PERKEMBANGAN EMBRIOGENESIS IKAN MANDARIN (Synchiropus splendidus) Oleh Imanuel G. Pattipeilohy, Abdul Gani, Herlina Tahang ABSTRAK Ikan Mandarin (Synchiropus splendidus) merupakan salah satu ikan hias air laut yang banyak digemari oleh para pebisnis akuarium air laut di dalam maupun di luar negeri. Pemijahan merupakan proses pengeluaran sel telur oleh induk betina dan sperma oleh induk jantan, yang kemudian diikuti dengan pembuahan. Pemijahan sebagai salah satu aspek dari reproduksi, merupakan mata rantai dari siklus hidup dalam menentukan kelangsungan hidup dari spesies ikan mandarin (Synchiropus splendidus). Selain itu masih minimnya informasi tentang perkembangan embriogenesis dari ikan mandarin (Synchiropus splendidus). Perkembangan embryogenesis dari ikan mandarin dimulai dari fase Pembelahan sel I sampai fase pembelahan sel V yang memerlukan waktu selama 1 jam 18 menit. Pada pembelahan I terbentuknya ruang perivetilin, kantung telur dan dua buah sel blastomer. Pembelahan II terbentuknya empat sel dari dua sel. Pembelahan III menghasilkan delapan sel adalah akibat pembelahan empat sel menjadi delapan blastomer yang tersusun dalam dua baris yang. Perkembangan pembelahan sel IV menjadi 16 blastomer yang merupakan turunan keempat dan pembelahan sel V menjadi 32 blastomer dan terbentuk susunannya tidak beraturan lagi dan membentuk seperti bola kecil. Selain itu, ruang perivetilin sudah tidak terlihat lagi. Fase pembelahan ini telah memasuki stadia morula. Pada stadia blastula, blastomer membelah terbentuk ruangan kosong yang disebut blastosul yang ditutupi oleh blastoderm dan pada sisi luar terdapat epiblast. Antara blastosul dan blastoderm dipisahkan oleh hypoblast primer. Proses stadia gastrula berlangsung sampai terjadi pembentukan lapisan ektoderm, mesoderm dan endoderm. Organogenesis dengan terbentuknya bagian-bagian seperti notokorda dari embrio yang memanjang disisi kuning telur, bagian kepala terletak di kutub anima, bagian ekor di bagian kutub vegetatif dan somit yang belum jelas, sehingga bentuk tubuh embrio melengkung hampir di seluruh kuning telur dan semua ini masih transparan. Perkembangan embrio pada fase cleave sampai dengan embrio keluar dari cangkang menjadi individu baru ikan mandarin membutuhkan waktu inkubasi 13-14 jam. Selama perkembagan embrio berlangsung selama sebelas jam setelah pembuahan, terjadi pembentukan organogenesis dari embrio ikan mandarin. Embrio ikan mandarin menetas dengan bagian kepala keluar duluan kemudian diikuti dengan bagian ekor. Kata Kunci; Embriogenesis, Synchiropus splendidus DEVELOPMENT EMBRYOGENESIS MANDARIN FISH (Synchiropus splendidus) by Imanuel G. Pattipeilohy , Abdul Gani , Herlina Tahang ABSTRACT Mandarin fish (Synchiropus splendidus) is one of the sea water ornamental fishes which is much favored by saltwater aquarium businessmen domestic and abroad. Spawning is the process of spending eggs by the female parent and sperm by the male parent which is then followed by fertilization. Spawning as one aspect of reproductions, is a chain of life cycle in determining the survival of the mandarin fish (Synchiropus splendidus). Also it is lack of information about the development of embryogenesis of mandarin fish (Synchiropus splendidus). The development of embryogenesis mandarin fish starts from cell division phase I to phase V that takes 1 hour 18 minutes. In the first division the formation of space perivetilin, egg sacs and two cell blastomeres. The second division, cleavage formation of four cells from two cells. The III division produces eight cells that is due to cell division four to eight blastomeres arranged in two rows . The development of cell division to 16 blastomeres is the fourth derivativing to cell division V which is 32 blastomeres and form irregular arrangement again and form a small ball. In addition, space perivetilin is no longer visible. This division has entered a phase of stadia morula . At blastula stadia , blastomeres divide to the form so-called empty space that is covered by the blastoderm blastosul and on the outside there is epiblast. Blastosul and blastoderm is separated by primary hypoblast. Gastrula stadia process lasted until the formation of a layer of ectoderm, mesoderm and endoderm. Organogenesis with the formation of the parts such as the notochord of the embryonic yolk elongated side, located in the polar head anima, the tail section at the vegetative pole and somites are not yet clear, so that the curved shape of the body in almost all embryonic yolk is transparent . Embryonic development in the embryonic phase to cleave out of the shell into a new individual mandarin fish incubation takes 13-14 hours. Embryonic development lasted for eleven hours after fertilization, the formation of the embryo organogenesis mandarin fish. Mandarin fish embryos hatch with the head out first , followed by the tail. Keyword ; Embryogenesis, Synchiropus splendidus I. PENDAHULUAN Ikan Mandarin (Synchiropus splendidus) merupakan salah satu ikan hias air laut yang banyak digemari oleh para pebisnis akuarium air laut di dalam maupun di luar negeri. Dalam upaya pelestariannya dapat dikembangkan melalui kegiatan budidaya dengan melakukan tahapan awal yaitu pengumpulan induk dari alam atau domestikasi induk yang kemudian dilakukan kegiatan pembenihan. Ikan mandarin ini tergolong spesies ikan dengan penyebaran terbatas, serta populasinya di alam tergolong kecil. Dengan demikian, bila tekanan pemanfaatannya meningkat, maka akan terjadi ancaman kelestarian keberadaan dan kepunahan terhadap spesies ikan mandarin ini. Pemijahan merupakan proses pengeluaran sel telur oleh induk betina dan sperma oleh induk jantan, yang kemudian diikuti dengan pembuahan. Pemijahan sebagai salah satu aspek dari reproduksi, merupakan mata rantai dari siklus hidup dalam menentukan kelangsungan hidup dari spesies. Pemijahan tidak hanya tergantung dari proses gametogenesis tetapi berkaitan dengan perilaku ikan, seperti migrasi ikan sebelum memijah, seleksi di habitatnya, musim kawin, dan keberadaan pasangan. Pembenihan ikan mandarin telah dilakukan, namun induk yang digunakan berasal dari tangkapan alam, ukuran panjang induk jantan 5 cm dan ukuran panjang betina 4 cm dengan kepadatan 30 sampai 50 individu ikan mandarin dan dipelihara pada wadah berkapasitas 2 ton (Gani dkk, 2012). Selain itu masih minimnya informasi tentang perkembangan embriogenesis dari ikan mandarin (Synchiropus splendidus). Dengan demikian untuk mendapatkan informasi tentang proses embryogenesis dari ikan mandarin maka, dilakukan pemijahan induk ikan mandarin (Synchiropus splendidus) untuk mengamati perkembangan embrio dari telur yang dihasilkan. II. METODE PENGAMATAN Pelaksanaan dilakukan dengan cara eksperimen, dimana induk ikan mandarin (Synchriopus splendidus) digunakan sebagai objek pengamatan. Panjang induk ikan ini diukur dengan milimeterblok dan berat induk ditimbang dengan timbangan elektrik dengan tingkat ketelitian 0,0001 gr, kemudian dipilih secara acak jenis kelaminnya melalui cara pengamatan morfologi dimana induk jantan mempunyai sirip dorsal pertama lebih panjang dan sebaliknya untuk induk betina. Sebelum Ikan ditempatkan pada tiga akuarium volume 100 liter, terlebih dahulu akuarium disterilkan dengan kaporit kemudian dibilas dengan air tawar sampai bau kaporit hilang, dan akuarium diisi air laut sebanyak ± 80 liter dari volume akuarium serta memasukan selter. Induk ikan mandarin dimasukan ke dalam akuarium. Pemberian pakan pada induk ikan mandarin adalah pakan hidup (artemia salina, copepod dan cacing merah). Pemberian pakan hidup setiap hari secara adlibitum. Pengamatan pemijahan dilakukan setiap hari, dan bila terjadi pemijahan dilakukan pengumpulan telur untuk diamati dibawah mikroskop eletrik. Telur ikan mandarin dipanen menggunakan serokan mesh zise 400 mikron yang dibantu dengan senter, selanjutnya telur ikan dimasukkan pada gelas ukur volume 100 ml. Untuk pengamatan perkembangan embrio diambil sampel telur yang dibuahi secara acak sederhana pada akuarium setelah terjadi pemijahan, dan untuk mengamati setiap tahap perkembangan embrio difoto untuk melihat berbagai perubahan bentuk masing-masing stadium. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan menunjukan proses awal perkembangan embrio ikan mandarin dimulai saat terjadi pembuahan (fertilisasi) yaitu pada saat sel telur dan sel sperma yang membentuk zigot. Proses pemijahan sampai dimulainya perkembangan embrio ikan mandarin terjadi pada malam hari (19:05 WIBT-19:30 WIBT) dan mulai menetas setelah selama tiga belas jam lewat sepuluh menit sampai empat belas jam setelah pemijahan. Hasil pengamatan dalam pengamatan menunjukan telur ikan mandarin yang baru dipanen berdiameter rata-rata 0.74 mm, berbentuk bulat, berwarna bening dan terapung pada kolom air, serta hanya terlihat satu sel dan lapisan khorionnya saja, sedangkan untuk butiran minyak, kuning telur dan ruang perivitelin tidak terlihat. Penampakan satu sel ini bertahan selama tujuh belas menit (Gambar 4. 7.). Waktu akumulasi perkembangan embrio ikan mandarin mencakup tahapan pembelahan sel (cleavage), morula, blastula dan gastrula (Tabel 4. 4). Tabel 1. Waktu akumulsi perkembangan embrio ikan mandarin (Synchiropus splendiduds). No Stadia 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 zigot 1 sel 2 sel 4 sel 8 sel 16 sel 32 sel Morula Blastula Gastrula Perisai embrio terbentuk Pembentukan organ Embrio mulai gerak Embrio gerak memutar Ekor embrio menekan Embrio keluar dari cangkang 16 Waktu (jam) 19:12 19:29 19:43 19:52 20:04 20:15 20:30 20:42 20:55 21:47 1:49 4:01 6:12 7:15 7:52 Akumulasi waktu (Menit) 0 17 31 40 52 1 jam 3 menit 1 jam 18 menit 1 jam 30 menit 1 jam 43 menit 2 jam 35 menit 6 jam 39 menit 8 jam 49 menit 11 jam 12 jam 3 menit 12 jam 40 menit Keterangan Induk memijah Proses pembelahan Pembelahan tahap I Pembelahan tahap II Pembelahan tahap III Pembelahan tahap IV Pembelahan tahap V Tahap VI Tahap VII Tahap VIII Tahap IX Tahap X Tahap XI Tahap XII Tahap XIII 8:22 13 jam 10 menit Tahap XIV Gambar 1. Telur ikan mandarin yang baru dipanen, dengan diameter telur 0.74 mm 3.1. Pembelahan sel (Cleavage) Pembelahan sel (Cleavage) berlangsung setelah terjadi pembuahan, dimana pada saat kedua sel gamet bersatu dan membentuk zigot. Pembelahan I pada sel telur ikan mandarin terjadi pada jam 19:43 WIBT atau setelah pemijahan dengan interval waktu 31 menit sudah menghasilkan zigot yang membelah menjadi dua sel atau stadium blastomer turunan pertama dengan bentuk dan ukuran sama besar, tetapi ukurannya lebih kecil dari satu sel sebelumnya (Gambar 2). Terjadinya pembelahan dua sel diawali dengan terbentuknya garis lurus pada pusat blastomer yang kemudian mengecil dan kemudian membelah menjadi dua sel yang ukuran selnya sama besar. Ruang perivetilin Terbentuk garis lurus pada pusat blastomer Lapisan korion 2 blastomer Yolk Gambar 2. Pembelahan I, terbentuk dua buah blastomer Pada pembelahan I ini terlihat dengan jelas sudah terbentuknya ruang perivetilin, kantung telur dan dua buah sel blastomer. Pada saat pembelahan I terjadi, lapisan korion mengeras yang berfungsi untuk melindungi proses pembelahan sel selanjutnya agar tidak rusak. Pembelahan tahap I pada telur ikan mandarin sama yang terjadi pada telur ikan buta (Astyanax fasciatus) dimana terbentuk dua buah blastomer dengan ukuran yang sama besar, tetapi waktu yang ditempuh pada pembelahan tahap I telur ikan buta lebih lama yaitu satu jam dua puluh menit setelah pembuahan (Sumarianto, 2006), selain itu pada telur ikan blue devil pembelahan I terbentuk dua buah blastomer yang sama besar pada kutub anima, dengan waktu yang tempuh satu jam dua puluh dua menit (Suharno, 2011). Pembelahan II terjadi pada jam 19:52 WIBT dengan interval waktu 9 menit dengan pembelahan I atau 40 menit setelah pemijahan. Pembelahan II diawali dengan dua buah blastomer yang membelah tegak lurus dan menghasilkan terbentuknya empat sel atau blastomer turunan kedua dengan bentuk dan ukuran yang sama besar, tetapi ukurannya lebih kecil dari blastomer turunan pertama (Gambar 3). Hasil pengamatan menunjukan adanya pembentukan empat sel dari dua sel dan membutuhkan waktu pembelahan lebih cepat bila dibandingkan dari satu sel menjadi dua sel. Lapisan korion 4 blastomer Yolk Ruang perivetilin Garis lurus terbentuk Gambar 3. Pembelahan II, 4 blastomer Pembelahan III terjadi pada jam 20:04 WIBT dengan interval waktu 52 menit setelah pemijahan atau 21 menit setalah proses pembelahan II (Gambar 4). Pembelahan III menghasilkan delapan blastomer turunan ketiga yang berukuran sama besar, namun ukurannya lebih kecil dari blastomer turunan kedua. Pembelahan menjadi delapan sel adalah akibat pembelahan empat sel atau blastomer menjadi delapan blastomer yang tersusun dalam dua baris yang sejajar, dimana setiap baris terdiri dari empat blstomer yang berukuran sama besar. 8 blastomer Lapisan korion Yolk Ruang perivetilin Gambar 4. Pembelahan III, 8 blastomer Perkembangan pembelahan sel IV menjadi 16 blastomer yang merupakan turunan keempat dan pembelahan sel V menjadi 32 blastomer yang merupakan turunan kelima. Pada pembelahan IV memerlukan waktu 1 jam 3 menit dari waktu pemijahan atau 32 menit dari pembelahan III, sedangkan untuk pembelahan V memerlukan waktu 1 jam 18 menit setelah pembuahan atau 15 menit dengan pembelahan IV. (Gambar 5A dan 5B). 32 buah blastomer 16 buah blastomer Gambar. 5A Gambar. 5B Gambar 5. Pembelahan ke IV dan ke V sel ikan mandarin Pada pembelahan V, blastomer yang terbentuk sama besar dan ukurannya lebih kecil dari pembelahan IV, blastomer-blastomer yang terbentuk susunannya tidak beraturan lagi dan membentuk seperti bola kecil. Selain itu, ruang perivetilin sudah tidak terlihat lagi. Fase pembelahan ini telah memasuki stadia morula. Pembelahan sel (Cleavage) pada telur ikan mandarin dari tahap I tahap V menunjukan bahwa waktu pembelahan terjadi sangat cepat yaitu 1 jam 18 menit, hal ini bila dibandingkan dengan pembelahan sel telur ikan hias redfin shark (Labeo erythropterus C.V) dengan waktu pembelahan selama 3 jam 12 menit (Sedjati. 2002) dan ikan blue devil (Crysiptera eyanea) dengan waktu pembelahan 2 jam 28 menit (Suharno. 2011). Proses sel yang cepat ini diduga karena telur ikan mandarin yang sifatnya mengapung, sedangkan untuk telur ikan redfin shark yang sifatnya demersal dan tidak menempel, sementara ikan blue devil sifatnya demersal dan menempel serta perbedaan spesies yang digunakan. Pembelahan pertama telur ikan mandarin membutuhkan waktu 31 menit setelah pemijahan dengan suhu inkubasi 27°C. Hal ini merupakan proses pembelahan yang cukup cepat, bila dibandingkan dengan telur ikan redfish shark pada pembelahan pertama yang membutuhkan waktu satu jam sepuluh menit (70 menit) dengan suhu media 26°C - 28°C (Sedjati, 2002), telur ikan buta (Astyanax fasciatus) dengan waktu satu jam duapuluh menit (80 menit) dengan suhu media 24°C-26°C (Sumarianto, 2006), dan telur ikan blue devil satu jam dua puluh dua menit (82 menit) dengan suhu inkubasi 28°C (Suharno, 2011). Menurut Nelsen (1953) dalam Sedjati (2002) bahwa proses pembelahan sel mulai terjadi setengah jam (30 menit) sampai satu setengah jam (90 menit) setelah pembuahan. Djuwita dkk (2000), menyatakan bahwa kecepatan pembelahan sel telur tergantung pada jumlah dan distribusi kuning telur yang terdapat di dalam zigot. Faktor lainnya adalah perbedaan suhu dan terutama perbedaan spesiesnya. Stadia pembelahan sel (Cleavage) pada telur ikan mandarin menempuh waktu 1 jam 30 menit (90 menit) setelah pembuahan dan berada dalam waktu pembelahan sel telur yang dikemukakan oleh Nelsen (1953) dalam Sedjati (2002), yang ditandai adanya sejumlah sel-sel blastomer yang terbentuk berukuran sama tetapi yang ukuran sel blastomer lebih kecil dan memadat untuk membentuk blastodisk. 3.2. Stadia Morula Stadia morula merupakan pembelahan akhir dari cleavage. Hasil pengamatan dalam pengamatan menunjukan stadia morula pada telur ikan mandarin mulai terbentuk pada waktu satu jam tiga pulu menit (90 menit) setelah pembuahan, dimana blastomer-blastomer yang terbentuk berlangsung dengan cepat, dan berukuran sangat kecil, serta sulit untuk menghitung jumlah selnya (Gambar 6). Ukuran blastomer kecil dan sulit dihitung Lapisan khorion Gambar 6. Stadia morula telur ikan mandarin Awal terbentuknya stadia morula adalah terbentuknya 32 sel yang merupakan turunan blastomer ke lima. Stadia morula adalah stadia dimana blastomer-blastomer yang terbentuk akan memadat sehingga menjadi blastodisk pada kutub anima yang membentuk dua lapisan sel (Gambar 7). Balinsky (1970) dalam Nugraha (2004), menyatakan bahwa morula merupakan salah satu stadia perkembangan embrio pada saat pembelahan mencapai 32 sel. Pada stadia morula, pembelahan zigot berlangsung cepat sehingga sel anak tidak sempat tumbuh dan mengakibatkan sel anak makin lama makin kecil, sesuai dengan tingkat pembelahan (Larger, 1956 dalam Sedjati, 2002). Sel-sel menjadi padat membentuk blastodisk pada kutub anima Yolk Ruang perivetilin Gambar 7. Pembentukan blastodisk pada kutub anima 3.3. Stadia Blastula Stadia blastula terbentuk setelah stadia morula berakhir, dimana stadia blastula pada telur ikan mandarin terbentuk pada satu jam empat puluh tiga menit (103 menit) setelah pembuahan (Gambar 8). Pada stadia blastula, blastomer membelah beberapa kali membentuk blastomer-blastomer dengan ukuran yang makin kecil, sehingga tempat pada stadia morula blastomer semula padat akan terbentuk ruangan kosong yang disebut blastosul yang ditutupi oleh blastoderm dan pada sisi luar terdapat epiblast. Antara blastosul dan blastoderm dipisahkan oleh hypoblast primer. Blastosoel Lapisan korion Yolk Hypoblast primer Epiblast Blastoderm Gambar 8. Stadia blastula pada telur ikan mandarin Sumarianto (2006), menyatakan bahwa blastulasi merupakan proses pembelahan sel yang menghasilkan blastula, yaitu campuran sel-sel blastoderm yang membentuk rongga penuh cairan sebagai blastosul. Effendi (1985) dalam Sedjati (2002), menyatakan bahwa pada stadia blastula, sel-sel terus membelah dengan aktif sehingga ukuran sel-sel semakin kecil. Stadia blastula memiliki dua macam sel, yaitu sel formatif yang masuk ke dalam komposisi tubuh embrionik, dan sel nonformatif berfungsi sebagai tropoblast dan ada hubungannya dengan nutrisi embrio. Sel blastoderm akan berkembang menjadi bagian depan embrio, dan lapisannya yang lebih tebal dinamakan cincin kecambah. Pada akhir stadia blastula, sel-sel blastoderm akan tediri dari neural, epidermal, notokhordal, mesodermal dan endodermal yang merupakan bakal pembentukan organ-organ embrio (Murtidjo, 2002). 3.4. Stadia Gastrula Proses perkembangan setelah stadia blastula adalah stadia gastrula yang merupakan saat blastula terus mengalami pembelahan dan pertambahan jumlah sel. Proses awal terbentuk stadia gastrula adalah dua jam tiga puluh lima menit (155 menit) setelah pembuahan, dimana kutub anima terbentuknya blastodisk akan berusaha membungkus kutub vegetatif dengan bergerak dan melakukan invaginasi, sebagai proses gastrulasi. Proses pada stadia gastrulasi ini berlangsung sampai terjadi pembentukan lapisan ektoderm, mesoderm dan endoderm. (Gambar 9). Blastoderm mulai menutup kuning telur ectoderm mesoderm endoderm Gambar 9. Stadia gastrulasi telur ikan mandarin Hasil pengamatan dalam pengamatan menunjukan proses gastrula berjalan terus, dan setelah enam jam tiga puluh sembilan menit (399 menit) setelah pembuahan terjadi pembentukan perisai embrio. Dalam hal ini, terjadi pergerakan sel dari lapisan blastomer di kutub anima, dimana sel-sel tersebut bergerak kesamping kiri dan kanan serta kedepan dengan menutupi sebagian kuning telur dan menuju kutub vegetatif (Gambar 10). Perisai embrio dari ikan redfin shark terbentuk setelah sembilan jam dua puluh menit (Sedjati. 2002) dan ikan buta (Astyanax fasciatus) sepuluh jam tiga puluh tujuh menit (Sumarianto. 2006). Dengan demikian, pembentukan perisai embrio pada ikan mandarin memerlukan waktu lebih pendek dibanding ikan Redfin Shark dan ikan buta. Hal ini diduga, karena telur ikan redfin shark dan ikan buta sifatnya berada pada dasar substrat sedangkan telur ikan mandarin terapung serta disebabkan oleh spesies yang berbeda. Effendi (1997), menyatakan bahwa ada dua jenis proses pergerakan sel dalam stadia gastrula yaitu epiboli yang merupakan pergerakan sel-sel yang dianggap menjadi bakal epidermis dan daerah persyarafan, pergerakannya ke depan, ke belakang dan ke samping dari sumbu yang akan menjadi embrio. Selain itu, emboli merupakan pergerakan sel yang arahnya menuju ke bagian dalam, terutama di bagian sumbu bakal embrio. Akhir dari stadia gastrulasi apabila kuning telur sudah tertutup oleh lapisan sel. Blastomer bergerak ke kiri, kanan dan kedepan Gastrosol Periblast Kutub anima, bagian terbentuk kepala Kutub vegetatif, bagian terbentuk ekor Gambar 10. Pembentukan perisai embrio ikan mandarin 3.5. Organogenesis ikan mandarin (Synchiropus splendidus) Setelah pembentukan perisai, maka pada saat delapan jam empat puluh sembilan menit setelah pembuahan, terjadi organogenesis. Organogenesis dengan terbentuknya bagian-bagian seperti notokorda dari embrio yang memanjang disisi kuning telur, bagian kepala terletak di kutub anima, bagian ekor di bagian kutub vegetatif dan somit yang belum jelas, sehingga bentuk tubuh embrio melengkung hampir di seluruh kuning telur dan semua ini masih transparan (Gambar 11). Lapisan korion Ruang Perivetilin Yolk Kepala Notokorda somit Ekor Gambar 11. Pembentukan bagian kepala, ekor, notokorda dan somit Proses organogenesis ikan mandarin terus berjalan, sehingga dari hasil pengamatan pada sebelas jam (660 meni) setelah pembuahan menunjukan adanya pergerakan dari embrio. Pergerakan embrio ini diakibatkan oleh bertambah panjangnya bagian ekor embrio dan mulai terlepas dari kuning telurnya serta terdeteksi jantung sudah mulai aktif. Selain itu, penampakan dari notokorda dan somit makin jelas serta lekukan pada kepala sudah mulai nampak (Gambar 12). Effendi (2002), menyatakan bahwa organ-organ yang terbentuk dari jaringan neural antara lain adalah otak, mata, bagian alat pencernaan makanan dan kelenjarnya serta sebagian kelenjar endokrin. Organogenesis merupakan proses pembentukan organ-organ yang berhubungan dengan notokord axial (Larger, 1977 dalam Sedjati, 2002). Proses organogenesis ini berlangsung lebih lama dibanding dengan stadia-stadia lainya. Proses organogenesis telur ikan mandarin berjalan selama empat jam tujuh menit. Bila dibandingkan dengan organogenesis pada telur ikan redfin shark yang memerlukan waktu tigas belas jam dua puluh lima menit, maka proses organogenesis pada telur ikan mandarin berlangsung lebih cepat. Tiga puluh Sembilan menit kemudian, pergerakan embrio bertambah cepat, yang diikuti dengan bertambah panjangnya ekor pada embrio (Gambar 13). Kepala embrio Notokorda Somit Ruang perivitelin Kantung kuning telur Ekor embrio bertambah panjang Gambar 12. Awal pergerakan embrio ikan mandarin Gambar 13. Pergerakan memutar embrio ikan mandarin Setelah dua belas jam tiga menit setelah pembuahan, pergerakan embrio di dalam cangkang telur mulai berputar dan pada saat ekor embrio terlepas dari kantung kuning telur. Tiga puluh tujuh menit kemudian atau dua belas jam empat puluh menit setelah pembuahan, gerakan ekor semakin aktif dan menekan cangkang telur ke arah kiri dan ke kanan, sehingga bagian kepala embrio juga menekan cangkang secara terus menerus sehingga mengakibatkan lapisan korion terlihat kusam. Sebelum menetas, bentuk embrio di dalam cangkang telur berbentuk oval, dimana bagian kepala dan ekor melengkung sejajar seperti huruf V. Pada saat tiga belas jam sepuluh menit, akhirnya embrio ikan mandarin menetas dengan bagian kepala keluar duluan, kemudian diikuti bagian ekornya (Gambar 14). Proses menetas telur merupakan saat terakhir dari masa inkubasi sebagai hasil dari beberapa proses pembelahan sel-sel telur sehingga embrio keluar dari cangkangnya. Penetasan telur terkait langsung dengan aktifitas embrio selama di dalam cangkang telur dan pembentukan khorionase. Hasil pengamatan menunjukan embrio sering bergerak memutar untuk mengubah posisinya karena diduga kekurangan ruang dalam cangkang telur dan ukuran embrio bertambah panjang. Kelenjar endodermal di daerah pharynk embrio mengeluarkan enzim chorionase yang bersifat mereduksi lapisan korion sehingga menjadi lunak. Selain itu pH dan suhu mempengaruhi dalam proses penetasan. Gambar 14. Cangkang telur ikan mandarin tertekan oleh bagian kepala dan telur menetas Menurut Effendi (1997), nilai pH 7.9 – 9.6 dan suhu 14°C - 20°C merupakan kondisi yang optimum bagi penetasan telur ikan. Perbedaan waktu dalam setiap tahapan penetasan disebabkan oleh kemampuan embrio yang rendah sehingga tidak mampu melepaskan diri dari cangkang telur dan meningkatnya adrenalin selama penetasan, sehingga menyebabkan stress fisik pada embrio saat akan meninggalkan cangkang telur (Yusrina 2001 dalam Nugraha dkk, 2012). Menurut Iqbal dan Harlina (2007), keterlambatan penetasan telur yang terjadi pada telur yang diinkubasi disebabkan oleh suhu di dalam wadah inkubasi terlalu rendah. Telur yang ditetaskan pada suhu tinggi, waktu penetasannya lebih cepat dibanding telur yang ditetaskan di suhu rendah. Telur yang diinkubasi pada suhu tinggi menyebabkan telur lebih cepat menetas (Budiardi dkk, 2005). Hal ini sesuai dengan Satyani (2007), yang mengatakan suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi proses perkembangan embrio, daya tetas telur dan kecepatan penyerapan kuning telur. Suhu yang rendah membuat enzim (chorion) tidak bekerja dengan baik pada kulit telur dan membuat embrio akan lama dalam melarutkan kulit, sehingga embrio akan menetas lebih lama. Sebaliknya suhu tinggi dapat menyebabkan penetasan prematur sehingga larva atau embrio yang menetas akan tidak lama hidup. Hal ini sesuai dengan pernyataan Masrizal dkk. (2001) dalam Nugraha dkk (2012), bahwa kerja kelenjar pensekresi enzim pereduksi lapisan chorion telur sangat peka terhadap kondisi lingkungan terutama suhu. IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Perkembangan embrio pada fase cleave sampai dengan embrio keluar dari cangkang menjadi individu baru ikan mandarin membutuhkan waktu inkubasi 13-14 jam. 2. Selama perkembagan embrio berlangsung selama sebelas jam setelah pembuahan, terjadi pembentukan organogenesis dari embrio ikan mandarin. 3. Embrio ikan mandarin menetas dengan bagian kepala keluar duluan kemudian diikuti dengan bagian ekor. DAFTAR PUSTAKA Budiardi, T., W. Cahyaningrum dan I. Effendi. 2005. Efisiensi pemanfaatan kuning telur embrio dan larva ikan maanvis (Pterophyllum scalare) pada suhu inkubasi yang berbeda. Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Djuwita I., A Boediono, dan K. Mohamad. 2000. Embriologi. Laboratorium Embriologi. Bagian Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Effendi. M.I. 1997. Metode Biologi Perikanan, Yayasan Dewi Sri Bogor. Effendi, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Perikanan IPB. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta. 163 hal. Gani A, Herlina T, Erdy Asmaul Basir dan Agus Darmawan, 2012., Pembenihan Ikan Hias Laut Mandarin Fish (Synchiropus splendidus) Skala Rumah Tangga. Jurnal Teknologi Budidaya Laut. Volume: 2 Tahun 2012, ISSN. 2089-3728 Ghufran M H. Kordi K, 2007., Pembenihan Ikan Kerapu. PT Perca Jakarta. Iqbal, M.D. dan J. Herlinah. 2007. Pengaruh kejutan dingin terhadap masa inkubasi, derajat penetasan dan sintasan prelarva ikan bandeng. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Unversitas Hasanudin. Makasar. Nugraha D, M. N. Supardio dan Subiyanto. 2012. Pengaruh perbedaan suhu terhadap perkembangan embrio, daya tetas telur dan kecepatan peneyerapan kuning telur ikan black ghost (Apteronotus albifrons) pada skala laboratorium. Jurnal Penelitian Manajemen Aquaculture. Volume 1, No 1, Tahun 2012, Hal 1-6 Nugraha. F. 2004, Embriogenesis dan Perkembangan Larva Ikan rainbow (Glossolepis incise). Skripsi Institut Pertanian Bogor. Satyani, D. 2007. Reproduksi dan Pembenihan Ikan Hias Air Tawar. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Jakarta. Sedjati, I.F. 2002. Embriogenesis dan perkembangan larva ikan redfin shark (Labeo erythropterus C.V). Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan Fakuktas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Suharno, 2011. Perbedaan rasio jantan betina terhadap tingkat pembuahan dan penetasan ikan blue devil (Crysiptera cyanea). Tesis. Program Pascasarjana. Program Studi Ilmu Kelautan. Universitas Pattimura. Sumarianto, A. 2006. Embriogenesis ikan buat (Astyanax fasciatus). Skripsi. Program Studi Teknologi Manajemen Akuakultur Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.