1 BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kerusakan

advertisement
1
BAB I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Kerusakan pada saraf tepi dapat disebabkan oleh berbagai etiologi. Dua
etiologi utama penyebab kerusakan saraf tepi adalah trauma dan tindakan operasi.
Trauma memberikan kontribusi sebesar 87% terhadap terjadinya kerusakan saraf
tepi, sedangkan tindakan operasi memberikan kontribusi sebanyak 12% terhadap
terjadinya kerusakan saraf tepi. Trauma saraf tepi dapat terjadi pada berbagai
lokasi. Sebanyak 81% angka kejadian trauma saraf tepi terjadi pada ekstremitas
superior, sedangkan sebanyak 11% sisanya terjadi pada ekstremitas inferior
(Pfister et al., 2011). Trauma saraf tepi pada ekstremitas inferior dianggap penting
karena dapat menimbulkan hendaya untuk melakukan mobilisasi.
Proses regenerasi akan terinduksi pasca trauma saraf tepi. Proses
regenerasi bertujuan untuk memfasilitasi pembentukan tunas akson yang baru
pada bagian distal lesi. Proses regenerasi yang sempurna ditandai dengan
pembentukan tunas akson yang baru tanpa disertai timbulnya gangguan
neurologis. Sering kali terjadi gangguan pada proses regenerasi saraf tepi pasca
trauma. Gangguan regenerasi ini ditandai dengan lambatnya pertumbuhan tunas
akson yang baru, serta timbulnya berbagai gangguan neurologis pasca trauma
(Sekiguchi et al., 2009; Leung dan Cahill, 2010, Wang et al., 2012).
Salah satu penyebab gangguan neurologis pasca trauma saraf tepi adalah
apoptosis sel di medula spinalis. Apoptosis sel pada kornu posterior medula
spinalis akan menginduksi terjadinya gangguan sensoris, sedangkan apoptosis sel
2
pada kornu anterior medula spinalis akan menginduksi terjadinya gangguan
motoris (Oliveira et al., 1997; Scholtz et al., 2005, Leung dan Cahil, 2010; Kim et
al., 2011). Trauma nervus ischiadicus (n. ischiadicus) pada hewan coba
merupakan salah satu model trauma saraf tepi yang sering digunakan untuk
mempelajari terjadinya apoptosis sel pasca trauma. Scholtz et al. (2005)
melaporkan bahwa apoptosis sel interneuron sensoris pada kornu posterior medula
spinalis tikus terjadi pada hari ke-7, 14 dan 21 pasca trauma ligasi yang
dikombinasi dengan model transeksi di bagian distal n. ischiadicus (spared nerve
injury/ SNI). Fase puncak apoptosis sel interneuron sensoris di kornu posterior
medula spinalis terjadi pada hari ke-7 pasca trauma. Apoptosis sel merupakan
proses yang diinduksi oleh aktivasi sistem Caspase (Caspase dependent). Salah
satu parameter yang dipakai untuk mengetahui terjadinya apoptosis sel adalah
terjadinya aktivasi Caspase 3 yang merupakan Caspase efektor apoptosis sel
(Haupt et al., 2003).
Regulasi apoptosis sel di saraf pusat tikus pada fase akut pasca trauma
diatur oleh interaksi antara jalur mitogen activated protein kinase/ extracellular
signal regulated kinase (MAPK/ ERK) dan Sirtuin1 (SIRT1) di sitoplasma.
Dilaporkan bahwa terjadi peningkatan ekspresi Caspase 3 aktif, SIRT1 dan juga
MAPK pasca trauma pada sel neuron di saraf pusat pada penelitian in vivo
(traumatic bain injury/ TBI) dan in vitro. Penghambatan jalur SIRT1 dengan
pemberian small interference RNA (siRNA) SIRT1 dan inhibitor SIRT1
(selermide), terbukti meningkatkan ekspresi Caspase 3 aktif. Sebaliknya,
3
penghambatan jalur MAPK/ ERK terbukti menurunkan ekpresi Caspase 3 aktif
(Zhao et al., 2012).
Sirtuin1 (SIRT1) adalah enzim histone deacetilase (HDAC) kelas III
(nikotinamide/ NAD dependent) yang berperan penting dalam deasetilasi substrat.
Substrat SIRT1 antara lain meliputi protein histon dan nonhiston (faktor transkipsi
dan koenzim). Penelitian menunjukkan bahwa deasetilasi protein nonhiston oleh
SIRT1 berperan penting dalam mekanisme neuroproteksi. Deasetilasi berbagai
faktor transkripsi oleh SIRT1 akan mengaktifkan gen yang bersifat anti apoptosis
dan menghambat gen yang bersifat proapoptosis (Yamamoto et al., 2007; Maiese
et al., 2011; Rahman dan Islam, 2011). Pfister et al. (2008) melaporkan bahwa
mekanisme neuroproteksi SIRT1 tidak dipengaruhi oleh lokasinya di dalam sel.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian aktivator SIRT1
meningkatkan respon neuroproteksi pada berbagai stimulus yang menyebabkan
kematian sel. Pemberian injeksi intravitreal aktivator SIRT1 pada fase akut
mampu menghambat kematian sel ganglion retina pada tikus model experimental
autoimmune encephalomyelitis (EAE) (Shindler et al., 2007). Peningkatan
ekspresi SIRT1 terbukti mampu menurunkan angka kejadian paralisis, mampu
menghambat terjadinya inflamasi, demielinisasi dan mencegah terjadinya
apoptosis sel di medula spinalis tikus model EAE. Peningkatan ekspresi SIRT1
juga terbukti meningkatkan ekspresi brain derived neurotrophic factor (BDNF) di
medula spinalis yang dibutuhkan pada regenerasi saraf tepi (Pallas et al., 2009).
Peningkatan ekspresi SIRT1 mampu meningkatkan fungsi motoris, menurunkan
terjadinya atropi otak, serta meningkatkan respon survival sel neuron pada hewan
4
model Huntington (Jiang et al., 2012). Namun demikian belum ada laporan
ekspresi SIRT1 di medula spinalis setelah cedera saraf tepi. Melihat pentingnya
peranan SIRT1 dalam mencegah kematian sel pada fase akut di saraf pusat, maka
peranan SIRT1 di medula spinalis pasca trauma saraf tepi perlu dipelajari.
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diajukan masalah penelitian
sebagai berikut :
1.
Apakah ekspresi SIRT1 dan ekspresi Caspase 3 aktif di medula spinalis tikus
pada fase akut pasca trauma kompresi n. ischiadicus lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol?
2.
Apakah ada korelasi antara ekspresi SIRT1 dengan ekspresi Caspase 3 aktif
di medula spinalis tikus pada fase akut trauma kompresi n. ischiadicus?
I.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Mengungkapkan ekspresi SIRT1 dan ekspresi Caspase 3 aktif di medula
spinalis tikus pada fase akut pasca trauma kompresi n. ischiadicus
dibandingkan dengan kontrol.
2.
Mengungkapkan korelasi antara ekspresi SIRT1 dengan ekspresi Caspase 3
aktif di medula spinalis tikus pada fase akut trauma kompresi n. ischiadicus.
5
I.4. Keaslian Penelitian
Belum didapatkan laporan penelitian SIRT1 pada medula spinalis tikus
setelah trauma kompresi n. ischiadicus. Penelitian apoptosis sel di medula spinalis
antara lain :
1. Oliviera et al., (1997) meneliti apoptosis sel di medula spinalis tikus pasca
trauma transeksi pada n. ischiadicus. Perbedaan dengan penelitian ini terdapat
pada usia dan galur tikus yang digunakan, waktu terminasi dan teknik deteksi
apoptosis sel yang digunakan.
2. Scholtz et al. (2005) meneliti apoptosis sel pada kornu posterior medula
spinalis tikus pasca trauma n. ischiadicus pada pemberian inhibitor Caspase.
Perbedaan dengan penelitian ini terdapat pada model dan lokasi trauma saraf
tepi, waktu terminasi, pemrosesan jaringan, serta teknik deteksi apoptosis sel
yang digunakan.
I.5. Manfaat Penelitian
Secara umum penelitian ini diharapkan dapat memberikan paradigma baru
regenerasi sel di medula spinalis tikus pada fase akut trauma saraf tepi, dengan
memahami mekanisme respon endogen tubuh melalui aktivasi SIRT1.
Secara khusus hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
data primer ekspresi SIRT1 di medula spinalis tikus pada fase akut trauma
kompresi n. ischiadicus, serta mampu mengungkapkan korelasi antara ekspresi
SIRT1 dengan ekspresi Caspase 3 aktif di medula spinalis pada fase akut trauma
kompresi n. ischiadicus. Dengan mengetahui korelasi antara ekspresi SIRT1
6
dengan ekspresi Caspase 3 aktif, diharapkan potensi neuroproteksi SIRT1 pada
fase akut trauma kompresi n. ischiadicus dapat diketahui. Selain itu diharapkan
bahwa dengan mengetahui potensi neuroproteksi SIRT1, diharapkan dapat
dikembangkan penggunaan aktivator SIRT1 seperti resveratrol untuk penanganan
trauma saraf tepi pada fase akut.
.
Download