IMPLEMENTASI BANTUAN HUKUM OLEH KOM ISI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK KEPADA ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA SKRIPSI Disusun Oleh: YOLANDA PUTRI DEWANTI E1A009140 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 IMPLEMENTASI BANTUAN HUKUM OLEH KOMISI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK KEPADA ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA SKRIPSI Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh: YOLANDA PUTRI DEWANTI E1A009140 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 i ii iii HALAMAN PERSEMBAHAN Hanya maaf serta terimakasih yang yolan bisa berikan pada kalian J : 1. ALLAH SWT dan Nabi MUHAMMAD SAW terimakasih padaMu yang begitu besar yang telah banyak memberi kenikmatan tiada henti untuk hambaMu ini, rasa sabar yang luar biasa, dan keberuntungan yang tiada henti serta selalu mencarikan jalan yang terbaik untukku. 2. Keluarga yolan, Mamah Novilastiyati, S.H. (terimakasih selalu memberikan semangat, doa, mendengar keluh kesah anakmu yg nakal ini. Yolan janji ga akan pernah ngecewain mamah, yolan akan sukses dan akan bantu ade2), ayah Ir Hari Poerwanto (terimakasih buat semangat dan doanya selama ini), ade2 tersayang Vitto dan Tazkia (jangan pada nakal, belajar yg bener, nurut kata orang tua dan kalian harus lebih baik dari kakak kalian ini), eyang kakung Almarhum Ir. Hadimartono (skrg yolan udah sarjana kakung pasti bangga dan yolan yakin kakung pasti selalu bahagia di Surga, uti pasti yolan jagain), eyang uti yolan yang paling cerewet Sri Rahayu (semoga yolan yang kata uti selalu jadi contoh karna yolan cucu tertua udah bisa bikin uti sedikit bangga sama yolan) dan seluruh keluarga besar Hadi Martono buat doa dan semangat kalian terimakasih semua. 3. Franka Sahat (kesayangan ndda, kudanil ndda, terimakasih udah mau menungguku hampir 4tahun ini, makasih juga buat sayang, senyum, semangat, doa, uang jajan, kesabaran, pokoknya smua yg udah kamu kasih selama ini ke ndda. Aku tunggu janjimu 3 tahun lagi J) 4. Teman-teman kesayangan yolan ; Nanda (makasih ya say udah banyak bgt bantu aku, bersedia direpotkan terus, temen gila, kmu sahabat terbaik yolan. Jadi ga nanti anak kita, kita jodohin :p) Stefani (ntep lo sahabat gue dimanapun dipwt dijkt lo yg terbaik, kita masuk bareng keluar jg bareng, mksh ya ntep buat smuanya) Ixora (cepet lulus ca jangan bandel, makasih buat semuanya), Irma (pejuang skripsi brg aku, temen atak itik dikampus di akhir2,makasih bgt say buat semua dan maap ngerepotin terus) Azi (temen pertama yolan di kampus merah, ma kasih buat nasehat serta kegilaan2nya,langgeng ma anggi ya), Syaikhu (guru spiritual yolan mkasih buat smua bantuan skripsinya,mksh buat semuanya iv 5. Kosan Griya Kusuma : Mak Ciput, Mak Sinta (kalian mba2ku yg terbaik, yg bikin aku ngrasa punya kaka prempuan yg suka ngajarin byak hal, mb kalo nikah undang2 ya), [Geng Ucul yg selalu mau direpotin makasih bgt ya: Puput (hobi pulangnya dikurangin neng, moga cita2 nikah mudanya tercapai :p) Rima (kurangin hawa premannya itu, langgeng ma surip ya) Tya (kmu msih ada utang maen krumahku smbil bawa yg lain lho, langgeng ma satriyo ya) Nisa Senior (jangan sakit2 mulu neng dijaga baik2 itu badan, cpet dpet pacar yg dpengen)], Nisa Junior (kurangi hobi hebohnya ga semua org bisa trima klakuanmu itu neng ), Sarah (hobi tidur kaya org mati itu kudu kmu kurangin neng :p), Ega (mksh udh jadi ojek di akhir2 perjuangan aku d pwt :p). Cepet lulus buat kalian semua, maap kalo mba.mu ini byak salah, makasih buat bantuan kalian slama ini, dan jgan lupa undang mba.mu ini klo klian nikah, aku pasti akan merindukan kalian semua :’) 6. Teman-teman Kampus Merah; tante genjreng (Dira,Intan,Eep,Debby,Nuni,Ega makasih buat semua bantuan dan kegilaan yg kalian kasih), Agatha (sampai ketemu lg ya jangkung,makasih), Afril (kmu itu unik fril,mkasih buat semuanya), temanteman pejuang acara pidana (terimakasih buat semua dan maap jika merepotkan), [teman-teman KKN Sirau 2: Ovi, Yayan, Yeyen, Riko, Tunjang, Ojan, Yondi. Makasih buat pengalaman berharga selama di Sirau, 35hari bersama kalian Istimewa], semua temen2 angkatan 2009 kelas A-E (makasih buat bantuan kalian selama ini selama yolan di pwt), semua temen2 2010,2011,2012 yang mengenal yolan (maap kalo yolan pnya salah dan terimakasih buat semua bantuan kalian), temen2 PeJe (kalian istimewa kalian kakak,ade,saudara terbaik, jangan pernah menyesal ada di PeJe karna PeJe akan memberikan pengalaman yang banyak dan pasti berguna untuk kalian), dan smua orang yg belu m kesebut disini makasih semuanyaa J Terimakasih untuk semuanya, maafin yolan yang selama ini punya banyak salah, yolan yg bawel, yolan yg egois, yolan yg slalu nyusahin kalian. Yolan sayang kalian semua. Yolan ga berarti apa-apa dan ga akan bisa jadi seperti hari ini tanpa kalian orang-orang terhebat disekitar yolan J v KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : IMPLEMENTASI BANTUAN HUKUM OLEH KOMISI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK KEPADA ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA. Berbagai kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Namun berkat bimbingan, kesabaran, bantuan moril maupun materill serta pengarahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada : 1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. Bapak Dr. Agus Raharjo, S.H., M.Hum., selaku dosen penelitian dan guru spiritual atas segala bantuan, dukungan, masukan, menyediakan waktu dan kebaikan yang banyak kepada penulis selama penulisan skripsi ini. 3. Bapak Dr. Hibnu Nugroho S.H., M.H., selaku dosen pembimbing I Skripsi, atas segala bantuan, arahan, dukungan, waktu dan masukan serta telah mengajarkan kesabaran yang luar biasa kepada penulis selama penulisan skripsi ini. 4. Ibu Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H., selaku dosen Pembimbing II Skripsi atas segala bantuan, arahan, dukungan, masukan, menyediakan waktu dan kebaikan yang banyak kepada penulis selama penulisan skripsi ini. vi 5. Bapak Pranoto , S.H., M.H., selaku dosen penguji Skripsi yang telah memberi saran dan perbaikan pada skripsi penulis. 6. Bapak Sanyoto, S.H., M.Hum. selaku Kepala Bagian Hukum Acara atas semua bantuannya. 7. Ibu Hj. Setyadjeng Kadarsih, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik atas segala motivasi, kesabaran, dan kebaikannya kepada penulis selama berproses kuliah di Fakultas Hukum. 8. Seluruh dosen di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 9. Kedua orang tua dan seluruh keluarga besar yang telah mendukung dan selalu memberi doa serta semangat kepada penulis. 10. Komisi Nasional Perlindungan Anak sebagai Obyek Penelitian yang telah memberikan informasi, masukan serta waktu selama penulisan skripsi ini. 11. Seluruh teman-teman yang tiada lelah selalu mendukung bahkan ikut direpotkan penulis selama penulisan skripsi ini. Semoga amal kebaikan serta bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Skripsi ini hanya karya manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan oleh karenanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Purwokerto, 22 Oktober 2013 Yolanda Putri Dewanti E1A009140 vii ABSTRAK IMPLEMENTASI BANTUAN HUKUM OLEH KOMISI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK KEPADA ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA Oleh: YOLANDA PUTRI DEWANTI E1A009140 Korban terutama korban anak dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia merupakan pihak yang lemah. Kedudukan korban dalam Sistem Peradilan Pidana hanya sebagai pelengkap dalam suatu proses peradilan. Hal ini di sebabkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana lebih berorientasi kepada kepentingan pelaku daripada korban. Komisi Nasional Perlindungan Anak sebagai salah satu penegak hukum memberikan bantuan hukum pada anak khususnya kepada korban secara cuma-cuma. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis implementasi pemberian bantuan hukum oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak kepada anak sebagai korban tindak pidana dan menganalisis kendala Komisi Nasional Perlindungan Anak dalam memberikan bantuan hukum kepada anak. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis dan menggunakan spesifikasi penelitian deskriptif. Lokasi penelitian dilakukan di Komisi Nasional Perlindungan Anak Jakarta. Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data adalah data primer melalui wawancara dan data sekunder melalui studi kepustakaan. Metode penyajian data dengan menggunakan teks naratif yang disusun secara sistematis sebagai kesatuan yang utuh. Metode Pengambilan informan dengan menggunakan Purposive Sampling dengan criterian based selection dan metode analisis data secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa pemberian bantuan hukum oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak kepada anak sebagai korban tindak pidana sudah diberikan tetapi belum maksimal dikarenakan peraturan perundangundangan yang masih lebih condong melindungi hak-hak tersangka/terdakwa dibandingkan hak-hak korban ditambah hanya ada 1 undang-undang yang mengatur adanya bantuan hukum untuk anak sebagai korban tindak pidana . Kata Kunci: Bantuan Hukum, Komisi Nasional Perlindungan Anak, Anak viii ABSTRACT IMPLEMENTATION OF AID BY THE NATIONAL COMMISSION FOR CHILD PROTECTION TO CHILDREN AS THE VICTIMS OF CRIMINAL ACT By : YOLANDA PUTRI DEWANTI E1A009140 The victims are mainly children's victims in the Indonesian Criminal Justice System is the underdog. The position of the victim in the Criminal Justice System only as a complement in a judicial process. This is caused Act No. 8 of 1981 on the law of criminal procedure is more oriented to the interests of the perpetrator rather than the victim. The National Commission for child protection as one of the law enforcement agencies provide legal aid in particular to victims free of charge. The purpose of this research is to know and analyze the implementation of the provision of legal aid by the National Commission for child protection to the children as the victims of a criminal act and analyze the constraints of National Commission for child protection in providing legal aid to the children. The approach method used in this research is the juridical sociological and use descriptive research specifications. The location of the research conducted at the National Commission for child protection. Types and data sources used are primary data and secondary data. Method of data collection is the primary data through interview and secondary data through literature review. Methods of data presentation use narrative text which is arranged systematically as a unified whole. Retrieval Informant method use Purposive Sampling with criterian based selection and methods of qualitative data analysis. Based on the results of the research, that the granting of legal aid by the National Commission for child protection to the children as the victims of a criminal act has been granted but not yet maximized due to legislation that is still more tend to protect the rights of suspects/defendants than victims ' rights further more there is only one Act that regulate the existence of legal aid for children as the victims of criminal act. Keywords: Legal Aid, The National Commission For Child Protection, Children ix DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ ii HALAMAN PERNYATAAN........................................................................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................ iv KATA PENGANTAR........................................................................................ vi ABSTRAK.......................................................................................................... viii ABSTRACT........................................................................................................ ix DAFTAR ISI...................................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1 B. Perumusan Masalah................................................................................. 10 C. Tujuan Penelitian..................................................................................... 10 D. Kegunaan Penelitian................................................................................ 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bantuan Hukum.........................................................................................12 1. Pengertian Bantuan Hukum.............................................................12 2. Tujuan Bantuan Hukum.................................................................19 3. Bantuan Hukum untuk Anak sebagai Korban Tindak Pidana.............23 B. Anak...........................................................................................................28 1. Pengertian Anak.............................................................................28 x 2. Macam-Macam Status Anak................................................................32 3. Anak sebagai Korban Tindak Pidana...................................................37 C. Komisi Nasional Perlindungan Anak.........................................................40 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan....................................................................................46 B. Spesifiksasi Penelitian................................................................................47 C. Lokasi Penelitian........................................................................................48 D. Jenis Data...................................................................................................48 E. Metode Pengumpulan Data........................................................................50 F. Metode Penyajian Data..............................................................................52 G. Metode Penentuan Informan......................................................................52 H. Metode Validitas Data................................................................................53 I. Metode Analisa Data..................................................................................53 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Data Sekunder................................................................................55 2. Data Primer....................................................................................70 B. Pembahasan..........................................................................................96 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.........................................................................................131 B. Saran...................................................................................................132 DAFTAR PUSTAKA xi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana dibedakan menjadi hukum pidana (materill) dan hukum acara pidana (formil). Hukum pidana (materill) sebagai keseluruhan peraturan hukum yang menunjukan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan dimana pidana itu seharusnya menjelma, sedangkan hukum acara pidana berfungsi untuk menjalankan hukum acara pidana substantif (materill), sehingga disebut hukum pidana formal atau hukum acara pidana. 1 Simon2 menyebutkan : hukum acara pidana yang disebut juga hukum pidana formal yaitu mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Pengertian hukum acara pidana juga disampaikan oleh R. Achmad Soemadipraja 3 yaitu : hukum acara pidana yaitu hukum yang mempelajari peraturan yang diadakan oleh negara dalam hal persangkaan telah dilanggarnya UndangUndang Pidana. 1 Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 4. Mohammad Taufik Makarao dan Suharsil, 2004, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek , Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 1. 3 Moch. Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju , Bandung, hlm. 1. 2 2 Hukum acara pidana sendiri menurut Van Bemmelen4 memiliki tiga fungsi yaitu sebagai berikut : 1. Mencari dan menemukan kebenaran 2. Pemberian keputusan oleh hakim 3. Pelaksanaan putusan Indonesia. Tujuan atau fungsi hukum acara pidana yang lain menurut Hibnu Nugroho5 adalah : 1. Sebagai sarana untuk mencari suatu kebenaran materill dari suatu tindak pidana yang terjadi ; 2. Menemukan orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana ; 3. Meminta pengadilan untuk memutuskan bersalah atau tidaknya tersangka, dan 4. Melaksanakan dan kemudian mengawasi pelaksanaan. Berdasarkan ketiga fungsi hukum acara pidana diatas point paling penting dalam penegakkan hukum di Indonesia adalah mencari kebenaran, karena setelah menemukan kebenaran maka hakim dapat melaksanakan putusan secara adil bagi semua orang. Keadilan yang sekarang dapat dikatakan sebagai sesuatu yang langka di Indonesia menjadi hal yang penting mengingat posisi korban yang memiliki porsi tidak seimbang dengan tersangka atau terdakwa. Kiranya wajar jika seharusnya ada keseimbangan antara hak-hak tersangka atau terdakwa dan korban karena pengaturan didalam Kita b Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUHAP) mengenai korban sama sekali 4 Andi Hamzah, Op. Cit , hlm. 8. Hibnu Nugroho, 2012, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Media Prima Aksara, hlm. 32. 5 3 termarjinalkan. KUHAP lebih banyak mengatur mengenai perlindungan terhadap tersangka, sedangkan perlindungan terhadap korban tidak dirumuskan secara lengkap.6 Ini karena korban dalam Sistem Peradilan Pidana posisinya tidak menguntungkan sehingga sering dianggap sebagai pemain figuran dan pada akhirnya korban yang dianggap sebagai pemain figuran akan kembali menderita karena sistem hukum itu sendiri, karena korban tidak dilibatkan secara aktif seperti halnya saat beracara perdata. Korban dalam tindak pidana tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan dan persidangan, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaannya akibat suatu kejahatan. Tentang KUHAP yang lebih mengutamakan hak-hak tersangka atau terdakwa diakui oleh Romli Atmasasmita 7 yang menyatakan bahwa fungsi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terutama menitikberatkan perlindungan harkat dan martabat tersangka atau terdakwa. KUHAP yang terlalu berorientasi pada tersangka atau terdakwa dapat dilihat salah satunya dalam hal pemberian bantuan hukum, seperti yang tercantum dalam Pasal 56 KUHAP yang menyebutkan : (1) “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima 6 Siswanto Sunarso, 2012, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 50. 7 Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 36. 4 tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. (2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebgaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.” Pengaturan tentang hak korban dalam hal ini korban kejahatan yang ada di KUHAP hanya diatur di dalam BAB XII (Pasal 98-101) KUHAP yang memungkinkan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana bukan mengenai hak yang sama untuk mendapatkan bantuan hukum. Perbedaan pengaturan tentang kedudukan tersangka atau te rdakwa dengan korban juga terlihat lebih khusus di Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tetang Penga dilan Anak tidak secara eksplisit memuat norma hukum yang mengatur perlindungan anak sebagai korban tindak pidana. Yang diatur dalam Undang-Undang Pengadilan anak tersebut hanya mengatur norma atau hukum anak sebagai pelaku bukan anak sebagai korban. Mengkaji undang-undang maupun pasal-pasal tersebut secara jelas bahwa bantuan hukum diberikan kepa da terdakwa atau tersangka sedangkan untuk bantuan hukum pada korban yang mengalami tindak pidana tidak diatur, bahkan jika dikaji lebih jauh maka seharusnya yang mendapatkan bantuan hukum bukan hanya tersangka atau terdakwa namun juga korban sebagai bentuk dari keadilan untuk korban. Dalam prakteknya 5 memang hak-hak korban sudah diakomodir oleh para aparat negara. Pihak korban menurut negara telah diwakili oleh polisi dan jaksa namun sifat dari hubungan korban dan aparat negara ini hanya simbolik. Sifatnya adalah untuk menyerap aspirasi korban dan untuk menguatkan pembuktian lazimnya yang bersangkutan dijadikan saksi korban tapi itu tidak akan secara langsung mengakomodir semua yang dirasakan oleh korban, terutama dalam kasus yang berhubungan dengan korban anak sehingga sering menimbulkan ketidakpuasan dari keluarga maupun korban itu sendiri. Seringkali penuntut umum tidak sadar kalau penuntut umum kurang mewakili kepentingan korban dan bertindak sesuai kemauannya, sehingga kewajiban perlindungan serta hak-hak korban terutama korban anak sering diabaikan bahkan dilupakan oleh para aparat negara tersebut. Bahkan pengabaian hak-hak korban terjadi pada hampir setiap tahapan, baik itu dalam tahap-tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan dan proses-proses selanjutnya. Diabaikannya eksistensi korban dalam penyelesaian kejahatan menurut Arif Gosita 8 terjadi karena beberapa faktor yaitu sebagai berikut : 1. Masalah kejahatan tidak dilihat, dipahami menurut proposi yang sebenarnya. 2. Penanggulangan permasalahan kejahatan yang tidak didasarkan pada konsep, teori etimologi kriminal yang rasional, bertanggung jawab dan bermartabat. 8 Harlis Daryanto, 2012, Peranan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terhadap Anak sebagai Korban Pemerkosaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Lampung, hlm. 15. 6 3. Pemahaman dan penanggulangan permasalahan kejahatan tidak didasarkan pada pengertian citra mengenai manusia yang tepat (tidak melihat dan mengenai manusia pelaku dan manusia korban sebagai manusia sesama kita). Sistem Peradilan Pidana seperti yang telah dibahas diatas yang lebih yang berorientasi kepada pelaku atau terdakwa disebut sebagai konsep retributive justice (pembalasan). Soeparman9 menyatakan yang dimaksud konsep retributive justice adalah : Konsep retributive justice yaitu suatu kebijakan yang titik perlindungannya adalah si pelaku tindak pidana (offender oriented) bukan restorative justice yang fokus kebijakan perlindungan terhadap korban tindak pidana (victim oriented). Korban terutama korban anak memiliki permasalahan yang lebih kompleks. P ada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri terhadap berbagai macam ancaman mental, fisik, sosial dan berbagai bidang kehidupan serta penghidupan dan dalam menyatakan apa yang dirasakan, anak lebih sulit mengapresiasikan perasaannya sehingga harus dibantu orang lain dalam melindungi dirinya.10 Dalam hal ini orang lain atau lembaga yang dapat berkomunikasi lebih dengannya, bukan hanya seperti polisi dan jaksa yang hubungannya hanya sebatas melaksanakan tugas negara sebagai wakil dari korban tersebut namun dapat juga lembaga -lembaga yang peduli tentang permasalahan-permasalahan anak. 9 Soeparman, 2007, Kepentingan Korban Tindak Pidana Dilihat Dari Sudut Viktimologi, Varia Peradilan, Majalah Hukum, No. 260 Juli 2007, hlm 51. 10 Romli Atmasasmita, 1997, Peradilan Anak diIndonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 162. 7 Korban terutama anak memiliki posisi yang lemah dalam lingkungan, keluarga, masyarakat, dan negara. Anak juga merupakan subjek yang paling rentan berhadapan dengan kejahatan. 11 Posisi mereka semakin lemah karena seperti kita ketahui bahwa dalam ilmu viktimologi yang menggunakan teori Hans Von Hentig 12 yaitu : membuat tipologi korban me nggunakan klasifikasi sosio biologis dengan mendasarkan faktor psikologis, sosial dan biologi dengan membagi tipe korban menjadi 13 macam korban yang dapat dijadikan resiko viktimisasi, dua diantaranya adalah the young dan the female . The young atau anak sebagai urutan teratas yang memiliki resiko paling besar untuk menjadi korban dalam suatu tindak pidana. Ini dikarenakan anak anak lebih lemah secara fisik da n mental, kepribadiannya belum matang serta belum mempunyai ketahanan yang cukup apabila harus menghadapi serangan terutama dari orang dewasa, apalagi anak cenderung lebih mudah untuk diperdaya dan anak cenderung lebih takut untuk menceritakan apa yang menimpa pada dirinya. Teori lain yang menyatakan bahwa anak adalah termasuk dalam golongan dari korban yang mudah menjadi korban tindak pidana adalah teori dari Schafer 13 yang membagi menjadi 6 tipologi korban berdasarkan keadaan dan status korban. Anak dalam tipologi korban tersebut termasuk dalam Biologically weak victims yaitu mereka yang secara fisik memliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban. Anak dimasukkan 11 YLBHI dan PHSK, 2009, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, YLBHI, Jakarta, hlm. 456. 12 Yazid Effendi, 2001, Pengantar Viktimologi Rekonsiliasi Korban dan Pelaku Kejahatan, UNSOED Purwokerto, Purwokerto, hlm. 31. 13 Ibid, hlm. 32. 8 dalam golongan ini karena secara fisik mereka memang lebih lemah dibanding orang dewasa. Bukti bahwa semakin banyak anak sebagai korban tindak pidana juga disampaikan menurut data yang masuk ke Komisi Nasional Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat dengan KOMNAS Anak), sejak tahun 2011 tercatat data kekerasan terhadap anak dan kejahatan seksual terhadap anak mengalami peningkatan. Tahun 2010 terdapat 2.462 kasus kekerasan terhadap anak, 42 persen diantaranya kejahatan seksual dan pada tahun 2011 tercatat 2.509 kasus, 58 persennya adalah kasus kejahatan seksual. Tahun 2012 menurut laporan masyarakat tercatat 2.637 laporan kekerasan terhadap anak dan 62 persennya atau 1075 kasus tersebut adalah kejahatan seksual terhadap anak. Data terbaru di KOMNAS Anak menyatakan bahwa pada Januari hingga Februari 2013 tercatat ada 354 kasus yang dilaporkan ke KOMNAS Anak dan 84 diantaranya adalah kejahatan seksual terhadap anak. 14 Maraknya kejahatan yang terjadi pada anak memang dapat dikatakan cukup mengkhawatirkan bahkan menurut data dari KOMNAS Anak tahun ini tahun 2013 adalah tahun darurat kejahatan pada anak terutama kejahatan seksual pada anak. Banyaknya kasus kejahatan yang menimpa anak yang terjadi setiap harinya membuat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (selanjutnya disingkat dengan KPAI) dan KOMNAS Anak bekerja lebih keras untuk dapat memberi perlindungan untuk anak14 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 9 anak yang tersangkut kasus -kasus pidana, salah satunya dengan cara memberi bantuan hukum pada korban anak tersebut. Kasus terbaru yang peneliti temui saat meneliti di KOMNAS Anak pada tanggal 28 Mei 2013 adalah adanya pelaporan yang disampaikan langsung ke KOMNAS Anak tentang adanya dugaan kekerasan baik kekerasan fisik maupun kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah satu wali kelas Sekolah Dasar Negeri 4 Beji, Depok, Jawa Barat. Wali kelas sekolah tersebut diduga melakukan kekerasan fisik dan kekerasan seksual pada 17 siswa kelas V di Sekolah Dasar Negeri tersebut. Pada pelaporan tersebut langsung diterima oleh Arist Merdeka Sirait. Dalam kasus itu KOMNAS Anak sudah siap untuk memberikan bantuan hukum jika memang benar telah terjadi pencabulan pada murid-murid tersebut. 15 Berlatar belakang pada fakta adanya pelaporan yang ada di KOMNAS Anak tersebut dan adanya bantuan hukum yang diberikan oleh KOMNAS Anak pada kasus di atas, KUHAP yang lebih berorientasi pada tersangka atau terdakwa dan adanya KOMNAS Anak sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang banyak memberi perlindungan pada anak sebagai korban, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Implement asi Bantuan Hukum oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak kepada Anak Sebagai Korban Tindak Pidana”. 15 Hasil Wawancara dengan Orang Tua Korban dugaan pelecehan seksual di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 10 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis dapat merumuskan permasalahan, yaitu : a. Bagaimana implementasi bantuan hukum oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak kepada anak sebagai korban tindak pidana di Indonesia ? b. Adakah hambatan Komisi Nasional Perlindungan Anak dalam pemberian bantuan hukum kepada anak sebagai korban tindak pidana di Indonesia ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penulis menentukan tujuan penelitian sebagai berikut: a. Untuk mengetahui implementasi bantuan hukum oleh komisi nasional perlindungan anak kepada anak sebagai korban tindak pidana. b. Untuk mengetahui hambatan yang dialami oleh komisi nasional perlindungan anak dalam pemberian bantuan hukum kepada anak sebagai korban tindak pidana. 11 D. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana baik materiil maupun formil. b. Kegunaan Praktis Berdasarkan yang dibahas, maka penelitian ini mempunyai kegunaan praktis, yaitu : 1. Dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai penerapan pemberian bantuan hukum oleh komisi nasional perlindungan anak kepada anak sebagai korban tindak pidana. 2. Sebagai bahan masukan dan ilmu tambahan mengenai implementasi bantuan hukum oleh komisi nasional perlindungan anak kepada anak sebagai korban tindak pidana. 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bantuan Hukum 1. Pengertian Bantuan Hukum Sebelum membahas tentang pengertian bantuan hukum maka harus diketahui awal mula dari sejarah adanya bantuan hukum. Apabila bantuan hukum diartikan sebagai charity maka sebenarnya bantuan hukum sudah ada sejak tahun 1500-an bersamaan dengan datangnya bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Atau jika diartikan secara luas masyarakat Indonesia yang suka bergotong royong dan meminta bantuan jika ada permasalahan ke kepala adat maka itu bisa diartikan sebagai bagian dari bantuan hukum. Dalam hukum positif di Indonesia bantuan hukum pertama kali diatur dalam Pasal 250 HIR. Dalam pasal ini jelas mengatur tentang bantuan hukum bagi terdakwa dalam perkara-perkara yaitu perkara yang diancam dengan hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup. Walaupun pada masanya pasal ini pengaturannya diutamakan untuk bangsa Belanda bukan bangsa Indonesia. Dan pada masa itu orang yang ditunjuk sebagai ahli hukum wajib memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma. Keterbatasan berlakunya HIR bisa ditafsirkan sebagai awal mula dari pelembagaan bantuan hukum ke dalam hukum positif Indonesia. Sebelum adanya undang-undang yang mengatur tentang 13 hukum acara maka HIR dinyatakan tetap berlaku. Pada tahun 1970 lahirlah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang di dalam Pasal 35, 36, dan 37 mengatur tentang bantuan hukum. Lembaga atau biro bantuan hukum dalam bentuk konsultasi hukum pernah didirikan di Rechtshoge School Jakarta pada tahun 1940. Biro ini didirikan dengan maksud untuk memberi nasehat hukum kepada rakyat tidak mampu dan juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum. Berbicara tentang sejarah bantuan hukum tidak terlepas dari sosok S. Tasrif dan Adnan Buyung Nasution. S. Tasrif adalah yang orang pertama yang menyatakan bahwa bantuan hukum si miskin merupakan satu aspek cita -cita dari rule of the law. Kemudian untuk mewujudkan idenya tersebut, S. Tasrif menyatakan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta untuk diberikan satu ruangan yang dapat digunakan untuk para advokat secara bergiliran untuk memberikan bantuan hukum. Sedangkan Adnan Buyung Nasution mengajukan ide untuk pembentukan Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia kemudian ditindaklanjuti dengan berdirinya LBH Jakarta (Lembaga Bantuan Hukum Jakarta) sebagai Lembaga Bantuan Hukum pertama di masyarakat maka orang tidak berharap banyak dari Lembaga Bantuan 14 Hukum tersebut. 16 Dan semakin berkembangnya masyarakat maka mulai bermunculan berbagai macam LBH lain di Indonesia. Penjabaran di atas membuat pemikira n bahwa bukanlah hal yang mudah untuk memberikan batasan atau pengertian dari bantuan hukum mengingat kompleksitas permasalahannya, tidak hanya menyangkut hukum dan perkembangan masyarakat, akan tetapi juga keberadaan program bantuan hukum itu sendiri. Latar belakang atau faktor -faktor yang mempengaruhi adanya bantuan hukum adalah : 1) Kedudukan yang tidak seimbang antara tersangka atau terdakwa terhadap sosok yang tegar yakni negara melalui aparat-aparatnya melahirkan suatu gagasan bahwa tersangka atau terdakwa harus memperoleh bantuan hukum secukupnya, menurut aturan hukum agar memperoleh keadilan hukum yang sebenarnya. 2) Faktor kedua yang melahirkan perlunya bantua n hukum adalah bahwa semua orang mengetahui apalagi menguasai seluk-beluk aturan hukum yang rumit yang dalam hal ini aparat penegak hukum tentu saja mempunyai kedudukan yang lebih, pengalaman serta pengetahuan dari aparat tersebut dan sebagainya. 3) Faktor ketiga adalah faktor kejiwaan atau faktor psikologis, bahwa meskipun taraf sangkaan atau dakwaan bagi pribadi yang terkena dapat merupakan suatu pukulan psikologis. 16 Adnan Buyun g Nasution, 2007, Bantuan Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, hlm. 95. 15 4) Faktor keempat adalah hakim sebagai yang memberi putusan adalah manusia biasa. Polisi, jaksa, atau pejabat penyidik dan penuntut umum yang lain adalah manusia, mereka semua dapat khilaf dalam hal membuat putusan dan pemberi bahan untuk membuat putusan. Bantuan hukum dalam pengertiannya yang luas dapat diartikan sebagai upaya untuk membantu golongan yang tidak mampu dalam bidang hukum. 17 Bantuan hukum dalam pengertian luas juga dinyatakan oleh Adnan Buyung Nasution 18 yaitu bantuan hukum dapat diartikan sebagai upaya untuk membantu golongan yang tidak mampu dalam bidang hukum. Pengertian bantuan hukum yang lingkupnya agak sempit dinyatakan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia yang menyatakan :yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah pembelaan yang diperoleh seorang terdakwa dari seorang penasehat hukum, sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses pemeriksaan perkaranya dimuka pengadilan. 19 Berikutnya adalah pendapat dan rumusan dari para ahli tentang pengertian bantuan hukum : 17 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, 1994, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 7. 18 Adnan Buyung Nasution, Op. Cit, hlm. 3. 19 Soerjono Soekanto, 1985, Bantuan Hukum S uatu Tinjauan Sosio Yuridis , Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 1. 16 Menurut Crul 20 : Bantuan hukum sebagai bantuan yang diberikan oleh para ahli, kepada mereka yang memerlukan perwujudan atau realisasi dari hak-haknya, serta perlindungan hukum. Pendapat lain disampaikan oleh Erni Widhayanti21 Bantuan hukum pada hakikatnya adalah upaya pemberian bantuan hukum dan pelayanan hukum kepada mayarakat, agar memperoleh dan menikmati haknya yang diberikan oleh hukum dalam proses peradilan pidana. Pada Seminar Pembinaan Profesi hukum didapat pe ngertian bantuan hukum adalah : Bantuan hukum terdiri dari bantuan hukum di dalam maupun di luar pengadilan. Pemberian bantuan hukum di dalam pengadilan menimbulkan masalah verplichte procurstelling yang berarti hak dan kewajiban mendapatkan bantuan hukum tersebut dilayani sebagai berikut : 1. Mewajibkan pengadilan untuk menunjuka secara langsung atau melalui orga nisasi profesi hukum advokat untuk mendampingi atau setiap orang yang berurusan di muka pengadilan. 2. Mewajibkan seseorang dari kalangan profesi untuk memberi bantuan hukum tersebut diatas. Pada sebuah Lokakarya Bantuan Hukum diusulkan bahwa bantuan hukum sebagai pelayanan hukum yang diberikan kepada orang yang 20 Ibid, hlm. 23 Kuswindiarti, 2000, Pola Pembelaan dalam Memberikan Bantuan Hukum Terhadap Terdakwa dalam Proses Pemeriksaan di Pengadilan, Jurnal Ilmiah, STMIK AMIKOM Yogyakarta, hlm. 2. 21 17 tidak mampu secara cuma-cuma. pemberi bantuan hukum adalah perseorangan baik sarjana hukum maupun pengacara-pengacara hukum serta badan-badan yang mendapatkan izin. Cappeletti dan Gordley22 membagi bantuan hukum kedalam model yaitu yuridis individual dan bantuan hukum model kesejahteraan. 1. Bantuan hukum yuridis individual merupakan hak yang diberikan kepada warga masyarakat untuk melindungi kepentingan-kepentingan individualnya. Pelaksanaan bantuan hukum ini tergantung dari peran aktif masyarakat yang membutuhkan dimana mereka yang memerlukan bantuan hukum dapat meminta bantuan pengacara dan kemudian jasa pengacara tersebut nantinya dibayar oleh negara. 2. Bantuan hukum kesejahteraan diartikan sebagai suatu hak akan kesejahteraan yang menjadi bagian dari dari kerangka perlindungan sosial yang diberikan oleh suatu negara kesejahteraan (Welfare State). Bantuan hukum kesejahteraan sebagai bagian dari hukum sosial diperlukan guna menetralisasi ketidakpastian atau kemiskinan, karena itu penegembangan sosial atau perbaikan sosial menjadi bagian pelaksanaan bantuan hukum kesejahteraan. Frans Hendra Winata 23 memberikan definisi bantuan hukum yaitu : “Bantuan hukum merupakan jasa hukum yang khusus diberikan kepada fakir miskin yang memerlukan pembelaan secara cuma-cuma, baik di luar maupun di dalam pengadilan, secara pidana, perdata dan tata usaha negara, dari seseorang yang mengerti seluk beluk pembelaan hukum, asas-asas dan kaidah hukum, serta hak asasi manusia.” Pengertian bantuan hukum yang lingkupnya agak sempit pernah dinyatakan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia yang menyatakan bahwa : 22 Ibid, hlm. 21. Frans Hendra Winata, 2009, Probono Publicio Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. Kata Pengantar. 23 18 “Yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah pembelaan yang diperoleh seorang terdakwa dari seorang penasehat hukum, sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses pemeriksaan perkaranya dimuka pengadilan.” 24 Pengertian bantuan hukum diatur dalam Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat dirumuskan bahwa: “Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu”. Selain itu dijelaskan pula lebih rinci tentang jasa hukum di Pasal 1 butir 2 bahwa : “Jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien” Pengertian bantuan hukum juga semakin jelas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang bantuan hukum bahwa : “Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma -cuma kepada Penerima Bantuan Hukum”. Adapun unsur-unsur dari bantuan hukum menurut Frans Hendra Winata 25 adalah : a) Penerima bantuan hukum adalah fakir miskin atau orang yang tidak mampu secara ekonomi; b) Bantuan hukum diberikan baik di dalam maupun di luar proses persidangan; 24 Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 1. Frans Hendra Winarta, 2000, Bantuan Hukum : Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, hlm. 80. 25 19 c) Bantuan hukum diberikan baik dalam lingkup peradilan pidana, perdata maupun tata usaha negara; d) Bantuan hukum diberikan secara cuma-cuma. 2. Tujuan Bantuan Hukum Awalnya pengaturan tentang bantuan hukum diatur di dalam KUHAP adalah untuk memberikan kepastian akan adanya pemberian bantuan hukum pada tersangka atau terdakwa yang diancam dengan pidana penjara lima tahun lebih. Namun tujuan pemberian bantuan hukum untuk tersangka atau terdakwa berkembang sehingga tidak hanya untuk tersangka atau terdakwa namun juga untuk korban. Bantuan hukum bertujuan untuk memperbaiki sistem peradilan pidana kita yang sudah rusak karena tidak ada persamaan di mata hukum, untuk melindungi hak asasi manusia, dan untuk keadilan bersama. Bantuan hukum banyak jenisnya antara lain: a. Jenis dan Bentuk Bantuan Hukum Bantuan hukum mempunyai ciri dalam istilah yang berbeda seperti yang dilihat dibawah ini: 26 1. Legal Aid , pemberian jasa dalam bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu perkara. Pemberian jasa ini dilakukan secara cuma-cuma kepada yang tidak mampu. Motivasi utama dalam konsep Legal Aid adalah menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang tak mampu dan buta hukum. 26 Yahya Harahap, 2008, Pembahasan permasalahan dan Penerapan Kuhap Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 333 20 2. Legal Assistance, memiliki pengertian lebih luas dari Legal Aid karena pemberian bantuan hukum baik kepada mereka yang mampu membayar prestasi maupun pemberian bantuan kepada rakyat yang miskin secara cuma -cuma. 3. Legal Service (pelayanan hukum), memberi bantuan hukum kepada anggota masyarakat yang operasionalnya bertujuan menghapuskan kenyataan kenyataan diskriminatif dalam penegakkan hukum dan pemberian jasa bantuan hukum terhadap rakyat miskin yang berpenghasilan kecil. Bantuan hukum dianggap perlu dalam rangka kebijaksanaan pemerataan kesempatan memperoleh keadilan. Ruang lingkup bantuan hukum yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut adalah bantuan hukum dalam arti luas sehingga ruang lingkup kegiatan bantuan hukum tidak hanya semata-mata terbatas pada pembelaan di dalam proses peradilan saja, akan tetapi juga mencakup pembelaan di luar pengadilan, konsultasi, penyuluhan dan pendidikan hukum penelitian, rekomendasi dan penyebaran gagasan gagasan serta upaya upaya law ref orm.27 Adapun tujuan dan fungsi bantuan hukum menurut Adnan Buyung Nasution 28, Adanya bantuan hukum disamping memberikan pelayanan bantuan hukum disamping memberikan pelayanan bantuan hukum pada masyarakat yang membutuhkannya. 27 Abdul hakim dan Mulyana W Kusumah, 2000 , Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum : Kearah Bantuan Hukum Struktural, Alumni , Bandung, hlm. 56. 28 Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 16. 21 Lebih lanjut menurut Adnan Buyung Nasution, bantuan hukum berambisi untuk mendidik masyarakat dalam arti yang seluasluasnya dengan tujuan menumbuhkan dan membina kesadaran akan hak-hak sebagai subyek hukum. Bantuan hukum juga berambisi turut serta mengadakan pembaharuan hukum dan perbaikan pelaksanaan hukum disegala bidang. Tujuan bantuan hukum yang lain dalam hal ini adalah dalam perkara pidana hakekatnya adalah membela peraturan hukum, jangan sampai peraturan hukum tersebut salah atau tidak adil diterapkan terhadap suatu perkara sehingga menimbulkan keputusan yang tidak adil baik untuk terdakwa dan korban namun harus berdasarkan pada peraturan hukum yang berlaku karena tugas pembela atau bantuan hukum bukan membabi buta mati-matia n membela kesalahan terdakwa, akan teta pi adalah untuk menegakkan hukum keadilan, dan kebenaran dalam masyarakat. Pandangan berbeda diberikan oleh Yahya Harahap29 mengenai tujuan adanya bantuan hukum kepada masyarakat yang tersangkut perkara pidana pada hakekatnya adalah : 1) Memberikan bantuan hukum pada masyarakat miskin dan buta hukum 2) Menumbuhkan dan membina kesadaran masyarakat terhadap hakhak atau kewajiban. 3) Pembaharuan hukum sesuai perkembangan zaman. 4) Melindungi hak-hak tersangka atau terdakwa atau asasi manusia. 29 Yahya Harahap, 2001, Pembahsan Masalah dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan Banding , Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 337. 22 Tujuan pemberian bantuan hukum adalah : 1) Aspek kemanusiaan Dalam aspek kemanusiaan, tujuan dari program bantuan hukum ini adalah untuk meringankan beban (biaya) hukum yang harus ditanggung oleh masyarakat tidak mampu di depan pengadilan. Dengan demikian, ketika masyarakat golongan tidak mampu berhadapan dengan proses hukum di Pengadilan, mereka tetap memperoleh kesempatan untuk memperoleh pembelaan dan perlindungan hukum. 2) Peningkatan Kesadaran Hukum Dalam aspek kesadaran hukum, diharapkan bahwa program bantuan hukum ini akan memacu tingkat kesadaran hukum masyarakat ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Dengan demikian, apresiasi masyarakat terhadap hukum akan tampil melalui sikap dan perbuatan yang mencerminkan hak dan kewajibannya secara hukum. Selain memiliki tujuan bantuan hukum memiliki fungsi bantuan hukum. Tiga fungsi bantuan hukum menurut Frans Hendra Winata 30, di negara berkembang adalah : 1. Sarana dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin untuk mendapatkan kemungkinan melakukan penuntutan apa yang menjadi haknya. 2. Memberikan beberapa informasi agar supaya timbulnya kesadaran hukum masyarakat. 3. Sarana mengadakan pembaharuan. 30 Frans Hendra Winata, 2009, Op Cit, hlm. 26. 23 3. Bantuan Hukum untuk Anak sebagai Korban Tindak Pidana Anak adalah anugrah yang tidak ternilai yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap pasangan untuk dipelihara, dilindungi dan dididik. Anak adalah manusia yang masih mempunyai kemampuan fisik, mental dan sosial yang lebih lemah dibanding orang dewasa yang masih terbatas untuk mengatasi berbagai resiko dan bahaya yang dihadapinya da n secara otomatis masih bergantung pada pihak-pihak lain terutama anggota keluarganya untuk melindunginya. Perlindungan terhadap hidup dan penghidupan anak ini masih menjadi tanggung jawab berbagai pihak yaitu kedua orang tuanya, keluarganya, masyarakat dan juga yang terpenting negara. Perlindungan ini dapat berupa pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi tidak hanya sampai disitu, perlindungan yang diberikan terhadap seorang anak juga dapat berupa perlindungan terhadap psikologis atau mental dari anak yaitu terutama perkembangan kejiawaannya atau secara psikologis bahwa anak tersebut dapat berkembang dan hidup secara normal tidak hanya perkembangan fisiknya saja tetapi juga perkembangan jiwa atau psikisnya terutama saat anak harus berhadapan dengan hukum baik saat itu menjadi pelaku tindak pidana maupun korban tindak pidana. Bagaimanapun kenyataannya terdapat puluhan ribu anak yang tidak mampu menghadapi dan mengalami perlakuan buruk yang diterimanya dan bahkan mungkin jutaan anak yang telah ditelantarkan 24 dan tidak mendapatkan perlindungan atas hidupnya yang seharusnya ia dapatkan baik dari keluarganya, masyarakat sekitarnya dan bahkan dari negara. Padahal bagaimanapun anak adalah generasi penerus bangsa yang harus dilindungi dan dipelihara sebaik mungkin karena masa depan bangsa terletak di pundak anak-anak ini. Melihat kenyataan diatas maka perlu adanya bantuan yang diberikan pada anak agar anak tetap berkembang dengan baik terutama saat anak itu harus berhadapan dengan hukum dan posisi anak itu adalah korban tindak pidana. Sejuh ini bantuan hukum yang telah diatur secara umum KUHAP dan lebih khususnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum memang telah banyak menjelaskan dengan lengkap pengertian tentang bantuan hukum. Namun dalam KUHAP atau berbagai literatur sekalipun tidak ada yang menyebutkan secara khusus yang dimaksud dengan bantuan hukum untuk anak. Bantuan hukum untuk anak sebenarnya adalah bentuk dari perlindungan anak yang lebih sempit. Perlindungan anak itu sendiri adalah suatu usaha mengadakan kondisi dan situasi yang memungkinka n pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif, yang merupakan pula perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. dengan demikian perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang penghidupan dan kehidupan bernegara, 25 bermasyaraka t, dan berkeluarga berdasarkan hukum demi perlakuan benar, adil dan kesejahteraan anak. Dalam usaha perlindungan terhadap anak dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu : a. Perlindungan secara langsung Perlindungan secara langsung merupakan usaha yang langsung berkaitan dengan kepentigan anak antara lain pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan atau mengorbankan kepentingan anak disertai pengawasan agar anak berkembang dengan baik dan penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya dan luar dirinya. b. Perlindungan tidak langsung Dalam hal ini yang ditangani bukanlah anak secara langsung, tetapi para partisipan lainnya dalam perlindungan anak. Seperti orang tua, petugas, pembina, dan lain sebagainya. Usaha-usaha perlindungan anak yang tidak langsung terse but adalah sebagai berikut : 1. Mencegah orang lain merugikan kepentingan anak melalui peraturan perundang-undangan. 2. Meningkatkan pengertian tentang hak dan kewajiban anak. 3. Pembinaan mental , sosial para partisipan lain dalam rangka perlindungan anak. 4. Penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak. 31 Sedangkan dalam beberapa hal ada pula yang disebut dengan perlindungan khusus. Perlindungan khusus diberikan kepada kelompok anak sebagai pelaku dan anak sebagai korban tindak pidana merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Dapat diketahui bahwa bantuan hukum untuk anak hanya diatur di Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dijabarkan sebagai berikut : 31 Moch Faisal Salam, 2005, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 2-3. 26 Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Pada peraturan lain penerapan tentang bantuan hukum untuk anak diatur juga dalam hal Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi pemerintah Republik Indonesia dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang pengesahan convention of the right (konvensi tentang pengesahan hak-hak anak) yang berdasarkan isi hukumnya hak anak antara lain adalah hak untuk memperoleh bantuan hukum baik dalam pengadilan ataupun di luar pengadilan. 32 Korban terutama anak yang menjadi korban dalam suatu tindak pidana memiliki hak-hak khusus. Undang-Undang yang mengatur tentang hak korban hanya ada di Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berbunyi: “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya”. Anak dalam proses peradilan pidana perlu diberi perhatian agar hak-haknya tetap terpenuhi dan perlindungan ini dittekankan pada hak-hak mereka, karena secara hukum anak belum dibebani kewajiban. 33 Sehubungan dengan hal itu maka ada beberapa hak yang perlu diperhatikan dan diperjuangkan pelaksanaannya bersama-sama 32 Muhammad Joni dan Zulchaina Tanamas, 2000, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalm Perspektif Konvensi Hak Anak , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 70. 33 Ibid, hlm. 106. 27 terutama hak anak yang menjadi korban tindak pidana, yaitu antara lain: 1) Sebelum persidangan a) Hak mendapatkan pelayanan karena penderitaan fisik, mental, dan sosialnya, b) Hak diperhatikannya laporan yang disampaikannya dengan suatu tindak lanjut yang tanggap dan peka tanpa imbalan (kooperatif) c) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakantindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja. d) Hak untuk mendapatkan pendamping, penasihat dalam rangka mempersiapkan diri berpartisipasi dalam persidangan yang akan datang dengan prodeo. e) Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut-serta memperlancar pemeriksaan sebagai pelapor, saksi/korban. 2) Selama persidangan a) Hak untuk mendapatkan fasilitas untuk menghadiri sidang sebagai saksi/korban. b) Hak mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan dan kasusnya. c) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakantindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja. d) Hak untuk menyatakan pendapat. e) Hak untuk memohon ganti kerugian atas kerugian, penderitaannya. f) Hak untuk memohon persidangan tertutup. 3) Setelah persidangan a) Hak mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja. b) Hak atas pelayanan di bidang mental, fisik, sosial. 34 34 Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sisitem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 134. 28 B. Anak 1. Pengertian Anak Anak merupakan generasi penerus bangsa yang secara fisik dan mental belum matang dan dewasa sehingga perlu dilindungi lebih dari orang dewasa. Berbagai literatur memang menyebutkan batasan minimal dan maksimal seseorang dikateorikan sebagai anak-anak namun tidak ada yang keseragaman tentang pengertian anak, padahal keseragaman tentang pengertian anak itu penting mengigat banyaknya kasus yang menimpa pada anak-anak. Pengertian anak sendiri dalam hukum pidana lebih diartikan pada pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki substansi yang lemah dan di dalam sistem hukum dipandang sebagai subjek hukum yang dikaitkan dari bentuk pertanggung jawaban sebagaimana layaknya seorang subjek hukum yang normal.35 Sedangkan pengertian anak dalam hukum perdata adalah orang yag belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun atau bercerai sebelum berumur 21 (dua puluh satu) tahun, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 330 KUHPerdata. Sedangkan dalam disiplin ilmu lainnya seperti hukum adat adalah seseorang yang belum mencapai umur 15 (lima belas) tahun sebagaimana hal ini didasarkan pada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 01 Juni 1955 Nomor 53/SIP/1955. 35 Winika Indrasari, 2008, Peranan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, hlm. 15. 29 Pengertian anak berdasarkan konvensi hak-hak anak Tahun 1989, anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Pengertian anak menurut aspek sosiologis menunjukan anak sebagai mahluk sosial yang senantiasa berinteraksi dengan masyarakat. kedudukan anak memposisikan sebagai kelompok sosial yang status rendah dari masyarakat lingkungan interaksi. Pengelompokan pengertian anak makna sosial mengarahkan perlindungan kodrati karena keterbatasan anak sebagai wujud ekspresi orang dewasa. Faktor keterbatasan kemampuan karena anak berada proses pertumbuhan, proses belajar, sosialisasi dari usia yang belum dewasa. Pengertian anak yang lain menurut Zakiah Darajat36, “Masa sembilan tahun antara tiga belas dan dua puluh satu tahun sebagai masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa dimana anakanak mengalami pertumbuhan cepat di segala bidang dan dan mereka bukan lagi anak-anak baik bentuk badan, sikap, cara berfikir, dan bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa”. Pengertian anak menurut John Locke adalah anak merupakan pribadi yang bersih dan peka terhadap ransanganransangan yang berasal dari lingkungan. 36 Welly Catur Satioso, 2011, Fungsi Pendidikan Agama Islam Pada Anak Menurut Prof DR Zakiah Daradjat, Skripsi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, hlm. 29. 30 Pengertian anak menurut Agustinus adalah : Anak tidak sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian dari realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang sifatnya memaksa. Pengertian anak juga telah diatur di berbagai UndangUndang, antara lain : Pengertian anak menurut Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, dirumuskan bahwa : “Anak adalah orang laki-laki atau wanita yang berumur kurang dari 15 tahun” Pengertian anak menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pornografi, dirumuskan bahwa : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun” Pengertian anak menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dirumuskan bahwa: “Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih di dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya” Pengertian anak menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang P engadilan Anak , dirumuskan bahwa : “Anak adalah seseora ng yang belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin” 31 Pengertian anak menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak , dirumuskan : “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”. Pengertian anak yang diatur di Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dirumuskan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum ber usia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Anak pada dasarnya ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih 8-18 tahun dan melakukan tindak pidana setelah melampui batas usia 18 tahun hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, Hak Asasi Manusia, dan Beijing Rules. 37 Diantara banyak pengertian anak yang telah dikemukakan oleh para ahli maupun dikemukakan oleh undang-undang, maka dalam tulisan ini pengertian anak yang akan digunakan adalah pengertian anak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pengertian anak yang digunakan adalah yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dikarenakan dalam undang-undang tersebut menjamin dan melindungi hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan 37 Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Refika Aditama, Jakarta, hlm. 127. 32 berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan, kekerasan dan diskriminasi. 2. Macam Macam Status Anak Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga menyebutkan beberapa macam status anak serta pengertiannya, yaitu : 1) “Anak yang berhadapan de ngan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. 2) Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 3) Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. 4) Anak yang menjadi saksi tindak pidana anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.” Pengertian anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang terpaksa berkonflik dengan sistem peradilan pidana karena : a) disangka, didakwa atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, atau b) telah menjadi korban akibat perbuatan/pelanggaranyang dilakukan orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya, atau 33 c) telah melihat, mendengar, merasakan atau megetahui suatu perbuatan/pelanggaran hukum. 38 Anak yang berhadapan dengan hukum dalam UndangUndang Pengadilan Anak dibatasi hanya pada anak sebagai tersangka, terdakwa atau pelaku tindak pidana. Pengaturan mengenai anak dalam Undang-Undang tersebut, tidak mencakup anak yang menjadi korban atau saksi suatu tindak pidana. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak hanya mencakup mekanisme peradilan pidana bagi anak dalam posisinya sebagai tersangka, terdakwa, atau pelaku tindak pidana. Mekanisme tersebut pun sebagian besar masih mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, misalnya pada ketentuan proses penyidikan, upaya paksa, alat bukti, proses persidangan hingga upaya hukum. Luputnya perhatian pembuat kebijakan terhadap anak sebagai saksi dan korban tindak pidana berlanjut dalam revisi UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang oleh pemerintah dan sejumlah masyarakat pemerhati anak diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang nantinya akan mulai dijalankan 2 tahun dari sekarang atau 30 Juli 2014. Selain itu ada permasalahan besar dalam praktik perlindungan anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Ada 38 Hosianna M, 2012, Perlindungan Hukum Terhadap Anak sebagai Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Yang Dilakukan Oleh Anak, Varia Peradilan, Majalah Hukum No. 325 Desember 2012, hlm. 48. 34 kesenjangan teramat besar antara kerangka konseptual dan kerangka kebijakan penanganannya dengan praktik yang terjadi di banyak tempat di Indonesia. Konsep dan kebijakan penanganan untuk anak yang berhadapan dengan hukum yang disepakati oleh para pemangku kebijakan adalah seharusnya kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum tidak dibawa ke proses hukum forma l (persidangan hingga vonis pidana). Namun, kenyataannya dalam kasus anak yang berhadapan dengan hukum sekitar 90 persen diproses di pengadilan dan berakhir dengan vonis pidana. Hanya 10 persen yang tidak. Ini menunjukan betapa mengkhawatirkan penanganan dan perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum. Konsep penanganan pada anak yang berhadapan dengan hukum seharusnya tidak lagi menggunakan retributive justice namun harus lebih mengedepankan demi kepentingan korban yakni restorative justice. Restorative Justice yang berarti penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaa n semula, dan bukan pembalasan. Restorative Justice sebagai system yang digunakan terutama di dalam perkaraperkara yang berhubungan dengan anak terdiri dari berbagai cara. Cara-cara yang digunakan antara lain diskresi, media penal maupun 35 diversi. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak cara yang digunakan adalah menggunakan Diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana atau ada pula yang memberi pengertian sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem pidana. Selanjutnya konsep diversi akan sesuai dengan restorative justice, jika : a. Mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya b. Memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban. c. Memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses dari mulai penyidikan hingga vonis pidana. d. Memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga. e. Memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan peyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.39 Konsep diversi semakin penting untuk penanganan kasus -kasus anak mengingat setiap anak yang berhadapan dengan hukum memiliki penanganan yang berbeda baik saat menjadi pelaku, korban maupun saksi. Secara umum variabel penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum adalah : 1. Penyelesaian perkara anak 2. Perlindungan dari kerentanan anak 3. Rehabilitasi dan retigrasi anak 4. Pemenuhan kebutuhan dasar akan pemeliharaan. 40 39 Ade Rahmad Setyaji, 2011, Implementasi Diversi dalam Sistem Peradilan Anak, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Surabaya, hlm. 29. 36 Dan yang perlu menjadi catatan dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum adalah : 1. Prosedur ramah anak dan peka gender dalam sistem peadilan formal 2. Perlu membangun lingkungan yang melindugi bagi anak yang berhadapan dengan hukum. 3. Diversi kepada mekanisme berbasis keluarga dan masyarakat. 4. Pencegahan dan rehabilitasi dan reintegrasi yang kondusif.41 Adapun hak-hak yang didapat dari anak yang berhadapan dengan hukum antara lain : 1. Setiap anak berhak mendapatkan bantuan hukum dari seseorang atau lebih penasehat hukum (penyediaan petugas pendampingan khusus anak sejak dini) dimulai dari tingkat pemeriksaan hingga vonis pidana. Anak, orang tua dan atau wali berhak diberitahukan adanya hak untuk mendapat bantuan hukum, dan berhak berhubungan langsung dengan penasehat hukum dengan diawasi tanpa pejabat yang berwenang. 2. Hak untuk medapatkan perlakua yang layak dan manusiawi sesuai dengan martaba t dan hak-hak anak. 3. Hak untuk dapat mengikuti pendidikan sekolah selama berstatus sebagai klien masyarakat (sedang menjalani pidana bersyarat). 4. Hak untuk dipenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosial selama anak selama masa penahanan dan menjalani hukuman. 5. Berhak mendapat pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya selama berada dalam lembaga permasyarakatan. 6. Hak untuk berkorespondensi dan menerima kunjungan atau dengan kata lain hak pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga. 7. Hak penyediaaan sarana dan prasarana khusus 8. Hak penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepetingan yang terbaik bagi anak. 40 Peradilananak.blogspot.com/2013/05/artikel-peradilan -anak.html. Diakses 28/06/2013 Pukul 20.00 41 Ibid 37 9. Hak pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum. 10. Hak perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menhgindari labelisasi. 42 3. Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Setelah melihat pengertian dan macam-macam status anak seperti penjelasan diatas. Maka dapat dikatakan Anak dalam sistem peradilan pidana atau yang lebih dikenal dengan sebutan anak yang berhadapan dengan hukum terbagi atas tiga kategori, yaitu Anak sebaga i Pelaku Tindak Pidana (selanjutnya disebut Anak yang Berkonflik dengan Hukum), Anak sebagai Korban Tindak Pidana dan Anak sebagai saksi suatu tindak pidana. Konvensi hak anak secara tegas menjamin perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dan termasuk pula di dalamnya adalah anak sebagai korban tindak pidana, sebagaimana yang tertera dalam Pasal 37 dan 40 Konvensi Hak Anak. Seperti yang sudah dijabarkan pada penjelasan sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana adalah anak yang telah mengalami penderitaan fisik atau psikis atau seksual atau sosial sebagai akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan orang atau kelompok orang atau lembaga atau negara. Korban tindak pidana yang lingkupnya lebih sempit dikembangkan menurut KOMNAS Anak dan beberapa Lembaga 42 Bangopick.wordpress.com/2008/12/17perlindungan-anak -yang-berhadapan -denganhukum/ Diakses 19/06/2013 Pukul 20.00 38 Bantuan Hukum yang peduli pada permasalahan anak. Menurutnya yang dimaksud dengan anak sebagai korban bukan hanya yang dimaksud dengan anak yang menjadi korban tindak pidana tapi anak sebagai pela ku juga dapat dikatakan sebagai korban. Anak yang melakukan tindak pidana memang melanggar hukum positif, menganggu ketertiban sosial bahkan mungkin perilaku anak tersebut mendatangkan kematian orang lain namun pelaku anak tersebut sesungguhnya merupakan korban. Korban dari perlakuan salah orang tuanya, korban dari kebijakan pemerintah atau dia korban dari lingkungan sosial yang memberi tekanan psikis sehingga anak tersebut melakukan sesuatu yang seharusnya belum atau tidak dilakukan. 43 Salah satu dari hak anak sebagai korban tindak pidana adalah adanya pemberian bantuan hukum. Dalam setiap proses pemeriksaan, anak harus mendapatkan bantuan hukum. Bantuan hukum selain merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban kejahatan adalah bantuan hukum merupakan hak konstitusional dan hak asasi setiap anak yang berhadapan dengan hukum yang harus dipenuhi oleh negara. Pemberian bantuan hukum terhadap korban kejahatan khususnya anak haruslah diberikan hak diminta ataupun tidak diminta oleh korban. Hal ini penting, mengingat masih rendahnya tingkat 43 http://hadi-supeno.com/artikel-anak/93-perspektif-perlindungan-anak-danimplementasinya-di-indonesia.html. Diakses 02/05/2013 Pukul 20.00 39 kesadaran hukum dari sebagian besar korban yang mederita kejahatan ini. Sikap membiarkan korban kejahatan tidak memperoleh bantuan hukum yang layak dan bantuan hukum yang tidak dipenuhi secara tepat dan benar akan sangat berpengaruh pada proses pembuktian serta vonis hakim dan dapat berakibat pada semakin terpuruknya kondisi korban kejahatan anak karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 merumuskan bahwa setiap anak yang menjadi korban tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Pentingnya bantuan hukum dalam sistem peradilan pidana anak terlihat dari kewajiban yang dibebankan pada aparat penegak hukum untuk memberitahukan hak ini kepada anak dan orang tua atau wali, mengenai hak ini. Hak ini harus dipenuhi pada setiap tingkat pemeriksaan tanpa terkecuali. Untuk memenuhi hak-hak ini, Komite Hak-Hak Anak PBB pun merekomendasikan negara para peserta PBB untuk menyediakan sebanyak mungkin pengacara atau paralegal yang ahli dan terlatih untuk memberikan bantuan hukum terhadap anak. Selain bantuan hukum Konvensi Hak Anak juga mengatur agar negara menjamin setiap anak yang berkonflik dengan hukum memiliki akses terhadap bantuan lain yang tepat dalam mempersiapkan dan menyampaikan pembelaannya. Sedemikian pentingnya bantuan hukum dan bantuan lainnya, hingga di internal kepolisian terdapat 40 aturan yang mengikat dan wajib dijalankan oleh para penyidik untuk menyediakan pendamping dan/atau penasihat hukum dan atau/ psikolog bagi anak. Lihat peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan atau Korban Tindak Pidana. Dan semua bantuan hukum dan bantuan lain tersebut haruslah diberikan secara gratis atau prodeo. Selain adanya bantuan hukum, upaya perlindungan hukum atau hak bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Anak, dilaksanakan melalui : 1) Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga. 2) Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. 3) Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial. 4) Pemberian aksesbilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. C. Komisi Nasional Perlindungan Anak Perlindungan anak yang menjadi masalah penting bagi orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Dalam hal ini negara dituntut untuk mampu memberikan kenyamanan dan perlindungan yang laya k bagi semua anak tanpa terkecuali. Melihat banyaknya permasalahan yang terjadi pada anak terutama saat anak itu harus berhadapan dengan hukum membuat negara harus tanggap untuk mampu menyelesaikan segala permasalahan yang ada. 41 Negara dalam hal ini harus secepatnya turun tangan untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak yang mengalami berbagai masalah yang dapat menghambat hidupnya, salah satu tindakan negara untuk menyelamatkan anak-anak yang mengalami berbagai masalah yang dapat menghambat perkembangan hidupnya adalah dengan dibentuknya lembaga -lembaga yang peduli dengan anak karena permasalahan anak sekalipun itu jadi tugas negara tapi juga menjadi permasalahan yang membutuhkan perhatian dari banyak pihak. Salah satu lembaga yang memperjuangkan hak-hak anak yang memberikan perlindungan terhadap anak, baik hak hidup, hak sipil, hak tumbuh kembang dan hak berpartisipasi sesuai dengan keinginan, bakat, minat dan kebutuhannya terutama saat anak menjadi korban diperjuangkan ole h Komisi Nasional Perlindungan Anak (selanjutnya disebut KOMNAS Anak). KOMNAS Anak awal mulanya didirikan pada tanggal 26 Oktober 1998 di Jakarta dengan dibantu oleh LPA (Lembaga Perlindungan Anak) di 31 daerah baik itu kabupaten maupun provinsi dan dikukuhkan melalui Surat Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 81/HUK/1997 tentang Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak Pusat dengan tujuan memantau, memajukan, dan melindungi hak anak, serta mencegah berbagai kemungkinan pelanggaran hak anak yang dilakukan oleh negara, perorangan, atau lembaga.44 44 Id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Nasonal_Perlindungan_Anak. Diakses 10/06/2013 Pukul 20.00 42 Adapun peran dari KOMNAS Anak yang berhubungan dengan pemberian bantuan hukum untuk anak adalah melakukan pemantauan dan pengembangan pendampingan perlindungan pelaksanaan anak, hak-hak melakukan anak, advokasi menerima dan pegaduan pelanggaran hak-hak anak, serta memberikan pelayanan bantuan hukum untuk beracara di pengadilan mewakili kepentingan anak . Sedangkan fungsi dari KOMNAS Anak sendiri adalah melakukan pengumpulan data atau informasi terhadap pelanggaran hak anak dan Melakukan perlindungan khusus pada anak-anak. Salah satu peran dari KOMNAS Anak seperti yang dijabarkan diatas adalah sebagai lembaga pelayanan bantuan hukum untuk beracara di Pengadilan mewakili kepentingan anak. KOMNAS Anak sebagai lembaga pelayanan bantuan hukum dapat diartikan sebagai pemberi bantuan hukum. Pemberi bantuan hukum tidak melulu pengacara. Karena menurut Abdurahman dalam bukunya, mereka -mereka yang akan memberi bantuan hukum dan pembelaan perkara di muka persidangan oleh Mahkamah Agung dalam keputusannya tanggal 22 Juli 1972 No.5/KMA/1972 dikategorikan kedalam tiga golongan masing-masing sebagai berikut : 1. Pengacara (advokat/procureur) yaitu mereka yang sebagai mata pencaharian menyediakan diri sebagai pembela dalam perkara pidana atau kuasa/wakil dari pihak-pihak dalm perkara perdata dan yang telah mendapat surat pengangkatan dari Departemen Kehakiman. 2. Pengacara Praktek, yaitu mereka yang sebagai mata pencaharian menyediakan diri sebagai pembela atau kuasa/wakil dari pihak-pihak yang berperkara, akan tetapi tidak termasuk dalam golongan tersebut diatas. 3. Mereka yang karena sebab-sebab tertentu secara insidentil membela atau mewakili pihak-pihak yang berperkara. 43 Jika diartikan secara luas golongan-golongan yang memberi bantuan hukum KOMNAS Anak dapat dimasukkan dalam golongan yang ketiga karena mereka memiliki tujuan tertentu untuk ikut memberi bantuan hukum, dalam hal ini sesuai tujuan utama dari KOMNAS Anak yaitu untuk memantau, memajukan, dan melindungi hak anak, serta mencegah berbagai kemungkinan pelanggaran hak anak yang dilakukan oleh negara, perorangan, atau lembaga. Implementasi bantuan hukum oleh KOMNAS Anak kepada anak sebagai korban tindak pidana sesua i dengan ketentuan di Pasal 18 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa : Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Pemberian bantuan hukum oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak obyek perlindungannya adalah anak-anak yang mengalami masalah hukum. Memang tidak hanya untuk anak korban tindak pidana karena sebenarnya pelaku tindak pidana anak juga termasuk korban. Anak ya ng melakukan tindak pidana memang melanggar hukum positif, menganggu ketertiban sosial bahkan mungkin perilaku anak tersebut mendatangkan kematian orang lain namun pelaku anak tersebut sesungguhnya merupakan korban. Korban dari perlakuan salah orang tuanya, korban dari kebijakan pemerintah atau dia korban dari lingkungan sosial yang memberi tekanan psikis sehingga anak tersebut melakukan sesuatu yang seharusnya belum 44 atau tidak dilakukan. 45 Pemberian bant uan hukum oleh KOMNAS Anak batasannya adalah anak yang sesuai dengan Undang-Undang Tahun 23 Tahun 2002 yaitu seseorang yang berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Pentingnya pemberian bantuan hukum untuk anak sebagai korban tindak pidana selain karena merupakan hak dari seorang anak yang diatur oleh perundangan juga karena karena anak yang masuk dalam persidangan terutama korban belum tentu mengerti tentang hukum dan anak sebagai korban memiliki trauma fisik serta psikis yang perlu dilindungi secara lebih dan perlu mendapatkan keadilan yang dapat dibantu oleh pemberi bantuan hukum. Pemberian bantuan pada anak sendiri yang dilakukan oleh KOMNAS Anak bukan hanya menjadi ikut beracara di pengadilan tapi menerima pengaduan, konsultasi hukum dan sedapat mungkin anak tidak harus masuk peradilan. Untuk anak yang masuk dalam lingkup peradilan KOMNAS Anak akan membantu mengawal hingga masalahnya selesai. KOMNAS Anak sendiri merupakan suatu lembaga negara non pemerintah yang memberi perlindungan kepada anak yang sekarang diketuai oleh Arist Merdeka Sirait. Dalam pelaksanaan tugasnya untuk memberikan bantuan hukum pada anak sebagai korban tindak pidana, KOMNAS Anak pasti memiliki beberapa hambatan. Hambatan adalah halangan, rintangan atau keadaan yang sulit yang harus ditempuh untuk 45 http://hadi-supeno.com/artikel-anak/93-perspektif-perlindungan -anak-danimplementasinya-di-indonesia.html. Diakses 02/05/2013Diunduh 20.00. 45 mencapai suatu tujuan. Hambatan yang dialami oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak terutama soal pendanaan. Dalam hal pendanaan bila komisi lain yang sejajar dengan Komisi Negara maka akan ada pendanaan khusus dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) seperti yang diterima oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (selanjutnya disingkat menjadi KPAI), sedangkan KOMNAS Anak hanya untuk memperoleh dana untuk membiayai operasional serta program-program nya dari hasil kerja sama dengan para donor asing. 46 46 Http://liapadma.wordpress.com/2009/07/23/anak-dan-instrumen-perlindungan-hukum di-Indonesia. Diakses 30/04/2013 Pukul 20.00. 46 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis. Yuridis sosiologis yaitu pendekatan yang memandang hukum sebagai suatu fenomena sosial yang dalam interaksinya tidak terlepas dari faktorfaktor non hukum. 47 Dipilihnya penelitian kualitatif ini didasarkan alasan bahwa: (1) hukum dalam penelitian ini diartikan sebagai makna-makna simbolik sebagaimana termanifestasikan dan tersimak dalam dan dari aksi-aksi serta interaksi warga masyarakat; (2) agar dapat mengungkap dan mendapatkan makan yang mendalam dan rinci terhadap obyek penelitian dari informan. 48 Dalam hal ini makna implementasi pemberian bantuan hukum untuk anak korban tindak pidana yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak berdasarkan pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penelitian ini akan mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi kehidupan masyarakat itu sendiri yang menekankan pada pencarianpencarian, keajegan-keajegan empirik dengan konsuekensi mengacu pada hukum tertulis juga mengadakan observasi terhadap tingkah laku yang 47 Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodologi Penulisan Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 11. 48 Sutandyo Wignyosoebroto, 2006, Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya, Makalah Lokakarya, Yayasan Dewi Sartika, Semarang. 47 benar-benar terjadi. Penelitian dengan metode pendekatan yuridis sosiologis ini merupakan penelitian kualitatif. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini penulis menggunakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang tarafnya semata-mata hanya melukiskan keadaan suatu objek atau peristiwa tanpa maksud mengambil kesimpulan secara umum. Dalam pengertian lain deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh informan secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. 49 Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifatsifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dala m masyarakat.50 Deskriptif dapat diartikan sebagai suatu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana keadaannya. Pada penelitian ini penulis akan menggambarkan bagaimana KOMNAS Anak memberikan bantuan hukum pada anak khususnya anak korban tindak pidana. 49 Soerjono Soekanto, 2005, Pengantar Penelitian Hukum , UI-Press, Jakarta, hlm. 250. Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit, hlm . 25. 50 48 C. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan mendasarkan pada alasan-alasan rasional dan keperluan informasi. Lokasi penelitian akan dilakukan di Komisi Nasional Perlindungan Anak di DKI Jakarta. D. Jenis Data Data yang diperlukan untuk dipakai dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. 51 1) Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni penelitian pada Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal di Komisi Nasional Perlindungan Anak dan korban anak yang terdata di Komisi Nasional Perlindungan Anak, salah satunya siswa-siswa dari SDN 4 Beji, Depok yang melakukan pengaduan di Komisi Nasional Perlindungan Anak. 2) Data Sekunder Data sekunder adalah data yang bersifat kepustakaan yang terbagi atas beberapa jenis yaitu : a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer, yaitu bahan bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari norma atau kaidah dasar yakni pembukaan undang-undang dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan 51 Bambang Sunggono, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 114. 49 misalnya hukum adat, yurisprudensi, traktat dan bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku misalnya KUHP dan KUHPerdata. Peraturan perundangundangan yang digunakan sebagai bahan hukum primer oleh penulis adalah : a) Undang-Undang Dasar 1945 b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, rancangan peraturan pemerintah, hasil penelitian (hukum), hasil karya (ilmiah) dari kalangan hukum, jurnal-jurnal hukum, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan sebagainya. Dala m penulisan ini bahan hukum sekunder yang digunakan penulis adalah buku-buku yang berkaitan dengan bantuan hukum dan anak serta artikelartikel yag diambil dari situs-situs internet. 50 c. Bahan hukum tersier bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. E. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu studi dokumen atau bahan pustaka dan wawancara atau interview : 1) Terhadap data primer dipergunakan metode wawancara. Untuk metode wawancara, peneliti menggunakan jenis wawancara semi terstruktur. Wawancara semi terstruktur adalah jenis wawancara campuran antara wawancara terstruktur yang untuk mengetahui informasi baku dimana peneliti memiliki panduan wawancara berjalan mengalir sesuai topik. 52 Untuk metode observasi penulisan ilmiah ini menggunakan jenis observasi tidak terlihat. Sehingga dalam penelitian ini peneliti tidak terlibat langsung dalam kegiatan yang dilakukan oleh yang diamati. 53 2) Terhadap data sekunder, dipergunakan metode studi kepustakaan, dan studi dokumen terhadap peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah, dan buku buku literatur. Data sekunder ini diperlukan sebagai data pendukung dari penelitian. 52 53 Sugiyono, 2008, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, hlm. 74. Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit, hlm. 55. 51 a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer diperoleh dengan cara studi pustaka yaitu mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan yang diinventarisasi, diklasifikasi dan direlevansikan yang ada kaitannya dengan bantuan hukum untuk anak dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang selanjutnya dikaji secara keseluruhan. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder diperoleh dengan cara ,melakukan inventarisasi terhadap buku literatur, dokumen dan artikel sebagai bahan yang diperoleh, dicatat kemudian dipelajari berdasarkan relevansi-relevansinya dengan pokok permasalahan yang diteliti yang selanjutnya dilakukan pengkajian sebagai satu kesatuan yang utuh. Sehingga dalam penelitian ini bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang akan digunakan kemudian dikumpulkan dengan menggunakan metode kepustakaan dan dokumenter. 1. Metode Kepustakaan adalah suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran terhadap bahan pustaka (literature, perundang-undangan, hasil penelitian, majalah ilmiah, bulletin ilmiah, jurnal ilmiah, dsb) 52 2. Metode dokumenter adalah suatu cara pegumpulan bahan dengan menelaah terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun non-pemerintah( putusan pengadilan, perjanjian, surat keputusan, memo, konsep pidato, buku harian, foto, risalah rapat, laporan-laporan, mass media, internet, pengumuman, intruksi, aturan suatu instansi, publikasi, arsip-arsip ilmiah, dsb). 54 F. Metode Penyajian Data Data yang diperoleh dari informan penelitian melalui wawancara maupun data-data pendukung akan disajikan dalam bentuk teks naratif dan disusun secara sistematis sebagai kesatuan yang utuh. G. Metode Penentuan Informan Proses penentuan sample dalam penelitian ini menggunakan Purposive Sampling, Snowball Sampling , dan Criterian Based Selection. 55 Purposive Sampling adalah teknik pengambilan sample secara sengaja. Maksudnya, peneliti menentukan sendiri sampel yang diambil karena ada pertimbangan tertentu. 56 Snowball Sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula -mula jumlahnya kecil, kemudian sampel ini disuruh memilih teman-temannya untuk dijadikan sampel. 57 Kemudian yang dimaksud dengan Criterian Based Selection adalah pemilihan subyek 54 Tedi Sudrajat, 2010, Mata Kuliah Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, hlm. 12. 55 HB. Sutopo, 2000, Suatu Pengantar Kualitatif Dasar Teori dan Praktek, Pusat Penelitian UNS, Surakarta, hlm. 2. 56 Sugiyono, 2001, Statistika untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung, hlm. 61 57 Ibid, hlm. 61. 53 penelitian yang didasarkan pada asumsi bahwa subjek tersebut sebagai aktor dalam tema penelitian yang diajukan. 58 Melalui pengambilan sample menggunakan Purposive Sampling dengan Criterian Based Selection, maka peneliti cenderung memilih narasumber yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalah secara mendalam. H. Metode Validitas Data Cara yang digunakan untuk menguji validitas atau kebenaran data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan triangulasi. Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. 59 I. Metode Analisa Data Metode analisa data menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara 58 Ibid, hlm. 61. Lexy J. Moleong, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif edisi revisi, PT Remaja Rosada Karya, Bandung, hlm. 330. 59 54 tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. 60 Soerjono Soekanto, Op. Cit , hlm. 250. 60 55 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penyajian hasil dari penelitian pada skripsi ini dibagi menjadi dua yaitu, hasil penelitian yang bersumber pada data sekunder dan hasil penelitian yang bersumber pada data primer. Data primer adalah data yang diambil langsung dari informan dalam hal ini adalah Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal dari Komisi Nasional Perlindungan Anak dan keterangan dari para korban selaku korban anak. Sedangkan yang dimaksud data sekunder adalah data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, literaur -literatur serta doktrin-doktrin yang berkaitan dengan permasalahan yang pada penelitian ini. Pemberian bantuan hukum yang dimaksud dalam penelitian disini adalah bantuan hukum yang diberikan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat dengan KOMNAS Anak) kepada korban-korban tindak pidana terutama dalam tindak pidana seksual yang terjadi di Jabodetabek. A. Hasil Penelitian Data Sekunder 1. Pemberian Bantuan Hukum untuk Anak sebagai Korban Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum tidak dijelaskan adanya bantuan hukum untuk anak. Dalam hal pengertian bantuan hukum yang ada dalam undang-undang tersebut lebih mengarah ke bantuan hukum untuk masyarakat tidak mampu. 56 Anak dalam hal ini anak korban tindak pidana lebih dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berikut Pasal-Pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur adanya bantuan hukum. a. Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 Sebagai negara hukum seperti yang tercantum pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Indonesia sudah memberikan payung perlindungan hukum untuk seluruh masyarakat Indonesia. Terjaminnya perlindungan hukum tersebut diuraikan pada Pasal-Pasal berikut : Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Secara tersirat maka dapat diketahui bahwa perlakuan yang sama di hadapan hukum maupun pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum itu bukan hanya antara yang mampu ddan tidak mampu, namun penulis melihat lebih luas bahwa persamaan di muka hukum ini termasuk juga mengenai kedudukan terdakwa dan korban yang tidak seimbang. Korban yang dalam Sistem Peradilan Pidana hanya sebagai hiasan bukan aktor utama sehingga hak mereka kadang terlewatkan termasuk hak mereka untuk mendapatkan bantuan hukum. 57 Secara luas maka setiap warga negara mempunyai hak untuk dibela (acces to legal counsel), hak diperlakukan sama dimuka hukum (equality before the law) dan hak untuk mendapatkan keadilan (access to justice).61 b. Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Bantuan hukum diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) namun dalam KUHAP bantuan hukum hanya diberikan untuk tersangka atau terdakwa sedangkan pengaturan bantuan hukum untuk korban bahkan khususnya korban anak tida k diatur di KUHAP. Dalam KUHAP bantuan hukum diatur di Pasal 54 yaitu : “Guna kepentigan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”. c. Undang -Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Bantuan hukum juga sudah diundangkan dari sejak dikeluarkannya Undang-Undang Hak Asasi Manusia karena bantuan hukum pada dasarnya adalah hak asasi manusia dalam hal ini bantuan hukum merupakan cerminan dari seorang manusia tidak boleh untuk disiksa dan merupakan cerminan dari asas 61 Frans Hendra Winarta, 2011, Bantuan Hukum Di Indonesia Hak Untuk Didampingi Penasehat Hukum Bagi Semua Warga Negara, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, hlm. 147. 58 equality before the la w. Bantuan hukum secara tersirat tercantum pada Pasal 4 Undang-Undang ini Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu : “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya didepan umum”. Dan diatur pula di Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu : “Setiap orang yang diperiksa berhak mendapat bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap”. Bantuan hukum pada undang-undang ini juga tidak mengatur tentang bantuan hukum untuk korban anak. Bantuan hukum dalam hal ini lebih mengacu pada tersangka atau terdakwa . d. Undang -Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang merupakan pemberi bantuan hukum maka dalam undang-undang ini diatur pula Pasal tentang bantuan hukum. Pengaturan tentang bantuan hukum diatur di Pasal 22 UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yaitu: “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cumacuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”. Pengertian bantuan hukum sendiri dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat diatur di Pasal 1 Ayat (9) sebagai berikut : 59 “Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu”. Lebih lanjut yang dimaksud dengan jasa hukum yang diberikan oleh Advokat diatur di Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum sebagai berikut : “Jasa hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”. Pengaturan pada undang-undang ini adalah arahnya kepada tugastugas advokat sedangkan bantuan hukum atau jasa hukum yang dibahas dalam undang-undang ini mengeanai bantuan hukum untuk masyarakat tidak mampu bukan pada tersangka atau terdakwa dan korban apalagi korban anak. e. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Dalam rangka pemenuhan hak-hak untuk saksi dan korban maka pemerintah membuat Undang-Undang untuk saksi dan korban. Undang-Undang ini mengatur adanya bantuan hukum untuk saksi dan korban tapi dalam lingkup yang sempit sehingga hak yang didapat oleh saksi dan korban dalam undang-undang ini hanya berupa nasihat-nasihat hukum. Pasal yang mengamanatkan untuk pemberian bantuan hukum kepada korban ialah Pasal 5 ayat (1) huruf l yaitu korban 60 berhak mendapatkan nasihat hukum. Sedangkan ganti rugi yang lain untuk korban lebih ke arah materi atau rehabilitasi. Korban disini pun tidak dijelaskan secara rinci, hanya korban yang sifatnya lemah dalam sistem peradilan pidana. f. Undang -Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pengaturan tentang bantuan hukum meskipun bukan untuk anak namun secara umum bantuan hukum dapat dimintakan untuk yang berperkara di pengadilan baik itu sebagai tersangka atau terdakwa maupun sebagai korban. Pengaturan bantuan hukum pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman diatur pada Pasal 56 ayat (1) yaitu : “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”. Menurut penjelasan pada Pasal 56 Undang-Undang tersebut yang dimakud dengan bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum (secara cuma-cuma) yang meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan (yang tidak mampu). Penulis mengartikan bahwa bantuan hukum yang dapat diperoleh bukan hanya untuk tesangka atau terdakwa karena yang 61 dimaksud dengan orang yang tersangkut perkara bukan hanya untuk tersangka atau te rdakwa tapi juga untuk korban. g. Undang -Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum Keseriusan pemerintah untuk menciptakan keadilan yang lebih merata pada seluruh lapisan masyarakat dengan konsep hak untuk dibela (acces to legal counsel), hak diperlakukan sama dimuka hukum (equality before the law) dan hak untuk mendapatkan keadilan (access to justice) terlihat lebih nyata dengan disahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Undang-Undang ini secara khusus mengatur segala hal yang berhubungan dengan bantuan hukum. Meskipun bantuan hukum dalam Undang-Undang ini lebih mengarah kepada orang yang tidak mampu. Bantuan hukum sendiri dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 diatur di Pasal 1 Angka 1 yaitu : “Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum”. Diatur lebih lanjut dalam undang-undang yang sama, UndangUndang Nomor 16 Tahun 2011 pada Pasal 4 ayat (1) : “Bantuan hukum diberikan kepada penerima bantuan hukum yang menghadapi masalah hukum”. Dan masih pada undang-undang yang sama, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Pasal 4 ayat (3) yaitu : 62 “Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum”. Seperti yang sudah penulis bahas pada penjelasan sebelumnya Undag-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum adalah undang-undang yang tidak menjelaskan lebih rinci adanya bantuan hukum untuk korban apalagi korban anak. UndangUndang ini lebih mengedepankan adanya bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum yang tidak mampu. h. Undang -Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan perkembangan dari UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang lebih mengarah pada adanya pemidanaan penjara untuk anak sedangkan seharusnya untuk kasus-kasus yang terjadi pada anak yang harusnya lebih dikedepankan adalah diversi atau lebih mengarah ke keadilan restoratif. Undang-Undang ini akan mulai berlaku 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan yaitu 30 Juli 2014. Tentang perlunya bantuan hukum khususnya bantuan hukum yang diberikan untuk anak dijelaskan di Pasal 3 Undang-Undang ini yaitu : “Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak : a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memeperhatikan kebutuhan sesuai dengan umumnya; 63 b. Dipisahkan dari orang dewasa; c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnnya secara efektif; d. Melakukan kegiatan rekreasional; e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta meredahkan derajat da martabatnya; f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; g. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; h. Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; i. Tidak dipublikasikan identitasnya; j. Memperoleh pendampingan orangtua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak; k. Memperoleh advokasi sosial; l. Memperoleh kehidupan pribadi; m. Memperoleh aksesbilitas, terutama bagi anak cacat; n. Memperoleh pendidikan; o. Memperoleh pelayanan kesehatan; p. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peratura perundang-undangan”. Dalam Pasal tersebut huruf C disebutkan adanya bantuan hukum untuk anak dalam proses peradilan pidana. Penulis mengartikan anak dalam proses peradilan pidana anak adalah anakanak yang berhadapan dengan hukum, sehingga anak disana dapat berarti pelaku, korban maupun pelaku. Adapun pengaturan khusus pada BAB VII Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu pengaturan Pasal-Pasal tentang anak kor ban dan anak saksi. Salah satu pasal yang secara tersirat menjelaskan tentang hak anak sebagai korban untuk mendapatkan bantuan hukum adalah pada 64 Pasal 89 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu : “Anak Korban dan/atau Anak Saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dalam hal ini perlindungan anak yang dapat dikembangkan secara luas maka bantuan hukum untuk anak merupakan salah satu bentuk dari perlindungan hukum. i. Undang -Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Satu-satunya undang-undang yang secara jelas menyatakan adanya bantuan hukum untuk anak khususnya untuk anak sebagai korban tindak pidana terdapat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan : “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya”. Bantuan lain yang tertulis pada penjelasan Pasal 18 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah termasuk bantuan medik, sosial, rehabilitasi, vokalisasi, dan pendidikan. 65 j. Konvensi Hak Anak Awal mula adanya perlindungan anak yang akhirnya dkhususkan pula adanya bantuan hukum untuk anak adalah saat Konvensi Hak Anak diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang pengesahan convention of the right (konvensi tentang pengesahan hak-hak anak) yang konsekuensi dari diratifikasinya konvensi tersebut harus menegakkan hak-hak anak. Berdasarkan isi hukumnya hak-hak anak secara terperinci yang tertulis dalam convention of the right (konvensi tentang pengesahan hak-hak anak) adalah sebagai berikut : 1) Hak memperoleh perlindungan dari segala bentuk diskriminasi dan hukuman 2) Hak memperoleh perlindungan dan perawatan atas kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan. 3) Hak atas jaminan negara atas penghormatan tanggung jawab, hak dan kewajiban orang tua dan keluarga. 4) Negara mengakui hak hidup anak, serta kewajiban negara menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup anak. 5) Hak memperoleh kebangsaan (nasionality), nama dan hubungan keluarga. 6) Hak memelihara identitas diri termasuk termasuk kebangsaan, nama, dan hubungan keluarga. 7) Hak untuk tinggal bersama-sama orang tua. 8) Hak untuk kebebasan menyatakan pendapat dan pandangan. 9) Hak untuk kebebasan berfikir, berkeyakinan, dan beragama. 10) Hak untuk kebebasan berhimpun, berkumpul, dan berserikat. 11) Hak untuk memperoleh informasi dan segala sumber informasi yang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, jiwa, moral kesehatan fisik dan mental. 12) Hak untuk memperoleh perlindungan khusus dan bantuan akibat kekerasan fisik, mental, penyalahgunaan, penelantaran dan perlakuan salah serta penyalahgunaan seksual. 66 13) Hak memperoleh perlindungan hukum terhadap gangguan kehidupan pribadi, keluarga, surat menyurat atas serangan yang tidak sah. 14) Hak atas perlindungan bagi anak yang tidak mempunyai orang tua. 15) Hak atas perlindungan anak yang berstatus pengungsi (pengungsi anak). 16) Hak memperoleh perawatan khusus bagi anak cacat. 17) Hak memperoleh pelayanan kesehatan. 18) Hak memperoleh manfaat atas jaminan sosial. 19) Hak memperoleh taraf hidup layak bagi perkembangan fisik, mental, dan sosial. 20) Hak memperoleh pendidikan. 21) Hak untuk beristirahat dan bersenang-senang untuk terlibat dalam kegiatan bermain,berkreasi dan seni budaya. 22) Hak atas perlindungan dari eksploitasi ekonomi. 23) Hak atas perlindungan dari penggunaan oba t terlarang. 24) Hak atas perlindungan dari segala bentuk eksploitasi seksual. 25) Hak atas perlindungan terhadap penculikan, penjualan dan perdagangan anak. 26) Hak atas perlindungan terhadap segala bentuk eksploitasi kejahatan anak. 27) Hak atas jaminan pelarangan penyiksaan anak dan hukuman yang tidak manusiawi. 28) Hak atas hukum acara peradilan anak. 29) Hak memperoleh bantuan hukum baik dalam pengadilan ataupun di luar pengadilan. 30) Hak atas jaminan akan tanggung jawab orang tua membesarkan dan membina anak dan negara berkewajiban mengambil langkah utuk memmbantu orang tua yang bekerja agar mendapat perawatan dan fasilitas. 62 Hak-hak anak pada konvensi anak tersebut pun tidak dapat dikatakan mampu mengcover adanya bantuan hukum untuk anak. Bantuan hukum untuk anak hanya ada pada nomor 29 yaitu : “Hak memperoleh bantuan hukum baik dalam pengadilan ataupun di luar pengadilan”. 62 Muhammad Joni dan Zulchaina Tanamas, 199 9, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalm Perspektif Konvensi Hak Anak , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 70. 67 2. Batasan Anak Penerima Bantuan Hukum. Perbedaan pengertian anak yang diatur dalam perundang-undangan menunjukan adanya disharmonisasi perundang-undangan yang ada sehingga pada praktiknya di lapangan akan banyak kendala yang terjadi akibat dari perbedaan pengertian anak tersebut. a. Menurut KUHPerdata Menurut Pasal 330 KUHPerdata batasan anak adalah : “Orang yang belum mencapai belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun atau bercerai sebelum berumur 21 (dua puluh satu) tahun”. b. Menurut hukum adat yang didasarkan pada yuriprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 01 Juni 1955 Nomor 53/SIP/1955. Batasan anak yang lebih muda atau lebih sempit tertulis pada yuriprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 01 Juni 1955 Nomor 53/SIP/1955 yaitu : “Seseorang yang belum mencapai umur 15 tahun maka seseorang itu dinyatakan belum dewasa”. c. Menurut Konvensi Hak Anak Berdasarkan konvensi hak anak yang telah diratifikasi oleh pemerintah dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang pengesahan convention of the right (konvensi tentang pengesahan hak-hak anak) pengertian batasan anak adalah sebagai berikut : 68 “Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”. d. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Diatur batasan anak menurut Pasal 1 angka 20 UndangUndang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan yaitu : “Anak adalah orang laki-laki atau wanita yang berumur kurang dari 15 tahun” e. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pornografi Diatur batasan anak menurut Pasal 1 angka 4 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pornografi, yaitu : “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun”. f. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Diatur batasan anak menurut Pasal Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu : “anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih di dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”. 69 g. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Diatur batasan anak menurut Pasal 1 ayat (1) UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 yaitu : “Anak adalah seseorang yang belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin”. h. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak. Diatur batasan anak menurut Pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979, yaitu : “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”. i. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Banyaknya batasan anak pada berbagai peraturan perundang-undangan menjadikan sulitnya menerapkan batasan utuk anak yang mendapat bantuan hukum. Dari banyaknya batasan anak tersebut yang digunakan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak sebagai syarat agar anak tersebut dapat diberikan bantuan hukum adalah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 1 yaitu : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” 70 B. Hasil Penelitian Data Primer Informan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa orang yang ditemui oleh peneliti yaitu Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal KOMNAS Anak di Jakarta, beberapa orang pengacara dari lembaga -lembaga bantuan hukum yang berbeda dan murid-murid SDN 4 Beji, Depok yang menjadi korban tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh wali kelasnya yang saat itu penulis temui saat berada di KOMNAS Anak bersama orangtuanya. Wawancara dilakukan secara semi terstruktur berkaitan dengan judul penulis yaitu implementasi bantuan hukum oleh Komisi Nasioanal Perlindungan Anak sehingga mendapatkan data wawancara dan penulis membaginya menjadi beberapa judul sebagai berikut. a. Fenomena kekerasan pada anak Anak merupakan subjek yang paling rentan berhadapan dengan kejahatan karena anak memiliki fisik dan mental yang lebih lemah daripada orang dewasa dan kepribadiaannya yang belum matang karena memang usianya yang masih muda. Bahkan anak yang dinyatakan sebagai korban cenderung memiliki posisi yang lemah dalam lingkungan, keluarga, masyarakat, dan negara63 Kekerasan pada anak dari tahun ke tahun semakin meningkat terbukti dari semakin marak pemeberitaan di media masa yang hampir setiap hari memuat adanya kekerasan pada anak. 63 YLBHI dan PHSK, Op. Cit, hlm. 456. 71 Kekerasan sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain atau ada paksaan. Kekerasan juga dapat diartikan sebagai tindakan yang menyebabkan seseorang menderita atau dalam keadaan tertekan tanpa bisa melakukan perlawanan. 64 Pada dasarnya jenis kekerasan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga terbagi menjadi 4 jenis yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan sekual dan kekerasan ekonomi. Kekerasan yang terjadi pada anak yang termuat di pusat data dan informasi (Pusdatin) pada anak KOMNAS Anak dibagi menjadi kekerasan fisik, seksual dan psikis. Kekerasan fisik adalah yang bersentuhan langsung dengan tubuh atau fisik, baik yang meninggalkan bekas maupun tidak meninggalkan bekas, seperti memukul, menampar, mencubit dan menjambak. Kekerasan seksual seperti melakukan pencabulan, sodomi atau inses. Sedangkan kekerasan psikis atau yang bisa disebut juga kekerasan verbal adalah komunikasi berbahasa berupa kata-kata yang di dalamnya mengandung unsur pelecehan atau penghinaan terhadap anak, seperti berbicara kasar, membentak, menghardik, memberikan sebutan tidak pantas (labeling). 64 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, PT Refika Aditama, Bandung, Hlm. 30. 72 Selama Tahun 2012 berdasarkan Pusat Data dan Informasi di KOMNAS Anak didapat data kekerasan yang terjadi pada anak sebagai berikut : Jenis Jumlah Jumlah % Kekerasan Perempuan Laki-Laki Fisik 546 273 819 31.06% Seksual 834 241 1075 40.77% Psikis 277 466 743 28.18% Jumlah 1657 980 2637 100.00% Dari data di atas dapat dilihat bahwa kekerasan pada anak yang paling banyak terjadi selama Tahun 2012 adalah kekerasan seksual dibandingkan dengan kekerasan fisik dan kekerasan psikis. Adapun data sementara selama Januari-Februari Tahun 2013 yang didapat juga dari Pusat Data dan Informasi di KOMNAS Anak adalah sebagai berikut : Jumlah Kasus Januari 2013 Februari 2013 Kekerasan Fisik 18 39 Kekerasan Seksual 28 56 Kekerasan Psikis 24 44 8 27 Penculikan/Anak Hilang 12 17 ABDH 43 30 Trafikking 73 Tawuran 3 4 Bunuh Diri - 1 Jumlah 136 218 Keterangan : Data baru bersifat sementara. Panduan berita online dan data hotline belum dimasukkan Jika melihat data terbaru yang masuk hingga februari 2013 kasus yang paling banyak masuk adalah kekerasan seksual. Melihat peningkatan kasus tersebut bahkan data di Pusdatin KOMNAS Anak sampai pada bulan Juni 2013 KOMNAS Anak mencatat total kasus pelanggaran hak anak di Indonesia capai 59.396.339 dari total jumlah anak sekitar 80 (delapan puluh) juta dan banyaknya kasus pelanggaran hak anak khususnya pelanggaran anak dalam hal kekerasan seksual, tidak mengherankan jika KOMNAS Anak dalam hal ini Arist Merdeka Sirait selaku ketua dari KOMNAS Anak menyatakan tahun 2013 sebagai tahun darurat kekerasan pada anak. Menurut Samsul Ridwan65 faktor yang menjadikan anak mudah menjadi korban kekerasan adalah sebagai berikut : “Faktor yang menjadikan anak itu lebih rentan menjadi korban kekerasan itu menurut kami ada 2 (dua) faktor yaitu : 1) Adanya Pardigma bahwa anak adalah individu yang lemah dari segi fisik maupun dalam pemenuhan hak mereka. Mereka tidak memiliki aspirasi untuk menyuarakan apa yang mereka rasakan 2) Kekerasan dianggap budaya yang efektif untuk mendisiplinkan anak sehingga terkadang hal ini tidak perlu dipersoalkan. Ini yang menjadikan persoalan seperti tindak kekerasan jarang terungkap ke permukaan”. 65 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 74 Sedangkan menurut Arist Merdeka Sirait 66 yang menjadikan tingginya angka kekerasan yang terjadi pada anak adalah “Hukuman untuk pelaku kekerasan yang sangat jauh dari ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sesuai yang tertulis pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak hukuman maksimal bagi pelaku kejahatan pada anak adalah 15 (lima belas) tahun penjara, tapi sejak diundangkan sampai hari ini tidak ada yang mencapai 15 (lima belas) tahun”. Arist Merdeka Sirait 67 bahkan menambahkan “Hukuman yang pantas untuk pelaku kekerasan terhadap anak yaitu penjara seumur hidup”. Masih menurut Arist Merdeka Sirait 68, tingginya kekerasan seksual terhadap anak juga dapat disebabkan karena faktor ekonomi yang lemah dan disfungsi keluarga. Faktor ekonomi lemah itu membuat anak-anak sangat mudah terbujuk rayu sehingga tergoda untuk mengikuti gaya hidup remaja yang sedang tren saat ini. Salah satu tren yang dimaksud adalah seks bebas dikalangan remaja. Sedangkan, yang dimaksud dengan disfungi keluarga adalah peranan orang tua yang kurang dalam pemberian kasih sayang dan monitoring atau pengawasan terhadap anak. Misalnya, orangtuanya yang sibuk bekerja atau contoh lain yaitu keluarga yang tidak harmonis karena bercerai. Kekerasan pada anak terutama kekerasan seksual hanya akan menjadikan masa depan anak tersebut semakin buruk. Anak-anak korban kekerasan terutama kekerasan seksual seperti contoh diatas adalah 66 Kekerasan Anak di Depok Naik, Koran Warta Kota, Senin, 11 Maret 2013 Ibid 68 Ibid 67 75 kelompok yang paling sulit pulih jika dibandingkan pada korban kekerasan seksual orang dewasa. 69 Mereka atau anak sebagai korban kekerasan seksual cenderung akan mengalami trauma akut, masa depannya akan hancur, dan bagi yang tak kuat menanggung beban, maka pilihan satu-satunya adalah bunuh diri. Aib, perasaan merasa tercemar, dan kejadian yang mereka alami akan terus meghantui korban. Mengingat efek jangka panjang yang akan diterima pada anak korban kekerasan seksual, maka dari itu penting kiranya membangun kawasan ramah anak yang membuat anak nyaman hidup di lingkungan tempat ia tumbuh sehingga dapat meminimalisir terjadinya kekerasan pada anak. Karena seperti yang sudah diketahui faktor lingkungan dalam hal ini kenyamanan dalam keluarga termasuk faktor penting agar anak tetap dapat nyaman untuk tinggal di rumah. Menurut Chabib Mustofa 70 minimal ada 5 (lima) indikasi sebuah kawasan hidup yang termasuk dalam kategori ramah terhadap anak yaitu : 1. Anak terlibat dalam pengambilan keputusan tentang masa depan, diri, keluarga, dan lingkungannya. 2. Kemudahan mendapatkan layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan layanan lain untuk tumbuh berkembang. 3. Adanya ruang terbuka untuk anak dapat berkumpul, bermain dan berkreasi dengan sejawatnya dengan aman serta nyaman. 4. Adanya aturan yang melindungi anak dari bentuk kekerasan dan eksploitasi. 5. Tidak adanya diskriminasi dalam hal apapun terkait suku, agama, ras, dan golongan. 69 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Op. Cit, hlm. 78. Chabib Mustofa, Belajar Ramah Pada Anak, Jawapos Online, Diakses 20/07/2013 Pukul 20.00 70 76 Akhirya, Menurut Samsul Ridwan71 jika kekerasan terhadap anak tidak dihentikan, cepat atau lambat bangsa ini akan runtuh. Para pemimpin bangsa ini kelak akan terdiri dari orang-orang yang memiliki masa kanak-kanak penuh kekerasan. b. Bantuan hukum untuk anak sebagai korban tindak pidana Bantuan hukum adalah implementasi dari kehidupan demokrasi. Bantuan hukum sebagai bukti bahwa adanya equality before the la w. Bantuan hukum memang sudah diatur sedemikian rupa sehingga semua lapisan masyarakat dapat menerima bantuan hukum terutama peraturan tentang bantuan hukum untuk masyarakat yang kurang mampu tapi tidak dengan bantuan hukum untuk anak. Bantuan hukum untuk anak telah diatur namun hanya untuk terdakwa bukan untuk korban. Bantuan hukum untuk anak untuk tersangka atau terdakwa pun sebenarnya masih terbatas dalam penerapannya di undang-undang bukan penerapan secara praktek hukumnya. Dalam hal tersangka atau terdakwa anak yang diarahkan ke arah diversi maupun keadilan restoratif itu secara penerapan di lapangan belum tercapai secara tepat, terlihat masih banyaknya anak sebagai tersangka atau terdakwa yang masih saja dimasukkan ke lapas dewasa maupun lapas anak walaupun secara de jure anak dibawah usia 12 tahun 71 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 77 tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya dengan cara dipidana penjara. Penjara bukanlah tempat yang pantas untuk dijadikan tempat pembelajaran oleh seorang anak, sekalipun ada pemberian istilah anak nakal dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tapi hal ini dibantah oleh tidak Samsul Ridwan72, menurutnya : “Dalam KOMNAS Anak tidak ada sebenarnya istilah untuk mengatakan anak nakal atau bandel yang ada hanya anak yang kelebihan energi”. Bahkan di dalam Konvensi Hak Anak pun menghindari istilah anak nakal. Istilah anak nakal adalah pelabelan atau pemberian cap buruk pada anak hanya akan membuat situasi semakin buruk. Penjara yang dikatakan sebagai tempat terburuk bagi anak juga dikatakan oleh Barda Nawawi Arief 73. Menurut pakar hukum pidana ini pidana penjara untuk anak membawa pengaruh lebih jahat, sehingga sering dikatakan bahwa rumah penjara adalah perguruan tinggi kejahatan atau pabrik kejahatan. Pendapat yang tidak jauh berbeda dikatakan oleh Poltak Agustinus Sinaga74 selaku ketua maupun pengacara di Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (selanjutnya disebut PBHI) : “Dampaknya akan bahaya ketika anak masuk penjara. Awalnya untuk memberi efek jera tapi sebenarnya negara kita ini belum siap membuat penjara yang memberi efek jera yang ada nanti akan 72 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 73 Syaiful Bakhri, 2009, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Total Media, Yogyakarta, hlm. 93. 74 Hasil Wawancara dengan Poltak Agustinus Sinaga selaku Ketua sekaligus pengacara Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013. 78 timbul dampak lebih buruk karena penjara di negara ini lebih kepada memberi pelajaran menjadi kriminal”. Poltak Agustinus Sinaga 75 juga menambahkan : “Penjara Itu sebenarnya salah satu yang perlu dihindari dari anak, jadi ga perlu anak kecil asal salah asal dirasa melakukan tindak pidana langsung masuk ke pengadilan masuk ke penjara, harus dilihat lagi kalau tidak fatal-fatal betul harusnya tidak perlu sampai masuk penjara nanti yang ada niatnya mau bikin jera tapi yang ada malah bikin tambah bandel anak itu”. Pendapat yang lain disampaikan oleh Eka Prasetya 76 yang juga merupakan salah satu pengacara PBHI, dia mengatakan: “Biasanya anak yang katanya menjadi pelaku itu kondisi sosialnya buruk. Buruknya itu baik di lingkungannya maupun keluarga dia buruk. Anak itu sebenarnya maih dalam tahap meniru jadi mau bagaimanapun anak itu pasti meniru sekitarnya. Maka dia harus dibina karena kadang beberapa anak masih belum mengetahui kalau yang dia lakukan itu salah tapi dibinanya ga dengan cara masuk penjara”. Tentang sosial yang buruk dan lingkungan yang mendukung anak tersebut Samsul Ridwan77 menyatakan : “Di dalam teori perkembangan anak faktor genetika dan faktor lingkungan yang membuat anak itu akhirnya dinyatakan sebagai anak nakal. Tapi ya tetap yang paling berpengaruh itu bukan genetik tapi ya lingkungannya. Lingkungan itu tidak bisa diartikan sempit karena lingkungan itu bukan hanya lingkungan tempat di tinggal tapi lingkungan yang lebih luas yaitu lingkungan sosial bahkan lingkungan teknologi. Lingkungan teknologi yang menurut kami paling berpengaruh”. 75 Hasil Wawancara dengan Poltak Agustinus Sinaga selaku Ketua sekaligus pengacara Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013. 76 Hasil Wawancara dengan Eka Prasetya selaku pengacara Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013. 77 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 79 Sedangkan Eka Prasetya kembali berpendapat bahwa : “Memang mungkin secara undang-undang atau legal formal anak yang menjadi pelaku itu salah cuma bagaimana caranya kita bisa bersama-sama memperbaiki dia yang salah itu biar dia ga tambah salah, dan menurutku penjara itu bukan solusinya”. Ditambahkan pula menurut Eka Prasetya 78 : “Di Indonesia ini sebenarnya ga ada lapas anak yang bagus kalau di Jawa Tengah aku pernah ke lapas anak yang ada di daerah Bantungan. Kalau buat di Jakarta sendiri kita bisa lihat buat kasuskasus anak rata -rata ditarohnya di Salemba, padahal di Salemba itu rata-rata buat tahanan narkotika sama korupsi. Ya sekalipun dipisah sih tempat ditahannya tapi kan pas apel pagi ketemu tuh mereka bisa lihat kayak macem John Kei atau mereka bisa juga mikir itu yang tiap hari ditahan sama mereka tapi bisa bolak balik masuk penjara seperti koruptor gitu dan dari situ aku berpikir anak-anak yang akhirnya masuk penjara itu akan dewasa sebelum waktunya dan dewasa sebelum waktunya itu jadi ga bagus soalnya dalam hal kriminal”. Sedangkan pendapat lain tentang buruknya penjara untuk anak dikatakan pula oleh Sudiyanti79, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (Selanjutnya disebut LBH Jakarta) yakni : “Anak sebagai pelaku tindak pidana itu jika dikatakan banyak perlindungan menurutku itu ga sama sekali. Justru mereka jauh lebih rentan dibandingkan korban. Sistemnya seakan-akan baik tapi menurutku implementasinya buruk yang paling menurutku dari anak sebagai pelaku itu rehabilitasi bukan penjara” Bahkan masih menurut pendapat Sudiyanti : “Sebenarnya yang lebih menarik buat saya itu ya anak sebagai pelaku karena sebenarnya sekalipun banyak undang-undang yang mengatur tentang hak-hak anak sebagai pelaku termasuk pemberian bantuan hukum tapi lebih banyak ga dilindunginya kalau korban biasanya malah banyak dibantu. Seperti P2TP2 (Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak) itu pelayanan 1 78 Hasil Wawancara dengan Eka Prasetya selaku pengacara Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013. 79 Hasil Wawancara dengan Sudiyanti selaku Lembaga Bantuan Hukum Jakarta di LBH Jakarta pada tanggal 29 Mei 2013. 80 atap untuk perempuan dan anak yang ada di Jakarta. Ini tuh milik pemprof yang melayani pemberian bantuan hukum, konseling pada korban anak dan perempuan. Dananya sepenuhnya dari pemerintah dan lembaga ini menyediakan pengacara dan psikolog”. Sedangkan pendapat terakhir tentang penjara sebagai ultimum remidium bagi istilah anak nakal disampaikan oleh Samsul Ridwan80 : “Ga ada itu istilah anak nakal, kita disini mengatakan anak yang kelebihan energi. Harapan kita dengan kita memberi perlindungan anak itu yang namanya penjara anak itu tidak ada. Anak yang berkonflik dengan hukum itu lebih baik diletakkan di rumah perlindungan sosial anak karena perlakuan anak disana akan lebih baik dibandingkan di penjara. Yang paling susah nantinya stigmatisasi atau labeling karena hal ini akan terbawa sampai dewasa” Menurut Eka Prasetya 81 sebenarnya anak-anak dalam beberapa kasus pidana dapat saja tidak dipidana penjara tetapi terkadang beberapa kasus yang sudah masuk dalam legal formal dalam hal ini persidangan pada akhirnya para jaksa maupun hakim gengsi untuk menghentikan kasus yang sudah masuk walaupun sebenarnya penghentian itu dapat saja terjadi. Itulah yang terkadang menyebabkan putusan akhirnya harus diambil dan dipidana. Pola pemberian bantuan anak dalam beberapa pendapat cenderung sama semua pihak menginginkan anak khususnya pelaku anak dapat meyelesaikan kasusnya dengan jalan diversi atau keadilan restributif bukan dengan jalan pidana pemenjaraan. Ada cara yang lebih manusiawi untuk membimbing atau memberikan efek jera pada anak tersebut tanpa 80 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 81 Hasil Wawancara dengan Eka Prasetya selaku pengacara Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013. 81 perlu memberikan stigmatisasi narapidana pada anak yang justru akan menjadi beban psikologis untuknya seumur hidup karena efek jera dari sebuah pemenjaraan untuk orang dewasa belum tentu bisa sama dapat diberlakukan ke anak. Namun sepertinya keadilan restoratif masih jauh dari harapan karena aparat negara dalam hal ini masih belum sadar bahwa dalam kasus-kasus anak lebih mementingkan keadilan restoratif bukan pemidanaan bahkan menurut Sudiyanti82 sekalipun pada akhirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak berhasil diundangkan dan mulai dilaksanakan pada Tahun 2014 nanti para aparat negara harus bekerja keras dan nantinya para pengacara khusus anak pasti banyak digunakan karena kasus -kasus anak biasanya banyak menyita waktu. Menurut Sudiyanti83 sebagai berikut : “Kasus anak itu cepat sekali pergerakkannya. Anak itu ditahan cuma 10 hari kalau di KUHAP kan 20 hari diperpanjang paling anak-anak itu sampai 30 hari itu masuk dalam penyidikan lewat dari itu anak harus dilepas nantinya dipersidangan cuma 45 dan itu sidangnya setiap hari tanpa berhenti jadi pembelaannya itu ga maksimal, maka dari itu saya tadi bilang kalau SPPA berjalan pengacara anak akan banyak digunakan dan kepolisian harus belajar banyak tentang keadilan restoratif bukan apa-apa anak masuk penjara”. Menurut pendapat dari Eka Prasetya 84 : “Restorative action itu ga akan pernah berjalan kalau ga dikawal kita semua, kita kawal aja belum tentu berhasil makanya nantinya 82 Hasil Wawancara dengan Sudiyanti selaku Lembaga Bantuan Hukum Jakarta di LBH Jakarta pada tanggal 29 Mei 2013. 83 Hasil Wawancara dengan Sudiyanti selaku Lembaga Bantuan Hukum Jakarta di LBH Jakarta pada tanggal 29 Mei 2013. 84 Hasil Wawancara dengan Eka Prasetya selaku pengacara Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013. 82 SPPA harus dikawal dengan lebih ketat agar kita tahu bahwa keadilan untuk anak itu sudah berjalan dengan baik”. Lain pola pemberian bantuan hukum untuk anak sebagai pelaku lain juga untuk anak saat dia menjadi korban dalam tindak pidana. Saat anak menjadi korban dalam tindak pidana hanya satu pasal yang benarbenar menggambarkan adanya bantuan hukum untuk anak sebagai korban tindak pidana yaitu Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Mengenai bantuan hukum terhadap anak sebagai korban sendiri disampaikan oleh Sudiyanti85, dia mengatakan : “bantuan hukum untuk anak memang yang banyak diatur untuk terdakwa untuk anak sebagai korban sendiri polanya memang hanya sekedar mendorong karena tidak mungkin advokat melakukan penyelidikan, itu kan sudah tugas polisi”. Ketika dipertanyakan tentang bagaimana bantuan hukum untuk anak dalam hal korban, Sudiyanti kembali berpendapat : “ Bantuan hukum untuk korban itu paling kita tanya dulu ke korbannya apa maunya korban. kalau ditanya gimana bentuk bantuan hukum yang kita kasih paling lebih merujuk ke psikolog, mendorong ke kepolisian terus mendorong di kejaksaan karena sebenarnya hal-hal seperti itu harusnya sudah dijalankan oleh negara karena mereka itu kan mewakili korban”. Ketika dipertanyakan bagaimana bantuan hukum yang diberikan oleh KOMNAS Anak dan siapa saja yang berhak mendapatkan. KOMNAS Anak menjelaskan bahwa pada dasarnya salah satu perlindungan anak dalam bentuk bantuan hukum yang paling dasar diberikan oleh KOMNAS Anak adalah dengan membuka pengaduan 85 Hasil Wawancara dengan Sudianti selaku Lembaga Bantuan Hukum Jakarta di LBH Jakarta pada tanggal 29 Mei 2013. 83 setiap Senin-Jumat Jam 09.00-17.00 untuk pengaduan langsung atau dapat juga via telepon dan juga surat, dan menurut KOMNAS Anak untuk pemberian bantuan sendiri KOMNAS Anak memiliki batasan umur anak sampai dikatakan dia dewasa. Menurut Samsul Ridwan 86 : “Kami menggunakan payung hukum karena isu anak itu lex specialis. Masalah anak juga lex specialis maaka dari itu yang kami gunakan adalah batasan anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yakni 18 (delapan belas) tahun”. Anak yang masih dalam batasan umur yang dinyatakan oleh KOMNAS Anak ini berlaku untuk siapapun yang merasa ada anak yang mengalami penderitaan atau kekerasan. Yang melaporkan hal tersebut pun tidak harus korban itu sendiri dapat juga dilaporkan oleh orangtua, tetangga, atau bahkan teman dari si korban itu sendiri. Seperti yang terjadi pada tanggal 28 Mei 2013 hari itu beberapa orang tua murid mendatangi KOMNAS Anak dan mengalami pengaduan bersama anak mereka yaitu murid-murid dari Sekolah Dasar Negeri 4 Beji, Depok yang diduga mengalami kekerasan seksual oleh wali kelas mereka sendiri. Para orangtua mengaku peristiwa itu sudah terjadi dari awal semester kelas 5 sedangkan sekarang anak-anak mereka sudah semester 2. Anak-anak tersebut tidak berani melaporkan karena mereka diancam nilai dan mereka takut orangtua mereka tidak akan percaya jika mereka menceritakan kejadian sebenarnya. 86 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal K omisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 84 Orang tua murid itu mengakui ini kali pertama mereka datang ke KOMNAS Anak untuk melakukan pengaduan. Mereka sendiri mengetahui KOMNAS Anak dari media. Ketika ditanyakan mengapa mereka memilih melaporkan kasus kekerasan seksual anak mereka ke KOMNAS Anak selain kepada kepolisian, mereka menjawab sebagai berikut : Menurut Diah87 sebagai orang tua dari korban yang mengalami kekerasan seksual di SDN 4 Beji, Depok alasan para orang tua mengadukan masalah ini ke KOMNAS Anak karena : “Jumlah korban yang besar bukan 1 atau 2 orang saja dan agar kasus ini tetap di rel yang benar dan kita juga minta ada upaya pemerintah supaya paling tidak psikologis anak ini tidak terganggu“. Sedangkan alasan Rita 88 selaku ketua RT yang juga relawan untuk mengantar para korban ke KOMNAS Anak daripada ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah “Karena KOMNAS Anak kan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) biasanya LSM atau Organisasi Masyarakat lebih netral. Bukan kurang percaya oleh lembaga milik pemerintah tapi akan lebih enjoy mengadu jika tempat mengadu itu netral”. Harapan melakukan pengaduan ke KOMNAS Anak adalah KOMNAS Anak dapat mengadvokasi para korban dan saksi bahkan jika harus sampai di pengadilan. Serta memberi perlindungan pada korban dan saksi yang diancam oleh pelaku tindak pidana tersebut. 87 Hasil Wawancara dengan Diah salah satu orang tua korban kekerasan seksual di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 88 Hasil Wawancara dengan Rita salah satu orang tua korban kekerasan seksual di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 85 Sebenarnya kepentingan mereka selaku korban sudah terwakili oleh aparat negara seperti kepolisian dan itu pun masih ditambah dengan jika kasus ini memasuki persidangan maka keterwakilan mereka sebagai korban akan diwakili oleh jaksa. Seperti yang kita ketahui tujuan pemidanaan sendiri itu adalah adanya pemberian sanksi atau delik yang nantinya akan memberikan nestapa sebagai tujuannya, tapi ternyata hukuman yang sesuai dengan keinginan mereka atas perbuatan pelaku pada anak-anak mereka akhirnya membawa mereka ke KOMNAS Anak. Pilihan masyarakat yang membawa mereka pada KOMNAS Anak untuk menyelesaikan kasus-kasus mereka selain pada kepolisian dapat dikaitkan dengan pendapat Achmad Ali 89 yang menyatakan bahwa kondisi hukum dan penegakkan hukum di Indonesia telah berada dalam posisi atau kondisi abnormal oleh karena itu perlu diselesaikan dengan cara-cara abnormal pula atau cara-cara khusus. Istilah lainnya jangan lagi menonjolkan procedural justice atau keadilan yang hanya lahir dalam suatu proses formal penegakkan hukum semata, tapi harus ada keadilan yang cocok untuk kondisi hukum kita yang tadi dikatakan abnormal tapi harusnya yang digunakan adalah transitional justice. Jadi untuk memulihkan kepercayaan masyarakat seperti yang terjadi pada masyrakata yang lebih memilih melaporkan ke KOMNAS Anak dibandingkan dengan kepolisian jangan lagi hanya formalitas dan 89 Achmad Ali, 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia (penyebab dan solusinya), Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 67. 86 prosedural yang dikedepankan, melainkan para penegak hukum seyogyanya lebih memperhatikan keadilan masyarakat. Hal ini juga dikuatkan dengan pendapat Samsul Ridwan90 yang menyatakan sebagai berikut : “Kalau ditanya mengapa kita lebih dipercaya oleh masyarakat itu mungkin salah satunya dikarenakan kita bekerja dengan hati, orang akan percaya karena kita bekerja dengan sungguh-sungguh bukan karena , ya maaf kita dibayar berapa. Apalagi penanganan kasus dengan kita pasti prodeo. Kita juga dibantu oleh kepercayaan media untuk menggaungkan eksistensi kita. Ditambahkan pula menurut Samsul Ridwan : Yang namanya Public Trust itu dibangunnya bukan 1-2 Tahun kami butuh waktu yang lama untuk mendapatkan itu. Dan terakhir pamrih kita itu jangka panjang jadi agar Indonesia dapat terbebas dari kekerasan anak. Visi kita agar negara dapat lebih peduli pada permasalahan-permasalahan anak”. c. KOMNAS Anak sebagai pemberi bantuan hukum Pada dasarnya konsep anak yang berhadapan dengan hukum sudah memisahkan macam-macam status anak menjadi anak sebagai pelaku, anak sebagai korban , dan anak sebagai saksi. Anak sebagai pelaku maka saat ini melanggar hukum melakukan suatu tindak pidana, anak sebagai saksi maka saat anak itu mengetahui suatu kejadian baik itu melihat, mendengar maupun merasakan. Sedangkan anak sebagai korban adalah ketika anak itu menjadi koban dari suatu tindak pidana. 90 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 87 Pengertian yang lebih luas tentang korban anak yang dinyatakan oleh Poltak Agutinus Sinaga 91 adalah : “Saat anak itu melakukan tindak pidana itu juga bisa dikatakan sebagai korban. Saat misalnya seorang anak mencuri dan dia harus masuk dalam persidangan maka menurut kami PBHI dia juga korban. Karena kami mengartikan anak itu korban saat dia harus masuk ke peradilan, dia ga akan jadi korban kalau dia ga masuk pengadilan. Kita kan ga harus melulu lihat secara legal formal kan ada pendekatan lain ga harus apa -apa anak langsung disidang”. tidak jauh berbeda dengan pendapat Poltak Agustinus Sinaga, Sudiyanti92 selaku advokat dari LBH Jakarta mengatakan bahwa : “Kita LBH Jakarta mengkategorikan pelaku itu juga sebagai korban” Pendapat lain tentang anak sebagai korban juga disampaikan oleh Samsul Ridwan93 selaku Sekreta ris Jenderal KOMNAS Anak yaitu : “Kita tahu bahwa anak yang berhadapan dengan hukum itu dibagi menjadi tiga. Ada pelaku, korban, dan saksi. Menurut kami KOMNAS Anak ketiganya itu temasuk korban. ketiganya termasuk anak yang berkonflik dengan hukum itu korban. ketigatiganya wajib mendapat perlindungan yang memadai terhadap aspek-aspek hukum terutama untuk melindungi meraka dari bentuk-bentuk kekerasan”. KOMNAS Anak sebagai pemberi bantuan hukum sesuai yang tertuang dalam salah satu peran mereka telah menjalankan amanat sebagai pemberi perlindungan anak maupun pemberi bantuan hukum sejak tahun 2003. Sejak tahun 2003 KOMNAS Anak telah lahir dan dikukuhkan 91 Hasil Wawancara dengan Poltak Agustinus Sinaga selaku Ketua sekaligus pengacara Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013. 92 Hasil Wawancara dengan Sudianti selaku Lembaga Bantuan Hukum Jakarta di LBH Jakarta pada tanggal 29 Mei 2013. 93 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 88 melalui Surat Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 81/HUK/1997 tentang Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak Pusat memiliki tujuan memantau, memajukan, dan melindungi hak anak, serta mencegah berbagai kemungkinan pelanggaran hak anak yang dilakukan oleh negara, perorangan, atau lembaga. Dalam menjalankan tugas, peran, fungsi, dan mencapai visinya maka KOMNAS Anak tidak bergerak sendiri. Menurut Samsul Ridwan KOMNAS Anak merupakan organisasi jaringan, lebih lanjut Samsul Ridwan94 menjelaskan pendapatnya sebagai berikut : “Banyaknya kasus yang masuk ke KOMNAS Anak yang 75 % nya adalah pengaduan dari berbagai daerah maka KOMNAS Anak tidak dapat berdiri sendiri. KOMNAS Anak sendiri merupakan organisasi jaringan yang di setiap daerah dibantu oleh LPA (Lembaga Perlindungan Anak) di 31 daerah baik itu di provinsi maupun kabupaten kota. Indonesia sendiri memiliki 31 provinsi dan 158 kabupaten kota. Jadi cabang-cabang kita di daerah itu namanya LPA (Lembaga Perlindungan Anak)”. Lebih lanjut beliau mengatakan : “Kasus-kasus di luar Jakarta yang ga mungkin kita tangani mengingat keterbatasan kita ini. Maka bisa di cover oleh LPA (Lembaga Perlindungan Anak) di daerah masing-masing”. Ketika penulis menanyakan apakah ada Lembaga Perlindungan Anak di daerah purwokerto mengingat dapat dijadikan sebagai data -data pendukung, Samsul Ridwan kembali berpendapat sebagai berikut : “Sayangnya di daerah Purwokerto kabupaten Banyumas Lembaga Perlindungan Anak belum ada disana. Tapi kan ga harus melulu pengaduan atau melaporkan kasus anak ke Lembaga Perlindungan Anak kan masih ada Lembaga Swadaya Masyarakat seperti 94 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 89 Buyung Emban atau lembaga-lembaga lain yang konsen pada permasalahan-permasalahan anak”. Sampai hari ini ada dua lembaga besar yang berperan aktif untuk menyelenggarakan perlindungan pada anak selain lembaga bantuan hukum tentunya yaitu KOMNAS Anak dan juga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Selanjutnya disebut KPAI). KPAI dan KOMNAS Anak yang bergerak secara bersama dalam melakukan penyelengaraan Perlindungan Anak memiliki hubungan saat awal sejarah berdirinya kedua lembaga tersebut. Ketika dikonfirmasi pada pihak KOMNAS Anak Samsul Ridwan menyatakan penjelasannya sebagai berikut : “Dahulu kan awalnya Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak pada Tahun 1990, salah satu syarat menegakkan hak anak adalah adanya lembaga pemerintah Indonesia Tahun 1997-1998 yang mendirikan yang namanya Lembaga Perlindungan Anak di tingkat provinsi lalu di tingkat pusatnya namanya KOMNAS Anak. Kemudian salah satu mandatnya lagi harus lahir undang-undang, kelembagaannya sudah ada tapi karena proses politik kelembagaan itu disebut dengan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia)”. Sampai hari ini banyak yang tidak mengetahui perbedaan antara KOMNAS Anak dan KPAI maka dalam wawancara bersama Samsul Ridwan95 didapat keterangan bahwa perbedaan kedua lembaga ini adalah : 1. KPAI termasuk dalam lembaga negara yang langsung bertanggung jawab pada presiden atas setia p tindakannya sedangkan KOMNAS Anak yang banyak orang mengataan Lembaga Swadaya Masyarakat (Selanjutnya disebut LSM) bukanlah LSM murni. KOMNAS Anak adalah lembaga negara non pemerintah. Termasuk lembaga negara 95 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 90 non pemerintah karena lahirnya difasilitasi oleh pemerintah, kantor juga fasilitas yag ada dari pemerintah tapi tidak spenuhnya operasionalnya KOMNAS Anak dibantu oleh pemerintah. Dalam hal pendanaan, rekrutmen staf juga penentuan pengurus tidak ada sama sekali intervensi dari pemerintah. 2. KPAI memiliki dana tersendiri dari pemerintah bahkan Samsul Ridwan berani mengatakan KPAI tidak akan jalan jika tidak ada pendanaan dari pemerintah. Dana KPAI tersebut didapat dari APBN dan juga APBD yang memang khusus disiapkan pemerintah. Pendanaan KPAI memang difasilitasi negara dan itu mandat dari undang-undang, sedangkan untuk KOMNAS Anak pendanaan tidak harus dari pemerintah. KOMNAS Anak dapat menggerakkan semua pihak untuk ikut serta dalam rangka pendanaan. Bisa didapat dari masyarakat, dapat juga dari perusahaan-perusahaan swasta. 3. Tugas pokok serta fungsi dari KPAI dan KOMNAS Anak pun berbeda 4. KPAI memang lembaga negara tapi peristiwa dan sejarahnya KPAI itu lahir karena adanya Undang-Udang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak lalu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak melahirkan KOMNAS Anak. 5. KPAI muncul pertama dari screening terakhir DPR sedangkan KOMNAS Anak dari forum nasional. 91 6. KPAI merupakan mandat dari undang-undang perlindungan anak sedangkan KOMNAS Anak merupakan mandat dari gerakan nasional perlindungan anak yang dahulu dicanangkan oleh presiden Soeharto. Dalam pemberian bantuan hukum oleh KOMNAS Anak tidak memilih pengaduan KOMNAS Anak diwakili oleh Samsul Ridwan 96 mengatakan bahwa : “Kami melindungi semua yang orang katakan terdakwa pun iya bahkan sangat dilindungi kita tidak satupun menolak pengaduan. Kita menerima semua pengaduan dengan baik walaupun dalam tanda kutip anak itu melakukan tindak pidana atau tindak kekerasan jadi baik dia sebagai korban maupun pelaku asal dia bukan kategori dewasa kita terima”. Mengenai siapa kategori anak yag mendapat bantuan dari KOMNAS Anak Samsul kembali berpendapat : “Baik anak itu pelaku, saksi maupun korban seperti yang tercantum dalam anak yang berhadapan dengan hukum maka anak itu memiliki hak untuk dilindungi dan juga ketiganya mempunyai hak untuk mendapat perlindungan dari upaya kekerasan apapun”. Tentang bagaimana bentuk bantuan anak saat anak menjadi pelaku dan saat anak menjadi korban KOMNAS Anak mengaku memang memiliki pola penanganan yang berbeda. Misalnya saat anak berada dalam posisi pelaku yang melakukan tindak pidana maka pola penanganan yang dilakukan oleh KOMNAS Anak yang dijelaskan oleh Samsul Ridwan adalah : “Jika anak sebagai pelaku memang undang-undang harus ditegakkan tapi bagaimana cara anak itu tidak dipenjara, tidak diletakkan di lapas dewasa atau harus diletakkan di lapas anak tapi 96 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 92 akan jauh lebih baik jika anak itu diletakkan dirumah perlindungan sosial atau tidak dikenakan pasal-pasal yang membuat anak itu tidak terkena efek jera dicarikan pasal- pasal yang dapat menjadikan anak itu subyek atau obyek dari proses restorative justice atau pengadilan restorasi dengan cara mediasi dengan cara melibatkan para tokoh, orangtua, aparat penegak hukum”. Sedangkan pola penanganan yang dilakukan oleh KOMNAS Anak saat ada anak yang menjadi korban tindak pidana seperti saat ada pengaduan langsung ke KOMNAS Anak mengenai kasus kekerasan seksual yang terjadi pada murid-murid kelas V Sekolah Dasar Negeri 4 Beji, Depok yang diduga dilakukan oleh wali kelasnya sendiri, KOMNAS Anak melalui Samsul Ridwan97 menjawab bahwa : “Korban itu awalnya kan sudah dibagi beberapa kategori seperti korban kekerasan fisik, psikis, serta seksual. Kalau hari ini kita melihat ada korban kekerasan seksual. Di KOMNAS Anak kita tidak menyebutkan pelecehan seksual karena kalau pelecehan seakan-akan dipegang-pegang saja tidak bisa dipidana maka kita lebih suka menyebutkan kekerasan seksual. Dalam kasus seperti hari ini kita tetap melakukan pendampingan, kalau yang hari ini kita terima kan anak sebagai korban kekerasan seksual jadi kita akan tetap melakukan pendampingan, ini kan anak sebagai korban tindak pidana yang diduga dilakukan orang dewasa jadi kita bisa melakukan recovery. KOMNAS Anak selalu berusaha sebaik mungkin melakukan recovery atau pemulihan. Semua anak yang terkena kekerasan terutama kekerasan seksual kan pasti tergoncang jiwanya jadi hrus dilakukan recovery. Dengan cara apa kita lakukan? Pendampingan secara kontinyu dan kalau dirasa komnas tidak sanggup sendiri maka kita akan melakukan dengan mitra bersama misalnya dengan rumah perlindungan sosial anak. Iulah tempat korban yang nantinya menjadi rujukan KOMNAS Anak dalam perlindungan anak, kalau ada aspek hukumnya atau pidananya terhadap peristiwa itu KOMNAS Anak bekerjasama dengan kepolisian untuk melakukan rujukan kesana. Akhirnya bentuk perlindungan atau bantuan hukum kami adalah recovery baik psikologinya baik 97 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 93 recovery hukumnya atau bahkan menguatkan keluarganya agar orangtuanya punya kekuatan untuk melindungi anak-anaknya”. Apabila KOMNAS Anak diharuskan menyelesaikan kasus dengan pelaku dan korban yang sama-sama anak maka pendampingan yang dilakukan KOMNAS Anak menurut Samsul Ridwan 98 adalah “Ketika ada konflik antara pelaku dan korban yang sama-sama anak orangtua harus kita damaikan terlebih dahulu jangan sampai masih orangtua kedua belah pihak masih bersitegang, lalu kemudian masyarakatnya juga didamaikan kala u sudah orangtua dan masyarakat didamaikan polisi harus diberi pemahaman bahwa dalam hal ini sekalipun ada yang namanya pelaku dan korban keduanya sama -sama korban”. Tentang bantuan hukum yang diberikan oleh KOMNAS Anak pada anakanak yang mengalami kasus-kasus kekerasan, Samsul Ridwan menjelaskan : “Kita tidak membuat Bantuan Hukum tersendiri. Disini kami tidak menyediakan lawyers. Lawyers kita itu kerjasama dengan yang lain. Kita memang menerima segala macam pengaduan tapi kita itu tidak bekerja dari hulu ke hilir. Kita itu sistemnya jaringan ada kerjasama ada networking dengan lembaga lain termasuk lembagalembaga bantuan hukum. Jadi tidak dari hulu ke hilir KOMNAS Anak menghandel semua sendiri”. Samsul Ridwan juga menjelaskan hal lain seba gai berikut : “Tidak semua kasus hukum selesai di tingkat pengadilan apalagi anak-anak kita tekankan itu kasus anak lebih restorative justice, jadi kalau memang benar-benar butuh lawyer baru nanti kita carikan yang selama ini jadi jaringan KOMNAS Anak” . Mengenai alasan KOMNAS Anak tidak memiliki pengacara khusus selain karena mengacu pada restorative justice disampaikan oleh KOMNAS Anak sebagai berikut : 98 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 94 “Kalau udah main lawyer itu kan lebih ke profit oriented kita kan selama ini non profit oriented. Kita selama ini bertahun-tahun dari sejak awal mula berdiri semua kasus kami tangani prodeo pada bisa anda lihat sendiri setiap hari kasus yang masuk ke KOMNAS Anak itu tidak pernah ada habisnya”. Dalam menjalankan tugas memberi perlindungan anak oleh KOMNAS Anak khususnya dalam hal pemberian bantuan hukum pasti memilki hambatan. Hambatan-hambatan dalam pemberian bantuan hukum yang disampaikan oleh KOMNAS Anak melalui Samsul Ridwan adalah : “Hambatan yang kami alami secara kasat mata anda bisa lihat keterbatasan semua. Staf kami terbatas sehingga pelayanan kami tidak sebanding dengan pengaduan yang masuk, keterbatasan waktu kami hanya buka senin sampai jumat jam 9-5 sore kadang klien malah datang pada hari sabtu tapi kami tidak mungkin menyuruh staf kami datang kecuali benar -benar genting seprti bencana alam. Intinya keterbatasan sumber daya manusia, dana dan juga waktu” Hambatan lain yang juga dijabarkan oleh Samsul Ridwan99 adalah “Sistem kita yang harus diperbaiki artinya kita berharap tidak semua kasus itu arus diselesaikan di tingkat komnas anak tapi harus ada pola berbagi peran kita meyakini jika negara dalam hal ini pemerintah dan penegak hukum itu kuat maka kami yakin dan percaya kasus yang datang tidak akan sebanyak ini. UndangUnda ng sudah banyak yang mampu mengcover tapi praktek hukumnya masih kurang. Tidak akan banyak kasus yang muncul dalam hal ini ke permukaan misalnya di media andai saja undang-undang dapat menjawab baik itu substansi undang-undang maupun praktik hukum atau implikasi. Artinya negara sudah berbuat sesuatu tapi masih kurang, di beberapa undang-udang tidak harmonis seperti pengertian anak di banyak undang-undang. Dan praktek-praktek hukum yang belum berpihak ke anak”. 99 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 95 Secara garis besar maka hasil data primer maupun sekunder yang sudah diolah atau data peelitian dapat dilihat pada tabel berikut : Hal yang ditanyakan No. Bentuk-bentuk Hambatan yang dihadapi pemberian bantuan dalam pemberian bantuan hukum pada anak hukum Narasumber a. Mendampingi awal sejak a. Dalam hal pendanaan penyidikan sampai ke tingkat putusan (mendorong Sudiyanti 1 (Advokat di LBH Jakarta) di kejaksaan karena sifat pemberian bantuan prodeo dan b. Kurangnya peran serta kepolisian serta mempersiapkan saksi) b. Bekerjasama dengan psikolog dari aparat kepolisian yang kadang tidak menyampaikan kalau bantuan c. Menyiapkan hukumnya posisi hukum itu prodeo kasus a. Mendampingi Poltak Agustinus 2 awal Sinaga sampai (Advokat di putusan PBHI Jakarta) sejak a. Dalam hal pendanaan penyidikan ke tingkat b. Mempertemukan anatara korban dan karena sifat pemberian bantuan hukumnya prodeo b. Korban yang tidak terbuka pada advokat 96 pelaku agar sendiri dalam tercapainya penyampaian restorative justice hukumnya masalah a. Membuka pengaduan a. Dalam hal pendanaan untuk para korban b. Menyiapkan bantuan pengacara untuk anak Samsul Ridwan (Sekjen 3 KOMNAS Anak Jakarta) yang hukumnya prodeo berperkara b. Keterbatasan sampai pengadilan c. Menyiapkan saksi ahli jika dibutuhkan d. Melakukan pendampingan secara psikologis dan secara hukum karena sifat pemberian waktu dalam menerima semua pengaduan yang masuk c. Keterbatasan daya manusia sumber dalam KOMNAS Anak d. Sistem hukum kita yang masih perlu dibenahi Sumber : Data Primer yang Diolah C. Pembahasan 1. Implementasi Bantuan Hukum oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak sebagai Korban Tindak Pidana di Indonesia Dalam Kamus Webster 100 dirumuskan secara pendek pengertian implementasi, yaitu : 100 Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Genta Publisihing, Yogyakarta, hlm .13. 97 “to implement (mengimplementasikan) berarti to provide to means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give pratical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa “Dalam hal ini, maka implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan. (biasanya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan pengadilan, perintah eksekutif atau dekrit presiden”. 101 Sedangkan kata hukum sendiri menurut E. Utrecht 102 adalah : “Hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota mayarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu”. Implementasi hukum pada dasarnya termasuk dalam proses perwujudan hukum yaitu ketika hukum menjadi sarana untuk mewujudkan tujuan hukum menjadi suatu kenyataan, dengan demikian implementasi hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses bekerjanya hukum. Hukum dibuat untuk dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat, oleh karena itu hhukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sebagai basis bekerjanya hukum. Kaitannya dengan masalah bekarjanya hukum di dalam masyarakat, Bernard Arief Sidharta menjelaskan bahwa : “Bekerjanya hukum adalah suatu proses dari semua kegiatan manusia berkenaan dengan hal mewujudkan hukum dalam 101 102 hlm. 6. Joko Widodo, 2006, Analisis Kebijakan Publik, Banyumedia, Malang, hlm. 14. Yulies Tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 98 kenyataan kehidupan sehari-hari secara konrit, yang meliputi proses pembuatan hukum, proses implementasi hukum dan proses bantuan hukum bagi mayarakat”. Pendapat mengenai cara bekerja hukum dikemukakan pula oleh Saryono Hanadi. Proses bekerjanya hukum sendiri menurut Saryono Hanadi 103 terbagi dalam 3 (tiga) tahapan yaitu : tahap pembuatan hukum, tahap implementasi hukum dan tahap evaluasi hukum. Adapula yang menjelaskan bahwa dasar bekerjanya hukum pada masyarakat dapat dilihat dari dua dimensi : Pertama, dilihat dari dimensi dogmatis hukum, maka bekerjanya hukum ini sangat berkaitan dengan masalah penerapa hukum, penafsiran hukum, pembuatan hukum, konstruksi hukum, dan sebagainya. Kedua, apabila melihat cara bekerjanya hukum sebagai suatu pranata di dalam masyarakat, maka perlu memasukkan satu faktor, yaitu manusia yang menjadi perantara yang memungkinkan hukum itu melakukan regenerasi atau memungkinkan terjadinya penerapan dari norma-norma hukum tersebut. 104 Kaitan lebih lanjut masalah implementasi hukum yang merupakan bagian integral dari proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat, 103 Rike YunitaBudi Hutami, 2009, Implemetasi Corporate Social Responbility (CSR) Bidang Pendidikan dan Pelatihan PT Pertamina (PERSERO) RU. IV Cilacap, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 68. 104 Ibid, hlm. 69. 99 Lawrence M. Friedman105 mengemukakan teorinya bahwa ada tiga unsur hukum yaitu : a. Struktur hukum (structure), dalam hal ini struktur hukum adalah kerangka atau rangkaian, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam be ntuk dan batasan terhadap keseluruhan dari hukum itu sendiri; b. Substansi hukum (substance), yakni aturan, norma-norma, peraturanperaturan, keputusan-keputusan, dan pola perilaku manusia yang nyata dalam sistem hukum, yang digunakan oleh penegak hukum sebagai dasar untuk menegakkan hukum. c. Kultur hukum (legal culture), yakni sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, yang didalamnya terdapat kepercayaan tentang nilai, pemikiran serta harapannya. Kultur hukum juga dapat dikatakan yang berperan untuk memutuskan menjalankan dan menghilangkan struktur hukum itu sendiri. Selanjutnya menurut Robert B. Seidman bekerjanya hukum didalam masyarakat melibatkan tiga unsur dasar yaitu lembaga pembuat peraturan, lembaga penerapan peraturan, pemegang peranan. Model tentang bekerjanya hukum ini dilukiskan di dalam bagan sebagai berikut : 105 Ully Nur Alimah, 2005, Perlindungan Hukum Anak (Studi tentang Implementasi Perlindungan Hukum Anak dan faktor-Faktor yang Cenderung Mempengaruhinya di Kabupaten Majalengka, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 51. 100 Kekuatan Personal dan Sosial lainnya LEMBAGA PEMBUAT HUKUM Norm LEMBAGA PENERAPAN HUKUM Kekuatan Personal dan Sosial lainnya Norma AKTIVITAS PENERAPAN PEMEGANG PERANAN Kekuatan Personal dan Sosial lainnya Dari bagan diatas oleh Robert B. Seidman106 diuraikan ke dalam dalil dalil sebagai berikut : 1. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemeran peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak; 2. Bagaimana seorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai suatu respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, 106 Ibid, hlm. 52. 101 aktivitas dari lembaga -lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks, kekuatan sosial, politik dan lainnya mengenai dirinya; 3. Bagaimana lembaga -lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi- sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpanumpan balik yang datang dari pemegang peranan; 4. Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang me ngatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan- kekuatan sosial, politik, ideologis dan lain-lainnya mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari pemegang peranan serta birokrasi. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman mengenai komponen-komponen implementasi maka implementasi bantuan hukum oleh KOMNAS Anak kepada anak sebagai korban tindak pidana dipengaruhi oleh komponen-komponen yang terkandung dalam teori tersebut, yaitu : 1. Struktur Hukum (Structure) Struktur dalam hal ini sistem hukum merupakan kerangka atau rangkaian bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. 102 Di Indonesia jika berbicara tentang struktur sistem hukum, maka termasuk didalamnya kepolisian, struktur kejaksaan, institusi pengadilan, penegak advokat, hukum KPK yaitu (Komisi Pemberantasan Korupsi), mahkamah agung bahkan komisi yudisial. Namun sebenarnya yang termasuk lembaga penegak hukum bukan hanya yang disebutkan sebelumnya namun juga yang memiliki kewenangan menangkap, memeriksa, mengawasi, menjalankan perintah undang-undang di bidangnya masing-masing. Struktur dalam hal ini adalah KOMNAS Anak sebagai pemberi bantuan hukum untuk anak. KOMNAS Anak termasuk dalam struktur atau lembaga penegak hukum karena mereka ikut mengawasi dan menjalankan perintah undang-undang di bidangnya masing-masing, dalam hal ini KOMNAS Anak menjalankan perintah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang memerintahkan setiap warga negara untuk melindungi anak-anak dari segala hal tindakan yang mengancam keselamatan anak tersebut serta tindakan yang menghilangkan kesempatan anak untuk tumbuh. Kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dikuatkan dengan pendapat Arif Gosita 107 bahwa anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau kelompok, organisasi swasta maupun pemerintah) baik secara langsung maupun secara tidak langsung. KOMNAS Anak yang termasuk 107 lembaga penegak hukum karena KOMNAS Anak Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, Hlm. 2. 103 berdasarkan pendapat Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal KOMNAS Anak108 bekerja sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 81/HUK/1997 tentang Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak Pusat. KOMNAS Anak sebagai pemberi bantuan hukum menurut Abdurahman sesuai dengan surat keputusan Mahkamah Agung dalam keputusannya tanggal 22 Juli 1972 No.5/KMA/1972 dikategorikan sebagai golongan ketiga yaitu mereka yang karena sebab-sebab tertentu secara insidentil membela atau mewakili pihak-pihak yang berperkara. Bantuan hukum adalah hak konstitusional dari seluruh warga negara. Bantuan hukum bukan hanya untuk warga yang mampu maupun tidak mampu, bantuan hukum diperuntukan juga baik untuk tersangka atau terdakwa maupun untuk korban. korban disini bukan hanya korban dewasa maupun juga anak-anak mengingat anak-anak merupakan amanah Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak juga dapat dikatakan sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. 109 108 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 109 M. Nasir Djamil, 2013, Anak bukan Untuk dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 8. 104 Bantuan hukum untuk anak merupakan bentuk dari perlindungan hukum untuk anak itu sendiri. Kewajiban pemberian perlindungan anak sendiri diatur di dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan : “Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga, dan Orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraa n perlindungan anak”. Jadi setiap warga negara wajib ikut bertanggung jawab untuk memberi perlindungan anak sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Perlindungan anak sendiri dibagi menjadi dua yakni perlindungan anak secara langsung dan perlindungan anak secara tidak langsung. 110 Secara langsung berarti kegiatannya langsung ditujukan kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Sedangkan perlindungan tidak langsung berarti kegiatan tidak langsung yaitu kegiatan tidak langsung ditujukan kepada anak, tetapi orang lain yang melakukan atau terlibat dalam usaha perlindungan anak. Perlindungan anak juga dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu : 1. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi perlindungan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan. 2. Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi : perlindungan dalam bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan. 110 Moch. Faisal Salam, Op. Cit, hlm 2. 105 Bahkan ada juga yang termasuk dalam perlindungan anak secara khusus. Perlindungan anak secara khusus diperjelas dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Didalam pasal itu dinyatakan bahwa perlindungan khusus diperuntukan bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Anak yang berhadapan dengan hukum disini meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Dan perlindungan khusus merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Perlindungan anak memiliki cakupan yang luas dan seperti yang dijabarkan diatas maka penulis mengartikan a danya perlindungan anak yang bersifat yuridis adalah adanya pemberian bantuan hukum baik itu untuk anak yang berkonflik dengan hukum maupun anak sebagai korban tindak pidana. Peraturan tentang bantuan hukum sudah banyak diatur namun yang banyak diatur hanya bantuan hukum untuk terdakwa tidak seimbang dengan pengaturan bantuan hukum untuk korban. Padahal dalam sebuah pelanggaran tindak pidana korban adalah pihak yang paling dirugikan. Bukan karena haknya sudah terwakili oleh aparat negara korban tidak berhak mendapat bantuan hukum seperti tersangka atau terdakwa. Bahkan untuk bantuan hukum yang dilakukan pada anak lebih sedikit pengaturannya dibanding bantuan hukum secara umum. 106 Bantuan hukum sendiri merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban kejahatan. Pemberian bantuan hukum terhadap korban kejahatan haruslah diberikan hak diminta ataupun tidak diminta oleh korban. hal ini penting, mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran hukum dari sebagian besar korban yang menderita kejahatan ini. Sikap membiarkan korban kejahatan tidak mendapat bantuan hukum yang layak dapat berakibat pada semakin terpuruknya kondisi korban kejahatan. 111 Bahkan menurut Scheider korban sesungguhnya dikorbankan untuk kedua kalinya yakni oleh kejahatan dan oleh reaksi masyara kat dalam kejahatan. 112 Satu-satunya Pasal yang secara jelas mengatur tentang bantuan hukum untuk anak terutama anak sebagai korban ada di Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 18 yang merumuskan anak yang menjadi korban tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Seperti yang sudah dijabarkan diatas perlindungan anak adalah kewajiban semua warga negara dan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dalam hal ini KOMNAS Anak yang memiliki visi terwujudnya kondisi perlindungan anak yang optimum dalam mewujudkan anak yang handal, berkualitas, dan berwawasan menuju masyarakat yang sejahtera dan mandiri mengimplementasikan pemberian bantuan hukum dengan cara membuka pengaduan dari 111 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 112 Sisiwanto Sunarso, Op. Cit, hlm. 44. 107 berbagai media. Bisa dengan datang langsung ke KOMNAS Anak, bisa dengan via telepon dan juga sms atau bisa juga menggunakan surat biasa atau surat elektronik (Email). 113 KOMNAS Anak akan menerima semua pengaduan tanpa terkecuali sekalipun kemampuan sumber daya manusia mereka terbatas. Pemberian bantuan hukum oleh KOMNAS Anak pun tidak terbatas. Semua anak boleh melakukan pengaduan, baik itu anak sebagai pelaku, korban maupun saksi, karena menurut KOMNAS Anak sendiri semua anak yang berhadapan dengan hukum itu adalah korban. 114 Bentuk pemberian bantuan hukum pun sebenarnya agak berbeda , misalnya untuk anak sebagai pelaku KOMNAS Anak mengarahkan agar anak tersebut tidak harus masuk kedalam sistem peradilan, KOMNAS Anak lebih mengarahkan ke arah restorative justice (penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban , keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan). 115 Namun jika restorative justice tidak tercapai maka KOMNAS Anak menyediakan bantuan berupa pengacara dari jaringan KOMNAS Anak jika memang harus beracara di pengadilan. 116 Dan jika anak tersebut 113 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 114 Ibid. 115 M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 132. 116 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 108 harus beracara di pengadilan maka KOMNAS Anak akan mengawal masalah itu hingga selesai vonis dibacakan sekalipun itu sampai di PK (Peninjauan Kembali). Sedangkan untuk anak sebagai korban tindak pidana maka KOMNAS Anak akan melakukan pendampingan terutama jika anak tersebut korban kekerasan seksual. KOMNAS Anak ikut andil dalam hal pemulihan mental korban tindak pidana. Pendampingan maupun pemulihan itu juga tidak murni dari KOMNAS Anak tapi juga melalui kerjasama KOMNAS Anak melalui rumah perlindungan sosial anak. Jadi recovery yang dilakukan oleh KOMNAS Anak tidak hanya psikologisnya namun juga aspek hukumnya. 2. Substansi Hukum (Subtance) Komponen substansi yaitu berupa norma-norma hukum baik itu peraturan-peraturan keputusan-keputusan, dan sebagainya yang semuanya dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur. Dalam impleme ntasi bantua n hukum oleh KOMNAS Anak kepada anak sebagai korban tindak pidana berdasarkan pada norma-norma hukum baik itu peraturan-peraturan, keputusan keputusan, dan sebagainya yang semuanya dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur yang berkaitan dengan bantuan hukum. Suatu peraturan atau norma hukum yang sudah dirumuskan dalam bentuk tertulis pasti ada ide atau konsep yang membentuknya. 109 Secara umum ada 2 (dua) konsep keadilan dalam sistem hukum pidana yang mempengaruhi perubahan fundamental yaitu keadilan retributif (retributive justice) dan keadilan restoratif (restorative justice). 117 Indonesia sendiri menganut konsep keadilan retributif yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Akibat dari konsep yang digunakan di Indonesia ini adalah adanya sanksi yang diberikan pada pelaku tanpa memperhatikan keadilan untuk korban. Sanksi yang diberikan pada pelaku dianggap sudah menyelesaikan tindak pidana yang diperbuat oleh pelaku. Oleh karena itu konsep keadilan retributif yang dianut menyebabkan terlinduginya hak-hak tersangka atau terdakwa dan kurangnya perlindungan hukum untuk korban terutama pada hak-hak korban. Sebenarnya tidak ada peraturan-peraturan maupun keputusan-keputusan yang secara umum yang digunakan dalam permasalahan pemberian bantuan hukum oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak kepada anak sebagai korban tindak pidana. Baik itu di KUHP maupun KUHAP bantuan hukum lebih mengutamakan hak-hak tersangka atau terdakwa bukan korban, hal ini sesuai dengan pendapat Romli Atmasasmita. 118 Peraturan secara umum mengenai bantuan hukum tertuang pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D bahwa setiap orang 117 118 Siswanto Sunarso, Op. Cit, hlm 43. Bambang Waluyo, Op. Cit. Hlm. 36. 110 berhak mendapatkan perlakuan yang sama di muka hukum, pada KUHAP yang mencantumkan hanya tentang bantuan hukum untuk tersangka atau terdakwa, pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dijelaskan hak untuk mendapatkan bantuan hukum mulai penyidikan sampai dengan putusan akhir, dijelaskan pula pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat sebagai kewajiban yang harus diberikan oleh seorang advokat secara cuma-cuma kepada kliennya, selanjutnya di UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindugan Saksi dan Korban adanya hak untuk mendapatkan nasihat-nasihat hukum, dalam Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 et ntang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan adanya hak untuk semua orang yang tersangkut perkara untuk mendapatkan bantuan hukum, terakhir secara lebih khusus bantuan hukum secara lebih rinci dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Bantuan hukum pada undang-undang ini menjelaskan bantuan hukum adalah hak semua warga negara terutama untuk warga negara yang tidak mampu. Sedangkan pengaturan lebih khusus tentang penegakkan bantuan hukum untuk anak sebagai korban tindak pidana sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Disana tertulis dengan jelas bahwa setiap anak baik itu pelaku maupun korban berhak mendapatkan bantuan hukum, 111 pada undang-undang lain seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dijelaskan adanya bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif yang didapat oleh seorang anak, dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak bahwa anak yang berada dalam keadaan bahaya harus mendapatkan bantuan, dalam hal ini bantuan hukum slah satunya. Pada Konvensi Hak Anak hak anak dikembangkan lebih jauh yaitu mendapatkan bantuan hukum baik itu di dalam pegadilan maupun luar pengadilan. Secara penerapan yang digunakan oleh Komnas Anak dalam hal ini seseuai dengan yang dikatakan Samsul Ridwan119 mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengigat batasan umur untuk dinyatakan sebagai anak untuk mendapatkan bantuan hukum dan sanksi pidana yang digunakan oleh aparat kepolisan untuk menjerat pelaku pada indak pidana pada anak adalah undang-undang tersebut. Hal ini juga dinyatakan oleh hasil wawancara lain oleh Sudiyanti120 dan Poltak Agustinus Sinaga 121 yang juga menyatakan bahwa untuk membela kliennya yaitu tindak pidana yang melibatkan anak sebagai korban, mereka berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. 119 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 120 Hasil Wawancara dengan Sudiyanti selaku Lembaga Bantuan Hukum Jakarta di LBH Jakarta pada tanggal 29 Mei 2013. 121 Hasil Wawancara dengan Poltak Agustinus Sinaga selaku Ketua sekaligus pengacara Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013. 112 Persamaan konsep tentang hukum yang digunakan ini penting mengingat agar tidak menimbulkan tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang pada tataran praktis akan membuat kerepotan penyelenggaraan pemerintah. 122 3. Komponen Kultur Hukum (legal culture) Kultur merupakan sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, didalamnya terdapat kepercayaan tentang nilai, pemikiran, serta harapannya . Kultur hukum juga dapat dikatakan sebagai apa atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan struktur hukum itu. Jadi apakah seseorang itu menaati hukumnya atau tidak itu semua tergantung pada kultur hukumnya. Dalam kultur negara hukum Indonesia yang demokratis maka dapat dikatakan hak-hak individu selalu dilindungi oleh undang-undang. Dalam negara hukum semua orang mempunyai hak untuk didampingi oleh advokat atau penasehat hukum, apakah ia kaya atau miskin, berasal dari ras tertentu atau kebudayaan tertentu atau mempunyai keyakinan politik tertentu tidaklah membedakannya untuk diperlakukan sama di hadapan hukum. 123 Secara pemikiran maka kultur hukum yang terjadi pada warga mampu maupun tidak mampu dapat terjadi sangat berbeda. Pada warga mampu maka mereka akan lebih sadar hukum tidak 122 123 M. Nasir Djamil, Op. Cit, Hlm. 11. Frans Hendra Winata, Op. Cit, hlm. 160. 113 seperti yang terjadi pada warga yang kurang mampu. Kesadaran hukum ini penting mengingat seorang korban memang harus mengetahui posisi maupun kasus yang mereka hadapi. Hal ini menjadi penting karena jika korban tidak sadar akan kasus mereka sendiri maka korban hanya akan menjadi di korbankan untuk kedua kali, yakni oleh kejahatan dan oleh reaksi masyarakat dalam kejahatan. 124 Kesadaran akan kultur hukum dinyatakan melalui wawancara oleh Poltak Agustinus Sinaga 125. Pendapat lain yang lebih spesifik dikatakan Eka Prasetya 126 bahwa yang menjadi pelaku terutama korban pada tindak pidana pada anak biasanya kondisi sosialnya buruk. Samsul Ridwan127 juga menyatakan bahwa lingkungan tempat anak itu dibesarkan akan sangat berpengaruh pada tindakan-tindakan yang terjadi pada anak itu sendiri. Lebih lanjut meurut Samsul Ridwan yang masuk tergolong anak nakal biasanya dari warga yang tidak mampu. antara si kaya dan si miskin biasanya menghasilkan pemikiran yang berbeda. Bagi masyarakat yang tidak mampu maka secara kultur mereka lebih tidak percaya pada hukum karena mereka sering menjadi korban dari hukum itu sendiri. 124 Siswanto Sunarso, Op. Cit, hlm. 44. Hasil Wawancara dengan Poltak Agustinus Sinaga selaku Ketua sekaligus pengacara Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013. 126 Hasil Wawancara dengan Eka Prasetya selaku pengacara Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013. 127 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 125 114 Kultur hukum yang tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya juga dipengaruhi oleh ketidakkompakan para penegak hukum yang dalam jangka panjang efeknya menyebabkan sistem peradilan pidana tidak dapat menjalankan fungsinya sebagimana dimaksudkan semula. Oleh karena itu penting adanya membangun kesadaran masyarakat untuk membentuk kultur hukum yang lebih baik. Usahausaha dalam meningkatkan kesadaran hukum menurut Soerjono Soekanto128 melalui cara : 1) Pengetahuan hukum Bila suatu perundangan telah diundangkan maka menurut proedur resmi masyarakat dianggap tahu tentang hukum itu. Maka penting adanya memberikan pengetahuan agar masyarakat benar-benar tahu hukum yang telah diundangkan. Ini penting agar tidak menimbulkan multitafsir. 2) Pemahaman hukum Setelah mengetahui maka masyarakat harus diberi pemahaman atas hukum yang berlaku. Melalui pemahaman hukum masyarakat diharapkan memahami tujuan peraturan perundang- 128 Zainuddin Ali, 2005, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 66. 115 undangan serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan perundang-undangan yang dimaksud. 3) Penaatan hukum Penaatan hukum dapat terjadi karena berbagai sebab, antara lain : Takut akan sanksi negatif, untuk menjaga hubungan baik dengan manusia, untuk menjaga hubungan baik dengan rekan sesama, karena hukum tersebut sesuai dengan nilai yang dianut, dan kepentingannya terjamin. Sebab karena hukum tersebut sesuai dengan nilai yang dianut adalah sebab yang paling sulit diterapkan di masyarakat. 4) Pengharapan terhadap hukum Setelah mengerti, memahami dan menaati maka masyarakat akan memberikan pengharapan pada hukum tersebut. Penegak hukum dalam hal ini harus menegakkan hukum secara tepat agar masyarakat tidak kecew a dan mulai memiliki kesadaran hukum. 5) Peningkatan kesadaran hukum Peningkatan kesadaran hukum seyogyanya harus dimulai dengan penerangan dan penyuluhan hukum yang teratur atas dasar perencanaan yang mantap. Pendidikan maupun penyuluhan hukum yang tepat aka n menimbulkan peningkatan keasadaran hukum. Berdasarkan pada uraian di atas dapat disimpulkan jika hasil penelitian dihubungkan dengan teori Lawrence. M Friedman 116 bahwa efektifitas dari implementasi dari suatu produk hukum ditentukan oleh tiga faktor yaitu : pertama faktor struktur atau faktor penegak hukum dalam hal ini KOMNAS Anak itu sendiri, kedua yaitu faktor substansi atau perundngan yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan bantuan hukum, ketiga adalah kultur hukum atau kesadaran masyarakat itu sendiri. 2. Hambatan Komisi Nasional Perlindungan Anak dalam Pemberian Bantuan Hukum kepada Anak sebagai Korban Tindak Pidana di Indonesia Dalam menjalankan bantuan hukum dibutuhkan peran serta seluruh warga negara sesuai kemampuan masing-masing selayaknya seperti pemberian perlindungan anak. KOMNAS Anak dapat dikatakan sebagai pemberi bantuan hukum karena memenuhi syarat seperti yang tercantum pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum sebagai berikut : “Syarat-syarat pemberi bantuan hukum meliputi : a. Berbadan hukum; b. Terakreditasi berdasarkan undang-undang; c. Memiliki kantor atau sekretariat yang tetap; d. Memiliki pengurus, dan; e. Memiliki program bantuan hukum” 117 KOMNAS Anak sendiri sebagai pemberi perlindungan hukum bagi anak memilki visi. Dalam menjalankan visinya KOMNAS Anak melakukan misi sebagai berikut : a. Melindungi anak dari setiap orang dan/atau lembaga yang melanggar hak anak, serta mengupayakan pemberdayaan keluarga dan masyarakat agar mampu mencegah terjadinya pelanggaran hak anak. b. Mewujudkan tatanan kehidupan yang mampu memajukkan dan melindungi anak dan hak-haknya serta mencegah pelanggaran terhadap anak sendiri c. Meningkatkan upaya perlindungan anak melalui peningkatan kesadaran, pengetahuan dan kemampuan masyarakat serta meningkatkan kualitas lingkungan yang memberi peluang, dukungan, dan kebebasan terhadap mekanisme perlindungan anak. Bantuan hukum selayaknya pekerjaan rumah untuk semua warga negara dan juga yang menjadi tugas dari KOMNAS Anak pasti memiliki hambatan-hambatan yang secara umum terjadi dalam mencapai tujuan yang mereka inginkan. Hambatan-hambatan secara umum yang terjadi pada pemberian bantuan hukum menurut pendapat Soerjono Soekanto129, terdiri dari : 1. Faktor hukumnya sendiri, yang akan dibatasi pada undang-undang saja, undang-undang dalam arti materiel adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Dengan demikian, maka undang-undang dalam arti materiel mencakup: 129 Soerjono So ekanto, Op. Cit, hlm 6. 118 a. Peraturan pusat yang berla ku untuk semua warga negara atau suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum disebagian wilayah negara; b. Peraturan setempat yang hanya berlaku disuatu tempat atau daerah saja. 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang mene rapkan hukum. Ruang lingkup dari istilah penegak hukum adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum.KOMNAS Anak pun merupakan lembaga penegak hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar.130 Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, kalau hal- hal tersebut tidak dipenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuanya; 4. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Penegakan hukum berasal dari masyarakat. Oleh karena itu dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut; 130 Soerjono So ekanto, 2000, Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 37. 119 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Masih dalam literatur yang sama dijelaskan oleh Adnan Buyung Nasution 131 ada 3 (tiga) pokok yang sering menjadi faktor penghambat dalam pemberian bantuan hukum, yaitu : 1. Masalah Kultur Hukum Lembaga bantuan hukum baru masuk ke Indonesia sejak masuknya hukum barat. Bukanlah hal yang mudah mendidik masyarakat agar percaya pada hukum yang ada di Indonesia. Masyarakat harus mau percaya dan mulai terbuka untuk menyerahkan kasus hukum mereka dan menyelesaikan kasus-kasus tersebut melalui lembaga-lembaga seperti lembaga peradilan, dan profesional seperti hakim, jaksa maupun pembela. Proses peradilan sebagai benteng terakhir untuk menentukan salah atau benar sesuatu hal dalam kasus tertentu. Masyarakat khususnya masyarakat tidak mapu harus diberikan pemikiran bahwa mereka tidak harus selalu menerima kasus yang terjadi pada mereka tanpa mengetahui keadilan yang terjadi untuk mereka. Kalau mereka dalam posisi benar maka mereka harus berani untuk memperjuangkannya dan meminta bantuan pada lembagalembaga penegak hukum. 2. Hambatan dari Sudut Ekonomi 131 Ibid, hlm .19. 120 Sebagai negara berkembang dengan konsekuensi ingin menegakkan hukum secara demokrasi maka segala hal dilakukan untuk dapat menegakkan huum secara benar dan tepat. Bantuan hukum yang dinyatakan oleh pemerintah sebagai hak bagi semua masyarakat termasuk masyarakat yang tidak mampu menjadi hal yang harus ditanamkan pada masyarakat mengingat jumlah masyarakat Indonesia yang masih banyak berada dalam kemiskinan kadang tidak mengetahui bahwa bantuan hukum itu sifatnya prodeo sehingga masyarakat kurang mampu yang memiliki masalah hukum lebih memilih melupakan masalahnya dibanding harus melaporkan atau menyelesaikannya ke lembaga -lembaga penegak hukum. Keseriusan pemerintah untuk menegakkan hukum secara tepat terutama dalam pemberian bantuan hukum untuk masyarakat secara luas. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, maka disana dirumuskan bahwa dalam Pasal 17 ayat (1) Pemerintah wajib mengalokasikan dana penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kebijakan Pemerintah dalam pengalokasiaan dana bantuan hukum tersebut sangat diapresiasi karena dengan begitu Pemerintah bertanggungjawab dalam mendanai pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma. Tetapi apabila di cermati berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) bahwa Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum adalah kebijakan yang diskriminatif. Dikatakan diskriminatif karena dana bantuan hukum 121 hanya akan di berikan kepada lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan, berarti advokat yang bekerja di law office atau law firm tidak mendapatkan dana bantuan hukum. Padahal untuk menjalankan bantuan hukum secara cuma-cuma, advokat yang bekerja di law office atau law firm pun pasti membutuhkan dana. 3. Tingkat Pendidikan yang Rendah Pendidikan sekarang memang sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan masa penjajahan. Wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan oleh pemerintah menjadi hal yang menjadikan pada masa ini jauh lebih baik. Sayangnya hal tersebut baru berlaku pada sebagian masyarakat Indonesia. Masih ada sekolah-sekolah dipelosok yang kualitas sarana dan prasarana pendidikan mereka masih jauh dari kata layak. Pendidikan yang tidak merata khususnya pada pelosokpelosok menjadikan bantuan hukum kadang hanya jadi wacana tidak ada implementasi maupun tindakan serius dari pemerintah karena jumlah dari penegak hukum di tempat itu sendiri juga terbatas. Sedangkan hambatan lain atau masalah yang terjadi dalam pemberian bantuan hukum menurut Andi Hamzah132 adalah : 1. Bantuan hukum jelas tidak hanya melibatkan advokat Hal ini merupakan jaminan dari asas equality before the law untuk mencapai keadilan bagi semua lapisan masyarakat. Baik yang mampu maupun tidak mampu baik itu tersangka atau terdakwa 132 Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 45. 122 dan juga korban. Dalam negara hukum yang demokratis, hak-hak individu selalu dilindungi oleh undang-undang. Dalam negara hukum semua orang mempunyai hak untuk didampingi oleh advokat atau penasehat hukum, apakah ia kaya atau miskin, berasal dari ras tertentu atau kebudayaan tertentu atau mempunyai keyakinan politik tertentu tidaklah membedakannya untuk diperlakukan sama di hadapan hukum. Semua unsur peradilan pun harus berperan (hakim, polisi dan jaksa) sesuai kapasitas dan perannya. Dalam tahap pemeriksaan yang berada di wilayahnya, mereka wajib memastikan adanya bantuan hukum untuk masyarakat yang berkepentingan. Sementara advokat sendiri mempunyai kewajiban memberi bantuan hukum sesuai kode etik mereka; 2. Masalah pendanaan yang tidak jelas Prioritas pemerintah untuk menyelenggarakan programprogram kesejahteraan bagi masyarakat masih sangat minim. Anggaran negara bagi sektor hukum secara keseluruhan memang paling minim dibanding sektor -sektor lain. Masalah hukum yang kurang diperhtikan oleh pemerintah menjadikan terpuruknya hukum di Indonesia. Namun sektor anggaran yang agaknya mulai diperhatikan adalah gaji hakim dan juga adanya pemberian bantuan pendanaan untuk lembaga-lembaga bantuan hukum. Pendanaan ini juga bisa dilihat dari masyarakat yang beum banyak mengetahui bahwa bantuan hukum yang mereka terima biasanya untuk yang tidak mampu bisa prodeo; 123 3. Pos bantuan hukum hanya ada di Kota-Kota besar Pos Bantuan Hukum (posbakum) hanya ada di kota-kota besar. Di daerah-daerah terpencil keberadaan posbakum masih belum terlembagakan dengan baik; 4. Kriteria dari penerima bantuan hukum, pembuktian bahwa yang bersangkutan tidak mampu juga belum ada peraturannya sehingga masih banyak masyarakat yang tidak didampigi oleh advokat saat berperkara dari kepolisian sampai pengadilan; 5. Masalah sanksi bagi aparat penegak hukum yang tidak mematuhi. Sanksi bagi para penegak hukum yang tidak mematuhi hukum masih dirasa kurang tegas. Bagi advokat sendiri jika advokat tidak menjalankan kewajibannya untuk membe rikan bantuan hukum sesuai perundangan yang berlaku maka sanksi yang dikenakan hanya penjatuhan sanksi kode etik. Pendapat Soekanto 133 masih terakhir yang mengenai disampaikan hambatan yang oleh Soerjono terjadi dalam pemberian bantuan hukum adalah : 1. Situasi dimana bantuan hukum yang ada kurang dimanfaatkan oleh masyarakat yang secara finansial kurang atau tidak mampu. 2. Pembedaan kualitas bantuan hukum yang diberikan 3. Faktor jarak antara tempat kedudukan lembaga bantuan hukum dengan tempat tinggal warga masyarakat. 133 Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 127. 124 4. Perbedaan kelas-kelas sosial. 5. Terbatasnya peyuluhan yang diberikan oleh lembaga bantuan hukum. 6. Kurangnya perlindungan hukum yang diberikan pada masyarakat. 7. Kurangnya pemberianhukum yang sifatnya preventif, yang mencakup pendidikan hukum kepada masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor -faktor yang menghambat adanya pemberian bantuan hukum pada anak sebagai korban tindak pidana dengan menerapkan teori-teori yang sudah dijelaskan tersebut, hambatan yang terjadi terbagi menjadi 2 (dua) yakni hambatan secara internal maupun secara eksternal. A. Secara Internal Secara internal berarti hambatan itu terjadi dari dalam KOMNAS itu sendiri. Maka yang menjadi hambatan pada saat pemberian bantuan hukum oleh KOMNAS Anak pada anak sebagai korban tindak pidana adalah : 1. Faktor Sarana atau Fasilitas yang mendukung penegakkan hukum oleh KOMNAS Anak. Tanpa adanya sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum maka tidak mungkin penegakkan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, 125 keuangan yang cukup, kalau hal- hal tersebut tidak dipenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuanya; Lebih lanjut sesuai dengan wawancara yang dilakukan oleh Samsul Ridwan134 maka permasalahan mengenai a) Terbatasnya sumber daya manusia KOMNAS Anak sendiri memiliki anggota yang sedikit hanya sekitar 20 orang saja di kantor KOMNAS Anak meskipun di daerah baik itu di 31 provinsi maupun kabupaten kota KOMNAS Anak sudah dibantu oleh LPA (Lembaga Perlindungan Anak) untuk menerima semua pengaduan baik itu di Jakarta maupun di daerah namun tetap saja sumber daya manusianya terbatas. b) Terbatasnya Waktu KOMNAS Anak hanya buka atau menerima pengaduan langsung dari senin-jumat dari jam 09.00-17.00 sementara sabtu minggu KOMNAS Anak tutup sedangkan terkadang pengaduan tidak bisa menunggu, sehingga KOMNAS Anak menerima pengaduan via emai atau sms. Sehingga pengaduan baru akan mulai diperiksa setelah hari kerja kembali. c) Terbatasnya Pendanaan 134 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 126 Tidak bisa dipungkiri dana adalah hal yang penting bagi operasional suatu kegiatan, bahkan dalam pendapatpendapat para ahli tentang hambatan pemberian bantuan hukum faktor ekonomi menjadi salah satu permasalahan yang tidak habis dibahas. Maka dari itu keterbatasan dana khususnya dalam KOMNAS Anak kadang menjadi hambatan tersendiri. KOMNAS Anak dalam memberikan bantuan pada setiap pengaduan adalah prodeo atau tidak mengeluarkan uang sedikitpun sekalipun itu untuk surat menyurat. Sekalipun dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum dirumuskan dalam Pasal 17 ayat (1) bahwa Pemerintah wajib mengalokasikan dana penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara namun pembiayaan KOMNAS Anak tidak mendapatkan dana dari pemerintah seperti yang diundangkan tersebut. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) yang juga menjadi pemberi bantuan lembaga bantuan hukum untuk anak mendapat pendanaan khusus dari pemerintah baik itu melalui APBN maupun APBD, sedangkan KOMNAS Anak membiayai operasionalnya dapat melalui program-programnya dapat juga melalui hasil kerjasama dengan lembaga -lembaga lain atau pendonor -pendonor asing. 127 Hal yang juga mejadi masalah adalah karena pemberian bantuan hukum yang sifatnya prodeo maka KOMNAS Anak juga memberikan bantuan hukum secara prodeo sehingga terkadang harus mengeluarkan dari kantong pribadi. Selanjutnya jika dilihat dari sudut pandang korban anak terutama anak dari keluarga yang tidak mampu maka apabila berhadapan dengan hukum pasti selalu beranggapan akan menghabiskan biaya, apalagi jika menggunakan jasa advokat. Korban karena merasa keterbatasan ekonomi maka memilih menyerahkan saja kepada penegak hukum. B. Secara Eksternal a. Faktor hukumnya sendiri Hukum atau perundangan yang dilihat pertama kali adalah rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP). dalam KUHP dapat dilihat bahwa rumusan tentang KUHP hanya berkutat dengan delik -delik dan bagaimana cara menghukum pelaku untuk memberikan efek jera, meskipun sepertinya sudah ideal karena pelaku suda h mendapatkan hukuman yang setimpal menurut negara tetapi akhirnya yang terbaca juga melalui pasal-pasal pada KUHP sendiri secara normatif kurang memberikan perlin dungan pada korban. KUHP masih menitikberatkan pada pembalasan pelaku dan belum secara 128 tegas mengatur pemberian perlindungan hukum pada korban. 135 Undang-Undang pokok berikutnya adalah KUHAP seperti yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita 136 maka fungsi dari KUHAP sendiri adalah menitikberatkan perlindungan harkat martabat tersangka atau terdakwa. Jauh daripada ini di dalam KUHAP tidak diatur pentingnya melindungi korban tindak pidana. Yang ada hanya Hak-hak yang diatur dalam Pasal 98-101 KUHAP. Dalam pasal ini diatur mengenai mekanisme ganti kerugian yang dijalankan oleh korban yang disebut penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Bahkan dalam pengaturan undang-undang yang lebih khusus adanya undang-undang bantuan hukum tidak menjelaskan adanya bantuan hukum khusus untuk anak, yang ada hanya penjelasan mengenai bantuan hukum yang diperuntukan untuk masyarakat tidak mampu. Bantuan hukum tentang anak hanya diatur di satu undangundang yang jelas yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sedangkan dalam undang-undang lain yang masih berhubungan dengan bantuan hukum untuk anak tidak ada lagi yang mengatur hal tersebut. Pada akhirnya sebenarnya undang-undang sudah banyak yang mengatur tapi secara praktek hukum masih banyk kekurangan. Padahal jika sistem kita sudah siap atau sudah 135 136 Siswanto Sunarso, Op. Cit, hlm. 49. Bambang Waluyo, Op. Cit, hlm. 36. 129 diperbaiki maka harapan KOMNAS Anak 137 adalah tidak harus semua masalah diselesaikan di tingkat KOMNAS Anak jadi ada pola berbagi peran. Dan jika negara dalam hal ini pemerintah maupun penegak hukum itu kuat maka kasus yang dialami oleh anak tidak akan sebanyak ini. b. Faktor Penegak hukum Penegak hukum seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat dan lembaga pemasyarakatan nyatanya dianggap belum mampu menjembatani aspirasi korban selaku pencari keadilan, artinya penegak hukum dirasa kurang memberikan responsi dan perlindungan hukum bagi korban. Penegak hukum seperti polisi seperti yang dijelaskan oleh Sudiyanti138 kurang kooperatif untuk memberikan pentingnya bantuan hukum untuk korban, polisi juga kadang tidak menyatakan bahwa bantun hukum itu bersifat prodeo. c. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Masyarakat disini adalah pandangan atau st igma masyarakat yang melekat pada masyarakat bahwa berurusan dengan penegak hukum semacam pengacara pasti akan memiliki kerepotan tersendiri. Masyarakat cenderung berfikir jika memakai 137 Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013. 138 Hasil Wawancara dengan Sudianti selaku Lembaga Bantuan Hukum Jakarta di LBH Jakarta pada tanggal 29 Mei 2013. 130 jasa advokat, hukum akan diperlama karena bagi mereka semakin lama advokat menangani perkara, maka semakin mahal dalam membayar jasa advokat tersebut. Stigma tersebut dapat timbul dikarenakan kurangnya pendidikan yang ada pada korban, baik itu pendidikan formal maupun informal yang kurang serta peran penegak hukum yang kurang kooperatif menyebabkan korban khususnya anak maupun keluarga dari korban anak itu sendiri menjadi permasalahan tersendiri sulitnya bantuan hukum tercapai pada semua masyarakat. d. Faktor korban itu Sendiri Korban dalam hal ini baik korban anak maupun keluar ga dari korban anak tersebut biasanya buta hukum. Mereka cenderung bingung untuk melaporkan kasus yang mereka alami. Ada ketakutan tersendiri saat mereka harus meminta bantuan dari advokat itu biasa disebut phobia hukum. Phobia hukum adalah suatu ketakutan berhadapan dengan hukum yang ketakutan tersebut lahir tanpa suatu alasan yang jelas. 131 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Implementasi dari bantuan hukum yang diberikan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak kepada anak sebagai korban tindak pidana adalah sebagai berikut : a. Membuka pengaduan bagi setiap anak yang ingin melakukan pengaduan; b. Menyiapkan pengacara jika ada anak yang harus beracara di pengadilan, menjadi saks i ahli dalam suatu perkara anak, dan yang terpenting; c. Melakukan pendampingan baik secara psikologis (melakukan pemulihan untuk para korban terutama korban kekerasan seksual) dan secara hukum. 2. Hambatan Komisi Nasional Perlindungan Anak dalam pemberian bantuan hukum kepada anak sebagai korban tindak pidana di Indonesia terbagi menjadi 2 hambatan yaitu a. Hambatan Internal Faktor sarana atau Fasilitas yang terdiri dari keterbatasan Sumber Daya Manus ia, keterbatasan pendanaan. keterbatasan waktu, dan 132 b. Hambatan Eksternal 1) Faktor Hukum 2) Faktor Penegak Hukum 3) Faktor masyarakat 4) Faktor Korban itu sendiri. B . Saran Saran yang dapat diberikan berkaitan dengan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah 1. Perlu adanya Undang-Undang selain Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang bantuan hukum untuk anak khususnya bantuan hukum untuk anak sebagai korban tindak pidana karena selama ini yang diatur di undangundang hanya bantuan hukum sebagai hak tersangka atau terdakwa. 2. Mempublikasikan secara luas kepada masyarakat bahwa LPA (Lembaga Perlindungan Anak) yang ada di 31 kabupaten di Indonesia merupakan cabang dari Komisi Nasional Perlindungan Anak sehingga tidak perlu semua pengaduan harus datang langsung ke Komisi Nasional Perlindungan Anak. DAFTAR PUSTAKA 1. Literatur Ali, Achmad. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebabnya dan Solusinya. Jakarta:Ghalia Indonesia; Ali, Zainuddin. 2005. Sosiologi Hukum. Jakarta:Sinar Grafika; Asikin, Zainal, Amiruddin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT RajaGarfindo Persada; Atmasasmita, Romli. 1997. Peradilan Anak diIndonesia. Bandung:Mandar Maju; Bakhri, Syaiful. 2009. Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia. Yogyakarta:Total Media; Djamil, Nasir. 2013. Anak bukan untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak . Jakarta:Sinar Grafika; Effendi, Yazid. 2001. Pengantar Viktimologi Rekonsiliasi Korban dan Pelaku Kejahatan . Purwokerto:UNSOED Purwokerto; Faisal Salam, Moch. 2001. Hukum Acara Pidana dalam Teori & Praktek . Bandung:Mandar Maju; ________________. 2005. Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia. Bandung:Mandar Maju; Gultom, Maidin. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung:PT Refika Aditama; Hakim, Abdullah, Mulyana W Kusumah. 2000, Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum : Kearah Bantuan Hukum Struktural, Bandung:Alumni; Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika; Harahap, Yahya. 2008. Pembahasan permasalahan dan Penerapan Kuhap Penyidikan dan Penuntutan , Jakarta:Sinar Grafika; _____________. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kuhap Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika; Joni, Muhammad. 2012. Penjara (bukan) Jakarta:Perhimpunan Advokasi Anak Indonesia; tempat anak. Joni, Muhammad, Zulchaina Tanamas. 2000. Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak . Bandung:PT Citra Aditya Bakti; Kadafi, Binziad. 2001. Advokat Mencari Legitimasi (Studi Tentang Tanggung jawab Profesi Hukum di Indonesia . Jakarta:Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia; Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. 2012. Memudarnya Batas Kejahatan dan Penegakkan hukum. Jakarta:LBH Jakarta; Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. Jakarta:Refika Aditama:Jakarta; Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif edisi revisi. Bandung:PT Remaja Rosada Karya; M, Dikdik. 2006. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada; Nasution, Adnan Buyung. 2007. Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta:LP3ES; Nugroho, Hibnu. 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jakarta:Media Prima Aksara; PHSK, YLBHI. 2009, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Jakarta:YLBHI; Soekanto, Soerjono. 1985. Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis. Jakarta:Ghalia Indonesia; ________________. 2000. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum. Jakarta:RajaGrafindo Persada ; ________________. 2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta:UIPress. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1994. Metodologi Penulisan Hukum dan Jurumetri , Jakarta:Ghalia Indonesia; Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung:Alfabeta; Sugiyono. 2001. Statistika untuk Penelitian. Bandung:Alfabeta; Sunarso, Siswanto. 2012. Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta:Sinar Grafika; Sunggono, Bambang, Aries Harianto. 1994. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bandung:Mandar Maju; Sunggono, Bambang. 2011. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada; Taufik Makarao, Mohammad, Suharsil. 2004. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek . Jakarta:Ghalia Indonesia; Tiena Masriani, Yulies. 2004. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta:SinarGrafika; Wahid, Abdul. Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan. Bandung:PT Refika Aditama; Wahyudi, Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Yogyakarta:Genta Publishing; Waluyo, Bambang. 2011. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi. Jakarta:Sinar Grafika; Widodo, Joko. 2006. Analisis Kebijakan Publik . Malang:Banyumedia; Winarta, Frans Hendra. 2009. Probono Publicio Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum, Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama; ___________________. 2000. Bantuan Hukum suatu Hak Azasi Manusia bukan Belas Kasihan. Jakarta:PT Elex Media Komputindo; ___________________. 2011. Bantuan Hukum di Indonesia Hak untuk didampingi penasehat hukum bagi semua warga negara. Jakarta:PT Elex Media Komputindo. 2. Peraturan Perundang -Undangan Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. ________. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. ________.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. 3. Sumber lain Catur Satioso. Welly. 2011. Fungsi Pendidikan Agama Islam Pada Anak Menurut Prof DR Zakiah Daradjat, Skripsi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Nege ri Syarif Hidayatullah; Daryanto. Harlis. 2012. Peranan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Terhadap Anak Sebagai KOrban Pemerkosaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Lampung; Dwiatmodjo, Haryanto. 2011. Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Banyumas. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 2 Mei 2011; Indrasari, Winika. 2008. Peranan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; M, Hosianna. 2012. Perlindungan Hukum Terhadap Anak sebagai Korban Tindak Pidana Pemerkosaan yang Dilakukan Oleh Anak. Varia Peradilan. Majalah Hukum No. 325 Desember 2012; Nur Alimah, Ully. 2005. Perlindungan Hukum Anak (Studi tentang Implementasi Perlindungan Hukum Anak dan Faktor-Faktor yang Cenderung Mempengaruhinya di Kabupaten Majalengka). Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Rahmad Setyaji, Ade. 2011. Implementasi Diversi dalam Sistem Peradilan Anak, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Surabaya; Soeparman. 2007. Kepentingan Korban Tindak Pidana Dilihat Dari Sudut Viktimologi. Varia Peradilan. Majalah Hukum No. 260 Juli 2007; Kuswindiarti. 2000. Pola Pembelaan dalam Memberikan Bantuan Hukum Terhadap Terdakwa dalam Proses Pemeriksaan di Pengadilan. Jurnal Ilmiah. STMIK AMIKOM Yogyakarta; Wignyosoebroto. Sutandyo. 2006. Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya. Makalah Lokakarya . Yayasan Dewi Sartika. Semarang; Yunita,. Rike. 2009. Implementasi CSR Bidang Pendidikan dan Pelatihan PT Pertamina (PERSERO) RU. IV Cilacap. Tesis. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Metro.news.viva.co.id/news/read/394458-kronologi-pencabulan-siswisman-22-Jakarta-oleh-wakil-kepsek. Dia kses 08/03/2013 Pukul 20.00; Http://liapadma.wordpress.com/2009/07/23/anak-dan-instrumenperlindungan -hukum-d i-Indonesia. Diakses 30/04/2013 Pukul 20.00; Http://hadi-supeno.com/artikel-anak/93-perspektif-perlindungan-anak dan-implementasinya-d i-indonesia.html. Diakses 02/05/2013 Pukul 20.00; Id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Nasonal_Perlindungan_Anak . Diakses 10/06/2013 Pukul 20.00.