PERANAN PAJAK DAERAH DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN BOGOR Oleh : Betta Sari Novalita 20200310 1. Pendahuluan Hubungan keuangan dan pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terus mengalami perubahan. Pada saat Republik Indonesia Serikat pemerintah daerah memiliki otonomi yang besar, tetapi sejak demokrasi terpimpin, otonomi daerah menjadi sangat terbatas. Pada masa orde baru, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah diatur oleh UU No 5 Tahun 1974 yang akhirnya membuat peran pemerintah pusat menjadi sangat dominan sementara peran pemerintah daerah semakin minim. Wacana negara federasi muncul ketika pada akhir tahun 1998 terjadi gejolak disintegrasi di beberapa daerah sebagai cermin ketidakpuasan daerah atas ketidakadilan politik, hukum, maupun ekonomi yang dilakukan pemerintah pusat. Saat itu, Federalisme dianggap sebagai alternatif yang paling realistis untuk memecahkan berbagai persoalan daerah. Dalam konsep federalisme, untuk membentuk negara federasi Indonesia langkah pertama yang harus dilakukan adalah membubarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelah itu, satu atau gabungan beberapa propinsi akan memproklamirkan kemerdekaannya, kemudian negara-negara ini harus berkumpul untuk membentuk negara federasi. Hal ini menimbulkan pro dan kontra karena tidak ada jaminan negara-negara yang sudah merdeka itu mau bersatu kembali, terutama untuk daerah yang sumber daya alamnya kaya tetapi tidak pernah menikmatinya. Wacana otonomi muncul sebagai jalan tengah karena resiko yang dianggap lebih sedikit dan bisa memenuhi tuntutan daerah secara lebih optimal. Dikeluarkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah menyebabkan perubahan mendasar mengenai pengaturan hubungan pusat dan daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan. Era inilah yang dikenal sebagai era otonomi daerah. Berlakunya undang-undang ini menyebabkan daerah memiliki kesempatan yang besar untuk melaksanakan tujuan pembangunannya berdasarkan lokalitas yang lebih tinggi dan harapan baru mengenai otonomi yang lebih luas, khususnya daerah tingkat kabupaten/kota. Disisi lain, otonomi menimbulkan suatu kebutuhan dana yang besar dan daerah tidak bisa lagi menggantungkan diri sepenuhnya kepada pemerintah pusat, oleh karena itu pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam otonomi harus disertai dengan pelimpahan keuangan. Pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengelola dirinya sendiri. Sebagai administrator penuh, masing-masing daerah harus kreatif agar pengelolaan daerahnya lebih terfokus dan mencapai sasaran yang telah ditentukan. Kesalahan persepsi yang menjadikan 1 sumber daya alam sebagai sandaran harus segera diubah karena suatu saat kekayaan alam akan habis. Pemerintah daerah harus mulai mencari sumber lain yang ada di wilayahnya untuk diandalkan sebagai tulang punggung Pendapatan Asli daerah. Dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan pemerintah daerah dalam bentuk pelaksanaan kewenangan fiskal, daerah harus dapat mengenali potensi dan mengidentifikasi sumber-sumber daya yang dimilikinya. Pemerintah daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli daerah (PAD). Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah disertai pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D) ke daerah dalam jumlah besar. Untuk meningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalam pembelanjaan APBD-nya, sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya adalah Pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah sejak lama menjadi salah satu unsur PAD yang utama. Semakin tinggi kewenangan keuangan yang dimiliki daerah, semakin tinggi peranan PAD dalam struktur keuangan daerah, begitu pula sebaliknya. Kabupaten Bogor adalah daerah yang memiliki potensi PAD yang belum dikelola secara maksimal dan setiap tahun jumlahnya terus meningkat secara signifikan, tetapi belum digali secara maksimal karena berbagai keterbatasan. Era otonomi daerah ini adalah waktu yang sangat tepat untuk mengoptimalkan Pajak daerah 2. Optimalisasi Pajak Daerah Untuk Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah Ciri utama yang menunjukkan daerah otonom mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangannya. Berkaitan dengan hal tersebut, optimalisasi sumber-sumber PAD perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Pajak adalah salah satu bentuk peran masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi dan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai pemerintahan dan pembangunan daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh daerah umumnya berkaitan dengan penggalian sumber-sumber Pajak daerah, yang merupakan komponen PAD yang memiliki peran yang terbesar. Untuk itu diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi subjek dan objek pendapatan. Dalam rangka intensifikasi kemampuan keuangan daerah, Pemerintah daerah melakukan berbagai kebijakan perpajakan, diantaranya dengan menetapkan UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah, diharapkan dapat mendorong Pemerintah daerah terus berupaya untuk mengoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari Pajak daerah. Pajak daerah diharapkan bisa menjadi tulang punggung PAD. Meski demikian, untuk mencegah hal-hal yang dapat merugikan masyarakat dan dunia usaha, UU No. 34 Tahun 2000 membatasi pajak dan 2 retribusi yang dapat dipungut oleh Pemerintah daerah sebagai berikut: a) pendapatan yang cukup dan elastis; b) adil dan merata secara vertikal dan secara horizontal ; c) administrasi yang fleksibel ; d) secara politis dapat diterima oleh masyarakat; dan d) Non-distorsi terhadap perekonomian. Untuk mengoptimalkan potensi PAD, Pemerintah daerah memiliki dua alat utama (measures), yaitu policy measures dan administrative measures. Policy Measures mengandalkan kebijakan yang berwujud penerbitan ketentuanketentuan Pemerintah daerah yang menyangkut masalah pokok. Pemerintah daerah melalui perda menetapkan obyek pajak, mengenai APA saja yang akan dikenai Pajak (basis transaksi / kebendaan). Kebijakan pungutan pajak daerah yang berdasarkan Perda tidak boleh tumpang tindih dengan pungutan pusat akan menimbulkan duplikasi pungutan. Hal ini dinyatakan dalam UU No.34 Tahun 2000, Pasal 2 ayat (4) “Objek Pajak daerah bukan merupakan objek Pajak pusat”. Peraturan daerah juga menetapkan subyek pemungutan Pajak, mengenai siapa saja yang akan dipajaki, baik sebagai pembayar, penanggung maupun entitas yang diminta membantu untuk mengumpulkan Pajak (collecting agent). Ketentuan dalam perda juga menetapkan Tarif Pajak. Tarif bisa berbentuk prosentase atau jumlah rupiah tertentu. Tarif untuk Pajak Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan daerah, tetapi tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum yang telah ditentukan dalam UU. Alat (measures) lain yang perlu dilaksanakan langkah-langkah administratif. Langkah ini berkaitan dengan kapasitas administratif pemerintah daerah, terutama di bidang yang berkaitan dengan pendapatan daerah seperti organisasi, sistem dan prosedur, sistem informasi, sumberdaya manusia. Selanjutnya, ekstensifikasi perpajakan juga dapat dilakukan, yaitu melalui kebijaksanaan Pemerintah untuk memberikan kewenangan perpajakan yang lebih besar kepada daerah pada masa mendatang. Untuk itu, perlu adanya perubahan dalam sistem perpajakan Indonesia sendiri melalui sistem pembagian langsung atau beberapa basis Pajak Pemerintah Pusat yang lebih tepat dipungut oleh daerah. 3. Keuangan Daerah Pemerintahan di daerah dapat terselenggara karena adanya dukngan berbagai faktor sumber daya alam yang mampu menggerakkan jalannya roda pemerintahan. Faktor keuangan merupakan faktor utama sebagai sumber daya finansial dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah kepada pemerintah daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1, huruf e). Otonomi yang diberikan kepada daerah kota dan kabupaten didasarkan pada asas desentralisasi yang mencakup pula kewenangan yang penuh dalam menyelesaikan urusan rumah tangganya. Konsekuensi logis dari desentralisasi tersebut, yaitu adanya pelimpahan wewenang dan tanggungjawab dalam mengelola keuangan daerahnya. PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah menyebutkan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahnya yang dapat 3 dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut dalam kerangka anggaran pendapatan dan belanja daerah. Dalam pasal 4 dan 5 disebutkan bahwa pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat undang-undang yang berlaku, efisien, efektif dan transparan serta bertanggungjawab. Dalam pengelolaan keuangan daerah sebagai perwujudan dari rencana kerja keuangan yang didasarkan pada undang-undang dan peraturan pemerintah diatas, maka penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sangat penting dalam penyelenggaraan fungsi daerah otonom. APBD adalah wadah untuk menampung berbagai kepentingan publik yang diwujudkan melalui berbagai kegiatan dan program. 4. Manajemen Keuangan Daerah. Peran anggaran dalam penentuan arah dan kebijakan pemerintah daerah tidak terlepas dari kemampuan anggaran tersebut dalam mencapai tujuan pemerintah daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu memperhatikan hakekat anggaran sebagai perwujudan amanat rakyat pada pihak eksekutif dan legislatif untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat dalam batas otonomi yang dimilikinya. Prinsip-prinsip penyusunan anggaran adalah sebagai berikut: i. Keadilan. Pelayanan umum dan kesempatan kerja akan meningkat bila fungsi alokasi dan distribusi dalam pengelolaan anggaran telah dilakukan dengan benar. Hal ini mengharuskan pemda untuk merasionalkan pengeluaran secara adil agar hasilnya dapat dinikmati masyarakat secara proporsional. ii. Efisiensi dan efektifitas. Kelemahan yang sangat menonjol dari anggaran selama ini adalah keterbatasan daerah untuk mengembangkan instrumen teknis perencanaan yang berorientasi pada kinerja, maka penyusunan anggaran harus memperhatikan efisiensi alokasi dan efektifitas kegiatan dalam pencapaian sasaran dan tujuan. Penetapan standar kinerja proyek dan kegiatan serta harga satuannya merupakan faktor penentu dalam meningkatkan efisiensi dan efektifitas anggaran. iii. Berimbang dan defisit. Prinsip berimbang adalah untuk menghindari terjadinya hutang pengeluaran akibat rencana pengeluaran yang melebihi kapasitas penerimaannya. Prinsip defisit agar alokasi belanja sesuai dengan kemampuan daerah yang riil. iv. Disiplin. Struktur anggaran harus disusun dan dilaksanakan secara konsisten. Pencatatan atas penggunaan anggaran sesuai dengan prinsip akuntansi keuangan daerah Indonesia. Tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum atau tidak tersedia kedit anggarannya dalam APBD/perubahanAPBD. Bila ada kegiatan baru atau belum ada kreditnya, perubahan APBD dapat dipercepat dengan pos pengeluaran tak disangka. Anggaran yang tersedia pada setiap pos merupakan batas tertinggi pengeluaran. Duplikasi anggaran antar unit kerja atau antar belanja. Alokasi anggaran berdasarkan skala prioritas yang telah ditetapkan, terutama untuk program peningkatan pelayanan masyarakat. v. Transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan, penetapan, perubahan dan perhitungan anggaran merupakan wujud pertanggungjawaban pemda kepada masyarakat. Sebagai salah satu instrumen kontrol pengelolaan anggaran, masyarakat harus leluasa untuk mengakses informasi. Perencanaan 4 pelaksanaan, dan pelaporan kegiatan harus dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis dan ekonomis. Dalam rangka meningkatkan kinerja anggaran daerah, salah satu aspek penting adalah pengelolaan keuangan dan anggaran daerah. Untuk itu, diperlukan manajemen keuangan yang mampu mengontrol kebijakan keuangan secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel. Mardiasmo (2000:1-3) mengemukakan elemen manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan yang meliputi: 1. Akuntabilitas. Kewajiban pemda untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala kegiatan yang terkait dengan penerimaan dan penggunaan uang publik kepada pihak DPRD dan masyarakat luas. Aspek yang dipertimbangkan: 1) legalitas penerimaan dan pengeluaran. setiap transaksi yang dilakukan harus dapat dilacak otoritas legalnya; 2) pengelolaan keuangan secara baik, perlindungan aset fisik dan aset finansial, mencegah pemborosan. Prinsip-prinsip akuntabilitas adalah: 1) sistem akuntansi dan sistem anggaran dapat menjamin pengelolaan keuangan sesuai dengan undang-undang yang berlaku; 2) pengeluaran berorientasi pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran. 2. Value for money (Vfm). Dalam konsep Vfm, terdapat tiga pilar utama yaitu ekonomi, efisiensi dan efektifitas. Konsep ini penting bagi pemda sebagai pelayan massyarakat, karena implementasinya dapat memberikan manfaat seperti: a. efektifitas pelayanan publik, pelayanan yang diberikan tepat sasaran; b. Meningkatkan mutu pelayanan publik; c. Biaya pelayanan yang murah; d. Alokasi belanja yang berorientasi pada kepentingan publik; e. Meningkatkan public cost awareness sebagai akar pelaksanaan pertanggungjawaban publik. 3. Kejujuran. Staf yang mengelola keuangan daerah harus memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan. 4. Transparansi. Keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan sehingga dapat diawasi oleh publik. Transparansi akan menciptakan akuntabilitas sehingga tercipta pemda yang bersih, efektif, efisien, dan tanggap terhadap kepentingan rakyatnya. 5. Pengendalian. Penerimaan dan pengeluaran harus sering dimonitor, yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dan yang direalisasikan. 5. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) . Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah menurut merupakan satu kesatuan yang terdiri dari: a. Pendapatan Daerah. Sesuai dengan Pasal 79 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang 5 Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, pendapatan daerah adalah semua penerimaan kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu. Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai. sebagaimana dimaksud dalam terdiri atas: 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD); 2. Dana Perimbangan; 3. Pinjaman Daerah; dan 4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah. 1. Pendapatan asli daerah (PAD) terdiri atas: 1. pajak daerah. a. pajak propinsi. (i) pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; (ii) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; (iv) pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. b. pajak kabupaten/kota. (i) Pajak Hotel; (ii) Pajak Restoran; (iii) Pajak Hiburan; (iv) Pajak Reklame; (v) Pajak Penerangan Jalan; (vi) Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bhn Gal. Gol. C; (vii) Pajak Parkir. 2. retribusi daerah; (i) Retribusi Jasa Umum; (ii) Retribusi Jasa Usaha; (iii) Retribusi Perijinan Tertentu. 3. hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4. lain-lain PAD yang sah. mencakup: a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; b. hasil pemanfaatan/pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; c. jasa giro; d. pendapatan bunga; e. tuntutan ganti rugi; f. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan g. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. 2. Pendapatan Dana Perimbangan meliputi : a. Dana Bagi Hasil; (i). Bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan; (ii). Bea perolehan hal atas tanah dan bangunan; dan (iii). Sumber daya alam. - Sektor kehutanan yaitu hak pengusahaan hutan dan provisi sumber daya hutan. - Sektor pertambangan umum yaitu iuran tetap (land rent) dan iuran eksplorasi. - Sektor perikanan. - Sektor pertambangan minyak dan gas alam. b. Dana Alokasi Umum; Diberikan dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN 6 dengan memperhatikan potensi daerah, kebutuhan pembiayaan untuk penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan tersedianya dana APBN. c. Dana Alokasi Khusus. Diberikan untuk membiayai kegiatan khusus yang tidak terdapat di daerah lain, bersumber dari penerimaan umum APBD. 3. Pinjaman daerah. Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999, Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman dari dalam negeri atau luar negeri dengan persetujuan pemerintah pusat untuk membiayai sebagian anggarannya. Pinjaman dalam negeri dapat bersumber dari pemerintah pusat dan/atau lembaga komersial atau penerbitan obligasi daerah. Pinjaman luar negeri mekanismenya melaui pemerintah pusat. 3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah Merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan pemerintah. Hibah merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari pemerintah, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri yang tidak mengikat. b. Belanja Daerah Pasal 21 UU No. 25 Tahun 1999 menyebutkan bahwa anggaran pengeluaran tidak boleh melebihi anggaran penerimaan. Dalam penjelasan pasalnya, daerah tidak boleh mengganggarkan pengeluaran tanpa kepastian terlebih dahulu mengenai ketersediaan sumber pembiayaannya. Sejalan dengan itu, PP No. 105 Tahun 2000 menjelaskan bahwa jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk semua jenis belanja. Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah. Klasifikasi belanja menurut fungsi terdiri dari: a. klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan; dan b. klasifikasi fungsi pengelolaan keuangan negara. Klasifikasi belanja berdasarkan urusan pemerintahan diklasifikasikan menurut kewenangan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Klasifikasi belanja menurut fungsi yang digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari: a. pelayanan umum; b. ketertiban dan keamanan; c. ekonomi; d. lingkungan hidup; e. perumahan dan fasilitas umum; f. kesehatan; g. pariwisata dan budaya; h. agama; i. pendidikan; serta j. perlindungan sosial. Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan 7 urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Klasifikasi belanja menurut jenis belanja terdiri dari: a. belanja pegawai; b. belanja barang dan jasa; c. belanja modal; d. bunga; e. subsidi; f. hibah; g. bantuan sosial; h. belanja bagi hasil dan bantuan keuangan; dan i. belanja tidak terduga. Penganggaran dalam APBD untuk setiap jenis belanja berdasarkan ketentuan perundang-undangan. c. Pembiayaan Daerah Pembiayaan adalah transaksi keuangan untuk menutup selisih antara pendapatan daerah dan belanja daerah. Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan mencakup: a. SiLPA tahun anggaran sebelumnya; b. pencairan dana cadangan; c. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan; d. penerimaan pinjaman; dan e. penerimaan kembali pemberian pinjaman. Pengeluaran pembiayaan mencakup: a. pembentukan dana cadangan; b. penyertaan modal pemerintah daerah; d. pembayaran pokok utang; dan d. pemberian pinjaman. Pembiayaan neto merupakan selisih lebih penerimaan pembiayaan terhadap pengeluaran pembiayaan. Jumlah pembiayaan neto harus dapat menutup defisit anggaran. 6. Peranan Pajak Daerah Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Berdasarkan data-data yang telah diperoleh dari Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor, maka kita dapat menganalisis peranan pajak daerah dalam pendapatan asli daerah (PAD) setelah adanya otonomi daerah dan perubahanperubahan yang menyertainya, laju pertumbuhan pajak daerah dan pendapatan asli daerah (PAD), realisasi pajak daerah dan pendapatan asli daerah (PAD) yang ditargetkan, total penerimaan daerah apakah dapat menutupi anggaran pengeluaran daerah (surplus). Pada tabel 1 dapat kita lihat secara garis besar realisasi anggaran pendapatan dan belanja negara daerah Kabupaten Bogor selama tujuh tahun anggaran, yaitu sejak tahun anggaran 1998/1999 hingga tahun anggaran 2004. pada gambar 1 dan gambar 2 dibawah ini, adalah target dan realisasi penerimaan pajak daerah Kabupaten Bogor selama tujuh tahun anggaran mulai tahun anggaran 1998/1999 sampai dengan tahun anggaran 2004. T.A. 1998/1999 dan 1999/2000 sejak tanggal 1 Maret hingga 31 April tahun berikutnya. Sejak T.A. 2000 diubah menjadi 1 Januari hingga 31 Desember tahun berikutnya. Ketetapan otonomi daerah juga merubah sebagian struktur APBD tersebut karena ada beberapa rincian yang dihilangkan dan ada beberapa yang ditambahkan. Bagian yang dikosongkan memiliki arti bahwa bagian tersebut mengalami perubahan karena adanya penghapusan beberapa elemen APBD tersebut. Untuk pendapatan asli daerah (PAD), otonomi diterapkan sejak tahun 2002. Untuk Dana Perimbangan, otonomi diterapkan sejak 2001. untuk Total Pengeluaran, otonomi diterapkan sejak tahun 2003. 8 TABEL 1 REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 1998/1999 S.D. 2004 NO 9 I A B 1. 1.1 1.2 1.3 1.4. 1.5. 1.6 1.7 1.8 1.9 1.10 2. 3. 4 C D II 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. III III DESKRIPSI TOTAL PENDAPATAN BAGIAN SISA LEBIH TAHUN LALU BAGIAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PAJAK DAERAH Pajak Hotel dan Restoran Pajak Hotel Pajak Restoran Pajak Hiburan Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan Pajak Pengambilan & Pengolahan Bahan Galian Golongan C Pajak Parkir Pajak Sarang Burung Walet Pajak Pemanfaatan ABT/AP RETRIBUSI DAERAH LABA USAHA DAERAH LAIN-LAIN PAD YANG SAH DANA PERIMBANGAN LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SAH TOT PENGELUARAN RUTIN (sblm UU No 25 th 1999) /TOTAL BELANJA (UU No. 25 Th 1999) Belanja pegawai Belanja barang dan jasa Belanja perjalanan dinas Belanja pemeliharaan Belanja lain-lain Belanja modal Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan Pengeluaran tidak termasuk bagian lain Pengeluaran tidak tersangka TOTAL PENGELUARAN PEMBANGUNAN (sebelum UU No. 25 Tahun 1999) TOTAL PEMBIAYAAN (Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999) Penerimaan daerah Pengeluaran daerah 1998/1999 278.504.469 2.903.438 64.078.100 28.655.625 5.797.214 1999/2000 344.657.416 15.283.000 71.964.955 36.464.173 7.035.595 2000 269.525.093 9.903.295 56.184.781 29.140.247 4.287.167 Dalam (000) 2001 700.151.361 19.252.243 100.880.636 51.542.056 6.378.089 2002 943.760.189 136.997.463 123.310.170 62.589.334 2003 845.677.874 2004 991.691.770 148.921.781 79.458.815 166.260.110 91.308.030 4.641.092 4.400.174 1.647.073 1.811.173 31.379.551 18.640.026 70.242 5.732.560 5.534.173 2.296.931 2.644.285 41.452.127 21.574.217 165.203 59.315 6.975.030 7.570.710 3.475.292 4.502.028 41.975.000 26.110.050 506.250 193.670 44.119.053 3.382.316 21.961.589 685.684.290 11.091.801 803.164.130 56.922.290 3.612.010 14.417.790 804.367.070 21.064.590 974.948.090 386.643.420 69.809.210 15.441.320 34.024.820 13.504.250 120.681.290 115.093.370 453.102.220 87.530.930 19.698.080 23.239.530 34.963.480 189.688.500 141.455.120 47.966.470 25.370.230 133.445.850 156.487.150 23.041.300 120.053.570 175.959.590 55.906.020 875.683 750.525 10.209.661 7.322.235 946.051 861.677 12.067.214 10.705.148 557.762 538.187 10.544.230 9.898.608 1.281.236 1.104.999 23.715.244 14.719.953 3.611.009 23.310.325 1.820.646 10.291.502 4.848.486 26.137.398 503.313 8.860.070 257.409.481 3.314.291 20.483.317 874.258 5.686.957 203.429.232 4.432.532 32.915.987 1.992.986 14.229.606 580.853.489 160.860.384 244.978.010 182.054.444 412.939.804 36.575.878 2.361.151 21.793.808 644.51.250 38.842.305 581.890.010 95.783.580 20.242.375 2.025.808 4.724.795 17.434.186 3.519.999 6.451.271 10.078.370 600.000 102.361.085 135.555.673 26.937.591 2.269.576 6.503.412 21.398.812 2.669.153 31.129.580 13.697.526 4.816.683 89.776.111 106.036.289 18.024.344 3.215.338 4.404.496 14.945.582 1.484.156 7.382.365 13.703.145 12.868.726 54.460.083 262.230.633 42.541.026 5.409.592 6.132.721 33.235.171 836.658 18.336.858 24.829.562 19.387.578 150.214.093 297.760.760 83.497.050 6.592.740 20.198.080 101.857.490 2.671.130 20.405.780 30.445.750 18.461.230 240.383.040 Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor dan Situs www.djpkpd.go.id Gambar 1 Target Penerimaan Pajak Daerah Kabupaten Bogor Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor Gambar 2 Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Kabupaten Bogor Rp100,000,000,000.00 Rp91.308.030,000.00 Rp79,458,815,863.00 Rp80,000,000,000.00 Rp62,589,334,585.00 Rp60,000,000,000.00 Rp51,542,056,289.00 Rp36,464,173,774.00 Rp40,000,000,000.00 Rp29,140,247,958.00 Rp28,655,625,413.00 Rp20,000,000,000.00 Rp0.00 98/99 99/00 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor Peranan pajak daerah dalam pendapatan asli daerah (PAD) dapat kita lihat hasilnya dalam beberapa analisis berikut ini. 1). Uji Hitung T Uji T ini digunakan untuk menguji secara statistik apakah rata-rata satu group sampel berbeda dengan satu group yang lain (Hanya untuk membandingkan dua group yang berbeda). Untuk analisis ini digunakan program olah data SPSS (Statistical Product And Service Solution) 10.05 untuk Windows. Data sampel 10 dalam jumlah kecil (< 30) dan terdistribusi secara normal. Hasil akan muncul dalam bentuk tabel seperti di bawah ini. Setelah ini dapat kita lakukan analisis dengan menginterpretrasikan angka-angka yang ada pada tabel tersebut sesuai dengan ketentuan yang ada pada gambar hasil uji hitung t. T-Test Group Statistics PAD Jumlah N Mean Std. Deviation Std. Error Mean sebelum 4 73277118,0000 19497400,63018 9748700,31509 setelah 3 146164020,3333 21607366,09173 12475018,62954 Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances F Jum lah Equal variances assumed Equal variances not assumed ,029 Sig. ,872 t-test for Equality of Means t Sig.(2 tailed) df Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -4,685 5 ,005 -72886902,3333 15556036,89350 -112874968,20592 -32898836,46075 -4,604 4,155 ,009 -72886902,3333 15832348,14046 -116203592,60212 -29570212,06455 Interpretasi Pada Tabel Group Statistics terlihat rata-rata PAD sebelum otonomi Rp 73.277.118,0000 sedangkan untuk PAD setelah otonomi adalah Rp 146.164.020,3333. Langkah kedua menggunakan Tabel Independent Sample Test Disini ada dua tahapan analisis yang pertama menguji apakah Varians kedua sample sama, dengan Levene Test dan tahap analisis kedua berdasarkan hasil pada no.1, akan diuji apakah rata-rata dua sampel tersebut sama dengan menggunakan T Test. Setelah diadakan Pengujian Varians Dua Sampel, dikemukakan dua Hipotesis: ♦ Ho. Kedua Sampel mempunyai Varians yang sama. ♦ Ha. Kedua Sampel mempunyai Varians yang berbeda. Untuk proses pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan hal berikut: ♦ Jika F hitung < F tabel atau probabilitasnya (Sig) > 0,05 maka Ho. Diterima. ♦ Jika F hitung > F tabel atau probabilitasnya (Sig) < 0,05 maka Ho. Ditolak. Setelah kita lihat nilai probabilitasnya sebesar 0,872 yang berarti lebih besar dari 0,05, maka Ho. Diterima, artinya varians kedua sampel sama. Pengujian Rata-rata Dua Sampel Karena kedua sampel mempunyai varians yang sama maka pengujian terhadap nilai rata-rata menggunakan dasar equal variance assumed (diasumsikan 11 kedua sampel mempunyai varians yang sama). Untuk ini dikemukakan dua Hipotesis: ♦ Ho. Kedua Sampel mempunyai rata-rata yang sama. ♦ Ha. Kedua Sampel mempunyai rata-rata yang berbeda. Untuk proses pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan hal berikut: ♦ Jika t hitung < t tabel atau probabilitasnya (Sig) > 0,05 maka Ho. Diterima. ♦ Jika t hitung > t tabel atau probabilitasnya (Sig) < 0,05 maka Ho. Ditolak. T hitung dapat dilihat sebesar –4,685. Pada tabel distribusi t (lampiran) dengan menggunakan taraf kepercayaan 95% (α = 5%, untuk 2-tailed ini digunakan 5%/2 = 2,5% karena dilakukan uji dua sisi), derajat bebas 5 maka didapatkan nilai t tabel sebesar 2,571 Sehingga dapat disimpulkan Ho. Ditolak atau kedua sampel memiliki rata-rata PAD yang berbeda, dengan kata lain bahwa ada perubahan dalam rata-rata PAD antara sebelum dan sesudah otonomi daerah. Gambar 1 Hasil Uji Hitung T Ho. Ditolak Ho. Ditolak - 4,685 +4,685 - 2,571 + 2,571 2). Kemampuan Keuangan Daerah. a. Kontribusi pajak daerah terhadap PAD. Kontribusi masing-masing jenis pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah (PAD) merupakan rasio antara jenis pajak tertentu dengan total pendapatan asli daerah (PAD) pada satu tahun tertentu, dan rasio antara jumlah total pajak daerah terhadap total pendapatan asli daerah pada tahun tertentu. Rasio ini mengindikasikan besar kecilnya peran suatu jenis pajak daerah terhadap PAD. Semakin tinggi rasio yang diperoleh berarti semakin besar pula tingkat kontribusi pajak tersebut semakin besar. Rumusannya sebagai berikut: SPjDt Cj = x 100% PADt Cj SPjDt PADt kontribusi variabel pajak daerah terhadap PAD. nilai dari realisasi pendapatan daerah tahun t. realisasi total pendapatan asli daerah tahun t. 12 C= TPjDt x 100% TPADt C TPjDt TPADt kontribusi total pajak daerah terhadap PAD. nilai dari realisasi total pajak daerah tahun t. total realisasi pendapatan asli daerah tahun t. Tim peneliti Fisipol UGM bekerjasama dengan Litbang Depdagri menyebutkan tolok ukur kemampuan daerah dalam tabel 2 berikut. Tabel 2 Kontribusi Pajak Daerah Terhadap PAD Rasio Kemampuan keuangan Daerah 00,00% - 10,00% Sangat kurang 10,01% - 20,00% Kurang 20,01% - 30,00% Sedang 30,01% - 40,00% Cukup 40,01% - 50,00% Baik > 50,00% Sangat baik Sumber : Dasril Munir (2002:24) Setelah dilakukan analisis dengan maka diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 3 Kontribusi Variabel Pajak Daerah Terhadap PAD Deskripsi Pajak Hotel & Restoran Pajak Hotel Pajak Restoran Pajak hiburan Pajak reklame Pjk penerangan jln P. bahan gal. Gol C Pajak parkir P. sarang b. walet 1998/1999 1999/2000 9,00% 9,78% 2000 2001 7,60% 6,32% 2002 2003 2004 Dipisahkan menjadi pajak hotel dan pajak restoran Belum ditetapkan 3,76% 3,85% 4,19% Belum ditetapkan 3,57% 3,72% 4,55% 1,37% 1,31% 0,99% 1,27% 1,33% 1,50% 2,09% 1,17% 1,10% 0,96% 1,09% 1,47% 1,77% 2,70% 15,93% 16,77% 18,76% 23,51% 25,45% 27,83% 25,25% 11,43% 14,87% 17,56% 14,59% 15,12% 14,49% 15,70% Belum ditetapkan Belum ditetapkan 13 0,056% 0,11% 0,30% 0,039% 0,04% P. ABT & AP 5,63% 6,73% 5,90% 4,40% Ditarik menjadi pajak propinsi Tabel 4 Kontribusi Total Pajak Daerah Terhadap PAD Tahun 1998/1999 = 44,72% Tahun 1999/2000 = 50,67% Tahun 2000 = 51,86% Tahun 2001 = 50,75% Tahun 2002 = 50,75% Tahun 2003 = 53,35% Tahun 2004 = 54,90% Dari kedua tabel diatas, kita dapat membandingkan dengan sumber pendapatan asli daerah yang lain seperti retribusi daerah, laba usaha daerah maupun lain-lain pendapatan asli daerah (PAD) yang sah, baik sebelum ataupun setelah berlakunya otonomi daerah, pajak daerah selalu memiliki peranan/kontribusi yang terbesar dalam pendapatan asli daerah (PAD). Kontribusi pajak setiap tahun sejak T.A. 1998/1999 hingga T.A. 2004 selalu mengalami peningkatan. Bila dilihat dari setiap tahun dan dari masing-masing jenis pajak daerah, maka dapat kita lihat setiap tahun anggaran kontribusi pajak daerah terhadap PAD Sebelum otonomi daerah (T.A. 1998/1999 s.d T.A. 2001), pajak yang memiliki peran paling besar dalam APBD adalah pajak penerangan jalan. Tahun 1998/1999 kontribusi pajak penerangan jalan terhadap PAD adalah sebesar 15,93%, pajak bahan gal. C Sebesar 11,43%, pajak hotel & restoran menyumbang sebesar 9%. Pajak ABT dan AP sebesar 5,63%. Pajak hiburan dan reklame menyumbang paling sedikit yaitu hanya 1,33% dan 1,47%. Tahun 1999/2000, pajak penerangan jalan menyumbang PAD sebesar 16,77%, pajak bahan gal. C sebesar 14,87%, pajak hotel dan restoran sebesar 9,78%, pajak ABT dan AP 6,73%. Pajak hiburan dan reklame menyumbang paling sedikit sebesar 1,31% dan 1,10%. Tahun 2000, khusus untuk tahun ini ada penurunan prosentase pajak daerah terhadap PAD karena adanya pemisahan kota administratif depok menjadi kota Depok sehingga sumber penerimaan pemerintah Kabupaten Bogor berkurang. Merkipun demikian, Pajak penerangan jalan tetap memiliki peran yang paling besar dan menyumbang PAD sebesar 18,76%, pajak bahan gal. C sebesar 17,56%, pajak hotel dan restoran sebesar 7,60%, pajak ABT/AP 5,90%. Pajak hiburan dan reklame menyumbang paling sedikit sebesar 0,99% dan 0,96%. Tahun 2001, pajak penerangan jalan menyumbang PAD sebesar 23,51%, pajak bahan gal. C sebesar 14,59%, pajak hotel dan restoran sebesar 6,32%, pajak 14 ABT dan AP 4,40%. Pajak hiburan dan reklame menyumbang paling sedikit sebesar 1,27% dan 1,09%. Sesudah otonomi, struktur pajak kabupaten bogor mengalami perubahan. Pajak hotel dan restoran dipisahkan menjadi pajak hotel dan pajak restoran. Pajak ABT dan AP dipindahkan wewenang pemungutannya kepada propinsi sehingga pemerintah daerah Kabupaten Bogor tidak diperbolehkan lagi memungut pajak tersebut. Tahun 2002 Pemerintah pusat menetapkan satu jenis pajak baru yang dapat dipungut oleh kabupaten yaitu pajak parkir. Tahun 2003 Kabupaten Bogor menetapkan sendiri satu jenis pajak baru dengan mengeluarkan perda tentang pajak sarang burung walet. Tahun 2002 hingga tahun 2004, pajak penerangan jalan tetap memiliki peran yang terbesar. Tahun 2002, pajak penerangan jalan menyumbang sebesar 25,45%, pajak bahan gal. C 15,12%, pajak hotel 3,76%, pajak restoran 3,57%, pajak hiburan sebesar 1,33%, pajak reklame sebesar 1,47% dan yang memberikan kontribusi paling kecil adalah pajak parkir, hanya sebesar 0,056%. Tahun 2003, pajak penerangan jalan menyumbang sebesar 27,83% pajak bahan gal. C 14,49%, pajak hotel 3,85%, pajak restoran 3,72%, pajak hiburan 2,09% pajak reklame sebesar 2,70%, dan yang memberikan kontribusi paling kecil adalah pajak parkir hanya sebesar 0,11% dan pajak sarang b. walet sebesar 0,039%. Meskipun demikian, pajak parkir mengalami pertumbuhan yang positif sebesar 0,054%. Tahun 2004, pajak penerangan jalan menyumbang sebesar 25,25% pajak bahan gal. C 15,70%, pajak hiburan 2,09% pajak 2,70%, pajak hotel 4,19%, pajak restoran 4,55%, dan yang memberikan kontribusi paling kecil adalah pajak parkir hanya sebesar 0,30% dan pajak sarang b. walet sebesar 0,04%. Meskipun demikian, pajak parkir dan pajak sarang b. walet mengalami pertumbuhan yang positif walaupun hanya sebesar 0,19% dan 0,001% T.A. 1998/1999, pajak daerah memiliki kontribusi sebesar 44,72% terhadap PAD yang termasuk kedalam kriteria Baik. Mulai T.A. 1999/2000 dengan prosentase 50,67% kriterianya adalah sangat baik hingga tahun anggaran 2000 sebesar 51,86% sampai T.A. 2001 dengan prosentase 50,75% kriterianya adalah Sangat baik dengan rata-rata sebesar 51,09% (50,67%+51,86%+ 50,75%/3). Untuk tahun 2002, 2003 dan 2004 kontribusi pajak daerah terhadap PAD adalah sebesar 50,75%, 53,35% dan 54,90% setiap tahunnya dengan ratarata sebesar 53% kriterianya adalah Sangat baik dengan peningkatan dibandingkan sebelum otonomi daerah adalah sebesar 1,91% (53% - 51,09%). Hal ini membuktikan bahwa peran pajak daerah dalam pendapatan asli daerah (PAD) setiap tahun sangat besar. Setelah otonomi pun, peran pajak daerah semakin besar karena adanya keleluasaan pemerintah daerah dalam menggali potensi daerahnya. b. Derajat Otonomi Fiskal. Derajat otonomi fiskal daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) seperti pajak daerah, retribusi dan lain-lain. Ini berarti bahwa secara finansial, pemerintah daerah harus bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD seperti pajak, retribusi dll. Rasio ini digunakan 15 untuk mengetahui tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah dengan menghitung rasio PAD terhadap total penerimaan daerah (Radianto,1997:42). Analisis ini dengan menggunakan rumus Administratif dependent Ratio (ADR): π= SPADt x 100% TPDt π SPADt TPDt kontribusi variabel pendapatan. nilai dari realisasi pendapatan asli daerah tahun t. realisasi total pendapatan daerah tahun t. Tim peneliti Fisipol UGM bekerjasama dengan Litbang Depdagri menyebutkan tolok ukur kemampuan daerah dalam tabel 5 berikut. Tabel 5 Derajat Otonomi Fiskal Rasio PAD terhadap PD Kemampuan keuangan Daerah 00,00% - 10,00% Sangat kurang 10,01% - 20,00% Kurang 20,01% - 30,00% Sedang 30,01% - 40,00% Cukup 40,01% - 50,00% Baik > 50,01% Sangat baik Sumber : Dasril Munir (2002:106) Analisis yang dilakukan mendapatkan hasil dalam tabel berikut: Tabel 6 Derajat Otonomi Fiskal Tahun 1998/1999 = 23,00% Tahun 1999/2000 = 20,88% Tahun 2000 = 20,84% Tahun 2001 = 14,41% Tahun 2002 = 13,06% Tahun 2003 = 17,61% Tahun 2004 = 16,76% Dari perhitungan diatas dapat kita lihat pada saat sebelum otonomi (T.A. 1998/1999 s.d T.A. 2000), rasio kemampuan keuangan daerah T.A. 16 1998/1999 sebesar 23%, tahun 1999/2000 sebesar 20,88%, dan tahun 2000 sebesar 20,84% dengan rata-rata yaitu sebesar 21,57% (23%+20,88%+ 20,84%/3). Rasio selama 3 tahun tersebut termasuk dalam kriteria sedang. Berarti pemerintah daerah memiliki kemampuan yang sedang dalam meningkatkan PADnya. Setelah adanya otonomi (T.A. 2001 s.d. 2004), rasio kemampuan keuangan daerah tahun 2001 sebesar 14,41%, tahun 2002 13,06%, tahun 2003 sebesar 17,61% dan tahun 2004 adalah sebesar 16,76%. Rasio setiap tahunnya adalah termasuk kriteria kurang dengan rata-rata sebesar (14,41%+13,06%+17,61%+16,76%/4) 15,46%. Hal ini berarti terjadi penurunan kemampuan PAD terhadap Total Penerimaan. Hal ini disebabkan adanya kenaikan penerimaan yang berasal dari dana perimbangan di pos alokasi umum yang berasal dari pemerintah pusat. Ini berarti bahwa secara finansial, pemerintah daerah harus bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD seperti pajak, retribusi dll. Semakin besar rasionya, berarti ketergantungan pemerintah daerah terhadap pusat semakin kecil, dan sebaliknya. c. Indeks Kemampuan Rutin Indeks kemampuan rutin digunakan untuk mengetahui sejauh mana peranan pendapatan asli daerah (PAD) terhadap sisi pengeluaran rutin daerah. Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa jauh kondisi keuangan kabupaten/kota dapat mendukung otonomi daerah. Belanja rutin ini tidak termasuk belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, pengeluaran tidak termasuk bagian lain, dan pengeluaran tidak tersangka (Radianto,1997:42) IKR = PADt x 100% Belanja Rutint Tim peneliti Fisipol UGM bekerjasama dengan Litbang Depdagri menyebutkan tolok ukur kemampuan daerah dalam tabel 7 berikut. Tabel 7 Indeks Kemampuan Rutin Rasio Kemampuan keuangan Daerah 00,00% - 10,00% Sangat kurang 10,01% - 20,00% Kurang 20,01% - 30,00% Sedang 30,01% - 40,00% Cukup 40,01% - 50,00% Baik > 50,01% Sangat baik Sumber : Dasril Munir (2002:108) Hasil analisis yang diperoleh dari rumusan diatas adalah sebagai berikut: 17 Tabel 8 Indeks Kemampuan Rutin Tahun 1998/1999 = 44,61% Tahun 1999/2000 = 36,84% Tahun 2000 = 37,94% Tahun 2001 = 28,79% Tahun 2002 = 24,06% Tahun 2003 = 36,84% Tahun 2004 = 37,94% Dari perhitungan diatas dapat kita lihat pada saat sebelum otonomi (T.A. 1998/1999 s.d. T.A. 2002) rasio kemampuan PAD terhadap belanja rutin tahun 1998/1999 sebesar 44,61 dengan kriteria Baik, tahun 1999/2000 sebesar 36,84% dengan kriteria Cukup, tahun 2000 sebesar 37,94% kriteria Cukup, tahun 2001 sebesar 28,79% kriteria Sedang dan tahun 2002 sebesar 24,06% dengan kriteria Sedang. Kemampuan PAD terhadap belanja rutin semakin menurun karena adanya peningkatan jumlah belanja setiap tahunnya Setelah otonomi yaitu tahun anggaran 2003 kemampuan PAD terhadap belanja rutin sebesar 23,26% dengan kriteria Sedang dan tahun 2004 sebesar 20,57% dengan kriteria yang sama, yaitu Sedang. Rasio PAD terhadap belanja rutin bila dilihat dari hasil perhitungan diatas semakin menurun karena terbatasnya kemampuan PAD sedangkan kebutuhan pemerintah daerah untuk pengeluaran semakin besar dan karena faktor inflasi dan krisis ekonomi yang menyebabkan nilai daya beli PAD semakin menurun. 3). Perkembangan Anggaran Daerah. Untuk menghitung laju pertumbuhan pendapatan daerah setiap tahunnya. Analisis ini membandingkan antara pendapatan yang telah diterima dengan tahun sebelumnya. Dengan analisis ini kita dapat melihat apakah pertumbuhan pendapatan itu negatif atau positif. khususnya PAD, dengan menggunakan rumus berikut: ∆RPAD = ∆RPAD PADt PAD(t-1) PADt – PAD(t-1) x 100% PAD(t-1) laju pertumbuhan PAD, realisasi penerimaan PAD tahun ke t, realisasi penerimaan PAD tahun sebelumnya. Sedangkan rumus untuk menghitung laju pertumbuhan pajak daerah adalah sebagai berikut: 18 ∆RPjD = PjDt – PjD(t-1) x 100% PjD(t-1) ∆RPjD PjDt PjD(t-1) laju pertumbuhan pajak daerah realisasi penerimaan PjD tahun ke t, realisasi penerimaan PjD tahun sebelumnya. Tim peneliti Fisipol UGM bekerjasama dengan Litbang Depdagri menyebutkan tolok ukur kemampuan daerah dalam tabel 9 berikut. Tabel 9 Skala Interval Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota Prosentase Pertumbuhan Keuangan Daerah 00,00% - 10,00% Sangat kurang 10,01% - 20,00% Kurang 20,01% - 30,00% Sedang 30,01% - 40,00% Cukup 40,01% - 50,00% Baik > 50,01% Sangat baik Sumber : Dasril Munir (2002:47) Hasil dari analisis dari rumusan diatas sebagai berikut: Tabel 10 Laju Pertumbuhan Pajak Daerah Tahun 1998/1999 = 75,64% Tahun 1999/2000 = 27,25% Tahun 2000* = 6,55% Tahun 2001* = 32,66% Tahun 2002 = 21,34% Tahun 2003 = 26,95% Tahun 2004 = 14,91% * Catatan: khusus untuk perhitungan tahun 2000 dan 2001 dilakukan berdasarkan jumlah rata-rata pajak setiap bulannya karena adanya perubahan tahun anggaran pada tahun 2000.Khusus untuk tahun 2000, ada perubahan masa anggaran yang semula dari 1 April – 31 Maret menjadi 1 Januari – 31 Desember. Hal ini menyebabkan Tahun Anggaran 2000 berlaku selama 9 bulan, yaitu sejak tanggal 1 April 2000 hingga 31 Desember 2000. oleh karena itu, perhitungannya menggunakan jumlah penerimaan yang diterima setiap bulannya. 19 Dari perhitungan di atas dapat kita lihat sebelum otonomi (T.A. 1998/1999 s.d. T.A. 2001) pertumbuhan pajak daerah selalu bernilai positif. Tahun 1998/1999 pajak daerah tumbuh sebesar 75,64% dengan kriteria Sangat Baik. Tahun 1999/2000 sebesar 27,25% kriterianya adalah Sedang. Pada tahun 2000 sebesar 6,55% dengan kriteria Sangat Kurang, laju pertumbuhannya sangat kecil karena adanya pemisahan Kota Administratif Depok menjadi Kota Depok dari wilayah Kabupaten Bogor dan Tahun 2001 sebesar 32,66% dengan kriteria Cukup dan, bila dirata-ratakan maka laju pertumbuhan pajak daerah sebelum otonomi daerah adalah sebesar (75,64%+27,25%+6,55%+32,66%/4) 35,25%. Laju pertumbuhan pajak daerah setiap tahunnya memiliki kriteria yang baik. Pada saat setelah otonomi, laju pertumbuhan pajak daerah tahun 2002 sebesar 21,34% termasuk kriteria Sedang, tahun 2003 sebesar 26,95% dengan kriteria Sedang dan tahun 2004 sebesar 14,91% dengan kriteria kurang. Rataratanya adalah sebesar 21,07% yang termasuk ke dalam laju pertumbuhan Sedang. a. untuk menghitung laju pertumbuhan pendapatan asli daerah (PAD). ∆RPAD = PADt – PAD(t-1) x 100% PAD(t-1) ∆RPAD PADt PAD(t-1) laju pertumbuhan PAD, realisasi penerimaan PAD tahun ke t, realisasi penerimaan PAD tahun sebelumnya. Hasil analisis dari rumusan diatas adalah sebagai berikut: Tabel 11 Laju Pertumbuhan PAD Tahun 1998/1999 = 11,15% Tahun 1999/2000 = 12,31% Tahun 2000* = 4,10% Tahun 2001* = 34,66% Tahun 2002 = 22,23% Tahun 2003 = 20,77% Tahun 2004 = 11,64% * Catatan: khusus untuk perhitungan tahun 2000 dan 2001 dilakukan berdasarkan jumlah rata-rata PAD setiap bulannya karena adanya perubahan tahun anggaran pada tahun 2000.Khusus untuk tahun 2000, ada perubahan masa anggaran yang semula dari 1 April – 31 Maret menjadi 1 Januari – 31 Desember. Hal ini menyebabkan Tahun Anggaran 2000 berlaku selama 9 bulan, yaitu sejak tanggal 1 April 2000 hingga 31 Desember 2000. oleh karena itu, perhitungannya menggunakan jumlah penerimaan yang diterima setiap bulannya. Perhitungan laju pendapatan asli daerah (PAD) Sebelum otonomi (T.A. 1998/1999 s.d. T.A. 2000) pertumbuhan PAD selalu bernilai positif. Tahun 20 1998/1999 laju pertumbuhan PAD sebesar 11,15% dengan kriteria Kurang. Tahun 1999/2000 sebesar 12,31% kriterianya adalah Kurang. Pada tahun 2000 sebesar 4,10% dengan kriteria Sangat Kurang, laju pertumbuhannya sangat kecil karena adanya pemisahan Kota Administratif Depok menjadi Kota Depok dari wilayah Kabupaten Bogor dan dan, bila dirata-ratakan maka laju pertumbuhan pajak daerah sebelum otonomi daerah adalah sebesar (11,15%+12,31%+4,10%/3) 9,19%. Sejak otonomi daerah, laju pertumbuhan PAD Tahun 2001 sebesar 32,66% dengan kriteria Cukup, tahun 2002 sebesar 21,34% kriterianya adalah Sedang, tahun 2003 sebesar 26,9% kriterianya adalah Sedang, dan pada tahun 2004 peningkatan laju pertumbuhan PAD hanya sebesar 14,91% dengan kriteria kurang. Walaupun demikian, laju pertumbuhan PAD setelah otonomi daerah menglami peningkatan yang cukup signifikan dengan rata-rata sebesar (32,66%+21,34%+26,9%+14,91%/4) 23,95%. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan penerimaan yang cukup besar dari pajak penerangan jalan. 4). Efisiensi Devas, dkk (1997:146) mengemukakan bahwa efesiensi adalah hasil terbaik dari perbandingan antara suatu usaha yang dikeluarkan dengan hasil yang dicapai oleh suatu kerja untuk mencapai hasil tersebut. Pendapat ini menyatakan bahwa semakin rendah hasil perbandingan antara nilai input dan output berarti tingkat efisiensi semakin tinggi Analisis ini dilakukan terhadap belanja daerah baik rutin maupun pembangunan. Setelah ada perubahan struktur APBD, maka analisis ini dilakukan terhadap total belanja.. Rumusan efisiensi total pengeluaran daerah dengan total penerimaan: Total Pengeluaran (Total Belanja) Efisiensi = x 100% Total Penerimaan Kriteria penilaian kinerja yang diukur dapat dilihat pada tabel 12 berikut ini : Tabel 12 Kriteria Kinerja Keuangan Prosentase Kinerja Keuangan Kriteria Diatas 100% Tidak efisien 90,01% - 100% Kurang efisien 80,01% - 90% Cukup efisien 60,01% - 80% Efisien Kurang dari 60% Sangat efisien Sumber : Dasril Munir (2002:50) Hasil dari rumusan diatas adalah sebagai berikut: 21 Tabel 13 Efisiensi Tahun 1998/1999 = 95,50% Tahun 1999/2000 = 97,00% Tahun 2000 = 87,75% Tahun 2001 = 80,43% Tahun 2002 = 87,12% Tahun 2003 = 94,97% Tahun 2004 = 98,32% Sebelum otonomi, hasil perhitungan efisiensi tahun 1998/1999 adalah sebesar 95,50% dengan kriteria Kurang efisien, tahun 1999/2000 sebesar 97,00% kriterianya Kurang efisien, tahun 2000 sebesar 87,75% kriterianya adalah Cukup Efisien, tahun sebesar 2001 80,43% kriterianya Cukup Efisien, dan pada tahun 2002 sebesar 87,12% dengan kriteria Cukup Efisien. Bila dirata-ratakan maka efisiensi pengeluaran daerah terhadap penerimaan daerah adalah 89,95%. Rasio ini termasuk dalam kriteria Cukup Efisien. Pada tahun 2000, 2001 dan 2002 terjadi peningkatan efisiensi karena pemisahan Kota Depok dari Kabupaten Bogor sehingga biaya yang dikeluarkan juga berkurang karena beban pengeluaran juga berkurang. Setelah otonomi efisiensi tahun 2003 94,97% dan tahun 2004 sebesar 98,32% dengan kriteria untuk keduanya adalah Kurang efisien. Penurunan efisiensi ini terjadi karena kenaikan jumlah pengeluaran yang cukup drastis dengan kenaikan sebesar 38% untuk tahun 2003 dan 21% untuk tahun 2004. Dari perhitungan di atas baik sejak tahun 1998/1999 hingga tahun 2004, hasil perhitungan terhadap efisiensi setiap tahunnya memberikan hasil bahwa perbandingan antara nilai penerimaan dan pengeluaran daerah semakin tinggi. Setiap tahun termasuk kriteria kurang efisien. Ini berarti tingkat efisiensi antara penerimaan dan pengeluaran masih rendah. Hal ini berarti jumlah pengeluaran hampir mencapai 100% dari jumlah penerimaan. 5). Efektifitas Menurut Osborne dan Gaebler (1997:389), efektifitas adalah ukuran kualitas output. Ketika mengukur efektifitas, akan diketahui apakah investasi itu berguna. Bila dikaitkan dengan upaya mengumpulkan PAD, efektifitas merupakan hubungan antara realisasi PAD terhadap potensinya. Analisis efektifitas pengelolaan anggaran daerah adalah dengan menggunakan rasio perbandingan antara realisasi pendapatan daerah dengan target yang telah ditetapkan dalam APBD, guna mengetahui berhasil atau tidaknya tujuan pencapaian anggaran. Asumsi yang digunakan adalah bahwa target yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah telah melalui perhitungan potensi PAD maka dalam analisis ini besarnya potensi digunakan pendekatan angka rencana yang merupakan perkiraan hasil pungutan yang secara minimal dapat dicapai dalam satu tahun anggaran. 22 Rumusan rasio efektifitas pengelolaan anggaran daerah: Efektifitas = Realisasi pendapatant x 100% Targett Untuk dinas pendapatan daerah, efektifitasnya dapat dilihat dari target pajak daerah yang dipungut oleh instansi tersebut yang terealisasikan. Rumus rasio efektifitas pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah (PAD) adalah: Efektifitas = Realisasi pajak daeraht x 100% Target pajak daeraht Nilai efektifitas diukur dengan kriteria penilaian kinerja anggaran dalam tabel berikut (Bana, 2001, 24): Tabel 14 Kriteria Kinerja Keuangan Prosentase Kinerja Keuangan Kriteria Diatas 100% Sangat efektif 90,01% - 100% Efektif 80,01% - 90,00% Cukup Efektif 60,01% - 80,00% Kurang Efektif Kurang dari 60% Tidak Efektif Sumber : Dasril Munir (2002:49) Hasil dari rumusan diatas adalah sebagai berikut: a. efektifitas pendapatan asli daerah (PAD). Tabel 15 Efektifitas PAD Tahun 1998/1999 = 112,20% Tahun 1999/2000 = 102,74% Tahun 2000 = 114,09% Tahun 2001 = 116,07% Tahun 2002 = 107,46% Tahun 2003 = 104,32% Tahun 2004 = 106,08% 23 Sebelum otonomi, hasil perhitungan efektifitas PAD tahun 1998/1999 adalah sebesar 112,20%, tahun 1999/2000 102,74%, tahun 2000 114,09%, dan tahun 2001 sebesar 116,07% setiap tahun memiliki tingkat efektifitas target terhadap PAD Sangat Efektif dengan rata-rata efektifitasnya setiap tahun adalah 111,27%. Hal ini dikarenakan tujuan anggaran yang telah ditetapkan dalam bentuk target PAD telah tercapai, bahkan melebihi target yang telah ditetapkan dengan efektifitas tertinggi dicapai pada tahun 2001 sebesar 16,07%. Setelah otonomi, hasil perhitungan efektifitas PAD tahun 2002 sebesar 107,46%, tahun 2002 sebesar 104,32% dan pada tahun 2004 efektifitasnya adalah sebesar 106,08% dengan kriteria untuk setiap tahun adalah sama, yaitu Sangat Efektif dengan rata-rata 105,95%. Kondisi ini pun sama dengan efektifitas sebelum perubahan APBD ditetapkan pada PAD yaitu (sebelum otonomi). Hal ini berarti pemerintah daerah Kabupaten Bogor berhasil dalam mencapai target yang telah ditetapkan sebelumnya karena potensi daerahnya yang sangat mendukung. Realisasi PAD ini juga melampaui target dengan efektifitas tertinggi pada tahun 2002 sebesar 7,46%. berarti pemerintah daerah telah melakukan perhitungan yang cukup teliti dalam menggali potensi pendapatan asli daerah (PAD) nya. b. efektifitas pajak daerah. Tabel 16 Efektifitas Pajak Daerah Tahun 1998/1999 = 101,15% Tahun 1999/2000 = 101 43% Tahun 2000 = 115,68% Tahun 2001 = 105,94% Tahun 2002 = 104,82% Tahun 2003 = 104,81% Tahun 2004 = 106,79% Sebelum otonomi, hasil perhitungan efektifitas pajak daerah tahun 1998/1999 adalah sebesar 101,15%, tahun 1999/2000 101,43%, tahun 2000 115,68%, dan tahun 2001 sebesar 105,94% setiap tahun memiliki tingkat efektifitas target terhadap pajak daerah Sangat Efektif dengan efektifitas rata-rata setiap tahun adalah 106,05%. Hal ini dikarenakan tujuan anggaran yang telah ditetapkan dalam bentuk target pajak daerah telah tercapai, bahkan melebihi target yang telah ditetapkan dengan efektifitas tertinggi dicapai pada tahun 2000 sebesar 15,68%. Setelah otonomi, hasil perhitungan efektifitas pajak daerah tahun 2002 sebesar 104,82%, tahun 2002 sebesar 104,81% dan pada tahun 2004 efektifitasnya adalah sebesar 106,79% dengan kriteria untuk setiap tahun adalah sama yaitu Sangat Efektif dengan nilai efektif rata-ratanya adalah 105,47%. Kondisi ini pun sama dengan efektifitas sebelum perubahan APBD ditetapkan pada pajak daerah 24 (sebelum otonomi). Hal ini berarti pemerintah daerah berhasil dalam mencapai target yang telah ditetapkan sebelumnya karena disebabkan potensi daerah yang sangat mendukung. Realisasi pajak daerah ini juga melampaui target dengan efektifitas tertinggi pada tahun 2004 sebesar 6,79%. Berarti pemerintah daerah Kabupaten Bogor telah melakukan perhitungan yang cukup baik dalam menggali potensi pajak daerahnya. 7. Kesimpulan Sebelum maupun setelah otonomi daerah, pajak daerah masih tetap memberikan peranan terbesar terhadap PAD, maka masih dapat dijadikan sebagai tulang punggung. Sumber-sumber pendapatan daerah dinilai masih sangat potensial karena berbagai keterbatasan untuk menggalinya. Era otonomi ini adalah waktu yang sangat tepat karena daerah diberikan kesempatan yang lebih luas untuk mengoptimalkan potensinya, terutama untuk menggali sumber-sumber pajak baru. Penyelenggaraan otonomi daerah dapat dilaksanakan dengan baik bila didukung oleh sumber-sumber pembiayaan yang memadai. Potensi ekonomi daerah sangat menentukan dalam upaya meningkatkan kemampuan keuangan daerah bagi penyelenggaraan rumah tangganya. Namun demikian, otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan hanya semata diukur dari jumlah PAD yang dapat dicapai tetapi sejauh mana Pajak dapat berperan mengatur perekonomian masyarakat agar dapat tumbuh yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Kebijakan pemerintah saat ini yang dinilai sangat tepat untuk meningkatkan peneriamaan daerah dalam jangka pendek sebaiknya dititikberatkan pada intensifikasi pemungutan pajak, yaitu mengoptimalkan jenis-jenis pajak yang sudah ada. Untuk jangka panjang, pemerintah daerah Kabupaten Bogor masih dapat mencari pajak baru yang potensial sesuai dengan karakteristik daerahnya dan koridor perundangan yang berlaku. Pemerintah Daerah harus melakukan sosialiasi secara matang untuk mengantisipasi efek perubahan otonomi dan agar masyarakat timbul kesadaran untuk membayar pajak dan memberikan fasilitas yang memadai sebagai balasan pembayaran tersebut. 8. Daftar Pustaka 1. Brotodihardjo, R. Santoso., Pengantar Ilmu Hukum Pajak., Bandung : PT Eresco. 1993. 2. Kosim, Azhar., Pengukuran Efektifitas Dalam Organisasi., Jakarta : Pusat Antar Universitas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia. 1989. 3. Mansuri, R., Panduan Konsep Utama Pajak Indonesia., Jakarta : PT Bina Rena Pariwara. 1996. 4. Mardiasmo., Perpajakan., Yogyakarta : ANDI. 1995. 5. Mardiasmo., Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah., Yogyakarta : ANDI . 2002 6. Martani, Huseini., Hari Lubis., Teori Organisasi., Jakarta : Pusat Antar Universitas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia. 1989. 7. Munir, Dasril., Henry Arys Djuanda., Kebijakan Dan Manajemen Keuangan 25 Daerah ., Yogyakarta : YPAPI. 2002 8. Pratista, Arif., Aplikasi SPSS 10.05 Dalam Statistik dan Rancangan Percobaan., Bandung : Alfabeta. 1998 9. Samudera, Azhari A., Perpajakan di Indonesia., Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 1995. 10. Soemitro, Rochmat H., Azas Dan Dasar Perpajakan Jilid I., Bandung : PT Eresco. 1997 11. Umar, Husein., SDM Dalam Organsisasi., Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 1998. 12. Zain, Moh., Arinta Kustadi., Pembaharuan Perpajakan Nasional., Bandung : PT Citra Aditya Bakti. 1990. 13. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. 14. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. 15. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. 26