, h. 11. 38 Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer,Edisi Baru, (Yogyakarta: tiara wacana, 2010), cet. 1, h. 13-14. analisis tanda yang dikembangkan oleh filsuf Charles Sanders Pierce (1839-1914), pemikir Amerika yang cerdas dan pemikirannya tak dapat disepelekan. Pierce mengatakan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan kausal dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan kausalnya, dan simbol untuk asosiasi konvensionalnya.39 Table berikut menjelaskan hal tersebut. Trikotomi Ikon/ Indeks/ Simbol dari Charles Sanders Pierce Tanda Ikon Ditandai Persamaaan dengan (kesamaan) Contoh: Proses Indeks Simbol Hubungan kausal Konvensi Gambar-gambar Asap/api Kata-kata Patung-patung Gejala/penyakit Isyarat tokoh besar (Bercak Foto Reagen merah/campak) Dapat dilihat Dapat diperkirakan Harus dipelajari 39 Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer,Edisi Baru, (Yogyakarta: tiara wacana, 2010), cet. 1, h. 16-17. Bila pernyataan Saussure tentang penanda dan petanda adalah kunci dari model analisis semiologi, maka trikotomi Pierce adalah kunci menuju analisis semiotika.40 Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penandaan (signifier) dengan sebuah idea tau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau coretan yang bermakna”.41 Sementara itu, Charles Sanders Pierce, menandaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda.42 Pierce dikenal dengan teori segitiga makna-nya (triangle meaning). Berdasarkan teori tersebut, semiotika berangkat dari tiga elemen utama yang terdiri dari: Tanda (sign), Acuan Tanda (Object), Pengguna Tanda (Interpretant). Menurut Pierce, salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada di benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila elemen-elemen tersebut berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut.43 40 Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, (Yogyakarta: tiara wacana, 2010), cet. 1, h. 17. 41 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi , (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet. 2, h. 46. 42 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual; Metode Analisis Tanda dan Makna pada Karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), cet. 2, h. 16. 43 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet. 6, h. 115. 2. Konsep Semiotik Roland Barthes Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas lingkup makna yang lebih besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif. Menilik sejarahnya, tradisi semiotika berkembang dari dua tokoh utama, yaitu: Charles Sanders Pierce yang mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure yang mewakili tradisi Eropa. Keduanya tidak pernah bertemu sama sekali, sehingga kendati keduanya sering disebut mempunyai kemiripan gagasan, penerapan konsep-konsep dari masingmasing keduanya, namun seringkali mereka mempunyai perbedaan. Barangkali keduanya berangkat dari disiplin yang berbeda, Pierce adalah seorang guru besar filsafat dan logika, sementara Saussure adalah seorang ahli linguistik.44 Ada sesuatu yang disebut dengan istilah semiologi, atau yang sering disebut dengan istilah semiotika, melalui peminjaman kata Inggris semiotics. Pada pandangan pertama, sesuatu itu tampaknya telah mendapatkan beberapa definisi yang saling berdekatan dari beberapa ilmuwan yang telah memikirkan persoalan tersebut dari beberapa sudut pandang yang berbeda. Menurut Georges Mounin, Saussure-lah yang menjadi tokoh karena dalam bukunya, Cours de linguistique générale, telah membaptis dan mendefinisikan secara garis besar ”ilmu umum 44 Aart Van Zoest, Interpretasi dan Semiotika, (Terj.) oleh Okke K.S Zaimar dan Ida Sundari Husein dalam Panuti Sujiman dan Aart van Zoest, (Ed) Serba-Serbi Semiotika, (Jakarta: Gramedia, 1991), h.1. tentang semua sistem tanda (atau tentang semua sistem simbol), sistemsistem itu bisa membuat manusia bisa berkomunikasi diantara mereka“.45 Roland Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Dia dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang rajin mempraktikkan model linguistik semiologi Saussure.46Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut yang dikenal dengan istilah “order of signification”.47 Bagi Roland Barthes yang juga mengikuti Saussure, maka “secara prospektif objek semiologi adalah semua sistem tanda, entah apapun substansinya, apapun batasannya (limit): gambar, gerak tubuh, bunyi melodis, benda-benda, dan pelbagai kompleks yang tersusun oleh substansi yang bias ditemukan dalam ritus, protokol, dan tontonan sekurangnya merupakan sistem signifikasi (pertandaan), kalau bukan merupakan „bahasa‟ (langage).”48 Pada mulanya Mounin dan Barthes membatasi medan riset semiologi dengan menetapkan: medan semiologi berisi “sistem-sistem 45 Jeanne Martinet, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), cet. 1, h.2. 46 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet. 2, h. 63. 47 Rahmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, h. 268. 48 Jeanne Martinet, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), cet. 1, h.3. tanda”. Tetapi mereka melihat sistem-sistem tersebut dengan cara yang sangat berbeda. Bagi Mounin, sistem-sistem tanda terdefinisikan oleh fungsinya: sistem itu digunakan untuk komunikasi manusia. Bagi Barthes, sistem itu dicirikan oleh fakta bahwa sistem tersebut memiliki signifikasi atau beberapa signifikasi; tetapi kita bias mempertanyakan apakah pendapat itu tidak membuat kita juga mengurusi sistem-sistem yang di dalamnya perkara yang sudah diidentifikasi hanyalah pelbagai kumpulan yang berisi fakta-fakta signifikatif,49 Two orders of signinification (signifikasi dua tahap atau dua tatanan pertandaan) Barthes terdiri dari first order of signification yaitu denotasi, dan second order of signification yaitu konotasi. Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna denotasi.50 Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang didalamnya beroprasi makna yang bersifat implisit dan tersembunyi.51 49 Jeanne Martinet, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), cet. 1, h. 5. 50 M. Antonius birowo, Metode Penelitian Denotasi; Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Gitanyali, 2004), h. 56. 51 Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia,2004), cet. 1, h. 94. Tabel 1. Peta tanda Roland Barthes: 1. Signifer (penanda) 2. Signified (petanda) 3. Denotative sign (tanda denotatif) 4.Connotative signifier 5.Connotative (penanda konotatif) signified (petanda konotatif) 6.Connotative sign (tanda konotatif) Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “sign”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin.52 Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dan tatanan denotatif. Konotasi dan denotasi sering dijelaskan dalam istilah tingkatan representasi atau tingkatan 52 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet. 2,h. 69. mana. Secara ringkas, denotasi dan konotasi dapat dijelaskan sebagai berikut:53 1. Denotasi adalah interaksi antara signifier dan signified dalam sign, dan antara sign dengan referent (object) dalam realitas eksternal. 2. Konotasi adalah interaksi yang muncul ketika sign bertemu dengan perasaan atau emosi pembaca/pengguna dan nilai-nilai budaya mereka. Makna menjadi subjektif atau intersubjektif. Tanda lebih terbuka dalam penafsirannya pada konotasi daripada denotasi. Secara sederhana, denotasi dijelaskan sebagai kata yang tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan. Maknanya disebut makna denotatif. Makna denotatif memiliki beberapa istilah lain seperti makna denotasional, makna referensial, makna konseptual, atau makna ideasional. Sedangkan konotasi adalah kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu disamping makna dasar yang umum. Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif.54 Denotasi dan konotasi tidak bisa dilihat secara terpisah atau berdiri sendiri. Sebuah tanda yang kita lihat pasti suatu denotasi. Makna denotasi adalah apa yang kelihatan pada gambar, dengan kata lain gambar dengan sendirinya memunculkan denotasi. Denotasi dengan sendirinya akan menjadi konotasi dan untuk selanjutnya konotasi justru menjadi denotasi 53 M. Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi; Teori dan Aplikasi,(Yogyakarta: Gitanyali, 2004), h. 57. 54 AS. Haris Sumandiria, Bahasa Jurnalistik; Panduan Praktis Penulis dan Jurnalistik, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006), cet. 1, h. 27-28. ketika konotasi tersebut sudah umum digunakan dan dipahami bersama sebagai makna yang kaku. Mitos dalam pemahaman Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.55 Ferdinand Comte membagi mitos menjadi dua macam: mitos tradisional dan mitos modern. Mitos modern ini dibentuk oleh dan mengenai gejala-gejala politik, olahraga, sinema, televisi, dan pers. Mitos (mythes) adalah suatu jenis tuturan (a type of speech), sesuatu yang hampir mirip dengan „re-presen-tasi kolektif‟ di dalam sosiologi Durkheim. Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Maka itu, mitos bukanlah objek. Mitos bukan pula konsep ataupun gagasan, melainkan suatu cara signifikasi, suatu bentuk.56 C. Tinjauan Teoritis Komunikasi Nonverbal 1. Pengertian Komunikasi Nonverbal Secara sederhana, komunikasi non verbal didefinisikan sebagai komunikasi tanpa kata-kata atau selain dari kata-kata yang kita pergunakan57. Komunikasi non verbal lebih dulu ada daripada komunikasi verbal. Karena setiap manusia saat menginjak usia 18 bulan kita secara total tergantung pada komunikasi non verbal seperti sentuhan, 55 Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia, 2004), cet. 1, h. 56 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet. 2, h. 94. 224. 57 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 308. senyuman, pandangan mata, dan sebagainya58. Menurut Adler dan Rodman dalam bukunya Understanding Human Communication, batasan yang sederhana tersebut merupakan langkah awal untuk membedakan apa yang disebut vocal communication yaitu tindak komunikasi yang menggunakan mulut, dan verbal communication yaitu tindak komunikasi yang menggunakan kata-kata59. 2. Perilaku Non Verbal Perilaku non verbal dapat diartikan sebagai semua tindakan, seperti gerakan mimik wajah, gerakan-gerakan tubuh, gerakan otot tubuh, berkeringat, muka merah, dan sebagainya yang bekerja bersamasama dalam mengkomunikasikan makna-makna tertentu. Semua gerakan yang kita lakukan dalam hubungannya dengan orang lain selalu dikomunikasikan, diterima dan diinterpretasikan. Gerakan-gerakan non verbal ini dalam hubungannya dengan orang lain akan menenetukan bagaimana umpan balik dari orang tersebut. Selain itu perilaku non verbal adalah sebuah metakomunikasi, yang artinya perilaku tersebut memperkuat perilaku-perilaku non verbal maupun bahasa-bahasa verbal lainnya dalam sebuah komunikasi. 3. Fungsi dan Peran Komunikasi Non Verbal Ada beberapa pendapat mengenai fungsi dari komunikasi non verbal. Bentuk komunikasi ini sama pentingnya dengan komunikasi 58 59 6.19. Ibid. h. 308. Sasa Djuarsa Sendjaja. Pengantar Komunikasi, (Universitas Terbuka (UT)),. h. 6.3- verbal yang umum dipakai. Fungsi komunikasi nonverbal diantaranya yaitu:60 1. Complementing 2. Accenting 3. Contradicting 4. Repeating 5. Regulating 6. Substituting Menurut Samovar dalam suatu komunikasi, perilaku non verbal digunakan secara bersama-sama dengan bahasa verbal. Perilaku non verbal memberi aksen atau penekanan pada pesan verbal. Perilaku non verbal sebagai pengulangan dari bahsa verbal. Tindak komunikasi non verbal melengkapi pernyataan verbal. Perilaku non verbal sebagai pengganti dari komunikasi verbal. Pemikiran yang hampir sama juga diungkapkan oleh Paul Elman yang menjelaskan bahwa fungsi dari lambang-lambang verbal maupun non verbal adalah untuk memproduksi makna yang komunikatif. Secara historis, kode non verbal sebagai suatu multi saluran akan mengubah pesan verbal melalui enam fungsi,pengulangan (repetition), berlawanan (contradiction), pengganti (subtitution), pengaturan (regulation), penekanan (accentuation) dan pelengkap (complementation)61. 60 Akhmad Farhan, “Komunikasi Nonverbal”, artikel ini diakses pada 17 Juli 2011 dari akhmadfarhan.wordpress.com/2008/12/.../komunikasi-nonverbal... 61 Sasa Djuarsa Sendjaja, Pengantar Komunikasi, (Universitas Terbuka (UT)), h. 6.316.33. Jalaluddin Rahmat mengelompokan pesan-pesan non verbal sebagai berikut: 1) Pesan Kinesik Pesan kinesik merupakan bentuk komunikasi non verbal yang menggunakan gerakan tubuh yang berarti. Terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: a. Pesan fasial, menggunakan air muka untuk menyampaikan makana tertentyu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok makna: kebahagiaan, rasaterkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat, ketakjuban dan tekad. Sementara itu Leathers menyimpulkan penelitian-penelitian tentang wajah, sebagai berikut: a) wajah menkomunikasikan penilaian dengan ekspresi senang dan tidak senang, yang menunjukkan apakah komunikator memandang objek penelitiannya baik atau buruk; b) wajah mengkomunikasikan berminat atau tidak pada orang lain atau lingkungan; c) wajah mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam situasisituasi; d) wajah mengkomunikasikantingkat pengendalian individu terhadap pernyataan endiri dan e) wajah barangkali mengkomuikasikan adanya atau kurang pengertian. b. Pesan gestural, menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan tangan untuk berkomunikasi berbagai makna. c. Pesan postural, berkenaan dengan keseluruhan anggota badan, makna yang dapat disampaikan adalah: a) Imediacy yaitu ungkapan kesukaan atau ketidaksukaan individu yang lain. Postur yang condong ke arah yang diajak bicara menunjukkan kesukaan dan penilain positif; b) power mengungkapkan status yang tinggi pada diri komunikator. Anda dapat membayangkan postur orang yang tinggi hati di depan anda, dan postur orang yang merendah; c) Responsiveness yang mana individu dapat berreaksi secara emosional pada lingkungan secara positif dan negative. Bila postur anda tidak berubah, anda megungkapkan sikap yang tidak responsif. 2) Pesan proksemik Pesan proksemik merupakan pesan yang disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Umumnya dengan mengatur jarak bagaimana kita mengungkapkan keakraban kita dengan orang lain. 4. Klasifikasi Pesan Non vebal Dari berbagai literatur yang dipelajari, komunikasi non verbal dapat dikategorikan dalam beberapa bentuk62, antara lain : 1) Eye Geze (Gerakan Mata) Aspek komunikatif yang utama dari perilaku mata adalah siapa dan apa yang sedang kita lihat dan untuk berapa lama. Mata kita merupakan saluran komunikasi non verbal yang penting, tidak hanya selama interaksi tetapi juga sebelum dan sesudah interaksi berakhir. Bahkan ada yang menilai gerakan mata sebagai pencerminan isi hati seseorang. 2) Touching (sentuhan) Ialah isyarat yang dilambangkan dengan sentuhan badan. Menurut bentuknya sentuhan badan dibagi atas tiga macam berikut : Kinestheic ialah isyarat yang ditunjukkan dengan bergandengan tangan satu sama lain sebagai symbol keakraban atau kemesraan. Sociofugal ialah isyarat yang ditunjukkan dengan jabat tangan atau saling merangkul. Thermal ialah isyarat yang ditunjukkan dengan sentuhan badan yang terlalu emosional sebagai tanda persahabtan yang begitu intim. Misalnya menepuk punggung karena sudah lama tak bertemu. 62 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 316-380. 3) Paralanguage Ialah isyarat yang ditimbulkan dari tekanan atau irama suara sehingga penerima dapat memahami sesuatu di balik apa yang diucapkan. Misalnya “datanglah” bisa diartikan betul-betul mengundang kehadiran kita atau sekedar basa-basi tergantung intonasi suara kita. 4) Diam Berbeda dengan tekanan suara, sikap diam juga merupakan kode non verbal yang mempunyai arti. Max Picard menyatakan bahwa diam tidak semata-mata mengandung arti bersikap negative, tetapi bisa juga melambangkan sikap positif. 5) Postur Tubuh Orang lahir ditakdirkan dengan berbagai bentuk tubuh. Well dan Siegel dua orang ahli psikologi melalui studi yang mereka lakukan, membagi bentuk tubuh atas tiga tipe, yakni ectomophory dilambangkan sebagai orang yang mempunyai sikap ambisi, pintar, kritis dan sedikit cemas. Mesomorphy dilambangkan sebagai pribadi yang cerdas, bersahabat, aktif dan kompetitif, dan endomorphy digambarkan sebagai pribadi yang humoris, santai dan cerdik. 7) Kedekatan dan Ruang Proximity adalah komunikasi non verbal yang menunjukkan kedekatan dari dua orang yang mengandung arti. Edward T. Hall membagi kedekatan menurut territory atas empat macam, yakni : Wilayah Intim (rahasia), yakni kedekatan yang berjarak antara 3-18 inchi. Wilayah pribadi, ialah kedekatan yang berjarak antara 18 inchi-4 kaki. Wilayah social, ialah kedekatan yang berjarak antara 4-12 kaki. Wilayah Umum (publik), ialah kedekatan yang berjarak antara 4-12 kaki atau sampai suara kita terdengar dalam jarak 25 kaki. Selain kedekatan dari segi territory, ada juga beberapa ahli melihat dari sudut pandang ruang dan posisi, misalnya posisi meja dan tempat duduk. Here dan Bales menemukan bahwa orang yang banyak bicara dalam rapat umumnya duduk pada posisi kursi yang lebih tinggi. 8) Artifak dan Visualisasi Artifak adalah hasil kerajinan manusia (seni), baik yang melekat pada diri manusia maupun yang ditujukan untuk kepentingan umum. Artifak ini selain dimaksudkan untuk kepentingan estetika, juga untuk menunjukkan status atau identitas diri seseorang atau suatu bangsa. Misalnya baju, topi, cincin, gelang, alat transportasi, monument, patung dan sebagainya. 9) Warna Warna juga memberi arti terhadap suatu objek. Hampir semua bangsa di dunia memiliki arti tersendiri pada warna. Hal ini bisa dilihat pada bendera nasional masing-masing, serta upacaraupacara ritual lainnya yang sering dilambangkan dengan warnawarni. 10) Waktu Waktu mempunyai arti tersendiri dalam kehidupan manusia. Bagi masyarakat tertentu, melakukan suatu pekerjaan sering kali dikaitkan dengan waktu. Misalnya membangun rumah, menanam padi, melaksanakan perkawinan, membeli sesuatu dan sebaginya. 11) Bunyi Apabila paralanguage dimaksudkan sebagi tekanan suara yang keluar dari mulut untuk mejelaskan ucapan verbal, banyak bunyibunyian yang dilakukan sebagai tanda isyarat yang tidak dapat digolongkan sebagai paralanguage. Misalnya bersiul, bertepuk tangan, bunyi terompet, letusan senjata, beduk, sirine dan sebagainya. 12) Bau Bau juga digunakan sebagi kode non verbal. Selain digunakan untuk melambangkan sesuatu seperti kosmetik, bau juga dapat dijadikansebagi petunjuk arah. Misalnya posisi bangkai, bau karet terbakar dan sebagainya. BAB III Gambaran Umum Film Biola Tak Berdawai A. Profil Sekar Ayu Asmara sebagai Sutradara Film Biola Tak Berdawai Sekar Ayu Asmara lahir di Jakarta, Indonesia. Menghabiskan masa kecil berpindah-pindah di beberapa negara mengikuti karier Diplomat ayahnya. Pernah menetap di Afghanistan, Turki, dan Negeri Belanda. Semua bidang seni yang ditekuni, dipelajari Sekar secara otodidak. Baik itu sebagai sutradara film, pelukis, produser musik, penulis skenario, maupun penulis novel. Film pertamanya, Biola Tak Berdawai, mendapatkan anugerah The Naguib Mahfouz Prize di Cairo International Film Festival 2003. Penghargaan bergengsi ini diberikan kepada sutradara film pertama. Film ini juga dianugerahi penghargaan Best Actress untuk Ria Irawan di Asia Pacific Film Festival, Shiraz, Iran 2003. Sementara Bali International Film Festival, Indonesia 2003, menganugerahkan penghargaan Best Actor bagi Nicholas Saputra dan Best Music untuk Addie MS. Film keduanya, Belahan Jiwa, juga memenangkan penghargaan The Best International Feature Film di ajang New York International Independent Video and Film Festival 2007. Sekar telah menerbitkan tiga novel: Pintu Terlarang, Kembar Keempat, dan Doa Ibu. Film Biola Tak Berdawai dinovelisasikan oleh Seno Gumira Ajidarma. Sementara novel Pintu Terlarang telah diangkat menjadi film layar lebar oleh Joko Anwar. email: [email protected]. B. Profil Pemain Film Biola Tak Berdawai a. Renjani Tokoh Renjani yang diperankan Ria Irawan merupakan pemeran utama dalam film BTB. Tipologi Renjani tergolong sederhana, berkarakter lembut, dan penyanyang. Seorang wanita yang berprofesi sebagai penari balet ini mengalami pemerkosaan oleh lelaki yang dicintainya namun sayangnya tidak bertanggung jawab. Anak yang dikandungnya sengaja ia aborsikan. Kemudian, karena malu di hina oleh masyarakat sekitar, ia pun berniat berhijrah ke Yogyakarta. Renjani tidak memiliki orang tua bahkan saudara kandung dan kerabat dekat. Dalam perjalanan menuju Yogya, ia bertemu dengan seorang wanita yang membawa seorang anak dalam dekapannya. Wanita tersebut kemudian menitipkan anaknya kepada Renjani, karena ia tak mampu untuk merawatnya. Renjani pun tak bias mengelak, ia luluh dengan keadaan mereka. Diterimanya anak tersebut, Renjani tahu bahwa anak tersebut terlahir dalam keadaan yang tidak normal. Renjanipun berniat untuk membesarkannya. b. Bhisma Nicholas Saputra begitu apik memerankan tokoh Bhisma. Lelaki muda seorang pemain biola yang memiliki karakter baik, ramah dan mudah bergaul. Bhisma tertarik kepada Renjani saat Renjani membawa Dewa dalam pertunjukan musiknya. Yang menarik perhatiannya adalah Renjani selalu membawa Dewa saat melihat pertunjukannya. Suatu ketika saat pertunjukan musiknya selesai, Dewa tak mau beranjak dari tempat duduknya, kemudian Bhisma mendekati Renjani yang sedang mengajak Dewa pulang, ternyata Dewa suka dengan biola yang di pegang Bhisma, Bhisma pun rela meminjamkannya untuk Dewa. c. Mbak Wid Tokoh mbak wid yang diperankan oleh Jajang C.Noer ini adalah seorang dokter anak yang bertempat tinggal di Kota gede, Yogyakarta. Wanita yang lahir dari seorang ibu yang bekerja sebagai Wanita Tuna Susila (WTS) ini, selalu bertekad dan bercita-cita untuk bisa menyelamatkan anak-anak yang lahir sama seperti dirinya. Akhirnya cita-citanya pun tercapai hingga ia bisa menjadi seorang dokter anak. Mbak Wid bekerjasama dengan Renjani mandirikan rumah asuh untuk anak-anak yang kurang beruntung. Anak-anak yang terlahir cacat fisik dan mental. Mereka sudah terbiasa menghadapi kematian demi kematian yang selalu mengejar hidup anak-anak cacat yang mereka asuh . Yang terasa sedikit mengganggu adalah karakter Mbak Wid yang semakin kebelakang menjadi semakin terasa konyol dengan selalu mempertanyakan banyak hal menjadi sebuah teka-teki aneh, dan dengan dialog-dialog yang terlalu lambat, lama, dan pada beberapa bagian terasa terlalu teatrikal. d. Dewa Dewa merupakan seorang anak yang dilahirkan dengan jaringan otak yang rusak berat. Selain itu, dia juga mempunyai kecendrungan autisme dan penyandang tuna wicara. Tubuhnya kerdil, kepalanya selalu tertunduk ke bawah dengan tatapan mata yang hampa. Dicky Lebrianto yang berperan sebagai Dewa, meski hampir sepanjang film tidak ada dialog yang diucapkannya, namun Dicky dengan sukses memberikan perhatian kepada penonton seorang Dewa yang cukup misterius. C. Sinopsis Film Biola Tak Berdawai63 Category: Movies Genre : Drama Written and directed by Sekar Ayu Asmara Cast : Renjani : Ria Irawan Mbak Wid : Jajang C.Noer Bhisma : Nicholas saputra Dewa : Dicky Lebrianto Pak Kliwon: Masroom Sara Suster 1 : Ragilia Suster 2 : Maria Andini 63 JB Kristanto, Katalog Film Indonesia 1926-2005, (Jakarta: Nalar, 2005). Crew: Produksi : PT. Kalyana Shira Film Producers: Afi Shamara, Nia Dinata, Sekar Ayu Asmara Executive Producer: Seto Harjojudanto Music by Addie MS Sound Designer: Adityawan, Susanto, Satrio Budiono Art director: Iri Supit Editor: Dewi S. Alibasah Dibuat dalam format video digital, lalu ditransfer ke film 35 mm. Renjani adalah seorang mantan penari balet setelah dirinya diperkosa, hamil, dan dipaksa untuk mengaborsi kandungannya. Ia memutuskan membuang masa lalunya dan pindah ke Yogyakarta. Di perjalanan di kereta, ia duduk bersebelahan dengan seorang wanita yang disuruh untuk membuang bayi cacat yang kini berada dalam gendongannya. Sesampai di Yogyakarta, ia menempati rumah Neneknya yang sangat besar. Kemudian Renjani teringat kisah perjalanannya dan mendirikan rumah asuh untuk anak-anak yang cacat bernama Ibu Sejati. Seorang wanita yang filosofis terhadap sifat manusia sekaligus pintar membaca kartu tarot, Mbak Wid melamar sebagai dokter anak disana. Mbak Widpun mempunyai masa lalu sendiri, ia adalah anak dari seorang pelacur yang mudah hamil. Hanya Mbak Wid saja benih yang berhasil lahir, sementara itu, seluruh benih lain diaborsikan oleh sang ibu. Hal itu membuat Mbak Wid bertekad menjadi seorang dokter anak. Renjani kemudian menemukan Dewa seorang anak cacat yang diberikan ke rumah itu. Dewa diasuh Renjani hingga Renjani merasa bahwa Dewa adalah anaknya sendiri. Sampai umurnya yang menjelang kedelapan, Dewa belum bisa merespon karena distorsi fungsi otak dan tuna wicara yang dialaminya. Suatu hari, Renjani menemukan Dewa membongkar perlengkapan baletnya. Renjani menggunakannya dan menari sambil menyetel musik klasik, saat itulah Dewa merespon dengan mengangkat kepalanya. Renjani berpikir Dewa bisa disembuhkan dengan terapi musik atau tarian, Renjanipun mencarikan sebuah resital musik atau tari untuk disinggahi. Mereka menonton resital musik biola. Setelah selesai, Dewa tidak mau pulang. Saat itulah seorang pemuda yang memainkan biola di resital tadi, Bhisma memperkenalkan diri sambil membawa biola dan tongkat geseknya. Dewa menggenggam tongkat itu terus. Bhisma akhirnya mengantarkan Renjani dan Dewa hingga ke Ibu Sejati, Dewa diperbolehkan memegang tongkat itu hingga esok. Esoknya, Bhisma dan Renjani berbicara banyak, dari situlah Renjani tahu bahwa Bhisma juga turut perhatian dengan anak-anak yang cacat. Bhisma menjadi dekat dengan Mbak Wid dan Renjani juga. Pada malam hari, Bhisma mengajak Renjani untuk berkolaborasi dihadapan Dewa, Renjani akan menari sementara Bhisma memainkan biola. Hal itu terbukti, Dewa mengangkat kepalanya lagi. Renjani dan Bhisma berpelukan dan nyaris berciuman sebelum Renjani menghentikannya. Bhisma mengurung diri di kamarnya membuat sebuah sonata yang berjudul Biola Tak Berdawai, diciptakan untuk Dewa. Bhisma memperdengarkan lagu yang belum selesai ia buat kepada Dewa dan Renjani lewat telepon. Pertemuan Renjani dengan Bhisma keesokan harinya membuat satu janji, Bhisma harus menyelesaikan Biola Tak Berdawai itu. Lalu, Bhisma mengurung diri lagi dan berkata lewat telepon bahwa ia akan memperdengarkannya di tempat resital dimana Bisma dan Renjani bertemu. Resitalpun berlangsung, hingga selesai, Bhisma tidak melihat Renjani maupun Dewa. Iapun membuang sonata yang telah terselesaikan. Bhisma menjadi murung, lalu memutuskan untuk ke Ibu Sejati. Disana ada Mbak Wid yang menceritakan bahwa Renjani ternyata mengidap kanker rahim yang ia dapati setelah melakukan aborsi yang sembarangan. Renjani sendiri mengira bahwa itu adalah maag biasa, pada malam resital Bhisma, Dewa dan Renjani sudah rapih, tetapi Renjani tibatiba ambruk dan dibawa ke rumah sakit. Ia meninggal setelah seminggu dalam keadaan koma. Bhisma menangisi Renjani sambil memeluk Dewa yang terduduk disamping tempat tidur. Beberapa hari kemudian, Bhisma bersama Dewa mengunjungi makam Renjani. Bhisma kemudian mendudukkan Dewa disamping nisan, lalu Bhisma mengambil biola dan memainkan Biola Tak Berdawai, menuntaskan janjinya kepada Renjani. BAB IV DATA DAN HASIL PENELITIAN Film yang menjadi penelitian penulis berjudul Biola Tak Berdawai (BTB). Film yang berdurasi 97 menit ini, berkisah tentang ketegaran hidup wanita yang bernama Renjani yang dihamili oleh seorang lelaki yang tidak bertanggung jawab, yang memaksanya untuk menggugurkan kandungan tersebut. Kemudian untuk mengubur kisahnya, ia pergi ke Yogyakarta, disana ia bertemu dengan Mbak Wid. Mbak Wid adalah anak satu-satunya yang berhasil dilahirkan hasil hubungan gelap, karena ibunya bekerja sebagai Wanita Tuna Susila (WTS). Tekadnya untuk menjadi seorang dokter anak pun tercapai, kemudian ia bersama dengan Renjani mendirikan sebuah rumah asuh khusus anak-anak penyandang cacat. Salah satu anak yang diasuhnya adalah Dewa, anak yang lahir dengan jaringan otak yang rusak berat, selain itu ia juga menderita autisme. Renjani selalu memperlakukan Dewa seperti anak yang normal dan mencurahkan kasih sayangnya, walaupun Dewa tetap bergeming. Klimaksnya, Dewa yang selama hidupnya selalu menundukkan kepalanya, dan tidak pernah merespon apa yang terjadi disekitarnya, tiba-tiba setelah ia mendengarkan alunan biola yang dimainkan oleh Bhisma, Dewa kemudian bisa mengangkat kepala dan mulai memberikan respon. A. Analisis Makna Judul Film Biola Tak Berdawai Judul film yang menjadi objek penelitian ini adalah Biola Tak Berdawai. Biola Tak Berdawai memiliki makna lesikal, yang terdiri dari makna denotasi dan makna konotasi, yaitu: 1. Makna Denotasi Biola Tak Berdawai Biola memiliki arti alat musik gesek, kecil, berlekuk di bagian tengahnya, bertali empat,, bersuara melengking jika digesek, cara memainkannya dengan menempatkan pangkalnya di antara dagu dan pundak.64Dawai memiliki arti kawat (yang halus). Berdawai mempunyai arti mempunyai dawai, mempunyai kawat yang halus.65 Biola adalah salah satu jenis alat musik. Alat musik ini merupakan alat musik dawai yang dimainkan dengan cara digesek. Biola memiliki sebuah busur yang berfungsi untuk menggesek senar atau dawai, sehingga mengeluarkan nada-nada yang indah. Biola memiliki empat senar (G-D-A-E) yang disetel berbeda satu dengan yang lainnya dengan interval sempurna kelima. Nada yang paling rendah adalah nada G. 2. Makna Konotasi Biola Tak Berdawai Biola merupakan alat musik dawai yang dimainkan dengan cara digesek. Sebuah pagelaran seni atau musik terlihat dan terdengar indah jika disempurnakan dengan suara lembut biola. Namun, jika sebuah biola tak memiliki dawai, hal ini sangat bertolak belakang dengan fungsi dan manfaat dari biola tersebut. Tidak bisa dimainkan dan tentunya tidak dapat menghasilkan nada-nada yang indah. Judul film ini menggambarkan tentang kisah hidup seorang anak yang terlahir dengan jaringan otak yang rusak berat, autisme dan tuna daksa. Setiap harinya ia tidak pernah merespon pembicaraan dan 64 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008), ed. 4, h. 197. 65 Ibid, h. 299. tidak pernah mengeluarkan kata-kata apapun. Ia hanya bergeming dan terus menundukkan kepalanya. Sehingga ia diibaratkan seperti biola tak berdawai, tidak bisa dimainkan dan tidak bisa menghasilkan atau mengeluarkan nada-nada atau bunyi yang indah. 3. Mitos Film ini menegaskan mitos, bahwa manusia memerlukan komunikasi dalam kehidupan. Karena manusia adalah makhluk sosial, baik itu komunikasi verbal maupun non verbal sangat dibutuhkan. Sama halnya dengan Biola Tak Berdawai, jika tidak bisa dimainkan dan menghasilkan bunyi yang indah, biola tersebut tidak dapat dikatakan sebagai alat musik. Karena fungsi dari alat musik itu salah satunya harus dapat menghasilkan nada-nada atau bunyi yang indah. Biola merupakan salah satu jenis alat musik berdawai. Dawainya jika digesek akan menghasilkan nada-nada yang sangat indah. Namun, bagaimana dengan biola yang tidak memiliki dawai?, tentunya biola tersebut tidak bisa dimainkan dan tidak bisa menghasilkan nada-nada yang indah, bahkan bisa menjadi sampah. Biola tak berdawai ini hanya sebuah gambaran tentang peran yang dimainkan oleh Dewa, seorang anak yang terlahir dengan kondisi tubuh yang tidak normal, jaringan otak yang rusak berat dan juga autisme. Jika kita bayangkan seorang anak yang seperti ini, mungkin dibenak kita akan terpikir, buat apa anak ini diciptakan oleh Tuhan. Bukankah Tuhan menciptakan Hamba-Nya agar bermanfaat untuk makhluk lainnya. Kalau seperti Dewa, apa manfaatnya?. Masyarakat yang tinggal di pedalaman dan masih sangat tradisional, anak seperti Dewa ini bagi mereka adalah sebuah aib keluarga karena menurut mereka hal ini merupakan kutukan dari sang Dewa atau Tuhan. Bahkan tidak jarang mereka yang mempunyai anak atau keluarga seperti Dewa, kedua tangan dan kakinya di ikat dengan rantai agar ia tidak keluar rumah. Semakin maju perkembangan teknologi dan informasi, semakin banyak orang-orang yang mendalami pengetahuan, khususnya tentang ilmu kejiwaan. Hal ini untuk memecahkan masalah sebuah mitos yang sudah terlanjur melekat pada masyarakat. Kini, banyak bermunculan dokter-dokter ahli jiwa, sekolah khusus anak-anak yang tidak normal yang disebut Sekolah Luar Biasa (SLB), rumah terapi, dan masih banyak lagi hal-hal yang menunjang perkembangan bagi anak-anak seperti Dewa. Telah dijelaskan dalam Al-qur‟an surah Ali „Imron ayat 191: الذيه يذكزون اهلل قياما وقعىداوعلى جىىبهم ويتفكزون في خلق السمىت واالرض ربىاماخلقت هذاباطالسبحاوك فقىاعذاب الىار Artinya: (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):”Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. Selain itu dijelaskan pula pada surah Al Anbiya‟ ayat 16: وماخلقىاالسماءواالرض ومابيىهمالعبيه Artinya: Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. Inilah salah satu kuasa Allah SWT, menciptakan beraneka ragam makhluk hidup dan benda-benda lainnya. Setiap ciptaan-Nya tidak ada yang sempurna, pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing. Kelebihan yang dimiliki seseorang itu dapat menutupi kekurangan orang lain, begitu pula sebaliknya. Allah menciptakan makhluk hidup yang beragam dan tidak mungkin sia-sia. Manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, selalu memiliki ketergantungan hidup. Kita tidak menutup kemungkinan untuk belajar mengenai alam. Salah satunya melihat fenomena metamorfosis kupu-kupu. Melihat fenomena metamorfosis kupu-kupu, pikiran kita akan menemukan cakrawala baru tentang proses luarbiasanya. Berproses dari ulat yang menjadi kepompong, dan akhirnya berubah menjadi kupu-kupu. Ulat adalah binatang yang menjijikan. Ulat akan mencari jalan keluar menuju hidup yang lebih baik dan tentunya bisa berinteraksi dengan makhluk lain. Seekor ulat berani menahan makan dan tidur untuk berubah total wujudnya, demi citacitanya yang tidak mungkin terwujud. Tetapi dengan keyakinan, keteguhan dan rasa optimisnya, ulat akhirnya sukses melakukan revolusi dalam dirinya, dan berhasil menjadi makhluk yang banyak dikagumi orang, yaitu kupu-kupu. Jika belajar dari fenomena kupu-kupu tersebut, seorang manusia yang terlahir tidak sempurna dan sulit berinteraksi dengan sekitarnya, pasti ia bisa menjadi seekor kupu-kupu, jika ia menganggap kekurangannya adalah sebuah kelebihan yang diberikan Allah SWT. Tentunya lingkungannya juga sangat mempengaruhi keadaannya. Selama jantung mereka masih berdetak dan masih bernapas, mereka butuh kasih sayang. Madzhab behavioris beranggapan bahwa perilaku manusia adalah kombinasi antara kepribadiannya dan lingkungannya, tetapi mereka menegaskan bahwa lingkungan lebih kuat dari kepribadian. Lingkungan memiliki peran yang lebih kuat dan besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Lingkungan yang baik akan membentuk pribadi yang baik, sebaliknya, lingkungan yang kurang baik akan membentuk pribadi yang kurang adaptif.66 B. Makna Denotasi, Konotasi dan Mitos dalam Film Biola Tak Berdawai 1. Scene 2: Salah satu aspek utama yang terdapat dalam sebuah film adalah setting. Setting yang digunakan dalam sebuah film umumnya dibuat senyata mungkin dengan konteks ceritanya, sehingga hal ini mampu 66 Ikhwan Luthfi, dkk, Psikologi Sosial, (Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2009), h. 11-12. menyakinkan penonton bahwa seluruh peristiwa dalam filmnya benarbenar terjadi pada lokasi cerita yang sesungguhnya. Dalam film BTB, setting yang digunakan adalah jenis setting shot a location, artinya produksi film dengan menggunakan lokasi aktual yang sesungguhnya, yaitu di Kotagede, Yogyakarta, Indonesia. Scene kedua memperlihatkan sebuah ruangan yang diterangi oleh banyaknya cahaya lilin. Ruang ini-lah yang sering digunakan oleh Mbak Wid saat memainkan kartu tarotnya. Ia sering meramal keadaan anak-anak penyandang cacat yang mungkin sudah tidak tahan hidup menderita penyakit yang mereka rasakan. Visual Dialog/Suara - - Type of shot Medium Shot, yakni pada jarak ini subjek hanya terlihat sebagian saja, jika diibaratkan manusia, hanya memperlihatkan tubuh dari bagian pinggang ke atas. Close-up, jarak ini memperlihatkan satu bagian tubuh yang mendetail saja, misalkan hanya pada bagian wajah atau tangan saja. Dalam gambar tersebut (zoom in) tampak bahwa mbak Wid sedang membuka kartu Death, sebagai kartu terakhir. Close-up - Denotasi “Ruang lilin” ini digunakan Mbak Wid saat memainkan kartu tarotnya. Sebuah kartu terakhir yang dibukanya adalah kartu Death. Nyala lilin meninggalkan bayangan-bayangan temaram yang menggeliat-geliat didinding, salah satu dari lilin tersebut cahayanya mulai surut dan kemudian padam. Konotasi Tergambar pada kartu tarot seorang ksatria berkuda yang memegang sebuah panji. Ini adalah kartu kematian yang melambangkan sebuah akhir, atau sebuah awal. Mitos Kartu tarot merupakan kartu yang biasa digunakan oleh peramal dalam meramalkan sesuatu. Nasib, karir, dan cinta misalnya. Tergantung ramalan apa yang dibutuhkan. Kartu tarot terdiri dari 78 kartu dengan bermacam-macam gambar. Gambar tersebutlah yang melambangkan jawaban-jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan kepada pembaca kartu tarot (peramal). Salah satu lambang dalam kartu tarot misalnya, seorang ksatria berkuda memegang sebuah panji. Dalam dunia ramal, ini melambangkan kematian. Mungkin hal ini melambangkan bahwa kematian akan datang. Tidak semua ramalan-ramalan orang tersebut. percaya dengan Mungkin hanya sebagian dari banyak orang yang masih percaya akan hal-hal seperti itu. Kartu tarot bisa disebut sebuah kepercayaan bagi dunia ramal. 2. Scene 5: Adegan selanjutnya memperlihatkan kamar tidur Renjani. Ia berada didepan meja rias dan sedang menyisir rambut hitamnya yang panjang. Ia lantas mengepang rambutnya. Di sini, tampak ia sedang mengajak seseorang bicara, namun yang diajak bicara tidak membalas kata apapun. Visual Dialog/Suara Renjani: “Kamu tahu, kemarin malam adik Larasati meninggal dunia. Tapi kamu tidak usah sedih, kematian itu adalah bagian dari perjalanan hidup. Semua yang hidup pasti mati.” (pada salah satu dinding terlihat sebuah bayangan yang tidak bergerak) Type of shot Medium Close-up, pada jarak ini memperlihatkan manusia dari dada ke atas. Denotasi Renjani: “Dan setiap Medium Close-up kematian membuat kamu lebih kuat. Yah… kamu memang masih kecil, tapi kamu perlu tahu juga.” (Renjani tidak pernah menerima tanggapan atau jawaban dari Dewa) Renjani: “Ya sudah, Long Shot, di mana sekarang kamu mau tubuh manusia ikut ke makam atau tampak terlihat jelas tingal di rumah saja?, dan latar tempat Gimana Dewa?” subjek berada terlihat (Ia lalu mendekati di dalam frame. Dewa dan memeluknya) Renjani: “Ibu sayaaaaang sekali sama Dewa.” Renjani sedang bersiap-siap untuk pergi ke acara pemakaman pagi ini. Saat Renjani sedang bersiap-siap, ia mengajak bicara Dewa, seorang anak penyandang jaringan otak yang rusak berat dan autisme, namun Dewa hanya diam dengan pandangan menunduk. Konotasi Mengajak anak berkomunikasi adalah salah satu hal yang baik. Khususnya bagi anak-anak yang mempunyai kelainan seperti Dewa. Karena dengan cara itulah dapat membantu meningkatkan perkembangannya. Dewa, dalam film ini, berperan sebagai seorang anak yang terlahir dengan jaringan otak yang rusak berat, tuna daksa dan juga menderita autisme. Tuna berarti cacat, sedangkan daksa berarti tubuh. Pengertian tunadaksa adalah sbb: kelainan yang meliputi cacat tubuh atau kerusakan tubuh, kelainan atau kerusakan pada fisik dan kesehatan, kelainan atau kerusakan yang disebabkan oleh kerusakan otak dan saraf tulang belakang. 67 Dewa mempunyai tubuh yang tidak normal. Walaupun usianya bertambah, namun tubuhnya tetap kerdil. Mitos Zaman dulu, orang tua yang memiliki anak seperti ini dianggap sebagai kutukan Dewa atau Tuhan. Mereka sengaja mengurung anak mereka yang terlahir cacat. Mereka tidak di ajak berkomunikasi. Hingga anak tersebut tidak menunjukkan adanya perkembangan. Peran yang dimainkan oleh Renjani, menunjukkan bahwa ternyata anak-anak yang terlahir seperti Dewa juga butuh kasih sayang layaknya anak normal pada umumnya. Namun, cara pendekatannya saja yang harus berbeda, 67 Sekolah Luar Biasa Kartini Batam, “Tuna Daksa”, artikel ini diakses pada 29 Juli 2011 dari www.slbk-batam.org/index.php?pilih=hal&id=73 rata-rata anak-anak yang seperti Dewa sangat sensitif. Maka dari itu, mereka butuh pendekatan secara halus, dan jangan pernah berbicara kasar pada mereka. Hal ini salah satu yang bisa membantu perkembangan mereka menjadi lebih baik. 3. Scene 8: Pada scene selanjutnya, memperlihatkan suasana di pagi hari, di mana Renjani mengajak Dewa berjalan-jalan di suatu persawahan yang berlimpah dengan padi yang menguning. Renjani terlihat membimbing langkah Dewa menapaki petak sawah. Renjani terus mengajaknya berbicara, mengenalkan banyak pengetahuan-pengetahuan alam disekitarnya, namun tetap saja Dewa menunduk pandangannya dan tidak menanggapi pembicaraannya. Visual Dialog/Suara Renjani: “ Kiri dikit, terus maju, pinter anak ibu…” Renjani: “Sssst…jangan berisik” Renjani:”Kamu tahu asalnya kupu-kupu? Dari telur yang ditetaskan ibunya, akan muncul ulat, itu yang sering kamu lihat di daun pisang. Lalu ulat itu akan merajut kepompong… sebagai rumah dimana ia akan tidur.” Renjani: “Beberapa Type of shot Long Shot, di mana tubuh manusia tampak terlihat jelas dan latar tempat subjek berada terlihat di dalam frame. Long shot lama kemudian sang ulatpun terbangun dan siap meninggalkan rumahnya. Tapi bentuknya sudah berubah.” Renjani:” Ia akan muncul seperti kupukupu yang cantik… cantik ya” Renjani: “kupu-kupu akan terbang melihat dunia…, kamu juga, nanti kamu akan terbang untuk bisa melihat dunia..suatu hari, kamu juga bisa terbang dan melihat dunia.” (kemudian Renjani membuka tangan dan kupu-kupu pun terbang). Denotasi Long shot Medium shot, yakni pada jarak ini memperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas. Gestur serta ekspresi wajah mulai tampak. Sosok manusia mulai dominan dalam frame. Close-up, jarak ini memperlihatkan satu bagian tubuh yang mendetail saja, misalkan hanya pada bagian wajah atau tangan saja. Pagi ini, Renjani mengajak Dewa berjalan- jalan di suatu persawahan. Renjani membimbing langkah Dewa menapaki petak sawah. Di tengah perjalanan, mereka menemukan seekor kupu-kupu hinggap disalah satu dedaunan. renjani berusaha menangkap kupu-kupu tersebut. Kedua tangan Renjani terlihat terkatup, didalam tangan tersebut terdapat kupu-kupu. Renjani kemudian membuka kedua tangannya. Kupu-kupu itu pun terbang. Konotasi Renjani begitu hati-hati membimbing Dewa saat berjalan-jalan di pematang sawah. Di sini, secara tidak langsung, ia mengajarkan Dewa pengetahuan tentang alam dan berinteraksi langsung dengan alam. Melihat fenomena metamorfosis kupukupu, pikiran kita akan menemukan cakrawala baru tentang proses luar-biasanya. Berproses dari ulat yang menjadi kepompong, dan akhirnya berubah menjadi kupu-kupu. Ulat adalah binatang yang menjijikan. Ulat akan mencari jalan keluar menuju hidup yang lebih baik dan tentunya bisa berinteraksi dengan makhluk lain. Seekor ulat berani untuk menahan makan dan tidur untuk berubah total wujudnya, demi cita-citanya yang tidak mungkin terwujud. Tetapi dengan keyakinan, keteguhan dan rasa optimisnya, ulat akhirnya sukses melakukan revolusi dalam dirinya, dan berhasil menjadi makhluk yang dikagumi orang, yaitu kupu-kupu. banyak 4. Scene 10: Scene selanjutnya memperlihatkan saat Mbak Wid duduk disalah satu kursi sambil memainkan kartu tarotnya. Bila sedang tidak bertugas sebagai dokter kepala, dirumah asuh tersebut, penampilan Mbak Wid sangat berbeda. Ia selalu mengenakan baju berwarna hitam. Rambutnya terurai, garis matanya dibingkai celak hitam, bibirnya bergincu merah anggur. Ia juga mengenakan satu stel perhiasan perak yang bertahtakan batu-batuan. Terlihat Renjani sedang menyuapi nasi tim kepada Dewa yang sedang duduk dihadapan Mbak Wid. Visual Dialog/Suara Renjani: “Anak pintar…makannya habis. Anak ibu memang pintar. Dan hanya nak-anak pintar serperti kamu Dewa, yang hanya boleh tinggal di sini.” MbakWid: “Anak-anak yang dibuang orang tuanya. Anak-anak yang bikin malu keluarganya. Anak-anak yang cacatnya dobel-dobel. Anak-anak yang umurnya tidak lama!” Renjani:” Ssst Mbak Wid, ada Dewa.” MbakWid:”duu Renjani, Renjani saya tahu kamu sangat sayang terhadap Dewa. Tapi itu anak tidak tahu omongan kita. Dia bukan saja jaringan otaknya yang rusak, tapi juga autistik. Kamu sendirikan sudah tahu hasil testnya.” Renjani:”Tapi hasil test itu kan Cuma Type of shot Medium Close-up, pada jarak ini memperlihatkan manusia dari dada ke atas. Medium Close-up Denotasi memberitahu keadaan fisiknya saja. Kita tidak pernah tahu bagaimana perasaan Dewa.” Renjani sedang menyuapi nasi tim kepada Dewa yang duduk dihadapan Mbak wid. Mbak Wid sedang berbincang dengan Renjani. Konotasi Renjani terhadap mempunyai ilmu sikap kedokteran, yang skeptis apalagi itu menyangkut keadaan Dewa dan vonis yang diberikan dokter kepada Dewa. Menurutnya, banyak yang belum diketahui dan banyak pula yang masih terus dibuktikan, terutama yang menyangkut bidang kejiwaan manusia. Mitos Pada awalnya, sebagian besar kebudayaan dalam masyarakat kita sering menggunakan tumbuh-tumbuhan herbal dan hewan untuk tindakan pengobatan. Hal ini sesuai dengan kepercayaan magis mereka yakni animisme, sihir dan menyembah dewa-dewi. Tidak menutup kemungkinan, di zaman modern seperti ini pun masih ada masyarakat yang belun sepenuhnya percaya dan yakin dengan dokter. 5. Scene 24: Renjani membuka pintu dan melangkah memasuki kamarnya. Suatu keadaan yang tak lazim menarik perhatian Renjani saat memasuki kamarnya. Ketika dilihat, pintu lemarinya terbuka lebar. Tumpukan baju yang biasa tersusun rapi kini berantakan. Tangan Renjani meraba-raba di dalam lemari seakan sedang mencari sesuatu. Ia sedikit terperangah ketika melihat Dewa sedang membuka sebuah kotak kenangan milik Renjani. Di sinilah awal perkembangan Dewa. Dewa mulai memberikan respon ketika Renjani menari ballet. Visual Dialog/Suara Renjani:”Kamu suka sepatu ini. Namanya sepatu ballet, ini punya ibu. Dari kecil ibu bercita-cita menjadi seorang penari ballet. Dan akhirnya ibu berhasil menjadi penari ballet. Dan sudah menari dimana-mana. Tapi akhirnya ibu harus berhenti menari.” Renjani:”ah nanti kalau kamu sudah besar ibu akan ceritakan.” Type of shot Close-up, jarak ini memperlihatkan satu bagian tubuh yang mendetail saja, misalkan hanya pada bagian wajah atau tangan saja. Long Shot, di mana tubuh manusia tampak terlihat jelas dan latar tempat subjek berada terlihat di dalam frame. Long Shot - Close-up - Medium Close-up, pada jarak ini memperlihatkan manusia dari dada ke atas. - Renjani:” Long Shot Dewa…Dewa…Dewa suka ibu menari ya, ah…ibu sayang sekali sama kamu Dewa.” Denotasi Renjani melihat Dewa yang saat itu berada dikamarnya. Lemari pakaian yang biasanya rapi, kini terlihat berantakan. Sebuah kotak kenangan Renjani terlihat berada disamping Dewa, dan isi dalam kotak tersebut berhamburan. Pandangan mata Renjani terus melihat Dewa yang saat itu memegang erat sepatu balletnya. Tiba-tiba ia memperoleh sebuah gagasan. Ia menari diiringi musik. Ternyata tarian dan musik tersebut direspon oleh Dewa. Konotasi Musik dan tarian dapat membantu perkembangan seorang anak, khususnya anak autis. Tujuan dari terapi tari adalah bukan dilihat dari segi keindahannya, tapi justru ditekankan penggunaan media ini untuk menstimulasi anak. Selain itu penggunaan alat-alat dalam tarian (seperti bola, hola hoop, dsb), sekaligus juga memberi stimulasi sensori terutama visual ke anak. Sedangkan terapi musik, adapun tujuannya bahwa melalui musik kita bisa “berkomunikasi” antara klien-terapis. Sekali lagi tidak dilihat dari segi keindahannya, namun lebih kepada „join attention‟ dan „collaborative/coordinative action‟ antara anak-terapis. Hal ini terutama untuk pengembangan komunikasi non- verbal68. Mitos Tidak semua dokter atau rumah terapi yang menangani anak-anak semacam Dewa, menggunakan tehnik terapi musik dan tari. Terapi semacam ini pun ternyata belum sangat efektif dapat membantu perkembanagan anak seperti Dewa. 6. Scene 25: Seperti biasa, Mbak Wid sedang duduk dengan tumpukan kartu tarotnya. Di hadapannya duduk Dewa dengan posisi biasanya pula. 68 Nuruz Zaman, “Beberapa Pendapat Tentang Musik Dan Tarian Untuk Terapi Anak,” artikel ini diakses pada 14 Juli 2011dari nuruz-zaman.blogspot.com/.../beberapa-pendapat-tentangmusik.... Renjani duduk disamping Dewa dan sedang mengocok kartu. Menuruti permintaan Renjani, Mbak Wid bermaksud membaca nasib Dewa. Setelah mengocok, Renjani memberikan tumpukan kartu kepada Mbak Wid. Kemudian Mbak Wid mengisyaratkan Renjani untuk mengambil kartu. Namun, tanpa disadari sebenarnya Renjani-lah yang sedang diramal Mbak Wid. Visual Denotasi Dialog/Suara Mbak Wid: ”Kamu yakin tadi Dewa mengangkat kepalanya?” Renjani:”Iya. Senang loh mbak, ternyata mendapat respons dari Dewa. Tarian dan musik, saya pikir salah satu pasti terapi yang tepat untuk Dewa.” Renjani:”Tadi saya sempat telpon beberapa teman saya, saya mau Tanya tentang pagelaran tari atau musik, saya mau ajak Dewa menonton” Mbak Wid:”Ini kartu matahari. Ini kartu bagus. Sebuah luka lama akan terobati. Wah siap-siap kamu, kamu akan mengalami perubahan penting dalam hidupmu.” Mbak Wid:”Wah, ada cinta ini. Kartu ini perlambang kamu akan mendapatkan cinta.” Type of shot Medium Close-up, pada jarak ini memperlihatkan manusia dari dada ke atas. Close-up, jarak ini memperlihatkan satu bagian tubuh yang mendetail saja, misalkan hanya pada bagian wajah atau tangan saja. Dalam gambar tersebut tampak Mbak Wid sedang membuka kartu The Sun. Close-up. Dalam gambar tersebut tampak Mbak Wid sedang membuka kartu The Lovers. Tampak pada gambar, Mbak Wid sedang memainkan kartu tarotnya. Renjani memintanya untuk meramalkan nasib Dewa. Tanpa diketahui Renjani, sebenarnya yang diramalkan Mbak Wid adalah Renjani. Mbak Wid menunjukkan kartu The Sun, kartu matahari ini biasanya melambangkan energi positif. Kartu terakhir yang dibukanya adalah The Lovers dan menunjukkannya kepada Dewa dan Renjani. Konotasi Kartu The Sun, kartu matahari ini biasanya melambangkan energi positif yang diperlukan bagi penyembuhan atau kesehatan secara umum. Kartu ini juga bisa diartikan sebagai datangnya pembaharuan. The Lovers, kartu ini tidak saja melambangkan cinta tapi juga berarti akan adanya suatu pemersatuan, baik yang sifatnya fisik maupun spiritual. Mitos Kartu tarot merupakan kartu yang biasa digunakan oleh peramal dalam meramalkan sesuatu. Nasib, karir, dan cinta misalnya. Tergantung ramalan apa yang dibutuhkan. Kartu tarot terdiri dari 78 kartu dengan bermacam-macam gambar. Gambar tersebutlah yang melambangkan jawaban- jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan kepada pembaca kartu tarot (peramal). Kartu The Sun yang bergambar matahari, melambangkan energi positif yang diperlukan bagi penyembuhan atau kesehatan secara umum. Kartu ini juga bisa diartikan sebagai datangnya pembaharuan. Kartu The Lovers, tidak saja melambangkan cinta tapi juga berarti adanya suatu pemersatuan, baik yang sifatnya fisik ataupun spiritual. Ini hanyalah sebuah ramalan manusia. Yang menentukan takdir seseorang atau makhluk lainnya hanyalah kuasa Allah SWT. 7. Scene 40: Hubungan antara Renjani dan Bhisma telah terjalin lebih erat. Keduanya telah sampai disebuah tingkat persahabatan, dimana keduanya saling menghormati. Bhisma mengagumi keberanian dan dedikasi Renjani dalam mengurus dan mengasuh bayi-bayinya. Sebaliknya, Renjani menghargai sikap yang Bhisma tunjukkan kepada Dewa dan bayi-bayi asuhannya. Mereka sedang menikmati sore di Gajah Wong Café bersama Dewa. Seperti biasa, Dewa hanya bergeming. Visual Denotasi Dialog/Suara Type of shot Bhisma:”Kamu sudah diambang pintu surga. Long Shot, di mana Mana ada di jaman tubuh manusia modern ini, ada orang tampak terlihat yang masih mau jelas dan latar memikirkan nasib bayi- tempat subjek bayi itu.” berada terlihat di Renjani:”Saya tahu dalam frame. mungkin hidup mereka Close-up, jarak ini tipis. Tapi selama memperlihatkan jantung mereka masih satu bagian tubuh berdetak, harus ada yang mendetail yang mengurusi mereka saja, misalkan sampai ajal mereka hanya pada bagian tiba.” wajah atau tangan Bhisma:”Saya sempat saja. berpikir, waktu pertama kali melihat mereka. Medium shot, Buat apa mereka yakni pada jarak dilahirkan. Seperti tidak ini memperlihatkan berguna. Seperti… tubuh manusia dari biola, biola yang tidak pinggang ke atas. ada dawainya. Seperti Gestur serta biola tak berdawai.” ekspresi wajah Renjani:”Tidak bisa mulai tampak. dimainkan, tidak bisa Sosok manusia menghasilkan nada-nada mulai dominan indah. ” dalam frame. Tampak Renjani dan Bhisma sedang menikmati sore dengan bersantai dan bercengkrama. Namun, seperti biasa, Dewa hanya bergeming. Konotasi Penyandang cacat adalah manusia, selama jantung mereka masih berdetak dan bernafas, mereka butuh kasih sayang orang-orang disekelilingnya sampai ajal mereka tiba. Keberadaan mereka, ibarat sebuah biola yang tidak berdawai. Tidak bisa dimainkan, dan tidak bisa menghasilkan nada-nada indah. Renjani percaya adanya keajaiban yang diberikan Tuhan. Tuhan pasti menciptakan sesuatu yang memiliki manfaat bagi makhluk hidup itu sendiri ataupun bagi makhluk hidup lainnya. Mitos Biola tak berdawai ini hanya sebuah mitos yang diberikan oleh anak-anak penyandang cacat seperti Dewa. Mereka dianggap kutukan Tuhan. Jika kita bayangkan seorang anak yang seperti ini, mungkin dibenak kita akan terpikir, buat apa anak ini diciptakan oleh Tuhan. Bukankah Tuhan menciptakan hambaNya agar bermanfaat untuk makhluk lainnya. Jika seperti Dewa, apa manfaatnya?. Inilah salah satu kuasa Allah SWT. Allah menciptakan beraneka ragam makhluk hidup dan benda-benda lainnya. Setiap ciptaan-Nya tidak ada yang sempurna, pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan seseorang itu dapat menutupi kekurangan orang lain, dan sebaliknya. Jadikan kekurangannya itu adalah kelebihan yang diberikan Allah SWT. 8. Scene 41: Bhisma memiliki sebuah ide. Sepulang dari pertemuannya dengan Renjani dan Dewa di Gajah Wong Café, ia ingin memainkan biola mengiringi tarian ballet Renjani. Hal ini diharapkan Dewa dapat memberikan tanggapan atau respon lagi. Alunan musik semakin memuncak, bagitu juga tarian Renjani. Akhirnya, untuk yang kedua kalinya Dewa mengangkat kepala. Visual Dialog/Suara - - Denotasi Type of shot Long Shot, di mana tubuh manusia tampak terlihat jelas dan latar tempat subjek berada terlihat di dalam frame. Medium Close-up, pada jarak ini memperlihatkan manusia dari dada ke atas. Renjani perlahan-lahan terbius nada-nada dan alunan lagu yang dimainkan oleh Bhisma. Emosinya kian menyatu dengan gesekan dawai Bhisma. Dewa bereaksi, ia mengangkat kepalanya untuk yang kedua kalinya. Konotasi Musik dan tarian dapat membantu perkembangan seorang anak, khususnya anak autis. Tujuan dari terapi tari adalah bukan dilihat dari segi keindahannya, tapi justru ditekankan penggunaan media ini untuk menstimulasi anak. Selain itu penggunaan alat-alat dalam tarian (seperti bola, hola hoop, dsb), sekaligus juga memberi stimulasi sensori terutama visual ke anak. Sedangkan terapi musik, adapun tujuannya bahwa melalui musik kita bisa “berkomunikasi” antara klien-terapis. Sekali lagi tidak dilihat dari segi keindahannya, namun lebih kepada „join attention‟ dan „collaborative/coordinative action‟ antara anak-terapis. Hal ini terutama untuk pengembangan komunikasi non- verbal69. Mitos Tidak semua dokter atau rumah terapi yang menangani anak-anak semacam Dewa, menggunakan tehnik terapi musik dan tari. 69 Nuruz Zaman, “Beberapa Pendapat Tentang Musik Dan Tarian Untuk Terapi Anak,” artikel ini diakses pada 14 Juli 2011dari nuruz-zaman.blogspot.com/.../beberapa-pendapat-tentangmusik.... Terapi semacam ini pun ternyata belum sangat efektif dapat membantu perkembangan anak seperti Dewa. 9. Scene 62: Scene selanjutnya memperlihatkan Mbak Wid sedang memainkan kartu tarotnya. Rautmukanya terlihat tegang membaca nasib yang telah didakwa oleh permainan kartunya. Diakhir permainannya, ia membuka kartu yang tidak sama sekali ia inginkan. Sebuah lilin pun mendadak surut sinarnya. Visual Dialog/Suara Type of shot - Medium shot, yakni pada jarak ini memperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas. - - Long Shot, di mana tubuh manusia tampak terlihat jelas dan latar tempat subjek berada terlihat di dalam frame. Close-up, jarak ini memperlihatkan satu bagian tubuh yang mendetail saja, misalkan hanya pada bagian wajah atau tangan saja. Dalam gambar tersebut (zoom in) tampak mbak Wid sedang membuka kartu Death, sebagai kartu terakhir. Close-up - Denotasi Airmuka Mbak Wid terlihat tegang membaca nasib yang telah didakwa oleh permainan kartunya. Kartu The Tower yang menggambarkan menara rubuh ini melambangkan kesengsaraan. Kartu terakhir yang dibukanya adalah kartu kematian. Sebuah lilin mendadak surut sinarnya, dan kemudian padam. Konotasi Kartu tarot yang ia mainkan ini, mengisyaratkan banyak kejadian yang akan terjadi. Kartu The tower yang menggambarkan menara yang sedang rubuh adalah kartu yang melambangkan kesengsaraan dan nestapa. Kartu Death melambangkan kematian. Mitos Salah satu lambang dalam kartu tarot adalah, seorang ksatria berkuda memegang sebuah panji. Dalam dunia ramal, ini melambangkan kematian. Mungkin hal ini melambangkan bahwa kematian akan datang. Tidak semua orang percaya dengan ramalan-ramalan tersebut. Mungkin hanya sebagian dari banyak orang yang masih percaya akan hal-hal seperti itu. Kita kembalikan semua hal mengenai takdir kepada kuasa Allah SWT. 10. Scene 73: Di bawah sebuah pohon yang teduh, Renjani dimakamkan dikelilingi makam-makam bayi yang pernah diasuhnya. Penyakit yang diderita Renjani akibat aborsi yang salah, membuatnya tak tahan hidup. Bhisma dan Dewa bersimpuh di hadapan makam. Visual Dialog/Suara - Type of shot Long Shot, di mana tubuh manusia tampak terlihat jelas dan latar tempat subjek berada terlihat di dalam frame. Bhisma:”Renjani… ini Long Shot untuk kamu.” Close-up, jarak ini memperlihatkan satu bagian tubuh yang mendetail saja, misalkan hanya pada bagian wajah atau tangan saja. - Close-up - Denotasi Bhisma menuntun Dewa untuk meletakkan bunga mawar diatas pusara Renjani. Bhisma mengeluarkan biola, dan mempersembahkan permainan biolanya untuk Renjani. Lagu Biola Tak Berdawai yang ia ciptakan mengalun indah. Ditengah permainannya, Dewa tiba-tiba menengadahkan kepalanya ke langit. Tidak hanya itu, Dewa juga mengeluarkan suara yang lirih. Konotasi Musik dan tarian dapat membantu perkembangan seorang anak, khususnya anak autis. Tujuan dari terapi tari adalah bukan dilihat dari segi keindahannya, tapi justru ditekankan penggunaan media ini untuk menstimulasi anak. Selain itu penggunaan alat-alat dalam tarian (seperti bola, hola hoop, dsb), sekaligus juga memberi stimulasi sensori terutama visual ke anak. Sedangkan terapi musik, adapun tujuannya bahwa melalui musik kita bisa “berkomunikasi” antara klien-terapis. Sekali lagi tidak dilihat dari segi keindahannya, namun lebih kepada „join attention‟ dan „collaborative/coordinative action‟ antara anak-terapis. Hal ini terutama untuk pengembangan komunikasi non- verbal70. Mitos Tidak semua dokter atau rumah terapi yang menangani anak-anak semacam Dewa, menggunakan tehnik terapi musik dan tari. Terapi semacam ini pun ternyata belum sangat efektif dapat membantu perkembangan anak seperti Dewa. 70 Nuruz Zaman, “Beberapa Pendapat Tentang Musik Dan Tarian Untuk Terapi Anak,” artikel ini diakses pada 14 Juli 2011dari nuruz-zaman.blogspot.com/.../beberapa-pendapat-tentangmusik.... BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah mendeskripsikan dan menganalisis hasil temuan data yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka dalam bab ini penulis akan menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Film BTB memiliki makna denotasi sebagai film yang menggambarkan kondisi anak-anak yang terlahir dengan segala keterbatasan, mereka dianggap keluarga tidak berguna. Salah satunya dalam film ini banyak menceritakan seorang anak yang terlahir dengan jaringan otak yang rusak berat, autisme dan tuna daksa. Setiap harinya ia tidak pernah merespon pembicaraan dan tidak pernah mengeluarkan kata-kata apapun. Ia hanya bergeming dan terus menundukkan kepalanya. 2. Makna konotasinya adalah anak_anak yang memiliki keterbatasan dalam film ini diibaratkan seperti biola tak berdawai, tidak bisa dimainkan dan tidak bisa menghasilkan atau mengeluarkan nada-nada atau bunyi yang indah. 3. Film ini menegaskan mitos, bahwa manusia memerlukan komunikasi dalam kehidupan. Karena manusia adalah makhluk sosial, baik itu komunikasi verbal maupun nonverbal sangat dibutuhkan. Sama halnya dengan Biola Tak Berdawai, jika tidak bisa dimainkan dan menghasilkan bunyi yang indah, biola tersebut tidak dapat dikatakan sebagai alat musik. Karena fungsi dari alat musik itu salah satunya harus dapat menghasilkan nada-nada atau bunyi yang indah. Selain itu, ketidakpercayaan Renjani pada kesimpulan dokter tentang fisik Dewa hal ini mendobrak mitos orang-orang modern. Orang modern percaya kepada dokter tentang fisik tanpa meninjau psikis seseorang. B. Saran Ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan mengenai film ini, yaitu: 1. Saat menonton sebuah film, sebaiknya kita tidak pasif menerima apa saja yang disuguhkan film tersebut. Tetapi yang harus kita lakukan adalah bersikap lebih kritis dan menilai pesan yang sebenarnya yang ingin disampaikan sutradara film tersebut. Sehingga kita tidak mudah terpengaruh terpengaruh dan terprovokasi oleh sebuah film. 2. Pada ending cerita film ini masih terlihat samar, yaitu bagaimana keadaan rumah asuh tersebut setelah ditinggal oleh Renjani?, dan khususnya bagaimana pula keadaan Dewa setelah kepergian Renjani?, karena Renjani selalu menemani Dewa bercengkrama sepanjang hari, walaupun Dewa hanya bergeming. DAFTAR PUSTAKA Al-Ayyubi, Abu Es. Hadist-Hadist Pilihan. Jakarta: Sholahuddin Press, 2009. Biran, Misbach Yusa. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu, 2009. Christomy, Tommy. Semiotika Budaya. Depok: Universitas Indonesia, 2004. D.A. Peransi. Film/Media/seni. Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2005. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008. Gunadi, YS dan Djony Herfan. Himpuan Istilah Komunikasi. Jakarta: PT Grasindo, 1998. Kriyantono, Rahmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi ed 1. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006. Kristanto, JB. Katalog Film Indonesia 1926-2005. Jakarta: Nalar, 2005. Luthfi, Ikhwan, dkk. Psikologi Sosial. Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Lutters, Elizabeth. Kunci Sukses Menulis Skenario. Jakarta: Grasindo, 2006. Mahendra, Yannnes Irwan. Dari Hobi jadi Profesional. Yogyakarta: Andi, 2010. Martinet, Jeanne. Semiologi; Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi Komunikasi dan Semiologi Signifikasi. Yogyakarta: Jala Sutra. cet. 1, 2010. Mulyana, Deddy dan Rahmat, Jalaluddin. Komunikasi AntarBudaya. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005. Pratista, Himawan. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008. Rivers, L William,dkk. Media Massa dan Mayarakat Modern. (Terj.) oleh Haris Munandar dan Dudy Priatna, Jakarta: Prenada media, 2004. ed-2. Sendjaja, Sasa Djuarsa. Pengantar Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka (UT), 2005. Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. ______________. Semiotika Komunikasi . Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Vivian, John. Teori Komunikasi Massa Edisi ke-8. Jakarta: Kencana Media Group, 2008. Internet: Fahmi, Ismail. “Biola Tak Berdawai”. Artikel ini diakses pada 17 Juli 2011 dari cafe.degromiest.nl/wp/archives/30. Farhan, Akhmad. “Komunikasi Nonverbal”. Artikel ini diakses pada 17 Juli 2011 dari akhmadfarhan.wordpress.com/2008/12/.../komunikasi-nonverbal... Id.wikipedia.org/wiki/Biola_Tak_Berdawai. Artikel ini diakses pada tanggal 15 Juli 2011. Id.wikipedia.org/wiki/Kedokteran. Artikel ini diakses pada tanggal 14 Juli 2011. Kartini Batam, Sekolah Luar Biasa. “Tuna Daksa”. artikel ini diakses pada 29 Juli 2011 dari www.slbk-batam.org/index.php?pilih=hal&id=73 Summerton, David. “Definisi Film”. Artikel ini diakses pada 11 Mei 2011 dari Ayanona. Tumblr.com. Zaman, Nuruz. “Beberapa Pendapat Tentang Musik dan Tarian untuk Terapi Anak”. Artikel ini diakses pada tanggal 14 Juli 2011 dari Nuruzzaman.blogspot.com/.../beberapa-pendapat-tentang-musik.... Biola Tak Berdawai Sutradara Sekar Ayu Asmara Produser Nia Dinata Afi Shamara Penulis Sekar Ayu Asmara Pemeran Nicholas Saputra Ria Irawan Jajang C. Noer Dicky Lebrianto Musik oleh Addie MS Victorian Philarmonic Orchestra Sinematografi German G. Mintapradja Penyunting Dewi S. Alibasah Distributor Kalyana Shira Film Warner Indonesia Durasi 97 menit Negara Indonesia