FAKTOR METEOROLOGI YANG MEYEBABKAN KEJADIAN HUJAN

advertisement
FAKTOR - FAKTOR METEOROLOGI YANG MEYEBABKAN
KEJADIAN HUJAN LEBAT DI KOTA BENGKULU
Pebri Surgiansyah, S.Si
ABSTRAK
Hujan lebat yang sering terjadi di kota Bengkulu sering memberikan dampak berupa banjir.
Faktor cuaca atau meteorologi yang tidak normal sering dianggap menjadi penyebab utama
terjadinya banjir. Untuk diperlukan sebuah sistem peringatan dini sebagai informasi awal
kepada masyarakat agar dapat mengantisipasi kejadian hujan lebat tersebut. Langkah pertama
yang harus dilakukan adalah dengan menganalisis kejadian hujan lebat yang telah terjadi
sebelumnya sehingga dapat diketahui faktor meteorologi yang dapat memicu terjadinya hujan
lebat dan selanjutnya digunakan sebagai acuan dasar dalam pembuatan prakiraan awal kapan
dan dimana akan terjadi hujan lebat. Dari hasil penelitian sebelumnya didapat bahwa faktor
meteorologi yang dominan meyebabkan terjadi hujan lebat di kota Bengkulu adalah aktivitas
pusaran udara tertutup (eddy current), arus angin belokan (shearline), arus udara naik
(vortisitas), dan pumpunan angin (konvergensi). Namun penelitian tersebut belum melibatkan
faktor dalam skala lokal, mengingat kondisi topografi kota bengkulu yang berada diantara
pantai dan dataran tingg, sehingga dibutuhkan penelitian lanjutan faktor meteorologi dalam
skala lokal terkait dengan kondisi topografi kota Bengkulu.
Kata kunci: meteorologi, hujan lebat, eddy, shearline, vortisitas, konvergensi.
I. PENDAHULUAN
Cuaca ekstrim dalam hal ini hujan lebat sering terjadi di wilayah Bengkulu, baik yang
mengakibatkan banjir maupun tidak. Hal tersebut mengakibatkan sangat diperlukannya
suatu sistem peringatan dini kepada masyarakat tentang akan terjadinya hujan lebat. Adanya
informasi peringatan dini kepada masyarakat, setidaknya dapat memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk melakukan antisipasi. Untuk itu, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah menganalisis kejadian - kejadian hujan lebat yang telah terjadi dan faktor faktor yang menyebabkannya, mulai dari faktor global, regional, dan lokal. Dengan
mengetahui penyebab dan faktor - faktor apa saja yang dapat memicu terjadinya hujan lebat,
dapat diketahui karakteristik yang dapat dijadikan dasar suatu prakiraan kapan dan dimana
akan terjadi hujan lebat (Zakir, 2010).
Hujan lebat dapat disebabkan oleh naiknya kelembapan udara lapisan permukaan secara
signifikan, gerak udara vertikal, kelabilan udara, pasokan uap air, dan pengaruh topografi
(Doswell et all., 1997). Beberapa faktor - faktor yang mempengaruhi intensitas terjadinya
hujan, yaitu pola cuaca apada skala lokal, adanya garis pumpunan angin (konvergensi) yang
memicu aktivitas konvektif, dan aliran kelembapan udara di lapisan permukaan yang
menyebabkan aktivitas konveksi dan gerakan udara vertikal yang kuat (Davolio et all.,
2012). Faktor - faktor meterologi yang mempengaruhi hujan lebat tidaklah selalu sama di
tiap daerah. Faktor - faktor meteorologi yang memicu terjadinya hujan lebat antara lain,
adanya aktivitas pusaran udara tertutup (eddy current), arus angin belokan (shearline), arus
udara naik (vortisitas), dan pumpunan angin (konvergensi), baik yang terjadi di atas wilayah
Bengkulu maupun di Samudera Hindia Barat Bengkulu (Surgiansyah, 2013).
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hujan
Hujan merupakan jatuhan hidrometeor yang merupakan partikel - partikel air yang memiliki
diameter 0,5 mm atau lebih. Jika jatuhan hidrometeor itu mencapai tanah disebut hujan,
akan tetapi apabila jatuhan hidrometeor tersebut tidak sampai ke tanah karena menguap lagi,
maka disebut virga (Soepangkat, 1994). Hujan terjadi dari pertumbuhan awan setelah
memenuhi beberapa syarat seperti temperatur, kelembapan, arus udara naik (vortisitas), dan
kondisi udara lingkungan yang mendukung serta tersedianya inti kondensasi yang cukup.
Mekanisme gabungan antara Wenger Bergeron dan Akresion merupakan dasar utama untuk
menghasilkan presipitasi sampai ke tanah. Proses pembentukan awan tidak selalu diakhiri
dengan terjadinya hujan. Jatuhnya butiran air sebagai hujan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain (Soekamso, 2000):
a. Jenis awan
b. Tinggi dasar awan
c. Jumlah ketersediaan uap air
d. Inti kondensasi
Banyak jenis hujan disebabkan oleh pengelompokan jenis hujan yang diamati dari sudut
pandang yang berbeda-beda, diantaranya:
a. Critchfield (1979) mengelompokkan hujan berdasarkan proses terbentuknya menjadi:
 Hujan konvektif
 Hujan orografi
 Hujan frontal
b. Berdasarkan ukuran butirannya hujan dapat dikelompokkan menjadi (Ahrens, 2009):
 Dropplet, diameter butiran antara 5x10-6 - 10-4 mm
 Drizzle, diameter butiran antara 10-4 - 5x10-4 mm
 Rain, diameter butiran antara 5x10-4 - 5x10-3 mm
 Shower, diameter butiran lebih dari 5x10-3 mm
c. Sedangkan berdasarkan intensitasnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
mengelompokkannya menjadi:
 Hujan ringan, intensitasnya 5-20 mm/hari atau
 Hujan sedang, intesintasnya 20-50 mm/hari atau
 Hujan lebat, intensitasnya 50-100 mm/hari atau
 Hujan sangat lebat, intensitasnya lebih dari 100 mm/hari
III. ANALISA CUACA
3.1 Analisa Faktor Cuaca Global
3.1.1 ENSO (El-Nino Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole)
Secara umum El Nino dapat diartikan bahwa curah hujan di sebagian besar wilayah
Indonesia berkurang, namun demikian karena luasnya wilayah Indonesia, tidak seluruh
wilayah Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Nino. Perubahan kondisi atmosfer yang
terjadi pada saat El Nino diantaranya:
1. Suhu laut yang lebih hangat dari biasanya di sepanjang Samudera Pasifik ekuator
tengah dan timur.
2. Peningkatan aktivitas konveksi terjadi di Samudera Pasifik ekuator tengah. Pusat
konveksi berpindah dari wilayah Indonesia - Australia ke timur Samudera Pasifik
ekuator tengah.
3. Melemahnya angin pasat.
4. Nilai indeks osilasi selatan negatif berarti El Nino berdampak pada berkurangnya
curah hujan di sebagian wilayah Indonesia dan apabila indeks osilasi selatan bernilai
positif berarti La Nina yang berdampak menambah curah hujan di sebagian wilayah
Indonesia.
Kejadian Indian Ocean Dipole (IOD) atau Dipole Mode (DM) dapat diartikan sebagai
tingkat ketersediaan uap air akibat dari perbedaan suhu muka laut antar Samudera Hindia
dan perairan timur Afrika. Kejadian IOD ditandai dengan pendinginan suhu muka laut yang
tidak biasa di Samudera Hindia ekuator tenggara dan pemanasan suhu muka laut di
Samudera Hindia ekuator barat. IOD dibagi menjadi dua nilai yaitu DM (+) dan DM (-),
dimana nilai positif artinya anomali suhu muka laut Samudera Hindia bagian barat lebih
besar daripada bagian timurnya, sehingga terjadi peningkatan curah hujan dari normalnya di
pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat, sedangkan untuk wilayah Indonesia
mengalami penurunan curah hujan dari normalnya. Nilai negatif berkebalikannya dan
berdampak penambahan curah hujan di sebagian wilayah Indonesia, khususnya Indonesia
bagian barat.
3.2 Analisa Faktor Cuaca Regional
3.2.1 Suhu Muka Laut (Sea Surface Temperature/SST)
Suhu muka laut merupakan sumber uap air yang berpengaruh terhadap pembentukan cuaca.
Suhu muka laut yang hangat menjadi sumber massa udara yang cukup sehingga berpotensi
membentuk awan - awan hujan.
3.2.2 MJO (Madden Julian Oscillation)
Madden Jullian Oscillation adalah fluktuasi musiman atau gelombang atmosfer yang terjadi
di kawasan tropik. MJO ini berkaitan dengan variabel cuaca penting seperti curah hujan,
perawanan, arah dan kecepatan angin. MJO mempunyai siklus 30 - 60 hari. Untuk wilayah
Indonesia, MJO berpengaruh pada saat fase ke - 4 dan 5, serta nilai radiasi balik (Outgoing
Longwave Radiation/OLR) relatif kecil, maka MJO berpeluang menambah curah hujan di
wilayah yang dilaluinya.
3.2.3 Pola Pergerakan Angin (Streamline)
Pola pergerakan angin di wilayah Indonesia secara umum dapat diketahui dari data medan
angin. Data ini digunakan untuk mengetahui adanya daerah pumpunan angin (konvergensi),
pusaran angin tertutup (eddy current) dan arus angin belokan (shearline). Daerah pumpunan
angin (konvergensi) adalah daerah pertemuan angin dimana kecepatan anginnya semakin
kecil. Konvergensi dengan wilayah yang luas di daerah tropik disebut Inter Tropical
Convergence Zone (ITCZ) yang biasanya diakibatkan karena aktivitas badai tropis di
sekitarnya. Pusaran angin tertutup (eddy current) adalah gangguan medan angin yang terjadi
karena adanya hambatan sehingga terjadi pembalikan udara pada bagian arus bawah,
akibatnya arus diatasnya tertarik ke bawah dan menghasilkan pusaran. Sedangkan arus
angin belokan (shearline) merupakan daerah belokan angin dimana kecepatan anginnya
lebih rendah dari kecepatan angin disekitarnya.
3.2.4 Indeks Surge
Indeks surge ini digunakan untuk mendeteksi terjadinya fenomena cold surge (seruakan
dingin). Cold surge merupakan aliran udara dingin yang berhembus dari daratan Asia yang
menjalar memasuki wilayah Indonesia. Cold surge dipantau melalui indeks surge, yang
merupakan hasil dari pebedaan tekanan antara daerah Gushi dengan Hongkong.
3.2.5 Arus Udara Naik (Vortisitas)
Vortisitas merupakan suatu medan vektor yang didefinisikan sebagai curl dari kecepatan
yang merupakan ukuran mikro dari perputaran pada setiap titik dalam fluida. Dalam
pembentukan konveksi, nilai vortisitas dapat digunakan sebagai indikator keadaan saat
proses terjadinya hujan di suatu wilayah (Takeda, 1971). Gerakan udara vertikal yang diberi
nilai oleh nilai vortisitas memiliki hubungan yang kuat dalam proses perubahan cuaca
dalam skala regional (Holton, 1979).
3.3 Analisa Faktor Cuaca Lokal
3.3.1 Angin Darat dan Angin Laut
Angin darat merupakan angin lokal di kawasan pantai yang terjadi pada malam hari,
arahnya datang dari daratan menuju lautan karena perbedaan suhu ketika permukaan laut
suhunya lebih tinggi daripada suhu di atas daratan yang bersebelahan. Sedangkan angin laut
merupakan angin lokal yang juga terjadi di kawasan pantai dan terjadi pada siang hari.
Umumnya angin laut lebih kuat dibandingkan angin darat dan dapat bergerak memasuki
daratan sampai sekitar 30 km dari pantai, sedangkan angin darat hanya mencapai sekitar 10
km dari pantai ke arah laut.
3.3.2 Angin Gunung dan Angin Lembah
Angin lokal di pegunungan yang terjadi pada malam hari yang bergerak dari puncak gunung
menuju lembah ketika udara di puncak gunung menjadi dingin dan rapat massanya lebih
besar dibandingkan dengan yang ada di lembah. Angin gunung juga disebut angin katabatik.
Sedangkan angin lembah merupakan kebalikan dari angin gunung. Angin lembah terjadi
pada siang hari ketika lereng gunung mendapat banyak penyinaran matahari, sehingga udara
naik sepanjang lereng gunung. Angin lembah disebut pula angin anabatik.
IV. KESIMPULAN
1. Kejadian hujan lebat di kota Bengkulu dipengaruhi oleh faktor meteorologi baik dalam
skala global, regional dan lokal.
2. Faktor meteorologi yang menyebabkan hujan lebat di kota Bengkulu meliputi aktivitas
pusaran udara tertutup (eddy current), arus angin belokan (shearline), arus udara naik
(vortisitas), dan pumpunan angin (konvergensi), baik yang terjadi di atas wilayah
Bengkulu maupun di Samudera Hindia Barat Bengkulu.
3. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dan mendalam tentang faktor meteorologi yang
menyebabkan kejadian hujan lebat di kota Bengkulu, terutama faktor meteorologi
dalam skala lokal terkait kondisi topografi kota Bengkulu.
DAFTAR PUSTAKA
Afzal, M. Zaman, Q. 2010. Case Study : Heavy Rainfall Event Over Lai Nullah Catchment
Area. Pakistan Journal of Meteorology.
Ahrens, C. D. 2009. Meteorology Today : An Introduction to Weather, Climate, and The
Environment. Mnneapolis/St. Paul West Pub.
Critchfield, H. J. 1979. Guide to Climatic Information. Western Washington State College.
Davolio, S. Buzzi, A. Malguzzi, P. Mastrangelo, D. Laviola, S. Levizzani, V. Lighezzolo, A.
Munoz, E. 2012. Analyses of Heavy Precipitation Events Over Ligurian Region. Institute
of Atmospheric Science and Climate (ISAC) of The Italian National Research Council
(CNR).
Doswell, C. A. Ramis, C. Romero, R. Alonso, S. 1997. A Diagnostic Study of Three Heavy
Precipitation Episodes in The Western Mediterranean Region. Weather and Forecasting
of American Meteorological Society.
Endarwin. 2010. Deteksi Potensi Gerak Vertikal Atmosfer di Atas Wilayah Bandung dan
Sekitarnya. Buletin Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.
Francis, P. A. Gadgil, S. 2006. Intense Rainfall Events Over The West Coast of India.
Meteorology and Atmospheric Physics. Springer.
Holton, J. R. 2004. An Introduction to Dynamic Meteorology. Elsevier Academic Press.
Lima, K. C. Satyamurty, P. Fernandez, J. P. R. 2010. Large-scale Atmospheric Conditions
Associated with Heavy Rainfall Episodes in Southest Brazil. Theoretical and Applied
Climatology. Springer.
Soekamso. 2000. Modul Fisika Awan. Badan Diklat Meteorologi dan Geofisika Jakarta.
Soepangkat. 1994. Pengantar Meteorologi. Balai Diklat Meteorologi dan Geofisika Jakarta.
Surgiansyah, P. 2013. Analisis Vortisitas Terhadap Kejadian Hujan Ekstrim di Kota Bengkulu
Berdasarkan Data Tahun 2011 dan 2012. Universitas Bengkulu.
Syahidah, M. 2010. Keterkaitan Borneo Vortex Terhadap Curah Hujan di Wilayah Indonesia
Bagian Barat dan Tengah. Institut Teknologi Bandung.
Takeda, T. 1971. Numerical Simulation of Precipitation Convective Cloud : The Formation of
Long Lasting Cloud. Journal of Armospheric Science.
Villarini, G. Smith, J. A. Baeck, M. L. Vitolo, R. Stephenson, D. B. Krajewski, W. F. 2011.
On The Frequency of Heavy Rainfall for The Midwest of The United State. Journal of
Hydrology.
Wu, L. Huang, R. He, H. 2010. Synoptic Characteristic of Heavy Rainfall Events in Premonsoon Season in South China. Atmospheric Science.
Zakir, A. 2010. Modul Diklat Meteorologi Publik. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Jakarta.
Zakir, A. Sulistya, W. Khotimah, M. K. 2010. Perspekstif Operasional Cuaca Tropis. Buletin
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.
Download