TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Representasi sebagai Bentuk Komunikasi dalam Arsitektur Feni Kurniati Sejarah, Teori dan Kritik Arsitektur, Arsitektur, SAPPK (Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan), ITB. Abstrak Komunikasi dapat dilakukan secara nonverbal. Konsep ini memungkinkan dunia arsitektur berbicara tentang komunikasi arsitektur. Representasi menjadi sebuah cara untuk menjalin komunikasi lewat kegiatan arsitektur. Untuk menjalin komunikasi yang baik, harus ada pemahaman yang sama antara si pengirim dan si penerima pesan. Tulisan ini bertujuan untuk melihat secara utuh bagaimana proses komunikasi berlangsung dalam arsitektur, lewat praktek representasi yang seringkali dilakukan dalam kegiatan perancangan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yang disusun berdasarkan beberapa jurnal dan buku yang terkait. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses komunikasi arsitektur sangat ditentukan oleh kecocokan antara pesan yang dibuat oleh arsitek melalui bangunannya, dan pesan yang diterima masyarakat dari bangunan tersebut. Dengan kata lain, jika pesan yang dihadirkan perancang dalam bangunannya dinilai dapat merepresentasikan masyarakat yang bersangkutan, maka komunikasi arsitektur telah berjalan dengan baik. Kata-kunci: komunikasi arsitektur, penerima, pengirim, pesan, representasi Pendahuluan Seorang guru besar Universitas Indonesia pernah mengatakan bahwa merancang dan menulis adalah dua hal yang sama. Dari kalimat tersebut, terdapat adanya pemahaman tentang kesetaraan menulis dan mendesain. Jika menulis merupakan sebuah kegiatan komunikasi, maka merancang juga demikian halnya. Jika menulis dilakukan melalui sebuah media–yaitu media bahasa tulisan–maka mendesain dilakukan dengan cara yang sedikit berbeda, di mana tidak ada bahasa di dalamnya. Dunia arsitektur kemudian memahami bahasa dengan sangat bebas, sebebas konsep komunikasi diterjemahkan. Dikatakan bebas karena yang diposisikan sebagai bahasa dalam komunikasi arsitektural tersebut adalah simbol dan makna tertentu yang dihadirkan melalui karya arsitektur, atau lebih luas lingkungan hidup, sebagai medianya. Dengan demikian, komunikasi dalam arsitektur dapat dipahami sebagai sebuah proses komunikasi yang ber-langsung antara penghuni (manusia) dengan ruang lingkungannya (Saliya, 2003). Proses komunikasi tersebut muncul ketika seseorang atau sekelompok orang memberikan respon terhadap kehadiran sebuah objek (arsitektur). Sedangkan respon tersebut hanya hadir jika seseorang atau sekelompok orang tersebut merasa terepresentasikan atau tidak terepresentasikan melalui objek tersebut (Rahman, 2004). Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai representasi dalam arsitektur. Representasi, dalam KBBI dan Kusuma (2014), merupakan sebuah kata benda yang menunjukkan perbuatan dari sesuatu hal (yang dalam hal ini berupa objek arsitektural) yang mewakili keberadaan suatu hal lainnya (yang dalam hal ini adalah seseorang atau sekelompok masyarakat di mana objek arsitektur tersebut berada). Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa terdapat dua kegiatan penting dalam sebuah praktek representasi, yaitu kegiatan mewakili dan kegiatan (merasa) terwakili. Tulisan ini bertujuan untuk melihat lebih jauh bagaimana proses representasi tersebut berlangsung secara utuh (dua arah) di arsitektur, baik dari si perepresentasi maupun dari si yang Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 | E 187 Representasi sebagai Bentuk Komunikasi dalam Arsitektur terepresentasikan. Sehingga nantinya diharapkan dapat memberikan gambaran yang utuh tentang bagaimana komunikasi berlangsung dalam dunia arsitektur. Metode Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif (Groat & Wang, 2002), yang berusaha mendeskripsikan bagaimana proses representasi berlangsung di dalam arsitektur. Metode Pengumpulan Data Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif (Creswell, 2008). Data dikumpulkan dari beberapa kajian literatur yang dianggap sangat terkait dengan topik penelitian. Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan adalah analisis data teks yang dilakukan melalui eksplorasi informasi untuk mengungkap temuan penelitian terkait proses representasi yang berlangsung dalam komunikasi arsitektural. Representasi sebagai Bentuk Komunikasi dalam Arsitektur Adanya kemampuan indera manusia yang luar biasa yang memungkinkannya untuk bekerja secara bolak-balik, menyeberang dari satu indera ke indera lainnya untuk memberikan informasi yang utuh, memberikan kesempatan bagi manusia untuk dapat berkomunikasi secara nonverbal. Salah satu bidang yang diuntungkan dari kemampuan ini adalah arsitektur. Manusia dapat berkomunikasi dengan lingkungan binaan di sekitar mereka. Berkomunikasi, menurut Saliya (2003) merupakan sebuah proses yang berlangsung secara bolak-balik (iterasi), antara pembentukan lambang-lambang sebagai sumber (source) dan penafsirannya pada pihak penerima (receiver). Lebih lanjut, proses ini digambarkan sebagai proses antara “pembentukan-sandi” (coding) dan “pembukaan-sandi” (decoding) dengan berbagai muatan pesan dan berita, melalui E 188 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 suatu “saluran” (channel) yang berlangsung dalam suatu konteks tertentu. Dengan demikian, maka benar bahwa berkomunikasi (dalam arsitektur) berlangsung antara arsitek atau perancang (sebagai pembentuk sandi) dan pengguna atau masyarakat sebagai pembuka atau penerima sandi. Sedangkan bangunan atau lingkungan berperan sebagai salurannya. Dengan merujuk kepada pengertian representasi yang telah dijelaskan, maka diketahui bahwa terjadi dalam dua tahap. Pertama adalah proses mewakili, yaitu proses arsitek yang mengambil simbol-simbol tertentu dari konteks sebagai sumber pesan yang ingin disampaikan lewat desainnya yang diharapkan mampu merepresentasikan masyarakat setempat. Sedangkan yang kedua adalah proses terwakili, yang merupakan proses penerimaan masyarakat terhadap karya representasi dari arsitek tersebut. Sejauh mana masyarakat merasa terepresentasikan dari hasil representasi yang telah dilakukan oleh si arsitek. Proses “Me-representasi-kan” Proses ini juga dikenal sebagai proses “pembentukan sandi” atau coding (Saliya, 2003). Rahman (2004) menyatakan bahwa arsitektur merupakan simbolisasi dari keadaan sosiokultural yang dianggap berharga pada masa tertentu dan dimunculkan kembali pada masa sekarang (Rahman, 2004 dan Antoniades, 1992). Keadaan sosio kultural ini kemudian diterima dan dipahami oleh arsitek. Proses penerimaan dan pemahaman kondisi tersebut sangat dipengaruhi oleh latar belakang dan keadaan psikologis yang bersangkutan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa simbol-simbol yang digunakan oleh seorang perancang sangat bergantung pada latar belakang, kemampuan dan pengetahuan yang dimilikinya. Pemilihan simbol tertentu, yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk (desain) bangunan tersebut, berlangsung dalam ruang kreatifitas arsitek (Antoniade, 1992). Oleh karena itu, dalam konteks representasi, arsitek berperan Feni Kurniati sebagai interpreter yang menerjemahkan makna dan bentuk-bentuk tertentu dari konteks sosial budaya masyarakat ke dalam bentuk fisik (Durmus, 2012). Makna dan simbol-simbol tertentu yang dipakai oleh arsitek dalam mendesain tersebut adalah makna dan simbol yang dibaca oleh si arsitek sebagai sesuatu yang mewakili masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, unsur-unsur tersebut dianggap mampu merepresentasikan masyarakat setempat. Hal ini kemudian melahirkan pertanyaan lanjutan, “Apakah unsur-unsur tersebut dinilai sama oleh masyarakatnya?” “Apakah mereka merasa terwakili oleh unsurunsur yang digunakan si perancang tersebut?”. Untuk itulah, dalam sebuah komunikasi arsitektural, di samping melihat bagaimana proses perumusan “pesan”, juga dibutuhkan bagaimana proses penerimaan “pesan” tersebut. Proses “Ter-representasi-kan” Penerimaan pesan ditandai dengan munculnya ekspresi atau respon tertentu terhadap pesan tersebut (Rahman, 2004). Dalam konteks ini, respon terhadap bangunan adalah bentuk penerimaan (atau penolakan) terhadap upaya representasi yang telah dilakukan oleh perancang. Membaca respon berarti membaca persepsi si penerima pesan. Bagaimana pesan yang dihadirkan melalui bangunan dibuka dan dibaca (decoding) oleh masyarakat (Saliya, 2003). Wahyudi (2010) menyebutkan bahwa pembacaan representasi dari sebuah bangunan dapat dilakukan dengan mengkaji pendapat dan persepsi masyarakat yang diwakili oleh bangunan tersebut (Ibid; Franzia, et. al, 2015). Lebih lanjut, perlu melihat memori dan pengalaman apa yang diterima masyarakat ketika melihat, menggunakan dan memaknai bangunan tersebut sebagai bagian dari mereka. Pengalaman dan memori tersebut dapat hadir dari unsur fisik maupun non fisik yang dirasakan dari bangunan (Antoniades, 1992). Jika bangunan tersebut mampu memuculkan memori dan pengalaman masyarakat tentang identitas ataupun karakter mereka, maka hal tersebut diterjemahkan sebagai bentuk penerimaan. Sebaliknya, jika bangunan tersebut tidak dianggap mewakili pengalaman ataupun memori mereka, maka respon tersebut menjadi sebuah bentuk penolakan terhadap upaya representasi yang dilakukan oleh arsitek. Memori dan pengalaman ini, merupakan sebuah elemen yang sangat melekat dalam diri seseorang. Oleh karena itu, memori dan pengalaman yang muncul bergantung pada perilaku psikomotorik dan pengalaman psikologis seseorang. Dengan demikian, hal ini sangat ditentukan oleh kualitas individu baik yang terkait dengan tingkat keilmuan, kekuasaan, ideologi maupun perannya di tengah-tengah masyarakat (Rahman, 2004). Dengan demikian, penilaian receiver terhadap pesan yang disajikan dalam bangunan akan sangat beragam. Oleh karena itu, untuk memperoleh gambaran yang utuh terkait representasi melalui bangunan tersebut, dibutuhkan studi persepsi dari berbagai lapisan masyarakat yang menerima efek dari keberadaan bangunan tersebut. Hal ini akan memperlihatkan bagaimana hubungan antara proses mere-presentasi dan proses terepresen-tasi terjadi dalam sebuah siklus komunikasi arsi-tektur. Hubungan Pemberi dan Penerima Pesan Keberlangsungan sebuah komunikasi sangat ditentukan oleh adanya kesamaan pengertian terhadap bahasa yang digunakan (Saliya, 2003). Oleh karena itu, kesamaan bahasa yang dipakai oleh arsitek dan masyarakat sangat menentukan keberhasilan proses komunikasi Kesamaan antara kode yang disusun dalam proses coding dan kode yang diterima dalam proses decoding menjadi catatan penting dalam melihat keberhasilan proses representasi yang dilakukan dalam dunia arsitektur. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika pesan yang ditangkap masyarakat sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan oleh perancang, maka komunikasi telah berlangsung dengan baik. Proses representasi pada bangunan tersebut dapat dikatakan berhasil. Dengan demikian telah terbentuk kesepakatan dan apresiasi yang sama Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 | E 189 Representasi sebagai Bentuk Komunikasi dalam Arsitektur antara apa yang dilihat oleh arsitek dan apa yang diharapkan oleh masyarakat. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa komunikasi dalam arsitektur berlangsung dalam label representasi. Representasi ini mengandung dua poin besar, yaitu kegiatan “mewakili” dan kegiatan “terwakili”. Proses ini dihubungkan oleh sebuah media, yaitu bangunan. Dalam praktek arsitektur, arsitek merupakan si pembuat pesan yang berusaha mewakili seseorang atau sekelompok orang. Sedangkan masyarakat merupakan objek yang diwakili dari karya arsitektur tersebut. Dengan demikian, keberhasilan proses representasi (komunikasi) dalam arsitektur ditentukan oleh kesesuaian pesan yang dikirim oleh arsitek dan pesan yang diterima oleh masyarakat dari bangunan tersebut. Untuk mengetahui hal ini, maka dibutuhkan studi tentang proses kreatif arsitek dalam merumuskan kode (pesan) dalam bangunan yang dirancangnya dan juga studi tentang persepsi masyarakat terhadap bangunan. Kesesuaian di antara keduanya akan menjadi sebuah bentuk alur komunikasi yang baik di dalam dunia arsitektur. Daftar Pustaka Antoniades, Antony C. (1992). Poetic of Architecture: Theory of Design. New York: Van Nostr and Reinhold. Creswell, J.W. (2008). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches . California: Sage Publications, Inc. Durmus, S. (2012). Change and transformation in Architecture: On the Concept of Zeitgeist. GBER. Vol.8. No.1. p 23-36. September 2012. Franzia, E., et. al. (2015). Rumah Gadang as a Symbolic Representation of Minangkabau Ethnic Identity. International Journal of Social Science and Humanity. Vol. 5, No. 1, January 2015. Groat, L. & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods. New York: John Wiley & Sons. Inc. Kusuma, H.E., http://iplbi.or.id/2014/02/memilihidentitas-simbol-dan-representasi/. Diakses pada tanggal 20 September 2015, pukul 15.00 WIB. E 190 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 Rahman, N.,V. (2014). Arsitek dan Pilihan Bentuk Tanpa Batas. Jurnal Teknik Simetrika, Vol. 3 No.3Desember, hal. 211-215 Saliya, Y. (2003). Arsitektur Sebagai Bahasa: Percobaan ke Arah Epistomologi. Perjalanan Malam Hari. Bandung: Ikatan Arsitektur Indonesia & Lembaga Sejarah Arsitektur Indenesia. Saliya, Y. (2003). Mencoba Menghayati Arsitektur. Perjalanan Malam Hari. Bandung: Ikatan Arsitektur Indonesia & Lembaga Sejarah Arsitektur Indenesia. Wahyudi, A. (2010). Persfektif Budaya sebagai Bagian Integral dari Perencanaan dan Transformasi Ruang Kota. Kumpulan Makalah Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan: Humanisme, Arsitektur dan Perencanaan. Serap#1. Yogyakarta, 16 Januari 2010.