klik di sini - WordPress.com

advertisement
SIDDHARTHA GAUTAMA
Gautama Buddha dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama, dia kemudian menjadi
sang Buddha. Dia juga dikenal sebagai Shakyamuni dan sebagai sang Tathagata. Siddhartha
Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga merupakan pendiri
Agama Buddha. Ia secara mendasar dianggap oleh pemeluk Agama Buddha sebagai Buddha
Agung (Sammāsambuddha) pada masa sekarang. Waktu kelahiran dan kematiannya tidaklah
pasti, sebagian besar sejarawan dari awal abad ke 20 memperkirakan kehidupannya antara
tahun 563 SM sampai 483 SM baru-baru ini, pada suatu simposium para ahli akan masalah
ini, sebagian besar dari ilmuwan yang menjelaskan pendapat memperkirakan tanggal berkisar
antara 20 tahun antara tahun 400 SM untuk waktu meninggal dunianya, sedangkan yang lain
menyokong perkiraan tanggal yang lebih awal atau waktu setelahnya.
Siddhartha Gautama merupakan figur utama dalam agama Buddha, keterangan akan
kehidupannya, khotbah-khotbah, dan peraturan keagamaan yang dipercayai oleh penganut
agama Buddha dirangkum setelah kematiannya dan dihafalkan oleh para pengikutnya.
Berbagai kumpulan perlengkapan pengajaran akan Siddhartha Gautama diberikan secara
lisan, dan bentuk tulisan pertama kali dilakukan sekitar 400 tahun kemudian. Pelajar-pelajar
dari negara Barat lebih condong untuk menerima biografi Sang Buddha yang dijelaskan
dalam naskah Agama Buddha sebagai catatan sejarah, tetapi belakangan ini “keseganan
pelajar negara Barat meningkat dalam memberikan pernyataan yang tidak sesuai mengenai
fakta historis akan kehidupan dan pengajaran Sang Buddha.”
Orang tua
Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku
Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahā Māyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama
meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal, beliau
terlahir di alam/surga Tusita, yaitu alam surga luhur. Sejak meninggalnya Ratu Mahā Māyā
Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadi isteri
Raja Suddhodana.
Riwayat hidup
Relief kelahiran Pangeran Siddhartha. Dari kuil Zen You Mitsu, Tokyo.
Kelahiran
Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 563 SM di Taman Lumbini, saat Ratu Maha Maya
berdiri memegang dahan pohon sal. Pada saat ia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang
satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha.
Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri tegak dan langsung dapat
melangkah ke arah utara, dan tempat yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.
Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Sang Pangeran
kelak akan menjadi seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau akan menjadi seorang
Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan tegas meramalkan bahwa Sang Pangeran
kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena
apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya.
Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai
melihat empat macam peristiwa. Bila tidak, ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha.
Empat macam peristiwa itu adalah:
1.
2.
3.
4.
Orang tua,
Orang sakit,
Orang mati,
Seorang pertapa.
Masa kecil
Sejak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat
pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang masih muda dan cantik
rupawan di istana yang megah dan indah. Pada saat berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta
mempunyai 3 kolam bunga teratai, yaitu:



Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala)
Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma)
Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika)
Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
Pangeran Siddharta menguasai semua pelajaran dengan baik. Dalam usia 16 tahun Pangeran
Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan
berbagai sayembara. Dan saat berumur 16 tahun, Pangeran memiliki tiga Istana, yaitu:



Istana Musim Dingin (Ramma)
Istana Musim Panas (Suramma)
Istana Musim Hujan (Subha)
Masa dewasa
Pangeran Siddhartha melihat empat hal yang mengubah hidupnya.
Kata-kata pertapa Asita membuat Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam, karena
khawatir kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara
tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih banyak pelayan untuk merawat Pangeran
Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan
berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan
kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.
Suatu hari Pangeran Siddharta meminta izin untuk berjalan di luar istana, dimana pada
kesempatan yang berbeda dilihatnya "Empat Kondisi" yang sangat berarti, yaitu orang tua,
orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran Siddhartha bersedih dan menanyakan
kepada dirinya sendiri, "Apa arti kehidupan ini, kalau semuanya akan menderita sakit, umur
tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak
mengerti, yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya
sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan
memberikan semua jawaban tersebut.
Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan
batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada saat putra
tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk
meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat
untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup sebagai pertapa.
Setelah itu Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi
berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati.
Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma dan kemudian kepada Uddaka Ramāputra,
tetapi tidak merasa puas karena tidak memperoleh yang diharapkannya. Kemudian beliau
bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa. Akhirnya beliau juga
meninggalkan cara yang ekstrem itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi untuk
mendapatkan Penerangan Agung.
Pangeram Siddharta mencukur rambutnya dan menjadi pertapa, relief Borobudur.
Patung Buddha dari Gandhara, abad ke-1 atau abad ke-2.
Masa pengembaraan
Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa
Bhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa
Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari cara bertapa dari
kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang diinginkannya. Sehingga
sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu tidak akan mencapai
Pencerahan Sempurna. Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi
ke Magadha untuk melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai
Nairanjana yang mengalir dekat Hutan Gaya. Walaupun telah melakukan bertapa menyiksa
diri selama enam tahun di Hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga dapat
memahami hakikat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.
Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang
menasihati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan:
“
Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu
dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila
senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu
dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu.
”
Nasehat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan untuk
menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang telah tinggal tulang
hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama
Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan
maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa
Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil berprasetya, "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh
berserakan, tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai Pencerahan
Sempurna."
Perasaan bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir saja Beliau putus asa
menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras
membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, akhirnya godaan Mara dapat dilawan dan
ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.
Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha
(Sammasam-Buddha), tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika ia berusia
35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut
kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat mencapai Pencerahan
Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan
warna biru yang berarti bhakti; kuning mengandung arti kebijaksanaan dan pengetahuan;
merah yang berarti kasih sayang dan belas kasih; putih mengandung arti suci; jingga berarti
giat; dan campuran kelima sinar tersebut.
Penyebaran ajaran Buddha
Sang Buddha memberi pelajaran tentang dharma kepada lima pertapa di Taman Rusa
Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan
yang antara lain: Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata ('Ia Yang Telah Datang',
Ia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan sebagainya.
Lima pertapa yang mendampingi Beliau di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang
Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana Beliau
menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, yaitu Delapan Ruas Jalan
Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".
Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya
kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga akhirnya mencapai
usia 80 tahun, saat ia menyadari bahwa tiga bulan lagi ia akan mencapai Parinibbana.
Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara,
memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi
Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada
bulan Mei, 543 SM).
Sifat Agung Sang Buddha
Sang Buddha menjelang Parinirwana.
Seorang Buddha memiliki sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna).
Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha tidak terbatas oleh waktu dan selalu abadi,
karena telah ada dan memancar sejak manusia pertama kalinya terlahir dalam lingkaran hidup
roda samsara yang disebabkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan batinnya. Jalan untuk
mencapai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan atau kebodohan batin yang
dimiliki oleh manusia. Pada waktu Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, ia
telah mengikrarkan Empat Prasetya yang berdasarkan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang
tidak terbatas, yaitu
1.
2.
3.
4.
Berusaha menolong semua makhluk.
Menolak semua keinginan nafsu keduniawian.
Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.
Buddha Gautama pertama melatih diri untuk melaksanakan amal kebajikan kepada semua
makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan yang diakibatkan oleh tubuh,
ucapan dan pikiran, yaitu



Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
Ucapan (vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada
manfaat.
Pikiran (citta): kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.
Cinta kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih untuk kebahagiaan semua
makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi
terlimpah kepada mereka. Akan tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat atau
dalam keadaan batin gelap, Sang Buddha akan memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih
Sayang-Nya, Sang Buddha menganjurkan supaya mereka berjalan di atas jalan yang benar
dan mereka akan dibimbing dalam melawan kejahatan, hingga tercapai "Pencerahan
Sempurna".
Sebagai Buddha yang abadi, Beliau telah mengenal semua orang dan dengan menggunakan
berbagai cara Beliau telah berusaha untuk meringankan penderitaan semua makhluk. Buddha
Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat dunia, namun Beliau tidak pernah mau
mengatakan bahwa dunia ini asli atau palsu, baik atau buruk. Ia hanya menunjukkan tentang
keadaan dunia sebagaimana adanya. Buddha Gautama mengajarkan agar setiap orang
memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan watak, perbuatan dan kepercayaan masingmasing. Ia tidak saja mengajarkan melalui ucapan, akan tetapi juga melalui perbuatan.
Meskipun bentuk fisik tubuh-Nya tidak ada akhirnya, namun dalam mengajar umat manusia
yang mendambakan hidup abadi, Beliau menggunakan jalan pembebasan dari kelahiran dan
kematian untuk membangunkan perhatian mereka.
Pengabdian Buddha Gautama telah membuat diri-Nya mampu mengatasi berbagai masalah di
dalam berbagai kesempatan yang pada hakekatnya adalah Dharma-kaya, yang merupakan
keadaan sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang Buddha. Sang Buddha adalah
pelambang dari kesucian, yang tersuci dari semua yang suci. Karena itu, Sang Buddha adalah
Raja Dharma yang agung. Ia dapat berkhotbah kepada semua orang, kapanpun dikehendakiNya. Sang Buddha mengkhotbahkan Dharma, akan tetapi sering terdapat telinga orang yang
bodoh karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak mau memperhatikan dan
mendengarkan khotbah-Nya. Bagi mereka yang mendengarkan khotbah-Nya, yang dapat
mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Agung Sang Buddha akan terbebas dari
penderitaan hidup. Mereka tidak akan dapat tertolong hanya karena mengandalkan
kepintarannya sendiri.
Wujud dan kehadiran Buddha
Sang Buddha tidak hanya dapat mengetahui dengan hanya melihat wujud dan sifat-Nya
semata-mata, karena wujud dan sifat luar tersebut bukanlah Buddha yang sejati. Jalan yang
benar untuk mengetahui Buddha adalah dengan jalan membebaskan diri dari hal-hal
duniawi/menjalani hidup dengan cara bertapa. Buddha sejati tidak dapat dilihat oleh mata
manusia biasa, sehingga Sifat Agung seorang Buddha tidak dapat dilukiskan dengan katakata. Namun Buddha dapat mewujudkan diri-Nya dalam segala bentuk dengan sifat yang
serba luhur. Apabila seseorang dapat melihat jelas wujud-Nya atau mengerti Sifat Agung
Buddha, namun tidak tertarik kepada wujud-Nya atau sifat-Nya, dialah yang sesungguhnya
yang telah mempunyai kebijaksanaan untuk melihat dan mengetahui Buddha dengan benar.
Download