Dampak Pemanasan Global Terhadap Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (The Impact of Global Warming to Indonesian Archipelagic Baselines) Marcel Hendrapati, SH, MH Pendahuluan Pemanasan global (global warming) merupakan sebuah fenomena yang telah terjadi sejak beberapa dasawarsa terakhir akibat dari apa yang dinamakan efek gas-gas rumah kaca (glass house effects) yang dihasilkan melalui kegiatan pembangunan ekonomi khususnya sektor industrialisasi dan transportasi. Emisi gas-gas rumah kaca yang sebagian besar terdiri dari emisi gas CO2 ternyata telah menimbulkan kerusakan pada lapisan ozon (the ozone layer), padahal lapisan ini berfungsi untuk melindungi permukaan bumi dari bahaya sinar ultraviolet yang membahayakan kesehatan.. Akumulasi zat-zat pencemar yang melebihi ambang batas seakan-akan membuat penduduk bumi berada dalam rumah kaca karena bumi relatif tidak mampu menetralisir emisi gas-gas rumah kaca. Gas rumah kaca ini hanya dapat bergerak naik turun dalam ruang atmosfer yang menyebabkan suhu permukaan bumi mengalami peningkatan cukup signifikan bagi timbulnya pemanasan global. Pemanasan global yang sudah dan sedang berlangsung saat ini bukan hanya membawa anomali iklim, melainkan juga dan terutama menyebabkan adanya fenomena mencairnya gunung-gunung ataupun beting-beting es di kutub Utara dan kutub Selatan. Pada bulan September tahun 2009 bongkahanbongkahan es (iceberg) dalam jumlah besar yang berasal dari Antartika terlihat sedang mengapung di perairan di sekitar negeri Selandia Baru yang pada waktu itu hanya berjarak 25 kilometer dari garis pantai negeri ini. Selanjutnya pada bulan Oktober 2009 ditemukan adanya bongkahan es raksasa di sekitar Pulau Macquarie, Australia, ada bongkahan yang lebarnya 2 kilometer dan ada yang mirip stadion olimpiade Beijing yang terkenal dengan sebutan stadion sarang burung (Harian Kompas, 17 Oktober, hlm.11). Pada bulan November 2009 melalui citra satelit ditunjukkan bongkahan es dalam kelompok besar bergerak dari Antartika melewati kawasan pulau Auckland dan menuju pulau utama South Island sekitar 450 km arah Timur laut negeri Selandia Baru. Kejadian seperti ini diumumkan agar semua kapal yang berlayar di kawasan tersebut berhati-hati dan waspada sebab keberadaannya dapat membahayakan keselamatan pelayaran. Letusan gunung berapi di kawasan gletser Eyjafjallajokull, Eslandia berlangsung sejak tanggal 14 April 2010. Semburan abu vulkaniknya yang mencapai ketinggian sekitar 10 km telah mengotori udara hampir di semua negara Eropa sehingga kegiatan penerbangan dari dan menuju Eropa dihentikan selama jangka waktu yang belum dapat ditentukan sebab abu gunung berapi sangat membahayakan mesin pesawat. Di samping semburan abu vulkanik, letusan gunung di Eslandia juga melelehkan lapisan es di kawasan Eyjafjallajokull sehingga permukaan air sungai naik setinggi tiga meter yang berdampak pada permukaan air laut. Selanjutnya pada bulan Juli 2010 terjadi peristiwa tenggelamnya sebuah pulau dari kepulauan Panama yang bernama Carti Sugdub. Meningkatnya permukaan laut akibat pemanasan global memaksa ribuan penduduk asli Panama (suku Kuma) meninggalkan tanah leluhur mereka di pulau-pulau berdataran rendah di negara kepulauan Karibia itu. Musim yang semakin tidak berpola, badai dan gelombang tinggi menyebabkan sebuah pulau di kepulauan Panama tenggelam (Harian Kompas, 13 Juli 2010; hlm.8). Terjadinya pergerakan bongkahan-bongkahan es dalam jumlah besar yang bergerak dari kawasan Antartika ke arah Selandia Baru, peristiwa meletusnya gunung berapi di Eslandia yang melelehkan lapisan es di atasnya, tenggelamnya pulau Carti Sugdub dari kepulauan Panama adalah beberapa sinyal di antara sekian banyak sinyal mengenai terjadinya pemanasan global. Di samping berdampak pada perubahan iklim, pemanasan global juga telah menyebabkan terjadinya pencairan gunung-gunung atau bongkahanbongkahan es yang selama ribuan tahun bersifat abadi, namun sejak beberapa dasawarsa terakhir keberadaannya di kutub utara dan selatan sudah berada pada tahap yang sangat memprihatinkan sehingga apabila tidak ada kesepakatan internasional untuk mencegah dan menanggulanginya akan mempercepat proses pencairan gunung-gunung es yang pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya peningkatan permukaan air laut (sea level rise). Meningkatnya permukaan air laut sampai sekian meter akibat pemanasan global akan mengancam dan berpotensi menenggelamkan negara-negara pulau maupun negara-negara kepulauan yang terletak di samudera Hindia dan Pasifik. Republik Indonesia sebagai negara kepulauan dan Benua Maritim (lihat Kerangka Kebijakan Pengembangan Pola Ilmiah Pokok Universitas Hasanuddin, 1999, hlm.14) tidak akan luput dari kemungkinan hilang atau tenggelamnya ribuan pulau, termasuk pulau-pulau kecil terluar yang menjadi titik pangkal dalam penarikan garis pangkal kepulauan. Hasil analisis yang dibuat oleh sebuah lembaga yang disebut German Watch, Indonesia menduduki peringkat ketiga paling berisiko terkena dampak pemanasan global. Penetapan peringkat itu dilakukan dengan ukuran peristiwa bencana alam yang berkaitan dengan perubahan iklim akibat pemanasan global. Permasalahan Artikel ini ditulis dengan maksud untuk mengungkapkan berbagai dampak pemanasan global terhadap garis-garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah ditindaklanjuti melalui Undang-Undang RI No.6 Tahun 1996 maupun Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2002 dan berbagai macam peraturan perundangan lainnya. Bagaimana dampaknya terhadap garis pangkal kepulauan yang sedemikian esensial bagi garis batas maritim dan eksistensi RI sebagai negara kepulauan ? Selanjutnya upaya-upaya apa yang harus dilakukan dalam menanggulangi dampak ataupun akibat dari pemanasan global yang dapat memberikan kontribusi dalam memelihara garis-garis pangkal kepulauan. Dengan demikian artikel ini akan membahas salah satu aspek dari hukum laut terkait dengan garis-garis pangkal kepulauan Indonesia yang berpotensi mengalami pergeseran akibat pemanasan global yang menyebabkan kekeringan, banjir, badai dan terjadinya peningkatan permukaan air laut (sea level rise).. Di samping itu obyek pembahasan juga bertujuan untuk mengetahui upaya-upaya yang perlu dilakukan sebagai salah satu cara dalam mengatasi dampak pemanasan global, di mana upaya ini pada akhirnya harus bermuara pada kelangsungan eksistensi RI sebagai negara kepulauan yang azas utamanya adalah garis pangkal kepulauan sebab eksistensi RI sebagai negara kepulauan terutama terletak pada garis pangkal kepulauan. Pemanasan Global dan Pulau-Pulau Terluar Ketentuan pasal 47 Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan negara kepulauan dapat menarik garis-garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines) dan di dalam garis-garis pangkal seperti ini telah tercakup pulau-pulau utama serta memperlihatkan adanya perbandingan (ratio) antara wilayah perairan dan wilayah darat (termasuk atol-atol) adalah satu berbanding satu hingga sembilan berbanding satu. Ketentuan ini sudah diterapkan oleh Indonesia sebagai negara kepulauan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 5 6 Undang-Undang No.6 Tahun 1996 mengenai wilayah perairan Indonesia serta pasal-pasal 2, 3 dan 4 PP No.38 Tahun 2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia yang memang mengakomodasi secara faktual kepentingan Indonesia atas seluruh wilayah perairan, terutama perairan yang berada pada sisi dalam dari garis- garis pangkal lurus kepulauan yang dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis penutup (pada teluk) dan garis lurus (pada sungai dan pelabuhan). PP No.38 Tahun 2002 yang mengimplementasikan dan menjabarkan ketentuan pasal 5 dan 6 dari UU No.6 Tahun 1996 tentang garis pangkal kepulauan Indonesia memuat pula semacam lampiran terkait dengan pulau-pulau terluar RI yang jumlahnya 92, di mana masing-masing pulau terluar telah ditetapkan koordinatnya dalam usaha menentukan posisi pulau-pulau terluar tersebut. Apakah garis pangkal kepulauan yang intinya adalah garis pangkal lurus kepulauan Indonesia hanya dibatasi pada 92 pulau terluar yang dipakai sebagai titik terluar atau titik pangkal sehingga jumlah keseluruhan garis pangkal lurus kepulauan hanya sekitar 90 buah merupakan masalah lain yang tidak perlu dibahas dalam kesempatan ini. Selanjutnya setiap garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh melebihi 100 mil laut, namun 3 persen dari keseluruhan garis pangkal yang ada kepanjangannya bisa melebihi 100 mil, tetapi tidak boleh lebih dari 125 mil laut. Diperkirakan masing-masing garis pangkal lurus kepulauan Indonesia mempunyai kepanjangan ratarata antara 80 hingga 100 mil laut, namun ada beberapa di antaranya yang melebihi 100 mil laut. Pemanasan global yang dapat meningkatkan permukaan air laut dan mempersempit luas wilayah daratan, malahan bakal menenggelamkan banyak pulau-pulau, terutama pulau-pulau kecil terluar, tentu saja dapat berimplikasi pada azas-azas negara kepulauan yang sudah diterapkan oleh RI, seperti tercakupnya semua pulau-pulau utama di dalam garis-garis pangkal lurus kepulauan serta perbandingan (1 banding 1 hingga 1banding 9) terkait luas wilayah daratan dan perairan. Indonesia berada pada urutan ketiga terkena dampak pemanasan global yang dapat menyebabkan bakal tenggelamnya ribuan pulaupulau di Indonesia, termasuk pulau-pulau terluar yang dipakai sebagai titik pangkal dalam menetapkan garis pangkal lurus kepulauan. Dalam keadaan seperti ini garis pangkal lurus kepulauan, di mana garis pangkalnya selama ini masingmasing panjangnya antara 80 sampai 100 mil laut bakal mengalami pergeseran atau perubahan drastis kalau ribuan pulau termasuk pulau-pulau kecil terluarnya hilang atau tenggelam. Apabila tidak terdapat suatu kesepakatan internasional yang sifatnya mengikat dalam mengatasi emisi gas-gas rumah kaca yang dampak dan akibatnya begitu dahsyat, maka eksistensi Indonesia sebagai negara kepulauan bakal menjadi sesuatu yang kontroversial. Akan timbul kesenjangan (gap) antara kondisi Indonesia selama ini dengan kondisinya ke depan yang akan mengalami pergeseran garis-garis pangkal lurus kepulauan, bahkan mungkin sekali kehilangan banyak garis pangkal lurus kepulauan dengan tenggelamnya pulau-pulau terluar akibat pemanasan global seandainya tidak ada komitmen internasional dalam menanggulanginya. Tanpa upaya menguragi emisi gas-gas rumah kaca terutama karbon dioksida, dalam jangka panjang dapat menyebabkan bukan hanya perubahan pola iklim dan siklus hidup, melainkan juga bakal tenggelam dan hilangnya ribuan pulau, termasuk 14 negara pulau (Island State) di samudera Hindia (seperti Maladewa) dan di samudera Pasifik (seperti Seychelles, Tuvalu, Palau, Kiribati etc). Akibat pemanasan global, minimal 18 pulau telah tenggelam dan hilang dari peta dunia, antara lain 7 buah pulau di Papua Niugini. Negara pulau Kiribati sendiri telah kehilangan sedikitnya 3 buah pulau dan 30 pulau lain milik Kiribati saat ini sedang tenggelam sehingga harus ada upaya untuk menanggulangi dampak pencemaran gas-gas rumah kaca seperti naiknya suhu permukaan laut, hancurnya terumbu karang akibat pengasaman laut, mencairnya es di kawasan Arctic dan Antartika, meningginya .permukaan air laut dan tenggelamnya pulau-pulau. Indonesia sendiri diperkirakan bakal kehilangan 2000 buah pulaunya pada tahun 2030 apabila tidak ada upaya dalam mereduksi gas-gas rumah kaca, Tidak bisa terhindarkan kalau sebagian dari 2000 an pulau negeri ini yang bakal tenggelam tentu saja merupakan pulau-pulau terluar yang selama ini dijadikan sebagai titik terluar atau titik pangkal dalam menarik garis pangkal lurus kepulauan sebagai salah satu azas dalam menjamin garis-garis batas maritime dan eksistensi RI sebagai negara kepulauan. Hilangnya sebagian pulau-pulau terluar pasti akan menggoyahkan garis-garis pangkal lurus kepulauan dan akhirnya dapat bermuara pada goyahnya eksistensi kita sebagai negeri kepulauan. Konfigurasi negeri kepulauan Indonesia yang menyerupai seekor kuda lumping seperti yang dikenal dalam seni budaya masyarakat Jawa berpotensi tinggal menjadi kenangan kalau emisi gas-gas rumah kaca yang sedemikian merusak tidak dapat dibendung oleh masyarakat internasional. Konfigurasi tersebut tidak terlepas dari dan harus dilihat dalam konteks ketentuan pasal 47 ayat 3 KHL 1982 dan pasal 3 ayat 3 UU No.6 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa penarikan garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan tersebut. Konfigurasi yang dihasilkan melalui penarikan garis pangkal lurus kepulauan yang dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal lainnya ternyata tidak menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum wilayah kepulauan Indonesia karena ketika diamati secara saksama konfigurasi ini bersifat artistic yang seakan-akan menampilkan gambar seekor kuda lumping yang sangat terkenal dalam seni budaya Jawa. Pemanasan global yang berpotensi menenggelamkan dan menghilangkan puluhan ribu pulau dari peta dunia, termasuk di dalamnya ratusan pulau-pulau terluar Indonesia akan menghancurkan konfigurasi wilayah kepulauan Indonesia yang sedemikian indah dan secara lebih jauh lagi keberadaannya sebagai negara kepulauan sehingga masyarakat internasional pada umumnya dan Indonesia khususnya harus mengambil langkah-langkah untuk mengatasi efek gas-gas rumah kaca yang mencemari atmosfer sebagai penyebab utama timbulnya pemanasan global dengan segala akibat yang ditimbulkannya sebagaimana telah dikemukakan di atas. Upaya-upaya dalam pemanasan global menanggulangi dampak Kesepakatan Kopenhagen (Copenhagen Accord) yang dihasilkan dalam KTT Perubahan Iklim pada pertengahan Desember 2009 mendapat kecaman dari negara-negara berkembang karena perjanjian ini tidak mempunyai kekuatan mengikat (binding force) dan terutama tidak menetapkan batas waktu tertentu untuk mengurangi emisi gasgas rumah kaca yang sebagian besar adalah emisi karbon dioksida (CO2). Dalam berbagai literature yang dipakai sebagai referensi internasional, perjanjian internasional seperti itu dapat digolongkan ke dalam perjanjian yang dinamakan soft law atau hukum lembut karena isinya hanya berisi rekomendasi, ajakan ataupun himbauan kepada negara-negara untuk mentaati dan melaksanakan ketentuan-ketentuannya.. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan perjanjian seperti ini sangat tergantung pada kesediaan masingmasing negara dalam mengimplementasikannya ke dalam hukum nasionalnya sebab perjanjian tersebut tidak mengikat negara-negara secara internasional (G.J.H.Van Hoof, Rethinking the Sources of International Law, 1983, hlm.189, 270) Kesepakatan Kopenhagen (Copenhagen Accord) mengenai perubahan iklim dapat dikategorikan sebagai “soft law” dan bukan “hard law”karena isinya berupa rekomendasi ataupun himbauan kepada negara-negara industri untuk mendaftarkan target pengurangan emisinya sendiri-sendiri dan negara-negara berkembang untuk mendaftarkan langkah-langkah yang akan ditempuhnya untuk menghentikan polusi pemanasan global dalam jumlah yang spesifik. Presiden AS, Obama menyebut kesepakatan tersebut sebagai terobosan yang belum pernah terjadi sebelumnya (Kompas, 21 Desember 2009, hlm.1). Kita telah berjalan jauh, tetapi kita masih harus berjalan lebih jauh lagi. Jika negara-negara menunggu lebih dulu hingga tercapainya suatu kesepakatan yang menyeluruh dan mengikat, kita tidak akan membuat kemajuan apapun. Dalam keadaan seperti itu, yang ada hanyalah frustrasi dan sinisme, bukannya mengambil satu langkah maju, tetapi kita berakhir dengan mengambil dua langkah mundur. Sekelompok negara-negara berkembang mengecam “the Copenhagen Accord”sebagai suatu kesepakatan yang tidak memadai karena kesepakatan ini tidak mempunyai kekuatan mengikat, padahal kesepakatan ini juga menyebutkan bahwa emisi karbon harus dikurangi hingga kenaikan suhu bumi tidak melampaui 2 derajat Celsius sehingga hal ini sudah lebih maju daripada semua deklarasi sebelumnya (seperti the Bali Road Map) yang diterima oleh negara maju. Mengenai upaya-upaya yang harus dilakukan oleh Indonesia dalam menanggulangi pemanasan global yang berpotensi membawa berbagai bencana dan terutama mengancam eksistensi garis-garis pangkal lurus kepulauan yang melandasi NKRI sebagai negara kepulauan, maka apa yang pernah disampaikan oleh Bapak Presiden kita Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di depan delegasi dari negara-negara peserta KTT Perubahan Iklim PBB 2009 di Kopenhagen kiranya perlu dipakai sebagai acuan. Beliau menghimbau agar semua pihak melepaskan ego masing-masing (maksudnya kepentingan masing-masing pihak) sehingga terdapat celah atau peluang untuk mencapai kesepakatan dan kerjasama yang maksimal. Indonesia berkeinginan untuk menjadi bagian dari solusi global, khususnya dalam isu perubahan iklim. Keinginan untuk mengatasi isu perubahan iklim akibat pemanasan global dapat diwujudkan dengan antara lain berusaha menurunkan secara sukarela emisi gas-gas rumah kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020 atau menjadi 41 persen jika Indonesia mendapatkan bantuan asing berupa alih teknologi ataupun bantuan keuangan guna melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. .Bagaimana mencapai dan mewujudkan pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020 yang dihitung dari emisi yang dihasilkan pada tahun 1990, hal ini dapat terwujud melalui pelaksanaan berbagai peraturan perundangan yang berlaku mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup yang dapat menunjang tercapainya target tersebut, antara lain seperti UU No.32 Th.2009 mengenai lingkungan hidup, Peraturan Presiden No.78 Th.2005 mengenai pengelolaan pulau-pulau kecil terluar; juga melalui penegakan hukum (law enforcement) dalam hal terjadinya pelanggaran. Di samping itu, target penurunan emisi sebesar 26 persen juga dapat dicapai melalui penetapan kebijakan nasional (national policy) yang bersifat terpadu dan menyeluruh disertai dengan berbagai program yang realistis maupun rencana aksi dalam bentuk gerakan terpadu, menyeluruh dan menyentuh kesadaran dari seluruh lapisan masyarakat mengenai pentingnya perlindungan serta pelestarian lingkungan. Oleh karena itu kebijakan seperti itu perlu dijabarkan dan diterjemahkan ke dalam suatu peraturan perundang-undangan, baik berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan bahkan Peraturan Daerah (Perda) yang mendukung tercapainya target penurunan emisi sebesar 26 persen pada tahun 2020. Peraturan perundangan yang dimaksud harus mengatur secara terperinci berbagai macam aspek dari pemanasan global, seperti antara lain apa yang dimaksud dengan pemanasan global, perubahan iklim, sebab-sebab terjadinya pemanasan global, berbagai dampak dan atau akibatnya terutama terhadap pulau-pulau kecil terluar, pihak-pihak yang berperan dan bertanggungjawab, cara mengatasi, mencegah, mengurangi dan menanggulangi dampak atau akibat dari pemanasan global, penegakan hukum disertai sanksi baik perdata, administratif dan pidana. Dengan demikian jika ingin menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020, Indonesia perlu lebih serius dalam melakukan langkah konkret menuju tercapainya target yang ditetapkan secara sukarela. Langkah konkret ini misalnya jika Pemerintah ingin mendorong penurunan emisi di sector transportasi, maka di samping menyediakan bahan bakar ramah lingkungan (bio fuel, bio solar), Pemerintah pun.harus memberi insentif (berupa pengurangan pajak) pada mobil ramah lingkungan. Langkah-langkah nyata yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk mewujudkan penurunan emisi gasgas rumah kaca sebesar 26 persen yang bersumber dari berbagai sector hanya akan mempunyai arti dalam mengatasi dampak pemanasan global, khususnya terhadap pulau-pulau kecil terluar serta garis pangkal lurus kepulauan, apabila hal ini mendapat dukungan baik dari negara-negara berkembang maupun negara-negara industri khususnya negara-negara penghasil emisi terbesar (RRC, AS, Rusia, India, Jepang, Jerman, Kanada, Inggeris, Korea Selatan). Dukungan mereka diharapkan tidak hanya sekedar wacana, tetapi terutama mereka pun masing-masing seharusnya secara sukarela menentukan target pengurangan emisi secara nasional, di mana perwujudan target seperti itu hanya dapat dilakukan melalui langkahlangkah konkret. Harapan atas dukungan tersebut sangat penting sebab selama ini kesepakatan yang dihasilkan melalui berbagai konferensi PBB mengenai perubahan iklim tidak memuaskan banyak negara, terutama UNI Eropa dan negaranegara berkembang mengingat kesepakatan yang ada (seperti The Bali Road Map, the Copenhagen Accord) tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat seperti Protokol Kyoto 1997. Protokol yang pernah ditandatangani dan diratifikasi oleh AS di bawah Presiden Bill Clinton, tetapi lalu dibatalkan oleh Presiden George Walker Bush saat mulai berkuasa pada awal tahun 2000, sebenarnya mempunyai kekuatan mengikat. Namun Protokol ini tidak dapat berlaku secara internasional (come into force) sebab jumlah ratifikasi yang diperlukan bagi berlakunya perjanjian tersebut tidak terpenuhi hingga saat ini, malahan sudah akan berakhir pada tahun 2012, apalagi tanpa keikutsertaan AS. Kesepakatan perubahan iklim, sebagaimana diatur dalam the Bali Road Map serta the Copenhagen Accord yang hanya berisi himbauan atau ajakan kepada negara-negara peserta konferensi untuk menentukan sendiri secara sukarela target pengurangan emisi gas-gas rumah kaca tidak dapat menjamin tercapainya target yang telah ditetapkan karena konsistensi negara-negara dalam melaksanakan target yang ditentukan secara sukarela selalu akan dipertanyakan. Dengan demikian kekhawatiran berlangsungnya pemanasan global dan bakal tenggelamnya ribuan pulau-pulau RI, termasuk sebagian dari pulau-pulau terluar yang selama ini dijadikan sebagai titik-titik pangkal bagi penarikan garis pangkal lurus kepulauan, kekhawatiran tersebut dapat menjadi kenyataan. Eksistensi Indonesia sebagai NKRI yang berbentuk negara kepulauan (archipelagic state) tidak mustahil berada dalam bahaya apabila tidak ada suatu komitment internasional yang mengikat, apabila tidak ada perjanjian internasional yang mewajibkan negara-negara, terutama negara-negara penghasil emisi terbesar untuk menurunkan emisi misalnya sebesar 25 hingga 30 persen dari emisi gas-gas rumah kaca pada tahun 2020 yang dihitung dari level tahun 1990 atau sebesar 41 persen pada tahun 2050. Kesimpulan Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik beberapa butir kesimpulan sebagai berikut : 1) Adanya keterkaitan erat antara emisi gas-gas rumah kaca, pemanasan global, perubahan iklim, naiknya suhu permukaan air laut, mencairnya gunung-gunung es di kawasan Arctic dan Antartika, bakal hilang atau tenggelamnya puluhan ribu pulau-pulau dari peta bumi, termasuk di dalamnya pulau-pulau terluar Indonesia yang selama ini dijadikan sebagai titik pangkal bagi penetapan garis pangkal lurus kepulauan. Tenggelamnya pulau-pulau terluar akibat pemanasan global akan menyebabkan bergesernya garis-garis pangkal lurus kepulauan, menggoyahkan berbagai perjanjian bilateral mengenai garis batas maritim, bahkan eksistensi RI sebagai negara kepulauan bakal terancam. 2) The Copenhagen Accord 2009 bukan merupakan perjanjian internasional yang bersifat mengikat sebab kesepakatan tersebut hanya berisi ajakan atau himbauan pada negara-negara, terutama negaranegara industri untuk mendaftarkan secara sukarela target pengurangan emisi gas-gas rumah kaca guna menanggulangi dampak pemanasan global dan segala implikasinya. Demikian pula negara- negara berkembang dihimbau untuk mendaftarkan langkah-langkah konkret yang harus dilakukan untuk mengatasi efek rumah kaca. 3) Komitmen Indonesia untuk menetapkan target pengurangan emisi gas-gas rumah kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020 memerlukan berbagai langkah konkret, seperti penegakan hukum terhadap pelanggaran atas peraturan perundangan terkait dengan lingkungan, khususnya dalam hal perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Di samping itu, diperlukan sebuah kebijakan nasional terpadu dan menyeluruh yang diterjemahkan dalam berbagai program serta rencana aksi dan kemudian dilembagakan dalam bentuk peraturan perundangan (Undang-undang, Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Daerah) yang mengatur berbagai aspek dari pemanasan global, sebab-sebab terjadinya, dampak dan atau akibatnya, pihak-pihak yang berperan dan bertanggungjawab, soal kelembagaan, penegakan hukum serta sanksinya (perdata, administratif dan pidana). Melalui langkah-langkah konkret seperti ini, diharapkan dapat dicegah ataupun ditanggulangi akibat-akibat maupun dampaknya terhadap pulau-pulau kecil terluar serta garis pangkal kepulauan Indonesia.. Daftar Pustaka Clive R. Symmons, “The Maritime Zones of Islands in International Law”, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague/Boston/London, 1979.Godefridus Josephus Henricus Van Hoof, “Rethinking the Sources of International Law”, GJH, Usseistein, Netherlands, 1983.Hasjim Djalal, “Politik Luar Negeri Indonesia dalam Dasawarsa 1990”, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta, 1997.Kerangka Kebijakan Pengembangan Pola Ilmiah Pokok Universitas Hasanuddin, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, 1999.Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, Departemen Luar Negeri, Direktorat Perjanjian Internasional.Undang-Undang Republik Indonesia No.6 Tahun 1996 mengenai Wilayah Perairan Indonesia.Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Pangkal Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.Harian Kompas, 2008, 2009, 2010.- en wikipedia org/wiki/Copenhagen Accord.United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC int/