BAB 4 KARAKTERISTIK SPEKTRUM KELISTRIKAN BUAH JERUK

advertisement
BAB 4
KARAKTERISTIK SPEKTRUM KELISTRIKAN BUAH JERUK
KEPROK GARUT
Pendahuluan
Setiap bahan memiliki sifat listrik yang khas dan besarnya sangat ditentukan
oleh kondisi internal bahan tersebut seperti momen dipol listrik, komposisi bahan
kimia, kandungan air, keasaman dan sifat internal lainnya (Hermawan 2005). Sifat
listrik dari bahan yang diberikan arus listrik secara mikroskopik terkait dengan
mobilitas listrik atau penyeragaman arah dipol listriknya akibat gangguan listrik
eksternal (Kumar 2007). Kemampuan penyeragaman momen dipol merupakan
ciri khas dari molekul-molekul yang berkorelasi terhadap sifat-sifat dielektrik,
fisiko-kimia dan biologis (Harmen 2001). Karakteristik spektoskopi listrik pada
bahan bisa dianalisa dengan pendekatan rangkaian elektronik antara resistor dan
kapasitor secara paralel (Choi et al. 2001). Nilai dielektrikum dan kelistrikan
bahan ada yang bersifat nonlinier (Zhou dan Boggs 2001).
Pengukuran spektra impedansi listrik pada bahan-bahan biologi dikenal
dengan istilah bioimpedance spectroscopy. Bahan biologi termasuk buah-buahan
menunjukan suatu fenomenan kebergantungan sifat listrik terhadap frekuensi
sinyal. Kebergantungan frekuensi ini terkelompokan dalam beberapa daerah
jangkauan frekuensinya yang dikenal dengan frequency-dependent dispersion
regions (Schwan 1957 ). Daerah frekuensi tersebut adalah daerah α-dispersion
yang terjadi pada frekuensi rendah, daerah β-dispersion yang terjadi pada
frekuensi pertengahan, dan daerah γ-dispersion pada frekuensi tinggi (Schwan
1994). Ilustrasi impedansi sebagai fungsi frekuensi untuk bahan biologi secara
umum diperlihatkan pada Gambar 4.1.
Berdasarkan literatur, meskipun tiga daerah frekuensi ini selalu terkait
dengan fenomena biofisika partikel, namun dispersinya tidak hanya disebabkan
oleh fenomena relaksasi (Pethig 1979; Pethig dan Kell 1987). Pada daerah γdispersion terjadi pada frekuensi tinggi (seperti di atas 100 MHz) secara mendasar
tergantung pada relaksasi dipol permanen dari molekul yang kecil seperti molekul
air. Daerah β-dispersion mencakup frekuensi pertengahan mulai dari orde kHz
sampai orde MHz yang rendah. Fenomena relaksasi pada daerah tersebut
tergantung jenis bahan dan fenomena efek Maxwell–Wagner. Fenomena ini
terjadi pada bahan-bahan biologi yang tidak homogen seperti suspensi sel dalam
larutan dan tergantung pada interface polarization (Hanai 1960).
Pada daerah  dan -dispersion cukup jelas terbedakan, namun fenomena relaksasi
untuk molekul yang kecil memiliki karakter yang sama pada daerah γ-dispersion. Kasuskasus ini tetap dapat dibandingkan dengan daerah γ-dispersion, tapi relaksasi yang terjadi
bukan karena dipol permanen tetapi karena efek muatan listrik yang disebabkan oleh
medan listrik. Penelitian teoritis pertama telah dilakukan oleh Pauly dan Schwan (Damez
et al. 2007) dan kemudian dilengkapi oleh Asami, Hanai, dan Koizumi (1980).
Schwan menunjukkan bahwa hasil pengukuran yang sangat ketat memperlihatkan
adanya tumpang tindih parsial dari fenomena relaksasi di daerah -dispersion yang dapat
sebagian dikaitkan dengan efek Maxwell-Wagner dari struktur intraseluler. Hal ini
menyebabkan beberapa penulis untuk membagi daerah -dispersion menjadi dua daerah
sub-dispersi, 1 dan 2 (Asami dan Yonezawa 1996). Seperti dilansir Pliquett, Altmann,
50
dan Schoberlein (2003) bahwa daerah -dispersion adalah ukuran langsung dari perilaku
membran sel.
Kesesuaian dari observasi pada kisaran 1-1500 kHz bisa menjelaskan studi
integritas membran sel selama penuaan daging yaitu membran myofiber bertindak
sebagai isolator dielektrik yang bersifat mengalami penurunan selama penuaan. Pada
daerah -dispersion, yang terjadi pada frekuensi rendah, menandakan relaksasi dipol nonpermanen yang terbentuk selama aliran ion di permukaan sel atau molekul yang besar.
Fenomena ini dijelaskan oleh Pethig dan Kell (1987), dan model yang ideal untuk  dan
 -dispersion dikembangkan oleh Gheorghiu (1994).
Gambar 4.1 Diagram spektrum impedansi secara hipotesis pada bahan-bahan
biologi secara umum (Damez et al. 2007)
Sifat dielektrik bahan tergantung pada komposisi kimianya. Dalam
makanan, air umumnya komponen dominan. Selain itu, pengaruh air atau
kandungan garam dan mineral lainnya sebagian besar tergantung pada cara di
mana mereka terikat atau dibatasi dalam gerakan mereka dengan komponen
makanan lainnya (Sosa-morales et al. 2010). Hal ini mempersulit prediksi sifat
dielektrik dari campuran berdasarkan data untuk masing-masing bahan.
Komponen organik dari makanan bersifat dielectrically inert dan dapat dianggap
transparan untuk energi jika dibandingkan dengan cairan ionik atau air (Mudgett
1986). Secara umum, kadar air
yang lebih tinggi pada makanan akan
menyebabkan tingginya konstanta dielektrik dan loss faktor (Komarov et al.
2005).
Komponen ionik memiliki efek yang signifikan dalam sifat dielektrik.
Peningkatan kadar garam pada kentang tumbuk mengakibatkan peningkatan untuk
loss faktor, sementara konstanta dielektrik tidak terpengaruh oleh kandungan
garam (Guan et al. 2004).
Struktur fisik juga mempengaruhi sifat dielektrik bahan (Ryynänen 1995).
Jumlah massa per satuan volume (densitas) memiliki efek tertentu pada interaksi
medan elektromagnetik dan massa yang terlibat (Nelson 1992). Misalnya,
kerapatan dan kadar air mempengaruhi sifat dielektrik dari biji-bijian kopi,
permitivitas rendah diamati pada kerapatan rendah, sedangkan nilai permitivitas
tinggi yang dicapai untuk densitas bulk yang lebih besar. Dengan pengecualian
dari beberapa bahan dengan loss faktor yang sangat rendah, sifat dielektrik dari
bahan adalah bervariasi dengan frekuensi medan listrik yang diberikan. Dengan
demikian, suatu fenomena penting yang berkontribusi terhadap ketergantungan
51
frekuensi terhadap sifat dielektrik adalah polarisasi molekul yang timbul dari
orientasi dengan medan listrik yang ditetapkan terutama yang memiliki momen
dipol permanen (Venkatesh dan Raghavan 2004).
Pada frekuensi rendah konduktivitas ionik memainkan peran utama,
sedangkan konduktivitas ionik dan rotasi dipol dari air bebas berperan penting
pada frekuensi gelombang mikro. Misalnya, konduksi ion adalah mekanisme yang
dominan untuk dispersi dielektrik dalam telur pada frekuensi yang lebih rendah
dari 200 MHz (Ragni et al. 2007), sedangkan konduksi ion berperan secara
dominan pada buah mangga untuk frekuensi sampai 300 MHz (Sosa-Morales et
al. 2009). Untuk cairan murni dengan molekul polar seperti alkohol atau air,
dispersi polar mendominasi karakteristik frekuensi - sifat dielektrik dan model
Debye dapat digunakan untuk menggambarkan perilaku ketergantungannya pada
frekuensi (Decareau 1985).
Secara teoritis, untuk jaringan yang relatif seragam, jalur arus bolak-balik
utamanya terletak pada jalur dinding sel karena impedansi membran yang sangat
besar jika frekuensinya rendah. Reaktansi kapasitif dari membran secara bertahap
menurun dengan meningkatnya frekuensi, penurunan reaktansi secara signifikan
mempengaruhi impedansi total dan menyebabkan penurunan nilai impedansi dari
jaringan ketika frekuensi naik di atas tingkat tertentu. (Wu et al. 2008; Bauchot et
al. 2000; Harker dan Dunlop 1994).
Euring et al. (2011) dan pliquett (2010) menjelaskan bahwa daerah βdispersion cukup menarik dalam pertimbangan struktur sel. Jika frekuensi di
bagian atas dari wilayah dispersion yang dipilih, arus mengalir melalui sel. Jika
frekuensi yang lebih rendah dipilih pada wilayah β-dispersion, arus ini hanya
dapat mengalir melalui ruang ekstraseluler. Membran sel berperilaku seperti
resistor listrik pada wilayah frekuensi ini (Angersbach et al. 1999). Oleh karena
itu, pengukuran pada frekuensi AC rendah cocok untuk deskripsi kerusakan di
jaringan biologis (Varlan dan Sansen 1996). Beberapa studi di mana sel-sel
tumbuhan dihancurkan dengan metode pengobatan yang berbeda menunjukkan
bahwa tingkat kerusakan dapat diukur dengan menggunakan spektroskopi
impedansi (Angersbach et al. 1999; Angersbach et al. 2002). Investigasi ini
menunjukkan bahwa pengukuran induktif dan konduktif memberikan pernyataan
yang serupa. Parameter listrik menunjukkan ketergantungan terhadap massa.
Pengukuran impedansi listrik telah banyak digunakan untuk menyelidiki
beberapa sifat dari produk pertanian seperti tomat (Varlan dan Sansen 1996),
nectarine (Harker dan Dunlop 1994), dan daging (Damez et al. 2005; Damez et al.
2007). Salah satunya menunjukan bahwa nilai Q menjadi indikator yang cukup
baik dalam penentuan kesegaran daging (Ghatass et al. 2008). Sistem yang
dirancang untuk melakukan suatu pengukuran impedansi menyediakan suatu
metode non-destruktif, murah, dan cepat seperti yang telah dilakukan Karaskova
et al. (2011) pada produk ikan asap.
Pada bab ini akan membahas dan menganalisis perilaku sifat listrik dari
buah Jeruk Keprok Garut dengan menggunakan sinyal-sinyal listrik bertegangan
rendah yang bersifat non-destruktif. Sifat listrik dari buah Jeruk Keprok Garut
juga ditinjau ketergantungannya pada berbagai frekuensi sinyal listrik yang
dipakai.
52
Bahan dan Metode
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2011 sampai Desember 2012 di
Laboratorium Biofisika Departemen Fisika, FMIPA IPB. Buah diambil dari
perkebunan petani di Samarang dan Leuwigoong, Kabupaten Garut.
Sistem Pengukuran
Pengukuran dari semua parameter dilakukan ketika buah masih dalam kondisi
segar. Buah yang diukur dikelompokan ke dalam 7 tingkat kematangan yang
berdasarkan warna dan ukuran. Masing-masing kelompok diambil tiga buah
sampel. Sehingga secara total ada dua puluh satu sampel buah yang digunakan
untuk pengukuran spektroskopi impedansi. Berat buah jeruk diukur dengan
menggunakan timbangan elektronik (Sartorius ED 822, Goettingen, Jerman).
Berat buah ini dipakai untuk mengkonpensasi parameter pengukuran listrik seperti
yang dilakukan Zachariah dan Erickson (1965) pada penentuan kematangan buah
alpukat berdasarkan kelistrikan. Selain berat, volume dan diameter pula
digunakan.
Parameter listrik dari buah jeruk diukur dengan menggunakan LCR meter
(3532-50 LCR HiTESTER, Hioki, Tokyo, Jepang). Kajian sifat listriknya
berdasarkan pada hasil pengukuran kelistrikan untuk kondisi sinyal berupa arus
bolak-balik dan amplitudonya kecil. Frekuensi yang digunakan mulai dari 50 Hz
sampai 5 MHz. Setiap pengukuran parameter listrik digunakan teknik
penyimpanan data dengan intruksi average 4 times pada alat LCR, yang artinya
diulangi sebanyak 4 kali dan disimpan data rata-ratanya. Sistem sel pengukuran
terbangun atas bahan plastik akrilat yang dilengkapi dengan plat elektroda dari
tembaga. Buah ditempatkan di antara dua buah plat elektroda dan diperlakukan
sebagai bahan dielektrik. Parameter-parameter listrik ini adalah impedansi listrik,
resistansi, reaktansi, kapasitansi, dan induktansi. Jeruk berperan sebagai bahan
dielektrik dan ditempatkan di antara dua elektroda plat konduktif dari bahan
tembaga seperti pada Gambar 4.2 (Soltani et al. 2010) . Tegangan sinyal limit
sebesar 1 volt (rms) dengan sistem level arus (CC) 0,5 mA (Gambar 4.3). Skema
komunikasi sistem pengukuran diperlihatkan pula pada Gambar 4.4.
Pada sistem komunikasi antara LCR dengan komputer digunakan bantuan
sofware komunikasi hardware Program National Instrument Labview 7.1.
Program yang dipakai hasil modifikasi dari program demo dengan sistem
komunikasi program-respone message (Gambar 4.5). Data yang tersimpan berupa
text dengan tipe file LVM. Data tersebut diolah dengan program macro pada exel.
(a)
(b)
Gambar 4.2 Skema sistem pengukuran sifat listrik buah jeruk berbasis capacitive
sensing (a) dan sampel buah jeruk yang diukur (b)
53
Gambar 4.3 Skema pengukuran dengan prinsip level arus tetap (Yamazaki 2001)
Gambar 4.4 Skema pengukuran dengan LCR meter dan sistem komunikasinya (Wu et
al. 2008) dengan komputer berbasis program lebview 7.1
Gambar 4.5 Sistem tranfer dan komunikasi data pengukuran antara LCR dengan
komputer (Hioki, Jepang)
Hasil dan Pembahasan
Spektrum Resistansi Listrik Buah Jeruk Keprok Garut
Pengukuran Resistansi listrik untuk tujuh kelompok tingkat kematang telah
dilakukan dan hasilnya diperlihatkan pada Gambar 4.6, 4.7, dan 4.8. Semua
parameter resistansi tersebut dibagi dengan parameter geometri yaitu volume,
jarak plat dan parameter massa buah jeruk. Hal ini dilakukan untuk
meminimalisasi faktor ketidakseragaman dari sampel buah yang diukur. Buah
matang memiliki ukuran relatif lebih besar daripada yang kurang matang. Hal ini
seperti yang dilakukan oleh Zachariah dan Erickson (1965) pada buah alpukat.
54
Dari ketiga gambar tersebut dapat terlihat bahwa untuk semua kelompok
buah memiliki fenomena yang sama jika ditinjau dari ketergantungannya pada
frekuensi. Peningkatan frekuensi akan menurunkan nilai resistansinya. Penurunan
resistansinya tidak terjadi secara linier terhadap frekuensi. Dengan demikian
semakin besar frekuensi maka penghantaran arus semakin besar.
Jika kasusnya pada bahan resistor murni, maka secara teoritik untuk bahan
isolator tersebut nilai resistansi tidak dipengaruhi oleh frekuensi seperti
diperlihatkan pada bab 2 untuk bahan resistor standar. Namun dengan melihat
adanya fenomena seperti ini maka harus ada alasan lain yang memungkinkan
fenomena itu terjadi. Kemungkinan hal in terjadi sebagai akibat dari dua alasan.
Pertama dimungkinkan bahwa resistivity dari bahan ini memang terpengaruhi
oleh frekuensi. Resistivity menandakan karakteristik intrinsik dari material,
sementara resistansi merupakan parameter makroskopik yang dipengaruhi oleh
nilai resitivity dan geometri (luas permukaan dan panjang) bahan (Hayt dan Buck
2006). Alasan lain yang dimungkinkan adalah akibat adanya skin effect (Vorst et
al. 2006). Fenomena skin effect dapat dijelaskan bahawa resistansi yang
disebabkan arus dekat permukaan dan besarnya dipengaruhi oleh frekuensi arus
AC.
Resistansi/massa (ohm/gram)
1.00E+06
1.00E+05
1.00E+04
1.00E+03
1.00E+02
1.00E+01
0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.10
Frekuensi (MHz)
(a)
Resistansi/massa (ohm/gram)
3.13E+03
6.25E+02
1.25E+02
2.50E+01
5.00E+00
0.10 0.60 1.10 1.60 2.10 2.60 3.10 3.60 4.10 4.60 5.10
Frekuensi (MHz)
(b)
Gambar 4.6 Spektrum resitansi per massa buah Jeruk Keprok Garut pada beberapa
tingkat pH: ( ) 2.86, () 3.15, ( ) 3.34, ( ) 3.96, ( ) 4.15, (+) 4.18,
dan ( ) 4.6; (a) frekuensi 50 Hz – 0.1MHz, (b) 0.1-5.0 MHz
55
Nilai resistansi buah jeruk pada frekuensi rendah sangat besar, yaitu dalam
orde 0.1 MOhm. Hal ini menunjukkan bahwa jeruk memiliki sifat resistif yang
besar pada frekuensi rendah, sehingga lebih insulator atau kurang menghantar
terutama pada frekuensi rendah tersebut. Nilai hambatan listrik dari jeruk
mengalami penurunan ketika frekuensi meningkat. Peningkatan frekuensi sinyal
eksternal akan meningkatkan kecepatan perubahan pergerakan muatan listrik
dalam bahan. Jika frekuensi diperbesar, tingkat perubahan arah dalam sirkuit
eksternal akan menjadi besar atau cepat. Ini adalah kondisi eksternal dari sinyal
listrik yang akan mempengaruhi kondisi internal Jeruk Keprok Garut, terutama
pada mobilitas muatan listrik. Konduksi ion adalah mekanisme yang dominan
untuk dispersi dielektrik seperti dalam telur pada frekuensi yang lebih rendah
(Ragni et al. 2007) dan mangga pada frekuensi sampai 300 MHz (Sosa-Morales et
al. 2009). Pada frekuensi yang lebih rendah, sebagian besar arus mengalir di
sekitar sel-sel tanpa bisa menembusnya, sementara pada frekuensi yang lebih
tinggi membran kehilangan sifat isolatornya dan arus mengalir melalui kedua
kompartemen ekstraseluler dan intraseluler (Damez et al. 2007 ).
Resistansi/volume (ohm/ml)
1.00E+06
1.00E+05
1.00E+04
1.00E+03
1.00E+02
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08 0.09 0.10
Frekuensi (MHz)
(a)
Resistansi/volume (ohm/ml)
1.00E+04
1.00E+03
1.00E+02
1.00E+01
1.00E+00
0.10 0.60 1.10 1.60 2.10 2.60 3.10 3.60 4.10 4.60 5.10
Frekuensi (MHz)
(b)
Gambar 4.7 Spektrum nilai resitansi per volume buah Jeruk Keprok Garut pada
beberapa tingkat keasaman: pH( ) 2.86, () 3.15, ( ) 3.34, ( ) 3.96,
( ) 4.15, (+) 4.18, dan ( ) 4.6; (a) frekuensi 50 Hz – 0.1MHz dan
(b) 0.1-5.0 MHz
56
Resistansi/diameter (ohm/cm)
1.00E+07
1.00E+06
1.00E+05
1.00E+04
1.00E+03
0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.10
Frekuensi (MHz)
(a)
Resistansi/diameter (ohm/cm)
1.00E+05
1.00E+04
1.00E+03
1.00E+02
0.10 0.60 1.10 1.60 2.10 2.60 3.10 3.60 4.10 4.60 5.10
Frekuensi (MHz)
(b)
Gambar 4.8 Spektrum nilai resitansi per jarak pisah elektroda pada buah Jeruk
Keprok Garut pada beberapa tingkat keasaman: pH ( ) 2.86, ()
3.15, ( ) 3.34, ( ) 3.96, ( ) 4.15, (+) 4.18, dan ( ) 4.6; (a) frekuensi
50 Hz – 0.1MHz dan (b) 0.1-5.0 MHz
Jika ditinjau dari pandangan mikroskopik dari konduksi listrik yang
diajukan Drude pada tahun 1900 dan dikembangkan oleh Hendrik A. Lorentz
sekitar tahun 1909 yang sukses menjelaskan konduksi elektron pada bahan
konduktor maka fenomena konduksi ditentukan oleh sifat internal resistivitasnya
(Dressel dan Scheffler 2006). Lebih jauh lagi resistivity bahan dipengaruhi oleh
jarak rata-rata yang dilalui oleh elektron atau lintasan bebas rata-rata. Selain itu
dipengaruhi pula oleh laju rata-rata elektron. Walaupun menurut hukum Ohm
57
bahwa resistivitas tidak bergantung pada medan listrik ekternal dan ini berhasil
dalam bahan logam, namun kuantitas laju rata-rata elektron dan lintasan bebas
rata-rata elektron bisa saja bergantung pada medan listrik eksternal (Tipler 1991).
Namun jika dikaitkan dengan kondisi buah utuh, maka sekiranya buah
tersebut terbangun atas bagian-bagiannya. Bagian-bagiannya dimungkinkan
membentuk suatu lapisan kapasitif membran. Dengan adanya efek medan listrik
AC maka dimungkinkan efek perubahan resistansi ini tidak murni oleh efek
konduksi saja, namun gabungan kompleksitas komponen-komponen dari buah.
Dengan kompleksitas bahan dimungkinkan efek vibrasi molekul ataupun ionik
bisa terjadi jika medan listrik yang diberikan adalah medan listrik yang bergantian
arahnya. Sehingga efek tersebut menyebabkan adanya pengaruh frekuensi pada
nilai resistansi itu sendiri.
Spektrum Kapasitansi Listrik Buah Jeruk Keprok Garut
Selain resistansi yang dibahas pada bagian sebelumnya, fenomena
kapasitansi pada buah Jeruk Keprok Garut juga ditinjau pada bagian ini. Hasil
pengukuran kapasitansi per massa, per volume dan per jarak pisah diperlihatkan
pada Gambar 4.9, 4.10, dan 4.11. Secara keseluruhan hasilnya menunjukan bahwa
frekuensi cukup berpengaruh terhadap nilai kapasitansi buah jeruk. Dengan
meningkatnya frekuensi listrik yang diberikan menyebabkan kapasitansinya
menurun. Penurunan yang signifikan terlihat pada daerah frekuensi rendah. Nilai
kapasitansi memiliki kisaran 10 -11F pada frekuensi rendah (orde Hz-kHz) dan
menurun sampai pada kisaran 10-14 F untuk daerah frekuensi tinggi ( <5MHz).
Fenomena perubahan kapasitansi ini bisa dijelaskan dari efek dielektrik
bahan. Kapasitansi sebanding dengan konstanta dielektrik. Jeruk Garut bukanlah
bahan konduktor, bahkan lebih bersifat resistif. Bahan yang resistif bisa saja
memperlihatkan efek dielektrik maupun polaritasnya apalagi bahan itu
megandung banyak air. Buah jeruk memiliki kandungan air yang dominan, maka
efek polarisasi akan muncul ketika bahan ini dikenai medan listrik eksternal. Di
dalam bahan dielektrik terdapat dipol-dipol listrik, baik dipol permanen maupun
sementara (imbas). Pada frekuensi rendah yang mencakup daerah  atau βdispersion polarisasi imbas yang lebih dominan, selain itu bahan yang tidak
homogen dimungkinkannya muncul fenomena relaksasi pada daerah tersebut.
Fenomena relaksasi itu tergantung jenis bahan dan efek Maxwell–Wagner yang
muncul pada bahan yang tidak homogen. Fenomena ini terjadi pada bahan-bahan
biologi yang tidak homogen dan tergantung pada interface polarization (Hanai
1960).
Hal yang menarik adalah bagaimana jika polarisasi ini bergantian arahnya
dikarenakan pemberian medan listrik luar yang bergantian arahnya. Maka
pengaruh frekuensi medan listrik eksternal ini akan signifikan pengaruhnya pada
kejadian polarisasi. Perubahan atau pergantian arah polarisasi sangat dipengaruhi
oleh bahan itu sendiri. Hal ini juga terlihat pada buah jeruk yang mengalami
penurunan kapasitansi selama terjadinya peningkatan frekuensi.
Sifat listrik dari produk material atau pertanian tergantung pada kondisi
mikroskopis atau internal, termasuk mobilitas ion atau elektron, polaritas listrik,
momen dipol listrik, kandungan kimia, dielektrik, kadar air, keasaman dan sifat
internal lainnya. Interaksi antara gelombang mikro dan bahan tergantung pada
58
sifat dielektrik mereka, yang menentukan tingkat pemanasan material ketika
dikenai medan listrik (Kumar 2007).
Kapasitansi/massa (F/g)
1.02E-11
5.12E-12
2.56E-12
1.28E-12
6.40E-13
3.20E-13
1.60E-13
8.00E-14
4.00E-14
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00
Frekuensi (MHz)
(a)
Kapasitansi/massa (F/g)
1.02E-11
5.12E-12
2.56E-12
1.28E-12
6.40E-13
3.20E-13
1.60E-13
8.00E-14
4.00E-14
2.00E-14
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
5.00
Frekuensi (MHz)
(b)
Gambar 4.9 Spektrum kapasitansi per massa buah Jeruk Keprok Garut pada beberapa
tingkat keasaman: pH ( ) 2.86, () 3.15, ( ) 3.34, ( ) 3.96, ( ) 4.15, (+)
4.18, dan ( ) 4.6; (a) frekuensi 50 Hz – 0.1MHz dan (b) 0.1-5.0 MHz
Beberapa faktor penting sangat mempengaruhi sifat dielektrik bahan.
Beberapa faktor ini berhubungan dengan sifat bahan seperti komposisi atau
struktur, sementara yang lain terkait dengan kondisi saat pemanasan listrik yang
terjadi seperti suhu maupun frekuensi, dan lain-lain yang terlibat dengan usia atau
tahap kematangan bahan makanan (Sosa-Morales et al. 2010). Majewska et al.
(2008) melaporkan bahwa perubahan sifat listrik dari biji-bijian gandum secara
59
signifikan tergantung pada frekuensi yang diterapkan, kelembaban biji-bijian, fitur
geometris dan jenis gandum.
Kapasitansi/volume (F/ml)
1.00E-12
1.00E-13
1.00E-14
1.00E-15
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00
Frekuensi (MHz)
(a)
Kapasitansi/volume (F/ml)
1.00E-12
1.00E-13
1.00E-14
1.00E-15
1.00E-16
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
5.00
Frekuensi (MHz)
(b)
Gambar 4.10 Spektrum kapasitansi per volume Jeruk Keprok Garut pada
beberapa tingkat keasaman: pH ( ) 2.86, () 3.15, ( ) 3.34, ( )
3.96, ( ) 4.15, (+) 4.18, dan ( ) 4.6; (a) frekuensi 50 Hz – 0.1MHz
dan (b) 0.1-5.0 MHz
Sifat dielektrik yang diekspresikan oleh konstanta dielektrik dan
kapasitansinya merupakan fungsi dari bilangan komplek. Dimana bagian real dan
imajiner muncul sebagai fungsi frekuensi sinyal dan los faktor (Jahja et al. 2006).
Namun besarnya konstanta dielektik dapat ditinjau dari besaran kapasitansi jika
unsur dimensi dan geometri bahan dibuat konstan. Namun kenyataan pada buah
jeruk, geometri tidak konstan sehingga besaran tersebut tidak bisa dilihat secara
langsung. Namun nilai variasi perubahan kapasitansi bisa menjadi alternatif dalam
penjelasan fenomena tersebut.
1.00E-09
60
Kapasitansi/jarak (F/cm)
1.00E-10
1.00E-11
1.00E-12
1.00E-13
1.00E-14
1.00E-10
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00
Frequency (MHz)
(a)
Kapasitansi/jarak (F/cm)
1.00E-11
1.00E-12
1.00E-13
1.00E-14
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
5.00
Frequency (MHz)
(b)
Gambar 4.11 Spektrum kapasitansi per jarak pisah antara plat elektroda pada
beberapa tingkat keasaman: pH ( ) 2.86, () 3.15, ( ) 3.34, ( )
3.96, ( ) 4.15, (+) 4.18, dan ( ) 4.6; (a) frekuensi 50 Hz – 0.1MHz
dan (b) 0.1-5.0 MHz
Proses polarisasi yang terjadi dalam materi membutuhkan waktu yang
cukup. Dengan frekuensi tinggi menyebabkan singkatnya waktu dalam proses
polarisasi, sehingga polarisasi tidak terjadi secara sepenuhnya. Dengan demikian,
peningkatan frekuensi akan menyebabkan penurunan total polarisasi yang terjadi.
Hal ini menyebabkan polaritas rendah dari bahan tersebut. Hal ini menjadi suatu
tinjauan alasan dari fenomena kapasitif yang terjadi pada buah Jeruk Keprok
Garut. Sebenarnya untuk penjelasan yang tepat dari perilaku dielektrik dari Jeruk
Keprok Garut dan bahan biologis lainnya, maka kontribusi fenomena selain
relaksasi dipol juga perlu diperhitungkan, konduksi ionik pada frekuensi yang
lebih rendah, perilaku air terikat, dan pengaruh kandungan bahan.
61
Spektrum Induktansi Listrik Buah Jeruk Keprok Garut
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran parameter induktansi yang secara
matematik bisa diturunkan dari nilai frekuensi sinyal. Jika suatu bahan dilalui
atau diberikan suatu medan listrik eksternal dan muncul suatu arus maka
fenomena kemagnetan tidak bisa lepas. Adanya arus akan menyebakan
munculnya medan magnet walaupun efeknya sangat kecil. Hal ini akan lebih
menarik jika medan listrik eksternal itu berupa medan listrik AC. Adanya
pergantian arah medan listrik akan berefek pada perubahan arah arus. Lebih jauh
lagi akan berefek pada munculnya perubahan fluks magnetik pada bahan yang
dilaluinya. Hal ini menjadi pertimbangan bahwa ketika aliran arus AC diberikan
akan menyebabkan perubahan fluks magnetik (Halliday dan Resnick 1978; Hayt
dan Buck 2006).
Induktansi/massa (H/g)
1.00E+03
1.00E+02
1.00E+01
1.00E+00
1.00E-01
1.00E-02
1.00E-03
1.00E-04
0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.10
Frekuensi (MHz)
(a)
Induktansi/massa (H/g)
1.00E-02
1.00E-03
1.00E-04
1.00E-05
1.00E-06
1.00E-07
0.10 0.60 1.10 1.60 2.10 2.60 3.10 3.60 4.10 4.60 5.10
Frekuensi (MHz)
(b)
Gambar 4.12 Spektrum nilai induktansi per massa buah Jeruk Keprok Garut pada
beberapa tingkat keasaman: pH ( ) 2.86, () 3.15, ( ) 3.34, ( )
3.96, ( ) 4.15, (+) 4.18, dan ( ) 4.6; (a) frekuensi 50 Hz – 0.1MHz
dan (b) 0.1-5.0 MHz
Berdasarkan hukum Faraday, induktansi dapat didefinisikan dalam hal ggl
yang dihasilkan untuk menentang perubahan yang diberikan dalam arus. Pada
kondisi frekuensi rendah, induktansi memiliki nilai yang cukup tinggi, sementara
62
pada frekuensi tinggi memiliki nilai yang relatif rendah. Hal ini konsisten dengan
sifat bahan yang ditunjukan untuk induktansi sebagai fungsi frekuensi. Buah Jeruk
Keprok Garut menunjukkan sifat resistif pada frekuensi rendah, sehingga
merupakan konduktor yang buruk. Dominasi perubahan arus berdasarkan waktu
atau frekuensi adalah penyebab utama munculnya induktansi ini. Analogi dengan
kapasitansi adalah tak terelakan. Ketika kapasitansi sebagai perbandingan muatan
dan beda tegangan, maka analoginya bahwa induktansi merupakan perbandingan
potensial gerak elektrik imbas atau ggl dengan perubahan arus terhadap waktu
(Halliday dan Resnick 1978).
Hasil pengukuran induktansi dengan menggunakan arus AC pada alat LCR
diperlihatkan pada Gambar 4.12, 4.13, dan 4.14. Profil induktansi semuanya
menunjukan penurunan ketika frekuensi ditingkatkan. Induktansinya mengalami
penurunan yang besar, yang mana pada frekuensi rendah memiliki kisaran dalam
orde 103, tetap ketika frekuensi tinggai sekitar 10-7. Jelas terlihat dari fakta ini
bahwa perubahan frekuensi sangat mempengaruhi nilai perubahan induktansi.
1.00E+03
Induktansi/volume (H/ml)
1.00E+02
1.00E+01
1.00E+00
1.00E-01
1.00E-02
1.00E-03
1.00E-04
0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.10
Frekuensi (MHz)
(a)
Induktansi/volume (H/ml)
1.00E-03
1.00E-04
1.00E-05
1.00E-06
1.00E-07
0.10 0.60 1.10 1.60 2.10 2.60 3.10 3.60 4.10 4.60 5.10
Frekuensi (MHz)
(b)
Gambar 4.13 Spektrum induktansi per volume buah Jeruk Keprok Garut pada
beberapa tingkat keasaman: pH ( ) 2.86, () 3.15, ( ) 3.34, ( )
3.96, ( ) 4.15, (+) 4.18, dan ( ) 4.6; (a) frekuensi 50 Hz – 0.1MHz
dan (b) 0.1-5.0 MHz
63
Induktansi/jarak plat (H/cm)
1.00E+04
1.00E+03
1.00E+02
1.00E+01
1.00E+00
1.00E-01
1.00E-02
1.00E-03
0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.10
Frekuensi (MHz)
(a)
Induktansi/jarak plat (H/cm)
1.00E-02
1.00E-03
1.00E-04
1.00E-05
1.00E-06
0.10 0.60 1.10 1.60 2.10 2.60 3.10 3.60 4.10 4.60 5.10
Frekuensi (MHz)
(b)
Gambar 4.14 Spektrum induktansi per jarak plat elektroda pada buah Jeruk
Keprok Garut untuk beberapa tingkat keasaman: pH ( ) 2.86, ()
3.15, ( ) 3.34, ( ) 3.96, ( ) 4.15, (+) 4.18, dan ( ) 4.6; (a) frekuensi
50 Hz – 0.1MHz dan (b) 0.1-5.0 MHz
Spektrum Reaktansi Listrik Buah Jeruk Keprok Garut
Hasil pengukuran reaktansi listrik pada buah Jeruk Keprok Garut
diperlihatkan pada Gambar 4.15, 4.16, dan 4.17. Seperti halnya parameter listrik
lainnya parameter reaktansi ini juga dibagi dengan parameter geometri yaitu
volume, jarak plat dan massa buah jeruk. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi
faktor ketidakseragaman dari sampel buah yang diukur. Hasil pengukuran
memperlihatkan data bahwa peningkatan frekuensi menyebabkan adanya
penurunan reaktansi listrik buah jeruk. Pada frekuensi rendah berkisar sekitar
pada orde 106 sementara pada frekuensi tinggi sekitar 10. Perubahan nilai yang
tinggi ini jelas menandakan adanya pengaruh frekuensi terhadap sifat reaktansi
bahan ini.
64
Reaktansi/massa (ohm/gram)
1.00E+06
1.00E+05
1.00E+04
1.00E+03
1.00E+02
1.00E+01
0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.10
Frekuensi (MHz)
(a)
Reaktansi/massa (ohm/gram)
1.00E+03
1.00E+02
1.00E+01
1.00E+00
0.10 0.60 1.10 1.60 2.10 2.60 3.10 3.60 4.10 4.60 5.10
Frekuensi (MHz)
(b)
Gambar 4.15 Spektrum reaktansi per massa buah Jeruk Keprok Garut pada
beberapa tingkat keasaman: pH ( ) 2.86, () 3.15, ( ) 3.34, ( )
3.96, ( ) 4.15, (+) 4.18, dan ( ) 4.6; (a) frekuensi 50 Hz – 0.1MHz
dan (b) 0.1-5.0 MHz
Ketika pembahasan difokuskan pada sifat reaktansi, maka ada dua sifat
komponen listrik yang berkontribusi, yaitu kapasitansi dan induktansi. Dengan
meninjau kembali bahwa pada frekuensi rendah nilai kapasitansi berada pada
kisaran 10-11 dan nilai induktansi kisarannya dalam orde 103. Jika ditinjau masing
masing secara tersendiri maka pada frekuensi paling rendah (50Hz) reaktansi
kapasitif akan berkisar pada 109 dan reaktansi induktifnya berkisar pada 104.
Sementara pada frekuensi paling tinggi (~5MHz) reaktansi kapasitif akan berkisar
pada 106 dan reaktansi induktifnya berkisar pada 10-1. Jika kedua duanya
berkontrivusi terhadap reaktansi maka efek kapasitif lebih memberikan pengaruh
yang signifikan daripada efek induktif. Hal ini juga cocok dengan beberapa
literatur yang memodelkan buah-buahan dalam rangkaian kapasitor dan resistor
saja tanpa menyertakan rangkaian induktor (Hayden et al. 1969; Zhang et al.
1990; Bauchot et al. 2000; Ozier-Lafontaine dan Bajazet 2005; Wu et al. 2008).
65
Reaktansi/volume (ohm/ml)
1.00E+06
1.00E+05
1.00E+04
1.00E+03
1.00E+02
1.00E+01
0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.10
Frekuensi(MHz)
(a)
Reaktansi/volume (ohm/ml)
1.00E+03
1.00E+02
1.00E+01
1.00E+00
0.10 0.60 1.10 1.60 2.10 2.60 3.10 3.60 4.10 4.60 5.10
Frekuensi (MHz)
(b)
Gambar 4.16 Spektrum reaktansi per volume buah Jeruk Keprok Garut pada
beberapa tingkat keasaman: pH ( ) 2.86, () 3.15, ( ) 3.34, ( )
3.96, ( ) 4.15, (+) 4.18, dan ( ) 4.6; (a) frekuensi 50 Hz – 0.1MHz
dan (b) 0.1-5.0 MHz
Dengan pandangan reaktansi kapasitif lebih besar daripada reaktansi
induktif ini juga diperkuat dengan hasil pengukuran sudut fasa pada Gambar 4.18
yang bernilai negatif pada bahan tersebut (Halliday dan Resnick 1978). Dengan
demikian, maka faktor yang dominan berpengaruh pada reaktansi adalah reaktansi
kapasitif. Pengaruh frekuensi terhadap kapasitansi telah dibahas sebelumnya
bahwa peningkatan frekuensi akan menurunkan nilai kapasitansi. Ketika tinjauan
kapasitif digabung dengan besarnya frekuensi maka dapat dilihat besarnya nilai
reaktansi kapasitif. Dari hasil pengukuran nilainya berkisar pada 106 untuk
frekuensi rendah dan 10 untuk frekuensi tinggi. Perbedaan dalam orde ratusan
dimungkinkan karena adanya faktor pembagi parameter massa atau volume yang
kisarannya puluhan sampai ratusan.
66
Reaktansi/jarak plat (ohm/cm)
1.00E+06
1.00E+05
1.00E+04
1.00E+03
0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.10
Frekuensi (MHz)
(a)
Reaktansi/jarak plat (ohm/cm)
1.28E+04
3.20E+03
8.00E+02
2.00E+02
5.00E+01
0.10 0.60 1.10 1.60 2.10 2.60 3.10 3.60 4.10 4.60 5.10
Frekuensi (MHz)
(b)
Gambar 4.17 Spektrum reaktansi per jarak plat elektroda pada beberapa tingkat
keasaman: pH ( ) 2.86, () 3.15, ( ) 3.34, ( ) 3.96, ( ) 4.15, (+)
4.18, dan ( ) 4.6; (a) frekuensi 50 Hz – 0.1MHz dan (b) 0.1-5.0
MHz
Reaktansi listrik menurun dengan adanya peningkatan frekuensi ini
menunjukkan dispersi dielektrik dalam buah jeruk. Nilai-nilai tinggi dari reaktansi
pada frekuensi rendah (<0,1 MHz) dapat dikaitkan dengan mobilitas dipol karena
kondisi air bebas dan polarisasi elektroda. Perubahan frekuensi akan
mempengaruhi kondisi ion dalam materi. Ionic loss berbanding terbalik dengan
frekuensi dan menjadi penting ketika frekuensi lebih rendah. Disipasi energi
dipole pada frekuensi yang lebih tinggi kurang dominan dan ion loss menjadi
hampir tidak ada (Singh et al. 2010).
Pandangan lain dari reaktansi adalah suatu tahanan akibat adanya bahan
yang bersifat kapasitif jika diberikan arus AC. Dengan meningkatnya frekuensi
yang berkontribusi pada penurunan reaktansinya maka dapat dikatakan bahwa
67
Sudut Fasa (derajat)
meningkatnya frekuensi terjadi penurunan mobilitas ion atau pergeseran dipol
yang terjadi pada jeruk.
-10.00.00
0.01
0.02
0.03
0.04
Frekuensi (MHz)
0.05
-30.0
-50.0
-70.0
-90.0
Sudut Fasa (derajat)
(a)
-10.00.05
1.05
2.05
3.05
4.05
5.05
Frekuensi (MHz)
-30.0
-50.0
-70.0
-90.0
(b)
Gambar 4.18 Hasil pengukuran sudut fasa sebagai fungsi frekuensi pada
beberapa tingkat keasaman: pH ( ) 2.86, () 3.15, ( ) 3.34, ( )
3.96, ( ) 4.15, (+) 4.18, dan ( ) 4.6; (a) frekuensi 50 Hz – 0.1MHz
dan (b) 0.1-5.0 MHz
Spektrum Impedansi Listrik Buah Jeruk Keprok Garut
Setiap interaksi sistem elektroda-bahan dalam sel pengukuran memiliki
kapasitansi yang terpengaruhi oleh faktor geometris. Selain itu ada resistansi Bulk
yang terangkai secara paralel. Impedansi listrik (Z) didefinisikan oleh kuantitas
bilangan kompleks dalam komponen resistif (R) dan komponen kapasitif (C)
sebagai bentuk Z 
Z'2  Z"2 ,
dimana Z"  ωC(ω)1 dan Z'  R . Nilainya
hanya komponen real saja jika ketika  = 0 dan Z  Z' .Hasil ini terjadi hanya
untuk bahan yang bersifat resistif murni. Dalam kasus ini impedansi benar-benar
tidak bergantung frekuensi atau dikenal freguency-independent. Ketika Z'
ditemukan menjadi fungsi variabel frekuensi ( Z' (ω)  R (ω) ) yang holistik
menghubungkan bagian-bagian nyata dan imajiner dengan satu sama lain. Z"
tidak mungkin nol untuk semua frekuensi tetapi harus bervariasi dengan frekuensi
juga (Barsoukov et al. 2005).
Hasil pengukuran impedansi listrik buah jeruk diperlihatkan pada Gambar
4.19, 4.20, dan 4.21. Impedansi yang terukur ini merupakan harga mutlaknya atau
68
besarnya saja. Komponen real dan imajinernya bisa dilihat pada bagian bab
reaktansi dan resistansi. Nilai impedansi buah jeruk mengalami penurunan jika
frekuensinya ditingkatkan. Penurunannya tidak terjadi secara linier. Dengan
meninjau pada bagian sebelumnya bahwa reaktansi dan resistansi mengalami
penurunan jika frekuensi ditingkatkan. Maka jelaslah fenomena tersebut
mendukung fakta bahwa impedansi juga mengalami penurunan tatkala frekuensi
meningkat.
1.00E+06
Impedance/massa (ohm/gram)
1.00E+05
1.00E+04
1.00E+03
1.00E+02
1.00E+01
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08 0.09 0.10
Frekuensi (MHz)
(a)
Impedance/massa (ohm/gram)
5.12E+02
1.28E+02
3.20E+01
8.00E+00
2.00E+00
0.10
0.60
1.10
1.60
2.10
2.60
3.10
3.60
4.10 4.60 5.10
Frekuensi (MHz)
(b)
Gambar 4.19 Spektrum impedansi per massa pada beberapa tingkat keasaman:
pH ( ) 2.86, () 3.15, ( ) 3.34, ( ) 3.96, ( ) 4.15, (+) 4.18, dan ( )
4.6; (a) frekuensi 50 Hz – 0.1MHz dan (b) 0.1-5.0 MHz
Impedansi listrik bertindak sebagai hambatan bagi aliran muatan listrik atau arus
bolak-balik yang terjadi dalam jeruk. Besaran impedansi listrik pada sirkuit
dipengaruhi oleh resistansi, frekuensi dan reaktansi. Pada frekuensi rendah
reaktansi akan menjadi besar, sehingga impedansi akan menjadi besar juga.
69
Ketika frekuensi meningkat, reaktansi akan menurun. Ini berkorelasi dengan
penurunan impedansi. Nilai impedansi adalah resistansi total ketika diberikan
suatu arus bolak-balik. Selain itu nilai impedansi berkorelasi dengan konduktansi
dan kapasitansi sebagai fungsi dari frekuensi juga. Reaktansi kapasitif adalah
impedansi imajiner dan nilainya berbanding terbalik dengan perkalian kapasitansi
dan frekuensinya, sedangkan konduktansi berbanding terbalik dengan resistansi.
Berdasarkan bab sebelumnya, ketika frekuensi meningkat maka resistansi dan
reaktansi mengalami penurunan. Hal ini akan berkorelasi dengan penurunan
impedansi. Kedua fenomena resistansi dan reaktansi akan memperkuat fenomena
impedansi. Secara keseluruhan, impedansi akan menurun jika frekuensi
meningkat (Barsoukov et al. 2005). Fenomena penurunan impedansi sebagai
akibat adanya peningkatan frekuensi juga dilaporkan oleh Harker dan Maindonald
(1994) pada nactarine, Wu et al.(2008) pada terung, juga Vozary dan Benko
(2010) pada buah apel.
Impedansi/volume (ohm/ml)
1.00E+06
1.00E+05
1.00E+04
1.00E+03
1.00E+02
1.00E+01
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08 0.09 0.10
Frekuensi (MHz)
2.60
3.10
3.60
4.10 4.60 5.10
Frekuensi (MHz)
(a)
Impedansi/volume (ohm/ml)
1.00E+03
1.00E+02
1.00E+01
1.00E+00
0.10
0.60
1.10
1.60
2.10
(b)
Gambar 4.20 Spektrum impedansi per volume pada beberapa tingkat keasaman:
pH ( ) 2.86, () 3.15, ( ) 3.34, ( ) 3.96, ( ) 4.15, (+) 4.18, dan ( )
4.6; (a) frekuensi 50 Hz – 0.1MHz dan (b) 0.1-5.0 MHz
70
Jalur arus pada kasus frekuensi yang berbeda diilustrasikan pada Gambar
4.22. impedansi jaringan bahan biologi pada frekuensi rendah hampir tidak
dipengaruhi oleh membran sel (Cole et al. 1950; Otto 1950) . Membran sel
berperan sebagai kapasitor. Membran sel menjadi rangkaian terbuka pada
frekuensi sangat rendah, sehingga impedansi hanya diberikan oleh resistif murni.
Membran sel berperan dalam kondisi rangkaian tertutup jika frekuensi tinggi.
Impedansi/jarak plat (ohm/cm)
1.00E+06
1.00E+05
1.00E+04
1.00E+03
0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.10
Frekuensi (MHz)
(a)
Impedansi/jarak plat (ohm/cm)
1.00E+04
1.00E+03
1.00E+02
0.10
1.10
2.10
3.10
4.10
5.10
Frekuensi (MHz)
(b)
Gambar 4.21 Spektrum impedansi per jarak plat elektroda pada beberapa tingkat
keasaman: pH ( ) 2.86, () 3.15, ( ) 3.34, ( ) 3.96, ( ) 4.15, (+) 4.18,
dan ( ) 4.6; (a) frekuensi 50 Hz – 0.1MHz dan (b) 0.1-5.0 MHz
Selain itu, perubahan frekuensi akan mempengaruhi kondisi ion dalam
bahan. Ionic loss berbanding terbalik dengan frekuensi dan menjadi kritis ketika
frekuensi yang lebih rendah. Sementara disipasi energi dipol pada frekuensi yang
lebih tinggi kurang dominan dan ionic loss menjadi hampir tidak terjadi (Singh et
al. 2010). Pada daerah β-dispersion , jika bagian frekuensi yang tinggi dipilih
maka arus bisa mengalir dalam sel. Namun jika frekuensi yang rendah dipilih
71
maka arus hanya dapat lewat pada daerah extracellular (Schwan 1994 ). Hal ini
cocok dengan ilustrasi jalur arus dari Grimnes dan Martinsen (2000) pada
Gambar 4.22.
Gambar 4.22 Pengaruh frekuensi rendah dan tinggi terhadap jalur arus dalam
jaringan (Grimnes dan Martinsen 2000). Garis putus-putus
merupakan jalur arus frekuensi tinggi, garis kontinyu merupakan
jalan arus pada frekuensi rendah.
Kesimpulan
Karakteristik sifat listrik terkait frekuensi telah dilakukan pada Jeruk Keprok
Garut dan menunjukan bahwa impedansi listrik, resistansi, reaktansi, kapasitansi,
induktansi per berat, per volume, dan per jarak elektroda menunjukan fenomena
yang mirip yaitu mengalami penurunan ketika frekuensi ditingkatkan. Buah Jeruk
Keprok Garut, secara umum, memiliki kemampuan penghantaran listrik yang
lemah terutama pada frekuensi rendah. Tetapi, ketika frekuensi ditingkatkan
kemampuan penghantarannya meningat. Perubahan resistansi jaringan dan
kapasitansi membran ketika frekuensi diubah menunjukkan adanya perubahan
mobilitas ion dalam sel dan perubahan pergeseran polaritasnya. Pada frekuensi
tinggi untuk daerah β-dispersion, arus listrik bisa mengalir atau menembus
melewati sel yang diperkuat dengan fakta hasil pengukuran yang menunjukan
nilai impedansi yang rendah, sementara pada frekuensi rendah tidak bisa melewati
sel tapi hanya melewati daerah ekstraselular dan ini ditandai dengan impedansi
yang tinggi.
Download