Damianus Journal ofPertimbangan Medicine; klinis dalam pemilihan jenis tatalaksana terbaik untuk pasien aneurisma serebral Vol.10 No.2 Juni 2011: hal. 97–106 TINJAUAN PUSTAKA PERTIMBANGAN KLINIS DALAM PEMILIHAN JENIS TATALAKSANA TERBAIK UNTUK PASIEN ANEURISMA SEREBRAL Erfen G. Suwangto ABSTRACT A cerebral or brain aneurysm is a cerebrovascular disorder in which weakness in the wall of a cerebral artery or vein causes a localized dilatation or ballooning of the blood vessel. There are many clinical considerations that should be made in choosing the best treatment. Currently there are two treatment options for ruptured brain aneurysms: surgical clipping or endovascular coiling. These two methods have their own benefits and risks. In addition, unruptured brain aneurysms treatment even needs more difficult clinical considerations. Experienced clinician with their experienced skills and good clinical considerations should be combined in choosing the best cerebral aneurism treatment. Departemen Etika, Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Jl. Pluit Raya No. 2, Jakarta Utara 14440. Key words: cerebral aneurysm, clinical considerations, the best treatment PENDAHULUAN Aneurisma serebral (aneurisma otak) adalah kelemahan pada dinding pembuluh darah otak, baik pembuluh darah nadi maupun pembuluh darah balik (tunika media dan tunika intima dari arteri maupun vena) yang menyebabkan penggelembungan pembuluh darah otak tersebut secara terlokalisir.1 Pembuluh darah nadi (arteri) normal memiliki 3 lapisan,2 yakni (1) tunika intima (lapisan terdalam yang merupakan lapisan endotelial); (2) tunika media (terdiri dari otot polos); dan (3) tunika adventisia (terdiri dari jaringan ikat). Dinding kantung aneurisma terdiri dari tunika intima dan tunika adventisia. Sedangkan tunika media berakhir pada daerah pertemuan kantung aneurisma dengan pembuluh darah induk. Tunika intima biasanya normal walau di bawahnya sering terjadi proliferasi sel. Namun, membran elastik di dalam tunika intima, berkurang jumlahnya atau bahkan tidak ada. Sedangkan tunika adventisia pada aneurisma biasanya terinfiltrasi oleh sel-sel radang seperti limfosit dan fagosit.2 Kantung aneurisma sendiri sering berisi sisa-sisa bekuan darah (trombotik) dan pembuluh darah induk dari kantung aneurisma seringkali mengalami penumpukan lemak dan pengapuran (aterosklerotik).2 Aneurisma dapat terjadi di seluruh pembuluh darah tubuh kita. Apabila aneurisma terjadi pada pembuluh darah di dada, beberapa gejalanya adalah rasa sakit di dada, batuk yang menetap, dan kesulitan untuk menelan. Pada perokok sering terjadi aneurisma pada pembuluh darah di lutut, yang menimbulkan gejala seperti tertusuk-tusuk di belakang lutut.1 Apabila aneurisma ini terjadi pada pembuluh darah di dasar tengkorak, gejalanya dapat berupa sakit kepala yang hebat, berdenyut, dapat disertai atau tidak disertai dengan muntah. Komplikasi aneurisma otak dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah di otak sehingga terjadi pendarahan subaraknoid, intraserebral, subdural, infark serebri, atau hidrosefalus.1 Lokasi aneurisma biasanya terjadi pada pembuluh darah nadi (arteri) di dasar otak, yaitu di bagian depan Sirkulus Wilisi (kira-kira 85%) yang memberi suplai darah ke daerah depan dan tengah otak.1 Pertama, arteri serebri anterior dan komunikans anterior (30–35%). Kedua, percabangan arteri karotis interna dan arteri komunikans posterior (30–35%). Ketiga, percabangan arteri serebri media (20%). Keempat, arteri vertebrobasilaris (15%). Aneurisma yang terjadi pada bagian belakang pembuluh darah otak, biasanya disebabkan oleh trauma.1 Dam J Med Volume 10, Nomor 2, 2011 97 DAMIANUS Journal of Medicine INSIDENSI DAN PENYEBAB Umumnya diderita oleh orang dewasa berusia lebih dari 20 tahun dengan persentase 6% di seluruh dunia dan angka kematian lebih dari 50%. Aneurisma menimbulkan gejala setelah umur 40–60 tahun. Wanita dewasa lebih banyak mengalami aneurisma serebral dibandingkan pria dewasa (3:2).1,3 Aneurisma dapat juga terjadi pada anak-anak dengan jumlah anak lakilaki sedikit lebih banyak daripada anak perempuan. Pada anak-anak biasa disebabkan oleh kejadian setelah trauma atau jamur. Sedangkan pada orang dewasa disebabkan oleh proses degeneratif. Penyebab tersering dari aneurisma serebral2 adalah sebagai berikut. Pertama, trauma pembuluh darah yang diinduksi oleh kelainan hemodinamika dan degeneratif seperti tekanan darah tinggi. Kedua, penumpukan lemak dan pengapuran pembuluh darah (aterosklerosis), terutama pada aneurisma tipe fusiformis. Ketiga, kelainan pembuluh darah seperti displasia fibromuskular. Keempat, aliran darah yang sangat tinggi, seperti malformasi arteri vena dan fistula. Penyebab lain yang jarang terjadi antara lain karena trauma, infeksi, obat-obatan, dan tumor (neoplasma primer maupun metastasis). KLASIFIKASI Berdasarkan bentuknya, aneurisma dapat dibedakan menjadi aneurisma tipe fusiformis dan aneurisma tipe sakular atau aneurisma kantung, dan aneurisma tipe disekting.2 1. Tipe aneurisma tipe fusiformis (5–9%). Penderita aneurisma ini mengalami kelemahan din-ding melingkari pembuluh darah setempat sehingga menyerupai badan botol. Paling sering disebabkan oleh aterosklerosis (penumpukan lemak dalam pem-buluh darah). 2. Aneurisma tipe sakular atau aneurisma kantung (90–95%). Pada aneurisma ini, kelemahan hanya pada satu per-mukaan pembuluh darah sehingga dapat berbentuk seperti kantung dan mempunyai tangkai atau leher. Dari seluruh aneurisma dasar tengkorak, kurang lebih 90% merupakan aneurisma sakuler. diameter <15 mm; (b) aneurisma sakuler sedang dengan diameter antara 15–25 mm; (c) aneu-risma sakuler besar dengan diameter <25–50 mm; dan (d) aneurisma sakuler raksasa dengan diameter >50 mm. Aneurisma Berry adalah aneurisma sakular yang leher dan batangnya menyerupai buah beri. 3. Aneurisma tipe disekting (<1%). PATOFISIOLOGI Aneurisma sakular berkembang dari defek lapisan otot (tunika muskularis) pada arteri. Perubahan elastisitas membran dalam (lamina elastika interna) pada arteri otak, dipercayai melemahkan dinding pembuluh darah dan mengurangi daya tahan arteri otak terhadap perubahan dalam pembuluh darah. Perubahan ini banyak terjadi pada pertemuan pembuluh darah yang aliran darahnya turbulen dan tahanan aliran darah pada dinding arteri paling besar.2 Aneurisma fusiformis berkembang dari arteri serebri yang berliku yang biasanya berasal dari pembuluh darah vertebro-basiler dan diameternya bisa mencapai beberapa sentimeter. Pasien aneurisma fusiformis khas mengalami gejala kompresi saraf otak, tetapi tidak selalu disertai pendarahan subaraknoid.2 Sedangkan aneurisma diseksi diakibatkan oleh nekrosis atau trauma pada arteri yang menyebabkan darah masuk melalui tunika intima yang robek atau pendarahan interstisial (terutama di aorta) sehingga memberi gambaran seperti gumpalan darah di sepanjang pembuluh darah.2 Aneurisma serebral dapat timbul lebih dari satu (multipel) pada 10–30 % kasus. Kira-kira 75% dari kasus multipel aneurisma tersebut memiliki 2 aneurisma, 15% memiliki 3 aneurisma, dan 10 % memiliki lebih dari 3 aneurisma. Aneurisma multipel lebih banyak diidap oleh wanita daripada pria, yaitu sekitar 5:1, perbandingan ini akan meningkat menjadi 11:1 pada pasien yang memiliki lebih dari 3 aneurisma.3 Aneurisma multipel juga berhubungan dengan vaskulopati, seperti penyakit fibromuskuler dan penyakit jaringan ikat yang lain. Aneurisma multipel dapat terjadi simetris bilateral (disebut aneurisma cermin) atau terletak asimetris pada pembuluh darah yang berbeda. Multipel aneurisma dapat terjadi pada satu arteri yang sama. Berdasarkan diameternya aneurisma sakuler dapat dibedakan atas (a) aneurisma sakuler kecil dengan 98 Dam J Med Volume 10, Nomor 2, 2011 Pertimbangan klinis dalam pemilihan jenis tatalaksana terbaik untuk pasien aneurisma serebral GEJALA Aneurisma serebral hampir tidak pernah menimbulkan gejala, kecuali terjadi pembesaran dan menekan salah satu saraf otak, sehingga memberikan gejala sebagai kelainan saraf otak yang tertekan. Aneurisma yang kecil dan tidak progresif, hanya akan menimbulkan sedikit bahkan tidak menimbulkan gejala. Pertanda awal bisa terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa minggu sebelum aneurisma pecah (ruptur). Sebelum aneurisma berukuran besar mengalami ruptur, pasien akan mengalami gejala seperti,1 yakni sakit kepala berdenyut yang mendadak dan berat, mual dan muntah, gangguan penglihatan (pandangan kabur/ ganda, kelopak mata tidak membuka), kaku leher, nyeri daerah wajah, kelumpuhan sebelah anggota ge-rak kaki dan tangan, denyut jantung dan laju per-napasan naik turun, hilang kesadaran (kejang, koma, kematian), dan tidak mengalami gejala apapun Rupturnya aneurisma serebral dapat menimbulkan pendarahan di dalam selaput otak (meninges) dan otak sehingga mengakibatkan pendarahan sub-araknoid (PSA) dan pendarahan intraserebral (PIS), yang keduanya dapat menimbulkan gejala stroke. Juga dapat terjadi pendarahan ulang, hidrosefalus (akumulasi berlebihan dari cairan otak), vasospasme (penyempitan pembuluh darah), dan aneurisma multipel. Risiko ruptur aneurisma serebral tergantung pada besarnya ukuran aneurisma. Makin besar ukurannya, makin tinggi risiko untuk ruptur. Angka ruptur aneurisma serebral kira-kira 1,3% per tahun.3 Sebenarnya dapat dilakukan skrining pencitraan, tetapi tidak efektif dari segi pembiayaan.4 Tingkat keparahan dari pendarahan subaraknoid (PSA) yang terjadi pada ruptur aneurisma serebral, dapat menggunakan Skala Hunt-Hess1: 1. Derajat 1: asimtomatik (tidak bergejala) atau sakit kepala ringan dan kaku kuduk ringan (angka harapan hidup sebesar 70%). 2. Derajat 2: sakit kepala ringan sampai sedang, kaku kuduk, tidak ada gangguan saraf selain kelumpuhan saraf otak (angka harapan hidup sebesar 60%). 3. Derajat 3: somnolen (mengantuk) dengan gangguan saraf minimal (angka harapan hidup 50%). 4. Derajat 4: stupor, hemiparesis (lumpuh separuh tubuh), awal dari kekakuan deserebrasi, dan gangguan vegetatif (angka harapan hidup 20%). 5. Derajat 5: koma dalam, kekakuan deserebrasi (angka harapan hidup 10%). 6. Derajat 6: mati batang otak (sesuai dengan kriteria pendarahan subaraknoid derajat 6). Klasifikasi Fisher Grade mengelompokkan penampakan pendarahan subaraknoid berdasarkan pemeriksaan CT scan1: 1. Derajat 1: tidak ada pendarahan. 2. Derajat 2: pendarahan subaraknoid dengan ketebalan 1 mm 3. Derajat 3: pendarahan subaraknoid dengan ketebalan 1 mm 4. Derajat 4: pendarahan subaraknoid tanpa memandang tebal pendarahan tetapi disertai pendarahan intraventrikuler atau perluasan pendarahan ke jaringan otak (lapisan parenkim otak) Skala World Federation of Neurosurgical Society (WFNS) antara lain5: Derajat 1: GCS 15, dengan tidak adanya defisit Derajat 2: GCS 13–14, tanpa defisit motorik Derajat 3: GCS 13–14, dengan defisit motorik Derajat 4: GCS 7–12, dengan atau tanpa defisit motorik Derajat 5: GCS 3–6, dengan atau tanpa defisit motorik Klasifikasi Fisher Grade lebih jelas mendeskripsikan pendarahan subaraknoid (PSH) untuk memprediksi vasospasme simtomatik, tetapi kurang berguna dalam hal prognostik dibandingkan dengan Skala Hunt-Hess. Semua sistem penilaian derajat klinis, berguna untuk menentukan indikasi dan waktu dilakukannya tatalaksana operasi. Untuk penilaian akurat mengenai tingkat keparahan pendarahan subaraknoid, sistem penilaian derajat klinis ini juga harus dilengkapi dengan pertimbangan terhadap keadaan umum pasien, lokasi, serta ukuran aneurisma yang ruptur.5 DIAGNOSIS Di negara maju, aneurisma pada stadium dini lebih banyak ditemukan. Hal ini karena banyak orang yang menjalani pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI), sehingga aneurisma pada tingkat awal dapat terlihat jelas.1 Kadang aneurisma tidak sengaja ditemukan saat pemeriksaan kesehatan dengan menggunakan CT scan, Dam J Med Volume 10, Nomor 2, 2011 99 DAMIANUS Journal of Medicine MRI atau angiogram. Diagnosis pasti aneurisma pembuluh darah otak, beserta lokasi dan ukuran aneurisma dapat ditetapkan dengan menggunakan pemeriksaan angiogram yang juga dipakai sebagai panduan dalam pembedahan.1 Biasanya pungsi lumbal tidak perlu dilakukan, kecuali jika diduga terdapat meningitis atau infeksi lainnya. Jika diperlukan, bisa dilakukan pungsi lumbal untuk melihat keberadaan darah di dalam cairan serebrospinal. Kemungkinan juga bisa terjadi leukositosis yang tidak terlalu berarti.1 Untuk pasien yang tidak efektif diterapi dengan "Tripel H", dapat diterapi dengan memasukkan balon angioplasti ke dalam pembuluh darah arteri yang tersumbat untuk melebarkan pembuluh darah tersebut sehingga meningkatkan aliran darah ke otak. Direkomendasikan bahwa evaluasi aneurisma dilakukan pada pusatpusat spesialistik yang menyediakan tenaga ahli bedah saraf maupun ahli radiologi intervensi, yang keduanya sama-sama dapat melakukan angioplasti tanpa harus saling merujuk.6 VASOSPASME Vasospasme (penyempitan pembuluh darah) merupakan komplikasi dari pendarahan subaraknoid yang disebabkan oleh rupturnya aneurisma serebral. Biasa terjadi kira-kira 1 sampai 2 minggu setelah terjadinya pendarahan awal, pada keadaan ini terjadi spasme pembuluh darah yang akhirnya dapat menyebabkan stroke. Penyebab dari vasospasme tersebut diperkirakan terjadi secara sekunder akibat proses inflamasi ketika darah dalam ruang subaraknoid mengalami penyerapan. Terlihat sel-sel makrofag dan netrofil yang masuk ke dalam ruang subaraknoid dan mengalami degranulasi 3–4 hari setelahnya, serta mengeluarkan banyak endotelin dan radikal bebas yang menginduksi vasospasme. Namun, penyempitan pembuluh darah hanyalah satu komponen dari proses inflamasi yang akan berlanjut lagi.6,7 Vasospasme dapat diamati dengan banyak cara. Salah satunya dengan metode noninvasif seperti Doppler transkranial, merupakan suatu metode yang mengukur aliran darah dalam arteri otak menggunakan gelombang ultrasonik. Ketika pembuluh darah menyempit karena vasospasme, aliran darah akan terdeteksi meningkat. Jumlah darah yang mencapai otak dapat diukur dengan CT scan atau MRI atau nuclear perfusion scanning. Pemeriksaan definitif, tetapi invasif untuk mendeteksi vasospasme adalah dengan angiografi serebral.6 Secara umum disepakati bahwa untuk mencegah atau mengurangi risiko kerusakan saraf permanen, bahkan kematian, maka vasospasme harus ditangani secara agresif. Hal ini dilakukan dengan pemberian obat dan cairan secara dini, dikenal sebagai terapi "Tripel H" untuk mengendalikan aliran darah yang menuju dan beredar di sekitar pembuluh arteri otak yang tersumbat:6 (1) hipertensi (tekanan darah tinggi); (2) hipervolemi (kelebihan cairan); dan (3) hemodilusi (pengenceran darah). 100 Gambar 1. Pencitraan dengan CT scan yang menunjukkan pendarahan subaraknoid pada fisura sylvii sebelah kanan, tidak tampak adanya hidrosefalus.5 TERAPI Untuk aneurisma yang belum ruptur, terapi ditujukan untuk mencegah agar aneurisma tidak ruptur, dan juga agar tidak terjadi penggelembungan lebih lanjut dari aneurisma tersebut. Sedangkan untuk aneurisma yang sudah ruptur, tujuan terapi adalah untuk men-cegah pendarahan lebih lanjut dan mencegah atau membatasi terjadinya vasospasme. Penderita harus segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat. Obat pereda nyeri diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat. Kadang dipasang selang drainase di dalam otak untuk mengurangi tekanan.1 Terapi darurat untuk pasien yang mengalami ruptur aneurisma serebral mencakup pemulihan fungsi pernapasan dan mengurangi tekanan dalam rongga tengkorak (tekanan intrakranial). Saat ini, ada dua alternatif terapi untuk tatalaksana aneurisma serebral, yaitu kliping operatif dan koiling endovaskuler. Jika memung- Dam J Med Volume 10, Nomor 2, 2011 Pertimbangan klinis dalam pemilihan jenis tatalaksana terbaik untuk pasien aneurisma serebral kinkan, kedua jenis terapi ini dilakukan pada 24 jam pertama setelah pendarahan untuk mengatasi aneurisma yang ruptur, serta mengurangi risiko pendarahan ulang.7,8 Kliping operatif Kliping operatif diperkenalkan pada tahun 1937. Terapi ini mencakup kraniotomi (pembukaan tengkorak), melihat aneurismanya, dan menutup dasar aneurisma dengan klip yang dipilih khusus sesuai dengan area terjadinya aneurisma. Pemasangan klip logam kecil di dasar aneurisma bertujuan supaya bagian dari pembuluh darah yang menggelembung itu tertutup dan tidak bisa dilalui oleh darah.1 Teknik operasi ini telah berkembang dan menurunkan angka kekambuhan aneurisma. Koiling endovaskuler Koiling endovaskuler diperkenalkan tahun 1991. Teknik ini dilakukan dengan pemasangan kateter melalui pembuluh nadi paha (arteri femoralis) menuju aorta, pembuluh nadi otak, dan akhirnya ke aneurismanya. Dengan bantuan sinar X, dipasang koil logam di tempat aneurisma pembuluh darah otak tersebut. Ketika kateter berada di dalam aneurisma, koil platina didorong masuk ke dalam aneurisma, lalu dilepaskan. Setelah itu dialirkan arus listrik ke koil logam tersebut, dan diharapkan darah di tempat aneurisma itu akan membeku dan menutupi seluruh aneurisma tersebut.1 Koil-koil ini akan merangsang reaksi pembekuan di dalam aneurisma sehingga dapat menghilangkan aneurisma itu sendiri. Teknik ini hanya memerlukan insisi kecil sebagai tempat masuknya kateter. Pada kasus aneurisma dengan leher yang lebar, sebuah sten dipasang pada pembuluh darah nadi sebagai pemegang kumparan, namun studi pemasangan sten jangka lama dalam pembuluh darah otak belum dilakukan. Manfaat Keduanya memiliki risiko yang sama dalam menimbulkan stroke dan kematian.9 Namun, percobaan ISAT (International Subarachnoid Aneurysm Trial) menunjukkan bahwa risiko ruptur aneurisma turun 7% lebih rendah setelah dilakukan terapi koiling endovaskuler daripada terapi kliping operatif. Tetapi terapi koiling endovaskuler memiliki angka kekambuhan yang lebih tinggi setelah dikonfirmasi dengan angiografi. Contohnya, penelitian tahun 2007 di Paris mengindikasikan bahwa 28,6% kekambuhan aneurisma terjadi setelah satu tahun dilakukan koiling endovaskuler dan kekambuhan akan meningkat sejalan lamanya waktu. Tetapi, koiling endovaskuler memiliki angka kesembuh- an 22,6% lebih tinggi daripada kliping operatif. Hasil penelitian tersebut hampir sama dengan grup penelitian yang lain.10 Namun, tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa semakin tinggi angka kekambuhan setelah koiling endovaskuler, maka semakin tinggi pula risiko pendarahan ulang. Penelitian ISAT menggarisbawahi bahwa tidak ada peningkatan risiko pendarahan ulang dan angka kematian akibat pendarahan subaraknoid turun 7% setelah terapi koiling endovaskuler. Pada penelitian ISAT, perlunya terapi ulang aneurisma dengan koiling endovaskuler sebesar 6,9 kali lebih besar daripada terapi kliping operatif.11 Oleh karena itu, terlihat bahwa koiling endovaskuler menyebabkan pemulihan pasien aneurisma lebih cepat daripada kliping operatif, tetapi meningkatkan angka kekambuhan setelah terapi. Data untuk aneurisma yang tidak ruptur, sedang dikumpulkan. Pasien yang menjalani koiling endovaskuler perlu menjalani serangkaian pemeriksaan seperti MRI (Magnetic Resonance Imaging), MRA (Magnetic Resonance Angiogram), CTA (Computerized Tomography Angiogram), atau angiografi, untuk mendeteksi kekambuhan dini. Jika terdeteksi adanya kekambuh-an, aneurisma harus diterapi ulang, dengan kliping operatif maupun koiling endovaskuler lagi. Risiko kliping operatif sangat tinggi pada pasien yang sebelumnya menjalani terapi koiling endovaskuler. Pada akhirnya, keputusan apakah terapi menggunakan kliping operatif atau koiling endovaskuler, harus dilakukan oleh tim yang telah berpengalaman memakai kedua teknik terapi tersebut. Indikasi operasi pada pasien yang mengalami pendarahan subaraknoid, dapat dibagi berdasarkan derajat klinis. Faktor lain yang penting diperhatikan adalah keadaan umum pasien, ukuran aneurisma, lokasi aneurisma, dan aksesibilitas lokasi untuk dilakukannya operasi, serta ada tidaknya trombus. Untuk pasien yang mengalami pendarahan subaraknoid derajat ringan atau sedang (skala Hunt-Hess dan WFNS derajat 1–3), tatalaksana operasi sangat dianjurkan karena komplikasi pendarahan subaraknoid melebihi risiko komplikasi akibat operasi.5 Untuk pasien yang mengalami pendarahan subaraknoid derajat berat (skala Hunt-Hess dan WFNS derajat 4–5), tatalaksana operasi masih kontroversial dan sebagian besar diserahkan kepada masing-masing institusi medis. Prognosisnya buruk, dengan ataupun tanpa intervensi bedah.5 Dam J Med Volume 10, Nomor 2, 2011 101 DAMIANUS Journal of Medicine Pasien dengan derajat pendarahan subaraknoid yang lebih berat atau keadaan umum yang buruk, yang tidak boleh dioperasi segera, dapat menjalani operasi koiling endovaskuler jika sudah membaik.5 Indikasi untuk bedah kliping aneurisma, antara lain5 (1) ukuran aneurisma yang besar dan sangat besar; (2) aneurisma dengan leher yang lebar; (3) pembuluh darah yang keluar dari aneurisma; (4) efek massa atau hematoma yang berhubungan dengan aneurisma; (5) aneurisma rekurens setelah koiling endovaskuler. Indikasi koiling endovaskuler, antara lain 5 (1) pasien dengan derajat klinis yang buruk; (2) pasien dengan keadaan umum yang tidak stabil; (3) pada lokasi aneurisma yang meningkatkan risiko operasi, seperti sinus kavernosus dan aneurisma di dasar tengkorak; (4) aneurisma berleher kecil di fosa posterior; (5) pasien dengan vasospasme dini; (6) pada kasus aneurisma yang sulit untuk ditetapkan lehernya; dan (7) risiko operasi tinggi pada pasien dengan aneurisma multipel dengan lokasi arteri berbeda. INDIKASI OPERASI Untuk aneurisma simtomatik yang belum ruptur Operasi biasanya diindikasikan untuk pasien dengan aneurisma simtomatik yang belum ruptur karena angka kejadian rupturnya tinggi. Sebagian besar aneu-risma simtomatik memiliki ukuran yang besar. Pasien dengan aneurisma berukuran besar, meningkatkan risiko operasi, tetapi risiko yang ditimbulkan akan lebih besar jika aneurisma tersebut ruptur.5 Untuk aneurisma asimtomatik WAKTU UNTUK MELAKUKAN INTERVENSI BEDAH Waktu untuk melakukan intervensi bedah pada pendarahan subaraknoid menjadi kontroversial selama lebih dari 30 tahun. Manfaat operasi pendarahan subaraknoid yang dilakukan segera (dalam 0–3 hari), antara lain5 (1) mencegah pendarahan ulang, yang berhubungan dengan tingginya angka kematian. (2) Profilaksis yang memungkinkan untuk melawan vasospasme dengan mengeluarkan bekuan darah subaraknoid. (3) Pencegahan dan terapi komplikasi iskemik. (4) Pencegahan komplikasi medis. (5) Pengurangan lama rawat inap. Kerugian operasi segera pada pendarahan subaraknoid, antara lain5 (a) masalah teknis yang berhubungan dengan edema jaringan otak. (b) risiko tinggi ruptur aneurisma intraoperatif. (c) Angka morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. Manfaat operasi pendarahan subaraknoid yang di-tunda (lebih dari 10 hari setelah pendarahan), antara lain5 (1) edema jaringan otak sudah berkurang. (2) Risiko ruptur aneurisma intraoperatif yang lebih rendah. (3) Angka morbiditas dan mortalitas akibat operasi yang lebih rendah. (4) Penjadwalan operasi yang fleksibel. Sementara itu, kerugian operasi yang ditunda, antara lain5 (a) meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas karena pendarahan ulang; dan (b) kesulitan teknis karena perlekatan di sekitar aneurisma. The International Cooperative Study on Timing of Aneurysm Surgery menemukan hal-hal sebagai berikut5: 1. Hasil operasi biasanya lebih baik jika operasi ditunda. Namun, angka morbiditas dan mortalitas lebih besar pada operasi yang ditunda (sebesar 30% pada pasien dengan skala Hunt-Hess dan WFNS derajat 1–2). Secara keseluruhan, dapat dibandingkan antara operasi yang dilakukan segera dengan operasi yang ditunda dengan pengecualian pada pasien dengan skala Hunt-Hess dan WFNS derajat 1–2 yang mendapat hasil yang lebih baik jika operasi segera dilakukan. Oleh karena itu, banyak pusat kesehatan yang memutuskan untuk melakukan operasi segera untuk pasien dengan skala Hunt-Hess dan WFNS derajat 1–2. 2. Untuk pasien dengan skala Hunt-Hess dan WFNS derajat 3, belum ada kesepakatan pasti. 3. Banyak penelitian yang tidak menunjukkan perbedaan angka morbiditas dan mortalitas antara operasi segera dan operasi yang ditunda. Risiko rupturnya aneurisma meningkat, tergantung pada ukuran aneurisma. Tetapi belum diketahui ukuran aneurisma yang meningkatkan risiko ruptur.5 Aneurisma yang belum ruptur dilaporkan pada akhirnya ruptur dengan angka kejadian 1–1,4% per tahun. Sebagian besar peneliti menyebutkan bahwa risiko operasi lebih kecil daripada risiko efek massa dan ruptur aneurisma pada pasien kurang dari usia 65 tahun yang ukuran aneurismanya lebih dari 1 cm. Pengaruh ukuran aneurisma masih kontroversial.5 Metode bedah untuk terapi pendarahan subaraknoid telah berkembang pesat dengan penemuan teknik bedah mikroskopis dan terapi endovaskuler. 102 Dam J Med Volume 10, Nomor 2, 2011 Pertimbangan klinis dalam pemilihan jenis tatalaksana terbaik untuk pasien aneurisma serebral 4. Penelitian pada tahun 1995 di Jepang menunjukkan bahwa operasi segera sangat bermanfaat. 5. Pengalaman bedah mikro yang semakin besar dan perkembangan neuroanestesi beserta tatalaksana neurointensif, sepertinya meningkatkan hasil dari operasi yang dilakukan segera. 6. Waktu untuk melakukan tatalaksana operasi pada pasien dengan skala Hunt-Hess dan WFNS derajat 4–5, disesuaikan secara individual dengan memperhatikan (a) temuan pada pemeriksaan klinis dan skor Glasgow Coma Scale (GCS) saat masuk; (b) bukti CT scan dari kerusakan otak; (c) tekanan intrakranial; (d) masalah medis pe-nyerta; (e) ada tidaknya vasospasme pembuluh darah otak. Data menunjukkan bahwa beberapa pasien dengan skor GCS awal kurang dari 5, prognosisnya membaik jika dilakukan (1) drainase ventrikuler dipasang segera; (2) tekanan intrakranial tidak lebih dari 30 mmHg; (3) angiografi menunjukkan penampakan kontras yang normal dalam pembuluh darah otak. Pasien yang terbukti mengalami kerusakan otak, peningkatan tekanan intrakranial, dan pengisian kontras yang buruk pada angiografi pembuluh darah otak, memiliki prognosis yang buruk, terlepas dari terapi yang diberikan. Secara keseluruhan, prognosis buruk tetap terjadi pada pasien yang mengalami pendarahan subaraknoid dengan skala Hunt-Hess dan WFNS yang buruk, terlepas mereka dioperasi atau tidak. Oleh karena terapi operatif bermanfaat pada beberapa pasien dalam kategori ini, banyak ahli yang menyarankan terapi operatif. KOMPLIKASI OPERASI 5 Komplikasi kliping operatif, antara lain: 1. Komplikasi pendarahan 2. Komplikasi iskemik 3. Kerusakan pembuluh darah utama dan cabangcabangnya 4. Trauma iatrogenik yang mengakibatkan defisit neurologis akut atau tertunda 5. Meningitis 6. Selulitis dan infeksi luka 7. Sindroma posoperatif yang nonspesifik, mirip dengan sindroma poskonkusif Komplikasi koiling endovaskuler yang sering terjadi, antara lain ruptur aneurisma, tromboembolisme dengan defisit neurologis akut atau tertunda, dan ruptur balon atau deflasi.5 DILEMA TERAPI ANEURISMA YANG TIDAK RUPTUR Aneurisma yang sudah ruptur, harus diterapi untuk mencegah pendarahan ulang (kecuali terjadi ketidakstabilan hemodinamika, usia yang sangat lanjut, atau mati batang otak). Tetapi, jika aneurisma tersebut tidak ruptur, ini akan menjadi dilema tersendiri. Jika ingin diterapi, timbul dilema tentang jenis terapi yang akan dipilih. Keputusan dalam memberikan terapi bersifat individualistik dan harus ditetapkan oleh dokter yang berpengalaman. Pemilihan terapi harus memperhatikan riwayat pasien atau risiko jika tidak diterapi. Risiko terapi dan risiko tidak diterapi, bervariasi tergantung faktor pasien atau faktor aneurismanya sendiri. Faktor pasien, misalnya usia dan penyakit penyerta. Sedangkan faktor aneurisma terdiri dari ukuran, lokasi, dan bentuk aneurisma. Risiko riwayat pecahnya aneurisma yang belum ruptur, tidak diketahui secara pasti. Tetapi, penelitian ISUIA (International Study of Unruptured Intracranial Aneurysm) menunjukkan bahwa risiko rupturnya aneurisma berukuran kecil hanya 0,05 % per tahun.12 Kemudian penelitian ISUIA yang lain menunjukkan bahwa aneurisma berukuran 7 mm pada pembuluh darah otak bagian depan, memiliki risiko 0% untuk mengalami ruptur dalam jangka waktu 5 tahun. Tetapi, jika dulunya telah pernah mengalami aneurisma dan jika lokasi aneurisma berada di lokasi lain (misalnya daerah basal dan posterior/belakang), tentu risiko ruptur jauh lebih besar. Penelitian ISUIA juga menyatakan bahwa angka kecacatan dan kematian 1 tahun setelah operasi tanpa pendarahan subaraknoid, sebesar 6,5% untuk pasien berusia 45 tahun, 14,4% untuk pasien berusia 45-65 tahun, dan 32% untuk pasien 64 tahun. Peneliti ISUIA menyimpulkan bahwa risiko operasi lebih besar daripada manfaatnya jika pasien memiliki aneurisma 10 mm tanpa pendarahan subaraknoid sebelumnya. Risiko kecacatan dan kematian akibat operasi aneurisma yang belum ruptur, diperkirakan masingmasing sebesar 4–10,9% dan 1–3 %.13,14 Pada studi bersama aneurisma serebral dan pendarahan subaraknoid, ditemukan bahwa diameter aneurisma yang kritis untuk ruptur adalah berukuran 7–10 mm. Penelitian lain banyak juga yang mengungkap tingginya Dam J Med Volume 10, Nomor 2, 2011 103 DAMIANUS Journal of Medicine angka ruptur aneurisma yang sebelumnya belum ruptur.15,16 Keputusan melakukan terapi atau tidak pada aneurisma yang belum ruptur, memerlukan pertimbangan yang sangat besar. Dokter harus melihat semua data relevan dari penelitian dan riwayat penelitian. Semua ini harus dikonsultasikan dengan pasien, termasuk kondisi khusus, penyakit penyerta, dan keinginan pasien. Beberapa pasien senang memilih terapi logis berdasarkan data statistik. Sebagian pasien lain lebih mengandalkan terapi alternatif. Keputusan membutuhkan waktu, kesabaran, pengalaman, dan pertemuan berulang kali dengan pasien. PROGNOSIS Terlepas dari perkembangan terapi, angka mortalitas pasien yang mengalami pendarahan subaraknoid akibat aneurisma, tetap 50% pada tahun pertama. Angka harapan hidup tergantung pada derajat pendarahan yang terjadi. Kira-kira 25% pasien yang hidup, mengalami defisit neurologis persisten.5 Data menunjukkan bahwa pasien memiliki angka harapan hidup sebesar 70% untuk pasien dengan skala Hunt-Hess derajat 1, 60% untuk pasien dengan skala Hunt-Hess derajat 2, 50% untuk pasien dengan skala Hunt-Hess derajat 3, 20% untuk pasien dengan skala Hunt-Hess derajat 4, dan 10% untuk pasien dengan skala Hunt-Hess derajat 5.5 Prognosis pasien dengan aneurisma serebral yang ruptur, tergantung luas dan lokasi aneurisma, umur pasien, kesehatan umum, dan kondisi neurologis.1 Beberapa orang dengan aneurisma serebral yang ruptur, meninggal setelah pendarahan awal. Orang lain dengan aneurisma serebral, pulih dengan sedikit atau bahkan tidak ada gangguan saraf. Faktor yang paling berpengaruh dalam menentukan prognosis adalah skala Hunt-Hess dan usia pasien. Umumnya, pasien dengan skala Hunt-Hess grade 1 dan 2 atau berusia lebih muda, memiliki prognosis baik karena dapat terhindar dari kematian ataupun cacat permanen. Sebaliknya, pasien yang berusia lebih tua dengan skala Hunt-Hess yang jelek, memiliki prognosis yang buruk. Secara umum, dua pertiga pasien memiliki prognosis yang buruk, meninggal atau mengidap cacat permanen.17,18 Gambar 2. Mekanisme transfer gen pada pembuluh darah. Gambar 2 ini menunjukkan bagaimana transfer gen bekerja pada pembuluh darah. Suatu vektor /pembawa (1) yang tergabung dengan sebuah gen yang diinginkan, dipindahkan ke pembuluh darah target (2). Proses ini disebut transduksi. Pada potongan melintang (3) terlihat bahwa vektor merangsang produksi protein terapeutik (lingkaran kuning) yang dikode oleh gen yang dibawa oleh vektor. Tentu saja, vektor tidak dapat memasuki semua sel target sehingga protein terapeutik hanya diproduksi dalam sel yang dimasuki oleh vektor sehingga protein terapeutik hanya diproduksi oleh sel yang melakukan proses transfer gen tersebut. Namun, terapi gen ini masih dalam tahap pengembangan.19 Terapi gen sebagai alternatif tatalaksana aneurisma Sekarang juga sedang dikembangkan terapi gen sebagai alternatif terapi untuk aneurisma. Mekanisme transfer gen dijelaskan melalui gambar 2. Gambar 3. CT scan, anak panah kuning menunjukkan dua buah aneurisma.19 104 Dam J Med Volume 10, Nomor 2, 2011 Pertimbangan klinis dalam pemilihan jenis tatalaksana terbaik untuk pasien aneurisma serebral Gambar 4. CT scan, anak panah kuning menunjukkan pecahnya aneurisma berukuran besar dengan beberapa trombus di antara kantung aneurisma. Anak panah hijau menunjukkan masuknya darah ke ruang subaraknoid. Jadi, gambar ini menunjukkan aneurisma yang mengakibatkan pendarahan subaraknoid.19 Gambar 7. Dua foto yang menunjukkan suasana intraoperatif. Foto sebelah kiri menunjukkan adanya aneurisa (dilingkari oleh garis putus-putus) dengan kantung tambahan (lingkaran kecil). Pada foto sebelah kanan, sebuah klip aneurisma (panah hitam) dipasang di sekeliling leher aneurisma untuk menyumbat aneurisma secara total. Pada kedua foto, anak panah berwarna kuning menunjukkan arteri utama yang menjadi pangkal dari aneurisma. Sedangkan anak panah berwarna hijau menunjukkan cabang pembuluh darah utama yang dekat dengan leher aneurisma.19 KESIMPULAN Gambar 5. Pencitraan dengan Magnetic Resonance Angiogram (MRA) yang menunjukkan sirkulus Willisi pada area dasar otak dengan 6 anak panah berwarna kuning yang menunjukkan aneurisma di titik-titik berbeda.19 Untuk aneurisma yang belum ruptur, pemilihan terapi harus memperhatikan riwayat pasien atau risiko jika tidak diterapi. Jika berisiko ruptur, terapi ditujukan untuk mencegah agar aneurisma tidak ruptur, dan juga agar tidak terjadi penggelembungan lebih lanjut dari aneurisma tersebut. Sedangkan untuk aneurisma yang sudah ruptur, tujuan terapi adalah untuk mencegah pendarahan lebih lanjut dan mencegah/membatasi terjadinya vasospasme. Terapi darurat untuk pasien yang mengalami ruptur aneurisma serebral mencakup pemulihan fungsi pernapasan dan mengurangi tekanan intrakranial. Ada dua alternatif terapi, yaitu kliping operatif dan koiling endovaskuler, yang dilakukan pada 24 jam pertama setelah pendarahan untuk mengatasi aneurisma yang pecah, serta mengurangi risiko pendarahan ulang. Keputusan jenis terapi harus dilakukan oleh tim yang telah berpengalaman memakai kedua teknik terapi tersebut, disertai pertimbangan berbagai hal bersama pasien. Terapi gen untuk mengatasi aneurisma, masih dalam tahap pengembangan. DAFTAR PUSTAKA Gambar 6. Anak panah menunjukkan aneurisma yang telah dipasang koil.19 1. Ropper AH, Brown RH. The cerebrovascular diseases. Adams and Victor's Principles of Neurology. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2005. pp. 718-22. 2. Frosch MP, Anthony DC, Girolami UD. The central nervous system. In: Kumar V, Abbas A, Fausto N, eds. Robbins and Cotran's Pathologic Basis of Disease. 7th ed. Philadeplhia: Saunders; 2005. pp.1411-2. Dam J Med Volume 10, Nomor 2, 2011 105 DAMIANUS Journal of Medicine 3. Brisman JL, Song JK, Newell DW. Cerebral aneurysms. N Engl J Med. 2006;355 (9): 928-39. 4. Appel, Jacob M. Health care hard to recognize, tough to define, Albany Times Union: Nov. 12, 2009. 5. Oman JA. Subarachnoid Hemorrhage Surgery. eMedicine Journal [serial online]. 2011. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/247090-overview. 6. Gallo GL, Rafael Tamargo. Leukocyte-endothelial cell interactions in chronic vasospasm after subarachnoid hemorrhage. Neurol. Res.2006; 28 (7): 750-8. 7. Bederson JB, Connolly ES Jr, Batjer HH, Dacey RG, Dion JE, Diringer, et al. Guidelines for the management of aneurysmal subarachnoid hemorrhage : a statement for healthcare professionals from a special writing group of the Stroke Council, American Heart Association. Stroke. 2009;994-1025. 12. Unruptured intracranial aneurysms--risk of rupture and risks of surgical intervention. International Study of Unruptured Intracranial Aneurysms Investigators. N Engl J Med.1998;339(24):1725-33. 13. Cloft HJ, Kallmes DF. Aneurysm packing with HydroCoil Embolic System versus platinum coils: initial clinical experience. AJNR Am J Neuroradiol.2004;25 (1):60-2. 14. Solomon RA, Fink ME, Pile-Spellman J. Surgical management of unruptured intracranial aneurysms. J Neurosurg.1994;80 (3):440-6. 15. Juvela S, Porras M, Heiskanen O. Natural history of unruptured intracranial aneurysms: a long-term follow-up study. J Neurosurg.1993;79 (2):174-82. 16. Tsutsumi K, Ueki K, Morita A, Kirino T. Risk of rupture from incidental cerebral aneurysms. J Neurosurg.2000;93(4):550-3 8. Subarachnoid Hemorrhage. In: Goldstein L. A Primer on Stroke Prevention and Treatment - An Overview based on AHA/ASA Guidelines. Dallas, TX: WileyBlackwell;2009. 17. Jeanette H, Rinkel G, Algra A, Gijn JV. Case-Fatality Rates and Functional Outcome after Subarachnoid Hemorrhage: A Systematic Review. Stroke.1997; 28 (3): 660-4. 9. Raja PV, Huang J, Germanwala AV, Gailloud P, Murphy KP, Tamargo RJ. Microsurgical clipping and endovascular coiling of intracranial aneurysms: A critical review of the literature. Neurosurgery.2008; 62: 1187-202. 18. Ljunggren B, Sonesson B, Säveland H, Brandt L. Cognitive impairment and adjustment in patients without neurological deficit after aneurysmal SAH and early operation. Journal of Neurosurgery.1985; 62 (5): 673-9. 10. Piotin M, Spelle L, Mounayer C, Salles-Rezende MT, Giansante-Abud D, Vanzin-Santos R, et al. Intracranial aneurysms: treatment with bare platinum coilsaneurysm packing, complex coils, and angiographic recurrence. Radiology. 2007; 243 (2): 500-8. 19. Khurana VG. Gene therapy. www.brainaneurysm.com [serial online]. 2011. Available at: http:/ /www.brain-aneurysm.com/gth.html 11. Campi A, Ramzi N, Molyneaux AJ, Summers PE, Kerr RS, Sneade M, et al. Retreatment of ruptured cerebral aneurysms in patients randomized by coiling or clipping in the International Subarachnoid Aneurysm Trial (ISAT). Stroke. 2007;38 (5): 1538-44. 106 Dam J Med Volume 10, Nomor 2, 2011