BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dental Plak Dental plak

advertisement
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Dental Plak
Dental plak merupakan suatu deposit lunak yang terdiri atas kumpulan bakteri
yang berkembang biak di dalam lapisan suatu matrik intraseluler. Lapisan ini
terbentuk dan melekat erat pada permukaan gigi bila seseorang mengabaikan
kebersihan gigi dan mulutnya (Forest, 1995). Dalam jumlah sedikit plak tidak
dapat terlihat kecuali apabila telah diwarnai dengan disclosing solution atau telah
mengalami diskolorasi oleh pigmen – pigmen yang berada dalam rongga mulut.
Apabila plak telah menumpuk, plak akan terlihat berwarna abu – abu, kekuningan
dan kuning. Plak biasanya terbentuk pada sepertiga permukaan gingival dan pada
permukaan gigi yang cacat dan kasar (Manson, 1993 ; Megananda et al, 2009).
2.1.1 Mekanisme pembentukan dental plak
Mekanisme pembentukan plak terdiri dari dua tahap yaitu tahap pembentukan
lapisan acquired pelicle dan tahap proliferasi bakteri. Acquired pelicle merupakan
deposit selapis tipis dari protein saliva terdiri – dari glikoprotein yang terbentuk
beberapa detik setelah menyikat gigi. Setelah pembentukan acquired pellicle,
bakteri mulai berproliferasi disertai dengan pembentukan matriks inter bakterial
yang terdiri dari polisakarida ekstraseluler. Polisakarida ini terdiri dari levan,
dextran, protein saliva dan hanya bakteri pembentuk polisakarida ekstraseluler
yang dapat tumbuh, yakni Streptococcus mutans, Streptococcus bovis,
Streptococcus sanguis dan Streptococcus salivarius, sehingga pada 24 jam
2
pertama terbentuklah lapisan tipis yang terdiri dari jenis coccus. Bakteri tidak
membentuk suatu lapisan yang kontinyu diatas permukaan aquirec pelikel
melainkan suatu kelompok – kelompok kecil yang terpisah, suasana lingkungan
pada lapisan plak masih bersifat aerob sehingga hanya mikroorganisma aerobik
dan fakultatif yang dapat tumbuh dan berkembang biak
(Klaus,1989 ;
Manson,1993 ; Caranza, 2006).
Pada awal ploriferasi bakteri yang tumbuh adalah jenis coccus dan bacillus
fakultatif (Neisseria, Nocardia dan Streptococcus), dari keseluruhan populasi 50%
terdiri
dari
Streptococcus
mutans
(Willet,
1991).
Dengan
adanya
perkembangbiakan bakteri maka lapisan plak bertambah tebal karena adanya hasil
metabolisme dan adesi bakteri pada permukaan luar plak, lingkungan dibagian
dalam plak berubah menjadi anaerob. Setelah kolonisasi pertama oleh
Streptococcus mutans berbagai jenis mikroorganisma lain memasuki plak, hal ini
dinamakan “Phenomena of succession”, pada keadaan ini dengan bertambahnya
umur plak, terjadi pergeseran bakteri di dalam plak (Semaranayake, 2006).
Pada tahap kedua, dihari kedua sampai keempat apabila kebersihan mulut
diabaikan, coccus gram negatif dan bacillus bertambah jumlahnya (dari 7%
menjadi 30%) dimana 15% diantaranya terdiri dari bacillus yang bersifat anaerob.
Pada hari kelima Fusobacterium, Actinomyces dan Veillonella yang aerob
bertambah jumlahnya. Pada saat plak matang dihari ketujuh ditandai dengan
munculnya bakteri jenis Spirochaeta, Vibrio dan jenis filamen terus bertambah,
dimana peningkatan paling menonjol pada Actinomyces naeslundi. Pada hari ke-
3
28 dan ke-29 jumlah Streptococcus terus berkurang (Semaranayake, 2006 ;
Gurenlian, 2007 ; Megananda et al, 2009).
2.1.2 Faktor – faktor yang mempengaruhi pembentukan dental plak
Menurut Carlsson (dalam Klaus, 1989) faktor – faktor yang mempengaruhi
proses pembentukan dental plak adalah sebagai berikut :
1.
Lingkungan fisik yang meliputi anatomi dan posisi gigi, anatomi jaringan
sekitarnya, struktur permukaan gigi, dimana plak akan jelas terlihat setelah
dilakukan pewarnaan dengan menggunakan disclosing solution. Pada daerah
yang terlindung karena kecembungan permukaan gigi, gigi yang letaknya
salah, permukaan gigi dengan kontur tepi gusi yang buruk, permukaan
email yang cacat dan daerah cemento enamel junction yang kasar, terlihat
jumlah plak yang terbentuk lebih banyak.
2.
Friksi atau gesekan oleh makanan yang dikunyah pada permukaan gigi yang
tidak terlindung dan pemeliharaan kebersihan mulut dapat mencegah atau
mengurangi penumpukan plak di permukaan gigi.
3.
Pengaruh diet terhadap pembentukan plak ada dua aspek yaitu : pengaruhnya
secara fisik dan pengaruhnya sebagai sumber makanan bagi bakteri di dalam
plak. Keras lunaknya makanan mempengaruhi pembentukan plak, plak akan
terbentuk apabila kita lebih banyak menkonsumsi makanan lunak.
Terutamanya makanan yang mengandung karbohidrat jenis sukrosa karena
4
akan menghasilkan dektran dan levan yang memegang peranan penting dalam
pembentukan matrik plak.
2.1.3 Struktur dan komposisi dental plak
Secara keseluruhan dental plak terdiri dari air dan berbagai macam
mikroorganisme yang bekembang biak dalam suatu matrik interseluler yang
terdiri dari polisakarida ekstra seluler dan protein saliva. Plak 80% terdiri dari air
dan mikroorganisme yang jumlahnya kurang lebih 250 juta per mg berat basah.
Pada plak terdapat pula sel – sel epitel lepas, lekosit dan partikel – partikel sisa
makanan, garam – garam anorganik terutama kalsium, fosfat dan fluor.
Komposisi bakteri dari plak pada permukaan luar terdiri dari bakteri jenis
aerobic, sedangkan pada permukaan bagian dalam terdiri dari bakteri anaerob.
Bakteri anaerob cendrung lebih banyak karena oksigen yang masuk kebagian
dalam hanya sedikit sehingga memungkinkan bakteri anaerob tumbuh dengan
subur. Bakteri di dalam plak tidak sama dengan yang terdapat dalam rongga
mulut, lactobacillus yang dulu dikira penyebab utama karies ternyata hanya
sejumlah kecil pada plak dan dalam saliva jumlahnya lebih banyak. Sedangkan
Streptococcus sangat sedikit jumlahnya di dalam saliva dan banyak pada dental
plak.
Bakteri – bakteri yang berada di dalam plak selain bisa menghasilkan asam
(asidogenik) dari makanan yang mengandung karbohidrat juga dapat bertahan dan
berkembang biak dalam suasana asam (asidurik). Distribusi bakteri di dalam plak
sangat bervariasi, namun pada umumnya bakteri di lapisan bagian dalam
5
berkumpul membentuk koloni yang lebih padat serta mempunyai dinding yang
lebih tebal, terutamanya dari jenis coccus (Willett, 1991 ; Gurenlian, 2007 ;
Samaranayake, 2009).
Komposisi matriks interseluler dari dental plak terdiri atas polisakarida
ekstraseluler yang dibentuk oleh jenis bakteri tertentu di dalam plak. Jenis utama
bakteri yang mempunyai kemampuan untuk membentuk polisakarida ekstraseluler
adalah beberapa strain Streptococcus yaitu Streptococcus mutans, Streptococcus
bovis, Streptococcus sanguis dan strain Streptococcus lainnya. Bakteri – bakteri
ini membentuk polisakarida ekstraseluler dari karbohidrat, terutama sukrosa
merupakan substrat utama bagi pembentukan dekstran yang merupakan polimer
glukosa dan levan yang merupakan polimer fruktosa. Pada permukaan licin dari
gigi, koloni dilakukan terutama oleh jenis – jenis bakteri yang mempunyai
kemampuan untuk membentuk dekstran, misalnya Streptococcus mutans.
Sedangkan
pada
permukaan
akar
yang
lebih
terlindung
terhadap
tekanan – tekanan mekanik, organisma pembentuk levan seperti Odontomyces
viscosus akan berkoloni membentuk plak (Willet, 1991 ; Caranza, 2006 ;
Megananda et al., 2009).
Disamping polisakarida ekstraseluler, matriks dari plak juga mengandung
asam – asam amino yang merupakan karakteristik dari glikoprotein saliva,
sisa – sisa sel bakteri yang telah mengalami lisis dan beberapa mineral. Dental
plak mengandung kalsium dan fosfat yang lebih tinggi daripada di dalam saliva.
Bila diet banyak mengandung sukrosa atau gula – gula maka konsentrasi kalsium
dan fosfat akan turun dengan cepat. Ini disebabkan karena kebutuhan bakteri akan
6
unsur – unsur tersebut meningkat sewaktu metabolisma gula – gula (Willet,
1991 ; Megananda et al, 2009).
2.2 Streptococcus mutans
Gambar 2.1 Streptococcus mutans (Nugraha, 2010).
Klasifikasi Streptococcus mutans (Nugraha, 2010) :
Kingdom
: Monera.
Divisio
: Firmicutes.
Class
: Lactobacilalles.
Family
: Streptococcaceae.
Genus
: Streptococcus.
Species
: Streptococcus mutans.
Streptococcus adalah bakteri sferis Gram positif yang khasnya berpasangan
atau membentuk rantai selama pertumbuhannya dan merupakan flora normal
rongga mulut. Streptococcus mempunyai bentuk sel bulat atau lonjong dengan
7
garis tengah sekitar 2µm. Koloninya berpasangan atau berantai, tidak bergerak
(non motil) dan tidak berspora, metabolismenya anaerob, namun dapat hidup
secara anaerob fakultatif. Streptococcus mutans mempunyai delapan serotipe
(a – h) pertamakali ditemukan oleh Bratthel (1970) yaitu serotipe a, b, c, d, e
kemudian Perch (1974) menemukan serotipe f, g dan Whiley (1988) menemukan
serotipe h (Rayafani, 2003). Bakteri ini tumbuh secara optimal pada suhu sekitar
18º-40º C, pada pH 5,2 – 7 sesuai pH plak. Pertumbuhan Streptococcus cendrung
kurang subur pada medium padat atau kaldu kecuali diperkaya dengan darah atau
cairan jaringan (Jawetz, 2008 ; Suprastiwi, 2010 ; Wikipedia, 2010).
Streptococcus mutans merupakan kelompok dari Streptococcus viridians, ciri
khas organisme ini adalah sifat α hemolitik tetapi dapat juga non hemolitik.
Streptococcus mutans dapat dibedakan dari Streptococcus lainnya di rongga mulut
karena kemampuannya untuk
memfermentasi sorbitol dan manitol, serta
menghasilkan berbagai enzim dan substansi ekstraseluler. Streptococcus mutans
mampu mensintesis polisakarida besar seperti mutan, dekstran atau levans dari
sukrosa yang merupakan polisakarida yang lengket. Oleh karena kemampuannya
ini, bisa mendukung dan menyebabkan bakteri lain menuju ke email gigi,
mendukung pertumbuhan bakteri asidurik yang lain dan melarutkan email dan
berperan penting pada pembentukan karies gigi. (Willet, 1991 ; Jawetz, 2008 ;
Nugraha, 2010). Streptococcus mutans dapat menimbulkan terjadinya karies gigi
apabila jumlahnya di dalam saliva mencapai <105 untuk low caries activity dan
> 106 untuk high caries activity (Semaranayake, 2009).
8
2.2.1 Faktor – faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri
Pertumbuhan adalah peningkatan jumlah semua komponen organisma secara
teratur. Pertumbuhan bakteri berarti jumlah bakteri tersebut bertambah dan
berakumulasi sebagai koloni yang merupakan populasi yang terdiri atas miliaran
sel (Jawetz, 2008 ; Radji, 2010).
Untuk membuat media pertumbuhan bakteri yang cocok harus mengandung
semua zat makanan yang diperlukan oleh organisma agar dapat dibiakkan.
Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri adalah :
1.
Suhu
Sebagian besar bakteri tumbuh optimal pada suhu tubuh manusia. Bakteri di
golongkan menjadi tiga bagian besar berdasarkan perbedaan suhu tumbuh,
yaitu : hidup di udara dingin, pada suhu 15 – 200C (psikrofilik), hidup di
udara bersuhu sedang, pada suhu 25 – 400C (mesofilik) dan hidup di udara
panas, suhu 50 – 600C (termofilik). Streptococcus merupakan bakteri
mesofilik yang tumbuh pada suhu 18 – 400C dan tumbuh optimum disekitar
suhu inangnya berkisar 370C. Untuk menginkubasi biakan bakteri, suhu
inkubator diatur pada suhu 370C.
2.
Konsentrasi ion Hidrogen (pH)
Sebagian besar organisma memiliki kisaran pH optimal yang cukup sempit.
pH optimal harus ditentukan secara empiris untuk masing – masing spesies.
Sebagian besar organisma (neutrofil) paling baik tumbuh pada pH 6,0 – 8,0,
9
meskipun beberapa bentuk (asidofil) mempunyai pH optimal 3,0 dan yang
lainnya (alkalifil) mempunyai pH optimal 10,5. Ketika dibiakkan di
laboratorium bakteri sering memproduksi asam yang biasanya berpengaruh
pada pertumbuhan bakteri itu sendiri. Untuk menetralkan asam dan
mempertahankan pH, dapar kimia dapat ditambahkan ke dalam media.
Pepton dan asam amino bekerja sebagai dapar pada beberapa media
perbenihan.
3.
Tekanan osmotik dan kekuatan ionik
Faktor – faktor seperti tekanan osmotik dan konsentrasi garam harus
dikendalikan. Bakteri memperoleh semua nutrisi dari cairan disekitarnya,
bakteri membutuhkan air untuk pertumbuhan. Tekanan osmotik yang tinggi
dapat menyebabkan air keluar dari dalam sel. Organisme yang memerlukan
konsentrasi garam tinggi disebut halofilik, organisme yang memerlukan
tekanan osmotik tinggi disebut osmofilik.
4.
Oksigen
Banyak organisma adalah obligat aerob yang secara spesifik memerlukan
oksigen sebagai akseptor hidrogen. Beberapa organisma bersifat fakultatif
yang mampu hidup secara aerob maupun anaerob dan organisme yang lain
adalah obligat aerob memerlukan zat selain oksigen sebagai akseptor
hidrogen dan menjadi sensitif terhadap inhibisi oksigen.
5.
Zat kimia
10
Selain
air,
unsur
penting
yang
dibutuhkan
untuk
pertumbuhan
mikroorganisme adalah unsur kimia antara lain : karbon, nitrogen, sulfur,
fosfor dan unsur kelumit (misalnya : Cu, Zn dan Fe) (Jawetz, 2008 ; Radji,
2010).
2.2.2 Daya hambat antibakteri
Antibakteri merupakan bahan atau senyawa yang khusus digunakan untuk
kelompok bakteri. Antibakteri dapat dibedakan berdasarkan mekanisme kerjanya,
yaitu antibakteri yang menghambat pertumbuhan dinding sel, antibakteri yang
mengakibatkan perubahan permeabilitas membrane sel atau menghambat
pengangkutan aktif melalui membrane sel, antibakteri yang menghambat sintesis
protein dan antibakteri yang menghambat sintesis asam nukleat sel. Aktivitas
antibakteri dibagi menjadi dua yaitu bakteriostatik (menghambat pertumbuhan
tetapi tidak membunuh, bakteri tumbuh lagi setelah agen dihilangkan) dan
bakterisid (bakteri tidak dapat tumbuh lagi walaupun tidak terkena zat itu lagi)
(Brooks et al.,2005 ; Jawetz, 2008). Kekuatan daya hambat bakteri dikategorikan
menurut Davis dan Stout (1971) dibagi atas : sangat kuat (zona bening > 20mm),
kuat (zona bening 10 – 20mm), sedang (zona bening 5 – 10mm), lemah (<5mm)
(Dewi,2010).
Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode difusi disk dan
metode pengenceran. Uji difusi disk dilakukan dengan mengukur diameter zona
bening (clear zone) yang merupakan petunjuk adanya respon penghambatan
pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam ekstrak. Syarat jumlah
11
bakteri untuk uji kepekaan atau sensitivitas yaitu 105 – 108 CFU/ml (Hermawan et
al., 2007). Untuk mengukur zona bening yang disekitar difusi disk dengan
menggunakan jangka sorong secara vertical, horizontal dan diagonal, kemudian
dirata – ratakan dalam millimeter (Pertiwi, 2005).
2.3 Potensi Patologis Dental Plak Terhadap Terjadinya Penyakit Jaringan
Keras dan Jaringan Lunak Gigi
Plak yang melekat erat pada permukaan gigi dan gingival mempunyai potensi
yang cukup besar terhadap terjadinya penyakit pada jaringan keras gigi maupun
jaringan pendukungnya. Keadaan ini disebabkan karena plak mengandung
berbagai macam bakteri dengan berbagai macam hasil metabolismenya. Penyakit
yang ditimbulkan oleh bakteri terhadap jaringan keras gigi maupun jaringan
pendukungnya
tergantung
dari
umur
dan
ketebalan
plak
(yang
akan
mempengaruhi pH, komposisi organik dan anorganik serta macam dan jumlah
bakteri), jenis makanan dalam diet dan banyaknya aliran saliva. Metabolisme
karbohidrat oleh bakteri asidogenik akan menghasilkan pembentukan dan
penimbunan asam, asam ini akan mengakibatkan terjadinya dekalsifikasi dan
destruksi permukaan gigi sehingga terjadi karies. Sedangkan metabolisme protein
akan menghasilkan bahan toksik terhadap jaringan lunak, selain itu juga
menghasilkan produksi basa seperti NH3 yang dapat meningkatkan pH dan
merangsang deposisi serta penimbunan garam kalsium dan fosfat yang
menyebabkan terjadinya kalkulus (Klaus, 1989 ; Megananda et al, 2009).
12
2.3.1 Dental plak sebagai penyebab terjadinya karies
Bakteri – bakteri dalam plak yang melekat pada permukaan gigi terutamanya
Streptococcus dan Lactobasilus akan memetabolisme sisa makanan yang bersifat
kariogenik terutama yang berasal dari jenis karbohidrat yang fermentable, seperti
sukrosa, glukosa, fruktosa, maltose. Gula ini mempunyai molekul yang kecil dan
mempunyai berat yang rendah sehingga mudah meresap dan dimetabolisme oleh
bakteri, hasil metabolisme oleh bakteri tersebut selain dapat menghasilkan asam
juga menghasilkan polisakarida ekstraseluler dan polisakarida intraseluler, alkohol
dan CO2. Selain dihasilkan oleh Streptococcus dan Lactobasilus, asam dan
polisakarida ekstraseluler dan intraseluler juga dihasilkan oleh Stapilococcus,
Neisseria, Enterococcus, akan tetapi bakteri ini tidak tahan hidup dalam
lingkungan asam dan hanya dapat hidup sampai pH 6 – 6,5, sedangkan
Streptococcus dapat tahan sampai pH 4,5 dan Lactobacilus dapat tahan sampai
pH 4. Streptococcus dan Lactobasilus selain asidogenik juga bersifat asidurik
(Kidd, 1992).
Asam yang paling banyak dihasilkan adalah asam laktat, selain itu juga asam
piruvat, asam asetat, asam propionate dan asam formiat. Asam yang terbentuk dari
hasil metabolisme ini selain dapat merusak gigi, juga dipergunakan oleh bakteri
untuk mendapatkan energi. Asam – asam ini akan dipertahankan oleh plak
permukaan email dan akan mengakibatkan turunnya pH di dalam plak dan pada
permukaan email sampai 5,2 – 5,5 (pH kritis) dalam waktu 1-3 menit, tetapi
adapula yang mengatakan bahwa Streptococcus untuk menurunkan pH permukaan
email menjadi pH 6,0 – 5,0 membutuhkan waktu kurang dari 13 menit. Pada
13
Lactobasilus memerlukan waktu beberapa hari untuk menghasilkan penurunan pH
yang sama. Plak akan bersifat asam untuk beberapa waktu dan akan kembali ke
pH normal (pH 7) dibutuhkan waktu 30 – 60 menit. Pada seseorang yang terlalu
sering mengkonsumsi gula dan terus – menerus maka pH akan tetap dibawah pH
normal, dalam waktu tertentu akan mengakibatkan terjadinya demineralisasi dari
permukaan email yang rentan diikuti dengan terjadinya pelarutan kalsium dan
phospat dari email, selanjutnya akan terjadi kerusakan / destruksi email sehingga
terjadilah karies gigi (Megananda et al, 2009 ; Semaranayake, 2009 ; Wikipedia,
2010).
Menurut Gibbons dan Banghart (1967), Jordan dan Kayes (1966) menyatakan
bahwa Streptococcus kariogenik mempunyai sifat – sifat yang memegang peranan
utama dalam proses karies gigi. Streptococcus memfermentasi berbagai jenis
karbohidrat menjadi asam sehingga mengakibatkan turunnya pH. Streptococcus
membentuk dan menyimpan polisakarida intraseluler dari berbagai jenis
karbohidrat kemudian polisakarida simpanan ini dapat dipecah kembali oleh
bakteri tersebut apabila karbohidrat eksogen berkurang, sehingga asam akan terus
menerus terbentuk. Streptococcus juga memiliki kemampuan untuk membentuk
polisakarida ekstraseluler (dekstran dan levan) yang menyebabkan sifat adesif dan
kohesif dari plak (Kidd, 1992 ; Willet, 1991).
Katz (1971) menggambarkan proses karies gigi secara diagramatik sebagai
berikut (Megananda et al, 2009) :
Bakteri + karbohidrat ----- polisakarida extraseluler (PES)
14
PES + bakteri + saliva ------ plak gigi
Bakteri asidogenik dalam plak + karbohidrat ------ asam
Asam + permukaan gigi -------- karies gigi.
2.3.2 Dental plak sebagai penyebab kelainan jaringan periodontal
Faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit periodontal antara
lain adalah bakteri dalam plak, kalkulus, material alba dan food debris. Semua
faktor lokal tersebut terjadi akibat kurangnya kebiasaan memelihara kebersihan
gigi dan mulut. Loe et al (1965) mengadakan penelitian mengenai proses
terjadinya gingivitis pada pasien – pasien dengan gingival sehat, dengan cara
mengabaikan kebersihan gigi dan mulut serta meneliti perubahan – perubahan
yang terjadi pada mikroflora plak. Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan
yang erat antara plak dan gingivitis. Gejala – gejala klinis gingivitis mulai terlihat
10 – 21 hari setelah prosedur pembersihan gigi dan mulut dihentikan. Theilade
dan Ritz menyatakan bahwa dengan bertambahnya umur plak juga akan terjadi
perubahan pada jumlah dan jenis bakteri. Coccus dan batang Gram positif
merupakan bakteri yang dominan pada permulaan, setelah beberapa hari akan
berkurang. Selanjutnya coccus Gram negatif, filamen fusobakterium, vibrio,
spirochaeta dan jenis lainnya akan bertambah dan terdapat bukti – bukti bahwa
perubahan – perubahan ini berhubungan erat dengan bertambahnya potensi
patologis plak gigi terhadap periodontal (Klaus, 1989 ; Manson,1993).
15
Terjadinya inflamasi pada gingival oleh bakteri di dalam plak disebabkan
karena bakteri tersebut menghasilkan enzim – enzim yang mampu menghidrolisa
komponen interseluler dari epitel gingival dan jaringan ikat di bawahnya.
Enzim – enzim hidrolitik yang berperan pada proses inflamasi ini yaitu enzim
hialuronidase, lipase, kolagenase, betaglukoranidase, chondrolitin sulfatase,
dekarboksilase, peroksidase dan katalase. Beberapa jenis bakteri berbentuk
filament seperti Bacteroides melaninogenicus mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan
kolagenase
(enzim
yang
dapat
menghidrolisa
kolagen),
Odontomyces viscosus dan beberapa jenis lainnya mempunyai potensi patogenik
terbesar terhadap gingival. Iritasi terjadi karena toxin yang dihasilkan oleh bakteri
dalam plak dan akan mengakibatkan degenerasi dari epitel gingival dan inflamasi
jaringan ikat dibawahnya. Dinding sel dari bakteri Gram negatif yang banyak
terdapat pada plak dewasa mengandung endotoksin yang akan dilepaskan setelah
bakteri tersebut mati. Bakteri dalam plak dan hasil metabolismenya merangsang
terjadinya reaksi antigen antibodi yang abnormal pada jaringan gingival sebagai
respon tubuh terhadap antigen bakteri (Semaranayake, 2006 ; Megananda, 2009).
2.4 Pencegahan dan Kontrol Terhadap Pembentukan Dental Plak
Menurut Loe (1965), Wilcox dan Everett (1963), bahwa ada atau tidaknya
plak pada permukaan servikal gigi tidak dipengaruhi oleh makanan yang lewat
melalui rongga mulut. Sedangkan menurut Lindhe dan Wicen (1969) bahwa
mengunyah makanan dalam bentuk kasar dan berserat tidak mencegah
pembentukan plak, walaupun sudah ada self cleansing gigi - geligi yang berperan
dalam pemeliharaan oral hygiene manusia. Oleh karena itu pencegahan dan
16
pengontrolan terhadap pembentukan plak gigi harus didasarkan atas usaha
pemeliharaan oral hygiene yang dilakukan secara aktif (Megananda et al, 2009).
Adapun usaha – usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengontrol
pembentukan dental plak meliputi : mengatur pola makanan, tindakan secara
kimiawi terhadap bakteri dan terhadap polisakarida ekstra seluler, serta tindakan
mekanis berupa pembersihan rongga mulut dan gigi dari semua sisa makanan,
bakteri dan hasil – hasil metabolismenya (Forrest, 1995).
2.4.1 Kontrol plak secara kimiawi
Secara kimiawi kontrol plak bisa dilakukan dengan penekanan pada koloni
bakteri dan penekanan terhadap pembentukan polisakarida ekstraseluler.
Berdasarkan sifat – sifat mikrobiologis dari plak telah dilakukan berbagai usaha
untuk mencegah bakteri berkolonisasi di atas permukaan gigi. Beberapa penelitian
dilakukan dengan menggunakan antibiotik dan senyawa antibakteri lainnya selain
antibiotik, untuk mencegah terbentuknya plak. Loe et al (1969) menggunakan
0,25% tetracycline untuk kumur - kumur ternyata tidak terbentuk dental plak.
Fitzergerald (1955), Muhlemann et al (1961) dan Larses (1963) mengadakan
percobaan dengan menggunakan penicillin dan tertracycline untuk mencegah
terbentuknya plak, ternyata dental plak tidak terbentuk, sehingga mereka
mengambil kesimpulan bahwa pencegahan pembentukan plak dapat dilakukan
dengan cara menekan pertumbuhan oral flora, dengan demikian mikroorganisme
tidak berkolonisasi di atas permukaan gigi. Meskipun berbagai antibiotik telah
ditemukan
untuk
mencegah
dan
mengurangi
terbentuknya
plak,
akan
17
menimbulkan efek samping bila digunakan secara terus – menerus, timbulnya
strain – strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik dan tidak dapat diabsorpsi
oleh jaringan sehingga tetap tinggal di rongga mulut (Forrest, 1995).
Senyawa – senyawa antibakteri lain selain antibiotik telah banyak digunakan
pada pasta gigi, obat kumur dan pemakaian secara topikal untuk perawatan
penyakit periodontal. Miller (1889) menyatakan bahwa berdasarkan teori
Chemico Parasitic, karies dapat dicegah dengan menggunakan antibakteri untuk
mencegah terbentuknya plak. Pemakaian antiseptik khlorhexidin dapat mencegah
bahkan dapat menghilangkan plak yang telah terbentuk, khlorhexidin efektif
terhadap bakteri Gram positif maupun negatif. Menurut Huge dan Longworth
(1966) bahwa efek primer dari antiseptik dan antimukotik khlorhexidin adalah
dengan merusak dinding sel bakteri. Tetapi khlorhexidin juga mempunyai efek
samping yaitu diskolorasi gigi dan lidah serta gangguan pengecapan setiap selesai
berkumur. Keyes et al (1966) meneliti efek dari fluor yang diaplikasikan secara
topikal terhadap pembentukan plak, ternyata terdapat pengurangan jumlah plak
yang terbentuk sebagai efek antibakteri dari fluor tersebut ( Megananda et al,
2009 ; Astoeti, 2010).
2.5 Mengkudu Sebagai Bahan Alternatif Obat Kumur
18
Gambar 2.2 Buah Mengkudu Tipe 1 (Djauhariya et al, 2006).
Klasifikasi mengkudu (Djauhariya, 2003) :
Filum
: Angiospermae
Sub filum
: Dicotyledoneae
Divisio
: Lignosae
Family
: Rubiaceae
Genus
: Morinda
Spesies
: M. citrifolia, L.
Mengkudu atau Morinda citrifolia sudah sangat populer untuk bahan
pengobatan tradisional dikawasan Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik dan Karibia.
Semua bagian tanaman mengkudu seperti akar, kulit batang, daun dan buah
berkhasiat untuk obat dan telah digunakan secara luas sejak zaman purba,
terutama di Vietnam, Thailand, Malaysia, Indonesia, Polinesia, Hawai dan Samoa.
Penggunaan mengkudu untuk mengobati berbagai macam penyakit antara lain :
19
gangguan pencernaan (diare dan radang usus), infeksi dada (batuk, TBC, asma),
infeksi mata, gangguan tenggorokan dan mulut (radang, gusi bengkak, sariawan,
sakit gigi) (Waspodo, 2000) dan dengan berkumur –kumur menggunakan sari
buah mengkudu dapat mengurangi terbentuknya plak pada gigi (Raiyanti et al,
2004).
2.5.1 Jenis dan varietas mengkudu
Berdasarkan penampilan fisik buahnya, mengkudu dapat dibedakan menjadi
dua macam, yakni mengkudu berbiji dan tidak berbiji. Keduanya berkhasiat obat,
tetapi mengkudu yang tidak berbiji sangat jarang ditanam atau dikenal orang.
Buku Ensiklopedi Nasional Indonesia menyebut dua spesies mengkudu. Pertama
Morinda citrifolia yang berdaun lonjong besar berwarna hijau mengkilap. Kedua
Morinda elliptica yang berdaun jorong meruncing, keduanya termasuk famili
Rubiaceae (kopi – kopian). Sementara K. Heyna dalam Tumbuhan Berguna
Indonesia menyebutkan beberapa spesies mengkudu antara lain Morinda
citrifolia, M. braceata, M speciosa, M.elliptica, M. tinctoria dan M. oleifera.
Karena penampilannya yang selalu hijau sepanjang tahun tanaman ini tergolong
tumbuhan ever green (Goretti, 2000).
2.5.2 Ciri – ciri umum mengkudu
Mengkudu merupakan tanaman tropis dapat tumbuh diberbagai tipe lahan dan
iklim. Kondisi lahan yang sesuai untuk tanaman mengkudu adalah pada lahan
terbuka cukup sinar matahari, ketinggian tempat 0 -1500m dari permukaan laut,
tekstur tanah liat, liat berpasir, dekat dengan sumber air, subur, gembur, banyak
20
mengandung bahan organik dan drainase cukup baik. Adanya bulan kering
dibawah tiga bulan berhubungan dengan pembungaan dan pembuahan, hujan yang
tinggi akan menyebabkan bunga gugur dan tidak terjadi pembuahan (Djauhariya,
2010).
Pohon mengkudu tidak begitu besar, tingginya antara 4-6m. Batangnya
bengkok – bengkok, berdahan kaku dan memiliki akar tunggang yang tertancap
dalam. Kulit batang coklat keabu – abuan atau coklat kekuning – kuningan,
berlekah dangkal, tidak berbulu, anak cabangnya bersegi empat.
Daun mengkudu terletak berhadap – hadapan. Ukuran daun besar – besar,
tebal dan tunggal, bentuknya jorong lanset, berukuran 15 – 50 x 5 – 17cm. Tepi
daun rata, ujung lancip pendek, pangkal daun berbentuk pasak, urat daun
menyirip, warna hijau mengkilap, tidak berbulu.
Bunga mengkudu berbentuk bulat, mahkota bunganya putih berbentuk
corong, panjangnya bisa mencapai 1,5cm. Benangsari tertancap di ujung mahkota
dengan kepala putik berputing dua. Bunganya mekar dari kelopak berbentuk
seperti tandan, warnanya putih dan harum.
Buahnya bulat lonjong berdiameter 7,5 – 10cm, permukaan buah seperti
terbagi dalam sel – sel polygonal (bersegi banyak) yang berbintik – bintik dan
berkutil. Pada permulaan buah berwarna hijau, menjelang masak menjadi putih
kekuningan, setelah matang warnanya putih transparan dan lunak (Hembing, 2001
; Dalimartha, 2006).
21
Ada tujuh tipe dari buah mengkudu, dari tujuh tipe itu, empat tipe berukuran
relatif besar dan tiga tipe kecil. Tipe satu berbentuk bulat-panjang (oval), rasa
daging asam manis, memiliki ukuran buah yang lebih panjang dan memiliki
daerah penyebaran yang cukup luas di seluruh Indonesia. Ketujuh tipe buah
mengkudu ini memiliki mutu yang memenuhi standar MMI (Materia Medika
Indonesia). Kadar air mengkudu cukup tinggi, makin besar ukurannya makin
banyak kadar air yang dikandungnya. Kadar abu pada mengkudu cukup rendah
yaitu 5%, makin tinggi kadar abu maka mutu simplisia semakin rendah. Kadar
abu adalah zat yang tidak dapat dihilangkan pada pembakaran suhu tinggi, terdiri
dari unsur logam dan pasir. Kadar sari buah (ekstrak) dalam mengkudu di atas
3,92%, semakin tinggi kadar sari buah semakin tinggi mutu buah (Djauhariya et
al, 2006).
2.5.3 Kandungan mengkudu
Menurut hasil penelitian, selain mengandung zat – zat nutrisi, mengkudu
mengandung zat aktif seperti terpenoid, anti bakteri, scolopetin, anti kanker,
xeronine, proxeronine, pewarna alami dan asam.
a.
Zat Nutrisi
Secara keseluruhan mengkudu merupakan buah makanan bergizi
lengkap, zat nutrisi seperti protein, vitamin dan mineral tersedia dalam jumlah
yang cukup pada buah dan daun mengkudu. Silenium merupakan salah satu
mineral yang terdapat pada mengkudu sebagai antioksidan.
22
b.
Terpenoid
Terpenoid dalam senyawa hidrokarbon isometric terdapat pada minyak
atau lemak esensial. Jenis lemak ini penting bagi tubuh, zat ini membantu
tubuh dalam proses sintesis organik dan pemulihan sel – sel tubuh.
c.
Zat Anti Bakteri
Journal Pasific Science melaporkan bahwa mengkudu mengandung zat
anti bakteri, senyawa antraquinon, saponin, flavonoid, minyak atsiri, alkaloid,
acubin dan alizarin yang terdapat pada mengkudu dapat melawan bakteri
Stahpylokokus aureus, Bacillus subtilis, Protens morganii, Pseudomonas,
Escherichia coli. Zat anti bakteri ini juga dapat mengontrol bakteri patogen
seperti Salmonella typhi, Shigella disentriae (Suhidayat, 1991). Kandungan
minyak atsiri merupakan bahan aktif yang terdiri dari sitral dan eugenol yang
mempunyai efek farmakologis (Sumono, 2009).
Pada penelitian Dewi (2010) yang meneliti aktivitas antibakteri pada
Staphylococcus Saprophyticus dimana bakteri ini merupakan bakteri Gram
positif, sama dengan Streptococcus mutans. Kedua bakteri ini tidak memiliki
endospora, tidak berkapsul dan memiliki dinding bakteri yang tersusun atas
peptidoglikan dibandingkan dengan dinding bakteri Gram negatif yang
tersusun atas lipopolisakarida. Bagian rangka peptidoglikan adalah sama
untuk seluruh spesies bakteri, keadaan bakteri seperti ini akan sangat sensitif
terhadap bahan antiseptik (Jawetz, 2008 ; Radji, 2010).
23
Flavonoid pada mengkudu sangat efektif untuk menghambat
pertumbuhan bakteri Gram positif, karena bersifat polar sehingga lebih
mudah menembus lapisan peptidoglikan yang bersifat polar pada bakteri
Gram positif daripada lapisan lipid yang nonpolar. Disamping itu pada
dinding sel Gram positif mengandung polisakarida (asam terikoat) merupakan
polimer yang larut dalam air, yang berfungsi sebagai transfor ion positif untuk
keluar masuk. Sifat larut inilah yang menunjukkan bahwa dinding sel Gram
positif bersifat lebih polar. Sehingga menyebabkan aktivitas penghambatan
ekstrak mengkudu pada bakteri Gram positif lebih besar daripada bakteri
Gram negatif (Dewi, 2010).
Ekstrak mengkudu memiliki aktivitas bakteriostatik yang semakin
meningkat daya hambatnya seiring dengan meningkatnya konsentrasi.
Konsentrasi minimal yang menunjukkan aktivitas daya hambat pertumbuhan
bakteri (MIC : Minimal Inhibitory Concentration) pada bakteri Gram positif
adalah 69mg (Dewi, 2010).
Untuk memperoleh zat antibakteri pada mengkudu Jayaraman et al.
(2008) menggunakan pelarut methanol karena senyawa antibakteri pada
mengkudu bersifat polar dan lebih besar dari pelarut heksane. Namun karena
methanol bersifat toksik Dewi (2010) mengganti pelarut methanol dengan
etanol.
d.
Scolopetin
Mengkudu juga mengandung scolopetin (hidrok metoksi kumarin) yang
sangat efektif sebagai unsur anti peradangan dan anti alergi. Menurut Neil
24
Salomon, scolopetin pada mengkudu adalah sejenis fitonutrien yang dapat
mengikat serotonin, yaitu zat kimiawi yang berfungsi memperlebar pembuluh
darah yang mengalami penyempitan dan melancarkan peredaran darah
sehingga jantung tidak perlu bekerja keras untuk memompa jantung dan
tekanan darah menjadi normal.
e.
Zat Anti Kanker
Empat ilmuwan Jepang berhasil menemukan zat anti kanker dalam buah
mengkudu, zat ini dapat merangsang pertumbuhan struktur normal di dalam
sel – sel abnormal dan terbukti mengkudu paling efektif melawan sel – sel
abnormal. Pada journal Cancer Letter melaporkan adanya zat aktif kanker
(damnacanthal) dalam ekstrak mengkudu yang mampu menghambat
pertumbuhan sel – sel kanker.
f.
Xeronine dan Proxeronine
Salah satu alkaloid yang terdapat di dalam buah menkudu adalah
xeronine. Zat ini pertama kali ditemukan oleh Raplh Heinicke bahwa
mengkudu sedikit mengandung xeronine tetapi banyak mengandung
proxeronine sebagai bahan pembentuk xeronine. Proxeronine adalah sejenis
asam koloid yang tidak mengandung gula, asam amino atau asam nukleat.
g.
Asam
Asam askorbat yang terdapat di dalam buah mengkudu merupakan
sumber vitamin C dan anti oksidan yang bermanfaat sebagai penetralisir
25
radikal bebas. Mengkudu juga mengandung asam kaproat, asam kaprik dan
asam kaprilat. Asam kaproat dan asam kaprik inilah yang menyebabkan bau
busuk yang tajam ketika buah mengkudu masak, sedangkan asam kaprilat
membuat rasa buah tidak enak (Goretti, 2000 ; Kusuma et al, 2003; Hariana
A, 2007).
2.5.4 Ekstraksi
Ekstraksi adalah teknik pemisahan suatu senyawa berdasarkan perbedaan
distribusi zat terlarut diantara dua pelarut yang saling bercampur. Pada umumnya
zat terlarut yang diekstrak bersifat tidak larut atau larut sedikit dalam suatu pelarut
tetapi mudah larut dalam pelarut lain. Metode ekstraksi yang tepat ditentukan oleh
tekstur kandungan air bahan – bahan yang akan diekstrak dan senyawa – senyawa
yang akan diisolasi (Harbone, 1996).
Proses pemisahan senyawa dalam simplisia, menggunakan pelarut tertentu
sesuai dengan sifat senyawa yang akan dipisahkan. Pemisahan pelarut
berdasarkan kaidah “ like dissolved like ” artinya suatu senyawa polar akan larut
dalam pelarut polar. Ekstraksi dapat dilakukan dengan bermacam metode,
tergantung dari tujuan ekstraksi, jenis pelarut yang digunakan dan senyawa yang
diinginkan. Metode ekstraksi yang paling sederhana adalah maserasi (Pratiwi,
2009).
Maserasi adalah perendaman bahan alam yang dikeringkan (simplisia) dalam
suatu pelarut. Metode ini dapat menghasilkan ekstrak dalam jumlah banyak, serta
26
terhindar dari perubahan kimia senyawa – senyawa tertentu karena pemanasan
(Pratiwi, 2009).
Download