SKRIPSI E1A009140 - Fakultas Hukum UNSOED

advertisement
IMPLEMENTASI BANTUAN HUKUM OLEH
KOM ISI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK KEPADA
ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA
SKRIPSI
Disusun Oleh:
YOLANDA PUTRI DEWANTI
E1A009140
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
IMPLEMENTASI BANTUAN HUKUM
OLEH KOMISI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK
KEPADA ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Oleh:
YOLANDA PUTRI DEWANTI
E1A009140
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
i
ii
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Hanya maaf serta terimakasih yang yolan bisa berikan pada kalian J :
1. ALLAH SWT dan Nabi MUHAMMAD SAW terimakasih padaMu yang begitu
besar yang telah banyak memberi kenikmatan tiada henti untuk hambaMu
ini, rasa sabar yang luar biasa, dan keberuntungan yang tiada henti serta
selalu mencarikan jalan yang terbaik untukku.
2. Keluarga yolan, Mamah Novilastiyati, S.H. (terimakasih selalu memberikan
semangat, doa, mendengar keluh kesah anakmu yg nakal ini. Yolan janji ga
akan pernah ngecewain mamah, yolan akan sukses dan akan bantu ade2),
ayah Ir Hari Poerwanto (terimakasih buat semangat dan doanya selama ini),
ade2 tersayang Vitto dan Tazkia (jangan pada nakal, belajar yg bener, nurut
kata orang tua dan kalian harus lebih baik dari kakak kalian ini), eyang
kakung Almarhum Ir. Hadimartono (skrg yolan udah sarjana kakung pasti
bangga dan yolan yakin kakung pasti selalu bahagia di Surga, uti pasti
yolan jagain), eyang uti yolan yang paling cerewet Sri Rahayu (semoga yolan
yang kata uti selalu jadi contoh karna yolan cucu tertua udah bisa bikin uti
sedikit bangga sama yolan) dan seluruh keluarga besar Hadi Martono buat
doa dan semangat kalian terimakasih semua.
3. Franka Sahat (kesayangan ndda, kudanil ndda, terimakasih udah
mau menungguku hampir 4tahun ini, makasih juga buat sayang,
senyum, semangat, doa, uang jajan, kesabaran, pokoknya smua yg
udah kamu kasih selama ini ke ndda. Aku tunggu janjimu 3 tahun
lagi J)
4. Teman-teman kesayangan yolan ; Nanda (makasih ya say udah banyak bgt bantu
aku, bersedia direpotkan terus, temen gila, kmu sahabat terbaik yolan. Jadi ga
nanti anak kita, kita jodohin :p) Stefani (ntep lo sahabat gue dimanapun dipwt
dijkt lo yg terbaik, kita masuk bareng keluar jg bareng, mksh ya ntep buat
smuanya) Ixora (cepet lulus ca jangan bandel, makasih buat semuanya), Irma
(pejuang skripsi brg aku, temen atak itik dikampus di akhir2,makasih bgt say
buat semua dan maap ngerepotin terus) Azi (temen pertama yolan di kampus
merah, ma kasih buat nasehat serta kegilaan2nya,langgeng ma anggi ya), Syaikhu
(guru spiritual yolan mkasih buat smua bantuan skripsinya,mksh buat semuanya
iv
5. Kosan Griya Kusuma : Mak Ciput, Mak Sinta (kalian mba2ku yg terbaik, yg bikin aku
ngrasa punya kaka prempuan yg suka ngajarin byak hal, mb kalo nikah undang2 ya),
[Geng Ucul yg selalu mau direpotin makasih bgt ya: Puput (hobi pulangnya dikurangin
neng, moga cita2 nikah mudanya tercapai :p) Rima (kurangin hawa premannya itu,
langgeng ma surip ya) Tya (kmu msih ada utang maen krumahku smbil bawa yg lain lho,
langgeng ma satriyo ya) Nisa Senior (jangan sakit2 mulu neng dijaga baik2 itu badan,
cpet dpet pacar yg dpengen)], Nisa Junior (kurangi hobi hebohnya ga semua org bisa
trima klakuanmu itu neng ), Sarah (hobi tidur kaya org mati itu kudu kmu kurangin neng
:p), Ega (mksh udh jadi ojek di akhir2 perjuangan aku d pwt :p). Cepet lulus buat kalian
semua, maap kalo mba.mu ini byak salah, makasih buat bantuan kalian slama ini, dan jgan
lupa undang mba.mu ini klo klian nikah, aku pasti akan merindukan kalian semua :’)
6. Teman-teman Kampus Merah; tante genjreng (Dira,Intan,Eep,Debby,Nuni,Ega
makasih buat semua bantuan dan kegilaan yg kalian kasih), Agatha (sampai ketemu
lg ya jangkung,makasih), Afril (kmu itu unik fril,mkasih buat semuanya), temanteman pejuang acara pidana (terimakasih buat semua dan maap jika merepotkan),
[teman-teman KKN Sirau 2: Ovi, Yayan, Yeyen, Riko, Tunjang, Ojan, Yondi. Makasih
buat pengalaman berharga selama di Sirau, 35hari bersama kalian Istimewa],
semua temen2 angkatan 2009 kelas A-E (makasih buat bantuan kalian selama ini
selama yolan di pwt), semua temen2 2010,2011,2012 yang mengenal yolan (maap
kalo yolan pnya salah dan terimakasih buat semua bantuan kalian), temen2 PeJe
(kalian istimewa kalian kakak,ade,saudara terbaik, jangan pernah menyesal ada di
PeJe karna PeJe akan memberikan pengalaman yang banyak dan pasti berguna
untuk kalian), dan smua orang yg belu m kesebut disini makasih semuanyaa J
Terimakasih untuk semuanya, maafin yolan yang selama ini punya banyak
salah, yolan yg bawel, yolan yg egois, yolan yg slalu nyusahin kalian.
Yolan sayang kalian semua. Yolan ga berarti apa-apa dan ga akan bisa jadi
seperti hari ini tanpa kalian orang-orang terhebat disekitar yolan J
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT
atas segala rahmat dan karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : IMPLEMENTASI
BANTUAN HUKUM OLEH KOMISI NASIONAL PERLINDUNGAN
ANAK KEPADA ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA.
Berbagai kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi
ini. Namun berkat bimbingan, kesabaran, bantuan moril maupun materill serta
pengarahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada :
1. Bapak
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
2. Bapak Dr. Agus Raharjo, S.H., M.Hum., selaku dosen penelitian dan guru
spiritual atas segala bantuan, dukungan, masukan, menyediakan waktu dan
kebaikan yang banyak kepada penulis selama penulisan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Hibnu Nugroho S.H., M.H., selaku dosen pembimbing I
Skripsi, atas segala bantuan, arahan, dukungan, waktu dan masukan serta
telah mengajarkan kesabaran yang luar biasa kepada penulis selama
penulisan skripsi ini.
4. Ibu Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H., selaku dosen Pembimbing II
Skripsi atas segala bantuan, arahan, dukungan, masukan, menyediakan
waktu dan kebaikan yang banyak kepada penulis selama penulisan skripsi
ini.
vi
5. Bapak Pranoto , S.H., M.H., selaku dosen penguji Skripsi yang telah
memberi saran dan perbaikan pada skripsi penulis.
6. Bapak Sanyoto, S.H., M.Hum. selaku Kepala Bagian Hukum Acara atas
semua bantuannya.
7. Ibu Hj. Setyadjeng Kadarsih, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing
Akademik atas segala motivasi, kesabaran, dan kebaikannya kepada
penulis selama berproses kuliah di Fakultas Hukum.
8. Seluruh dosen di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
9. Kedua orang tua dan seluruh keluarga besar yang telah mendukung dan
selalu memberi doa serta semangat kepada penulis.
10. Komisi Nasional Perlindungan Anak sebagai Obyek Penelitian yang telah
memberikan informasi, masukan serta waktu selama penulisan skripsi ini.
11. Seluruh teman-teman yang tiada lelah selalu mendukung bahkan ikut
direpotkan penulis selama penulisan skripsi ini.
Semoga amal kebaikan serta bantuan yang telah diberikan mendapat
balasan dari Allah SWT. Skripsi ini hanya karya manusia biasa yang memiliki
banyak kekurangan oleh karenanya kritik dan masukan demi kesempurnaan
skripsi ini sangat penulis harapkan.
Purwokerto, 22 Oktober 2013
Yolanda Putri Dewanti
E1A009140
vii
ABSTRAK
IMPLEMENTASI BANTUAN HUKUM
OLEH KOMISI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK
KEPADA ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA
Oleh:
YOLANDA PUTRI DEWANTI
E1A009140
Korban terutama korban anak dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
merupakan pihak yang lemah. Kedudukan korban dalam Sistem Peradilan Pidana
hanya sebagai pelengkap dalam suatu proses peradilan. Hal ini di sebabkan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana lebih
berorientasi kepada kepentingan pelaku daripada korban. Komisi Nasional
Perlindungan Anak sebagai salah satu penegak hukum memberikan bantuan
hukum pada anak khususnya kepada korban secara cuma-cuma.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis implementasi
pemberian bantuan hukum oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak kepada anak
sebagai korban tindak pidana dan menganalisis kendala Komisi Nasional
Perlindungan Anak dalam memberikan bantuan hukum kepada anak.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
sosiologis dan menggunakan spesifikasi penelitian deskriptif. Lokasi penelitian
dilakukan di Komisi Nasional Perlindungan Anak Jakarta. Jenis dan sumber data
yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data
adalah data primer melalui wawancara dan data sekunder melalui studi
kepustakaan. Metode penyajian data dengan menggunakan teks naratif yang
disusun secara sistematis sebagai kesatuan yang utuh. Metode Pengambilan
informan dengan menggunakan Purposive Sampling dengan criterian based
selection dan metode analisis data secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian, bahwa pemberian bantuan hukum oleh
Komisi Nasional Perlindungan Anak kepada anak sebagai korban tindak pidana
sudah diberikan tetapi belum maksimal dikarenakan peraturan perundangundangan yang masih lebih condong melindungi hak-hak tersangka/terdakwa
dibandingkan hak-hak korban ditambah hanya ada 1 undang-undang yang
mengatur adanya bantuan hukum untuk anak sebagai korban tindak pidana .
Kata Kunci: Bantuan Hukum, Komisi Nasional Perlindungan Anak, Anak
viii
ABSTRACT
IMPLEMENTATION OF AID BY THE NATIONAL COMMISSION FOR
CHILD PROTECTION TO CHILDREN AS THE VICTIMS OF
CRIMINAL ACT
By :
YOLANDA PUTRI DEWANTI
E1A009140
The victims are mainly children's victims in the Indonesian Criminal
Justice System is the underdog. The position of the victim in the Criminal Justice
System only as a complement in a judicial process. This is caused Act No. 8 of
1981 on the law of criminal procedure is more oriented to the interests of the
perpetrator rather than the victim. The National Commission for child protection
as one of the law enforcement agencies provide legal aid in particular to victims
free of charge.
The purpose of this research is to know and analyze the implementation of
the provision of legal aid by the National Commission for child protection to the
children as the victims of a criminal act and analyze the constraints of National
Commission for child protection in providing legal aid to the children.
The approach method used in this research is the juridical sociological and
use descriptive research specifications. The location of the research conducted at
the National Commission for child protection. Types and data sources used are
primary data and secondary data. Method of data collection is the primary data
through interview and secondary data through literature review. Methods of data
presentation use narrative text which is arranged systematically as a unified
whole. Retrieval Informant method use Purposive Sampling with criterian based
selection and methods of qualitative data analysis.
Based on the results of the research, that the granting of legal aid by the
National Commission for child protection to the children as the victims of a
criminal act has been granted but not yet maximized due to legislation that is still
more tend to protect the rights of suspects/defendants than victims ' rights further
more there is only one Act that regulate the existence of legal aid for children as
the victims of criminal act.
Keywords: Legal Aid, The National Commission For Child Protection, Children
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL..........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ ii
HALAMAN PERNYATAAN........................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................ iv
KATA PENGANTAR........................................................................................ vi
ABSTRAK.......................................................................................................... viii
ABSTRACT........................................................................................................ ix
DAFTAR ISI......................................................................................................
x
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah..........................................................................
1
B. Perumusan Masalah................................................................................. 10
C. Tujuan Penelitian..................................................................................... 10
D. Kegunaan Penelitian................................................................................ 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Bantuan Hukum.........................................................................................12
1. Pengertian Bantuan Hukum.............................................................12
2. Tujuan Bantuan Hukum.................................................................19
3. Bantuan Hukum untuk Anak sebagai Korban Tindak Pidana.............23
B. Anak...........................................................................................................28
1. Pengertian Anak.............................................................................28
x
2. Macam-Macam Status Anak................................................................32
3. Anak sebagai Korban Tindak Pidana...................................................37
C. Komisi Nasional Perlindungan Anak.........................................................40
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan....................................................................................46
B. Spesifiksasi Penelitian................................................................................47
C. Lokasi Penelitian........................................................................................48
D. Jenis Data...................................................................................................48
E. Metode Pengumpulan Data........................................................................50
F. Metode Penyajian Data..............................................................................52
G. Metode Penentuan Informan......................................................................52
H. Metode Validitas Data................................................................................53
I. Metode Analisa Data..................................................................................53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Data Sekunder................................................................................55
2. Data Primer....................................................................................70
B. Pembahasan..........................................................................................96
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.........................................................................................131
B. Saran...................................................................................................132
DAFTAR PUSTAKA
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum pidana dibedakan menjadi hukum pidana (materill) dan
hukum acara pidana (formil). Hukum pidana (materill) sebagai
keseluruhan peraturan hukum yang menunjukan perbuatan mana yang
seharusnya dikenakan pidana dan dimana pidana itu seharusnya menjelma,
sedangkan hukum acara pidana berfungsi untuk menjalankan hukum acara
pidana substantif (materill), sehingga disebut hukum pidana formal atau
hukum acara pidana. 1
Simon2 menyebutkan :
hukum acara pidana yang disebut juga hukum pidana formal yaitu
mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya
untuk memidana dan menjatuhkan pidana.
Pengertian hukum acara pidana juga disampaikan oleh R. Achmad
Soemadipraja 3 yaitu :
hukum acara pidana yaitu hukum yang mempelajari peraturan yang
diadakan oleh negara dalam hal persangkaan telah dilanggarnya UndangUndang Pidana.
1
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 4.
Mohammad Taufik Makarao dan Suharsil, 2004, Hukum Acara Pidana dalam Teori
dan Praktek , Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 1.
3
Moch. Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Mandar
Maju , Bandung, hlm. 1.
2
2
Hukum acara pidana sendiri menurut Van Bemmelen4 memiliki
tiga fungsi yaitu sebagai berikut :
1. Mencari dan menemukan kebenaran
2. Pemberian keputusan oleh hakim
3. Pelaksanaan putusan Indonesia.
Tujuan atau fungsi hukum acara pidana yang lain menurut Hibnu
Nugroho5 adalah :
1. Sebagai sarana untuk mencari suatu kebenaran materill dari
suatu tindak pidana yang terjadi ;
2. Menemukan orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana ;
3. Meminta pengadilan untuk memutuskan bersalah atau tidaknya
tersangka, dan
4. Melaksanakan dan kemudian mengawasi pelaksanaan.
Berdasarkan ketiga fungsi hukum acara pidana diatas point paling
penting dalam penegakkan hukum di Indonesia adalah mencari kebenaran,
karena setelah menemukan kebenaran maka hakim dapat melaksanakan
putusan secara adil bagi semua orang. Keadilan yang sekarang dapat
dikatakan sebagai sesuatu yang langka di Indonesia menjadi hal yang
penting mengingat posisi korban yang memiliki porsi tidak seimbang
dengan tersangka atau terdakwa. Kiranya wajar jika seharusnya ada
keseimbangan antara hak-hak tersangka atau terdakwa dan korban karena
pengaturan didalam Kita b Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(selanjutnya disingkat dengan KUHAP) mengenai korban sama sekali
4
Andi Hamzah, Op. Cit , hlm. 8.
Hibnu Nugroho, 2012, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,
Media Prima Aksara, hlm. 32.
5
3
termarjinalkan. KUHAP lebih banyak mengatur mengenai perlindungan
terhadap tersangka, sedangkan perlindungan terhadap korban tidak
dirumuskan secara lengkap.6 Ini karena korban dalam Sistem Peradilan
Pidana posisinya tidak menguntungkan sehingga sering dianggap sebagai
pemain figuran dan pada akhirnya korban yang dianggap sebagai pemain
figuran akan kembali menderita karena sistem hukum itu sendiri, karena
korban tidak dilibatkan secara aktif seperti halnya saat beracara perdata.
Korban dalam tindak pidana tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat
secara aktif dalam proses penyidikan dan persidangan, sehingga ia
kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan
keadaannya akibat suatu kejahatan.
Tentang KUHAP yang lebih mengutamakan hak-hak tersangka
atau terdakwa diakui oleh Romli Atmasasmita 7 yang menyatakan bahwa
fungsi
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
terutama
menitikberatkan perlindungan harkat dan martabat tersangka atau
terdakwa.
KUHAP yang terlalu berorientasi pada tersangka atau terdakwa
dapat dilihat salah satunya dalam hal pemberian bantuan hukum, seperti
yang tercantum dalam Pasal 56 KUHAP yang menyebutkan :
(1) “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati
atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi
mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima
6
Siswanto Sunarso, 2012, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 50.
7
Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 36.
4
tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum
sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat
hukum bagi mereka.
(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak
sebgaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya
dengan cuma-cuma.”
Pengaturan tentang hak korban dalam hal ini korban kejahatan yang ada di
KUHAP hanya diatur di dalam BAB XII (Pasal 98-101) KUHAP yang
memungkinkan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian kepada
perkara pidana bukan mengenai hak yang sama untuk mendapatkan
bantuan hukum.
Perbedaan pengaturan tentang kedudukan tersangka atau te rdakwa
dengan korban juga terlihat lebih khusus di Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tetang Penga dilan Anak tidak secara eksplisit memuat norma
hukum yang mengatur perlindungan anak sebagai korban tindak pidana.
Yang diatur dalam Undang-Undang Pengadilan anak tersebut hanya
mengatur norma atau hukum anak sebagai pelaku bukan anak sebagai
korban.
Mengkaji undang-undang maupun pasal-pasal tersebut secara jelas
bahwa bantuan hukum diberikan kepa da terdakwa atau tersangka
sedangkan untuk bantuan hukum pada korban yang mengalami tindak
pidana tidak diatur, bahkan jika dikaji lebih jauh maka seharusnya yang
mendapatkan bantuan hukum bukan hanya tersangka atau terdakwa namun
juga korban sebagai bentuk dari keadilan untuk korban. Dalam prakteknya
5
memang hak-hak korban sudah diakomodir oleh para aparat negara. Pihak
korban menurut negara telah diwakili oleh polisi dan jaksa namun sifat
dari hubungan korban dan aparat negara ini hanya simbolik. Sifatnya
adalah untuk menyerap aspirasi korban dan untuk menguatkan pembuktian
lazimnya yang bersangkutan dijadikan saksi korban tapi itu tidak akan
secara langsung mengakomodir semua yang dirasakan oleh korban,
terutama dalam kasus yang berhubungan dengan korban anak sehingga
sering menimbulkan ketidakpuasan dari keluarga maupun korban itu
sendiri.
Seringkali penuntut umum tidak sadar kalau penuntut umum kurang
mewakili kepentingan korban dan bertindak sesuai kemauannya, sehingga
kewajiban perlindungan serta hak-hak korban terutama korban anak sering
diabaikan bahkan
dilupakan oleh
para
aparat
negara
tersebut.
Bahkan pengabaian hak-hak korban terjadi pada hampir setiap tahapan,
baik itu dalam tahap-tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di
pengadilan dan proses-proses selanjutnya.
Diabaikannya eksistensi korban dalam penyelesaian kejahatan
menurut Arif Gosita 8 terjadi karena beberapa faktor yaitu sebagai berikut :
1. Masalah kejahatan tidak dilihat, dipahami menurut proposi yang
sebenarnya.
2. Penanggulangan permasalahan kejahatan yang tidak didasarkan
pada konsep, teori etimologi kriminal yang rasional, bertanggung
jawab dan bermartabat.
8
Harlis Daryanto, 2012, Peranan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terhadap
Anak sebagai Korban Pemerkosaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Lampung, hlm. 15.
6
3. Pemahaman dan penanggulangan permasalahan kejahatan tidak
didasarkan pada pengertian citra mengenai manusia yang tepat
(tidak melihat dan mengenai manusia pelaku dan manusia korban
sebagai manusia sesama kita).
Sistem Peradilan Pidana seperti yang telah dibahas diatas yang
lebih yang berorientasi kepada pelaku atau terdakwa disebut sebagai
konsep retributive justice (pembalasan). Soeparman9 menyatakan yang
dimaksud konsep retributive justice adalah :
Konsep retributive justice yaitu suatu kebijakan yang titik
perlindungannya adalah si pelaku tindak pidana (offender oriented)
bukan restorative justice yang fokus kebijakan perlindungan
terhadap korban tindak pidana (victim oriented).
Korban terutama korban anak memiliki permasalahan yang lebih
kompleks. P ada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri
terhadap berbagai macam ancaman mental, fisik, sosial dan berbagai
bidang kehidupan serta penghidupan dan dalam menyatakan apa yang
dirasakan, anak lebih sulit mengapresiasikan perasaannya sehingga harus
dibantu orang lain dalam melindungi dirinya.10 Dalam hal ini orang lain
atau lembaga yang dapat berkomunikasi lebih dengannya, bukan hanya
seperti polisi dan jaksa yang hubungannya hanya sebatas melaksanakan
tugas negara sebagai wakil dari korban tersebut namun dapat juga
lembaga -lembaga yang peduli tentang permasalahan-permasalahan anak.
9
Soeparman, 2007, Kepentingan Korban Tindak Pidana Dilihat Dari Sudut Viktimologi,
Varia Peradilan, Majalah Hukum, No. 260 Juli 2007, hlm 51.
10
Romli Atmasasmita, 1997, Peradilan Anak diIndonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm.
162.
7
Korban terutama anak memiliki posisi yang lemah dalam
lingkungan, keluarga, masyarakat, dan negara. Anak juga merupakan
subjek yang paling rentan berhadapan dengan kejahatan. 11
Posisi mereka semakin lemah karena seperti kita ketahui bahwa dalam
ilmu viktimologi yang menggunakan teori Hans Von Hentig 12 yaitu :
membuat tipologi korban me nggunakan klasifikasi sosio biologis
dengan mendasarkan faktor psikologis, sosial dan biologi dengan
membagi tipe korban menjadi 13 macam korban yang dapat
dijadikan resiko viktimisasi, dua diantaranya adalah the young dan
the female .
The young atau anak sebagai urutan teratas yang memiliki resiko paling
besar untuk menjadi korban dalam suatu tindak pidana. Ini dikarenakan
anak anak lebih lemah secara fisik da n mental, kepribadiannya belum
matang serta belum mempunyai ketahanan yang cukup apabila harus
menghadapi serangan terutama dari orang dewasa, apalagi anak cenderung
lebih mudah untuk diperdaya dan anak cenderung lebih takut untuk
menceritakan apa yang menimpa pada dirinya.
Teori lain yang menyatakan bahwa anak adalah termasuk dalam
golongan dari korban yang mudah menjadi korban tindak pidana adalah
teori dari Schafer 13 yang membagi menjadi 6 tipologi korban berdasarkan
keadaan dan status korban. Anak dalam tipologi korban tersebut termasuk
dalam Biologically weak victims yaitu mereka yang secara fisik memliki
kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban. Anak dimasukkan
11
YLBHI dan PHSK, 2009, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia Pedoman Anda
Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, YLBHI, Jakarta, hlm. 456.
12
Yazid Effendi, 2001, Pengantar Viktimologi Rekonsiliasi Korban dan Pelaku
Kejahatan, UNSOED Purwokerto, Purwokerto, hlm. 31.
13
Ibid, hlm. 32.
8
dalam golongan ini karena secara fisik mereka memang lebih lemah
dibanding orang dewasa.
Bukti bahwa semakin banyak anak sebagai korban tindak pidana
juga disampaikan menurut data yang masuk ke Komisi Nasional
Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat dengan KOMNAS Anak), sejak
tahun 2011 tercatat data kekerasan terhadap anak dan kejahatan seksual
terhadap anak mengalami peningkatan. Tahun 2010 terdapat 2.462 kasus
kekerasan terhadap anak, 42 persen diantaranya kejahatan seksual dan
pada tahun 2011 tercatat 2.509 kasus, 58 persennya adalah kasus kejahatan
seksual. Tahun 2012 menurut laporan masyarakat tercatat 2.637 laporan
kekerasan terhadap anak dan 62 persennya atau 1075 kasus tersebut adalah
kejahatan seksual terhadap anak. Data terbaru di KOMNAS Anak
menyatakan bahwa pada Januari hingga Februari 2013 tercatat ada 354
kasus yang dilaporkan ke KOMNAS Anak dan 84 diantaranya adalah
kejahatan seksual terhadap anak. 14
Maraknya kejahatan yang terjadi pada anak memang dapat
dikatakan cukup mengkhawatirkan bahkan menurut data dari KOMNAS
Anak tahun ini tahun 2013 adalah tahun darurat kejahatan pada anak
terutama kejahatan seksual pada anak. Banyaknya kasus kejahatan yang
menimpa anak yang terjadi setiap harinya membuat Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (selanjutnya disingkat dengan KPAI) dan KOMNAS
Anak bekerja lebih keras untuk dapat memberi perlindungan untuk anak14
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
9
anak yang tersangkut kasus -kasus pidana, salah satunya dengan cara
memberi bantuan hukum pada korban anak tersebut.
Kasus terbaru yang peneliti temui saat meneliti di KOMNAS Anak
pada tanggal 28 Mei 2013 adalah adanya pelaporan yang disampaikan
langsung ke KOMNAS Anak tentang adanya dugaan kekerasan baik
kekerasan fisik maupun kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah satu
wali kelas Sekolah Dasar Negeri 4 Beji, Depok, Jawa Barat. Wali kelas
sekolah tersebut diduga melakukan kekerasan fisik dan kekerasan seksual
pada 17 siswa kelas V di Sekolah Dasar Negeri tersebut. Pada pelaporan
tersebut langsung diterima oleh Arist Merdeka Sirait. Dalam kasus itu
KOMNAS Anak sudah siap untuk memberikan bantuan hukum jika
memang benar telah terjadi pencabulan pada murid-murid tersebut. 15
Berlatar belakang pada fakta adanya pelaporan yang ada di
KOMNAS Anak tersebut dan adanya bantuan hukum yang diberikan oleh
KOMNAS Anak pada kasus di atas, KUHAP yang lebih berorientasi pada
tersangka atau terdakwa dan adanya KOMNAS Anak sebagai Lembaga
Swadaya Masyarakat yang banyak memberi perlindungan pada anak
sebagai korban, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul “Implement asi Bantuan Hukum oleh Komisi Nasional Perlindungan
Anak kepada Anak Sebagai Korban Tindak Pidana”.
15
Hasil Wawancara dengan Orang Tua Korban dugaan pelecehan seksual di KOMNAS
Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
10
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis
dapat merumuskan permasalahan, yaitu :
a. Bagaimana implementasi bantuan hukum oleh Komisi Nasional
Perlindungan Anak kepada anak sebagai korban tindak pidana di
Indonesia ?
b. Adakah hambatan Komisi Nasional Perlindungan Anak dalam
pemberian bantuan hukum kepada anak sebagai korban tindak
pidana di Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penulis menentukan
tujuan penelitian sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui implementasi bantuan hukum oleh komisi
nasional perlindungan anak kepada anak sebagai korban tindak
pidana.
b. Untuk mengetahui hambatan yang dialami oleh komisi nasional
perlindungan anak dalam pemberian bantuan hukum kepada anak
sebagai korban tindak pidana.
11
D. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
digunakan
untuk
pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana baik
materiil maupun formil.
b. Kegunaan Praktis
Berdasarkan yang dibahas, maka penelitian ini mempunyai
kegunaan praktis, yaitu :
1. Dapat
memberikan
sumbangan
pemikiran
mengenai
penerapan pemberian bantuan hukum oleh komisi nasional
perlindungan anak kepada anak sebagai korban tindak
pidana.
2. Sebagai bahan masukan dan ilmu tambahan mengenai
implementasi
bantuan
hukum
oleh
komisi
nasional
perlindungan anak kepada anak sebagai korban tindak
pidana.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bantuan Hukum
1. Pengertian Bantuan Hukum
Sebelum membahas tentang pengertian bantuan hukum
maka harus diketahui awal mula dari sejarah adanya bantuan hukum.
Apabila bantuan hukum diartikan sebagai charity maka sebenarnya
bantuan hukum sudah ada sejak tahun 1500-an bersamaan dengan
datangnya bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Atau jika
diartikan secara luas masyarakat Indonesia yang suka bergotong
royong dan meminta bantuan jika ada permasalahan ke kepala adat
maka itu bisa diartikan sebagai bagian dari bantuan hukum.
Dalam hukum positif di Indonesia bantuan hukum pertama
kali diatur dalam Pasal 250 HIR. Dalam pasal ini jelas mengatur
tentang bantuan hukum bagi terdakwa dalam perkara-perkara yaitu
perkara yang diancam dengan hukuman mati dan atau hukuman
seumur hidup. Walaupun pada masanya pasal ini pengaturannya
diutamakan untuk bangsa Belanda bukan bangsa Indonesia. Dan pada
masa itu orang yang ditunjuk sebagai ahli hukum wajib memberikan
bantuan hukum dengan cuma-cuma.
Keterbatasan berlakunya HIR bisa ditafsirkan sebagai awal
mula dari pelembagaan bantuan hukum ke dalam hukum positif
Indonesia. Sebelum adanya undang-undang yang mengatur tentang
13
hukum acara maka HIR dinyatakan tetap berlaku. Pada tahun 1970
lahirlah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang di dalam
Pasal 35, 36, dan 37 mengatur tentang bantuan hukum.
Lembaga atau biro bantuan hukum dalam bentuk konsultasi
hukum pernah didirikan di Rechtshoge School Jakarta pada tahun
1940. Biro ini didirikan dengan maksud untuk memberi nasehat hukum
kepada rakyat tidak mampu dan juga untuk memajukan kegiatan klinik
hukum.
Berbicara tentang sejarah bantuan hukum tidak terlepas dari
sosok S. Tasrif dan Adnan Buyung Nasution. S. Tasrif adalah yang
orang pertama yang menyatakan bahwa bantuan hukum si miskin
merupakan satu aspek cita -cita dari rule of the law. Kemudian untuk
mewujudkan idenya tersebut, S. Tasrif menyatakan kepada Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta untuk diberikan satu ruangan yang dapat
digunakan untuk para advokat secara bergiliran untuk memberikan
bantuan hukum. Sedangkan Adnan Buyung Nasution mengajukan ide
untuk pembentukan Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia kemudian
ditindaklanjuti dengan berdirinya LBH Jakarta (Lembaga Bantuan
Hukum Jakarta) sebagai Lembaga Bantuan Hukum pertama di
masyarakat maka orang tidak berharap banyak dari Lembaga Bantuan
14
Hukum tersebut. 16 Dan semakin berkembangnya masyarakat maka
mulai bermunculan berbagai macam LBH lain di Indonesia.
Penjabaran di atas membuat pemikira n bahwa bukanlah hal
yang mudah untuk memberikan batasan atau pengertian dari bantuan
hukum mengingat kompleksitas permasalahannya, tidak hanya
menyangkut hukum dan perkembangan masyarakat, akan tetapi juga
keberadaan program bantuan hukum itu sendiri.
Latar belakang atau faktor -faktor yang mempengaruhi
adanya bantuan hukum adalah :
1) Kedudukan yang tidak seimbang antara tersangka atau terdakwa
terhadap sosok yang tegar yakni negara melalui aparat-aparatnya
melahirkan suatu gagasan bahwa tersangka atau terdakwa harus
memperoleh bantuan hukum secukupnya, menurut aturan hukum
agar memperoleh keadilan hukum yang sebenarnya.
2) Faktor kedua yang melahirkan perlunya bantua n hukum adalah
bahwa semua orang mengetahui apalagi menguasai seluk-beluk
aturan hukum yang rumit yang dalam hal ini aparat penegak
hukum tentu saja mempunyai kedudukan yang lebih, pengalaman
serta pengetahuan dari aparat tersebut dan sebagainya.
3) Faktor ketiga adalah faktor kejiwaan atau faktor psikologis, bahwa
meskipun taraf sangkaan atau dakwaan bagi pribadi yang terkena
dapat merupakan suatu pukulan psikologis.
16
Adnan Buyun g Nasution, 2007, Bantuan Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, hlm. 95.
15
4) Faktor keempat adalah hakim sebagai yang memberi putusan
adalah manusia biasa. Polisi, jaksa, atau pejabat penyidik dan
penuntut umum yang lain adalah manusia, mereka semua dapat
khilaf dalam hal membuat putusan dan pemberi bahan untuk
membuat putusan.
Bantuan hukum dalam pengertiannya yang luas dapat
diartikan sebagai upaya untuk membantu golongan yang tidak mampu
dalam bidang hukum. 17
Bantuan hukum dalam pengertian luas juga dinyatakan oleh
Adnan Buyung Nasution 18
yaitu bantuan hukum dapat diartikan sebagai upaya untuk membantu
golongan yang tidak mampu dalam bidang hukum.
Pengertian bantuan hukum yang lingkupnya agak sempit dinyatakan
oleh Jaksa Agung Republik Indonesia yang menyatakan :yang
dimaksud dengan bantuan hukum adalah pembelaan yang diperoleh
seorang terdakwa dari seorang penasehat hukum, sewaktu perkaranya
diperiksa
dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses
pemeriksaan perkaranya dimuka pengadilan. 19
Berikutnya adalah pendapat dan rumusan dari para ahli tentang
pengertian bantuan hukum :
17
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, 1994, Bantuan Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 7.
18
Adnan Buyung Nasution, Op. Cit, hlm. 3.
19
Soerjono Soekanto, 1985, Bantuan Hukum S uatu Tinjauan Sosio Yuridis , Ghalia
Indonesia, Jakarta, hlm. 1.
16
Menurut Crul 20 :
Bantuan hukum sebagai bantuan yang diberikan oleh para ahli, kepada
mereka yang memerlukan perwujudan atau realisasi dari hak-haknya,
serta perlindungan hukum.
Pendapat lain disampaikan oleh Erni Widhayanti21
Bantuan hukum pada hakikatnya adalah upaya pemberian bantuan
hukum dan pelayanan hukum kepada mayarakat, agar memperoleh dan
menikmati haknya yang diberikan oleh hukum dalam proses peradilan
pidana.
Pada Seminar Pembinaan Profesi hukum didapat pe ngertian bantuan
hukum adalah :
Bantuan hukum terdiri dari bantuan hukum di dalam maupun di luar
pengadilan.
Pemberian
bantuan
hukum
di
dalam
pengadilan
menimbulkan masalah verplichte procurstelling yang berarti hak dan
kewajiban mendapatkan bantuan hukum tersebut dilayani sebagai
berikut :
1. Mewajibkan pengadilan untuk menunjuka secara
langsung atau melalui orga nisasi profesi hukum advokat
untuk mendampingi atau setiap orang yang berurusan di
muka pengadilan.
2. Mewajibkan seseorang dari kalangan profesi untuk
memberi bantuan hukum tersebut diatas.
Pada sebuah Lokakarya Bantuan Hukum diusulkan bahwa bantuan
hukum sebagai pelayanan hukum yang diberikan kepada orang yang
20
Ibid, hlm. 23
Kuswindiarti, 2000, Pola Pembelaan dalam Memberikan Bantuan Hukum Terhadap
Terdakwa dalam Proses Pemeriksaan di Pengadilan, Jurnal Ilmiah, STMIK AMIKOM
Yogyakarta, hlm. 2.
21
17
tidak mampu secara cuma-cuma. pemberi bantuan hukum adalah
perseorangan baik sarjana hukum maupun pengacara-pengacara
hukum serta badan-badan yang mendapatkan izin.
Cappeletti dan Gordley22 membagi bantuan hukum kedalam
model
yaitu
yuridis
individual
dan
bantuan
hukum
model
kesejahteraan.
1. Bantuan hukum yuridis individual merupakan hak yang
diberikan kepada warga masyarakat untuk melindungi
kepentingan-kepentingan individualnya. Pelaksanaan bantuan
hukum ini tergantung dari peran aktif masyarakat yang
membutuhkan dimana mereka yang memerlukan bantuan
hukum dapat meminta bantuan pengacara dan kemudian jasa
pengacara tersebut nantinya dibayar oleh negara.
2. Bantuan hukum kesejahteraan diartikan sebagai suatu hak akan
kesejahteraan yang menjadi bagian dari dari kerangka
perlindungan sosial yang diberikan oleh suatu negara
kesejahteraan (Welfare State). Bantuan hukum kesejahteraan
sebagai bagian dari hukum sosial diperlukan guna menetralisasi
ketidakpastian atau kemiskinan, karena itu penegembangan
sosial atau perbaikan sosial menjadi bagian pelaksanaan
bantuan hukum kesejahteraan.
Frans Hendra Winata 23 memberikan definisi bantuan hukum yaitu :
“Bantuan hukum merupakan jasa hukum yang khusus
diberikan kepada fakir miskin yang memerlukan pembelaan
secara cuma-cuma, baik di luar maupun di dalam pengadilan,
secara pidana, perdata dan tata usaha negara, dari seseorang
yang mengerti seluk beluk pembelaan hukum, asas-asas dan
kaidah hukum, serta hak asasi manusia.”
Pengertian bantuan hukum yang lingkupnya agak sempit
pernah dinyatakan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia yang
menyatakan bahwa :
22
Ibid, hlm. 21.
Frans Hendra Winata, 2009, Probono Publicio Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk
Memperoleh Bantuan Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. Kata Pengantar.
23
18
“Yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah pembelaan
yang diperoleh seorang terdakwa dari seorang penasehat
hukum, sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan
pendahuluan atau dalam proses pemeriksaan perkaranya
dimuka pengadilan.” 24
Pengertian bantuan hukum diatur dalam Pasal 1 ayat (9)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat dirumuskan
bahwa:
“Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh
advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu”.
Selain itu dijelaskan pula lebih rinci tentang jasa hukum di
Pasal 1 butir 2 bahwa :
“Jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa
memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan
kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”
Pengertian bantuan hukum juga semakin jelas diatur dalam
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang
bantuan hukum bahwa :
“Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh
Pemberi Bantuan Hukum secara cuma -cuma kepada Penerima
Bantuan Hukum”.
Adapun unsur-unsur dari bantuan hukum menurut Frans
Hendra Winata 25 adalah :
a) Penerima bantuan hukum adalah fakir miskin atau orang yang tidak
mampu secara ekonomi;
b) Bantuan hukum diberikan baik di dalam maupun di luar proses
persidangan;
24
Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 1.
Frans Hendra Winarta, 2000, Bantuan Hukum : Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas
Kasihan, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, hlm. 80.
25
19
c) Bantuan hukum diberikan baik dalam lingkup peradilan pidana,
perdata maupun tata usaha negara;
d) Bantuan hukum diberikan secara cuma-cuma.
2. Tujuan Bantuan Hukum
Awalnya pengaturan tentang bantuan hukum diatur di
dalam KUHAP adalah untuk memberikan kepastian akan adanya
pemberian bantuan hukum pada tersangka atau terdakwa yang diancam
dengan pidana penjara lima tahun lebih. Namun tujuan pemberian
bantuan hukum untuk tersangka atau terdakwa berkembang sehingga
tidak hanya untuk tersangka atau terdakwa namun juga untuk korban.
Bantuan hukum bertujuan untuk memperbaiki sistem peradilan pidana
kita yang sudah rusak karena tidak ada persamaan di mata hukum,
untuk melindungi hak asasi manusia, dan untuk keadilan bersama.
Bantuan hukum banyak jenisnya antara lain:
a. Jenis dan Bentuk Bantuan Hukum
Bantuan hukum mempunyai ciri dalam istilah yang berbeda
seperti yang dilihat dibawah ini: 26
1. Legal Aid , pemberian jasa dalam bidang hukum kepada
seseorang yang terlibat dalam suatu perkara. Pemberian jasa ini
dilakukan secara cuma-cuma kepada yang tidak mampu.
Motivasi utama dalam konsep Legal Aid adalah menegakkan
hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat
kecil yang tak mampu dan buta hukum.
26
Yahya Harahap, 2008, Pembahasan permasalahan dan Penerapan Kuhap Penyidikan
dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 333
20
2. Legal Assistance, memiliki pengertian lebih luas dari Legal Aid
karena pemberian bantuan hukum baik kepada mereka yang
mampu membayar prestasi maupun pemberian bantuan kepada
rakyat yang miskin secara cuma -cuma.
3. Legal Service (pelayanan hukum), memberi bantuan hukum
kepada anggota masyarakat yang operasionalnya bertujuan
menghapuskan kenyataan kenyataan diskriminatif dalam
penegakkan hukum dan pemberian jasa bantuan hukum
terhadap rakyat miskin yang berpenghasilan kecil.
Bantuan
hukum
dianggap
perlu
dalam
rangka
kebijaksanaan pemerataan kesempatan memperoleh keadilan. Ruang
lingkup bantuan hukum yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut
adalah bantuan hukum dalam arti luas sehingga ruang lingkup kegiatan
bantuan hukum tidak hanya semata-mata terbatas pada pembelaan di
dalam proses peradilan saja, akan tetapi juga mencakup pembelaan di
luar pengadilan, konsultasi, penyuluhan dan pendidikan hukum
penelitian, rekomendasi dan penyebaran gagasan gagasan serta upaya
upaya law ref orm.27
Adapun tujuan dan fungsi bantuan hukum menurut Adnan
Buyung Nasution 28,
Adanya bantuan hukum disamping memberikan pelayanan
bantuan hukum disamping memberikan pelayanan bantuan
hukum pada masyarakat yang membutuhkannya.
27
Abdul hakim dan Mulyana W Kusumah, 2000 , Beberapa Pemikiran Mengenai
Bantuan Hukum : Kearah Bantuan Hukum Struktural, Alumni , Bandung, hlm. 56.
28
Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 16.
21
Lebih lanjut menurut Adnan Buyung Nasution, bantuan
hukum berambisi untuk mendidik masyarakat dalam arti yang seluasluasnya dengan tujuan menumbuhkan dan membina kesadaran akan
hak-hak sebagai subyek hukum. Bantuan hukum juga berambisi turut
serta mengadakan pembaharuan hukum dan perbaikan pelaksanaan
hukum disegala bidang.
Tujuan bantuan hukum yang lain dalam hal ini adalah
dalam perkara pidana hakekatnya adalah membela peraturan hukum,
jangan sampai peraturan hukum tersebut salah atau tidak adil
diterapkan terhadap suatu perkara sehingga menimbulkan keputusan
yang tidak adil baik untuk terdakwa dan korban namun harus
berdasarkan pada peraturan hukum yang berlaku karena tugas pembela
atau bantuan hukum bukan membabi buta mati-matia n membela
kesalahan terdakwa, akan teta pi adalah untuk menegakkan hukum
keadilan, dan kebenaran dalam masyarakat.
Pandangan berbeda diberikan oleh Yahya Harahap29
mengenai tujuan adanya bantuan hukum kepada masyarakat yang
tersangkut perkara pidana pada hakekatnya adalah :
1) Memberikan bantuan hukum pada masyarakat miskin dan buta
hukum
2) Menumbuhkan dan membina kesadaran masyarakat terhadap hakhak atau kewajiban.
3) Pembaharuan hukum sesuai perkembangan zaman.
4) Melindungi hak-hak tersangka atau terdakwa atau asasi manusia.
29
Yahya Harahap, 2001, Pembahsan Masalah dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan Banding , Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 337.
22
Tujuan pemberian bantuan hukum adalah :
1) Aspek kemanusiaan
Dalam aspek kemanusiaan, tujuan dari program bantuan hukum ini
adalah untuk meringankan beban (biaya) hukum yang harus
ditanggung oleh masyarakat tidak mampu di depan pengadilan.
Dengan demikian, ketika masyarakat golongan tidak mampu
berhadapan dengan proses hukum di Pengadilan, mereka tetap
memperoleh kesempatan untuk memperoleh pembelaan dan
perlindungan hukum.
2) Peningkatan Kesadaran Hukum
Dalam aspek kesadaran hukum, diharapkan bahwa program
bantuan hukum ini akan memacu tingkat kesadaran hukum
masyarakat ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Dengan demikian,
apresiasi masyarakat terhadap hukum akan tampil melalui sikap
dan perbuatan yang mencerminkan hak dan kewajibannya secara
hukum.
Selain memiliki tujuan bantuan hukum memiliki fungsi
bantuan hukum. Tiga fungsi bantuan hukum menurut Frans Hendra
Winata 30, di negara berkembang adalah :
1. Sarana dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin
untuk mendapatkan kemungkinan melakukan penuntutan apa yang
menjadi haknya.
2. Memberikan beberapa informasi agar supaya timbulnya kesadaran
hukum masyarakat.
3. Sarana mengadakan pembaharuan.
30
Frans Hendra Winata, 2009, Op Cit, hlm. 26.
23
3. Bantuan Hukum untuk Anak sebagai Korban Tindak Pidana
Anak adalah anugrah yang tidak ternilai yang dikaruniakan
oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap pasangan untuk dipelihara,
dilindungi dan dididik. Anak adalah manusia yang masih mempunyai
kemampuan fisik, mental dan sosial yang lebih lemah dibanding orang
dewasa yang masih terbatas untuk mengatasi berbagai resiko dan
bahaya yang dihadapinya da n secara otomatis masih bergantung pada
pihak-pihak lain terutama anggota keluarganya untuk melindunginya.
Perlindungan terhadap hidup dan penghidupan anak ini
masih menjadi tanggung jawab berbagai pihak yaitu kedua orang
tuanya, keluarganya, masyarakat dan juga yang terpenting negara.
Perlindungan ini dapat berupa pemenuhan kebutuhan sandang, pangan
dan papan. Tetapi tidak hanya sampai disitu, perlindungan yang
diberikan terhadap seorang anak juga dapat berupa perlindungan
terhadap
psikologis
atau
mental
dari
anak
yaitu
terutama
perkembangan kejiawaannya atau secara psikologis bahwa anak
tersebut dapat berkembang dan hidup secara normal tidak hanya
perkembangan fisiknya saja tetapi juga perkembangan jiwa atau
psikisnya terutama saat anak harus berhadapan dengan hukum baik
saat itu menjadi pelaku tindak pidana maupun korban tindak pidana.
Bagaimanapun kenyataannya terdapat puluhan ribu anak
yang tidak mampu menghadapi dan mengalami perlakuan buruk yang
diterimanya dan bahkan mungkin jutaan anak yang telah ditelantarkan
24
dan tidak mendapatkan perlindungan atas hidupnya yang seharusnya ia
dapatkan baik dari keluarganya, masyarakat sekitarnya dan bahkan dari
negara. Padahal bagaimanapun anak adalah generasi penerus bangsa
yang harus dilindungi dan dipelihara sebaik mungkin karena masa
depan bangsa terletak di pundak anak-anak ini.
Melihat kenyataan diatas maka perlu adanya bantuan yang
diberikan pada anak agar anak tetap berkembang dengan baik terutama
saat anak itu harus berhadapan dengan hukum dan posisi anak itu
adalah korban tindak pidana.
Sejuh ini bantuan hukum yang telah diatur secara umum KUHAP dan
lebih khususnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Bantuan Hukum memang telah banyak menjelaskan dengan lengkap
pengertian tentang bantuan hukum. Namun dalam KUHAP atau
berbagai literatur sekalipun tidak ada yang menyebutkan secara khusus
yang dimaksud dengan bantuan hukum untuk anak.
Bantuan hukum untuk anak sebenarnya adalah bentuk dari
perlindungan anak yang lebih sempit. Perlindungan anak itu sendiri
adalah
suatu
usaha
mengadakan
kondisi
dan
situasi
yang
memungkinka n pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi
positif, yang merupakan pula perwujudan adanya keadilan dalam suatu
masyarakat. dengan demikian perlindungan anak harus diusahakan
dalam berbagai bidang penghidupan dan kehidupan bernegara,
25
bermasyaraka t, dan berkeluarga berdasarkan hukum demi perlakuan
benar, adil dan kesejahteraan anak.
Dalam usaha perlindungan terhadap anak dapat dilakukan
dengan 2 cara yaitu :
a. Perlindungan secara langsung
Perlindungan secara langsung merupakan usaha yang langsung
berkaitan dengan kepentigan anak antara lain pencegahan dari
segala sesuatu yang dapat merugikan atau mengorbankan
kepentingan anak disertai pengawasan agar anak berkembang
dengan baik dan penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya
dan luar dirinya.
b. Perlindungan tidak langsung
Dalam hal ini yang ditangani bukanlah anak secara langsung, tetapi
para partisipan lainnya dalam perlindungan anak. Seperti orang tua,
petugas, pembina, dan lain sebagainya. Usaha-usaha perlindungan
anak yang tidak langsung terse but adalah sebagai berikut :
1. Mencegah orang lain merugikan kepentingan anak melalui
peraturan perundang-undangan.
2. Meningkatkan pengertian tentang hak dan kewajiban anak.
3. Pembinaan mental , sosial para partisipan lain dalam rangka
perlindungan anak.
4. Penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan
anak. 31
Sedangkan dalam beberapa hal ada pula yang disebut dengan
perlindungan khusus. Perlindungan khusus diberikan kepada kelompok
anak sebagai pelaku dan anak sebagai korban tindak pidana merupakan
kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
Dapat diketahui bahwa bantuan hukum untuk anak hanya
diatur di Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang dijabarkan sebagai berikut :
31
Moch Faisal Salam, 2005, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju,
Bandung, hlm. 2-3.
26
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana
berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Pada peraturan lain penerapan tentang bantuan hukum
untuk anak diatur juga dalam hal Konvensi Hak Anak yang telah
diratifikasi pemerintah Republik Indonesia dengan mengeluarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990
tentang pengesahan convention of the right (konvensi tentang
pengesahan hak-hak anak) yang berdasarkan isi hukumnya hak anak
antara lain adalah hak untuk memperoleh bantuan hukum baik dalam
pengadilan ataupun di luar pengadilan. 32
Korban terutama anak yang menjadi korban dalam suatu
tindak pidana memiliki hak-hak khusus. Undang-Undang yang
mengatur tentang hak korban hanya ada di Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berbunyi:
“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak
pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan
lainnya”.
Anak dalam proses peradilan pidana perlu diberi perhatian
agar hak-haknya tetap terpenuhi dan perlindungan ini dittekankan pada
hak-hak mereka, karena secara hukum anak belum dibebani
kewajiban. 33 Sehubungan dengan hal itu maka ada beberapa hak yang
perlu diperhatikan dan diperjuangkan pelaksanaannya bersama-sama
32
Muhammad Joni dan Zulchaina Tanamas, 2000, Aspek Hukum Perlindungan Anak
dalm Perspektif Konvensi Hak Anak , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 70.
33
Ibid, hlm. 106.
27
terutama hak anak yang menjadi korban tindak pidana, yaitu antara
lain:
1) Sebelum persidangan
a) Hak mendapatkan pelayanan karena penderitaan fisik,
mental, dan sosialnya,
b) Hak diperhatikannya laporan yang disampaikannya dengan
suatu tindak lanjut yang tanggap dan peka tanpa imbalan
(kooperatif)
c) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakantindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan
mental, fisik, sosial dari siapa saja.
d) Hak untuk mendapatkan pendamping, penasihat dalam
rangka mempersiapkan diri berpartisipasi dalam
persidangan yang akan datang dengan prodeo.
e) Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut-serta memperlancar
pemeriksaan sebagai pelapor, saksi/korban.
2) Selama persidangan
a) Hak untuk mendapatkan fasilitas untuk menghadiri sidang
sebagai saksi/korban.
b) Hak mendapatkan penjelasan mengenai tata cara
persidangan dan kasusnya.
c) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakantindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan
mental, fisik, sosial dari siapa saja.
d) Hak untuk menyatakan pendapat.
e) Hak untuk memohon ganti kerugian atas kerugian,
penderitaannya.
f) Hak untuk memohon persidangan tertutup.
3) Setelah persidangan
a) Hak mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan
yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik,
sosial dari siapa saja.
b) Hak atas pelayanan di bidang mental, fisik, sosial. 34
34
Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sisitem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 134.
28
B. Anak
1. Pengertian Anak
Anak merupakan generasi penerus bangsa yang secara fisik
dan mental belum matang dan dewasa sehingga perlu dilindungi lebih
dari orang dewasa. Berbagai literatur memang menyebutkan batasan
minimal dan maksimal seseorang dikateorikan sebagai anak-anak
namun tidak ada yang keseragaman tentang pengertian anak, padahal
keseragaman tentang pengertian anak itu penting mengigat banyaknya
kasus yang menimpa pada anak-anak.
Pengertian anak sendiri dalam hukum pidana lebih
diartikan pada pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus
dilindungi, karena secara kodrat memiliki substansi yang lemah dan di
dalam sistem hukum dipandang sebagai subjek hukum yang dikaitkan
dari bentuk pertanggung jawaban sebagaimana layaknya seorang
subjek hukum yang normal.35
Sedangkan pengertian anak dalam hukum perdata adalah orang yag
belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun atau bercerai sebelum
berumur 21 (dua puluh satu) tahun, sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 330 KUHPerdata. Sedangkan dalam disiplin ilmu lainnya seperti
hukum adat adalah seseorang yang belum mencapai umur 15 (lima
belas) tahun sebagaimana hal ini didasarkan pada Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI tanggal 01 Juni 1955 Nomor 53/SIP/1955.
35
Winika Indrasari, 2008, Peranan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Menurut
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Skripsi, Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, hlm. 15.
29
Pengertian anak berdasarkan konvensi hak-hak anak Tahun 1989, anak
adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun,
kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa
usia dewasa dicapai lebih awal.
Pengertian anak menurut aspek sosiologis menunjukan anak sebagai
mahluk sosial yang senantiasa berinteraksi dengan masyarakat.
kedudukan anak memposisikan sebagai kelompok sosial yang status
rendah dari masyarakat lingkungan interaksi.
Pengelompokan
pengertian
anak
makna
sosial
mengarahkan
perlindungan kodrati karena keterbatasan anak sebagai wujud ekspresi
orang dewasa. Faktor keterbatasan kemampuan karena anak berada
proses pertumbuhan, proses belajar, sosialisasi dari usia yang belum
dewasa.
Pengertian anak yang lain menurut Zakiah Darajat36,
“Masa sembilan tahun antara tiga belas dan dua puluh satu
tahun sebagai masa remaja merupakan masa peralihan
antara masa kanak-kanak dan masa dewasa dimana anakanak mengalami pertumbuhan cepat di segala bidang dan
dan mereka bukan lagi anak-anak baik bentuk badan, sikap,
cara berfikir, dan bertindak, tetapi bukan pula orang
dewasa”.
Pengertian anak menurut John Locke adalah
anak merupakan pribadi yang bersih dan peka terhadap ransanganransangan yang berasal dari lingkungan.
36
Welly Catur Satioso, 2011, Fungsi Pendidikan Agama Islam Pada Anak Menurut Prof
DR Zakiah Daradjat, Skripsi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, hlm. 29.
30
Pengertian anak menurut Agustinus adalah :
Anak
tidak
sama
dengan
orang
dewasa,
anak
mempunyai
kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang
disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian dari realita
kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang
diterimanya dari aturan-aturan yang sifatnya memaksa.
Pengertian anak juga telah diatur di berbagai UndangUndang, antara lain :
Pengertian anak menurut Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 25
tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, dirumuskan bahwa :
“Anak adalah orang laki-laki atau wanita yang berumur
kurang dari 15 tahun”
Pengertian anak menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2008 tentang Pornografi, dirumuskan bahwa :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun”
Pengertian anak menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dirumuskan bahwa:
“Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih di
dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi
kepentingannya”
Pengertian anak menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang P engadilan Anak , dirumuskan bahwa :
“Anak adalah seseora ng yang belum mencapai 18 tahun
dan belum pernah kawin”
31
Pengertian anak menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak , dirumuskan :
“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.
Pengertian anak yang diatur di Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dirumuskan bahwa:
“Anak adalah seseorang yang belum ber usia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan”.
Anak pada dasarnya ditentukan berdasarkan perbedaan
umur anak, yaitu bagi anak yang masih 8-18 tahun dan melakukan
tindak pidana setelah melampui batas usia 18 tahun hal tersebut sesuai
dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, Hak Asasi Manusia, dan
Beijing Rules. 37
Diantara banyak pengertian anak yang telah dikemukakan
oleh para ahli maupun dikemukakan oleh undang-undang, maka dalam
tulisan ini pengertian anak yang akan digunakan adalah pengertian
anak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
Pengertian anak yang digunakan adalah yang terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dikarenakan dalam undang-undang tersebut menjamin dan
melindungi hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
37
Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi
dan Restorative Justice, Refika Aditama, Jakarta, hlm. 127.
32
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan
serta
mendapat
perlindungan,
kekerasan
dan
diskriminasi.
2. Macam Macam Status Anak
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak yang menggantikan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga menyebutkan
beberapa macam status anak serta pengertiannya, yaitu :
1) “Anak yang berhadapan de ngan hukum adalah anak yang
berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak
pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
2) Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
3) Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya
disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik,
mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh
tindak pidana.
4) Anak yang menjadi saksi tindak pidana anak yang belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana
yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.”
Pengertian anak yang berhadapan dengan hukum adalah
anak yang terpaksa berkonflik dengan sistem peradilan pidana karena :
a) disangka, didakwa atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar
hukum, atau
b) telah menjadi korban akibat perbuatan/pelanggaranyang dilakukan
orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya, atau
33
c) telah melihat, mendengar, merasakan atau megetahui suatu
perbuatan/pelanggaran hukum. 38
Anak yang berhadapan dengan hukum dalam UndangUndang Pengadilan Anak dibatasi hanya pada anak sebagai tersangka,
terdakwa atau pelaku tindak pidana. Pengaturan mengenai anak dalam
Undang-Undang tersebut, tidak mencakup anak yang menjadi korban
atau saksi suatu tindak pidana. Oleh karena itu Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak hanya mencakup
mekanisme peradilan pidana bagi anak dalam posisinya sebagai
tersangka, terdakwa, atau pelaku tindak pidana. Mekanisme tersebut
pun sebagian besar masih mengacu pada Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, misalnya pada ketentuan proses penyidikan,
upaya paksa, alat bukti, proses persidangan hingga upaya hukum.
Luputnya perhatian pembuat kebijakan terhadap anak
sebagai saksi dan korban tindak pidana berlanjut dalam revisi UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang oleh
pemerintah dan sejumlah masyarakat pemerhati anak diperbaharui
menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang nantinya akan mulai dijalankan 2 tahun
dari sekarang atau 30 Juli 2014.
Selain
itu
ada
permasalahan
besar
dalam
praktik
perlindungan anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Ada
38
Hosianna M, 2012, Perlindungan Hukum Terhadap Anak sebagai Korban Tindak
Pidana Pemerkosaan Yang Dilakukan Oleh Anak, Varia Peradilan, Majalah Hukum No. 325
Desember 2012, hlm. 48.
34
kesenjangan teramat besar antara kerangka konseptual dan kerangka
kebijakan penanganannya dengan praktik yang terjadi di banyak
tempat di Indonesia.
Konsep dan kebijakan penanganan untuk anak yang
berhadapan dengan hukum yang disepakati oleh para pemangku
kebijakan adalah seharusnya kasus-kasus anak yang berhadapan
dengan hukum tidak dibawa ke proses hukum forma l (persidangan
hingga vonis pidana). Namun, kenyataannya dalam kasus anak yang
berhadapan dengan hukum sekitar 90 persen diproses di pengadilan
dan berakhir dengan vonis pidana. Hanya 10 persen yang tidak. Ini
menunjukan betapa mengkhawatirkan penanganan dan perlindungan
anak yang berhadapan dengan hukum.
Konsep penanganan pada anak yang berhadapan dengan
hukum seharusnya tidak lagi menggunakan retributive justice namun
harus
lebih
mengedepankan
demi
kepentingan
korban
yakni
restorative justice. Restorative Justice yang berarti penyelesaian
perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga
pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan
kembali pada keadaa n semula, dan bukan pembalasan. Restorative
Justice sebagai system yang digunakan terutama di dalam perkaraperkara yang berhubungan dengan anak terdiri dari berbagai cara.
Cara-cara yang digunakan antara lain diskresi, media penal maupun
35
diversi. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak cara yang digunakan adalah menggunakan
Diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari
proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana atau ada
pula yang memberi pengertian sebuah tindakan atau perlakuan untuk
mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari
sistem pidana. Selanjutnya konsep diversi akan sesuai dengan
restorative justice, jika :
a. Mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya
b. Memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan
yang yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban.
c. Memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam
proses dari mulai penyidikan hingga vonis pidana.
d. Memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan
hubungan dengan keluarga.
e. Memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan peyembuhan dalam
masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.39
Konsep diversi semakin penting untuk penanganan kasus -kasus anak
mengingat setiap anak yang berhadapan dengan hukum memiliki
penanganan yang berbeda baik saat menjadi pelaku, korban maupun
saksi. Secara umum variabel penanganan Anak yang Berhadapan
Dengan Hukum adalah :
1. Penyelesaian perkara anak
2. Perlindungan dari kerentanan anak
3. Rehabilitasi dan retigrasi anak
4. Pemenuhan kebutuhan dasar akan pemeliharaan. 40
39
Ade Rahmad Setyaji, 2011, Implementasi Diversi dalam Sistem Peradilan Anak,
Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Surabaya, hlm. 29.
36
Dan yang perlu menjadi catatan dalam penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum adalah :
1. Prosedur ramah anak dan peka gender dalam sistem peadilan
formal
2. Perlu membangun lingkungan yang melindugi bagi anak yang
berhadapan dengan hukum.
3. Diversi kepada mekanisme berbasis keluarga dan masyarakat.
4. Pencegahan dan rehabilitasi dan reintegrasi yang kondusif.41
Adapun hak-hak yang didapat dari anak yang berhadapan
dengan hukum antara lain :
1. Setiap anak berhak mendapatkan bantuan hukum dari seseorang
atau lebih penasehat hukum (penyediaan petugas pendampingan
khusus anak sejak dini) dimulai dari tingkat pemeriksaan hingga
vonis pidana. Anak, orang tua dan atau wali berhak diberitahukan
adanya hak untuk mendapat bantuan hukum, dan berhak
berhubungan langsung dengan penasehat hukum dengan diawasi
tanpa pejabat yang berwenang.
2. Hak untuk medapatkan perlakua yang layak dan manusiawi sesuai
dengan martaba t dan hak-hak anak.
3. Hak untuk dapat mengikuti pendidikan sekolah selama berstatus
sebagai klien masyarakat (sedang menjalani pidana bersyarat).
4. Hak untuk dipenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosial selama
anak selama masa penahanan dan menjalani hukuman.
5. Berhak mendapat pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bakat
dan
kemampuannya
selama
berada
dalam
lembaga
permasyarakatan.
6. Hak untuk berkorespondensi dan menerima kunjungan atau dengan
kata lain hak pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan
dengan orang tua atau keluarga.
7. Hak penyediaaan sarana dan prasarana khusus
8. Hak penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepetingan yang terbaik
bagi anak.
40
Peradilananak.blogspot.com/2013/05/artikel-peradilan -anak.html. Diakses 28/06/2013
Pukul 20.00
41
Ibid
37
9. Hak pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap
perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum.
10. Hak perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa
dan untuk menhgindari labelisasi. 42
3. Anak Sebagai Korban Tindak Pidana
Setelah melihat pengertian dan macam-macam status anak
seperti penjelasan diatas. Maka dapat dikatakan Anak dalam sistem
peradilan pidana atau yang lebih dikenal dengan sebutan anak yang
berhadapan dengan hukum terbagi atas tiga kategori, yaitu Anak
sebaga i Pelaku Tindak Pidana (selanjutnya disebut Anak yang
Berkonflik dengan Hukum), Anak sebagai Korban Tindak Pidana dan
Anak sebagai saksi suatu tindak pidana.
Konvensi hak anak secara tegas menjamin perlindungan
khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dan termasuk pula
di dalamnya adalah anak sebagai korban tindak pidana, sebagaimana
yang tertera dalam Pasal 37 dan 40 Konvensi Hak Anak.
Seperti yang sudah dijabarkan pada penjelasan sebelumnya
bahwa yang dimaksud dengan Anak yang menjadi Korban Tindak
Pidana adalah anak yang telah mengalami penderitaan fisik atau psikis
atau seksual atau sosial sebagai akibat perbuatan pelanggaran hukum
yang dilakukan orang atau kelompok orang atau lembaga atau negara.
Korban tindak pidana yang lingkupnya lebih sempit
dikembangkan menurut KOMNAS Anak dan beberapa Lembaga
42
Bangopick.wordpress.com/2008/12/17perlindungan-anak -yang-berhadapan -denganhukum/ Diakses 19/06/2013 Pukul 20.00
38
Bantuan Hukum yang peduli pada permasalahan anak. Menurutnya
yang dimaksud dengan anak sebagai korban bukan hanya yang
dimaksud dengan anak yang menjadi korban tindak pidana tapi anak
sebagai pela ku juga dapat dikatakan sebagai korban.
Anak yang melakukan tindak pidana memang melanggar
hukum positif, menganggu ketertiban sosial bahkan mungkin perilaku
anak tersebut mendatangkan kematian orang lain namun pelaku anak
tersebut sesungguhnya merupakan korban. Korban dari perlakuan
salah orang tuanya, korban dari kebijakan pemerintah atau dia korban
dari lingkungan sosial yang memberi tekanan psikis sehingga anak
tersebut melakukan sesuatu yang seharusnya belum atau tidak
dilakukan. 43
Salah satu dari hak anak sebagai korban tindak pidana
adalah adanya pemberian bantuan hukum. Dalam setiap proses
pemeriksaan, anak harus mendapatkan bantuan hukum. Bantuan
hukum selain merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban
kejahatan adalah bantuan hukum merupakan hak konstitusional dan
hak asasi setiap anak yang berhadapan dengan hukum yang harus
dipenuhi oleh negara.
Pemberian bantuan hukum terhadap korban kejahatan
khususnya anak haruslah diberikan hak diminta ataupun tidak diminta
oleh korban. Hal ini penting, mengingat masih rendahnya tingkat
43
http://hadi-supeno.com/artikel-anak/93-perspektif-perlindungan-anak-danimplementasinya-di-indonesia.html. Diakses 02/05/2013 Pukul 20.00
39
kesadaran hukum dari sebagian besar korban yang mederita kejahatan
ini.
Sikap membiarkan korban kejahatan tidak memperoleh
bantuan hukum yang layak dan bantuan hukum yang tidak dipenuhi
secara tepat dan benar akan sangat berpengaruh pada proses
pembuktian serta vonis hakim dan dapat berakibat pada semakin
terpuruknya kondisi korban kejahatan anak karena berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 merumuskan bahwa setiap
anak yang menjadi korban tindak pidana berhak mendapatkan bantuan
hukum dan bantuan lainnya.
Pentingnya bantuan hukum dalam sistem peradilan pidana
anak terlihat dari kewajiban yang dibebankan pada aparat penegak
hukum untuk memberitahukan hak ini kepada anak dan orang tua atau
wali, mengenai hak ini. Hak ini harus dipenuhi pada setiap tingkat
pemeriksaan tanpa terkecuali. Untuk memenuhi hak-hak ini, Komite
Hak-Hak Anak PBB pun merekomendasikan negara para peserta PBB
untuk menyediakan sebanyak mungkin pengacara atau paralegal yang
ahli dan terlatih untuk memberikan bantuan hukum terhadap anak.
Selain bantuan hukum Konvensi Hak Anak juga mengatur
agar negara menjamin setiap anak yang berkonflik dengan hukum
memiliki akses terhadap bantuan lain yang tepat dalam mempersiapkan
dan menyampaikan pembelaannya. Sedemikian pentingnya bantuan
hukum dan bantuan lainnya, hingga di internal kepolisian terdapat
40
aturan yang mengikat dan wajib dijalankan oleh para penyidik untuk
menyediakan pendamping dan/atau penasihat hukum dan atau/
psikolog bagi anak. Lihat peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2008
tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara
Pemeriksaan Saksi dan atau Korban Tindak Pidana. Dan semua
bantuan hukum dan bantuan lain tersebut haruslah diberikan secara
gratis atau prodeo.
Selain adanya bantuan hukum, upaya perlindungan hukum
atau hak bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan
Anak, dilaksanakan melalui :
1) Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga.
2) Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media
massa dan untuk menghindari labelisasi.
3) Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli,
baik fisik, mental, maupun sosial.
4) Pemberian aksesbilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara.
C. Komisi Nasional Perlindungan Anak
Perlindungan anak yang menjadi masalah penting bagi orang tua,
keluarga, masyarakat, dan negara. Dalam hal ini negara dituntut untuk
mampu memberikan kenyamanan dan perlindungan yang laya k bagi
semua anak tanpa terkecuali. Melihat banyaknya permasalahan yang
terjadi pada anak terutama saat anak itu harus berhadapan dengan hukum
membuat negara harus tanggap untuk mampu menyelesaikan segala
permasalahan yang ada.
41
Negara dalam hal ini harus secepatnya turun tangan untuk
memberikan perlindungan kepada anak-anak yang mengalami berbagai
masalah yang dapat menghambat hidupnya, salah satu tindakan negara
untuk menyelamatkan anak-anak yang mengalami berbagai masalah yang
dapat menghambat perkembangan hidupnya adalah dengan dibentuknya
lembaga -lembaga yang peduli dengan anak karena permasalahan anak
sekalipun itu jadi tugas negara tapi juga menjadi permasalahan yang
membutuhkan perhatian dari banyak pihak.
Salah satu lembaga yang memperjuangkan hak-hak anak yang
memberikan perlindungan terhadap anak, baik hak hidup, hak sipil, hak
tumbuh kembang dan hak berpartisipasi sesuai dengan keinginan, bakat,
minat dan kebutuhannya terutama saat anak menjadi korban diperjuangkan
ole h Komisi Nasional Perlindungan Anak (selanjutnya disebut KOMNAS
Anak). KOMNAS Anak awal mulanya didirikan pada tanggal 26 Oktober
1998 di Jakarta dengan dibantu oleh LPA (Lembaga Perlindungan Anak)
di 31 daerah baik itu kabupaten maupun provinsi dan dikukuhkan melalui
Surat Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 81/HUK/1997
tentang Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak Pusat dengan tujuan
memantau, memajukan, dan melindungi hak anak, serta mencegah
berbagai kemungkinan pelanggaran hak anak yang dilakukan oleh negara,
perorangan, atau lembaga.44
44
Id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Nasonal_Perlindungan_Anak. Diakses 10/06/2013
Pukul 20.00
42
Adapun peran dari KOMNAS Anak yang berhubungan dengan
pemberian bantuan hukum untuk anak adalah melakukan pemantauan dan
pengembangan
pendampingan
perlindungan
pelaksanaan
anak,
hak-hak
melakukan
anak,
advokasi
menerima
dan
pegaduan
pelanggaran hak-hak anak, serta memberikan pelayanan bantuan hukum
untuk beracara di pengadilan mewakili kepentingan anak . Sedangkan
fungsi dari KOMNAS Anak sendiri adalah melakukan pengumpulan data
atau
informasi terhadap
pelanggaran
hak
anak dan Melakukan
perlindungan khusus pada anak-anak.
Salah satu peran dari KOMNAS Anak seperti yang dijabarkan
diatas adalah sebagai lembaga pelayanan bantuan hukum untuk beracara di
Pengadilan mewakili kepentingan anak. KOMNAS Anak sebagai lembaga
pelayanan bantuan hukum dapat diartikan sebagai pemberi bantuan
hukum. Pemberi bantuan hukum tidak melulu pengacara. Karena menurut
Abdurahman dalam bukunya, mereka -mereka yang akan memberi bantuan
hukum dan pembelaan perkara di muka persidangan oleh Mahkamah
Agung dalam keputusannya tanggal 22 Juli 1972 No.5/KMA/1972
dikategorikan kedalam tiga golongan masing-masing sebagai berikut :
1. Pengacara (advokat/procureur) yaitu mereka yang sebagai mata
pencaharian menyediakan diri sebagai pembela dalam perkara pidana
atau kuasa/wakil dari pihak-pihak dalm perkara perdata dan yang telah
mendapat surat pengangkatan dari Departemen Kehakiman.
2. Pengacara Praktek, yaitu mereka yang sebagai mata pencaharian
menyediakan diri sebagai pembela atau kuasa/wakil dari pihak-pihak
yang berperkara, akan tetapi tidak termasuk dalam golongan tersebut
diatas.
3. Mereka yang karena sebab-sebab tertentu secara insidentil membela
atau mewakili pihak-pihak yang berperkara.
43
Jika diartikan secara luas golongan-golongan yang memberi
bantuan hukum KOMNAS Anak dapat dimasukkan dalam golongan yang
ketiga karena mereka memiliki tujuan tertentu untuk ikut memberi bantuan
hukum, dalam hal ini sesuai tujuan utama dari KOMNAS Anak yaitu
untuk memantau, memajukan, dan melindungi hak anak, serta mencegah
berbagai kemungkinan pelanggaran hak anak yang dilakukan oleh negara,
perorangan, atau lembaga.
Implementasi bantuan hukum oleh KOMNAS Anak kepada anak
sebagai korban tindak pidana sesua i dengan ketentuan di Pasal 18 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
menyebutkan bahwa :
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana
berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Pemberian bantuan hukum oleh Komisi Nasional Perlindungan
Anak obyek perlindungannya adalah anak-anak yang mengalami masalah
hukum. Memang tidak hanya untuk anak korban tindak pidana karena
sebenarnya pelaku tindak pidana anak juga termasuk korban. Anak ya ng
melakukan tindak pidana memang melanggar hukum positif, menganggu
ketertiban sosial bahkan mungkin perilaku anak tersebut mendatangkan
kematian orang lain namun pelaku anak tersebut sesungguhnya merupakan
korban. Korban dari perlakuan salah orang tuanya, korban dari kebijakan
pemerintah atau dia korban dari lingkungan sosial yang memberi tekanan
psikis sehingga anak tersebut melakukan sesuatu yang seharusnya belum
44
atau tidak dilakukan. 45 Pemberian bant uan hukum oleh KOMNAS Anak
batasannya adalah anak yang sesuai dengan Undang-Undang Tahun 23
Tahun 2002 yaitu seseorang yang berumur 18 (delapan belas) tahun,
termasuk yang masih dalam kandungan.
Pentingnya pemberian bantuan hukum untuk anak sebagai korban
tindak pidana selain karena merupakan hak dari seorang anak yang diatur
oleh perundangan juga karena karena anak yang masuk dalam persidangan
terutama korban belum tentu mengerti tentang hukum dan anak sebagai
korban memiliki trauma fisik serta psikis yang perlu dilindungi secara
lebih dan perlu mendapatkan keadilan yang dapat dibantu oleh pemberi
bantuan hukum.
Pemberian bantuan pada anak sendiri yang dilakukan oleh
KOMNAS Anak bukan hanya menjadi ikut beracara di pengadilan tapi
menerima pengaduan, konsultasi hukum dan sedapat mungkin anak tidak
harus masuk peradilan. Untuk anak yang masuk dalam lingkup peradilan
KOMNAS Anak akan membantu mengawal hingga masalahnya selesai.
KOMNAS Anak sendiri merupakan suatu lembaga negara non
pemerintah yang memberi perlindungan kepada anak yang sekarang
diketuai oleh Arist Merdeka Sirait. Dalam pelaksanaan tugasnya untuk
memberikan bantuan hukum pada anak sebagai korban tindak pidana,
KOMNAS Anak pasti memiliki beberapa hambatan. Hambatan adalah
halangan, rintangan atau keadaan yang sulit yang harus ditempuh untuk
45
http://hadi-supeno.com/artikel-anak/93-perspektif-perlindungan -anak-danimplementasinya-di-indonesia.html. Diakses 02/05/2013Diunduh 20.00.
45
mencapai suatu tujuan. Hambatan yang dialami oleh Komisi Nasional
Perlindungan Anak terutama soal pendanaan. Dalam hal pendanaan bila
komisi lain yang sejajar dengan Komisi Negara maka akan ada pendanaan
khusus dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) seperti yang diterima oleh
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (selanjutnya disingkat menjadi
KPAI), sedangkan KOMNAS Anak hanya untuk memperoleh dana untuk
membiayai operasional serta program-program nya dari hasil kerja sama
dengan para donor asing. 46
46
Http://liapadma.wordpress.com/2009/07/23/anak-dan-instrumen-perlindungan-hukum di-Indonesia. Diakses 30/04/2013 Pukul 20.00.
46
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis.
Yuridis sosiologis yaitu pendekatan yang memandang hukum sebagai
suatu fenomena sosial yang dalam interaksinya tidak terlepas dari faktorfaktor non hukum. 47
Dipilihnya penelitian kualitatif ini didasarkan alasan bahwa: (1)
hukum dalam penelitian ini diartikan sebagai makna-makna simbolik
sebagaimana termanifestasikan dan tersimak dalam dan dari aksi-aksi serta
interaksi warga masyarakat; (2) agar dapat mengungkap dan mendapatkan
makan yang mendalam dan rinci terhadap obyek penelitian dari
informan. 48 Dalam hal ini makna implementasi pemberian bantuan hukum
untuk anak korban tindak pidana yang dilakukan oleh Komisi Nasional
Perlindungan Anak berdasarkan pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Penelitian ini akan mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi
kehidupan masyarakat itu sendiri yang menekankan pada pencarianpencarian, keajegan-keajegan empirik dengan konsuekensi mengacu pada
hukum tertulis juga mengadakan observasi terhadap tingkah laku yang
47
Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodologi Penulisan Hukum dan Jurumetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hlm. 11.
48
Sutandyo Wignyosoebroto, 2006, Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian dan
Metode Penelitiannya, Makalah Lokakarya, Yayasan Dewi Sartika, Semarang.
47
benar-benar terjadi. Penelitian dengan metode pendekatan yuridis
sosiologis ini merupakan penelitian kualitatif.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi
penelitian
ini
penulis
menggunakan
penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang tarafnya semata-mata
hanya melukiskan keadaan suatu objek atau peristiwa tanpa maksud
mengambil kesimpulan secara umum. Dalam pengertian lain deskriptif,
yaitu apa yang dinyatakan oleh informan secara tertulis atau lisan, dan
juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu
yang utuh. 49
Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifatsifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk
menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan penyebaran
suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu
gejala dengan gejala lain dala m masyarakat.50
Deskriptif dapat diartikan sebagai suatu prosedur pemecahan
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan
subyek atau obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta
yang tampak sebagaimana keadaannya. Pada penelitian ini penulis akan
menggambarkan bagaimana KOMNAS Anak memberikan bantuan hukum
pada anak khususnya anak korban tindak pidana.
49
Soerjono Soekanto, 2005, Pengantar Penelitian Hukum , UI-Press, Jakarta, hlm. 250.
Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit, hlm . 25.
50
48
C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan mendasarkan
pada alasan-alasan rasional dan keperluan informasi. Lokasi penelitian
akan dilakukan di Komisi Nasional Perlindungan Anak di DKI Jakarta.
D. Jenis Data
Data yang diperlukan untuk dipakai dalam penelitian ini adalah
data primer dan data sekunder. 51
1) Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
sumber pertama, yakni penelitian pada Samsul Ridwan selaku
Sekertaris Jenderal di Komisi Nasional Perlindungan Anak dan
korban anak yang terdata di Komisi Nasional Perlindungan Anak,
salah satunya siswa-siswa dari SDN 4 Beji, Depok yang
melakukan pengaduan di Komisi Nasional Perlindungan Anak.
2) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang bersifat kepustakaan yang
terbagi atas beberapa jenis yaitu :
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer, yaitu bahan bahan hukum yang
mengikat, dan terdiri dari norma atau kaidah dasar yakni
pembukaan undang-undang dasar, peraturan dasar, peraturan
perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan
51
Bambang Sunggono, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hlm. 114.
49
misalnya hukum adat, yurisprudensi, traktat dan bahan hukum
dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku
misalnya KUHP dan KUHPerdata. Peraturan perundangundangan yang digunakan sebagai bahan hukum primer oleh
penulis adalah :
a) Undang-Undang Dasar 1945
b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana.
c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum
d) Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan Anak
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti
rancangan undang-undang, rancangan peraturan pemerintah,
hasil penelitian (hukum), hasil karya (ilmiah) dari kalangan
hukum,
jurnal-jurnal
hukum,
kasus-kasus
hukum,
yurisprudensi, dan sebagainya. Dala m penulisan ini bahan
hukum sekunder yang digunakan penulis adalah buku-buku
yang berkaitan dengan bantuan hukum dan anak serta artikelartikel yag diambil dari situs-situs internet.
50
c. Bahan hukum tersier
bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, ensiklopedia, dan
lain-lain.
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu studi dokumen
atau bahan pustaka dan wawancara atau interview :
1) Terhadap data primer dipergunakan metode wawancara. Untuk
metode wawancara, peneliti menggunakan jenis wawancara semi
terstruktur. Wawancara semi terstruktur adalah jenis wawancara
campuran antara wawancara terstruktur yang untuk mengetahui
informasi baku dimana peneliti memiliki panduan wawancara
berjalan mengalir sesuai topik. 52
Untuk metode observasi penulisan ilmiah ini menggunakan jenis
observasi tidak terlihat. Sehingga dalam penelitian ini peneliti tidak
terlibat langsung dalam kegiatan yang dilakukan oleh yang
diamati. 53
2) Terhadap data sekunder, dipergunakan metode studi kepustakaan,
dan studi dokumen terhadap peraturan perundang-undangan, jurnal
ilmiah, dan buku buku literatur. Data sekunder ini diperlukan
sebagai data pendukung dari penelitian.
52
53
Sugiyono, 2008, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, hlm. 74.
Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit, hlm. 55.
51
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer diperoleh dengan cara studi pustaka
yaitu mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan yang berupa
peraturan perundang-undangan yang diinventarisasi, diklasifikasi
dan direlevansikan yang ada kaitannya dengan bantuan hukum
untuk anak dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman yang selanjutnya dikaji secara
keseluruhan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder diperoleh dengan cara ,melakukan
inventarisasi terhadap buku literatur, dokumen dan artikel sebagai
bahan yang diperoleh, dicatat kemudian dipelajari berdasarkan
relevansi-relevansinya dengan pokok permasalahan yang diteliti
yang selanjutnya dilakukan pengkajian sebagai satu kesatuan yang
utuh.
Sehingga dalam penelitian ini bahan hukum primer dan
bahan
hukum
sekunder
yang
akan
digunakan
kemudian
dikumpulkan dengan menggunakan metode kepustakaan dan
dokumenter.
1. Metode Kepustakaan adalah suatu cara pengumpulan data
dengan melakukan penelusuran terhadap bahan pustaka
(literature, perundang-undangan, hasil penelitian, majalah
ilmiah, bulletin ilmiah, jurnal ilmiah, dsb)
52
2. Metode dokumenter adalah suatu cara pegumpulan bahan
dengan menelaah terhadap dokumen-dokumen pemerintah
maupun non-pemerintah( putusan pengadilan, perjanjian, surat
keputusan, memo, konsep pidato, buku harian, foto, risalah
rapat, laporan-laporan, mass media, internet, pengumuman,
intruksi, aturan suatu instansi, publikasi, arsip-arsip ilmiah,
dsb). 54
F. Metode Penyajian Data
Data yang diperoleh dari informan penelitian melalui wawancara
maupun data-data pendukung akan disajikan dalam bentuk teks naratif dan
disusun secara sistematis sebagai kesatuan yang utuh.
G. Metode Penentuan Informan
Proses penentuan sample dalam penelitian ini menggunakan
Purposive Sampling, Snowball Sampling , dan Criterian Based Selection. 55
Purposive Sampling adalah teknik pengambilan sample secara sengaja.
Maksudnya, peneliti menentukan sendiri sampel yang diambil karena ada
pertimbangan tertentu. 56 Snowball Sampling adalah teknik penentuan
sampel yang mula -mula jumlahnya kecil, kemudian sampel ini disuruh
memilih teman-temannya untuk dijadikan sampel. 57 Kemudian yang
dimaksud dengan Criterian Based Selection adalah pemilihan subyek
54
Tedi Sudrajat, 2010, Mata Kuliah Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, hlm. 12.
55
HB. Sutopo, 2000, Suatu Pengantar Kualitatif Dasar Teori dan Praktek, Pusat
Penelitian UNS, Surakarta, hlm. 2.
56
Sugiyono, 2001, Statistika untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung, hlm. 61
57
Ibid, hlm. 61.
53
penelitian yang didasarkan pada asumsi bahwa subjek tersebut sebagai
aktor dalam tema penelitian yang diajukan. 58 Melalui pengambilan sample
menggunakan Purposive Sampling dengan Criterian Based Selection,
maka peneliti cenderung memilih narasumber yang dianggap tahu dan
dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui
masalah secara mendalam.
H. Metode Validitas Data
Cara yang digunakan untuk menguji validitas atau kebenaran data
yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan triangulasi.
Triangulasi
yang
digunakan
adalah
triangulasi
sumber
yaitu
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi
yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian
kualitatif. Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data
dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. 59
I. Metode Analisa Data
Metode
analisa
data
menggunakan
pendekatan
kualitatif.
Pendekatan kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan
data deskriptif-analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara
58
Ibid, hlm. 61.
Lexy J. Moleong, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif edisi revisi, PT Remaja
Rosada Karya, Bandung, hlm. 330.
59
54
tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan
dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.
60
Soerjono Soekanto, Op. Cit , hlm. 250.
60
55
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penyajian hasil dari penelitian pada skripsi ini dibagi menjadi dua yaitu,
hasil penelitian yang bersumber pada data sekunder dan hasil penelitian yang
bersumber pada data primer.
Data primer adalah data yang diambil langsung dari informan dalam hal
ini adalah Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal dari Komisi Nasional
Perlindungan Anak dan keterangan dari para korban selaku korban anak.
Sedangkan yang dimaksud data sekunder adalah data yang diperoleh dari
peraturan perundang-undangan, literaur -literatur serta doktrin-doktrin yang
berkaitan dengan permasalahan yang pada penelitian ini.
Pemberian bantuan hukum yang dimaksud dalam penelitian disini adalah
bantuan hukum yang diberikan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak
(selanjutnya disingkat dengan KOMNAS Anak) kepada korban-korban tindak
pidana terutama dalam tindak pidana seksual yang terjadi di Jabodetabek.
A. Hasil Penelitian Data Sekunder
1. Pemberian Bantuan Hukum untuk Anak sebagai Korban Tindak
Pidana
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum tidak dijelaskan adanya bantuan hukum untuk anak. Dalam hal
pengertian bantuan hukum yang ada dalam undang-undang tersebut
lebih mengarah ke bantuan hukum untuk masyarakat tidak mampu.
56
Anak dalam hal ini anak korban tindak pidana lebih dijelaskan
pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Berikut Pasal-Pasal dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur adanya bantuan hukum.
a. Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945
Sebagai negara hukum seperti yang tercantum pada Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Indonesia sudah memberikan payung perlindungan hukum
untuk seluruh masyarakat Indonesia. Terjaminnya perlindungan
hukum tersebut diuraikan pada Pasal-Pasal berikut :
Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, bahwa:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Secara tersirat maka dapat diketahui bahwa perlakuan yang
sama
di
hadapan
hukum
maupun
pengakuan,
jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum itu bukan hanya antara yang
mampu ddan tidak mampu, namun penulis melihat lebih luas
bahwa persamaan di muka hukum ini termasuk juga mengenai
kedudukan terdakwa dan korban yang tidak seimbang. Korban
yang dalam Sistem Peradilan Pidana hanya sebagai hiasan bukan
aktor utama sehingga hak mereka kadang terlewatkan termasuk
hak mereka untuk mendapatkan bantuan hukum.
57
Secara luas maka setiap warga negara mempunyai hak
untuk dibela (acces to legal counsel), hak diperlakukan sama
dimuka hukum (equality before the law) dan hak untuk
mendapatkan keadilan (access to justice).61
b. Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana
Bantuan hukum diatur di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) namun dalam
KUHAP bantuan hukum hanya diberikan untuk tersangka atau
terdakwa sedangkan pengaturan bantuan hukum untuk korban
bahkan khususnya korban anak tida k diatur di KUHAP.
Dalam KUHAP bantuan hukum diatur di Pasal 54 yaitu :
“Guna kepentigan pembelaan, tersangka atau terdakwa
berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih
penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap
tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan
dalam undang-undang ini”.
c. Undang -Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
Bantuan hukum juga sudah diundangkan dari sejak
dikeluarkannya Undang-Undang Hak Asasi Manusia karena
bantuan hukum pada dasarnya adalah hak asasi manusia dalam hal
ini bantuan hukum merupakan cerminan dari seorang manusia
tidak boleh untuk disiksa dan merupakan cerminan dari asas
61
Frans Hendra Winarta, 2011, Bantuan Hukum Di Indonesia Hak Untuk Didampingi
Penasehat Hukum Bagi Semua Warga Negara, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, hlm. 147.
58
equality before the la w. Bantuan hukum secara tersirat tercantum
pada Pasal 4 Undang-Undang ini Undang- Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu :
“Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak
menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan
yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya
didepan umum”.
Dan diatur pula di Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu :
“Setiap orang yang diperiksa berhak mendapat bantuan
hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap”.
Bantuan hukum pada undang-undang ini juga tidak mengatur
tentang bantuan hukum untuk korban anak. Bantuan hukum dalam
hal ini lebih mengacu pada tersangka atau terdakwa .
d. Undang -Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat yang merupakan pemberi bantuan hukum maka
dalam undang-undang ini diatur pula Pasal tentang bantuan hukum.
Pengaturan tentang bantuan hukum diatur di Pasal 22 UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yaitu:
“Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cumacuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”.
Pengertian bantuan hukum sendiri dalam Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat diatur di Pasal 1 Ayat (9) sebagai
berikut :
59
“Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh
Advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak
mampu”.
Lebih lanjut yang dimaksud dengan jasa hukum yang diberikan
oleh Advokat diatur di Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum sebagai berikut :
“Jasa hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa
memberikan
konsultasi
hukum,
bantuan
hukum,
menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan
melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum
klien”.
Pengaturan pada undang-undang ini adalah arahnya kepada tugastugas advokat sedangkan bantuan hukum atau jasa hukum yang
dibahas dalam undang-undang ini mengeanai bantuan hukum
untuk masyarakat tidak mampu bukan pada tersangka atau
terdakwa dan korban apalagi korban anak.
e. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban
Dalam rangka pemenuhan hak-hak untuk saksi dan korban
maka pemerintah membuat Undang-Undang untuk saksi dan
korban. Undang-Undang ini mengatur adanya bantuan hukum
untuk saksi dan korban tapi dalam lingkup yang sempit sehingga
hak yang didapat oleh saksi dan korban dalam undang-undang ini
hanya berupa nasihat-nasihat hukum.
Pasal yang mengamanatkan untuk pemberian bantuan
hukum kepada korban ialah Pasal 5 ayat (1) huruf l yaitu korban
60
berhak mendapatkan nasihat hukum. Sedangkan ganti rugi yang
lain untuk korban lebih ke arah materi atau rehabilitasi. Korban
disini pun tidak dijelaskan secara rinci, hanya korban yang sifatnya
lemah dalam sistem peradilan pidana.
f. Undang -Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Pengaturan tentang bantuan hukum meskipun bukan untuk
anak namun secara umum bantuan hukum dapat dimintakan untuk
yang berperkara di pengadilan baik itu sebagai tersangka atau
terdakwa maupun sebagai korban.
Pengaturan bantuan hukum pada Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman diatur pada Pasal 56
ayat (1) yaitu :
“Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh
bantuan hukum”.
Menurut penjelasan pada Pasal 56 Undang-Undang tersebut
yang dimakud dengan bantuan hukum adalah pemberian jasa
hukum (secara cuma-cuma) yang meliputi pemberian konsultasi
hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela,
melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari
keadilan (yang tidak mampu).
Penulis mengartikan bahwa bantuan hukum yang dapat
diperoleh bukan hanya untuk tesangka atau terdakwa karena yang
61
dimaksud dengan orang yang tersangkut perkara bukan hanya
untuk tersangka atau te rdakwa tapi juga untuk korban.
g. Undang -Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum
Keseriusan pemerintah untuk menciptakan keadilan yang
lebih merata pada seluruh lapisan masyarakat dengan konsep hak
untuk dibela (acces to legal counsel), hak diperlakukan sama
dimuka hukum (equality before the law) dan hak untuk
mendapatkan keadilan (access to justice) terlihat lebih nyata
dengan disahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Bantuan Hukum. Undang-Undang ini secara khusus mengatur
segala hal yang berhubungan dengan bantuan hukum. Meskipun
bantuan hukum dalam Undang-Undang ini lebih mengarah kepada
orang yang tidak mampu.
Bantuan hukum sendiri dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2011 diatur di Pasal 1 Angka 1 yaitu :
“Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh
pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada
penerima bantuan hukum”.
Diatur lebih lanjut dalam undang-undang yang sama, UndangUndang Nomor 16 Tahun 2011 pada Pasal 4 ayat (1) :
“Bantuan hukum diberikan kepada penerima bantuan
hukum yang menghadapi masalah hukum”.
Dan
masih pada undang-undang yang sama, Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 Pasal 4 ayat (3) yaitu :
62
“Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili,
membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk
kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum”.
Seperti yang sudah penulis bahas pada penjelasan sebelumnya
Undag-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
adalah undang-undang yang tidak menjelaskan lebih rinci adanya
bantuan hukum untuk korban apalagi korban anak. UndangUndang ini lebih mengedepankan adanya bantuan hukum kepada
penerima bantuan hukum yang tidak mampu.
h. Undang -Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak merupakan perkembangan dari UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang lebih
mengarah pada adanya pemidanaan penjara untuk anak sedangkan
seharusnya untuk kasus-kasus yang terjadi pada anak yang
harusnya lebih dikedepankan adalah diversi atau lebih mengarah ke
keadilan restoratif. Undang-Undang ini akan mulai berlaku 2 (dua)
tahun terhitung sejak tanggal diundangkan yaitu 30 Juli 2014.
Tentang perlunya bantuan hukum khususnya bantuan hukum yang
diberikan untuk anak dijelaskan di Pasal 3 Undang-Undang ini
yaitu :
“Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak :
a. Diperlakukan
secara
manusiawi
dengan
memeperhatikan kebutuhan sesuai dengan umumnya;
63
b. Dipisahkan dari orang dewasa;
c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnnya
secara efektif;
d. Melakukan kegiatan rekreasional;
e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan
lain yang kejam, tidak manusiawi serta meredahkan
derajat da martabatnya;
f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali
sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling
singkat;
h. Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang
objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang
tertutup untuk umum;
i. Tidak dipublikasikan identitasnya;
j. Memperoleh pendampingan orangtua/wali dan orang
yang dipercaya oleh anak;
k. Memperoleh advokasi sosial;
l. Memperoleh kehidupan pribadi;
m. Memperoleh aksesbilitas, terutama bagi anak cacat;
n. Memperoleh pendidikan;
o. Memperoleh pelayanan kesehatan;
p. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peratura
perundang-undangan”.
Dalam Pasal tersebut huruf C disebutkan adanya bantuan
hukum untuk anak dalam proses peradilan pidana. Penulis
mengartikan anak dalam proses peradilan pidana anak adalah anakanak yang berhadapan dengan hukum, sehingga anak disana dapat
berarti pelaku, korban maupun pelaku.
Adapun pengaturan khusus pada BAB VII Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu
pengaturan Pasal-Pasal tentang anak kor ban dan anak saksi.
Salah satu pasal yang secara tersirat menjelaskan tentang hak anak
sebagai korban untuk mendapatkan bantuan hukum adalah pada
64
Pasal 89 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yaitu :
“Anak Korban dan/atau Anak Saksi berhak atas semua
perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan”.
Dalam hal ini perlindungan anak yang dapat dikembangkan secara
luas maka bantuan hukum untuk anak merupakan salah satu bentuk
dari perlindungan hukum.
i.
Undang -Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak
Satu-satunya undang-undang yang secara jelas menyatakan
adanya bantuan hukum untuk anak khususnya untuk anak sebagai
korban tindak pidana terdapat pada Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyatakan :
“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak
pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan
lainnya”.
Bantuan lain yang tertulis pada penjelasan Pasal 18 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah
termasuk bantuan medik, sosial, rehabilitasi, vokalisasi, dan
pendidikan.
65
j. Konvensi Hak Anak
Awal mula adanya perlindungan anak yang akhirnya
dkhususkan pula adanya bantuan hukum untuk anak adalah saat
Konvensi Hak Anak diratifikasi oleh pemerintah Republik
Indonesia dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang pengesahan convention
of the right (konvensi tentang pengesahan hak-hak anak) yang
konsekuensi
dari
diratifikasinya
konvensi
tersebut
harus
menegakkan hak-hak anak. Berdasarkan isi hukumnya hak-hak
anak secara terperinci yang tertulis dalam convention of the right
(konvensi tentang pengesahan hak-hak anak) adalah sebagai
berikut :
1) Hak memperoleh perlindungan dari segala bentuk diskriminasi
dan hukuman
2) Hak memperoleh perlindungan dan perawatan atas
kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan.
3) Hak atas jaminan negara atas penghormatan tanggung jawab,
hak dan kewajiban orang tua dan keluarga.
4) Negara mengakui hak hidup anak, serta kewajiban negara
menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup anak.
5) Hak memperoleh kebangsaan (nasionality), nama dan
hubungan keluarga.
6) Hak memelihara identitas diri termasuk termasuk kebangsaan,
nama, dan hubungan keluarga.
7) Hak untuk tinggal bersama-sama orang tua.
8) Hak untuk kebebasan menyatakan pendapat dan pandangan.
9) Hak untuk kebebasan berfikir, berkeyakinan, dan beragama.
10) Hak untuk kebebasan berhimpun, berkumpul, dan berserikat.
11) Hak untuk memperoleh informasi dan segala sumber informasi
yang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial,
jiwa, moral kesehatan fisik dan mental.
12) Hak untuk memperoleh perlindungan khusus dan bantuan
akibat kekerasan fisik, mental, penyalahgunaan, penelantaran
dan perlakuan salah serta penyalahgunaan seksual.
66
13) Hak memperoleh perlindungan hukum terhadap gangguan
kehidupan pribadi, keluarga, surat menyurat atas serangan yang
tidak sah.
14) Hak atas perlindungan bagi anak yang tidak mempunyai orang
tua.
15) Hak atas perlindungan anak yang berstatus pengungsi
(pengungsi anak).
16) Hak memperoleh perawatan khusus bagi anak cacat.
17) Hak memperoleh pelayanan kesehatan.
18) Hak memperoleh manfaat atas jaminan sosial.
19) Hak memperoleh taraf hidup layak bagi perkembangan fisik,
mental, dan sosial.
20) Hak memperoleh pendidikan.
21) Hak untuk beristirahat dan bersenang-senang untuk terlibat
dalam kegiatan bermain,berkreasi dan seni budaya.
22) Hak atas perlindungan dari eksploitasi ekonomi.
23) Hak atas perlindungan dari penggunaan oba t terlarang.
24) Hak atas perlindungan dari segala bentuk eksploitasi seksual.
25) Hak atas perlindungan terhadap penculikan, penjualan dan
perdagangan anak.
26) Hak atas perlindungan terhadap segala bentuk eksploitasi
kejahatan anak.
27) Hak atas jaminan pelarangan penyiksaan anak dan hukuman
yang tidak manusiawi.
28) Hak atas hukum acara peradilan anak.
29) Hak memperoleh bantuan hukum baik dalam pengadilan
ataupun di luar pengadilan.
30) Hak atas jaminan akan tanggung jawab orang tua membesarkan
dan membina anak dan negara berkewajiban mengambil
langkah utuk memmbantu orang tua yang bekerja agar
mendapat perawatan dan fasilitas. 62
Hak-hak anak pada konvensi anak tersebut pun tidak dapat
dikatakan mampu mengcover adanya bantuan hukum untuk anak.
Bantuan hukum untuk anak hanya ada pada nomor 29 yaitu :
“Hak memperoleh bantuan hukum baik dalam pengadilan
ataupun di luar pengadilan”.
62
Muhammad Joni dan Zulchaina Tanamas, 199 9, Aspek Hukum Perlindungan Anak
dalm Perspektif Konvensi Hak Anak , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 70.
67
2. Batasan Anak Penerima Bantuan Hukum.
Perbedaan pengertian anak yang diatur dalam perundang-undangan
menunjukan adanya disharmonisasi perundang-undangan yang ada
sehingga pada praktiknya di lapangan akan banyak kendala yang
terjadi akibat dari perbedaan pengertian anak tersebut.
a. Menurut KUHPerdata
Menurut Pasal 330 KUHPerdata batasan anak adalah :
“Orang yang belum mencapai belum mencapai 21 (dua
puluh satu) tahun atau bercerai sebelum berumur 21 (dua
puluh satu) tahun”.
b. Menurut hukum adat yang didasarkan pada yuriprudensi
Mahkamah Agung RI tanggal 01 Juni 1955 Nomor
53/SIP/1955.
Batasan anak yang lebih muda atau lebih sempit tertulis pada
yuriprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 01 Juni 1955 Nomor
53/SIP/1955 yaitu :
“Seseorang yang belum mencapai umur 15 tahun maka
seseorang itu dinyatakan belum dewasa”.
c. Menurut Konvensi Hak Anak
Berdasarkan konvensi hak anak yang telah diratifikasi oleh
pemerintah dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang pengesahan convention
of the right (konvensi tentang pengesahan hak-hak anak)
pengertian batasan anak adalah sebagai berikut :
68
“Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18
(delapan belas) tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku
bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai
lebih awal”.
d. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan
Diatur batasan anak menurut Pasal 1 angka 20 UndangUndang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan yaitu :
“Anak adalah orang laki-laki atau wanita yang berumur
kurang dari 15 tahun”
e. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang
Pornografi
Diatur batasan anak menurut Pasal 1 angka 4 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pornografi, yaitu :
“anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun”.
f.
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
Diatur batasan anak menurut Pasal Pasal 1 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, yaitu :
“anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun
dan belum menikah, termasuk anak yang masih di dalam
kandungan
apabila
hal
tersebut
adalah
demi
kepentingannya”.
69
g. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak
Diatur batasan anak menurut Pasal 1 ayat (1) UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 yaitu :
“Anak adalah seseorang yang belum mencapai 18 tahun
dan belum pernah kawin”.
h. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan anak.
Diatur batasan anak menurut Pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979, yaitu :
“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21
tahun dan belum pernah kawin”.
i. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Banyaknya
batasan
anak
pada
berbagai
peraturan
perundang-undangan menjadikan sulitnya menerapkan batasan
utuk anak yang mendapat bantuan hukum. Dari banyaknya batasan
anak tersebut yang digunakan oleh Komisi Nasional Perlindungan
Anak sebagai syarat agar anak tersebut dapat diberikan bantuan
hukum adalah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak pada Pasal 1 yaitu :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan”
70
B. Hasil Penelitian Data Primer
Informan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa orang yang
ditemui oleh peneliti yaitu Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal
KOMNAS Anak di Jakarta, beberapa orang pengacara dari lembaga -lembaga
bantuan hukum yang berbeda dan murid-murid SDN 4 Beji, Depok yang
menjadi korban tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh wali kelasnya
yang saat itu penulis temui saat berada di KOMNAS Anak bersama
orangtuanya.
Wawancara dilakukan secara semi terstruktur berkaitan dengan
judul penulis yaitu implementasi bantuan hukum oleh Komisi Nasioanal
Perlindungan Anak sehingga mendapatkan data wawancara dan penulis
membaginya menjadi beberapa judul sebagai berikut.
a. Fenomena kekerasan pada anak
Anak merupakan subjek yang paling rentan berhadapan dengan
kejahatan karena anak memiliki fisik dan mental yang lebih lemah
daripada orang dewasa dan kepribadiaannya yang belum matang karena
memang usianya yang masih muda. Bahkan anak yang dinyatakan
sebagai korban cenderung memiliki posisi yang lemah dalam lingkungan,
keluarga, masyarakat, dan negara63
Kekerasan pada anak dari tahun ke tahun semakin meningkat
terbukti dari semakin marak pemeberitaan di media masa yang hampir
setiap hari memuat adanya kekerasan pada anak.
63
YLBHI dan PHSK, Op. Cit, hlm. 456.
71
Kekerasan sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perihal
yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan
cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau
barang orang lain atau ada paksaan. Kekerasan juga dapat diartikan
sebagai tindakan yang menyebabkan seseorang menderita atau dalam
keadaan tertekan tanpa bisa melakukan perlawanan. 64 Pada dasarnya jenis
kekerasan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga terbagi menjadi 4 jenis yaitu kekerasan
fisik, kekerasan psikis, kekerasan sekual dan kekerasan ekonomi.
Kekerasan yang terjadi pada anak yang termuat di pusat data dan
informasi (Pusdatin) pada anak KOMNAS Anak dibagi menjadi
kekerasan fisik, seksual dan psikis.
Kekerasan fisik adalah yang bersentuhan langsung dengan tubuh atau
fisik, baik yang meninggalkan bekas maupun tidak meninggalkan bekas,
seperti memukul, menampar, mencubit dan menjambak. Kekerasan
seksual seperti melakukan pencabulan, sodomi atau inses. Sedangkan
kekerasan psikis atau yang bisa disebut juga kekerasan verbal adalah
komunikasi berbahasa berupa kata-kata yang di dalamnya mengandung
unsur pelecehan atau penghinaan terhadap anak, seperti berbicara kasar,
membentak, menghardik, memberikan sebutan tidak pantas (labeling).
64
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, PT Refika Aditama, Bandung, Hlm. 30.
72
Selama Tahun 2012 berdasarkan Pusat Data dan Informasi di KOMNAS
Anak didapat data kekerasan yang terjadi pada anak sebagai berikut :
Jenis
Jumlah
Jumlah
%
Kekerasan
Perempuan
Laki-Laki
Fisik
546
273
819
31.06%
Seksual
834
241
1075
40.77%
Psikis
277
466
743
28.18%
Jumlah
1657
980
2637
100.00%
Dari data di atas dapat dilihat bahwa kekerasan pada anak yang
paling banyak terjadi selama Tahun 2012 adalah kekerasan seksual
dibandingkan dengan kekerasan fisik dan kekerasan psikis.
Adapun data sementara selama Januari-Februari Tahun 2013 yang didapat
juga dari Pusat Data dan Informasi di KOMNAS Anak adalah sebagai
berikut :
Jumlah
Kasus
Januari 2013
Februari 2013
Kekerasan Fisik
18
39
Kekerasan Seksual
28
56
Kekerasan Psikis
24
44
8
27
Penculikan/Anak Hilang
12
17
ABDH
43
30
Trafikking
73
Tawuran
3
4
Bunuh Diri
-
1
Jumlah
136
218
Keterangan : Data baru bersifat sementara. Panduan berita online dan
data hotline belum dimasukkan
Jika melihat data terbaru yang masuk hingga februari 2013 kasus
yang paling banyak masuk adalah kekerasan seksual.
Melihat peningkatan kasus tersebut bahkan data di Pusdatin KOMNAS
Anak sampai pada bulan Juni 2013 KOMNAS Anak mencatat total kasus
pelanggaran hak anak di Indonesia capai 59.396.339 dari total jumlah
anak sekitar 80 (delapan puluh) juta dan banyaknya kasus pelanggaran
hak anak khususnya pelanggaran anak dalam hal kekerasan seksual, tidak
mengherankan jika KOMNAS Anak dalam hal ini Arist Merdeka Sirait
selaku ketua dari KOMNAS Anak menyatakan tahun 2013 sebagai tahun
darurat kekerasan pada anak.
Menurut Samsul Ridwan65 faktor yang menjadikan anak mudah
menjadi korban kekerasan adalah sebagai berikut :
“Faktor yang menjadikan anak itu lebih rentan menjadi korban
kekerasan itu menurut kami ada 2 (dua) faktor yaitu :
1) Adanya Pardigma bahwa anak adalah individu yang lemah dari
segi fisik maupun dalam pemenuhan hak mereka. Mereka tidak
memiliki aspirasi untuk menyuarakan apa yang mereka rasakan
2) Kekerasan dianggap budaya yang efektif untuk mendisiplinkan
anak sehingga terkadang hal ini tidak perlu dipersoalkan. Ini yang
menjadikan persoalan seperti tindak kekerasan jarang terungkap ke
permukaan”.
65
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
74
Sedangkan menurut Arist Merdeka Sirait 66 yang menjadikan
tingginya angka kekerasan yang terjadi pada anak adalah
“Hukuman untuk pelaku kekerasan yang sangat jauh dari ketentuan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Sesuai yang tertulis pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak hukuman maksimal bagi pelaku
kejahatan pada anak adalah 15 (lima belas) tahun penjara, tapi
sejak diundangkan sampai hari ini tidak ada yang mencapai 15
(lima belas) tahun”.
Arist Merdeka Sirait 67 bahkan menambahkan
“Hukuman yang pantas untuk pelaku kekerasan terhadap anak
yaitu penjara seumur hidup”.
Masih menurut Arist Merdeka Sirait 68, tingginya kekerasan seksual
terhadap anak juga dapat disebabkan karena faktor ekonomi yang lemah
dan disfungsi keluarga. Faktor ekonomi lemah itu membuat anak-anak
sangat mudah terbujuk rayu sehingga tergoda untuk mengikuti gaya hidup
remaja yang sedang tren saat ini. Salah satu tren yang dimaksud adalah
seks bebas dikalangan remaja. Sedangkan, yang dimaksud dengan
disfungi keluarga adalah peranan orang tua yang kurang dalam pemberian
kasih sayang dan monitoring atau pengawasan terhadap anak. Misalnya,
orangtuanya yang sibuk bekerja atau contoh lain yaitu keluarga yang tidak
harmonis karena bercerai.
Kekerasan pada anak terutama kekerasan seksual hanya akan
menjadikan masa depan anak tersebut semakin buruk. Anak-anak korban
kekerasan terutama kekerasan seksual seperti contoh diatas adalah
66
Kekerasan Anak di Depok Naik, Koran Warta Kota, Senin, 11 Maret 2013
Ibid
68
Ibid
67
75
kelompok yang paling sulit pulih jika dibandingkan pada korban
kekerasan seksual orang dewasa. 69 Mereka atau anak sebagai korban
kekerasan seksual cenderung akan mengalami trauma akut, masa
depannya akan hancur, dan bagi yang tak kuat menanggung beban, maka
pilihan satu-satunya adalah bunuh diri. Aib, perasaan merasa tercemar,
dan kejadian yang mereka alami akan terus meghantui korban.
Mengingat efek jangka panjang yang akan diterima pada anak
korban kekerasan seksual, maka dari itu penting kiranya membangun
kawasan ramah anak yang membuat anak nyaman hidup di lingkungan
tempat ia tumbuh sehingga dapat meminimalisir terjadinya kekerasan
pada anak. Karena seperti yang sudah diketahui faktor lingkungan dalam
hal ini kenyamanan dalam keluarga termasuk faktor penting agar anak
tetap dapat nyaman untuk tinggal di rumah.
Menurut Chabib Mustofa 70 minimal ada 5 (lima) indikasi sebuah
kawasan hidup yang termasuk dalam kategori ramah terhadap anak yaitu :
1. Anak terlibat dalam pengambilan keputusan tentang masa depan,
diri, keluarga, dan lingkungannya.
2. Kemudahan mendapatkan layanan dasar seperti pendidikan,
kesehatan dan layanan lain untuk tumbuh berkembang.
3. Adanya ruang terbuka untuk anak dapat berkumpul, bermain dan
berkreasi dengan sejawatnya dengan aman serta nyaman.
4. Adanya aturan yang melindungi anak dari bentuk kekerasan dan
eksploitasi.
5. Tidak adanya diskriminasi dalam hal apapun terkait suku, agama,
ras, dan golongan.
69
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Op. Cit, hlm. 78.
Chabib Mustofa, Belajar Ramah Pada Anak, Jawapos Online, Diakses 20/07/2013
Pukul 20.00
70
76
Akhirya, Menurut Samsul Ridwan71 jika kekerasan terhadap anak
tidak dihentikan, cepat atau lambat bangsa ini akan runtuh. Para
pemimpin bangsa ini kelak akan terdiri dari orang-orang yang memiliki
masa kanak-kanak penuh kekerasan.
b. Bantuan hukum untuk anak sebagai korban tindak pidana
Bantuan hukum adalah implementasi dari kehidupan demokrasi.
Bantuan hukum sebagai bukti bahwa adanya equality before the la w.
Bantuan hukum memang sudah diatur sedemikian rupa sehingga semua
lapisan masyarakat dapat menerima bantuan hukum terutama peraturan
tentang bantuan hukum untuk masyarakat yang kurang mampu tapi tidak
dengan bantuan hukum untuk anak.
Bantuan hukum untuk anak telah diatur namun hanya untuk
terdakwa bukan untuk korban. Bantuan hukum untuk anak untuk
tersangka atau terdakwa pun sebenarnya masih terbatas dalam
penerapannya di undang-undang bukan penerapan secara praktek
hukumnya. Dalam hal tersangka atau terdakwa anak yang diarahkan ke
arah diversi maupun keadilan restoratif itu secara penerapan di lapangan
belum tercapai secara tepat, terlihat masih banyaknya anak sebagai
tersangka atau terdakwa yang masih saja dimasukkan ke lapas dewasa
maupun lapas anak walaupun secara de jure anak dibawah usia 12 tahun
71
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
77
tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya dengan cara dipidana
penjara.
Penjara bukanlah tempat yang pantas untuk dijadikan tempat
pembelajaran oleh seorang anak, sekalipun ada pemberian istilah anak
nakal dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak tapi hal ini dibantah oleh tidak Samsul Ridwan72, menurutnya :
“Dalam KOMNAS Anak tidak ada sebenarnya istilah untuk
mengatakan anak nakal atau bandel yang ada hanya anak yang
kelebihan energi”.
Bahkan di dalam Konvensi Hak Anak pun menghindari istilah
anak nakal. Istilah anak nakal adalah pelabelan atau pemberian cap buruk
pada anak hanya akan membuat situasi semakin buruk. Penjara yang
dikatakan sebagai tempat terburuk bagi anak juga dikatakan oleh Barda
Nawawi Arief 73. Menurut pakar hukum pidana ini pidana penjara untuk
anak membawa pengaruh lebih jahat, sehingga sering dikatakan bahwa
rumah penjara adalah perguruan tinggi kejahatan atau pabrik kejahatan.
Pendapat yang tidak jauh berbeda dikatakan oleh Poltak Agustinus
Sinaga74 selaku ketua maupun pengacara di Perhimpunan Bantuan
Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (selanjutnya disebut PBHI) :
“Dampaknya akan bahaya ketika anak masuk penjara. Awalnya
untuk memberi efek jera tapi sebenarnya negara kita ini belum siap
membuat penjara yang memberi efek jera yang ada nanti akan
72
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
73
Syaiful Bakhri, 2009, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Total Media,
Yogyakarta, hlm. 93.
74
Hasil Wawancara dengan Poltak Agustinus Sinaga selaku Ketua sekaligus pengacara
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013.
78
timbul dampak lebih buruk karena penjara di negara ini lebih
kepada memberi pelajaran menjadi kriminal”.
Poltak Agustinus Sinaga 75 juga menambahkan :
“Penjara Itu sebenarnya salah satu yang perlu dihindari dari anak,
jadi ga perlu anak kecil asal salah asal dirasa melakukan tindak
pidana langsung masuk ke pengadilan masuk ke penjara, harus
dilihat lagi kalau tidak fatal-fatal betul harusnya tidak perlu sampai
masuk penjara nanti yang ada niatnya mau bikin jera tapi yang ada
malah bikin tambah bandel anak itu”.
Pendapat yang lain disampaikan oleh Eka Prasetya 76 yang juga
merupakan salah satu pengacara PBHI, dia mengatakan:
“Biasanya anak yang katanya menjadi pelaku itu kondisi sosialnya
buruk. Buruknya itu baik di lingkungannya maupun keluarga dia
buruk. Anak itu sebenarnya maih dalam tahap meniru jadi mau
bagaimanapun anak itu pasti meniru sekitarnya. Maka dia harus
dibina karena kadang beberapa anak masih belum mengetahui
kalau yang dia lakukan itu salah tapi dibinanya ga dengan cara
masuk penjara”.
Tentang sosial yang buruk dan lingkungan yang mendukung anak tersebut
Samsul Ridwan77 menyatakan :
“Di dalam teori perkembangan anak faktor genetika dan faktor
lingkungan yang membuat anak itu akhirnya dinyatakan sebagai
anak nakal. Tapi ya tetap yang paling berpengaruh itu bukan
genetik tapi ya lingkungannya. Lingkungan itu tidak bisa diartikan
sempit karena lingkungan itu bukan hanya lingkungan tempat di
tinggal tapi lingkungan yang lebih luas yaitu lingkungan sosial
bahkan lingkungan teknologi. Lingkungan teknologi yang menurut
kami paling berpengaruh”.
75
Hasil Wawancara dengan Poltak Agustinus Sinaga selaku Ketua sekaligus pengacara
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013.
76
Hasil Wawancara dengan Eka Prasetya selaku pengacara Perhimpunan Bantuan Hukum
dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013.
77
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
79
Sedangkan Eka Prasetya kembali berpendapat bahwa :
“Memang mungkin secara undang-undang atau legal formal
anak yang menjadi pelaku itu salah cuma bagaimana caranya kita
bisa bersama-sama memperbaiki dia yang salah itu biar dia ga
tambah salah, dan menurutku penjara itu bukan solusinya”.
Ditambahkan pula menurut Eka Prasetya 78 :
“Di Indonesia ini sebenarnya ga ada lapas anak yang bagus kalau
di Jawa Tengah aku pernah ke lapas anak yang ada di daerah
Bantungan. Kalau buat di Jakarta sendiri kita bisa lihat buat kasuskasus anak rata -rata ditarohnya di Salemba, padahal di Salemba
itu rata-rata buat tahanan narkotika sama korupsi. Ya sekalipun
dipisah sih tempat ditahannya tapi kan pas apel pagi ketemu tuh
mereka bisa lihat kayak macem John Kei atau mereka bisa juga
mikir itu yang tiap hari ditahan sama mereka tapi bisa bolak balik
masuk penjara seperti koruptor gitu dan dari situ aku berpikir
anak-anak yang akhirnya masuk penjara itu akan dewasa sebelum
waktunya dan dewasa sebelum waktunya itu jadi ga bagus soalnya
dalam hal kriminal”.
Sedangkan pendapat lain tentang buruknya penjara untuk anak dikatakan
pula oleh Sudiyanti79, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
(Selanjutnya disebut LBH Jakarta) yakni :
“Anak sebagai pelaku tindak pidana itu jika dikatakan banyak
perlindungan menurutku itu ga sama sekali. Justru mereka
jauh
lebih rentan dibandingkan korban. Sistemnya seakan-akan baik tapi
menurutku implementasinya buruk yang paling menurutku dari
anak sebagai pelaku itu rehabilitasi bukan penjara”
Bahkan masih menurut pendapat Sudiyanti :
“Sebenarnya yang lebih menarik buat saya itu ya anak sebagai
pelaku karena sebenarnya sekalipun banyak undang-undang yang
mengatur tentang hak-hak anak sebagai pelaku termasuk
pemberian bantuan hukum tapi lebih banyak ga dilindunginya
kalau korban biasanya malah banyak dibantu. Seperti P2TP2
(Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak) itu pelayanan 1
78
Hasil Wawancara dengan Eka Prasetya selaku pengacara Perhimpunan Bantuan Hukum
dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013.
79
Hasil Wawancara dengan Sudiyanti selaku Lembaga Bantuan Hukum Jakarta di LBH
Jakarta pada tanggal 29 Mei 2013.
80
atap untuk perempuan dan anak yang ada di Jakarta. Ini tuh milik
pemprof yang melayani pemberian bantuan hukum, konseling pada
korban anak dan perempuan. Dananya sepenuhnya dari pemerintah
dan lembaga ini menyediakan pengacara dan psikolog”.
Sedangkan pendapat terakhir tentang penjara sebagai ultimum remidium
bagi istilah anak nakal disampaikan oleh Samsul Ridwan80 :
“Ga ada itu istilah anak nakal, kita disini mengatakan anak yang
kelebihan energi. Harapan kita dengan kita memberi
perlindungan anak itu yang namanya penjara anak itu tidak ada.
Anak yang berkonflik dengan hukum itu lebih baik diletakkan di
rumah perlindungan sosial anak karena perlakuan anak disana akan
lebih baik dibandingkan di penjara. Yang paling susah nantinya
stigmatisasi atau labeling karena hal ini akan terbawa sampai
dewasa”
Menurut Eka Prasetya 81 sebenarnya anak-anak dalam beberapa kasus
pidana dapat saja tidak dipidana penjara tetapi terkadang beberapa kasus
yang sudah masuk dalam legal formal dalam hal ini persidangan pada
akhirnya para jaksa maupun hakim gengsi untuk menghentikan kasus
yang sudah masuk walaupun sebenarnya penghentian itu dapat saja
terjadi. Itulah yang terkadang menyebabkan putusan akhirnya harus
diambil dan dipidana.
Pola pemberian bantuan anak dalam beberapa pendapat cenderung
sama semua pihak menginginkan anak khususnya pelaku anak dapat
meyelesaikan kasusnya dengan jalan diversi atau keadilan restributif
bukan dengan jalan pidana pemenjaraan. Ada cara yang lebih manusiawi
untuk membimbing atau memberikan efek jera pada anak tersebut tanpa
80
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
81
Hasil Wawancara dengan Eka Prasetya selaku pengacara Perhimpunan Bantuan Hukum
dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013.
81
perlu memberikan stigmatisasi narapidana pada anak yang justru akan
menjadi beban psikologis untuknya seumur hidup karena efek jera dari
sebuah pemenjaraan untuk orang dewasa belum tentu bisa sama dapat
diberlakukan ke anak.
Namun sepertinya keadilan restoratif masih jauh dari harapan
karena aparat negara dalam hal ini masih belum sadar bahwa dalam
kasus-kasus anak lebih mementingkan keadilan restoratif bukan
pemidanaan bahkan menurut Sudiyanti82 sekalipun pada akhirnya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak berhasil diundangkan dan mulai dilaksanakan pada Tahun 2014
nanti para aparat negara harus bekerja keras dan nantinya para pengacara
khusus anak pasti banyak digunakan karena kasus -kasus anak biasanya
banyak menyita waktu. Menurut Sudiyanti83 sebagai berikut :
“Kasus anak itu cepat sekali pergerakkannya. Anak itu ditahan
cuma 10 hari kalau di KUHAP kan 20 hari diperpanjang paling
anak-anak itu sampai 30 hari itu masuk dalam penyidikan lewat
dari itu anak harus dilepas nantinya dipersidangan cuma 45 dan itu
sidangnya setiap hari tanpa berhenti jadi pembelaannya itu ga
maksimal, maka dari itu saya tadi bilang kalau SPPA berjalan
pengacara anak akan banyak digunakan dan kepolisian harus
belajar banyak tentang keadilan restoratif bukan apa-apa anak
masuk penjara”.
Menurut pendapat dari Eka Prasetya 84 :
“Restorative action itu ga akan pernah berjalan kalau ga dikawal
kita semua, kita kawal aja belum tentu berhasil makanya nantinya
82
Hasil Wawancara dengan Sudiyanti selaku Lembaga Bantuan Hukum Jakarta di LBH
Jakarta pada tanggal 29 Mei 2013.
83
Hasil Wawancara dengan Sudiyanti selaku Lembaga Bantuan Hukum Jakarta di LBH
Jakarta pada tanggal 29 Mei 2013.
84
Hasil Wawancara dengan Eka Prasetya selaku pengacara Perhimpunan Bantuan Hukum
dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013.
82
SPPA harus dikawal dengan lebih ketat agar kita tahu bahwa
keadilan untuk anak itu sudah berjalan dengan baik”.
Lain pola pemberian bantuan hukum untuk anak sebagai pelaku
lain juga untuk anak saat dia menjadi korban dalam tindak pidana. Saat
anak menjadi korban dalam tindak pidana hanya satu pasal yang benarbenar menggambarkan adanya bantuan hukum untuk anak sebagai korban
tindak pidana yaitu Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak. Mengenai bantuan hukum terhadap anak
sebagai korban sendiri disampaikan oleh Sudiyanti85, dia mengatakan :
“bantuan hukum untuk anak memang yang banyak diatur untuk
terdakwa untuk anak sebagai korban sendiri polanya memang
hanya sekedar mendorong karena tidak mungkin advokat
melakukan penyelidikan, itu kan sudah tugas polisi”.
Ketika dipertanyakan tentang bagaimana bantuan hukum untuk
anak dalam hal korban, Sudiyanti kembali berpendapat :
“ Bantuan hukum untuk korban itu paling kita tanya dulu ke
korbannya apa maunya korban. kalau ditanya gimana bentuk
bantuan hukum yang kita kasih paling lebih merujuk ke psikolog,
mendorong ke kepolisian terus mendorong di kejaksaan karena
sebenarnya hal-hal seperti itu harusnya sudah dijalankan oleh
negara karena mereka itu kan mewakili korban”.
Ketika dipertanyakan bagaimana bantuan hukum yang diberikan
oleh KOMNAS Anak dan siapa saja yang berhak mendapatkan.
KOMNAS Anak menjelaskan bahwa pada dasarnya salah satu
perlindungan anak
dalam bentuk bantuan hukum yang paling dasar
diberikan oleh KOMNAS Anak adalah dengan membuka pengaduan
85
Hasil Wawancara dengan Sudianti selaku Lembaga Bantuan Hukum Jakarta di LBH
Jakarta pada tanggal 29 Mei 2013.
83
setiap Senin-Jumat Jam 09.00-17.00 untuk pengaduan langsung atau
dapat juga via telepon dan juga surat, dan menurut KOMNAS Anak untuk
pemberian bantuan sendiri KOMNAS Anak memiliki batasan umur anak
sampai dikatakan dia dewasa. Menurut Samsul Ridwan 86 :
“Kami menggunakan payung hukum karena isu anak itu lex
specialis. Masalah anak juga lex specialis maaka dari itu yang
kami gunakan adalah batasan anak sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yakni 18
(delapan belas) tahun”.
Anak yang masih dalam batasan umur yang dinyatakan oleh KOMNAS
Anak ini berlaku untuk siapapun yang merasa ada anak yang mengalami
penderitaan atau kekerasan. Yang melaporkan hal tersebut pun tidak harus
korban itu sendiri dapat juga dilaporkan oleh orangtua, tetangga, atau
bahkan teman dari si korban itu sendiri.
Seperti yang terjadi pada tanggal 28 Mei 2013 hari itu beberapa
orang tua murid mendatangi KOMNAS Anak dan mengalami pengaduan
bersama anak mereka yaitu murid-murid dari Sekolah Dasar Negeri 4
Beji, Depok yang diduga mengalami kekerasan seksual oleh wali kelas
mereka sendiri. Para orangtua mengaku peristiwa itu sudah terjadi dari
awal semester kelas 5 sedangkan sekarang anak-anak mereka sudah
semester 2. Anak-anak tersebut tidak berani melaporkan karena mereka
diancam nilai dan mereka takut orangtua mereka tidak akan percaya jika
mereka menceritakan kejadian sebenarnya.
86
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal K omisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
84
Orang tua murid itu mengakui ini kali pertama mereka datang ke
KOMNAS
Anak
untuk
melakukan
pengaduan.
Mereka
sendiri
mengetahui KOMNAS Anak dari media.
Ketika ditanyakan mengapa mereka memilih melaporkan kasus kekerasan
seksual anak mereka ke KOMNAS Anak selain kepada kepolisian,
mereka menjawab sebagai berikut :
Menurut Diah87 sebagai orang tua dari korban yang mengalami
kekerasan seksual di SDN 4 Beji, Depok alasan para orang tua
mengadukan masalah ini ke KOMNAS Anak karena :
“Jumlah korban yang besar bukan 1 atau 2 orang saja dan agar
kasus ini tetap di rel yang benar dan kita juga minta ada
upaya
pemerintah supaya paling tidak psikologis anak ini tidak
terganggu“.
Sedangkan alasan Rita 88 selaku ketua RT yang juga relawan untuk
mengantar para korban ke KOMNAS Anak daripada ke Komisi
Perlindungan Anak Indonesia adalah
“Karena KOMNAS Anak kan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) biasanya LSM atau Organisasi Masyarakat lebih netral.
Bukan kurang percaya oleh lembaga milik pemerintah tapi akan
lebih enjoy mengadu jika tempat mengadu itu netral”.
Harapan melakukan pengaduan ke KOMNAS Anak adalah KOMNAS
Anak dapat mengadvokasi para korban dan saksi bahkan jika harus
sampai di pengadilan. Serta memberi perlindungan pada korban dan saksi
yang diancam oleh pelaku tindak pidana tersebut.
87
Hasil Wawancara dengan Diah salah satu orang tua korban kekerasan seksual di
KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
88
Hasil Wawancara dengan Rita salah satu orang tua korban kekerasan seksual di
KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
85
Sebenarnya kepentingan mereka selaku korban sudah terwakili
oleh aparat negara seperti kepolisian dan itu pun masih ditambah dengan
jika kasus ini memasuki persidangan maka keterwakilan mereka sebagai
korban akan diwakili oleh jaksa. Seperti yang kita ketahui tujuan
pemidanaan sendiri itu adalah adanya pemberian sanksi atau delik yang
nantinya akan memberikan nestapa sebagai tujuannya, tapi ternyata
hukuman yang sesuai dengan keinginan mereka atas perbuatan pelaku
pada anak-anak mereka akhirnya membawa mereka ke KOMNAS Anak.
Pilihan masyarakat yang membawa mereka pada KOMNAS Anak
untuk menyelesaikan kasus-kasus mereka selain pada kepolisian dapat
dikaitkan dengan pendapat Achmad Ali 89 yang menyatakan bahwa
kondisi hukum dan penegakkan hukum di Indonesia telah berada dalam
posisi atau kondisi abnormal oleh karena itu perlu diselesaikan dengan
cara-cara abnormal pula atau cara-cara khusus. Istilah lainnya jangan lagi
menonjolkan procedural justice atau keadilan yang hanya lahir dalam
suatu proses formal penegakkan hukum semata, tapi harus ada keadilan
yang cocok untuk kondisi hukum kita yang tadi dikatakan abnormal tapi
harusnya yang digunakan adalah transitional justice. Jadi untuk
memulihkan
kepercayaan
masyarakat
seperti
yang
terjadi
pada
masyrakata yang lebih memilih melaporkan ke KOMNAS Anak
dibandingkan dengan kepolisian jangan lagi hanya formalitas dan
89
Achmad Ali, 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia (penyebab dan solusinya),
Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 67.
86
prosedural
yang
dikedepankan,
melainkan
para
penegak
hukum
seyogyanya lebih memperhatikan keadilan masyarakat.
Hal ini juga dikuatkan dengan pendapat Samsul Ridwan90 yang
menyatakan sebagai berikut :
“Kalau ditanya mengapa kita lebih dipercaya oleh masyarakat itu
mungkin salah satunya dikarenakan kita bekerja dengan hati, orang
akan percaya karena kita bekerja dengan sungguh-sungguh bukan
karena , ya maaf kita dibayar berapa. Apalagi penanganan kasus
dengan kita pasti prodeo. Kita juga dibantu oleh kepercayaan
media untuk menggaungkan eksistensi kita.
Ditambahkan pula menurut Samsul Ridwan :
Yang namanya Public Trust itu dibangunnya bukan 1-2 Tahun
kami butuh waktu yang lama untuk mendapatkan itu. Dan terakhir
pamrih kita itu jangka panjang jadi agar Indonesia dapat terbebas
dari kekerasan anak. Visi kita agar negara dapat lebih peduli pada
permasalahan-permasalahan anak”.
c. KOMNAS Anak sebagai pemberi bantuan hukum
Pada dasarnya konsep anak yang berhadapan dengan hukum sudah
memisahkan macam-macam status anak menjadi anak sebagai pelaku,
anak sebagai korban , dan anak sebagai saksi. Anak sebagai pelaku maka
saat ini melanggar hukum melakukan suatu tindak pidana, anak sebagai
saksi maka saat anak itu mengetahui suatu kejadian baik itu melihat,
mendengar maupun merasakan. Sedangkan anak sebagai korban adalah
ketika anak itu menjadi koban dari suatu tindak pidana.
90
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
87
Pengertian yang lebih luas tentang korban anak yang dinyatakan oleh
Poltak Agutinus Sinaga 91 adalah :
“Saat anak itu melakukan tindak pidana itu juga bisa
dikatakan sebagai korban. Saat misalnya seorang anak
mencuri dan dia harus masuk dalam persidangan maka
menurut kami PBHI dia juga korban. Karena kami mengartikan
anak itu korban saat dia harus masuk ke peradilan, dia ga akan jadi
korban kalau dia ga masuk pengadilan. Kita kan ga harus melulu
lihat secara legal formal kan ada pendekatan lain ga harus apa -apa
anak langsung disidang”.
tidak jauh berbeda dengan pendapat Poltak Agustinus Sinaga, Sudiyanti92
selaku advokat dari LBH Jakarta mengatakan bahwa :
“Kita LBH Jakarta mengkategorikan pelaku itu juga sebagai
korban”
Pendapat lain tentang anak sebagai korban juga disampaikan oleh
Samsul Ridwan93 selaku Sekreta ris Jenderal KOMNAS Anak yaitu :
“Kita tahu bahwa anak yang berhadapan dengan hukum itu dibagi
menjadi tiga. Ada pelaku, korban, dan saksi. Menurut kami
KOMNAS Anak ketiganya itu temasuk korban. ketiganya
termasuk anak yang berkonflik dengan hukum itu korban. ketigatiganya wajib mendapat
perlindungan
yang
memadai
terhadap aspek-aspek hukum terutama untuk melindungi meraka
dari bentuk-bentuk kekerasan”.
KOMNAS Anak sebagai pemberi bantuan hukum sesuai yang
tertuang dalam salah satu peran mereka telah menjalankan amanat sebagai
pemberi perlindungan anak maupun pemberi bantuan hukum sejak tahun
2003. Sejak tahun 2003 KOMNAS Anak telah lahir dan dikukuhkan
91
Hasil Wawancara dengan Poltak Agustinus Sinaga selaku Ketua sekaligus pengacara
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013.
92
Hasil Wawancara dengan Sudianti selaku Lembaga Bantuan Hukum Jakarta di LBH
Jakarta pada tanggal 29 Mei 2013.
93
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
88
melalui Surat Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor
81/HUK/1997 tentang Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak Pusat
memiliki tujuan memantau, memajukan, dan melindungi hak anak, serta
mencegah berbagai kemungkinan pelanggaran hak anak yang dilakukan
oleh negara, perorangan, atau lembaga.
Dalam menjalankan tugas, peran, fungsi, dan mencapai visinya
maka KOMNAS Anak tidak bergerak sendiri. Menurut Samsul Ridwan
KOMNAS Anak merupakan organisasi jaringan, lebih lanjut Samsul
Ridwan94 menjelaskan pendapatnya sebagai berikut :
“Banyaknya kasus yang masuk ke KOMNAS Anak yang 75 % nya
adalah pengaduan dari berbagai daerah maka KOMNAS Anak
tidak dapat berdiri sendiri. KOMNAS Anak sendiri merupakan
organisasi jaringan yang di setiap daerah dibantu oleh LPA
(Lembaga Perlindungan Anak) di 31 daerah baik itu di provinsi
maupun kabupaten kota. Indonesia sendiri memiliki 31 provinsi
dan 158 kabupaten kota. Jadi cabang-cabang kita di daerah itu
namanya LPA (Lembaga Perlindungan Anak)”.
Lebih lanjut beliau mengatakan :
“Kasus-kasus di luar Jakarta yang ga mungkin kita tangani
mengingat keterbatasan kita ini. Maka bisa di cover oleh LPA
(Lembaga Perlindungan Anak) di daerah masing-masing”.
Ketika penulis menanyakan apakah ada Lembaga Perlindungan Anak di
daerah purwokerto mengingat dapat dijadikan sebagai data -data
pendukung, Samsul Ridwan kembali berpendapat sebagai berikut :
“Sayangnya di daerah Purwokerto kabupaten Banyumas Lembaga
Perlindungan Anak belum ada disana. Tapi kan ga harus melulu
pengaduan atau melaporkan kasus anak ke Lembaga Perlindungan
Anak kan masih ada Lembaga Swadaya Masyarakat seperti
94
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekretaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
89
Buyung Emban atau lembaga-lembaga lain yang konsen pada
permasalahan-permasalahan anak”.
Sampai hari ini ada dua lembaga besar yang berperan aktif untuk
menyelenggarakan perlindungan pada anak selain lembaga bantuan
hukum tentunya yaitu KOMNAS Anak dan juga Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (Selanjutnya disebut KPAI). KPAI dan KOMNAS Anak
yang bergerak secara bersama dalam melakukan penyelengaraan
Perlindungan Anak memiliki hubungan saat awal sejarah berdirinya
kedua lembaga tersebut. Ketika dikonfirmasi pada pihak KOMNAS Anak
Samsul Ridwan menyatakan penjelasannya sebagai berikut :
“Dahulu kan awalnya Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak
pada Tahun 1990, salah satu syarat menegakkan hak anak adalah
adanya lembaga pemerintah Indonesia Tahun 1997-1998 yang
mendirikan yang namanya Lembaga Perlindungan Anak di tingkat
provinsi lalu di tingkat pusatnya namanya KOMNAS Anak.
Kemudian salah satu mandatnya lagi harus lahir undang-undang,
kelembagaannya sudah ada tapi karena proses politik kelembagaan
itu disebut dengan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia)”.
Sampai hari ini banyak yang tidak mengetahui perbedaan antara
KOMNAS Anak dan KPAI maka dalam wawancara bersama Samsul
Ridwan95 didapat keterangan bahwa perbedaan kedua lembaga ini adalah :
1. KPAI termasuk dalam lembaga negara yang langsung bertanggung
jawab pada presiden atas setia p tindakannya sedangkan KOMNAS
Anak yang banyak orang mengataan Lembaga Swadaya Masyarakat
(Selanjutnya disebut LSM) bukanlah LSM murni. KOMNAS Anak
adalah lembaga negara non pemerintah. Termasuk lembaga negara
95
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
90
non pemerintah karena lahirnya difasilitasi oleh pemerintah, kantor
juga fasilitas yag ada dari pemerintah tapi tidak spenuhnya
operasionalnya KOMNAS Anak dibantu oleh pemerintah. Dalam hal
pendanaan, rekrutmen staf juga penentuan pengurus tidak ada sama
sekali intervensi dari pemerintah.
2. KPAI memiliki dana tersendiri dari pemerintah bahkan Samsul
Ridwan berani mengatakan KPAI tidak akan jalan jika tidak ada
pendanaan dari pemerintah. Dana KPAI tersebut didapat dari APBN
dan juga APBD yang memang khusus disiapkan pemerintah.
Pendanaan KPAI memang difasilitasi negara dan itu mandat dari
undang-undang, sedangkan untuk KOMNAS Anak pendanaan tidak
harus dari pemerintah. KOMNAS Anak dapat menggerakkan semua
pihak untuk ikut serta dalam rangka pendanaan. Bisa didapat dari
masyarakat, dapat juga dari perusahaan-perusahaan swasta.
3. Tugas pokok serta fungsi dari KPAI dan KOMNAS Anak pun
berbeda
4. KPAI memang lembaga negara tapi peristiwa dan sejarahnya KPAI
itu lahir karena adanya Undang-Udang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak lalu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak melahirkan KOMNAS Anak.
5. KPAI muncul pertama dari screening terakhir DPR sedangkan
KOMNAS Anak dari forum nasional.
91
6. KPAI merupakan mandat dari undang-undang perlindungan anak
sedangkan KOMNAS Anak merupakan mandat dari gerakan nasional
perlindungan anak yang dahulu dicanangkan oleh presiden Soeharto.
Dalam pemberian bantuan hukum oleh KOMNAS Anak tidak
memilih pengaduan KOMNAS Anak diwakili oleh Samsul Ridwan 96
mengatakan bahwa :
“Kami melindungi semua yang orang katakan terdakwa pun iya
bahkan sangat dilindungi kita tidak satupun menolak pengaduan.
Kita menerima semua pengaduan dengan baik walaupun dalam
tanda kutip anak itu melakukan tindak pidana atau tindak
kekerasan jadi baik dia sebagai korban maupun pelaku asal dia
bukan kategori dewasa kita terima”.
Mengenai siapa kategori anak yag mendapat bantuan dari
KOMNAS Anak Samsul kembali berpendapat :
“Baik anak itu pelaku, saksi maupun korban seperti yang tercantum
dalam anak yang berhadapan dengan hukum maka anak itu memiliki hak
untuk dilindungi dan juga ketiganya mempunyai hak untuk mendapat
perlindungan dari upaya kekerasan apapun”.
Tentang bagaimana bentuk bantuan anak saat anak menjadi pelaku
dan saat anak menjadi korban KOMNAS Anak mengaku memang
memiliki pola penanganan yang berbeda. Misalnya saat anak berada
dalam posisi pelaku yang melakukan tindak pidana maka pola
penanganan yang dilakukan oleh KOMNAS Anak yang dijelaskan oleh
Samsul Ridwan adalah :
“Jika anak sebagai pelaku memang undang-undang harus
ditegakkan tapi bagaimana cara anak itu tidak dipenjara, tidak
diletakkan di lapas dewasa atau harus diletakkan di lapas anak tapi
96
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
92
akan jauh lebih baik jika anak itu diletakkan dirumah perlindungan
sosial atau tidak dikenakan pasal-pasal yang membuat anak itu
tidak terkena efek jera dicarikan pasal- pasal yang dapat
menjadikan anak itu subyek atau obyek dari proses restorative
justice atau pengadilan restorasi dengan cara mediasi dengan cara
melibatkan para tokoh, orangtua, aparat penegak hukum”.
Sedangkan pola penanganan yang dilakukan oleh KOMNAS Anak saat
ada anak yang menjadi korban tindak pidana seperti saat ada pengaduan
langsung ke KOMNAS Anak mengenai kasus kekerasan seksual yang
terjadi pada murid-murid kelas V Sekolah Dasar Negeri 4 Beji, Depok
yang diduga dilakukan oleh wali kelasnya sendiri, KOMNAS Anak
melalui Samsul Ridwan97 menjawab bahwa :
“Korban itu awalnya kan sudah dibagi beberapa kategori seperti
korban kekerasan fisik, psikis, serta seksual. Kalau hari ini kita
melihat ada korban kekerasan seksual. Di KOMNAS Anak kita
tidak menyebutkan pelecehan seksual karena kalau pelecehan
seakan-akan dipegang-pegang saja tidak bisa dipidana maka kita
lebih suka menyebutkan kekerasan seksual.
Dalam kasus seperti hari ini kita tetap melakukan pendampingan,
kalau yang hari ini kita terima kan anak sebagai korban kekerasan
seksual jadi kita akan tetap melakukan pendampingan, ini kan anak
sebagai korban tindak pidana yang diduga dilakukan orang dewasa
jadi kita bisa melakukan recovery.
KOMNAS Anak selalu berusaha sebaik mungkin melakukan
recovery atau pemulihan. Semua anak yang terkena
kekerasan
terutama kekerasan seksual kan pasti tergoncang jiwanya jadi hrus
dilakukan recovery.
Dengan cara apa kita lakukan? Pendampingan secara kontinyu
dan kalau dirasa komnas tidak sanggup sendiri maka kita akan
melakukan dengan mitra bersama misalnya dengan rumah
perlindungan sosial anak. Iulah tempat korban yang nantinya
menjadi rujukan KOMNAS Anak dalam perlindungan anak, kalau
ada aspek hukumnya atau pidananya terhadap peristiwa itu
KOMNAS Anak bekerjasama dengan kepolisian untuk
melakukan rujukan kesana. Akhirnya bentuk perlindungan atau
bantuan hukum kami adalah recovery baik psikologinya
baik
97
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
93
recovery hukumnya atau bahkan menguatkan keluarganya agar
orangtuanya punya kekuatan untuk melindungi anak-anaknya”.
Apabila KOMNAS Anak diharuskan menyelesaikan kasus dengan pelaku
dan korban yang sama-sama anak maka pendampingan yang dilakukan
KOMNAS Anak menurut Samsul Ridwan 98 adalah
“Ketika ada konflik antara pelaku dan korban yang sama-sama
anak orangtua harus kita damaikan terlebih dahulu jangan sampai
masih orangtua kedua belah pihak masih bersitegang, lalu
kemudian masyarakatnya juga didamaikan kala u sudah orangtua
dan masyarakat didamaikan polisi harus diberi pemahaman bahwa
dalam hal ini sekalipun ada yang namanya pelaku dan korban
keduanya sama -sama korban”.
Tentang bantuan hukum yang diberikan oleh KOMNAS Anak pada anakanak
yang
mengalami kasus-kasus
kekerasan,
Samsul
Ridwan
menjelaskan :
“Kita tidak membuat Bantuan Hukum tersendiri. Disini kami tidak
menyediakan lawyers. Lawyers kita itu kerjasama dengan yang
lain. Kita memang menerima segala macam pengaduan tapi kita itu
tidak bekerja dari hulu ke hilir. Kita itu sistemnya jaringan ada
kerjasama ada networking dengan lembaga lain termasuk lembagalembaga bantuan hukum. Jadi tidak dari hulu ke hilir KOMNAS
Anak menghandel semua sendiri”.
Samsul Ridwan juga menjelaskan hal lain seba gai berikut :
“Tidak semua kasus hukum selesai di tingkat pengadilan apalagi
anak-anak kita tekankan itu kasus anak lebih restorative justice,
jadi kalau memang benar-benar butuh lawyer baru nanti kita
carikan yang selama ini jadi jaringan KOMNAS Anak” .
Mengenai alasan KOMNAS Anak tidak memiliki pengacara khusus selain
karena mengacu pada restorative justice disampaikan oleh KOMNAS
Anak sebagai berikut :
98
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
94
“Kalau udah main lawyer itu kan lebih ke profit oriented kita kan
selama ini non profit oriented. Kita selama ini bertahun-tahun dari sejak
awal mula berdiri semua kasus kami tangani prodeo pada bisa anda lihat
sendiri setiap hari kasus yang masuk ke KOMNAS Anak itu tidak pernah
ada habisnya”.
Dalam menjalankan tugas memberi perlindungan anak oleh
KOMNAS Anak khususnya dalam hal pemberian bantuan hukum pasti
memilki hambatan. Hambatan-hambatan dalam pemberian bantuan
hukum yang disampaikan oleh KOMNAS Anak melalui Samsul Ridwan
adalah :
“Hambatan yang kami alami secara kasat mata anda bisa lihat
keterbatasan semua. Staf kami terbatas sehingga pelayanan kami
tidak sebanding dengan pengaduan yang masuk, keterbatasan
waktu kami hanya buka senin sampai jumat jam 9-5 sore kadang
klien malah datang pada hari sabtu tapi kami tidak mungkin
menyuruh staf kami datang kecuali benar -benar genting seprti
bencana alam. Intinya keterbatasan sumber daya manusia, dana dan
juga waktu”
Hambatan lain yang juga dijabarkan oleh Samsul Ridwan99 adalah
“Sistem kita yang harus diperbaiki artinya kita berharap tidak
semua kasus itu arus diselesaikan di tingkat komnas anak tapi
harus ada pola berbagi peran kita meyakini jika negara dalam hal
ini pemerintah dan penegak hukum itu kuat maka kami yakin dan
percaya kasus yang datang tidak akan sebanyak ini. UndangUnda ng sudah banyak yang mampu mengcover tapi praktek
hukumnya masih kurang.
Tidak akan banyak kasus yang muncul dalam hal ini ke
permukaan misalnya di media andai saja undang-undang dapat
menjawab baik itu substansi undang-undang maupun praktik
hukum atau implikasi.
Artinya negara sudah berbuat sesuatu tapi masih kurang, di
beberapa undang-udang tidak harmonis seperti pengertian anak di
banyak undang-undang. Dan praktek-praktek hukum yang belum
berpihak ke anak”.
99
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
95
Secara garis besar maka hasil data primer maupun sekunder yang
sudah diolah atau data peelitian dapat dilihat pada tabel berikut :
Hal yang ditanyakan
No.
Bentuk-bentuk
Hambatan yang dihadapi
pemberian bantuan
dalam pemberian bantuan
hukum pada anak
hukum
Narasumber
a. Mendampingi
awal
sejak a. Dalam hal pendanaan
penyidikan
sampai
ke
tingkat
putusan (mendorong
Sudiyanti
1
(Advokat di LBH
Jakarta)
di
kejaksaan
karena sifat pemberian
bantuan
prodeo
dan b. Kurangnya peran serta
kepolisian
serta
mempersiapkan saksi)
b. Bekerjasama dengan
psikolog
dari aparat kepolisian
yang
kadang
tidak
menyampaikan
kalau
bantuan
c. Menyiapkan
hukumnya
posisi
hukum
itu
prodeo
kasus
a. Mendampingi
Poltak Agustinus
2
awal
Sinaga
sampai
(Advokat di
putusan
PBHI Jakarta)
sejak a. Dalam hal pendanaan
penyidikan
ke
tingkat
b. Mempertemukan
anatara korban dan
karena sifat pemberian
bantuan
hukumnya
prodeo
b. Korban
yang
tidak
terbuka pada advokat
96
pelaku
agar
sendiri
dalam
tercapainya
penyampaian
restorative justice
hukumnya
masalah
a. Membuka pengaduan a. Dalam hal pendanaan
untuk para korban
b. Menyiapkan
bantuan
pengacara untuk anak
Samsul Ridwan
(Sekjen
3
KOMNAS Anak
Jakarta)
yang
hukumnya
prodeo
berperkara b. Keterbatasan
sampai pengadilan
c. Menyiapkan
saksi
ahli jika dibutuhkan
d. Melakukan
pendampingan secara
psikologis dan secara
hukum
karena sifat pemberian
waktu
dalam menerima semua
pengaduan yang masuk
c. Keterbatasan
daya
manusia
sumber
dalam
KOMNAS Anak
d. Sistem hukum kita yang
masih perlu dibenahi
Sumber : Data Primer yang Diolah
C. Pembahasan
1. Implementasi Bantuan Hukum oleh Komisi Nasional Perlindungan
Anak sebagai Korban Tindak Pidana di Indonesia
Dalam Kamus Webster 100 dirumuskan secara pendek pengertian
implementasi, yaitu :
100
Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Genta Publisihing, Yogyakarta, hlm .13.
97
“to implement (mengimplementasikan) berarti to provide to means
for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan
sesuatu); to give pratical effect to (menimbulkan dampak/akibat
terhadap sesuatu).
Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa
“Dalam hal ini, maka implementasi kebijakan dapat dipandang
sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan. (biasanya
dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan
pengadilan, perintah eksekutif atau dekrit presiden”. 101
Sedangkan kata hukum sendiri menurut E. Utrecht 102 adalah :
“Hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata
tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota
mayarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap
petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah
masyarakat itu”.
Implementasi hukum pada dasarnya termasuk dalam proses
perwujudan
hukum
yaitu
ketika
hukum
menjadi
sarana
untuk
mewujudkan tujuan hukum menjadi suatu kenyataan, dengan demikian
implementasi hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
proses bekerjanya hukum.
Hukum
dibuat
untuk
dilaksanakan
dalam
kehidupan
bermasyarakat, oleh karena itu hhukum tidak dapat dipisahkan dengan
masyarakat sebagai basis bekerjanya hukum. Kaitannya dengan masalah
bekarjanya hukum di dalam masyarakat, Bernard Arief Sidharta
menjelaskan bahwa :
“Bekerjanya hukum adalah suatu proses dari semua kegiatan
manusia berkenaan dengan hal mewujudkan hukum dalam
101
102
hlm. 6.
Joko Widodo, 2006, Analisis Kebijakan Publik, Banyumedia, Malang, hlm. 14.
Yulies Tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
98
kenyataan kehidupan sehari-hari secara konrit, yang meliputi
proses pembuatan hukum, proses implementasi hukum dan proses
bantuan hukum bagi mayarakat”.
Pendapat mengenai cara bekerja hukum dikemukakan pula oleh Saryono
Hanadi. Proses bekerjanya hukum sendiri menurut Saryono Hanadi 103
terbagi dalam 3 (tiga) tahapan yaitu : tahap pembuatan hukum, tahap
implementasi hukum dan tahap evaluasi hukum.
Adapula yang menjelaskan bahwa dasar bekerjanya hukum pada
masyarakat dapat dilihat dari dua dimensi :
Pertama, dilihat dari dimensi dogmatis hukum, maka bekerjanya hukum
ini sangat berkaitan dengan masalah penerapa hukum, penafsiran hukum,
pembuatan hukum, konstruksi hukum, dan sebagainya. Kedua, apabila
melihat cara bekerjanya hukum sebagai suatu pranata di dalam
masyarakat, maka perlu memasukkan satu faktor, yaitu manusia yang
menjadi perantara yang memungkinkan hukum itu melakukan regenerasi
atau memungkinkan terjadinya penerapan dari norma-norma hukum
tersebut. 104
Kaitan lebih lanjut masalah implementasi hukum yang merupakan
bagian integral dari proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat,
103
Rike YunitaBudi Hutami, 2009, Implemetasi Corporate Social Responbility (CSR)
Bidang Pendidikan dan Pelatihan PT Pertamina (PERSERO) RU. IV Cilacap, Tesis, Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 68.
104
Ibid, hlm. 69.
99
Lawrence M. Friedman105 mengemukakan teorinya bahwa ada tiga unsur
hukum yaitu :
a. Struktur hukum (structure), dalam hal ini struktur hukum adalah kerangka
atau rangkaian, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi
semacam be ntuk dan batasan terhadap keseluruhan dari hukum itu sendiri;
b. Substansi hukum (substance), yakni aturan, norma-norma, peraturanperaturan, keputusan-keputusan, dan pola perilaku manusia yang nyata
dalam sistem hukum, yang digunakan oleh penegak hukum sebagai dasar
untuk menegakkan hukum.
c. Kultur hukum (legal culture), yakni sikap manusia terhadap hukum dan
sistem hukum, yang didalamnya terdapat kepercayaan tentang nilai,
pemikiran serta harapannya. Kultur hukum juga dapat dikatakan yang
berperan untuk memutuskan menjalankan dan menghilangkan struktur
hukum itu sendiri.
Selanjutnya menurut Robert B. Seidman bekerjanya hukum
didalam masyarakat melibatkan tiga unsur dasar yaitu lembaga pembuat
peraturan, lembaga penerapan peraturan, pemegang peranan.
Model tentang bekerjanya hukum ini dilukiskan di dalam bagan sebagai berikut :
105
Ully Nur Alimah, 2005, Perlindungan Hukum Anak (Studi tentang Implementasi
Perlindungan Hukum Anak dan faktor-Faktor yang Cenderung Mempengaruhinya di Kabupaten
Majalengka, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 51.
100
Kekuatan
Personal dan
Sosial lainnya
LEMBAGA
PEMBUAT
HUKUM
Norm
LEMBAGA
PENERAPAN
HUKUM
Kekuatan
Personal dan
Sosial lainnya
Norma
AKTIVITAS
PENERAPAN
PEMEGANG
PERANAN
Kekuatan
Personal dan
Sosial lainnya
Dari bagan diatas oleh Robert B. Seidman106 diuraikan ke dalam dalil dalil
sebagai berikut :
1. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang
pemeran peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak;
2. Bagaimana seorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai
suatu respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi
peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya,
106
Ibid, hlm. 52.
101
aktivitas dari lembaga -lembaga pelaksana serta keseluruhan
kompleks, kekuatan sosial, politik dan lainnya mengenai dirinya;
3. Bagaimana lembaga -lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai
respons terhadap peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka,
sanksi- sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial,
politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpanumpan balik yang datang dari pemegang peranan;
4. Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak
merupakan fungsi peraturan-peraturan yang me ngatur tingkah laku
mereka,
sanksi-sanksinya,
keseluruhan
kompleks
kekuatan-
kekuatan sosial, politik, ideologis dan lain-lainnya mengenai diri
mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari pemegang
peranan serta birokrasi.
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman
mengenai komponen-komponen implementasi maka implementasi bantuan
hukum oleh KOMNAS Anak kepada anak sebagai korban tindak pidana
dipengaruhi oleh komponen-komponen yang terkandung dalam teori
tersebut, yaitu :
1. Struktur Hukum (Structure)
Struktur dalam hal ini sistem hukum merupakan kerangka atau
rangkaian bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam
bentuk dan batasan terhadap keseluruhan.
102
Di Indonesia jika berbicara tentang struktur sistem hukum, maka
termasuk
didalamnya
kepolisian,
struktur
kejaksaan,
institusi
pengadilan,
penegak
advokat,
hukum
KPK
yaitu
(Komisi
Pemberantasan Korupsi), mahkamah agung bahkan komisi yudisial.
Namun sebenarnya yang termasuk lembaga penegak hukum bukan
hanya yang disebutkan sebelumnya namun juga yang memiliki
kewenangan
menangkap,
memeriksa,
mengawasi,
menjalankan
perintah undang-undang di bidangnya masing-masing. Struktur dalam
hal ini adalah KOMNAS Anak sebagai pemberi bantuan hukum untuk
anak. KOMNAS Anak termasuk dalam struktur atau lembaga penegak
hukum karena mereka ikut mengawasi dan menjalankan perintah
undang-undang di bidangnya masing-masing, dalam hal ini KOMNAS
Anak menjalankan perintah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang memerintahkan setiap warga negara
untuk melindungi anak-anak dari segala hal tindakan yang mengancam
keselamatan anak tersebut serta tindakan yang menghilangkan
kesempatan anak untuk tumbuh. Kesempatan untuk tumbuh dan
berkembang dikuatkan dengan pendapat Arif Gosita 107 bahwa anak
wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja
(individu atau kelompok, organisasi swasta maupun pemerintah) baik
secara langsung maupun secara tidak langsung. KOMNAS Anak yang
termasuk
107
lembaga
penegak
hukum
karena
KOMNAS
Anak
Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, Hlm. 2.
103
berdasarkan pendapat Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal
KOMNAS Anak108 bekerja sesuai dengan Surat Keputusan Menteri
Sosial Republik Indonesia Nomor 81/HUK/1997 tentang Pembentukan
Lembaga Perlindungan Anak Pusat. KOMNAS Anak sebagai pemberi
bantuan hukum menurut Abdurahman sesuai dengan surat keputusan
Mahkamah Agung dalam keputusannya tanggal 22 Juli 1972
No.5/KMA/1972 dikategorikan sebagai golongan ketiga yaitu mereka
yang karena sebab-sebab tertentu secara insidentil membela atau
mewakili pihak-pihak yang berperkara.
Bantuan hukum adalah hak konstitusional dari seluruh
warga negara. Bantuan hukum bukan hanya untuk warga yang mampu
maupun tidak mampu, bantuan hukum diperuntukan juga baik untuk
tersangka atau terdakwa maupun untuk korban. korban disini bukan
hanya korban dewasa maupun juga anak-anak mengingat anak-anak
merupakan amanah Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak juga
dapat dikatakan sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus
cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai
ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa
dan negara pada masa depan. 109
108
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
109
M. Nasir Djamil, 2013, Anak bukan Untuk dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 8.
104
Bantuan hukum untuk anak merupakan bentuk dari
perlindungan hukum untuk anak itu sendiri. Kewajiban pemberian
perlindungan anak sendiri diatur di dalam Pasal 20 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan :
“Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga, dan Orangtua
berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap
penyelenggaraa n perlindungan anak”.
Jadi setiap warga negara wajib ikut bertanggung jawab untuk memberi
perlindungan anak sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Perlindungan anak sendiri dibagi menjadi dua yakni
perlindungan anak secara langsung dan perlindungan anak secara tidak
langsung. 110 Secara langsung berarti kegiatannya langsung ditujukan
kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Sedangkan
perlindungan tidak langsung berarti kegiatan tidak langsung yaitu
kegiatan tidak langsung ditujukan kepada anak, tetapi orang lain yang
melakukan atau terlibat dalam usaha perlindungan anak.
Perlindungan anak juga dapat dibedakan dalam dua bagian
yaitu :
1. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi perlindungan
dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan.
2. Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi : perlindungan
dalam bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan.
110
Moch. Faisal Salam, Op. Cit, hlm 2.
105
Bahkan ada juga yang termasuk dalam perlindungan anak
secara khusus. Perlindungan anak secara khusus diperjelas dalam Pasal
64 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Didalam pasal itu dinyatakan bahwa perlindungan khusus
diperuntukan bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Anak yang
berhadapan dengan hukum disini meliputi anak yang berkonflik
dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Dan perlindungan
khusus merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat.
Perlindungan anak memiliki cakupan yang luas dan seperti
yang dijabarkan diatas maka penulis mengartikan a danya perlindungan
anak yang bersifat yuridis adalah adanya pemberian bantuan hukum
baik itu untuk anak yang berkonflik dengan hukum maupun anak
sebagai korban tindak pidana.
Peraturan tentang bantuan hukum sudah banyak diatur
namun yang banyak diatur hanya bantuan hukum untuk terdakwa tidak
seimbang dengan pengaturan bantuan hukum untuk korban. Padahal
dalam sebuah pelanggaran tindak pidana korban adalah pihak yang
paling dirugikan. Bukan karena haknya sudah terwakili oleh aparat
negara korban tidak berhak mendapat bantuan hukum seperti tersangka
atau terdakwa. Bahkan untuk bantuan hukum yang dilakukan pada
anak lebih sedikit pengaturannya dibanding bantuan hukum secara
umum.
106
Bantuan
hukum
sendiri
merupakan
suatu
bentuk
pendampingan terhadap korban kejahatan. Pemberian bantuan hukum
terhadap korban kejahatan haruslah diberikan hak diminta ataupun
tidak diminta oleh korban. hal ini penting, mengingat masih rendahnya
tingkat kesadaran hukum dari sebagian besar korban yang menderita
kejahatan ini. Sikap membiarkan korban kejahatan tidak mendapat
bantuan hukum yang layak dapat berakibat pada semakin terpuruknya
kondisi korban kejahatan. 111 Bahkan menurut Scheider korban
sesungguhnya dikorbankan untuk kedua kalinya yakni oleh kejahatan
dan oleh reaksi masyara kat dalam kejahatan. 112
Satu-satunya Pasal yang secara jelas mengatur tentang
bantuan hukum untuk anak terutama anak sebagai korban ada di
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 18 yang merumuskan
anak yang menjadi korban tindak pidana berhak mendapatkan bantuan
hukum dan bantuan lainnya.
Seperti yang sudah dijabarkan diatas perlindungan anak
adalah kewajiban semua warga negara dan dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Dalam hal ini KOMNAS Anak yang memiliki visi
terwujudnya kondisi perlindungan anak yang optimum dalam
mewujudkan anak yang handal, berkualitas, dan berwawasan menuju
masyarakat
yang
sejahtera
dan
mandiri
mengimplementasikan
pemberian bantuan hukum dengan cara membuka pengaduan dari
111
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
112
Sisiwanto Sunarso, Op. Cit, hlm. 44.
107
berbagai media. Bisa dengan datang langsung ke KOMNAS Anak,
bisa dengan via telepon dan juga sms atau bisa juga menggunakan
surat biasa atau surat elektronik (Email). 113 KOMNAS Anak akan
menerima semua pengaduan tanpa terkecuali sekalipun kemampuan
sumber daya manusia mereka terbatas.
Pemberian bantuan hukum oleh KOMNAS Anak pun tidak
terbatas. Semua anak boleh melakukan pengaduan, baik itu anak
sebagai pelaku, korban maupun saksi, karena menurut KOMNAS
Anak sendiri semua anak yang berhadapan dengan hukum itu adalah
korban. 114 Bentuk pemberian bantuan hukum pun sebenarnya agak
berbeda , misalnya untuk anak sebagai pelaku KOMNAS Anak
mengarahkan agar anak tersebut tidak harus masuk kedalam sistem
peradilan, KOMNAS Anak lebih mengarahkan ke arah restorative
justice (penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku,
korban , keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan). 115
Namun jika restorative justice tidak tercapai maka KOMNAS Anak
menyediakan bantuan berupa pengacara dari jaringan KOMNAS Anak
jika memang harus beracara di pengadilan. 116 Dan jika anak tersebut
113
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
114
Ibid.
115
M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 132.
116
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
108
harus beracara di pengadilan maka KOMNAS Anak akan mengawal
masalah itu hingga selesai vonis dibacakan sekalipun itu sampai di PK
(Peninjauan Kembali).
Sedangkan untuk anak sebagai korban tindak pidana maka
KOMNAS Anak akan melakukan pendampingan terutama jika anak
tersebut korban kekerasan seksual. KOMNAS Anak ikut andil dalam
hal pemulihan mental korban tindak pidana. Pendampingan maupun
pemulihan itu juga tidak murni dari KOMNAS Anak tapi juga melalui
kerjasama KOMNAS Anak melalui rumah perlindungan sosial anak.
Jadi recovery yang dilakukan oleh KOMNAS Anak tidak hanya
psikologisnya namun juga aspek hukumnya.
2. Substansi Hukum (Subtance)
Komponen substansi yaitu berupa norma-norma hukum
baik itu peraturan-peraturan keputusan-keputusan, dan sebagainya
yang semuanya dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh
mereka yang diatur. Dalam impleme ntasi bantua n hukum oleh
KOMNAS Anak kepada anak sebagai korban tindak pidana
berdasarkan pada norma-norma hukum baik itu peraturan-peraturan,
keputusan keputusan, dan sebagainya yang semuanya dipergunakan
oleh para penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur yang
berkaitan dengan bantuan hukum.
Suatu peraturan atau norma hukum yang sudah dirumuskan
dalam bentuk tertulis pasti ada ide atau konsep yang membentuknya.
109
Secara umum ada 2 (dua) konsep keadilan dalam sistem hukum
pidana yang mempengaruhi perubahan fundamental yaitu keadilan
retributif (retributive justice) dan keadilan restoratif (restorative
justice). 117
Indonesia sendiri menganut konsep keadilan retributif yang
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Akibat dari
konsep yang digunakan di Indonesia ini adalah adanya sanksi yang
diberikan pada pelaku tanpa memperhatikan keadilan untuk korban.
Sanksi yang diberikan pada pelaku dianggap sudah menyelesaikan
tindak pidana yang diperbuat oleh pelaku. Oleh karena itu konsep
keadilan retributif yang dianut menyebabkan terlinduginya hak-hak
tersangka atau terdakwa dan kurangnya perlindungan hukum untuk
korban terutama pada hak-hak korban.
Sebenarnya
tidak
ada
peraturan-peraturan
maupun
keputusan-keputusan yang secara umum yang digunakan dalam
permasalahan pemberian bantuan hukum oleh Komisi Nasional
Perlindungan Anak kepada anak sebagai korban tindak pidana. Baik
itu di KUHP maupun KUHAP bantuan hukum lebih mengutamakan
hak-hak tersangka atau terdakwa bukan korban, hal ini sesuai dengan
pendapat Romli Atmasasmita. 118
Peraturan secara umum mengenai bantuan hukum tertuang
pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D bahwa setiap orang
117
118
Siswanto Sunarso, Op. Cit, hlm 43.
Bambang Waluyo, Op. Cit. Hlm. 36.
110
berhak mendapatkan perlakuan yang sama di muka hukum, pada
KUHAP yang mencantumkan hanya tentang bantuan hukum untuk
tersangka atau terdakwa, pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dijelaskan hak untuk mendapatkan
bantuan hukum mulai penyidikan sampai dengan putusan akhir,
dijelaskan pula pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat sebagai kewajiban yang harus diberikan oleh seorang
advokat secara cuma-cuma kepada kliennya, selanjutnya di UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindugan Saksi dan
Korban adanya hak untuk mendapatkan nasihat-nasihat hukum,
dalam Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 et ntang Kekuasaan
Kehakiman dijelaskan adanya hak untuk semua orang yang
tersangkut perkara untuk mendapatkan bantuan hukum, terakhir
secara lebih khusus bantuan hukum secara lebih rinci dijelaskan pada
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Bantuan hukum pada undang-undang ini menjelaskan bantuan hukum
adalah hak semua warga negara terutama untuk warga negara yang
tidak mampu.
Sedangkan pengaturan lebih khusus tentang penegakkan
bantuan hukum untuk anak sebagai korban tindak pidana sesuai
dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Disana tertulis dengan jelas bahwa setiap anak
baik itu pelaku maupun korban berhak mendapatkan bantuan hukum,
111
pada undang-undang lain seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dijelaskan adanya
bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif yang didapat oleh
seorang anak, dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak bahwa anak yang berada dalam keadaan bahaya
harus mendapatkan bantuan, dalam hal ini bantuan hukum slah
satunya. Pada Konvensi Hak Anak hak anak dikembangkan lebih
jauh yaitu mendapatkan bantuan hukum baik itu di dalam pegadilan
maupun luar pengadilan.
Secara penerapan yang digunakan oleh Komnas Anak
dalam hal ini seseuai dengan yang dikatakan Samsul Ridwan119
mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak mengigat batasan umur untuk dinyatakan sebagai
anak untuk
mendapatkan bantuan hukum dan sanksi pidana yang
digunakan oleh aparat kepolisan untuk menjerat pelaku pada indak
pidana pada anak adalah undang-undang tersebut. Hal ini juga
dinyatakan oleh hasil wawancara lain oleh Sudiyanti120 dan Poltak
Agustinus Sinaga 121 yang juga menyatakan bahwa untuk membela
kliennya yaitu tindak pidana yang melibatkan anak sebagai korban,
mereka berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
119
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
120
Hasil Wawancara dengan Sudiyanti selaku Lembaga Bantuan Hukum Jakarta di LBH
Jakarta pada tanggal 29 Mei 2013.
121
Hasil Wawancara dengan Poltak Agustinus Sinaga selaku Ketua sekaligus pengacara
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013.
112
Persamaan konsep tentang hukum yang digunakan ini
penting mengingat agar tidak menimbulkan tumpang tindih peraturan
perundang-undangan yang pada tataran praktis akan membuat
kerepotan penyelenggaraan pemerintah. 122
3. Komponen Kultur Hukum (legal culture)
Kultur merupakan sikap manusia terhadap hukum dan
sistem hukum, didalamnya terdapat kepercayaan tentang nilai,
pemikiran, serta harapannya . Kultur hukum juga dapat dikatakan
sebagai apa atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan
dan mematikan struktur hukum itu. Jadi apakah seseorang itu
menaati hukumnya atau tidak itu semua tergantung pada kultur
hukumnya.
Dalam kultur negara hukum Indonesia yang demokratis
maka dapat dikatakan hak-hak individu selalu dilindungi oleh
undang-undang. Dalam negara hukum semua orang mempunyai hak
untuk didampingi oleh advokat atau penasehat hukum, apakah ia
kaya atau miskin, berasal dari ras tertentu atau kebudayaan tertentu
atau mempunyai keyakinan politik tertentu tidaklah membedakannya
untuk diperlakukan sama di hadapan hukum. 123
Secara pemikiran maka kultur hukum yang terjadi pada
warga mampu maupun tidak mampu dapat terjadi sangat berbeda.
Pada warga mampu maka mereka akan lebih sadar hukum tidak
122
123
M. Nasir Djamil, Op. Cit, Hlm. 11.
Frans Hendra Winata, Op. Cit, hlm. 160.
113
seperti yang terjadi pada warga yang kurang mampu. Kesadaran
hukum ini penting mengingat seorang korban memang harus
mengetahui posisi maupun kasus yang mereka hadapi. Hal ini
menjadi penting karena jika korban tidak sadar akan kasus mereka
sendiri maka korban hanya akan menjadi di korbankan untuk kedua
kali, yakni oleh kejahatan dan oleh reaksi masyarakat dalam
kejahatan. 124 Kesadaran akan kultur hukum dinyatakan melalui
wawancara oleh Poltak Agustinus Sinaga 125. Pendapat lain yang
lebih spesifik dikatakan Eka Prasetya 126 bahwa yang menjadi pelaku
terutama korban pada tindak pidana pada anak biasanya kondisi
sosialnya buruk. Samsul Ridwan127 juga menyatakan bahwa
lingkungan tempat anak itu dibesarkan akan sangat berpengaruh
pada tindakan-tindakan yang terjadi pada anak itu sendiri. Lebih
lanjut meurut Samsul Ridwan yang masuk tergolong anak nakal
biasanya dari warga yang tidak mampu. antara si kaya dan si miskin
biasanya menghasilkan pemikiran yang berbeda. Bagi masyarakat
yang tidak mampu maka secara kultur mereka lebih tidak percaya
pada hukum karena mereka sering menjadi korban dari hukum itu
sendiri.
124
Siswanto Sunarso, Op. Cit, hlm. 44.
Hasil Wawancara dengan Poltak Agustinus Sinaga selaku Ketua sekaligus pengacara
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013.
126
Hasil Wawancara dengan Eka Prasetya selaku pengacara Perhimpunan Bantuan
Hukum dan Hak Asasi Manusia di PBHI Jakarta pada tanggal 27 Mei 2013.
127
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
125
114
Kultur hukum yang tidak dapat berjalan sebagaimana
mestinya juga dipengaruhi oleh ketidakkompakan para penegak
hukum yang dalam jangka panjang efeknya menyebabkan sistem
peradilan pidana tidak dapat menjalankan fungsinya sebagimana
dimaksudkan semula.
Oleh karena itu penting adanya membangun kesadaran
masyarakat untuk membentuk kultur hukum yang lebih baik. Usahausaha dalam meningkatkan kesadaran hukum menurut Soerjono
Soekanto128 melalui cara :
1) Pengetahuan hukum
Bila suatu perundangan telah diundangkan maka menurut
proedur resmi masyarakat dianggap tahu tentang hukum itu.
Maka penting adanya memberikan pengetahuan agar masyarakat
benar-benar tahu hukum yang telah diundangkan. Ini penting
agar tidak menimbulkan multitafsir.
2) Pemahaman hukum
Setelah mengetahui maka masyarakat harus diberi pemahaman
atas
hukum
yang
berlaku.
Melalui
pemahaman
hukum
masyarakat diharapkan memahami tujuan peraturan perundang-
128
Zainuddin Ali, 2005, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 66.
115
undangan serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya
diatur oleh peraturan perundang-undangan yang dimaksud.
3) Penaatan hukum
Penaatan hukum dapat terjadi karena berbagai sebab, antara lain :
Takut akan sanksi negatif, untuk menjaga hubungan baik dengan
manusia, untuk menjaga hubungan baik dengan rekan sesama,
karena hukum tersebut sesuai dengan nilai yang dianut, dan
kepentingannya terjamin. Sebab karena hukum tersebut sesuai
dengan nilai yang dianut adalah sebab yang paling sulit
diterapkan di masyarakat.
4) Pengharapan terhadap hukum
Setelah mengerti, memahami dan menaati maka masyarakat akan
memberikan pengharapan pada hukum tersebut. Penegak hukum
dalam hal ini harus menegakkan hukum secara tepat agar
masyarakat tidak kecew a dan mulai memiliki kesadaran hukum.
5) Peningkatan kesadaran hukum
Peningkatan kesadaran hukum seyogyanya harus dimulai dengan
penerangan dan penyuluhan hukum yang teratur atas dasar
perencanaan yang mantap. Pendidikan maupun penyuluhan
hukum yang tepat aka n menimbulkan peningkatan keasadaran
hukum.
Berdasarkan pada uraian di atas dapat disimpulkan jika
hasil penelitian dihubungkan dengan teori Lawrence. M Friedman
116
bahwa efektifitas dari implementasi dari suatu produk hukum
ditentukan oleh tiga faktor yaitu : pertama faktor struktur atau faktor
penegak hukum dalam hal ini KOMNAS Anak itu sendiri, kedua
yaitu faktor substansi atau perundngan yang digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan bantuan hukum, ketiga adalah kultur
hukum atau kesadaran masyarakat itu sendiri.
2. Hambatan Komisi Nasional Perlindungan Anak dalam Pemberian
Bantuan Hukum kepada Anak sebagai Korban Tindak Pidana di
Indonesia
Dalam menjalankan bantuan hukum dibutuhkan peran serta seluruh
warga negara sesuai kemampuan masing-masing selayaknya seperti
pemberian perlindungan anak. KOMNAS Anak dapat dikatakan sebagai
pemberi bantuan hukum karena memenuhi syarat seperti yang tercantum
pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum sebagai berikut :
“Syarat-syarat pemberi bantuan hukum meliputi :
a. Berbadan hukum;
b. Terakreditasi berdasarkan undang-undang;
c. Memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
d. Memiliki pengurus, dan;
e.
Memiliki program bantuan hukum”
117
KOMNAS Anak sendiri sebagai pemberi perlindungan hukum bagi
anak memilki visi. Dalam menjalankan visinya KOMNAS Anak
melakukan misi sebagai berikut :
a. Melindungi anak dari setiap orang dan/atau lembaga yang
melanggar hak anak, serta mengupayakan pemberdayaan keluarga
dan masyarakat agar mampu mencegah terjadinya pelanggaran
hak anak.
b. Mewujudkan tatanan kehidupan yang mampu memajukkan dan
melindungi anak dan hak-haknya serta mencegah pelanggaran
terhadap anak sendiri
c. Meningkatkan upaya perlindungan anak melalui peningkatan
kesadaran, pengetahuan dan kemampuan masyarakat serta
meningkatkan kualitas lingkungan yang memberi peluang,
dukungan, dan kebebasan terhadap mekanisme perlindungan anak.
Bantuan hukum selayaknya pekerjaan rumah untuk semua warga
negara dan juga yang menjadi tugas dari KOMNAS Anak pasti memiliki
hambatan-hambatan yang secara umum terjadi dalam mencapai tujuan
yang mereka inginkan.
Hambatan-hambatan secara umum yang terjadi pada pemberian
bantuan hukum menurut pendapat Soerjono Soekanto129, terdiri dari :
1. Faktor hukumnya sendiri, yang akan dibatasi pada undang-undang
saja, undang-undang dalam arti materiel adalah peraturan tertulis
yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah
yang sah. Dengan demikian, maka undang-undang dalam arti
materiel mencakup:
129
Soerjono So ekanto, Op. Cit, hlm 6.
118
a.
Peraturan pusat yang berla ku untuk semua warga negara atau
suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum
disebagian wilayah negara;
b.
Peraturan setempat yang hanya berlaku disuatu tempat atau
daerah saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
yang mene rapkan hukum. Ruang lingkup dari istilah penegak hukum
adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara
langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang
penegakan hukum.KOMNAS Anak pun merupakan lembaga
penegak hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin
penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar.130 Sarana atau
fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, keuangan yang cukup, kalau hal- hal tersebut tidak
dipenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuanya;
4. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan. Penegakan hukum berasal dari masyarakat. Oleh
karena itu dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat
mempengaruhi penegakan hukum tersebut;
130
Soerjono So ekanto, 2000, Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 37.
119
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Masih dalam literatur yang sama dijelaskan oleh Adnan
Buyung Nasution 131 ada 3 (tiga) pokok yang sering menjadi faktor
penghambat dalam pemberian bantuan hukum, yaitu :
1. Masalah Kultur Hukum
Lembaga bantuan hukum baru masuk ke Indonesia sejak
masuknya hukum barat. Bukanlah hal yang mudah mendidik
masyarakat agar percaya pada hukum yang ada di Indonesia.
Masyarakat
harus
mau
percaya
dan
mulai
terbuka
untuk
menyerahkan kasus hukum mereka dan menyelesaikan kasus-kasus
tersebut melalui lembaga-lembaga seperti lembaga peradilan, dan
profesional seperti hakim, jaksa maupun pembela.
Proses
peradilan
sebagai
benteng
terakhir
untuk
menentukan salah atau benar sesuatu hal dalam kasus tertentu.
Masyarakat khususnya masyarakat tidak mapu harus diberikan
pemikiran bahwa mereka tidak harus selalu menerima kasus yang
terjadi pada mereka tanpa mengetahui keadilan yang terjadi untuk
mereka. Kalau mereka dalam posisi benar maka mereka harus berani
untuk memperjuangkannya dan meminta bantuan pada lembagalembaga penegak hukum.
2. Hambatan dari Sudut Ekonomi
131
Ibid, hlm .19.
120
Sebagai negara berkembang dengan konsekuensi ingin
menegakkan hukum secara demokrasi maka segala hal dilakukan
untuk dapat menegakkan huum secara benar dan tepat. Bantuan
hukum yang dinyatakan oleh pemerintah sebagai hak bagi semua
masyarakat termasuk masyarakat yang tidak mampu menjadi hal
yang
harus
ditanamkan
pada
masyarakat
mengingat
jumlah
masyarakat Indonesia yang masih banyak berada dalam kemiskinan
kadang tidak mengetahui bahwa bantuan hukum itu sifatnya prodeo
sehingga masyarakat kurang mampu yang memiliki masalah hukum
lebih memilih melupakan masalahnya dibanding harus melaporkan
atau menyelesaikannya ke lembaga -lembaga penegak hukum.
Keseriusan pemerintah untuk menegakkan hukum secara
tepat terutama dalam pemberian bantuan hukum untuk masyarakat
secara luas. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2011 Tentang Bantuan Hukum, maka disana dirumuskan bahwa dalam
Pasal 17 ayat (1) Pemerintah wajib mengalokasikan dana penyelenggaraan
Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Kebijakan Pemerintah dalam pengalokasiaan dana bantuan hukum tersebut
sangat diapresiasi karena dengan begitu Pemerintah bertanggungjawab
dalam mendanai pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma. Tetapi
apabila di cermati berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) bahwa Pemberi
Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi
kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum adalah kebijakan
yang diskriminatif. Dikatakan diskriminatif karena dana bantuan hukum
121
hanya akan di berikan kepada lembaga bantuan hukum atau organisasi
kemasyarakatan, berarti advokat yang bekerja di law office atau law firm
tidak mendapatkan dana bantuan hukum. Padahal untuk menjalankan
bantuan hukum secara cuma-cuma, advokat yang bekerja di law office atau
law firm pun pasti membutuhkan dana.
3. Tingkat Pendidikan yang Rendah
Pendidikan sekarang memang sudah jauh lebih baik
dibandingkan dengan masa penjajahan. Wajib belajar 9 tahun yang
dicanangkan oleh pemerintah menjadi hal yang menjadikan pada
masa ini jauh lebih baik. Sayangnya hal tersebut baru berlaku pada
sebagian masyarakat Indonesia. Masih ada sekolah-sekolah dipelosok
yang kualitas sarana dan prasarana pendidikan mereka masih jauh
dari kata layak.
Pendidikan yang tidak merata khususnya pada pelosokpelosok menjadikan bantuan hukum kadang hanya jadi wacana tidak
ada implementasi maupun tindakan serius dari pemerintah karena
jumlah dari penegak hukum di tempat itu sendiri juga terbatas.
Sedangkan hambatan lain atau masalah yang terjadi dalam
pemberian bantuan hukum menurut Andi Hamzah132 adalah :
1.
Bantuan hukum jelas tidak hanya melibatkan advokat
Hal ini merupakan jaminan dari asas equality before the
law untuk mencapai keadilan bagi semua lapisan masyarakat. Baik
yang mampu maupun tidak mampu baik itu tersangka atau terdakwa
132
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 45.
122
dan juga korban. Dalam negara hukum yang demokratis, hak-hak
individu selalu dilindungi oleh undang-undang. Dalam negara hukum
semua orang mempunyai hak untuk didampingi oleh advokat atau
penasehat hukum, apakah ia kaya atau miskin, berasal dari ras tertentu atau
kebudayaan tertentu atau mempunyai keyakinan politik tertentu tidaklah
membedakannya untuk diperlakukan sama di hadapan hukum.
Semua unsur peradilan pun harus berperan (hakim, polisi dan jaksa)
sesuai kapasitas dan perannya. Dalam tahap pemeriksaan yang
berada di wilayahnya, mereka wajib memastikan adanya bantuan
hukum untuk masyarakat yang berkepentingan. Sementara advokat
sendiri mempunyai kewajiban memberi bantuan hukum sesuai kode
etik mereka;
2. Masalah pendanaan yang tidak jelas
Prioritas pemerintah untuk menyelenggarakan programprogram kesejahteraan bagi masyarakat masih sangat minim.
Anggaran negara bagi sektor hukum secara keseluruhan memang
paling minim dibanding sektor -sektor lain. Masalah hukum yang
kurang diperhtikan oleh pemerintah menjadikan terpuruknya hukum
di Indonesia. Namun sektor anggaran yang agaknya mulai
diperhatikan adalah gaji hakim dan juga adanya pemberian bantuan
pendanaan untuk lembaga-lembaga bantuan hukum. Pendanaan ini
juga bisa dilihat dari masyarakat yang beum banyak mengetahui
bahwa bantuan hukum yang mereka terima biasanya untuk yang
tidak mampu bisa prodeo;
123
3. Pos bantuan hukum hanya ada di Kota-Kota besar
Pos Bantuan Hukum (posbakum) hanya ada di kota-kota
besar. Di daerah-daerah terpencil keberadaan posbakum masih
belum terlembagakan dengan baik;
4. Kriteria dari penerima bantuan hukum, pembuktian bahwa yang
bersangkutan tidak mampu juga belum ada peraturannya sehingga
masih banyak masyarakat yang tidak didampigi oleh advokat saat
berperkara dari kepolisian sampai pengadilan;
5. Masalah sanksi bagi aparat penegak hukum yang tidak mematuhi.
Sanksi bagi para penegak hukum yang tidak mematuhi
hukum masih dirasa kurang tegas. Bagi advokat sendiri jika advokat
tidak menjalankan kewajibannya untuk membe rikan bantuan hukum
sesuai perundangan yang berlaku maka sanksi yang dikenakan hanya
penjatuhan sanksi kode etik.
Pendapat
Soekanto 133
masih
terakhir
yang
mengenai
disampaikan
hambatan
yang
oleh
Soerjono
terjadi
dalam
pemberian bantuan hukum adalah :
1. Situasi dimana bantuan hukum yang ada kurang dimanfaatkan oleh
masyarakat yang secara finansial kurang atau tidak mampu.
2. Pembedaan kualitas bantuan hukum yang diberikan
3. Faktor jarak antara tempat kedudukan lembaga bantuan hukum
dengan tempat tinggal warga masyarakat.
133
Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 127.
124
4. Perbedaan kelas-kelas sosial.
5. Terbatasnya peyuluhan yang diberikan oleh lembaga bantuan
hukum.
6. Kurangnya perlindungan hukum yang diberikan pada masyarakat.
7. Kurangnya
pemberianhukum
yang
sifatnya
preventif,
yang
mencakup pendidikan hukum kepada masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor -faktor yang
menghambat adanya pemberian bantuan hukum pada anak sebagai
korban tindak pidana dengan menerapkan teori-teori yang sudah
dijelaskan tersebut, hambatan yang terjadi terbagi menjadi 2 (dua)
yakni hambatan secara internal maupun secara eksternal.
A. Secara Internal
Secara internal berarti hambatan itu terjadi dari dalam KOMNAS
itu sendiri. Maka yang menjadi hambatan pada saat pemberian
bantuan hukum oleh KOMNAS Anak pada anak sebagai korban
tindak pidana adalah :
1. Faktor Sarana atau Fasilitas yang mendukung penegakkan
hukum oleh KOMNAS Anak.
Tanpa adanya sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakkan hukum maka tidak mungkin penegakkan hukum
akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut,
antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
125
keuangan yang cukup, kalau hal- hal tersebut tidak dipenuhi
maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuanya;
Lebih lanjut sesuai dengan wawancara yang dilakukan oleh
Samsul Ridwan134 maka permasalahan mengenai
a) Terbatasnya sumber daya manusia
KOMNAS Anak sendiri memiliki anggota yang sedikit
hanya sekitar 20 orang saja di kantor KOMNAS Anak
meskipun di daerah baik itu di 31 provinsi maupun
kabupaten kota KOMNAS Anak sudah dibantu oleh LPA
(Lembaga Perlindungan Anak) untuk menerima semua
pengaduan baik itu di Jakarta maupun di daerah namun
tetap saja sumber daya manusianya terbatas.
b) Terbatasnya Waktu
KOMNAS Anak hanya buka atau menerima pengaduan
langsung dari senin-jumat dari jam 09.00-17.00 sementara
sabtu minggu KOMNAS Anak tutup sedangkan terkadang
pengaduan tidak bisa menunggu, sehingga KOMNAS
Anak menerima pengaduan via emai atau sms. Sehingga
pengaduan baru akan mulai diperiksa setelah hari kerja
kembali.
c) Terbatasnya Pendanaan
134
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
126
Tidak bisa dipungkiri dana adalah hal yang penting bagi
operasional suatu kegiatan, bahkan dalam pendapatpendapat para ahli tentang hambatan pemberian bantuan
hukum faktor ekonomi menjadi salah satu permasalahan
yang tidak habis dibahas. Maka dari itu keterbatasan dana
khususnya dalam KOMNAS Anak kadang menjadi
hambatan tersendiri. KOMNAS Anak dalam memberikan
bantuan pada setiap pengaduan adalah prodeo atau tidak
mengeluarkan uang sedikitpun sekalipun itu untuk surat
menyurat.
Sekalipun dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011
Tentang Bantuan Hukum dirumuskan dalam Pasal 17 ayat (1)
bahwa
Pemerintah
wajib
mengalokasikan
dana
penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara namun pembiayaan KOMNAS Anak
tidak mendapatkan dana dari pemerintah seperti yang
diundangkan tersebut. KPAI (Komisi Perlindungan Anak
Indonesia) yang juga menjadi pemberi bantuan lembaga
bantuan hukum untuk anak mendapat pendanaan khusus
dari pemerintah baik itu melalui APBN maupun APBD,
sedangkan KOMNAS Anak membiayai operasionalnya
dapat melalui program-programnya dapat juga melalui
hasil kerjasama dengan lembaga -lembaga lain atau
pendonor -pendonor asing.
127
Hal yang juga mejadi masalah adalah karena pemberian
bantuan hukum yang sifatnya prodeo maka KOMNAS
Anak juga memberikan bantuan hukum secara prodeo
sehingga terkadang harus mengeluarkan dari kantong
pribadi.
Selanjutnya jika dilihat dari sudut pandang
korban anak terutama anak dari keluarga yang tidak
mampu maka apabila berhadapan dengan hukum pasti selalu
beranggapan
akan
menghabiskan
biaya,
apalagi
jika
menggunakan jasa advokat. Korban karena merasa keterbatasan
ekonomi maka memilih menyerahkan saja kepada penegak
hukum.
B. Secara Eksternal
a. Faktor hukumnya sendiri
Hukum atau perundangan yang dilihat pertama kali adalah
rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya
disebut KUHP). dalam KUHP dapat dilihat bahwa rumusan
tentang KUHP hanya berkutat dengan delik -delik dan bagaimana
cara menghukum pelaku untuk memberikan efek jera, meskipun
sepertinya sudah ideal karena pelaku suda h mendapatkan
hukuman yang setimpal menurut negara tetapi akhirnya yang
terbaca juga melalui pasal-pasal pada KUHP sendiri secara
normatif kurang memberikan perlin dungan pada korban. KUHP
masih menitikberatkan pada pembalasan pelaku dan belum secara
128
tegas mengatur pemberian perlindungan hukum pada korban. 135
Undang-Undang pokok berikutnya adalah KUHAP seperti
yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita 136 maka fungsi dari
KUHAP sendiri adalah menitikberatkan perlindungan harkat
martabat tersangka atau terdakwa. Jauh daripada ini di dalam
KUHAP tidak diatur pentingnya melindungi korban tindak pidana.
Yang ada hanya Hak-hak yang diatur dalam Pasal 98-101 KUHAP.
Dalam pasal ini diatur mengenai mekanisme ganti kerugian yang
dijalankan oleh korban yang disebut penggabungan perkara gugatan
ganti kerugian.
Bahkan dalam pengaturan undang-undang yang lebih khusus
adanya undang-undang bantuan hukum tidak menjelaskan adanya
bantuan hukum khusus untuk anak, yang ada hanya penjelasan
mengenai bantuan hukum yang diperuntukan untuk masyarakat tidak
mampu. Bantuan hukum tentang anak hanya diatur di satu undangundang yang jelas yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Sedangkan dalam undang-undang lain yang masih
berhubungan dengan bantuan hukum untuk anak tidak ada lagi yang
mengatur hal tersebut.
Pada akhirnya sebenarnya undang-undang sudah banyak
yang mengatur tapi secara praktek hukum masih banyk
kekurangan. Padahal jika sistem kita sudah siap atau sudah
135
136
Siswanto Sunarso, Op. Cit, hlm. 49.
Bambang Waluyo, Op. Cit, hlm. 36.
129
diperbaiki maka harapan KOMNAS Anak 137 adalah tidak harus
semua masalah diselesaikan di tingkat KOMNAS Anak jadi ada
pola berbagi peran. Dan jika negara dalam hal ini pemerintah
maupun penegak hukum itu kuat maka kasus yang dialami oleh
anak tidak akan sebanyak ini.
b. Faktor Penegak hukum
Penegak hukum seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya
adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat dan lembaga
pemasyarakatan nyatanya dianggap belum mampu menjembatani
aspirasi korban selaku pencari keadilan, artinya penegak hukum
dirasa kurang memberikan responsi dan perlindungan hukum bagi
korban. Penegak hukum seperti polisi seperti yang dijelaskan oleh
Sudiyanti138 kurang kooperatif untuk memberikan pentingnya
bantuan hukum untuk korban, polisi juga kadang tidak
menyatakan bahwa bantun hukum itu bersifat prodeo.
c. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
Masyarakat
disini
adalah
pandangan
atau
st igma
masyarakat yang melekat pada masyarakat bahwa berurusan
dengan penegak hukum semacam pengacara pasti akan memiliki
kerepotan tersendiri. Masyarakat cenderung berfikir jika memakai
137
Hasil Wawancara dengan Samsul Ridwan selaku Sekertaris Jenderal Komisi Nasional
Perlindungan Anak di KOMNAS Anak Jakarta pada tanggal 28 Mei 2013.
138
Hasil Wawancara dengan Sudianti selaku Lembaga Bantuan Hukum Jakarta di LBH
Jakarta pada tanggal 29 Mei 2013.
130
jasa advokat, hukum akan diperlama karena bagi mereka semakin lama
advokat menangani perkara, maka semakin mahal dalam membayar
jasa advokat tersebut. Stigma tersebut dapat timbul dikarenakan
kurangnya pendidikan yang ada pada korban, baik itu pendidikan
formal maupun informal yang kurang serta peran penegak hukum yang
kurang kooperatif menyebabkan korban khususnya anak maupun
keluarga dari korban anak itu sendiri menjadi permasalahan tersendiri
sulitnya bantuan hukum tercapai pada semua masyarakat.
d. Faktor korban itu Sendiri
Korban dalam hal ini baik korban anak maupun keluar ga dari
korban anak tersebut biasanya buta hukum. Mereka cenderung
bingung untuk melaporkan kasus yang mereka alami. Ada
ketakutan tersendiri saat mereka harus meminta bantuan dari
advokat itu biasa disebut phobia hukum. Phobia hukum adalah
suatu ketakutan berhadapan dengan hukum yang ketakutan tersebut
lahir tanpa suatu alasan yang jelas.
131
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1.
Implementasi dari bantuan hukum yang diberikan oleh Komisi
Nasional Perlindungan Anak kepada anak sebagai korban
tindak pidana adalah sebagai berikut :
a. Membuka pengaduan bagi setiap anak yang ingin
melakukan pengaduan;
b. Menyiapkan pengacara jika ada anak yang harus beracara
di pengadilan, menjadi saks i ahli dalam suatu perkara anak,
dan yang terpenting;
c. Melakukan
pendampingan
baik
secara
psikologis
(melakukan pemulihan untuk para korban terutama korban
kekerasan seksual) dan secara hukum.
2.
Hambatan Komisi Nasional Perlindungan Anak dalam
pemberian bantuan hukum kepada anak sebagai korban tindak
pidana di Indonesia terbagi menjadi 2 hambatan yaitu
a. Hambatan Internal
Faktor sarana atau Fasilitas yang terdiri dari keterbatasan
Sumber
Daya
Manus ia,
keterbatasan pendanaan.
keterbatasan
waktu,
dan
132
b. Hambatan Eksternal
1) Faktor Hukum
2) Faktor Penegak Hukum
3) Faktor masyarakat
4) Faktor Korban itu sendiri.
B . Saran
Saran yang dapat diberikan berkaitan dengan permasalahan yang
diajukan dalam penelitian ini adalah
1. Perlu adanya Undang-Undang selain Undang-Undang Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang
bantuan hukum untuk anak khususnya bantuan hukum untuk anak
sebagai korban tindak pidana karena selama ini yang diatur di undangundang hanya bantuan hukum sebagai hak tersangka atau terdakwa.
2. Mempublikasikan secara luas kepada masyarakat bahwa LPA
(Lembaga Perlindungan Anak) yang ada di 31 kabupaten di Indonesia
merupakan cabang dari Komisi Nasional Perlindungan Anak sehingga
tidak perlu semua pengaduan harus datang langsung ke Komisi
Nasional Perlindungan Anak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Literatur
Ali, Achmad. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebabnya
dan Solusinya. Jakarta:Ghalia Indonesia;
Ali, Zainuddin. 2005. Sosiologi Hukum. Jakarta:Sinar Grafika;
Asikin, Zainal, Amiruddin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: PT RajaGarfindo Persada;
Atmasasmita, Romli. 1997. Peradilan Anak diIndonesia. Bandung:Mandar
Maju;
Bakhri, Syaiful. 2009. Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia.
Yogyakarta:Total Media;
Djamil, Nasir. 2013. Anak bukan untuk Dihukum Catatan Pembahasan
UU Sistem Peradilan Pidana Anak . Jakarta:Sinar Grafika;
Effendi, Yazid. 2001. Pengantar Viktimologi Rekonsiliasi Korban dan
Pelaku Kejahatan . Purwokerto:UNSOED Purwokerto;
Faisal Salam, Moch. 2001. Hukum Acara Pidana dalam Teori & Praktek .
Bandung:Mandar Maju;
________________. 2005. Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia.
Bandung:Mandar Maju;
Gultom, Maidin. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung:PT Refika
Aditama;
Hakim, Abdullah, Mulyana W Kusumah. 2000, Beberapa Pemikiran
Mengenai Bantuan Hukum : Kearah Bantuan Hukum Struktural,
Bandung:Alumni;
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta:Sinar
Grafika;
Harahap, Yahya. 2008. Pembahasan permasalahan dan Penerapan Kuhap
Penyidikan dan Penuntutan , Jakarta:Sinar Grafika;
_____________. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kuhap
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding dan Peninjauan
Kembali. Jakarta: Sinar Grafika;
Joni,
Muhammad.
2012.
Penjara
(bukan)
Jakarta:Perhimpunan Advokasi Anak Indonesia;
tempat
anak.
Joni, Muhammad, Zulchaina Tanamas. 2000. Aspek Hukum Perlindungan
Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak . Bandung:PT Citra
Aditya Bakti;
Kadafi, Binziad. 2001. Advokat Mencari Legitimasi (Studi Tentang
Tanggung jawab Profesi Hukum di Indonesia . Jakarta:Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia;
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. 2012. Memudarnya Batas Kejahatan
dan Penegakkan hukum. Jakarta:LBH Jakarta;
Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan
Konsep Diversi dan Restorative Justice. Jakarta:Refika
Aditama:Jakarta;
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif edisi
revisi. Bandung:PT Remaja Rosada Karya;
M, Dikdik. 2006. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma
dan Realita, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada;
Nasution, Adnan Buyung. 2007. Bantuan Hukum di Indonesia.
Jakarta:LP3ES;
Nugroho, Hibnu. 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia, Jakarta:Media Prima Aksara;
PHSK, YLBHI. 2009, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia
Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum,
Jakarta:YLBHI;
Soekanto, Soerjono. 1985. Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis.
Jakarta:Ghalia Indonesia;
________________. 2000. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Penegakkan Hukum. Jakarta:RajaGrafindo Persada ;
________________. 2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta:UIPress.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1994. Metodologi Penulisan Hukum dan
Jurumetri , Jakarta:Ghalia Indonesia;
Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung:Alfabeta;
Sugiyono. 2001. Statistika untuk Penelitian. Bandung:Alfabeta;
Sunarso, Siswanto. 2012. Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana.
Jakarta:Sinar Grafika;
Sunggono, Bambang, Aries Harianto. 1994. Bantuan Hukum dan Hak
Asasi Manusia. Bandung:Mandar Maju;
Sunggono, Bambang. 2011. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta:
RajaGrafindo Persada;
Taufik Makarao, Mohammad, Suharsil. 2004. Hukum Acara Pidana dalam
Teori dan Praktek . Jakarta:Ghalia Indonesia;
Tiena Masriani, Yulies. 2004. Pengantar Hukum Indonesia.
Jakarta:SinarGrafika;
Wahid, Abdul. Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan terhadap Korban
Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan.
Bandung:PT Refika Aditama;
Wahyudi, Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem
Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Yogyakarta:Genta
Publishing;
Waluyo, Bambang. 2011. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi.
Jakarta:Sinar Grafika;
Widodo, Joko. 2006. Analisis Kebijakan Publik . Malang:Banyumedia;
Winarta, Frans Hendra. 2009. Probono Publicio Hak Konstitusional Fakir
Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum, Jakarta:PT. Gramedia
Pustaka Utama;
___________________. 2000. Bantuan Hukum suatu Hak Azasi Manusia
bukan Belas Kasihan. Jakarta:PT Elex Media Komputindo;
___________________. 2011. Bantuan Hukum di Indonesia Hak untuk
didampingi penasehat hukum bagi semua warga negara.
Jakarta:PT Elex Media Komputindo.
2. Peraturan Perundang -Undangan
Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
________. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum.
________.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak.
3. Sumber lain
Catur Satioso. Welly. 2011. Fungsi Pendidikan Agama Islam Pada Anak
Menurut Prof DR Zakiah Daradjat, Skripsi, Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan Universitas Islam Nege ri Syarif Hidayatullah;
Daryanto. Harlis. 2012. Peranan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) Terhadap Anak Sebagai KOrban Pemerkosaan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas
Lampung;
Dwiatmodjo, Haryanto. 2011. Pelaksanaan Perlindungan Hukum
Terhadap Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana di Wilayah
Hukum
Pengadilan Negeri Banyumas. Jurnal Dinamika
Hukum Vol. 11 No. 2 Mei
2011;
Indrasari, Winika. 2008. Peranan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Menurut
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Skripsi. Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara;
M, Hosianna. 2012. Perlindungan Hukum Terhadap Anak sebagai Korban
Tindak Pidana Pemerkosaan yang Dilakukan Oleh Anak. Varia
Peradilan. Majalah Hukum No. 325 Desember 2012;
Nur Alimah, Ully. 2005. Perlindungan Hukum Anak (Studi tentang
Implementasi Perlindungan Hukum Anak dan Faktor-Faktor yang
Cenderung Mempengaruhinya di Kabupaten Majalengka). Skripsi.
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;
Rahmad Setyaji, Ade. 2011. Implementasi Diversi dalam Sistem Peradilan Anak,
Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Surabaya;
Soeparman. 2007. Kepentingan Korban Tindak Pidana Dilihat Dari Sudut
Viktimologi. Varia Peradilan. Majalah Hukum No. 260 Juli 2007;
Kuswindiarti. 2000. Pola Pembelaan dalam Memberikan Bantuan Hukum
Terhadap Terdakwa dalam Proses Pemeriksaan di Pengadilan.
Jurnal Ilmiah. STMIK AMIKOM Yogyakarta;
Wignyosoebroto. Sutandyo. 2006. Keragaman Dalam Konsep Hukum,
Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya. Makalah Lokakarya .
Yayasan Dewi Sartika. Semarang;
Yunita,. Rike. 2009. Implementasi CSR Bidang Pendidikan dan Pelatihan
PT Pertamina (PERSERO) RU. IV Cilacap. Tesis. Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman;
Metro.news.viva.co.id/news/read/394458-kronologi-pencabulan-siswisman-22-Jakarta-oleh-wakil-kepsek. Dia kses 08/03/2013 Pukul
20.00;
Http://liapadma.wordpress.com/2009/07/23/anak-dan-instrumenperlindungan -hukum-d i-Indonesia. Diakses 30/04/2013 Pukul
20.00;
Http://hadi-supeno.com/artikel-anak/93-perspektif-perlindungan-anak dan-implementasinya-d i-indonesia.html.
Diakses
02/05/2013
Pukul 20.00;
Id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Nasonal_Perlindungan_Anak . Diakses
10/06/2013 Pukul 20.00.
Download