MEMPERTIMBANGKAN FAKTOR – FAKTOR GOELOGI DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH Selama sepuluh tahun terakhir , berbagai bencana alam terjadi di Indonesia. Mulai dari gempa 7,2 SR di Aceh dan Sumatra Utara yang diikuti tsunami pada 26 Desember 2004, gempa 6,2 SR di SelatanYogyakarta dan Klaten, 25 Mei 2006, letusan Merapi 14 Juni 2006, gempa dan tsunami 17 Juni di Pangandaran Jawa Barat, banjir di Wasior Papua, serta letusan Merapi 26 Oktober dan 5 November 2010. Jumlah korban dari semua bencana tersebut mencapai ratusan ribu jiwa manusia, belum lagi kerusakan infra struktur dan harta benda lainnya. Yang baru-baru ini terjadi adalah guncangan gempa berkekuatan 6,8 Skala Richter (SR), di Nusa Dua, Bali pada Kamis, 13 Oktober 2011 lalu. Masyarakat Bali yang selama ini tenang pun heboh. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh wilayah Indonesia harus waspada dan siaga menghadapi bencana yang sewaktu-waktu tiba. Karena tak dapat dipungkiri, sebagian besar tempat di Indonesia selalu terancam bencana alam seperti gempa, letusan gunungapi, tanah longsor, dan banjir. Hal ini merupakan dampak dari kondisi geologis dan tectonic setting, yang membangun Kepulauan Nusantara. Tatanan Tektonik Indonesia Bumi itu dinamis, dengan proses-proses internal dan eksternal yang kompleks. Prosesproses internal bertanggung jawab atas bergeraknya lempeng-lempeng besar litosfera. Interaksi antar lempeng-lempeng ini membangkitkan tekanan internal yang dapat mengakibatkan deformasi batuan, menghasilkan gempa, kegiatan gunung berapi, dan gerakangerakan tektonik secara perlahan (creep) sepanjang jalur-jalur sesar (patahan). Proses-proses ini memicu berbagai kejadian eksternal seperti tanah longsor, aliran lumpur, dan tsunami. Menurut teori tektonik lempeng, lapisan kulit bumi yang terdiri dari litosfer dan kerak, berbentuk lempengan-lempengan yang terpecah-pecah, yang mengapungapung di atas lapisan cair-liat yang disebut astenosfer. Berdasarkan komposisi dan beratjenisnya, lempeng-lempeng litosfer dapat dibedakan menjadi lempeng benua dan lempeng samudra. Lempeng benua disusun terutama oleh unsur-unsur Si (silikon) dan Al (aluminium), yang pada umumnya berketebalan 30 - 70 km dengan berat jenis + 2,6- 2,7. Sedangkan lempeng samudra tersusun oleh unrus-unsur Si dan Mg (magnesium), biasanya tipis (+ 8 km) dengan berat jenis + 3 (Zumberge & Nelson, 1976). Potonganpotongan lempeng ini bergerak, ada yang saling menjauh, ada yang saling bertemu dan bertumbukan, serta ada yang saling bergeseran. Bila dua lempeng saling bertumbukan, maka gejala-gejala geologi yang ditimbulkan adalah vulkanisme (pembentukan gunungapi), pembentukan pegunungan lipatan, pengangkatan, dan persesaran. Bila dua lempeng saling menjauh, akan terjadi pembentukan palung, atau pembentukan pematang tengah samudra. Pada pematang tengah samudra, dierupsikan magma secara terus-menerus dari astenosfer ke permukaan, yang kemudian membentuk morfologi seperti “zebra cross” di tengah-tengah samudra. Bila dua lempeng saling bergeseran akan terbentuk sesar transformal. Kepulauan Indonesia terbentuk akibat pertemuan antara Lempeng Benua Eurasia (Eropa-Asia), Lempeng Hindia - Australia, dan Lempeng Samudra Pasifik. Lempeng Hindia - Australia mendesak Lempeng Eurasia dari arah selatan, dan Lempeng Pasifik mendesak dari arah timur. Implikasi pertemuan lempeng-lepeng ini di Indonesia adalah terbentuknya sirkumsirkum gunungapi aktif, jalur-jalur pegunungan lipatan, sesarsesar aktif, dan zona-zona gempa tektonik. Sebagian besar bencana alam merupakan bencana geologi. Bencana geologi meliputi semua bencana yang timbul akibat atau mengikuti suatu proses geologi. Proses-proses geologi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu proses eksogenik (eksternal) berasal dari luar bumi, dan proses endogenik (internal) yang berasal dari dalam bumi. Proses eksogenik antara lain: pelapukan dan erosi. Proses endogenik, antara lain: orogenesis, epirogenesis, pengangkatan, vulkanisme, dan tektonisasi. Gempa bumi dihasilkan oleh proses-proses magmatisme dan tektonisasi, letusan gunung api dihasilkan oleh proses magmatisme (vulkanisme), tanah longsor dihasilkan oleh proses-proses erosi, pelapukan, hidrologis, dan tektonik, serta banjir lebih diakibatkan oleh proses erosi dan hasil kerja manusia. Sebagaimana diketahui, litosfer terpecah-pecah menjadi beberapa lempeng besar dan banyak lempeng kecil yang relatif saling bergerak satu sama lain. Pada saat dua atau lebih lempeng saling bertemu atau berpapasan, maka mereka akan saling berdesakan atau bergesekan. Apabila pada saat berdesakan atau bergesekan, tegangan yang diderita batuan melebihi kekuatan/ketahanannya, maka batuan tersebut akan patah. Pada saat dua lapisan litosfer saling bergesekan atau yang satu menggerus yang lain pada suatu sesar (patahan), karena adanya tekanan (stress) dari kedua belah pihak, maka akan terjadi akumulasi energi di sepanjang batas sesar tersebut. Bila suatu saat kekuatan batuan tidak mampu lagi menahan akumulasi energi, bagian-bagian yang lemah akan bergeser, dan energi yang terlepas pada saat batuan bergeser menimbulkan gelombang seismik yang dikenal sebagai gempa. Berdasarkan pusat kejadiannya, gempa dapat diklasifikasikan sebagai gempa dalam, sedang, dan dangkal. Yang paling sering menelan korban justru gempa dangkal, seperti yang terjadi di Liwa, Bengkulu, Bantul Yogyakarta, dan Nusa Dua Bali. Letusan gunung api pada umumnya berkaitan dengan dua lempeng litosfer yang saling bertemu dan berdesakan. Bencana Geologi Dalam peristiwa ini lempeng yang berat jenisnya lebih besar akan menyusup di bawah yang lain (subduksi). Oleh tekanan dan temperatur yang besar, maka pada kedalaman antara 75 km - 175 km, sebagian litosfer yang menyusup, akan melebur membentuk magma. Karena tekanan diapirisme, magma ini membubung naik, dan berusaha meraih permukaan bumi. Bila magma tersebut dapat mencapai permukaan bumi, maka terjadilah vulkanisme yang dapat menimbulkan kegiatan gunung api. Kegiatan gunung api bisa berupa erupsi yang efusif (leleran lava) dan erupsi yang eksplosif (letusan). Letusan eksplosif dapat menghasilkan semburan debu dan abu, semburan bebatuan, awan panas beracun, dan sebagainya. Di samping ancaman bahaya primer kegiatan gunung api di atas, ada ancaman sekunder berupa lahar, yaitu aliran lumpur dan bebatuan yang terjadi karena rempah vulkanik yang bertimbun pada lereng disiram hujan hingga jenuh, dan akhirnya longsor karena gaya berat. Tanah longsor, merupakan kejadian alam yang acap kali melibatkan ulah manusia. Ulah dan kepentingan manusia yang keliru sering sekali memicu kejadian ini. Pada umumnya gerakan tanah terjadi karena gaya gravitasi massa tanah melebihi gaya yang menahannya (baik karena kekuatan dan kohesi bahan, friksi antara bahan sekitarnya, dan unsur penahan). Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian longsoran antara lain faktor yang bersifat pasif yaitu iklim, topografi, litologi, stratigrafi. struktur geologi, dan vegetasi, serta faktor yang bersifat aktif yaitu: lereng yang curam, erosi, pembebanan (misal oleh air atau bangunan), dan aktivitas manusia. Dinamika air di permukaan dipengaruhi oleh bentuk bentang alam. Sungai mengerosi lereng pegunungan, membentuk lembah, akhirnya menghasilkan sistem pengeringan (drainage system), yang sensitif terhadapkeseimbangan iklim, topografi, batuan, dan soil. Disamping itu sungai juga melakukan pengendapan material yang dierosinya di bagian hulu. Pengendapan terjadi di bagian sisisisi dan hilir sungai, yang menyebabkan pendangkalan, dan pada akhirnya daya tampung lembah menjadi berkurang. Apabila daya tampung lembah sungai tidak mampu lagi menampung debit aliran sungai, maka sebagian arah aliran akan berubah lateral. Migrasi arah aliran secara lateral inilah yang dapat menimbulkan banjir. Berbagai bencana tersebut atas terkadang tidak diakibatkan oleh hanya satu proses saja, melainkan dua atau lebih, yang bekerja secara stimulan. Tata Ruang Berbasis Mitigasi Bencana Tata ruang berbasis mitigasi bencana mutlak diperlukan di daerah yang rawan bencana. Dalam perencanaannya, tentu perlu dimulai dari pemetaan yang baik terhadap potensi geologis baik yang manfaat maupun yang merusak. Zona-zona rawan bencana perlu ditentukan dan ditarik batas-batasnya. Selanjutnya dilakukan klasifikasi terhadap zona rawan bencana tersebut, diberi bobot mulai dari yang paling beresiko (resiko terbesar) hingga yang resiko 0 (jika ada). Dalam pemetaan zona rawan bencana, perlu dipilah-pilah dan dipisah-pisahkan, antara jenis bencana yang satu dengan bencana lainnya. Peta rawan bencana gempa tentu saja berbeda dengan peta rawan bencana gunungapi, bencana tanah longsor, bencana banjir, dan sebagainya. Sehingga sebuah kawasan perlu memiliki semua jenis peta kerawanan bencana tersebut. Berdasarkan peta-peta tersebutlah, penataan, pembangunan, dan pengembangan sebuah kawasan sebaiknya dilakukan. Berdasarkan peta-peta tersebut pula, dapat ditentukan berbagai tata-guna lahan antara lain kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan budidaya, kawasan pariwisata, kawasan pengambilan sumberdaya alam, dan kawasan konservasi. Untuk menentukan zonasi rawan bencana, maka setiap parameter yang digunakan dalam pemetaan perlu diberi bobot dan nilai untuk memperoleh nilai total kawasan. Penilaian ini dilakukan guna melihat peruntukan yang paling tepat bagi suatu kawasan. Sebagai contoh, kawasan untuk permukiman tentu saja harus bebas dari semua jenis ancaman bencana. Daerah rawan bencana mungkin hanya cocok untuk kawasan budidaya tanaman atau kawasan lindung yang harus dikonservasi. Selain mempertimbangkan faktor-faktor geologi untuk menentukan tingkat kerawanan terhadap ancaman bahaya alam, dalam penataan ruang berbasis mitigasi bencana, perlu memperhatikan ketersediaan sumber air bersih. Untuk itu keberadaan sumber air baik yang berada di permukaan maupun di bawah Memberdayakan Masyarakat Bencana alam seperti gempabumi, letusan gunungapi, lahar, tanah longsor, gelombang pasang, dan banjir seringkali kekuatannya luar biasa, dan waktu terjadinya sulit ditentukan secara tepat. Namun demikian, manusia memiliki kemampuan untuk mengenali dan memahami peristiwa tersebut. Pemberdayaan masyarakat di lokasi rawan bencana merupakan suatu alternatif penanggulangan yang murah, efektif, namun bermanfaat dan menguntungkan. Masyarakat diuntungkan karena mereka diberdayakan dan dicerdaskan. Dalam konsep ini masyarakat dilibatkan langsung untuk turut mengetahui dan memahami karakteristik, gejala-gejala awal bencana, mengetahui cara mencegah, menghindari, serta menanggulanginya. Dalam hal ini, penanggulangan bencana ditekankan pada peningkatan kemampuan masyarakat, khususnya yang tinggal di kawasan rawan bencana secara partisipatoris, bersama, oleh dan untuk masyarakat, bukan sekedar oleh para ahli dan aparat pemerintah. Dalam melakukan manajemen bencana, khususnya terhadap bantuan darurat, dikenal dua model pendekatan yaitu “konvensional” dan “pemberdayaan”. (Anderson & Woodrow, 1989, dikutip dari Paripurno, 2000). Perbedaan paling mencolok di antara keduanya terutama terletak kepada cara melihat: kondisi korban dan target akhir. Dalam manajemen konvensional, korban dianggap tidak berdaya dan membutuhkan batuan, sedangkan dalam manajemen pemberdayaan, korban dianggap sebagai manusia yang aktif, berkemampuan, dan berkapasitas. Target manajemen konvensional adalah agar keadaan kembali normal. Sedangkan target manajemen pemberdayaan adalah mengurangi kerentanan dalam jangka panjang. Di sisi lain, mekanisme dalam penanggulangan bencana dikenal secara internal dan eksternal. Mekanisme internal dalam penanggulangan bencana dilakukan oleh unsurunsur masyarakat di lokasi bencana; baik oleh keluarga, organisasi sosial, maupun masyarakat lokal. Mekanisme ini dikenal sebagai penanggulangan bencana secara alamiah (Paripurno, 2000). Sebaliknya dalam mekanisme eksternal, penangulangan bencana dilakukan oleh pihak-pihak di luar unsur-unsur mekanisme internal tersebut. Untuk mewujudkan tata ruang yang berbasis mitigasi bencana, perlu keterlibatan dan dukungan semua pihak, antara lain dari para akademisi, lembaga-lembaga pemerintah, swasta dan swadaya masyarakat. Demikian pula dalam proses pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat. Maka dengan demikian tata ruang berbasis mitigasi bencana adalah sebuah keniscayaan. Pustaka Hamilton, W. (1979), Tectonics of the Indonesian Region, U. S. Government Printing Office Howard, A. D. & I. Remson (1979), Geology in Environmental Planning, McGraw Hill Book Company Kusumayudha, S. B. (1993), Asia Tenggara Daerah Rentan Longsoran, Kasus Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand, Wimaya, No. 16 Tahun X, hal 1-11 -------- (1996), Analisis Kinematika ketidakstabilan Lereng di Sekitar Bendungan Sermo, Kulonprogo, Buletin Teknologi Mineral, No 02, Tahun I, hal 2-9 ------- (2000), Menghadapi Masalah Klasik Bencana Tanah Longsor, Kedaulatan Rakyat, 9 November 2000 -------- (2007), Yogyakarta dan Periode Ramai Gempa, Kedaulatan Rakyat, Februari 2007 -------- (2010), Letusan Merapi Kali Ini, Kedaulatan Rakyat, Desember 2010 Paripurno, E. T. (2000), Penanggulangan bencana berbasis masyarakat: Seperti apa?, Materi Lokalatih Pengelolaan Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Kulonprogo Zumberge, J. H. & C. A. Nelson (1976), Elements of Physical Geology, John Wiley & Sons