1 Yesus Penyembuhku: Apa Artinya Itu Berdasarkan Injil? Bila mendengar kata “sembuh” dan “penyembuhan” biasanya kita mudah menghubungkan itu dengan apa yang sering kita bayangkan—dan mungkin juga kita saksikan dengan kasat mata—apa yang sering kita sebut sebagai “mujizat”, “keajaiban”, “kejadian tak normal” dsb, dsb. Sebelum mengerti arti yang benar dengan apa yang kita sebut “sembuh” itu, kita juga sering berlebihan mengartikan apa yang kita sebut biasanya sebagai “mujizat”. Padahal, bertolak dari refleksi Kitab Suci—paling tidak yang saya refleksikan—, kedua hal itu memiliki arti yang lebih dari sekadar apa yang kita sebut melulu dengan “sembuh”, “penyembuhan”, atau “mujizat” yang visual-material. Judul refleksi yang ditawarkan pada saya untuk kita bahas adalah “Yesus Penyembuhku”. Ada dua unsur penting yang harus kita dalami di sini, yang pertama tentang Yesus, dan yang kedua bahwa Yesus itu adalah seorang penyembuh. Yesus itu hanya kita kenali dan pahami pertama-tama jelas dari salah satu sumber tertulis iman kita, yakni Kitab Suci. Bahwa Dia itu seorang penyembuh dengan demikian hanya bisa kita temukan kalau kita mengikuti apa yang dinarasikan Kitab Suci kita. Menjadi penting di sini memahami apa yang dilakukan Yesus dalam apa yang kita baca, dengarkan dan sebut sebagai “penyembuhan-penyembuhan” dalam Kitab Suci. Kita akan membuka bahasan ini, dengan demikian, dengan membaca dan mendalami beberapa narasi tentang “penyembuhan-penyembuhan” itu dalam Kitab Suci. Dan perlu dicatat, kita memahami Kitab Suci di sini bukan sebagai sebuah laporan sejarah, melainkan sebagai kesaksian iman. Itu artinya, perlu memahaminya dengan mengartikan apa yang ditulis, bukan meniru apa yang disebutkan. Sebuah Ilustrasi Adalah seorang yang memiliki penyakit kanker. Penyakitnya sudah dinyatakan kronis, tak ada harapan secara medis. Karena semangatnya untuk hidup, berusaha sekuat tenaga mencari alternatif penyembuhan lain, di samping terapi normal yang dijalaninya dengan dokter. Pada akhirnya menemukan sebuah alternatif, yang sebenarnya bukan untuk menyembuhkan, tapi lebih untuk membuat rasa penerimaan diri pada kenyataannya yang dihadapi. Metode terapi alternatif itu adalah meditasi, yang membawa si sakit pada sikap penyerahan diri dan pembangkitan semangat hidup. Hasilnya, orang yang sakit itu merasa menghayati hidup yang sebenarnya, ia tak lagi memikirkan kapan ia akan mati, yang ada hanyalah hidup dan menghayati hidup kini dan hari ini (hic et nunc). Hasilnya lagi, itu berfungsi secara istimewa pada terapi medisnya dan...sesuatu yang oleh dokternya dikatakan “mustahil untuk sembuh” ternyata terjadi sebaliknya, si sakit itu sembuh total. Sebuah pertanyaan sekarang muncul: Penyembuhan itu terjadi seperti yang kita tafsirkan dari Injil atau tidak? Apa sebenarnya yang terjadi atau yang ingin disampaikan Injil dengan narasi-narasi penyembuhan? Bagaimana kita mengerti fenomen-fenomen penyembuhan secara injili? Mari kita bahas hal-hal itu satu persatu. 1. Mujizat dan Penyembuhan dalam Kitab Suci1 Untuk mengerti secara benar arti dari mujizat-mujizat dalam Kitab Suci, perlulah melihat hubungannya dengan maksud Injil secara menyeluruh. Kita tak dapat memisahkan karya-karya Allah dari sabda-sabda yang diwahyukanNya. Sabda dan perbuatan—yang diungkapkan secara jelas dalam bahasa Ibrani dalam satu kata saja, dabar—adalah dua hal yang tak terpisahkan, satu kesatuan yang tak dapat dipecahkan. Namun demikian, Kitab Suci ditulis bukan untuk melaporkan detail-detail sejarah. Tulisan-tulisan yang termuat dalam Kitab Suci adalah sebuah kesaksian iman. Bahwa di dalamnya memuat kebenarankebenaran sejarah jelas bisa dimengerti, karena kesaksian iman itu ditulis dalam sejarah, dipengaruhi oleh dan dibuat dalam konteks sejarah; artinya kesaksian iman itu bukanlah kesaksian yang omong kosong, yang tak menyejarah, melainkan sungguh bahwa sebuah refleksi iman adalah sebuah refleksi yang terjadi. Disadur dari Henry Wansbrough, OSB, Los milagros de Jesus, Bibel un Leben, 6 (1965) 122-135; Franz Kamphaus, Las narraciones de milagros en los evangelios, Terjemahan dari: Jesus the Wonderworker, The Clergy Review, 55 (1970) 859-867. 1 2 Dengan demikian mengerti Kitab Suci sebagai catatan sejarah, bukan hanya sebuah pereduksian makna, melainkan sebuah kesalahan pemahaman. Narasi-narasi tentang Mujizat dalam Konteks Injili Berdasarkan penelitian dan exegesis biblis dari para ahli Kitab Suci, mujizat dan penyembuhan dalam Injil sekarang ini dimengerti bukan dalam rangka “pembuktian iman”, melainkan dalam “makna teologis”-nya. Bukan dimengerti sebagai “garansi pewahyuan”, melainkan sebagai “bagian dari Wahyu itu sendiri”2. Seorang teolog dan ahli Kitab Suci, Bultmann, bahkan menafsirkan mujizat dalam Kitab Suci secara lebih radikal dalam konteks-konteksnya3. Pertama, “mujizat-mujizat dalam konteks filsafat adalah tidak mungkin, namun apa yang dinyatakan secara tak logis disangkal secara tak logis pula”; Kedua, dalam konteks literatur Kitab Suci, “narasi-narasi Kitab Suci yang memuat mujizat lahir dalam situasi yang wajar dalam zamannya, ketika gaya bahasa mujizat adalah normal ditulis untuk menekankan sebuah tema dari penulis biografi tertentu”4 Di sisi lain, dalam Injil sendiri Yesus tampaknya menunjukkan sikap yang tak mendukung sikapsikap yang melulu mengagung-agungkan mujizat untuk percaya (bdk. Yoh 4:48, 6:26, Mat 7:22). Yesus tidak memuji iman yang lahir dari mujizat, melainkan memuji mereka yang mendasarkan imanya pada apa yang diajarkan, didengar dan dialami dari sabdaNya. Mujizat tidak mengandaikan iman-kepercayaan yang murni (bdk. Yoh 11:45-46). Bahkan Yesus mencela sebagai “angkatan yang jahat”, mereka yang selalu meminta tanda untuk dapat percaya (Mat 12:39; Luk 11:29). Dengan kata lain ia tak akan percaya sebelum melihat (ingat kata-kata Yesus: “Berbahagialah yang tidak melihat namun percaya”). Yesus mengajarkan yang sebaliknya, kita harus terlebih dulu percaya untuk dapat melihat. Apa yang kita sebut sebagai mujizat—dan masuk di dalamnya penyembuhan—harus dimengerti dalam konteks pewahyuan Yesus secara total, dalam kesatuan dengan keseluruhan kesaksian Injil. Injil mewahyukan pada kita bahwa Allah itu mencintai manusia tanpa batas, dan cinta itu diungkapkan secara sempurna dan penuh dalam diri Yesus Kristus, Allah yang menjadi manusia, Emanuel, Allah yang beserta kita. Apa yang diungkapkan dalam mujizat dan penyembuhan-penyembuhan yang dilakukan Yesus ingin menyampaikan sebuah kesaksian iman bahwa zaman keselamatan itu telah tiba, bahwa kedatangan Yesus diimani oleh komunitas kristen awal sebagai pemenuhan akan Wahyu Allah. Dan kepenuhan wahyu itu bukan omong kosong, karena setelah diimani, dialami dan disaksikan dalam tanda-tanda yang diungkapkan Yesus, sesuai dengan apa yang dikatakanNya (“orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang sakit sembuh” dsb). Jadi yang diungkapkan di sini bukan apa yang persis terjadi dari yang mereka (penyaksipenyaksi iman) saksikan dan lihat, melainkan bahwa sesuatu yang alami yang seharusnya terjadi, yang dialami sebagai ‘yang menyentuh’ iman dan mengembangkan iman. Jadi narasi-narasi seperti itu adalah sebuah Shahadat, sebuah Pernyataan iman penulis Injil yang dihidupi dalam komunitasnya. Kebenaran dari kisah-kisah penyembuhan bukan terletak pada ketepatan data-datanya (apa yang terjadi, tanggal, dsb) melainkan dalam intensinya, bahwa dalam sejarah dan secara historis, janji dan iman akan Allah yang mencintai manusia itu terealisasi dalam diri Yesus Kristus. Beberapa Kekhasan Penyembuhan dalam Kitab Suci Kisah-kisah penyembuhan, dalam Injil termasuk dalam jenis kisah-kisah mujizat. Apa yang diterjemahkan sebagai “mujizat” (kata benda: thauma) dalam Injil-injil Sinoptik yang sering kita baca sekarang, sebenarnya berasal dari kata kerja thaumazéin (mengagumi) yang sering dihubungkan dengan kata dynámeis: karya yang dibuat dengan kuasa (Mat 11:20-24; 13:58; Mrk 6:2,5; Luk 19:37). Namun demikian, istilah ini tidak ditemukan dalam Injil sebagai yang terpisah dari seluruh peristiwa Yesus, yang Henry Wansbrough, ibid. Ibid. 4 Ibid. Beberapa contoh biografi sejenis yang ditulis di abad-abad penulisan Injil misalnya, Riwayat Hidup Dua Belas Kaisar karya Suetonio, Kisah-kisah abad ke-4 SM dari Esculapio do Epidauro dll, semua memuat kisah-kisah mujizat. 2 3 3 secara khusus dihubungkan dengan panggilan untuk bertobat, untuk percaya pada apa yang diajarkan dan dibuat Yesus. Kata lain yang dihubungkan dengan thaumazein adalah kata téras (yang mengagumkan). Kata ini pun juga tak bisa dimengerti terpisah dari kesatuan dengan kata sémeion (tanda, sinyal). Mujizat-mujizat atau penyembuhan-penyembuhan itu hanya terjadi sebagai tanda dari hal yang lebih besar, bahwa keselamatan sudah datang, Kerajaan Allah telah hadir di tengah umat manusia, dan bahwa pembebasan manusia dari belenggu-belenggu dosa telah tiba. Beberapa Contoh Penyembuhan Yesus pada seorang buta di Betsaida (Mrk 8:22-26) jelas tidak bisa lepas dari interpretasi simbolis. Orang buta itu mewakili semua orang yang tak dapat “melihat” rencana Allah dalam diri Yesus. Penyembuhan itu, yang belum menjadi sempurna, menggambarkan para murid Yesus yang, meski melihat dan hidup bersama Yesus, belum sampai mengerti kebenaran dari SabdaNya. Kesembuhan total orang buta itu mengantar kita pada perikop berikutnya (8:27-30) di mana Petrus dan murid-murid yang lain sadar dan mengakui Yesus sebagai Mesias. Sebagaimana penyembuhan kebutaan itu hanya terjadi tahap demi tahap, iman juga mengandaikan proses pendewasaan dan perkembangan yang bertahap. Penyembuhan kebutaan yang lain (Mrk 10:46-52) juga memberi penekanan yang sama sebagai pesan utamanya, bahwa hanya iman akan Yesuslah yang membuka jalan pada penyembuhan. Dan jalan yang benar, hanya ditemukan dalam jalan Yesus. Contoh lain adalah penyembuhan seorang yang sakit kusta (Mrk 1:40-45). Pertama-tama harus dimengerti bahwa penyakit kusta yang dimaksud jelas bukan sebagaimana yang kita sebut kusta sekarang ini, melainkan penyakit kulit yang merujuk pada Im 13:1dst. Hubungannya, ada pada arti penajisan seseorang pada bait Allah karena kefisikannya. Dalam Injil ini Yesus ingin “menyembuhkan” pandangan yang salah ini. Si Kusta itu adalah simbol dari orang yang tersingkir, dikucilkan, dan dikutuk sebagai yang jauh dari Allah dan sesama. Allah dalam tindakan Yesus mengubah pandangan itu. Iman orang kusta itu dan kasih Allah sendiri dalam Yesus adalah sebuah berita gembira: bahwa Allah mencintai semua orang tak peduli kelemahan dan keterbatasannya, dan itu yang menyembuhkan. Maka justru orang yang berpandangan bahwa yang berpenyakit, yang tersingkir dan tertindas perlu dihindari adalah orang yang sakit; dengan demikian Yesus dalam penyembuhan ini menyembuhkan pandangan masyarakat. Beberapa kutipan lain, seperti penyembuhan pada orang yang lumpuh (Mrk 2:1-12), menekankan arti Yesus yang berkuasa atas dosa; atau dalam penyembuhan pada hari Sabat (Mrk 3:1-6) ingin menekankan kedudukan Yesus yang melebihi hukum manusiawi. II. Fenomena Penyembuhan “yang Mengagumkan”: Sebuah Refleksi Setelah membarui pandangan saya tentang arti sebenarnya dari penyembuhan dalam Kitab Suci, sebagai orang timur, saya ingin membagikan sebuah refleksi pribadi yang mencoba menjelaskan fenomena-fenomena alam dari apa yang sering kita sebut sebagai “mujizat dan atau penyembuhan” itu. Tuhan menciptakan dunia dan isinya begitu sempurna. Di antara semua ciptaan, manusia merasa menjadi satu-satunya ciptaanNya yang paling sempurna. Ini merupakan refleksi iman. Seorang teolog, Teilhard de Chardin, meyakini suatu evolusi ciptaan yang mengarah pada kesempurnaan. Dunia dan kemanusiaan berjalan ke arah yang baik, meski kenyataan-kenyataan kejahatan dan dosa ada. Dan dalam evolusi ini manusia berkembang dan menemukan sedikit demi sedikit ke-“misteri”-annya. Beberapa peneliti manusia pernah mengatakan bahwa manusia baru menyadari 10 atau 20% saja dari keseluruhan kemampuan dan potensinya. Sesuatu atau sebuah kejadian yang kita sebut “mujizat” dua ratus tahun yang lalu, sekarang mungkin bisa kita sebut sebagai “biasa” atau “normal”. Tak pernah terbayangkan misalnya apa yang kita sebut sebagai “terbang” itu dua ribu tahun yang lalu sebagai sesuatu yang “mustahil”. Tuhan itu menurut iman kita—dan juga menurut refleksi filsafat—adalah transenden dan imanen. Artinya pekerjaanNya, penciptaanNya melampaui kemampuan dan standar-standar manusiawi. Di sisi lain, 4 Allah ini adalah kita sadari, kita mengerti, kita alami dalam keterbatasan-keterbatasan kita. Adalah benar bahwa Allah itu terus bekerja dalam hidup kita, menciptakan dan menciptakan terus menerus hidup dan dunianya menuju kesempurnaan. Ini sejalan dengan teori evolusi yang kita bicarakan tadi. Dengan demikian, segala sesuatu, yang terjadi di dunia ini dan dalam hidup kita, selalu tergantung pada Allah. Namun ketergantungan ini bukan ketergantungan seorang manusia dengan mobil sedannya. Mobil sedan hanya bergerak kalau si sopir menghidupkannya dan bergerak sesuai dengan yang dikehendaki sang penyopir. “Evolusi itu di satu pihak adalah seluruhnya “tindakan” makhluk yang berevolusi, tetapi di lain pihak “tindakan” itu dari dalam ditunjang dan diberdayakan oleh kekuasaan Sang Pencipta”5. Jadi sesuatu yang baru yang terjadi, terjadi seluruhnya karena hakekat mahkluk, namun hakekat itu hanya bisa ada karena existensi yang diberikan Allah. Sebuah penyembuhan bisa terjadi karena hakekat itu. Jadi bukan seuatu yang magic. Tetapi ini bisa disebut penyembuhan dari Tuhan hanya karena existensi yang diberikan dalam kebebasan manusia itu. Artinya Tuhan tidak menyembuhkan sebuah penyakit kanker secara langsung, melainkan menyembuhkannya melalui para dokter dan para medis yang menerima kemampuan dari Tuhan untuk menangani masalah penyakit itu. Artinya dengan menghormati kebebasan manusia dan hakekatnya.**** Bintaro, November 2007 Heronimus Maryono 5 Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, Kanisius: 2006, hal. 208.