ANTARA PENDIDIKAN DAN PRAKTIK ARSITEKTUR1 Oleh: Sandi A. Siregar Dikhotomi pendidikan – praktek? Majalah Progressive Architecture September 1995 mengangkat issue utama “THE SCHOOLS: How They’re Failing the Profession (and What We Can Do About It)”, diawali dengan pernyataan: “The rift between the architecture schools and practitioners has never been greater, and the profession as a whole suffers. Is there a way to bridge the educationpractice gap?”. Banyak arsitek di AS yang menerima para lulusan muda bekerja magang menyatakan tidak puas terhadap kualitas mereka. Jadi pendidikan dituding telah gagal menghasilkan sumber daya manusia yang memadai untuk dunia praktik arsitektur. The National Institute for Architectural Education, yaitu lembaga yang kompeten untuk pendidikan arsitektur di AS, bahkan menarik perkara itu ke masalah kesenjangan antara praktik dan pendidikan: “There is a serious dissatisfaction in architecture over the widening gap between theoretical and practical knowledge and the conflicting objectives of academic preparation and professional practice. Practitioners complain that recently graduated architects are not well prepared to function in today’s office environment. New intern architects are said to lack skills as well as a sensibility to the real world environment of professional practice. Educators complain that architectural offices are so immersed in the pragmatics of practice that they do not grasp the connection between architecture and cultural evolution, connections that could increase architecture’s influence as a creative force in society.” Masalah serupa, disadari atau tidak, juga terdapat di Indonesia. Tanpa terjebak pada isu “siap pakai vs siap latih” atau “link and match”, yang pertama perlu dikaji menyangkut kompetensi lulusan pendidikan arsitektur dan praktisi (arsitek). Kompetensi arsitek dan sarjana arsitektur Pengertian kompetensi menyangkut kapasitas, kecukupan, kepantasan, kemampuan, kapabilitas, dan kualifikasi, sehingga “kompeten” berarti mempunyai daya atau kekuatan, otoritas, pengetahuan serta ketrampilan, dan kapabel. Sedangkan KepMendiknas no. 045/U/2002 menyatakan kompetensi sebagai: “……. seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu.” Yang menyandang predikat “kompeten” dengan demikian adalah pertama-tama para praktisi, yaitu mereka yang langsung melakukan praktek arsitektur secara profesional, dan kemudian disebut “arsitek”. Undang-Undang RI nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi menetapkan persyaratan “ahli yang profesional” untuk perencana, pelaksana dan pengawas dalam bidang jasa konstruksi. Keahlian perencana dan pengawas konstruksi disyaratkan dengan pemilikan sertifikat keahlian (arsitektur), yang dalam hal ini diterbitkan oleh Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) bersama dengan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). Sesuai dengan kesepakatan di dunia internasional (UIA, yaitu organisasi arsitek sedunia), serta mengacu 1 Ditulis untuk majalah “I-Arch”, Oktober 2006. 1 pada konvensi tentang Standar Kompetensi Arsitek Profesional (Depnaker RI, Oktober 1998), IAI telah menetapkan 13 kualifikasi dasar (kompetensi, yang terbagi ke dalam tingkat ability / kemampuan, understanding / pemahaman, knowledge / pengetahuan) yang harus dipenuhi oleh seorang arsitek profesional. Untuk mencapai kualifikasi itu IAI / UIA juga menetapkan pendidikan formal 5 (lima) tahun dan magang 2 (dua) tahun sebelum seseorang dapat menempuh ujian profesi untuk memperoleh sertifikat keahlian tersebut. Program studi serta kurikulum pendidikan arsitektur (5 tahun) diharapkan mengacu pada 37 butir kriteria lulusan pendidikan arsitektur. Mengenai permagangan, IAI sebetulnya telah lama memiliki pedomannya, walau pun belum dilaksanakan dengan semestinya. Sementara itu penataran keprofesian, yang nanti mestinya menjadi bagian dalam program permagangan, telah menjadi ketentuan yang harus ditempuh anggota dalam proses memperoleh status profesional. Beberapa tahun lalu pernah diperkirakan bahwa di Indonesia tidak lebih dari 10% lulusan pendidikan arsitektur bekerja di bidang konsultansi, sisanya terserap di bidang-bidang lain, tidak saja yang berkaitan dengan bangunan. Di AS pun ternyata terdapat banyak opsi karir lain di luar menjadi arsitek praktisi ‘konvensional’ untuk orang-orang dengan latar belakang arsitektur. Mungkin hal inilah yang membuat banyak penyelenggara pendidikan arsitektur merasa harus membekali para mahasiswanya untuk siap bekerja di pelbagai bidang itu, yang tentu saja tidak dapat diakomodasi dengan kurikulum tunggal. Prosentase lulusan pendidikan arsitektur yang menjadi arsitek berbeda-beda di berbagai negara, tetapi pada umumnya jauh lebih tinggi daripada di Indonesia. Hal itu agaknya tidak tepat ditimpakan pada kesalahan pendidikan arsitektur, tetapi lebih pada kondisi yang kurang mendukung bagi praktek arsitektur (arsitek). Perlu diketahui Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara yang belum mempunyai ‘undang-undang arsitek’. Maka yang perlu diamati sebetulnya adalah mengapa banyak orang berlatar belakang arsitektur mampu sukses di berbagai bidang karir ‘non arsitek’ itu. Salah satu pokok yang penting adalah kemampuan cara berpikir integral-komprehensif yang dihasilkan justru oleh sistim dan metoda pendidikan arsitektur yang bertumpu pada studio desain. Di studio desain itulah mahasiswa dididik mendesain dengan berpikir analitis dan mengambil keputusan sintesis yang mempertimbangkan berbagai faktor secara luas. Pendidikan Akademik, Pendidikan Profesional dan Pendidikan Profesi Sejak sekolah tinggi teknik di Bandung (Technische Hoogeschool Bandoeng, sekarang Institut Teknologi Bandung) didirikan pada tahun 1918, pendidikan ‘arsitektur’ lebih merupakan salah satu bidang keteknikan yang disebut bouwkunde (ilmu bangunan). Ketika THS Bandoeng menjadi Fakultas Teknik Universitas Indonesia, bouwkunde pun menjadi Bagian Bangunan / Bangunan Umum. Istilah “arsitektur” digunakan untuk pendidikan formal sejak tahun 1956, yaitu Bagian Arsitektur dan Seni Rupa, Seksi Arsitektur. Pada tahun 1958 Fakultas Teknik UI menjadi ITB (Institut Teknologi Bandung), yang memiliki satu-satunya pendidikan arsitektur di Indonesia. Sejak tahun 1960 banyak perguruan tinggi negeri dan swasta membuka pendidikan arsitektur atau teknik arsitektur, dengan kurikulum yang pada umumnya berorientasi ke ITB, yaitu program 5 (lima) tahun, kewajiban kerja praktek dan diakhiri dengan Proyek Akhir, Jumlah mata kuliah setiap semester berkisar antara 10 – 14 mata kuliah (belum sks, umumnya dituliskan jumlah jam kuliah saja). 2 Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0124/U/1979 tentang Jenjang Program Pendidikan Tinggi dan Program Akta Mengajar menandai diterapkannya sistim Satuan Kredit Semester (SKS) dalam pendidikan tinggi di Indonesia (ITB telah menerapkan sistim ini beberapa tahun sebelumnya). Pemerintah (Dep. P&K) juga mengeluarkan petunjuk / pedoman yang mengatur cukup rinci penyelenggaraan pendidikan dengan sistim kredit tersebut. Arsitektur digolongkan ke dalam bidang teknologi, jadi terikat dengan ketentuan program pendidikan Sarjana Teknik (S-1). Dalam menyesuaikan kurikulumnya pada umumnya perguruan tinggi arsitektur memanfaatkan maksimum 160 SKS / 10 semester. Dengan terbitnya UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi (serta berbagai KepMen), perguruan tinggi melakukan perubahan kurikulum yang cukup besar, yang pada umumnya menetapkan kurikulum minimum yang dibolehkan: 144 SKS / 8 semester. KepMendikbud RI No. 0218/U/1995 tentang Kurikulum Yang Berlaku Secara Nasional Program Sarjana Ilmu Teknik menetapkan 23 (dua puluh tiga) Program Studi dalam Ilmu Teknik, termasuk Arsitektur. Juga ditetapkan kurikulum yang berlaku secara nasional untuk masing-masing program studi, dan untuk arsitektur ditetapkan 100 SKS. Tetapi karena silabus ‘baku’ tidak dibuat, sedangkan konsorsium bidang ilmu dalam arsitektur pun belum terbentuk dengan baik, maka kurikulum nasional (kurnas) program studi arsitektur itu tidak dapat dikatakan telah menjadi standar mutu pendidikan. Pengaluran pendidikan ke dalam pendidikan akademik di satu pihak dan pendidikan profesional di pihak lain dinyatakan dalam Undang-Undang RI no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah RI no. 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no. 036/U/1993 tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no. 56/U/1994 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, bahkan menambahkan lagi pendidikan profesi. Peraturan Pemerintah RI no. 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi, Bab VII: Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi, Pasal 21, mengatur tentang gelar dan sebutan: (1) Lulusan pendidikan akademik dari sekolah tinggi, institut, dan universitas dapat diberi hak untuk menggunakan gelar akademik. (2) Lulusan pendidikan profesional dari akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas dapat diberi hak untuk menggunakan sebutan profesional. (3) Gelar akademik adalah Sarjana, Magister, dan Doktor. Bagaimana pun, pengaluran akademik dan profesional seperti itu, setidaknya untuk bidang keilmuan arsitektur, perlu diperhatikan dan dikaji selanjutnya oleh para pendidik dan praktisi bersama-sama. Pendidikan Profesi Arsitek KepMendikbud RI No. 036/U/1993 tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi, menambahkan lagi: sebutan profesi, yaitu sebutan yang diberikan kepada seseorang yang memiliki gelar akademik yang telah menyelesaikan program keahlian atau profesi bidang tertentu. Ketentuan inilah yang mendorong IAI sejak pertengahan ’90-an menyusun program pendidikan profesi. Walau KepMendikbud tersebut akhirnya dihapus, IAI tetap menyiapkan konsep pendidikan profesi arsitek untuk melengkapkan pendidikan arsitektur menjadi total 5 (lima) tahun. Sejak tahun 2003 IAI telah menetapkan (dan diputuskan pada Munas 2005 di 3 Batam) bahwa prasyarat arsitek profesional (bersertifikat) mempunyai latar belakang pendidikan 5 (lima) tahun diberlakukan penuh pada tahun 2008. Program pendidikan profesi arsitek (PPAr) ini ditawarkan untuk diselenggarakan oleh perguruan tinggi arsitektur (universitas / institut / sekolah tinggi, negeri maupun swasta) yang telah memiliki pendidikan S-1 Arsitektur atau Teknik Arsitektur dan memperoleh akreditasi nasional (BAN) dengan peringkat minimum B. PPAr dapat diselenggarakan sebagai program studi yang berdiri sendiri atau sebagai bagian dari program studi S-2 / Magister Arsitektur. Pada prinsipnya kurikulum PPAr, dengan beban studi 20-24 sks / 2 semester, dimaksudkan untuk melengkapkan kurikulum program studi arsitektur (S-1) yang telah diselenggarakannya, agar lulusannya dapat mencapai standar pendidikan minimum sebagai dasar untuk menempuh ujian menjadi arsitek profesional. Kurikulum PPAr adalah sebagai berikut: 1. Studio Proyek / Perancangan Arsitektur sebagai mata kuliah pokok yang diadakan tiap semester, dengan bobot masing-masing 6 – 8 sks, sehingga total bobot perkuliahan merancang arsitektur pendidikan S-1 dan PPAr minimum 48 sks. s 2. Kuliah-kuliah lain sebagai pelengkap, dengan bobot 2 – 3 sks (termasuk Etika & Praktek Arsitektur). Untuk mengikuti PPAr calon mahasiswa harus seorang sarjana di bidang arsitektur atau teknik arsitektur lulusan perguruan tinggi penyelenggara dan lainnya. Mahasiswa yang telah menyelesaikan pendidikannya akan memperoleh Tanda Lulus Kandidat Arsitek yang diterbitkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan bersama dengan IAI. ‘Pluralitas’ Pendidikan Arsitektur di Indonesia? Seminar–lokakarya pendidikan arsitektur tahun 2000 di ITB, yang didukung oleh dunia pendidikan mau pun dunia praktek, dapat dikatakan merupakan tonggak baru dalam perkembangan pendidikan arsitektur di Indonesia. Didukung oleh situasi-kondisi yang lebih bebas, dengan kesepakatan meminimalisir kurikulum inti menjadi hanya 58 SKS (walau pun sampai kini belum tuntas juga diselesaikan), terlihat kecenderungan arah dan fokus yang lebih bervariasi diambil oleh perguruan tinggi. Ada perguruan tinggi yang mungkin memilih tidak hanya menyiapkan mahasiswa untuk menjadi arsitek saja. Di pihak lain perguruan tinggi yang memilih alur perancangan arsitektur sebagai pokok pendidikan arsitektur dapat menetapkan fokus dan warna tertentu. Dengan begitu setiap perguruan tinggi arsitektur dapat mengoptimalkan potensi serta peluang masing-masing untuk menyelenggarakan pendidikan arsitektur yang khas. Untuk itu, bagaimana pun, komunikasi antara dunia pendidikan dan dunia praktek perlu dijamin dapat berlangsung sebaik-baiknya. Ditulis untuk majalah I-Arch Bandung, Oktober 2006 Sandi Siregar 4