MUSIK CAMPURSARI ANTARA PELESTARIAN DAN PERUSAKAN BUDAYA Sebuah Tinjauan Musikologis dan Sosiologis Heri Yonathan Susanto Widyaiswara Musik PPPPTK Seni dan Budaya Sleman Yogyakarta PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN SENI DAN BUDAYA YOGYAKARTA 2011 1 A. LATAR BELAKANG Musik campursari dalam 20 tahun terakhir ini berkembang dengan pesat. Hampir di setiap kampung bahkan beberapa lembaga baik pemerintah maupun swasta kita jumpai kelompok musik jenis ini. Tidak hanya di Yogyakarta dan Jawa Tengah saja tetapi di Banyuwangi Jawa Timur yang menggabungkan musik etnik tanah Osing dengan musik diatonis dan fenomena perkembangan musik campursari ini merebak sampai seluruh daerah di Banyuwangi. Musik campursari menjadi salah satu jenis musik komersial yang digemari oleh masyarakat dari berbagai golongan sosial ekonomi dan dijumpai dalam berbagai macam acara seperti pesta pernikahan, promosi wisata, perayaan hari-hari besar, dan lain-lain. Dalam Diskusi Kajian Institusi Kesenian Jawa putaran kedua yang diselenggarakan TeMBI dan PPSK UGM, Manthou‟s juga tidak mengklaim bahwa dialah penemunya. Pada pertengahan tahun 1960an sampai tahun 1970-an campursari sudah ada di tanah Jawa. Campursari pada tahun-tahun itu melakukan siaran di RRI Semarang dengan vokalisnya almarhum S. Dharmanto mendendangkan lagu-lagu langgam Jawa. Penulis pernah membuat komposisi kolaborasi musik CSGK (Campursari Gunungkidul) pimpinan Manthou‟s dengan orkestra di PPPG Kesenian Yogyakarta (sekarang PPPPTK Seni dan Budaya) pada tanggal 24 November 2000 untuk lagunya yang berjudul “Parangtritis” dan “Sido Opo Ora”, mengatakan bahwa musik campursari menggunakan nada-nada dalam tangganada diatonis 2 seperti halnya pada musik Barat, hanya pada beberapa instrumen mengambil bentuk gamelan Jawa dan kemudian dilakukan pelarasan dengan keyboard. Setelah semua dilakukan pelarasan/tuning, maka sebenarnya „roh‟ dari musik karawitan/gamelan itu sendiri menjadi hilang. B. PEMBAHASAN 1. Definisi musik campursari. Campursari - is a synthetic product of many kinds of music, western music, gamelan, keroncong, and dangdut also. It was first time known in the 1960‟s, but it became more popular in recent years,especially in Central and East Java. Campursari merupakan jenis musik yang memadukan kultur musik gamelan dengan tradisi musik Barat. (www.edvos.demon.). Budi Santosa, SJ. dalam bukunya yang berjudul “Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia”, didalamnya disebutkan bahwa musik campursari adalah musik campuran budaya Jawa dan Barat yang merupakan kolaborasi sistem ekonomi pasar dengan ideologi kapitalismenya sehingga menerbitkan beraneka produk budaya (cultural product) baru yang bersifat hibrid. 2. Tinjauan Musikologis. Musik campursari yang dikemas oleh Manthou‟s pada mulanya membawakan lagu-lagu atau tembang Jawa seperti Sinom, Langgam, dll. Marilah kita bandingkan lagu-lagu dalam capursari tersebut dengan lagu yang menggunakan tangganada pentatonik 3 (gamelan). Lagu-lagu yang pada mulanya dimainkan dalam gamelan Jawa bagi orang yang kurang kuat dalam penguasaan tangganada akan terkesan sama dengan apa yang dinyanyikan oleh kelompok CSGK (Campursari Gunungkidul) tersebut, tetapi setelah kita mendengarkan lagu asli yang bertangganada pentatonik, maka kita akan terhenyak. Hanya saja urutan lagu yang dinyanyikan sama seperti urutan atau pakem yang dinyanyikan dalam karawitan atau gamelan, misalnya dimulai dari bowo (pembukaan) kemudian setelah itu baru masuk musik pengiringnya, demikian seterusnya. Keberhasilan Manthous memang didukung oleh hal-hal lain di luar kreativitasnya. Dukungan yang terpenting adalah industri rekaman, dan peran patron dalam hal ini Sutrisno seorang pengusaha angkutan umum di Gunungkidul dan kemudian diteruskan melalui media. Sutrisno memanfaatkan musik ini sebagai media propaganda, karena penggunaan karya seni sebagai media propaganda juga sering dikaitkan dengan tradisi kepatronan (patronage tradition) yang sudah melembaga dalam dunia penciptaan seni. Dalam hal ini seorang patron dapat datang dari seorang penguasa di dalam masyarakat baik pemerintah maupun keagamaan, ataupun seorang yang kaya raya yang mencoba untuk mengawasi dan mengarahkan karya seni yang dipesannya bagi kepentingan dirinya sendiri maupun untuk kepentingan masyarakat. (Soeprapto Soedjono, 1993: 8-9). 4 Dengan menggunakan tangga nada pentatonis (bukan tangga nada gamelan) jelas mencerminkan kesederhanaan melodi dan harmonisasinya. Hanya ada 3 macam akor yaitu akor tingkat I, IV, dan V. Itu pun tidak ada nada kromatis, bahkan ada beberapa akor yang tidak lengkap unsur nadanya karena sudah terpola oleh tangga nada yang digunakan. Selain komposisinya yang original, lagu-lagu campursari pada perkembangannya juga hanya „menjiplak‟ beberapa lagu Mandarin. Simak saja lagu “Mbah Dhukun”, lagu ini sama seperti lagu Mandarin yang berjudul “Ai Pia”. Juga lagu “Bojo Loro” adalah melodi lagu Mandarin juga yang berjudul “Mong Li”. Tentu masih banyak lagi lagu yang diambil dari lagu Mandarin. Pada perkembangan selanjutnya juga, musik campursari menjadi istilah yang „salah kaprah‟, karena setiap lagu yang berbahasa Jawa atau lagu pop Jawa seperti karya Didi Kempot, kebanyakan orang pada umumnya mengelompokkannya ke dalam jenis musik campursari. Padahal sebenarnya dari tinjauan ilmu harmoni bukan sama dengan musik campursari pada umumnya, karena lagu-lagu ciptaan Didi Kempot adalah lagu pop Jawa yang memiliki alur melodi dan harmoninya seperti lagu pop pada umumnya, misalnya progresi akor I-VI-II-V7-I (Pono Banoe, 2003:180). Lagu-lagu ciptaan Didi Kempot bukan termasuk dalam kelompok musik campursari, tetapi lebih tepat digolongkan ke dalam jenis musik pop Jawa atau ada juga yang menggunakan istilah congndut artinya keroncong dan dangdut (Dieter Mack, 1995:590). 5 3. Tinjauan Sosiologis. Kegelisahan yang terjadi pada seniman tradisi berbeda halnya dengan apa yang terjadi pada kalangan muda setelah mereka mendengarkan musik ini. Mereka cepat menjadi akrab karena bisa jadi juga antara lain disebabkan karena tangganada yang digunakan sama dengan lagu-lagu jenis pop (populer) yang selama ini mereka kenal. Akan tetapi bisa dibayangkan akibatnya apabila generasi muda kita saat ini meninggalkan musik tradisi yang merupakan warisan nenek moyang dan berpaling pada jenis musik ini, kita bisa menduga akan kehilangan minimal satu generasi yang tidak mengenal kebudayaannya sendiri di masa mendatang. Seperti apa yang sudah diuraikan pada latar belakang, bahwa ada fenomena munculnya kebiasaan yang sangat bertentangan dengan budaya Jawa, dimana ada sebagian musisi campursari yang „merayakan tradisi‟ sebelum mereka pentas yang didahului dengan minum minuman beralkohol. C. KESIMPULAN Dari uraian diatas kiranya cukup jelas bahwa musik campursari adalah suatu jenis musik baru yang tidak ada hubungannya dengan pelestarian budaya. Peran musik campursari terhadap kelestarian budaya hanya terbatas pada pengenalan bentuk fisik dari gamelan itu saja. Tetapi „roh‟ dari musik gamelan itu sendiri sudah hilang. Apalagi kalau kita lihat syair lagu yang digunakan sering berkonotasi negatif, sama halnya dengan lirik beberapa musik dangdut pada 6 umumnya bertentangan dengan budaya Jawa yang adiluhung. Dari fenomena yang terjadi ini sebenarnya juga merupakan warning bagi pencipta dan pelaku musik campursari dan sekaligus merupakan sebuah tantangan untuk membuat komposisi musik yang berkualitas dengan tidak membuat syair-syair yang berkonotasi negatif, karena kelestarian budaya dan masa depan bangsa ini adalah tanggung jawab kita semua. 7 DAFTAR BACAAN Banoe, Pono, Kamus Musik, Kanisius, Yogyakarta, 2003. Mack, Dieter, Sejarah Musik Julid III, PML, Yogyakarta, 1995. “Manthous”, Kedaulatan Rakyat,13 Oktober 2004. Santosa, Budi, SJ, Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 2004. Soedjono, Soeprapto, “Seni Sebagai Media Propaganda” Studi Banding Karya Lukis El Greco dan Karya Drama Calderon, Disampaikan dalam Pidato Ilmiah pada Dies Natalis IX ISI Yogyakarta Jumat 23 Juli 1993. www.edvos.demon.nl/midi-indonesia/campursari.htm www.geocities.com/paris/parc/2713/tokoh 1 html.28k. www.w4w4n_412.itgo.com/custom4.html 8 BIODATA PENULIS: Nama : Drs. Heri Yonathan Susanto, M.Sn Widyaiswara Musik PPPPTK Seni dan Budaya Sleman Yogyakarta, dan praktisi musik hiburan. Lahir di Gunungkidul, 23 Oktober 1965. Pendidikan SD sampai S2 di Yogyakarta.