penerapan pendekatan contextual teaching and

advertisement
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND
LEARNING UNTUK MENINGKATKAN HASIL
BELAJAR IPA PADA SISWA KELAS V
Ni Luh Tirtasari1, Wyn Romi Sudhita2, Ni Wyn Rati3
1,3
Jurusan PGSD, 2Jurusan TP, FIP
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatan hasil belajar IPA pada siswa kelas V Sekolah
Dasar Negeri 2 Sangsit Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Pencapaian tujuan tersebut
dilakukan dengan menerapkan pendekatan Contextual Teaching And Learning (CTL). Jenis
penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) yang dilaksanakan dalam dua siklus.
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas V SD Negeri 2 Sangsit Kecamatan Sawan,
Kabupaten Buleleng pada semester II tahun pelajaran 2014/2015 yang berjumlah 26 orang.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode tes dan metode observasi.
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif kuantitatif. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan pendekatan Contextual Teaching And Learning
(CTL) dalam pembelajaran IPA dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas V SD
Negeri 2 Sangsit, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng tahun pelajaran 2014/2015. Hal
ini terlihat dari peningkatan persentase rata-rata hasil belajar IPA siswa, yaitu dari 73,84%
pada siklus I termasuk kategori sedang menjadi 85% pada siklus II sudah termasuk kategori
tinggi. Jadi meningkat sebesar 11,16%.
Kata Kunci : Pendekatan CTL, Hasil Belajar.
Abstract
This research aims to improve science learning outcomes in the first of fifth grade students of
SD N 2 Sangsit Sawan Buleleng. The purpose of this research implementing in approach
Contextual Teaching and Learning (CTL). Type of research is a classroom action research
this study was conducted in two cycles. Subjects were students of class V Semester 2 SD N
2 Sangsit Sawan, Buleleng of semester II regency school year 2014/2015 amounting 26
people. Data collection in this study was conducted using observation and tests. Data
obtained from then analyzed by quantitative descriptive techniques. The results showed that
approach Contextual Teaching and Learning (CTL) in the learning IPA can increase the result
of students science knowledge of class V SD N 2 Sangsit, Sawan, Buleleng regency school
year 2014/2015. The percentage average of students learning result from 73,84% in the first
cycle into 85% in the second cycle, there is an increase 11, 16%.
Key Words : Approach CTL, Learning Results
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
PENDAHULUAN
Sekolah adalah suatu lembaga yang
memberikan pengajaran kepada peserta
didik. Lembaga pendidikan ini memberikan
pengajaran
secara
formal.
Secara
sistematis sekolah telah merencanakan
bermacam lingkungan, yakni lingkungan
pendidikan yang menyediakan kesempatan
bagi siswa untuk melakukan berbagai
kegiatan
belajar
sehingga
siswa
memperoleh pengalaman belajar yang lebih
baik (Hamalik, 2008:79).
Sekolah Dasar (SD) merupakan
pendidikan formal di Indonesia yang
menyelenggarakan
proses
pendidikan
dasar dan mendasari proses pendidikan
selanjutnya.
Pendidikan
dasar
diselenggarakan untuk memberikan dasar
pengetahuan, sikap dan keterampilan bagi
peserta didik. Pendidikan dasar inilah yang
selanjutnya
dikembangkan
untuk
meningkatkan kualitas peserta didik. Tujuan
dari pendidikan di Sekolah Dasar adalah
untuk memberikan bekal kemampuan dasar
membaca, menulis, berhitung, serta
pengetahuan dan keterampilan dasar yang
bermanfaat bagi siswa sesuai dengan
tingkat
perkembangannya,
serta
mempersiapkan mereka untuk mengikuti
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
( Trianto, 2010 b:141).
Pendidikan
di
sekolah
dasar
diberikan kepada siswa terdapat beberapa
mata pelajaran yang harus dikuasainya.
Salah satunya adalah ilmu pengetahuan
alam
(IPA).
Trianto
(2010
a:136)
mendefinisikan bahwa IPA adalah suatu
kumpulan
teori
yang
sistematis,
penerapannya secara umum terbatas pada
gejala-gejala alam, lahir dan berkembang
melalui metode ilmiah seperti observasi dan
eksperimen serta menuntut sikap ilmiah
seperti rasa ingin tahu, terbuka, jujur, dan
sebagainya. Dapat pula dikatakan bahwa
IPA adalah pengetahuan yang mempelajari
gejala-gejala melalui serangkaian proses
yang dikenal dengan proses ilmiah yang
dibangun atas dasar sikap ilmiah dan
hasilnya terwujud sebagai produk ilmiah.
Dalam pembelajaran IPA di sekolah
dasar yang perlu diajarkan adalah produk
dan proses IPA karena keduanya tidak
dapat dipisahkan. Guru yang berperan
sebagai fasilitator siswa dalam belajar
produk dan proses IPA
harus dapat
mengemas pembelajaran yang sesuai
dengan karakteristik siswa agar dapat
terciptanya proses pembelajaran yang
efektif dan sesuai dengan tujuan pendidikan
yang diinginkan. Pembelajaran yang efektif
adalah pembelajaran yang dimulai dari
lingkungan belajar yang berpusat pada
siswa. Belajar akan lebih bermakna jika
anak “mengalami” sendiri apa yang
dipelajarinya,
bukan
mengetahuinya
(Nurhadi dkk, 2004:3). Berdasarkan hal
tersebut, maka pembelajaran IPA di SD
hendaknya dilakukan melalui suatu proses
dengan
menggunakan
sikap
ilmiah
sehingga mampu menghasilkan suatu
produk yang ada kaitannya dengan
kehidupan sehari-hari. Melalui proses
tersebut
maka
siswa
tidak
hanya
mendengarkan penjelasan dari guru, akan
tetapi siswa yang secara aktif dalam
pelaksanaan proses pembelajaran.
Namun, kenyataan di lapangan
berdasarkan hasil observasi terhadap
proses pembelajaran IPA di SD Negeri 2
Sangsit ditemukan beberapa permasalahan
antara lain: 1) Dalam proses pembelajaran
guru masih menerapkan pembelajaran
yang lebih berpusat pada guru (teacher
centered) sehingga siswa terlihat bosan
saat mengikuti pembelajaran, 2) pada saat
proses pembelajaran siswa masih terlihat
kurang aktif sehingga siswa belum bisa
memperoleh
pengetahuan
lewat
pengalaman secara langsung khususnya
dalam mengikuti mata pelajaran IPA, 3)
kurangnya pemanfaatan media yang ada
dilingkungan oleh guru pada proses
pembelajaran, 4) siswa cenderung bekerja
sendiri pada saat mengerjakan tugas
kelompok dan kurang mau bertanya kepada
teman atau guru ketika menemukan
permasalahan dalam pembelajaran.
Permasalahan tersebut memberikan
akibat terhadap rendahnya hasil belajar
siswa kelas V dalam mata pelajaran IPA.
Hal ini dapat diketahui berdasarkan hasil
observasi dan wawancara kepada guru
kelas V SD N 2 Sangsit yaitu atas nama Ni
Ketut Mastining, S.Pd.,SD pada tanggal 31
Januari 2015. Beliau menyatakan bahwa,
hasil belajar IPA masih tergolong rendah.
Hal ini tercermin dari nilai ulangan umum
yang telah diperoleh pada semester ganjil
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
tahun pelajaran 2014/2015 mata pelajaran
IPA, karena masih ada berapa orang siswa
yang mendapatkan nilai di bawah 65,
sedangkan
KKM (Kriteria Ketuntasan
Minimal) pada mata pelajaran IPA adalah
71.
Hasil belajar yang belum mencapai
ketuntasan ini merupakan permasalahan
yang disebabkan oleh beberapa faktor.
Faktor pertama adalah kegiatan belajar
mengajar di kelas didominasi oleh guru.
Guru sebagai sumber pengetahuan dan
lebih banyak
menggunakan metode
ceramah. Kondisi seperti ini mengakibatkan
kelas menjadi pasif selama proses
pembelajaran, guru tidak melibatkan siswa
dalam proses pembelajaran sehingga
kurang menumbuhkan minat siswa untuk
belajar. Kedua, proses pembelajaran belum
mengaitkan materi pelajaran dengan
kehidupan sehari-hari siswa. Ketiga,
kurangnya pemanfaatan media lingkungan
dalam pembelajaran dan metode yang
kurang menarik sehingga pembelajaran
menjadi membosankan bagi siswa.
Banyak teknik atau cara yang dapat
dilaksanakan oleh guru untuk menarik
minat dan meningkatkan hasil belajar IPA,
salah
satunya
dengan
menerapkan
pendekatan yang dapat mengatasi masalah
pembelajaran yaitu pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL). Penerapan
pendekatan CTL akan mampu mengatasi
permasalahan dalam pembelajaran seperti
yang telah di sebutkan di atas, karena: 1)
Pendekatan
CTL
dapat
pemberian
kesempatan belajar yang lebih luas dan
suasana yang kondusif pada siswa untuk
memperoleh
dan
mengembangkan
pengetahuan,
sikap,
nilai,
serta
keterampilan-keterampilan
sosial
yang
bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. 2)
Proses pembelajaran berlangsung secara
alamiah dalam bentuk kegiatan siswa
bekerja dan mengalami, bukan transfer
pengetahuan dari guru ke siswa. 3)
Pendekatan CTL menyajikan suatu konsep
yang mengaitkan materi pelajaran yang
dipelajari siswa dengan situasi dunia nyata
siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sehari-hari, sehingga
pembelajaran akan menjadi lebih berarti
dan menyenangkan. 4) Pendekatan CTL
melibatkan tujuh komponen utama dalam
pembelajaran, yaitu (1) kontruktivisme
(Contructivism), (2) inkuiri (Inquiry), (3)
bertanya (Questioning), (4) masyarakat
belajar
(Learning
Community),
(5)
pemodelan
(Modeling),
(6)
refleksi
(Reflection), (7) dan penilaian sebenarnya
(Authentic
Assesment),
sehingga
pembelajaran akan lebih bermakna bagi
siswa (Trianto a, 2010:10-12).
CTL (Contextual Teaching and
Learning) adalah suatu pembelajaran yang
menekankan kepada proses keterlibatan
siswa
secara
penuh
untuk
dapat
menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya
dengan
situasi
kehidupan nyata sehingga mendorong
siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan mereka (Sanjaya, 2009:255).
Menurut Trianto (2007:103) Contextual
Teaching and Learning (CTL) merupakan
suatu konsepsi yang membantu guru
mengaitkan konten mata pelajaran dengan
situasi dunia nyata dan memotivasi siswa
membuat hubungan antara pengetahuan
dan penerapanya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga, warga Negara,
dan tenaga kerja.
Pembelajaran
kontekstual
atau
Contextual Teaching and Learning (CTL)
adalah konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan
antara
materi
yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata
siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sehari-hari.
Dari konsep tersebut ada tiga hal
yang harus dipahami. Pertama, CTL
menekankan kepada proses keterlibatan
siswa untuk menemukan materi, artinya
proses belajar diorientasikan pada proses
pengalaman secara langsung. Kedua, CTL
mendorong agar siswa dapat menemukan
hubungan antara materi yang dipelajari
dengan situasi kehidupan nyata, artinya
siswa dituntut untuk dapat menangkap
hubungan antara pengalaman belajar di
sekolah dengan kehidupan nyata. Ketiga,
CTL mendorong siswa untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan, artinya
CTL bukan hanya mengharapkan siswa
dapat memahami materi yang dipelajarinya,
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu
dapat
mewadahi
perilakunya
dalam
kehidupan sehari-hari.
Adapun sintak dari pendekatan CTL
yakni: (1) Kontruktivisme (Contructivism)
pada tahap ini, siswa bekerja sendiri dan
mengkontruksi sendiri pengetahuan dan
keterampilan barunya. (2) Menemukan
(inquiry)
yaitu
siswa
memperoleh
pengetahuan dan keterampilan diharapkan
bukan hasil mengingat seperangkat faktafakta, tetapi dari hasil menemukan sendiri.
(3) Bertanya (questioning) berguna untuk
memperoleh informasi terkait hal-hal yang
belum dipahami. (4) Masyarakat belajar
(learning
community)
yaitu
belajar
bekerjasama dalam bentuk kelompokkelompok kecil maupun besar. (5)
Pemodelan (modelling) yaitu bisa berupa
media
maupun
benda-benda
yang
ditunjukkan oleh guru. (6) Refleksi
(reflection) merupakan respon terhadap
kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang
baru
diterima.
(7)
Penilaian
yang
sebenarnya (authentic assessment) yaitu
guru melakukan penilaian yang sebenarnya
terhadap hasil belajar siswa.
Landasan
filosofi
CTL
adalah
kontruktivisme, yaitu filosofi belajar yang
menekankan bahwa belajar tidak hanya
sekedar menghafal, tetapi merekontruksi
atau membangun pengetahuan dan
keterampilan baru lewat fakta-fakta atau
proporsi yang mereka alami dalam
lingkungan
kehidupan
sehari-hari
(Komalasari,
2013:14).
Pengetahuan
bukanlah tentang dunia lepas dari
pengamatan, melainkan merupakan ciptaan
manusia
yang
dikonstruksikan
dari
pengalaman atau dunia sejauh yang
dialaminya. Pengetahuan itu ada dalam diri
seseorang yang sedang mengetahui.
Pendekatan CTL sejalan dengan kurikulum
tingkat satuan pendidikan sekarang ini,
yang juga menghendaki bahwa suatu
pembelajaran pada dasarnya tidak hanya
mempelajari tentang konsep, teori, dan
fakta, tetapi juga aplikasi dalam kehidupan
sehari-hari.
Berdasarkan
urain
di
atas,
pendekatan CTL adalah pendekatan
pembelajaran
yang
berlandaskan
kontruktivisme,
yang
membangun
pengetahuan siswa dari pengalaman dan
pengetahuan yang dimilikinya dengan
kehidupan nyata. Pengalaman siswa
merupakan
modal
dasar
dalam
pembelajaran karena sangat berguna untuk
dihubungkan dengan materi yang disajikan.
Belajar merupakan suatu proses
usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan, sebagai
hasil
pengalamannya
sendiri
dalam
interaksi dengan lingkungannya (Sardiman,
2001:12). Menurut Mudjiono dan Dimyati
(2009:3) hasil belajar merupakan hasil dari
suatu interaksi tindakan belajar dan
tindakan mengajar. Dari sisi guru, tindakan
mengajar diakhiri dengan proses evaluasi
hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar
merupakan berakhirnya penggal dan
puncak proses belajar. Hasil belajar
tersebut dapat dibedakan menjadi dua yaitu
dampak
pembelajaran
dan
dampak
pengiring. Dampak pembelajaran adalah
hasil yang dapat diukur, seperti yang
tertuang dalam angka rapor, angka dalam
ijasah, atau kemampuan meloncat setelah
latihan. Dampak pengiring adalah terapan
pengetahuan dan kemampuan dibidang
lain, suatu transfer belajar.
Sudjana (2010:22) menyatakan
bahwa hasil belajar adalah kemampuankemampuan yang dimiliki siswa setelah ia
menerima pengalaman belajarnya. Hasil
belajar siswa diukur dengan penjajagan
terhadap
kemampuan
siswa
mengaplikasikan
pengetahuan
dan
keterampilannya. Kinerja yang dihadapkan
dari siswa harus diartikulasikan secara baik
dan diindikasikan dalam silabus baik untuk
siswa maupun guru. Penilaian harus
sinambung
formatif,
dan
komulatif,
langsung pada upaya menjamin prestasi
belajar siswa dan didukung oleh perkerjaan
siswa (Nurhadi, dkk, 2004:25).
Menurut Hamalik (2008:31) hasil
belajar adalah pola-pola perbuatan, nilainilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap,
dan keterampilan. Hasil belajar diterima
oleh murid apabila memberi kepuasan pada
kebutuhannya dan berguna serta bermakna
baginya. Hasil-hasil belajar dilengkapi
dengan jalan serangkaian pengalamanpengalaman yang dapat dipersamakan
dengan pertimbangan yang baik. Hasil
belajar
dalam
kelas
harus
dapat
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
dilaksanakan ke dalam situasi-situasi di luar
sekolah. Mudjiono & Dimyati (2009:26)
mengatakan bahwa, dalam menentukan
hasil belajar digunakan klasifikasi hasil
belajar Benyamin Bloom yang dibagi
menjadi tiga ranah yaitu, ranah kognitif,
ranah afektif, dan ranah psikomotor. Ranah
kognitif berhubungan dengan kemampuan
berpikir, ranah afektif berhubungan dengan
kemampuan
perasaan,
sikap
dan
kepribadian, sedangkan ranah psikomotor
berhubungan dengan keterampilan motorik
yang dikendalikan oleh kematangan
psikologis.
Hasil belajar dapat dipengaruhi oleh
dua faktor yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal berasal dari dalam
diri siswa dan faktor eksternal berasal dari
luar diri siswa. Jadi yang termasuk faktor
IPA adalah faktor eksternal, sebab faktor
eksternal berkaitan dengan lingkungan,
begitu juga dengan IPA yang mempelajari
tentang
gejala-gejala
alam.
Dengan
demikian untuk mencapai tujuan belajar
perlu diciptakan adanya sistem lingkungan
belajar yang kondusif agar pembelajaran
lebih afektif dan menyenangkan.
Berdasarkan pendapat di atas maka
dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
adalah suatu kemampuan/keterampilan
yang diperoleh oleh siswa sebagai akibat
perubahan tingkah laku kognitif, afektif, dan
psikomotor yang dikembangkan melalui
mata pelajaran tertentu. Dengan demikian
hasil
belajar
IPA
adalah
kemampuan/keterampilan yang diperoleh
oleh siswa sebagai akibat perubahan
tingkah
laku
kognitif,
afektif,
dan
psikomotoriknya.
Hasil
belajar
juga
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
internal dan faktor eksternal.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
berasal dari bahasa inggris “Science” yang
artinya alamiah, berhubungan dengan alam
atau bersangkut paut dengan alam. Secara
harafiah IPA berarti ilmu tentang alam, ilmu
yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang
terjadi di alam (Iskandar & Hidayat, 1997:2).
Trianto (2010 a:136) mendefinisikan bahwa
IPA adalah suatu kumpulan teori yang
sistematis, penerapannya secara umum
terbatas pada gejala-gejala alam, lahir dan
berkembang melalui metode ilmiah seperti
observasi dan eksperimen serta menuntut
sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka,
jujur, dan sebagainya. Dapat pula dikatakan
bahwa IPA adalah pengetahuan yang
mempelajari
gejala-gejala
melalui
serangkaian proses yang dikenal dengan
proses ilmiah yang dibangun atas dasar
sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai
produk ilmiah. Sementara itu, Prihantoro
(dalam Trianto, 2010 a:137), menyatakan
bahwa, IPA hakikatnya merupakan suatu
produk, proses, dan aplikasi. Sebagai
produk, IPA merupakan sekumpulan
pengetahuan dan sekumpulan konsep dan
bagan konsep. Sebagai suatu proses, IPA
merupakan proses yang dipergunakan
untuk mempelajari objek studi, menemukan
dan mengembangkan
produk-produk
sains, dan sebagai aplikasi, teori-teori IPA
akan melahirkan teknologi yang dapat
memberi kemudahan bagi kehidupan.
Menurut Paolo dan Marten (dalam
Iskandar & Hidayat, 1997:15) Ilmu
Pengetahuan Alam untuk anak-anak
adalah, 1) mengamati apa yang terjadi, 2)
mencoba memahami apa yang diamati, 3)
mempergunakan pengetahuan baru untuk
meramalkan apa yang akan terjadi, dan 4)
menguji ramalan-ramalan di bawah kondisikondisi untuk melihat apakah ramalan
tersebut benar. Selain itu IPA tercakup juga
coba-coba dan melakukan kesalahan,
gagal dan mencoba lagi. Ilmu Pengetahuan
alam tidak menyediakan semua jawaban
untuk semua masalah yang diajukan.
Misalnya IPA diajarkan dengan mengikuti
model pembelajaran menemukan (inkuiri)
sendiri, sehingga akan diharapkan pada
suatu masalah.
Tujuan pembelajaran IPA di Sekolah
Dasar menurut kurikulum Tahun 2006
(KTSP:2) adalah sebagai berikut. 1)
Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran
Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan
keberadaan, keindahan dan keteraturan
alam ciptaan-Nya, 2) mengembangkan
pengetahuan dan pemahaman konsepkonsep Sains yang bermanfaat dan dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, 3)
mengembangkan rasa ingin tahu, sikap
positif dan kesadaran tentang adanya
hubungan yang saling mempengaruhi
antara IPA, lingkungan, teknologi dan
masyarakat,
4)
mengembangkan
keterampilan proses untuk menyelidiki alam
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
sekitar
memecahkan
masalah
dan
membuat keputusan, 5) meningkatkan
kesadaran untuk berperan serta dalam
memelihara, menjaga dan melestarikan
lingkungan sekitar, 6) meningkatkan
kesadaran untuk mengharagai alam dan
segala keteraturannya sebagai salah satu
ciptaan Tuhan, 7) memperoleh bekal
pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA
sebagai
dasar
untuk
melanjutkan
pendidikan ke SMP/MTs.
Dengan demikian, pada hakikatnya
IPA terdiri dari tiga komponen, yaitu sikap
ilmiah, proses ilmiah, dan produk ilmiah.
Hal ini berarti ilmu pengetahuan alam tidak
hanya terdiri atas kumpulan pengetahuan
atau berbagai macam fakta yang dihafal,
akan tetapi juga merupakan suatu kegiatan
atau proses aktif menggunakan pikiran
dalam mempelajari gejala-gejala alam yang
belum dapat direnungkan. Suatu ilmu
pengetahuan alam berkembang secara
dinamis, sehingga kumpulan dan refrensi
pengetahuan
sebagai
produk
juga
bertambah.
Pembelajaran
IPA
lebih
menekankan
pada
pendekatan
keterampilan proses, sehingga siswa
menemukan
fakta-fakta,
membangun
konsep, teori, dan sikap ilmiah dipihak
siswa yang dapat berpengaruh positif
terhadap
kualitas
maupun
produk
pendidikan.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang di gunakan
adalah peneitian tindakan kelas (PTK) atau
dikenal dengan istilah “classroom action
research”. Menurut Sanjaya (2010:26)
penelitian tindakan kelas dapat diartikan
sebagai proses pengkajian masalah
pembelajaran di dalam kelas melalui
refleksi
diri
dalam
upaya
untuk
memecahkan masalah tersebut dengan
cara melakukan berbagai tindakan yang
terencana dalam situasi nyata serta
menganalisis
setiap
pengaruh
dari
perlakukan tersebut. Penelitian tindakan
kelas ini berpedoman pada model yang
dirancang
oleh
Mulyasa.
PTK
ini
dilaksanakan dalam dua siklus dengan tiga
kali pertemuan setiap siklusnya. Setiap
siklus terdiri dari empat langkah, yaitu:
perencanaan, tindakan, observasi, evaluasi,
dan refleksi.
Penelitian ini dilaksanakan pada
semester II tahun Pelajaran 2014/2015 di
Sekolah
Dasar
Negeri
2
Sangsit
Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng.
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa
kelas V semester II dengan jumlah siswa
sebanyak 26 orang dengan rincian 17
orang laki-laki dan 9 orang perempuan.
Sedangkan objek dalam penelitian ini
adalah hasil belajar IPA dan pendekatan
Contextual Teaching and Learning (CTL)
untuk siswa kelas V semester II SD N 2
Sangsit. Rancangan penelitian tindakan
kelas ini berpedoman pada model yang
dirancang
oleh
Mulyasa.
PTK
ini
dilaksanakan dalam dua siklus masingmasing siklus terdiri dari tiga kali
pertemuan. Setiap siklus terdiri dari empat
langkah, yaitu: (1) Tahap perencanaan
tindakan ini dipersiapkan semua keperluan
pelaksanaan
tindakan
mulai
dari
materi/bahan ajar, rencana pembelajaran
yang mencakup metode/teknik mengajar,
serta teknik dan instrument observasi dan
evaluasi. (2) Tahap tindakan, pelaksanaan
tindakan ini disusun sesuai dengan tahap
penerapan
pendekatan
Contextual
Teaching and Learning (CTL) yang yang
telah dirancang, yaitu sebagai berikut. (a)
Melakukan
apersepsi
dengan
menghubungkan kehidupan nyata siswa
terhadap materi pelajaran yang akan di
ajarkan,
(b)
menyampaikan
materi
pelajaran, (c) guru mengajukan beberapa
pertanyaan
terkait
materi
yang
disampaikan,
(d)
siswa
membentuk
kelompok dan mendiskusikan LKS yang
dibagikan, (e) dalam kelompok siswa saling
bertukar pendapat, (f) siswa menyampaikan
hasil diskusi di depan kelas, dan kelompok
lain menanggapi, (g) melakukan pemodelan
terhadap hasil siswa yang terbaik, (h) siswa
membuat kesimpulan terhadap materi yang
telah didiskusikan, (i) mengadakan evaluasi
dan memberikan penilaian. (3) Tahap
observasi dan evaluasi, observasi dalam
pelaksanaan tindakan ini dilakukan peneliti
dengan cara mencatat semua kegiatan
yang terjadi selama tindakan berlangsung
ke dalam format yang telah disediakan.
Sedangkan evaluasi dilaksanakan pada
setiap
akhir
pembelajaran
untuk
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
mengetahui hasil belajar siswa pada
pertemuan tersebut. Disamping itu, evaluasi
juga dilaksanakan pada akhir siklus untuk
mengetahui hasil belajar siswa secara
keseluruhan. (4) Tahap refleksi ini
dilakukan
untuk
merenungkan
dan
mengkaji hasil tindakan pada akhir siklus
mengenai hasi belajar IPA. Hasil renungan
dan kajian tindakan ini, selanjutnya
dipikirkan untuk dicari dan ditetapkan
beberapa alternatif tindakan baru yang
diduga lebih efektif untuk meningkatka hasil
belajar IPA.
Untuk mengumpulkan data dalam
penelitian ini menggunakan dua metode
yaitu metode observasi dan metode tes.
Metode
observasi
digunakan
untuk
mengamati kegiatan siswa dalam mengikuti
pembelajaran dan keterampilan guru dalam
mengajar,
sedangkan
metode
tes
digunakan untuk mengetahui hasil belajar
siswa dengan memberikan tes objektif
pilihan ganda. Setelah seluruh data
terkumpul, maka akan diadakan analisis
data. Data yang dianalisis adalah data
yang diperoleh dari hasil tes. Teknik
analisis data yang digunakan adalah
teknik
deskriptif
kuantitatif.
Agung
(2010:76) menyatakan metode analisis
deskriptif kuantitatif adalah suatu cara
pengolahan data yang dilakukan dengan
jalan menyusun secara sistematis dalam
bentuk angka-angka atau persentase
mengenai keadaan suatu objek yang
diteliti sehingga diperoleh kesimpulan
umum. Tingkat hasil belajar siswa dalam
pembelajaran IPA dapat ditentukan dengan
cara mengkonversikan M (%) atau rata-rata
persen ke dalam Penelitian Acuan Patokan
PAP skala lima dengan kriteria seperti pada
Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Pedoman PAP Skala Lima Hasil Belajar IPA
Presentase
(1)
90%-100%
80%-89%
65%-79%
55%-64%
0%-54%
Kriteria
keberhasilan
yang
ditetapkan dalam penelitian ini adalah kelas
dikatakan tuntas jika ≥ 85% siswa
mendapat skor 80 ke atas. Hal ini berarti
bahwa siswa sudah memahami materi
dengan baik atau tuntas maka tindakan
dapat dihentikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis data hasil belajar
IPA siswa pada siklus I, maka diketahui
persentase rata-rata hasil belajar siswa
kelas V yang mengikuti pembelajaran IPA
di SD Negeri 2 Sangsit dengan
menerapkan
pendekatan
Contextual
Teaching and Learning (CTL) pada siklus I
adalah 73,84%. Jika dikonversikan dengan
kreteria ketuntasan hasil belajar siswa yang
Kategori
(2)
Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah
(Agung, 2010:9)
berpedoman pada PAP skala lima, maka
persentase hasil belajar IPA siswa berada
pada kategori sedang.
Berdasarkan
persentase
tersebut,
maka penerapan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) untuk
meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas
V SD Negeri 2 Sangsit belum dikatakan
berhasil, karena hanya 18 atau 69,23% dari
jumlah
siswa
yang
mengikuti
tes
memperoleh skor 80 ke atas. Sesuai kriteria
keberhasilan
yang
telah
dijelaskan,
penerapan
pendekatan
Contextual
Teaching and Learning (CTL) untuk
meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas
V SD Negeri 2 Sangsit dikatakan berhasil
apabila 85% dari jumlah siswa memperoleh
skor 80 ke atas.
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
Hasil penelitian pada siklus II
menunjukkan bahwa persentase rata-rata
hasil belajar siswa kelas V yang mengikuti
pembelajaran IPA di SD Negeri 2 Sangsit
dengan
menerapkan
pendekatan
Contextual Teaching and Learning (CTL)
pada siklus II adalah 85%. Apabila
dikonversikan dengan kreteria ketuntasan
hasil belajar siswa yang berpedoman pada
PAP skala lima, maka persentase hasil
belajar IPA siswa berada pada kategori
tinggi. Jika dibandingkan antara persentase
rata-rata hasil belajar IPA siswa pada siklus
I dengan persentase rata-rata hasil belajar
IPA siswa pada siklus II, maka terjadi
peningkatan hasil belajar IPA siswa kelas V
SD Negeri 2 Sangsit sebesar 11,16%.
Berdasarkan
persentase
tersebut,
maka penerapan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) untuk
meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas
V SD Negeri 2 Sangsit dikategorikan sudah
berhasil, karena seluruh siswa yang
berjumlah 26 orang siswa 88,46% telah
memperoleh skor 80 ke atas. Sesuai kriteria
keberhasilan
yang
telah
dijelaskan,
penerapan
pendekatan
Contextual
Teaching and Learning (CTL) untuk
meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas
V SD Negeri 2 Sangsit dikatakan berhasil
apabila 85% dari jumlah siswa memperoleh
skor 80 ke atas. Oleh karena itu, penelitian
ini dianggap telah berhasil dan dapat
dihentikan.
Pemilihan
dan
penerapan
pendekatan pembelajaran yang tepat dapat
meningkatkan hasil belajar pada proses
pembelajaran
yang
dilaksanakan.
Sependapat dengan pernyataan tersebut
terbukti bahwa pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) dapat
meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas
V Sekolah Dasar Negeri 2 Sangsit.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa penelitian
tindakan kelas ini dihentikan pada siklus II
karena hasil penelitian sudah mampu
mencapai
kriteria
ketuntasan
yang
ditetapkan.
Berdasarkan
temuan
dalam
pembelajaran, hasil penelitian pada siklus I
belum memenuhi kriteria yang sudah
ditetapkan
sehingga
perlu
diadakan
perbaikan-perbaikan
pada
siklus
selanjutnya. Hal ini disebabkan masih ada
beberapa kendala diantaranya:
1) Siswa belum terbisa dalam mengikuti
pembelajaran yang ditetapkan, yaitu
sebagian besar siswa belum mampu
memanfaatkan waktu yang diberikan
untuk mengerjakan LKS. Solusi untuk
mengatasi hal tersebut guru harus
mensosialisasikan
kembali
pembelajaran yang ditetapkan sehingga
siswa lebih paham terhadap cara kerja
dan tugas mereka untuk memanfaatkan
waktu dalam diskusi kelompok dan
siswa bisa lebih aktif dalam proses
pembelajaran sehingga pengetahuan
yang didapat siswa menjadi lebih
bermakna.
2) Guru
belum
biasa
mengolah
pembelajaran dalam bentuk belajar
kelompok, sehingga siswa masih
mengalami kesulitan dalam diskusi.
Solusi untuk mengatasi hal tersebut
adalah guru membimbing dan melatih
siswa
agar
terbiasa
mengikuti
pembelajaran dalam bentuk kelompok
sehingga diskusi bisa berjalan dengan
baik.
3) Masih banyak siswa yang lain-lain pada
saat pembelajaran berlangsung dan
siswa juga belum mampu menanggapi
pendapat dari kelompok lain, sebab
siswa yang mengajukan pertanyaan
masih sedikit dan cenderung sibuk
dengan kegiatan diskusi. Solusi untuk
mengatasi hal tersebut yaitu siswa
dituntut dengan cara memberikan
pertanyaan atau informasi yang dapat
dijadikan acuan dalam berpendapat
atau menjawab pertanyaan. Siswa
diberikan penguatan positif dalam
menanggapi atau menyampaikan suatu
pendapat. Hal ini sejalan dengan
pendapat
Komalasari
(2013:23)
menyatakan bahwa, penguatan adalah
keterampilan yang dapat memberi
respon positif atas kinerja siswa yang
baik. Hal ini perlu dilakukan dalam
rangka menumbuhkan motivasi pada
siswa agar bisa meningkatkan kinerja
dalam belajar supaya menjadi lebih
baik.
Sesuai dengan penjelasan tersebut,
maka guru dalam pembelajaran hendaknya
memberikan penguatan positif bagi siswa
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
yang sudah bisa mengikuti pembelajaran
dengan baik dan aktif. Penguatan ini
diharapkan mampu memotivasi siswa lain
untuk lebih aktif di dalam pembelajaran.
Persentase rata-rata hasil belajar
IPA yang diperoleh siswa pada siklus I
adalah 73,84% bila dikonversikan ke dalam
tabel kriteria persentase berada pada
rentangan 65%-79% pada katagori sedang.
perolehan persentase rata-rata tersebut
belum memenuhi kriteria keberhasilan yang
sudah ditetapkan sebelumnya. Untuk itu,
perlu dilaksanakan penelitian pada siklus
berikutnya, yaitu dilanjutkan ke siklus II.
Pada akhir siklus II, pemahaman
dan kemampuan siswa dalam memahami
konsep IPA dengan menugaskan siswa
mengamati gambar dan mengerjakan LKS
dalam bentuk kelompok sudah semakin
meningkatkan partisipasi siswa dalam
belajar. Persentase rata-rata hasil belajar
IPA siswa pada siklus II sebesar 85% pada
kategori tinggi. Pada siklus II siswa sudah
mulai berani bertanya tentang hal-hal yang
belum
dipahami
dan
guru
dapat
memberikan
bimbingan
berdasarkan
permasalahan yang ditemukan oleh siswa,
selain itu siswa juga sudah terbiasa
mengikuti pembelajaran yang sudah
ditetapkan. Menurut Sanjaya (2009:255)
CTL adalah suatu pembelajaran yang
menekankan kepada proses keterlibatan
siswa
secara
penuh
untuk
dapat
menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya
dengan
situasi
kehidupan nyata sehingga mendorong
siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan mereka.
Trianto (2007:103) juga menyatakan
bahwa pengetahuan dan keterampilan yang
diperoleh oleh siswa diharapkan bukan dari
hasil mengingat seperangkat fakta-fakta,
tetapi dari hasil menemukan sendiri
(inquiry).
Sesuai dengan pendapat dari kedua
para ahli di atas mengenai CTL, bila
dikaitkan
dengan
penerapan
yang
dilaksanakan di SD Negeri 2 Sangsit sudah
sesuai
dengan
pendapat
yang
di
ungkapkan oleh kedua para ahli tersebut.
Hal ini terlihat pada saat siswa mengamati
gambar tentang “pemanfaatan air dalam
kehidupan sehari-hari” yang ada di depan
kelas. Siswa dilibatkan secara penuh untuk
mengamati gambar yang ada di depan
kelas. Dengan melakukan pengamatan
secara langsung, siswa sudah bisa
menemukan materi yang akan dipelajari
dari hasil menemukan sendiri. Kemudian
pengetahuan yang mereka dapatkan
dihubungkan dengan situasi kehidupan
nyata siswa. Setelah siswa mengetahui
bahwa pembelajaran yang dilaksanakan
yaitu tentang “pemanfaatan air dalam
kehidupan sehari-hari”, hal ini tentunya
sangat berkaitan dengan situasi kehidupan
nyata siswa. Artinya siswa dituntut untuk
dapat
menangkap hubungan antara
pengalaman belajar di sekolah dengan
kehidupan nyata. Air dalam kehidupan
sehari-hari mempunyai banyak manfaat,
siswa bisa mengetahui manfaat air tersebut
dari
mengamati
gambar.
Siswa
memperoleh
pengetahuan
melalui
menemukan sendiri dan pengetahuan yang
mereka peroleh di sekolah bisa diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan CTL terkait dengan
kehidupan
nyata
siswa,
artinya
pembelajaran berlangsung secara alamiah
dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan
mengalami, bukan transfer pengetahuan
dari guru ke siswa. Siswa perlu mengerti
apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam
status apa mereka, dan bagaimana mereka
mencapainya. Dalam kelas kontekstual
atau CTL, tugas guru adalah membantu
siswa mencapai tujuan. Guru bertugas
mengelola kelas sebagai sebuah tim yang
bekerja sama untuk menemukan sesuatu
yang baru bagi siswa. Sesuatu yang baru
datang dari menemukan sendiri, bukan dari
apa yang dikatakan guru. Selain itu, CTL
juga mampu menumbuhkan minat belajar
siswa,
secara
aktif
mampu
mengonstruksikan sendiri pemahaman
mereka tentang apa yang dipelajari,
memberikan kesempatan kepada siswa
berdiskusi, serta saling berbagi informasi
dalam diskusi kelompok. Hal ini akan dapat
menumbuhkan motivasi dan keaktifan
siswa yang berpengaruh terhadap hasil
belajar siswa. Sesuai dengan hasil
penelitian
ini,
dengan
menerapkan
pendekatan
CTL
dalam
proses
pembelajaran terbukti mampu memberikan
efek yang positif terhadap keaktifan belajar
siswa yang berdampak pada meningkatnya
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
hasil belajar IPA siswa kelas V SD Negeri 2
Sangsit.
Secara
keseluruhan
proses
pembelajaran yang telah dilaksanakan
sudah berjalan dengan baik. Untuk lebih
mengoptimalkan
pemahaman
dan
kemampuan siswa dalam mata pelajaran
IPA, penerapan pendekatan CTL perlu
diterapkan pada setiap pembelajaran.
Pendekatan CTL adalah pendekatan
pembelajaran
yang
berlandaskan
kontruktivisme,
yang
membangun
pengetahuan siswa dari pengalaman dan
pengetahuan yang dimilikinya dengan
kehidupan nyata (Komalasari, 2013:14).
Siswa membangun pengetahuan dari
pengalaman
seperti
melakukan
pengamatan melalui media gambar atau
melakukan percobaan secara langsung
tentang “peristiwa alam yang terjadi di
Indonesia”. Ada beberapa peristiwa alam
yang terjadi di Indonesia misalnya peristiwa
tanah longsor. Dari materi ini siswa bisa
melakukan percobaan bersama anggota
kelompok
agar
siswa
mengetahui
bagaimana proses terjadinya tanah longsor.
Dengan demikian siswa akan memperoleh
pengetahuan
secara
langsung
dari
pengalaman sendiri dan pengetahuan yang
telah diperoleh tentunya akan lebih
bermakna bagi siswa.
Membangun
pengetahuan
dari
pengalaman tentunya sangat berpengaruh
terhadap hasil belajar siswa, pengalaman
siswa merupakan modal dasar dalam
pembelajaran karena sangat berguna untuk
dihubungkan dengan materi yang disajikan.
Pemanfaatan
media
dalam
proses
pembelajaran juga mendukung peningkatan
hasil belajar siswa, dengan menggunakan
media proses pembelajaran menjadi lebih
bervariasi.
Siswa
merasa
senang,
terangsang, dan tertarik, sehingga siswa
menikmati
waktu
belajarnya.
Dalam
penelitian ini pembelajaran dipusatkan pada
siswa, dimana siswa yang aktif dalam
pembelajaran akan memberikan dampak
yang positif pada hasil belajarnya. Hal ini
sejalan dengan apa yang diharapkan dalam
penelitian yang dilaksanakan di SD Negeri
2 Sangsit sehingga hasil belajar IPA siswa
mampu mengalami peningkatan.
Belajar dengan menemukan sendiri
membuat siswa tidak mudah melupakan
materi
yang
dipelajari.
Terjadinya
peningkatan hasil belajar dari siklus I
sampai siklus II, menunjukkan bahwa
penerapan
pendekatan
Contextual
Teaching and Learning (CTL) sangat efektif
untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa
kelas V SD Negeri 2 Sangsit Kecamatan
Sawan,
Kabupaten
Buleleng
Tahun
Pelajaran 2014/2015. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Ni Ketut Sulistyani (2012)
dan Pande Ketut Dharma Suweke (2011)
bahwa, terjadi peningkatan hasil belajar IPA
setelah diterapkan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL).
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan
yang
telah
diuraikan
sebelumnya,
maka
dapat
ditarik
kesimpulan, bahwa penerapan pendekatan
pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL) dalam pembelajaran IPA
dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa
kelas V SD Negeri 2 Sangsit. Hal ini terlihat
dari hasil tes siswa yang meningkat dari
siklus I ke siklus II. Pada siklus I persentase
rata-rata hasil belajar siswa adalah 73,84%
termasuk
dalam
kategori
sedang.
Kemudian pada siklus II meningkat menjadi
85% sudah termasuk kategori tinggi. Jadi
persentase rata-rata hasil belajar IPA siswa
pada siklus I dengan persentase rata-rata
hasil belajar IPA siswa pada siklus II, terjadi
peningkatan sebesar 11,16%.
Berdasarkan temuan-temuan dalam
penelitian ini maka, maka diajukan saransaran kepada: (1) Guru Sekolah Dasar,
diharapkan dapat menerapkan pendekatan
Contextual Teaching and Learning (CTL)
sebagai
salah
satu
pendekatan
pembelajaran yang lebih berpusat kepada
siswa.
Melalui
langkah-langkah
pembelajaran yang tepat, diharapkan akan
terciptanya suasana pembelajaran yang
menyenangkan. (2) Siswa SD N 2 Sangsit
Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng,
diharapkan
agar
dalam
proses
pembelajaran
selalu
mengikuti
dan
memperhatikan dengan sungguh-sunggu
sehingga
dapat
menguasai
materi
pembelajaran dengan baik. (3) Kepada
peneliti
lain
yang
berminat
untuk
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
mengadakan
penelitian
lebih
lanjut
mengenai Pendekatan Contextual Teaching
and Learning (CTL) dalam mata pelajaran
IPA khususnya, maupun pada bidang studi
lainnya yang sesuai, agar penelitian ini
dapat dijadikan acuan ataupun referensi
demi ketuntasan penelitian selanjutnya dan
memperhatikan
kendala-kendala
yang
dialami sebagai bahan pertimbangan untuk
perbaikan
dan
menyempurnakan
pelaksanaan penelitian
---------, 2010. Penelitian Tindakan Kelas.
Jakarta: Kencana.
DAFTAR PUSTAKA
---------, 2010 b. Mendesain Model
Pembelajaran
Inovatif-Progresif
(Konsep,
dan Implementasinya
pada Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan
(KTSP).
Jakarta:
Kencana.
Agung,
A.A.Gede. 2010. Metodelogi
Penelitian Pendidikan. Singaraja.
Fakultas
Ilmu
Pendidikan.
Universitas Pendidikan Ganesha.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan
(KTSP)
Standar
Kompetensi Mata Pelajaran Sains.
Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Hamalik, Oemar. 2008. Proses Belajar
Mengajar. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Iskandar & Hidayat. 1997. Pendidikan Ilmu
Pengetahuan
Alam.
Jakarta:
Departemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi.
Johnson, B. 2007. Contextual Teaching and
Learning: Menjadikan Kegiatan
Belajar Mengajar Mengasyikan dan
Bermakna.
Terjemahan
Ibnu
Setiawan. Contextual Teaching and
Learning: what it is and why it’s
here to say. 2007. Bandung: Mizan
Learning Center (MLC).
Komalasari, Kokom. 2013. Pembelajaran
Kontekstual Konsep dan Aplikasi.
Bandung: PT Refika Aditama.
Mudijono dan Dimyati. 2009. Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta: Rineka
Cipta.
Sanjaya,
Wina.
2009.
Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses
Pendidikan.
Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran
Inovatif
Berorientasi
Konstruktivistik. Jakarta: Pustaka
Nasional.
---------,
2010 a. Model Pembelajaran
Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara.
Download