peranan pajak daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah

advertisement
PERANAN PAJAK DAERAH DALAM MENINGKATKAN
PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN BOGOR
Oleh :
Betta Sari Novalita
20200310
1. Pendahuluan
Hubungan keuangan dan pembagian tugas antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah terus mengalami perubahan. Pada saat Republik Indonesia
Serikat pemerintah daerah memiliki otonomi yang besar, tetapi sejak demokrasi
terpimpin, otonomi daerah menjadi sangat terbatas. Pada masa orde baru,
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah diatur oleh UU No 5 Tahun 1974
yang akhirnya membuat peran pemerintah pusat menjadi sangat dominan
sementara peran pemerintah daerah semakin minim.
Wacana negara federasi muncul ketika pada akhir tahun 1998 terjadi
gejolak disintegrasi di beberapa daerah sebagai cermin ketidakpuasan daerah atas
ketidakadilan politik, hukum, maupun ekonomi yang dilakukan pemerintah pusat.
Saat itu, Federalisme dianggap sebagai alternatif yang paling realistis untuk
memecahkan berbagai persoalan daerah.
Dalam konsep federalisme, untuk membentuk negara federasi Indonesia
langkah pertama yang harus dilakukan adalah membubarkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Setelah itu, satu atau gabungan beberapa propinsi akan
memproklamirkan kemerdekaannya, kemudian negara-negara ini harus berkumpul
untuk membentuk negara federasi. Hal ini menimbulkan pro dan kontra karena
tidak ada jaminan negara-negara yang sudah merdeka itu mau bersatu kembali,
terutama untuk daerah yang sumber daya alamnya kaya tetapi tidak pernah
menikmatinya.
Wacana otonomi muncul sebagai jalan tengah karena resiko yang
dianggap lebih sedikit dan bisa memenuhi tuntutan daerah secara lebih optimal.
Dikeluarkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah dan UU No
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
telah menyebabkan perubahan mendasar mengenai pengaturan hubungan pusat
dan daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam
hubungan keuangan. Era inilah yang dikenal sebagai era otonomi daerah.
Berlakunya undang-undang ini menyebabkan daerah memiliki kesempatan
yang besar untuk melaksanakan tujuan pembangunannya berdasarkan lokalitas
yang lebih tinggi dan harapan baru mengenai otonomi yang lebih luas, khususnya
daerah tingkat kabupaten/kota. Disisi lain, otonomi menimbulkan suatu kebutuhan
dana yang besar dan daerah tidak bisa lagi menggantungkan diri sepenuhnya
kepada pemerintah pusat, oleh karena itu pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah dalam otonomi harus disertai dengan pelimpahan keuangan.
Pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah
untuk mengatur dan mengelola dirinya sendiri. Sebagai administrator penuh,
masing-masing daerah harus kreatif agar pengelolaan daerahnya lebih terfokus dan
mencapai sasaran yang telah ditentukan. Kesalahan persepsi yang menjadikan
1
sumber daya alam sebagai sandaran harus segera diubah karena suatu saat kekayaan
alam akan habis. Pemerintah daerah harus mulai mencari sumber lain yang ada di
wilayahnya untuk diandalkan sebagai tulang punggung Pendapatan Asli daerah.
Dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan pemerintah daerah
dalam bentuk pelaksanaan kewenangan fiskal, daerah harus dapat mengenali
potensi dan mengidentifikasi sumber-sumber daya yang dimilikinya. Pemerintah
daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya
untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di
daerahnya melalui Pendapatan Asli daerah (PAD). Tuntutan peningkatan PAD
semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintahan
yang dilimpahkan kepada daerah disertai pengalihan personil, peralatan,
pembiayaan dan dokumentasi (P3D) ke daerah dalam jumlah besar.
Untuk meningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalam pembelanjaan
APBD-nya, sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara
maksimal di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku,
termasuk diantaranya adalah Pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah sejak
lama menjadi salah satu unsur PAD yang utama. Semakin tinggi kewenangan
keuangan yang dimiliki daerah, semakin tinggi peranan PAD dalam struktur
keuangan daerah, begitu pula sebaliknya.
Kabupaten Bogor adalah daerah yang memiliki potensi PAD yang belum
dikelola secara maksimal dan setiap tahun jumlahnya terus meningkat secara
signifikan, tetapi belum digali secara maksimal karena berbagai keterbatasan. Era
otonomi daerah ini adalah waktu yang sangat tepat untuk mengoptimalkan Pajak
daerah
2. Optimalisasi Pajak Daerah Untuk Meningkatkan Kemampuan Keuangan
Daerah
Ciri utama yang menunjukkan daerah otonom mampu berotonomi terletak
pada kemampuan keuangannya. Berkaitan dengan hal tersebut, optimalisasi
sumber-sumber PAD perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan
daerah.
Pajak adalah salah satu bentuk peran masyarakat dalam penyelenggaraan
otonomi dan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai
pemerintahan dan pembangunan daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh daerah
umumnya berkaitan dengan penggalian sumber-sumber Pajak daerah, yang
merupakan komponen PAD yang memiliki peran yang terbesar. Untuk itu
diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi subjek dan objek pendapatan.
Dalam rangka intensifikasi kemampuan keuangan daerah, Pemerintah
daerah melakukan berbagai kebijakan perpajakan, diantaranya dengan
menetapkan UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No. 18 Tahun
1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pemberian kewenangan dalam
pengenaan pajak dan retribusi daerah, diharapkan dapat mendorong Pemerintah
daerah terus berupaya untuk mengoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari
Pajak daerah. Pajak daerah diharapkan bisa menjadi tulang punggung PAD.
Meski demikian, untuk mencegah hal-hal yang dapat merugikan
masyarakat dan dunia usaha, UU No. 34 Tahun 2000 membatasi pajak dan
2
retribusi yang dapat dipungut oleh Pemerintah daerah sebagai berikut: a)
pendapatan yang cukup dan elastis; b) adil dan merata secara vertikal dan secara
horizontal ; c) administrasi yang fleksibel ; d) secara politis dapat diterima oleh
masyarakat; dan d) Non-distorsi terhadap perekonomian.
Untuk mengoptimalkan potensi PAD, Pemerintah daerah memiliki dua
alat utama (measures), yaitu policy measures dan administrative measures. Policy
Measures mengandalkan kebijakan yang berwujud penerbitan ketentuanketentuan Pemerintah daerah yang menyangkut masalah pokok.
Pemerintah daerah melalui perda menetapkan obyek pajak, mengenai APA
saja yang akan dikenai Pajak (basis transaksi / kebendaan). Kebijakan pungutan
pajak daerah yang berdasarkan Perda tidak boleh tumpang tindih dengan pungutan
pusat akan menimbulkan duplikasi pungutan. Hal ini dinyatakan dalam UU No.34
Tahun 2000, Pasal 2 ayat (4) “Objek Pajak daerah bukan merupakan objek Pajak
pusat”.
Peraturan daerah juga menetapkan subyek pemungutan Pajak, mengenai
siapa saja yang akan dipajaki, baik sebagai pembayar, penanggung maupun entitas
yang diminta membantu untuk mengumpulkan Pajak (collecting agent).
Ketentuan dalam perda juga menetapkan Tarif Pajak. Tarif bisa berbentuk
prosentase atau jumlah rupiah tertentu. Tarif untuk Pajak Kabupaten/Kota
ditetapkan dengan Peraturan daerah, tetapi tidak boleh lebih tinggi dari tarif
maksimum yang telah ditentukan dalam UU.
Alat (measures) lain yang perlu dilaksanakan langkah-langkah
administratif. Langkah ini berkaitan dengan kapasitas administratif pemerintah
daerah, terutama di bidang yang berkaitan dengan pendapatan daerah seperti
organisasi, sistem dan prosedur, sistem informasi, sumberdaya manusia.
Selanjutnya, ekstensifikasi perpajakan juga dapat dilakukan, yaitu melalui
kebijaksanaan Pemerintah untuk memberikan kewenangan perpajakan yang lebih
besar kepada daerah pada masa mendatang. Untuk itu, perlu adanya perubahan
dalam sistem perpajakan Indonesia sendiri melalui sistem pembagian langsung
atau beberapa basis Pajak Pemerintah Pusat yang lebih tepat dipungut oleh daerah.
3. Keuangan Daerah
Pemerintahan di daerah dapat terselenggara karena adanya dukngan
berbagai faktor sumber daya alam yang mampu menggerakkan jalannya roda
pemerintahan. Faktor keuangan merupakan faktor utama sebagai sumber daya
finansial dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam UU No. 22 Tahun 1999
dan disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah
kepada pemerintah daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia (pasal 1, huruf e). Otonomi yang diberikan kepada daerah kota dan
kabupaten didasarkan pada asas desentralisasi yang mencakup pula kewenangan
yang penuh dalam menyelesaikan urusan rumah tangganya. Konsekuensi logis
dari desentralisasi tersebut, yaitu adanya pelimpahan wewenang dan
tanggungjawab dalam mengelola keuangan daerahnya.
PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah menyebutkan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan
kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahnya yang dapat
3
dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut
dalam kerangka anggaran pendapatan dan belanja daerah. Dalam pasal 4 dan 5
disebutkan bahwa pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat
undang-undang yang berlaku, efisien, efektif dan transparan serta bertanggungjawab.
Dalam pengelolaan keuangan daerah sebagai perwujudan dari rencana kerja
keuangan yang didasarkan pada undang-undang dan peraturan pemerintah diatas, maka
penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sangat penting dalam
penyelenggaraan fungsi daerah otonom. APBD adalah wadah untuk menampung
berbagai kepentingan publik yang diwujudkan melalui berbagai kegiatan dan program.
4. Manajemen Keuangan Daerah.
Peran anggaran dalam penentuan arah dan kebijakan pemerintah daerah
tidak terlepas dari kemampuan anggaran tersebut dalam mencapai tujuan
pemerintah daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik. Oleh karena itu,
pemerintah daerah perlu memperhatikan hakekat anggaran sebagai perwujudan
amanat rakyat pada pihak eksekutif dan legislatif untuk meningkatkan
kesejahteraan dan pelayanan masyarakat dalam batas otonomi yang dimilikinya.
Prinsip-prinsip penyusunan anggaran adalah sebagai berikut:
i. Keadilan. Pelayanan umum dan kesempatan kerja akan meningkat bila fungsi
alokasi dan distribusi dalam pengelolaan anggaran telah dilakukan dengan
benar. Hal ini mengharuskan pemda untuk merasionalkan pengeluaran secara
adil agar hasilnya dapat dinikmati masyarakat secara proporsional.
ii. Efisiensi dan efektifitas. Kelemahan yang sangat menonjol dari anggaran
selama ini adalah keterbatasan daerah untuk mengembangkan instrumen teknis
perencanaan yang berorientasi pada kinerja, maka penyusunan anggaran harus
memperhatikan efisiensi alokasi dan efektifitas kegiatan dalam pencapaian
sasaran dan tujuan. Penetapan standar kinerja proyek dan kegiatan serta harga
satuannya merupakan faktor penentu dalam meningkatkan efisiensi dan
efektifitas anggaran.
iii. Berimbang dan defisit. Prinsip berimbang adalah untuk menghindari
terjadinya hutang pengeluaran akibat rencana pengeluaran yang melebihi
kapasitas penerimaannya. Prinsip defisit agar alokasi belanja sesuai dengan
kemampuan daerah yang riil.
iv. Disiplin. Struktur anggaran harus disusun dan dilaksanakan secara konsisten.
Pencatatan atas penggunaan anggaran sesuai dengan prinsip akuntansi keuangan
daerah Indonesia. Tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum atau
tidak tersedia kedit anggarannya dalam APBD/perubahanAPBD. Bila ada
kegiatan baru atau belum ada kreditnya, perubahan APBD dapat dipercepat
dengan pos pengeluaran tak disangka. Anggaran yang tersedia pada setiap pos
merupakan batas tertinggi pengeluaran. Duplikasi anggaran antar unit kerja
atau antar belanja. Alokasi anggaran berdasarkan skala prioritas yang telah
ditetapkan, terutama untuk program peningkatan pelayanan masyarakat.
v. Transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan, penetapan, perubahan dan
perhitungan anggaran merupakan wujud pertanggungjawaban pemda kepada
masyarakat. Sebagai salah satu instrumen kontrol pengelolaan anggaran,
masyarakat harus leluasa untuk mengakses informasi. Perencanaan
4
pelaksanaan, dan pelaporan kegiatan harus dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan secara teknis dan ekonomis.
Dalam rangka meningkatkan kinerja anggaran daerah, salah satu aspek
penting adalah pengelolaan keuangan dan anggaran daerah. Untuk itu, diperlukan
manajemen keuangan yang mampu mengontrol kebijakan keuangan secara
ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel. Mardiasmo (2000:1-3)
mengemukakan elemen manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk
mengontrol kebijakan keuangan yang meliputi:
1. Akuntabilitas.
Kewajiban pemda untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan,
melaporkan, dan mengungkapkan segala kegiatan yang terkait dengan
penerimaan dan penggunaan uang publik kepada pihak DPRD dan masyarakat
luas. Aspek yang dipertimbangkan: 1) legalitas penerimaan dan pengeluaran.
setiap transaksi yang dilakukan harus dapat dilacak otoritas legalnya; 2)
pengelolaan keuangan secara baik, perlindungan aset fisik dan aset finansial,
mencegah pemborosan. Prinsip-prinsip akuntabilitas adalah: 1) sistem
akuntansi dan sistem anggaran dapat menjamin pengelolaan keuangan sesuai
dengan undang-undang yang berlaku; 2) pengeluaran berorientasi pada
pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran.
2. Value for money (Vfm).
Dalam konsep Vfm, terdapat tiga pilar utama yaitu ekonomi, efisiensi dan
efektifitas. Konsep ini penting bagi pemda sebagai pelayan massyarakat,
karena implementasinya dapat memberikan manfaat seperti:
a. efektifitas pelayanan publik, pelayanan yang diberikan tepat sasaran;
b. Meningkatkan mutu pelayanan publik;
c. Biaya pelayanan yang murah;
d. Alokasi belanja yang berorientasi pada kepentingan publik;
e. Meningkatkan public cost awareness sebagai akar pelaksanaan
pertanggungjawaban publik.
3. Kejujuran.
Staf yang mengelola keuangan daerah harus memiliki integritas dan kejujuran
yang tinggi sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan.
4. Transparansi.
Keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan
sehingga dapat diawasi oleh publik. Transparansi akan menciptakan
akuntabilitas sehingga tercipta pemda yang bersih, efektif, efisien, dan
tanggap terhadap kepentingan rakyatnya.
5. Pengendalian.
Penerimaan dan pengeluaran harus sering dimonitor, yaitu dibandingkan
antara yang dianggarkan dan yang direalisasikan.
5. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) .
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah menurut merupakan
satu kesatuan yang terdiri dari:
a. Pendapatan Daerah.
Sesuai dengan Pasal 79 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
5
Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 Tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, pendapatan daerah
adalah semua penerimaan kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu.
Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur
secara rasional yang dapat dicapai. sebagaimana dimaksud dalam terdiri atas:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD);
2. Dana Perimbangan;
3. Pinjaman Daerah; dan
4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
1. Pendapatan asli daerah (PAD) terdiri atas:
1. pajak daerah.
a. pajak propinsi.
(i) pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; (ii) Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; (iii)
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; (iv) pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
b. pajak kabupaten/kota.
(i) Pajak Hotel; (ii) Pajak Restoran; (iii) Pajak Hiburan; (iv) Pajak
Reklame; (v) Pajak Penerangan Jalan; (vi) Pajak Pengambilan dan
Pengolahan Bhn Gal. Gol. C; (vii) Pajak Parkir.
2. retribusi daerah;
(i) Retribusi Jasa Umum; (ii) Retribusi Jasa Usaha; (iii) Retribusi Perijinan
Tertentu.
3. hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan; dan
4. lain-lain PAD yang sah. mencakup:
a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; b. hasil
pemanfaatan/pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; c. jasa
giro; d. pendapatan bunga; e. tuntutan ganti rugi; f. keuntungan selisih
nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan g. komisi, potongan,
ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan
barang dan/atau jasa oleh daerah.
2. Pendapatan Dana Perimbangan meliputi :
a. Dana Bagi Hasil;
(i). Bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan;
(ii). Bea perolehan hal atas tanah dan bangunan; dan
(iii). Sumber daya alam.
- Sektor kehutanan yaitu hak pengusahaan hutan dan provisi sumber
daya hutan.
- Sektor pertambangan umum yaitu iuran tetap (land rent) dan iuran
eksplorasi.
- Sektor perikanan.
- Sektor pertambangan minyak dan gas alam.
b. Dana Alokasi Umum;
Diberikan dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN
6
dengan memperhatikan potensi daerah, kebutuhan pembiayaan untuk
penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan tersedianya dana APBN.
c. Dana Alokasi Khusus.
Diberikan untuk membiayai kegiatan khusus yang tidak terdapat di daerah
lain, bersumber dari penerimaan umum APBD.
3. Pinjaman daerah.
Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999, Pemerintah daerah dapat melakukan
pinjaman dari dalam negeri atau luar negeri dengan persetujuan pemerintah pusat
untuk membiayai sebagian anggarannya. Pinjaman dalam negeri dapat bersumber
dari pemerintah pusat dan/atau lembaga komersial atau penerbitan obligasi
daerah. Pinjaman luar negeri mekanismenya melaui pemerintah pusat.
3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah
Merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan,
yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan
pemerintah. Hibah merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang
berasal dari pemerintah, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar
negeri yang tidak mengikat.
b. Belanja Daerah
Pasal 21 UU No. 25 Tahun 1999 menyebutkan bahwa anggaran
pengeluaran tidak boleh melebihi anggaran penerimaan. Dalam penjelasan
pasalnya, daerah tidak boleh mengganggarkan pengeluaran tanpa kepastian
terlebih dahulu mengenai ketersediaan sumber pembiayaannya. Sejalan dengan
itu, PP No. 105 Tahun 2000 menjelaskan bahwa jumlah belanja yang dianggarkan
dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk semua jenis belanja.
Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan
wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.
Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi
dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi
kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar,
pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta
mengembangkan sistem jaminan sosial.
Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan
kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan
dengan susunan organisasi pemerintahan daerah. Klasifikasi belanja menurut
fungsi terdiri dari:
a. klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan; dan
b. klasifikasi fungsi pengelolaan keuangan negara.
Klasifikasi belanja berdasarkan urusan pemerintahan diklasifikasikan
menurut kewenangan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Klasifikasi
belanja menurut fungsi yang digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan
pengelolaan keuangan negara terdiri dari: a. pelayanan umum; b. ketertiban dan
keamanan; c. ekonomi; d. lingkungan hidup; e. perumahan dan fasilitas umum; f.
kesehatan; g. pariwisata dan budaya; h. agama; i. pendidikan; serta j. perlindungan
sosial.
Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan
7
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Klasifikasi belanja
menurut jenis belanja terdiri dari: a. belanja pegawai; b. belanja barang dan jasa;
c. belanja modal; d. bunga; e. subsidi; f. hibah; g. bantuan sosial; h. belanja bagi
hasil dan bantuan keuangan; dan i. belanja tidak terduga.
Penganggaran dalam APBD untuk setiap jenis belanja berdasarkan
ketentuan perundang-undangan.
c. Pembiayaan Daerah
Pembiayaan adalah transaksi keuangan untuk menutup selisih antara
pendapatan daerah dan belanja daerah. Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan
pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.
Penerimaan pembiayaan mencakup: a. SiLPA tahun anggaran sebelumnya;
b. pencairan dana cadangan; c. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;
d. penerimaan pinjaman; dan e. penerimaan kembali pemberian pinjaman.
Pengeluaran pembiayaan mencakup: a. pembentukan dana cadangan; b.
penyertaan modal pemerintah daerah; d. pembayaran pokok utang; dan d.
pemberian pinjaman.
Pembiayaan neto merupakan selisih lebih penerimaan pembiayaan
terhadap pengeluaran pembiayaan. Jumlah pembiayaan neto harus dapat menutup
defisit anggaran.
6. Peranan Pajak Daerah Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD)
Berdasarkan data-data yang telah diperoleh dari Dinas Pendapatan Daerah
Kabupaten Bogor, maka kita dapat menganalisis peranan pajak daerah dalam
pendapatan asli daerah (PAD) setelah adanya otonomi daerah dan perubahanperubahan yang menyertainya, laju pertumbuhan pajak daerah dan pendapatan asli
daerah (PAD), realisasi pajak daerah dan pendapatan asli daerah (PAD) yang
ditargetkan, total penerimaan daerah apakah dapat menutupi anggaran
pengeluaran daerah (surplus).
Pada tabel 1 dapat kita lihat secara garis besar realisasi anggaran
pendapatan dan belanja negara daerah Kabupaten Bogor selama tujuh tahun
anggaran, yaitu sejak tahun anggaran 1998/1999 hingga tahun anggaran 2004.
pada gambar 1 dan gambar 2 dibawah ini, adalah target dan realisasi penerimaan
pajak daerah Kabupaten Bogor selama tujuh tahun anggaran mulai tahun anggaran
1998/1999 sampai dengan tahun anggaran 2004. T.A. 1998/1999 dan 1999/2000
sejak tanggal 1 Maret hingga 31 April tahun berikutnya. Sejak T.A. 2000 diubah
menjadi 1 Januari hingga 31 Desember tahun berikutnya. Ketetapan otonomi
daerah juga merubah sebagian struktur APBD tersebut karena ada beberapa
rincian yang dihilangkan dan ada beberapa yang ditambahkan. Bagian yang
dikosongkan memiliki arti bahwa bagian tersebut mengalami perubahan karena
adanya penghapusan beberapa elemen APBD tersebut. Untuk pendapatan asli
daerah (PAD), otonomi diterapkan sejak tahun 2002. Untuk Dana Perimbangan,
otonomi diterapkan sejak 2001. untuk Total Pengeluaran, otonomi diterapkan
sejak tahun 2003.
8
TABEL 1
REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 1998/1999 S.D. 2004
NO
9
I
A
B
1.
1.1
1.2
1.3
1.4.
1.5.
1.6
1.7
1.8
1.9
1.10
2.
3.
4
C
D
II
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
III
III
DESKRIPSI
TOTAL PENDAPATAN
BAGIAN SISA LEBIH TAHUN LALU
BAGIAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
PAJAK DAERAH
Pajak Hotel dan Restoran
Pajak Hotel
Pajak Restoran
Pajak Hiburan
Pajak Reklame
Pajak Penerangan Jalan
Pajak Pengambilan & Pengolahan Bahan Galian Golongan C
Pajak Parkir
Pajak Sarang Burung Walet
Pajak Pemanfaatan ABT/AP
RETRIBUSI DAERAH
LABA USAHA DAERAH
LAIN-LAIN PAD YANG SAH
DANA PERIMBANGAN
LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SAH
TOT PENGELUARAN RUTIN (sblm UU No 25 th 1999)
/TOTAL BELANJA (UU No. 25 Th 1999)
Belanja pegawai
Belanja barang dan jasa
Belanja perjalanan dinas
Belanja pemeliharaan
Belanja lain-lain
Belanja modal
Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan
Pengeluaran tidak termasuk bagian lain
Pengeluaran tidak tersangka
TOTAL PENGELUARAN PEMBANGUNAN
(sebelum UU No. 25 Tahun 1999)
TOTAL PEMBIAYAAN (Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999)
Penerimaan daerah
Pengeluaran daerah
1998/1999
278.504.469
2.903.438
64.078.100
28.655.625
5.797.214
1999/2000
344.657.416
15.283.000
71.964.955
36.464.173
7.035.595
2000
269.525.093
9.903.295
56.184.781
29.140.247
4.287.167
Dalam (000)
2001
700.151.361
19.252.243
100.880.636
51.542.056
6.378.089
2002
943.760.189
136.997.463
123.310.170
62.589.334
2003
845.677.874
2004
991.691.770
148.921.781
79.458.815
166.260.110
91.308.030
4.641.092
4.400.174
1.647.073
1.811.173
31.379.551
18.640.026
70.242
5.732.560
5.534.173
2.296.931
2.644.285
41.452.127
21.574.217
165.203
59.315
6.975.030
7.570.710
3.475.292
4.502.028
41.975.000
26.110.050
506.250
193.670
44.119.053
3.382.316
21.961.589
685.684.290
11.091.801
803.164.130
56.922.290
3.612.010
14.417.790
804.367.070
21.064.590
974.948.090
386.643.420
69.809.210
15.441.320
34.024.820
13.504.250
120.681.290
115.093.370
453.102.220
87.530.930
19.698.080
23.239.530
34.963.480
189.688.500
141.455.120
47.966.470
25.370.230
133.445.850
156.487.150
23.041.300
120.053.570
175.959.590
55.906.020
875.683
750.525
10.209.661
7.322.235
946.051
861.677
12.067.214
10.705.148
557.762
538.187
10.544.230
9.898.608
1.281.236
1.104.999
23.715.244
14.719.953
3.611.009
23.310.325
1.820.646
10.291.502
4.848.486
26.137.398
503.313
8.860.070
257.409.481
3.314.291
20.483.317
874.258
5.686.957
203.429.232
4.432.532
32.915.987
1.992.986
14.229.606
580.853.489
160.860.384
244.978.010
182.054.444
412.939.804
36.575.878
2.361.151
21.793.808
644.51.250
38.842.305
581.890.010
95.783.580
20.242.375
2.025.808
4.724.795
17.434.186
3.519.999
6.451.271
10.078.370
600.000
102.361.085
135.555.673
26.937.591
2.269.576
6.503.412
21.398.812
2.669.153
31.129.580
13.697.526
4.816.683
89.776.111
106.036.289
18.024.344
3.215.338
4.404.496
14.945.582
1.484.156
7.382.365
13.703.145
12.868.726
54.460.083
262.230.633
42.541.026
5.409.592
6.132.721
33.235.171
836.658
18.336.858
24.829.562
19.387.578
150.214.093
297.760.760
83.497.050
6.592.740
20.198.080
101.857.490
2.671.130
20.405.780
30.445.750
18.461.230
240.383.040
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor dan Situs www.djpkpd.go.id
Gambar 1
Target Penerimaan Pajak Daerah Kabupaten Bogor
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor
Gambar 2
Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Kabupaten Bogor
Rp100,000,000,000.00
Rp91.308.030,000.00
Rp79,458,815,863.00
Rp80,000,000,000.00
Rp62,589,334,585.00
Rp60,000,000,000.00
Rp51,542,056,289.00
Rp36,464,173,774.00
Rp40,000,000,000.00
Rp29,140,247,958.00
Rp28,655,625,413.00
Rp20,000,000,000.00
Rp0.00
98/99
99/00
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor
Peranan pajak daerah dalam pendapatan asli daerah (PAD) dapat kita lihat
hasilnya dalam beberapa analisis berikut ini.
1). Uji Hitung T
Uji T ini digunakan untuk menguji secara statistik apakah rata-rata satu
group sampel berbeda dengan satu group yang lain (Hanya untuk membandingkan
dua group yang berbeda). Untuk analisis ini digunakan program olah data SPSS
(Statistical Product And Service Solution) 10.05 untuk Windows. Data sampel
10
dalam jumlah kecil (< 30) dan terdistribusi secara normal. Hasil akan muncul
dalam bentuk tabel seperti di bawah ini. Setelah ini dapat kita lakukan analisis
dengan menginterpretrasikan angka-angka yang ada pada tabel tersebut sesuai
dengan ketentuan yang ada pada gambar hasil uji hitung t.
T-Test
Group Statistics
PAD
Jumlah
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
sebelum
4
73277118,0000
19497400,63018
9748700,31509
setelah
3
146164020,3333
21607366,09173
12475018,62954
Independent Samples Test
Levene's
Test for
Equality of
Variances
F
Jum
lah
Equal
variances
assumed
Equal
variances
not
assumed
,029
Sig.
,872
t-test for Equality of Means
t
Sig.(2
tailed)
df
Mean Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower
Upper
-4,685
5
,005
-72886902,3333
15556036,89350
-112874968,20592
-32898836,46075
-4,604
4,155
,009
-72886902,3333
15832348,14046
-116203592,60212
-29570212,06455
Interpretasi
Pada Tabel Group Statistics terlihat rata-rata PAD sebelum otonomi Rp
73.277.118,0000
sedangkan
untuk
PAD
setelah
otonomi
adalah
Rp 146.164.020,3333. Langkah kedua menggunakan Tabel Independent Sample
Test Disini ada dua tahapan analisis yang pertama menguji apakah Varians kedua
sample sama, dengan Levene Test dan tahap analisis kedua berdasarkan hasil pada
no.1, akan diuji apakah rata-rata dua sampel tersebut sama dengan menggunakan
T Test.
Setelah diadakan Pengujian Varians Dua Sampel, dikemukakan dua
Hipotesis:
♦ Ho. Kedua Sampel mempunyai Varians yang sama.
♦ Ha. Kedua Sampel mempunyai Varians yang berbeda.
Untuk proses pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan hal berikut:
♦ Jika F hitung < F tabel atau probabilitasnya (Sig) > 0,05 maka Ho. Diterima.
♦ Jika F hitung > F tabel atau probabilitasnya (Sig) < 0,05 maka Ho. Ditolak.
Setelah kita lihat nilai probabilitasnya sebesar 0,872 yang berarti lebih
besar dari 0,05, maka Ho. Diterima, artinya varians kedua sampel sama.
Pengujian Rata-rata Dua Sampel
Karena kedua sampel mempunyai varians yang sama maka pengujian
terhadap nilai rata-rata menggunakan dasar equal variance assumed (diasumsikan
11
kedua sampel mempunyai varians yang sama). Untuk ini dikemukakan dua
Hipotesis:
♦ Ho. Kedua Sampel mempunyai rata-rata yang sama.
♦ Ha. Kedua Sampel mempunyai rata-rata yang berbeda.
Untuk proses pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan hal berikut:
♦ Jika t hitung < t tabel atau probabilitasnya (Sig) > 0,05 maka Ho. Diterima.
♦ Jika t hitung > t tabel atau probabilitasnya (Sig) < 0,05 maka Ho. Ditolak.
T hitung dapat dilihat sebesar –4,685. Pada tabel distribusi t (lampiran)
dengan menggunakan taraf kepercayaan 95% (α = 5%, untuk 2-tailed ini
digunakan 5%/2 = 2,5% karena dilakukan uji dua sisi), derajat bebas 5 maka
didapatkan nilai t tabel sebesar 2,571 Sehingga dapat disimpulkan Ho. Ditolak
atau kedua sampel memiliki rata-rata PAD yang berbeda, dengan kata lain bahwa
ada perubahan dalam rata-rata PAD antara sebelum dan sesudah otonomi daerah.
Gambar 1
Hasil Uji Hitung T
Ho. Ditolak
Ho. Ditolak
- 4,685
+4,685
- 2,571
+ 2,571
2). Kemampuan Keuangan Daerah.
a. Kontribusi pajak daerah terhadap PAD.
Kontribusi masing-masing jenis pajak daerah terhadap pendapatan asli
daerah (PAD) merupakan rasio antara jenis pajak tertentu dengan total pendapatan
asli daerah (PAD) pada satu tahun tertentu, dan rasio antara jumlah total pajak
daerah terhadap total pendapatan asli daerah pada tahun tertentu. Rasio ini
mengindikasikan besar kecilnya peran suatu jenis pajak daerah terhadap PAD.
Semakin tinggi rasio yang diperoleh berarti semakin besar pula tingkat kontribusi
pajak tersebut semakin besar. Rumusannya sebagai berikut:
SPjDt
Cj =
x 100%
PADt
Cj
SPjDt
PADt
kontribusi variabel pajak daerah terhadap PAD.
nilai dari realisasi pendapatan daerah tahun t.
realisasi total pendapatan asli daerah tahun t.
12
C=
TPjDt
x 100%
TPADt
C
TPjDt
TPADt
kontribusi total pajak daerah terhadap PAD.
nilai dari realisasi total pajak daerah tahun t.
total realisasi pendapatan asli daerah tahun t.
Tim peneliti Fisipol UGM bekerjasama dengan Litbang Depdagri menyebutkan
tolok ukur kemampuan daerah dalam tabel 2 berikut.
Tabel 2
Kontribusi Pajak Daerah Terhadap PAD
Rasio
Kemampuan keuangan Daerah
00,00% - 10,00%
Sangat kurang
10,01% - 20,00%
Kurang
20,01% - 30,00%
Sedang
30,01% - 40,00%
Cukup
40,01% - 50,00%
Baik
> 50,00%
Sangat baik
Sumber : Dasril Munir (2002:24)
Setelah dilakukan analisis dengan maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 3
Kontribusi Variabel Pajak Daerah Terhadap PAD
Deskripsi
Pajak Hotel &
Restoran
Pajak
Hotel
Pajak
Restoran
Pajak
hiburan
Pajak
reklame
Pjk penerangan jln
P. bahan gal.
Gol C
Pajak
parkir
P. sarang
b. walet
1998/1999 1999/2000
9,00%
9,78%
2000
2001
7,60%
6,32%
2002
2003
2004
Dipisahkan menjadi pajak
hotel dan pajak restoran
Belum ditetapkan
3,76%
3,85%
4,19%
Belum ditetapkan
3,57%
3,72%
4,55%
1,37%
1,31%
0,99%
1,27%
1,33%
1,50%
2,09%
1,17%
1,10%
0,96%
1,09%
1,47%
1,77%
2,70%
15,93%
16,77% 18,76% 23,51% 25,45% 27,83% 25,25%
11,43%
14,87% 17,56% 14,59% 15,12% 14,49% 15,70%
Belum ditetapkan
Belum ditetapkan
13
0,056%
0,11%
0,30%
0,039%
0,04%
P. ABT &
AP
5,63%
6,73%
5,90%
4,40%
Ditarik menjadi pajak
propinsi
Tabel 4
Kontribusi Total Pajak Daerah
Terhadap PAD
™ Tahun 1998/1999
=
44,72%
™ Tahun 1999/2000
=
50,67%
™ Tahun 2000
=
51,86%
™ Tahun 2001
=
50,75%
™ Tahun 2002
=
50,75%
™ Tahun 2003
=
53,35%
™ Tahun 2004
=
54,90%
Dari kedua tabel diatas, kita dapat membandingkan dengan sumber
pendapatan asli daerah yang lain seperti retribusi daerah, laba usaha daerah
maupun lain-lain pendapatan asli daerah (PAD) yang sah, baik sebelum ataupun
setelah berlakunya otonomi daerah, pajak daerah selalu memiliki
peranan/kontribusi yang terbesar dalam pendapatan asli daerah (PAD). Kontribusi
pajak setiap tahun sejak T.A. 1998/1999 hingga T.A. 2004 selalu mengalami
peningkatan. Bila dilihat dari setiap tahun dan dari masing-masing jenis pajak
daerah, maka dapat kita lihat setiap tahun anggaran kontribusi pajak daerah
terhadap PAD
Sebelum otonomi daerah (T.A. 1998/1999 s.d T.A. 2001), pajak yang
memiliki peran paling besar dalam APBD adalah pajak penerangan jalan. Tahun
1998/1999 kontribusi pajak penerangan jalan terhadap PAD adalah sebesar
15,93%, pajak bahan gal. C Sebesar 11,43%, pajak hotel & restoran menyumbang
sebesar 9%. Pajak ABT dan AP sebesar 5,63%. Pajak hiburan dan reklame
menyumbang paling sedikit yaitu hanya 1,33% dan 1,47%.
Tahun 1999/2000, pajak penerangan jalan menyumbang PAD sebesar
16,77%, pajak bahan gal. C sebesar 14,87%, pajak hotel dan restoran sebesar
9,78%, pajak ABT dan AP 6,73%. Pajak hiburan dan reklame menyumbang
paling sedikit sebesar 1,31% dan 1,10%.
Tahun 2000, khusus untuk tahun ini ada penurunan prosentase pajak
daerah terhadap PAD karena adanya pemisahan kota administratif depok menjadi
kota Depok sehingga sumber penerimaan pemerintah Kabupaten Bogor
berkurang. Merkipun demikian, Pajak penerangan jalan tetap memiliki peran
yang paling besar dan menyumbang PAD sebesar 18,76%, pajak bahan gal. C
sebesar 17,56%, pajak hotel dan restoran sebesar 7,60%, pajak ABT/AP 5,90%.
Pajak hiburan dan reklame menyumbang paling sedikit sebesar 0,99% dan 0,96%.
Tahun 2001, pajak penerangan jalan menyumbang PAD sebesar 23,51%,
pajak bahan gal. C sebesar 14,59%, pajak hotel dan restoran sebesar 6,32%, pajak
14
ABT dan AP 4,40%. Pajak hiburan dan reklame menyumbang paling sedikit
sebesar 1,27% dan 1,09%.
Sesudah otonomi, struktur pajak kabupaten bogor mengalami perubahan.
Pajak hotel dan restoran dipisahkan menjadi pajak hotel dan pajak restoran. Pajak
ABT dan AP dipindahkan wewenang pemungutannya kepada propinsi sehingga
pemerintah daerah Kabupaten Bogor tidak diperbolehkan lagi memungut pajak
tersebut. Tahun 2002 Pemerintah pusat menetapkan satu jenis pajak baru yang
dapat dipungut oleh kabupaten yaitu pajak parkir. Tahun 2003 Kabupaten Bogor
menetapkan sendiri satu jenis pajak baru dengan mengeluarkan perda tentang
pajak sarang burung walet.
Tahun 2002 hingga tahun 2004, pajak penerangan jalan tetap memiliki
peran yang terbesar. Tahun 2002, pajak penerangan jalan menyumbang sebesar
25,45%, pajak bahan gal. C 15,12%, pajak hotel 3,76%, pajak restoran 3,57%,
pajak hiburan sebesar 1,33%, pajak reklame sebesar 1,47% dan yang memberikan
kontribusi paling kecil adalah pajak parkir, hanya sebesar 0,056%.
Tahun 2003, pajak penerangan jalan menyumbang sebesar 27,83% pajak
bahan gal. C 14,49%, pajak hotel 3,85%, pajak restoran 3,72%, pajak hiburan
2,09% pajak reklame sebesar 2,70%, dan yang memberikan kontribusi paling
kecil adalah pajak parkir hanya sebesar 0,11% dan pajak sarang b. walet sebesar
0,039%. Meskipun demikian, pajak parkir mengalami pertumbuhan yang positif
sebesar 0,054%.
Tahun 2004, pajak penerangan jalan menyumbang sebesar 25,25% pajak
bahan gal. C 15,70%, pajak hiburan 2,09% pajak 2,70%, pajak hotel 4,19%, pajak
restoran 4,55%, dan yang memberikan kontribusi paling kecil adalah pajak parkir
hanya sebesar 0,30% dan pajak sarang b. walet sebesar 0,04%. Meskipun
demikian, pajak parkir dan pajak sarang b. walet mengalami pertumbuhan yang
positif walaupun hanya sebesar 0,19% dan 0,001%
T.A. 1998/1999, pajak daerah memiliki kontribusi sebesar 44,72%
terhadap PAD yang termasuk kedalam kriteria Baik. Mulai T.A. 1999/2000
dengan prosentase 50,67% kriterianya adalah sangat baik hingga tahun anggaran
2000 sebesar 51,86% sampai T.A. 2001 dengan prosentase 50,75% kriterianya
adalah Sangat baik dengan rata-rata sebesar 51,09% (50,67%+51,86%+
50,75%/3). Untuk tahun 2002, 2003 dan 2004 kontribusi pajak daerah terhadap
PAD adalah sebesar 50,75%, 53,35% dan 54,90% setiap tahunnya dengan ratarata sebesar 53% kriterianya adalah Sangat baik dengan peningkatan
dibandingkan sebelum otonomi daerah adalah sebesar 1,91% (53% - 51,09%). Hal
ini membuktikan bahwa peran pajak daerah dalam pendapatan asli daerah (PAD)
setiap tahun sangat besar. Setelah otonomi pun, peran pajak daerah semakin besar
karena adanya keleluasaan pemerintah daerah dalam menggali potensi daerahnya.
b. Derajat Otonomi Fiskal.
Derajat otonomi fiskal daerah menggambarkan kemampuan pemerintah
daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) seperti pajak daerah,
retribusi dan lain-lain. Ini berarti bahwa secara finansial, pemerintah daerah harus
bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin
menggali sumber-sumber PAD seperti pajak, retribusi dll. Rasio ini digunakan
15
untuk mengetahui tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah dengan
menghitung rasio PAD terhadap total penerimaan daerah (Radianto,1997:42).
Analisis ini dengan menggunakan rumus Administratif dependent Ratio (ADR):
π=
SPADt
x 100%
TPDt
π
SPADt
TPDt
kontribusi variabel pendapatan.
nilai dari realisasi pendapatan asli daerah tahun t.
realisasi total pendapatan daerah tahun t.
Tim peneliti Fisipol UGM bekerjasama dengan Litbang Depdagri menyebutkan
tolok ukur kemampuan daerah dalam tabel 5 berikut.
Tabel 5
Derajat Otonomi Fiskal
Rasio PAD terhadap PD
Kemampuan keuangan Daerah
00,00% - 10,00%
Sangat kurang
10,01% - 20,00%
Kurang
20,01% - 30,00%
Sedang
30,01% - 40,00%
Cukup
40,01% - 50,00%
Baik
> 50,01%
Sangat baik
Sumber : Dasril Munir (2002:106)
Analisis yang dilakukan mendapatkan hasil dalam tabel berikut:
Tabel 6
Derajat Otonomi Fiskal
™ Tahun 1998/1999
=
23,00%
™ Tahun 1999/2000
=
20,88%
™ Tahun 2000
=
20,84%
™ Tahun 2001
=
14,41%
™ Tahun 2002
=
13,06%
™ Tahun 2003
=
17,61%
™ Tahun 2004
=
16,76%
Dari perhitungan diatas dapat kita lihat pada saat sebelum otonomi
(T.A. 1998/1999 s.d T.A. 2000), rasio kemampuan keuangan daerah T.A.
16
1998/1999 sebesar 23%, tahun 1999/2000 sebesar 20,88%, dan tahun 2000
sebesar 20,84% dengan rata-rata yaitu sebesar 21,57% (23%+20,88%+
20,84%/3). Rasio selama 3 tahun tersebut termasuk dalam kriteria sedang. Berarti
pemerintah daerah memiliki kemampuan yang sedang dalam meningkatkan
PADnya.
Setelah adanya otonomi (T.A. 2001 s.d. 2004), rasio kemampuan
keuangan daerah tahun 2001 sebesar 14,41%, tahun 2002 13,06%, tahun 2003
sebesar 17,61% dan tahun 2004 adalah sebesar 16,76%. Rasio setiap tahunnya
adalah
termasuk
kriteria
kurang
dengan
rata-rata
sebesar
(14,41%+13,06%+17,61%+16,76%/4) 15,46%. Hal ini berarti terjadi penurunan
kemampuan PAD terhadap Total Penerimaan. Hal ini disebabkan adanya
kenaikan penerimaan yang berasal dari dana perimbangan di pos alokasi umum
yang berasal dari pemerintah pusat.
Ini berarti bahwa secara finansial, pemerintah daerah harus bersifat
independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali
sumber-sumber PAD seperti pajak, retribusi dll. Semakin besar rasionya, berarti
ketergantungan pemerintah daerah terhadap pusat semakin kecil, dan sebaliknya.
c. Indeks Kemampuan Rutin
Indeks kemampuan rutin digunakan untuk mengetahui sejauh mana
peranan pendapatan asli daerah (PAD) terhadap sisi pengeluaran rutin daerah.
Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa jauh kondisi keuangan
kabupaten/kota dapat mendukung otonomi daerah. Belanja rutin ini tidak
termasuk belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, pengeluaran tidak termasuk
bagian lain, dan pengeluaran tidak tersangka (Radianto,1997:42)
IKR =
PADt
x 100%
Belanja Rutint
Tim peneliti Fisipol UGM bekerjasama dengan Litbang Depdagri menyebutkan
tolok ukur kemampuan daerah dalam tabel 7 berikut.
Tabel 7
Indeks Kemampuan Rutin
Rasio
Kemampuan keuangan Daerah
00,00% - 10,00%
Sangat kurang
10,01% - 20,00%
Kurang
20,01% - 30,00%
Sedang
30,01% - 40,00%
Cukup
40,01% - 50,00%
Baik
> 50,01%
Sangat baik
Sumber : Dasril Munir (2002:108)
Hasil analisis yang diperoleh dari rumusan diatas adalah sebagai berikut:
17
Tabel 8
Indeks Kemampuan Rutin
™ Tahun 1998/1999
=
44,61%
™ Tahun 1999/2000
=
36,84%
™ Tahun 2000
=
37,94%
™ Tahun 2001
=
28,79%
™ Tahun 2002
=
24,06%
™ Tahun 2003
=
36,84%
™ Tahun 2004
=
37,94%
Dari perhitungan diatas dapat kita lihat pada saat sebelum otonomi (T.A.
1998/1999 s.d. T.A. 2002) rasio kemampuan PAD terhadap belanja rutin tahun
1998/1999 sebesar 44,61 dengan kriteria Baik, tahun 1999/2000 sebesar 36,84%
dengan kriteria Cukup, tahun 2000 sebesar 37,94% kriteria Cukup, tahun 2001
sebesar 28,79% kriteria Sedang dan tahun 2002 sebesar 24,06% dengan kriteria
Sedang. Kemampuan PAD terhadap belanja rutin semakin menurun karena
adanya peningkatan jumlah belanja setiap tahunnya
Setelah otonomi yaitu tahun anggaran 2003 kemampuan PAD terhadap
belanja rutin sebesar 23,26% dengan kriteria Sedang dan tahun 2004 sebesar
20,57% dengan kriteria yang sama, yaitu Sedang. Rasio PAD terhadap belanja
rutin bila dilihat dari hasil perhitungan diatas semakin menurun karena
terbatasnya kemampuan PAD sedangkan kebutuhan pemerintah daerah untuk
pengeluaran semakin besar dan karena faktor inflasi dan krisis ekonomi yang
menyebabkan nilai daya beli PAD semakin menurun.
3). Perkembangan Anggaran Daerah.
Untuk menghitung laju pertumbuhan pendapatan daerah setiap tahunnya.
Analisis ini membandingkan antara pendapatan yang telah diterima dengan tahun
sebelumnya. Dengan analisis ini kita dapat melihat apakah pertumbuhan
pendapatan itu negatif atau positif. khususnya PAD, dengan menggunakan rumus
berikut:
∆RPAD =
∆RPAD
PADt
PAD(t-1)
PADt – PAD(t-1)
x 100%
PAD(t-1)
laju pertumbuhan PAD,
realisasi penerimaan PAD tahun ke t,
realisasi penerimaan PAD tahun sebelumnya.
Sedangkan rumus untuk menghitung laju pertumbuhan pajak daerah adalah
sebagai berikut:
18
∆RPjD =
PjDt – PjD(t-1)
x 100%
PjD(t-1)
∆RPjD
PjDt
PjD(t-1)
laju pertumbuhan pajak daerah
realisasi penerimaan PjD tahun ke t,
realisasi penerimaan PjD tahun sebelumnya.
Tim peneliti Fisipol UGM bekerjasama dengan Litbang Depdagri menyebutkan
tolok ukur kemampuan daerah dalam tabel 9 berikut.
Tabel 9
Skala Interval Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota
Prosentase
Pertumbuhan Keuangan Daerah
00,00% - 10,00%
Sangat kurang
10,01% - 20,00%
Kurang
20,01% - 30,00%
Sedang
30,01% - 40,00%
Cukup
40,01% - 50,00%
Baik
> 50,01%
Sangat baik
Sumber : Dasril Munir (2002:47)
Hasil dari analisis dari rumusan diatas sebagai berikut:
Tabel 10
Laju Pertumbuhan
Pajak Daerah
™ Tahun 1998/1999
=
75,64%
™ Tahun 1999/2000
=
27,25%
™ Tahun 2000*
=
6,55%
™ Tahun 2001*
=
32,66%
™ Tahun 2002
=
21,34%
™ Tahun 2003
=
26,95%
™ Tahun 2004
=
14,91%
*
Catatan: khusus untuk perhitungan tahun 2000 dan 2001 dilakukan berdasarkan jumlah rata-rata pajak setiap bulannya
karena adanya perubahan tahun anggaran pada tahun 2000.Khusus untuk tahun 2000, ada perubahan masa anggaran yang
semula dari 1 April – 31 Maret menjadi 1 Januari – 31 Desember. Hal ini menyebabkan Tahun Anggaran 2000 berlaku
selama 9 bulan, yaitu sejak tanggal 1 April 2000 hingga 31 Desember 2000. oleh karena itu, perhitungannya menggunakan
jumlah penerimaan yang diterima setiap bulannya.
19
Dari perhitungan di atas dapat kita lihat sebelum otonomi (T.A. 1998/1999
s.d. T.A. 2001) pertumbuhan pajak daerah selalu bernilai positif. Tahun
1998/1999 pajak daerah tumbuh sebesar 75,64% dengan kriteria Sangat Baik.
Tahun 1999/2000 sebesar 27,25% kriterianya adalah Sedang. Pada tahun 2000
sebesar 6,55% dengan kriteria Sangat Kurang, laju pertumbuhannya sangat kecil
karena adanya pemisahan Kota Administratif Depok menjadi Kota Depok dari
wilayah Kabupaten Bogor dan Tahun 2001 sebesar 32,66% dengan kriteria
Cukup dan, bila dirata-ratakan maka laju pertumbuhan pajak daerah sebelum
otonomi daerah adalah sebesar (75,64%+27,25%+6,55%+32,66%/4) 35,25%.
Laju pertumbuhan pajak daerah setiap tahunnya memiliki kriteria yang baik.
Pada saat setelah otonomi, laju pertumbuhan pajak daerah tahun 2002
sebesar 21,34% termasuk kriteria Sedang, tahun 2003 sebesar 26,95% dengan
kriteria Sedang dan tahun 2004 sebesar 14,91% dengan kriteria kurang. Rataratanya adalah sebesar 21,07% yang termasuk ke dalam laju pertumbuhan Sedang.
a. untuk menghitung laju pertumbuhan pendapatan asli daerah (PAD).
∆RPAD =
PADt – PAD(t-1)
x 100%
PAD(t-1)
∆RPAD
PADt
PAD(t-1)
laju pertumbuhan PAD,
realisasi penerimaan PAD tahun ke t,
realisasi penerimaan PAD tahun sebelumnya.
Hasil analisis dari rumusan diatas adalah sebagai berikut:
Tabel 11
Laju Pertumbuhan PAD
™ Tahun 1998/1999
=
11,15%
™ Tahun 1999/2000
=
12,31%
™ Tahun 2000*
=
4,10%
™ Tahun 2001*
=
34,66%
™ Tahun 2002
=
22,23%
™ Tahun 2003
=
20,77%
™ Tahun 2004
=
11,64%
*
Catatan: khusus untuk perhitungan tahun 2000 dan 2001 dilakukan berdasarkan jumlah rata-rata PAD setiap bulannya
karena adanya perubahan tahun anggaran pada tahun 2000.Khusus untuk tahun 2000, ada perubahan masa anggaran yang
semula dari 1 April – 31 Maret menjadi 1 Januari – 31 Desember. Hal ini menyebabkan Tahun Anggaran 2000 berlaku
selama 9 bulan, yaitu sejak tanggal 1 April 2000 hingga 31 Desember 2000. oleh karena itu, perhitungannya menggunakan
jumlah penerimaan yang diterima setiap bulannya.
Perhitungan laju pendapatan asli daerah (PAD) Sebelum otonomi (T.A.
1998/1999 s.d. T.A. 2000) pertumbuhan PAD selalu bernilai positif. Tahun
20
1998/1999 laju pertumbuhan PAD sebesar 11,15% dengan kriteria Kurang.
Tahun 1999/2000 sebesar 12,31% kriterianya adalah Kurang. Pada tahun 2000
sebesar 4,10% dengan kriteria Sangat Kurang, laju pertumbuhannya sangat kecil
karena adanya pemisahan Kota Administratif Depok menjadi Kota Depok dari
wilayah Kabupaten Bogor dan dan, bila dirata-ratakan maka laju pertumbuhan
pajak daerah sebelum otonomi daerah adalah sebesar (11,15%+12,31%+4,10%/3)
9,19%.
Sejak otonomi daerah, laju pertumbuhan PAD Tahun 2001 sebesar
32,66% dengan kriteria Cukup, tahun 2002 sebesar 21,34% kriterianya adalah
Sedang, tahun 2003 sebesar 26,9% kriterianya adalah Sedang, dan pada tahun
2004 peningkatan laju pertumbuhan PAD hanya sebesar 14,91% dengan kriteria
kurang. Walaupun demikian, laju pertumbuhan PAD setelah otonomi daerah
menglami peningkatan yang cukup signifikan dengan rata-rata sebesar
(32,66%+21,34%+26,9%+14,91%/4) 23,95%. Hal ini terjadi karena adanya
peningkatan penerimaan yang cukup besar dari pajak penerangan jalan.
4). Efisiensi
Devas, dkk (1997:146) mengemukakan bahwa efesiensi adalah hasil
terbaik dari perbandingan antara suatu usaha yang dikeluarkan dengan hasil yang
dicapai oleh suatu kerja untuk mencapai hasil tersebut. Pendapat ini menyatakan
bahwa semakin rendah hasil perbandingan antara nilai input dan output berarti
tingkat efisiensi semakin tinggi Analisis ini dilakukan terhadap belanja daerah
baik rutin maupun pembangunan. Setelah ada perubahan struktur APBD, maka
analisis ini dilakukan terhadap total belanja.. Rumusan efisiensi total pengeluaran
daerah dengan total penerimaan:
Total Pengeluaran (Total Belanja)
Efisiensi =
x 100%
Total Penerimaan
Kriteria penilaian kinerja yang diukur dapat dilihat pada tabel 12 berikut ini :
Tabel 12
Kriteria Kinerja Keuangan
Prosentase Kinerja Keuangan
Kriteria
Diatas 100%
Tidak efisien
90,01% - 100%
Kurang efisien
80,01% - 90%
Cukup efisien
60,01% - 80%
Efisien
Kurang dari 60%
Sangat efisien
Sumber : Dasril Munir (2002:50)
Hasil dari rumusan diatas adalah sebagai berikut:
21
Tabel 13
Efisiensi
™ Tahun 1998/1999 =
95,50%
™ Tahun 1999/2000
=
97,00%
™ Tahun 2000
=
87,75%
™ Tahun 2001
=
80,43%
™ Tahun 2002
=
87,12%
™ Tahun 2003
=
94,97%
™ Tahun 2004
=
98,32%
Sebelum otonomi, hasil perhitungan efisiensi tahun 1998/1999 adalah
sebesar 95,50% dengan kriteria Kurang efisien, tahun 1999/2000 sebesar 97,00%
kriterianya Kurang efisien, tahun 2000 sebesar 87,75% kriterianya adalah Cukup
Efisien, tahun sebesar 2001 80,43% kriterianya Cukup Efisien, dan pada tahun
2002 sebesar 87,12% dengan kriteria Cukup Efisien. Bila dirata-ratakan maka
efisiensi pengeluaran daerah terhadap penerimaan daerah adalah 89,95%. Rasio
ini termasuk dalam kriteria Cukup Efisien. Pada tahun 2000, 2001 dan 2002
terjadi peningkatan efisiensi karena pemisahan Kota Depok dari Kabupaten Bogor
sehingga biaya yang dikeluarkan juga berkurang karena beban pengeluaran juga
berkurang.
Setelah otonomi efisiensi tahun 2003 94,97% dan tahun 2004 sebesar
98,32% dengan kriteria untuk keduanya adalah Kurang efisien. Penurunan
efisiensi ini terjadi karena kenaikan jumlah pengeluaran yang cukup drastis
dengan kenaikan sebesar 38% untuk tahun 2003 dan 21% untuk tahun 2004. Dari
perhitungan di atas baik sejak tahun 1998/1999 hingga tahun 2004, hasil
perhitungan terhadap efisiensi setiap tahunnya memberikan hasil bahwa
perbandingan antara nilai penerimaan dan pengeluaran daerah semakin tinggi.
Setiap tahun termasuk kriteria kurang efisien. Ini berarti tingkat efisiensi antara
penerimaan dan pengeluaran masih rendah. Hal ini berarti jumlah pengeluaran
hampir mencapai 100% dari jumlah penerimaan.
5). Efektifitas
Menurut Osborne dan Gaebler (1997:389), efektifitas adalah ukuran
kualitas output. Ketika mengukur efektifitas, akan diketahui apakah investasi itu
berguna. Bila dikaitkan dengan upaya mengumpulkan PAD, efektifitas merupakan
hubungan antara realisasi PAD terhadap potensinya. Analisis efektifitas
pengelolaan anggaran daerah adalah dengan menggunakan rasio perbandingan
antara realisasi pendapatan daerah dengan target yang telah ditetapkan dalam
APBD, guna mengetahui berhasil atau tidaknya tujuan pencapaian anggaran.
Asumsi yang digunakan adalah bahwa target yang telah ditetapkan oleh
pemerintah daerah telah melalui perhitungan potensi PAD maka dalam analisis ini
besarnya potensi digunakan pendekatan angka rencana yang merupakan perkiraan
hasil pungutan yang secara minimal dapat dicapai dalam satu tahun anggaran.
22
Rumusan rasio efektifitas pengelolaan anggaran daerah:
Efektifitas =
Realisasi pendapatant
x 100%
Targett
Untuk dinas pendapatan daerah, efektifitasnya dapat dilihat dari target
pajak daerah yang dipungut oleh instansi tersebut yang terealisasikan. Rumus
rasio efektifitas pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah (PAD) adalah:
Efektifitas =
Realisasi pajak daeraht
x 100%
Target pajak daeraht
Nilai efektifitas diukur dengan kriteria penilaian kinerja anggaran dalam
tabel berikut (Bana, 2001, 24):
Tabel 14
Kriteria Kinerja Keuangan
Prosentase Kinerja Keuangan
Kriteria
Diatas 100%
Sangat efektif
90,01% - 100%
Efektif
80,01% - 90,00%
Cukup Efektif
60,01% - 80,00%
Kurang Efektif
Kurang dari 60%
Tidak Efektif
Sumber : Dasril Munir (2002:49)
Hasil dari rumusan diatas adalah sebagai berikut:
a. efektifitas pendapatan asli daerah (PAD).
Tabel 15
Efektifitas PAD
™ Tahun 1998/1999
=
112,20%
™ Tahun 1999/2000
=
102,74%
™ Tahun 2000
=
114,09%
™ Tahun 2001
=
116,07%
™ Tahun 2002
=
107,46%
™ Tahun 2003
=
104,32%
™ Tahun 2004
=
106,08%
23
Sebelum otonomi, hasil perhitungan efektifitas PAD tahun 1998/1999
adalah sebesar 112,20%, tahun 1999/2000 102,74%, tahun 2000 114,09%, dan
tahun 2001 sebesar 116,07% setiap tahun memiliki tingkat efektifitas target
terhadap PAD Sangat Efektif dengan rata-rata efektifitasnya setiap tahun adalah
111,27%. Hal ini dikarenakan tujuan anggaran yang telah ditetapkan dalam
bentuk target PAD telah tercapai, bahkan melebihi target yang telah ditetapkan
dengan efektifitas tertinggi dicapai pada tahun 2001 sebesar 16,07%.
Setelah otonomi, hasil perhitungan efektifitas PAD tahun 2002 sebesar
107,46%, tahun 2002 sebesar 104,32% dan pada tahun 2004 efektifitasnya adalah
sebesar 106,08% dengan kriteria untuk setiap tahun adalah sama, yaitu Sangat
Efektif dengan rata-rata 105,95%. Kondisi ini pun sama dengan efektifitas
sebelum perubahan APBD ditetapkan pada PAD yaitu (sebelum otonomi). Hal ini
berarti pemerintah daerah Kabupaten Bogor berhasil dalam mencapai target yang
telah ditetapkan sebelumnya karena potensi daerahnya yang sangat mendukung.
Realisasi PAD ini juga melampaui target dengan efektifitas tertinggi pada tahun
2002 sebesar 7,46%. berarti pemerintah daerah telah melakukan perhitungan yang
cukup teliti dalam menggali potensi pendapatan asli daerah (PAD) nya.
b. efektifitas pajak daerah.
Tabel 16
Efektifitas Pajak Daerah
™ Tahun 1998/1999
=
101,15%
™ Tahun 1999/2000
=
101 43%
™ Tahun 2000
=
115,68%
™ Tahun 2001
=
105,94%
™ Tahun 2002
=
104,82%
™ Tahun 2003
=
104,81%
™ Tahun 2004
=
106,79%
Sebelum otonomi, hasil perhitungan efektifitas pajak daerah tahun
1998/1999 adalah sebesar 101,15%, tahun 1999/2000 101,43%, tahun 2000
115,68%, dan tahun 2001 sebesar 105,94% setiap tahun memiliki tingkat
efektifitas target terhadap pajak daerah Sangat Efektif dengan efektifitas rata-rata
setiap tahun adalah 106,05%. Hal ini dikarenakan tujuan anggaran yang telah
ditetapkan dalam bentuk target pajak daerah telah tercapai, bahkan melebihi target
yang telah ditetapkan dengan efektifitas tertinggi dicapai pada tahun 2000 sebesar
15,68%.
Setelah otonomi, hasil perhitungan efektifitas pajak daerah tahun 2002
sebesar 104,82%, tahun 2002 sebesar 104,81% dan pada tahun 2004 efektifitasnya
adalah sebesar 106,79% dengan kriteria untuk setiap tahun adalah sama yaitu
Sangat Efektif dengan nilai efektif rata-ratanya adalah 105,47%. Kondisi ini pun
sama dengan efektifitas sebelum perubahan APBD ditetapkan pada pajak daerah
24
(sebelum otonomi). Hal ini berarti pemerintah daerah berhasil dalam mencapai
target yang telah ditetapkan sebelumnya karena disebabkan potensi daerah yang
sangat mendukung. Realisasi pajak daerah ini juga melampaui target dengan
efektifitas tertinggi pada tahun 2004 sebesar 6,79%. Berarti pemerintah daerah
Kabupaten Bogor telah melakukan perhitungan yang cukup baik dalam menggali
potensi pajak daerahnya.
7. Kesimpulan
Sebelum maupun setelah otonomi daerah, pajak daerah masih tetap
memberikan peranan terbesar terhadap PAD, maka masih dapat dijadikan sebagai
tulang punggung. Sumber-sumber pendapatan daerah dinilai masih sangat
potensial karena berbagai keterbatasan untuk menggalinya. Era otonomi ini adalah
waktu yang sangat tepat karena daerah diberikan kesempatan yang lebih luas
untuk mengoptimalkan potensinya, terutama untuk menggali sumber-sumber
pajak baru.
Penyelenggaraan otonomi daerah dapat dilaksanakan dengan baik bila
didukung oleh sumber-sumber pembiayaan yang memadai. Potensi ekonomi
daerah sangat menentukan dalam upaya meningkatkan kemampuan keuangan
daerah bagi penyelenggaraan rumah tangganya. Namun demikian, otonomi daerah
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan hanya semata diukur
dari jumlah PAD yang dapat dicapai tetapi sejauh mana Pajak dapat berperan
mengatur perekonomian masyarakat agar dapat tumbuh yang pada gilirannya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Kebijakan pemerintah saat ini yang dinilai sangat tepat untuk
meningkatkan peneriamaan daerah dalam jangka pendek sebaiknya dititikberatkan
pada intensifikasi pemungutan pajak, yaitu mengoptimalkan jenis-jenis pajak yang
sudah ada. Untuk jangka panjang, pemerintah daerah Kabupaten Bogor masih
dapat mencari pajak baru yang potensial sesuai dengan karakteristik daerahnya
dan koridor perundangan yang berlaku. Pemerintah Daerah harus melakukan
sosialiasi secara matang untuk mengantisipasi efek perubahan otonomi dan agar
masyarakat timbul kesadaran untuk membayar pajak dan memberikan fasilitas
yang memadai sebagai balasan pembayaran tersebut.
8. Daftar Pustaka
1. Brotodihardjo, R. Santoso., Pengantar Ilmu Hukum Pajak., Bandung : PT
Eresco. 1993.
2. Kosim, Azhar., Pengukuran Efektifitas Dalam Organisasi., Jakarta : Pusat
Antar Universitas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia. 1989.
3. Mansuri, R., Panduan Konsep Utama Pajak Indonesia., Jakarta : PT Bina
Rena Pariwara. 1996.
4. Mardiasmo., Perpajakan., Yogyakarta : ANDI. 1995.
5. Mardiasmo., Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah., Yogyakarta :
ANDI . 2002
6. Martani, Huseini., Hari Lubis., Teori Organisasi., Jakarta : Pusat Antar
Universitas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia. 1989.
7. Munir, Dasril., Henry Arys Djuanda., Kebijakan Dan Manajemen Keuangan
25
Daerah ., Yogyakarta : YPAPI. 2002
8. Pratista, Arif., Aplikasi SPSS 10.05 Dalam Statistik dan Rancangan
Percobaan., Bandung : Alfabeta. 1998
9. Samudera, Azhari A., Perpajakan di Indonesia., Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama. 1995.
10. Soemitro, Rochmat H., Azas Dan Dasar Perpajakan Jilid I., Bandung : PT
Eresco. 1997
11. Umar, Husein., SDM Dalam Organsisasi., Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama. 1998.
12. Zain, Moh., Arinta Kustadi., Pembaharuan Perpajakan Nasional., Bandung :
PT Citra Aditya Bakti. 1990.
13. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah.
14. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang
Pajak dan Retribusi Daerah.
15. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2001 tentang
Pajak Daerah.
26
Download