e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA PADA SISWA KELAS V Ni Luh Tirtasari1, Wyn Romi Sudhita2, Ni Wyn Rati3 1,3 Jurusan PGSD, 2Jurusan TP, FIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia e-mail: [email protected], [email protected], [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meningkatan hasil belajar IPA pada siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri 2 Sangsit Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Pencapaian tujuan tersebut dilakukan dengan menerapkan pendekatan Contextual Teaching And Learning (CTL). Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) yang dilaksanakan dalam dua siklus. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas V SD Negeri 2 Sangsit Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng pada semester II tahun pelajaran 2014/2015 yang berjumlah 26 orang. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode tes dan metode observasi. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan pendekatan Contextual Teaching And Learning (CTL) dalam pembelajaran IPA dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas V SD Negeri 2 Sangsit, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng tahun pelajaran 2014/2015. Hal ini terlihat dari peningkatan persentase rata-rata hasil belajar IPA siswa, yaitu dari 73,84% pada siklus I termasuk kategori sedang menjadi 85% pada siklus II sudah termasuk kategori tinggi. Jadi meningkat sebesar 11,16%. Kata Kunci : Pendekatan CTL, Hasil Belajar. Abstract This research aims to improve science learning outcomes in the first of fifth grade students of SD N 2 Sangsit Sawan Buleleng. The purpose of this research implementing in approach Contextual Teaching and Learning (CTL). Type of research is a classroom action research this study was conducted in two cycles. Subjects were students of class V Semester 2 SD N 2 Sangsit Sawan, Buleleng of semester II regency school year 2014/2015 amounting 26 people. Data collection in this study was conducted using observation and tests. Data obtained from then analyzed by quantitative descriptive techniques. The results showed that approach Contextual Teaching and Learning (CTL) in the learning IPA can increase the result of students science knowledge of class V SD N 2 Sangsit, Sawan, Buleleng regency school year 2014/2015. The percentage average of students learning result from 73,84% in the first cycle into 85% in the second cycle, there is an increase 11, 16%. Key Words : Approach CTL, Learning Results e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 PENDAHULUAN Sekolah adalah suatu lembaga yang memberikan pengajaran kepada peserta didik. Lembaga pendidikan ini memberikan pengajaran secara formal. Secara sistematis sekolah telah merencanakan bermacam lingkungan, yakni lingkungan pendidikan yang menyediakan kesempatan bagi siswa untuk melakukan berbagai kegiatan belajar sehingga siswa memperoleh pengalaman belajar yang lebih baik (Hamalik, 2008:79). Sekolah Dasar (SD) merupakan pendidikan formal di Indonesia yang menyelenggarakan proses pendidikan dasar dan mendasari proses pendidikan selanjutnya. Pendidikan dasar diselenggarakan untuk memberikan dasar pengetahuan, sikap dan keterampilan bagi peserta didik. Pendidikan dasar inilah yang selanjutnya dikembangkan untuk meningkatkan kualitas peserta didik. Tujuan dari pendidikan di Sekolah Dasar adalah untuk memberikan bekal kemampuan dasar membaca, menulis, berhitung, serta pengetahuan dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi siswa sesuai dengan tingkat perkembangannya, serta mempersiapkan mereka untuk mengikuti pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi ( Trianto, 2010 b:141). Pendidikan di sekolah dasar diberikan kepada siswa terdapat beberapa mata pelajaran yang harus dikuasainya. Salah satunya adalah ilmu pengetahuan alam (IPA). Trianto (2010 a:136) mendefinisikan bahwa IPA adalah suatu kumpulan teori yang sistematis, penerapannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam, lahir dan berkembang melalui metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka, jujur, dan sebagainya. Dapat pula dikatakan bahwa IPA adalah pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala melalui serangkaian proses yang dikenal dengan proses ilmiah yang dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai produk ilmiah. Dalam pembelajaran IPA di sekolah dasar yang perlu diajarkan adalah produk dan proses IPA karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Guru yang berperan sebagai fasilitator siswa dalam belajar produk dan proses IPA harus dapat mengemas pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa agar dapat terciptanya proses pembelajaran yang efektif dan sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan. Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Belajar akan lebih bermakna jika anak “mengalami” sendiri apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya (Nurhadi dkk, 2004:3). Berdasarkan hal tersebut, maka pembelajaran IPA di SD hendaknya dilakukan melalui suatu proses dengan menggunakan sikap ilmiah sehingga mampu menghasilkan suatu produk yang ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Melalui proses tersebut maka siswa tidak hanya mendengarkan penjelasan dari guru, akan tetapi siswa yang secara aktif dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Namun, kenyataan di lapangan berdasarkan hasil observasi terhadap proses pembelajaran IPA di SD Negeri 2 Sangsit ditemukan beberapa permasalahan antara lain: 1) Dalam proses pembelajaran guru masih menerapkan pembelajaran yang lebih berpusat pada guru (teacher centered) sehingga siswa terlihat bosan saat mengikuti pembelajaran, 2) pada saat proses pembelajaran siswa masih terlihat kurang aktif sehingga siswa belum bisa memperoleh pengetahuan lewat pengalaman secara langsung khususnya dalam mengikuti mata pelajaran IPA, 3) kurangnya pemanfaatan media yang ada dilingkungan oleh guru pada proses pembelajaran, 4) siswa cenderung bekerja sendiri pada saat mengerjakan tugas kelompok dan kurang mau bertanya kepada teman atau guru ketika menemukan permasalahan dalam pembelajaran. Permasalahan tersebut memberikan akibat terhadap rendahnya hasil belajar siswa kelas V dalam mata pelajaran IPA. Hal ini dapat diketahui berdasarkan hasil observasi dan wawancara kepada guru kelas V SD N 2 Sangsit yaitu atas nama Ni Ketut Mastining, S.Pd.,SD pada tanggal 31 Januari 2015. Beliau menyatakan bahwa, hasil belajar IPA masih tergolong rendah. Hal ini tercermin dari nilai ulangan umum yang telah diperoleh pada semester ganjil e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 tahun pelajaran 2014/2015 mata pelajaran IPA, karena masih ada berapa orang siswa yang mendapatkan nilai di bawah 65, sedangkan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) pada mata pelajaran IPA adalah 71. Hasil belajar yang belum mencapai ketuntasan ini merupakan permasalahan yang disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah kegiatan belajar mengajar di kelas didominasi oleh guru. Guru sebagai sumber pengetahuan dan lebih banyak menggunakan metode ceramah. Kondisi seperti ini mengakibatkan kelas menjadi pasif selama proses pembelajaran, guru tidak melibatkan siswa dalam proses pembelajaran sehingga kurang menumbuhkan minat siswa untuk belajar. Kedua, proses pembelajaran belum mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa. Ketiga, kurangnya pemanfaatan media lingkungan dalam pembelajaran dan metode yang kurang menarik sehingga pembelajaran menjadi membosankan bagi siswa. Banyak teknik atau cara yang dapat dilaksanakan oleh guru untuk menarik minat dan meningkatkan hasil belajar IPA, salah satunya dengan menerapkan pendekatan yang dapat mengatasi masalah pembelajaran yaitu pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). Penerapan pendekatan CTL akan mampu mengatasi permasalahan dalam pembelajaran seperti yang telah di sebutkan di atas, karena: 1) Pendekatan CTL dapat pemberian kesempatan belajar yang lebih luas dan suasana yang kondusif pada siswa untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai, serta keterampilan-keterampilan sosial yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. 2) Proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. 3) Pendekatan CTL menyajikan suatu konsep yang mengaitkan materi pelajaran yang dipelajari siswa dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga pembelajaran akan menjadi lebih berarti dan menyenangkan. 4) Pendekatan CTL melibatkan tujuh komponen utama dalam pembelajaran, yaitu (1) kontruktivisme (Contructivism), (2) inkuiri (Inquiry), (3) bertanya (Questioning), (4) masyarakat belajar (Learning Community), (5) pemodelan (Modeling), (6) refleksi (Reflection), (7) dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment), sehingga pembelajaran akan lebih bermakna bagi siswa (Trianto a, 2010:10-12). CTL (Contextual Teaching and Learning) adalah suatu pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (Sanjaya, 2009:255). Menurut Trianto (2007:103) Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapanya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga Negara, dan tenaga kerja. Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus dipahami. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewadahi perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Adapun sintak dari pendekatan CTL yakni: (1) Kontruktivisme (Contructivism) pada tahap ini, siswa bekerja sendiri dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. (2) Menemukan (inquiry) yaitu siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat faktafakta, tetapi dari hasil menemukan sendiri. (3) Bertanya (questioning) berguna untuk memperoleh informasi terkait hal-hal yang belum dipahami. (4) Masyarakat belajar (learning community) yaitu belajar bekerjasama dalam bentuk kelompokkelompok kecil maupun besar. (5) Pemodelan (modelling) yaitu bisa berupa media maupun benda-benda yang ditunjukkan oleh guru. (6) Refleksi (reflection) merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. (7) Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) yaitu guru melakukan penilaian yang sebenarnya terhadap hasil belajar siswa. Landasan filosofi CTL adalah kontruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, tetapi merekontruksi atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat fakta-fakta atau proporsi yang mereka alami dalam lingkungan kehidupan sehari-hari (Komalasari, 2013:14). Pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan, melainkan merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh yang dialaminya. Pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pendekatan CTL sejalan dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan sekarang ini, yang juga menghendaki bahwa suatu pembelajaran pada dasarnya tidak hanya mempelajari tentang konsep, teori, dan fakta, tetapi juga aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan urain di atas, pendekatan CTL adalah pendekatan pembelajaran yang berlandaskan kontruktivisme, yang membangun pengetahuan siswa dari pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya dengan kehidupan nyata. Pengalaman siswa merupakan modal dasar dalam pembelajaran karena sangat berguna untuk dihubungkan dengan materi yang disajikan. Belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Sardiman, 2001:12). Menurut Mudjiono dan Dimyati (2009:3) hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindakan belajar dan tindakan mengajar. Dari sisi guru, tindakan mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar. Hasil belajar tersebut dapat dibedakan menjadi dua yaitu dampak pembelajaran dan dampak pengiring. Dampak pembelajaran adalah hasil yang dapat diukur, seperti yang tertuang dalam angka rapor, angka dalam ijasah, atau kemampuan meloncat setelah latihan. Dampak pengiring adalah terapan pengetahuan dan kemampuan dibidang lain, suatu transfer belajar. Sudjana (2010:22) menyatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuankemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar siswa diukur dengan penjajagan terhadap kemampuan siswa mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya. Kinerja yang dihadapkan dari siswa harus diartikulasikan secara baik dan diindikasikan dalam silabus baik untuk siswa maupun guru. Penilaian harus sinambung formatif, dan komulatif, langsung pada upaya menjamin prestasi belajar siswa dan didukung oleh perkerjaan siswa (Nurhadi, dkk, 2004:25). Menurut Hamalik (2008:31) hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilainilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, dan keterampilan. Hasil belajar diterima oleh murid apabila memberi kepuasan pada kebutuhannya dan berguna serta bermakna baginya. Hasil-hasil belajar dilengkapi dengan jalan serangkaian pengalamanpengalaman yang dapat dipersamakan dengan pertimbangan yang baik. Hasil belajar dalam kelas harus dapat e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 dilaksanakan ke dalam situasi-situasi di luar sekolah. Mudjiono & Dimyati (2009:26) mengatakan bahwa, dalam menentukan hasil belajar digunakan klasifikasi hasil belajar Benyamin Bloom yang dibagi menjadi tiga ranah yaitu, ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor. Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir, ranah afektif berhubungan dengan kemampuan perasaan, sikap dan kepribadian, sedangkan ranah psikomotor berhubungan dengan keterampilan motorik yang dikendalikan oleh kematangan psikologis. Hasil belajar dapat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri siswa dan faktor eksternal berasal dari luar diri siswa. Jadi yang termasuk faktor IPA adalah faktor eksternal, sebab faktor eksternal berkaitan dengan lingkungan, begitu juga dengan IPA yang mempelajari tentang gejala-gejala alam. Dengan demikian untuk mencapai tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan belajar yang kondusif agar pembelajaran lebih afektif dan menyenangkan. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah suatu kemampuan/keterampilan yang diperoleh oleh siswa sebagai akibat perubahan tingkah laku kognitif, afektif, dan psikomotor yang dikembangkan melalui mata pelajaran tertentu. Dengan demikian hasil belajar IPA adalah kemampuan/keterampilan yang diperoleh oleh siswa sebagai akibat perubahan tingkah laku kognitif, afektif, dan psikomotoriknya. Hasil belajar juga dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berasal dari bahasa inggris “Science” yang artinya alamiah, berhubungan dengan alam atau bersangkut paut dengan alam. Secara harafiah IPA berarti ilmu tentang alam, ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam (Iskandar & Hidayat, 1997:2). Trianto (2010 a:136) mendefinisikan bahwa IPA adalah suatu kumpulan teori yang sistematis, penerapannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam, lahir dan berkembang melalui metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka, jujur, dan sebagainya. Dapat pula dikatakan bahwa IPA adalah pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala melalui serangkaian proses yang dikenal dengan proses ilmiah yang dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai produk ilmiah. Sementara itu, Prihantoro (dalam Trianto, 2010 a:137), menyatakan bahwa, IPA hakikatnya merupakan suatu produk, proses, dan aplikasi. Sebagai produk, IPA merupakan sekumpulan pengetahuan dan sekumpulan konsep dan bagan konsep. Sebagai suatu proses, IPA merupakan proses yang dipergunakan untuk mempelajari objek studi, menemukan dan mengembangkan produk-produk sains, dan sebagai aplikasi, teori-teori IPA akan melahirkan teknologi yang dapat memberi kemudahan bagi kehidupan. Menurut Paolo dan Marten (dalam Iskandar & Hidayat, 1997:15) Ilmu Pengetahuan Alam untuk anak-anak adalah, 1) mengamati apa yang terjadi, 2) mencoba memahami apa yang diamati, 3) mempergunakan pengetahuan baru untuk meramalkan apa yang akan terjadi, dan 4) menguji ramalan-ramalan di bawah kondisikondisi untuk melihat apakah ramalan tersebut benar. Selain itu IPA tercakup juga coba-coba dan melakukan kesalahan, gagal dan mencoba lagi. Ilmu Pengetahuan alam tidak menyediakan semua jawaban untuk semua masalah yang diajukan. Misalnya IPA diajarkan dengan mengikuti model pembelajaran menemukan (inkuiri) sendiri, sehingga akan diharapkan pada suatu masalah. Tujuan pembelajaran IPA di Sekolah Dasar menurut kurikulum Tahun 2006 (KTSP:2) adalah sebagai berikut. 1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya, 2) mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsepkonsep Sains yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, 3) mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat, 4) mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 sekitar memecahkan masalah dan membuat keputusan, 5) meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar, 6) meningkatkan kesadaran untuk mengharagai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan, 7) memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs. Dengan demikian, pada hakikatnya IPA terdiri dari tiga komponen, yaitu sikap ilmiah, proses ilmiah, dan produk ilmiah. Hal ini berarti ilmu pengetahuan alam tidak hanya terdiri atas kumpulan pengetahuan atau berbagai macam fakta yang dihafal, akan tetapi juga merupakan suatu kegiatan atau proses aktif menggunakan pikiran dalam mempelajari gejala-gejala alam yang belum dapat direnungkan. Suatu ilmu pengetahuan alam berkembang secara dinamis, sehingga kumpulan dan refrensi pengetahuan sebagai produk juga bertambah. Pembelajaran IPA lebih menekankan pada pendekatan keterampilan proses, sehingga siswa menemukan fakta-fakta, membangun konsep, teori, dan sikap ilmiah dipihak siswa yang dapat berpengaruh positif terhadap kualitas maupun produk pendidikan. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang di gunakan adalah peneitian tindakan kelas (PTK) atau dikenal dengan istilah “classroom action research”. Menurut Sanjaya (2010:26) penelitian tindakan kelas dapat diartikan sebagai proses pengkajian masalah pembelajaran di dalam kelas melalui refleksi diri dalam upaya untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara melakukan berbagai tindakan yang terencana dalam situasi nyata serta menganalisis setiap pengaruh dari perlakukan tersebut. Penelitian tindakan kelas ini berpedoman pada model yang dirancang oleh Mulyasa. PTK ini dilaksanakan dalam dua siklus dengan tiga kali pertemuan setiap siklusnya. Setiap siklus terdiri dari empat langkah, yaitu: perencanaan, tindakan, observasi, evaluasi, dan refleksi. Penelitian ini dilaksanakan pada semester II tahun Pelajaran 2014/2015 di Sekolah Dasar Negeri 2 Sangsit Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V semester II dengan jumlah siswa sebanyak 26 orang dengan rincian 17 orang laki-laki dan 9 orang perempuan. Sedangkan objek dalam penelitian ini adalah hasil belajar IPA dan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk siswa kelas V semester II SD N 2 Sangsit. Rancangan penelitian tindakan kelas ini berpedoman pada model yang dirancang oleh Mulyasa. PTK ini dilaksanakan dalam dua siklus masingmasing siklus terdiri dari tiga kali pertemuan. Setiap siklus terdiri dari empat langkah, yaitu: (1) Tahap perencanaan tindakan ini dipersiapkan semua keperluan pelaksanaan tindakan mulai dari materi/bahan ajar, rencana pembelajaran yang mencakup metode/teknik mengajar, serta teknik dan instrument observasi dan evaluasi. (2) Tahap tindakan, pelaksanaan tindakan ini disusun sesuai dengan tahap penerapan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) yang yang telah dirancang, yaitu sebagai berikut. (a) Melakukan apersepsi dengan menghubungkan kehidupan nyata siswa terhadap materi pelajaran yang akan di ajarkan, (b) menyampaikan materi pelajaran, (c) guru mengajukan beberapa pertanyaan terkait materi yang disampaikan, (d) siswa membentuk kelompok dan mendiskusikan LKS yang dibagikan, (e) dalam kelompok siswa saling bertukar pendapat, (f) siswa menyampaikan hasil diskusi di depan kelas, dan kelompok lain menanggapi, (g) melakukan pemodelan terhadap hasil siswa yang terbaik, (h) siswa membuat kesimpulan terhadap materi yang telah didiskusikan, (i) mengadakan evaluasi dan memberikan penilaian. (3) Tahap observasi dan evaluasi, observasi dalam pelaksanaan tindakan ini dilakukan peneliti dengan cara mencatat semua kegiatan yang terjadi selama tindakan berlangsung ke dalam format yang telah disediakan. Sedangkan evaluasi dilaksanakan pada setiap akhir pembelajaran untuk e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 mengetahui hasil belajar siswa pada pertemuan tersebut. Disamping itu, evaluasi juga dilaksanakan pada akhir siklus untuk mengetahui hasil belajar siswa secara keseluruhan. (4) Tahap refleksi ini dilakukan untuk merenungkan dan mengkaji hasil tindakan pada akhir siklus mengenai hasi belajar IPA. Hasil renungan dan kajian tindakan ini, selanjutnya dipikirkan untuk dicari dan ditetapkan beberapa alternatif tindakan baru yang diduga lebih efektif untuk meningkatka hasil belajar IPA. Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini menggunakan dua metode yaitu metode observasi dan metode tes. Metode observasi digunakan untuk mengamati kegiatan siswa dalam mengikuti pembelajaran dan keterampilan guru dalam mengajar, sedangkan metode tes digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa dengan memberikan tes objektif pilihan ganda. Setelah seluruh data terkumpul, maka akan diadakan analisis data. Data yang dianalisis adalah data yang diperoleh dari hasil tes. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik deskriptif kuantitatif. Agung (2010:76) menyatakan metode analisis deskriptif kuantitatif adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan jalan menyusun secara sistematis dalam bentuk angka-angka atau persentase mengenai keadaan suatu objek yang diteliti sehingga diperoleh kesimpulan umum. Tingkat hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA dapat ditentukan dengan cara mengkonversikan M (%) atau rata-rata persen ke dalam Penelitian Acuan Patokan PAP skala lima dengan kriteria seperti pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Pedoman PAP Skala Lima Hasil Belajar IPA Presentase (1) 90%-100% 80%-89% 65%-79% 55%-64% 0%-54% Kriteria keberhasilan yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah kelas dikatakan tuntas jika ≥ 85% siswa mendapat skor 80 ke atas. Hal ini berarti bahwa siswa sudah memahami materi dengan baik atau tuntas maka tindakan dapat dihentikan. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan analisis data hasil belajar IPA siswa pada siklus I, maka diketahui persentase rata-rata hasil belajar siswa kelas V yang mengikuti pembelajaran IPA di SD Negeri 2 Sangsit dengan menerapkan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) pada siklus I adalah 73,84%. Jika dikonversikan dengan kreteria ketuntasan hasil belajar siswa yang Kategori (2) Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah (Agung, 2010:9) berpedoman pada PAP skala lima, maka persentase hasil belajar IPA siswa berada pada kategori sedang. Berdasarkan persentase tersebut, maka penerapan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas V SD Negeri 2 Sangsit belum dikatakan berhasil, karena hanya 18 atau 69,23% dari jumlah siswa yang mengikuti tes memperoleh skor 80 ke atas. Sesuai kriteria keberhasilan yang telah dijelaskan, penerapan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas V SD Negeri 2 Sangsit dikatakan berhasil apabila 85% dari jumlah siswa memperoleh skor 80 ke atas. e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 Hasil penelitian pada siklus II menunjukkan bahwa persentase rata-rata hasil belajar siswa kelas V yang mengikuti pembelajaran IPA di SD Negeri 2 Sangsit dengan menerapkan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) pada siklus II adalah 85%. Apabila dikonversikan dengan kreteria ketuntasan hasil belajar siswa yang berpedoman pada PAP skala lima, maka persentase hasil belajar IPA siswa berada pada kategori tinggi. Jika dibandingkan antara persentase rata-rata hasil belajar IPA siswa pada siklus I dengan persentase rata-rata hasil belajar IPA siswa pada siklus II, maka terjadi peningkatan hasil belajar IPA siswa kelas V SD Negeri 2 Sangsit sebesar 11,16%. Berdasarkan persentase tersebut, maka penerapan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas V SD Negeri 2 Sangsit dikategorikan sudah berhasil, karena seluruh siswa yang berjumlah 26 orang siswa 88,46% telah memperoleh skor 80 ke atas. Sesuai kriteria keberhasilan yang telah dijelaskan, penerapan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas V SD Negeri 2 Sangsit dikatakan berhasil apabila 85% dari jumlah siswa memperoleh skor 80 ke atas. Oleh karena itu, penelitian ini dianggap telah berhasil dan dapat dihentikan. Pemilihan dan penerapan pendekatan pembelajaran yang tepat dapat meningkatkan hasil belajar pada proses pembelajaran yang dilaksanakan. Sependapat dengan pernyataan tersebut terbukti bahwa pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri 2 Sangsit. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penelitian tindakan kelas ini dihentikan pada siklus II karena hasil penelitian sudah mampu mencapai kriteria ketuntasan yang ditetapkan. Berdasarkan temuan dalam pembelajaran, hasil penelitian pada siklus I belum memenuhi kriteria yang sudah ditetapkan sehingga perlu diadakan perbaikan-perbaikan pada siklus selanjutnya. Hal ini disebabkan masih ada beberapa kendala diantaranya: 1) Siswa belum terbisa dalam mengikuti pembelajaran yang ditetapkan, yaitu sebagian besar siswa belum mampu memanfaatkan waktu yang diberikan untuk mengerjakan LKS. Solusi untuk mengatasi hal tersebut guru harus mensosialisasikan kembali pembelajaran yang ditetapkan sehingga siswa lebih paham terhadap cara kerja dan tugas mereka untuk memanfaatkan waktu dalam diskusi kelompok dan siswa bisa lebih aktif dalam proses pembelajaran sehingga pengetahuan yang didapat siswa menjadi lebih bermakna. 2) Guru belum biasa mengolah pembelajaran dalam bentuk belajar kelompok, sehingga siswa masih mengalami kesulitan dalam diskusi. Solusi untuk mengatasi hal tersebut adalah guru membimbing dan melatih siswa agar terbiasa mengikuti pembelajaran dalam bentuk kelompok sehingga diskusi bisa berjalan dengan baik. 3) Masih banyak siswa yang lain-lain pada saat pembelajaran berlangsung dan siswa juga belum mampu menanggapi pendapat dari kelompok lain, sebab siswa yang mengajukan pertanyaan masih sedikit dan cenderung sibuk dengan kegiatan diskusi. Solusi untuk mengatasi hal tersebut yaitu siswa dituntut dengan cara memberikan pertanyaan atau informasi yang dapat dijadikan acuan dalam berpendapat atau menjawab pertanyaan. Siswa diberikan penguatan positif dalam menanggapi atau menyampaikan suatu pendapat. Hal ini sejalan dengan pendapat Komalasari (2013:23) menyatakan bahwa, penguatan adalah keterampilan yang dapat memberi respon positif atas kinerja siswa yang baik. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka menumbuhkan motivasi pada siswa agar bisa meningkatkan kinerja dalam belajar supaya menjadi lebih baik. Sesuai dengan penjelasan tersebut, maka guru dalam pembelajaran hendaknya memberikan penguatan positif bagi siswa e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 yang sudah bisa mengikuti pembelajaran dengan baik dan aktif. Penguatan ini diharapkan mampu memotivasi siswa lain untuk lebih aktif di dalam pembelajaran. Persentase rata-rata hasil belajar IPA yang diperoleh siswa pada siklus I adalah 73,84% bila dikonversikan ke dalam tabel kriteria persentase berada pada rentangan 65%-79% pada katagori sedang. perolehan persentase rata-rata tersebut belum memenuhi kriteria keberhasilan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Untuk itu, perlu dilaksanakan penelitian pada siklus berikutnya, yaitu dilanjutkan ke siklus II. Pada akhir siklus II, pemahaman dan kemampuan siswa dalam memahami konsep IPA dengan menugaskan siswa mengamati gambar dan mengerjakan LKS dalam bentuk kelompok sudah semakin meningkatkan partisipasi siswa dalam belajar. Persentase rata-rata hasil belajar IPA siswa pada siklus II sebesar 85% pada kategori tinggi. Pada siklus II siswa sudah mulai berani bertanya tentang hal-hal yang belum dipahami dan guru dapat memberikan bimbingan berdasarkan permasalahan yang ditemukan oleh siswa, selain itu siswa juga sudah terbiasa mengikuti pembelajaran yang sudah ditetapkan. Menurut Sanjaya (2009:255) CTL adalah suatu pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Trianto (2007:103) juga menyatakan bahwa pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh oleh siswa diharapkan bukan dari hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi dari hasil menemukan sendiri (inquiry). Sesuai dengan pendapat dari kedua para ahli di atas mengenai CTL, bila dikaitkan dengan penerapan yang dilaksanakan di SD Negeri 2 Sangsit sudah sesuai dengan pendapat yang di ungkapkan oleh kedua para ahli tersebut. Hal ini terlihat pada saat siswa mengamati gambar tentang “pemanfaatan air dalam kehidupan sehari-hari” yang ada di depan kelas. Siswa dilibatkan secara penuh untuk mengamati gambar yang ada di depan kelas. Dengan melakukan pengamatan secara langsung, siswa sudah bisa menemukan materi yang akan dipelajari dari hasil menemukan sendiri. Kemudian pengetahuan yang mereka dapatkan dihubungkan dengan situasi kehidupan nyata siswa. Setelah siswa mengetahui bahwa pembelajaran yang dilaksanakan yaitu tentang “pemanfaatan air dalam kehidupan sehari-hari”, hal ini tentunya sangat berkaitan dengan situasi kehidupan nyata siswa. Artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Air dalam kehidupan sehari-hari mempunyai banyak manfaat, siswa bisa mengetahui manfaat air tersebut dari mengamati gambar. Siswa memperoleh pengetahuan melalui menemukan sendiri dan pengetahuan yang mereka peroleh di sekolah bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan CTL terkait dengan kehidupan nyata siswa, artinya pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mereka mencapainya. Dalam kelas kontekstual atau CTL, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuan. Guru bertugas mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa. Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri, bukan dari apa yang dikatakan guru. Selain itu, CTL juga mampu menumbuhkan minat belajar siswa, secara aktif mampu mengonstruksikan sendiri pemahaman mereka tentang apa yang dipelajari, memberikan kesempatan kepada siswa berdiskusi, serta saling berbagi informasi dalam diskusi kelompok. Hal ini akan dapat menumbuhkan motivasi dan keaktifan siswa yang berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Sesuai dengan hasil penelitian ini, dengan menerapkan pendekatan CTL dalam proses pembelajaran terbukti mampu memberikan efek yang positif terhadap keaktifan belajar siswa yang berdampak pada meningkatnya e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 hasil belajar IPA siswa kelas V SD Negeri 2 Sangsit. Secara keseluruhan proses pembelajaran yang telah dilaksanakan sudah berjalan dengan baik. Untuk lebih mengoptimalkan pemahaman dan kemampuan siswa dalam mata pelajaran IPA, penerapan pendekatan CTL perlu diterapkan pada setiap pembelajaran. Pendekatan CTL adalah pendekatan pembelajaran yang berlandaskan kontruktivisme, yang membangun pengetahuan siswa dari pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya dengan kehidupan nyata (Komalasari, 2013:14). Siswa membangun pengetahuan dari pengalaman seperti melakukan pengamatan melalui media gambar atau melakukan percobaan secara langsung tentang “peristiwa alam yang terjadi di Indonesia”. Ada beberapa peristiwa alam yang terjadi di Indonesia misalnya peristiwa tanah longsor. Dari materi ini siswa bisa melakukan percobaan bersama anggota kelompok agar siswa mengetahui bagaimana proses terjadinya tanah longsor. Dengan demikian siswa akan memperoleh pengetahuan secara langsung dari pengalaman sendiri dan pengetahuan yang telah diperoleh tentunya akan lebih bermakna bagi siswa. Membangun pengetahuan dari pengalaman tentunya sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa, pengalaman siswa merupakan modal dasar dalam pembelajaran karena sangat berguna untuk dihubungkan dengan materi yang disajikan. Pemanfaatan media dalam proses pembelajaran juga mendukung peningkatan hasil belajar siswa, dengan menggunakan media proses pembelajaran menjadi lebih bervariasi. Siswa merasa senang, terangsang, dan tertarik, sehingga siswa menikmati waktu belajarnya. Dalam penelitian ini pembelajaran dipusatkan pada siswa, dimana siswa yang aktif dalam pembelajaran akan memberikan dampak yang positif pada hasil belajarnya. Hal ini sejalan dengan apa yang diharapkan dalam penelitian yang dilaksanakan di SD Negeri 2 Sangsit sehingga hasil belajar IPA siswa mampu mengalami peningkatan. Belajar dengan menemukan sendiri membuat siswa tidak mudah melupakan materi yang dipelajari. Terjadinya peningkatan hasil belajar dari siklus I sampai siklus II, menunjukkan bahwa penerapan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) sangat efektif untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas V SD Negeri 2 Sangsit Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng Tahun Pelajaran 2014/2015. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ni Ketut Sulistyani (2012) dan Pande Ketut Dharma Suweke (2011) bahwa, terjadi peningkatan hasil belajar IPA setelah diterapkan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa penerapan pendekatan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran IPA dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas V SD Negeri 2 Sangsit. Hal ini terlihat dari hasil tes siswa yang meningkat dari siklus I ke siklus II. Pada siklus I persentase rata-rata hasil belajar siswa adalah 73,84% termasuk dalam kategori sedang. Kemudian pada siklus II meningkat menjadi 85% sudah termasuk kategori tinggi. Jadi persentase rata-rata hasil belajar IPA siswa pada siklus I dengan persentase rata-rata hasil belajar IPA siswa pada siklus II, terjadi peningkatan sebesar 11,16%. Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini maka, maka diajukan saransaran kepada: (1) Guru Sekolah Dasar, diharapkan dapat menerapkan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) sebagai salah satu pendekatan pembelajaran yang lebih berpusat kepada siswa. Melalui langkah-langkah pembelajaran yang tepat, diharapkan akan terciptanya suasana pembelajaran yang menyenangkan. (2) Siswa SD N 2 Sangsit Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, diharapkan agar dalam proses pembelajaran selalu mengikuti dan memperhatikan dengan sungguh-sunggu sehingga dapat menguasai materi pembelajaran dengan baik. (3) Kepada peneliti lain yang berminat untuk e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam mata pelajaran IPA khususnya, maupun pada bidang studi lainnya yang sesuai, agar penelitian ini dapat dijadikan acuan ataupun referensi demi ketuntasan penelitian selanjutnya dan memperhatikan kendala-kendala yang dialami sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan dan menyempurnakan pelaksanaan penelitian ---------, 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Kencana. DAFTAR PUSTAKA ---------, 2010 b. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif (Konsep, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana. Agung, A.A.Gede. 2010. Metodelogi Penelitian Pendidikan. Singaraja. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Pendidikan Ganesha. Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sains. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Hamalik, Oemar. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara. Iskandar & Hidayat. 1997. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Johnson, B. 2007. Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. Terjemahan Ibnu Setiawan. Contextual Teaching and Learning: what it is and why it’s here to say. 2007. Bandung: Mizan Learning Center (MLC). Komalasari, Kokom. 2013. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: PT Refika Aditama. Mudijono dan Dimyati. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Sanjaya, Wina. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Pustaka Nasional. ---------, 2010 a. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara.