analisis semiotik film biola tak berdawai konsentrasi jurnalistik

advertisement
ANALISIS SEMIOTIK FILM BIOLA TAK BERDAWAI
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh :
Aminah Tuzahra
NIM : 107051102738
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1.
Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika di kemudian hari terbukti karya ini hasil jiplakan dari hasil karya orang
lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Agustus 2011
Aminah Tuzahra
ABSTRAK
Aminah Tuzahra
107051102738
Analisis Semiotik Film Biola Tak Berdawai
Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia memerlukan komunikasi
untuk kelangsungan hidupnya. Film merupakan suatu medium ekspresi dan
komunikasi. Media film memiliki keampuhan yang besar untuk mempengaruhi
publik. Publik seakan menyaksikan langsung, bahkan seolah-olah ikut terlibat
pada peristiwa yang terjadi dalam sebuah film.
Film yang menjadi objek penelitian ini adalah film Biola Tak Berdawai
(BTB), garapan sutradara Sekar Ayu Asmara. Film BTB mengisahkan tentang
kasih sayang dan ketulusan seorang wanita terhadap anak-anak asuhnya yang
menderita berbagai macam kelainan sejak lahir, salah satunya seorang anak yang
terlahir dengan jaringan otak yang rusak berat, autisme, tuna wicara dan tuna
daksa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna denotasi, konotasi dan
mitos yang terdapat dalam film BTB.
Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk
berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek
yang diharapkan. Karena sebuah film pada dasarnya bisa melibatkan bentukbentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodean pesan yang sedang
disampaikan.
Untuk itu, penulis menggunakan teori semiotik dalam penelitian ini
dengan model Roland Barthes. Barthes mengembangkan semiotik menjadi dua
tingkatan pertandaan, yaitu denotasi dan konotasi yang menghasilkan makna
eksplisit untuk memahami makna yang terkandung dalam film ini. Dalam
kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya
sebagai „mitos‟ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
Film BTB, memiliki makna denotasi sebagai film yang menggambarkan
anak-anak yang mempunyai kelainan sejak lahir, salah satunya seorang anak yang
memiliki jaringan otak yang rusak berat, autisme, dan tuna daksa. Mereka sering
dianggap tidak berguna oleh lingkungannya. Sedangkan makna konotasinya,
anak-anak yang memiliki jaringan otak yang rusak berat, autisme dan juga tuna
daksa. Anak tersebut tidak pernah merespon pembicaraan dan mengeluarkan katakata apapun. Hal ini diibaratkan seperti biola tak berdawai, tidak bisa dimainkan
dan tidak bisa menghasilkan nada-nada yang indah. Film yang tergolong kedalam
film verbal ini menegaskan mitos, bahwa manusia memerlukan komunikasi dalam
kehidupan. Karena manusia adalah makhluk sosial, baik itu komunikasi verbal
maupun nonverbal sangat dibutuhkan.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, pemilik alam semesta.
Alangkah tak berdayanya semua makhluk dihadapan-Mu, Dzat yang Maha Kuasa,
Dzat yang Maha Mengatur, sehingga dengan Rahmat dan hidayah-Nya, akhirnya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam kepada Nabi
Muhammad SAW, sebagai nabi akhir zaman yang menjadi suri teladan bagi
seluruh umat manusia.
Tahap demi tahap dengan selalu memohon ridlo kepada Allah SWT,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, dengan didukung oleh
berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Ibuku tercinta, Fathiyah Duryad Reso Radin dan almarhum bapakku,
Muslim Salimin, atas segala ridlo dan ketangguhannya mendidikku. Ini
bukan akhir perjalanan hidupku untuk membahagiakan kalian.
2. Bapak Dr. Arief Subhan, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi; Bapak Drs. Wahidin Saputra, M.A selaku Pembantu
Dekan I; Bapak Drs. Mahmud Djalal, M.A selaku Pembantu Dekan II;
serta Bapak Drs. Study Rizal LK, M.A selaku Pembantu Dekan III.
3. Bapak Dr. Suhaimi, M.Si, selaku Dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan waktu, motivasi, do‟a dan ilmu kepada penulis.
4. Ibu Rubiyanah, M.A, selaku Ketua Konsentrasi Jurnalistik, beserta Ibu
Ade Rina Farida, M.Si, selaku Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik.
5. Seluruh Dosen dan staf akademik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kepada Ibu Sekar Ayu Asmara, selaku sutradara film Biola Tak Berdawai,
yang banyak membantu demi terselesaikannya skripsi ini.
7. Kepada kru Kalyana Shira Film, atas segala bantuan dan partisipasinya.
8. Keluargaku tercinta, Siti Widiyastuti Muslim, Arif Rahman Muslim, MF
Amin Fauzi Muslim, Hasan Alwi Muslim, M. Lutfi Muslim, Sholahuddin
Muslim, Husni Mubarok Muslim, Yuyun Nazili, dan Ayu Irawati
Wulandari, serta kedua keponakanku, Savira Layyina Rizqa dan Vara
Lubhna Aghnia. Terima kasih atas segala dukungan kepada penulis, baik
moril maupun materil.
9. Segenap karyawan perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
10. Segenap guru SDN Dukuh 09 Pagi Jak-Tim, MTs NU Banat Kudus JaTeng, dan MAK Futuhiyyah-1 Mranggen Ja-Teng yang turut membantu
demi terselesaikannya skripsi ini.
11. Teman-teman Jurnalistik angkatan 2007: Ika, Cahya, Mawa, Zahro, Ririn,
Zabrina, Yanti, Dita, Nana, Nunu, Sintia, Lola, Nia, Silvi, Nadia, Andi,
Wahyu, Ajat, Iqbal, Miral, Kiki, Helmi, Taufik, Rezza, Munir, Dodo,
Nujumul, Fajar, Iman, Era dan Zainal. Terima kasih atas kebersamaannya
selama ini. Spesial untuk Ahmad Syafiul Alam, yang telah banyak
membantu, meluangkan waktu, dan memberikan motivasi.
Serta rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih
atas segala dukungan dan perhatian kalian.
Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi
penulis.
Jakarta, Agustus 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK…………………………………………………………….
KATA PENGANTAR…………………………………………………
DAFTAR ISI…………………………………………………………..
DAFTAR TABEL……………………………………………………..
DAFTAR GAMBAR………………………………………………….
i
ii
v
vi
vii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………….
A. Latar Belakang Masalah…………………………………
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………..
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………….
D. Metodologi Penelitian……………………………………
E. Tinjauan Kepustakaan…………………………………...
F. Sistematika Penulisan……………………………………
1
1
4
4
5
7
8
BAB II TINJAUAN TEORITIS……………………………………..
A. Tinjauan Teoritis tentang Film………………………….
B. Tinjauan Teoritis Semiotik………………………………
1. Konsep Semiotik……………………………………..
2. Konsep Semiotik Roland Barthes……………………
C. Tinjauan Teoritis Komunikasi Nonverbal………………
10
10
28
28
34
39
BAB III GAMBARAN UMUM FILM BIOLA TAK BERDAWAI...
A. Profil Sutradara Film……………………………………
B. Profil Pemain Film………………………………………
C. Sinopsis Film…………………………………………….
48
48
49
51
BAB VI DATA DAN HASIL PENELITIAN………………………...
A. Analisis Makna Judul Film Biola Tak Berdawai…………
B. Makna Denotasi, Konotasi dan Mitos dalam Film
Biola Tak Berdawai………………………………………
55
55
BAB V PENUTUP……………………………………………………
A. Kesimpulan………………………………………………
B. Saran……………………………………………………..
86
86
87
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………
LAMPIRAN-LAMPIRAN……………………………………………
88
90
60
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 : Trikotomi Ikon/ Indeks/ Simbol dari Charles Sanders Pierce
Tabel 2 : Peta Tanda Roland Barthes………………………...
Tabel 3 : Scene 2……………………………………………...
Tabel 4 : Scene 5………………………………………………
Tabel 5 : Scene 8………………………………………………
Tabel 6 : Scene 10……………………………………………..
Tabel 7 : Scene 24……………………………………………..
Tabel 8 : Scene 25……………………………………………..
Tabel 9 : Scene 40……………………………………………..
Tabel 10: Scene 41……………………………………………..
Tabel 11: Scene 62…………………………………………….
Tabel 12: Scene 73…………………………………………….
32
37
60
63
66
69
71
73
76
79
81
83
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 : Mbak Wid Bermain Kartu Tarot………………..
Gambar 2 : Renjani akan Menghadiri Acara Pemakaman….
Gambar 3 : Renjani dan Dewa Berjalan-jalan di Pematang Sawah
Gambar 4 : Renjani Berbincang dengan Mbak Wid………..
Gambar 5 : Renjani Menari Ballet untuk Dewa…………….
Gambar 6 : Mbak Wid Bermain Kartu Tarot……………….
Gambar 7 : Renjani Berbincang dengan Bhisma…………...
Gambar 8 : Renjani Menari Ballet Diiringi Alunan Biola Bhisma
Gambar 9 : Mbak Wid Bermain Kartu Tarot……………….
Gambar 10: Bhisma dan Dewa ke Pusara Makam Renjani…
61
63
66
69
71
74
77
79
81
83
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Istilah komunikasi digunakan dalam arti yang sangat luas untuk
menampung semua prosedur yang bisa digunakan oleh satu pikiran untuk
mempengaruhi pikiran lain. Adapun tujuan dari komunikasi adalah sebagai
suatu usaha untuk mempengaruhi tingkah laku sasaran (tujuan) komunikasi
(atau penerima pesan).1
Pada dasarnya, kegiatan komunikasi sehari-hari manusia tidak hanya
menggunakan komunikasi verbal saja, namun komunikasi non verbal juga
diperlukan. Karena dalam mempersepsikan manusia, kita tidak hanya lewat
bahasa verbal, namun juga melalui prilaku non verbalnya. Komunikasi non
verbal merupakan aspek penting di dalam komunikasi manusia.
Jika komunikasi verbal itu menggunakan kata-kata, baik dalam
bentuk percakapan maupun tulisan, komunikasi non verbal lebih banyak
menggunakan lambang-lambang atau isyarat gerak tubuh.
Menurut D. A Peransi dalam bukunya Film/Media/Seni, Film
merupakan suatu medium ekspresi dan komunikasi. Film merupakan suatu
medium yang relatif baru di dalam kebudayaan umat manusia, dibandingkan
dengan medium seperti bahasa dan tulisan2. Karena seringkali penonton
film terbuai dan terbawa oleh suasana dan menganggap apa yang disajikan
1
Werner J. Severin dan James W. Tankard, Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan
Terapan di Dalam Media Massa, ed. 5, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 57.
2
D.A. Peransi, Film/Media/Seni, (Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2005), cet. 1, h.146.
pada layar sungguh-sungguh kenyataan. Dalam kondisi inilah terjadi proses
identifikasi para penonton.
Film dianggap memiliki pengaruh lebih kuat terhadap khalayaknya
dibandingkan dengan media lain. Meskipun berbagai penelitian tidak
mendapatkan buktinya, dugaan film menguasai khalayaknya juga tidak
hilang. Isi dan teknik pembuatan film memang sedemikian rupa sehingga
mengikat perhatian penontonnya. Bahkan ada pengamat yang menyatakan
bahwa film memiliki kekuatan hipnotis. Dalam Penguin Film Review No 8,
Hugh Mauerhofer menguraikan betapa film mempunyai kekuatan tersendiri
dalam memenuhi pikiran penonton, dan karena kekuatan inilah film perlu
dikontrol. Film dikatakannya dapat menyihir penonton sehingga mereka
selalu pasif dan menerima saja apa yang disajikan film3.
Sebagai film drama, “Biola Tak Berdawai” (BTB) memiliki kisah
yang romantis, dramatik, sekaligus memperlihatkan kasih sayang seorang
wanita terhadap seorang anak yang memiliki kelainan fisik sejak lahir.
Film BTB diproduksi oleh PT Kalyana Shira Film pada tahun 2002,
disutradarai oleh Sekar Ayu Asmara. BTB merupakan salah satu film drama
yang tergolong sukses mendapatkan bermacam penghargaan seperti Naguib
Mahfouz Prize di Cairo International Film Festival 2003, juga meraih aktris
terbaik di Festival Film Asia Pasifik di Shiraz, serta aktor dan musik terbaik
di Bali International Film Festival. Bahkan di Festival Film Bandung (FFB)
yang digelar pada bulan Maret 2004, BTB mendapatkan enam penghargaan
dari tujuh kategori yang diperebutkan. Salah satu dari penghargaan tersebut
3
William L. Rivers, jay W. Jensen, dan Theodore Peterson, Media Massa dan
Masyarakat Modern, (Terj.) oleh Haris Munandar dan Dudy Priatna. (Jakarta:Prenada Media,
2004), ed. 2, cet. 2, h.291.
adalah sebagai musik Terpuji yang digarap oleh Addie MS. Selanjutnya
MTV Indonesia menggelar pula ajang bergengsi untuk insan film Indonesia,
yang dikenal dengan MTV Indonesia Movie Awards. Dari 5 nominasi Most
favorite yang direncanakan, BTB yang berdurasi 97 menit masuk 4
nominasi yang berasal dari pemilihan seratus jurnalis yaitu: Most Favorite
Actor (Nicolas Saputra), Most Favorite Actress (Ria Irawan), Most Favorite
Supporting Actor (Dicky Lebrianto), Most Favorite Supporting Actress
(Jajang C. Noer). Dari berbagai macam ajang penghargaan perfilman
tersebut, jelas bahwa film “Biola Tak Berdawai” memiliki kualitas yang
cukup diperhitungkan dan diakui dalam perfilman di dalam maupun di luar
negeri4.
Dalam film ini, ada scene yang menggambarkan tentang seorang
anak yang lahir dalam keadaan yang tidak normal. Seorang anak yang
dilahirkan dengan jaringan otak yang rusak berat. Selain itu, dia juga
mempunyai kecendrungan autisme dan penyandang tuna wicara. Tubuhnya
kerdil, kepalanya selalu tertunduk ke bawah dengan tatapan mata yang
hampa. namun pada suatu hari, anak yang menderita ketidak normalan itu
mendadak mengangkat kepalanya, untuk yang pertama kalinya. hal ini
dikarenakan setelah ia mendengarkan lagu dan tarian. Inilah yang membuat
penulis tertarik untuk sedikit menyajikan unsur komunikasi non verbal
dalam film ini. Bahwa ternyata pentingnya mempelajari komunikasi non
verbal disamping komunikasi verbal yang telah kita miliki sejak lahir.
Semua ini terbingkai apik dalam film besutan sutradara Sekar Ayu Asmara.
4
Ismail Fahmi, “Biola Tak Berdawai”,artikel ini diakses pada 17 Juli 2011 dari
cafe.degromiest.nl/wp/archives/30.
Ini adalah drama kemanusiaan yang mengisahkan cinta lebih besar dari
segalanya, bahwa cinta bisa membuat harapan yang tidak mungkin bisa
menjadi kenyataan. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik
untuk menyusun skripsi ini dengan judul: “Analisis Semiotik Film Biola
Tak Berdawai”
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih fokus, maka penulis membatasi pengambilan
potongan adegan-adegan dan teks dalam film BTB, hanya yang dianggap
memiliki makna dari tanda atau simbol yang mewakili kasih sayang seorang
wanita terhadap anak-anak asuhnya yang menderita berbagai macam
kelainan sejak lahir, salah satunya seorang anak yang terlahir dengan
jaringan otak yang rusak berat, autis, dan tuna daksa. Penelitian ini
menggunakan analisis semiotik model Roland Barthes.
Perumusan masalah dalam penilitian ini adalah:

C.
Bagaimana makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam film BTB?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan rumusan pertanyaan penelitian di atas, secara khusus
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna denotasi, konotasi, dan
mitos yang terdapat dalam film BTB. Sedangkan manfaat yang diharapkan
dari adanya penelitian ini adalah:
1.
Manfaat Akademis yang ingin dicapai adalah untuk menambah kajian
ilmu komunikasi serta sebagai tambahan referensi bahan pustaka,
khususnya pemikiran tentang analisis dengan minat pada kajian film
dan semiotika.
2.
Manfaat Praktis hasil karya ilmiah ini diharapkan dapat menarik
penelitian
lain,
khususnya
dikalangan
mahasiswa.
Untuk
mengembangkan penelitian dalam karya ilmiah lanjutan tentang
masalah yang serupa, memberi masukan kepada kalangan pembuat
film. Dan tulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
wacana tentang wawasan, khususnya dalam komunikasi nonverbal.
D.
Metodologi Penelitian
1.
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif ini digunakan dengan pertimbangan bahwa penelitian ini
nantinya akan menganalisis pesan yang disampaikan dalam film BTB,
Sedangkan taraf analisis dalam penelitian ini adalah deskriptif.
Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran dan
penjelasan terkait dengan rumusan masalah.
2.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab semua
pertanyaan yang ada, dan untuk menemukan hasil yang sesuai ialah
metode analisis semiotik. Semiotik merupakan teori yang membahas
tanda-tanda.
Akan tetapi, yang akan dibahas lebih lanjut adalah tanda-tanda
yang dihasilkan oleh manusia. Melihat sebenarnya manusia hidup
didalam dunia yang penuh dengan tanda-tanda dan menggunakannya
dalam berkomunikasi, bahkan telah membentuk kehidupan sosial. Maka
mempelajari tentang tanda-tanda merupakan kebutuhan yang cukup
penting dalam kehidupan manusia. Semiotika adalah studi tentang
tanda-tanda itu bekerja.
3.
Objek Penelitian
Objek penelitian adalah film Biola Tak Berdawai besutan
sutradara Sekar Ayu Asmara yang dirilis pada tahun 2003.
4.
Teknik Pengumpulan data
Dokumentasi
Yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang berupa
catatan formal dan juga video serta artikel yang didapat dengan
mengunduh dari internet serta catatan lain yang berkaitan dengan
penelitian ini.
Observasi
Mengadakan
pengamatan
langsung
melalui
media
yang
bersangkutan. Dalam hal ini, akan dilakukan pengamatan langsung
dengan menonton film Biola Tak Berdawai .
5.
Unit Analisis
Unit analisis penelitiannya adalah potongan gambar atau teks
yang terdapat dalam film Biola Tak Berdawai yang berkaitan dengan
rumusan masalah dan penelitian.
6.
Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari Januari hingga Mei 2011.
7.
Teknik analisis data
Setelah data primer dan sekunder terkumpul, kemudian
diklasifikasikan sesuai dengan pertanyaan penelitian yang telah
ditentukan. Setelah data terklasifikasi, dilakukan analisis data dengan
menggunakan teknik analisis semiotika Roland Barthes. Barthes
mengembangkan semiotik menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu
denotasi dan konotasi yang menghasilkan makna eksplisit untuk
memahami makna yang terkandung dalam film Biola Tak Berdawai
yang menjadi objek penelitian.
E.
Tinjauan Kepustakaan
Tinjauan kepustakaan yang menjadi rujukan penulis, yaitu:
1.
“Analisis Semiotika Film Turtle Can Fly” oleh Istianah tahun 2009,
jurusan Jurnalistik, UIN Jakarta.
2.
“Makna Foto Berita Perjalanan Ibadah haji (Analisis Semiotika karya
Zarqoni Maksum pada Galeri Foto antara.co.id”) oleh Fatimah tahun
2008, KPI D, UIN Jakarta.
Kedua skripsi diatas memiliki objek penelitian yang berbeda. Ada
yang membedah tentang Film dan Foto. Di sini penulis bermaksud, untuk
mengetahui persamaan dan perbedaan diantara kedua skripsi tersebut.
Masing-masing menggunakan teknik analisis semiotika model Roland
Barthes.
Selain itu peneliti juga mencari data-data dan artikel di internet dan
skripsi lain yang mungkin terdapat ketidaksengajaan sama dengan judul ini.
Peneliti
menemukan
sebuah
abstrak
di
internet
yaitu
eprints.umm.ac.id/4620. Disusun oleh Insyaf Luhur Bramasto (2006)
dengan judul “ Autisme dalam Film Biola Tak Berdawai” (Analisis Semiotik
pada Film Biola Tak Berdawai karya Sekar Ayu Asmara), Undergraduate
thesis,
Universitas
Muhammadiyah
Malang,
namun
peneliti
tidak
menemukan persamaan isi dengan abstrak thesis tersebut.
Meskipun dalam penelitian ini penulis mendapatkan rujukan dari
skripsi-skripsi tersebut di atas, penelitian yang dilakukan penulis tetaplah
berbeda. Objek penelitian penulis adalah sebuah film karya anak bangsa
dengan menggunakan pendekatan analisis semiotika model Roland Barthes.
Pengambilan film ini didasarkan karena belum ada mahasiswa yang meneliti
film ini, sehingga penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat
menambah referensi penelitian film.
F.
Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah proses penelitian ini, penulis menguraikan
beberapa hal pada penulisan yang terdiri dari lima bab dengan beberapa subbabnya. Sistematika penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku pedoman
penulisan Karya Ilmiah UIN ( Skripsi, Tesis, dan Disertasi Karya hamid
Nasuhi dkk), yaitu sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Terdiri dari latar belakang masalah, batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan
dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Kepustakaan dan
Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
Bab ini menguraikan Tinjauan umum Film; Pengertian Film, Sejarah dan
Perkembangan Film, Jenis dan Klasifikasi Film, Unsur-unsur Pembentuk
Film, Struktur Film, Film Suatu Medium Ekspresi dan Komunikasi, Teknik
Pengambilan Gambar; Konsep Umum Semiotik, Konsep Semiotik Roland
Barthes serta Tinjauan Umum tentang Komunikasi Non Verbal.
BAB III GAMBARAN UMUM FILM BIOLA TAK BERDAWAI
Bab ini menggambarkan secara umum film Biola Tak Berdawai karya Sekar
Ayu Asmara, terdiri dari biografi Sekar Ayu Asmara dan karya-karyanya,
Sinopsis Cerita serta Profil Tokoh.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini memfokuskan pada data dan hasil penelitian
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menyampaikan uraian singkat berupa kesimpulan dan saran penulis
atas permasalahan yang diteliti.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.
Tinjauan Teoritis Tentang Film
1.
Pengertian Film
Film adalah gambar hidup, juga sering disebut movie. Film,
secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber
dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan
lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di dunia para sineas
sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah
Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) +
graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah
melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan
cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut
dengan kamera.5
Definisi Film Menurut UU 8/1992, adalah karya cipta seni dan
budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar
yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita
seluloid,
pita
video,
piringan
video,
dan/atau
bahan
hasil
penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran
melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan
5
David Summerton, “Definisi Film”
Ayanona. Tumblr.com.
artikel ini
diakses pada 11 Mei 2011 dari
atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan
dengan sistem Proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya.6
Secara material film terdiri atau dibangun oleh gambar-gambar
dan bukan oleh seluloid. Gambar-gambar ini menimbulkan ilusi yang
kuat sekali pada kita bahwa apa yang diproyeksilkan pada layar
sungguh-sungguh kenyataan. Ini disebabkan karena gambar-gambar itu
berbeda dengan gambar-gambar seni lukis misalnya, tapi merupakan
gambar-gambar mekanis (dibuat oleh dan dengan suatu mekanik:
fototustel, kamera film ).7
Film lahir di kurun waktu seni, terutama seni lukis meninggalkan
naturalisme dan realisme. Impresionalisme di bidang seni rupa telah
memulai perjalanan pasti ke arah pemberian bentuk abstrak pada seni
rakyat.8
Fotografi dan film mengambil jurus yang bertentangan.
Kenyataan malah direproduksi dengan mirip sekali,termasuk gerak
yang oleh seni rupa tidak dapat ditiru.film mengambil tontonan massa,
tempatnya bukan di galeri atau museum, tetapi di lapangan, di sebuah
tenda (sekarang bioskop).9
Media film memiliki keampuhan yang besar untuk mempengaruhi
publik. Medium ini dapat menyajikan gambar-gambar atau peragaan
gerak, termasuk suara. Teknologi baru yang hampir sejenis dengan film
adalah kaset video dengan piringan laser (laser disc). Teknologi baru
6
David Summerton, “Definisi Film” artikel ini diakses pada 11 Mei 2011 dari Ayanona.
Tumblr.com.
7
D.A. Peransi, Film/Media/Seni, (Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2005), cet. 1, h.146.
8
Ibid, h.28.
9
Ibid, h.29.
mempunyai sifat praktis karena dengan menghubungkan melalui
monitor televisi dirumah-rumah, kemudian muncul gambar dan
sekaligus suaranya. Film dapat dikategorikan menjadi beberapa macam
sebagai berikut: 10
2.
a.
Film Berita (news reel)
b.
Film Dokumenter
c.
Film Cerita (story film)
d.
Film Kartun
e.
Film Iklan (orientasi bisnis)
Sejarah dan Perkembangan Film
Pada penghujung abad XIX, teknologi pembuatan film, gambar
yang bisa bergerak, ditemukan di Perancis, Inggris dan Amerika. Pada
waktu itu, negeri Nusantara ini masih merupakan jajahan Belanda
dengan nama Nederlands Indie atau dalam bahasa Pribumi disebut
Hindia Belanda. Sejak 1900, tontonan film mulai bisa disaksikan oleh
masyarakat di kota-kota besar Hindia Belanda.11
Teknologi film atau motion picture bekerja berdasarkan proses
kimiawi seperti fotografi. Medium ini dikembangkan pada 1880-an dan
1890-an. Pada 1930-an bioskop sudah ada di mana-mana menayangkan
talkies.12 Pada dasarnya tontonan bergerak sudah ada sejak lama.
Tanggal 24 April 1894, The New York Times memberitakan dahsyatnya
sambutan publik terhadap film layar lebar pertama yang ditayangkan
10
YS. Gunadi dan Djony Heffan, Himpunan Istilah Komunikasi, (Jakarta: PT Grasindo,
1998), h. 11-12.
11
Misbach Yusran Biran, Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2009), h. 1.
12
John Vivian, Teori Komunikasi Massa, (Jakarta: Kencana, 2008), ed. 8, h.161.
yakni tentang dua gadis pirang yang memperagakan tarian payung.
Film pertama ditayangkan di AS pada tanggal 23 April 1896 di kota
New York.13
Sejarah
film pertama terjadi di Prancis, tepatnya pada 28
Desember 1895, ketika Lumiere bersaudara telah membuat dunia
„terkejut‟. Mereka telah melakukan pemutaran film pertama kalinya di
depan publik, yakni di Cafe de Paris. Film-film buatan Lumiere yang
diputar pada pertunjukan pertama itu adalah tentang para laki-laki dan
wanita pekerja di Pabrik Lumiere, kedatangan kereta api di Stasiun la
Ciotat, bayi yang sedang makan siang dan kapal-kapal yang
meninggalkan pelabuhan. Salah satu kejadian unik, yaitu saat
dipertunjukan lokomotif yang kelihatannya menuju ke arah penonton,
banyak yang lari ke bawah bangku. Teknologi temuan Lumiere ini
kemudian mendunia dengan cepat karenajuga didukung oleh teknologi
proyektor berfilm 2 ¾ inci yang lebih unggul keluaran The American
Biograph, yang diciptakan Herman Casler pada 1896. Maka sejak
pertunjukan di cafe de Paris itulah, kata Louis Lumiere, lahirlah
ekspresi I have been to a movie !14
Perubahan dalam industri perfilman, jelas nampak pada teknologi
yang digunakan. Jika pada awalnya, film berupa gambar hitam putih,
bisu dan sangat cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan
sistem pengelihatan mata kita, berwarna dan dengan segala macam
13
William L. Rivers, jay W. Jensen, dan Theodore Peterson, Media Massa dan
Masyarakat Modern, Edisi kedua, (Terj.) oleh Haris Munandar dan Dudy Priatna. (Jakarta:
Prenada Media, 2004), cet. 2, h.198.
14
Misbach Yusran Biran, Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2009), h. xv.
efek-efek yang membuat film lebih dramatis dan terlihat lebih
nyata.
Isu yang cukup menarik dibicarakan mengenai industri film
adalah persaingannya dengan televisi. Untuk menyaingi televisi, film
diproduksi dengan layar lebih lebar, waktu putar lebih lama dan biaya
yang lebih besar untuk menghasilkan kualitas yang lebih baik.
Sejarah perfilman di Indonesia secara ringkas sebagai berikut: 15
a.
Film pertama dibuat di Kota Bandung, tahun 1926 oleh Davis,
berjudul Lely Van Java.
b.
Film Euis Atjih produksi Krueger Corporation tahun 1927/1928.
c.
Film cerita Loetoeng Kasarung, Si Lorat dan Pereh. Namun,
sampai tahun 1930 film-film di Indonesia masih bisu, tanpa efek
suara.
d.
Film Terang Bulan merupakan film bicara pertama yang
dibintangi oleh Roekiah dan Raden Mochtar, atas cerita naskah
garapan Saerun.
e.
Tahun 1941 berlangsung Perang Asia Timur raya. Perfilman di
Indonesia diambil alih oleh Jepang.
f.
Tahun 1950-an perkembangan film di Indonesia cukup cerah
sampai sekarang ini.
15
YS. Gunadi dan Djony Heffan, Himpunan Istilah Komunikasi, (Jakarta: PT Grasindo,
1998), h. 11-12.
3.
Jenis dan klasifikasi Film
a.
Jenis-Jenis Film
Jika dilihat dari isinya, film dibedakan menjadi jenis film
fiksi dan non fiksi. Sebagai contoh, untuk film non fiksi adalah
film dokumenter yang menjelaskan tentang dokumentasi sebuah
kejadian alam, flora, fauna maupun manusia. Adapun penjelasan
dari jenis-jenis film itu sebagai berikut:
1)
Film Dokumenter adalah film yang menyajikan fakta
berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan
lokasi yang nyata. Film dokumenter dapat digunakan untuk
berbagai macam maksud dan tujuan seperti informasi atau
berita, biografi, pengetahuan, pendidikan, sosial, politik
(propaganda), dan lain sebagainya.
2)
Film fiksi adalah film yang menggunakan cerita rekaan di
luar kejadian nyata, terkait oleh plot, dan memiliki konsep
pengadegaan yang telah dirancang sejak awal. Struktur cerita
film juga terikat hokum kausalitas. Cerita fiksi juga
seringkali diangkat dari kejadian nyata dengan menggunakan
beberapa cuplikan rekaman gambar dari peristiwa aslinya
(fiksi-dokumenter).
3)
Film Eksperimental merupakan film yang berstruktur namun
tidak berplot. Film ini tidak bercerita tentang apapun (anti-
naratif) dan semua adegannya menentang logika sebab-akibat
(anti-rasionalitas).16
b.
Klasifikasi Film
Menurut Himawan Pratista dalam buku Memahami Film-nya,
metode yang paling mudah dan sering digunakan untuk
mengklasifikasi film adalah berdasarkan genre, yaitu klasifikasi
dari sekelompok film yang memiliki karakter atau pola sama
(khas) sebagai berikut17:
1)
Aksi, yaitu film yang berhubungan dengan adegan-adegan
aksi fisik seru, menegangkan, berbahaya, dan nonstop dengan
tempo cerita yang cepat.
2)
Drama, yaitu film yang kisahnya seringkali menggugah
emosi,
dramatik,
dan
mampu
menguras
air
mata
penontonnya. Tema umumnya mengangkat isu-isu sosial,
seperti kekerasan, ketidakadilan, masalah kejiwaan, penyakit,
dan sebagainya.
3)
Epik sejarah, yaitu film dengan tema periode masa silam
(sejarah) dengan latar sebuah kerajaan, peristiwa, atau tokoh
besar yan menjadi mitos, legenda, atau kisah biblical.
4)
Fantasi, yaitu film yang berhubungan dengan tempat,
peristiwa dan karakter yangtidak nyata, dengan menggunakan
unsur magis, mitos, imajinasi, halusional, serta alam mimpi.
16
Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), cet. 1, h.
17
Ibid, h. 13-20.
4-8.
5)
Fiksi Ilmiah, yaitu film yang berhubungan dengan teknologi
dan kekuatan di luar jangkauan teknlogi masa kini yang
artificial.
6)
Horror, yaitu film yang berhubungan dengan dimensi
spiritual atau sisi gelap manusia.
7)
Komedi, yaitu jenis film yang tujuannya menghibur dan
memancing tawa penonton.
8)
Kriminal dan Gangster, yaitu film yang berhubungan dengan
aksi-aksi kriinal dengan mengambil kisah kehidupan tokoh
kriminal besar yang diinspirasi dari kisah nyata.
9)
Musikal, yaitu film yang mengkombinasikan unsur musik,
lagu, tari (dansa), serta gerak (koreografi).
10) Petualangan, yaitu film yang berkisah tentang perjalanan,
eksplorasi, atau ekspedisi ke suatu wilayah asing yang belum
pernah tersentuh.
11) Perang, yaitu film yang mengangkat tema ketakutan serta
teroe
yang
ditimbulkan
oleh
aksi
perang
dengan
memperlihatkan kegigihan, dan perjuangan.
12) Western, yaitu film dengan tema seputar konflik antara pihak
baik dan jahat berisi aksi tembak-menembak, aksi berkuda,
dan aksi duel.
4.
Unsur-Unsur Pembentuk Film18
Film secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuk, yakni
unsur naratif dan unsur sinematik. Kedua unsur tersebut saling
berinteraksi dan berkesinambungan satu dengan yang lainnya. Unsur
naratif adalah bahan (materi) yang akan diolah, berhubungan dengan
aspek cerita atau tema film, terdiri dari unsur-unsur seperti: tokoh,
masalah, lokasi, dan waktu. Sedangkan unsur sinematik adalah cara
(gaya) untuk mengolahnya. Sementara unsur sinematik atau gaya
sinematik merupakan aspek-aspek teknis pembentuk film.
Unsur sinematik terdiri dari empat elemen pokok, yakni:
a)
Mise-en-scene, yaitu segala hal yang berada di depan kamera.
b)
Sinematografi, yaitu perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta
hubungan kamera dengan obyek yang diambil.
c)
Editing, yakni transisi sebuah gambar (shot) ke gambar (shot)
lainnya.
d)
Suara, yakni segala hal dalam film yang mampu kita tangkap
melalui indera pendengaran.
Film juga mengandung unsur-unsur dramatik. Unsur dramatik
dalam istilah lain disebut dramaturgi, yakni unsur-unsur yang
dibutuhkan untuk melahirkan gerak dramatik pada cerita atau pada
pikiran penontonnya, antara lain: konflik, suspense, curiosity, dan
surprise. Konflik merupakan suatu pertentangan yang terjadi dalam
sebuah film misalnya, pertentangan antar tokoh. Suspense merupakan
18
1-2.
Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), cet. 1, h.
ketegangan yang dapat menggiring penonton ikut berdebar menantikan
adegan selanjutnya. Curiosity merupakan rasa ingin tahu atau penasaran
penonto terhadap jalannya cerita sehinga penonton terus mengikuti alur
film sampai selesai. Surprise adalah kejutan. Kejutan ini biasanya
digunakan pada alur film yang sulit ditebak. 19
5.
Struktur Film20
Esensi dari struktur film terletak pada pengaturan berbagai unit
cerita atau ide sedemikian rupasehingga mudah dipahami. Struktur
adalah blueprint; kerangka desain yang menyatukan berbagai unsur
film dan merepresentasikan jalan pikiran dari pembuat film. Struktur
terdapat dalam semua bentuk karya seni. Pada film ia mengikat aksi
(action) dan ide menjadi satu kesatuan yang utuh.
Struktur yang baik adalah struktur yang sederhana tapi penuh
relief. Struktur yang sederhana berhubungan dengan kontinyuitas fisik,
yaitu: anak dilahirkan, hidup sebagai orang dewasa, kemudian mati. Ini
mengandaikan adanya permulaan, pengembangan dan akhir. Variasi
dari urutan ini banyak sekali, misalnya suatu akhir dapat dijadikan
permulaan dalam hal kilas balik flashback umpamanya.
19
Elizabeth Lutters, Kunci Sukses menulis Skenario, (Jakarta: Grasindo.2004), cet. 3,
h.100-103.
20
D.A. Peransi, Film/Media/Seni, (Jakarta: FFTV-IKJ Press,2005), cet. 1, h. 8-16.
Penyusunan pikiran dan perasaan si seniman film ditentukan oleh
faktor-faktor:
a.
Keutuhan: Semua unsur dalam film mesti bertalian dengan
subyek utamanya, harus menjaga bagian dari keseluruhan. Arti
dan maknanya ditentukan pertaliannya dengan keseluruhan karya.
b.
Ketergabungan: Unsur atau unit yang satu harus memiliki
hubungan dengan unit atauunsur berikutnya, sedemikian rupa
sehingga hubungan itu bukan saja logis akan tetapi juga hubungan
yang membangun. Ini berarti bahwa urutan unsur ini harus
menunjukkan perkembangan yang menuju suatu kesimpulan.
Faktor ketergabungan ini tergantung lagi pada sebab, akibat dan
kemungkinan.
c.
Tekaan: Berhubungan dengan atau menentukan posisi dari unitunit pertama dan sampingan, hubungan yang satu terhadap yang
lain. Tekanan menentukan juga proporsi dari unit-unit itu
sehingga menjadi jelas nilai dari berbagai unit tersebut.
d.
Interes: Berhubungan dengan “isi” dari setiap unit. Pilihan ini
yang tepat untuk menjadikan unit-unit itu saling berhubungan
dengan jalinan subordinat dan menjadfi suatu kesatuan karya
yang utuh.
Struktur film terdiri dari struktur lahiriah dan struktur batiniah.
Dalam struktur lahiriah, terdapat unsur-unsur atau unit-unit yang
membangun yaitu :
a.
shot; dapat dirumuskan sebagai peristiwa yang direkam oleh film
tanpa interupsi.
b.
scene terbentuk apabila beberapa shot disusun secara berarti dan
menimbulkan suatu pengertian yang lebih luas tapi utuh. Adegan
dapat kita sebut juga premis minor. Banyaknya shot, panjang
pendeknya shot dalam sebuah adegan akan menentukan ritme dari
adegan itu. Selain shot dan scene, adapula
c.
sequence atau babak; babak terbentuk apabila beberapa adegan
disusun secara berarti dan logis. Babak memiliki ritme permulaan,
pengembangan dan akhir.
d.
totalitas; Dalam hubungan ini sudah jelas merupakan nilai yang
muncul dari seluruh urutan shot, adegan dan sekwens, yaitu tema.
Struktur batiniah ditentukan oleh sejumlah faktor:
1.
Eksposisi: keterangan tempat, waktu dan perwatakan.
2.
Point of Attack atau serangan awal: menggambarkan tentang
konfrontasi
awal
dari
kekuatan-kekuatan
yang
saling
bertentangan.
3.
Komplikasi: segi-segi yang menarik dari watak-watak tokohtokohnya.
4.
Discovery atau penemuan: memberikan informasi-informasi baru
tentang tokoh-tokohnya sementara cerita berlangsung terus,
munculnya kejadian-kejadian.
5.
Reversal atau pembalikan: terjadi komplikasi-komplikasi baru
6.
Konflik: pertentangan-pertentangan batin yang menguasai tokohtokoh.
7.
Rising
action
atau
tanjakan
aksi:
bagian
cerita
yang
mengungkapkan pengembangan plot utama, mulai dari point of
attack sampai klimaks.
8.
Krisis: meramalkan suatu perkembangan baru.
9.
Klimaks: puncak paling tinggi dari semua ketegangan dan
intensitas.
10.
Falling action atau surutnya aksi: klimaks menurun dan menuju
kesimpulan.
11.
Kesimpulan: dalam tahap ini semua pertanyaan dijawab, masalahmasalah utama dan sampingan dipecahkan dan diatasi.
6.
Film Suatu Medium Ekspresi dan Komunikasi21
Film merupakan suatu medium yang relatif baru di dalam
kebudayaan umat manusia, dibandingkan dengan medium seperti
tulisan dan bahasa.
Ernest Cassier (An Essay on Man dan Die Philosophie der
Syimbolischen Formen) merumuskan manusia sebagai “animal
21
D.A. Peransi, Film/Media/Seni, (Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2005), cet. 1, h. 146.
syimbolicum”, yang berbeda dengan binatang, berkomunikasi dengan
lambang-lambang dan perlambangan. Bahasa adalah salah satu
lambang bunyi yang arbitrer yang diciptakannya. Itu sebabnya orang
Indonesia dan Inggris mempunyai bunyi yang berbeda untuk
melambangkan fakta yang sama.
Komunikasi antara dua orang yang lahir dari masyarakat bahasa
yang berbeda akan sulit dilakukan apabila yang satu tudak mengenal
bahasa yang lainnya.
Sejak fotografi ditemukan abad yang lalu, dan didasarkan atas
fotografi film dikembangkan, maka bertambah lagi medium ekspresi
dan komunikasi antar manusia.
Tetapi berbeda dengan bahasa yang mempergunakan unsurebunyi
untuk
mengekspresikan
arti
dan
bersifat
lebih
abstrak,
film
mempergunakan rekaman optik dari kenyataan. Film merekam secara
persis sekali kenyataan yang pernah ada di depan kamera dan kenyataan
itu (melalui film) tampil di depan kita yang melihatnya sebagai
kenyataan optik.
Dengan menganggap bahwa apa yang ada dilayar sungguhsungguh kenyataan maka pada penonton sebenarnya terjadi ilusi. Ilusi
bahwa yang ia lihat benar-benar kenyataan.
Di dalam kondisi demikian itu terjadi beberapa proses identifikasi
pada penonton. Pertama, adalah identifikasi optik.Penonton melihat
kenyataan sebagaimana kenyataan itu dilihat oleh lensa (optik) kamera.
Kedua, adalah identifikasi emosional. Disini penonton secara emosional
mempertautkan dirinya dengan bayangan-bayangan dari kenyataan
yang ia lihat di layar. Ketiga, adalah identifikasi imajiner. Di sini
penonton mengidentifikasikan dirinya dengan salah satu tokoh atau
beberapa tokoh di dalam film yang ditontonnya.
Film mempunyai daya magis yang kuat sekali, tentu tergantung
pada baik-buruknya film yang dibuat.
Film adalah suatu medium yang memungkinkan manusia terlibat
secara ekstensial dengan kenyataan-kenyataan imajiner. Terlibat secara
eksistensial berarti bahwa terjadi suatu hubungan yang dialektis antara
dirinya dan kenyataan memang imajiner itu.
Film pada dasarnya menceritakan suatu perkembangan psikologis
dari tokoh-tokohnya, bukan seperti film dokumenter yang bertolak dari
konsep dan ide. Perkembangan psikologis itu dituang ke dalam suatu
plot cerita yang mengenal permulaan, pengembangan cerita dan
klimaks. Di dalam garris plot itulah protagonis dan antagonisnya
dipertemukan dan dipertentangkan.
Konflik antara protagonis dan antagonis tentunya merupakan
konflik antara nilai-nilai yang menjadi dasar masing-masing. Nilai itu
bisa bersumber pada pribadi atau pada kelompok dimana pribadi itu
berada. Itu sebabnya konflik-konflik di dalam cerita film bisa juga
merupakan konflik antara berbagai kelompok dan kepentingan, latar
belakang sosial, ekonomi, budaya dan sejarah.
Sering pula di dalam film Indonesia, ketidakmampuan dramaturgi
pembuat filmnya menyebabkan film itu menawarkan kenyataankenyataan serta penyelesaiannya yang tidak masuk akal.
7.
Teknik Pengambilan Gambar
a. Sinematrogafi
Dalam sebuah produksi film ketika seluruh aspek mise-enscene telah tersedia dan sebuah adegan telah siap untuk diambil
gambarnya, maka pada tahap inilah unsur sinematografi mulai
berperan. Sinematografi secara umum dapat dibagi menjadi tiga
aspek, yakni kamera dan film, framing, serta durasi gambar.
Kamera dan film mencakup teknik-teknik yang dapat dilakukan
melalui kamera dan stok filmnya, seperti warna, penggunaan lensa,
kecepatan gerak gambar, dan sebagainya.
Sama seperti teknik dalam pemotretan, pada kamera juga
menggunakan teknik framing dalam pengambilan gambarnya.
Framing adalah meletakkan objek sebagai foreground untuk
membuat bingkai yang bertujuan memberi kesan ruang tiga
dimensi.22
22
h. 55.
Yannes Irwan Mahendra, Dari Hobi jadi Profesional, (Yogyakarta: Andi, 2010), ed. 1,
Berikut ini adalah salah satu aspek framing yang terdapat
dalam sinematografi, yakni jarak kamera terhadap obyek (type of
shot), yaitu:23
1)
Extreme long shot, merupakan jarak kamera yan paling jauh
dari objeknya. Teknik ini umumnya untuk menggambarkan
sebuah objek yang sangat jauh atau panorama yang luas.
2)
Long shot, pada teknik ini memperlihatkan tubuh fisik
manusia yang tampak jelas namun latar belakang masih
dominan.
3)
Medium long shot, pada teknik ini manusia terlihat dari
bawah lutut sampai ke atas.
4)
Medium shot, pada jarak ini memperlihatkan tubuh manusia
dari pinggang ke atas.
5)
Medium close-up, pada jarak ini memperlihatkan manusia
dari dada ke atas. Adegan percakapan normal biasanya
mengunakan jarak ini.
6)
Close-up, umumnya memperlihatkan wajah, kaki, atau
sebuah
obyek
kecil
lainnya.
Teknik
ini
mampu
memperlihatkan ekspresi wajah secara jelas serta gestur yang
mendetil.
7)
Extreme close-up,teknik ini mampu memperlihatkan lebih
detil bagian dari wajah, seperti telinga, mata, hidung, dan
lainnya atau bagian dari sebuah obyek.
23
104-106.
Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), cet. 1, h.
b.
Sudut Pengambilan gambar
Ada beberapa tehnik pengambilan gambar yang biasa di
gunakan diantaranya:

Bird Eye View
Ini merupakan sudut pengambilan gambar yang dilakukan di
atas,seperti burung terbang yang melihat ke bawah. Efek yang
tampak, subjek terlihat menjadi rendah, pendek dan kecil.
Manfaatnya untuk menyajikan suatu lokasi atau pemandangan24.
Biasanya untuk mengambil gambar dengan sudut ini dilakukan dari
atas gedung ataupun dengan helikopter.

High Angle
Ini merupakan sudut pengambilan gambar yang tepat diatas objek,
pengambilan gambar seperti ini memiliki arti yang dramatik yaitu
kecil atau kerdil.

Low Angle
Ini merupakan sudut Pengambilan gambar yang diambil dari bawah
si objek, sudut pengambilan gambar ini merupakan kebalikan dari
high angle. Efek yang timbul adalah distorsi perspektif yang secara
teknis dapat menurunkan kualitas gambar. Bagi yang kreatif, hal ini
dimanfaatkan untuk menimbulkan efek khusus. Kesan efek ini
adalah menimbulkan sosok pribadi yang besar, tinggi, kokoh, dan
berwibawa, juga angkuh25.
24
Yannes Irwan Mahendra, Dari Hobi jadi Profesional,(Yogyakarta: Andi, 2010), ed. 1,
h. 49.
25
Ibid, h. 50.

Eye Level
Ini merupakan sudut pengambilan gambar sebatas mata posisi
berdiri. Sudut pengambilan gambar ini merupakan posisi yang
paling umum. Objek sejajar dengan mata, tidak menimbulkan
kesan khusus yang terlihat menonjol26.

Frog Level
Ini merupakan sudut pengambilan gambar yang diambil sejajar
dengan
permukaan
tempat
objek
berdiri,
seolah-olah
memperlihatkan objek menjadi sangat besar.27
B.
Tinjauan Teoritis Semiotik
1.
Konsep Semiotik
Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial
memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar
yang disebut dengan „tanda‟. Dengan demikian, semiotik mempelajari
hakikat tentang keberadaan suatu tanda.28
Secara sederhana semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda.
Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi
yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.29
Studi sistematis tentang tanda-tanda dikenal sebagai semiologi.
Arti harfiahnya adalah”kata-kata mengenai tanda-tanda”. Kata semi
26
Yannes Irwan Mahendra, Dari Hobi jadi Profesional,(Yogyakarta: Andi, 2010), ed. 1,
h. 49.
27
Ibid, h.50.
Alex Sobur, Analisis teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet. 6, h.87.
29
Rahmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006),ed. 1, h. 261-262.
28
dalam semiologi berasal dari semeion (bahasa Latin), yang artinya
„tanda‟. Semiologi telah dikembangkan untuk menganalisis tandatanda.30
Menurut Ferdinand de Saussure didalam bukunya Course in
General
Linguistik.
Bahasa
adalah
suatu
sistem
tanda
yang
mengekpresikan ide-ide (gagasan-gagasan) dan karena itu dapat
dibandingkan dengan sistem tulisan, huruf-huruf untuk orang bisu-tuli,
simbol-simbol keagamaan, aturan-aturan sopan santun, tanda-tanda
kemiliteran, dan sebagainya. Semua itu merupakan hal yang sangat
penting dari keseluruhan sistem tersebut. Suatu ilmu yang mempelajari
tanda-tanda kehidupan dalam masyarakat bersifat dapat dipahami. Hal
itu merupakan bagian dari psikologi sosial atau berkaitan dengan
psikologi umum. Saussure menyebutnya sebagai semiologi (dari bahasa
Latin semion: tanda). Semiologi akan menjelaskan unsur yang
menyusun
suatu
tanda
dan
bagaimana
hukum-hukum
itu
mengaturnya.31
Untuk menyederhanakannya kemudian Umberto Eco dalam
bukunya A Theory of Semiotics menjelaskan dan mempertimbangkan,
bahwa semiotika berkaitan dengan segala hal yang dapat dimaknai
tanda-tanda. Suatu tanda adalah segala sesuatu yang dapat dilekati
(dimaknai) sebagai penggantian yang signifikan untuk sesuatu lainnya.
Segala sesuatu ini tidak terlalu mengharuskan perihal adanya atau
mengaktualisasikan
30
perihal
dimana
dan
kapan
suatu
tanda
Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan
Kontemporer,Edisi Baru,(Yogyakarta: tiara wacana, 2010),cet. 1, h. 4.
31
Ibid, h.4.
memaknainya. Jadi, semiotika ada dalam semua kerangka (prinsip),
semua disiplon studi, termasuk dapat pula digunakan untuk menipu
bila
segala
sesuatu
tidak
dapat
dipakai
untuk
menceritakan
(mengatakan) segala sesuatu (semuanya).32 Umberto Eco menyebut
tanda tersebut sebagai “kebohongan”; dalam tanda ada sesuatu yang
tersembunyi dibaliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri.
Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas,
dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan
dalam konteks sosial.33
Semiotika seperti yang kita kenal dapat dikatakan baru karena
berkembang sejak awal abad-20. Memang pada awal abad-18 dan ke-19
banyak ahli teks (khususnya Jerman) berusaha mengurai pelbagai
masalah
yang berkaitan dengan
tanda,
namun
mereka
tidak
menggunakan pengertian semiotis.34
Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure didalam
Course in General Linguistik. Sebagai “ilmu yang mengkaji tentang
tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.35 Sedangkan semiotika
menurut Roland Barthes adalah ilmu mengenai bentuk (form). Studi ini
mengkaji signifikasi yang terpisah dari sisinya (content). Semiotika
tidak hanya meneliti mengenai signifier dan signified, tetapi juga
32
Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan
Kontemporer, (Yogyakarta: tiara wacana, 2010),cet. 1, h. 4.
33
Alex Sobur, Analisis teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet. 6, h.87.
34
Tommy Cristomy, Semiotika Budaya,(Depok: Universitas Indonesia, 2004), cet. 1, h.81
35
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotik; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2003), h. 256 .
hubungan yang mengikat mereka. Tanda yang berhubungan secara
keseluruhan.36
Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinan
de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Pierce (1839-1914).
Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah
dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Pierce di
Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik
sedangkan Pierce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkan
semiologi (semiolology).37
Ada dua pendekatan
pendekatan
yang
penting atas tanda-tanda.
didasarkan
pada
pandangan
Pertama
Saussure
yang
mengatakan bahwa tanda-tanda disusun oleh dua elemen, yaitu aspek
citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan suatu
konsep tempat citra-bunyi itu disandarkan. 38
TANDA
Penanda
Petanda
Citra-bunyi
konsep
Bagi Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat
arbitrer (bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Pendekatan
kedua yang penting untuk memahami tanda-tanda, yakni suatu sistem
36
Alex Sobur, Analisis teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet. 6, h.123.
37
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual; Metode Analisis Tanda dan Makna
pada Karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), cet. 2, h. 11.
38
Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan
Kontemporer,Edisi Baru, (Yogyakarta: tiara wacana, 2010), cet. 1, h. 13-14.
analisis tanda yang dikembangkan oleh filsuf Charles Sanders Pierce
(1839-1914), pemikir Amerika yang cerdas dan pemikirannya tak dapat
disepelekan. Pierce mengatakan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan
objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan
kausal dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk
kesamaannya, indeks untuk hubungan kausalnya, dan simbol untuk
asosiasi konvensionalnya.39
Table berikut menjelaskan hal tersebut.
Trikotomi Ikon/ Indeks/ Simbol
dari Charles Sanders Pierce
Tanda
Ikon
Ditandai
Persamaaan
dengan
(kesamaan)
Contoh:
Proses
Indeks
Simbol
Hubungan kausal Konvensi
Gambar-gambar
Asap/api
Kata-kata
Patung-patung
Gejala/penyakit
Isyarat
tokoh besar
(Bercak
Foto Reagen
merah/campak)
Dapat dilihat
Dapat
diperkirakan
Harus
dipelajari
39
Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan
Kontemporer,Edisi Baru, (Yogyakarta: tiara wacana, 2010), cet. 1, h. 16-17.
Bila pernyataan Saussure tentang penanda dan petanda adalah
kunci dari model analisis semiologi, maka trikotomi Pierce adalah
kunci menuju analisis semiotika.40
Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda
(sign). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penandaan (signifier)
dengan sebuah idea tau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda
adalah “bunyi yang bermakna” atau coretan yang bermakna”.41
Sementara itu, Charles Sanders Pierce, menandaskan bahwa kita hanya
dapat
berpikir dengan
medium
tanda. Manusia hanya dapat
berkomunikasi lewat sarana tanda.42
Pierce dikenal dengan teori segitiga makna-nya (triangle
meaning). Berdasarkan teori tersebut, semiotika berangkat dari tiga
elemen utama yang terdiri dari: Tanda (sign), Acuan Tanda (Object),
Pengguna Tanda (Interpretant). Menurut Pierce, salah satu bentuk
tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda.
Sementara interpretan adalah tanda yang ada di benak seseorang
tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila elemen-elemen
tersebut berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna
tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut.43
40
Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan
Kontemporer, (Yogyakarta: tiara wacana, 2010), cet. 1, h. 17.
41
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi , (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet. 2, h.
46.
42
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual; Metode Analisis Tanda dan Makna
pada Karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), cet. 2, h. 16.
43
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet. 6, h. 115.
2. Konsep Semiotik Roland Barthes
Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas
lingkup makna yang lebih besar adalah dengan membedakan makna
denotatif dengan makna konotatif.
Menilik sejarahnya, tradisi semiotika berkembang dari dua tokoh
utama, yaitu: Charles Sanders Pierce yang mewakili tradisi Amerika dan
Ferdinand de Saussure yang mewakili tradisi Eropa. Keduanya tidak
pernah bertemu sama sekali, sehingga kendati keduanya sering disebut
mempunyai kemiripan gagasan, penerapan konsep-konsep dari masingmasing keduanya, namun seringkali mereka mempunyai perbedaan.
Barangkali keduanya berangkat dari disiplin yang berbeda, Pierce adalah
seorang guru besar filsafat dan logika, sementara Saussure adalah
seorang ahli linguistik.44
Ada sesuatu yang disebut dengan istilah semiologi, atau yang
sering disebut dengan istilah semiotika, melalui peminjaman kata Inggris
semiotics. Pada pandangan pertama, sesuatu itu tampaknya telah
mendapatkan beberapa definisi yang saling berdekatan dari beberapa
ilmuwan yang telah memikirkan persoalan tersebut dari beberapa sudut
pandang yang berbeda. Menurut Georges Mounin, Saussure-lah yang
menjadi tokoh karena dalam bukunya, Cours de linguistique générale,
telah membaptis dan mendefinisikan secara garis besar ”ilmu umum
44
Aart Van Zoest, Interpretasi dan Semiotika, (Terj.) oleh Okke K.S Zaimar dan Ida
Sundari Husein dalam Panuti Sujiman dan Aart van Zoest, (Ed) Serba-Serbi Semiotika, (Jakarta:
Gramedia, 1991), h.1.
tentang semua sistem tanda (atau tentang semua sistem simbol), sistemsistem itu bisa membuat manusia bisa berkomunikasi diantara mereka“.45
Roland Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga menengah Protestan
di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik
di sebelah barat daya Prancis. Dia dikenal sebagai salah seorang pemikir
strukturalis yang rajin mempraktikkan model linguistik semiologi
Saussure.46Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat
dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang
tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja
menyampaikan makna yang berbeda situasinya. Roland Barthes
meneruskan pemikiran tersebut yang dikenal dengan istilah “order of
signification”.47
Bagi Roland Barthes yang juga mengikuti Saussure, maka “secara
prospektif objek semiologi adalah semua sistem tanda, entah apapun
substansinya, apapun batasannya (limit): gambar, gerak tubuh, bunyi
melodis, benda-benda, dan pelbagai kompleks yang tersusun oleh
substansi yang bias ditemukan dalam ritus, protokol, dan tontonan
sekurangnya merupakan sistem signifikasi (pertandaan), kalau bukan
merupakan „bahasa‟ (langage).”48
Pada mulanya Mounin dan Barthes membatasi medan riset
semiologi dengan menetapkan: medan semiologi berisi “sistem-sistem
45
Jeanne Martinet, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi
Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), cet. 1, h.2.
46
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet. 2, h.
63.
47
Rahmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, h. 268.
48
Jeanne Martinet, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi
Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), cet. 1, h.3.
tanda”. Tetapi mereka melihat sistem-sistem tersebut dengan cara yang
sangat berbeda. Bagi Mounin, sistem-sistem tanda terdefinisikan oleh
fungsinya: sistem itu digunakan untuk komunikasi manusia. Bagi
Barthes, sistem itu dicirikan oleh fakta bahwa sistem tersebut memiliki
signifikasi atau beberapa signifikasi; tetapi kita bias mempertanyakan
apakah pendapat itu tidak membuat kita juga mengurusi sistem-sistem
yang di dalamnya perkara yang sudah diidentifikasi hanyalah pelbagai
kumpulan yang berisi fakta-fakta signifikatif,49
Two orders of signinification (signifikasi dua tahap atau dua
tatanan pertandaan) Barthes terdiri dari first order of signification yaitu
denotasi, dan second order of signification yaitu konotasi. Tatanan yang
pertama mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda
inilah yang disebut makna denotasi.50
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan
antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna
yang eksplisit, langsung, dan pasti. Sedangkan konotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda,
yang
didalamnya
beroprasi
makna
yang
bersifat
implisit
dan
tersembunyi.51
49
Jeanne Martinet, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi
Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), cet. 1, h. 5.
50
M. Antonius birowo, Metode Penelitian Denotasi; Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta:
Gitanyali, 2004), h. 56.
51
Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia,2004), cet. 1, h.
94.
Tabel 1. Peta tanda Roland Barthes:
1. Signifer (penanda)
2. Signified
(petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif)
4.Connotative signifier
5.Connotative
(penanda konotatif)
signified
(petanda konotatif)
6.Connotative sign (tanda konotatif)
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri
atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan,
tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal
tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda
“sign”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian
menjadi mungkin.52
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki
makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif
yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan
Barthes yang berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang
berhenti pada penandaan dan tatanan denotatif. Konotasi dan denotasi
sering dijelaskan dalam istilah tingkatan representasi atau tingkatan
52
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet. 2,h. 69.
mana. Secara ringkas, denotasi dan konotasi dapat dijelaskan sebagai
berikut:53
1.
Denotasi adalah interaksi antara signifier dan signified dalam sign,
dan antara sign dengan referent (object) dalam realitas eksternal.
2.
Konotasi adalah interaksi yang muncul ketika sign bertemu dengan
perasaan atau emosi pembaca/pengguna dan nilai-nilai budaya
mereka. Makna menjadi subjektif atau intersubjektif. Tanda lebih
terbuka dalam penafsirannya pada konotasi daripada denotasi.
Secara sederhana, denotasi dijelaskan sebagai kata yang tidak
mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan. Maknanya
disebut makna denotatif. Makna denotatif memiliki beberapa istilah lain
seperti makna denotasional, makna referensial, makna konseptual, atau
makna ideasional. Sedangkan konotasi adalah kata yang mengandung arti
tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu disamping makna
dasar yang umum. Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna
konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif.54
Denotasi dan konotasi tidak bisa dilihat secara terpisah atau berdiri
sendiri. Sebuah tanda yang kita lihat pasti suatu denotasi. Makna denotasi
adalah apa yang kelihatan pada gambar, dengan kata lain gambar dengan
sendirinya memunculkan denotasi. Denotasi dengan sendirinya akan
menjadi konotasi dan untuk selanjutnya konotasi justru menjadi denotasi
53
M. Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi; Teori dan Aplikasi,(Yogyakarta:
Gitanyali, 2004), h. 57.
54
AS. Haris Sumandiria, Bahasa Jurnalistik; Panduan Praktis Penulis dan Jurnalistik,
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006), cet. 1, h. 27-28.
ketika konotasi tersebut sudah umum digunakan dan dipahami bersama
sebagai makna yang kaku.
Mitos dalam pemahaman Barthes adalah pengkodean makna dan
nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu
yang dianggap alamiah.55
Ferdinand Comte membagi mitos menjadi dua macam: mitos
tradisional dan mitos modern. Mitos modern ini dibentuk oleh dan
mengenai gejala-gejala politik, olahraga, sinema, televisi, dan pers. Mitos
(mythes) adalah suatu jenis tuturan (a type of speech), sesuatu yang
hampir mirip dengan „re-presen-tasi kolektif‟ di dalam sosiologi
Durkheim. Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan
pesan. Maka itu, mitos bukanlah objek. Mitos bukan pula konsep ataupun
gagasan, melainkan suatu cara signifikasi, suatu bentuk.56
C.
Tinjauan Teoritis Komunikasi Nonverbal
1. Pengertian Komunikasi Nonverbal
Secara sederhana, komunikasi non verbal didefinisikan sebagai
komunikasi tanpa kata-kata atau selain dari kata-kata yang kita
pergunakan57. Komunikasi non verbal lebih dulu ada daripada
komunikasi verbal. Karena setiap manusia saat menginjak usia 18 bulan
kita secara total tergantung pada komunikasi non verbal seperti sentuhan,
55
Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia, 2004), cet. 1, h.
56
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet. 2, h.
94.
224.
57
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005), h. 308.
senyuman, pandangan mata, dan sebagainya58.
Menurut Adler dan
Rodman dalam bukunya Understanding Human Communication, batasan
yang sederhana tersebut merupakan langkah awal untuk membedakan
apa yang disebut vocal communication yaitu tindak komunikasi yang
menggunakan mulut, dan verbal communication yaitu tindak komunikasi
yang menggunakan kata-kata59.
2. Perilaku Non Verbal
Perilaku non verbal dapat diartikan sebagai semua tindakan,
seperti gerakan mimik wajah, gerakan-gerakan tubuh, gerakan otot
tubuh, berkeringat, muka merah, dan sebagainya yang bekerja bersamasama dalam mengkomunikasikan makna-makna tertentu.
Semua gerakan yang kita lakukan dalam hubungannya dengan
orang lain selalu dikomunikasikan, diterima dan diinterpretasikan.
Gerakan-gerakan non verbal ini dalam hubungannya dengan orang lain
akan menenetukan bagaimana umpan balik dari orang tersebut. Selain itu
perilaku non verbal adalah sebuah metakomunikasi, yang artinya
perilaku tersebut memperkuat perilaku-perilaku non verbal maupun
bahasa-bahasa verbal lainnya dalam sebuah komunikasi.
3. Fungsi dan Peran Komunikasi Non Verbal
Ada beberapa pendapat mengenai fungsi dari komunikasi non
verbal. Bentuk komunikasi ini sama pentingnya dengan komunikasi
58
59
6.19.
Ibid. h. 308.
Sasa Djuarsa Sendjaja. Pengantar Komunikasi, (Universitas Terbuka (UT)),. h. 6.3-
verbal yang umum dipakai. Fungsi komunikasi nonverbal diantaranya
yaitu:60
1.
Complementing
2.
Accenting
3.
Contradicting
4.
Repeating
5.
Regulating
6.
Substituting
Menurut Samovar dalam suatu komunikasi, perilaku non verbal
digunakan secara bersama-sama dengan bahasa verbal.

Perilaku non verbal memberi aksen atau penekanan pada pesan
verbal.

Perilaku non verbal sebagai pengulangan dari bahsa verbal.

Tindak komunikasi non verbal melengkapi pernyataan verbal.

Perilaku non verbal sebagai pengganti dari komunikasi verbal.
Pemikiran yang hampir sama juga diungkapkan oleh Paul Elman
yang menjelaskan bahwa fungsi dari lambang-lambang verbal maupun
non verbal adalah untuk memproduksi makna yang komunikatif. Secara
historis, kode non verbal sebagai suatu multi saluran akan mengubah
pesan verbal melalui enam fungsi,pengulangan (repetition), berlawanan
(contradiction),
pengganti
(subtitution),
pengaturan
(regulation),
penekanan (accentuation) dan pelengkap (complementation)61.
60
Akhmad Farhan, “Komunikasi Nonverbal”, artikel ini diakses pada 17 Juli 2011 dari
akhmadfarhan.wordpress.com/2008/12/.../komunikasi-nonverbal...
61
Sasa Djuarsa Sendjaja, Pengantar Komunikasi, (Universitas Terbuka (UT)), h. 6.316.33.
Jalaluddin Rahmat mengelompokan pesan-pesan non verbal
sebagai berikut:
1)
Pesan Kinesik
Pesan kinesik merupakan bentuk komunikasi non verbal
yang menggunakan gerakan tubuh yang berarti. Terdiri dari tiga
komponen utama, yaitu:
a.
Pesan fasial, menggunakan air muka untuk menyampaikan
makana tertentyu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
wajah
dapat
menyampaikan
paling
sedikit
sepuluh
kelompok makna: kebahagiaan, rasaterkejut, ketakutan,
kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat,
ketakjuban
dan
tekad.
Sementara
itu
Leathers
menyimpulkan penelitian-penelitian tentang wajah, sebagai
berikut: a) wajah menkomunikasikan penilaian dengan
ekspresi senang dan tidak senang, yang menunjukkan
apakah komunikator memandang objek penelitiannya baik
atau buruk; b) wajah mengkomunikasikan berminat atau
tidak pada orang lain atau lingkungan; c) wajah
mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam situasisituasi; d) wajah mengkomunikasikantingkat pengendalian
individu terhadap pernyataan endiri dan e) wajah barangkali
mengkomuikasikan adanya atau kurang pengertian.
b.
Pesan gestural, menunjukkan gerakan sebagian anggota
badan seperti mata dan tangan untuk berkomunikasi
berbagai makna.
c.
Pesan postural, berkenaan dengan keseluruhan anggota
badan, makna yang dapat disampaikan adalah: a) Imediacy
yaitu ungkapan kesukaan atau ketidaksukaan individu yang
lain. Postur yang condong ke arah yang diajak bicara
menunjukkan kesukaan dan penilain positif; b) power
mengungkapkan status yang tinggi pada diri komunikator.
Anda dapat membayangkan postur orang yang tinggi hati di
depan anda, dan postur orang yang merendah; c)
Responsiveness yang mana individu dapat berreaksi secara
emosional pada lingkungan secara positif dan negative. Bila
postur anda tidak berubah, anda megungkapkan sikap yang
tidak responsif.
2)
Pesan proksemik
Pesan proksemik merupakan pesan yang disampaikan
melalui pengaturan jarak dan ruang. Umumnya dengan mengatur
jarak bagaimana kita mengungkapkan keakraban kita dengan
orang lain.
4. Klasifikasi Pesan Non vebal
Dari berbagai literatur yang dipelajari, komunikasi non verbal
dapat dikategorikan dalam beberapa bentuk62, antara lain :
1)
Eye Geze (Gerakan Mata)
Aspek komunikatif yang utama dari perilaku mata adalah siapa
dan apa yang sedang kita lihat dan untuk berapa lama. Mata kita
merupakan saluran komunikasi non verbal yang penting, tidak
hanya selama interaksi tetapi juga sebelum dan sesudah interaksi
berakhir. Bahkan ada yang menilai gerakan mata sebagai
pencerminan isi hati seseorang.
2)
Touching (sentuhan)
Ialah isyarat yang dilambangkan dengan sentuhan badan. Menurut
bentuknya sentuhan badan dibagi atas tiga macam berikut :
 Kinestheic
ialah
isyarat
yang
ditunjukkan
dengan
bergandengan tangan satu sama lain sebagai symbol
keakraban atau kemesraan.
 Sociofugal ialah isyarat yang ditunjukkan dengan jabat
tangan atau saling merangkul.
 Thermal ialah isyarat yang ditunjukkan dengan sentuhan
badan yang terlalu emosional sebagai tanda persahabtan yang
begitu intim. Misalnya menepuk punggung karena sudah
lama tak bertemu.
62
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar,(Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005), h. 316-380.
3)
Paralanguage
Ialah isyarat yang ditimbulkan dari tekanan atau irama suara
sehingga penerima dapat memahami sesuatu di balik apa yang
diucapkan. Misalnya “datanglah” bisa diartikan betul-betul
mengundang kehadiran kita atau sekedar basa-basi tergantung
intonasi suara kita.
4)
Diam
Berbeda dengan tekanan suara, sikap diam juga merupakan kode
non verbal yang mempunyai arti. Max Picard menyatakan bahwa
diam tidak semata-mata mengandung arti bersikap negative, tetapi
bisa juga melambangkan sikap positif.
5)
Postur Tubuh
Orang lahir ditakdirkan dengan berbagai bentuk tubuh. Well dan
Siegel dua orang ahli psikologi melalui studi yang mereka
lakukan, membagi bentuk tubuh atas tiga tipe, yakni ectomophory
dilambangkan sebagai orang yang mempunyai sikap ambisi,
pintar, kritis dan sedikit cemas. Mesomorphy dilambangkan
sebagai pribadi yang cerdas, bersahabat, aktif dan kompetitif, dan
endomorphy digambarkan sebagai pribadi yang humoris, santai
dan cerdik.
7)
Kedekatan dan Ruang
Proximity adalah komunikasi non verbal yang menunjukkan
kedekatan dari dua orang yang mengandung arti. Edward T. Hall
membagi kedekatan menurut territory atas empat macam, yakni :

Wilayah Intim (rahasia), yakni kedekatan yang berjarak
antara 3-18 inchi.

Wilayah pribadi, ialah kedekatan yang berjarak antara 18
inchi-4 kaki.

Wilayah social, ialah kedekatan yang berjarak antara 4-12
kaki.

Wilayah Umum (publik), ialah kedekatan yang berjarak
antara 4-12 kaki atau sampai suara kita terdengar dalam
jarak 25 kaki.
Selain kedekatan dari segi territory, ada juga beberapa ahli
melihat dari sudut pandang ruang dan posisi, misalnya posisi meja
dan tempat duduk. Here dan Bales menemukan bahwa orang yang
banyak bicara dalam rapat umumnya duduk pada posisi kursi
yang lebih tinggi.
8)
Artifak dan Visualisasi
Artifak adalah hasil kerajinan manusia (seni), baik yang melekat
pada diri manusia maupun yang ditujukan untuk kepentingan
umum. Artifak ini selain dimaksudkan untuk kepentingan
estetika, juga untuk menunjukkan status atau identitas diri
seseorang atau suatu bangsa. Misalnya baju, topi, cincin, gelang,
alat transportasi, monument, patung dan sebagainya.
9)
Warna
Warna juga memberi arti terhadap suatu objek. Hampir semua
bangsa di dunia memiliki arti tersendiri pada warna. Hal ini bisa
dilihat pada bendera nasional masing-masing, serta upacaraupacara ritual lainnya yang sering dilambangkan dengan warnawarni.
10)
Waktu
Waktu mempunyai arti tersendiri dalam kehidupan manusia. Bagi
masyarakat tertentu, melakukan suatu pekerjaan sering kali
dikaitkan dengan waktu. Misalnya membangun rumah, menanam
padi, melaksanakan perkawinan, membeli sesuatu dan sebaginya.
11)
Bunyi
Apabila paralanguage dimaksudkan sebagi tekanan suara yang
keluar dari mulut untuk mejelaskan ucapan verbal, banyak bunyibunyian yang dilakukan sebagai tanda isyarat yang tidak dapat
digolongkan sebagai paralanguage. Misalnya bersiul, bertepuk
tangan, bunyi terompet, letusan senjata, beduk, sirine dan
sebagainya.
12)
Bau
Bau juga digunakan sebagi kode non verbal. Selain digunakan
untuk melambangkan sesuatu seperti kosmetik, bau juga dapat
dijadikansebagi petunjuk arah. Misalnya posisi bangkai, bau karet
terbakar dan sebagainya.
BAB III
Gambaran Umum Film Biola Tak Berdawai
A.
Profil Sekar Ayu Asmara sebagai Sutradara Film Biola Tak
Berdawai
Sekar Ayu Asmara lahir di Jakarta, Indonesia. Menghabiskan masa
kecil berpindah-pindah di beberapa negara mengikuti karier Diplomat
ayahnya. Pernah menetap di Afghanistan, Turki, dan Negeri Belanda.
Semua bidang seni yang ditekuni, dipelajari Sekar secara otodidak.
Baik itu sebagai sutradara film, pelukis, produser musik, penulis
skenario, maupun penulis novel.
Film pertamanya, Biola Tak Berdawai, mendapatkan anugerah The
Naguib Mahfouz Prize di Cairo International Film Festival 2003.
Penghargaan bergengsi ini diberikan kepada sutradara film pertama. Film
ini juga dianugerahi penghargaan Best Actress untuk Ria Irawan di Asia
Pacific Film Festival, Shiraz, Iran 2003. Sementara Bali International
Film Festival, Indonesia 2003, menganugerahkan penghargaan Best
Actor bagi Nicholas Saputra dan Best Music untuk Addie MS.
Film keduanya, Belahan Jiwa, juga memenangkan penghargaan
The Best International Feature Film di ajang New York International
Independent Video and Film Festival 2007.
Sekar telah menerbitkan tiga novel: Pintu Terlarang, Kembar
Keempat, dan Doa Ibu. Film Biola Tak Berdawai dinovelisasikan oleh
Seno Gumira Ajidarma. Sementara novel Pintu Terlarang telah diangkat
menjadi
film
layar
lebar
oleh
Joko
Anwar.
email: [email protected].
B. Profil Pemain Film Biola Tak Berdawai
a.
Renjani
Tokoh Renjani yang diperankan Ria Irawan merupakan pemeran
utama dalam film BTB. Tipologi Renjani tergolong sederhana,
berkarakter lembut, dan penyanyang. Seorang wanita yang berprofesi
sebagai penari balet ini mengalami pemerkosaan oleh lelaki yang
dicintainya namun sayangnya tidak bertanggung jawab. Anak yang
dikandungnya sengaja ia aborsikan. Kemudian, karena malu di hina
oleh masyarakat sekitar, ia pun berniat berhijrah ke Yogyakarta.
Renjani tidak memiliki orang tua bahkan saudara kandung dan
kerabat dekat. Dalam perjalanan menuju Yogya, ia bertemu dengan
seorang wanita yang membawa seorang anak dalam dekapannya.
Wanita tersebut kemudian menitipkan anaknya kepada Renjani,
karena ia tak mampu untuk merawatnya. Renjani pun tak bias
mengelak, ia luluh dengan keadaan mereka. Diterimanya anak
tersebut, Renjani tahu bahwa anak tersebut terlahir dalam keadaan
yang tidak normal. Renjanipun berniat untuk membesarkannya.
b.
Bhisma
Nicholas Saputra begitu apik memerankan tokoh Bhisma. Lelaki
muda seorang pemain biola yang memiliki karakter baik, ramah dan
mudah bergaul.
Bhisma tertarik kepada Renjani saat Renjani membawa Dewa
dalam pertunjukan musiknya. Yang menarik perhatiannya adalah
Renjani selalu membawa Dewa saat melihat pertunjukannya. Suatu
ketika saat pertunjukan musiknya selesai, Dewa tak mau beranjak dari
tempat duduknya, kemudian Bhisma mendekati Renjani yang sedang
mengajak Dewa pulang, ternyata Dewa suka dengan biola yang di
pegang Bhisma, Bhisma pun rela meminjamkannya untuk Dewa.
c.
Mbak Wid
Tokoh mbak wid yang diperankan oleh Jajang C.Noer ini adalah
seorang dokter anak yang bertempat tinggal di Kota gede,
Yogyakarta. Wanita yang lahir dari seorang ibu yang bekerja sebagai
Wanita Tuna Susila (WTS) ini, selalu bertekad dan bercita-cita untuk
bisa
menyelamatkan anak-anak yang lahir sama seperti dirinya.
Akhirnya cita-citanya pun tercapai hingga ia bisa menjadi seorang
dokter anak.
Mbak Wid
bekerjasama dengan Renjani mandirikan rumah
asuh untuk anak-anak yang kurang beruntung. Anak-anak yang
terlahir cacat fisik dan mental. Mereka sudah terbiasa menghadapi
kematian demi kematian yang selalu mengejar hidup anak-anak cacat
yang mereka asuh .
Yang terasa sedikit mengganggu adalah karakter Mbak Wid
yang semakin kebelakang menjadi semakin terasa konyol dengan
selalu mempertanyakan banyak hal menjadi sebuah teka-teki aneh,
dan dengan dialog-dialog yang terlalu lambat, lama, dan pada
beberapa bagian terasa terlalu teatrikal.
d.
Dewa
Dewa merupakan seorang anak yang dilahirkan dengan jaringan
otak yang rusak berat. Selain itu, dia juga mempunyai kecendrungan
autisme dan penyandang tuna wicara. Tubuhnya kerdil, kepalanya
selalu tertunduk ke bawah dengan tatapan mata yang hampa.
Dicky Lebrianto yang berperan sebagai Dewa, meski hampir
sepanjang film tidak ada dialog yang diucapkannya, namun Dicky
dengan sukses memberikan perhatian kepada penonton seorang Dewa
yang cukup misterius.
C. Sinopsis Film Biola Tak Berdawai63
Category: Movies
Genre : Drama
Written and directed by Sekar Ayu Asmara
Cast :
Renjani
: Ria Irawan
Mbak Wid : Jajang C.Noer
Bhisma
: Nicholas saputra
Dewa
: Dicky Lebrianto
Pak Kliwon: Masroom Sara
Suster 1
: Ragilia
Suster 2
: Maria Andini
63
JB Kristanto, Katalog Film Indonesia 1926-2005, (Jakarta: Nalar, 2005).
Crew:
Produksi : PT. Kalyana Shira Film
Producers: Afi Shamara, Nia Dinata, Sekar Ayu Asmara
Executive Producer: Seto Harjojudanto
Music by Addie MS
Sound Designer: Adityawan, Susanto, Satrio Budiono
Art director: Iri Supit
Editor: Dewi S. Alibasah
Dibuat dalam format video digital, lalu ditransfer ke film 35 mm.
Renjani adalah seorang mantan penari balet setelah dirinya
diperkosa, hamil, dan dipaksa untuk mengaborsi kandungannya. Ia
memutuskan membuang masa lalunya dan pindah ke Yogyakarta. Di
perjalanan di kereta, ia duduk bersebelahan dengan seorang wanita yang
disuruh untuk membuang bayi
cacat
yang kini berada dalam
gendongannya. Sesampai di Yogyakarta, ia menempati rumah Neneknya
yang sangat besar. Kemudian Renjani teringat kisah perjalanannya dan
mendirikan rumah asuh untuk anak-anak yang cacat bernama Ibu Sejati.
Seorang wanita yang filosofis terhadap sifat manusia sekaligus pintar
membaca kartu tarot, Mbak Wid melamar sebagai dokter anak disana.
Mbak Widpun mempunyai masa lalu sendiri, ia adalah anak dari seorang
pelacur yang mudah hamil. Hanya Mbak Wid saja benih yang berhasil
lahir, sementara itu, seluruh benih lain diaborsikan oleh sang ibu. Hal itu
membuat Mbak Wid bertekad menjadi seorang dokter anak. Renjani
kemudian menemukan Dewa seorang anak cacat yang diberikan ke rumah
itu. Dewa diasuh Renjani hingga Renjani merasa bahwa Dewa adalah
anaknya sendiri. Sampai umurnya yang menjelang kedelapan, Dewa
belum bisa merespon karena distorsi fungsi otak dan tuna wicara yang
dialaminya.
Suatu hari, Renjani menemukan Dewa membongkar perlengkapan
baletnya. Renjani menggunakannya dan menari sambil menyetel musik
klasik, saat itulah Dewa merespon dengan mengangkat kepalanya. Renjani
berpikir Dewa bisa disembuhkan dengan terapi musik atau tarian,
Renjanipun mencarikan sebuah resital musik atau tari untuk disinggahi.
Mereka menonton resital musik biola. Setelah selesai, Dewa tidak mau
pulang. Saat itulah seorang pemuda yang memainkan biola di resital tadi,
Bhisma
memperkenalkan diri sambil membawa biola dan tongkat
geseknya. Dewa menggenggam tongkat itu terus. Bhisma akhirnya
mengantarkan Renjani dan Dewa hingga ke Ibu Sejati, Dewa
diperbolehkan memegang tongkat itu hingga esok. Esoknya, Bhisma dan
Renjani berbicara banyak, dari situlah Renjani tahu bahwa Bhisma juga
turut perhatian dengan anak-anak yang cacat. Bhisma menjadi dekat
dengan Mbak Wid dan Renjani juga. Pada malam hari, Bhisma mengajak
Renjani untuk berkolaborasi dihadapan Dewa, Renjani akan menari
sementara Bhisma memainkan biola. Hal itu terbukti, Dewa mengangkat
kepalanya lagi. Renjani dan Bhisma berpelukan dan nyaris berciuman
sebelum Renjani menghentikannya.
Bhisma mengurung diri di kamarnya membuat sebuah sonata yang
berjudul Biola Tak Berdawai, diciptakan untuk Dewa. Bhisma
memperdengarkan lagu yang belum selesai ia buat kepada Dewa dan
Renjani lewat telepon. Pertemuan Renjani dengan Bhisma keesokan
harinya membuat satu janji, Bhisma harus menyelesaikan Biola Tak
Berdawai itu. Lalu, Bhisma mengurung diri lagi dan berkata lewat telepon
bahwa ia akan memperdengarkannya di tempat resital dimana Bisma dan
Renjani bertemu. Resitalpun berlangsung, hingga selesai, Bhisma tidak
melihat Renjani maupun Dewa. Iapun membuang sonata yang telah
terselesaikan. Bhisma menjadi murung, lalu memutuskan untuk ke Ibu
Sejati. Disana ada Mbak Wid yang menceritakan bahwa Renjani ternyata
mengidap kanker rahim yang ia dapati setelah melakukan aborsi yang
sembarangan. Renjani sendiri mengira bahwa itu adalah maag biasa, pada
malam resital Bhisma, Dewa dan Renjani sudah rapih, tetapi Renjani tibatiba ambruk dan dibawa ke rumah sakit. Ia meninggal setelah seminggu
dalam keadaan koma. Bhisma menangisi Renjani sambil memeluk Dewa
yang terduduk disamping tempat tidur. Beberapa hari kemudian, Bhisma
bersama Dewa mengunjungi makam Renjani. Bhisma kemudian
mendudukkan Dewa disamping nisan, lalu Bhisma mengambil biola dan
memainkan Biola Tak Berdawai, menuntaskan janjinya kepada Renjani.
BAB IV
DATA DAN HASIL PENELITIAN
Film yang menjadi penelitian penulis berjudul Biola Tak Berdawai (BTB).
Film yang berdurasi 97 menit ini, berkisah tentang ketegaran hidup wanita yang
bernama Renjani yang dihamili oleh seorang lelaki yang tidak bertanggung jawab,
yang memaksanya untuk menggugurkan kandungan tersebut. Kemudian untuk
mengubur kisahnya, ia pergi ke Yogyakarta, disana ia bertemu dengan Mbak Wid.
Mbak Wid adalah anak satu-satunya yang berhasil dilahirkan hasil hubungan
gelap, karena ibunya bekerja sebagai Wanita Tuna Susila (WTS). Tekadnya untuk
menjadi seorang dokter anak pun tercapai, kemudian ia bersama dengan Renjani
mendirikan sebuah rumah asuh khusus anak-anak penyandang cacat. Salah satu
anak yang diasuhnya adalah Dewa, anak yang lahir dengan jaringan otak yang
rusak berat, selain itu ia juga menderita autisme. Renjani selalu memperlakukan
Dewa seperti anak yang normal dan mencurahkan kasih sayangnya, walaupun
Dewa tetap bergeming. Klimaksnya, Dewa yang selama hidupnya selalu
menundukkan kepalanya, dan tidak pernah merespon apa yang terjadi
disekitarnya, tiba-tiba setelah ia mendengarkan alunan biola yang dimainkan oleh
Bhisma, Dewa kemudian bisa mengangkat kepala dan mulai memberikan respon.
A. Analisis Makna Judul Film Biola Tak Berdawai
Judul film yang menjadi objek penelitian ini adalah Biola Tak Berdawai.
Biola Tak Berdawai memiliki makna lesikal, yang terdiri dari makna denotasi
dan makna konotasi, yaitu:
1. Makna Denotasi Biola Tak Berdawai
Biola memiliki arti alat musik gesek, kecil, berlekuk di bagian
tengahnya, bertali empat,, bersuara melengking jika digesek, cara
memainkannya dengan menempatkan pangkalnya di antara dagu dan
pundak.64Dawai memiliki arti kawat (yang halus). Berdawai
mempunyai arti mempunyai dawai, mempunyai kawat yang halus.65
Biola adalah salah satu jenis alat musik. Alat musik ini merupakan
alat musik dawai yang dimainkan dengan cara digesek. Biola memiliki
sebuah busur yang berfungsi untuk menggesek senar atau dawai,
sehingga mengeluarkan nada-nada yang indah.
Biola memiliki empat senar (G-D-A-E) yang disetel berbeda satu
dengan yang lainnya dengan interval sempurna kelima. Nada yang
paling rendah adalah nada G.
2. Makna Konotasi Biola Tak Berdawai
Biola merupakan alat musik dawai yang dimainkan dengan cara
digesek. Sebuah pagelaran seni atau musik terlihat dan terdengar indah
jika disempurnakan dengan suara lembut biola. Namun, jika sebuah
biola tak memiliki dawai, hal ini sangat bertolak belakang dengan
fungsi dan manfaat dari biola tersebut. Tidak bisa dimainkan dan
tentunya tidak dapat menghasilkan nada-nada yang indah.
Judul film ini menggambarkan tentang kisah hidup seorang anak
yang terlahir dengan jaringan otak yang rusak berat, autisme dan tuna
daksa. Setiap harinya ia tidak pernah merespon pembicaraan dan
64
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008), ed. 4, h. 197.
65
Ibid, h. 299.
tidak
pernah
mengeluarkan
kata-kata apapun. Ia
hanya
bergeming dan terus menundukkan kepalanya. Sehingga ia
diibaratkan seperti biola tak berdawai, tidak bisa dimainkan dan tidak
bisa menghasilkan atau mengeluarkan nada-nada atau bunyi yang
indah.
3. Mitos
Film ini menegaskan mitos, bahwa manusia memerlukan
komunikasi dalam kehidupan. Karena manusia adalah makhluk sosial,
baik itu komunikasi verbal maupun non verbal sangat dibutuhkan.
Sama halnya dengan Biola Tak Berdawai, jika tidak bisa
dimainkan dan menghasilkan bunyi yang indah, biola tersebut tidak
dapat dikatakan sebagai alat musik. Karena fungsi dari alat musik itu
salah satunya harus dapat menghasilkan nada-nada atau bunyi yang
indah.
Biola merupakan salah satu jenis alat musik berdawai. Dawainya
jika digesek akan menghasilkan nada-nada yang sangat indah. Namun,
bagaimana dengan biola yang tidak memiliki dawai?, tentunya biola
tersebut tidak bisa dimainkan dan tidak bisa menghasilkan nada-nada
yang indah, bahkan bisa menjadi sampah. Biola tak berdawai ini hanya
sebuah gambaran tentang peran yang dimainkan oleh Dewa, seorang
anak yang terlahir dengan kondisi tubuh yang tidak normal, jaringan
otak yang rusak berat dan juga autisme. Jika kita bayangkan seorang
anak yang seperti ini, mungkin dibenak kita akan terpikir, buat apa
anak ini diciptakan oleh Tuhan. Bukankah Tuhan menciptakan
Hamba-Nya agar bermanfaat untuk makhluk lainnya. Kalau seperti
Dewa, apa manfaatnya?.
Masyarakat yang tinggal di pedalaman dan masih sangat
tradisional, anak seperti Dewa ini bagi mereka adalah sebuah aib
keluarga karena menurut mereka hal ini merupakan kutukan dari sang
Dewa atau Tuhan. Bahkan tidak jarang mereka yang mempunyai anak
atau keluarga seperti Dewa, kedua tangan dan kakinya di ikat dengan
rantai agar ia tidak keluar rumah.
Semakin maju perkembangan teknologi dan informasi, semakin
banyak orang-orang yang mendalami pengetahuan, khususnya tentang
ilmu kejiwaan. Hal ini untuk memecahkan masalah sebuah mitos yang
sudah terlanjur melekat pada masyarakat. Kini, banyak bermunculan
dokter-dokter ahli jiwa, sekolah khusus anak-anak yang tidak normal
yang disebut Sekolah Luar Biasa (SLB), rumah terapi, dan masih
banyak lagi hal-hal yang menunjang perkembangan bagi anak-anak
seperti Dewa.
Telah dijelaskan dalam Al-qur‟an surah Ali „Imron ayat 191:
‫الذيه يذكزون اهلل قياما وقعىداوعلى جىىبهم ويتفكزون في خلق السمىت‬
‫واالرض ربىاماخلقت هذاباطالسبحاوك فقىاعذاب الىار‬
Artinya: (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):”Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka”. Selain itu dijelaskan pula pada
surah Al Anbiya‟ ayat 16:
‫وماخلقىاالسماءواالرض ومابيىهمالعبيه‬
Artinya: Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang
ada di antara keduanya dengan bermain-main.
Inilah salah satu kuasa Allah SWT, menciptakan beraneka ragam
makhluk hidup dan benda-benda lainnya. Setiap ciptaan-Nya tidak ada
yang sempurna, pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing. Kelebihan yang dimiliki seseorang itu dapat menutupi
kekurangan orang lain, begitu pula sebaliknya.
Allah menciptakan makhluk hidup yang beragam dan tidak
mungkin sia-sia. Manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, selalu
memiliki ketergantungan hidup. Kita tidak menutup kemungkinan
untuk belajar mengenai alam. Salah satunya melihat fenomena
metamorfosis kupu-kupu. Melihat fenomena metamorfosis kupu-kupu,
pikiran kita akan menemukan cakrawala baru tentang proses luarbiasanya. Berproses dari ulat yang menjadi kepompong, dan akhirnya
berubah menjadi kupu-kupu. Ulat adalah binatang yang menjijikan.
Ulat akan mencari jalan keluar menuju hidup yang lebih baik dan
tentunya bisa berinteraksi dengan makhluk lain. Seekor ulat berani
menahan makan dan tidur untuk berubah total wujudnya, demi citacitanya yang tidak mungkin terwujud. Tetapi dengan keyakinan,
keteguhan dan rasa optimisnya, ulat akhirnya sukses melakukan
revolusi dalam dirinya, dan berhasil menjadi makhluk yang banyak
dikagumi orang, yaitu kupu-kupu.
Jika belajar dari fenomena kupu-kupu tersebut, seorang manusia
yang terlahir tidak sempurna dan sulit berinteraksi dengan sekitarnya,
pasti ia bisa menjadi seekor kupu-kupu, jika ia menganggap
kekurangannya adalah sebuah kelebihan yang diberikan Allah SWT.
Tentunya lingkungannya juga sangat mempengaruhi keadaannya.
Selama jantung mereka masih berdetak dan masih bernapas, mereka
butuh kasih sayang.
Madzhab behavioris beranggapan bahwa perilaku manusia adalah
kombinasi antara kepribadiannya dan lingkungannya, tetapi mereka
menegaskan
bahwa
lingkungan
lebih
kuat
dari
kepribadian.
Lingkungan memiliki peran yang lebih kuat dan besar dalam
membentuk kepribadian seseorang. Lingkungan yang baik akan
membentuk pribadi yang baik, sebaliknya, lingkungan yang kurang
baik akan membentuk pribadi yang kurang adaptif.66
B. Makna Denotasi, Konotasi dan Mitos dalam Film Biola Tak Berdawai
1. Scene 2:
Salah satu aspek utama yang terdapat dalam sebuah film adalah
setting. Setting yang digunakan dalam sebuah film umumnya dibuat
senyata mungkin dengan konteks ceritanya, sehingga hal ini mampu
66
Ikhwan Luthfi, dkk, Psikologi Sosial, (Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, 2009), h. 11-12.
menyakinkan penonton bahwa seluruh peristiwa dalam filmnya benarbenar terjadi pada lokasi cerita yang sesungguhnya.
Dalam film BTB, setting yang digunakan adalah jenis setting shot
a location, artinya produksi film dengan menggunakan lokasi aktual yang
sesungguhnya, yaitu di Kotagede, Yogyakarta, Indonesia.
Scene kedua memperlihatkan sebuah ruangan yang diterangi oleh
banyaknya cahaya lilin. Ruang ini-lah yang sering digunakan oleh Mbak
Wid saat memainkan kartu tarotnya. Ia sering meramal keadaan anak-anak
penyandang cacat yang mungkin sudah tidak tahan hidup menderita
penyakit yang mereka rasakan.
Visual
Dialog/Suara
-
-
Type of shot
Medium Shot, yakni
pada jarak ini subjek
hanya
terlihat
sebagian saja, jika
diibaratkan manusia,
hanya
memperlihatkan
tubuh dari bagian
pinggang ke atas.
Close-up, jarak ini
memperlihatkan satu
bagian tubuh yang
mendetail
saja,
misalkan hanya pada
bagian wajah atau
tangan saja.
Dalam
gambar
tersebut (zoom in)
tampak bahwa mbak
Wid
sedang
membuka
kartu
Death, sebagai kartu
terakhir.
Close-up
-
Denotasi
“Ruang lilin” ini digunakan Mbak Wid saat
memainkan
kartu
tarotnya.
Sebuah
kartu
terakhir yang dibukanya adalah kartu Death.
Nyala lilin meninggalkan bayangan-bayangan
temaram yang menggeliat-geliat didinding,
salah satu dari lilin tersebut cahayanya mulai
surut dan kemudian padam.
Konotasi
Tergambar pada kartu tarot seorang ksatria
berkuda yang memegang sebuah panji. Ini
adalah kartu kematian yang melambangkan
sebuah akhir, atau sebuah awal.
Mitos
Kartu tarot merupakan kartu yang biasa
digunakan oleh peramal dalam meramalkan
sesuatu. Nasib, karir, dan cinta misalnya.
Tergantung ramalan apa yang dibutuhkan.
Kartu tarot terdiri dari 78 kartu dengan
bermacam-macam gambar. Gambar tersebutlah
yang melambangkan jawaban-jawaban atas
pertanyaan yang ditanyakan kepada pembaca
kartu tarot (peramal).
Salah satu lambang dalam kartu tarot
misalnya, seorang ksatria berkuda memegang
sebuah
panji.
Dalam
dunia
ramal,
ini
melambangkan kematian. Mungkin hal ini
melambangkan bahwa kematian akan datang.
Tidak
semua
ramalan-ramalan
orang
tersebut.
percaya
dengan
Mungkin
hanya
sebagian dari banyak orang yang masih percaya
akan hal-hal seperti itu. Kartu tarot bisa disebut
sebuah kepercayaan bagi dunia ramal.
2. Scene 5:
Adegan selanjutnya memperlihatkan kamar tidur Renjani. Ia
berada didepan meja rias dan sedang menyisir rambut hitamnya yang
panjang. Ia lantas mengepang rambutnya. Di sini, tampak ia sedang
mengajak seseorang bicara, namun yang diajak bicara tidak membalas kata
apapun.
Visual
Dialog/Suara
Renjani: “Kamu tahu,
kemarin malam adik
Larasati
meninggal
dunia. Tapi kamu tidak
usah sedih, kematian
itu adalah bagian dari
perjalanan
hidup.
Semua yang hidup
pasti mati.”
(pada
salah
satu
dinding terlihat sebuah
bayangan yang tidak
bergerak)
Type of shot
Medium
Close-up,
pada
jarak
ini
memperlihatkan
manusia dari dada ke
atas.
Denotasi
Renjani: “Dan setiap Medium Close-up
kematian
membuat
kamu
lebih
kuat.
Yah… kamu memang
masih kecil, tapi kamu
perlu tahu juga.”
(Renjani tidak pernah
menerima tanggapan
atau jawaban dari
Dewa)
Renjani: “Ya sudah, Long Shot, di mana
sekarang kamu mau tubuh
manusia
ikut ke makam atau tampak terlihat jelas
tingal di rumah saja?, dan latar tempat
Gimana Dewa?”
subjek berada terlihat
(Ia lalu mendekati di dalam frame.
Dewa
dan
memeluknya)
Renjani:
“Ibu
sayaaaaang
sekali
sama Dewa.”
Renjani sedang bersiap-siap untuk pergi ke
acara pemakaman pagi ini. Saat Renjani
sedang bersiap-siap, ia mengajak bicara Dewa,
seorang anak penyandang jaringan otak yang
rusak berat dan autisme, namun Dewa hanya
diam dengan pandangan menunduk.
Konotasi
Mengajak anak berkomunikasi adalah salah
satu hal yang baik. Khususnya bagi anak-anak
yang mempunyai kelainan seperti Dewa.
Karena dengan cara itulah dapat membantu
meningkatkan perkembangannya.
Dewa, dalam film ini, berperan sebagai
seorang anak yang terlahir dengan jaringan
otak yang rusak berat, tuna daksa dan juga
menderita autisme.
Tuna berarti cacat, sedangkan daksa berarti
tubuh. Pengertian tunadaksa adalah sbb:
kelainan yang meliputi cacat tubuh atau
kerusakan tubuh, kelainan atau kerusakan pada
fisik dan kesehatan, kelainan atau kerusakan
yang disebabkan oleh kerusakan otak dan saraf
tulang belakang. 67 Dewa mempunyai tubuh
yang
tidak
normal.
Walaupun
usianya
bertambah, namun tubuhnya tetap kerdil.
Mitos
Zaman dulu, orang tua yang memiliki anak
seperti ini dianggap sebagai kutukan Dewa
atau Tuhan. Mereka sengaja mengurung anak
mereka yang terlahir cacat. Mereka tidak di
ajak berkomunikasi. Hingga anak tersebut
tidak menunjukkan adanya perkembangan.
Peran
yang
dimainkan
oleh
Renjani,
menunjukkan bahwa ternyata anak-anak yang
terlahir seperti Dewa juga butuh kasih sayang
layaknya anak normal pada umumnya. Namun,
cara pendekatannya saja yang harus berbeda,
67
Sekolah Luar Biasa Kartini Batam, “Tuna Daksa”, artikel ini diakses pada 29 Juli 2011
dari www.slbk-batam.org/index.php?pilih=hal&id=73
rata-rata anak-anak yang seperti Dewa sangat
sensitif.
Maka
dari
itu,
mereka
butuh
pendekatan secara halus, dan jangan pernah
berbicara kasar pada mereka. Hal ini salah satu
yang bisa membantu perkembangan mereka
menjadi lebih baik.
3. Scene 8:
Pada scene selanjutnya, memperlihatkan suasana di pagi hari, di
mana Renjani mengajak Dewa berjalan-jalan di suatu persawahan yang
berlimpah dengan padi yang menguning. Renjani terlihat membimbing
langkah Dewa menapaki petak sawah. Renjani terus mengajaknya
berbicara,
mengenalkan
banyak
pengetahuan-pengetahuan
alam
disekitarnya, namun tetap saja Dewa menunduk pandangannya dan tidak
menanggapi pembicaraannya.
Visual
Dialog/Suara
Renjani: “ Kiri dikit,
terus maju, pinter anak
ibu…”
Renjani:
“Sssst…jangan berisik”
Renjani:”Kamu
tahu
asalnya
kupu-kupu?
Dari
telur
yang
ditetaskan ibunya, akan
muncul ulat, itu yang
sering kamu lihat di
daun pisang. Lalu ulat
itu
akan
merajut
kepompong… sebagai
rumah dimana ia akan
tidur.”
Renjani:
“Beberapa
Type of shot
Long Shot, di mana
tubuh
manusia
tampak terlihat jelas
dan latar tempat
subjek berada terlihat
di dalam frame.
Long shot
lama kemudian sang
ulatpun terbangun dan
siap
meninggalkan
rumahnya.
Tapi
bentuknya
sudah
berubah.”
Renjani:”
Ia
akan
muncul seperti kupukupu yang cantik…
cantik ya”
Renjani: “kupu-kupu
akan terbang melihat
dunia…, kamu juga,
nanti
kamu
akan
terbang untuk bisa
melihat
dunia..suatu
hari, kamu juga bisa
terbang dan melihat
dunia.”
(kemudian
Renjani
membuka tangan dan
kupu-kupu
pun
terbang).
Denotasi
Long shot
Medium shot, yakni
pada
jarak
ini
memperlihatkan
tubuh manusia dari
pinggang ke atas.
Gestur serta ekspresi
wajah mulai tampak.
Sosok manusia mulai
dominan
dalam
frame.
Close-up, jarak ini
memperlihatkan satu
bagian tubuh yang
mendetail
saja,
misalkan hanya pada
bagian wajah atau
tangan saja.
Pagi ini, Renjani mengajak Dewa berjalan-
jalan
di
suatu
persawahan.
Renjani
membimbing langkah Dewa menapaki petak
sawah.
Di
tengah
perjalanan,
mereka
menemukan seekor kupu-kupu hinggap disalah
satu dedaunan. renjani berusaha menangkap
kupu-kupu tersebut. Kedua tangan Renjani
terlihat terkatup, didalam tangan tersebut
terdapat
kupu-kupu.
Renjani
kemudian
membuka kedua tangannya. Kupu-kupu itu pun
terbang.
Konotasi
Renjani begitu hati-hati membimbing Dewa
saat berjalan-jalan di pematang sawah. Di sini,
secara tidak langsung, ia mengajarkan Dewa
pengetahuan tentang alam dan berinteraksi
langsung dengan alam.
Melihat fenomena metamorfosis kupukupu, pikiran kita akan menemukan cakrawala
baru tentang proses luar-biasanya. Berproses
dari ulat yang menjadi kepompong, dan
akhirnya berubah menjadi kupu-kupu. Ulat
adalah binatang yang menjijikan. Ulat akan
mencari jalan keluar menuju hidup yang lebih
baik dan tentunya bisa berinteraksi dengan
makhluk lain. Seekor ulat berani untuk
menahan makan dan tidur untuk berubah total
wujudnya,
demi
cita-citanya
yang
tidak
mungkin terwujud. Tetapi dengan keyakinan,
keteguhan dan rasa optimisnya, ulat akhirnya
sukses melakukan revolusi dalam dirinya, dan
berhasil
menjadi
makhluk
yang
dikagumi orang, yaitu kupu-kupu.
banyak
4. Scene 10:
Scene selanjutnya memperlihatkan saat Mbak Wid duduk disalah
satu kursi sambil memainkan kartu tarotnya. Bila sedang tidak bertugas
sebagai dokter kepala, dirumah asuh tersebut, penampilan Mbak Wid
sangat berbeda. Ia selalu mengenakan baju berwarna hitam. Rambutnya
terurai, garis matanya dibingkai celak hitam, bibirnya bergincu merah
anggur. Ia juga mengenakan satu stel perhiasan perak yang bertahtakan
batu-batuan. Terlihat Renjani sedang menyuapi nasi tim kepada Dewa
yang sedang duduk dihadapan Mbak Wid.
Visual
Dialog/Suara
Renjani:
“Anak
pintar…makannya habis.
Anak ibu memang pintar.
Dan hanya nak-anak
pintar serperti kamu
Dewa, yang hanya boleh
tinggal di sini.”
MbakWid: “Anak-anak
yang dibuang orang
tuanya. Anak-anak yang
bikin malu keluarganya.
Anak-anak yang cacatnya
dobel-dobel. Anak-anak
yang umurnya tidak
lama!”
Renjani:” Ssst Mbak
Wid, ada Dewa.”
MbakWid:”duu Renjani,
Renjani saya tahu kamu
sangat sayang terhadap
Dewa. Tapi itu anak
tidak tahu omongan kita.
Dia bukan saja jaringan
otaknya yang rusak, tapi
juga autistik. Kamu
sendirikan sudah tahu
hasil testnya.”
Renjani:”Tapi hasil test
itu
kan
Cuma
Type of shot
Medium
Close-up,
pada
jarak
ini
memperlihatkan
manusia dari dada ke
atas.
Medium Close-up
Denotasi
memberitahu
keadaan
fisiknya saja. Kita tidak
pernah tahu bagaimana
perasaan Dewa.”
Renjani sedang menyuapi nasi tim kepada
Dewa yang duduk dihadapan Mbak wid. Mbak
Wid sedang berbincang dengan Renjani.
Konotasi
Renjani
terhadap
mempunyai
ilmu
sikap
kedokteran,
yang
skeptis
apalagi
itu
menyangkut keadaan Dewa dan vonis yang
diberikan dokter kepada Dewa. Menurutnya,
banyak yang belum diketahui dan banyak pula
yang masih terus dibuktikan, terutama yang
menyangkut bidang kejiwaan manusia.
Mitos
Pada awalnya, sebagian besar kebudayaan
dalam masyarakat kita sering menggunakan
tumbuh-tumbuhan herbal dan hewan untuk
tindakan pengobatan. Hal ini sesuai dengan
kepercayaan magis mereka yakni animisme, sihir
dan menyembah dewa-dewi.
Tidak menutup kemungkinan, di zaman
modern seperti ini pun masih ada masyarakat
yang belun sepenuhnya percaya dan yakin dengan
dokter.
5. Scene 24:
Renjani membuka pintu dan melangkah memasuki kamarnya.
Suatu keadaan yang tak lazim menarik perhatian Renjani saat memasuki
kamarnya. Ketika dilihat, pintu lemarinya terbuka lebar. Tumpukan baju
yang biasa tersusun rapi kini berantakan. Tangan Renjani meraba-raba di
dalam lemari seakan sedang mencari sesuatu. Ia sedikit terperangah ketika
melihat Dewa sedang membuka sebuah kotak kenangan milik Renjani. Di
sinilah awal perkembangan Dewa. Dewa mulai memberikan respon ketika
Renjani menari ballet.
Visual
Dialog/Suara
Renjani:”Kamu
suka
sepatu ini. Namanya
sepatu ballet, ini punya
ibu. Dari kecil ibu
bercita-cita
menjadi
seorang penari ballet.
Dan
akhirnya
ibu
berhasil menjadi penari
ballet. Dan sudah menari
dimana-mana.
Tapi
akhirnya
ibu
harus
berhenti menari.”
Renjani:”ah nanti kalau
kamu sudah besar ibu
akan ceritakan.”
Type of shot
Close-up, jarak ini
memperlihatkan
satu bagian tubuh
yang
mendetail
saja,
misalkan
hanya pada bagian
wajah atau tangan
saja.
Long Shot, di
mana
tubuh
manusia tampak
terlihat jelas dan
latar tempat subjek
berada terlihat di
dalam frame.
Long Shot
-
Close-up
-
Medium Close-up,
pada jarak ini
memperlihatkan
manusia dari dada
ke atas.
-
Renjani:”
Long Shot
Dewa…Dewa…Dewa
suka ibu menari ya,
ah…ibu sayang sekali
sama kamu Dewa.”
Denotasi
Renjani melihat Dewa yang saat itu berada
dikamarnya. Lemari pakaian yang biasanya
rapi, kini terlihat berantakan. Sebuah kotak
kenangan Renjani terlihat berada disamping
Dewa,
dan
isi
dalam
kotak
tersebut
berhamburan.
Pandangan mata Renjani terus melihat
Dewa yang saat itu memegang erat sepatu
balletnya. Tiba-tiba ia memperoleh sebuah
gagasan. Ia menari diiringi musik. Ternyata
tarian dan musik tersebut direspon oleh Dewa.
Konotasi
Musik
dan
tarian
dapat
membantu
perkembangan seorang anak, khususnya anak
autis.
Tujuan dari terapi tari adalah bukan dilihat
dari segi keindahannya, tapi justru ditekankan
penggunaan media ini untuk menstimulasi
anak. Selain itu penggunaan alat-alat dalam
tarian (seperti bola, hola hoop, dsb), sekaligus
juga memberi stimulasi sensori terutama
visual ke anak. Sedangkan terapi musik,
adapun tujuannya bahwa melalui musik kita
bisa “berkomunikasi” antara klien-terapis.
Sekali
lagi
tidak
dilihat
dari
segi
keindahannya, namun lebih kepada „join
attention‟
dan
„collaborative/coordinative
action‟ antara anak-terapis. Hal ini terutama
untuk
pengembangan
komunikasi
non-
verbal68.
Mitos
Tidak semua dokter atau rumah terapi yang
menangani
anak-anak
semacam
Dewa,
menggunakan tehnik terapi musik dan tari.
Terapi semacam ini pun ternyata belum
sangat
efektif
dapat
membantu
perkembanagan anak seperti Dewa.
6. Scene 25:
Seperti biasa, Mbak Wid sedang duduk dengan tumpukan kartu
tarotnya. Di hadapannya duduk Dewa dengan posisi biasanya pula.
68
Nuruz Zaman, “Beberapa Pendapat Tentang Musik Dan Tarian Untuk Terapi Anak,”
artikel ini diakses pada 14 Juli 2011dari nuruz-zaman.blogspot.com/.../beberapa-pendapat-tentangmusik....
Renjani duduk disamping Dewa dan sedang mengocok kartu. Menuruti
permintaan Renjani, Mbak Wid bermaksud membaca nasib Dewa. Setelah
mengocok, Renjani memberikan tumpukan kartu kepada Mbak Wid.
Kemudian Mbak Wid mengisyaratkan Renjani untuk mengambil kartu.
Namun, tanpa disadari sebenarnya Renjani-lah yang sedang diramal Mbak
Wid.
Visual
Denotasi
Dialog/Suara
Mbak Wid: ”Kamu
yakin
tadi
Dewa
mengangkat
kepalanya?”
Renjani:”Iya. Senang
loh mbak, ternyata
mendapat respons dari
Dewa. Tarian dan
musik, saya pikir salah
satu pasti terapi yang
tepat untuk Dewa.”
Renjani:”Tadi
saya
sempat
telpon
beberapa teman saya,
saya
mau
Tanya
tentang pagelaran tari
atau musik, saya mau
ajak Dewa menonton”
Mbak Wid:”Ini kartu
matahari. Ini kartu
bagus. Sebuah luka
lama akan terobati.
Wah siap-siap kamu,
kamu akan mengalami
perubahan
penting
dalam hidupmu.”
Mbak Wid:”Wah, ada
cinta ini. Kartu ini
perlambang kamu akan
mendapatkan cinta.”
Type of shot
Medium Close-up,
pada
jarak
ini
memperlihatkan
manusia dari dada
ke atas.
Close-up, jarak ini
memperlihatkan satu
bagian tubuh yang
mendetail
saja,
misalkan hanya pada
bagian wajah atau
tangan saja.
Dalam
gambar
tersebut
tampak
Mbak Wid sedang
membuka kartu The
Sun.
Close-up.
Dalam
gambar
tersebut
tampak
Mbak Wid sedang
membuka kartu The
Lovers.
Tampak pada gambar, Mbak Wid sedang
memainkan
kartu
tarotnya.
Renjani
memintanya untuk meramalkan nasib Dewa.
Tanpa diketahui Renjani, sebenarnya yang
diramalkan Mbak Wid adalah Renjani.
Mbak Wid menunjukkan kartu The Sun,
kartu matahari ini biasanya melambangkan
energi positif. Kartu terakhir yang dibukanya
adalah The Lovers dan menunjukkannya
kepada Dewa dan Renjani.
Konotasi
Kartu The Sun, kartu matahari ini biasanya
melambangkan energi positif yang diperlukan
bagi penyembuhan atau kesehatan secara
umum. Kartu ini juga bisa diartikan sebagai
datangnya pembaharuan.
The
Lovers,
kartu
ini
tidak
saja
melambangkan cinta tapi juga berarti akan
adanya suatu pemersatuan, baik yang sifatnya
fisik maupun spiritual.
Mitos
Kartu tarot merupakan kartu yang biasa
digunakan oleh peramal dalam meramalkan
sesuatu. Nasib, karir, dan cinta misalnya.
Tergantung ramalan apa yang dibutuhkan.
Kartu tarot terdiri dari 78 kartu dengan
bermacam-macam
gambar.
Gambar
tersebutlah yang melambangkan jawaban-
jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan
kepada pembaca kartu tarot (peramal).
Kartu The Sun yang bergambar matahari,
melambangkan energi positif yang diperlukan
bagi penyembuhan atau kesehatan secara
umum. Kartu ini juga bisa diartikan sebagai
datangnya pembaharuan.
Kartu
The
Lovers,
tidak
saja
melambangkan cinta tapi juga berarti adanya
suatu pemersatuan, baik yang sifatnya fisik
ataupun spiritual.
Ini hanyalah sebuah ramalan manusia.
Yang menentukan takdir seseorang atau
makhluk lainnya hanyalah kuasa Allah SWT.
7. Scene 40:
Hubungan antara Renjani dan Bhisma telah terjalin lebih erat.
Keduanya telah sampai disebuah tingkat persahabatan, dimana keduanya
saling menghormati. Bhisma mengagumi keberanian dan dedikasi Renjani
dalam mengurus dan mengasuh bayi-bayinya. Sebaliknya, Renjani
menghargai sikap yang Bhisma tunjukkan kepada Dewa dan bayi-bayi
asuhannya. Mereka sedang menikmati sore di Gajah Wong Café bersama
Dewa. Seperti biasa, Dewa hanya bergeming.
Visual
Denotasi
Dialog/Suara
Type of shot
Bhisma:”Kamu sudah
diambang pintu surga. Long Shot, di mana
Mana ada di jaman tubuh
manusia
modern ini, ada orang tampak
terlihat
yang
masih
mau jelas dan latar
memikirkan nasib bayi- tempat
subjek
bayi itu.”
berada terlihat di
Renjani:”Saya
tahu dalam frame.
mungkin hidup mereka Close-up, jarak ini
tipis.
Tapi
selama memperlihatkan
jantung mereka masih satu bagian tubuh
berdetak, harus ada yang
mendetail
yang mengurusi mereka saja,
misalkan
sampai ajal mereka hanya pada bagian
tiba.”
wajah atau tangan
Bhisma:”Saya sempat saja.
berpikir, waktu pertama
kali melihat mereka. Medium
shot,
Buat
apa
mereka yakni pada jarak
dilahirkan. Seperti tidak ini memperlihatkan
berguna.
Seperti… tubuh manusia dari
biola, biola yang tidak pinggang ke atas.
ada dawainya. Seperti Gestur
serta
biola tak berdawai.”
ekspresi
wajah
Renjani:”Tidak
bisa mulai
tampak.
dimainkan, tidak bisa Sosok
manusia
menghasilkan nada-nada mulai
dominan
indah. ”
dalam frame.
Tampak Renjani dan Bhisma sedang
menikmati
sore
dengan
bersantai
dan
bercengkrama. Namun, seperti biasa, Dewa
hanya bergeming.
Konotasi
Penyandang cacat adalah manusia, selama
jantung mereka masih berdetak dan bernafas,
mereka butuh kasih sayang orang-orang
disekelilingnya sampai ajal mereka tiba.
Keberadaan mereka, ibarat sebuah biola
yang tidak berdawai. Tidak bisa dimainkan,
dan tidak bisa menghasilkan nada-nada indah.
Renjani percaya adanya keajaiban yang
diberikan Tuhan. Tuhan pasti menciptakan
sesuatu yang memiliki manfaat bagi makhluk
hidup itu sendiri ataupun bagi makhluk hidup
lainnya.
Mitos
Biola tak berdawai ini hanya sebuah mitos
yang diberikan oleh anak-anak penyandang
cacat seperti Dewa. Mereka dianggap kutukan
Tuhan. Jika kita bayangkan seorang anak yang
seperti ini, mungkin dibenak kita akan
terpikir, buat apa anak ini diciptakan oleh
Tuhan. Bukankah Tuhan menciptakan hambaNya agar bermanfaat untuk makhluk lainnya.
Jika seperti Dewa, apa manfaatnya?.
Inilah salah satu kuasa Allah SWT. Allah
menciptakan beraneka ragam makhluk hidup
dan benda-benda lainnya. Setiap ciptaan-Nya
tidak ada yang sempurna, pasti memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Kelebihan seseorang itu dapat menutupi
kekurangan
orang
lain,
dan
sebaliknya.
Jadikan kekurangannya itu adalah kelebihan
yang diberikan Allah SWT.
8. Scene 41:
Bhisma memiliki sebuah ide. Sepulang dari pertemuannya dengan
Renjani dan Dewa di Gajah Wong Café, ia ingin memainkan biola
mengiringi tarian ballet Renjani. Hal ini diharapkan Dewa dapat
memberikan tanggapan atau respon lagi. Alunan musik semakin
memuncak, bagitu juga tarian Renjani. Akhirnya, untuk yang kedua
kalinya Dewa mengangkat kepala.
Visual
Dialog/Suara
-
-
Denotasi
Type of shot
Long Shot, di mana
tubuh
manusia
tampak terlihat jelas
dan latar tempat
subjek
berada
terlihat di dalam
frame.
Medium Close-up,
pada
jarak
ini
memperlihatkan
manusia dari dada
ke atas.
Renjani perlahan-lahan terbius nada-nada
dan alunan lagu yang dimainkan oleh
Bhisma. Emosinya kian menyatu dengan
gesekan dawai Bhisma. Dewa bereaksi, ia
mengangkat kepalanya untuk yang kedua
kalinya.
Konotasi
Musik
dan
tarian
dapat
membantu
perkembangan seorang anak, khususnya anak
autis.
Tujuan dari terapi tari adalah bukan dilihat
dari segi keindahannya, tapi justru ditekankan
penggunaan media ini untuk menstimulasi
anak. Selain itu penggunaan alat-alat dalam
tarian (seperti bola, hola hoop, dsb), sekaligus
juga memberi stimulasi sensori terutama
visual ke anak. Sedangkan terapi musik,
adapun tujuannya bahwa melalui musik kita
bisa “berkomunikasi” antara klien-terapis.
Sekali
lagi
tidak
dilihat
dari
segi
keindahannya, namun lebih kepada „join
attention‟
dan
„collaborative/coordinative
action‟ antara anak-terapis. Hal ini terutama
untuk
pengembangan
komunikasi
non-
verbal69.
Mitos
Tidak semua dokter atau rumah terapi yang
menangani
anak-anak
semacam
Dewa,
menggunakan tehnik terapi musik dan tari.
69
Nuruz Zaman, “Beberapa Pendapat Tentang Musik Dan Tarian Untuk Terapi Anak,”
artikel ini diakses pada 14 Juli 2011dari nuruz-zaman.blogspot.com/.../beberapa-pendapat-tentangmusik....
Terapi semacam ini pun ternyata belum
sangat efektif dapat membantu perkembangan
anak seperti Dewa.
9. Scene 62:
Scene selanjutnya memperlihatkan Mbak Wid sedang memainkan
kartu tarotnya. Rautmukanya terlihat tegang membaca nasib yang telah
didakwa oleh permainan kartunya. Diakhir permainannya, ia membuka
kartu yang tidak sama sekali ia inginkan. Sebuah lilin pun mendadak surut
sinarnya.
Visual
Dialog/Suara
Type of shot
-
Medium shot, yakni
pada
jarak
ini
memperlihatkan
tubuh manusia dari
pinggang ke atas.
-
-
Long Shot, di mana
tubuh
manusia
tampak terlihat jelas
dan latar tempat
subjek berada terlihat
di dalam frame.
Close-up, jarak ini
memperlihatkan satu
bagian tubuh yang
mendetail
saja,
misalkan hanya pada
bagian wajah atau
tangan saja.
Dalam
gambar
tersebut (zoom in)
tampak mbak Wid
sedang
membuka
kartu Death, sebagai
kartu terakhir.
Close-up
-
Denotasi
Airmuka
Mbak
Wid
terlihat
tegang
membaca nasib yang telah didakwa oleh
permainan kartunya. Kartu The Tower yang
menggambarkan
menara
rubuh
ini
melambangkan kesengsaraan. Kartu terakhir
yang dibukanya adalah kartu kematian.
Sebuah lilin mendadak surut sinarnya, dan
kemudian padam.
Konotasi
Kartu
tarot
yang
ia
mainkan
ini,
mengisyaratkan banyak kejadian yang akan
terjadi.
Kartu
The
tower
yang
menggambarkan menara yang sedang rubuh
adalah
kartu
yang
melambangkan
kesengsaraan dan nestapa. Kartu Death
melambangkan kematian.
Mitos
Salah satu lambang dalam kartu tarot
adalah, seorang ksatria berkuda memegang
sebuah
panji.
Dalam
dunia
ramal,
ini
melambangkan kematian. Mungkin hal ini
melambangkan bahwa kematian akan datang.
Tidak
semua
orang
percaya
dengan
ramalan-ramalan tersebut. Mungkin hanya
sebagian dari banyak orang yang masih
percaya
akan
hal-hal
seperti
itu.
Kita
kembalikan semua hal mengenai takdir
kepada kuasa Allah SWT.
10. Scene 73:
Di bawah sebuah pohon yang teduh, Renjani dimakamkan
dikelilingi makam-makam bayi yang pernah diasuhnya. Penyakit yang
diderita Renjani akibat aborsi yang salah, membuatnya tak tahan hidup.
Bhisma dan Dewa bersimpuh di hadapan makam.
Visual
Dialog/Suara
-
Type of shot
Long Shot, di mana
tubuh
manusia
tampak
terlihat
jelas
dan
latar
tempat
subjek
berada terlihat di
dalam frame.
Bhisma:”Renjani… ini Long Shot
untuk kamu.”
Close-up, jarak ini
memperlihatkan
satu bagian tubuh
yang
mendetail
saja,
misalkan
hanya pada bagian
wajah atau tangan
saja.
-
Close-up
-
Denotasi
Bhisma menuntun Dewa untuk meletakkan
bunga mawar diatas pusara Renjani. Bhisma
mengeluarkan biola, dan mempersembahkan
permainan biolanya untuk Renjani. Lagu
Biola Tak Berdawai
yang ia ciptakan
mengalun indah. Ditengah permainannya,
Dewa tiba-tiba menengadahkan kepalanya ke
langit.
Tidak
hanya
itu,
Dewa
juga
mengeluarkan suara yang lirih.
Konotasi
Musik
dan
tarian
dapat
membantu
perkembangan seorang anak, khususnya anak
autis.
Tujuan dari terapi tari adalah bukan dilihat
dari segi keindahannya, tapi justru ditekankan
penggunaan media ini untuk menstimulasi
anak. Selain itu penggunaan alat-alat dalam
tarian (seperti bola, hola hoop, dsb), sekaligus
juga memberi stimulasi sensori terutama
visual ke anak. Sedangkan terapi musik,
adapun tujuannya bahwa melalui musik kita
bisa “berkomunikasi” antara klien-terapis.
Sekali
lagi
tidak
dilihat
dari
segi
keindahannya, namun lebih kepada „join
attention‟
dan
„collaborative/coordinative
action‟ antara anak-terapis. Hal ini terutama
untuk
pengembangan
komunikasi
non-
verbal70.
Mitos
Tidak semua dokter atau rumah terapi yang
menangani
anak-anak
semacam
Dewa,
menggunakan tehnik terapi musik dan tari.
Terapi semacam ini pun ternyata belum
sangat efektif dapat membantu perkembangan
anak seperti Dewa.
70
Nuruz Zaman, “Beberapa Pendapat Tentang Musik Dan Tarian Untuk Terapi Anak,”
artikel ini diakses pada 14 Juli 2011dari nuruz-zaman.blogspot.com/.../beberapa-pendapat-tentangmusik....
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mendeskripsikan dan menganalisis hasil temuan data yang telah
dikemukakan pada bab sebelumnya, maka dalam bab ini penulis akan menarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Film BTB memiliki makna denotasi sebagai film yang menggambarkan
kondisi anak-anak yang terlahir dengan segala keterbatasan, mereka
dianggap keluarga tidak berguna. Salah satunya dalam film ini banyak
menceritakan seorang anak yang terlahir dengan jaringan otak yang
rusak berat, autisme dan tuna daksa. Setiap harinya ia tidak pernah
merespon pembicaraan dan tidak pernah mengeluarkan kata-kata
apapun. Ia hanya bergeming dan terus menundukkan kepalanya.
2.
Makna konotasinya adalah anak_anak yang memiliki keterbatasan
dalam film ini diibaratkan seperti biola tak berdawai, tidak bisa
dimainkan dan tidak bisa menghasilkan atau mengeluarkan nada-nada
atau bunyi yang indah.
3.
Film ini menegaskan mitos, bahwa manusia memerlukan komunikasi
dalam kehidupan. Karena manusia adalah makhluk sosial, baik itu
komunikasi verbal maupun nonverbal sangat dibutuhkan. Sama halnya
dengan Biola Tak Berdawai, jika tidak bisa dimainkan dan
menghasilkan bunyi yang indah, biola tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai alat musik. Karena fungsi dari alat musik itu salah satunya
harus dapat menghasilkan nada-nada atau bunyi yang indah. Selain itu,
ketidakpercayaan Renjani pada kesimpulan dokter tentang fisik Dewa
hal ini mendobrak mitos orang-orang modern. Orang modern percaya
kepada dokter tentang fisik tanpa meninjau psikis seseorang.
B. Saran
Ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan mengenai film ini, yaitu:
1.
Saat menonton sebuah film, sebaiknya kita tidak pasif menerima apa
saja yang disuguhkan film tersebut. Tetapi yang harus kita lakukan
adalah bersikap lebih kritis dan menilai pesan yang sebenarnya yang
ingin disampaikan sutradara film tersebut. Sehingga kita tidak mudah
terpengaruh terpengaruh dan terprovokasi oleh sebuah film.
2.
Pada ending cerita film ini masih terlihat samar, yaitu bagaimana
keadaan rumah asuh tersebut setelah ditinggal oleh Renjani?, dan
khususnya bagaimana pula keadaan Dewa setelah kepergian Renjani?,
karena Renjani selalu menemani Dewa bercengkrama sepanjang hari,
walaupun Dewa hanya bergeming.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ayyubi, Abu Es. Hadist-Hadist Pilihan. Jakarta: Sholahuddin Press, 2009.
Biran, Misbach Yusa. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta:
Komunitas Bambu, 2009.
Christomy, Tommy. Semiotika Budaya. Depok: Universitas Indonesia, 2004.
D.A. Peransi. Film/Media/seni. Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2005.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008.
Gunadi, YS dan Djony Herfan. Himpuan Istilah Komunikasi. Jakarta: PT
Grasindo, 1998.
Kriyantono, Rahmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi ed 1. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006.
Kristanto, JB. Katalog Film Indonesia 1926-2005. Jakarta: Nalar, 2005.
Luthfi, Ikhwan, dkk. Psikologi Sosial. Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Lutters, Elizabeth. Kunci Sukses Menulis Skenario. Jakarta: Grasindo, 2006.
Mahendra, Yannnes Irwan. Dari Hobi jadi Profesional. Yogyakarta: Andi, 2010.
Martinet, Jeanne. Semiologi; Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi
Komunikasi dan Semiologi Signifikasi. Yogyakarta: Jala Sutra. cet. 1,
2010.
Mulyana, Deddy dan Rahmat, Jalaluddin. Komunikasi AntarBudaya. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2006.
Mulyana, Deddy.
Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005.
Pratista, Himawan. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008.
Rivers, L William,dkk. Media Massa dan Mayarakat Modern. (Terj.) oleh Haris
Munandar dan Dudy Priatna, Jakarta: Prenada media, 2004. ed-2.
Sendjaja, Sasa Djuarsa. Pengantar Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka
(UT), 2005.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2006.
______________. Semiotika Komunikasi . Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Vivian, John. Teori Komunikasi Massa Edisi ke-8. Jakarta: Kencana Media
Group, 2008.
Internet:
Fahmi, Ismail. “Biola Tak Berdawai”. Artikel ini diakses pada 17 Juli 2011 dari
cafe.degromiest.nl/wp/archives/30.
Farhan, Akhmad. “Komunikasi Nonverbal”. Artikel ini diakses pada 17 Juli 2011
dari akhmadfarhan.wordpress.com/2008/12/.../komunikasi-nonverbal...
Id.wikipedia.org/wiki/Biola_Tak_Berdawai. Artikel ini diakses pada tanggal 15
Juli 2011.
Id.wikipedia.org/wiki/Kedokteran. Artikel ini diakses pada tanggal 14 Juli 2011.
Kartini Batam, Sekolah Luar Biasa. “Tuna Daksa”. artikel ini diakses pada 29 Juli
2011 dari www.slbk-batam.org/index.php?pilih=hal&id=73
Summerton, David. “Definisi Film”. Artikel ini diakses pada 11 Mei 2011 dari
Ayanona. Tumblr.com.
Zaman, Nuruz. “Beberapa Pendapat Tentang Musik dan Tarian untuk Terapi
Anak”. Artikel ini diakses pada tanggal 14 Juli 2011 dari Nuruzzaman.blogspot.com/.../beberapa-pendapat-tentang-musik....
Biola Tak Berdawai
Sutradara
Sekar Ayu Asmara
Produser
Nia Dinata
Afi Shamara
Penulis
Sekar Ayu Asmara
Pemeran
Nicholas Saputra
Ria Irawan
Jajang C. Noer
Dicky Lebrianto
Musik oleh
Addie MS
Victorian Philarmonic Orchestra
Sinematografi
German G. Mintapradja
Penyunting
Dewi S. Alibasah
Distributor
Kalyana Shira Film
Warner Indonesia
Durasi
97 menit
Negara
Indonesia
Download